kasus forensik
DESCRIPTION
forensik klinikTRANSCRIPT
ILUSTRASI KASUS
No. Registrasi RSCM : No. 10423/384-91-06/VR/XIII
Waktu Pemeriksaan : Minggu, 28 Juli 2013 Jam 22.35
Identitas Korban
Nama : Lenia
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 17 tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Keterangan : korban datang ke RSCM dengan membawa surat permintaan visum atau SPV untuk meminta pembuatan VER pada tanggal 28 Juli 2013
Riwayat Medis
Anamnesis
Korban mengaku sekitar lima setengah jam sebelumpemeriksaan ditendang oleh bapak sendiri lebih dari dua kali di daerah perutdan wajah. Lalu kepala dijenggut dan tangan korban diplintir oleh pelaku. Korban mengaku pelaku dalam keadaan mabuk saat melakukan kekerasan kepada korban. Kekerasan seperti ini sering dialami oleh korban sejak kelas 2 SMP (saat ini korban kelas 2 SMA) kejadian terakhir sebelum kejadian ini sekitar bulan April 2013, saat itu korban dipukul berkali-kali oleh pelaku, korban mengaku kekerasan seperti ini sering dilakukan pelaku tanpa alasan yang jelas dan setiap kali mabuk pelaku pasti melakukan kekerasan fisik seperti ini pada korban maupun ibu korban.Pasca kejadian korban mengeluh nyeri pada daerah kepala sempat keluar darah dari hidung namun tidak pingsan, mual ataupun muntah, tidak ada gangguan pengelihatan, pendengaran ataupun penciuman.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: baik
sikap: kooperatif
kesadaran: sadar penuh (GCS 15)
tanda vital:
- tekanan darah: 100/60
- nadi:90
- frekuansi napas: 20 kali per menit
- keadaan gizi: baik
- tinggi badan: 155 cm
- berat badan: 60 kg
Status Lokalis Luka/Cedera
1. Pada dahi kanan dua koma lima sentimeter dari garis pertengahan depan, satu koma lima sentimeter di atas alis terdapat luka gores berbentuk gari sepanjang satu sentimeter dikelilingi pembengkakakan berukuran dua koma lima sentimeter kali dua sentimeter.
2. Pada dahi kiri tiga koma tujuh sentimeter dari garis pertengahan depan setinggi batas tumbuh rambut depan terdapat memar berwarna merah berukuran nol koma lima kali nol koma lima sentimeter.
3. Pada pelipis kanan enam koma lima sentimeter dari garis pertengahan depan setinggi sudut luar mata terdapat luka lecet gores berbentuk garis sepanjang satu komalima sentimeter.
4. Pada leher bagian belakang tepat garis pertengahan belakang lima sentimeter di bawah batas tumbuh rambut belakang terdapat memar berwarna merah berukuran dua komalimakali nolkoma tiga sentimeter.
5. Pada dada kiri enam sentimeter dari garis pertengahan depan delapan sentimeter di atas pusat terdapat luka lecet gores berbentuk garis sepanjang dua sentimeter.
6. Pada belakang kepala sisi kanan satu koma lima sentimeter dari garispertengahan dua belas sentimeter di atas batas tumbuh rambut belkang terdapat pembengkakan berukuran dua kali dua.
Tindakan
Pada korban dilakukan pembuatan visum et repertum.
Kesimpulan
Pada pemeriksaan terhadap perempuan berusia tujuh belas tahun ditemukan lukalecet gores dan pembengkakan pada dahi kanan, memar pada dahi kiri, luka lecet gores padapelipis kanan, memar pada leher bagian belakang, luka lecet gores pada dada kiri dan pembengkakan pada belakang kepala sisi kanan akibat kekerasan tumpul.
Luka atau cedera ini tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian
PEMBAHASAN UMUM
A. PROSEDUR MEDIKOLEGAL
Ilmu kedokteran forensik pada dasarnya adalah cabang spesialistik dari ilmu
kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran dalam konteks penegakan
hukum dan keadilan. Pasalnya, pelanggaran atas hukum adalah hal yang cukup umum terjadi
di masyarakat. Masalah-masalah yang muncul di masyarakat tersebut dapat saja
menimbulkan korban manusia, baik masih hidup maupun sudah meninggal.
Sebagai seorang ahli atas tubuh manusia, bantuan keterangan dari dokter sangat
diperlukan dalam proses peradilan bagi pihak yang menangani kasus tersebut. Pada seorang
korban hidup, bantuan dari seorang dokter terutama diarahkan pada penemuan kelainan pada
tubuh korban, hal yang menyebabkan, serta akibat yang akan timbul terhadap kesehatannya.
Hal ini penting adanya untuk dapat membuat terang sebuah perkara, mulai dari kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain.
Adapun peranan dokter maupun seorang ahli kedokteran kehakiman dijelaskan
melalui KUHAP pasal 133 ayat (1) dengan bunyi: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”
Dalam pelaksanaannya, sebuah keterangan ahli ini dikeluarkan sebagai respons atas
permintaan langsung yang diberikan oleh penyidik guna kepentingan penegakan hukum,
sebagaimana tertuang dalam KUHAP pasal 133 ayat (2): “Permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat”.
Permintaan tertulis sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut dikenal sebagai
Surat Permintaan Visum (SPV). Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27
tahun 1983, kelengkapan SPV ini haruslah mencakup kop surat, pihak yang meminta visum,
pihak yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab kematian, permintaan jenis
pemeriksaan, serta jabatan dan tanda tangan peminta visum. Adapun pihak yang berwenang
untuk mengajukan SPV hanyalah penyidik dengan syarat berpangkat minimal Pembantu
Letnan Dua, sedangkan penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua.
Visum et Repertum yang dimintakan ini dapat didefinisikan sebagai keterangan yang
dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan
medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau diduga bagian tubuh
manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Adapun visum dibuat dengan struktur yang terdiri dari Pro Justitia, pendahuluan,
pemberitaan, kesimpulan, dan penutup.
Seperti dituliskan dalam pasal 184 KUHAP, visum et repertum ini merupakan salah
satu alat bukti yang sah dan dalam hal ini hanya dapat dibuat oleh seorang dokter yang telah
mengucapkan sumpah jabatan, sebagaimana diterangkan dalam Statsblad 350 tahun 1937.
Dalam hubungannya dengan kasus yang dialami seorang korban hidup yang
umumnya diduga mengalami tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, seorang dokter
memegang peranan penting untuk dapat membantu peradilan melalui visum et repertum yang
dibuatnya. Salah satu hal yang mendasarinya adalah karena penjatuhan hukuman pada pelaku
akan sangat bergantung pada derajat perlukaan yang dinilai oleh seorang dokter. Oleh
karenanya, melalui visum tersebut, seorang dokter harus dapat menerangkan secara jelas
setiap jenis luka/cedera/penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebab, lengkap dengan
derajat perlukaannya.
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota
keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai
tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang
memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga
disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan
tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental,
emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi
sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak
merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah
tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu
yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda
adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing.
Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian
dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam
keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga
tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi
yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar.
Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering
terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-
hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau
melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
B. TRAUMATOLOGI FORENSIK
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cidera serta hubungan
dengan berbagai kekerasan. Berdasarkan penyebabanya, kekerasan dapat dibagi menjadi
kekerasan yang bersifat: mekanik (benda tumpul, tajam, senjata api), fisika (suhu, listrik dan
petir, perubahan tekanan udara, akustik, radiasi), dan kimia (asama atau basa kuat).
1. Luka akibat kekerasan benda tumpul
Luka seperti ini disebabkan oleh benda dengan permukaan tumpul. Luka dapat berupa:
a. Memar
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit atau kutis akibat pecahan
kapiler dan vena, yang disebabkan kekerasan benda tumpul. Memar dapat terjadi pada tempat
di mana tubuh mendapat kekerasan dan dapat berpindah ke tempat lain, oleh karena
mengalirnya darah mencari tempat yang lebih rendah dan ini dapat terjadi bila kekerasan
mekanik itu mengenai tubuh yang mempunyai jaringan yang longgar atau bila korban sudah
tua usianya. Luka memar kadang memberi petunjuk mengenai benda penyebabnya, misalnya
jejas ban yang merupakan perdarahan tepi (marginal hemorrhage).
Letak, bentuk, dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti besarnya
kekerasan, jenis benda, penyebab (karert, kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan, usia, jenis
kelamin, corak dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah dan penyakit.
b.Luka lecet
Luka lecetterjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang
memiliki permukaan kasar atau runcing misalnya pada kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur
aspal jalanan. Interpretasi luka lecet dengan teliti disertai pemeriksaan TKP dapat
mengungkap peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Luka lecet gores, diakibatkan oleh benda runcing dan menyebabkan lapisan tersebut
terangkat sehingga dapat menunjukan arah kekerasan yang terjadi.
Luka lecet serut, adalah luka lecet yang persentuhannya dengan permukaan kulit
lebar.
Luka lecet tekan, disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit.
Luka lecet geseer, disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser,
misalnya pada kasus gantung diri atau jerat, serta pada korban pecut.
c. Luka robek
Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul yang menyebabkan
kulit teregang kesatu arah dan bila batas elastisitas kulit terlampaui, maka terjadi robekan
pada kulit. Luka ini memiliki ciri-ciri bentuknya tidak berturan, tepi atau dinding tidak rata,
tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, sering
tampak luka lecet atau memar di sisi luka.
2. Luka akibat kekerasan benda tajam
Gambaran umum luka akaibat kekerasan tajam adalah tepi dan dinding luka yang rata,
berbentuk garis, tidak teradpat jembatan jaringan dan dasar luka berbentuk garis atau titik.
Luka akibat kekerasan tajam antara lain luka sayat, luka tusuk, dan luka bacok. Pada luka
sayat dan luka bacok, kedua sudut luka lancip dan dalam luka tidak melebihi panjang. Pada
luka tusuk, sudut luka dapat memperkirakan benda penyebab, adakah berupa pisau bermata
satu atau bermata dua. Panjang luka pada luka tusuk biasanya tidak mencerminkan lebar
benda tajam penybabnya, demikian pula panjang saluran luka biasanya tidak menggambarkan
panjang beda tajam tersebut. Sealian itu ada jugayang disebut luka tangkis. Luka tangkis
adalah luka yang terjadi akibat perlawanan korban dan umunya ditemukan di telapak dan
punggung tangan, jari-jari tangan, punggung lengan bawah dan tungkai.
C. PENGANIAYAAN
Pada tindak pidana kekerasan atau penganiayaan, korban dapat melakukan
pengaduan. Hal ini tertulis dalam KUHAP pasal 74, ayat (1) dan (2) yang berisi:
(1) Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahantan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau
dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
(2) Jika yang terkena kejahatan menjadi berhak mengadu pada saat tenggang tersebut dalam
ayat (1) belum habis, maka setelah saat itu pengaduan hanya masih boleh diajukan
selama sisa yang masih kuramg pada tenggat tersebut.
Adanya kepentingan untuk delik pengaduan membuat dokter yang membaut catatan
medik pada setiap pasien harus lengkap hasil pemeriksaannya, terutama korban yang diduga
tindak pidana. Pemeriksaan luka pada korban harus lengkap dan sesuai dengan KUHAP.
Harus dibedakan apakah seorang korban mengalami luka ringan, sedang atau berat. Luka
ringan dijelaskan dalam KUHAP pasal 352 yang berisi:
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimnulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau
pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja kepadanya atau menjadi bawahannya
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Korban dengan luka berat diatur dalam KUHAP pasal 90, yangberbunyi:
- Jatuh sakit atau medapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pencaharian;
- Kehilangan salah satu panca indera;
- Mendapat cacat berat;
- Menderita sakit lumpuh;
- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
- Gugur atau matinya kadnungan seorang perempuan.
Hasil dari tindak penganiayaan yang berakibat luka berat diatur dalam pasal 351 ayat
(2) yang berbunyi: “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun” atau pasal 353 ayat (2) yaitu: “Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikarenakan pidana penjara paling
lama tujuh tahun”. Pasal 353 ayat (2) berbeda dibandingpasal 351 ayat (2) dalam hal
penganiayaan yang terjadi telah direncanakan terlebih dahulu.
Apalagi korban dengan luka berat merupakan akibat penganiayaan berat, pelakuanya
dapat terkena pasal 354 ayat (1) yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja melukai berat
orang lain, diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling
lama delapan tahun” atau pasal 355ayat (1) yaitu: “Penganiayaan berat yang dilakukan
dengan rencana lebih dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Keadaan yang berada diantara luka ringan dan berat dimasukan ke dalam luka sedang.
Pada korban dengan luka sedang merupakan hasil dari tindak penganiayaan, seperti yang
disebutkan pada pasal 351 KUHP ayat (1) yang berbunyi: “Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling bnayak
empat ribu lima ratus rupiah” dan pasal 353 KUHP ayat (1) yaitu: “Penganiayaan dengan
rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Penganiayaan yang dilakukan oleh beberapa orang diatur dalam pasal yang berbeda.
Pasal yang mengatur tidak pidana tersebut adalah KUHP pasal 170:
(1) Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan
terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan
barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka
2. Degan pidana penjara paling lama, sembilan tahun jika kekersan mengakibatkan luka
berat.
3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika kekerasan mengakibatkan
maut.
(3) Pasal 89 berlaku bahi pasal ini.
Derajat luka dan ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku memiliki
keterkaitan yang sangat erat. oleh karena itu ilmu kedokteran forensik diperlukan untuk
membantu penyelesaian proses penyidikan perkara pidana, khususnya di dalam kasus
perlukaan sebagiamna dimaksudkan dengan penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka
dalam KUHAP. Sumbangan yangdapat diberikan ilmu kedokteran foresik adalah:
- Menentukan identitas
- Menentukan jenis luka
- Menentukan jenis kekerasan yang menimbulkan luka
- Menentukan kualifikasi luka
C. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia
tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan,
hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan ayah terhadap anak sebenarnya merupakan unsur
yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak
diancam hukuman pidana”
Pengertian KDRT menurut UU
Menurut UU KDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).
Catatan: Untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang
PERLINDUNGAN ANAK. Pasal 2 menjabarkan selanjutnya:
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
i. suami, istri, dan anak
ii. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
iii. orang yang bekerja membantu rumah tanggadan menetap dalam rumah tangga
tersebut
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Penegakan hukum uu KDRT ditinjau dalam perspektif sosiologis hukum.
Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara:
a. kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan,
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.
Pasal 44 :
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumahtangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau
denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian
juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan (Pasal 52).
E. PERLINDUNGAN ANAK
Kekerasan pada anak telah mendapatkan perlindungan hukum dalam undang-undang
nomor 23 tahun 2002. Dalam pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa anak adalah:
“ Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.”
Dalam pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan
perlindungan anak adalah: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jadi kekerasan yang terjadi pada anak juga
masuk ke dalam ruang lingkup dari undang-undang ini.
Pasal 4 undang-undang perlindungan anak menjamin hak anak untuk tidak mendapat
perlakuan kekerasan seperti disebutkan berikut. “Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Karena peranannya yang dianggap penting dan merupakan penerus bangsa, anak
dilindungi sedemikian rupa, sehingga kekerasan pada anak pun akan dikenakan sanksi hukum
yang diatur dalam pasal 80 sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
PEMBAHASAN KHUSUS
I. Prosedur Medikolegal
Pada kasus ini, surat permintaan visum disampaikan dalam bentuk tertulis yang
sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat (2).
Surat ini terdiri atas:
1. Institusi pengirim : Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Metro Jaya
Resort Metro Jakarta Timur.
2. Tujuan Surat : Bertuliskan “Yth. KA RSCM”.
3. Idenditas : Nama, Tempat/Tgl Lahir, Agama, Jenis Kelamin,
Pekerjaan, Kewarganegaraan, Alamat.
4. Dugaan Luka : Kekerasan Fisik (KDRT).
5. Permintaan Penyidik : Tidak terdapat permintaan pembuatan Visum et Repertum.
6. Jabatan Pengirim : Kepala Kepolisisan Resort Metro Jakarta Timur Kepala
Unit “B” SPKT atas nama D. Agustina, SH
Prosedur medikolegal ini tidak sesuai dengan KUHAP, karena tidak terdapat kata-kata
atau kalimat yang menyatakan tentang permohonan pembuatan Visum et Repertum.
Seharusnya ditulis dalam surat tersebut kalimat yang menyatakan permohonan pembuatan
Visum et Repertum.
II. Pemeriksaan Korban
Pada anamnesis, korban mengatakan pada tanggal dua puluh delapan Juli tahun dua
ribu tiga belas sekitar pukul tujuh belas tepat Waktu Indonesia Barat yakni lima setengah
jam sebelum pemeriksaan, korban mengaku ditendang oleh pelaku yang merupakan
bapak tiri korban sebanyak lebih dari dua kali di daerah perut dan wajah lalu kepala di
jegut serta tangan korban dipelintir oleh pelaku. Korban mengatakan pelaku dalam
keadaan mabuk saat melakukan kekerasan tersebut. Kekerasan seperti ini sering dialami
oleh korban sejak kelas dua SMP (saat ini korban kelas dua SMA). Kekerasan terakhir
sebelum kejadian ini terjadi sekitar bulan April tahun dua ribu tiga belas. Saat itu korban
dipukul berkali-kali oleh pelaku, korban mengaku kekerasan seperti ini sering dilakukan
pelaku tanpa ada alasan yang jelas dan setiap kali dalam keadaan mabuk pelaku pasti
melakukan kekerasan fisik seperti ini terhadap korban ataupun ibu korban. Paska kejadian
ini korban mengeluh nyeri pada daerah kepala, sempat keluar darah dari hidung, namun
tidak pingsan, tidak ada mual ataupun muntah dan tidak ada gangguan penglihatan,
pendengaran, dan penciuman.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum korban sadar penuh, baik dan
bersikap kooperatif terhadap pemeriksaan. Tekanan darah pasien 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 90 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, tinggi badan 155 cm, berat badan
60 kg. Keadaan gizi korban baik. Pada pemeriksaan ditemukan adanya luka lecet yang
dikelilingi pembengkakan pada dahi kanan, memar pada dahi kiri, luka lecet pada pelipis
kanan, memar pada leher belakang, luka lecet pada dada kiri serta terdapat pembengkakan
pada belakang kepala sisi kanan.
III.Aspek Medikolegal
Pada korban ditemukan luka lecet pada dahi kanan, pelipis kanan, dada kiri serta
memar pada dahi kiri, leher belakang, dan terdapat pembengkakan pada kepala belakang
sisi kanan. Temuan pada korban ini menunjukan adanya kekerasan tumpul yang terjadi
pada korban. Luka-luka ini diklasifikasikan menjadi luka ringan yaitu tidak menimbulkan
penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian. Hal ini
menunjukan korban mengalami penganiayaan ringan. Pada kasus ini korban dipukul oleh
ayah tirinya, oleh karena itu, undang-undang yang digunakan adalah yang bersifat lebih
spesifik, yakni Undang Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No.
23 Tahun 2004) atau Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002)
bukan KUHP. Pelaku dapat dikenakan UU No. 23 Tahun 2004 pasal 44 ayat (1) yang
berbunyi :
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
Atau UU No. 23 tahun 2002 pasal 80 ayat (1) dan ayat (4), yang berbunyi :
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan
atau penganiayaan terhadap anak,dipidana dengan pidana penjara paling lama
tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak tujuh puluh dua juta rupiah.
(4) Pidana ditambah dengan sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.
Kesimpulan
Pada pemeriksaan anak perempuan berusia 17 tahun ini, ditemukan adanya luka
lecet pada dahi kanan, pelipis kanan dan dada kiri serta memar pada dahi kiri dan leher
bagian belakang akibat kekerasan tumpul. Luka-luka tersebut tidak menimbulkan
penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan, atau pencaharian. Pelaku
penganiayaan merupakan ayah tiri korban sehingga dapat dikenakan pasal 44 ayat (1) UU
No. 23 tahun 2004 atau pasal 80 ayat (1) dan (4) UU No. 23 Tahun 2002.
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik
FKUI; 1997.
2. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran, Jakarta : Bagian Kedokteran
Forensik FKUI; 1994.