lapkas mh kulit

16
MORBUS HANSEN Pendahuluan Morbus hansen (MH) atau kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselullar obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO (World Health Organization) pada akhir tahun 2006 didapatkan pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdftar sebanyak 116.663. sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO). Morbus hansen ini disebabkan oleh mycobacterium leprae yang merupakan suatu basil tahan asam dan alkohol. Berukuran 3 – 8Um x 0.5Um yang bersifat gram positif. Biasanya berkelompok dan tersebar satu-satu hidup dalam sel terutama bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dimedia buatan. Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang sama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Klasifikasi Internasional: A. Klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan

Upload: anis-perdana-ansyari

Post on 08-Sep-2015

248 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mh

TRANSCRIPT

MORBUS HANSENPendahuluan Morbus hansen (MH) atau kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselullar obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO (World Health Organization) pada akhir tahun 2006 didapatkan pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdftar sebanyak 116.663. sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO). Morbus hansen ini disebabkan oleh mycobacterium leprae yang merupakan suatu basil tahan asam dan alkohol. Berukuran 3 8Um x 0.5Um yang bersifat gram positif. Biasanya berkelompok dan tersebar satu-satu hidup dalam sel terutama bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dimedia buatan. Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang sama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.Klasifikasi Internasional: A. Klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun 1953.1,2,7,19

B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966) Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalantubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T).1,2,7,19,22-24

C. Klasfikasi menurut WHO Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.2,24-26 Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO (1982)* Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Bercak kusta. Jumlah 1 sampai dengan 5 Jumlah lebih dari 5

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan. Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

Pemeriksaan bakteriologi. Tidak dijumpai basil tahan asam (BTA negatif) Dijumpai basil tahan asam (BTA positif)

Diagnosis1.BakiterioskopisSecara mikroskopis dapat ditemukan batang utuh (solid) Batang terputus (fragmented)2.Bacterial Indeks (BI)Ukuran semi kuantitatif kepadatan basil kusta dari sediaan kulit yang diperiksa. Yang dihitung adalah jumlah rata-rata dari basil hidup dan mati yang diambil dari beberapa tempatKegunaan BI adalah:-Membantu menegakkan diagnosis-Membantu menetukan klasifikasi atau membantu menentukan tipe kusta-Membantu menilai berat ringannya daya infeksi pada kulit dan bukan untuk menentukan/ menilai hasil pengobatan tang efektif.3.Morphological IndeksAdalah merupakan prosentase basil kusta yang bentuk solid dibanding semua hasil yg dihitungKegunaan MI-membantu kemajuan pengobatan/menilai efektifitas obat-obatan-menentukan resistensi basil terhadap obat, serta dapat menular atau tidaknya kusta4.Tes LeprominMenentukan klasifikasi dan tipe kustaDikenal ada 2 macam lepromin yaitu:-lepromin mitsuda H-lepromin dharmendrareaksi kulit thd pembacaan lepromin yaitu:-reaksi dini (reaksi fernandes > terbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Pembacaan biasa dilakukan 48 jam setelah penyuntikan. Hasil dinyatakan (-) sampai positif 3 (+3)-reaksi lambat (reaksi mitsuda) > terbentuk nodular pada hari 21-30. reaksi ini menunjukkan -respon thd imunitas sellular. Pembacaan dilakukan pada hari ke 21

TATALAKSANA KUSTAa. Obat Utama1 :1. DDSMerupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.1. RifampisinDosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.1. Klofazimin (lamprene)Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu. Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.1. Protionamid. Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

b. Obat alternatif:11. OfloksasinBerdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.1. MinosiklinTermasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.1. KlaritromisinKelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.

c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT2 :1. Vaksinasi BCGVaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens kusta pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.1. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline sebelumnya)1. Pengobatan MDT yang fleksibelKarena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka konsumsi 1 blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun pasien harus diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait dosis, frekuensi, dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus diinformasikan untuk kontrol apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang tidak membaikd. MDT untuk Multibasilar

Gambar 1. Contoh blister pack MDT MB dewasa.

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18 bulan.1,3,4Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas : kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu.Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control). Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan bakterioskopis.

e. MDT untuk Pausibasilar

Gambar 2. Contoh blister pack MDT PB dewasa.

Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari.1,3,4 Pengonsumsian Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.

f. Pengobatan Lesi TunggalKasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg + Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).

g. Pengobatan Situasi Khusus1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau resisten rifampisin).Dilakukan pengobatan selama 24 bulan : 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan (3) claritromisin 500 mg 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia, ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.1. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDSPada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

h. RelapsRisiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.

i. Pengobatan Reaksi kusta1,41. Reaksi tipe 1 (reversal)Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.

Tabel 1. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1Minggu pemberianDosis prednisone harian yang dianjurkan

1-240 mg

3-430 mg

5-620 mg

7-815 mg

9-1010 mg

11-125 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat diberikan. 1. Reaksi tipe 2 (ENL)Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1 mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif. Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL.

J. Kecacatan1,4Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Diagnosis Banding1Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandaidengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon.Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen. Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdapat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin.Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya,eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen.

Laporan KasusSeorang pasien laki-laki, bernama Chandra usia 32 tahun, suku Batak, agama Islam, pekerjaan Honor Pemda datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSU dr.Pirngadi Medan pada tanggal 14 Januari 2015 dengan keluhan utama bintil-bintil kemerahan terasa panas dan gatal dibadan dan kedua paha (kanan dan kiri) sejak lebih kurang 2 minggu lalu. Menurut pasien, awalnya lesi muncul di telinga sejak lebih kurang 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan telinga menebal dan merah. Kemudian kulit wajah tampak kemerahan serta bersisik. Selain itu pasien mengaku tangan kanan dan kiri kurang berasa dan pernah dikenai abu rokok namun tidak terasa panas. Pada kaki kanan dan kiri juga sering terasa kebas-kebas. Dalam seminggu ini pasien mengeluhkan demam, badan terasa meriang dan terasa tidak enak. Riwayat alergi pada pasien dijumpai dimana setelah memakan seafood pasien mengeluhkan badan semakin terasa gatal. Riwayat alergi dalam keluarga disangkal. Riwayat Hipertensi dan Diabetes Melitus disangkal. Riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga tidak dijumpai. Riwayat penggunaan obat tidak jelas. Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum dan status gizi baik. Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai ruam berupa makula eritematous, makula hiperpigmentasi, xerosis, infiltrat, skuama dan urtika. Ruam-ruam tersebut terdapat di regio auricularis, regio bucalis dextra sinistra, regio femoralis dan regio abdominalis. Pada wajah didapatkan madarosis (kerontokan alis mata kiri dan kanan). Pemeriksaan sensibilitas dilakukan pada setiap nervus perifer dijumpai hipastesi. Untuk menegakan diagnosa dilakukan pemeriksaan bakterioskopik dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan didapatkan BTA ++++ solid.Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis maka diagnosa banding pasien ini adalah morbus hansen, Pitriasis Alba dan Urtikaria. Dan diagnosa sementara yang diangkat yaitu morbus hansen tipe MB.Penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penatalaksaan umum dan khusus. Penatalaksanaan yaitu. Sedangkan penatalaksaan secara khusus yang sistemik dengan pemberian MDT dan prednison 1 x 30mg/hari. Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam, dan quo ad sanactionam bonam.

Keterangan gambar :

DiskusiDiagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan dermatologis dan pemeriksaan anjuran.Dari anamnesis didapatkan pasien laki-laki, bernama chandra, usia 32, suku batak, agama islam, pekerjaan honor pemda datang ke poli klinik kulit dan kelamin RSUD Dr Pirngadi Medan pada tanggal 14 januari 2015 dengan keluhan utama bintil- bintil kemerahan terasa panas dan gatal dibadan dan paha kanan dan kiri sejak 2 minggu. Menurut pasien, awalnya lesi muncul di telinga sejak lebih kurang 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan telinga menebal dan merah. Kemudian kulit wajah tampak kemerahan serta bersisik. Selain itu pasien mengaku tangan kanan dan kiri kurang berasa dan pernah dikenai abu rokok namun tidak terasa panas. Pada kaki kanan dan kiri juga sering terasa kebas-kebas. Dimana penderita umumnya mengalami gatal dan kelainan kulit tergantung dari tipe dari morbus hansen.Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai ruam primer berupa makula eritematous, makula hiperpigmentasi, xerosis, infiltrat, skuama dan urtika. Ruam-ruam tersebut terdapat di regio auricularis, regio bucalis dextra sinistra, regio femoralis dan regio abdominalis. Dimana pada morbus hansen tipe Lepromatous (LL) dijumpai makula, infiltrat difus, papul dan nodus. Tipe Borderline Lepromatous (BL) dijumpai makula, plakat dan papul. Tipe Mid-Borderline (BB) dijumpai plakat, dome shaped (kubah), punched- out. Tipe Borderline Tuberculoid (BT) dijumpai makula dibatasi infiltrat, infiltrat saja. Tipe Tuberculoid (T) dijumpai makula saja dan dibatasi infiltrat.Untuk menegakkan diagnosis ini baiknya dilakukan pemeriksaan anjuran yaitu Pemeriksaan bakterioskopis, secara mikroskopis dapat ditemukan batang utuh (solid) Batang terputus (fragmented). Tes Lepromin menentukan klasifikasi dan tipe kusta. Yang dikenal ada 2 macam lepromin yaitu: lepromin mitsuda H dan lepromin dharmendra. Reaksi kulit thd pembacaan lepromin yaitu: -reaksi dini (reaksi fernandes > terbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Pembacaan biasa dilakukan 48 jam setelah penyuntikan. Hasil dinyatakan (-) sampai positif 3 (+3). Reaksi lambat (reaksi mitsuda) > terbentuk nodular pada hari 21-30. Reaksi ini menunjukkan -respon thd imunitas sellular. Pembacaan dilakukan pada hari ke 21.Penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penatalaksaan umum dan khusus. Penatalaksanaan yaitu. Sedangkan penatalaksaan secara khusus yang sistemik dengan pemberian MDT dan prednison 1 x 30mg/hari. Pada penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT memiliki resiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat denga mendiagnosis dini kusta, pemberian MDT yang cepat dan tepat.Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam, dan quo ad sanactionam bonam.