laporan jurnal epilepsi
DESCRIPTION
edukasiTRANSCRIPT
TUGAS JURNAL EBN : DUKUNGAN SOSIAL
“ HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL dengan
SINERGI KOPING KLIEN EPILEPSI DEWASA “
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 9
Pembimbing: AKHMADI, S.Kp., M.Kes., M.Kep., Sp.Kom
1. FIFI DWI ANDIKA (15291)
2. POLICARPUS BALA R K (15296)
3. FIYADIKA NAELA (15297)
4. INDAH PERMATA SARI (15298)
5. JANTI DWI APRIATI (15299)
6. TUTIK KUSDARYATI (15305)
7. MAWADAH SETYA R (15310)
8. DIAN AYU NINGTYAS (15312)
9. REKA SEPTIARA (15352)
10. KURNIA PRASETYANING (15354)
11. DIAN RIZKI RAMADHANI (15355)
12. ARIFAH (15356)
13. ULHY FANDANI (15358)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012 / 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Marpaung (2003) menyatakan bahwa epilepsi adalah suatu gangguan yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat, yang ditandai dengan adanya kejang yang
disebabkan oleh hiperaktifitas muatan listrik dari neuron otak secara spontan. Harsono
(2004) dan Mardjono (1979) menjelaskan bahwa epilepsi dikenal sebagai salah satu
penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM) dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf
setelah gangguan peredaran darah otak.
Selain sebagai masalah kesehatan yang sangat rumit, epilepsi juga merupakan suatu
penyakit yang dapat menimbulkan dampak / stigma sosial bagi penderita dan
keluarganya. Adanya pemahaman yang salah tentang penyakit epilepsi yang dipandang
sebagai penyakit kutukan merupakan suatu hal yang menyebabkab sulitnya mendeteksi
jumlah kasus ini di masyarakat karena biasanya keluarga sering menyembunyikan
keluarganya yang menderita penyakit ini.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga
maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
Wasim, dkk. (Leny, 2009) memaparkan hasil survey terhadap 220 responden
mengenai pengetahuan, sikap dan perlakuan tentang epilepsi, hasil survey tersebut
menunjukkan bahwa ada 41% menganggap epilepsi sebagai penyakit berbahaya, 20%
yang mengganggap epilepsi bukan penyakit, 12% menganggap epilepsi penyakit turunan,
3% menganggap epilepsi penyakit menular, sedangkan masyarakat yang berpersepsi
negatif terhadap penderita epilepsi ada 44%. Hasil survey tersebut bisa menjadi
penjelasan mengapa penderita epilepsi bisa menderita tekanan, baik internal maupun
eksternal (Harry, 2007).
Dan dalam hal ini kami akan membahas mengenai pentingnya sebuah dukungan
moral dari keluarga dan lingkungan sekitar kepada penderita. Hal ini merupakan bagian
yang sama pentingnya dengan pemberian obat dari dokter. Dukungan sosial dapat
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dalam mengurangi stres dan
menghindarkan timbulnya masalah lebih lanjut.
2
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang
lain, apalagi apabila orang tersebut sedang menghadapi masalah. Seperti halnya manusia
normal, pasien tentunya ingin berkompetisi di masyarakat untuk peningkatan status
sosialnya. Akan tetapi keinginan tersebut seringkali terhambat oleh penyakitnya sendiri
dan problema-problema psikososial yang dideritanya :
• Adanya rasa ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang dirasakan klien epilepsi
saat pertama kali diagnosa ditegakkan.
• Pasien yang terdiagnosa epilepsi memiliki masalah yang serius secara fisik dan sosial
yang menjadikan sumber stresor. Karena itu, banyak pasien epilepsi yang mengisolasi
diri sendiri tanpa melakukan apapun agar sembuh. Untuk itu sangat diperlukan
adanya dukungan yang diterima klien dari keluarga dan tetangga yang sebagian besar
berupa perhatian, saran, nasihat dan informasi, maka klien merasa tentram dan merasa
diperhatikan sehingga secara tidak langsung mendorong semangat klien epilepsi
untuk berusaha mencari pertolongan untuk kesembuhan penyakitnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk dukungan sosial yang diterima klien epilepsi?
2. Siapa sajakah yang memberikan dukungan sosial bagi klien epilepsi?
3. Bagaimana bentuk strategi koping yang digunakan bagi klien epilepsi?
4. Bagaimana hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping?
C. Tujuan
1. Mengetahui bentuk dukungan sosial yang diterima klien epilepsi.
2. Mengetahui siapa saja yang memberikan dukungan sosial pada klien epilepsi.
3. Mengetahui bentuk strategi koping yang digunakan klien epilepsi.
4. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping.
D. Manfaat
Dari jurnal ini dapat dipelajari tentang pentingnya dukungan sosial terhadap
penderita agar mampu menjalani hidupnya tanpa terbebani dengan penyakitnya dan
tidak merasa sendiri atau terkucilkan dari lingkungan sosialnya.
3
BAB II
ANALISIS JURNAL
Jurnal dengan judul “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Sinergi Koping Klien
Epilepsi Dewasa” didasarkan pada penelitian yang dilakukan di poli saraf RSUD Banyumas
selama bulan November-Desember 2006. Karakteristik responden mencakup jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, serta aktivitas sosialnya yang berkaitan dengan epilepsi.
Kemudian akan dijabarkan mengenai bentuk dan sumber dukungan sosial yang diterima klien
epilepsi. Koping sebagai strategi penyelesain serta keterkaitannya dengan dukungan sosial
akan menjadi dasar bagi penentuan bentuk dukungan sosial yang diberikan. Berikut analisis
jurnal tersebut :
A. Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik klien epilepsi di poli saraf RSUD banyumas bulan November-
desember 2006
Karakteristik Jumlah (n) Frekuensi (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 27 54
Perempuan 23 46
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah 3 6
SD 16 32
SLTP 17 34
SLTA 14 28
Akademi/PT 0 0
Pekerjaan
Buruh 9 18
Pelajar 5 10
Swasta 8 16
Tani 10 20
Tidak bekerja 17 34
Wiraswasta 1 2
Umur
4
10-20 16 32
21-39 21 42
31-40 7 14
41-50 6 12
>50 0 0
Sumber : data primer
Selama kurun waktu 28 november – 27 desember 2006 didapatkan 50 orang responden
yang memenuhi kritreria. Adapaun gambaran umum karakteristik responden dapat dilihat
pada tabel 1.
Berdasarkan tabel 1., dapat disimpulkan bahwa :
Mayoritas responden adalah laki-laki dengan jumlah 27 orang atau 54%.
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden terbanyak berpendidikan SLTP dengan
jumlah 17 orang atau 34%. Dari jumlah tersebut, dapat dianalisa bahwa klien epilepsy
masih banyak yang berpendidikan rendah. Anak-anak yang menderita epilepsy sering
tidak disekolahkan atau dikeluarkan dari sekolah karena mendapat serangan kejang.
Hal ini sangat disayangkan, karena mereka mungkin akan dapat sekolah, meraih gelar
kesarjanaan, bekerja, serta hidup bahagia apabila tidak terkena serangan kejang.
Berdasarkan pekerjaan, responden terbanyak adalah tidak bekerja yaitu 17 orang atau
34%. Hal ini menunjukkan bahwa klien epilepsy banyak yang tidak bekerja karena
terhambat oleh penyakit yang mereka derita. Dalam suatu penelitian, dari 14 orang
yang bekerja, 5 orang diantaranya (35,7%) mendapat perlakuan yang kurang wajar
dari teman sekerja maupun pimpinan tempat ia bekerja. Hal tersebut seharusnya tidak
perlu terjadi karena kemungkinan cedera kerja antara pekerja epilepsy dan pekerja
normal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bahkan,data presensi
menunjukkan bahwa absensi pekerja epilepsy lebih rendah dibandingkan pekerja
normal.
Berdasarkan umur, responden terbanyak adalah yang berumur 21-30 tahun yaitu 21
orang atau 42%.
Tabel 2. Karakteristik klien epilepsy berdasarkan aktivitas social di poli saraf rsud banyumas
bulan November-desember 2006
5
Karakteristik aktivitas kegiatan sosial Jumlah (n) Frekuensi (%)
Aktif 38 76
Tidak aktif 12 24
Berdasarkan data aktivitas kegiatan social, ternyata penderita epilepsy mayoritas
melakukan aktivitas social yaitu 38 orang atau 76%. Beberapa faktor membuat penderita
epilepsy tidak aktif dalam kegiatan social, baik faktor dari penderita sendiri, masyarakat,
maupun tenaga medis. Faktor internal antara lain karena malu dan takut akan penyakitnya
sehingga penderita epilepsy menarik diri dari masyarakat, tidak berobat, bosan akan
pengobatan atau berobat tidak teratur sehingga serangan kejang masih tetap berlanjut.
Mengingat hal tersebut, maka pengetahuan mengenai epilepsy kepada masyarakat perlu
ditingkatkan. Salah satunya adalah memberi penerangan bahwa penyakit epilepsy dapat
diobati dan di luar serangan epilepsinya, penderita dapat hidup normal dalam masyarakat
sehingga klien dapat belajar,bekerja,dan mengikuti kegiatan social bilamana klien
mendapat serangan yang tidak membahayakan dirinya maupun orang lain. klien juga
diberi penerangan bahwa klien dapat terbebas dari serangan kejang apabila melaikan
pengobatan yang optimal dan rutin.
B. Bentuk Dukungan Social yang Diterima Klien Epilepsi
Tabel 3. Rerata dukungan social yang diterima klien epilepsy di poli saraf RSUD
Banyumas bulan November-Desember 2006
Karakteristik Dukungan
informasi (mean)
Dukungan
emosi (mean)
Dukungan
instrumental (mean)
Jenis kelamin
Laki-laki 45,15 31,33 38,15
Perempuan 34,74 43,57 39,35
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah 36 39,3 38,33
SD 43,38 37,81 39,81
SLTP 37,88 36,65 37,24
SLTA 42 35,86 39,29
Akademi/PT 0 0 0
6
Pekerjaan
Buruh 42 35,89 37,89
Pelajar 41,2 36,2 38,4
Swasta 41,88 36,75 40,75
Tani 43,5 38,2 40,8
Tidak bekerja 37 37,82 37,65
Wiraswasta 35 25 28
Umur
10-20 38,06 38,25 38,81
21-39 41,05 36 38,48
31-40 43 39 40,57
41-50 41 34,5 37
>50 0 0 0
Aktivitas sosial
Aktif 39,84 37,68 38,68
Tidak aktif 42 34,67 38,75
Sumber : data primer
Berdasarkan tabel di atas, ternyata dukungan social yang diterima klien epilepsy terdiri
dari dukungan informasional, dukungan emosional, dan dukungan instrumental.
Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh analisis data :
Laki-laki mendapatkan dukungan informasional dalam kategori tinggi, yaitu dengan nilai
rerata sebesar mean = 45,15
Perempuan mendapatkan dukungan emosional dalam kategori sedang, yaitu dengan nilai
rerata sebesar mean = 43,53
Perempuan mendapatkan dukungan instrumental dalam kategori tinggi, yaitu dengan nilai
rerata sebesar mean = 39,35
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan dukungan social. Asumsi umum
menunjukkan bahwa wanita lebih banyak mencari dan menyediakan dukungan social
daripada pria. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa perempuan menerima dukungan
emosional dengan level lebih tinggi daripada laki-laki serta penelitian yang menunjukkan
7
bahwa perempuan cenderung menerima dukunagn instrumental lebih sering dariapada
laki-laki.
Dalam masyarakat, diharapkan perempuan dapat bersikap lebih hangat, ekspresif,
lembut, sensitive, dan suportif sedangkan laki-laki diharapkan lebih mandiri, tegar,
kompetitif, logis, dan ambisius. Beberapa penelitian tentang dukungan social
menunjukkan bahwa orang cenderung menawarkan bantuan yang konsisten dan sesuai
dengan harapan peran gender mereka. Alasan inilah yang mendukung perempuan
menerima dukungan emosi lebih besar daripada laki-laki. Laki-laki dituntut lebih mandiri
secara financial sesuai peran gendernya sebagai kepala keluarga dibandingkan perempuan
yang sebagian besar hanya berprofesi sebagai ibu rumahtangga yang tidak mempunyai
pendapatan financial, oleh karena itu laki-laki cenderung tidak membutuhkan dukungan
isntrumen dari oranglain.
Berdasarkan tingkat pendidikan, didapatkan rata-rata total dukungan social terhadap
responden bahwa tingkat pendidikan SD dan SLTA lebih tinggi dibandingkan rata-rata
total dukungan terhadap responden SLTP dan yang tidak sekolah. Responden yang
berpendidikan SLTP mempunyai rata-rata dukungan social yang rendah dibandingkan
lulusan SD. Hal ini bertentangan dengan pernyataan bahwa tingginya tingkat pendidikan
sebanding dengan besarnya dukungan social.
Jika dilihat dari dukungan emosional, ternyata semua tingkat pendidikan mendapatkan
nilai rerata dalam kategori sedang, sedangkan dukungan instrumentalnya mendapatkan
rerata dalam kategori tinggi.
Berdasarkan pekerjaan, didapatkan bahwa klien dengan pekerjaan buruh, pelajar,
swasta, dan tani mendapatkan dukungan informasi dalam kategori tinggi. Sedangkan pada
pekerja wiraswasta dan tidak bekerja mendapatkan dukungan informasi dalam kategori
sedang. Dukungan instrumental diperoleh klien epilepsi dengan pekerjaan wiraswsta
dalam kategori sedang, pada tipe pekerjaan buruh, pelajar, swasta, tani, dan yang tidak
bekerja memperoleh dukungan instrumental dalam kategori tinggi.
Perbedaan jenis pekerjaan mengandung arti bahwa kompetensi dan kemampuan yang
dibutuhkan juga berbeda. Pekerjaan swasta dan wiraswasta dituntut untuk memiliki
kemampuan komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan petani dan buruh. Kunci
penting dari dukungan social adalah komunikasi, karenanya kemampuan koordinasi yang
8
baik akan meningkatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga akan
memperluas struktur jaringan social seseorang. Semakin luas jaringan social yang
dimiliki seseorang, maka semakin banyak kemungkinan dukungan social yang diperoleh.
Berdasarkan usia, secara umum rata-rata dukungan social terbanyak yaitu pada responden
dengan rentang usia 31-40 tahun. Jika dilihat dari tipe dukungan social, ternyata
responden pada umur di atas 21tahun mendapatkan dukungan informasi dalam kategori
tinggi. Sedangkan umur 18-20 tahun dalam kategori sedang. Semua kelompok umur
mendapatkan dukungan emosional dalam kategori sedang. Dukungan instrumental
diperoleh responden dalam semua umur dalam kategori tinggi. Hurlock menyebutkan
bahwa pada umumnya peran serta dalam kegiatan social diluar rumah meningkat
menjelang usia setengah baya yaitu sekitar pertengahan usia tigapuluhan, selain hubungan
social yang terbentuk pada usia ini lebih stabil dan kuat, sehingga secara tidak langsung
akan meningkatkan jumlah dukungan yang diterima.
Berdasarkan data dari jenis kegiatan social yang diikuti responden menunjukkan
bahwa klien yang aktif dan yang tidak aktif dalam kegiatan social ternyata memperoleh
dukungan instrumental yang tinggi, memperoleh dukungan emosi dalam kategori sedang.
Pada klien yang aktif dalam kegiatan social memperoleh dukungan informasi dalam
kategori sedang, yang tidak aktif dalam kegiatan social memperoleh dukungan informasi
dalam kategori tinggi. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa klien epilepsy masih
membutuhkan kegiatan social yang meliputi arisan, pengajian, PKK, dan perkumpulan
dusun.
C. Sumber Dukungan Sosial Klien Epilepsi
Tabel 4. Sumber dukungan social klien epilepsy di poli saraf RSUD Banyumas bulan
November-Desember 2006
Sumber dukungan sosial Jumlah (n) Frekuensi (%)
Anak 1 2
Istri/suami 17 34
Keluarga 12 24
Orangtua 8 26
Orangtua dan keluarga 12 24
Lain-lain 0 0
9
Sumber : data primer
Sumber dukungan social yang paling besar adalah pasangan (suami/istri) sebesar
34%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mempunyai hubungan dekat
dengan pasangan memiliki tingkat depresi yang rendah daripada mereka yang tidak
mempunyai hubungan dekat.
Dukungan social terbesar kedua adalah keluarga, bersama orang tua dan keluarga
sama-sama sebsar 24%. Sumber dukungan social , merupakan aspek paling penting untuk
diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan
tahu kepada siapa ia akan mendapatkan dukungan social sesuai dengan situasi dan
keinginan yang spesifik, sehingga dukungan social mempunyai makna yang berarti bagi
kedua belah pihak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber dukungan social terbanyak adalah
pasanagan (suami/istri), keluarga dan orangtua karena mereka merupakan pihak yang
paling dekat dan berkepentingan dengan responden. Hal ini sesuai dengan model
dukungan social intimacy yang menekankan kualitas hubungan daripada kuantitas.
Dukunghan yang diperoleh dari orang yang memiliki hubungan dekat berpengaruh
terhadap peningkatan kesehatan.
D. Bentuk Strategi Koping yang Digunakan Klien Epilepsi
Tabel 5. Rerata strategi koping yang digunakan klien epilepsy di poli saraf rsud banyumas bulan
November-desember 2006
Karakteristik Strategi koping PFC
(mean)
Strategi koping EFC
(mean)
Jenis kelamin
Laki-laki 63,11 53,93
Perempuan 55,74 65,22
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah 66,67 60
SD 61,13 59,9
SLTP 57,71 58,41
10
SLTA 60,36 58,86
Akademi/PT 0 0
Pekerjaan
Buruh 58,89 57
Pelajar 58,4 56
Swasta 59,38 58,63
Tani 67,5 64
Tidak bekerja 56,06 59,29
Wiraswasta 52 46
Umur
10-20 57,06 58,19
21-39 59,76 58,29
31-40 62,71 63,86
41-50 63,17 59
>50 0 0
Aktivitas sosial
Aktif 59,26 59,84
Tidak aktif 61,17 56,83
Sumber : data primer
Berdasarkan karakteristik responden yang dicurigai dapat membuat variasi strategi
koping yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan.
JENIS KELAMIN
Berdasarkan data, dapat diartikan klien epilepsy laki-laki mempunyai strategi koping PFC
dalam kategori tinggi, sedangkan strategi koping PFC responden perempuan
mendapatkan rerata dalam kategori sedang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian billing
dan moos yang menunjukkan bahwa laki-laki pada umumnya menggunakan strategi
koping PFC lebih banyak dibanding perempuan, sedangkan perempuan lebih banyak
menggunakan strategi koping EFC. Namun sarafino menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan penggunaan strategi koping antara laki-laki dan perempuan bila keduanya
mempunyai tingkat pendidikan dan pekerjaan yang sama.
11
Menurut lazarus, folkman cit, radiastanti, perbedaan karakteristik kepribadian antara laki-
laki dan perempuan adalah factor yang mempengaruhi perbedaan pemilihan
kecenderungan orientasi strategi koping. Hal ini merefleksikan adanya perbedaan
sosialisasi dan laki-laki diharapkan memiliki karakteristik kepribadian yang lebih
mandiri, kompetitif, dan tidak membutuhkan perlindungan, sedanglan wanita cenderung
emosional, sensitive, dan lebih memerlukan perlindungan orang lain. Namun hal ini tidak
sepenuhnya sesuai, karena factor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau
sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat
stress dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya.
UMUR
Jika dilihat dari umur ternyata semakin tua umur semakin menggunakan koping PFC
yang lebih besar. Hal ini bisa dilihat pada hasil penelitian bahwa umur antara 18 – 20
tahun menggunakan koping PFC dalam kategori sedang, pada usia diatas 20-50 tahun
mereka menggunakan PFC dalam kategori tinggi. Sekitar awal atau pertengahan umur 30-
an kebanyakan orang mampu melakukan penyesuaian pribadi dan social, serta mampu
memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan
tenang secara emosional.
PENDIDIKAN
Berdasarkan penelitian, dapat diartikan bahwa klien epilepsy yang berpendidikan SLTP
menggunakan strategi koping PFC dalam kategori sedang. Pada tingkat SLTA, SD, dan
klien yang tidak sekolah ternyata menggunakan strategi koping PFC dengan kategori
tinggi. Klien epilepsy dilihat dari semua tingkat pendidikan menggunakan koping EFC
dalam kategori sedang. Menaghan menemukan bahwa orang-orang yang lebih tinggi
tingkat pendidikan lebih realistis dan lebih aktiv memecahkan masalah dari pada orang
berpendidikan rendah. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat diatas bahwa
pendidikan lebih tinggi justru menggunakan strategi koping PFC yang lebih rendah yaitu
pendidikan SD, lebih besar menggunakan PFC dibanding SLTP dan SLTA.
PEKERJAAN
Pada tingkat pekerjaan klien epilepsy didapatkan hasil bahwa klien yang bekerja sebagai
tani dan swasta mempunyai koping PFC dalam kategori tinggi, pada tipe pekerjaan
buruh ,pelajar, wiraswasta, dan klien yang tidak bekerja mereka menggunakan koping
12
PFC dalam kategori sedang. Pada klien dengan semua tipe pekerjaan ternyata
menggunakan koping EFC dalam kategori sedang. Menurut billing dan moos orang
dengan status pekerjaan lebih tinggi pada umumnya menggunakan strategi koping yang
berupa penyelesaian masalah dibandingkan dengan orang yang status pekerjaannya
rendah.
E. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Strategi Koping
Analisis bivariat pada penelitian tersebut menggunakan statistik parametrik dengan
bantuan sistem komputerisasi yaitu menggunakan koefisien korelasi product moment,
hasil analisis korelasi yang diperoleh antara dukungan sosial terhadap strategi koping
adalah mencapai korelasi rxy = 0,749. Hasil korelasi tersebut memiliki arti bahwa
hubungan tersebut kuat. Jika dibandingkan dengan r tabel, maka r hasil lebih besar dari r
tabel, berarti bahwa semakin tinggi skor dukungan sosial yang diterima maka akan
meningkatkan strategi koping klien epiliepsi dewasa. Jadi hipotesis penelitian diterima
yaitu ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping klien epilepsi dewasa.
Korelasi antara subvariabel dukungan sosial dengan strategi koping didapatkan bahwa
antara dukungan informasi dengan strategi koping PFC dengan nilai koefisien korelasi r =
0,559 nilai tersebut masuk dalam kategori sedang. Dukungan emosional terhadap strategi
koping PFC didapatka nilai korelasi r = 0,194 termasuk dalam kategori sangan rendah.
Dukungan instrumentasi terhadap strategi koping PFC didapatkan hubungan yang sedang,
dengan nilai koefisien korelasi r = 0,524.
Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa klien epilepsi mengharapkan dukungan
berupa informasi dan saran, teruatama dari petugas kesehatan (dokter dan perawat) yang
berkaitan dengan kondisi pasien, misal efek pengobatan dan cara menghindari agar bebas
dari kejang. Hasi tersebut sesuai dengan pendapat Niven22 bahwa dukungan sosial dapat
membantu meningkatakan strategi koping individu dengan memberikan saran strategi-
strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan dengan mengajak
orang lain berfokus pada aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.
Hubungan subvariabel dukungan sosial terhadap strategi koping EFC yaitu dukungan
informasi terhadap strategi koping EFC dengan nilai korelasi r = 0,070 , hal ini berarti
bahwa korelasinya sangat rendah. Dukungan emosional terhadap strategi koping EFC
didapatkan nilai koefisien korelasi r = 0,585 dapat diartikan bahwa korelasinya sedang.
13
Dukungan instrumentasi terhadap strategi koping EFC didapatkan nilai koefisien r =
0,513 berarti ada hubungan tingkat sedang. Semua korelasi mempunyai angka yang
positif berarti mempunyai hubungan yang positif bahwa semakin tinggi nilai dukungan
sosial semakin meningkatkan strategi koping klien epilepsi.
Dukungan sosial dapat memepengaruhi kesehatan melalui tiga cara, yaitu : pengaruh
langsung, pengaruh tak langsung, dan pengaruh hambat (buffer). Dukungan bersifat
positif bila dukungan sosial tersebut bermanfaat bagi kesehatan kita sebagai dukungan
yang layak dan sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa dukungan instrumental dan
informasi merupakan dukungan sosial yang penting untuk klien epilepsi utamanya dalam
hubungan dengan peranannya dalam strategi koping.
Dukungan emosi terhadap strategi koping PFC didapatkan hasil bahwa tidak ada
hubugan yang bermakna. Hal tersebut berlawanan dengan pendapat dari Atkinson et.al 23
bahwa salah satu upaya yang sering dilakukan orang untuk membantu beradaptasi secara
emosional adalah dengan mencari dukungan emosi dari orang lain. Dukungan sosial yang
positif akan membantu orang untuk beradaptasi dengan baik secara emosional dengan
mencegah terjadinya perasaan sedih berlarut-larut.
Hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping dapat dijelaskan dengan
teori matching hypothesis, sesuai dengan pernyataan Sarafino15bahwa dukungan sosial
tidak akan mempunyai makna bila tipe dukungan yang diperoleh tidak sesuai (match)
dengan kebutuhan dari stressor yang kita hadapi. Kemudian hal ini dikuatkan dengan
matching hypothesis yag dikemukakan oleh S.Cohen & Mckay ; S.Cohen & Wilis 2 .
Matching hypoyhesis menyatakan bahwa dukungan sosial hanya berpengaruh sebagai
penghambat stress bila terdapat kecocokan antara kebutuhan yang dihasilkan oleh
kejadian yang membuat stress dengan tipe dukungan sosial yang tersedia. Cutrona &
Russel mengidentifikasi kualitas kejadian yang penuh stress dan kemudian membuat
prediksi mengenai tipe dukungan sosial yang mungkin diperlukan orang saat menghadapi
stressor jenis tertentu. Dukungan instrumen lebih bernilai saat orang menghadapi stressor
yang dapat dikontrol yang berarti kita dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan
atau mencegah situasi bertambah buruk, seperti saat sedang sakit.
14
Penjelasan lanjut mengenai matching hypothesis dapat dipahami lebih lanjut melalui
penelitian Dakof & Taylor pad klien kanker yang didapatkan kesimpulan versi yang
sedikit berbeda dengan matching hypotesis. Mereka menemukan bahwa bermacam tipe
dukungan yang dapat dinilai sebagai sesuatu yang berharga bila dukungan yang ada dapat
dinilai sebagai sesuatu yang berharga bila diberikan oleh orang yang tepat, karena
masing-masing pemberi dukungan mempunyai kemampuan yang unik yang bermanfaat
pada dimensi tertentu. Sebagai contoh dukungan emosi akan lebih berarti bila diberikan
oleh seorang yang dekat dengan kita dan sebaliknya dukungan informasi lebih berarti bila
diberikan oleh mereka yang kompeten, dalam hal ini adalah dokter dan perawat.
F. Jurnal Pembanding
Judul : FACTORS CONTRIBUTING TO DEPRESSION IN PATIENTS WITH EPILEPSY
Penulis: Sang-Ahm Lee, Sun-Mi Lee, dan Young-Joo No Tahun terbit: 2010 Subjek berumur 18-60 tahun. Subjek tidak diikutkan jika mengalami kejang di 48
jam sebelumnya. Penelitian dilakukan di Korea Berdasarkan pada penelitian sebelumnya mekanisme patogenik dalam epilepsi
dipengaruhi neurogeni serta psikososial faktor. Depresi menjadi faktor yang berpengaruh besar dalam kualitas hidup klien epilepsi. Hal tersebut didasarkan pada stressor lingkungan yang mungkin muncul mencakup maslah kesehatan, pekerjaan, maupun proses koping individual terhadap epilepsi. Dukungan sosial tampaknya menjadi penyangga diantara beban sehari-hari dan masalah adaptasi, terbukti berguna hanya pada saat stress level tinggi. (von Weiss et al, 2002)
15
BAB IV
IMPLIKASI
Masalah sosial, psikologi, dan perilaku sering menyertai epilepsi yang dapat menjadikan
penderita menjadi nampak berbeda dan kadang menarik diri karena merasa malu dengan
lingkungan sekitarnya. Epilepsi disertai dengan perasaan takut, asing, depresi, dan tidak pasti.
Pasien harus mengatasi perasaan takut terhadap kejang secara kontinue serta konsekuensi
yang memalukan. Sebagian anak dengan epilepsi ada yang diasingkan, dipisahkan dari
sekolah, dan kelompok aktivitas. Hal seperti ini menjadi beban psikologis yang berkelanjutan
bagi sorang anak. Dan akan bertambah saat menginjak remaja dan dewasa. Dimana ia
dihadapkan pada kenyataan untuk bekerja seperti pada orang normal lainnya dan berkeluarga.
Namun, dalam hal ini jarang ada yang mampu menerima mereka dengan tangan terbuka.
Beban keluarga menjadi berat dan memunculkan masalah yang menyeluruh berupa
penolakan semu sampai terlalu melindungi. Akibatnya dari semua faktor ini, beberapa
individu epilepsi mengalami masalah psikologis dan perilaku.
Konseling merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk membantu individu dan
keluarga untuk memahami kondisi dan keterbatasan yang diakibatkan oleh epilepsi.
Kesempatan sosial dan rekreasi perlu untuk kesehatan mental yang baik. Beberapa orang
tidak mampu melakukan koping terhadap epilepsi, sedangkan yang lain mengalami masalah
psikologis yang disebabkan oleh kerusakan otak.
Dari semua pelayanan yang dilakukan oleh perawat yang merawat pasien epilepsi, yang
paling bermanfaat adalah upaya untuk mengubah sikap pasien dan keluarga terhadap
penyakit itu sendiri. Serta konseling genetik dan evaluasi perlu dilakukan secara teratur.
16
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dukungan sosial sangat diperlukan bagi pasien penderita epilepsi, terutama dukungan
dari keluarga.
Dukungan sosial terbanyak pada pasangan suami istri.
Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan dalam hal pemberian dukukungan
sosial ini, dalam strategi koping diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu PFC dan
ESC.
Dalam hal ini keluarga diharapkan mau mencari informasi mengenai epilepsi agar
tidak menimbulkan pemahaman yang salah dan dapat memberikan asuhan yang benar
bagi penderita sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
Managemen stress menjadi cara mengatasi depresi yang berdampak bagi penanganan
klien epilepsi, utamanya aspek psikologis dan emosional klien
B. SARAN
Tenaga Medis, dalam hal ini dokter dan perawat hendaknya menjadi sarana edukatif
bagi pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai epilepsi sehingga mencegah
stigma yang muncul tentang epilepsi.
Dukungan sosial dari pasangan, keluarga maupun lingkungan memberikan dampak
postif bagi klien epilepsi, sehingga pemberian asuhan sesuai kebutuhannya dapat
terlaksana.
Bagi penelitian mendatang diharapkan dapat lebih menggali secara mendalam
mengenai epilepsi di daerah terpencil dengan keterbatasan sarana kesehatan sehingga
pemahaman mengenai epilepsi dapat lebih jelas.
17
BAB VI
REFERENSI
Sujono,dkk.(2008). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Sinergi Koping Klien Epilepsi Dewasa. Dalam Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.03/n0.01/Januari/2008.
Sang-Ahm Lee,dkk.(2010). Factors Contributing to Depression in Patients with Epilepsy. Vol.51(7):1305–1308. Diakses ://ebsco.com/
18