askep sci dan spinal shock

51
i KEPERAWATAN KRITIS 2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SYOK Disusun Oleh: Kelompok 4 Kelas B Nor Zaidah Asy’ariyah 131011080 Ema Kharismawati 131011088 Woro Mustika Weni 131011095 Rosidatus Salimah 131011103 Annisa Nur Aini 131011112 Muhamad Ihlasul Amal 131011123 Rahma Erdha Yunita 131011131 Yudisa Diaz Lutfi Sandi 131011140 Fasilitator: Erna dwi Wahyuni S.Kep.Ns., M.Kep. PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014

Upload: rina-qoidatul-awaliyah

Post on 18-Jul-2016

100 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Kritis

TRANSCRIPT

Page 1: Askep SCI Dan Spinal Shock

i

KEPERAWATAN KRITIS 2

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA

MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SYOK

Disusun Oleh:

Kelompok 4 Kelas B

Nor Za’idah Asy’ariyah 131011080

Ema Kharismawati 131011088

Woro Mustika Weni 131011095

Rosidatus Salimah 131011103

Annisa Nur Aini 131011112

Muhamad Ihlasul Amal 131011123

Rahma Erdha Yunita 131011131

Yudisa Diaz Lutfi Sandi 131011140

Fasilitator: Erna dwi Wahyuni S.Kep.Ns., M.Kep.

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2014

Page 2: Askep SCI Dan Spinal Shock

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi

rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ―Penelusuran

Masalah/Topik Penelitian‖.

Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas mata kuliah

Metodologi Riset Keperawatan. Pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa

hormat dan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Erna Dwi Wahyuni S.Kep.Ns., M.Kep. selaku fasilitator kelompok 4

kelas B Keperawatan Kritis 2.

2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan spiritual maupun

material.

3. Teman-teman yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah

ini.

4. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-

persatu.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik,

koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi

perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.

Surabaya, 02 April 2013

Penulis

Page 3: Askep SCI Dan Spinal Shock

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………...... ii

Daftar Pustaka …………………………………………………...………… iii

Bab 1 Pandahuluan

1.1 Latar Belakang ………………………...………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2

1.3 Tujuan ………………………………...………………………… 2

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologi................................................................... 3

2.2 Definisi Trauma Medula Spinalis.........…………......................... 5

2.4 Etiologi Trauma Medula Spinalis.......………………..….……… 5

2.5 Klasifikasi Trauma Medula Spinalis............................................. 6

2.6 Patofisiologi Trauma Medula Spinalis..………….………......… 9

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medula Spinalis……….……... 12

2.8 Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis ……..………….....… 13

2.9 Komplikasi Trauma Medula Spinalis..………….......…………... 16

2.10 Prognosis Trauma Medula Spinalis …………...…………....... 17

2.11 WOC............................................................................................ 19

Bab 3 Asuhan Keperawatan Trauma Medula Spinalis.................................. 22

Bab 4 Penutup................................................................................................ 30

Bab 1 Pandahuluan

1.1 Latar Belakang ………………………...………………………... 31

1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 31

1.3 Tujuan ………………………………...………………………… 32

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Syok Spinal............................…………......................... 31

2.2 Etiologi Syok Spinal..........................………………..….……… 31

2.5 Patofisiologi Syok Spinal.......................………….………......… 34

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Syok Spinal ..................……….……... 34

2.8 Komplikasi Syok Spinal....................……..………….....… 34

2.9 Penatalaksanaan Syok Spinal...............……….......…………... 35

2.12 WOC............................................................................................ 36

Bab 3 Asuhan Keperawatan Trauma Medula Spinalis.................................. 37

Bab 4 Penutup................................................................................................ 50

Daftar Pustaka …………………………………………………………...… 51

Page 4: Askep SCI Dan Spinal Shock

4

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis

vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang

belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang

mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang di Amerika Serikat, dengan

perkiraan 20.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Insiden tahunan spinal

cord injury termasuk kematian pra-rumah sakit telah diperkirakan 43-77 per

juta penduduk di Amerika Serikat yang setara dengan sekitar 20.000 pasien

setiap tahun. (Bernhard et al, 2005)

Sekitar 20% dari pasien ini meninggal sebelum mereka diterima di rumah

sakit. Kejadian spinal cord injury dikaitkan dengan prevalensi sekitar 200.000

pasien di Amerika Serikat. Dari pasien SCI ini 50-70% adalah antara 15 dan 35

tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15 tahun atau lebih muda. Rasio kejadian

pada pria dan wanita adalah 4:1. Estimasi biaya untuk perawatan Spinal cord

injury di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 4 miliar per tahun. Oleh karena

itu, Spinal cord injury merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas

pada orang muda dan sebagai hasilnya memiliki besar dampak pada

masyarakat secara keseluruhan (Bernhard et al, 2005).

Penyebab paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa adalah

kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak kekerasan (15%),

dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (13%). Pada anak-anak, spinal

cord injury sebagian besar disebabkan karena olahraga (24%) dan kegiatan

rekreasi air (13%). Dalam tampilan grafik retrospektif dari 331 pasien, pada

penelitian yang dilakukan Domeier et al (2005), menggambarkan distribusi

lokasi cidera spinal cord injury 29% terjadi pada servikal, 24% pada torakal,

37% pada lumbal, dan 10% pada sakral. Penilaian pada pasien trauma (Trauma

Life Support) dilakukan pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk

mengidentifikasi cedera tulang belakang serta transfer pasien pada petugas

kesehatan yang berkompeten. Kolaborasi tim kesehatan yang berasal dari

multidisplin ilmu dapat mengelola penatalaksanaan pasien spinal cord injury.

Medical and surgical tim serta nursing expertise bersama-sama memanajemen

pasien mulai dari penanganan pertama yang tepat, fase hospitalisasi,

pencegahan komplikasi seperti menghindari ulserasi dekubitus dan komplikasi

lain dari cedera tulang belakang hingga fase rehabilitasi seperti rehabilitasi

medik; dan psikososial. (White & Thumbikat, 2012).

Pada kasus trauma ini, peran perawat sangat diperlukan untuk dapat

membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan spinal

cord injury baik saat prehospital management, fase hospital, maupun

Page 5: Askep SCI Dan Spinal Shock

5

rehabilitatif, sehingga masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi dan

terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Trauma Medula Spinalis?

2. Bagaiman mekanisme Trauma Medula Spinalis?

3. Apa penyebap terjadinya Trauma Medula Spinalis?

4. Bagaimana patofisiologi Trauma Medula Spinalis?

5. Bagaimana manifestasi klinis Trauma Medula Spinalis?

6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui terjadinya Trauma

Medula Spinalis?

7. Bagaiamana pentalaksanaan medis bagi Trauma Medula Spinalis?

8. Apa saja komplikasi yang terjadi pada Trauma Medula Spinalis?

9. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Trauma

Medula Spinalis?

1.3 Tujuan Umum

Untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen fasilitator,

serta mengetahui bagaimana konsep penyakit atau Trauma Medula Spinalis serta

bagaimana Asuhan Keperawatannya.

1.4 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian Trauma Medula Spinalis

2. Mengetahui mekanisme terjadinya Trauma Medula Spinalis

3. Mengetahui penyebap Trauma Medula Spinalis

4. Mengetahui patofisiologi Trauma Medula Spinalis

5. Mengetahui manifestasi klinis Trauma Medula Spinalis

6. Mengidentifikasi pemeriksaan penunjang Trauma Medula Spinalis

7. Mengidentifikasi penatalaksanaan dan algoritma medis Trauma Medula

Spinalis

8. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada Trauma Medula Spinalis

9. Mengidentifikasi dan menjelaskan konsep asuhan keperawatan Trauma

Medula Spinalis

Page 6: Askep SCI Dan Spinal Shock

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi

Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem

kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan

tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit dan otot.

Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis ini

memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian lumbar

kedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus

medullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf, yang

memanjang melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf ini

menyerupai akar kuda. Saraf-saraf medula spinalis tersusun atas 33 segmen yaitu

7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius. Medula

spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai

satu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas substansi

grisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal dan

substansi alba ada pada bagian internal ( Sherwood,2001).

Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :

a. Vetebrata Thoracalis (atlas).

Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi

hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens,

yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena

mempunyai prosesus spinasus paling panjang.

b. Vertebrata Thoracalis.

Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk

jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.

c. Vertebrata Lumbalis.

Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,

berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra

yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.

d. Os. Sacrum.

Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang

dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang

bayi.

e. Os. Coccygis.

Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami

rudimenter.

Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis

memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal

pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang,

Page 7: Askep SCI Dan Spinal Shock

7

daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua

lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer

karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang

belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah

sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan.

Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung

servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat

sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia

merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.

Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh

dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan

cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan

memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk

menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu

berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung

terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,

menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior

yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.

Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula

ablongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara

vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai

konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang

disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju

koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini,

pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian

belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.

Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan

lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota

badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf

interkostalis.

Fungsi sumsum tulang belakang :

1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit.

2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-

sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi

kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.

3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung

menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.

4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima

dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.

5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls

saraf motorik.

Page 8: Askep SCI Dan Spinal Shock

8

6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada

daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis

beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada

kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

2.2 Definisi

Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang

disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,

2001). Trauma medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang

mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang

diklasifikasikan menurut Marilyn E. Doengoes, 1999;338) sebagai :

- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)

- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang

disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai

daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong.

Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan,

sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.

2.3 Etiologi

Penyebab dari Trauma medulla spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu traumatic

spinal-cord injury dan non-traumatic spinal-cord injury (McDonald & Sadowsky,

2002). Termasuk Traumatic spinal cord injury adalah kecelakaan di jalan raya

(penyebab tersering), tindak kekerasan, terjatuh, kegiatan olahraga (menyelam),

Luka tusuk; tembak; tikam, dan rekreasi. Sedangkan non-traumatic spinal-cord

injury terdiri dari: Congenital and developmental, gangguan CNS Degenerative,

Infeksi, Inflammatory: Multiple sclerosis, transverse myelitis Toxic, radiasi, dan

Tumor. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis non

traumatic seperti spondiliosis servikal dengan mielopati (yang menghasilkan

saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan

akar), mielitis (akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi), osteoporosis

(disebabkan oleh fraktur kompensasi pada vertebra), siringemelia, tumor infiltrasi

maupun kompresi, dan penyakit vascular.

Page 9: Askep SCI Dan Spinal Shock

9

Gambar 2.1 penyakit penyebab non-traumatic spinal cord injury

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal, diantaranya:

1. Berdasarkan dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan

stabil atau tidak stabil.

’Major Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau

korpus vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada prosesus

transversus, prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.

Gambar 2.2 Major Frcture

Gambar 2.3 Minor Fracture

Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih

mampu menahan beban fisik dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran

atau deformitas dari struktur vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur

disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak mampu menahan beban

Page 10: Askep SCI Dan Spinal Shock

10

normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya

ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.

2. Berdasarkan penyebab

Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya adalah traumatic dan non-

traumatic spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta trauma secara

langsung lainnya merupakan jenis traumatic, sedangkan non traumatic

akibat dari penyakit degenerative, infeksi, tumor, dan penyakit

inflammatory lain.

3. Berdasarkan letak trauma

Klasifikasi berdasar Letak trauma pada vertebra: (Hanafiah, 2007)

a. Cervical Spine, terjadi sebanyak 55%

b. Thoracic Spine, pada 15% kejadian

c. Thoracolumbar Spine, 15% kejadian; dan

d. Lumbosacral Spine, 15% kasus.

4. Berdasarkan mekanisme

Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi dua yakni complete dan

incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik

dipergunakan Frankel Score. (Chin, 2013)

a. FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan

sensorik lengkap/complete loss. Motoris (-) sensoris (-)

b. FRANKEL SCORE B: Fungsi motoric hilang, fungsi

sensorik utuh. Motoris (-), sensoris (+)

c. FRANKEL SCORE C: Fungsi motoric ada tetapi secara

praktis tidak berfungsi (dapat menggerakkan tungkai tetapi

tidak dapat berjalan). Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3,

sensoris (+)

d. FRANKEL SCORE D: Fungsi motoric terganggu (dapat

berjalan tetapi tidak dengan normal‖gait‖). Motoris )+)

dengan ROM 4, sensoris (+)

e. FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan

neurologik. Motoris (+), sensoris (+)

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)

impairement scale (modifikasi dari klasifikasi frankle) (Chin, 2013)

a. Grade A : komplit. Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada

segmen sacral s4-s5

b. Grade B : inkomplit. Motoris (-), sensoris (+)

c. Grade C : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

d. Grade D : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

atau lebih dari sama dengan 3

e. Grade E : Motoris dan sensoris normal

Page 11: Askep SCI Dan Spinal Shock

11

5. Berdasarkan level

Gambar 2.4 Level Kerusakan Spinal Cord, fungsi, dan aktivitas yang

memungkinkan

6. Berdasarkan klasifikasi lain (Hanafiah, 2007)

Metode Klasifikasi Dennis

Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan

daerah cervical.

Gambar 2.5 Tampak lateral dari 2 buah korpus vertebra

Penilaian ini berdasarkan ’Teori 3 Kolom’ dari vertebra.

a) Bagian Anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian

depan dari korpus vertebra dan diskus.

b) Bagian Tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra

dan diskus serta ligamentum longitudinale posterior.

c) Bagian Posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum

posterior. Kolom Tengah (Middle Column) adalah ‖kunci‖ dari stabilitas.

Page 12: Askep SCI Dan Spinal Shock

12

Metode Klasifikasi Magerl

Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.

Gambar 2.6 Klasifikasi Magerl pada fraktur torakolumbal

Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of

failure):

a) Type A Compressive loads

b) Type B Distraction forces

c) Type C Multidirectional forces and translation

Berdasarkan Gangguan Neurologik

Yang dimaksud dengan gangguan neurologik (neurologic injury)

ialah trauma yang mengenai medula spinalis, cauda equine dan radices

(nerve roots). Keadaan ini mungkin terjadi karena kompresi dari vertebra,

fragmen tulang, atau diskus terhadap struktur neurologik. Dalam hal ini

semua struktur atau organ yang dipersarafi oleh saraf yang

terkena/terganggu akan kehilangan fungsinya baik sebagaian taupun secara

keseluruhan.

2.5 Patofisiologi

Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien

sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla,

(lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla

(membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis,

darah dapat merembes ke ekstradural subdural atau daerah subaracnoid pada kanal

spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut

saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi

terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan

yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.

Page 13: Askep SCI Dan Spinal Shock

13

Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti

baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal

terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat

pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana

konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam

setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa

aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah

menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino

eksitasi.

Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada

spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran

untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-

methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium

dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium

efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan

neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron

disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-

carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates,

serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium,

dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera

neurologis sekunder.

Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-

endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa,

mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI.

Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan

fungsi yang lebih baik.

Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi

membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya

asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh

siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan

aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid.

Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI

eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat

abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera

sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model

eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level

kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan,

kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap

peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi.

(Rowland, 2008)

Page 14: Askep SCI Dan Spinal Shock

14

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang

menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa pada lokasi cidera dan di bawahnya.

Seberapa berat gejala yang ditimbulkan tergantung pada apakah seluruh corda

spinalis cidera berat, (complete) atau hanya terluka sebagian (incomplete). Berikut

adalah gejala yang timbul sesuai dengan lokasi cidera: (Bhimji, 2014)

1. Cervical (Neck) Injuries

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada daerah leher, gejala

dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah tubuh. Gejala-

gejala dapat terjadi pada satu atau kedua sisi tubuh. Gejala juga dapat

mencakup kesulitan bernapas dari kelumpuhan otot-otot pernapasan,

jika cedera yang terjadi setinggi/diatas leher.

2. Thoracic (Chest Level) Injuries

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level dada, gejala dapat

mempengaruhi kaki. Cedera yang terjadi pada cervical atau high

thoracic spinal cord juga dapat mengakibatkan masalah tekanan

darah, berkeringat abnormal, dan kesulitan mempertahankan suhu

tubuh normal.

3. Lumbar Sacral (Lower Back) Injuries

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level punggung bawah,

gejala dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta otot-otot yang

mengontrol usus dan kandung kemih.

Cedera pada lumbar vertebra pertama dan di bawahnya tidak

menyebabkan cedera tulang belakang (SCI). Namun, mereka dapat menyebabkan

"sindrom cauda equina" yang trejadi cedera pada akar saraf di daerah ini. Jenis

cedera tulang belakang yang seperti ini merupakan keadaan darurat medis dan

membutuhkan operasi segera. Tanda dan gejala umum: (Bhimji, 2014)

1. Peningkatan tonus otot ( spastisitas )

2. Kehilangan kontrol bowel dan bladder (konstipasi, inkontinensia, dan

bladder spasms)

3. Kekebasan (numbness)

4. perubahan sensori

5. nyeri

6. Kelemahan dan kelumpuhan (paralysis)

Page 15: Askep SCI Dan Spinal Shock

15

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Haemoglobin and haematocrit levels untuk memonitor kadar kehilangan

darah

2. Renal function and electrolytes: dehidrasi.

3. urinalisis untuk mendeteksi terkait cedera genitourinary

4. X-ray :

Pencitraan diagnostik dimulai dengan sinar - X dari wilayah yang terkena

dampak dari tulang belakang. Di beberapa tempat, CT scan telah

menggantikan plain X-ray dan menampilkann lokasi fraktur yang

terlewat saat x-ray. Serangkaian pemeriksaan trauma X - ray biasanya

pertama kali dilakukan (cervical spine, chest and pelvis). 3 standart views

untuk pemeriksaan cervical spine yang direkomendasikan adalah

anteroposterior, lateral and odontoid.

5. MRI

Fraktur C6 dengan burst component. A) pemeriksaan radiografi (x-ray)

lateral view dari cervical spine. B) pemeriksaan CT scan axial. C)

pemeriksaan MRI (T2-weighted sagittal) menunjukkan fraktur yang

meluas di tiga kolumna vertebralis menyebabkan cidera yang ekstensif

pada corda spinalis (bright signal dalam cord). Perubahan sinyal

terang(bright signal) di sepanjang C anterior dari badan vertebra

(panah) menunjukkan kerusakan ligament. Elemen posterior dari C4

terlihat fraktur (panah). CT scan yang paling baik dan berguna dalam

menggambarkan cedera tulang, sedangkan MRI membantu untuk

mengidentifikasi tingkat kerusakan corda dan ligament (Thumbikat et al,

2009)

6. CT myelography

Jika lateral cervical radiograph dan CT scan negative, MRI merupakan

pilihan investigasi untuk menyingkirkan ketidakstabilan. Pasien dengan

focal neurological signs, yang dibuktikan dengan cord atau disc injury,

and pasien yang membutuhkan pemeriksaan pre-operative Sebelum

dikakukan operasi. Whole spine MRI diindikasikan untuk multilevel

atau ligamentous injuries, dan cauda equine injuries. MRI merupakan

pilihan terbaik untuk pemeriksaan suspected spinal cord lesions, cord

compressions, vertebral fractures pada multiple levelsdan ligamentous

Page 16: Askep SCI Dan Spinal Shock

16

injuries atau soft tissue injuries lain maupun pathology. MRI digunakan

untuk mengevaluasi soft tissue lesions, seperti extradural spinal

haematoma, abscess atau tumour, spinal cord haemorrhage, contusion

and/or oedema. Neurological kerusakan biasanya disebabkan karena

secondary injury, resulting in oedema and/or haemorrhage. MRI adalah

gambar diagnostik terbaik untuk menggambarkan perubahan ini. (Tidy,

2014)

2.8 Penatalaksanaan

Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting

yaitu, Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability) dan Kerusakan

jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and

potential neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Yang dimaksud dengan instabilitas

kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya hubungan normal antara

strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari

fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.

Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa

nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan

saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena

fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan

lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang

pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara

bersamaan.

Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu:

immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,

dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi. (Hanafiah, 2007)

1. Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat

kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah

immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan

menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).

Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas

yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ‖4 men lift‖ atau

menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’

2. Stabilisasi Medis

Terutama pada penderita tetraparesis/etraplegia.

a. Periksa vital signs

b. Pasang ’nasogastric tube’

c. Pasang kateter urin

d. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang

normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor

Page 17: Askep SCI Dan Spinal Shock

17

produksi urin, bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan

periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl

Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh

kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.

3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖Spinal Alignment‖)

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield

tong atau Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi

dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah

setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.

4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila

’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open

reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.

5. Rehabilitasi.

Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk

dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot

pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program

kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai berikut:

1. Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempat kejadian.

2. Proteksi terhadap ’cervical spine’ merupakan hal yang sangat penting

3. Mobilisasi penderita ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara yang

benar.

4. Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku yang

telah dianut.

5. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari cacat

neurologik yang berat. (Hanafiah, 2007)

Page 18: Askep SCI Dan Spinal Shock

18

Gambar 2.7 Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library of

Medicine, National Institute of Health.

i. lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord injury, yaitu

a. terdapat luka tusuk dan tembak

b. terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau punggung

(misal karena kecelakaan)

c. kecelakaan saat menyelam

d. sengatan listrik

e. putaran yang ekstrim pada tulang belakang

f. cedera olahraga (mendarat di kepala)

Page 19: Askep SCI Dan Spinal Shock

19

g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada (kecelakaan

mobil, jatuh dari ketinggian)

ii. jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan

a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions: memakai

helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko.

b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat mengemudi,

penyalagunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, bahaya industry,

berenang dikolam dangkal atau sedikit air tanpa diketahui, berada

ditempat tak berpagar.

iii. jika iya: kaji adanya

a. posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal)

b. mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan atau kaki

c. kelemahan

d. kesulitan berjalan

e. paralisis lengan atau kaki

f. tidak ada control baldder dan bowel

g. syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan, bertindak

kebingungan, atau setengah sadar

h. tidak sadar

i. kaku leher, sakit kepala, sakit leher

iv. Diagnose ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat perencanaan

tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan untuk rehabilitasi;

diskusikan mengenai prosedur diagnostic, pemeriksaan radiologis.

Pantau adanya tanda gejala dari komplikasi: autonomic disreflexia,

neurogenic syok. Diskusikan menganai medikasi: steroid, atropine,

vasopressor. Pastikan untuk membuat strategi untuk mencegah terjadinya

komplikasi akibat immobilisasi

v. Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya, buat rencana

perawatan mengenai potensial komplikasi: nurogenik syok. Autonomic

disreflexia, spinal syok; rencana perawatan untuk hipoventilasi,

pneumonia, sepsis, fraktur, neurogenic bladder, konstipasi, ileus pain,

disuse syndrome.

2.9 Komplikasi

1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim (autonomic hyperreflexia)

2. Chronic kidney disease

3. Komplikasi dari immobilisasi:

Deep vein thrombosis

Lung infections

Skin breakdown

Muscle contractures

Page 20: Askep SCI Dan Spinal Shock

20

4. Increased risk of injury to numb areas of the body

5. Peningkatan risiko urinary tract infections

6. Kehilangan control bladder

7. Kehilangan control bowel

8. Loss of feeling

9. Kehilangan fungsi seksual (male impotence)

10. Muscle spasticity

11. Nyeri

12. Paralysis dari otot pernafasan

13. Paralysis (paraplegia, quadriplegia)

14. Pressure sores

15. Shock (Bhimji, 2014)

2.10 Prognosis

1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat

terbatas

2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery yang

sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari 72

jam.

3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes

4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations sangat

bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis.

5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya kerusakan

saraf tulang belakang pada saat onset.

6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh pencegahan

dan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia, dan infeksi

saluran kemih.

7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali beberapa

fungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun mungkin

ada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun akan dating.

(Tidy, 2014)

Page 21: Askep SCI Dan Spinal Shock

21

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus Trauma Medula Spinalis

Tn. G, usia 28 tahun dibawa oleh polisi ke IRD RSUD Dr. Soetomo

setelah mengalami kecelakaan kerja, Tn. G jatuh dari ketinggian 10 m. Selama

perjalanan menuju rumah sakit Tn. G mengeluh tidak bisa menggerakkan

tangan serta tungkainya, Tn. G terlihat sulit bernapas, napas pendek . RR 29

x/menit, TD 90/60mmHg, Nadi 60x/ menit, GCS: 2-4-1, skala nyeri 9. Dari

hasil pemeriksaan nadi lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun,

urine keluar menetes, kandung kemih terisi penuh, . Dari hasil CT Scan terjadi

dislokasi C 4.

3.2 Primary Survey

1. Airway

Assessment :

1. Perhatikan patensi airway :Paten

2. Dengar suara napas: vesikuler

Management :

1. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, bila diduga terjadi

fraktur servikal maka lakukan jaw thrust, hilangkan benda yang

menghalangi jalan napas

2. Immobilisasi stabilkan leher dalam posisi normal kalau ada pasang

collar-neck untuk mencegah parahnya fraktur servikal

3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖Spinal Alignment‖)

1. Breathing

Assesment

1. Periksa frekwensi napas : 29x/menit.

2. Perhatikan gerakan respirasi:asimetris dan dada tidak terlalu

mengembang

3. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas: bunyi nafas vesikuler

Management:

Lakukan bantuan ventilasi atau pasang ventilator

2. Circulation

Assesment

1. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi: 60x/menit.

2. Periksa tekanan darah: 90/60 mmHg.

3. Pemeriksaan pulse oxymetri

4. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

5. Periksa keluaran urine

Management

1. Resusitasi cairan dengan memasang iv lines

Page 22: Askep SCI Dan Spinal Shock

22

2. Pasang kateter untuk mengetahui haluaran urine dan untuk

mencegah refluks urine karena kelumpuhan otot

3. Disability

Assessment

Respon : Alert

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : 241

Pupil : Isokor

Refleks Cahaya : Ada

Keluhan Lain : Nyeri

Management : Lakukan monitoring kesadaran dan kerusakan

syaraf pusat

4. Exposure

Assessment

Deformitas : Tidak

Contisio : Tidak

Abrasi : Tidak

Laserasi : Tidak

Edema : Tidak

Jejas : Terdapat jejas pada leher

Keluhan Lain : Nyeri

Management : Lakukan management nyeri

3.3 Pengkajian

1. Umur pasien: 28 tahun

2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu: tidak ada

3. Pengobatan terakhir: tidak ada

4. Pengalaman pembedahan: tidak ada

5. Riwayat penyakit dahulu: tidak ada

6. Riwayat penyakit sekarang: Tn. G dibawa ke rumah sakit setelah mengalami

kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian 10 m, selama perjalanan px

mengeluh nyeri dan tidak bisa menggerakkan tungkai dan tangannya.

7. Keluhan: Nyeri (+), susah bernafas (+)

3.4 Pemeriksaan Fisik

B 1(Sistem pernapasan)RR : 29 x/menit, napas pendek, kesulitan bernapas, dan

terdapat kelemahan otot pernafasan

B 2 (sistem kardiovaskuler): Brakikardi ( N: 60x/menit), TD 90/60 mmHg

B 3 (sistem peersyarafan): GCS 2-4-1

B 4 (sistem perkemihan): palpasi kandung kemih penuh, urine keluar menetes

B 5 (sistem pencernaan):-

Page 23: Askep SCI Dan Spinal Shock

23

B 6 (sistem muskuloskeletal): terdapat jejas dibagian leher, dan kelumpuhan

pada seluruh badan

3.5 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah keperawatan

1 DS: pasien

mengatakan

kesulitan

bernapas.

DO: RR 29

x/mnt, napas

pendek, cepat

Kecelakaan kerja

Dislokasi C 4

Disfungsi C4

Gangguan pada otot

diafragma

Pola nafas tidak efektif

Pola nafas tidak efektif

2 DS: paien

mengatakan

tangan dan

tungkai tidak

bisa digerakkan

DO: tungkai dan

tangan tidak bisa

digerakkan

Kecelakaan kerja

Dislokasi C4

Disfungsi C 4

Kerusakan fungsi motorik

Hambatan mobilitas fisik

Hambatan mobilitas fisik

3 DS: pasien

mengeluh nyeri

pada belakang

leher

Kecelakaan kerja

Dislokasi C 4

Nyeri akut

Page 24: Askep SCI Dan Spinal Shock

24

DO: pasien

terlihat kesakitan

, skala nyeri 8

Kompresi saraf

Respon nyeri

Nyeri akut

4 DS: Px

mengatakan

urine keluar

menetes

DO: nyeri tekan

pada abdomen

bawah dan

keinginan

kencing saat

palpasi.

Kecelakaan kerja

Kelumpuhan saraf

perkemihan

Kandung kemih terasa

penuh

Otot detrusor tidak

bereaksi

Perubahan pola eliminasi

urin

Perubahan pola eliminasi

urin

3.6 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot

diafragma

2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi

motorik

3. Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf

4. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan

saraf perkemihan

Page 25: Askep SCI Dan Spinal Shock

25

3.7 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada

kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta

komplit/sebagian.

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam pasien akan menunjukkan pola nafas efektif yang

ditandai dengan :

RR dalam rentang normal

Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan dengan tidak

adanya gangguan pernapasan dan hasil dari BGA dalam batas yang dapat

normal. Menunjukkan perilaku yang sesuai untuk mendukung

upaya pernafasan

Intervensi Keperawatan Rasional

Kelola oksigen dengan metode

yang sesuai, misal ventilator,

masker, nasal kanul, intubasi.

Metode ditentukan oleh tingkat cedera, tingkat

insufisiensi respirasi, dan jumlah pemulihan fungsi

otot pernapasan setelah fase syok spinal.

Berikan oksigen masker 3lpm Menyediakan supply oksigen yang adekuat,

meminimalkan resiko kelelahan, dan mencegah

terjadinya ARDS.

Memelihara kepatenan jalan nafas:

menjaga kepala dalam posisi yang

tepat yaitu mempertahankan posisi

normal vertebra (‖Spinal

Alignment‖).

Pasien dengan cedera leher rahim tinggi

dan gangguan muntah / batuk refleks akanmemerlu

kan bantuan dalam

mencegah aspirasi / mempertahankan jalan

napas paten

Memeriksa serangan tiba-tiba dari

dispnea, sianosis dan/atau tanda

lain yang mengarah pada distress

pernafasan.

Perkembangan emboli paru dapat ―silent‖ karena

persepsi nyeri mengalami perubahan dan/atau

thrombosis vena dalam tidak mudah dikenali.

Auskultasi bunyi nafas. Catat area

dimana terjadi perubahan suara

nafas

Hiperventilasi secara umum dapat menyebabkan

akumulasi sekret, atelektasis dan pneumonia

(komplikasi yang sering terjadi)

Kaji warna kulit dari sianosi,

kehitam-hitaman

Dapat menunjukkan kegagalan pernafasan,

membutuhkan segera evaluasi pengobatan dan

intervensi.

Latih otot pernafasan pasien, Untuk mengoptimalkan fungsi pernafasan pasien,

Page 26: Askep SCI Dan Spinal Shock

26

dengan cara pengaturan dari fungsi

ventilator yang dipasang atau

metode weaninguntuk pasien yang

dipasang ventilator.

dan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan

pasien.

Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b.d kompresi saraf

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam pasien memperlihatkan penurunan rasa nyeri

Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri, mengidentifikasi cara-cara

mengatasi nyeri, pasien bisa mendemontrasikan teknik relaksasi da

distraksi

Intervensi Keperawatan Rasional

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan

pereda nyeri nonfarmakologi dan non

invasif. Seperti pereda nyeri golongan 1

yaitu morphinatau petidhin

Pendekatan dengan menggunakan relaksasi

dan nonfarmakologi lainnya telah

menunjukkan keefektifan dalam mengurangi

nyeri

Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk

menurunkan ketegangan otot rangka, yang

dapat menurunkan intensitas nyeri dan

juga tingkatkan relaksasi masase.

Akan melancarkan peredaran darah,

sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan

terpenuhi, sehingga akan mengurangi

nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri

akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal

yang menyenangkan

Kolaborasi denmgan dokter, pemberian

analgetik.

Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga

nyeri akan berkurang.

Observasi tingkat nyeri, dan respon

motorik klien, 30 menit setelah pemberian

obat analgetik untuk mengkaji

efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam

setelah tindakan perawatan selama 1 - 2

hari.

Pengkajian yang optimal akan memberikan

perawat data yang obyektif untuk mencegah

kemungkinan komplikasi dan melakukan

intervensi yang tepat.

Page 27: Askep SCI Dan Spinal Shock

27

Diagnosa Keperawatan : perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan

kelumpuhan otot perkemihan

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai keadaan normal

Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin dengan

atau tanpa pemasangan urine

Intervensi Keperawatan Rasional

Kaji pola berkemih, dan catat setiap 6 jam

sekali

Untuk mengetahui fungsi ginjal

Palpasi adanya distensi kandung kemih,

dan observasi pengeluaran urine

Menilai perubahan akibat dari inkontinensia

urine

Anjurkan klien minum 2000 cc/hari Membantu mempertahankan fungsi ginjal

Pasang well kateter Membantu proses pengeluaran urine

Lakukan bladder training Membantu meningkatkan kemampuan pola

eliminasi urin.

Diagnosa Keperawatan : Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan fungsi motorik

Tujuan : Gangguan mobilitas dapat diminimalkan.

Kriteria hasil : Mempertahankan posisi fungsi yang dibuktikan dengan tidak adanya

kontraktur, footdrop. Meningkatkan kekuatan tidak

terpengaruh/kompensasi bagian tubuh. Menunjukkan teknik/perilaku yang

memungkinkan dimulainya kembali kegiatan.

Intervensi Keperawatan Rasional

Kaji fungsi motorik secara berkala Evaluasi status situasi individu (gangguan

sensorik-motorik) untuk tingkatan spesifik

cedera dan memilih intervensi.

Menjaga pergelangan kaki 90o dengan

papan kaki. Gunakan trochanter rolls

sepanjang paha saat di ranjang.

Mencegah footdrop dan rotasi eksternal

pangkal paha.

Ukur dan pantau tekanan darah pada fase

akut atau hingga stabil. Ubah posisi secara

perlahan.

Hipotensi orthostatic dapat terjadi sebagai

hasil dari penyatuan vena (sekunder untuk

kehilangan tonus pembuluh darah).

Inspeksi kulit setiap hari. Kaji terhadap

area yang tertekan, dan memberikan

perawatan kulit secara teliti.

Perubahan sirkulasi, kehilangan sensai, dan

paralisis memungkinkan pembentukan

tekanan sakit. Ini merupakan pertimbangan

seumur hidup

Membantu/mendorong pulmonary hygiene

seperti nafas dalam, batuk, suction

Imobilisasi/bedrest meningkatkan resiko

Page 28: Askep SCI Dan Spinal Shock

28

infeksi pulmonal.

Kaji dari kemerahan,bengkak/ketegangan

otot jaringan betis.

Dalam presentasi tinggi pasien dengan

cedera medulla spinal, thrombus

berkembang karena sirkulasi perifer

berubah, imobilisasi, dan paralisis lemah

Page 29: Askep SCI Dan Spinal Shock

29

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis

dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma

medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering

kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung

pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan kelemahan dan

hilangnya rasa (lumpuh) pada lokasi cidera dan pada area bawahnya. Klasifikasi

dari trauma medula spinalis dibedakan menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan

sensasi dan fungsi motorik total) dan tidak komplet (kehilangan dari salah satu

fungsi sensori dan fungsi motorik).

4.2 Saran

Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis maka

penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah cedera medula

spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk

kedepannya apabila terdapat korban kecelakaan di jalan maka kita sebagai tenaga

kesehatan harus tahu cara yang benar dalam penanganan gawat darurat sebagai

pencegahan terhadap trauma medula spinalis.

Page 30: Askep SCI Dan Spinal Shock

30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syok merupakan sindroma gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara

menyeluruh sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Syok

bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok

dapat terjadi setiap waktu pada siapapun dan bukanlah merupakan suatu

diagnosis. Syok digolongkan menjadi 4 bagian yaitu syok kardiogenik, syok

obstruktif, syok oligemik, dan syok distributif. Spinal syok (syok pada medula

spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal

berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh

darah perifer (Moor, 2013).

Penyebab terjadinya spinal syok adalah cedera pada medulla spinalis.

Cedera medulla spinalis dapat terjadi akibat kecelakaan mobil, cedera karena

terjatuh dan cedera olah raga (olah raga kontak fisik dan menyelam merupakan

penyebab utama quadriplegia). Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord

injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport,

kecelakaan kerja. Saat kecelakaan 3% penyebab kematian karena trauma langsung

medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki- laki 5

kali lebih besar dari perempuan (Japardi, 2012).

Banyaknya angka kejadian cedera medulla spinalis akan berpengaruh pada

peningkatan kejadian syok spinal. Terjadinya syok spinal terdiri dari 4 tahap.

Beberapa manifestasi akan muncul pada pasien syok spinal antara lain paralisis

flaksid di bawah tingkat cedera, hipotensi dan bradikardi, tak adanya aktivitas

refleks di bawah tingkat cedera, ini dapat menyebabkan retensi urine, paralisis

usus dan ileus serta kehilangan kontrol suhu/hipertermi.

Penanganan syok spinal merupakan hal penting untuk menyelamatkan

pasien. Oleh karena itu, perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu

menguasai dan memmahami pengetahuan tentang asuhan keperawatan dan

tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengansyok spinal. Sehingga pada

tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori dengan baik dan

terampil.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi syok spinal?

2. Apakah etiologi syok spinal?

3. Bagaimana patofisiologi syok spinal?

4. Bagaimana web of caution (WOC) syok spinal?

5. Apakah manifestasi klinis dari syok spinal?

6. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik pada syok spinal?

7. Bagaimanakah penatalaksanaan pada syok spinal?

Page 31: Askep SCI Dan Spinal Shock

31

8. Apakah komplikasi dari syok spinal?

9. Apakah prognosis dari syok spinal?

10. Bagaimanakah asuhan keperawatan klien dengan syok spinal?

1.3 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan asuhan keperawatan klien

dengan syok spinal.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi syok spinal.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi syok spinal.

3. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi syok spinal.

4. Mahasiswa dapat menjelaskan web of caution (WOC) syok spinal

5. Mahasiswa dapat menyebutkan manifestasi klinis syok spinal.

6. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan diagnostik pada syok

spinal.

7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan klien dengan syok

spinal.

8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dari syok spinal.

9. Mahasiswa dapat menjelaskan prognosis klien syok spinal.

10. Mahasiswa menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien

dengan syok spinal.

Page 32: Askep SCI Dan Spinal Shock

32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok Spinal

Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi

karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti

ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer (Moor, 2013). Spinal syok

/ syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan disorganisasi fungsi medula

spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini

timbul segera setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam hingga

beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah

akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan

arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada

pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus

vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat

simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara

berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau

integritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok

neurogenik/syok spinal (Tambayong, 2000).

2.2 Etiologi

Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.

Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran

simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI .

Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi

berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera

tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif (Linda D.

Urden, 2008).

Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik

atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal

atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke

medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat

penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab

lainnya.

2.3 Manifestasi klinis

Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam

tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan

darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi

tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).

Page 33: Askep SCI Dan Spinal Shock

33

2.4 Patofisiologi

Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok

spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya

cederapada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang

mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu

tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya

disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika

syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan

spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).

Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada

pembuluh darah dan kapiler organ splanknik.tonus vasomotor di medulla dan

saraf simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer

secara berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medulla atau integritas

medulla spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik

(Tambayong, 2000).

2.5 Komplikasi

1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5 akibat

kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.

2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi disertai

bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit wajah.

3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini dapat

mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran kemih,

kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi pada otot.

4. Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan pendapatan,

serta biaya medis yang besar sebagai respon dari psikososial (Corwin,

2009).

2.7 Pemeriksaan diagnostic

1. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur ,

dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi

2. Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevalkuasi gangguan

structural

3. MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan

kompresi

4. Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika terda[at oklusi

pada subaraknoid medulla spinalis

5. Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru

Page 34: Askep SCI Dan Spinal Shock

34

6. Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi maksimal dan

ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma servikal bagian bawah

7. GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

2.6 Penatalaksanaan

1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla

spinalis atau kerusakan tambahan

2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla

spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka

panjang.

3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk

mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta

mengurangi luas kerusakan permanen.

4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk

mempercepat dan mendukung proses pemulihan.

5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.

6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti

komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan

melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).

Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B, (2008) penatalaksanaan syok

spinal yaitu :

1. Lakukan konpresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara

teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling

2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,

laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara

teratur tanta terjai inkontinensia.

Page 35: Askep SCI Dan Spinal Shock

35

ALGORITMA NEUROGENIC SHOCK

Gambar 2.8 Algoritma Neurogenic Shock menurut U.S. National Library of

Medicine, National Institute of Health.

Page 36: Askep SCI Dan Spinal Shock

36

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Contoh Kasus

Bapak A, laki-laki usia 45 tahun bekerja sebagai supir masuk ke RS X karena

mengalami kecelakaan mobil dengan keluhan utama kelemahan ekstremitas

bagian bawah sejak 3 hari yang lalu. Bapak A merasa sesak napas dan terjadi

kelemahan anggota gerak bagian bawah yang semakin memberat . tidak ada

keluhan pada makan dan minumnya, pasien menggunakan colar neck. Lima hari

sebelum masuk RS X pasien mengalami kecelakaan mobil. mobil bapak A

menabrak mobil didepannya dan Bapak A tidak mengenakan sabuk pengaman.

Kepala pasien terbentur stir mobil dan jok mobil. saat itu pasien pingsan selama

sekitar 20 menit, perdarahan THT (-), muntah (-), dan pasien masih mengingat

kejadian sebelum kecelakaan. Pasien mengalami kelemahan pada anggota gerak

bagian bawah ,tekanan darah yang rendah, nadi cepat,pasien tampak gelisah,

nyeri hebat di area leher bagian belakang dengan skala nyeri 7,sesak nafas,

pasien pertama mencoba berobat ke pengobatan alternatif, disana pasien didoai

dan ditarik kepalanya. Pasien mengompol saat buang air kecil sehingga

terpasang kateter, pasien juga kesulitan buang air besar. Nyeri terasa ketika

pasien melakukan aktivitas.

3.2 Pengkajian Keperawatan

Primary Survey

1. Airway : Adanya sumbatan jalan nafas/obstruksi/adanya penumpukan

sekret akibat kelemahan reflek batuk.

2. Breathing : sesak nafas (RR : 30x/menit) , nadi cepat (120x/menit)

3. Circulation : Tekanan darah rendah (90/60 mmHg) , CRT>2detik ,

4. Disability : compos mentis , GCS 456 ,

5. Exposure : Suhu 38 C , ada jejas pada pada cervical karena telah terjadi

benturan.

Page 37: Askep SCI Dan Spinal Shock

37

Secondary Survey

Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah,

sebagai berikut: tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena

KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada riwayat penyakit

degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme

terjadinya trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien,

lakukan pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit

neurologis pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat

kejadian, lakukan tes refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien,

fokuskan pada deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka

atau abrasi dangkal pada dahi, lakukan pemeriksaan neurologi penuh.

Data fokus, didapatkan dengan melakukan pengkajian 11 pola Gordon:

1. Aktifitas dan istirahat: kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok

spinal

2. Sirkulasi: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,

hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat.

3. Eliminasi: inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi

perut, peristaltik usus hilang.

4. Integritas ego: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,

gelisah dan menarik diri.

5. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang

6. Pola kebersihan diri: sangat ketergantungan dalam melakukan ADL

7. Neurosensori: kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis

flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,

perubahan reaksi pupil, ptosis.

8. Nyeri/kenyamanan: nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah

trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.

9. Pernapasan: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis

10. Keamanan: suhu yang naik turun

Page 38: Askep SCI Dan Spinal Shock

38

11. Seksualitas: priapismus (pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita)

(Doengoes, 1999)

Pemeriksaan Diagnostik

Hasil Laboratorium

Pemeriksaan Angka normal Hasil Lab Keterangan

Hemoglobin 13,0 – 18,0 gr/dl 13,2 g/dl

Hematokrit 40 - 50% 36%

Leukosit 4.000 -

11.000/mm3

16.500/uL

Trombosit 150.000 –

400.000/mm3

244.000/uL

LED 0 – 10 mm/jam 25 mm

Ureum 10 – 50 mg/dl 23 mg/dl

Kreatinin darah 0,9 – 1,3 mg/dl -

GDS 70 - 115 mg/dl 126 mg/dl

Na 136 – 145 mmol/l 105 meq/l

K 3,5 -5,0 mmol/l 4,2 meq/l

Cl 98-106 mmol/l 73 meq/l

Foto X servikal : dislokasi C1-C2

MRI : Fraktur C1 dengan dislokasi ke posterior, stenosis berat medulla spinalsi

setinggi C1 –C2

BGA : menunjukkan ketidakefektifan pola nafas karena hasil dari analisa gas

darah menunjukan alkalosis respiratorik.

pH 7,607

pCO2 21,5 mmHg

pO2 76,7 mmHg

Page 39: Askep SCI Dan Spinal Shock

39

SO2 79 %

BE 0,0 mmol/L

Terapi :

O2 rebreathing mask 6lpm

IVFD NaCl 0,9 % per 12 jam

Imobilisasi leher dengan colar neck

Metilprednisolon tab 4x8 mg

Ranitidin 2x1 amp injeksi

NaCl tab 3x500mg

Periksa AGD ulang 6 jam kemudian

Diagnosis kerja : Tetraparesis

Diagnosisi klinis : tetraparesis, inkontinensia urin dan retensi alvi, hiponatremi,

hipoklorida, alkalosis respiratorik, leukositosis

Diagnosa patologis : fraktur, dislokasi

3.3 Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Identitas

Nama : Tn A

Umur : 45 tahun

Alamat : Surabaya

Pekerjaan : Sopir mobil

Keadaan umum : compos mentis dan terpasang collar neck

Page 40: Askep SCI Dan Spinal Shock

40

Keluhan utama : mengeluh kelemaha ekstrimitas sejak 3 hari yang lalu

semakin memberat

Riwayat penyakit sekarang : Tn A mengalami kelemahan anggota gerak, nyeri

di area cidera, sesak napas dan muntah

Riwayat penyakit dulu : klien mengalami kecelakaan lalu lintas 5 hari yang

lalu

Riwayat Alergi : -

Riwayat penyakit keluarga :-

Keadaan umum TD : 100/60 mmHg

N : 80 x/menit

RR : 29x/menit

T: 38,5 C

Review of System

B1 : napas pendek, sesak

B2 : berdebardebar, hipotensi, suhu naik turun

B3 : Nyeri area cidera

B4 : inkontinensia urin

B5 : konstipasi, distensi abdomen, peristaltik usus menurun

B6 : Quadriplegi

3.4 Analisis Data

No Data Etiologi Masalah

keperawatan

1. DS : Pasien mengeluh

sesak napas

DO : Pasien terlihat

menggunakan alat bantu

Blok saraf parasimpatis

C1 – C2

Kelumpuhan otot

pernapasan

Pola napas tidak

efektif

Page 41: Askep SCI Dan Spinal Shock

41

pernapasan, pucat dan

pernapasan cuping

hidung

RR 29 x/mnt, napas

pendek, cepat

Ekspansi paru menurun

Pola napas tidak efektif

2. DS : Pasien mengeluh

sesak

DO : Pernapasan cuping

hidung

Hasil BGA menunjukkan

ketidakefektifan

pertukaran gas dan upaya

ventilasi

PH: 7,607 (Basa/tdk

normal)

Karbondioksida menurun

Blok saraf parasimpatis

C1 – C2

Kelumpuhan otot

pernapasan

Ekspansi paru menurun

Jumlah oksigen darah

dan jaringan menurun

Gangguan pertukaran

gas

Gangguan

Pertukaran Gas

3. DO : Nadi teraba lemah

(bradikardi)

TD 100x/ menit

Syok spinal

Hipotensi dan

bradikardi

Gangguan perfusi

jaringan perifer

Ketidakefektifan

perfusi jaringan

perifer

4. DS : Pasien mengeluh

nyeri hebat, tidak bisa

tidur

DO : Skala nyeri pasien

8, klien gelisah, suhu

tubuh naik turun

N : 80x/menit

S : 38,5 C

Fraktur

Memar, kerusakan

laserasi sumsum

Pelepasan mediator

kimia

Nyeri hebat

Gangguan rasa

nyaman nyeri

5. DS : pasien mengeluh

reflek BAK hilang

DO : pasien BAK secara

involunter dan terpasan

kateter

Fraktur servikal dan

lumbal

kompresi medula

spinalis

Gangguan fungsi

Perubahan pola

eliminasi urine

Page 42: Askep SCI Dan Spinal Shock

42

vesika urinaria

Inkontinensia urin

Gangguan eliminasi

6. DS : pasien mengeluh

tidak bisa BAB

DO : peristaltik usus

klien menurun, abdomen

distensi

Cidera servikal

Kompresi medula

spinalis

Kelumpuhan saraf usus

dan rektum

Gangguan eliminasi

alvi

Gangguan

eliminasi alvi

7. Ds : Pasien mengalami

kelemahan pada keempat

anggota geraknya.

DO : klien membutuhkan

bantuan dalam

pemenuhan ADL

Fraktur servikal dan

lumbal

Kompresi medula

spinalis

Gangguan motorik

sensorik

Kelumpuhan

Gangguan mobilitas

Gangguan

mobilitas fisik

3.5 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma),

kompresi medula spinalis

2. Gangguan pertukaran gas b.d kekurangan oksigen

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran

balik vena dan penurunan curah jantung

4. Nyeri akut b.d kompresi saraf

5. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat

kandungkemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat

kandungkemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis.

6. Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus

akibat kerusakan persarafan usus dan rektum

Page 43: Askep SCI Dan Spinal Shock

43

7. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakanfungsi

motorik dan sensori.

3.6 Rencana Tindakan Keperawatan

1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada kontrol gerak

diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta komplit/sebagian.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatn 3x24 jam, pasien

diharapkan menunjukkan status pernapasan ventilasi tidak terganggu.

Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan

dengan tidak adanya gangguan pernapasan dan BGA dalam batas

yang dapat diterima. Menunjukkan perilaku yang sesuai untuk mendukung

upaya pernafasan

Ventilasi adekuat

PaCO2 < 45

PaO2 > 80

RR 16-20 x/menit

Tidak ada tanda tanda sianosis : CRT < 2 detik

Intervensi Keperawatan Rasional

Kelola oksigen dengan

metode yang sesuai, misal

masker, nasal kanul,

intubasi.

Metode ditentukan oleh tingkat cedera,

tingkat insufisiensi respirasi, dan jumlah

pemulihan fungsi otot pernapasan setelah

fase syok spinal.

Berikan oksigen masker

3lpm

Menyediakan supply oksigen yang adekuat,

meminimalkan resiko kelelahan, dan

mencegah terjadinya ARDS.

Memelihara kepatenan jalan

nafas: menjaga kepala dalam

posisi yang tepat.

Menggunakan jalan nafas

tambahan

Pasien dengan cedera leher rahim tinggi

dan gangguan muntah / batuk refleks akanm

emerlukan bantuan dalam

mencegah aspirasi / mempertahankan jalan

napas paten

Memeriksa serangan tiba-

tiba dari dispnea, sianosis

dan/atau tanda lain yang

mengarah pada distress

pernafasan.

Perkembangan emboli paru dapat ―silent‖

karena persepsi nyeri mengalami perubahan

dan/atau thrombosis vena dalam tidak

mudah dikenali.

Auskultasi bunyi nafas. Hiperventilasi secara umum dapat

Page 44: Askep SCI Dan Spinal Shock

44

2. Gangguan pertukaran gas b.d kekurangan oksigen

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,

pasien mempunyai status pernapasan : pertukatan gas tidak terganggu

Kriteria Hasil:

a. Status neurologis dalam rentang yang diharapkan

b. Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada

c. PaO2, PaCO2c, pH arteri dan SaO2 dalam batas normal

d. Tidak ada gelisah, sianosis, dan keletihan.

Intervensi Rasional

Pantau saturasi O2 dengan oksimeter

nadi

Dengan memantau O2 perawat

mengetahui kecukupan pasien akan O2

Pantau hasil gas darah Indikasi normalnya pertukaran gas di

tubuh yaitu BGA

Pantau kadar elektrolit

Pantau status mental Status mental menunjukkan status

pertukaran gas

Observasi terhadap sianosis, terutama

mukosa mulut

sianosis adalah indikator

ketidakadekuatan pertukaran O2 di

darah dan jaringan

Identifikasi kebutuhan pasien akan

insersi jalan napas aktual/potensial

Jika pasien tidak dapat bernapas normal

Auskultai bunyi napas, tandai area

penurunan atau hilangnya ventilasi dan

adanya bunyi tambahan

Mengetahui fungsi paru dalam

Pantau status pernapasan dan

oksigenasi

Jika status pernapasan adekuat, status

pertukaran gas juga adekuat.

Catat area dimana terjadi

perubahan suara nafas

menyebabkan akumulasi sekret, atelektasis

dan pneumonia (komplikasi yang sering

terjadi)

Kaji warna kulit dari sianosi,

kehitam-hitaman

Dapat menunjukkan kegagalan pernafasan,

membutuhkan segera evaluasi pengobatan

dan intervensi.

Kaji distensi abdomen, dan

spasme otot

Dapat menghambat perjalanan diafragma,

mengurangi kapasitas ekspansi paru dan

lebih jauh dapat mengurangi fungsi respirasi

Page 45: Askep SCI Dan Spinal Shock

45

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik

vena dan penurunan curah jantung

Tujuan : mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat

Kriteria hasil :

a. Irama jantung/frekuensi dan nadi perifer normal, tidak ada sianosis,

akral hangat dan kering, haluaran urin dalam batas normal.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan sirkulasi perifer

c. Mengidentifikasi cara medis, diet, pengobatan, aktivitas, yang

meningkatkan vasodilatasi

d. Mengidentifikasi faktor yang menghambat sirkulasi

4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi

motorik dan sesorik

Tujuan: Memperbaiki mobilitas

Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya

kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yangsakit

/kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yangmemungkinkan

melakukan kembali aktifitas.

Intervensi Rasional

Pertahankan ekstrimitas dengan

posisi tergantung

Memudahkan aliran darah turun ke

perifer

Mempertahakan ekstrimitas

hangat

Menghindari hipotermi pada pasien

akibat ketidakcukupan sirkulasi perifer

Auskultasi frekuensi dan irama

jantung. Catat terjadinya bunyi

jantung ekstra

Menghindari komplikasi atau faktor

lain penyebab penurunan perfusi

jaringan

Observasi perubahan status

mental

Menghindari pasien jatuh ke kondisi

koma

Observasi warna dan suhu kulit/

membran mukosa

Observasi menentukan apakah perfusi

jaringan kembali adekuat atau tidak

Berikan cairan IV sesuai indikasi Rehidrasi untuk mencukupi kebutuhan

perifer.

Page 46: Askep SCI Dan Spinal Shock

46

Intervensi:

Intervensi Rasional

Kaji fungsi-fungsi sensori dan

motorik pasien setiap 4 jam.

Menetapkan kemampuan dan

keterbatasan pasien setiap 4 jam.

Ganti posisi pasien setiap 2 jam

dengan memperhatikan

kestabilantubuh dan

kenyamanan pasien.

Mencegah terjadinya dekubitus.

Beri papan penahan pada kaki Mencegah terjadinya foodrop

Gunakan otot orthopedhi, edar,

handsplits

Mencegah terjadinya kontraktur.

Lakukan ROM Pasif setelah 48-

72 setelah cedera 4-5 kali/hari

Meningkatkan stimulasi dan mencehag

kontraktur.

Monitor adanya nyeri dan

kelelahan pada pasien.

Menunjukan adanya aktifitas yang

berlebihan.

Kaji fungsi-fungsi sensori dan

motorik pasien setiap 4 jam.

Menetapkan kemampuan dan

keterbatasan pasien setiap 4 jam.

5. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandungkemih

atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandungkemih

sekunder terhadap cedera medulla spinalis.

Tujuan: Peningkatan eliminasi urine

Kriteria Hasil: Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder

tanparesidu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake

danoutput cairan seimbang.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Kaji tanda-tanda infeksi saluran

kemih

Efek dari tidak efektifnya bladder

adalah adanya infeksi saluran kemih.

Kaji intake dan output cairan Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan

efektifnya blodder.

Lakukan pemasangan kateter

sesuai program

Efek trauma medulla spinalis adlah

adanya gangguan refleks

berkemihsehingga perlu bantuan dalam

pengeluaran urine

Anjurkan pasien untuk minum 2-

3 liter setiap hari

Mencegah urine lebih pekat yang

berakibat timbulnya

Cek bladder pasien setiap 2 jam Mengetahui adanya residu sebagai

Page 47: Askep SCI Dan Spinal Shock

47

6. Gangguan eliminasi Alvi/ konstipasi b.d gangguan perstyarafan usus dan

rektum

Tujuan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi

alvi/konstipasi

Kriteria hasil : pasien bisa BAB secara teratur sehari 1 kali

Intervensi Rasional

Auskultasi bising usus, catat lokasi

dan karakteristiknya

Bising usus mungkin tidak ada

selama syok spinal

Observasi adanya distensi perut

Catat adanya keluhan mual dan

ingin muntah, pasang NGT

Perdarahan gastrointestinal dan

lambung mungkin terjadi akibat

trauma dan stress

Berikan diet seimbang TKTP cair Meningkatkan konsistensi feses

Kolaborasikan obat pencahar sesuai

indikasi

Merangsang kerja usus

7. Nyeri akut b.d kompresi saraf

Tujuan : penurunan rasa nyeri

Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri 2x24 jam,

mengidentifikasi cara-cara mengatasi nyeri, pasien bisa

mendemontrasikan teknik relaksasi da distraksi

akibat autonomic hyperrefleksiaf.

Lakukan pemeriksaan urinalisa,

kultur dan sensitibilitas

Mengetahui adanya infeksig.

Monitor temperatur tubuh setiap

8 jam

Temperatur yang meningkat indikasi

adanya infeksi

Intervensi Keperawatan Rasional

Jelaskan dan bantu klien dengan

tindakan pereda nyeri

nonfarmakologi dan non invasif.

Pendekatan dengan menggunakan

relaksasi dan nonfarmakologi lainnya

telah menunjukkan keefektifan dalam

mengurangi nyeri

Ajarkan Relaksasi : Tehnik-

tehnik untuk menurunkan

ketegangan otot rangka, yang

Akan melancarkan peredaran darah,

sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan

akan terpenuhi, sehingga akan

Page 48: Askep SCI Dan Spinal Shock

48

dapat menurunkan intensitas

nyeri dan juga tingkatkan

relaksasi masase.

mengurangi nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama

nyeri akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-

hal yang menyenangkan

Kolaborasi denmgan dokter,

pemberian analgetik.

Analgetik memblok lintasan nyeri,

sehingga nyeri akan berkurang.

Observasi tingkat nyeri, dan

respon motorik klien, 30 menit

setelah pemberian obat analgetik

untuk mengkaji efektivitasnya.

Serta setiap 1 - 2 jam setelah

tindakan perawatan selama 1 - 2

hari.

Pengkajian yang optimal akan

memberikan perawat data yang obyektif

untuk mencegah kemungkinan

komplikasi dan melakukan intervensi

yang tepat.

Page 49: Askep SCI Dan Spinal Shock

49

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi

karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti

ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer . Neurogenik syok

disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Manifestasi klinis

yang ditunjukkan yaitu hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek

dibawah cedera. Suhu didalam tubung akan menggambarkan suhu yang ada

di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi

denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu

rendah.

4.2 Saran

Setelah anda mengetahui dampak dari syok spinal maka penting bagi kita

untuk mengetahui cara menangani atau mencegah syok spinal agar tidak

terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk kedepannya apabila

terdapat korban dengan syok spinal, kita dapat melakukan penanganan gawat

darurat sebagai pencegahan syok spinal.

Page 50: Askep SCI Dan Spinal Shock

50

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Bernhard et all, 2005. Spinal cord injury (SCI)—Prehospital management. Journal

Elsevier Resuscitation 66 (2005) 127–139.

Bhimji, S. 2014. Spinal cord trauma. U.S. National Library of Medicine U.S.

Department of Health and Human Services National Institutes of Health.

A.D.A.M., Inc

B.K. Kwon et al. / The Spine Journal 4 (2004) 451–464. Pathophysiology and

pharmacologic treatment of acute spinal cord injury.

Brunner & Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran

Care of Patients With Head and Spinal Cord Injuries. chapter 22.

http://evolve.elsevier.com/deWit halaman 549-557

Carpenito, Lynda Jual. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik

Klinik, Ed. 9. Jakarta: EGC

Chin, L. S. 2013. Spinal Cord Injuries. American Association of Neurological

Surgeons WebMD LLC

Doengoes, E Marilyn. 1999. Rencana Keperawatan: pedoman untuk perencanaan

dan pendokumentasian perawatan pasien edisi 3. Jakarta: EGC

Domeier et al/ 2005. Prehospital clinical findings associated with spinal injury.

Prehospital Emerge Care ;1:11–5. Journal Elsevier

Hanafiah, H. 2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran

Nusantara Volume 40 � No. 2 � Juni 2007. Medan

McDonald, John W, & Cristina Sadowsky. THE LANCET • Vol 359 • February

2, 2002. Spinal-cord injury

Rowland. 2008.. Neurosurgery Focus. American Association of Neurological

Surgeons 2008;25(5):E2 WebMD LLC

Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi kedua.

Jakarta : EGC

Page 51: Askep SCI Dan Spinal Shock

51

Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical

Information System

www.patient.co.uk/doctor/spinal-cord-injury-and-compression.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Thumbikat, et al. 2009. Acute spinal cord injury. Orthopaedics II: spine and

pelvis. SURGERY 27:7 282 © Elsevier Ltd. All rights reserved.

Urden, Linda D., Mary E. Lough. 2013. Critical Care Nursing - Diagnosis and

Management. Elsevier - Health Sciences Division

White, James P, & Pradeep Thumbikat. 2012. Orthopaedics Ii: Spine And Pelvis.

Surgery 30:7 326 _ 2012 Elsevier Ltd. All Rights Reserved..