kontrak standard dan kekuatan tanggungjawab yuridis...

199
Volume 8, No.1, Nop 2008 i Kontrak Standard dan Kekuatan Hukumnya; Perubahan Status Hak Atas Tanah berdasarkan UUPA; Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan Perkara Pidana; Perlindungan Debitor atas Perjanjian yang telah disetujui dan Upaya Hukumnya; Keabsahan Pengadilan Pajak; Akibat Hukum Terhadap Penagihan Pajak. Volume 8, No.1 Nop 2008 ISSN 1412-2928

Upload: lycong

Post on 05-Feb-2018

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 i

Kontrak Standard dan Kekuatan

Hukumnya;

Perubahan Status Hak Atas Tanah

berdasarkan UUPA;

Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan

Perkara Pidana;

Perlindungan Debitor atas Perjanjian

yang telah disetujui dan Upaya

Hukumnya;

Keabsahan Pengadilan Pajak;

Akibat Hukum Terhadap Penagihan

Pajak.

Volume 8, No.1 Nop 2008 ISSN 1412-2928

Volume 2, No.1 Nop 2002 ISSN 1412-2928

Page 2: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 ii

JURNAL “YUSTITIA”

Pimpinan Umum/Penanggung Jawab

Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura

Pimpinan Redaksi

Muhammad, S.H.,MH.

Wakil Pimpinan Redaksi

Achmad Rifai, S.H., M.Hum.

M.Amin Rachman, S.H., MH.

Sekretaris Redaksi

Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.

Konsultan Redaksi

Drs. H. Kutwa, M.Pd.

Drs. H. Abd. Roziq, MH.

H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.

Redaksi Pelaksana

Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.

Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.

Win Yuliwardani, S.H.,M.Hum.

Adrianana Pakendek, S.H., MH.

Anni Puji Astutik, S.H., MH.

Pembantu Umum

Wasilaning Rahayu

Toyyib Muniri

Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan

E-mail: [email protected]

Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan

pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam

media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.

Page 3: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 iii

EDITORIAL

Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan

Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit

pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor dan tulisan tersebut

mempertanyakan masalah kontrak baku yang terlanjur ditandangani oleh nasabah

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, maka semua tanah mempunyai

fungsi sosial. Untuk itu, terhadap semua tanah dapat dihapuskan statusnya dari hak

milik menjadi tanah tanah negara atau tanah dengan hak lainnya. Bagaimana tentang

pemberian tegen prestatienya lebih lanjut akan dibahas dalam tulisan kedua.

Penyidik ataupun Penuntut Umum bahkan hakim mempunyai kewenangan

untuk melakukan penyitaan atas sesuatu benda yang berhubungan dengan suatu tindak

pidana. Namun tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan secara serampangan,

melainkan dibatasi. Tentang pembatasan terhadap penyitaan benda dikemukakan dalam

tulisan ke tiga.

Perjanjian kredit antara nasabah dengan perbankan tidak lain adalah suatu kontak atau perjanjian yang telah siap ditanda-tangani. Sehingga format kontrak

tersebut adalah baku atau kontrak baku. Bilamana terlanjur disetujui dan di kemudian

hari merugian salah satu pihak, maka pembahasannya ditengahkan pada tulisan yang ke

empat.

Adapun tulisan yang ke lima adalah mengenai keberadaan pengadilan pajak,

yang menurut Mahkamah Agung lembaga peradilan tersebut inkonstitusional. Sehingga

segala akibat hukum yang dilahirkan oleh lembaga peradilan itu adalah illegal. Namun

nyatanya hingga saat ini lembaga peradilan tersebut masih ada dan melakukan

aktifitasnya sebagai lembaga peradilan.

Tulisan ke enam pajak tiada lain adalah mengambil hak rakyat, oleh karena itu

maka setiap pungutan pajak harus dilaksanakan secara hati-hati. Namun terhadap wajib pajak berdasarkan ketentuan kena pajak, maka wajib pajak harus membayar pajak.

Berbeda halnya jika wajib pajak dikenakan pajak sebagaimana mestinya, maka wajib

pajak dapat mengajukan upaya hukum. Hal ini akan dibahas dalam tulisan utama.

Editor

Page 4: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 iv

DAFTAR ISI

EDITORIAL …………………………………………………… ii

1. H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.

Kontrak Standard Dalam Perjanjian Sewabeli Rumah dan Kekuatan

Hukumnya ........................................................................................................ 1

2. Sukirman, S.H.,M.Hum.

Perubahan Status Hak atas Tanah dari Hak Milik menjadi Hak lainnya

berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 ………………………. 31

3. Nur Hidayat, S.H., M.Hum.

Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan Dalam Perkara Pidana ................... 53

4. H. Firman Syah, S.H.,M.Hum.

Perlindungan Hukum Debitor dalam Perjanjian yang Disetujui dan

Upaya Hukumnya …………………………………………………………. 91

5. M.Amin Rachman, S.H.,MH.

Keabsahan Pengadilan Pajak dan Perlindungan HAM dalam

Hukum Pajak ………………………………………………………………. 121

6. Achmad Rifai, S.H., M.Hum.

Akibat Hukum Terhadap Penagihan Pajak ……………………………… 160

Page 5: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 v

KONTRAK STANDARD DALAM PERJANJIAN

SEWA BELI RUMAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

Oleh:

H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.*

ABSTRAK

Perjanjian sewa beli atau huurkoop yang merupakan ciptaan praktik

dan bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW

(Burgerlijke Wetboek) masih diakui sebagai praktik hukum. Hal ini

dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang perikatan atau van

verbintennis adalah bersifat aan vullenrecht. Sifat aan vullenrecht

dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap

orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-

undang tidak mengaturnya.

Kata Kunci: Kontrak Baku – Perjanjian Sewa Beli – Akibat

Hukumnya.

LATAR BELAKANG

Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan

Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit

pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek

jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut.

Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa

beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit.

Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang

diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian

bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum

dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang

dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa

barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru

jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelaian barang,

status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang.1

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII, Sumur

Bandung, Jakarta, 1981, h.65

Page 6: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 vi

Perjanjian sewa beli atau huurkoop2 yang merupakan ciptaan praktik dan

bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih

diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang

perikatan atau van verbintennis3 adalah bersifat aan vullenrecht.4 Sifat aan vullenrecht

dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh

mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya. Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW,

kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan

freedom of making contract.5

Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan

pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der

contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata

“perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan

membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya

undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan

“ketertiban dan kesusilaan umum”.6

Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk

Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan (verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.

Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya,

misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan

sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian

yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu,

misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab

sebagainya.

Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian,

sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak

sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan

perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum

perjanjian” dan “hukum kontrak”.

“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam

mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak

lain.”7 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan

2Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985,

h.51 3Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11

4Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84

5Ibid. 6Subekti. RI., Op.cit. h.5

7Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian

elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55

Page 7: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 vii

hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban

memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.

Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan

hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang

menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam

buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”8

Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang

berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua

orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan

antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan

atau ditulis.9

Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam

praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai

pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian,

dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah

Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru

akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada

penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas.

Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha,

umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui

bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak

menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat

yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga

menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian

ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat

perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan.

Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan

pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak

normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan

kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan,

antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat

perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula.

Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha

8Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa,

Jakarta, 1985, h.123. 9Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta,

1979, h.1.

Page 8: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 viii

memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan

yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi

pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung

jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.

RUMUSAN MASALAH

Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode

yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai

tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen

justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada

suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam

ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi

yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan

perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha,

melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar

negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan dengan rumusan kalimat, sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan perjanjian sewa beli dalam penjualan perumahan di

Perumnas?

2. Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian sewa beli

Perumnas?

PERJANJIAN SEWA BELI DALAM PENJUALAN PERUMAHAN

1. Karakteristik Perjanjian Sewa Beli

Masalah sewa beli serta jual beli secara angsuran akhir-akhir ini menjadi

masalah yang aktual. Hal ini membuktikan bahwa pesatnya perkembangan

perekonomian di negara kita khususnya pada dasa warsa delapan puluhan membawa

dampaknya bagi hukum dan peradilan. Di satu pihak pesatnya perkembangan ekonomi

mendorong laju peningkatan penggunaan barang-barang pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari. Di lain pihak ia menimbulkan masalah-masalah hukum yang harus

dipecahkan.

Hukum Perdata terutama kita, sebagaimana tercantum dalam BW sebenarnya

tidak memuat pengaturan tentang lembaga sewa beli. Lembaga itu tumbuh dan

berkembang dalam praktik, eksistensinya kemudian diakui oleh yurisprudensi. Masalah

hukum terpenting dalam lembaga sewa beli adalah masalah tentang siapa yang memikul

risiko atas barang yang di-sewa beli-kan dalam hal ada sesuatu yang menimpa barang tersebut. Karena lembaga sewa beli adalah suatu perjanjian yang timbul dalam praktik

Page 9: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 ix

sehingga tidak ada peraturan tertulisnya, sehingga pengaturan tentang pembebanan

risikonyapun tidak ada peraturan tertulisnya.

Dari segi hukum, sebenarnya terdapat perbedaan prinsipil antara sewa beli

dengan jual beli secara angsuran, walaupun kedua-duanya merupakan species dari jual

beli. Inti perbedaan itu terletak pada berpindahnya hak milik atas benda yang diperjual-

belikan. Pada jual beli secara angsuran, dari kaca mata hukum sebenarnya hak milik atas benda yang diperjual-belikan telah berpindah ke tangan pembeli, walaupun

harganya belum terbayar lunas seluruhnya. Sedangkan dalam sewa beli perpindahan hak

milik baru terjadi setelah dilunasinya pembayaran. Dalam praktik sehari-hari kedua

lembaga ini sering dicampur-adukkan. Bahkan dalam kenyataannya jual beli dengan

angsuran yang penyerahan hak miliknya terjadi pada saat penyerahan barang, sementara

harganya dibayar dengan angsuran, tidak banyak ditemukan dalam praktik. Mengingat

bentuk formal dari perjanjian tersebut dikemas menjadi berbentuk perjanjian sewa beli,

namun dalam pelaksanaannya ternyata berbentuk perjanjian jual beli secara angsuran.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa perjanjian sewa beli tumbuh dan

berkembang seiring dengan perkembangan interaksi sosial. Sehingga masalah

perjanjian sewa beli tidak diatur dalam BW, termasuk tentang beban risiko yang

timbul terhadap para pihak, baik debitor maupun kreditor.

Perjanjian sewa beli bermula dari ketidakmampuan seseorang untuk membeli

barang dengan uang kontan sebagai pembelian atas barang yang dibelinya, akhirnya

mulai dikembangkan pembayaran harga barang secara angsuran. Dalam hal ini

pembayaran harga barang dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit misalnya

setiap bulan dibayar sebesar sekian prosentase dari jumlah harga pembelian.

Dalam hubungan hukum di atas, antara penjual dengan pembeli terdapat

hubungan yang saling menguntungkan, dalam ilmu biologi dikenal dengan sebutan simbiosis mutulisme. Di satu pihak yaitu pembelian membutuhkan sesuatu barang tetapi

ia tidak dapat membayar kontan, sedang di pihak lainnya yaitu penjual menghendaki

barang yang ia jual laku.

Dalam perjanjian di atas, terdapat risiko yang akan timbul terhadap hilangnya

barang atau harga barang tidak dibayar cicilannya. Lebih-lebih jika barang tersebut telah

dijual kepada pihak ketiga, dengan akibat hukum penjual akan menderita kerugian.

Artinya barang yang sebelum harganya dibayar tunai oleh pembeli, barangnya telah

dialihkan kepada pihak lain. Pada posisi ini pihak penjual sangat dirugikan, karena

barang tidak dapat dikembalikan oleh pembeli padanya, sedangkan pihak pembelian

tidak juga melunasi sisa harga cicilan tersebut.

Page 10: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 x

Untuk menolong penjual, dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang

dinamakan sewa beli atau huurkoop10 yaitu perjanjian yang dinamakan sewa menyewa

barang, dengan akibat bahwa penerima barang tidak menjadi pemilik melainkan

pemakai belaka. Kecuali pemakai melunasi seluruh uang sewa yang jumlahnya sama

dengan harga pembelian, maka penyewa atau pemakai beralih menjadi pembeli yaitu

barang tersebut menjadi milik penyewa. Dengan menerapkan praktik jual beli barang dalam bentuk perjanjian sewa

beli, maka kedudukan kreditor atau penjual menjadi sangat terlindungi. Hal ini

mengingat risiko atas hilangnya barang atau dijualnya kembali barang pada pihak

ketiga, menjadi tanggung jawab seluruhnya pihak penyewa atau debitor. Artinya,

manakala pihak debitor dengan dalih barangnya telah habis terjual atau hilang dan ia

tidak berkehendak untuk membayar sisa angsurannya, maka pihak debitor dapat

diancam sebagai pelaku tindak pidana penggelapan sebagaimana diancam dengan

pidana dengan pasal 372 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).11

Rasio penerapan pasal 372 KUHP tersebut, mendasarkan pada status

kepemilikan barang sewa beli yang masih belum dimiliki oleh pihak debitor atau

penyewa, di mana barang sewa beli akan menjadi milik debitor atau penyewa bilamana

seluruh angsurannya telah dibayar lunas. Dengan demikian, bilamana pihak debitor atau penyewa menjual atau mengalihkan barang yang notabene bukan miliknya, maka ia

akan terkena jerat pasal penggelapan dalam KUHP.

Berbeda halnya, jika setelah terjadi kesepakatan dalam perjanjian sewa beli

tanda bukti kepemilikan barangnya atas nama pembeli, walaupun pembayaran harga

pembelian dilakukan secara angsuran. Hubungan hukum perjanjian demikian adalah

berbentuk perjanjian jual beli dengan angsuran dan bukan sewa beli.

Dalam perjanjian jual beli dengan angsuran, pihak pembeli adalah pemilik

barang walaupun harganya belum dibayar lunas. Secara hukum pihak pembeli dalam

perjanjian jual beli secara angsuran adalah pemilik atas barang yang dibeli secara

angsuran. Sehingga apabila pihak pembeli barang secara angsuran, menjual barang yang

dibelinya sebelum seluruh angsurannya dibayar lunas, ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana penggelapan. Hal ini dikarenakan barang yang telah ia jual itu

adalah memang benar-benar miliknya, ia bukanlah penyewa.

Untuk jelasnya, berikut penulis kutipkan syarat agar seseorang dapat dituntut

berdasarkan pasal 372 KUHP, yaitu:

Kejahatan ini dinamakan “penggelapan biasa”. Penggelapan adalah kejahatan yang

hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP, hanya bedanya jika dalam

pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada di tangannya si pelaku,

sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah

10

Subekti R.I., Op.Cip., h.51 11

Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap

Pasal demi Pasal, Cet. Ulang, Politeia, Bogor, 1996, h.258

Page 11: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xi

berada di tangannya pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau sudah dipercayakan

kepadanya.12

Dalam perjanjian sewa beli, barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli

adalah dalam status disewa oleh debitor. Artinya debitor bukan pemilik dari barang

yang disewa beli itu, hal ini dapat dibuktikan dari surat tanda bukti kepemilikan atas

barang tersebut. Barang yang disewa tersebut tidak dapat dijual atau dialihkan pada pihak ketiga oleh penyewa, karena barang dimaksud belum menjadi miliknya. Sehingga

bilamana barang obyek perjanjian sewa beli itu dialihkan, maka penyewa akan dapat

dituntut sebagai pelaku tindak pidana penggelapan.

Perjanjian sewa beli adalah merupakan ciptaan praktik jual beli, sehingga tidak

diatur dalam BW. Kendati demikian perjanjian sewa beli diakui dan dibenarkan dalam

praktik perjanjian, mengingat perjanjian sewa beli tersebut disepakati oleh mereka yang

membuatnya, karenanya telah memenuhi azas konsensual.13

Azas konsensualisme yang terdapat di dalam pasal 1320 BW mengandung arti

kemauan para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan

diri. Kemauan tersebut membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dapat

dipenuhi. Azas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan azas

kebebasan berkontrak dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam pasal 1338 ayat 1 BW.

Pasal 1338 ayat 1 BW menentukan bahwa “semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal

maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Azas kebebasan berkontrak

berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa

perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan pasal 1320 BW ini

mempunyai kekuatan mengikat.

Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam

Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran

hak azasi manusia. Sebagaimana hal ini telah dijamin dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia setiap orang bebas untuk

memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam Hukum Perjanjian, falsafah ini

diwujudkan dalam kebebasan berkontrak yang tidak dapat diintervensi oleh

pemerintah.14 Faham ini memberikan peluang luas kepada golongan kuat untuk

menguasai golongan lemah. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang

lembah. Pihak yang lemah berada dalam penguasaan pihak yang kuat.

12

Sugandi R., KUHPdan Penjelasannya, Cet.-, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, h.390 13

Suryodiningrat R.M., Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Cet.II, Tarsito, Bandung, 1991,

h.8 14

Mariam Darus Badrulzaman dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001, h.84

Page 12: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xii

Faham di atas dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan. Masyarakat ingin

pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, kehendak

bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan

kepentingan umum.

Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan

tetapi perlu diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum untuk menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan

Hukum Perjanjian oleh pemerintah terjadi penggeseran Hukum Perjanjian ke bidang

Hukum Publik.

Sejak tahun 1980-an risiko dan beban pertanggung jawaban telah ditetapkan

dalam suatu yurisprudensi. Kendati praktik pelaksanaan perjanjian sewa beli tidak

diatur secara tegas dalam suatu undang-undang, tetapi tentang risiko dan pihak yang

harus dibebani risiko yang timbul dalam perjanjian sewa beli telah diatur dan ditentukan

dalam suatu yurisprudensi.15

2. Proses Penjualan Perumahan pada Perumnas Barisan Sampang

Proses penjualan perumahanan di Perumnas Barisan Sampang akan dikaji dari

kontrak perjanjiannya yaitu perjanjian kredit pemilikan rumah antara Bank

Tabungan Negara dengan pihak debitor. Di mana dalam perjanjian tersebut pada

bagian awal disebutkan tentang identitas para pihak yang membuat perjanjian,

jumlah pinjaman, bunga, pembayaran kembali kredit dan jangka waktu kredit,

tanggal jatuh waktu pembayaran angsuran bulanan dan denda tunggakan, provisi

bank dan biaya lainnya, agunan kredit, penggunaan pinjaman dan kuasa, serta

ditutup dengan pasal lain-lain.

Dengan memperhatikan pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian kredit

pemilihan rumah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah

perjanjian sewa beli, melainkan perjanjian kredit yang dalam BW adalah salah satu dari

bentuk perjanjian pinjam meminjam.16 Artinya pidak debitor meminjam uang pada

pihak bank yaitu Bank Tabungan Negara sejumlah harga tunai pembelian rumah, atas

15

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Perkembangan Putusan Perkara Beli Sewa dalam

Yurisprudensi, Cet.-, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1989, h.iii 16

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1996, h.240

Page 13: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xiii

hasil pinjaman uang tersebut kemudian debitor membayar harga rumah yang dibelinya

secara tunai. Adapun pihak debitor kepada Bank Tabungan Negara melakukan

pembayaran terhadap pinjaman uangnya secara angsuran.

Dalam perjanjian di atas, pihak debitor telah berkedudukan sebagai pemilik

atas rumah tersebut. Karenanya, apabila debitor tersebut jika suatu ketika menjual

rumah dimaksud pada pihak ketiga, ia tidak dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penggelapan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 372 KUHP.

Bukti konkrit dari perjanjian kredit pemilikan rumah di lingkungan Perumnas

adalah bukan perjanjian sewa beli, dapat kita lihat dari judul perjanjiannya yang

bernama “Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah antara Bank Tabungan Negara dan

Debitor”. Di samping itu adanya jaminan kredit dari perjanjian tersebut yang berupa

tanah berikut bangunan rumahnya adalah menunjukkan bahwa perjanjian tersebut

benar-benar bukan sewa beli. Praktik perjanjian sama halnya dengan perjanjian kredit

antara perbankan dengan nasabah.

Dengan dicantumkannya nama pemilik bangunan dan tanah dalam surat bukti

kepemilikan, menunjukkan bahwa debitor adalah pemilik atas bangunan dan tanah

tersebut. Secara hukum ia berhak menjual barang yang atas namanya dimaksud,

walaupun surat tanda bukti kepemilikannya berada pada pihak bank. Namun ketentuan dalam azas yang diberlakukan di tiap-tiap perjanjian adalah azas kebebasan berkontrak,

maka bisa saja penjual dan pembeli membuat kesepakatan bahwa jual beli tetap terjadi

dengan ketentuan penyerahan surat tanda bukti kepemilikannya dilakukan setelah pihak

penjual atau debitor melunasi angsurannya di Bank Tabungan Negara.

KONTRAK STANDARD DALAM SEWA BELI PERUMAHAN

1. Kekuatan Hukum Kontrak Standard Sewa Beli Perumahan

Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran

hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan

kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia).

Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang

bersifat imperatif dari pemahaman prinsip “men are created free and equal”17, hal ini

17

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Cet.VIII, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1979, h.21

Page 14: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xiv

harus selalu menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak,

sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu

melahirkan konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada

dua kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu

pemenuhan prestasi.

Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak

yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan

menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan

saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah

akta.

Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang

terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus

secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah

ditentukan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak terlebih dahulu menyepakati isi

kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu

adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak,

dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang

diperbolehkan.

Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak

yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas

dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh

undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum.

Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan

untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini

dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai

syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah

merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah

merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak.

Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para

pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum,

maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat

mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur

terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan.

Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak dipenuhi,

maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif

sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut batal demi

hukum (nietig).18

18

Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari

Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65.

Page 15: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xv

Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam

kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan

mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai

persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam

suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam

suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk

menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak

mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak

menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati

demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak

mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu,

yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa

upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW.

Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran

yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.19 Artinya, tidak ada suatu

kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh

pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok yang menentukan lahirnya perjanjian.

Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah

merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai

rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima

oleh pihak lainnya dalam kontrak.

Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat

ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu

tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus

ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki.

Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa

adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan

bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut.

Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih

jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak

yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan

pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si

berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak.

Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh

kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan

19

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian buku I, Cet.II, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001, h.165.

Page 16: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xvi

sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya.20 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan

debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh

pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan

terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur.

Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam

sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah

bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah

tangan.

Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk

dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Artinya dengan akta tersebut

para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur

dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi

kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan

penandatanganan para pihak.

a. Akta Otentik.

Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di

tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus

berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang

untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk

membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus

disimpan oleh Notaris, tanggalnya ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan

salinannya, grossenya dan kutipannya.21

Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta

kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus

oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini

dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masing-masing pejabat umum yang berwenang.

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik

telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang

dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta

otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku

bagi tiap orang atau pihak ketiga..

Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang

menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun

20

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,

Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3 21

Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia ,

Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4.

Page 17: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xvii

kepalsuan intelektual.22 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan

dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan

intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar

dalam akta itu.

Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda

tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi

juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian

formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan

tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap

sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah

pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun

kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana

dimuat dalam pasal 1870 BW.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik memberikan bukti

yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, di antara para pihak yang

bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu.

Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan

berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang

mendapat hak dari mereka.

b. Akta dibawah tangan.

Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu

bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan

adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari

seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang

dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan

pejabat umum pembuat akta. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di

bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika

terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat

umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan

dalam pasal 1869 BW.

Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan

tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg.

(Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal

305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880.

Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan

utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan

22

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta,

1983, h.196.

Page 18: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xviii

sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis

dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari

kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri

kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian

permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW

yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam

pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan

ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau

dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya

peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di

bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan

mendasar tentang:

a. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan

pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam

undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan

tidak demikian; b. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir

sesuai azas acta publica probant seseipsa23, sedangkan kontrak yang dibuat

dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.

c. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara

hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian.

Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur

sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract),

sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1

tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi yang membuatnya. Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung

unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari

kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:

a. Bagian dari kontrak yang esensial

Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak

tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada.

Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.

23

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000,

h.111.

Page 19: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xix

b. Bagian dari kontrak yang natural

Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak

yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya

aturan yang bersifat mengatur saja.

c. Bagian dari kontrak yang aksidental Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama

sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk

mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of

contract).24

Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda

tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang

perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab

V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan

sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang

terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.

Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja

sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk

isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan

terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang

yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu

kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya

kontrak sewa beli.

Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal

bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi

tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian

campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai

pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya

dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal

yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.

Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang

dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat

tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena

alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di

samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik.

24

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1999, 28.

Page 20: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xx

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-

pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang

melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-

undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa

melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam

undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara

perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-

undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar

perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian

dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237

ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan

pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3

(tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan

paksaan (dwang).

Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak

bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau

dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar

kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati

demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,

perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan

permohonan ke pengadilan.

Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan

secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja

hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan

suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan

kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam

jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya

pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah

diperjalanan dan sebagainya.

Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan

pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila

dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.25

Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam

membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut

25

Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10

Page 21: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxi

dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar

perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW

penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325,

1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku

pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret

1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena

perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu

sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan

dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang

purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas,

pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai

unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur.26 Namun

untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan

dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog

serta misbruik van omtandigheden.

a. Dwang (Paksaan)

Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas,

karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang

diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan

terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang

yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang

tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan

hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai

kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW).

Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian

jika paksaan itu dilakukan terhadap:

a. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW);

b. Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis

ke atas atau ke bawah.

Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan

oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau

26

Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omtandigheden) sebagai Alasan

(Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda), Cet.I, Liberty,

Yogyakarta, 2001., h.58.

Page 22: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxii

pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian

dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya

seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini

tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang

dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.

Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik

secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau

apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk

dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undang-

undang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah

berhenti (pasal 1454 BW).

b. Dwaling (Kehilafan).

Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare

dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat

diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat

dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.27 Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan

dalam dua hal, yaitu:

1. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok

persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi

ternyata bukan;

2. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang

dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan

persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi

bukan.28

Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu

terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain

kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi

khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi

merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem

self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan

colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang

terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.29

27

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.30 . 28

Setiawan. R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999., h.60 29

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.118

Page 23: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxiii

c. Bedrog (Penipuan)

Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak

sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat

perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut. Kontrak yang

dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan pengadilan seperti halnya

kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak yang dibuat karena

paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa, sedangkan persetujuan yang

dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau karena sesat tidak mengetahui

bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan perbedaan antara kontrak yang

dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat pihak yang sesat sendiri yang

mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun dalam hal tipu kemauan pihak

yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah.

Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk

menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan

yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat

demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya.

Kontrak standard yang digunakan dalam perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, pada dasarnya dilarang bilamana pencantuman klausula bakunya diletakkan

atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti tidak dapat dibenarkan dan secara hukum dapat

dinyatakan batal demi hukum pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998

tentang Perlindungan Konsumen.

2. Akibat Hukum terhadap Perjanjian Sewa Beli

Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak

kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa

dalam kontrak.30 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan

yang bersumber pada kebebasan berkontrak.

Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh

dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke

waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke

dalam bahsa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga

harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di

30

Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133

Page 24: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxiv

bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum”

yang dipergunakan dalam suatu kontrak.

Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh

menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi

yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya

diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian

terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu.

Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan

kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan,

maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu

menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara

sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja.

Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang

dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam

kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak

haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar

mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum. Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya

mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau

perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.31

Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian standard

ini adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi

pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu

organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak

untuk diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya

mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena

ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas

mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan

perjanjian standard ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.

Pitlo mengemukakan perjanjian standard ini adalah suatu dwangkontract,

karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak

yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat

lain.Terhadap perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian

standard akan melahirkan legio particuliere wetgevers.32

Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal

1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan

perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.33

31

Ibidt., h.134 32Ibid, h.135. 33

Subekti R.III, Op.cit., h.14-15.

Page 25: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxv

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian standard bertentangan, baik

dengan azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun

kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan

menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan.

Kontrak standard biasanya merupakan perjanjian standard di mana kontrak-

kontrak itu telah dipersiapkan secara standard dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya

nilai transaksi, junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga,

dengan kontrak standard ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak

membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang

akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak.

Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit

telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan

data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara

baku.34

Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya

sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan

berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya

menurut pasal 1320 BW.

Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan

dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila

dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan

tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para

pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang

dikehendaki masing-masing.35

Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan

perjanjian standard seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian

standard dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank.

Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna

memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit

adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit

dari calon debitur.36

Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur

dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan

mencantumkan syarat-syarat antara lain:

34

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 35

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62. 36

Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999,

h.80.

Page 26: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxvi

a. Maksimum/limit fasilitas kredit.

b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit.

c. Bentuk pinjaman.

d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas.

e. Suku bunga.

f. Bea meterai kredit yang harus dibayar. g. Provisi kredit commitment fee management fee.

h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan

menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan

likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap

jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang

bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan

cara pengikatannya.

i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan.

j. Sanksi-sanksi seperti:

denda terlambat pembayaran bunga

denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan

denda atas overdraft

sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian

kredit.

k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan

pribadi/borgtocht dan lain-lain).

l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan

fasilitas kredit.

m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.37

Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat

jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai

peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga

tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa

terjepit atau kepepet.

Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan

banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan

dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya.

Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang

dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar

pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan

37Ibid.

Page 27: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxvii

kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut

syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW.

Kontrak standard atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit

segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu

sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum

debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Bentuk baku dari kontrak standard telah ditentukan secara pasti tentang jangka

waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek

jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara

sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun

kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk

melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of

contract, melainkan prinsip take it or leave it.

Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak

biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa

memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai

kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya. Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki

kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang

disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguh-

sungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima

juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya

menerima tanpa perundingan lagi.

Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam

kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang

meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapkali menggunakan kedudukannya itu untuk

membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri

berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung

jawab perusahaan pemberi kredit .

Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam

kontrak standard memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak

lain dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).38 Bentuk paksaan

demikian, termasuk paksaan yang melawan hukum.

Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu

perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan

kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain,

maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya.

38

Munir Fuady II, Op.Cit., h.42.

Page 28: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxviii

Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari

ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak

itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap

debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah

dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak.

Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kredit adalah adanya hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa

persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses

pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau

terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan.

Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan

pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak

berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan

dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha

untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung

hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan

kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan

klausula-klausula yang mematikan. Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian

rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para

pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata

masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat

berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu.

Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat

keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada

pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak,

menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada

kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas

kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak.

Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam

berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan

untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama

dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling

menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang

harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak.

Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu

menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga

dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win solution.

Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah berbicara

keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam berkontrak.

Page 29: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxix

Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman

kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju,

demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka

konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis

itu.

Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat. Apabila pada kontrak yang dibuat itu

diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka

kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil.

Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang

memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan

kontrak standard tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak standard

tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur

dan harus diikuti oleh debitur. Kontrak standard ini hanya melahirkan dua pilihan bagi

debitur yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan

tawar menawar.

Bentuk kontrak standard di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat

dimintakan pembatalannya.

Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam

kontrak tersebut terdapat:

a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan

darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak

berpengalaman;

b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)

disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui

bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup

suatu perjanjian;

c. penyalahgunaan (misbruik)

salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui

atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;

d. hubungan kausal (causaal verband)

Page 30: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxx

Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian

itu tidak akan ditutup.39

Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah

kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan

dalam pasal 1321 BW yang berupa:

a. kesesatan (dwaling);

b. paksaan (dwang);

c. penipuan (bedrog).

Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu

kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri.

Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada

terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau

maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang

disalahgunakan menjadi tidak bebas.

Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a) penyalahgunaan

keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari: (a)

adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan

kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.40

Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung

penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai

keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan

perjanjian.

Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung penyalahgunaan

kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti

39

Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41 40Ibid., h.44

Page 31: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxi

hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter

pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan

keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak

berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.41

Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu

kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk:

a. berlakunya itikad baik secara terbatas;

b. penjelasan normatif dari perbuatan hukum;

c. pembatasan berlakunya persyaratan baku;

d. penyalahgunaan hak.42

Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338

ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib

memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak

menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke

tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana

sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah

merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas

tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang

sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan

dasar itikad baik guna membeli tanah itu.

Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak

hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi

jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi

kontrak itu. Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu

merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.

Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas

dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut.

Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam

suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan

kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan

normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak

dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak

selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu

harus merupakan kerugian dalam arti obyektif.

41Ibid. 42ibid., h.64-67.

Page 32: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxii

Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk

mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal

ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan

bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia

dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk

membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya

perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik

van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak

dibenarkan untuk membatalkan perjanjian.

Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu

pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang

lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada

undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian

itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak.

Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan

pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti

penghematan waktu dan tenaga. Kontrak standard banyak dilakukan oleh kalangan perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu

berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan

aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat

menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas

dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara

lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa

lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur

bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya.43

Gejala kesepakatan dalam kontrak standard sebagaimana diuraikan di atas,

mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang

seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur

telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, di mana klausula

yang ada telah dibuat secara baku.

Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh

kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undang-

undang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang

melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga.

Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat

43

Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit.

Page 33: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxiii

merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan

hak milik.

Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan

adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas

hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu

dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan keadaan sebaliknya pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang.

Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan

keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari

yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan

berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan.

Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam

menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi

juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk

melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak

dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung

pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini

dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar

kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan konsumen dan Undang-

undang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.44

Dalam kontrak standard dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat

dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank,

dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur

tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan

diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank.

Bentuk kontrak standard demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi,

sebab debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it, without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan

sekali kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak

tawaran kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh

dan lain sebagainya.

Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku

pensiun.45 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan

ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku

44

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2000, h.40 45

Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58.

Page 34: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxiv

pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini

dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban

membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat

pertama ini dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi

ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan

pada ex aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.46

Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak

debitur hanya mempunyai hak mengisi kontrak standard yang telah dibakukan dalam

perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak

mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit,

jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktu-

waktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur

telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak

(take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk

penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak.

Praktik kontrak standard menggambarkan bahwa pihak debitur telah

secara terpaksa menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan

rintangan kejiwaan bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi

kontrak. Isi syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak standard pada

hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa

bagi pengusaha yang menawarkan “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari

uraian di atas telah memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan

penyalahgunaan keadaan terhadap pihak debitur.

Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang

bagi pihak yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan,

sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi

memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia.

Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.

Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini

hukum harus ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian

hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan

(gerechtigkeit).47 Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang

notabene, dapat dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung

unsur penyalahgunaan keadaan.

46

Ibid. 47

Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno

Mertokusumo II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1

Page 35: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxv

Ulasan di atas menggambarkan betapa akibat hukum yang ditimbulkan

oleh setiap kontrak standard demikian besar terhadap kekuatan mengikatnya bagi

para pihak yang membuatnya. Artinya setiap kontrak standard yang dibuat secara

bertentang dengan undang-undang, kepatutan, kesusilaan, dan penyalah-gunaan

keadaan diancam kebatalannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan ulasan-ulasan pembahasan terhadap permasalahan yang telah

dirumuskan, maka dapatlah ditarik rumusan kesimpulan sebagai berikut:

a. Penerapan perjanjian sewa beli dalam penjualan perumahan di Perumnas, pada

kenyataannya adalah bukan perjanjian sewa beli atas perumahan dimaksud.

Pembelian bangunan rumah di lingkungan Perumnas tersebut dilakukan secara

tunai, namun pembeli masih mempunyai hubungan dengan pihak Bank

Tabungan Negara sebagai debitor. Di mana pembeli rumah Perumnas tersebut

sudah berkedudukan sebagai pihak pemilik atas rumah yang dibelinya,

walaupun ia tidak memegang tanda bukti kepemilikan rumahnya. Hal ini dikarenakan surat tanda bukti kepemilikan rumah dimaksud berada dalam

jaminan kredit.

b. Kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian sewa beli Perumnas yang

ternyata adalah merupakan perjanjian kredit pemilikan rumah banyak memuat

klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca

secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Hal ini menurut pasal 18

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen,

kontrak demikian tidak mempunyai kekuatan mengikat dan batal demi hukum.

Ketentuan dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998

tersebut bersesuaian

dengan maksud pasal 1338 BW, yaitu bahwa perjanjian yang dibuat secara sah tersebut hendaknya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

kepatutan, dan kesusilaan serta penyalah-gunaan keadaan.

SARAN

Adapun saran-saran yang dapat dikemukakan sehubungan keadaan di atas,

maka penulis dapat mengemukakan sebagai berikut:

a. Perjanjian sewa beli perlu diatur secara khusus dalam undang-undang,

mengingat selama ini baik prosedur ataupun akibat hukumnya hanya

digantungkan pada yurisprudensi. Artinya para pihak yang bersengketa di

bidang sewa beli untuk memperoleh penyelesaian secara hukum, terlebih

dahulu harus berperkara di pengadilan;

Page 36: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxvi

b. Sudah waktunya sengketa perjanjian sewa beli diklasifikasikan sebagai

sengketa yang masuk dalam kewenangan Pengadilan Niaga, dan bukan

termasuk sengketa wanprestasi yang merupakan kompetensi Pengadilan

Negeri. Mengingat sengketa yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Niaga

dapat diproses secara cepat, biaya ringan dan sederhana.

Page 37: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxvii

PERUBAHAN STATUS HAK ATAS TANAH

DARI HAK MILIK MENJADI HAK LAINNYA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

Oleh:

Sukirman, S.H.,M.Hum.*

ABSTRAK

ketentuan hukum pertanahan kita masih umum dan belum cukup

operasional, sehingga menjadikannya mudah disalahtafsirkan. Hal

ini nampak pada pengaturan Hak Adat, Hak Ulayat, Hak Milik dan

ketentuan yang mengatur penguasaan tanah dan peruntukannya.

Juga ketentuan pengadaan tanah, misalnya tentang rumusan

pengertian kepentingan umum, pengertian tentang ganti rugi yang

layak, pengertian tentang musyawarah, pengertian tentang status

hak dan sebagainya.

Kata Kunci: Hak atas tanah – Perubahan status – Pemberian

ganti rugi.

LATAR BELAKANG

Dewasa ini banyak sekali tanah-tanah, baik yang ada di dalam maupun di luar

perkotaan dipakai oleh pihak lain tanpa ijin dari pihak yang berhak.48 Dalam pada itu,

untuk pembangunan negara penggunaan tanah haruslah dilakukan dengan cara yang

teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar norma-norma

hukum dan tata tertib, sebagaimana terjadi di banyak tempat, benar-benar menghambat

bahkan acapkali tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan di

berbagai bidang. Pembuatan bangunan-bangunan di dalam kota untuk tempat tinggal, berjualan

dan lain sebagainya berjejal-jejal dan tidak teratur letak dan tempatnya, dari bahan-

bahan yang mudah terbakar, tidak saja menambah besarnya kemungkinan kebakaran,

tetapi dipandang dari sudut kesehatan dan tata tertib keamanan sungguh tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Belum lagi diperhitungkan berapa kerugian yang diderita

negara dan masyarakat, misalnya dari tindakan-tindakan yang berupaka perusakan

tanah.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

48

Anton Lucas, Penindasan dan Perlawanan: Ciri Khas Sengketa Tanah Di Indonesia, Tanah dan

Pembangunan, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h.51-59

Page 38: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxviii

Dengan demikian, maka bagaimanapun juga pemakaian tanah-tanah dengan

cara yang melanggar hukum di atas, sesungguhpun dapat dipahami sebab musababnya

tetapi tidaklah dapat dibenarkan. Untuk itu ketentuan hukum memberikatan batasan,

bahwa perbuatan dimaksud adalah dilarang.

Sementara itu, setiap tanah yang menjadi sumber konflik dalam masyarakat,49

selalu ada alas hak yang mendasari penguasaan atas tanah tersebut. Adapun yang dimaksud dengan alas hak menurut pasal 584 KUH Perdata adalah adanya hubungan

hukum untuk penyerahan eigendom.50 Dalam tulisan ini rujukan yang dapat

memberikan definisi tentang alas hak hanya KUH Perdata, sedangkan dalam Undang-

undang Pokok Agraria sebagai hukum pokoknya yang telah diundangkan dalam

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tidak terdapat pengertian tentang alas hak.

Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur tentang tanah, hanya

menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara, maka negara menentukan

macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah tersebut, selanjutnya

negara dapat memberikan tanah dimaksud kepada orang atau badan hukum (pasal 4 ayat

1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960).

Hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-

undang Nomor 5 tahun 1960, menurut pasal 16 undang-undang tersebut adalah: a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai;

e. hak sewa;

f. hak membuka tanah;

g. hak memungut hasil hutan;

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Hak milik atas tanah adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1960, hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 Undang-

undang Nomor 5 tahun 1960. Artinya hak milik ini adalah merupakan hak yang paling

kuat, diantara hak atas tanah lainnya. Ini terbukti dari tenggang waktu yang membatasi

hak milik, di mana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 hak milik merupakan

satu-satunya hak yang masa penguasaannya tidak dibatasi dengan tenggang waktu.

49

Dianto Cachriadi, Pembangunan Konflik Pertanahan dan Perlawanan Petani, Tanah dan

Pembangunan, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h.70 50

Soetojo Prawirohamidjojo. R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab tentang Hukum Benda, Cet.I,

Bina Ilmu, Surabaya, 1984, h.41

Page 39: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxix

Dalam hukum benda yang terdapat pembedaan hak, yaitu antara hak

kebendaan dan hak perorangan.51 Hak kebendaan yang paling sempurna adalah hak

milik diantara hak kebendaan lainnya.52 Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan

yang sempurna atau penuh bagi pemilik, disebut sebagai hak milik. Hak milik ini

mempunyai pengertian universal, abstrak, belum terikat kepada kualifikasi tertentu,

artinya tidak saja hak milik atas tanah yang mempunyai sifat paling sempurna, tetapi juga terhadap benda lainnya, baik bergerak, tidak bergerak, berwujud ataupun tidak

berwujud.

Bilamana kita padukan dari dua dimensi ulasan di atas, yang dimaksud dengan

alas hak adalah hubungan hukum yang mendasari penguasaan suatu benda, dalam kajian

ini tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak lainnya yang

telah ditentukan dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960.

Hak milik atas tanah merupakan hak terkuat di antara hak atas tanah lainnya,

pemilik tanah berhak penuh atasnya. Namun demikian, menurut pasal 6 Undang-undang

Nomor 5 tahun 1960 semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, karenanya untuk

kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian

yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Pada azasnya, tanah jika diperlukan untuk suatu keperluan haruslah lebih

dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya,

misalnya atas dasar jual beli, tukar menukar atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian

itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang

empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali

untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Di sini tergambar, bahwa hak milik

atas tanah adalah kuat dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.53

Kendati hak milik atas tanah dimaksud adalah merupakan hak yang terkuat,

oleh karena kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan,

maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan

umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa

mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan guna

mengejewantahkan fungsi sosial tanah dengan menggunakan perangkat aturan yang

ditentukan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1961. Namun ketentuan ini pada era

reformasi sekarang, sudah tidak memadai lagi untuk diterapkan, terlebih setelah

lahirnya Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia.

Pengambilan tanah yang dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak

sebagaimana diuraikan di atas, dimaksudkan untuk mengimplementasikan pasal 18

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa “Untuk kepentingan

51

Subekti R, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia (selanjutnya

disingkat Subekti R. I), Cet.II, Alumni, Bandung, 1982, h.25 52

Vollmar HFA, Hukum Benda (menurut KUH Perdata), Cet.II, Tarsito, Bandung, 1990, h.34 53

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1981, h.9

Page 40: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xl

umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,

hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan

menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”

Ketentuan pasal 18 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 juga merupakan

perwujudan bahwa hak milik atas tanah adalah merupakan hak yang sempurna dan

terkuat serta dapat dipertahankan terhadap siapapun, termasuk untuk kepentingan penataan ruang sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang nomor 24 tahun

1992. Dengan Undang-undang nomor 24 tahun 1992, penataan ruang didasarkan pada

azas:

a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan

berhasil guna, serasi selaras, seimbang, dan berkelanjutan;

b. keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Dengan azas penataan ruang tersebut, telah dapat dipastikan bahwa konsep

penataan ruang masih menempatkan sifat hak milik atas tanah yang merupakan hak

terkuat dan paling sempurna penggunaannya. Azas keterbukaan, persamaan,

keadilan dan perlindungan hukum memberikan bentuk pelaksanaan tata ruang yang

akan memberikan perlindungan hukum secara layak kepada para pemegang hak

milik atas tanah. Hal ini dikarenakan konsep penataan ruang diterapkan secara

terbuka, secara equal dan adil, sehingga pada gilirannya tidak ada diskriminasi

dalam memperlakukan hak milik atas tanah seseorang.

Dalam wacana di atas, negara ditempatkan selaku penguasa atau yang mempunyai kewenangan atas tanah selaku organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia

untuk pada tingkatan yang tertinggi:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaannya;

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi,

air dan ruang angkasa itu;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang berhubungan dengan bumi, air dan

ruang angkasa.

Dalam pada itu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang,

badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib

menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya,

Page 41: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xli

mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta

bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam kenyataannya, masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh

perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak sesuai dengan keadaannya atau sifat

dan tujuan haknya. Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan.

Hapusnya hak atas tanah sebagai akibat penelantaran tanah, tidak dilakukan

pengklasifikasian terhadap hak atas tanahnya. Artinya hapusnya hak atas tanah dapat

terjadi terhadap segala hak atas tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai dan lain sebagainya. Ketentuan Undang-undang Nomor 5 tahun

1960 tersebut, melahirkan kesimpulan bahwa hak milik atas tanah walaupun merupakan

hak atas tanah yang terkuat dan paling sempurna ternyata masih juga dapat dihapuskan

dengan alasan telah ditelantarkan. Tiap hak atas tanah yang penguasaan terhadap obyek

haknya menyebabkan tanah tersebut terlantar, maka tanah dimaksud berada dalam

penguasaan langsung negara sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 pasal 15 ayat 1.

Sebagaimana dikemukakan di atas, hak milik dalam hak kebendaan adalah merupakan hak yang paling sempurna. Hak-hak kebendaan yang lain seperti hak guna

usaha, hak guna bangunan dan sebagainya memberikan kekuasaan yang lebih terbatas,

karena masa penguasaannya dibatasi oleh masa tenggang waktu. Berbeda halnya

dengan hak milik, masa penguasaan hak milik tidak dibatasi oleh tenggang waktu

berlakunya hak milik yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum.

Atas dasar uraian singkat di atas, maka rumusan masalah yang dipandang

cukup relevan untuk diangkat adalah:

a. Sifat-sifat apakah yang melekat dalam hak milik?

b. Apakah kriteria yang dapat diterapkan terhadap hak milik, sehingga dapat

berubah menjadi tanah negara?

c. Bagaimanakah proses pembebasan tanah, sehingga status tanah yang dibebaskan menjadi dikuasai langsung oleh negara?

KEDUDUKAN HAK MILIK DALAM HUKUM BENDA

1. Hukum Benda dan Lingkup Pengaturannya

Hukum Benda dalam Buku II KUH Perdata diatur secara terinci dari titel I

hingga titel XXI, namun sejak tanggal 24 September 1960 Buku II KUH Perdata

tersebut sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya, dinyatakan tidak berlaku. Hal ini dikarenakan pada saat itu aturan hukum

yang khusus mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di

Page 42: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xlii

dalamnya telah lahir yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria.

Kendati ketentuan Buku II KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku terhadap

bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi sifat khas atau

karakter dari hak-hak kebendaan yang ditentukan dalam KUH Perdata diambil alih dan

menjadi sifat atau karakter daripada hak-hak kebendaan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut. Pada uraian di bawah ini, akan digambarkan tentang sifat

kebendaan yang memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada pemegang haknya,

dibandingkan dengan hak perorangan.

Hukum benda adalah sub sistem dari hukum nasional, sebagai sub sistem is

mengandung seluruh azas-azas yang terdapat di dalam hukum nasional, khususnya azas

idiil, azas konstitusional, dan azas politis. Di samping itu, hukum benda memiliki azas-

azasnya sendiri yang lebih khusus. Azas-azas ini dapat digolongkan ke dalam

azas umum, di mana sifat umumnya tidak lagi bersifat abstrak, akan tetapi konkret

operasional.

Jika hukum keluarga bersifat non netral, maka hukum benda sebagai bagian

dari hukum harta kekayaan bersifat netral. Walaupun hukum adat dan hukum islam

mengenal hukum benda, hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata relatif lebih banyak dipakai. Pemakaian hukum benda itu tidak hanya terbatas untuk golongan eropa

dan timur asing cina, akan tetapi juga oleh golongan Bumi Putera.

Adapun hukum perdata yang diatur dalam KUH Perdata terdiri atas 4 buku,

yaitu:

a. Buku I, yang berjudul perihal orang (van personen), yang memuat Hukum

Perorangan dan Hukum Kekeluargaan;

b. Buku II, yang berjudul perihal benda (van zaken), yang memuat Hukum Benda

dan Hukum Waris;

c. Buku III, yang berjudul perihal perikatan (van verbintenissen), yang memuat

Hukum Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang

berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu; d. Buku IV, yang berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa atau lewat waktu

(van bewijs en verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan

akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.54

Atas dasar keadaan di atas, untuk dapat menyesuaikannya dengan Pancasila

dan UUD 1945, hakim mempunyai kesempatan untuk menafsirkannya secara materiil.

Hukum benda mempunyai tanda-tanda pokok yang dibedakan dari hukum perorangan.

Pembedaan itu tidak bersifat tajam, karena dewasa ini keduanya tumbuh saling

mendekati.

Dalam pada itu, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sendiri memiliki aspek-

aspek perdata, karena mengatur beberapa hak atas tanah yang menjadi obyek dari

54

Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.XVIII, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989, h.214

Page 43: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xliii

perbuatan-perbuatan perdata. Dasar Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 adalah hukum

adat yang sudah disesuaikan dengan modernisasi dan kepentingan nasional (pasal 5

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Oleh karena itu Undang-undang Nomor 5 tahun

1960 mengatur beberapa hak yang mirip dengan hak-hak yang terdapat di dalam KUH

Perdata, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan. Namun demikian kedua hak ini

tidak identik dengan hak-hak yang terdapat dalam KUH Perdata, karena kepribadiannya berbeda.

Hak-hak atas tanah yang dikenal oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

adalah:

a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai;

e. hak sewa;

f. hak membuka tanah;

g. hak memungut hasil hutan; h. hak gadai;

i. hak usaha bagi hasil;

j. hak menumpang;

k. hak sewa tanah pertanian;

l. hak guna air;

m. hak pemeliharaan ikan;

n. hak ruang angkasa.

Dengan adanya hak-hak di atas, maka ketentuan-ketentuan mengenai bumi, air

dan ruang angkasa diatur dalam KUH Perdata Buku II sudah dicabut. Pencabutan itu

tidak bersifat total, melainkan bersifat sebagian yaitu jika bumi dan hal lain diatur dalam

sebuah ketentuan, maka bagian mengenai hal-hal yang sudah diatur Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dicabut dan yang selebihnya tetap berlaku. Ketentuan mengenai

hak waris tetap berlaku untuk bagian kecil penduduk.

Segi lain yang sangat penting artinya yang diintrodusir Undang-undang Nomor

5 tahun 1960 ialah Hukum Adat, dengan batasan bahwa Hukum Adat itu tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan nasional (pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun

1960). Undang-undang nomor 5 tahun 1960 mengenal beberapa lembaga, seperti hak

milik. Pada prinsipnya Hukum Adat tidak mengenal pengertian hak milik seperti yang

dikenal Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Menurut pengertian Hukum Adat hak

milik atas tanah dalam lingkup hukum benda mempunyai hubungan interaktif dengan

hak ulayat.

Hubungan antara hak milik dengan hak ulayat seperti bola elastis, jika di atas

hak ulayat itu diciptakan hak perseorangan, misalnya dengan jalan membuka hutang dan

Page 44: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xliv

mengerjakannya secara terus menerus, sehingga lahir hak perseorang atas hak ulayat itu,

maka hak ulayat mengkerut.55

Dalam pada itu, KUH Perdata mengadakan pembedaan benda dalam beberapa

kelompok, yaitu benda berwujud dan tidak berwujud, benda bergerak dan tidak

bergerak, benda yang dapat dipakai habis dan yang tidak dapat dipakai habis, barang

yang sekarang ada dan di kemudian hari akan ada, barang yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, benda yang dalam perdagangan dan di luar perdagangan. Di samping

itu ada kebutuhan untuk membedakan benda dalam benda yang terdaftar dan tidak

terdaftar, sedang dalam Hukum Adat benda hanya dibedakan dalam tanah dan yang

bukan tanah.

Hak kebendaan kerapkali diberi pengertian sebagai suatu hak yang

memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, dengan kata lain hak kebendaan

(zakelijk recht)

ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atau suatu benda, yang dapat

dipertahankan terhadap tiap orang.56

Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, sedangkan

suatu hak perorangan (persoonlijk recht) memberikan suatu hak tuntutan atau hak tagih

terhadap seseorang. Hak perorangan bersifat relatif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tententu.57

Setiap hubungan hukum menurut sifatnya adalah hubungan antara orang yang

satu dengan orang lainnya, demikian halnya dengan hak kebendaan adalah merupakan

hubungan hukum antara orang-orang yang berhak dengan orang atau pihak lainnya.

Dalam hubungan hukum ini terdapat sifat kemutlakan dari hak kebendaan, yaitu orang

yang berhak atas kebendaan dapat bertindak terhadap siapapun yang mengganggu hak

itu dan hak kebendaan selalu melekat pada benda itu, termasuk bilamana benda itu

berada di tangan pihak lain (zaaksgevolg).58

Dengan demikian hak kebendaan memiliki ciri-ciri, yang dapat dibedakan

dengan hak perorangan, yaitu:

a. dapat bertindak secara mandiri terhadap siapa saja yang melanggar haknya; b. haknya atas benda tersebut tetap melekat tidak perdulu di tangan siapapun

benda itu berada;

c. hak kebendaan lebih kuat kedudukannya daripada hak perorangan.

2. Hak-hak Kebendaan dalam Hukum Benda

Di dalam KUH Perdata ditemukan dua istilah yaitu, benda (zaak) dan barang

(goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda ialah segala sesuatu yang dapat

55

Imam Sudiyat, Op.cit., h.3 56

Subekti R., Pokok-pokok Hukum Perdata (selanjutnya disingkat Subekti R. II), Cet.XX,

Intermasa, Jakarta,1985, h.62 57

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet.II, Alumni, Bandung,

1997, h.31 58

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op.cit., h.13

Page 45: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xlv

dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum (pasal 499 KUHD). Kata dapat di

sini mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada

saat yang tertentu sesuatu itu belum bestatus sebagai obyek hukum, namun pada saat

yang lain merupakan obyek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi obyek hukum

ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nlai ekonomi

dan karena itu dapat dijadikan sebagai obyek perbuatan hukum. Gambaran ini dapat kita lihat dala proses ketika seseorang membuka hutan dan mengolahnya, selanjutnya lahir

penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan tersebut menjadi pasti setelah pohon-

pohon yang ditanami pembuka huta itu tumbuh berbuah, sehingga hutan yang dibuka

dimaksud langsung dapat dimiliki.

Pola perolehan hak di atas, berbeda dengan cara atau ajaran yan dianut dalam

KUH Perdata. Dalam KUH Perdata dianut ajaran bahwa untuk sahnya penyerahan

dibutuhkan beberapa syarat (pasal 584 KUH Perdata), yaitu:

a. ada alas hak;

b. perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran)

dan penerbitan sertifikat;

c. wewenang menguasai.

Alas hak adalah perjanjian untuk menyerahkan benda atau hubungan hukum yang mendasari timbulnya penguasaan atas suatu benda. Hubungan hukum di sini adalah

bersifat konsensual obligatoir.

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian kebendaan adalah perjanjian penyerahan

benda yang diikuti dengan formalitas tertentu, misalnya pendaftaran.

Penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu seperti pendaftaran,

pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum kita sebelumnya. Banyak ketentuan dalam

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1997

yang mengambil alih sistem penyerahan di atas, yaitu:

a. perjanjian yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah, misalnya

jual beli harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan

pejabat yang berwenang. Azas ini berasal dari hukum romawi, yang membedakan hukum harta kekayaan dalam hak kebendaan dan hak

perorangan. Ada faham yang berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 5

tahun 1960 tidak menganut perbedaan ini, namun di dalam kenyataannya

ajaran ini dianut. Hal ini dapat dibuktikan karena Undang-undang Nomor 5

Tahun 1960 mengenai lembaga pendaftaran. Lembaga pendaftaran ini tidak

semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan

tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda

(tanah) belum mempunyai kaitan dengan milik. Hak milik akan merupakan

istilahnya hampa, baru ada milik namun belum ada hak. Selama pendaftaran

belum terjadi, hak hanya mempunyai arti terhadap para pihak dan umum belum

mengetahui perubahan status hukum dari benda. Pengakuan dari masyarakat

baru terjadi pada saat milik itu didaftarkan. Melalui pendaftaran lahirlah pengakuan umum terhadap hubungan hak dengan benda;

Page 46: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xlvi

b. Adanya pengumuman kepada masyarakat mengenai status kepemilikan tanah,

pengumuman hak atas tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah

yang disediakan untuk itu, sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi

melalui penguasaan nyata benda itu;

c. Dalam lembaga kepemilikan atas tanah, secara individual harus ditunjukkan

dengan jelas ujud, batas, letak dan luas tanah. Azas ini terdapat pada hak milik, guna usaha, dan guna bangunan atas benda tetap;

d. Hak kepemilikan atas benda hanya dapat diletakkan terhadap obyeknya secara

totalitas, artinya hak itu tidak dapat diletakkan hanya untuk bagian-bagian

benda. Pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adlah pemilik kosen,

jendela, pintu dan genteng rumah tersebut;

e. Dari azas totalitas tersebut muncul azas perletakan, di mana suatu benda

lazimnya terdiri dari bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda

pokok, seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kosen, pintu dan

jendela. Azas perletakan menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap

yang meletak pada benda pokok. Melalui azas perletakan ditentukan bahwa

pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda

pelengkap, dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok;

Ciri khas kebendaan di atas merupakan sifat yang melekat pada hak kebendaan,

seperti pada:

a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai.

3. Hak Milik atas Tanah Beserta Sifat yang Melekat

Hak milik adalah merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969. Ini merupakan ketentuan pasal 20 dari Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960. Dari rumusan ini dapat kita simpulkan bahwa ciri-ciri hak milik

menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 itu mirip dengan hak milik yang kita

kenal dalam KUH Perdata yakni mengandung kekuasaan menguasai.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa hak milik itu

mempunyai batas-batas sebagai berikut:

a. hak milik atas tanah tidak boleh semata-mata dipergunakan (tidak

dipergunakan) untuk kepentingan pribadi, akan tetapi harus seimbang dengan

kepentingan umum;

b. tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain;

c. harus diperlihara baik-baik;

d. pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah; e. pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.

Page 47: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xlvii

Di dalam pasal 570 KUH Perdata dikemukakan bahwa batasan hak milik adalah

undang-undang, peraturan umum dan tidak boleh menimbulkan gangguan kepada

pihak lain, dengan demikian berbeda atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

Batasan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menunjukkan bahwa

hak milik bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas, akan tetapi dibatasi

oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh hukum publik. Hukum publik memberikan perintah dan larangan terhadap pemilik mengenai apa yang boleh

dilakukan dalam menggunakan hak miliknya, seperti jika hendak mendirikan bangunan,

maka pemilik wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh pemerintah.

Juga dari sesama anggota masyarakat, wewenang yang boleh dilakukan oleh pemilik

terhadap miliknya terbatas, yaitu tidak boleh melanggar undang-undang dan kepatutan

yang terdapat di dalam masyarakat dalam hal tertentu wajib memperhatikan Hukum

Adat. Jika pemilik melakukan perbuatan melawan hukum atau menimbulkan gangguan

kepada pihak lain, maka ia dapat digugat untuk memberikan ganti rugi, demikian juga

jika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

AKIBAT HUKUM PENELANTARAN HAK MILIK ATAS TANAH

1. Klasifikasi Penelantaran Tanah

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan

hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib

menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah

terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat

bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam kenyataannya masih banyak terdapat bidang-bidang tanah yang

dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak sesuai dengan

keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hak atas

tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. Segala hak atas tanah menjadi hapus keberadaannya, bilamana atas hak atas

tanah tersebut ditelantarkan. Hak milik atas tanah hapus jika ditelantarkan ditemukan

rumusan ketentuannya dalam pasal 27 sub a angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1960, demikian juga dengan hak guna usaha akan hapus bilamana ditelantarkan yang

diatur dalam pasal 34 sub e Undang-undang Nomor 5 tahun 1960.

Hak guna bangunan tidak terkecuali hapus pula jika ditelantarkan, hal ini diatur dalam

pasal 40 sub e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

Rumusan ketentuan pasal 27 sub a angka3, pasal 34 sub e, dan pasal 40 sub e

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut direalisasikan dan dikonkretkan dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tersebut mengatur tentang tanah terlantar dengan ruang lingkup segala tanah-tanah yang dikuasai

Page 48: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xlviii

dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan serta

tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas

tanahnya sesuai dengan ketentuan pertauran perundang-undangan yang berlaku.

Setiap tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik,

adalah merupakan kriteria untuk menentukan sesuatu tanah dalam keadaan ditelantarkan atau tidak. Kriteria ini berlaku untuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan

atau hak pakai.

Di samping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 juga mengacu

pada Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yaitu bilamana hak

milik, hak guna bangunan atau hak pakai penggunaannya tidak sesuai dengan

peruntukan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan

penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.

Ketentuan tentang penggunaan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai

yang harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah diatur dalam pasal 4 Peraturan

Pemerintah Nomor 36 tahun 1998. Pasal ini dapat ditafsirkan secara a contrario, bahwa

bilamana suatu bangunan telah didirikan di atas hak milik, hak guna bangunan ataupun

hak pakai sebelum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah tidak dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar. Hal ini dapat dianalisis dari aturan ketentuan yang dimuat dalam pasal 1

angka 5 Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 yang mendefinisikan rencana tata ruang

sebagai hasil perencanaan tata ruang. Artinya tata ruang itu dianggap telah dibentuk

bilamana telah ada rencana tata ruang wilayah.

Adapun terhadap sebidang tanah yang telah dinyatakan terlantar, maka tanah

tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, hal ini diatur dalam pasal 15

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998. Kepada bekas pemegang hak atau pihak

yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan

sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan

bukti-bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh

hak atas dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh meteri agraria.

Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan

atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau

bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan

tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi. Adapun ganti rugi dimaksud

dibebankan kepada pihak yang oleh menteri agraria ditetapkan sebagai pemegang hak

yang baru atas tanah tersebut.

2. Penelantaran Hak Milik atas Tanah

Pengertian hak milik adalah hak yang dapat diwariskan secara turun temurun

secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi

perpindahan hak. Ini merupakan bentuk pengejewantahan dari pengertian hak milik sebagai hak yang terkuat diantara sekian banyak hak yang ada. Dalam pasal 570 KUH

Page 49: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xlix

Perdata, hak milik ini dirumuskan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu

kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan

kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak

mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan

akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan pembayaran ganti rugi.

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian akan hak milik seperti

yang dirumuskan dalam pasal 20 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada ayat 1

ditentukan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan tepenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah.

Ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa hak milik adalah hak yang terkuat

dan terpenuh yan dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti

bahwa hak itu merupakan hak mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat

sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan

terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak, yang

bersifat religio-magis.59

Kalimat terkuat dan terpenuh pada hak milik, itu dimaksudkan untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain. Hal

ini untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang

hak miliklah yang paling kuat dan paling penuh.

Oleh karena di dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 semua hak

atas tanah mempunyai fungsi sosial, hal ini berbeda pengertiannya dengan eigendom

sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH Perdata yang menentukan bahwa

hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa

yang ada di atasnya dan di dala tanah.

Di atas tanah, pemilik dapat mengusahakan segala tanaman dan mendirikan

setiap bangunan yang disukai. Dengan tidak mengurangi akan hakekat dari hak milik

tersebut. Di bawah tanah pemilik dapat membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, sepanjang hasil tersebut

bukan merupakan obyek kepentingan umum. Penjabaran hak milik ini merupakan

pengertian hak milik menurut KUH Perdata.

Dengan demikian, maka pengertian terkuat seperti yang dirumuskan dalam

pasal 571 KUH Perdata ini akan berlainan dengan yang dirumuskan dalam pasal 20

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, oleh karena dalam Undang-undang Nomor 20

tahun 1960 sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa segala hak mempunyai sifat

sosial, berbeda dengan pengertian eigendom yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH

Perdata.

Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah ini, maka hanya warga negara

Indonesia yang mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam

59

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Cet.VII, Haji Masagung, Jakarta,

1988, h.198

Page 50: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 l

pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Hak milik atas tanah yang hanya

berlaku bagi warga negara Indonesia ini dapat diketahui di dalam penjelasan umum

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada angka romawi II sub 5, yaitu bahwa

pemilikan tanah dipakai asas kebangsaan, yang ditegaskan bahwa sesuai dengan asas

kebangsaan tersebut dalam Pasal 1 maka menurut pasal 9 yunkto pasal 21 ayat 1

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960). Adapun pertimbangan untuk melarang badan-

badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah guna mencegah usaha-usaha yang

bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan batas maksimum luas tanah yang dipunyai

dengan hak milik.

Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak mempunyai hak milik atas

tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya

dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian maka didakanlah suatu

escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik.

Dengan adanya escape clause ini, maka cukuplah bila ada keperluan akan hak milik

bagi suatu macam badan hukum diberikan dispensasi oleh pemerintah, dengan jalan

menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Badan-badan

hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak

milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usaha dalam bidang sosial

dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu

mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada azasnya

badan hukum tidak dimungkinkan untuk mempunyai hak milik atas tanah, hal ini

dikecualikan oleh undang-undang serta peraturan lainnya, seperti dapat kita lihat dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 bahwa badan-badan hukum yang dapat

diberikan hak milik adalah: a. bank-bank yang didirikan oleh negara;

b. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan

Undang-undang Nomor 79 tahun 1958;

c. badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri Agama;

d. badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri Sosial.60

Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang

sudah dipunyai sejak tanggal 24 Sepetember 1960 (sebelum berlakunya Undang-undang

60

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cet.XII, Djambatan, Jakarta, 1994, h.858

Page 51: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 li

Nomor 5 Tahun 1960), sedangkan sesudah tanggal tersebut diberikan hak guna

bangunan atau hak pakai.

Dengan mengakaji uraian di atas, hak milik atas tanah pada dasarnya hak milik

atas permukaan bumi yang disebut sebagai tanah. Hak milik atas tanah merupakan hak

yang terkuat dan terpenuh, diantara hak atas tanah lainnya. Mengingat hak milik atas

tanah tidak dibatasi oleh tengang waktu masa penguasaannya, berbeda halnya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Hak-hak atas tanah sebagaimana

disebutkan pada kalimat terakhir di atas adalah dibatasi oleh tenggang waktu

penguasaannya, yaitu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk paling lama 20

tahun hak guna bangunan, demikian halnya dengan hak yang lainnya.

Kendati hak milik sebagaimana diuraikan di atas adalah merupakan hak atas

tanah yang terkuat dan terpenuh dan pemilik dapat berbuat secara bebas atas tanah

miliknya tersebut, namun pada keadaan tertentu hak milik melemah dan tidak dapat

dipertahankan keberadaannya. Status hak milik dapat melemah bilamana berhubungan

dengan hak-hak komunal,61 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 disebut

kepentingan sosial (pasal 6).

Di samping hak milik menjadi melemah jika berhadapan dengan kepentingan

sosial, juga hak milik menjadi tidak kuat statusnya bilamana hak milik atas tanah ditelantarkan, hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 1998. Hak milik dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini menjadi

hapus keberadaannya jika ditelantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan rencana tata

ruang wilayah ketika hak milik itu baru akan digunakan. Sedangkan bilamana hak milik

atas tanah itu telah digunakan dan diperuntukkan jauh sebelum adanya rencana tata

ruang wilayah, maka eksistensi hak milik atas tanah tersebut tidak dapat diganggu atau

dihapuskan.

Seperti halnya uraian di atas, bilamana hak milik atas tanah telah

terklasifikasikan sebagai tanah terlantar, maka tanah milik yang dinyatakan sebagai

tanah terlantar tersebut dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Artinya tanah milik telah berubah status haknya menjadi tanah negara.

PEMBEBASAN TANAH

1. Pembebasan Tanah dan Aspek Hukumnya

Tidak satu persoalanpun tentang pembebasan tanah diatur secara tegas dalam

peratuan tentang pembebasan tanah. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

pasal 27 hanya menegaskan bahwa hak milik itu hapus karena pencabutan hak untuk

kepentingan umum dan karena penyerahan dengan sukarela ole pemiliknya. Sedangkan

di dalam pasal 34 dan 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 hanya mengenai

61Soerojo Wignjodipoero, Loc.cit.

Page 52: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lii

hapusnya hak-hak tertentu. Seperti yang telah ditegaskan dalam pasal 34 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu bahwa hak guna usaha hapus karena:

a. jangka waktunya berakhir;

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

c. dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. ditelantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. karena ketentuan pasal 40 ayat 2.

Sedangkan di dalam pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960

menentukan bahwa hak guna bangunan hapus karena:

a. jangka waktunya berakhir;

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

c. dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. ditelantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. karena tidak memenuhi syarat dalam pasal 36 ayat 2.

Dengan kata lain bahwa di dalam Undang-undang Pokok Agraria mengejar

hapusnya hak atas tanah itu, yaitu mengenai hak guna usaha dan hak guna bangunan,

secara tegas disebutkan karena dicabut haknya atau oleh karena dilepaskan haknya

sebelum jangka waktunya berakhir.

Sepanjang mengenai pembebasan tanah ini, terutama diatur di dalam Peraturan

Pemerintah maupun di dalam peraturan meneri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara

Pembebasan tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak

swasta. Pembebasan tanah, janganlah dicampurbaurkan dengan pencabutan hak atas

tanah. Jika pencabutan hak atas tanah secara tegas telah diatur dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960, akan tetapi mengenai pembebasan tanah diatur dengan peraturan-

peraturan lainnya.

Pertimbangan pembebasan tanah umumnya didasarkan atas pertimbangan

untuk keperluan berbagai macam pembangunan, sedang tanah negara yang tersedia

untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas sekali atau bahkan tidak ada

lagi. Sehingga satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan

tersebut, ialah dengan cara pembebasan tanah milik rakyat atau tanah yang dikuasai

oleh masyarakat hukum adat dengan hak-hak adat, atau tanah dengan hak-hak lainnya.

Page 53: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 liii

Adapun yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang

bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di

antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara pemberian ganti rugi

kepada yang berhak atau penguasai tanah itu.

Pelaksanaan pebebasan tanah haruslah berdasarkan pada Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dengan memperhatikan ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Agraria tanggal 3 Pebruari 1975 Nomor Ba.12/108/12/1975 tentang

pelaksanaan pembebasan tanah. Di mana akhirnya ketentuan dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 55

tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk

Kepentingan Umum.62

Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di

dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika dilihat dari kebutuhan pemerintah

akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara

yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh

yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak

lainnya yang melekat di atasnya.

Dalam rangka pelaksanaan pembebasan tanah, telah digariskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang tertuang dalam Tap MPR Nomor

IV/MPR/1973. bahwa pelaksana pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan

hasil-hasil pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil

pembangunan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata-mata, melainkan

menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab

masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus ditumbuhkan,

dengan mengikutsertakan masyarakat secara adil. Demikian, jika masyarakat

melepaskan tanah-tanah mereka, pelepasan hak itu perlu dengan rasa keiklasan demi

pembangunan bangsanya. Tetapi pemerintah juga dituntut untuk melaksanakan aturan

perundang-undangan yang ada, seperti yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun

1993. Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat

pada pemegang hak atau penguasa tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi

atas tanah yang dibebaskan berupa:

a. tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960;

b. tanah-tanah dari masyarakat hukum adat;

Dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia

pembebasan tanah haarus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang

hak atas tanah dan atau benda yang ada di atasnya berdasarkan harga umum

setempat.

62

Boedi Harsono, Op.cit., h.599

Page 54: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 liv

Ganti rugi berdasarkan harga umum setempat, berarti harga itu harus benar-

benar memperhatikan kepentingan rakyat yang terkena pembebasan tanah. Untuk itu

ganti rugi harus didasarkan pada penaksiran seluruh nilai yang ada di tanah yang akan

dibebaskan tersebut dengan cara mengusahakan persetujuan antara kedua belah pihak.

Kecuali itu harus diperhatikan pula faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah

bersangkutan. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi atas bangunan dan tanaman, panitia

harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan

Umum dan Dinas Pertanian setempat, tentang lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya

yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi

atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan tersebut, di

mana ganti ruginya dapat berbentuk uang, tanah atau fasilitas-fasilitas lainnya.

Pihak yang berhak atas ganti rugi dalam pembebasan tanah ialah mereka yang

berhak atas tanah atau benda yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada hukum

adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

Pemerintah yang dalam hal ini berperan aktif secara kolektif merupakan unsur

panitia dalam pembebasan tanah terdiri dari63: - Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap

anggota;

- Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Kabupaten yang ditunjuk oleh

Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan sebagai anggota;

- Kepala Pajak Bumi dan Bangunan atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;

- Seorang yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai

anggota;

- Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat I atau pejabat yang ditunjuk

apabila mengenai tanah bangunan, sedang jika mengenai pertanian Kepala

Dinas Pertanian tingkat II atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;

- Kepala Wilayah Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota; - Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota;

- Seorang pejabat dari Kantor Badan Pertanahan sebagai anggota.

Dengan demikian dalam rangka pembebasan tanah ini kalau dilihat kompisisi

keanggotaan panitia, kemungkinan kecil akan terjadi kebocoran-kebocoran, atau

paling tidak rakyat akan benar-benar dilindungi haknya. Karenanya dalam

penentuan harga tanah, panitia yang bertugas mengadakan penaksiran besarnya ganti

rugi atas tanah, dan bangunan-bangunan serta tanaman-tanaman yang ada di atasnya

mengusahakan persetujuan kedua belah pihak berdasarkan musyawarah. Dan apabila

tercapai kesepakatan harga, harus dilakukan langsung oleh instansi yang

memerlukan kepada yang berhak menerima. Dengan demikian kita harapkan tidak

akan terjadi mendeknya pembangunan untuk kepentingan umum dari adanya

63

Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.77

Page 55: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lv

oknum-oknum yang hendak mencari keuntungan pribadi. Hak dan kedudukan

hukum pemegang hak harus dihormati, karena ini merupakan hak paling dasar.

Mengingat tanah merupakan tumpuan hidup rakyat yang mempunyai nilai

ekonomis, bagaimana mungkin kalau ganti rugi yang diterima untuk membeli tanah

di tempat lain ternyata hanya dapat membeli tanah saja dan tiada sisa biaya untuk

melanjutkan membangunan rumah tempat tinggal.

2. Pemberian Ganti Rugi dalam Pembebasan Tanah

Di tahun sembilan puluhan, masalah pertanahan mulai banyak mendapat

sorotan dari berbagai mass media, terutama bagaimana untuk menentukan harga

patokan akan tanah yang terkenan pembebasan atau terkena proyek-proyek pemerinah.64

Secara umum falsafah dasar tanah adalah bahwa tanah sejak semula asalnya tidak

diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti

menjual miliknya, yang benar ia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah

selama itu dikuasainya.

Hal di atas adalah benar, jika kita mengkaji bahwa tanah di samping

mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial, yang berarti di sini, hak atas

tanah tidaklah mutlak. Namun demikian negara harus menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya, yang dijamin dengan undang-undang.

Dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 hak-hak atas tanah yang

dapat diberikan kepada warga negaranya berupa hak milik atau hak guna usaha, hak

guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan,

dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai disebutkan dalam

pasal 53 (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah

pertanian).

Hal di atas, berarti nilai secara ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan

hak yang melekat pada tanah itu, dengan demikian ganti rugi atas tanah juga

menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu, akan tetapi negara mempunyai wewenang di dalam melaksanakan pembangunan nasional di

negara kita, yang telah diatur dengan berbagai undang-undang maupun peraturan

pemerintah dengan penentuan hak atas tanah maupun pembebasan tanah seperti yang

diatur di dalam perundang-undangan.

Dalam hubungannya dengan pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah

itu, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-

data yang diajukan di dalam mengadakan taksiran akan ganti rugi di dalam rangka

pembebasan tanah yang akan terkenan itu. Sehingga apabila telah mencapai suatu

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi maka baru dilakukan pembayaran

ganti rugi, dan ganti rugi ini hendaklah secara langsung kepada yang berhak. Setelah itu

64

Putusan Badan Peradilan, Kasus Pembebasan Tanah Waduk Kedung Ombo, Majalah Hukum

Bulanan Tahun IX No.107, Agustus 1994, h.5

Page 56: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lvi

baru diadakan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga

apa yang dikhawatirkan akan peranan calo-calo tanah dapat ditekan seminimal

mungkin.

Apabila pembebasan tanah secara musyawarah ini tidak mendapatkan jalan

keluar, antara pemegang hak atas tanah dan pemerintah, sedang tanah itu akan

digunakan untuk kepentingan umum maka dapat ditempuh cara seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah

dan benda-benda yang berada di atasnya.

Sebelum tanah itu akan dibebaskan, maka perlu untuk meneliti tentang tanah

yang akan dibebaskan itu dengan menentukan taksiran ganti rugi. Taksiran ganti rugi

atas tanah dilakukan oleh Panitia Penaksir yang bertugas melakukan dan menetapkan

ganti rugi dalam rangka pembebasan hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan atau

benda di atasnya. Pembentukan Panitia Penaksir tersebut ditetapkan oleh Gubernur

Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten dan Kotamadya dalam suatu wilayah

propinsi yang bersangkutan. Dengan Panitia ini sebenarnya sudah terjawab seberapa

jauh harga patokan tanah akan ditetapkan di satu wilayah.

Panitia yang telah ditunjuk dalam suatu ketepan Gubernur di atas bukanlah

merupakan panitia yang bersifat khusus artinya jika pembebasan tanah itu telah selesai, panitia tersebut bubar dan panitia itu hanya untuk pembebasan tanah tertentu saja.

Selain itu dari panitia ini juga ada yang karena jabatannya merupakan anggota tetap

seperti Kepala Badan Pertanahan, pejabat dari pemerintah kabupaten, kepala kantor

Pajak Bumi dan Bangunan dan instansi yang memerlukan tanah.

Dalam rangka pembebasan tanah ini, panitia harus melakukan tugasnya dengan

bersandar pada peraturan-peraturan yang berlaku atas dasar asas musyawarah dan harga

umum setempat. Sedangkan harga umum di sini harus melihat kenyataan yan ada di

dalam masyarakat dengan melihat pula faktor-faktor tentang letak tanah yang dapat pula

mempengaruhi harga tanah, dengan demikian pantia penaksir ganti rugi tanah ini akan

mewujudkan kemauan para pihak dengan adil serta bijaksana sehingga apa yang kita

tawarkan tentang terjadinya pemerkosaan atas hak-hak warga negara akan dihindarkan, sebagaimana yang telah terjadi dalam kasus waduk kedung ombo.

Prinsip hak warga negara harus dihormati, apabila menyangkut hak hidup

rakyat banyak, karena tanah mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial,

dengan demikian pemberian ganti rugi haruslah dilihat hak atas tanah yang melekat di

atasnya.

Masalah tanah adalah masalah yang menyentuk hak rakyat yang paling dasar. Tanah, di

samping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, karena fungsi sosial inilah

yang kadang kala kepentingan pribadi atas tanah dikorbankan untuk kepentingan umum.

Ini dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak

berupa uang semata akan tetapi dapat juga berbentuk tanah atau fasilitas lain. Misalnya,

dipindahkan ke tempat lain yang memang diperuntukkan bagi perumahan dengan

mendapat prioritas utama, dan tentunya jika penggantian ini dengan uang haruslah dengan jumlah yang layak. Harga layak di sini haruslah harga umum menurut undang-

Page 57: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lvii

undang, yang artinya pantas menurut kesusilaan umum, karena jika menurut harga

pasaran, ini acapkali sudah melalui perantara.

Harga atanah yang dibebaskan itu haruslah yang pantas, yang sifatnya tidaklah

terlalu murah. Ini tentunya sangat relatif, sehingga kadang-kadang pemilik tanah merasa

tidak puas atas ganti rugi yang bakal diterima. Bilamana terjadi hal yang demikian maka

terhadap keputusan panitia tersebut dapat dimintakan banding kepada Pengadilan tinggi dalam daerah hukumnya tanah yang bersangkutan dalam tenggang waktu satu bulan

terhitung sejak diterima keputusan pembebasan tanah dimaksud. Hal ini sebagaimana

yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara

Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-

hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

KESIMPULAN

Dari seluruh uraian di atas, maka dapatlah penulis tarik beberapa kesimpulan

yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Sifat-sifat yang melekat dalam hak milik adalah hak yang dapat diwariskan

secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan hak yang

terkuat diantara sekian hak-hak atas tanah yang ada, dalam pasal 570 KUH

Perdata hak milik dirumuskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati

kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap

kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan

undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan

yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,

kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak

demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan

pembayaran ganti rugi;

b. Kriteria yang dapat diterapkan terhadap hak milik, sehingga dapat berubah menjadi tanah negara ialah hanya karena dua alasan yaitu karena ditelantarkan

dan karena dibebaskan untuk kepentingan umum. Bilamana negara akan

mengambil alih hak milik seseorang, maka harus dilakukan proses identifikasi

terlebih dahulu, bilamana memang terbukti benar terjadi penelantaran hak

milik, maka pemerintah dapat melakukan tegoran sebanyak tiga kali tegoran.

Apabila terhadap tegoran-tegoran itu tidak diindahkan, maka barulah

pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Pertanah Kabupaten

mengeluarkan ketetapan bahwa tanah tersebut ditelantarkan. Selanjutnya

melakukan penguasaan langsung atas tanah milik yang ditelantarkan tersebut.

Ini berarti kendati, hak milik merupakan hak atas tanah yang terpenuh dan

terkuat dan dapat dipertahankan sebagai hak kebendaan terhadap siapapun

akan keberadaan haknya, tetapi dalam hal terjadi atau berbenturan dengan fungsi sosial tanah, maka hak milik menjadi luluh.

Page 58: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lviii

c. Proses pembebasan tanah, sehingga status tanah yang dibebaskan menjadi

dikuasai langsung oleh negara adalah dilakukan dengan perantaraan Panitia

Penaksir. Panitia Penaksir melakukan taksiran harga atas tanah yang akan

dibebaskan dengan mendasarkan pada harga umum tanah yang bersangkutan di

tempat tersebut pada saat itu juga. Pada dasarnya penentuan harga atas tanah

yang akan dibebaskan didasarkan pada asas musyawarah, namun bilamana tidak terjadi kesepakatan akan harga yang telah ditetapkan oleh Panita

Penaksir, maka dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi yang

mempunyai wilayah hukum di tanah yang dibebaskan tersebut. Pengajuan

keberatan tersebut harus diajukan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya

satu bulan terhitung sejak diterimanya surat ketetapan harga oleh Panitia

Penaksir. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan

Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973.

SARAN

Saran yang dipandang cukup relevan dapat dikemukakan dalam tulisan ini,

yaitu: a. Dalam era reformasi, kekuatan hak milik dipandang perlu ditempatkan pada

kedudukannya yang proporsional, dengan harapan jangan sampai hak milik

melepaskan fungsi sosial dari tanah sebagaimana hal ini telah dicanangkan

oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960;

b. Di sini lain, pemahaman Hak Azasi Manusia oleh penguasa perlu dicermati

dengan maksud agar tidak terjadi pengambilalihan hak milik yang

ditelantarkan dengan semena-mena, tanpa proses hukum yang telah ditentukan

oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998;

c. Demikian halnya terhadap pembebasan tanah, agar pemberian ganti kerugian

itu diberikan secara cukup layak. Dengan harapan agar setelah tanah yang

bersangkutan dibebaskan, pemilik dapat mempunyai tempat tinggal yang layak huni.

Page 59: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lix

TANGGUNG JAWAB YURIDIS

BENDA SITAAN DALAM PERKARA PIDANA

Oleh:

Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*

ABSTRAK

Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir

tahun 1981 sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi

terwujudnya cita-cita dalam bidang keadilan hukum. Hukum Acara

Pidana tersebut memberikan batasan terhadap tindakan penyitaan

yang dilakukan aparat, baik terhadap pelaksanaannya maupun

terhadap obyek sitaannya.

Kata Kunci: Penyitaan – Benda dalam perkara pidana –

Peralihan tanggung jawab.

LATAR BELAKANG

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada Pasal 1 butir 16

memberi pengertian penyitaan sebagai berikut, "Penyitaan adalah serangkaian tindakan

penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda

bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan."

Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan

perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan

Hak Asasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak

terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Asasi Manusia itu dapat ditemukan

dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita,

tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam

kasus-kasus konkrit.

Page 60: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lx

Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat

dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)65 yang berlaku di

Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember

1981.66 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945

adalah mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara.

Hak warga negara inilah yang utama dibandingkan dengan hak politik dan hak

sosial, sebab hanya apabila warga negara ini benar-benar dimiliki oleh para warga

negara dan dipertahankan oleh pengadilan, barulah hak politik dan hak sosial

mempunyai arti. Pengertian HAM itu sendiri adalah inhaerent dipunyai oleh setiap

manusia makhluk Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan kepada semua hamba-Nya

tanpa pandang bulu.

Hak asasi manusia adalah demikian melekat pada sifat manusia, sehingga

tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Karena itu

pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar,

sebagaimana hal ini telah dijamin oleh sila kedua dari Pancasila yaitu sila Kemanusiaan

Yang Adil dan Beradab dengan disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila. Karakteristik inilah yang membedakan Hak asasi manusia dari hak-hak lainnya yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita.

Pandangan bahwa penyebutan hak selalu dibarengi dengan pertain adanya

kewajiban timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah

simetris. Adalah kesimpulan yang keliru bahwa hak dan kewajiban itu berada pada

subyek yang sama. Penyebutan hak selau harus dibarengi dengan pengertian adanya

kewajiban. Sebagai contoh bahwa jika seseorang mempunyai sesuatu hak, maka orang

lain dalam hal yang sama mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hal yang

sama tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia

termasuk hak warga negara selalu melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh

warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasan

memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin

dipergunakan istilah hak dan kewajiban asasi manusia, maka pengertiannya adalah

adanya hak pada individu dan adanya kewajiban pada pemerintah. Hak Asasi Manusia

pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah untuk melindungi individu

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 65

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3

66

Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989, h.440

Page 61: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxi

tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara

atau aparat pemerintahan sendiri.

Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981

sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita dalam

bidang keadilan hukum. KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa

konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap

tindak, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan menjunjung

tinggi hak asasi manusia, terutama terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan

pidana.

Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang

sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar

merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung

timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk

kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.67

Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan

Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang

selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan

norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi

pelaku dari sesuatu tindak pidana.

Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu

pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah

yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat

dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.68

Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana

penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda

dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)

sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat

membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya

sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan

67Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling

Terpercaya mengenai Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum

Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35 68Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung,

1984, h.13

Page 62: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxii

pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa

KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif

tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam

masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP.

Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap

penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi

masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin

sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang

untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak

sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan

jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer),

maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan

mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan

ketidakseimbangan dalam masyarakat.

Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin

kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.69 Prof. Mr.

Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.70

Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang

telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana

sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk

menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya)

berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung

ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.71

RUMUSAN MASALAH

Peraturan pidana yang telah menjadi hukum positif, tiada lain ditujukan dengan maksud untuk menjaring pelaku kejahatan. Selanjutnya untuk mempertahankan hukum

pidana tersebut haruslah diterapkan hukum acaranya yaitu Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yang biasa disingkat dengan KUHAP. Di mana tiap-tiap tindak

pidana atau kejahatan harus diawali proses penyidikan setelah sebelumnya dilakukan

penyelidikan.

Sementara itu, acapkali dalam proses penyidikan diperlukan suatu bukti,

sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat 1 KUHAP yaitu keterangan saksi,

keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan terdakwa.

69Kansil C.S.T., Op.Cit, h.40 70Ibid., h.42 71Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta,

2000, h.5

Page 63: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxiii

Sementara bukti tersebut berada di pihak lain, dalam kondisi demikian pasal 39

KUHAP memberikan fasilitas kepada pejabat yang berwenang guna melakukan

penyitaan.

Atas dasar fakta tersebut di atas, maka Penulis memandang cukup relevan

untuk mengangkat beberapa permasalah hukum dengan rumusan kalimat:

a. Benda apakah yang dapat disita dalam perkara pidana? b. Bagaimanakah peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan dalam

proses perkara pidana?

BENDA OBYEK PENYITAAN PERKARA PIDANA

1. Benda yang Tidak dan Dapat Dilakukan Penyitaan

Berpikir secara sistematika perundang-undangan, jauh lebih tepat jika secara

keseluruhan masalah penyitaan diatur dalam suatu bab dan bagian paling tepat

ditempatkan dalam Bab V, Bagian Keempat, sehingga lebih mudah mempelajarinya.

Oleh karena itu, kita kurang memahami apa rasio menempatkan Pasal 128-130 pada

Bab XIV, Bagian Kedua KUHAP berjudul Penyidikan. Sementara penyitaan pada

hakikatnya termasuk wewenang dan fungsi penyidikan.72 Kalau begitu tidak ada urgensi

untuk dipisah-pisah. karena Pasal 128 sampai dengan Pasal 130, benar-benar aturan yang menyangkut penyitaan. Dengan demikian lebih tepat digabung pada Bab V Bagian

Keempat.

Pengertian penyitaan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang

berbunyi "Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan

atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,

penuntutan dan peradilan."

Memperhatikan pengertian di atas, kata yang dipergunakan kurang bernada

paksa. Lebih mirip bersifat kata-kata dalam hukum perdata, hal bersesuaian dengan

kalimat "mengambil alih". Seolah-olah benda yang hendak disita, semula adalah

kepunyaan penyidik, dan kemudian bendanya itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula. Karena itu kata-kata mengambil alih kurang tepat dipergunakan dalam

tindakan penyitaan pada tindak pidana. Kata mengambil alih, dihilangkan saja serta

mengganti menyimpan dengan kata "menaruh". Dengan mempergunakan kata menaruh,

lebih tegas diketahui bersifat upaya paksa daripada kata menyimpan yang berbau

perdata. Memang jika dalam perdata sesuai benar dipakai kata "menyimpan di bawah

pengawasannya"73. Tetapi dalam hukum publik tepat dipakai kata "menaruh di bawah

kekuasaannya".

72Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem

dan Prosedur, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.94 73Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta,

1988, h.62

Page 64: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxiv

Terlepas daripada persoalan pemakaian kata-kata yang kurang tepat di atas

penyitaan dalam pengertian hukum acara pidana yang digariskan KUHAP adalah

"upaya paksa" yang dilakukan penyidik untuk74:

a. mengambil atau katakan saja "merampas" sesuatu barang tertentu dan seorang

tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan

dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum (wederechtelyk),

b. setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan

di bawah kekuasaannya.

Tujuan penyitaan, untuk kepentingan "pembuktian", terutama ditujukan

sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti,

perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi

lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan

sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan

pengadilan.

Kadang-kadang barang yang disita bukan milik tersangka, adakalanya barang

orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana

pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa ijin yang sah menurut

perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi.

Penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan,

sesudah lewat taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas

nama penyidik. Itu sebabnya Pasal 38 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa

penyitaan hanya dapat dilakukan oleh "penyidik". Dengan penegasan Pasal 38 KUHAP

tersebut, telah ditentukan dengan pasti, hanya penyidik yang berwenang melakukan

tindakan penyitaan.

Penegasan ini dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum, agar tidak

terjadi ketidak-pastian seperti yang dialami pada masa yang lalu di mana Polri dan

penuntut umum sama-sama berwenang melakukan penyitaan, sebagai akibat dari status, sama-sama memiliki wewenang melakukan penyidikan75. Ketidak-pastian ini diperbarui

KUHAP, dengan meletakkan landasan prinsip diferensiasi dan spesialisasi fungsional

secara instansional, seperti yang dijelaskan pada uraian terdahulu.

Sama sekali hal ini tidak mengurangi kemungkinan akan adanya penyitaan

pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan, pengadilan. Namun demikian

pelaksanaan penyitaan "mesti diminta" kepada penyidik. Seandainya, dalam

pemeriksaan sidang pengadilan berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan suatu

barang, untuk itu hakim mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum

agar penyidik melaksanakan penyitaan barang dimaksud.

74Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.31 75Andi Hamzah, Op.Cit., h.59

Page 65: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxv

Memperhatikan ketentuan yang mengatur penyitaan, undang-undang

membedakan beberapa bentuk tata cara penyitaan. Ada yang berbentuk biasa dengan

tata cara pelaksanaan biasa. Bentuk yang biasa dengan tata cara yang biasa merupakan

landasan aturan umum penyitaan. Akan tetapi, pembuat undang-undang telah

memperkirakan kemungkinan yang timbul dalam konkreto. Berdasar perkiraan

kemungkinan itu mendorong pembuat undang-undang mengatur berbagai bentuk dantata cara penyitaan, agar penyitaan bisa terlaksana efektif dalam segala kejadian.

Penyitaan dengan bentuk dan prosedur biasa merupakan aturan umum

penyitaan. Selama masih mungkin dan tidak ada hal-hal yang luar biasa atau keadaan

yang memerlukan penyimpangan, aturan bentuk dan prosedur biasa yang ditempuh dan

diterapkan penyidik. Penyimpangan dan aturan bentuk dan tata cara biasa, hanya dapat

dilakukan apabila terdapat keadaan-keadaan yang mengharuskan untuk mempergunakan

aturan bentuk dan prosedur lain, sesuai dengan keadaan yang mengikuti peristiwa itu

dalam kenyataan.

Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan secara umum harus ada "Surat ijin"

Penyitaan dan Ketua Pengadilan Negeri sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih

dulu meminta ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut,

penyidik memberi penjelasan dan alasan-alasan pentingnya dilakukan penyitaan, guna dapat memperoleh barang bukti baik sebagai barang bukti untuk penyidikan,

penuntutan, dan untuk barang bukti dalam persidangan pengadilan.

Apakah Ketua Pengadilan Negeri berhak menolak permintaan ijin, tentang hal

ini undang-undang tidak menegaskan. Akan tetapi secara logika, dapat menolak

memberikan ijin. Lagi pula salah satu tujuan pokok ijin penyitaan dari Ketua Pengadilan

Negeri, dalam rangka pengawasan dan pengendalian, agar tidak terjadi penyitaan yang

tidak perlu atau penyitaan yang bertentangan dengan undang-undang. Bertitik tolak dari

latar belakang pemberian ijin sebagai pengawasan dan pengendalian, Ketua Pengadilan

Negeri berwenang penuh untuk menolak permintaan yang diajukan penyidik. Cuma

penolakan ijin yang dilakukan memuat alasan berdasar hukum dan undang-undang.

Jangan asal menolak tanpa argumentasi atau pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana halnya kalau Ketua Pengadilan Negeri menolak

pemberian ijin, upaya apa yang dapat ditempuh penyidik dalam kejadian penolakan ini,

tentang hal ini undang-undang tidak memberikan jalan keluar sebagai alternatif

menurut wajarnya, penyidik dapat meminta atau mengajukan perlawanan kepada Ketua

Pengadilan Tinggi. Sebab, jika tidak dibuka perlawanan terhadap penolakan pemberian

ijin penyitaan, berarti sekali Ketua Pengadilan Negeri menolak, tindakan penyitaan

mengalami jalan buntu.

Kemungkinan besar penyidik paling dapat menempuh altematif

mempergunakan bentuk dan cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak, dengan segala risiko yang akan dihadapi. Karena, sedang cara biasa saja pun

permintaan ijin ditolak, apalagi ditempuh dengan cara luar biasa (dalam keadaan yang

perlu dan mendesak), sejak semula penyidik dapat membayangkan akan terjadi penolakan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan "persetujuan". Memperhatikan

Page 66: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxvi

semua kesulitan yang dihadapi oleh penyidik jika berani menempuh cara penyitaan

dengan mempergunakan alasan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, alternatif

yang terbaik ditempuhnya ialah bentuk dan cara penyitaan "tidak langsung", yakni

penyitaan dengan jalan mengeluarkan surat perintah, agar barang yang hendak disita,

diperintahkan supaya diserahkan tersangka atau pemilik/pemegang kepada penyidik.

Dengan menempuh cara ini, penyidik tidak terikat kepada ijin penyitaan Ketua Pengadilan Negeri.

Satu hal terpenting bagi pejabat yang akan melakukan penyitaan adalah

keharusan memperlihatkan atau Menunjukkan Tanda Pengenal. Syarat kedua yang

harus dipenuhi penyidik, menunjukkan "tanda pengenal" jabatan kepada orang dan

mana benda itu akan disita. Hal ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang

bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128

KUHAP)76. Dengan adanya ketentuan ini, tanpa menunjukkan lebih dulu tanda

pengenal, orang yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan

penyitaan.

Selanjutnya pejabat yang melakukan penyitaan harus memperlihatkan Benda

yang Akan Disita (Pasal 129 KUHAP) Penyidik harus memperlihatkan benda yang akan

disita kepada orang dan mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini untuk "menjamin"

adanya kejelasan atas benda yang disita. Dan pada saat penyidik memperlihatkan benda

dimaksud kepada orang tersebut atau keluarganya, penyidik dapat meminta keterangan

kepada mereka tentang asal usul benda yang akan disita.

Penyitaan dan Memperlihatkan Benda Sitaan Harus Disaksikan oleh Kepala

Desa atau Ketua Lingkungan dengan Dua Orang Saksi. Syarat atau tata cara

selanjutnya, ada kesaksian dalam penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan

disita. Dengan ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus

membawa saksi ke tempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga orang. Saksi

pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua lingkungan (Ketua RT/RW), ditambah

dua orang saksi lainnya (Pasal 129 ayat (1) KUHAP). Siapa yang dapat dijadikan saksi, pembuat undang-undang tidak menegaskan.

Oleh karena itu, sebaiknya diikuti dan dipegangi penjelasan Pasal 33 ayat (4), yang

menegaskan bahwa yang menjadi saksi dalam penggeledahan harus diambil dan warga

lingkungan yang bersangkutan. Maka untuk tidak terjadi keraguan dan perbedaan

pendapat antara penyidik dengan orang yang hendak disita dalam menentukan siapa

yang akan menjadi saksi penyitaan, dianut asas "konsistensi" dengan aturan

penggeledahan. Dengan demikian, pada penyitaan, kedua saksi yang dimaksud terdiri

dari anggota masyarakat dan lingkungan setempat. Kehadiran ketiga saksi dimaksud

untuk ikut melihat dan menyaksikan jalannya penyitaan, bahwa benda yang disita

benar-benar diperlihatkan kepada tersita atau keluarganya, dan semua saksi "ikut

menandatangani berita acara" sita.

76Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.77

Page 67: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxvii

Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan di hadapan atau

kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada keluarganya dan kepada ketiga

orang saksi, jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita acara, penyidik

memberi tanggal pada berita acara, kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan

berita acara, masing-masing mereka membubuhkan "tandatangan" pada berita acara,

penyitaan (penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing membubuhkan tanda tangan pada berita acara).

Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau membubuhkan

tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal itu serta menyebut alasan

penolakan membubuhkan tanda tangan. Artinya, segala hal yang terungkap dalam

proses penyitaan harus dituangkan secara jelas dan lengkap dalam berita acara

penyitaannya.

Setiap proses penyitaan harus selalu dibuatkan turunan berita acara penyitaan.

Kalau diperhatikan kewajiban penyidik dalam penyampaian turunan berita acara

penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan penyidik dalam

melaksanakan wewenang melakukan penyitaan, benar-benar diawasi dan terkendali.

Pengawasan dan pengendalian itu dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat meliputi

kalangan lingkunganyang agak luas. Baik pengawasan dan pengendalian dari atasan langsung penyidik sebagai built in control, maupun dari pihak-pihak yang

berkepentingan dan orang yang ikut terlibat dalam penyitaan itu sendiri:

a. sebagai pengawasan dan pengendalian dari segi struktural dan instansional,

penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada

"atasannya"(Pasal 129 ayat (4) KUHAP),

b. sebagai pengawasan dan pengendalian dari orang atau pihak yang terlibat

dalam penyitaan, penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan

kepada:

1. orang dari mana barang itu disita atau keluarganya, dan

2. kepala desa.

Patut dan wajar untuk menjaga dan memelihara barang sitaan dengan cermat dan baik, sebagaimana layaknya barang sendiri. Malah harus melebihi cara penjagaan

dan pemeliharaan terhadap barang sendiri. Sebab alangkah tragis, apabila kesalahan

tersangka tidak terbukti atau barang yang disita tidak tersangkut dalam tindak pidana

yang dilakukan tersangka. Ternyata pada waktu benda yang disita itudikembalikan

kepadanya, sudah hancur dan tidak mempunyai nilai apa-apa lagi. Yang paling sedih

lagi benda sitaan itu ternyata memang tersangkut dalam tindak pidana, tapi benda itu

milik saksi yang menjadi korban tindak pidana, dan pada saat putusan memerintahkan

pengembalian barang bukti sitaan kepada saksi/korban (misalnya dalam pencurian),

ternyata benda tersebut sudah rusak dan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Banyak hal-hal

yang merugikan dalam pengembalian barang sitaan kepada pemiliknya yang sah.

Barangkali pada saat pengembalian kepada pihak saksi atau kepada pihak yang berhak

untuk menerima kembali sesuai dengan amar putusan pengadilan, hampir jarang yang masih utuh dan bernilai. Hal ini terjadi disebabkan beberapa faktor, antara lain, di

Page 68: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxviii

samping cara pembungkusan, penyimpanan, pemeliharaan, dan penjagaan yang kurang

bertanggung jawab, juga disebabkan faktor tempat penyimpanan tidak memenuhi

syarat. Semua ditumpuk berserakan pada gudang sempit, hanya berukuran 3 x 3 m2.

Faktor lain yang ikut mempengaruhi kerusakan, lambatnya putusan pengadilan sampai

ke tahap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harus menunggu bilangan tahun,

jarang yang memakan waktu satu dua tahun. Seandainya kepastian hukum dapat diperoleh dengan cepat, barang bukti bisa segera dikembalikan kepada yang berhak.

Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, pasal 130 KUHAP telah

menentukan cara-cara pembungkusan benda sitaan dicatat beratnya atau jumlahnya

menurut jenis masing-masing benda sitaan. Kalau jenisnya sulit ditentukan, sekurang-

kurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya, dicatat hari tanggal penyitaan, tempat

dilakukan penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita, kemudian diberi lak dan

cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.

Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai dengan ketentuan

Pasal 130 KUHAP ayat (1) di atas, ayat (2) pasal tersebut menentukan bahwa harus

membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada ayat 1 di atas, catatan itu

ditulis di atas label yang ditempelkan atau dikaitkan pada benda sitaan.

Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasar aturan umum yang diuraikan dahulu, Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa

melalui tata cara yang ditentukan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Hal ini diperlukan untuk

"memberi kelonggaran" kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang

diperlukan. Seandainya pada setiap kasus penyidik diharuskan menempuh prosedur

penyitaan seperti yang diatur pada Pasal 38 ayat (1) KUHAP, kemungkinan besar

penyidik mengalami hambatan dalam pencarian dan penemuan bukti tindak pidana.

Untuk menjaga kemungkinan kemacetan dan hambatan pada kasus tertentu, yang

mengharuskan penyidik segera bertindak dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak, dapat menempuh tata cara penyitaan yang ditentukan Pasal 41 KUHAP.

Landasan alasan penyimpangan ini, didasarkan kepada kriteria "dalam keadaan yang

sangat perlu dan mendesak". Tentang pengertian apa yang dimaksud "dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak", sudah dijelaskan pada uraian penggeledahan. Oleh karena itu, pada uraian

penyitaan ini, tidak diulang lagi menjelaskannya. Namun sebagai pedoman, ada baiknya

diulang mencatat kembali penjelasan Pasal 34 ayat (1) KUHAP. Sekalipun penjelasan

Pasal 34 ayat (1) KUHAP dimaksudkan untuk penggeledahan, penjelasan ini dapat kita

pergunakan secara "konsisten" terhadap tindakan penyitaan dalam keadaan yang sangat

perlu dan mendesak.

Sesuai dengan penjelasan dimaksud, setelah disesuaikan dengan maksud

penyitaan, dapat disimpulkan sebagai berikut, "keadaan yang sangat perlu dan

mendesak ialah bilamana di suatu tempat diduga keras terdapat benda atau barang bukti

yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu

akan segera dilarikan atau dimusnahkan ataupun dipindahkan oleh tersangka". Itulah kira-kira pengertian dalam keadaan mendesak yang dirumuskan sendiri oleh pembuat

Page 69: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxix

undang-undang. Memang seperti yang kita tanggapi pada pembahasan penggeledahan,

rumusan penjelasan ini agak mengambang, dan penilaian keadaan yang sangat perlu dan

mendesak yang digambarkan, lebih dititikberatkan pada penilaian subjektif pejabat

penyidik.

Mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

adalah sebagai berikut:77 a. Tanpa "Surat ijin" Ketua Pengadilan Negeri, jadi, penyidik tidak perlu lebih

dulu melapor dan meminta surat ijin dari Ketua Pengadilan, dapat langsung

mengadakan penyitaan. Dengan demikian bilamana penyidik "harus segera

bertindak" dan tidak mungkin mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, dalam

keadaan seperti ini penyitaan dilakukan tanpa surat ijin Ketua Pengadilan

Negeri.

b. Hanya Terbatas atas Benda Bergerak Saja, objek penyitaan dalam keadaan

yang sangat perlu dan mendesak sangat dibatasi, hanya meliputi "benda

bergerak" saja. Alasan undang-undang membuat pembatasan objek penyitaan

yang seperti ini, tiada lain oleh karena belum ada ijin dari Ketua Pengadilan

Negeri, sehingga timbul pendapat, penyitaan dalam keadaan sangat perlu dan

mendesak belum sempurna landasan hukumnya. Lagi pula hanya benda bergerak yang mudah dilenyapkan atau dilarikan tersangka, sedang benda yang

tidak bergerak sulit untuk dihilangkan.

c. Wajib Segera "Melaporkan" Guna Mendapatkan "Persetujuan", artinya segera

sesudah penyitaan, apakah penyitaan berhasil atau tidak, penyidik "wajib"

segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, sambil meminta

"persetujuan". Bagaimana kalau Ketua Pengadilan Negeri tidak memberikan

persetujuan atau membuat penyataan penolakan atas persetujuan yang diminta

penyidik? Apabila penyitaan tidak disetujui, berarti penyitaan tersebut "tidak

sah". Oleh karena itu, dengan sendirinya penyitaan itu "batal demi hukum",

dan benda sitaan segera dikembalikan kepada keadaan semula. Dan memang

jika keadaan seperti ini terjadi, merupakan hal yang menyedihkan bagi penyidik. Akan tetapi, bagaimanapun pedihnya kejadian seperti ini, hukum

harus ditegakkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, jika benar-benar cukup alasan

untuk menolaknya. Malahan sangat disayangkan apabila Ketua Pengadilan

Negeri bersikap masa bodoh dan tutup mata atas kekeliruan yang dilakukan

penyidik. Bukankah tujuan persetujuan itu dimaksudkan sebagai upaya koreksi

terhadap penyidik? Dan menempatkan Ketua Pengadilan Negeri sebagai

instansi pengawas dan pengendali bagi penyidik dalam melaksanakan

wewenang penyitaan yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kalau

terjadi penolakan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, apakah penyidik

dapat melakukan perlawanan? Tidak dapat, Sebab undang-undang tidak

mengatur perlawanan atas kejadian yang seperti ini.

77Soesilo Yuwono, Loc.Cit.

Page 70: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxx

Ketiga hal itulah yang khusus dalam penyitaan yang dilakukan dalam

keadaan sangat perlu dan mendesak. Selebihnya, diikuti tata cara dan prosedur yang

ditentukan pada KUHAP Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130, yakni harus

menunjukkan tanda pengenal kepada orang dari mana benda itu disita atau

terhadap keluarganya, memperlihatkan benda yang disita baik kepada orang yang

bersangkutan atau keluarganya dan kepada saksi-saksi. penyitaan harus disaksikan

oleh kepala desa atau ketua lingkungan ditambah lagi dua orang saksi dan lingkungan

warga tempat penyitaan, membuat berita acara penyitaan serta membacakan lebih dulu

berita acara kepada orang dari mana benda itu disita atau terhadap keluarganya dan

kepada saksi-saksi, kemudian setelah berita acara dibacakan, masing-masing mereka

membubuhkan tanda tangan. Dan apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya

tidak bersedia membubuhkan tanda tangan, dicatat oleh penyidik pada berita acara serta

menyebutkan alasan penolakan penandatanganan dimaksud, turunan berita acara

disampaikan kepada pihak atasan penyidik, orang dari mana benda itu disita atau

keluarganya, dan kepala desa, terakhir, benda sitaan dibungkus sebagaimana halnya

pada benda sitaan biasa seperti yang diatur pada Pasal 130 ayat (2) KUHAP.

Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan, penyitaan benda dalam keadaan

tertangkap tangan merupakan "pengecualian" penyitaan biasa. Dalam keadaan

tertangkap tangan, penyidik dapat "langsung" menyita sesuatu benda dan alat:

a. yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda dan alat

yang "patut diduga" telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, atau

b. benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Page 71: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxi

Ketentaan Pasal 40 KUHAP sangat beralasan, langsung memberi wewenang

kepada penyidik untuk menyita benda dan alat yang dipergunakan pada peristiwa tindak

pidana tertangkap tangan. Malahan dianggap lucu, jika untuk melakukan penyitaan

benda atau alat pada keadaan tertangkap tangan, penyidik lari dari tempat kejadian

untuk meminta surat ijin penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sikap seperti itu

sia-sia, tidak efektif dan efisien, dan tidak rasional serta tidak tepat menurut prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan. Misalnya, penyidik memergoki

seseorang membawa ganja atau morfin di pantai yang jauh dari kantor Pengadilan

Negeri pada suatu malam. Tersangka lari sambil meninggalkan ganja atau morfin tadi.

Adalah ganjil sekali apabila penyidik meninggalkan benda bukti tersebut, dan

mengambil langkah seribu lari ke kota meminta ijin dulu dari Ketua Pengadilan Negeri.

Tindakan yang tepat, efektif, dan efisien apabila penyidik "langsung" menyitanya.

Dalam keadaan tertangkap tangan, sangat luas wewenang penyitaan yang

diberikan kepada penyidik. Di samping wewenang untuk menyita benda dan alat yang

disebut pada Pasal 40, Pasal 41 KUHAP memperluas lagi wewenang itu meliputi segala

macam jenis dan bentuk surat atau paket:

a. menyita paket atau surat, b. atau benda yang pengangkutan atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos

dan telekomunikasi, jawatan atau pemisahaan komunikasi atau pengangkutan,

c. asalkan sepanjang surat atau paket atau benda tersebut diperuntukkan atau

berasal dari tersangka,

d. namun dalam penyitaan benda-benda pos dan telekomunikasi yang demikian,

penyidik harus membuat ''surat tenda terima" kepada tersangka atau kepada

jawatan atau perusahaan telekomunikasi maupun pengangkutan dari mana

benda atau surat itu disita.

Pada ketentuan Pasal 41 KUHAP, pengertian keadaan tertangkap tangan,

bukan terbatas pada tersangka yang nyata-nyata sedang melakukan tindak pidana, tetapi

termasuk pengertian tertangkap tangan atas paket atau surat dan benda-benda pos

lainnya, sehingga terhadap benda-benda tersebut dapat dilakukan penyitaan "langsung"

oleh penyidik.

Kalau dalam keadaan tertangkap tangan dikenal bentuk dan cara penyitaan

"langsung" oleh penyidik terhadap benda dan alat serta benda-benda pos atau paket

melalui jawatan maupun perusahaan pengangkutan, Pasal 42 KUHAP memperkenalkan

bentuk dan cara penyitaan "tidak langsung". Benda yang hendak disita tidak langsung

didatangi dan diambil sendiri oleh penyidik dari tangan dan kekuasaan orang yang

memegang dan menguasai benda tersebut, tetapi penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang hendak disita dengan sukarela. Atas dasar

Page 72: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxii

pengertian di atas, kita menyebut bentuk dan cara ini "penyitaan tidak langsung".

Artinya tangan dan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyitaan, tidak secara

langsung dan nyata dalam pengambilan benda sitaan, tetapi disuruh antar atau disuruh

serahkan sendiri oleh orang yang bersangkutan.

Mengenai tata cara pelaksanaan penyitaan tidak langsung yang diatur dalam

Pasal 42 KUHAP adalah seseorang yang menguasai benda yang dapat disita karena benda itu tersangkut sebagai barang bukti dari suatu tindak pidana, oleh karena itu perlu

disita. Yang dimaksud di sini orang yang menguasai benda yang dapat disita dan benda

yang tersangkut dengan suatu peristiwa pidana, tidak hanya terbatas kepada tersangka

saja, tapi meliputi semua orang. Siapa saja yang menguasai atau memegang benda yang

dapat disita, baik penyimpan, pembeli, pemakai, atau peminjam, atau surat-surat yang

ada pada seseorang yang berasal dari tersangka atau terdakwa atau surat yang ditujukan

kepada tersangka/terdakwa atau kepunyaan tersangka/terdakwa ataupun yang

diperuntukkan baginya, atau jika benda itu merupakan alat untuk melakukan tindak

pidana, penyidik "memerintahkan" kepada orang-orang yang menguasai atau

memegang benda untuk "menyerahkan" kepada penyidik. Jadi, cara penyitaan

dilakukan dengan jalan mengeluarkan "perintah" kepada orang-orang yang

bersangkutan untuk "menyerahkan" benda tersebut kepada penyidik, apakah perintah penyerahan itu dilakukan secara tertulis atau cukup dengan lisan tergantung kepada

keadaan, secara kasus per kasus. Namun demi untuk tegaknya kepastian hukum serta

terbinanya administrasi penegakan hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman yang

menuntut kerapian administrasi, sebaiknya perintah penyerahan benda itu dilakukan

dengan "perintah tertulis". Jika perintah penyerahan dilakukan penyidik dalam keadaan

mendesak, sehingga pada saat itu tidak mungkin dilakukan secara tertulis, harus disusul

dengan menyampaikan surat tertulis kepada orang yang bersangkutan.

Penyidik memberikan "surat tanda terima", atas penyerahan benda, bagaimana

jika orang yang bersangkutan tidak mau mematuhi perintah penyidik tersebut, tidak mau

menyerahkan benda dimaksud. Dari sudut hukum materiil, penyidik dapat memeriksa

orang yang bersangkutan atas pelanggaran tindak pidana Pasal 216 KUHP yaitu dengan sengaja tidak menurut perintah atau permintaan keras yang dilakukan menurut peraturan

perundang-undangan oleh pegawai negeri.78

Namun dari segi hukum formal, sesuai dengan apa yang digariskan KUHAP,

penyidik harus menempuh tata cara penyitaan bentuk biasa. Atas keingkaran orang

tersebut menyerahkan benda yang perlu disita penyidik minta "surat ijin" Ketua

Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan dengan cara paksa.

Penyitaan Surat atau tulisan lain di atas sudah dibicarakan penyitaan surat dan benda

pos atau benda telekomunikasi dalam keadaan tertangkap tangan, yang memberi

wewenang kepada penyidik "langsung" menyita surat atau benda pos dimaksud.

78Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cet.VI, Politeia , Bogor, h.1996.

Page 73: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxiii

Demikian juga halnya pada penyitaan surat secara tidak langsung melalui

perintah penyidik kepada pemegang atau yang menguasai untuk menyerahkan kepada

penyidik seperti yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) KUHAP. Maka pada Pasal 43

KUHAP, diatur pula bentuk dan cara penyitaan surat-surat lain di luar surat-surat yang

disebut pada Pasal 41 dan Pasal 42 ayat (2) KUHAP. Yang dimaksud dengan surat atau

tulisan lain pada Pasal 43 KUHAP adalah surat atau tulisan yang "disimpan" atau "dikuasai" oleh orang tertentu, di mana orang tertentu yang menyimpan atau menguasai

surat itu, "diwajibkan merahasiakannya" oleh undang-undang. Misalnya, seorang

notaris adalah pejabat atau orang tertentu yang menyimpan dan menguasai akta

testamen, dan oleh undang-undang diwajibkan untuk merahasiakan isinya. Akan tetapi

harus diingat, kepada kelompok surat atau tulisan lain ini tidak termasuk surat atau

tulisan yang menyangkut "rahasia negara". Surat atau tulisan yang menyangkut rahasia

negara "tidak takluk" kepada ketentuan Pasal 43 KUHAP. Oleh karena itu, Pasal 43

KUHAP tidak dapat diperlakukan sepanjang tulisan atau surat yang menyangkut rahasia

negara. Atau kalau dibalik, Pasal 43 KUHAP hanya dapat diterapkan terhadap surat dan

tulisan yang "tidak" menyangkut rahasia negara. Mengenai syarat dan cara

penyitaannya hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh

undang-undang untuk merahasiakan. Misalnya akta notaris atau sertifikat, hanya dapat disita atas persetujuan notaris atau pejabat agraria yang bersangkutan, atas "ijin khusus"

Ketua Pengadilan Negeri, jika tidak ada persetujuan dari mereka. Jika mereka yang

berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan surat atau tulisan itu "setuju

atas penyitaan" yang dilakukan penyidik, penyitaan dapat dilakukan "tanpa surat ijin"

Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi, kalau mereka yang berkewajiban menurut

undang-undang untuk merahasiakan "tidak setuju" atas penyitaan yang akan dilakukan

penyidik, dalam hal seperti ini penyitaan hanya dapat dilakukan "atas ijin khusus" Ketua

Pengadilan Negeri setempat.

Penyitaan Minuta Akta Notaris Berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung/

Pemb/3429/86 dan Pasal 43 KUHAP mengenai masalah ini dapat dikernukakan

pedoman yaitu bahwa Ketua Pengadilan Negeri harus benar-benar mempertimbangkan "relevansi" dan "urgensi" penyitaan secara objektif berdasar pasal 39 KUHAP.

Pemberian ijin khusus Ketua Pengadilan Negeri atas penyitaan Minuta Akta

Notaris, berpedoman kepada petunjuk teknis dan operasional yang digariskan dalam

Surat MA No. MA/Pemb/3429/86 (12 April 1986), antara lain menjelaskan bahwa

pada prinsipnya minuta akta menurut Pasal 40 PJN hanya boleh diperlihatkan atau

diberitahu kepada orang yang berkepentingan langsung. Sehubungan dengan itu, notaris

berada dalam posisi sulit menghadapi proses pidana yang dihadapkan kepadanya.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 KUHAP, lebih tinggi tingkatannya dari

PJN, oleh karena itu, apa yang diatur dalam Pasal 40 PJN selayaknya tunduk kepada

penyitaan yang diatur dalam KUHAP, selanjutnya, Minuta Akta yang disimpan oleh

notaris, pada umumnya dianggap sebagai arsip negara. Oleh karena Minuta Akta

ditafsirkan berkedudukan sebagai Arsip Negara atau melekat padanya "rahasia Jabatan"

Page 74: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxiv

notaris, pemberian ijin oleh Ketua Pengadilan Negeri, merujuk kepada ketentuan Pasal

43 KUHAP bahwa penyitaan harus berdasar Ijin Khusus Ketua Pengadilan Negeri.

Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan petunjuk sebagai pedoman

tidak tepat pendapat yang menyatakan Minuta Akta tidak bisa disita, berdasar Pasal 43

KUHAP dikaitkan dengan Surat Mahkamah Agung No.MA/Pemb/3429/86 (12 April

1986) Penyidik dapat meminta ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menyita Minuta Akta, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Ijin Khusus yang

dituangkan dalam Penetapan. Namun penyitaan dalam hal ini tidak terlepas kaitannya

dengan kewajiban notaris menyimpan Minuta dimaksud, sehingga wujud penyitaan

yang dibenarkan terbatas pada kebolehan penyidik untuk "menyalin" atau

memfotokopinya.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan, penyitaan adalah tindakan

pengambilalihan benda untuk disimpan dan ditaruh di bawah penguasaan penyidik baik

benda itu diambil dari pemilik, penjaga, penyimpan, penyewa, dan sebagainya, maupun

benda yang langsung diambil dari penguasaan atau pemilikan tersangka. Apakah

penyitaan dapat dilakukan atau diletakkan terhadap semua benda tanpa mempersoalkan

status hukum benda itu? Atau benda yang bagaimana sifat dan keadaannya yang dapat

dilakukan atau diletakkan sita, Tentu ada batasan agar dapat ditegakkan kepastian hukum. Kalau tidak ada batasan, berarti terhadap semua benda yang bagaimanapun

keadaan dan statusnya, dapat diletakkan sita oleh penyidik.

Secara saksama ditelusuri pasal-pasal penyitaan, terutama Pasal 39 KUHAP

dihubungkan dengan Pasal 1 butir l6. Dari semua isi ketentuan pasal dimaksud, telah

digariskan "prinsip hukum" dalam penyitaan benda,' yang memberi batasan tentang

benda yang bagaimana yang dapat diletakkan penyitaan. Prinsip itu menegaskan "benda

yang dapat disita menurut undang-undang (KUHAP) hanya benda benda yang ada

hubungannya dengan tindak pidana". Jika suatu benda tidak ada kaitan atau keterlibatan

dengan tindak pidana, terhadap beada-benda tersebut tidak dapat diletakkan sita. Oleh

karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana

yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang "bertentangan dengan hukum", dan dengan sendirinya penyitaan "tidak sah". Konsekuensinya, orang yang

bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada Praperadilan apabila masih

dalam tingkat penyidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah

diperiksa di persidangan.

Terhadap benda apa saja penyitaan dapat diletakkan, atau terhadap jenis benda

yang bagaimana sita dapat dilakukan, apabila benda yang bersangkutan ada

keterlibatannya dengan tindak pidana guna untuk kepentingan pembuktian pada tingkat

penyidikan, penuntutan, dan sidang peradilan, ditentukan dalam Pasal 39 KUHAP.

Menurut pasal 39 KUHAP ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah

benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga

diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana, benda yang telah

dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana, benda yang dipergunakan menghalang-halangi

Page 75: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxv

penyidikan tindak pidana, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan

tindak pidana, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan. Ayat (2) dari pasal 39 KUHAP menentukan benda yang berada dalam

sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan

ayat (1). Artinya sepanjang benda sitaan perkara perdata mempunyai kaitan dengan suatu tindak pidana yang sedang diperiksa baik benda itu merupakan hasil atau

diperoleh dari tindak pidana atau benda sitaan perdata tadi dipergunakan secara

langsung untuk melakukan tindak pidana ataupun benda sitaan perdata tersebut

diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana.

Menyikapi Penyitaan dalam Perkara Pidana Atas Benda yang Disita dalam

Perkara Perdata Belakangan ini sering dihadapkan dengan masalah penyitaan dalam

perkara pidana. Pada umumnya permasalahan datang dari aparat penyidik yang

menuding kekeliruan atau ketidaktanggapan Ketua Pengadilan Negeri merespons

permintaan ijin penyitaan yang diminta Polri.

Memang terkadang ada indikasi, permintaan penyitaan merupakan rekayasa

atau persekongkolan penyidik dengan pihak ketiga untuk mendistorsi atau menghambat

penyelesaian perkara perdata yang sedang ditangani pengadilan terhadap barang yang hendak disita dalam perkara pidana tadi, sehingga dianggap cukup alasan menolak

pemberian ijin penyitaan.

Apalagi dengan munculnya Peradilan Niaga yang berfungsi menyelesaikan

perkara pailit, perlu ditingkatkan sikap yang lebih hati-hati memberi ijin penyitaan.

Sebab penyitaan yang dilakukan penyidik terhadap budel pailit, bisa mengurangi

efektivitas penyelesaian perkara pailit.

2. Pengembalian Benda Sitaan

Kecuali mengenai benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang

mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dan siapa

benda itu disita atau kepada mereka "yang paling berhak". Inilah prinsip hukum atas pengembalian benda sitaan yang dijadikan barang bukti pada setiap tingkat

pemeriksaan, harus dikembalikan kepada mereka yang paling berhak.79 Apalagi jika

benda sitaan disita dari pihak ketiga atau dari pihak tersangka tapi yang diambilnya

dengan jalan melawan hukum dari saksi yang menjadi korban peristiwa pidana yang

bersangkutan, sangat layak untuk segera mengembalikan barang bukti tersebut. Betapa

sedih dan ruginya seorang saksi korban tindak pidana, atau seorang ibu yang kena

rampok emas perhiasannya habis dirampok tersangka. Kemudian seluruh emas

perhiasan itu secara utuh berhasil diselamatkan dari tersangka/terdakwa.

Tersangka/terdakwa mengaku di hadapan penyidik bahwa itulah perhiasan yang

79Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan permasalahan KUHAP

Bidang Penuntutan dan Eksekusi dalam Bentuk Tanya Jawab, Cet.I, Sinar Grafika,

Jakarta, 1992, h.309

Page 76: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxvi

dirampoknya dari ibu yang menjadi korban. Dan korban menjelaskan dan

memperlihatkan surat-surat tentang kebenaran benda perhiasan yang dirampok.

Sekarang mari kita pertanyakan persoalan ini secara hukum dan objektif. Pertama,

apakah benda perhiasan tadi dapat disita oleh penyidik, menurut hukum jelas ada

kaitannya dengan tindakan pidana perampokan. Yuridis formal dapat disita sampai

perkara perampokan mendapat putusan yang berkekuatan tetap. Untuk apa benda perhiasan itu disita sampai sebegitu lama. Dari segi hukum, untuk kepentingan

pembuktian dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai dari penyidikan sampai ke tingkat

pemeriksaan kasasi. Jadi, kalau ditinjau dari segi hukum dan undang-undang, penyitaan

terhadap benda perhiasan dalam kasus ini dibenarkan oleh hukum dan undang-undang.

Akan tetapi, kalau kita mempersoalkannya lebih mendalam, tindakan penyitaan dalam

contoh tadi bisa terjadi hal-hal yang memilukan dan memalukan serta kurang dapat

dipertanggungjawabkan dari segi hukum manapun. Bukankah barang perhiasan tadi

sudah jelas kepunyaan saksi/korban sesuai dengan kenyataan dan fakta yang

diketemukan penyidik sendiri? Bukankah perhiasan tersebut merupakan barang bukti

yang kurang penting untuk setiap saat harus ada pada tangan pejabat pada setiap tingkat

pemeriksaan, asal sudah dicatat jenis dan beratnya. Bukankah juga perhiasan tadi dapat

disuruh bawa oleh saksi kapan saja diperlukan pada setiap tingkat pemeriksaan, bukankah barangkali harta kekayaan saksi korban yang paling berharga hanya perhiasan

itu saja? Bukankah benda itu tidak bersifat berbahaya?

Benda emas perhiasan tadi tidak dikembalikan pada saksi/korbansesudah

dicatat jenis dan beratnya. Dan pada contoh kita di atas, malang tak dapat diraih, anak

saksi/korban mengalami sakit keras. Cari biaya pengobatan ke sana ke mari tidak dapat.

Teringat saksi akan barang perhiasan yang masih disita oleh pejabat. Bergegas

menjumpai pejabat yang bersangkutan agar dapat dikembalikan untuk dijual guna

menanggulangi biaya pengobatan. Akan tetapi malang nasibnya. Dia mendapat

bentakan dari pejabat yang menjelaskan barang perhiasan itu tersangkut tindakan

pidana. Karena itu tak dapat diutak-atik sampai perkaranya mendapat putusan yang

berkekuatan hukum tetap. Putus asa menghadapi pejabat, dia pulang dengan pilu sambil bertanya dalam hati. Begitu kakukah hukum yang berlaku terhadap dirinya, Bukankah

barang perhiasan tersebut hasil cucur keringatnya, yang dikumpulkan dengan segala

penderitaan, sudah jadi korban perampokan, tapi harta bendanya dijadikan pula korban

dari kejahatan orang lain. Padahal dari segi hukum pun, penyitaan atas benda itu tidak

begitu penting. Tiada berapa lama anaknya yang sakit keras tadi meninggal dunia

disebabkan tidak ada biaya pengobatan, karena barang perhiasan emas yang bisa

dijadikan sebagai penolong dalam keadaan terdesak, tidak dikembalikan pejabat, dan

tetap ditahan sebagai barang sitaan untuk tujuan dan kepentingan hukum yang kurang

relevan. Adapun yang menjadi akhir dari cerita ini, perkara berjalan berlarut-larut

sampai bertahun baru mendapat keputusan pasti. Dan pada waktu perkara yang

bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti, saksi/korban sudah meninggal dunia.

Dan pada waktu ahli waris menanyakan benda perhiasan yang disita empat tahun yang lalu, ternyata barangnya sudah tidak ada lagi. Mulai dari penyidik, penuntut umum, dan

Page 77: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxvii

pengadilan ditanyai, tapi semua menjelaskan tidak tahu-menahu akan benda sitaan

dimaksud. Demikianlah sekelumit kisah penyitaan suatu benda. Pada akhirnya selalu

benda sitaan tidak bisa dipakai lagi, atau hilang tanpa bekas. Apa yang diceritakan di

atas barangkali sering terjadi di mana-mana.

Berhubung dengan apa yang digambarkan di atas kewajiban bagi aparat

penegak hukum, supaya sesegera mungkin mengembalikan benda sitaan yang tidak penting sebagai barang bukti dalam pemeriksaan terutama jika benda sitaan itu berasal

dari saksi korban peristiwa pidana. Korban peristiwa pidana mati dibunuh oleh

perampok, namun kesedihan keluarga itu ditimpa lagi dengan penyitaan benda harta

kekayaan yang menjadi bukti dalam penangkapan, akan tetapi tidak tahu kapan benda

itu dapat dikembalikan kepada keluarga yang ditinggalkan.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 46 KUHAP, pengembalian benda sitaan

harus dilakukan "sesegera mungkin" kepada yang paling berhak apabila secara nyata

dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukannya lagi, atau apabila perkara

tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak

pidana, perkara tersebut dikesampingkan/dideponer untuk kepentingan umum, atau

perkara tersebut ditutup demi hukum, karena alasan nebis in idem atau

tersangka/terdakwanya meninggal dunia atau karena tuntutan terhadap tindak pidana sudah kedaluwarsa.

Apa yang dibicarakan di atas adalah pengembalian benda sitaan sebelum

perkara yang berhubungan dengan benda sitaan itu belum memperoleh keputusan yang

berkekuatan tetap. Oleh karena itu, mulai dari tingkat penyidikan, atau penuntutan

diusahakan segera mengembalikan benda sitaan kepada yang paling berhak jika

"urgensi" benda tadi sebagai bukti dalam pemeriksaan, tidak dipentingkan atau tidak

diperlukan lagi.

Apabila perkaranya sudah diputus harus segera dikembalikan kepada orang

yang paling berhak sesuai dengan amar putusan. Kecuali jika menurut putusan hakim,

benda sitaan itu dirampas untuk negara atau untuk dimusnahkan maupun untuk dirusak

sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai bukti dalam perkara lain.

Sebagai akhir dari uraian ini, kita kutip alinea terakhir penjelasan Pasal 46 ayat

(1) KUHAP bahwa "Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin

diperhatikan kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi

sumber kehidupan".

3. Penjualan Lelang Benda Sitaan

Yang dimaksud dengan penjualan lelang benda sitaan dalam uraian ini, bukan

penjualan lelang taraf eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Penjualan lelang yang akan dibicarakan adalah penjualan yang dimaksud

Pasal 45 KUHAP, berupa "penjualan lelang" benda sitaan yang pemeriksaan perkaranya

masih dalam taraf proses tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan. Mungkin penjualan lelang itu dilakukan atas perintah yang dikeluarkan instansi

Page 78: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxviii

penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan berdasar wewenang dan syarat-syarat

yang diberikan dan ditentukan undang-undang dalam Pasal 45 KUHAP. Bisa juga

berdasar penetapan yang dikeluarkan penuntut umum pada tingkat penuntutan atau

hakim yang menyidangkan perkara pada semua tingkat pemeriksaan pengadilan.

Apa memang boleh menjual atau melelang benda sitaan dalam keadaan

perkaranya belum diputus oleh pengadilan, atau apakah boleh menjual benda sitaan sebelum perkaranya mempunyai keputusan yang berkekuatan tetap. Bukankah tindakan

atau wewenang penjualan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum. Sebab dengan

pelelangan barang benda sitaan pada saat proses pemeriksaan masih sedang berjalan,

berarti secara tidak langsung penjualan pelelangan menjatuhkan vonis bersalah terhadap

tersangka atau terdakwa. Tindakan serupa ini dianggapnya bertentangan dengan prinsip

presumption of innocent,80 karena memvonis barang tersebut ada hubungannya dengan

kejahatan, padahal kesalahannya belum terbukti." Mungkin ada benarnya jika hanya

bertitik tolak dari sudut penjualan itu semata-mata. Akan tetapi kalau ditinjau secara

integral dihubungkan dengan landasan alasan penjualan lelang serta dikaitkan dengan

motivasi dan tujuan kepentingan keselamatan benda tersebut serta memperhitungkan

risiko kerugian yang akan diderita, pendapat itu kurang argumentatif. Oleh karena itu,

bertitik tolak dari cara berpikir yang komprehensif, penjualan lelang benda sitaan, tidak bertentangan dengan prinsip presumption of innocent. Sebab prinsip itu sendiri pun

tidak rela mengorbankan sesuatu demi untuk kepentingan prinsip itu sendiri. Lagi pula,

bukankah prinsip itu harus sejalan dengan prinsip hukum yang lain, yakni prinsip

hukum extra ordinary atau overmacht yang menjadi landasan yang "memaafkan" suatu

tindakan di luar kebiasaan. Jadi, jika pejabat yang bersangkutan menghadapi "kesulitan

yang luar biasa" atau berada dalam keadaan sulit menyelamatkan dan menjaga keutuhan

benda atau benda yang disita merupakan bahan kimia yang mudah meledak sedang

tempat penyimpanan yang sesuai untuk itu tidak ada; pejabat yang bersangkutan

dihadapkan pada suatu keadaan yang extra ordinary. Dalam ruang lingkup keadaan

yang seperti ini Pasal 45 KUHAP memberi kemungkinan bagi pejabat yang

bersangkutan menjual benda sitaan, dengan syarat agar memenuhi tata caranya. Syarat Penjualan Lelang yang Perkaranya Sedang Diperiksa Sekalipun, perkaranya masih

dalam tahap proses pemeriksaan, benda sitaan dapat dijual lelang, asal dipenuhi syarat-

syarat:

a. bila benda sitaan tercuri dari benda yang "mudah rusak" atau busuk;

b. apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan

terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap,

c. jika biaya penyimpanan benda sitaan akan menjadi terlalu tinggi.

80Soesilo Yuwono, Op.Cit., h.27

Page 79: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxix

Itulah beberapa syarat yang bersifat "alternatif" bagi pejabat hukum yang

bersangkutan, yang memberi kemungkinan kepada mereka untuk menjual lelang benda

sitaan. Apabila salah satu di antara syarat tersebut terpenuhi, benda sitaan dapat dijual

leiang. Sebaiknya, pembuat undang-undang menambah satu syarat lagi yaitu meminta

keterangan dari seorang ahli yang akan memberi pendapat tentang kebenaran dan

kemestian untuk menjual lelang benda sitaan. Sebab tanpa adanya keterangan ahli, bisa saja syarat-syarat di atas dipermainkan oleh pejabat yang bersangkutan menurut selera

dan penilaian subjektifnya. Oleh karena itu, agar penilaian syarat-syarat itu lebih

objektif, ada baiknya supaya dalam setiap penjualan lelang yang akan dilakukan oleh

pejabat penegak hukum, harus ada "rekomendasi dari seseorang ahli" agar penilaian

syarat-syarat itu mendekati kenyataan objektif.

Sekalipun permintaan pendapat ahli tidak ditentukan dalam undang-undang

sebagai syarat, namun penjelasan Pasal 45 ayat (1) Alinea 2 KUHAP menegaskan

lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak. Adapun maksud

melibatkan lembaga ahli dalam proses penjualan pelelangan, untuk menghindarkan

pejabat dari tuduhan negatif. Oleh karena itu, lebih baik meminta keterangan seorang

ahli. Hal ini tidak merugikan fungsi dan wewenang mereka, dan tidak pula menghambat

kelancaran pelaksanaan pemeriksaan. Di samping syarat-syarat yang dikemukakan, Pasal 45 KUHAP juga telah menggariskan

juga cara penjualan lelang yang dianggap sah oleh hukum "Sedapat

Mungkin" Mendapat Persetujuan dari Tersangka atau Kuasanya Pada ketentuan ini

undang-undang mempergunakan kata-kata "sejauh mungkin" dengan persetujuan

tersangka atau kuasanya. Apa yang dimaksud dengan pengertian "sejauh mungkin",

apakah persetujuan tersangka atau kuasanya dalam penyitan benda sitaan bersifat

"imperatif", hanya sepanjang "menyampaikan" maksud atau rencana penjualan lelang

benda sitaan kepada tersangka atau kuasanya serta keharusan untuk menanyakan

pendapat atas rencana penjualan lelang dimaksud. Apakah tersangka atau kuasanya

setuju atau tidak, bukan merupakan faktor dominan. Keputusan akhir tetap berada di

tangan pejabat yang bersangkutan. Akan tetapi harus diingat kata-kata "sejauh mungkin". Berarti usaha pendekatan yang maksimal, jangan asal tanya saja, sebab

perkataan sejauh mungkin mengandung pengertian yang bermakna "daya upaya" yang

dapat diusahakan, penjualan pelelangan "sedapat mungkin” ada persetujuan tersangka

atau kuasanya. Dengan pengertian seboleh-bolehnya, pada hakikatnya sudah mendekati

"kemestian". Kalau begitu maksud ketentuan di atas menghendaki penjualan lelang

benda sitaan "semestinya" ada persetujuan dan tersangka atau kuasanya.

Pejabat yang Dapat Melakukan Penjualan Lelang, Dilihat dan Taraf Proses

Pemeriksaan apabila taraf pemeriksaan perkara masih di tangan penyidik, yang dapat

menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penyidik. Apabila taraf

pemeriksaan berada di tangan penuntut umum, yang dapat menjual lelang atau

mengamankan benda sitaan ialah penuntut umum. Apabila perkara sudah dalam taraf

pemeriksaan peradilan, penjualan atau pengamanan benda sitaan dilakukan oleh "penuntut umum" atas "ijin hakim".

Page 80: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxx

Ijin hakim Pengadilan Negeri, jika pemeriksaan perkara dalam tingkat

pemeriksaan Pengadilan Negeri, ijin hakim Pengadilan Tinggi, jika perkaranya sudah

dilimpahkan atau diperiksa dalam tingkat banding, ijin Hakim Agung, jika perkaranya

sudah dilimpahkan kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Dalam ketentuan

ini, di samping kata-kata penjualan lelang terdapat pula kata "diamankan", sehingga

kalimatnya berbunyi: benda tersebut dapat dijual lelang atau "diamankan". Kalau begitu tindakan yang dapat dilakukan pejabat yang bersangkutan

terhadap barang sitaan, bukan hanya menjual lelang, tapi juga dapat "mengamankan"

benda sitaan. Dan menurut penjelasan Pasal 45 ayat(l) KUHAP yang dimaksud dengan

benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah

meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat

membahayakan kesehatan orang lain dan lingkungan.

Pelaksanaan Lelang Dilakukan oleh "Kantor Lelang Negara" dalam

pelaksanaan lebih dulu kantor lelang mengadakan konsultasi dengan pihak penyidik

atau penuntut umum setempat atau dengan hakim yang bersangkutan sesuai dengan

tingkat pemeriksaan, dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang muda

rusak, (lihat penjelasan Pasal 45 ayat (1) Alinea ke-2 KUHAP).

PERALIHAN TANGGUNG JAWAB ATAS BENDA SITAAN

1. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Penyidikan

Seperti yang ditegaskan Pasal 38 KUHAP, penyitaan merupakan tindakan yang

diberikan undang-undang kepada penyidik sesuai dengan asas spesialisasi dan

diferensiasi fungsional. Pada lazimnya, penyitaan dilakukan penyidik pada taraf

pemeriksaan penyidikan81. Namun hal itu tidak mengurangi kemungkinan untuk

melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan atau pemeriksaan pengadilan dengan

jalan mengeluarkan surat perintah atau penetapan, yang pelaksanaannya di lapangan

dilakukan aparat penyidik. Apa yang disebut di atas termasuk bidang fungsi aparat penyidik, yakni salah

satu fungsi aparat penyidik, berwenang melakukan tindakan penyitaan. Akan tetapi

fungsi penyitaan berbeda dengan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda

sitaan. Pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, bukan tindakan

pelaksanaan dan tata cara penyitaan atas benda sitaan yang dipermasalahkan. Yang jadi

pokok utama pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan ialah

mengenai "hubungan hukum" dan "peralihan hukum" antara penyidik dengan benda

sitaan. Serupa halnya dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Bukan

tindakan penahanannya yang dipersoalkan, tetapi hubungan hukum dan tanggung jawab

hukum antara instansi yang menahan dengan orang yang ditahan.

81Ibid.

Page 81: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxi

Berbicara mengenai kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda

sitaan, kurang mendapat perhatian dalam undang-undang. Malahan undang-undang

tidak menyinggung masalah peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Namun

demikian, dari bunyi Pasal 45 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (2) PP No. 27/1983,

kita dapat menarik kesimpulan tentang adanya kewenangan dan tanggung jawab

penyidik atas benda sitaan, dan adanya peralihan tanggung jawab yuridis instansi penyidik atas benda sitaan.

Saat Mulainya Timbul Kewenangan dalam Taraf Penyidikan Kewenangan dan

tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada instansi penyidik, sejak saat benda itu

disita dan ditempatkan di Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara)82.

Sejak penyidik menyita suatu benda dalam pemeriksaan penyidikan, kemudian

menyimpan benda sitaan dalam Rupbasan, sejak itu terjalin kewenangan dan tanggung

jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan, dan hal itu berlangsung selama

pemeriksaan perkara berada dalam tingkat penyidikan. Selama pemeriksaan perkara

masih dalam taraf penyidikan, kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya atas benda

sitaan mutlak berada di tangan aparat penyidik. Instansi penuntut umum atau pengadilan

tidak dapat mencampuri kewenangan dan tanggung jawab tersebut.

Kewenangan dan tanggung jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan assessor dengan tingkat pemeriksaan yang diberikan undang-undang kepadanya. Itu

sebabnya status benda sitaan yang kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya berada

di tangan aparat penyidik, lazim disebut "benda sitaan penyidikan". Ini berarti, selama

benda sitaan berada dalam status penyidikan. penyidik berwenang dan bertanggung

jawab melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46

KUHAP.

Mengenai kewenangan penyidik atas benda sitaan yang disebut pada Pasal 45

KUHAP, didasarkan atas keadaan benda sitaan, yakni merupakan benda yang mudah

rusak, benda yang membahayakan, atau biaya penyimpanan benda tersebut terlampau

tinggi maka penyidik dalam tingkat pemeriksaan penyidik mempunyai wewenang untuk

menjual lelang benda sitaan, atau mengamankan benda sitaan. Agar pengamanan benda sitaan memenuhi tanggung jawab yuridis, tindakan

itu harus memenuhi ketentuan dan syarat keadaan benda sitaan memang benar-benar

dapat dibuktikan lekas rusak, membahayakan atau terlampau tinggi biaya

penyimpanannya, Untuk itu sebaiknya didasarkan atas pembuktian lembaga ahli, tidak

semata-mata atas penilaian penyidik. Terutama mengenai benda yang lekas rusak,

adalah bijaksana jika penyidik lebih dulu meminta keterangan dan ahli sebagai bukti

dan pertanggungjawaban hukum tentang kebenaran keadaan benda sitaan. Kecuali

mengenai benda sitaan yang dapat membahayakan kesehatan atau lingkungan atau

keadaan benda itu mudah terbakar, dan keadaan sifat benda itu merupakan pengetahuan

umum dalam kehidupan masyarakat, dalam hal yang seperti itu tidak perlu diminta

82Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.32

Page 82: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxii

pendapat ahli. Ketentuan syarat ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 45 ayat (1)

KUHAP.

Sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya, inilah syarat

kedua yang dituntut undang-undang dari penyidik sebagai pertanggungan jawab hukum

atas pelaksanaan kewenangan yang ada padanya atas benda sitaan. Penyidik berwenang

untuk menjual lelang atau mengamankan benda sitaan. Narnun sebelum kewenangan itu dilaksanakan oleh penyidik, demi untuk memenuhi tanggung jawab yuridis, sedapat

mungkin diminta "persetujuan" tersangka atau kuasanya, sesuai penegasan yang diatur

dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a KUHAP.

Mengenai apakah terdapat persetujuan atau tidak, tidak menjadi masalah bagi

undang-undang. Pengambilan keputusan berada sepenuhnya di tangan penyidik. Cuma

sebelum tindakan dilakukan sedapat mungkin mengusahakan adanya persetujuan dari

tersangka atau kuasanya. Dan sebaiknya tindakan penjualan lelang atau pengamanan

benda sitaan, mendapat persetujuan dari tersangka atau kuasanya. Akan tetapi jika

mereka tidak setuju, sama sekali tidak merupakan halangan bagi penyidik untuk

melaksanakan tindakan dimaksud penjualan lelang dilaksanakan oleh kantor lelang.

Syarat ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 45 ayat (1) KUHAP, yang

mengharuskan setiap pelelangan dilakukan oleh kantor lelang. Cara penjualan lelang melalui kantor lelang menghindarkan penyidik dari

prasangka yang kurang baik serta sebagai penjualan resmi oleh pejabat yang khusus

berwenang untuk itu. Dengan demikian cara penjualan tersebut memperkuat kebenaran

penyidik dalam pengembanan tanggung jawabnya atas benda sitaan. pengamanan atau

penjualan lelang disaksikan oleh tersangka atau kuasanya, Syarat pertanggungjawaban

penyidik ini diatur dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b KUHAP, yang menegaskan agar

pada setiap pengamanan atau penjualan lelang benda sitaan, pelaksanaannya disaksikan

oleh tersangka atau kuasanya. Bagaimana kalau tersangka atau kuasanya tidak mau

hadir menyaksikan pelelangan atau pengamanan benda sitaan, atau pada hari pelelangan

atau pengamanan yang telah diberitahukan secara resmi dan patut kepada tersangka

atau kuasanya, kemudian mereka menyatakan berhalangan untuk menyaksikannya. Apakah ketidakhadiran atau keadaan berhalangan menyaksikan, dapat dijadikan alasan

untuk menunda pelelangan atau pengamanan. Hal ini tidak mutlak menunda, Pelelangan

atau pengamanan dapat dilangsungkan atau ditunda. Tergantung pada penilaian

penyidik dan kantor lelang, apalagi jika tersangka atau kuasanya secara tegas

menyatakan ketidakhadiran menyaksikan pelelangan atau pengamanan, tidak perlu

dilakukan penundaan.

Demikian juga dalam hal berhalangan, tidak menunda pelelangan atau

pengamanan. Hal itu tergantung pada keadaan benda sitaan dihubungkan dengan

biaya yang semakin besar yang diakibatkan penundaan. Kalau kerusakan atau keadaan

membahayakan atau pengamanan sudah tidak mungkin ditunda-tunda lagi, halangan

untuk menyaksikan yang dikemukakan tersangka atas kuasanya, tidak perlu

diperhatikan penyidik.

Page 83: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxiii

Menurut ketentuan Pasal 46 KUHAP maupun penjelasan pasal tersebut, selama

berlangsung pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, aparat penyidik berwenang

mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda sitaan itu disita, atau

kepada orang yang paling berhak.

Kewenangan pengembalian benda sitaan, oleh undang-undang digantungkan

kepada beberapa syarat. Tidak dipenuhi syarat tersebut, pengembalian itu kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum. Oleh karena itu, agar pengembalian barang

sitaan yang dilakukan penyidik benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan tidak

menyalahi maksud yang terkandung dalam tindak penyitaan benda sitaan "tidak

diperlukan" untuk kepentingan pembuktian.

Syarat utama yang menjadi patokan pengembalian barang sitaan, penyidik

berpendapat, benda sitaan tidak penting artinya dan tidak mempunyai nilai sebagai

barang bukti. Urgensi barang sitaan sebagai alat bukti, tidak ada sama sekali, misalnya,

benda yang disita tidak mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa.

Atau dengan menlengkapi identitas orang yang sama, dianggap penyidik mencukupi

sebagai lampiran dalam berkas perkara. Misalnya penyitaan atas mobil dalam perkara

tindak pidana Pasal 359 KUHP. Dengan pencatatan identitas mobil tersebut, dapat

dikembalikan kepada pemilik. Atau jika pegembalian itu sewaktu-waktu dapat dibawa pemilik apabila diperlukan dalam pemeriksaan, memberi kewenangan bagi penyidik

untuk mengembalikan benda sitaan kepada orang dan siapa benda itu disita atau kepada

orang yang paling berhak atasnya.

Sehubungan dengan pengembalian benda sitaan atas alasan tidak diperlukan

untuk kepentingan pembuktian, kiranya dapat dibedakan dalam kategori83:

a. Pengembalian yang "bersifat mutlak".

Pengembalian benda sitaan yang sifatnya mutlak, apabila benar-benar tidak

mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya, pada saat

dilakukan penyitaan oleh penyidik, besar dugaan suatu benda mempunyai hubungan

dengan perkara yang sedang disidik. Ada dugaan benda itu merupakan hasil dan

tindak pidana atau sebagai alat melakukan tindak pidana. Akan tetapi setelah penyidik melakukan pemeriksaan, ternyata tidak ada hubungan dengan perkara yang

sedang diperiksa. Dalam kasus yang demikian, pengembalian benda sitaan bersifat

mutlak. Kalau tidak, hal itu membuka kesempatan bagi tersangka untuk mengajukan

gugatan ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP atas alasan tindakan penyitaan

tidak sah, karena menyita barang yang tidak mempunyai kaitan dengan perkara

pidana yang diperiksa.

b. Pengembalian bersifat "fakultatif".

Apabila benda yang disita mempunyai kaitan dengan perkara yang sedang diperiksa

karena dipergunakan sebagai alat melakukan tindak pidana, tetapi tidak penting lagi

bagi pemeriksaan pembuktian atau karena sewaktu-waktu benda itu dapat diajukan

apabila diperlukan dalam tingkat penuntutan maupun dalam tingkat pemeriksaan

83Ibid., h.35 -36

Page 84: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxiv

pengadilan, penyidik berwenang mengembalikannya. Atau benda sitaan merupakan

hasil perbuatan pidana. Misalnya, mobil yang dicuri tersangka merupakan alat

sumber mata pencarian pemilik dari siapa mobil itu dicuri tersangka. Di sinipun

sangat bijaksana untuk mengembalikan benda sitaan kepada saksi pemilik mobil

tersebut.

2. Pemeriksaan perkara "dihentikan" dalam penyidikan. Berdasar Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik berwenang menghentikan penyidikan

apabila tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut temyata bukan merupakan tindak

pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. Apabila penyidik menghentikan

pemeriksaan penyidikan berdasar salah satu alasan yang disebut Pasal 109 ayat (2)

KUHAP dan kebetulan penyidik sempat melakukan penyitaan benda sebelum

penyidikan dihentikan, dalam kasus yang demikian penyidik "mutlak" harus

mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.

3. "Meminjam" benda sitaan.

Wewenang yang lain dari penyidik atas benda sitaan, "meminjamkan" benda sitaan

kepada orang dari siapa benda itu disita. Kewenangan untuk meminjamkan benda sitaan diatur sebagai petunjuk pelaksanaan dalam angka 2 Lampiran Keputusan

Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Menurut petunjuk yang terdapat

pada angka 2 Lampiran tersebut, kewenangan penyidik untuk meminjamkan benda

sitaan tidak memerlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri, cukup melaporkan

kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan bentuk tembusan.

Kewenangan Penyidik Mengubah Status Benda Sitaan, kewenangan lain yang

dimiliki penyidik atas benda sitaan adalah mengubah status benda sitaan, status benda

sitaan penyidikan diubah dengan penjualan lelang, pengamanan atau dikembalikan

kepada orang dari siapa benda itu disita. Meminjarnkan benda sitaan di sini status benda

masih tetap benda sitaan. Cuma "dipinjamkan" kepada orang dari siapa benda itu disita.

Syarat formal antara "mengubah" status benda sitaan dengan "meminjamkan" benda sitaan, terdapat perbedaan. Perbedaan syarat formal itu diatur dalam angka 2 Lampiran

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983.

Perubahan status benda sitaan harus "mendapat izin" dari Ketua Pengadilan

Negeri. Setiap jenis perubahan status benda sitaan yang hendak dilakukan penyidik

sesuai dengan kewenangan yang ada pada taraf pemeriksaan penyidikan, lebih dulu

mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri. Tanpa izin, penyidik tidak dapat menjual

lelang, mengamankan atau mengembalikan benda sitaan. Oleh karena itu, kewenangan

penyidik untuk mengubah status benda sitaan digantungkan kepada kewenangan yang

ada pada instansi lain yakni kewenangan yang ada pada Ketua Pengadilan Negeri.

Kewenangan mengubah status benda sitaan yang ada pada tingkat penyidikan ditinjau

dari segi hukum, tidak sempurna sifatnya, karena digantungkan kepada izin dan

Page 85: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxv

persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan mengubah status benda sitaan yang

ada pada diri penyidik in haerent dengan syarat formal, berupa izin persetujuan dari

Ketua Pengadilan Negeri, sehingga kewenangan itu harus disempurnakan dengan

kewenangan yang ada pada diri Ketua Pengadilan Negeri.

Apa pun alasan yang menjadi dasar perubahan status yang hendak dilakukan

penyidik, selamanya tergantung dari izin persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Ketergantungan penyidik atas izin Ketua Pengadilan Negeri, sejalan dengan

kewenangan penyidik pada saat hendak melakukan penyitaan, penyidik dibebani syarat

formal sebagaimana yang ditentukan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Penyitaannya dapat

dilakukan penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Syarat formal penyitaan tetap

merupakan unsur formal yang mengikat penyidik "mengubah status" benda sitaan,

hanya dapat dilakukan penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri. Perubahan

status benda sitaan tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, melanggar tanggling

jawab yuridis yang dibebankan undang-undang dan peraturan.

Meminjamkan benda sitaan, kewenangan yang "sempurna" bagi penyidik.

Berbeda halnya meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.

Meminjamkan benda sitaan merupakan kewenangan yang "penuh" diberikan undang-

undang dan peraturan kepada penyidik. Tindakan itu tidak digantungkan pada syarat formal kewenangan instansi lain. Untuk melakukan peminjaman benda sitaan, penyidik

tidak memerlukan surat izin dari aparat penegak hukum yang lain. Penyidik tidak perlu

mendapat izin dari Ketua Pengadilan. Cukup "melaporkan" dalam bentuk "tembusan".

Akan tetapi, di sini pun harus diingat, peminjaman benda sitaan yang diperkenankan

petunjuk angka 2 Lampiran tersebut, hanya "kepada orang dari siapa benda itu disita".

Peminjaman tidak diperbolehkan kepada oknum penyidik atau kepada orang lain.

Peminjaman yang demikian "tidak sah" dan bertentangan dengan hukum, dan membuka

kesempatan kepada tersangka atau orang dari siapa benda itu disita, untuk menuntut

ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP.

Peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, sama

prinsipnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan. Oleh karena itu, peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan

assessor dengan tingkat pemeriksaan perkara. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan

menjadi kewenangan dan beban hukum bagi setiap aparat penegak hukum sesuai

dengan tingkat pemeriksaan. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada aparat

penyidik, selama pemeriksaan penyidikan masih berlangsung.

Beralihnya tingkat pemeriksaan kepada taraf penuntutan, dengan sendirinya

mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda itu ke tangan penuntut

umum. Dengan berlangsungnya pengalihan pemeriksaan dari tingkat penyidikan ke

tingkat penuntutan, berakhir kewenangan dan tanggung jawab penyidik atas benda

sitaan, dan sekaligus beralih kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya kepada

penuntut umum. Mengenai patokan tanggal peralihan dan tanggung jawab yuridis atas

benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, sama dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tingkat penyidikan ke

Page 86: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxvi

tingkat penuntutan. Oleh karena itu, pada saat tanggal terjadi peralihan kewenangan dan

tanggung jawab penahanan dari penyidik kepada penuntut umum, dengan sendirinya

peralihan itu diikuti bersamaan oleh kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda

sitaan. Mengenai patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab itu sudah

penulis jelaskan panjang lebar dalam pembicaraan peralihan penahanan.

Uraian mengenai patokan yang dibahas di situ, dapat dijadikan dasar pedoman menentukan penetapan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas

benda sitaan. Bagaimana jika penyitaan benda tidak dibarengi dengan penahanan atas

tersangka, penetapan tanggal mana yang dijadikan tanggal peralihan kewenangan dan

tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan.

Penetapan tanggalnya tetap sama. yakni penetapan tanggal peralihan dihitung sejak saat

"diserahkan" berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum dalam tingkat

penuntutan, Dan mengenai pengertian tanggal terjadinya penyerahan berkas dari tingkat

penyidikan ke tingkat penuntutan, sudah penulis persoalkan secukupnya pada uraian

peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Oleh karena itu, tidak

diulangi lagi pembahasannya, dan apa yang dibahas di situ dapat dijadikan dasar dan

penetapan pada uraian ini.

2. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Penuntutan

Perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan antara penyidik dengan

penuntut umum disinggung dalam angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman

No. M.14-PW.07.03/1983. Petunjuk pelaksanaan yang digariskan berbunyi: "Dalam hal

terjadi perbedaan pendapat antara penyidik dan penuntut mengenai status benda sitaan

tersebut pada saat perkara itu dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum maka

putusan akhir ada pada instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan

itu setelah hal tersebut dikonsultasikan secara sungguh-sungguh antara penyidik dan

penuntut umum". Sebelum menguraikan lebih lanjut, diringkas dulu pengertian yang

terangkum dalam petunjuk pelaksanaan tersebut.

Bilamana terjadi perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan antara penyidik dan penuntut umum, dan saat terjadinya perbedaan pendapat, waktu perkara

dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum, putusan akhir atas perbedaan

pendapat itu diputus oleh instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda

sitaan, namun sebelum instansi yang bersangkutan mengambil keputusan, harus

berkonsultasi secara sungguh-sungguh antara penyidik dan penuntut umum.

Demikian ringkasan yang dapat disimpulkan dari petunjuk pelaksanaan yang

terdapat pada angka 2 dimaksud. Kalau ringkasan ini mau diringkaskan lagi, sehingga

dapat dirumuskan dalam kalimat bahwa apabila perkara sudah dilimpahkan oleh

penyidik kepada penuntut umum, dan penuntut umum tidak sependapat dengan status

benda sitaan yang telah ditetapkan penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan,

penuntut umum dapat menentukan status lain yang dianggapnya tepat menurut hukum

sesuai dengan kepentingan benda sitaan dalam pemeriksaan selanjutnya, tapi untuk itu penuntut umum harus lebih dulu mengadakan konsultasi yang sungguh-

Page 87: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxvii

sungguh dengan penyidik.

Memang seperti yang diringkas di ataslah penerapan yang tepat terhadap

petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tersebut. Perbedaan pendapat antara penyidik

dengan penuntut umum barn bisa terjadi setelah penuntut umum menerima pelimpahan

berkas perkara dari penyidik. Logikanya memang demikian, tidak mungkin timbul

perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum jika berkas perkara belum diterima penuntut umum. Selama berkas perkara masih berada di tangan penyidik,

belum mungkin penuntut umum mengetahui secara resmi tentang status benda sitaan.

Bahkan selama perkara masih dalam tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntut umum

tidak berwenang mencampuri status benda sitaan. Jika penuntut umum tidak berwenang

mencampurinya, tidak mungkin penuntut umum berselisih pendapat dengan penyidik.

Berdasar pemikiran yang diuraikan, perbedaan pendapat antara penyidik

dengan penuntut umum mengenai status benda sitaan, baru bisa terjadi dalam "tingkat

penuntutan", setelah penuntut umum menerima berkas perkara dari tingkat penyidikan.

Tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat sebelum berkas perkara diterima pada

tingkat penuntutan. Hal ini penting dijernihkan, guna menempatkan dan menentukan

posisi instansi mana yang berwenang mengambil "putusan akhir" atas perbedaan

pendapat yang terjadi. Dengan ditetapkan patokan, perbedaan pendapat hanya mungkin terjadi setelah berkas "diterima di tingkat penuntutan", dengan sendirinya dapat

dipastikan instansi mana yang berwenang "memberi putusan akhir" atas perbedaan

pendapat yang terjadi:

a. perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan terjadi setelah penuntut

umum menerima pelimpahan berkas perkara dari instansi penyidik,

b. dengan demikian perbedaan pendapat terjadi setelah kewenangan dan tanggung

jawab yuridis atas benda sitaan berada di tangan penuntut umum pada tingkat

penuntutan,

c. oleh karena itu, instansi yang berwenang menentukan putusan akhir

atas perbedaan pendapat yang terjadi, berada di tangan instansi penuntut umum.

Dengan kesimpulan pendapat ini. sudah dapat ditegakkan kepastian hukum

dalam penerapan petunjuk pelaksanaan yang dikehendaki angka 2 Lampiran Keputusan

Menteri Kehakiman dimaksud. Apakah dengan kesimpulan pendapat tersebut sudah

selesai permasalahan yang ditimbulkan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tadi,

sepintas lalu hampir terselesaikan, terutama sepanjang status benda sitaan berupa

"pinjaman".

Pada dasarnya penyitaan itu sama dengan perampasan, dimana dalam perkara

pidana perampasan menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 66 K/Kr/1969 tanggal 9

Page 88: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxviii

Agustus 1969 tidaklah menjadi keharusan. Sebagaimana hal ini pula ditegaskan oleh

putusan Mahkamah Agung Nomor 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964.84

Kalau status benda sitaan hanya dipinjamkan penyidik kepada orang dari siapa

benda itu disita, tidak begitu sulit formalitas penyelesaiannya. Seandainya penuntut

umum tidak setuju atas tindakan penyidik meminjamkan barang sitaan kepada orang

dari siapa benda itu disita, penuntut umum dapat segera memulihkannya ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan. Dan menyuruh kembalikan benda tadi ke dalam

Rupbasan, serta menempatkan benda sitaan di bawah kewenangan dan tanggung jawab

yuridis instansi penuntut umum.

Akan tetapi, lain halnya jika penyidik sudah sempat "mengubah" status benda

sitaan baik berupa penjualan lelang, pengamanan atau pengembalian kepada orang dari

siapa benda itu disita maupun kepada orang yang berhak atasnya. Di dalam tindakan

penyidik mengubah status benda sitaan, penyidik harus lebih dulu mendapat izin dari

Ketua Pengadilan Negeri. Kalau begitu, seandainya penuntut umum tidak setuju atas

perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik pada tingkat penyidikan, dan

penuntut umum memutuskan untuk mengembalikan ke dalam status penyitaan, belum

tentu keputusan itu bisa terlaksana.

Ada beberapa hambatan untuk merealisasi putusan tersebut. Faktor hambatan yang dimaksud adalah keadaan dan Sifat Perubahan Status Benda Sitaan itu Sendiri

yang dimaksud di sini, perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik

sedemikian rupa keadaan dan sifatnya, sehingga perubahan status itu "tidak mungkin

lagi dipulihkan" ke dalam status benda sitaan. Misalnya tindakan penjualan lelang

benda sitaan. Keadaan dan sifat perubahan status benda sitaan dengan penjualan lelang,

secara mutlak tidak mungkin lagi dikembalikan menjadi benda sitaan. Benda sitaannya

sudah dijual secara resmi oleh kantor lelang. Bagaimana mungkin untuk menempatkan

benda itu berada dalam penyitaan penuntut umum, kecuali pembeli lelang bersedia

mengembalikan benda tersebut. Namun untuk memaksa pembeli mengembalikannya,

bertentangan dengan hukum. Di sini dapat penulis lihat ditinjau dari segi teori maupun

praktek, tidak mungkin lagi mengembalikan benda sitaan yang telah dijual lelang oleh penyidik dalam tingkat pemeriksaan penyidikan ke dalam status benda sitaan dalam

tingkat penuntutan secara in natura. Hambatan untuk menempatkan kembali sebagai

benda sitaan, disebabkan keadaan dan sifat perubahan status itu sendiri sudah tidak

memberi kemungkinan lagi. Kalau begitu, jika penuntut umum tidak setuju atas

penjualan benda sitaan yang dilakukan penyidik, tidak ada altenatif lain yang dapat

diputuskan. Selain daripada menyetujui penjualan lelang yang tidak disetujuinya itu.

Kalau begitu, jika penuntut umum menjumpai kenyataan bahwa penyidik telah menjual

lelang benda sitaan, mau tidak mau terpaksa menyetujuinya dalam tingkat penuntutan.

Karena tidak ada kemungkinan lagi untuk mengembalikan perubahan status penjualan

itu ke dalam keadaan benda sitaan. Hal ini merupakan peringatan bagi penuntut umum,

supaya jangan gegabah memutuskan sesuatu yang mempersulit kelancaran penyelesaian

84Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Op.Cit., h.252

Page 89: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxix

perkara. Dan sikap menyetujuilah yang paling tepat diambil dalam kasus penjualan

benda sitaan yang dilakukan penyidik. Kalau tidak demikian, penuntut umum akan

terbentur menghadapi tembok yang tidak dapat ditembusnya sendiri.

Faktor ijin Ketua Pengadilan Negeri, hambatan lain yang mungkin terjadi,

faktor izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 38 KUHAP

yang menegaskan, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri. Apabila misalnya penuntut umum tidak setuju tindakan

penyidik yang mengubah status benda sitaan dengan jalan mengembalikan benda sitaan

kepada orang dari siapa benda itu disita sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat(l)

KUHAP. Kemudian penuntut umum memutuskan benda sitaan yang dikembalikan

penyidik supaya ditempatkan dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan.

Berarti untuk menyita kembali benda yang telah dikembalikan tersebut, penyidik harus

minta izin Ketua Pengadilan Negeri.

Latar belakang permintaan ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri, adalah

dikarenakan izin penyitaan semula sudah hapus atau gugur. Karena sesuai dengan

petunjuk pelaksanaan yang diatur pada angka 2 Lampiran Keputusan Menteri

Kehakiman Nomor. M.14-PW.07.03/1983, jika penyidik hendak, mengubah status

benda sitaan harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Dengan demikian seandainya penuntut umum memulihkan untuk

menempatkan kembali dalam status semula, penyidik harus lebih dulu mendapat izin

lagi dari Ketua Pengadilan Negeri. Bagaimana halnya jika Ketua Pengadilan Negeri

tidak memberikan izin, sudah barang tentu Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat dipaksa

penyidik untuk memberikan izin. Jika ternyata Ketua Pengadilan Negeri tidak mail

memberikan izin, dengan sendirinya putusan penuntut umum yang menetapkan

pengembalian benda sitaan ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan, sama

sekali tidak terealisir.

Izin Ketua Pengadilan Negeri merupakan faktor penghambat untuk

melaksanakan putusan penuntut umum mengenai pengembalian status benda sitaan

dalam keadaan semula. Malahan faktor izin ini bukan hanya penghambat yang berdiri sendiri. Ada lagi faktor penghambat lain yang mengiringi izin tersebut, yakni faktor

"keberadaan" benda yang telah dikembalikan. Sekiranya Ketua Pengadilan bersedia

memberikan izin penyitaan kembali benda yang sudah dikembalikan penyidik, akan

tetapi benda itu telah dijual oleh orang yang menerima pengembalian atau benda itu

sudah habis terpakai atau musnah terbakar. Sudah barang tentu dalam kasus yang

demikian putusan penuntut umum yang menetapkan pengembalian benda ke dalam

penyitaan penuntutan, tidak dapat direalisasi.

ltulah beberapa permasalahan hukum yang ditimbulkan petunjuk pelaksanaan

angka 2 Lampiran tadi. Seolah-olah petunjuk itu bukan membimbing dan mengarahkan

pelaksanaan penerapan hukum yang lebih praktis. Malahan sebaliknya, petunjuk itu

semakin mempersulit penyelesaian perbedaan pendapat yang terjadi antara penyidik

dengan penuntut umum. Jika seandainya petunjuk itu benar-benar bertujuan menghindari terjadinya perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum

Page 90: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xc

mengenai perubahan status benda sitaan, cukup dirumuskan petunjuk pelaksanaan yang

sederhana yang sungguh-sungguh dapat menjangkau penertiban pelaksanaan. Misalnya,

cukup dirumuskan petunjuk yang berbunyi untuk menghindari perbedaan pendapat

antara penyidik dengan penuntut umum mengenai benda sitaan, setiap perubahan status

benda sitaan yang hendak dilakukan penyidik pada tingkat penyidikan, lebih dulu

dikonsultasikan dengan pihak penuntut umum. Dengan petunjuk yang demikian, dapat dihindari perbedaan pendapat. Atau

sebaiknya hal itu tidak perlu dipersoalkan, dan tidak perlu diberikan petunjuk

pelaksanaan. Tanpa petunjuk pelaksanaan, dengan sendirinya setiap instansi semata-

mata akan berdiri pada batas kewenangan dan pertanggungjawaban yuridis yang ada

padanya sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Kewenangan dan Peralihan Tanggung

Jawab Yuridis Penuntut Umum Atas Benda Sitaan

Uraian mengenai kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis atas

benda sitaan pada tingkat penuntutan dapat dipersingkat, karena banyak di antara uraian

yang telah dibahas pada tingkat penyidikan, termasuk juga dalam ruang lingkup

kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan pada tingkat

penuntutan. Oleh karena itu, apa yang diuraikan di sini hanya mengenai hal-hal yang

khusus kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada tingkat penuntutan.

Kewenangan penuntut umum atas benda sitaan dalam tingkat penuntutan

hampir sama dengan yang dimiliki instansi penyidik. Landasan dan dasar hukum

kewenangan inipun baik pada tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan, sama-

sama bertitik tolak dari Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP.

Kewenangan Mengubah Status Benda Sitaan, selama pemeriksaan perkara

berada dalam tingkat penuntutan, penuntut umum berwenang mengubah status benda

sitaan. Perubahan status benda sitaan yang termasuk kewenangan penuntut umum

meliputi menjual lelang benda sitaan. Tentang kewenangan menjual lelang barang

sitaan yang ada pada penuntut umum terdapat sedikit perbedaan dengan apa yang ada

pada instansi penyidik, hanya terbatas selama pemeriksaan perkara masih dalam tingkat penyidikan. Tidak demikian halnya jangkauan kewenangan yang ada pada penuntut

umum.

Kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan tidak hanya

terbatas selama perkara berada dalam tingkat penuntutan, tapi menjangkau tingkat

pemeriksaan pengadilan baik pada tingkat Pengadilan Negeri, pemeriksaan tingkat

banding maupun tingkat kasasi. Demikian jauhnya jangkauan kewenangan penuntut

umum mengubah status benda sitaan, bukan hanya terbatas pada tingkat penuntutan,

tapi menjangkau semua tingkat pemeriksaan pengadilan. Hanya saja dalam

melaksanakan kewenangan ini terdapat perbedaan "formalitas". Jika penjualan lelang

dilakukan penuntut umum masih dalam tingkat kewenangan dan tanggung jawab

yuridisnya yang murni, penjualan lelang tidak memerlukan formalitas dari instansi lain.

Jadi, jika penuntut umum memerlukan penjualan lelang atas benda sitaan. Dan tindakan itu dilakukannya masih dalam tingkat penuntutan tidak diperlukan izin persetujuan dari

Page 91: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xci

siapa pun. Akan tetapi jika tindakan perubahan status itu hendak dilakukannya setelah

pemeriksaan perkara pada tingkat pengadilan, penuntut umum hams mendapat izin

persetujuan dari "hakim" yang menyidangkan perkara. Dari hakim Pengadilan Negeri

yang menyidangkan perkara pada tingkat pertama. Dari Hakim Tinggi yang

menyidangkan perkara pada tingkat banding dan dari Hakim Agung yang

menyidangkan perkara pada tingkat kasasi. Demikian pelaksanaan kewenangan penjualan leiang penuntut umum menurut Pasal 45 ayat (1) huruf a dan b.

Akan tetapi, apakah benar demikian, apakah campur tangan instansi lain tidak

merupakan syarat formal dalam pelaksanaan penjualan yang dilakukan penuntut umum

selama perkara dalam tingkat penuntutan. Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan

Pasal 45 ayat (1) K.UHAP benar demikian. Namun jika kewenangan itu dihubungkan

dengan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.

M.14-PW.07.03/1983, penjualan lelang yang hendak dilakukan dalam tingkat

penuntutan pun, harus lebih dulu mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, karena

menurut penegasan petunjuk pelaksanaan itu, jika penyidik atau penuntut umum hendak

mengubah status benda sitaan, harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri.

Dengan menghubungkan Pasal 45 ayat (1) KUHAP dengan petunjuk pelaksanaan tadi,

penuntut umum tidak bisa berdiri sendiri melakukan penjualan leiang, tapi harus mendapat bantuan dari instansi lain, berupa izin persetujuan Ketua Pengadilan Negeri

pada penjualan lelang dalam tingkat penuntutan, izin persetujuan hakim yang

menyidangkan perkara dalam tingkat pemeriksaan pengadilan.

Di samping itu, supaya tindakan penjualan lelang benda sitaan memenuhi

syarat yang dikehendaki undang-undang dan peraturan, penuntut umum mesti

memperhatikan hal-hal berikut benda sitaan terdiri dari benda yang mudah rusak,

keadaan yang mudah rusak itu dibuktikan berdasar pendapat lembaga ahli, sejauh

mungkin mendapat persetujuan dari terdakwa atau kuasanya, penjualan lelang

disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan lelang disaksikan oleh petugas

Rupbasan, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Kehakiman No.

M.05-UM.01.06/1983, pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang negara, menyisihkan sebagian kecil dari benda yang dilelang guna kepentingan pembuktian.

ltulah beberapa syarat penjualan lelang yang harus diperhatikan penuntut

umum. Syarat-syarat itu sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, dan tidak akan

dijelaskan ulang lagi di sini. Tindakan mengamankan benda sitaan meliputi pengertian

pemusnahan benda sitaan. Kewenangan pengamanan atau memusnahkan benda sitaan

yang dilakukan penuntut umum baik pada tingkat penuntutan maupun pada tingkat

pemeriksaan pengadilan, sama hal dan formalitasnya dengan tingkat penjualan lelang.

Oleh karena itu, jika penuntut umum hendak memusnahkan benda sitaan karena

dianggap membahayakan kesehatan orang dan lingkungan, tindakan itu harus lebih dulu

"mendapat izin" Ketua Pengadilan Negeri jika pemusnahan atau pengamanan itu

dilakukan pada tingkat penuntutan, dan izin persetujuan dari hakim yang menyidangkan

perkara jika tindakan itu dilakukan pada tingkat pemeriksaan pengadilan.

Page 92: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xcii

Dalam tindakan pemusnahan benda sitaan ini pun kewenangan penuntut umum

tidak hanya terbatas pada tingkat penuntutan saja. Tetapi meliputi tingkat pemeriksaan

pengadilan dalam semua tingkat, mulai dari tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri,

tingkat banding dan kasasi. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi penuntut umum

dalam tindakan pemusnahan barang sitaan tersebut membahayakan, sejauh mungkin

dengan persetujuan terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan pemusnahan disaksikan terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan pemusnahan disaksikan petugas Rupbasan, seperti

yang dijelaskan Pasal 11 ayat (3) huruf c Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05-

UM.O I -06/1983.

Mengembalikan benda sitaan, di samping kewenangan menjual lelang dan

memusnahkan benda sitaan, penuntut umum berwenang mengubah status benda sitaan

dengan cara "mengembalikan" benda sitaan kepada orang dari siapa dulunya benda

sitaan itu disita. Pengembalian benda sitaan berarri mengembalikan benda itu dalam

kedudukan semula secara sempurna tanpa ikatan apa-apa lagi dengan perkara maupun

dengan pihak instansi penegak hukum. Jadi, harus dibedakan pengembalian dalam arti

murni dan sempurna dengan pengertian tindakan meminjamkan atau menitipkan benda

sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Pada status peminjaman, benda sitaan

memang benar dikembalikan kepada orang yang bersangkutan. Akan tetapi pengembalian itu tidak murni baik ditinjau dari segi yuridis dan keperluan. Secara

yuridis benda sitaan yang dipinjamkan masih berada dalam status penyitaan dan

tanggung jawab yuridisnya masih dipegang instansi yang berwenang sesuai dengan

tingkat pemeriksaan perkara serta benda itu masih diperlukan dalam pemeriksaan

perkara.

Formalitas dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi penuntut umum dalam

pelaksanaan pengembalian benda sitaan mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, ini

sejalan dengan makna yang terdapat pada petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983 yang menegaskan bahwa

setiap perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum,

harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri, kepentingan pemeriksaan tidak memerlukannya lagi, atau benda itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara yang

diperiksa, atau perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti, atau perkara

tidak jadi dituntut karena peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana, atau

karena dikesampingkan (ideponering) untuk kepentingan umum, atau perkara ditutup

demi hukum karena nebis in idem, karena kedaluwarsa, terdakwanya meninggal dunia,

dan sebagainya.

Suatu hal yang penting diingatkan di sini sehubungan dengan tindakan

perubahan status benda sitaan. Setiap tindakan kewenangan perubahan status benda

sitaan harus berdasar "surat perintah" atau surat penetapan penuntut umum. Hal ini

perlu demi untuk kepastian hukum dan untuk menjadi dasar bagi petugas Rupbasan

mengeluarkan benda itu dari Rupbasan. Demikian yang dituntut ketentuan Pasal 10 dan

Pasal II Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05-UM.01.05/1983. Juga perlu diingat

Page 93: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xciii

larangan untuk mempergunakan benda sitaan oleh siapa pun sebagaimana yang

ditegaskan Pasal 44 ayat (2) KUHAP.

Di samping kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan berupa

penjualan lelang, pemusnahan dan pengembalian, dia juga berwenang meminjamkan

benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Kewenangan untuk meminjamkan

benda sitaan disebutkan pada petunjuk pelaksanaan angka 2 alinea pertama Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Seperti yang sudah

diterangkan, peminjaman benda sitaan ialah pengembalian yang tidak sempuma dan

mumi. Benda sitaan yang dipinjamkan masih tetap berstatus benda sitaan dan tanggung

jawab yuridisnya tetap berada pada pihak instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan

perkara.

Dari segi keperluannya pun benda itu masih tetap diperlukan untuk

kepentingan pemeriksaan perkara. Dari segi formal, tindakan meminjamkan benda

sitaan merupakan kewenangan yang murni bagi penuntut umum. Dia sepenuhnya

berwenang melakukan tindakan itu tanpa bantuan persetujuan izin dari Ketua

Pengadilan Negeri. Cuma tindakan itu hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan

perkara berada dalam tingkat penuntutan. Jika tingkat pemeriksaan perkara sudah

berada pada taraf pemeriksaan pengadilan, harus lebih dulu mendapat izin persetujuan dari hakim yang memeriksa perkara sesuai dengan tingkat pemeriksaan pengadilan yang

bersangkutan.

Sehubungan dengan tindakan meminjamkan benda sitaan tidak banyak syarat-

syarat yang harus diperhatikan penuntut umum. Syarat yang penting di sini, antara lain

penetapan peminjaman dari penuntut umum, peminjaman hanya diberikan kepada orang

dari siapa benda itu disita. Jangan sampai peminjaman diberikan kepada orang lain.

Apalagi untuk kepentingan diri sendiri, dilarang oleh Pasal 44 ayat (2) KUHAP,

pelaporan berupa tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelaporan ini, jika

sepanjang tindakan meminjarnkan itu dilakukan penuntut umum pada tingkat

penuntutan. Kalau tindakan itu dilakukan pada tingkat pemeriksaan pengadilan, bukan

pelaporan yang menjadi syarat, tapi izin persetujuan dari hakim yang menyidangkan. Masalah yang berkenaan dengan peralihan kewenangan dan tanggungjawab

yuridis atas benda sitaan dari penuntut umum kepada Pengadilan Negeri tidak diuraikan

lagi di sini, karena baik mengenai peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis

atas penahanan maupun benda sitaan adalah sama. Dengan demikian. patokan

menentukan tanggal peralihan kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas benda sitaan

dari tingkat penuntutan ke tingkat pemeriksaan pengadilan, berjalan beriringan dengan

peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tangan penuntut

umum kepada pengadilan. Pada tanggal terjadinya peralihan kewenangan dan tanggung

jawab yuridis penahanan dari tangan penuntut umum kepada pengadilan, otomatis

terjadi pula peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan.

Prinsip menentukan patokan peralihan kewenangan dan tanggung jawab

yuridis atas benda sitaan dari tingkat penuntutan kepada tingkat pemeriksaan pengadilan, tidak semurni peralihan dan tanggung jawab atas penahanan. Dalam

Page 94: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xciv

penahanan, sejak saat terjadi peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis dari

penuntut umum kepada instansi pengadilan, penuntut umum tidak mempunyai

kewenangan apa-apa lagi atas penahanan tersebut. Akan tetapi tidak demikian halnya

benda sitaan. Berdasar Pasal 45 ayat (1) huruf b KUHAP, kewenangan penuntut umum

atas benda sitaan masih berlanjut terus, sekalipun telah terjadi peralihan tanggung jawab

yuridis ke tingkat pemeriksaan pengadilan. Walaupun secara nyata dan formal telah terjadi peralihan tanggung jawab

yuridis berkas perkara dan penahanan ke tingkat pemeriksaan pengadilan, undang-

undang masih tetap memberi kewenangan kepada penuntut umum untuk menjual lelang

benda sitaan, untuk mengamankan atau memusnahkan benda sitaan, tetapi atas izin

hakim yang menyidangkan perkara yang bersangkutan.

Jadi, kewenangan penuntut umum atas benda sitaan menjangkau dan berlanjut

sampai ke tingkat pemeriksaan pengadilan baik pada tingkat pemeriksaan Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Memang dengan terjadinya

peralihan benda sitaan dari tingkat penuntut umum ke tingkat pemeriksaan pengadilan,

secara formal tanggung jawab yuridisnya ada di tangan pengadilan. Akan tetapi

sekaligus dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis pengadilan tadi. tetap melekat

kewenangan penuntut umum untuk menjual lelang atau memusnahkan benda sitaan. Cuma sifat kewenangan yang melekat tersebut tidak mutlak, karena

kewenangan itu baru bisa diterapkan penuntut umum tergantung dari izin persetujuan

hakim yang menyidangkan perkara.

3. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Peradilan

Wewenang pengadilan dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan,

pada prinsipnya sama dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada

instansi penyidik dan penuntut umum. Kewenangan yang diberikan undang-undang

kepada setiap instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda

sitaan, pada hakikatnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP.

Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kewenangan yang ada pada satu instansi dengan instansi yang lain, tanpa mengurangi adanya variasi dan pengecualian di sana-

sini. Ada kelebihan antara instansi penyidik dengan penuntut umum dan antara penuntut

umum dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada instansi pengadilan.

Selama Pemeriksaan Perkara Masih Berlangsung dalam Setiap Tingkat

Pengadilan dapat memerintahkan atau memberi izin penjualan lelang benda sitaan,

Dapat memerintahkan atau memberi izin pemusnahan atau pengamanan benda sitaan.

Asal penjualan lelang atau pemusnahan itu memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 45

ayat (1) KUHAP. Dapat memerintahkan atau memberi izin pengembalian benda sitaan

kepada orang dari siapa benda itu disita, asalkan pengembalian itu memenuhi syarat

yang ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a, b, atau c KUHAP. Dapat

meminjamkan benda sitaan, sepanjang peminjaman itu tidak menghambat kelancaran

pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Page 95: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xcv

Pada Taraf Penjatuhan Putusan, Pengadilan pada Setiap Tingkat Instansi

Dapat menjatuhkan putusan pengembalian benda sitaan kepada orang dari siapa benda

itu disita atau kepada orang yang dianggap paling berhak atas benda sitaan. Dapat

menjatuhkan putusan menetapkan perampasan benda sitaan untuk negara. Atau dapat

menjatuhkan putusan yang memerintahkan pemusnahan atau perusakan benda sitaan.

Atau dapat menjatuhkan putusan yang menetapkan benda sitaan masih diperlukan lagi sebagai barang bukti dalam perkara lain.85

Kewenangan yang disebut belakangan ini ditentukan dalam Pasal 46 ayat (2)

KUHAP. Dan kewenangan ini hanya diberikan undang-undang kepada instansi

pengadilan pada setiap tingkat pemeriksaan. Kewenangan ini mutlak monopoli instansi

pengadilan, tidak diberikan undang-undang kepada instansi penyidik pada tingkat

pemeriksaan penyidikan maupun kepada instansi penuntut umum pada tingkat

penuntutan. Jadi, selama benda sitaan mengikuti tingkat pemeriksaan pengadilan,

pengadilan yang berwenang menetapkan kepada siapa benda sitaan dikembalikan atau

dirampas untuk negara, maupun untuk dimusnahkan. Pengadilan Negeri berwenang

untuk menjatuhkan putusan yang memerintahkan pengembalian benda sitaan kepada

orang dari siapa benda itu disita, atau orang yang dianggapnya paling berhak. Atau

dapat memerintahkan merampas benda sitaan untuk negara maupun untuk dimusnahkan. Namun atas putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi berwenang

pula untuk menentukan lain benda sitaan tersebut dalam putusan. Jika Pengadilan

Negeri menetapkan benda sitaan dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita,

sedang Pengadilan Tinggi berpendapat benda itu semestinya dikembalikan kepada

orang lain yang paling berhak, Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengubah putusan

Pengadilan Negeri tersebut. Atau jika putusan Pengadilan Negeri memerintahkan

pengembalian benda sitaan, sedang Pengadilan Tinggi berpendapat harus dirampas

untuk negara, dia berwenang untuk menentukan demikian. Demikian pula Mahkamah

Agung, berwenang untuk menentukan benda sitaan dari apa yang telah ditentukan

Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dalam putusan yang mereka jatuhkan

sepanjang putusan itu tidak keluar dari batas ruang lingkup yang ditentukan Pasal 46 ayat (2) KUHAP.

Mengenai peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan

dari Pengadilan Negeri ke tingkat banding, dan dari tingkat banding ke tingkat kasasi,

serupa halnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas

penahanan. Untuk menentukan patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung

jawab yuridis atas benda sitaan tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri ke tingkat

banding pada Pengadilan Tinggi dan dari Pengadilan Tinggi ke tingkat kasasi pada

Mahkamah Agung, berpedoman berdasar asas "konsistensi" kepada ketentuan Pasal 238

ayat (2) dan Pasal 253 ayat (4) KUHAP. Dengan mempedomani pasal-pasal tersebut

secara konsisten patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis

atas benda sitaan terhitung sejak tanggal permintaan banding diajukan, kewenangan

85Ibid., h.248

Page 96: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xcvi

dan tanggung jawab yuridis benda sitaan beralih dari Pengadilan Negeri kepada

Pengadilan Tinggi, terhitung sejak tanggal permintaan kasasi diajukan, kewenangan dan

tanggung jawab yuridis atas benda sitaan beralih dari Pengadilan Negeri dan atau

Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.

KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat

tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Benda yang dapat di sita dalam perkara pidana adalah hanya mempunyai

hubungan dengan tindak pidana, sedangkan bilamana benda tersebut tidak

mempunyai hubungan dengan tindak pidana maka benda tersebut tidak dapat

di sita. Di samping hal tersebut, dalam proses penyitaan benda yang

bersangkutan dengan perkara pidana harus mendapat ijin dari Ketua

Pengadilan Negeri;

b. Tanggung jawab atas benda sitaan adalah merupakan tanggung jawab dari

pihak yang secara langsung bertanggung jawab atas keselamatan barang itu.

Artinya bilamana benda sitaan tersebut di sita oleh penyidik dan dikuasai oleh penyidik, maka yang bertanggung jawab adalah penyidik. Berbeda halnya jika

benda tersebut sudah dalam tahap dua dari suatu perkara tindak pidana, maka

beban tanggung jawab telah dialihkan pada penuntut umum. Demikian pula

jika benda sitaan tersebut telah dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri, maka

yang bertanggung jawab adalah Pengadilan Negeri.

SARAN

Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan proses penyitaan dalam KUHAP,

maka dapat dikemukakan hal-hal:

Page 97: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xcvii

a. perlu penegasan dalam putusan pengadilan, jika telah ditentukan bahwa barang

bukti atau benda tersebut dikembalikan kepada yang paling berhak dipandang

perlu untuk menegaskan siapakah yang paling berhak. Sebab seolah-olah

hakim pidana tidak bertanggung jawab terhadap siapa ia mengembalikan benda

atau barang itu. Padahal Pengadilan Negeri telah dibantu guna mencari

kebenaran materiil dalam perkara tersebut; b. perlu pemahaman yang cukup seksama tentang penyitaan, mengingat dalam

praktik tidak sedikit penyidik melakukan penyitaan, sementara obyek yang sita

tersebut tidak dalam keadaan mendesak.

Page 98: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xcviii

Perlindungan Hukum Debitor

dalam Perjanjian yang Disetujui

serta Upaya Hukumnya

OLEH:

H. FIRMAN SJAH, S.H.,M.HUM.*

ABSTRAK

BERDASARKAN PASAL 1320 BW PERJANJIAN ADALAH JIKA

TELAH MEMENUHI KETENTUAN SYARAT SAHNYA

PERJANJIAN. PERJANJIAN ANTARA KRIDITOR DAN DEBITOR

HARUS JUGA MEMENUHI SYARAT SAHNYA PERJANJIAN,

SEBAGAIMANA HAL INI DITEGASKAN DALAM PASAL 1338 BW.

KATA KUNCI: PERLINDUNGAN HUKUM – PERJANJIAN

MERUGIKAN SALAH SATU PIHAK – AKIBAT

HUKUM.

LATARBELAKANG

Secara umum setiap orang yang telah menyetujui suatu perjanjian, maka ia

terikat untuk melaksanakannya. Kendati demikian, hendaknya perjanjian tersebut harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian, tidak bertentangan dengan kepatutan, ketertiban

umum dan kesusilaan serta tidak mengandung penyalah-gunaan keadaan. Artinya setiap debitor yang telah menyetujui suatu perjanjian, tidak serta-merta harus melaksanakan isi

perjanjian tersebut. Lebih jelasnya sebagai gambaran latarbelakang penulis akan

menjelaskan tentang perjanjian kredit dan perjanjian yang menggunakan kontrak baku.

Perjanjian dalam bentuk apapun, tidak terkecuali perjanjian kredit dalam

pelaksanaannya harus atas dasar dengan itikad baik. Walaupun perjanjian tersebut telah

memenuhi ketentuan dalam pasal 1338 BW (Burgerlijk Wetboek), namun yang

dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah harus didasari pula pada pemenuhan

syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.86

Pada Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan

Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 86

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001, h.181

Page 99: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 xcix

pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek

jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut.

Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa

beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar

harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit.

Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian

bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum

dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang

dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa

barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru

jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelian barang,

status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang.87

Perjanjian sewa beli atau huurkoop88 yang merupakan ciptaan praktik dan

bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih

diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang

perikatan atau van verbintennis89 adalah bersifat aan vullenrecht.90 Sifat aan

vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya.

Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW,

kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan

freedom of making contract.91

Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan

pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der

contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata

“perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan

membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya

undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan

“ketertiban dan kesusilaan umum”.92 Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk

Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan

(verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.

Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya,

misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan

sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian

87

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII,

Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h.65 88

Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985,

h.51 89

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11 90

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84 91Ibid. 92

Subekti. RI., Op.cit. h.5

Page 100: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 c

yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu,

misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab

sebagainya.

Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian,

sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak

sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih

dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum

perjanjian” dan “hukum kontrak”.

“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam

mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak

lain.”93 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan

hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban

memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.

Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan

hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang

menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam

buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”94

Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang

berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua

orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan

antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan

atau ditulis.95

Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam

praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai

pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian, dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan

rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah

Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru

akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada

penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas.

Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha,

umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui

93

Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian

elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55 94

Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa,

Jakarta, 1985, h.123. 95

Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta,

1979, h.1.

Page 101: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 ci

bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak

menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat

yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga

menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian

ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu

dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan.

Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan

pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak

normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan

kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan,

antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat

perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula.

Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha

memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan

yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi

pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung

jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.

RUMUSAN MASALAH

Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode

yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai

tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen

justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada

suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam

ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi

yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha,

melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar

negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan

dengan rumusan kalimat, sebagai berikut:

a. Bagaimanakah terhadap perjanjian yang telah disetujui itu sah menurut hukum?

b. Dapatkah perjanjian yang telah disetujui itu dibatalkan secara sepihak?

Page 102: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cii

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

1. Perjanjian yang Sah adalah Mengikat

Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran

hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan

kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia).

Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang

bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu

menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana

ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan

konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada dua

kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu

pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasi

semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam

revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”96 dengan akibat memberi peluang kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi

lemah.

Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya

kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak

yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan

menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan

saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah

akta.

Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang

terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus

secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi

kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu

adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak,

dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal

tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang

diperbolehkan.

Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak

yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas

20

Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep

Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika

Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99.

Page 103: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 ciii

dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh

undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum.

Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan

untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini

dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai

syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak

adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah

merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak.

Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para

pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum,

maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat

mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur

terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini

bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada

seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya.97

Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak

dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut

batal demi hukum (nietig).98

Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam

kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan

mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai

persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam

suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam

suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu

harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk

menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak

mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati

demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak

mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu,

yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa

upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW.

Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran

yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.99 Artinya, tidak ada suatu

kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh

97

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno

Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12 98

Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari

Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65. 99

J. Satrio, Op.Cit., h.165.

Page 104: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 civ

pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok

yang menentukan lahirnya perjanjian.

Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah

merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai

rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima

oleh pihak lainnya dalam kontrak. Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat

ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu

tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus

ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki.

Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa

adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh

seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan

bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut.

Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih

jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak

yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan

pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak.

Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh

kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan

sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya.100 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan

debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh

pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan

terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur.

Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam

sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi

tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah

bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan.

Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk

dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.Artinya dengan akta tersebut

para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur

dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi

kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan

penandatanganan para pihak.

a. Akta Otentik.

100

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,

Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3

Page 105: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cv

Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam

bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di

tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus

berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang

untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk

membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus disimpan oleh Notaris, tanggalnya

ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan salinannya, grossenya dan

kutipannya.101

Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta

kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus

oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini

dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masing-

masing pejabat umum yang berwenang.

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik

telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang

dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta

otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku bagi tiap orang atau pihak ketiga..

Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang

menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun

kepalsuan intelektual.102 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan

dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan

intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar

dalam akta itu.

Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda

tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal

yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi

juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan

tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap

sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah

pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun

kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana

dimuat dalam pasal 1870 BW.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik membereikan bukti

yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, diantara para pihak yang

bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu.

101

Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia,

Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4. 102

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta,

1983, h.196.

Page 106: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cvi

Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak

tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan

berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang

mendapat hak dari mereka.

b. Akta dibawah tangan. Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu

bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan

adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari

seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang

dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan

pejabat umum pembuat akta.

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di

bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika

terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat

umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan

dalam pasal 1869 BW.

Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg.

(Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal

305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880.

Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan

utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan

sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis

dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari

kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri

kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian

permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW

yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam

pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan

ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau

dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya

peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di

bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan

mendasar tentang:

d. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan

pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam

undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan

tidak demikian;

Page 107: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cvii

e. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir

sesuai azas acta publica probant seseipsa103, sedangkan kontrak yang dibuat

dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.

f. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara

hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian.

2. Perjanjian yang Sah dan yang Disetujui

Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur

sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract),

sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1

tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi yang membuatnya.

Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung

unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari

kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:

d. Bagian dari kontrak yang esensial

Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak

tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada.

Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.

e. Bagian dari kontrak yang natural

Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak

yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya

aturan yang bersifat mengatur saja.

f. Bagian dari kontrak yang aksidental

Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama

sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk

mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of

contract).104

Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda

tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang

perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab

103

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar (selanjutnya disingkat Sudikno

Metokusumo II), Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h.111. 104

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1999, 28.

Page 108: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cviii

V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan

sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang

terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.

Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak

yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja

sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan

terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang

yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu

kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya

kontrak sewa beli.

Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal

bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi

tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian

campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang

diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai

pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya

dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.

a. Perjanjian Bernama.

Perjanjian bernama disebut juga persetujuan dengan sebutan

(nominaatcontracten) yaitu persetujuan yang disebut dan diatur dalam perundang-

undangan seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.105

Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok kontrak atau perjanjian, yaitu

perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan

perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu

nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama. Nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-undang, seperti jual beli, sewa-

menyewa, perjanjian pemborongan dan lain sebagainya.

Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan

tunduk kepada salah satu nama perjanjian seperti yang diatur khusus dalam BW yatu

bab V sampai dengan bab XVIII ditambah titel VII A WVK (Wetboek van Koophandel)

tentang persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Baik untuk perjanjian

bernama ataupun tidak bernama pada azasnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan

dalam bab I, II dan IV buku III BW.106

Buku III BW mengkatagorikan perjanjian bernama tersebut ke dalam 15

kategori sebagai berikut:

(1) perjanjian jual beli (diatur dalam bab V);

105

Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.30 106

Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999, h.51

Page 109: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cix

(2) perjanjian tukar menukar (diatur dalam bab VI);

(3) perjanjian sewa menyewa (diatur dalam bab VII);

(4) perjanjian kerja, termasuk perjanjian pemborongan pekerjaan (diatur

dalam bab VII A);

(5) perjanjian persekutuan pedata (diatur dalam bab VIII);

(6) perjanjian badan hukum (diatur dalam bab IX); (7) perjanjian penghibahan (diatur dalam bab X);

(8) perjanjian penitipan barang (diatur dalam bab XI);

(9) perjanjian pinjam pakai (diatur dalam bab XII);

(10) perjanjian pinjam pakai habis (diatur dalam bab XIII);

(11) perjanjian bunga abadi (diatur dalam bab XIV);

(12) perjanjian untung-untungan (diatur dalam bab XV);

(13) perjanjian pemberian kuasa (diatur dalam bab XVI);

(14) perjanjian penanggungan hutang (diatur dalam bab XVII);

(15) perjanjian perdamaian (diatur dalam bab XVIII).

Bilamana ada perjanjian yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari perjanjian

tersebut dan ketentuan dalam WVK di atas, maka itu berarti perjanjian yang

bersangkutan termasuk ke dalam perjanjian umum (tidak bernama). Maksudnya, terhadap perjanjian tersebut hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang

perjanjian yang juga diatur dalam buku III BW. Di samping tentunya juga berlaku

ketentuan-ketentuan yang diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang

bersangkutan, ditambah kebiasaan dan yurisprodensi yang berlaku untuk hal

dimaksud.

b. Perjanjian tidak bernama.

Kita mengenal adanya beberapa perjanjian yang di dalam kehidupan praktek

sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam undang-

undang. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari ada perjanjian yang mempunyai nama

yang sama dengan yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi oleh masyarakat

diberikan arti yang lain. Misalnya kontrak sewa-menyewa. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kata kontrak mempunyai arti yang sama

dengan persetujuan atau perjanjian. Bahkan bab II buku III judulnya adalah tentang

perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Kata “atau” di

belakang “kontrak” menunjukkan, bahwa ia mempunyai arti yang sama dengan kata

“perjanjian”.

Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1319 BW, bahwa terdapat dua

kelompok perjanjian yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama

khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-

undang tidak diatur dan tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan

perjanjian tidak bernama. Pasal 1319 BW tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan,

bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak hanya tunduk pada ketentuan umum tentang

perjanjian, sebagaimana diatur dalam buku III titel I, II dan IV tetapi terhadap perjanjian

Page 110: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cx

itu berlaku pula ketentuan-ketentuan khusus yang tidak menutup kemungkinan

menyimpangi ketentuan umum.

Dengan pertimbangan di atas, maka azas umumnya adalah ketentuan umum

yang diatur dalam titel I, II, dan IV buku III. Ketentuan ini berlaku untuk semua

perjanjian, baik perjanjian bernama maupun tidak bernama, ataupun campuran,

sepanjang undang-undang terhadap perjanjian bernama itu tidak menentukan lain dari ketentuan umum tersebut. Dalam hal yang demikian berlakulah azas lex specialis

derogat legi generalie.

Di luar perjanjian bernama, sesuai dengan dianutnya azas kebebasan

berkontrak di dalam BW, terdapat bermacam-macam perjanjian lain, yang secara

teoritis terbatas variasinya. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ditutup

perjanjian-perjanjian, dengan variasi yang cukup banyak jumlahnya dan ada di

antaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu.

c. Perjanjian Campuran.

Di samping itu masih juga dikenal adanya perjanjian-perjanjian yang tidak

diatur secara khusus di dalam undang-undang, namun dalam praktek mempunyai nama

sendiri di mana unsur-unsurnya mirip atau bahkan sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi tidak tersebut sebagai salah satu perjanjian dalam perjanjian

bernama. Untuk perjanjian jenis ini dapat diambil contoh misalnya perjanjian sewa beli.

Dalam perjanjian sewa beli terdapat unsur-unsur, yaitu: (a) jual beli, karena

pada akhirnya setelah perjual sewa menerima pembayaran lunas, pembeli menjadi

pemilik; (b) sewa menyewa, karena sementara menyicil, pembeli sewa boleh

menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut.

Unsur-unsur tersebut terjalin satu sama lain dengan erat, sehingga kita baru

mengatakan suatu perjanjian adalah perjanjian sewa beli jika unsur-unsur itu ada di

dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian tersebut kita melihat adanya beberapa unsur

perjanjian bernama yang tergabung menjadi satu. Di sana unsur pejanjian bernama yang

satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Unsur-unsur perjanjian bernama di sana tidak bisa dipisahkan untuk berdiri sendiri, antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian

jual-belinya.

Kendati demikian, tidak selamanya kita dapat dengan pasti mengatakan apakah

suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada

persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan

yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama (perjanjian

campuran).107

Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang

dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat

107Ibid.

Page 111: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxi

tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena

alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di

samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-

pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang

melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa

melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam

undang-undang.

Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara

perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-

undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar

perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian

dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237

ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan

pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3

(tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan

paksaan (dwang). Inilah tiga macam cacat kehendak dalam pengajuan gugat pembatalan terdapat suatu perjanjian.”108

Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak

bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau

dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik

kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar

kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati

demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,

perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan

permohonan ke pengadilan.

Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan

secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan

suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan

kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam

jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya,

jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya

pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah

diperjalanan dan sebagainya.

Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang,

108

Yohanes Sogar Simamora, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Bentuk Pelanggaran terhadap

Asas kebebasan Berkontrak (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora III), Yuridika, Fakultas Hukum

Unair Surabaya, No.4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h.55

Page 112: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxii

kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan

pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila

dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.109

Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam

membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut

dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW

penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau

bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325,

1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku

pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret

1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena

perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu

sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan

dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas,

pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai

unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur.110 Namun

untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan

dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut

dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog

serta misbruik van omtandigheden.

a. Dwang (Paksaan)

Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas,

karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan

terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang

yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang

tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang

dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan

hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai

kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW).

Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian

jika paksaan itu dilakukan terhadap:

c. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW);

109

Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10 110

Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan

Perjanjian, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2001, h.58.

Page 113: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxiii

d. Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis

ke atas atau ke bawah.

Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan

oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau

pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian

dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini

tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang

dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.

Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi

dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik

secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau

apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk

dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undang-

undang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah

berhenti (pasal 1454 BW).

b. Dwaling (Kehilafan).

Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat

diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat

dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.111

Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan

dalam dua hal, yaitu:

3. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok

persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi

ternyata bukan;

4. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang

dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan

persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.112

Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak

mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu

terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain

kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi

khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi

merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem

self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan

111

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdjandjian, Cet.V, Sumur Bandung, Bandung,

1960, h.30 . 112

Setiawan R., Op.Cit, h.60

Page 114: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxiv

colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang

terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.113

c. Bedrog (Penipuan)

Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak

sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut.

Dengan dasar pengertian di atas, R.M. Suryodiningrat menterjemahkan tipu ialah

perbuatan pihak yang satu untuk mengarahkan pihak lainnya ke jalan yang salah.114

Kontrak yang dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan

pengadilan seperti halnya kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat

pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak

yang dibuat karena paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa,

sedangkan persetujuan yang dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau

karena sesat tidak mengetahui bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan

perbedaan antara kontrak yang dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat

pihak yang sesat sendiri yang mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun

dalam hal tipu kemauan pihak yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah.

Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk

menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan

yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat

demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya.

UPAYA HUKUM TERHADAP PERJANJIAN YANG DISETUJUI

1. Perjanjian yang Disetujui Harus Sah

Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak

kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa

dalam kontrak.115 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang

sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan

yang bersumber pada kebebasan berkontrak.

Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh

dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke

waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke

dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga

113

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.118 114

Suryodiningrat RM., Azas-azas Hukum Perikatan, Ed.II, tarsito, Bandung, 1985. 115

Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133

Page 115: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxv

harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di

bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum”

yang dipergunakan dalam suatu kontrak.

Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh

menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi

yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para

pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian

terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu.

Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan

kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan,

maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu

menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara

sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja.

Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang

dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam

kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak

haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum.

Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya

mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau

perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.116

Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini

adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah

atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi

dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk

diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya

mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena

ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak

lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan

perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.

Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena

kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang

lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap

perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan

melahirkan legio particuliere wetgevers.117

116Ibidt., h.134 117Ibid, h.135.

Page 116: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxvi

Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal

1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan

perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.118

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan

azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan.

Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan.

Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu

telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko

untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi,

junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak

baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan

kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk

dituangkan dalam kontrak.

Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit

telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan

data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara

baku.119 Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya

sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan

berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat

para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya

menurut pasal 1320 BW.

Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan

dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila

dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan

tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para

pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang

dikehendaki masing-masing.120 Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan

perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan

berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses

aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank.

Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna

memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit

118

Subekti R.III, Op.cit., h.14-15. 119

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 120

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62.

Page 117: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxvii

adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit

dari calon debitur.121

Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur

dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan

mencantumkan syarat-syarat antara lain:

a. Maksimum/limit fasilitas kredit. b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit.

c. Bentuk pinjaman.

d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas.

e. Suku bunga.

f. Bea meterai kredit yang harus dibayar.

g. Provisi kredit commitment fee management fee.

h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan

menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan

likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap

jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang

bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan

cara pengikatannya. i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan.

j. Sanksi-sanksi seperti:

denda terlambat pembayaran bunga

denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan

denda atas overdraft

sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian

kredit.

k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan

pribadi/borgtocht dan lain-lain).

l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan

fasilitas kredit. m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.

122

Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat

jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah

dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai

peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga

tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa

terjepit atau kepepet.

121

Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1999, h.80. 122Ibid.

Page 118: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxviii

Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan

banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan

dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya.

Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang

dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar

pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut

syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW.

Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit

segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu

sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum

debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank.

Bentuk baku dari kontrak baku telah ditentukan secara pasti tentang jangka

waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek

jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara

sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun

kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of

contract, melainkan prinsip take it or leave it.123

Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak

biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa

memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai

kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya.

Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki

kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang

disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguh-

sungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima

juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya menerima tanpa perundingan lagi.

Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam

kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang

meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapakli menggunakan kedudukannya itu untuk

membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri

berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung

jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung

jawab perusahaan pemberi kredit .

Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam

kontrak baku memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak lain

123

Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.97

Page 119: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxix

dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).124 Bentuk paksaan demikian,

termasuk paksaan yang melawan hukum.125

Also, if a party’s manifestation of assent to a contract is induced by an improper threat

by the other party that leaves the victim no reasonable alternative, the contract is

voidable by the victim.126

Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan

kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain,

maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya.

Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari

ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak

itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap

debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah

dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak.

Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kerdit adalah adanya

hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa

persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses

pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan.

Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan

pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak

berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan

dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha

untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung

hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan

kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan

klausula-klausula yang mematikan.

Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian

rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata

masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat

berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu.

Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat

keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada

pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak,

menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada

kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas

124

Munir Fuady II, Op.Cit., h.42. 125

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1996., h.69 126Ibid., h.70

Page 120: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxx

kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam

berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak.

Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam

berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan

untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama

dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang

harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak.

Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu

menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga

dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win

solution.127 Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah

berbicara keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam

berkontrak.

Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman

kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju,

demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka

konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis itu.

Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak

dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat.128 Apabila pada kontrak yang dibuat

itu diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka

kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil.

2. Perjanjian yang Tidak Sah dapat Dibatalkan

Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang

memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan

kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan

harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur

yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar

menawar.

Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung

penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan

pembatalannya.

Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam

kontrak tersebut terdapat:

127

Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.101 128Ibid.

Page 121: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxi

e. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan

darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak

berpengalaman;

f. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)

disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa

pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu

perjanjian;

g. penyalahgunaan (misbruik)

salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui atau

seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;

h. hubungan kausal (causaal verband)

Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian itu

tidak akan ditutup.129

Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah

kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan

dalam pasal 1321 BW yang berupa:

d. kesesatan (dwaling); e. paksaan (dwang);

f. penipuan (bedrog).

Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak

selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri.

Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada

terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak

atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang

129

Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41

Page 122: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxii

disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh

Van Dunné.130

Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a)

penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri

dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan

kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.131

Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung

penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai

keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan

perjanjian.

Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung

penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan

ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan

anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang

mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang

pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.132

Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu

kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan

keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk:

e. berlakunya itikad baik secara terbatas;

f. penjelasan normatif dari perbuatan hukum;

g. pembatasan berlakunya persyaratan baku;

h. penyalahgunaan hak.133

Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338

ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak

menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke

tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana

sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah

merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian

rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas

tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang

130Ibid., h.43 131

Ibid., h.44 132Ibid. 133ibid., h.64-67.

Page 123: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxiii

sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan

dasar itikad baik guna membeli tanah itu.

Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak

hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi

jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi

kontrak itu.

Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu merupakan

latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.134 Dengan

merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat

dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut.

Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam

suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan

kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan

normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak

dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak

selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu

harus merupakan kerugian dalam arti obyektif.

Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal

ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan

bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia

dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk

membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat

mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya

perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik

van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak

dibenarkan untuk membatalkan perjanjian.

Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu

pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada

undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian

itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak.

Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan

pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti

penghematan waktu dan tenaga. Kontrak baku banyak dilakukan oleh kalangan

perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu

berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan

134

Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170

Page 124: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxiv

aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat

menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas

dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara

lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa

lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur

bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya.135

Gejala kesepakatan dalam kontrak baku sebagaimana diuraikan di atas,

mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang

seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah

secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur

telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, dimana klausula

yang ada telah dibuat secara baku. Akibatnya debitur hanya mempunyai pilihan atas

isi kontrak itu, take it or leave it?

Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh

kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undang-

undang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang

melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga.

Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan

hak milik.

Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan

adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas

hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu

dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan

keadaan sebaliknya pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang.

Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan

keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari

yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan

berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan.

Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam

menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi

juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk

melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak

dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung

pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan

konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini

dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar

135

Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit.

Page 125: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxv

kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan komsumen dan Undang-

undang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.136

Dalam kontrak baku dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat

dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank,

dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur

tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank.

Bentuk kontrak baku demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi, sebab

debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it,

without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan sekali

kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak tawaran

kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh dan lain

sebagainya.

Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku

pensiun.137 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan

ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku

pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini

dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat

pertama ini dkuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi

ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan

pada ex aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam

kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.138

Demikian halnya dengan kontrak terapeutik yang didasarkan atas informasi

sebelumnya secara timbal balik antara pasien dengan dokter yang disebut dengan

informed consent139, sebab pada dasarnya informed consent pada dasarnya kontrak

terapeutik ini mengandung dua unsur urgen, yaitu:

(a) informasi yang diberikan oleh dokter; dan

(b) pesetujuan yang diberikan oleh pasien.140 Dengan adanya syarat dalam proses persetujuan yang akan dituangkan dalam

kontrak terapeutik yang berbentuk informed consent, sebelumnya diperlukan

beberapa tindakan dokter yaitu:

136

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2000, h.40 137

Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58. 138Ibid. 139

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik suatu Tinjauan

Yuridis Perssetujaun dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.11. 140

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana

Dokter sebagai salah satu Pihak), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.74.

Page 126: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxvi

1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan

medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh

dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan);

2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak

diinginkan yang mungkin timbul;

3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi/untuk pasien;

4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung;

5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuannya tanpa

adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan

lembaganya;

6. Prognosis mengenai medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu

(percobaan) tersebut.141

Ke enam persyaratan tersebut adalah bersifat fakultatif, artinya dokter sebelum

melakukan tindakan medis harus melakukan seluruh langkah-langkah tindakan

tersebut, sebelum pasien memberikan persetujuannya dalam kontrak terapeutik itu.

Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam pasal 1338 ayat 1

BW disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara berlaku bagi mereka

yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik

telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320

BW, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik terhadap dokter maupun

pasiennya.

Akan tetapi dalam suatu kontrak yang paling penting adalah isi dari kontrak

terapeutik yang telah disepakati oleh dokter dan pasien harus tidak boleh ada unsur

penyalahgunaan, artinya walaupun dokter dan pasien bebas dalam menentukan isi

suatu kontrak, bagi diri dokter tetap ada kewajiban untuk membuat kontrak

terapeutik yang disepakati pasien atas dasar informed consent.

Sebagaimana diberitakan oleh berita mingguan, bahwa seorang lelaki dengan usia 53

tahun yang mempunyai mata pencaharian sebagai tukang becak, ia tinggal di Desa

Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Suatu hari di tahun 1992 ketika memarkir becaknya di

depan Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Kabupaten Cianjur, ia diminta

untuk mengikuti program Keluaga Berencana secara gratis. Ternyata dalam program

itu, ia divasektomi massal dengan tanpa informed concent.142

141

ibid.h.75 142

Kesehatan, Vasektomi Massal membawa Korban, Tempo, Majalah Berita Mingguan Jakarta,

No.9/XXX/30 April – 6 Mei 2001, h.114

Page 127: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxvii

Kerapkali dalam praktek, dokter demikian saja memberkan pelayan medis dengan

tanpa ada informed concent. Dokter dalam kasus yang demikian telah

menyalahgunaan keadaan ketidaktahuan atau kekurang-pengetahuan pasien, kontrak

demikian secara yuridis mengandung misbruik van omstandigheden, dengan akibat

hukum dapat dimintakan pembatalannya.

Dengan demikian ajaran penyalahgunaan keadaan adalah menyangkut perwujudan azas kebebasan berkontrak, karena hal itu menentukan secara langsung terhadap

kebebasan seseorang dalam mewujudkan kehendak secara leluasa dalam suatu

kontrak.

Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak

debitur hanya memunyai hak mengisi kontrak baku yang telah dibakukan dalam

perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak

mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit,

jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktu-

waktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur

telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak

(take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk

penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak.

Praktik kontrak baku menggambarkan bahwa pihak debitur telah secara terpaksa

menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang

sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan rintangan kejiwaan

bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi kontrak. Isi syarat-

syarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak baku pada hakekatnya merupakan

ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa bagi pengusaha yang

menawarkan “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari uraian di atas telah

memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan penyalahgunaan keadaan

terhadap pihak debitur.

Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang bagi pihak

yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan, sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi memberikan

perlindungan terhadap kepentingan manusia.

Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan

hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini hukum harus

ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).143

Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang notabene, dapat

143

Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno

Mertokusumo III), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1

Page 128: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxviii

dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung unsur

penyalahgunaan keadaan.

KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat

tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

c. Kebebasan dalam membuat perjanjian dalam pasal 1338 BW selalu berkait

dengan perjanjian yang dibuat secara sah menurut syarat sahnya perjanjian

dalam pasal 1320 BW, maka perjanjian tersebut adalah sah. Artinya

perjanjian yang mengikat adalah perjanjian yang telah disepakati dan dibuat

menurut syarat sahnya perjanjian;

d. Untuk itu setiap perjanjian haruslah dibuat secara sah menurut ketentuan

pasal 1320 BW, agar perjanjian yang telah disetujui tersebut berakibat

hukum sah dan mengikat. Sedangkan jika perjanjian dibuat secara tidak sah

dan walaupun telah disetujui oleh para pihak, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.

SARAN

Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan hukum perjanjian, maka dapat

dikemukakan hal-hal:

a. Hendaknya suatu perjanjian tidak ditekankan pada yang penting telah tanda tangan, maka ia telah setuju. Hal ini dikarenakan, jika suatu saat

salah satu pihak membatalkan perjanjiannya atas dasar dwang, dwaling

atau bedrog;

b. Kalangan praktisi, khususnya notaris tidak perlu lagi membuat pernyataan

bahwa setiap perjanjian yang ditanda-tangani tidak dapat dibatalkan.

Mengingat, setiap perjanjian yang mengandung cacat hukum selalu

diancamkan kebatalannya.

Page 129: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxix

KEABSAHAN PENGADILAN PAJAK

DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

DALAM HUKUM PAJAK

Oleh:

M.Amin Rachman, S.H.,MH.*

ABSTRAK

Pengadilan Pajak diberlakukan dengan berdasarkan pada ketentuan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Keberadaan dan operasionalnya

tidak merujuk pada Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

selaku undang-undang induknya, mengingat Pengadilan Pajak adalah

salah satu kekuasaan kehakiman. Namun, ternyata penyelesaian sengketa

pajak di tingkat puncaknya bermuara pada Mahkamah Agung.

Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman – Pengadilan Pajak –

Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan.

LATAR BELAKANG

Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia

belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Azasi Manusia tidak mendapatkan

perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan

Hak Azasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak

terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Azasi Manusia itu dapat ditemukan

dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita,

tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam

kasus-kasus konkrit. Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat

dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)144 yang berlaku di

Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember

1981.145 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

144

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3 145

Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989, h.440

Page 130: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxx

adalah mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak azasi manusia

maupun hak serta kewajiban warga negara.

Demikianlah perlindungan hak asasi manusia di bidang perkara pidana, namun

akankah demikian pula dalam bidang pajak khususnya hukum pajak. Mengingat

masyarakat atau warga negara dalam suatu negara tidak terkecuali adalah wajib pajak,

sehingga pada tiap masyarakat selalu ada kewajiban untuk taat dan membayar pajak. Adakah hak wajib pajak dalam proses pengenaan dan pemungutan pajak sebagaimana

halnya dalam proses perkara pidana, adakah hak menangguhkan penagihan dan

pemungutan pajak oleh pemungut pajak atau fiscus dalam hal ini pemerintah.

Pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala, walaupun pada saat itu belum

dinamakan pajak. Namun masih merupakan pemberian yang bersifat sukarela dari

rakyat kepada rajanya. Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi upeti

yang sifat pemberiannya dipaksakan dalam arti bahwa pemberian itu bersifat wajib dan

ditetapkan secara sepihak oleh negara. Dengan kata lain pajak yang semula merupakan

pemberian berubah menjadi pungutan, hal ini adalah wajar karena kebutuhan negara

akan dana semakin besar dalam rangka untuk memelihara kepentingan negara yaitu

untuk mempertahankan negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh maupun

untuk melaksanakan pembangunan. Dengan demikian sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di

bidang ekonomi, sosial dan kenegaraan.

Pajak adalah masalah masyarakat dan negara serta setiap orang yang hidup

dalam suatu negara pasti atau harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah

pajak juga menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian

setiap orang sebagai anggota masyarakat harus mengetahui segala permasalahan yang

berhubungan dengan pajak, baik mengenai asas-asasnya, jenis atau macam-macam

pajak yang berlaku di negaranya, tata cara pembayaran pajak serta hak dan

kewajibannya sebagai wajib pajak.

Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor non

pemerintah ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang dan dapat dipaksakan dengan tiada mendapat imbalan yang langsung yang dapat ditunjuk, guna membiayai

pengeluraran akibat aktifitas pemerintahan.

Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan

Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan

(tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk

membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong,

penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang

keuangan negara.146

Adapun hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari

peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan

146

Rochmat soemitro. H., Pengantara Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco, Bandung, 1992, h.12

Page 131: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxi

seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara,

sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan

hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan yang berwajiban membayar

pajak.147

Dari beberapa definisi pajak di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

unsur-unsur pajak adalah: a. iuran masyarakat kepada negara, dalam arti bahwa yang berhak untuk

melakukan pemungutan pajak hanya negara, dengan alasan apapun swasta atau

partikelir tidak boleh memungut pajak;

b. berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan), dalam arti bahwa

walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun

pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya yaitu melalui

undang-undang;

c. tanpa imbalan langsung dari negara yang dapat langsung ditunjuk, dalam arti

bahwa jasa timbal atau kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada

rakyatnya tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak;

d. untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, dalam arti

bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum.

Dari keempat unsur tersebut maka unsur yang paling menonjol adalah unsur

paksaan yang mempunyai arti bahwa jika utang pajak tersebut tidak dibayar, maka

utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan surat

paksa dan sita maupun penyanderaan terhadap wajib pajak. Unsur kedua adalah tidak

imbalan langsung dari pemerintah. Hal-hal ini memberikan kesan bahwa di satu sisi

seseorang atau badan itu mau membayar pajak karena terpaksa atau takut dengan

sanksi-sanksi yang harus ditanggungnya apabila tidak mau membayar pajak dan di sisi

lain seakan-akan pembayaran pajak itu pengeluaran sia-sia karena tidak memperoleh

jasa atau imbalan langsung dari pemerintah.

Dengan demikian pemungutan pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Hal ini membuktikan bahwa pajak mempunyai fungsi

budgeter.148

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pajak-pajak Daerah juga

nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang

diserahkan kepada daerah, di samping subsidi juga merupakan sumber pendapatan

daerah yang penting.

Pajak disamping fungsinya yang budgeter, masih mempunyai fungsi mengatur

(reguler).149 Pajak di sini bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-

147

Santoso Brotodihardjo. R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Eresco, Bandung, 1998, h.1 148Ibid., h.2 149Ibid.

Page 132: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxii

banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan tertentu.

Di samping fungsi mengatur yang diuraikan di atas, pajak juga dapat

digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah, jika tepat

penggunaannya, merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara.

Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip pengenaan pajak, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya.

Di samping pemungutan berbagai macam pajak, pemerintah masih melakukan

berbagai pungutan lain, misalnya retribusi, sumbangan, bea dan cukai. Sehingga pada

dasarnya pemerintah dapat menanggulangi inflasi yang terjadi selama ini. Lebih-lebih,

negara kita masih mempunyai kekayaan lain yang salah satunya adalah sumber daya

alam.

Retribusi ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan dan dapat

imbalan langsung yang dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekonomis, karena siapa

saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, ia tidak dikenakan iuran itu.

Misalnya retribusi pasar, parkir, uang kuliah, uang ujian dan sebagainya. Jadi dengan

perkataan lain retribusi adalah pungutan yang dikaitkan secara langsung dengan balas

jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada pembayar retribusi tersebut. Sumbangan ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan yang

ditujukan kepada golongan tertentu, yang dimaksudkan untuk golongan tertentu pula.

Paksaan di sini bersifat yuridis dan ekonomis, misalnya SWP3D (Sumbangan atau

Setoran Wajib Pembangunan dan Pemeliharaan Prasarana Daerah) bagi para pemilik

kendaraan bermotor, yang antara lain digunakan untuk pemeliharaan dan pembuatan

jalan-jalan. Jadi sumbangan atau iuran adalah pungutan yang dikaitkan dengan balas

jasa yang diberikan oleh pemerintah secara langsung kepada golongan pembayarnya,

yang sering pula pungutan ini dinamakan pajak dan pada umumnya pungutan ini

dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Bea dan cukai pada hakekatnya juga merupakan pajak yang pemungutannya

dilakukan oleh pemerintah pusat, khususnya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bea terdiri dari Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan yang dikenakan

atas jumlah harga barang yang dimasukkan (diimport) ke dalam daerah pabean, sedang

bea keluar adalah pungutan yang dikenakan atas jumlah barang yang dikeluarkan ke

luar daerah pabean (diekspor) berdasarkan tarip yang sudah ditentukan untuk masing-

masing golongan barang. Daerah pabean adalah daerah tertentu dalam batas mana bea

dipungut, pada hakekatnya seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan daerah pabean

kecuali pelabuhan bebas Sabang yang termasuk dalam kawasan Bonded Warehouse

yang tidak dipungut bea. Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang

tertentu, antara lain cukai terhadap tembakau, gula, bensin, minuman keras.150

150

Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.11

Page 133: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxiii

Dasar kewenangan negara memungut pajak pada masyarakat yang disebut

wajib pajak adalah dikarenakan terdapat asas pemungutan pajak yaitu asas domisili,

asas sumber dan asas kebangsaan.151

Asas domisili ketika diterapkan menyebabkan negara dimana wajib pajak

bertempat tinggal atau berkedudukan berhak mengenakan pajak erhadap wajib pajak

tersebut dari semua penghasilannya. Menurut asas ini, siapapun yang bertempat-kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik yang diperoleh

di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Menurut asas sumber pengenaan pajak tergantung adanya sumber di suatu

negara. Negara dimana sumber penghasilan berada, berhak mengenakan pajak dengan

tidak mengingat di mana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan. Menurut

asas ini siapapun yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, akan dikenakan pajak

penghasilan oleh negara Indonesia, baik wajib pajaknya bertempat-kediaman di

Indonesia maupun di luar Indonesia.

Sedangkan asas kebangsaan adalah asas yang berdasarkan kebangsaan atau

nationaliteit ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu negara.

Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia yang mewajibkan setiap orang yang tidak

berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia membayar pajak tersebut. Dalam sistem perpajakan yang lama bagi setiap wajib harus ditetapkan

pajaknya dengan Surat Ketetapan pajak yang menentukan besarnya pajak yang

terhubung. Namun dalam sistem perpajakan yang baru timbulnya hutang pajak tidak

tergantung kepada adanya surat ketetapan tetapi hutang pajak tidak tergantung kepada

adanya surat ketetapan tetapi hutang pajak timbul karena adanya atau berlakunya

undang-undang pajak. Setiap wajib pajak harus membayar pajak yang terhutang

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak

menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Penentuan besarnya pajak yang terhubung atau pajak yang harus dibayar

selama tahun berjalan maupun setelah tahun pajak berakhir seharusnya dilakukan

sendiri oleh wajib pajak, namun ada pula yang penentuannya dilakukan oleh fiskus melalui surat ketetapan besarnya pajak yang menurut Surat Ketetapan Kemungkinan

lebih besar dari perhitungan wajib pajak sendiri. Kepada wajib pajak yang merasa

keberatan terhadap ketetapan tersebut diberi hak untuk mengajukan keberatan kepada

Direktur Jenderal Pajak. Keberatan dapat diajukan tidak hanya terhadap surat ketetapan

, tetapi dapat pula diajukan terhadap pemotongan oleh pihak ketiga. Dengan demikian

keberatan dapat diajukan terhadap:

a. Surat Pemberitaan;

b. Surat Ketetapan Pajak.

c. Surat Ketetapan Pajak Tambahan;

d. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran;

151

Santoso Brotodihardjo. R, Op.Cit., h.87

Page 134: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxiv

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

perundang-undang perpajakan

Pada prinsipnya pajak terhutang pada saat timbulnya obyek pajak yang dapat

dikenakan pajak. Saat terhutangnya pajak tersebut adalah:

a. pada suatu saat, untuk pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak ketiga;

b. pada akhir masa, untuk pajak penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha

atas pungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan

Barang Mewah;

c. pada akhir Tahun pajak, untuk pajak penghasilan.

Jumlah pajak yang dipotong, dipungut ataupun yang harus dibayar sendiri oleh

wajib pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan,

harus disetorkan oleh wajib pajak ke Kas Negara atau tempat lain yang telah ditentukan.

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana yang telah

dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16

tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ssurat ketetapan baru

diterbitkan bilamana wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut

ketentuan peraturan perundang-undang. Sistem pemungutan pajak demikian disebut self assessment.152

Dengan demikian pada sistem self assessment surat ketetapan mempunmyai

fungtsi sebagai saran koreksi atas jumlah pajak yang terhutang menurut SPT (Surat

Pemberitahuan Pajak Tahunan) wajib pajak, sebagai sarana untuk mengenakan sanksi

administrasi. Kecuali itu untuk menagih pajak serta sebagai sarana untuk

mengembalikan pajak bila terjadi kelebihan membayar.

Ketika Fiscus selaku pejabat pemungut pajak telah mengeluarkan Surat

Keterapan Pajak, maka wajib pajak harus melakukan pembayaran. Hal ini dikarenakan,

bilamana wajib pajak tidak melakukan pembayaran akan dilakukan penagihan pajak.

Jika tagihan tersebut tidak diindahkan pula oleh wajib pajak ia akan dipaksa membayar

dengan dikeluarkannya Surat Paksa oleh Fiscus, dan bilamana Surat Paksa tersebut tidak juga dipenuhi, maka Fiscus melalui Juru Sitanya akan melakukan penyitaan atas

harta benda Wajib Pajak sejumlah nilai pajak yang terhutang.

Proses pemungutan pajak di atas didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1994 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan. Di dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut, tidak

satupun terdapat cara bahwa penagihan dan pemungutan pajak dapat dilakukan

penundaan bilamana Wajib Pajak menyatakan keberatan atas besar hutang pajak yang

telah ditetapkan.

Penagihan dan Pemungutan pajak tidak dapat lagi dilakukan penundaan oleh

karena suatu keberatan, adapun Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-Undang

152

Diaz Prinatara, Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Cet.-, Djambatan, Jakarta, 2000, h.2

Page 135: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxv

Nomor 14 Tahun 2002 adalah merupakan lembaga peradilan khusus pajak dan tidak

memberikan putusan atau penetapan penundaan pembayaran pajak. Keberatan ataupun

banding terhadap besar hutang pajak tetap akan diperiksa, namun wajib pajak terlebih

dahulu harus membayar hutang pajak yang telah ditetapkan.

RUMUSAN MASALAH

Dari uraian di atas terdapat dua kepentingan yang secara hukum seharusnya

sama-sama memperoleh perlindungan hukum secara proporsional. Pihak Fiscus selaku

pemungut pajak harus diberikan perlindungan hukum akan dapat memfungsikan pajak

sebagai sarana budgeter dan sarana reguler. Sedangkan Wajib Pajak harus pula

mendapat perlindungan hukum, agar hak-haknya tidak terlampaui oleh pihak Fiscus.

Di sisi lain, keberadaan pengadilan pajak dalam Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2002 sebagai lembaga peradilan ternyata tidak termasuk sebagai salah satu dari

empat lingkungan peradilan yang diakui dalam, baik Undang-Undang Dasar 1945 hasil

amandemen maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan

untuk mengangkat beberapa permasalah hukum dengan rumusan kalimat:

c. Bagaimanakah eksistensi Pengadilan Pajak Tahun 2002 dalam Undang-

Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman?

d. Bagaimanakah kedudukan hak asasi manusia dalam Undang-Undang

Pengadilan Pajak Tahun 2002?

KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK

DALAM UNDANG-UNDANG POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN

1. Empat Lingkungan Pengadilan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal inipun diperkuat lagi oleh

ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan dan Penambahan

Page 136: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxvi

Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.153 Saat pengujian skripsi ini

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004.

Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2002 tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Hal ini dikarenakan, Pasal 24

UUD 1945 hanya menyebutkan empat badan peradilan secara limitatif, yaitu peradilan

umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam

Undang-undang Dasar baru itu Pengadilan Pajak tidak disebut, secara yuridis akan

melahirkan masalah hukum, karena Pengadilan Pajak itu pengadilan yang berdiri

sendiri. Atas dasar apa membentuk itu, karena Undang-undang Dasar hanya menyebut

empat.

Implikasi dari pengaturan mengenai badan peradilan dalam Pasal 24 UUD

1945 tersebut adalah konstitusi tidak membuka kemungkinan dibentuknya badan

peradilan lain di luar keempat badan peradilan yang telah disebutkan secara tegas di dalamnya. Saat ini memang belum banyak dipersoalkan oleh masyarakat, namun di

masa yang akan datang, masyarakat akan mempertanyakan eksistensi pengadilan

tersebut secara konstitusional.

Undang-undang Dasar begitu limitatif menyebut peradilan ini, peradilan ini tidak membuka kemungkinan yang lain. Sehingga masalah konstitusionalnya adalah

bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak, pengadilan pajak tidak merupakan bagian

dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer ataupun

Pengadilan Agama. Pengadilan Pajak berdiri sendiri sejajar diantara empat lingkungan

peradilan tersebut, artinya putusan Pengadilan Pajak kedudukannya adalah sama pula

dengan putusan peradilan lainnya.

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa

Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa

dan memutus Sengketa Pajak. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) tersebut dinyatakan

bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas Sengketa

Pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak.

Implikasi hukum dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor14

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut yaitu putusan Pengadilan Pajak tidak

153

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.IV, Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, Jakarta, 1981, h.234

Page 137: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxvii

dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan

Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut

kewenangan/kompetensi Pengadilan Pajak.

Pengadilan Pajak sendiri merupakan badan peradilan yang khusus

menyelesaikan sengketa di bidang perpajakan yang sebelumnya dilakukan oleh Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

1997. Semula dalam pembahasannya di Komisi IV DPR, pengadilan pajak hendak

disatukan dalam lingkungan pengadilan tata usaha negara. Namun, ada yang

berpendapat bahwa pengadilan pajak haruslah pengadilan khusus.

Pada dasarnya Badan Peradilan Pajak keberadaannya dibutuhkan, hal ini

mengingat penyelesaian sengketa perpajakan memang memerlukan peradilan yang lebih

khusus lagi dibandingkan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata

Usaha Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, hanya

menghasilkan putusan yang menyatakan sah atau tidaknya keputusan tata usaha negara yang disengketakan.

Sedangkan penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan peradilan yang

lebih khusus lagi, yaitu yang tidak hanya memutuskan sahnya atau tidak sahnya

keputusan tata usaha negara yang disengketakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002, putusan Pengadilan Pajak memang tidak sekadar memutuskan

sah tidaknya keputusan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang di bidang perpajakan.

Menurut Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, putusan Pengadilan

Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak

yang harus dibayar, tidak dapat diterima, membetulkan kesalahan tulis dan/atau

kesalahan hitung dan/atau, membatalkan.

Tidak ada satu pun pasal atau ayat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun

2002 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah Pengadilan Tata

Usaha Negara. Sementara apabila Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus di

bawah Pengadilan Tata Usaha Negara, seharusnya ada ketentuan hukum dalam Undang-

Undang Nomor 14Tahun 2002 yang mengatur hal itu.

Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan-

pengadilan khusus yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang masing-masing.

Pasal 280 ayat (1) Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mengatakan bahwa

Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum. Kemudian, Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 26Tahun 2000 tentang pengadilan HAM mengatur secara lugas bahwa

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan

Umum.

Page 138: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxviii

Agar Pengadilan Pajak tetap bisa eksis, syaratnya pengadilan tersebut harus

masuk pada salah satu badan peradilan yang ada. Pengadilan Pajak masih tetap bisa

dipertahankan, tapi dia harus masuk pada salah satu badan peradilan yang ada yaitu

badan peradilan tata usaha negara. Jadi Menteri Keuangan tinggal memilih, merevisi

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang baru berumur 1 tahun tersebut atau

mengubah kembali Pasal 24 UUD 1945 yang telah beberapa kali diamandemen itu.

2. Keberadaan Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

Pajak yang merupakan gejala masyarakat artinya bahwa pajak hanya terdapat

pada masyarakat, hal ini dikarenakan jika tidak ada masyarakat, maka tidak akan ada

pajak. Masyarakat itu sendiri adalah kumpulan manusia yang ada pada suatu waktu berkumpul di suatu tempat untuk jangka waktu pendek atau untuk jangka waktu panjang

dengan tujuan tertentu.

Desa, kecamatan, kabupaten, bahkan negara adalah masyarakat yang

mempunyai tujuan bersama tertentu. Bangsa Indonesia telah bertekad dan berikrar

untuk mendirikan negara atau masyarakat untuk jangka waktu yang panjang guna

mencapai tujuan tertentu dengan Pancasila sebagai falsafahnya.

Sementara itu, masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup

sendiri dan mempunyai kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup

masyarakat dan kepentingan masyarakat. Walaupun demikian hidup individu dan

kepentingan individu tidak dapat dipikirkan terlepas sama sekali dari hidup dan

kepentingan negara. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup individu. Hidup

negara adalah lain daripada hidup individu, tetapi walaupun lain masing-masing

memerlukan biaya. Biaya hidup individu menjadi beban sendiri yang berasal dari

penghasilan individu. Biaya hidup negara adalah untuk kelangsungan alat-alat negara,

administrasi negara, lembaga negara, dan seterusnya yang kesemuanya itu dibiayai dari

penghasilan negara.

Adapun penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya yang hidup dalam

masyarakat, baik dalam lingkungan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan

sebagainya. Penghasilan yang berasal dari rakyatnya tersebut diperoleh negara dengan

cara memungut pajak, dengan cara pengolahanan kekayaan alam ataupun berasal dari

usaha-usaha negara yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik

Daerah. Penghasilan yang diperoleh negara tersebut kemudian digunakan untuk

membiayai kepentingan umum, yang akhirnya juga mencakup kepentingan umum

pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya.

Karenanya di mana ada kepentingan masyarakat, di situ timbul pengutan pajak,

sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.

Dengan demikian pemungutan pajak adalah ditujukan untuk membiayai

kepentingan masyarakat. Artinya jika disimpulkan, di satu sisi pajak ditujukan untuk

memasukkan atau memperoleh uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk

Page 139: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxix

membiayai pengeluaran aktifitas kenegaraan. Dan di sisi lain pajak ditujukan untuk

mencapai tujuan tertentu, yaitu oleh karena pajak tidak dipungut pada rakyat yang tidak

mampu melainkan rakyat yang mampu, maka akan timbul tingkat pemerataan

penghasilan setidak-tidaknya mendekati pemerataan. Hal ini dikarenakan, rakyat yang

mampu penghasilannya terpotong oleh pajak sehingga penghasilan berkurang, di mana

tingkat pengurangan penghasilan ini juga berfungsi tidak membuat jurang pemisah yang terlalu jauh antara tingkat penghasilan pihak yang kaya dengan pihak yang miskin.

Fungsi pajak yang diupayakan guna memasukkan atau memperoleh uang yang

sebanyak-banyaknya dari rakyat kepada negara adalah merupakan fungsi pajak

budgeter.154 Sedangkan pajak yang ditujukan untuk mencapai tingkat pemerataan

pendapatan guna mengurangi jurang pemisah antara yang miskin yang kaya adalah

fungsi pajak reguler.155

Jika ditinjau dari pengertian dan fungsi dari pajak seperti telah diuraikan di

atas, yaitu bahwa pajak merupakan sumber keuangan negara dalam melaksanakan

pemerintahan dan pembangunan, dan pemungutan pajak sudah didasarkan pada undang-

undang yang berarti bahwa pemungutan pajak tersebut sudah disepakati atau disetujui

bersama antara pemerintah dengan rakyatnya, maka sudah sewajarnya kalau masyarakat

sadar akan kewajibannya di bidang perpajakan yaitu membayar pajak dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kenyataannya

banyak hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutannya. Sebagaimana

diuraikan di atas, hambatan pemungutan pajak sebagai akibat perlawanan terhadap

pajak yang dibedakan antara perlawanan pasif dan perlawanan aktif.

Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar

pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan

intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam

perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat

pemungutan pajak, namun karena kondisi masyarakat yang kurang atau bahkan tidak

tahu seluk beluk pajak maka mereka tidak membayar pajak.

Perlawanan aktif adalah meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak. Dalam

perlawanan aktif ini nyata-nyata ada usaha dari wajib pajak untuk tidak membayar

pajak. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penghindaran diri dari pajak, pengelakan atau

penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.

Perlawanan terhadap pajak akan sangat merugikan negara, oleh karena itu

dalam rangka untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali hambatan-

hambatan tersebut maka perlu diusahakan suatu keadaan di mana masyarakat wajib

pajak mau dan sadar akan kewajibannya membayar pajak. Usaha menghilangkan

hambatan ini dapat dilakukan dengan memberikan penerangan dan bimbingan kepada

masyarakat mengenai manfaat pajak bagi kelangsungan hidup negara dan kelancaran

jalannya pembangunan. Penerangan mengenai pengertian, arti pentingnya atau manfaat

154

Bohari. H., Op.Cit., h.101 155Ibd.

Page 140: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxl

membayar pajak ini dapat dilakukan secara dini yaitu pada sekolah-sekolah, perguruan

tinggi dan kelompok masyarakat lainnya.

Perlawanan pajak secara aktif, khususnya yang berupa penyelundupan dan

melalaikan pajak, adalah merupakan pelanggaran undang-undang, oleh karena itu perlu

adanya tindakan yang tegas atau adanya sanksi yang berat terhadap para pelakunya

karena hal tersebut akan dapat mempengaruhi atau mempunyai akibat pada bidang keuangan, ekonomi dan bahkan pada bidang sosial dan budaya.

Untuk itu, maka Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 khususnya pasal 25

ayat 7 menentukan bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar

pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini adalah semata-mata ditujukan untuk

mencegah timbulnya akibat sebagaimana dikemukakan di atas. Karenanya kewajiban

membayar pajak dari wajib pajak adalah bersifat imperative atau memaksa.

Keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat 7 Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2000 tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada

Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat

ketetapan pajak tersebut. Namun khusus tujuan pengajuan keberatan tersebut, sesuai

dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep.22/PJ/1995 tanggal 27 Pebruari

1995 wewenang Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugas pelayanan di bidang perpajakan telah dilimpahkan kepada beberapa pejabat Direktorat Pajak antara

lain Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pajak Pertambahan Nilai, Kepala Kantor

Wilayah Ditjen Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.156

Wajib Pajak bilamana tidak puas atas Keputusan Keberatan yang telah

dikeluarkan oleh Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pajak Pertambahan Nilai, Kepala

Kantor Wilayah Ditjen Pajak ataupun oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, ia dapat

mengajukan banding ke Pengadilan Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan setelah

diterima Keputusan keberatan tersebut.

Pengadilan Pajak yang mempunyai kewenangan mengadili sengketa pajak

dalam hal ini banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14

Tahun 2002. Dengan demikian sengketa pajak bukan lagi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5

tahun 1986, terhitung sejak berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tersebut.

Sementara itu, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman khususnya pasal 10 hanya menetapkan empat lingkungan

peradilan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara,

dan Mahkamah Militer. Adapun Pengadilan Niaga dan Pengadilan HAM merupakan

bagian dalam tubuh Pengadilan Negeri.

Sehingga keberadaan Pengadilan Pajak dalam Undang-undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman tidak termasuk sebagai bagian lembaga peradilan, mengingat

Pengadilan Pajak tidak termasuk ke dalam salah satu dari keempat lingkungan peradilan

tersebut.

156

Erly Suandy, Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat, Jakarta,

2002, h.88

Page 141: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxli

Karenanya keputusan pajak bukan Keputusan Tata Usaha Negara yang

dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata

usaha Negara, mengingat sengketa pajak tidak menjadi kewenangan Pengadilan Tata

Usaha Negara. Untuk itu Keputusan di bidang pajak tidak dapat bersifat vermoeden van

rechmatigheid157, karenanya seharusnya tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu

pembayaran pajaknya atau pajak yang terhutang dalam tagihan pajak.

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DALAM UNDANG-UNDANG PENGADILAN PAJAK TAHUN 2002

1. Beberapa Kewenangan Penguasa selaku Pemungut Pajak

Pada dasarnya pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-

banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi

budgeter. Dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah pajak-pajak daerah juga

nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang

diserahkan kepada daerah, di samping subsidi merupakan sumber pendapatan daerah yang penting.

Kendati demikian, di samping pajak-pajak fungsinya yang budgeter masih

mempunyai fungsi mengatur (reguler). Pajak di sini bukan semata-mata untuk

memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat

digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam bidang

pembebasan pajak guna memperoleh atau menarik modal luar negeri dengan cara tax

holiday.158

Contoh lain bahwa pajak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya

dorongan pemerintah untuk lebih memanfaatkan dan menggunakan koperasi dalam

menjalankan usaha. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan bentuk usaha yang sesuai

dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Dalam rangka itu koperasi dibebaskan dari pengenaan pajak untuk jangka waktu 10 tahun dihitung sejak

saat didirikannya, dan setelah jangka waktu sepuluh tahun itu koperasi dikenakan pajak

dengan tarip yang diperingan.

Di samping fungsi mengatur yang di sebutkan di atas, pajak-pajak juga dapat

digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah jika tepat

penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara.

Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip tinggi

dan tarip rendah atau tarip 0, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya.

157

Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cet.I, Airlangga

University Press, Surabaya, 1997, h.91 158

Rochmad Soemitro , Op.Cit., h.3

Page 142: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlii

Pajak dapat juga ditinjau dari segi pembangunan, dari segi ini pajak baru

mempunyai manfaat terhadap pembangunan apabila pajak-pajak setelah digunakan

untuk membiayai pengeluaran rutin, masih ada cukup sisa yang dapat digunakan untuk

membiayai pembangunan melalui investasi publik.

Dari segi pembangunan pajak dapat ditinjau sebagai alat fiscal policy atau

kebijakan fiskal. Dalam kebijakan fiskal kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi pembangunan.

Masalah pokok dalam pembangunan adalah investasi, investasi ini berasal dari

tabungan, baik tabungan swasta maupun tabungan pemerintah.

Investasi tabungan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada

kehendak dan kerelaan golongan swasta, melainkan harus diarahkan ke jurusan tertentu.

Melalui deposito berjangka, dengan pembebasan pajak atas bunga deposito berjangka,

pemerintah telah berhasil meningkatkan deposito berjangka yang besar artinya bagi

pembangunan. Juga pasar uang dan modal, yang mempunyai peranan penting dalam

pembangunan, dapat digalakkan oleh pemerintah dengan menggunakan pajak-pajak

sebagai alat-alat penggerak.

Pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari

segi hukum, lebih menitikberatkan kepada perikatan, pada hak dan kewajiban wajib pajak, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum. Hak penguasa untuk

mengenakan pajak. Timbulnya hutang pajak, hapusnya hutang pajak, penagihan pajak

dengan paksa, sanksi administratif maupun sanksi pidana, penyidikan, pembukuan, soal

keberatan, banding dan gugatan pajak.

Suatu keadaan yang dilematis, mengingat pajak di satu sisi adalah bagai

perampokan jika tidak mendasarkan pada perundang-undangan sebelumnya.

Sebagaimana hal ini didalilkan dalam falsafah pajak di USA taxation without

representation is robbery.159 Dan di sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk

kelangsungan pembangunan dan aktifitas suatu negara. Untuk itu, proses pemungutan

pajak yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dilakukan dengan sangat hati-hati

berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pajak dikenakan dan dipungut atas dasar undang-undang, namun

karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara maka

pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawan, maka

terhadap kewajiban di samping hak fiscus yaitu bahwa pajak haruslah memenuhi syarat-

syarat yaitu160:

1. pemungutan pajak harus adil;

2. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang;

3. pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian;

4. pemungutan pajak harus efisien;

5. sistem pemungutan pajak harus sederhana.

159

Erly Suandi, Loc.Cit. 160

Munawir, Perpajakan, CetI, Liberty, Yogyakarta, 1992, h.8-13

Page 143: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxliii

a. Pemungutan pajak harus adil

Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara

pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat sebagai wajib pajak yang antara

lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak,

obyek pajak, timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutan pajak, cara penagihannya

dan sebagainya. Di samping itu memuat pula tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak serta sanksi-sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana

sehubungan dengan adanya pelanggaran atas hukum atau peraturan-perturannya.

Tujuan dari setiap hukum adalah membuat adanya keadilan, demikian pula

dalam hukum pajakpun mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum-hukum

lainnya yaitu membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik adil dalam

perundang-undangannya maupun adil dalam pelaksanaannya. Keadilan dalam

pelaksanaan antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan

keberatan, penundaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak atau banding dan

gugatan kepada Pengadilan Pajak.

Walaupun demikian keadilan itu sangat relatif, namun salah satu jalan yang

harus ditempuh dalam mencari keadilan adalah mengusahakan agar pemungutan pajak

diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Dengan demikian pajak harus mengabdi pada keadilan, dan keadilan

inilah yang dinamakan azas pemungutan pajak menurut falsafat hukum atau syarat

keadilan.

Jika pihak fiscus mampu berlaku adil dalam memungut pajak, kemudian atas

dasar apa negara atau fiscus dapat dan mempunyai hak untuk memungut pajak.

Terhadap kondisi ini lahirlah bebera teori pembenar guna mentolerir negara selaku

fiscus untuk memungut pajak. Teori-teori yang lahir adalah:

a. teori asuransi;

b. teori kepentingan;

c. teori daya pikul;

d. teori daya beli.161

a. Teori asuransi

dalam teori ini intinya mengatakan bahwa tugas negara adalah untuk

melindungi orang dan atau warganegaranya dengan segala kepentingannya, hyaitu

keselamatan dan keamanan jiwa dan harta bendanya. Sebagaimana pada perjanjian

asuransi atau pertanggungan maka untuk perlindungan tersebut diperlukan pembayaran

premi, dan dalam hal ini pembayaran pajak ini dianggap atau disamakan

denganpembayaran premi tersebut. Teori ini banyak yang menentang karena

pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang

kepada perusahaan pertanggungan, dan negara tidak dapat dipersamakan dengan

perusahaan asuransi karena:

161

Bohari. H., Op.Cit., h.32-35

Page 144: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxliv

1. dalam hal timbul kerugian, misalnya adanya kematian atau pembunuhan

atau pencurian/ perampokan tidak akan ada suatu penggantian dari negara;

2. antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa perlindungan yang

diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung.

b. Teori kepentingan

Teori ini menekankan bahwa pembagian beban pajak pada penduduk seluruhnya harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas

negara/pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa

orang-orang itu serta harta bendanya. Pembayaran pajak hendaknya dihubungkan

dengan kepentingan orang-orang itu terhadap tugas negara. Maka sudah selayaknyalah

bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya

dibebankan kepada seluruh penduduk tersebut. Teori ini banyak pula yang

menyanggahnya, karena setiap orang yang mempunyai kepentingan lebih besar

seharusnya membayar pajak yang lebih besar pula. Hal ini bertentangan dengan

kenyataan, karena mungkin sekali orang miskin yang mempunyai kepentingan yang

lebih besar, baik dalam perlindungan jaminan sosial dan sebagainya, sehingga sebagai

konsekuensinya seharusnya membayar pajak yang lebih banyak namun kenyataannya

justru mereka ini tidak membayar pajak. Antara kepentingan seseorang terhadap jasa negara tidak dapat dihubungkan langsung dengan besarnya pembayaran pajak. Jadi

dasar keadilan pemungutan pajak adalah karena orang-orang mempunyai kepentingan

pada negara dan untuk menyelenggarakan kepentingan itu harus dibayar biaya, yaitu

dalam bentuk pajak.

c. Teori Gaya Pikul

Teori ini pada hakekatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan

dalam pemungutan pajak adalah terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara

kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan

perlindungan ini diperlukan biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang

menikmati perlindungan tersebut, yaitu dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal teori ini juga keadilan, yaitu bahwa tekanan pajak itu haruslah sama beratnya

untuk setiap orang. Pajak harus dibayar sesuai dengan gaya pikul seseorang, dan

sekedar untuk mengukur gaya pikul dapat dilihat dari dua unsur yaitu unsur obyektif

yang terdiri dari penghasilan, kekayaan dan besarnya pengeluaran seseorang serta unsur

subyektif yaitu segala kebutuhan terutama materiil, dengan memperhatikan besar-

kecilnya jumlah tanggungan keluarga. Makin besar kebutuhan yang harus dipenuhi

semakin kecil kekuatan seseorang untuk membayar pajak.

d. Teori bakti

Teori ini sering disebut juga teori kewajiban pajak mutlak, yang pada intinya

mengatakan bahwa negara sebagai organisasi dari golongan, dengan memperhatikan

syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan dalam bidang pajak. Menurut teori ini

Page 145: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlv

dasar hukum atau dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam hubungan rakyat

dengan negaranya, dan justru sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak untuk

memungut pajak. Rakyatnya harus selalu menginsyafi bahwa pembayaran pajak sebagai

suatu kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara.

c. Teori Azas Gaya Beli Teori ini tidak mempermasalahkan asal mulanya negara memungut pajak,

melainkan hanya melihat pada akibat pemungutan pajak tersebut, dan memandang

akibat yang baik itu merupakan dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi

pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari

rumah tangga – rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara kemudian

menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara kehidupan

masyarakat dan untuk membawa ke arah tertentu yaitu kesejahteraan. Teori ini

mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat

dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga

bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya

(individu dan negara).

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk

menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Bagi

negara-negara hukum, maka segala sesuatu harus diatur atau ditetapkan dalam undang-

undang termasuk pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam

Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen pasal 23A yang menentukan antara lain

bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi

berdasarkan undang-undang.

Kecuali itu, dalam menyusun undang-undangnyapun harus diusahakan oleh

pembuat undang-undang untuk tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam

menyusun undang-undang secara umum tidak oleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:

1. hak-hak negara sebagai pemungut pajak (fiscus) yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin terlaksananya dengan lancar;

2. para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas agar supaya tidak

diperlakukan dengan semena-mena oleh fiscus dengan segala aparaturnya;

3. adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri

atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan atau

disampaikannya kepada instansi-instansi pajak, dan rahasia itu tidak disalah-

gunakan.

c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.

Keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karena adanya

pemungutan pajak, bahkan harus tetap dipupuk olehnya sesuai dengan fungsi kedua dari

pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Oleh karena itu kebijakan pemungutan pajak harus diusahakan supaya tidak menghambat lancarnya perekonomian, baik dalam

Page 146: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlvi

bidang produksi maupun perdagangan dan jangan sampai merugikan kepentingan

umum dan menghalang-halangi usaha rakyatnya dalam menuju kebahagiaan.

d. Pemungutan pajak harus effisien

Hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutup sebagian dari

pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan fungsi yang pertama dari pemungutan pajak yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter). Oleh karena itu untuk

melaksanakan pemungutan pajak hendaknya tidak memakan biaya pemungutan yang

besar, dan pemungutan ini hendaknya dapat mencegah inflasi. Untuk mencapai efisiensi

pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak guna melakukan pemungutan

pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu

dengan permasalahan pajak yang sulit, karenanya dapat menimbulkan inefisiensi.

e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana.

Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga

masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan

sistem pajak yang sederhana yang mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Sistem pemungutan pajak yang

sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam

membayar pajak.

Dari uraian di atas telah memperjelas kita, bahwa kendatipun pajak adalah

merupakan alat untuk kelangsungan pembangunan suatu negara, namun tidak

diperkenankan diterapkan secara semena-mena dan mengindahkan hak azasi manusia.

Seharusnya tindakan-tindakan fiscus yang secara serta-merta tanpa dilakukan pengujian

akan kebenarannya, dan bahkan harus dilaksanakan walaupun pihak wajib pajak

mengajukan keberatan ataupun banding adalah merupakan tindakan-tindakan yang

sewenang-wenang. Tindakan ini dalam negara hukum seharusnya tidak mendapat

tempat lagi untuk hidup dan berlangsung dalam praktik kehidupan sehari-hari. Tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak yang dapat secara serta merta

menagih dan memungut pajak pada wajib pajak akan lebih banyak menimbulkan

tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang

detourmenent de pouvoir atau penyalah-gunaan wewenang.162

2. Perlindungan Wajib Pajak dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan yunkto Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan keberatan, banding serta gugatan.

162

Philipus M. Hadjon et all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the

Indonesian Adminstrative law), Cet.III, Gajah Mada University Press, Bandung, 1994, h.270

Page 147: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlvii

Keberatan dan banding serta gugatan Wajib Pajak terhadap fiscus atas

ketetapan pajak adalah merupakan jaminan bagi wajib pajak untuk menggunakan

haknya yang dijamin oleh undang-undang pajak.163 Khusus untuk banding dan gugatan

di bidang pajak adalah termasuk kewenangan Pengadilan Pajak untuk memeriksa,

mengadili dan memutuskannya, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang

Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada bab II dan bab III. Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 belum lahir, maka segala

sengketa di bidang perpajakan dilakukan dan di bawah kewenangan Pengadilan Tata

Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan

Tata Usaha Negara. Namun ketika lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997

Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sengketa pajak menjadi

kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan putusannya bersifat final.

Kondisi hukum tersebut, mendapat respon dari kalangan hukum termasuk para

praktisi hukum. Hal itu dikarenakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukanlah

lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman yaitu pasal 10 tentang 4 (empat) Lingkungan Peradilan, sehingga bentuk

keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak boleh bersifat final dan hal ini

terbukti dari adanya perkara atas Surat Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan kasasi dan peradilan kasasi menyatakan berwenang mengadili sengketa

pajak yang telah diputuskan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.164

Pengadilan Pajak dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman tidak disebutkan sebagai bagian lembaga

peradilan yang dapat mengadili, memeriksa, dan memutus sesuatu perkara. Sehingga

perlu dicari dasar pembenar tentang apakah Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga

peradilan.

Untuk menjawab masalah di atas, maka perlu dianalisis terlebih dahulu tentang

Pengadilan pajak apakah telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu peradilan. Adapun

unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai suatu lembaga peradilan adalah:

a. adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;

b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit;

c. adanya sekurang-kurangnya dua pihak;

d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.165

Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasan

kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan

terhadap sengketa pajak (pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002).

163

Bohari. H., Op.Cit., h.133

164

Achmad Rifai, Catatan Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Semester Gasal,

Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan, 2000. 165

Bohari. H., Loc.Cit.

Page 148: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlviii

Kemudian hukum pajak yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan

pada suatu persoalan atau sengketa pajak adalah segala ketentuan di bidang

perpajakan, misalnya Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan di ubah dengan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2000. Dengan demikian Pengadilan pajak telah memenuhi unsur pertama sebagai lembaga peradilan.

Kewenangan Pengadilan Pajak adalah di bidang sengketa pajak, jadi di sini

telah ditetapkan tentang kewenangan Pengadilan Pajak secara khusus hanya untuk

mengadili, memeriksa dan memutuskan sengketa di bidang pajak. Ini termasuk bentuk

sengketa konkrit yaitu sengketa di bidang pajak, artinya Pengadilan Pajak tidak dapat

mengadili sengketa lain selain sengketa pajak. Untuk itu, unsur kedua dari unsur-unsur

sebagai lembaga peradilan telah terpenuhi.

Pengadilan Pajak hanya dapat mengadili sedikitnya dua pihak yang

bersengketa di bidang pajak, yang salah satunya harus Direktorat Jenderal pajak selaku

Fiscus atau pemungut pajak. Bilamana hanya ada satu pihak saja yaitu Fiscus saja tanpa

ada pihak Wajib Pajak, maka tidak dapat diadili di Pengadilan pajak. Unsur ini dapat

dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan.

Aparatur yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yaitu hakim di

lingkungan Pengadilan Pajak, sedangkan aparatur hakim di lain lingkungan selain

Pengadilan Pajak, misalnya hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan

Tata Usaha Negara, atau hakim Pengadilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk

memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa pajak. Dengan demikian

ke empat unsur sebagai ciri lembaga peradilan telah dapat dibuktikan oleh Pengadilan

Pajak, karenanya Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan.

Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 25

ayat 1 diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur

Jenderal Pajak atas surat: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan pajak Lebih Bayar;

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang

Pengadilan Pajak ialah sifat dari pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di

sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut

pajak (fiscus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.

Pengadilan Pajak yaitu lembaga peradilan yang berwenang melakukan

penyelesaian semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak, namun khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pajak tentang banding dan

Page 149: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlix

gugatannya. Sedangkan untuk keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak hanya dapat

diajukan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memutuskannya.

Khusus untuk keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia

dengan mengajukan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau

dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-

alasan yang jelas. Keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud di

atas. Kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak

dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.

Bilamana suatu keberatan tidak diajukan sebagaimana diuraikan di atas,

sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, maka surat keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan.

Kendati demikian, bilamana Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan

Pajak, tidaklah menunda kewajiban Wajib Pajak untuk membayar pajak.

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama duabelas bulan sejak

tanggal Surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang

diajukan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alaan

tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima

seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang

terutang. Namun bilamana Direktur Jenderal Pajak setelah jangka waktu duabelas bulan

sejak tanggal surat keberatan diterima tidak memberikan keputusannya, maka keberatan

yang diajukan tersebut dianggap diterima.

Guna lebih sistematis selanjutnya akan dikemukakan beberapa persoalan yang

berhubungan dengan masalah keberatan, yaitu tentang:

a. pokok perselisihan;

b. pemasukan surat keberatan.

Perselisihan itu ialah mengenai dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau

pemungutan pajak yang telah ditetapkan, jadi bukan jumlah pajaknya meskipun jumlah utang, pajak tergantung pada besarnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.

Dalam pajak penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bersihnya. Adapun

penghasilan itu dibedakan atau dua yaitu laba usaha (business profit) dan penghasilan

lain-lain (other income).166

Pada Pajak Penghasilan misalnya, ada suatu kewajiban bahwa bagi wajib pajak

untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam SPT itu oleh Wajib Pajak

yang bersangkutan diharuskan oleh undang-undang untuk memberitahukan jumlah

yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak yang terhutang.

Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan mengisi

SPT itu secara lengkap, misalnya bagi badan usaha yang menjadi wajib pajak

diwajibkan melengkapi SPT itu dengan laporan keuangan berupa neraca dan

166

John Hutagaol, Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia

dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I, Salemba Empat, Jakarta, 2000, h.21

Page 150: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cl

perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk

menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Akan tetapi hal itu tidak selalu

dilakukan, ada yang disebabkan karena ketidak-jujuran wajib pajak, yang dengan

sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan

dengan cara pengisian yang tidak sebenarnya.

Dalam hal demikian Direktur Jenderal pajak tidak terikat dengan Surat Pemberitahuan itu dan selalu berwenang untuk mengadakan penelitian dan penilaian ini

berarti bahwa Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari Surat Pemberitahuan

Wajib Pajak, dan penyimpangan ini tentunya dilakukan dengan alasan yang kuat.

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian dan penilaian Surat

Pemberitahuan (SPT) yang dimasukkan oleh wajib pajak, dan dari hasil pemeriksaan

terbukti bahwa pengisian Surat Pemberitahuan itu adalah tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak

berwenang menetapkan pajak secara jabatan.

Pada umumnya penetapan pajak secara jabatan ini adalah jauh lebih besar dari

jumlah perkiraan oleh wajib pajak sendiri sewaktu mengajukan Surat

Pemberitahuannya. Oleh karena penetapan pajak secara jabatan ini dianggap tidak adil

karena pajaknya terlalu tinggi, maka wajib pajak biasanya mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan

pajak tersebut.

Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk satu jenis

pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun 2001 dan 2000. Keberatan

terhadap surat keterangan pajak penghasilan tahun 2001 dan tahun 2000 tersebut, harus

diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak

tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa batas waktu pengajuan surat

keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak

atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Undang-undang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan. Adapun maksud penentuan tenggang waktu tiga bulan tersebut adalah supaya

wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat

keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut

tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasan wajib pajak

(force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat

dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal pajak (Penjelasan pasal 25

ayat 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat

Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan

melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi

kepentingan wajib pajak. Tanda bukti penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga

digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas

Page 151: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cli

bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus

memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk

melakukan tindakan penagihan. Kententuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar

wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk

membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan.

Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi

tentang isi surat keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian

secara tersirat, namun kalau diteliti lebih jauh maka nampak tersirat lima hal yang

merupakan syarat minimum yaitu:

a. Penyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak;

b. Jenis pajaknya;

c. Tahun pajak;

d. Nomor pokok Wajib Pajak;

e. Nama dan tanda tangan wajib pajak.

Pada dasarnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib

pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun

demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan

pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu.

Surat keberatan yang tidak disertai alasan adalah lembah, karena itu besar

kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undang-

undang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah

berkisar pada dasar-dasar pengenalan pajak telah ditetapkan oleh kepada instansi pajak

setempat. Sebagai contoh pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Undang-undang

Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 serta

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, maka penghasilan

seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri

dari:

a. Penghasilan dari pekerjaan;

b. Penghasilan dari kegiatan usaha;

c. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;

d. Pengasilan lain-lain.

Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi

wajib pajak tertentu. Wajib Pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk

memasukkan surat pemberitahuan. Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak

berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi

karena ketidak-jujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang

Page 152: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clii

melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk

mengadakan penilian ini berarti Direktorat Pajak (fiscus) dapat menyimpang dari

surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak

ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat

pemberitahuan dari Wajib Pajak.

Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan jika wajib pajak mengajukan

keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidak-benaran penetapan pajak secara

sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak.

Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatannya

ditolak dan wajib pajak boleh mengajukan banding pada banding pada Pengadilan

Pajak. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan

penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk

memberikan keputusannya.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa:

1. menerima seluruhnya atau sebagian;

2. menolak seluruhnya keberatan.

Apabila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan pemohon dapat

diterima dan karena itu pajak dikurangkan.

Jika surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat

membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang

pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.

Wajib pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh

Direktur Jenderal pajak mengenai keberatannya itu, dapat mengajukan banding pada

Pengadilan Pajak menurut ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak.

Adapun banding dapat diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak, dengan ketentuan tidak boleh melampaui waktu tiga bulan

sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding tersebut, kecuali diatur lain dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu tiga bulan tersebut adalah

bersifat mengikat, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasan pemohon banding

misalnya force majeure.

Setiap permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap satu Keputusan,

dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan pula tanggal diterimanya

surat keputusan yang dimohonkan banding tersebut. Di samping ada kewajiban untuk

mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohon banding, pemohon

banding juga wajib melampirkan salinan keputusan yang dimaksud.

Syarat yang bersifat mutlak dipenuhi oleh pemohon banding adalah bilamana

banding itu diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding itu

Page 153: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cliii

hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%

(lima puluh persen).

Banding dapat diajukan wajib pajaksendiri, ahli warisnya, seorang pengurus,

atau kuasa hukumnya. Namun apabila selama proses banding, pemohon banding

meninggal dunia, maka pemohonan banding tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli

warisnya, atau kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding dalam pailit.

Bilamana selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan,

peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud

dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena

penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud.

Permohonan banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada

Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud di atas, dihapus dari

daftar sengketa dengan penetapan ketua, dalam hal surat pernyataan pencabutan

diajukan sebelum sidang dilaksanakan. Bilamana pencabutan diajukan dalam tahap

pemeriksaan sengketanya, maka pencabutan tersebut harus atas persetujuan pihak

terbanding, yang nantinya akan dibuatkan putusan hakim yang memeriksa perkaranya

bahwa perkaranya telah di cabut. Terhadap banding yang permohonannya dicabut melalui penetapan ataupun

putusan, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan satu kali saja. Artinya setelah

permohonan banding terhadap Surat Ketetapan Pajak dicabut, maka terhadap Surat

Ketetapan Pajak dimaksud tidak dapat diajukan permohonan banding lagi.

Bilamana Wajib Pajak tidak puas pula terhadap Keputusan Banding, maka ia

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak secara tertulis dengan Bahasa

Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan

yang digugat. Pengajuan gugatan tersebut hanya dapat diajukan satu surat keputusan

yang digugat.

Gugatan pada Pengadilan Pajak terhadap Surat Keputusan sebagaimana

dimaksud di atas, dapat diajukan oleh Penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal

diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan

dokumen yang digugat. Apabila selam proses gugatan, penggugat meninggal dunia,

gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau

pengampunya dalam hal penggugat pailit.

Bilamana selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan,

peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud

dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena

penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Bilamana pihak penggugat tidak berkehendak melanjutkan perkaranya, maka

penggugat dapat membuat pernyataan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan

Pajak. Gugatan yang dicabut tersebut baru akan dihapus dari daftar sengketa, jika terdapat penetapan ketua bilamana surat pernyataan pencabutan itu diajukan sebelum

Page 154: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cliv

sidang perkaranya belum dimulai dan penghapusan dari daftar perkara akan didasarkan

pada putusan hakim yang mengadilinya, bila pernyataan pencabutan itu dilakukan pada

saat perkara sedang berjalan, sehingga perlu persetujuan pihak tergugat pula.

Setelah gugatan tersebut dicabut, maka terhadap perkara dimaksud tidak dapat

diajukan perkara gugatan lagi. Jadi Wajib Pajak hanya mempunyai hak satu kali saja

untuk mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak atau surat keputusan banding, sebab bilamana perkara itu diajukan kembali, maka perkara gugatan demikian akan

ditolak.

Kendati demikian pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi

dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Namun penggugat dapat

mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda

selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan

pajak. Adapun permohonan penundaan pelaksanaan penagihan pajak tersebut harus

diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok

sengketanya.

Ketika Fiscus mengeluarkan surat tagihan pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan

telah dilakukan peneguran dengan Surat Tegoran, sedangkan pihak Wajib Pajak tidak

juga membayar sejumlah pajak yang ditagih tersebut, maka Fiscus melalui Jurusitanya akan mengeluarkan Surat Paksa.167

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi

utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mempertimbangkan,

melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa kepada

Penanggung Pajak, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan

penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Penagihan merupakan salah satu bagian yang penting dalam rencana kinerja

suatu Kantor Pelayanan Pajak untuk memasukkan uang dari pajak ke kas negara.

Karena merupakan salah satu bagian yang penting, penagihan harus dapat memberikan

motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Penagihan itu sendiri

timbul karena adanya tunggakan dari wajib pajak. Tidak semua wajib pajak mempunyai kesadaran pajak, kepatuhan pajak, dan disiplin pajak, sehingga diperlukan suatu

pengawasan. Sebagai tindak lanjut dari pengawasan tersebut maka dilakukan tindakan

penagihan pajak. Adapun tugas-tugas dalam melakukan penagihan ialah:

a. mengadakan perjanjian pembayaran pajak dengan wajib pajak secara

mencicil, yang menyimpang dari ketentuan undang-undang, bila ada alasan

untuk itu;

b. memberikan surat keterangan fiskal, yang sering dibutuhkan untuk berbagai

keperluan, seperti ikut tender, untuk mendapatkan kredit dari bank

pemerintah, untuk bepergian keluar negeri, dan sebagainya;

c. melakukan pemindahbukuan (overboeking) dan konpensasi kelebihan

pembayaran pajak yang satu kepada yang lain;

167

Moeljo hadi. H., Dasar-Dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat

dan Daerah, Cet.IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.27

Page 155: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clv

d. mengeluarkan surat paksa;

e. melakukan sita, melelang barang-barang yang disita melalui juru lelang, dan

melantarkan sandera;

f. mengenakan sanksi, bunga atas kelambanan pembayaran pajak;

g. mencegah daluwarsa;

h. mengeluarkan surat tagihan pajak; i. memberikan surat keterangan hipotik;

j. melakukan penghapusan pajak bila perlu tentang pajak-pajak yang ternyata

tidak dapat ditagihkan lagi karena wajib pajak menghilang, pindah dan tidak

diketahui alamatnya, atau meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris

maupun warisan;

k. menunda pembayaran pajak;

l. membuat statistik tentang penerimaan / realisasi penerimaan pajak-pajak,

disusun per jenis pajak dan secara total;

m. mengadministrasi pengembalian pajak jika ternyata terjadi kelebihan

pembayaran pajak;

n. melakukan pengawasan atas pembayaran pajak-pajak, dan sebagainya.168

Dalam pelaksanaan di lapangan tindakan penagihan dilakukan oleh Jurusita

Pajak. Seperti tersebut dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2000, tugas-tugas Jurusita Pajak dalam tindakan penagihan adalah :

- dengan Surat Perintah Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan

Sekaligus sesegera mungkin.

- memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dengan cara

pernyataan dan menyerahkan salinan dari Surat Paksa.

- melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat

Perintah Melaksanakan Penyitaan. Sebelumnya dalam laporan pelaksanaan

Surat Paksa dilaporkan jenis, letak dan taksiran harga dari objek sita dengan

memperhatikan tunggakan pajak dan biaya pelaksanaan yang mungkin akan dikeluarkan. Sedangkan barang yang dapat disita adalah barang milik

penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat

kedudukan atau di tempat lainnya yang penguasaannya berada di tangan

pihak lain, atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan

pelunasan utang tertentu, misalnya barang bergerak dan barang tidak

bergerak.

- melaksanakan pencegahan dan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah

yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Pencegahan dan penyanderaan

168

Rochmat Soemitro, Azas dan Dasar Perpajakan I, Refika Aditama, Bandung, 1998, hal. 151.

Page 156: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clvi

yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak harus dibantu oleh aparat Kepolisian,

Kejaksaan, Kantor Imigrasi dan aparat yang terkait.

Di dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana

diubah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Surat

Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan

Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, adalah

merupakan dasar dari penagihan pajak.

Dengan sistem self assessment, wajib pajak diberi kewenangan untuk

menghitung sendiri jumlah pajak yang terhutang. Disini wajib pajak dituntut

kejujurannya dalam hal jumlah besarnya penghasilan yang diperoleh dari wajib pajak

dengan jumlah pajak terhutang yang dilaporkan. Tindakan pelaksanaan penagihan pajak

dilakukan apabila pajak yang terutang seperti yang tercantum dalam Surat Tagihan

Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan tidak atau kurang

dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan.

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau

sanksi berupa bunga dan denda administrasi. Seperti tersebut dalam pasal 14 (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila:

a. pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

b. dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) terdapat kekurangan

pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung;

c. wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;

d. pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan

Nilai (PPN) tahun 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan

usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

e. pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetapi

membuat Faktur Pajak; f. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat

atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi

selengkapnya Faktur Pajak.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat

Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan

besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah

kekurangan pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih

harus dibayar. Dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, Surat Ketetapan

Pajak diterbitkan apabila:

(1) dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutang pajaknya, atau

berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, fiskus dapat

menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal sebagai berikut:

Page 157: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clvii

a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang

terutang tidak atau kurang dibayar;

b. apabila Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) tidak disampaikan dalam

jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) dan telah

ditegur secara tertulis tetapi tidak disampaikan pada waktunya sebagai

mana ditentukan dalam Surat Tegoran; c. apabila berdasarkan hasil pemeriksanaan mengenai Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya

dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif

0%;

d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29

tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang

terutang.

(2) jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah sanksi

administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya dua

puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya

Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

(3) jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi

administrasi berupa kenaikan sebesar:

a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang

dibayar dalam satu tahun pajak;

b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang

dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan

dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan;

c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. (4) besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat

Pemberitahuan (SPT Tahunan) menjadi pasti menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku, apabila dalam jangka waktu

sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,

Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.

(5) apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah

lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah

sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen)

dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal wajib pajak

setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebut dipidana, karena melakukan

tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 158: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clviii

Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang menambah

jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 16 Tahun

2000 Surat Ketetapan Pajak Tambahan diterbitkan apabila memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,

apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang

mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

(2) jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan

sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(3) kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan

keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat

Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

(4) apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat

puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dala

hal wajib pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana

karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dengan dikeluarkannya STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat Keputusan

Pembetulan sebagai akibat dari tidak dilunasinya utang pajak oleh Penanggung Pajak

atau Wajib Pajak, maka jika utang pajak yang tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT

dan Surat Keputusan Pembetulan, masih belum juga dilunasi dalam jangka waktu yang

telah ditentukan dalam surat tersebut maka langkah yang diambil oleh aparat pajak

berikutnya ialah dengan mengeluarkan Surat Tegoran, Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus, mengeluarkan Surat Paksa, Penyitaan, Pencegahan atau Penyanderaan serta

Pelelangan. Langkah-langkah tersebut merupakan proses-proses dalam tindakan

penagihan. Untuk jelasnya proses-proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Surat Tegoran

Surat Tegoran ini diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajak

setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pelunasan atau jatuh tempo pembayaran yang

tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterima Wajib Pajak. Isi dari Surat

Tegoran tersebut adalah peringatan kepada Penanggung Pajak agar mau melunasi utang

pajaknya dan juga memberitahukan akibat hukum yang ditimbulkan apabila Surat

Tegoran tersebut tidak diindahkan.

2. Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus

Page 159: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clix

Pengertian “Seketika” mengandung arti bahwa pelunasan utang pajak tersebut harus

dilunasi dengan segera, dan pengertian “Sekaligus” mengandung arti bahwa pajak

tersebut harus dilunasi dalam waktu bersamaan untuk semua jenis pajak yang terutang.

Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilakukan bilamana terjadi suatu peristiwa atau

keadaan yang mendesak dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan

mengakibatkan pajak yang terhutang dari Penanggung Pajak tidak dapat ditagih karena : - Penanggung Pajak akan atau berniat untuk meninggalkan Indonesia untuk

selamanya;

- Penanggung Pajak menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau

pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan

barang yang dimiliki atau yang dikuasai;

- Terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan atau berniat membubarkan badan

usahanya;

- Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara;

- Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau

terdapat tanda-tanda kepailitan.

Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum

penerbitan Surat Paksa. Jadi logika hukumnya adalah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilaksanakan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana

tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak. Dalam pelaksanaannya Penagihan Pajak

Seketika dan Sekaligus dilakukan sebagai berikut:

- Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan tanpa

memperhatikan apakah Wajib Pajak telah diberikan Surat Tegoran atau tidak;

- Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus disampaikan kepada

Wajib Pajak dan dalam waktu 2 X 24 jam Wajib Pajak harus melunasi segala

utang pajaknya;

- Apabila dalam jangka waktu 2 X 24 jam Wajib pajak belum mau melunasi

utang pajaknya, maka segera dilakukan tindakan penagihan dengan Surat

Paksa. 3. Surat Paksa

Surat Paksa dalam arti umum adalah alat hukum yang lazimnya diterapkan dalam

hukum perdata setelah ada putusan hakim.169 Sedangkan Surat Paksa dalam arti khusus

adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat dalam hal ini yang berwenang dalam

menerbitkan surat paksa, yang intinya memerintahkan kepada wajib pajak (penanggung

pajak) yang mempunyai utang pajak untuk membayar utang pajaknya dan biaya

penagihan pajak.

Akan tetapi di dalam hukum pajak Surat Paksa disebut parate executie, artinya dapat

melakukan eksekusi langsung tanpa melalui proses dimuka pengadilan.

Membahas tentang Surat Paksa, maka Surat Paksa dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu

segi isinya dan segi karakteristiknya.

169

Ibid., hal. 76.

Page 160: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clx

Ditinjau dari segi isinya, sesuai dengan pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang

Nomor19 Tahun 2000, Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut :

- diawali dengan kata-kata yang berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

- nama wajib pajak atau penanggung pajak, keterangan cukup tentang alasan

yang menjadi dasar penagihan, perintah membayar. - dikeluarkan atau ditandatangani oleh Pejabat berwenang yang ditunjuk oleh

Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Sedangkan ditinjau dari segi karakteristiknya adalah sebagai berikut :

- mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan Hakim

dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim

atasannya.

- mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde).

- mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak atau

biaya-biaya dalam proses penagihan.

- dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/

pencegahan.170

Yang perlu dipahami oleh Penanggung Pajak bahwa dengan Surat Paksa,

Jurusita Pajak dapat melakukan eksekusi langsung baik itu berupa tindakan penyitaan

maupun pelaksanaan lelang. Khusus pelelangan Jurusita Pajak menyerahkannya kepada

Kantor Lelang yang berwenang melaksanakan lelang.

Surat Paksa mempunyai kekuatan executorial karena mepunyai title berupa

kepala (irah-irah) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini sama

dengan keputusan pengadilan dan grosse akte notaris yang juga berkepala demikian.171

Surat Paksa diterbitkan fiskus (aparat pajak) kepada para wajib pajak yang

mempunyai tunggakan pajak. Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak disebut

Penanggung Pajak, sedangkan tunggakan pajak selanjutnya disebut utang pajak yang

harus dilunasi sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Utang pajak yang tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan akan diterbitkan Surat

Paksa dengan terlebih dahulu diterbitkan surat tegoran atau surat peringatan.

Terhadap Penanggung Pajak yang telah dilaksanakan penagihan seketika dan

sekaligus juga diterbitkan Surat Paksa dan terhadap Penanggung Pajak yang

mengajukan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak dan sampai jangka

waktu pembayaran masih juga belum melunasinya sesuai dengan keputusan yang

dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Prosedur penerbitan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak Pamekasan

diawali dengan pelaksanaannya dibidang tata usaha sebelum Surat Paksa tersebut

170

Moeljo Hadi, Op.Cit., hal. 23

171

Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank,

Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.38

Page 161: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxi

disampaikan kepada Penanggung Pajak. Ini penting sekali karena Surat Paksa adalah

salah satu produk hukum dari Direktorat Jenderal Pajak, jangan sampai Surat Paksa

dikeluarkan begitu saja tanpa ada dasarnya baik itu dasar hukumnya ataupun dasar

administrasinya. Dasar hukum dari Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sudah jelas

yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, sedangkan dasar administrasinya dapat

diuraikan sebagai berikut : - Surat Paksa dikeluarkan setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal surat

tegoran yang sebelumnya telah dikirim;

- tanggal dan nomor Surat Paksa dicatat dalam buku register Surat Paksa, buku

register pengawasan penagihan, dan buku register tindakan penagihan;

- selanjutnya Surat Paksa diserahkan kepada Jurusita Pajak yang mempunyai

kewenangan untuk melaksanakan tugas penagihan;

- Jurusita Pajak yang telah menerima penyerahan Surat Paksa, harus :

mencatatnya dalam buku Produksi Harian dan buku register Tindakan

Penagihan;

menyampaikan, memberitahukan dan menyerahkan salinan Surat Paksa

kepada Penanggung Pajak;

membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa dan membuat berita acara

pemberitahuan Surat Paksa;

pelaksanaan Surat Paksa dicatat dalam buku register Pengawasan

Penagihan dan buku register Tindakan Penagihan serta Surat Paksa

dimasukkan dalam berkas penagihan wajib pajak yang bersangkutan.

4. Penyitaan

Pengertian penyitaan dalam hukum pajak pada intinya sama dengan Sita

Executoir dalam Hukum Perdata, yaitu:

Serangkaian tindakan dari Jurusita Pajak yang dibantu oleh dua orang saksi untuk

menguasai barang-barang dari Wajib Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi

utang pajak sesuai dengan perundang-undangan pajak yang berlaku. Penyitaan dalam Hukum Pajak merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan

penagihan dengan Surat Paksa. Penyitaan terpaksa dilakukan bilamana pajak yang

masih harus dibayar oleh Penanggung Pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 X 24

jam sesudah tanggal pemberitahuan dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa

kepada Wajib Pajak. Dalam pelaksanaannya penyitaan dilakukan oleh Jurusita Pajak

dengan didampingi oleh 2 (dua) orang saksi. Adapun barang-barang Penanggung Pajak

yang dapat disita antara lain:

Barang bergerak

Semua barang bergerak milik Penanggung Pajak yang ada di rumah, di toko, di

tempat usaha, atau kantor dari Penanggung Pajak.

Barang tidak bergerak Semua barang tak bergerak berupa rumah, kantor, perusahaan dan sebagainya, baik

itu ditempati sendiri atau dikontrakkan kepada pihak lainnya. Juga termasuk kebun,

Page 162: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxii

sawah, bungalow dan sebagainya, baik itu dikerjakan sendiri atau disewakan pada

pihak lain serta kapal dengan bobot tertentu.

Tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari

Penanggung Pajak.

5. Pencegahan dan Penyanderaan Pengertian Pencegahan sebagaimana tersebut dalam pasal 7 sub 17 UU

Nomor 19 Tahun 2000 adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung

Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan

pencegahan terhadap Penanggung Pajak dalam upaya penagihan pajak harus memenuhi

utang pajak dalam jumlah sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan

diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Keputusan pencegahan

diterbitkan oleh Menteri atas permintaan dari pejabat yang bersangkutan.

Pengertian Penyanderaan (Gijzeling) atau lebih dikenal dengan sita badan

adalah pengekangan sementara waktu kebebasan dari Penanggung Pajak dengan

menempatkan ditempat tertentu. Penyanderaan dilakukan bilamana Penanggung Pajak

mempunyai kemampuan untuk membayar pajak tetapi tidak mau membayarnya bahkan

menyembunyikan harta kekayaannya setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak, sedangkan besarnya

utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya

dalam melunasi utang pajak.

Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh pejabat setempat setelah

mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan. Surat Perintah tersebut disampaikan oleh

Jurusita Pajak dengan didampingi 2 (dua) orang saksi dan dapat meminta bantuan pihak

Kepolisian atau Kejaksaan.

6. Pelelangan

Pelelangan adalah penjualan barang milik Penanggung Pajak dimuka umum

dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Lelang adalah sebagai akibat dari utang pajak dan atau

biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan. Dalam hal

pelaksanaannya lelang dilaksanakan melalui Kantor Lelang. Lelang tetap dilaksanakan

walaupun keberatan yang diajukan oleh Penanggung Pajak belum memperoleh putusan

dari Direktorat Jenderal Pajak, dan juga lelang dapat dilaksanakan meskipun si

Penanggung Pajak tidak hadir.

Hasil dari pelelangan digunakan lebih dahulu untuk membayar biaya

penagihan dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila lelang sudah mencapai

jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak pelaksanaan

lelang dihentikan, walaupun barang yang akan dilelang masih ada. Jika ada sisa barang

dan kelebihan uang hasil lelang dikembalikan kepada Penanggung Pajak segera setelah

pelaksanaan lelang.

Page 163: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxiii

KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat

tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

e. Secara tegas, baik Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang

Pokok Kekuasaan Kehakiman lembaga peradilan hanya ada empat

lingkungan peradilan yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Militer. Adapun Pengadilan

Pajak yang didirikan atas dasar kekuatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

2002 yang berdiri sendiri sebagai peradilan khusus bidang pajak adalah

inkonstitusional, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Karenanya putusannya jika berbentuk penghukuman wajib pajak untuk

membayar pajak adalah juga inkonstitusional, sehingga non executable

(tidak dapat dilaksanakan);

f. Keadilan tidak diterapkan secara proporsional antara keadilan terhadap

Wajib Pajak dan Fiscus, Undang-Undang Pengadilan Pajak Tahun 2002

lebih mengutamakan dan membenarkan pihak Fiscus. Kendatipun misalnya

Fiscus yang salah dan wajib pajak diberikan bunga atas kewajiban yang telah

dibayar, namun wajib pajak belum diberikan kesempatan yang sama dengan Fiscus.

SARAN

Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan Peradilan Pajak berdasarkan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, maka dapat dikemukakan hal-hal:

a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 perlu segera direvisi, dengan

menyatakan dirinya sebagai bagian dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan

Tata Usaha Negera;

b. Setiap pengeluaran surat penagihan pajak, hendaknya dilakukan secara hati-

hati. Mengingat setiap surat penagihan pajak akan selalu diterbitkan surat

paksa, bilamana wajib pajak tidak segera membayarnya, terlepas apakah penagihan pajak tersebut benar atau tidak.

Bahan Rujukan

Brotodihardjo. R., Santoso.1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Eresco.

Bandung.

Bohari. 1999. Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada. Jakarta.

CST., Kansil.1989. Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII.

Balai Pustaka. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I. Sinar Grafika. Jakarta.

Hadi, Moeljo. 2001. Dasar-Dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita

Pajak Pusat dan Daerah, Cet.IV. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Page 164: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxiv

Hutagaol, John. 2000. Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Indonesia dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I. Salemba Empat.

Jakarta.

Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Cet.IV, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI. Jakarta.

Muljono, Eugenia Liliawati dan Amin Widjaja Tunggal, 1996. Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank, Cet.I. Rineka Cipta. Jakarta.

Munawir, 1992. Perpajakan. Liberty. Yogyakarta.

M. Hadjon, Philipus et all., 1994 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia

(Introduction to the Indonesian Adminstrative law), Cet.III. Gajah Mada

University Press. Bandung.

Prinatara, Diaz. 2000. Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Cet.-, Djambatan. Jakarta.

Rifai, Achmad. 2000. Catatan Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,

Semester Gasal, Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.

Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba

Empat. Jakarta.

Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantara Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco. Bandung.

-----------. 1998. Azas dan Dasar Perpajakan I, Refika Aditama. Bandung. Wijoyo, Suparto.1997. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cet.I.

Airlangga University Press. Surabaya.

Page 165: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxv

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENAGIHAN PAJAK

Oleh:

Achmad Rifai, S.H., M.Hum.*

ABSTRAK Pola penagihan pajak yang didasarkan kepada Obyek kena pajak,

bilamana tidak diindahkan oleh Wajib Pajak akan melahirkan tindakan

penagihan, pemaksaan dengan surat paksa bahkan penyitaan dan

pelelangan dari Fiscus. Untuk itu setiap tagihan pajak

penyelesaiannya dengan cara pembayaran pajak.

Kata Kunci: Hutang Pajak – Penagihan – Akibat Hukum.

LATAR BELAKANG

Pajak dibebankan kepada wajib pajak oleh pemerintah, dikarenakan pemerintah dibebani biaya pengeluaran-pengeluaran umum untuk kepentingan tugas-

tugas kenegaraan yaitu untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kepentingan umum.

Pemerintah dari perolehan pajak tersebut salah satu kegiatannya adalah menciptakan

fasilitas umum, seperti pembangunan pelabuhan, jalan raya, kereta api, bis kota,

bendungan, irigasi, sekolah dan Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, penanggulangan

bencana alam, pembiayaan pertahanan negara dan sebagainya.172

Pemerintah selaku pemungut pajak atau fiscus untuk kepentingan

penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum tersebut, akan memfungsikan

pajak secara reguler.173 Dengan fungsi pajak yang reguler itu, masyarakat selaku wajib

pajak akan dapat diatur guna melakukan tindakan yang seminimal mungkin terkena

pajak. Sementara pemerintah selaku fiscus dalam fungsi pajak yang reguler, melakukan pungutan pajak hampir di setiap aspek kegiatan wajib pajak, misalnya setiap pembelian

barang atau jasa dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), setiap penghasilan di atas

jumlah tertentu dikenakan PPh (Pajak Penghasilan), setiap pembeli atau memperoleh

tanah dengan nilai tertentu dikenakan BPHATB (Bea Perolehan Hak Atas dan

Bangunan) dan lain sebagainya.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 172

Kansil. C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989, h.324 173

Erly Suandy, Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat, Jakarta,

2002, h.13

Page 166: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxvi

Dengan beberapa bentuk pungutan pajak dimaksud, maka wajib pajak akan

selalu menahan diri untuk tidak mengkonsumsi barang-barang tersebut. Sehingga wajib

pajak hanya akan membeli barang yang benar-benar sangat dibutuhkan. Dengan

demikian pemerintah telah dapat memfungsikan posisi pajak sebagai alat untuk

mengatur, karenanya tujuan pajak telah mencapai maksudnya sebagai fungsi reguler.

Sementara tindakan pemerintah melalui fiscus, yang terus berupaya untuk meningkatkan pendapatan yang sebesar-besarnya dari sektor pajak adalah merupakan

fungsi pajak yang budgeter.174 Adapun pendapatan negara itu sendiri dapat bersumber

dari:

a. Pajak;

b. Kekayaan alam;

c. Bea dan Cukai;

d. Retribusi;

e. Iuran;

f. Sumbangan;

g. Laba dari Badan Usaha Milik Negara;

h. Sumber-sumber lainnya.175

Khusus untuk pengklasifikasian sumber pendapatan negara di atas, Dosen Pembimbing tidak sependapat dengan penulis buku Hukum Pajak tersebut. Dengan

alasan bahwa seharusnya Bea dan Cukai tidak perlu disebut lagi, mengingat baik Bea

ataupun Cukai tiada lain adalah pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1985 tentang Bea (Pajak atas Barang Import dan Eksport) dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985 tentang Cukai (Pajak atas Rokok, Alkohol dan

lainnya). Sebagai pembenarnya dapat dirujuk tentang ciri khas dari pajak yang dibuat

oleh Erly Suandy sendiri, yang terdiri dari:

1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemerintah;

2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan;

3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah;

4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah;

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila

dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai

public investment;

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

pemerintah;

7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.176

174

Santoso Brotodihardjo. R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Refika Aditama, Bandung,

1998, h.204 175

Erly Suandy, Op.Cit., h.2 176Ibid., h.11

Page 167: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxvii

Dari ciri pajak di atas maka jelaslah bahwa Bea dan Cukai adalah juga pajak, sebab

pemungutan Bea dan Cukai tidak diberikan kontraprestasi langsung secara individual

yang diberikan oleh pemerintah.

Tegasnya, di dalam mekanisme pembiayaan seluruh kepentingan dan kebutuhan

umum dalam masyarakat, salah satu yang dibutuhkan dan terpenting adalah suatu peran

serta yang aktif dari warga negaranya untuk ikut memberikan iuran kepada negaranya

yaitu dalam bentuk pajak, sehingga segala kepentingan atau kebutuhan dapat terpenuhi

bersama.

Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanaan suatu

kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan

pertahanan keamanan. Disamping pajak dalam pemungutannya berdasarkan Undang-

undang, penggunaan hasil pajak juga harus didasarkan pada Undang-undang. Hal

tersebut dapat dilihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam

APBN tersebut juga diperinci penggunaan pendapatan negara sehingga rakyat dapat

mengetahui penggunaan hasil pajak adalah untuk kepentingan umum. Pajak juga

merupakan sumber pendapatan utama negara disamping penerimaan negara dari sumber

daya alam. Banyak sedikitnya uang yang diperlukan negara tergantung kepada tingkat

ekonomi negara serta rakyatnya. Lebih besar tingkat ekonomi negara, lebih besar pula

kebutuhannya, dan lebih besar pula pendapatan yang diperlukan. Pajak-pajak yang

dikelola pemerintah digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan

tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Jadi pajak dalam pungutannya sudah

berdasarkan pada keadaan ekonomi rakyatnya.

Page 168: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxviii

Pajak tidak hanya digunakan untuk memasukkan uang kedalam Kas Negara,

tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politis atau tujuan yang

ada diluar bidang keuangan. Salah satu contoh, pajak yang digunakan sebagai alat

politik adalah untuk mendapatkan suara dalam pemilihan umum dinegara-negara maju,

dengan memberikan janji-janji bahwa pajak akan diturunkan apabila calon terpilih

menjadi presiden. Juga dalam hubungan internasional, pajak sering juga digunakan

untuk memasukkan barang-barang produksi luar negeri yang belum dapat diproduksi di

negara sendiri.

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan suatu kebijakan

pemerintah dalam bidang sosial budaya dapat diwujudkan dengan pembangunan

sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah dan sarana-sarana lainnya yang langsung dapat

dinikmati dan dipergunakan demi kepentingan masyarakat luas. Juga dalam bidang

pertahanan keamanan, penggunaan hasil pajak dapat dialokasikan untuk menjaga

keutuhan wilayah Republik Indonesia, misalnya untuk membayar gaji aparat keamanan,

membeli persenjataan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan segala

aktivitas pertahanan dan keamanan negara.

Pertimbangan yang dilakukan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus

mempertimbangkan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya. Untuk memenuhi

tuntutan keadilan dan keabsahan tersebut perlu diperhatikan asas-asas pemungutan

pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith yang lebih dikenal dengan “The Four

Maxims”. Asas-asas yang dimaksud tersebut adalah asas equality, asas certainty, asas

Page 169: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxix

convenience of payment dan asas efficiency177. Disamping keempat asas dalam “The

Four Maxims” tersebut diatas, ada beberapa teori yang mendukung prinsip-prinsip

keadilan dan keabsahan sebagaimana berikut ini178 :

Teori Kepentingan

Dasar keadilan pemungutan pajak adalah karena orang mempunyai

kepentingan pada negara, dan untuk mewujudkan kepentingan tersebut

dibutuhkan dana yang tidak sedikit, yang penyelenggaraannya dikumpulkan

melalui pajak.

Teori Bakti

Dengan pajak, masyarakat dapat menunjukkan salah satu baktinya kepada negara

sebagai balasan atas pemberian dan pembiayaan berbagai kepentingan atau

keperluan masyarakat oleh negara.

Teori Daya Pikul

Pemungutan pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan dari anggota

masyarakatnya, dan bukan berdasarkan pada besar kecilnya kepentingan.

Teori Daya Beli

Pemungutan pajak yang dilakukan negara ini lebih cenderung melihat aspek

akibat yang baik terhadap kedua belah pihak yaitu masyarakat dan negara,

sehingga dapat memanfaatkan kekuatan dan kemampuan beli (daya beli)

masyarakat untuk kepentingan negara yang pada akhirnya akan dikembalikan

atau disalurkan kembali pada masyarakat.

177

Santoso Brotodihardjo. R., Op.Cit., h.27-28 178Ibid., h.30-35

Page 170: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxx

Dalam hukum pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak. Berikut ini

diuraikan beberapa sistem pemungutan pajak sebagai berikut :

a. Self assesment

Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak diberi kepercayaan

untuk menghitung sendiri pajak yang terhutang, memperhitungkan sendiri pajak yang

terhutang, membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang dan melaporkan sendiri pajak

yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.179

Adapun ciri-ciri dari sistem self assesment ini adalah, adanya kepastian hukum,

sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata dan

penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Dalam sistem pemungutan ini

wajib pajak bersifat aktif, sedangkan fiskus sendiri sifatnya pasif, dengan kata lain

fiskus hanya sebagai pengawas dari segala apa yang dilaporkan wajib pajak kepada

fiskus. Sistem ini dianut oleh peraturan perundang-undangan perpajakan kita sekarang

ini.

b. Official assesment

Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana fiskus sendiri yang

menetapkan (diluar wajib pajak) jumlah pajak yang terhutang dari para wajib pajak. Jadi

inisiatif dan kegiatan menghitung dan menetapkan pemungutan pajak sepenuhnya

berada pada fiskus180. Dalam sistem pemungutan ini yang aktif adalah fiskus.

Disamping fiskus sebagai pengawas bagi aktifitas wajib pajak, juga mempunyai

179Ibid., h.66 180Ibid.

Page 171: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxi

kewenangan untuk menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak,

sedangkan wajib pajak hanya bersifat pasif. Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia

terhadap Undang-undang perpajakan yang lama.

c. Withholding system

Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana penghitungan, pemotongan

dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh

pemerintah.181 Pihak ketiga yang diberi kepercayaan misalnya badan-badan tertentu,

majikan, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Anggaran, para bendaharawan dan lain-lain. Contoh

pajak yang menganut sistem ini misalnya Pajak penghasilan pasal 21, 22, 23 dan 26.

d. Stelsel riil

Adalah suatu sistem pengenaan pajak, dimana dikenakan penghasilan yang

sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak. Penghasilan yang diperoleh dalam

suatu tahun pajak baru diketahui pada akhir tahun , maka pajak baru dikenakan sesudah

akhir tahun pajak berakhir. Contoh pajak yang menganut sistem ini adalah Pajak

Penghasilan (dalam hal menghitung pajak dan laporan pajaknya).

e. Stelsel fiktif

Adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu fiksi atau

anggapan. Suatu fiksi atau anggapan tergantung dari ketentuan undang-undang

perpajakan yang bersangkutan.

f. Stelsel campuran

181Ibid., h.67

Page 172: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxii

Adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik pada stelsel riil

maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menganut sistem stelsel fiktif dan setelah

akhir tahun pajak menganut stelsel riil. Contohnya Pajak Penghasilan (PPh).

Undang-undang perpajakan di Indonesia sekarang ini menganut sistem self

assessment, seperti penjelasan diatas sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada

wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Pemerintah dalam

hal ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak (fiskus), tidak turut campur

dalam hal penentuan besarnya pajak yang terutang. Otoritas pajak bersifat pasif dan

hanya memberikan penerangan, pengawasan, dan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan

yang dilakukan oleh wajib pajak.

Didalam suatu sistem tentunya ada kekurangannya dan ada kelebihannya,

tergantung dilihat dari sudut pandangnya. Praktek dalam pelaksanaan sistem

pemungutan pajak berdasarkan self assessment mengandung banyak kelemahan. Salah

satunya adalah sistem ini sering disalahgunakan oleh wajib pajak atau memberikan

kesempatan untuk melakukan kecurangan, misalnya memanipulasi restitusi pajak. Hal

tersebut dapat terjadi karena penghitungan pajak yang menjadi beban wajib pajak,

berdasarkan pembukuan yang dibuat oleh wajib pajak. Dalam kenyataannya, disamping

tingkat kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang masih relatif rendah, masih

banyak pula wajib pajak yang belum menyelenggarakan pembukuan dengan baik, benar

dan lengkap. Padahal pilar sistem perpajakan yang berdasarkan self assessment adalah

pembukuan yang benar dan lengkap, serta itikad baik dari para wajib pajak. Di pihak

Page 173: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxiii

lain masyarakat masih menganggap prosedur pembayaran pajak terlalu rumit, misalnya

dalam pengisisan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Akibatnya penerimaan pajak

yang sistem pemungutannya berdasarkan self assessment (misalnya PPh pasal 25),

jumlahnya masih relatif rendah dibandingkan dengan sistem Withholding atau yang

dikenal pula dengan istilah sistem pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga

(misalnya, PPh pasal 21, 22, 23, 26 dan PPN). Sistem pemotongan yang dilakukan oleh

pihak ketiga ternyata merupakan sistem yang ampuh untuk mengatasi rasa enggan wajib

pajak dalam membayar pajak.

Sedangkan kelebihannya dari sistem ini adalah jika ada penyelewengan pajak

yang dilakukan wajib pajak, sistem pengontrolan terhadap wajib pajak itu sendiri lebih

mudah dilakukan oleh fiskus. Adapun kelebihan lain dari sistem ini adalah wajib pajak

diberi kesempatan langsung untuk ikut serta dalam proses pembagunan nasional .

RUMUSAN MASALAH

Dalam sistem pemungutan pajak dengan self assessment, pemerintah lebih

mengedepankan kepentingan dari wajib pajak, artinya pemerintah lebih

mempertimbangkan rasa keadilan dan hak asasi. Berdasarkan segala hal yang telah

diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang relevan untuk

dikemukakan, yaitu:

a. Sejak kapan pajak dapat dilakukan penagihan terhadap wajib pajak?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap penagihan pajak?

Page 174: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxiv

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

1. Pejabat yang Berwenang melakukan Tagihan Pajak

Pada dasarnya pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-

banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi

budgeter. Dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah pajak-pajak daerah juga

nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang

diserahkan kepada daerah, di samping subsidi merupakan sumber pendapatan daerah

yang penting.

Kendati demikian, di samping pajak-pajak fungsinya yang budgeter masih

mempunyai fungsi mengatur (reguler). Pajak di sini bukan semata-mata untuk

memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat

digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam bidang

pembebasan pajak guna memperoleh atau menarik modal luar negeri dengan cara tax

holiday.182 Contoh lain bahwa pajak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu,

misalnya dorongan pemerintah untuk lebih memanfaatkan dan menggunakan koperasi

dalam menjalankan usaha. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan bentuk usaha yang

sesuai dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Dalam rangka

itu koperasi dibebaskan dari pengenaan pajak untuk jangka waktu 10 tahun dihitung

sejak saat didirikannya, dan setelah jangka waktu sepuluh tahun itu koperasi dikenakan pajak dengan tarip yang diperingan.

Di samping fungsi mengatur yang di sebutkan di atas, pajak-pajak juga dapat

digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah jika tepat

penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara.

Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip tinggi

dan tarip rendah atau tarip 0, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya.

Pajak dapat juga ditinjau dari segi pembangunan, dari segi ini pajak baru

mempunyai manfaat terhadap pembangunan apabila pajak-pajak setelah digunakan

182

Rochmad Soemitro , Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco, Bandung, 1992., h.3

Page 175: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxv

untuk membiayai pengeluaran rutin, masih ada cukup sisa yang dapat digunakan untuk

membiayai pembangunan melalui investasi publik.

Dari segi pembangunan pajak dapat ditinjau sebagai alat fiscal policy atau

kebijakan fiskal. Dalam kebijakan fiskal kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian

rupa sehingga dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi pembangunan.

Masalah pokok dalam pembangunan adalah investasi, investasi ini berasal dari tabungan, baik tabungan swasta maupun tabungan pemerintah.

Investasi tabungan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada

kehendak dan kerelaan golongan swasta, melainkan harus diarahkan ke jurusan tertentu.

Melalui deposito berjangka, dengan pembebasan pajak atas bunga deposito berjangka,

pemerintah telah berhasil meningkatkan deposito berjangka yang besar artinya bagi

pembangunan. Juga pasar uang dan modal, yang mempunyai peranan penting dalam

pembangunan, dapat digalakkan oleh pemerintah dengan menggunakan pajak-pajak

sebagai alat-alat penggerak.

Pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari

segi hukum, lebih menitikberatkan kepada perikatan, pada hak dan kewajiban wajib

pajak, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum. Hak penguasa untuk

mengenakan pajak. Timbulnya hutang pajak, hapusnya hutang pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administratif maupun sanksi pidana, penyidikan, pembukuan, soal

keberatan, banding dan gugatan pajak.

Suatu keadaan yang dilematis, mengingat pajak di satu sisi adalah bagai

perampokan jika tidak mendasarkan pada perundang-undangan sebelumnya.

Sebagaimana hal ini didalilkan dalam falsafah pajak di USA taxation without

representation is robbery.183 Dan di sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk

kelangsungan pembangunan dan aktifitas suatu negara. Untuk itu, proses pemungutan

pajak yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dilakukan dengan sangat hati-hati

berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Walaupun pajak dikenakan dan dipungut atas dasar undang-undang, namun

karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara maka pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawan, maka

terhadap kewajiban di samping hak fiscus yaitu bahwa pajak haruslah memenuhi syarat-

syarat yaitu184:

1. pemungutan pajak harus adil;

2. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang;

3. pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian;

4. pemungutan pajak harus efisien;

5. sistem pemungutan pajak harus sederhana.

a. Pemungutan pajak harus adil

183

Erly Suandi, Loc.Cit. 184

Munawir, Perpajakan, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1992., h.8-13

Page 176: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxvi

Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara

pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat sebagai wajib pajak yang antara

lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak,

obyek pajak, timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutan pajak, cara penagihannya

dan sebagainya. Di samping itu memuat pula tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak

wajib pajak serta sanksi-sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana sehubungan dengan adanya pelanggaran atas hukum atau peraturan-perturannya.

Tujuan dari setiap hukum adalah membuat adanya keadilan, demikian pula

dalam hukum pajakpun mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum-hukum

lainnya yaitu membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik adil dalam

perundang-undangannya maupun adil dalam pelaksanaannya. Keadilan dalam

pelaksanaan antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan

keberatan, penundaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak atau banding dan

gugatan kepada Pengadilan Pajak.

Walaupun demikian keadilan itu sangat relatif, namun salah satu jalan yang

harus ditempuh dalam mencari keadilan adalah mengusahakan agar pemungutan pajak

diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas

seluruh rakyat. Dengan demikian pajak harus mengabdi pada keadilan, dan keadilan inilah yang dinamakan azas pemungutan pajak menurut falsafat hukum atau syarat

keadilan.

Jika pihak fiscus mampu berlaku adil dalam memungut pajak, kemudian atas

dasar apa negara atau fiscus dapat dan mempunyai hak untuk memungut pajak.

Terhadap kondisi ini lahirlah bebera teori pembenar guna mentolerir negara selaku

fiscus untuk memungut pajak. Teori-teori yang lahir adalah:

a. teori asuransi;

b. teori kepentingan;

c. teori daya pikul;

d. teori daya beli.185

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang

hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk

menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Bagi

negara-negara hukum, maka segala sesuatu harus diatur atau ditetapkan dalam undang-

undang termasuk pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam

Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen pasal 23A yang menentukan antara lain

bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi

berdasarkan undang-undang.

Kecuali itu, dalam menyusun undang-undangnyapun harus diusahakan oleh

pembuat undang-undang untuk tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam

menyusun undang-undang secara umum tidak oleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:

185

Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.32-35

Page 177: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxvii

1. hak-hak negara sebagai pemungut pajak (fiscus) yang telah diberikan oleh

pembuat undang-undang harus dijamin terlaksananya dengan lancar;

2. para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas agar supaya tidak

diperlakukan dengan semena-mena oleh fiscus dengan segala aparaturnya;

3. adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri

atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan atau disampaikannya kepada instansi-instansi pajak, dan rahasia itu tidak disalah-

gunakan.

c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.

Keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karena adanya

pemungutan pajak, bahkan harus tetap dipupuk olehnya sesuai dengan fungsi kedua dari

pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Oleh karena itu kebijakan pemungutan pajak

harus diusahakan supaya tidak menghambat lancarnya perekonomian, baik dalam

bidang produksi maupun perdagangan dan jangan sampai merugikan kepentingan

umum dan menghalang-halangi usaha rakyatnya dalam menuju kebahagiaan.

d. Pemungutan pajak harus effisien

Hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutup sebagian dari pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan fungsi yang pertama dari pemungutan

pajak yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter). Oleh karena itu untuk

melaksanakan pemungutan pajak hendaknya tidak memakan biaya pemungutan yang

besar, dan pemungutan ini hendaknya dapat mencegah inflasi. Untuk mencapai efisiensi

pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak guna melakukan pemungutan

pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu

dengan permasalahan pajak yang sulit, karenanya dapat menimbulkan inefisiensi.

e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana.

Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga

masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan sistem pajak yang sederhana yang mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak

terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Sistem pemungutan pajak yang

sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam

membayar pajak.

Dari uraian di atas telah memperjelas kita, bahwa kendatipun pajak adalah

merupakan alat untuk kelangsungan pembangunan suatu negara, namun tidak

diperkenankan diterapkan secara semena-mena dan mengindahkan hak azasi manusia.

Seharusnya tindakan-tindakan fiscus yang secara serta-merta tanpa dilakukan pengujian

akan kebenarannya, dan bahkan harus dilaksanakan walaupun pihak wajib pajak

mengajukan keberatan ataupun banding adalah merupakan tindakan-tindakan yang

sewenang-wenang. Tindakan ini dalam negara hukum seharusnya tidak mendapat

tempat lagi untuk hidup dan berlangsung dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Page 178: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxviii

Tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak yang dapat secara serta merta

menagih dan memungut pajak pada wajib pajak akan lebih banyak menimbulkan

tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang

detourmenent de pouvoir atau penyalah-gunaan wewenang.186

2. Persyaratan sebagai Pejabat Penagih Pajak

PENAGIHAN PAJAK ADALAH SERANGKAIAN TINDAKAN AGAR

PENANGGUNG PAJAK MELUNASI UTANG PAJAK DAN BIAYA PENAGIHAN

PAJAK DENGAN MENEGUR ATAU MEMPERTIMBANGKAN,

MELAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS,

MEMBERITAHUKAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK,

MENGUSULKAN PENCEGAHAN, MELAKSANAKAN PENYITAAN,

MELAKSANAKAN PENYANDERAAN, MENJUAL BARANG YANG TELAH

DISITA.

PENAGIHAN MERUPAKAN SALAH SATU BAGIAN YANG PENTING

DALAM RENCANA KINERJA SUATU KANTOR PELAYANAN PAJAK UNTUK

MEMASUKKAN UANG DARI PAJAK KE KAS NEGARA. KARENA

MERUPAKAN SALAH SATU BAGIAN YANG PENTING, PENAGIHAN HARUS DAPAT MEMBERIKAN MOTIVASI PENINGKATAN KESADARAN DAN

KEPATUHAN WAJIB PAJAK. PENAGIHAN ITU SENDIRI TIMBUL KARENA

ADANYA TUNGGAKAN DARI WAJIB PAJAK. TIDAK SEMUA WAJIB PAJAK

MEMPUNYAI KESADARAN PAJAK, KEPATUHAN PAJAK, DAN DISIPLIN

PAJAK, SEHINGGA DIPERLUKAN SUATU PENGAWASAN. SEBAGAI TINDAK

LANJUT DARI PENGAWASAN TERSEBUT MAKA DILAKUKAN TINDAKAN

PENAGIHAN PAJAK.

DALAM PELAKSANAAN DI LAPANGAN TINDAKAN PENAGIHAN

DILAKUKAN OLEH JURUSITA PAJAK. SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 5

AYAT 1 DAN 2 UU NOMOR19 TAHUN 2000, TUGAS-TUGAS JURUSITA PAJAK DALAM TINDAKAN PENAGIHAN ADALAH :

A. DENGAN SURAT PERINTAH JURUSITA PAJAK MELAKSANAKAN

PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS SESEGERA MUNGKIN.

B. MEMBERITAHUKAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG

PAJAK DENGAN CARA PERNYATAAN DAN MENYERAHKAN

SALINAN DARI SURAT PAKSA.

C. MELAKSANAKAN PENYITAAN ATAS BARANG PENANGGUNG

PAJAK BERDASARKAN SURAT PERINTAH MELAKSANAKAN

PENYITAAN. SEBELUMNYA DALAM LAPORAN PELAKSANAAN

SURAT PAKSA DILAPORKAN JENIS, LETAK DAN TAKSIRAN

HARGA DARI OBJEK SITA DENGAN MEMPERHATIKAN

186

Philipus M. Hadjon et all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the

Indonesian Adminstrative law), Cet.III, Gajah Mada University Press, Bandung, 1994, h.270

Page 179: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxix

TUNGGAKAN PAJAK DAN BIAYA PELAKSANAAN YANG

MUNGKIN AKAN DIKELUARKAN. SEDANGKAN BARANG YANG

DAPAT DISITA ADALAH BARANG MILIK PENANGGUNG PAJAK

YANG BERADA DI TEMPAT TINGGAL, TEMPAT USAHA,

TEMPAT KEDUDUKAN ATAU DI TEMPAT LAINNYA YANG

PENGUASAANNYA BERADA DI TANGAN PIHAK LAIN, ATAU YANG DIBEBANI DENGAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI

JAMINAN PELUNASAN UTANG TERTENTU, MISALNYA

BARANG BERGERAK DAN BARANG TIDAK BERGERAK.

D. MELAKSANAKAN PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN

BERDASARKAN SURAT PERINTAH YANG DIKELUARKAN OLEH

MENTERI KEUANGAN. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN

YANG DILAKSANAKAN OLEH JURUSITA PAJAK HARUS

DIBANTU OLEH APARAT KEPOLISIAN, KEJAKSAAN, KANTOR

IMIGRASI DAN APARAT YANG TERKAIT.

DI DALAM PASAL 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983

SEBAGAIMANA DIUBAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000 MENYEBUTKAN BAHWA SURAT TAGIHAN PAJAK, SURAT

KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR, SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG

BAYAR TAMBAHAN, SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN, SURAT

KEPUTUSAN KEBERATAN, PUTUSAN BANDING, YANG MENYEBABKAN

JUMLAH PAJAK YANG HARUS DIBAYAR BERTAMBAH, ADALAH

MERUPAKAN DASAR DARI PENAGIHAN PAJAK.

DENGAN SISTEM SELF ASSESSMENT, WAJIB PAJAK DIBERI

KEWENANGAN UNTUK MENGHITUNG SENDIRI JUMLAH PAJAK YANG

TERHUTANG. DISINI WAJIB PAJAK DITUNTUT KEJUJURANNYA DALAM

HAL JUMLAH BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH DARI WAJIB

PAJAK DENGAN JUMLAH PAJAK TERHUTANG YANG DILAPORKAN. TINDAKAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DILAKUKAN APABILA

PAJAK YANG TERUTANG SEPERTI YANG TERCANTUM DALAM SURAT

TAGIHAN PAJAK, SURAT KETETAPAN PAJAK ATAU SURAT KETETAPAN

PAJAK TAMBAHAN TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR SETELAH LEWAT

JATUH TEMPO PEMBAYARAN PAJAK YANG BERSANGKUTAN.

SURAT TAGIHAN PAJAK ADALAH SURAT UNTUK MELAKUKAN

TAGIHAN PAJAK DAN/ ATAU SANKSI BERUPA BUNGA DAN DENDA

ADMINISTRASI. SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 14 (1) UNDANG-

UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN

TATA CARA PERPAJAKAN, SURAT TAGIHAN PAJAK DITERBITKAN

APABILA:

A. PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR;

Page 180: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxx

B. DARI HASIL PENELITIAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT

TAHUNAN) TERDAPAT KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK

SEBAGAI AKIBAT SALAH TULIS ATAU SALAH HITUNG;

C. WAJIB PAJAK DIKENAKAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA

DENDA DAN ATAU BUNGA;

D. PENGUSAHA YANG DIKENAKAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) TAHUN

1984 DAN PERUBAHANNYA TETAPI TIDAK MELAPORKAN

KEGIATAN USAHANYA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI

PENGUSAHA KENA PAJAK;

E. PENGUSAHA YANG TIDAK DIKUKUHKAN SEBAGAI

PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TETAPI MEMBUAT FAKTUR

PAJAK;

F. PENGUSAHA YANG TELAH DIKUKUHKAN SEBAGAI

PENGUSAHA KENA PAJAK TIDAK MEMBUAT ATAU MEMBUAT

FAKTUR PAJAK TETAPI TIDAK TEPAT WAKTU ATAU TIDAK

MENGISI SELENGKAPNYA FAKTUR PAJAK.

SURAT TAGIHAN PAJAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG SAMA DENGAN SURAT KETETAPAN PAJAK. SURAT KETETAPAN PAJAK

ADALAH SURAT KEPUTUSAN YANG MENENTUKAN BESARNYA JUMLAH

PAJAK YANG TERUTANG, JUMLAH PENGURANGAN PEMBAYARAN PAJAK,

JUMLAH KEKURANGAN POKOK PAJAK, BESARNYA SANKSI

ADMINISTRASI DAN JUMLAH PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR.

DALAM PASAL 13 UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000, SURAT

KETETAPAN PAJAK DITERBITKAN APABILA:

(1) DALAM JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SESUDAH SAAT

TERUTANG PAJAKNYA, ATAU BERAKHIRNYA MASA PAJAK,

BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, FISKUS DAPAT

MENERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR DALAM HAL SEBAGAI BERIKUT:

A. APABILA BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN ATAU

KETERANGAN LAIN PAJAK YANG TERUTANG TIDAK ATAU

KURANG DIBAYAR;

B. APABILA SURAT PEMBERITAHUAN (SPT TAHUNAN) TIDAK

DISAMPAIKAN DALAM JANGKA WAKTU SEBAGAIMANA

DIMAKSUD DALAM PASAL 3 AYAT (3) DAN TELAH DITEGUR

SECARA TERTULIS TETAPI TIDAK DISAMPAIKAN PADA

WAKTUNYA SEBAGAI MANA DITENTUKAN DALAM SURAT

TEGORAN;

C. APABILA BERDASARKAN HASIL PEMERIKSANAAN

MENGENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TERNYATA TIDAK

Page 181: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxi

SEHARUSNYA DIKOMPENSASIKAN SELISIH LEBIH PAJAK

ATAU TIDAK SEHARUSNYA DIKENAKAN TARIF 0%;

D. APABILA KEWAJIBAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM

PASAL 28 DAN PASAL 29 TIDAK DIPENUHI, SEHINGGA TIDAK

DAPAT DIKETAHUI BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG.

(2) JUMLAH KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR SEBAGAIMANA

DIMAKSUD PADA AYAT (1) HURUF A DITAMBAH SANKSI

ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 2% SEBULAN UNTUK

SELAMA-LAMANYA DUA PULUH EMPAT BULAN, DIHITUNG

SEJAK SAAT TERUTANGNYA PAJAK ATAU BERAKHIRNYA MASA

PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK SAMPAI

DENGAN DITERBITKANNYA SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG

BAYAR.

(3) JUMLAH PAJAK DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG

BAYAR SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1) HURUF B,

HURUF C, DAN HURUF D DITAMBAH DENGAN SANKSI

ADMINISTRASI BERUPA KENAIKAN SEBESAR: A. 50% (LIMA PULUH PERSEN) DARI PAJAK PENGHASILAN

YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR DALAM SATU TAHUN

PAJAK;

B. 100% (SERATUS PERSEN) DARI PAJAK PENGHASILAN YANG

TIDAK ATAU KURANG DIPOTONG, TIDAK ATAU KURANG

DIPUNGUT, TIDAK ATAU KURANG DISETOR, DAN DIPOTONG

ATAU DIPUNGUT TETAPI TIDAK ATAU KURANG

DISETORKAN;

C. 100% (SERATUS PERSEN) DARI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG

MEWAH YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR. (4) BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG YANG DIBERITAHUKAN

OLEH WAJIB PAJAK DALAM SURAT PEMBERITAHUAN (SPT

TAHUNAN) MENJADI PASTI MENURUT KETENTUAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU,

APABILA DALAM JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SESUDAH

SAAT TERUTANGNYA PAJAK ATAU BERAKHIRNYA MASA

PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, TIDAK

DITERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK.

(5) APABILA JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SEBAGAIMANA

DIMAKSUD PADA AYAT (1) TELAH LEWAT, SURAT KETETAPAN

PAJAK KURANG BAYAR TETAP DAPAT DITERBITKAN

DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 48% (EMPAT PULUH DELAPAN PERSEN) DARI JUMLAH PAJAK

Page 182: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxii

YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR, DALAM HAL WAJIB

PAJAK SETELAH JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN TERSEBUT

DIPIDANA, KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIBIDANG

PERPAJAKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG

TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP.

SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN ADALAH SURAT

KEPUTUSAN YANG MENAMBAH JUMLAH PAJAK YANG TELAH

DITETAPKAN. DALAM PASAL 15 UNDANG-UNDANG NOMOR16 TAHUN 2000

SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN DITERBITKAN APABILA

MEMENUHI SYARAT-SYARAT SEBAGAI BERIKUT:

(1) DIREKTUR JENDERAL PAJAK DAPAT MENERBITKAN SURAT

KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN DALAM

JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN SESUDAH SAAT PAJAK

TERUTANG, BERAKHIRNYA MASA PAJAK, BAGIAN TAHUN

PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, APABILA DITEMUKAN DATA

BARU DAN ATAU DATA YANG SEMULA BELUM TERUNGKAP

YANG MENGAKIBATKAN PENAMBAHAN JUMLAH PAJAK YANG TERUTANG.

(2) JUMLAH KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG DALAM

SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN,

DITAMBAH DENGAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA

KENAIKAN SEBESAR 100% (SERATUS PERSEN) DARI JUMLAH

KEKURANGAN PAJAK TERSEBUT.

(3) KENAIKAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (2)

TIDAK DIKENAKAN APABILA SURAT KETETAPAN PAJAK

KURANG BAYAR TAMBAHAN ITU DITERBITKAN

BERDASARKAN KETERANGAN TERTULIS DARI WAJIB PAJAK

ATAS KEHENDAK SENDIRI, DENGAN SYARAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK BELUM MULAI MELAKUKAN TINDAKAN

PEMERIKSAAN.

(4) APABILA JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN

SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (1) TELAH LEWAT,

SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN

TETAP DAPAT DITERBITKAN DITAMBAH SANKSI

ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 48% (EMPAT PULUH

DELAPAN PERSEN) DARI JUMLAH PAJAK YANG TIDAK ATAU

KURANG DIBAYAR, DALAM HAL WAJIB PAJAK SETELAH

JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN TERSEBUT DIPIDANA

KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIBIDANG

PERPAJAKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP.

Page 183: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxiii

3. Jadwal Penagihan Pajak

DENGAN DIKELUARKANNYA SPT, SKPKB, SKPKBT DAN SURAT

KEPUTUSAN PEMBETULAN SEBAGAI AKIBAT DARI TIDAK DILUNASINYA

UTANG PAJAK OLEH PENANGGUNG PAJAK ATAU WAJIB PAJAK, MAKA JIKA UTANG PAJAK YANG TERCANTUM DALAM SPT, SKPKB, SKPKBT DAN

SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN, MASIH BELUM JUGA DILUNASI

DALAM JANGKA WAKTU YANG TELAH DITENTUKAN DALAM SURAT

TERSEBUT MAKA LANGKAH YANG DIAMBIL OLEH APARAT PAJAK

BERIKUTNYA IALAH DENGAN MENGELUARKAN SURAT TEGORAN,

PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS, MENGELUARKAN SURAT

PAKSA, PENYITAAN, PENCEGAHAN ATAU PENYANDERAAN SERTA

PELELANGAN. LANGKAH-LANGKAH TERSEBUT MERUPAKAN PROSES-

PROSES DALAM TINDAKAN PENAGIHAN. UNTUK JELASNYA PROSES-

PROSES TERSEBUT DAPAT DIJELASKAN SEBAGAI BERIKUT:

1. SURAT TEGORAN

SURAT TEGORAN INI DITERBITKAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG TIDAK MELUNASI UTANG PAJAK SETELAH 7 (TUJUH) HARI SEJAK

TANGGAL PELUNASAN ATAU JATUH TEMPO PEMBAYARAN YANG

TERCANTUM DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK YANG DITERIMA

WAJIB PAJAK. ISI DARI SURAT TEGORAN TERSEBUT ADALAH

PERINGATAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK AGAR MAU MELUNASI

UTANG PAJAKNYA DAN JUGA MEMBERITAHUKAN AKIBAT HUKUM

YANG DITIMBULKAN APABILA SURAT TEGORAN TERSEBUT TIDAK

DIINDAHKAN.

2. PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS

PENGERTIAN “SEKETIKA” MENGANDUNG ARTI BAHWA PELUNASAN UTANG PAJAK TERSEBUT HARUS DILUNASI DENGAN SEGERA, DAN

PENGERTIAN “SEKALIGUS” MENGANDUNG ARTI BAHWA PAJAK

TERSEBUT HARUS DILUNASI DALAM WAKTU BERSAMAAN UNTUK

SEMUA JENIS PAJAK YANG TERUTANG. PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA

DAN SEKALIGUS DILAKUKAN BILAMANA TERJADI SUATU PERISTIWA

ATAU KEADAAN YANG MENDESAK DAN UNTUK MENJAGA

KEMUNGKINAN TERJADINYA SESUATU YANG AKAN

MENGAKIBATKAN PAJAK YANG TERHUTANG DARI PENANGGUNG

PAJAK TIDAK DAPAT DITAGIH KARENA :

- PENANGGUNG PAJAK AKAN ATAU BERNIAT UNTUK

MENINGGALKAN INDONESIA UNTUK SELAMANYA;

- PENANGGUNG PAJAK MENGHENTIKAN ATAU MENGECILKAN KEGIATAN PERUSAHAAN, ATAU PEKERJAAN YANG

Page 184: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxiv

DILAKUKANNYA DI INDONESIA ATAUPUN

MEMINDAHTANGANKAN BARANG YANG DIMILIKI ATAU YANG

DIKUASAI;

- TERDAPAT TANDA-TANDA PENANGGUNG PAJAK AKAN ATAU

BERNIAT MEMBUBARKAN BADAN USAHANYA;

- BADAN USAHA AKAN DIBUBARKAN OLEH NEGARA; - TERJADI PENYITAAN ATAS BARANG PENANGGUNG PAJAK OLEH

PIHAK KETIGA ATAU TERDAPAT TANDA-TANDA KEPAILITAN.

SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS

DITERBITKAN SEBELUM PENERBITAN SURAT PAKSA. JADI LOGIKA

HUKUMNYA ADALAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS

DILAKSANAKAN TANPA MENUNGGU TANGGAL JATUH TEMPO

PEMBAYARAN SEBAGAIMANA TERCANTUM DALAM

SKP/SKPKB/SKPKBT/SK.

DALAM PELAKSANAANNYA PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN

SEKALIGUS DILAKUKAN SEBAGAI BERIKUT:

- SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN

SEKALIGUS DITERBITKAN TANPA MEMPERHATIKAN APAKAH WAJIB PAJAK TELAH DIBERIKAN SURAT TEGORAN

ATAU TIDAK;

- SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN

SEKALIGUS DISAMPAIKAN KEPADA WAJIB PAJAK DAN

DALAM WAKTU 2 X 24 JAM WAJIB PAJAK HARUS MELUNASI

SEGALA UTANG PAJAKNYA;

- APABILA DALAM JANGKA WAKTU 2 X 24 JAM WAJIB PAJAK

BELUM MAU MELUNASI UTANG PAJAKNYA, MAKA SEGERA

DILAKUKAN TINDAKAN PENAGIHAN DENGAN SURAT

PAKSA.

3. SURAT PAKSA SURAT PAKSA DALAM ARTI UMUM ADALAH ALAT HUKUM YANG

LAZIMNYA DITERAPKAN DALAM HUKUM PERDATA SETELAH

ADA PUTUSAN HAKIM.187 SEDANGKAN SURAT PAKSA DALAM

ARTI KHUSUS ADALAH SURAT YANG DIKELUARKAN OLEH

PEJABAT DALAM HAL INI YANG BERWENANG DALAM

MENERBITKAN SURAT PAKSA, YANG INTINYA MEMERINTAHKAN

KEPADA WAJIB PAJAK (PENANGGUNG PAJAK) YANG MEMPUNYAI

UTANG PAJAK UNTUK MEMBAYAR UTANG PAJAKNYA DAN

BIAYA PENAGIHAN PAJAK.

187

Moeljo Hadi, Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat dan

Daerah, Cet.IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 76.

Page 185: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxv

AKAN TETAPI DI DALAM HUKUM PAJAK SURAT PAKSA DISEBUT

PARATE EXECUTIE, ARTINYA DAPAT MELAKUKAN EKSEKUSI

LANGSUNG TANPA MELALUI PROSES DIMUKA PENGADILAN.

SELANJUTNYA TENTANG SURAT PAKSA INI AKAN DIBAHAS

DALAM BAB III.

4. PENYITAAN PENGERTIAN PENYITAAN DALAM HUKUM PAJAK PADA INTINYA

SAMA DENGAN SITA EXECUTOIR DALAM HUKUM PERDATA, YAITU:

SERANGKAIAN TINDAKAN DARI JURUSITA PAJAK YANG DIBANTU

OLEH DUA ORANG SAKSI UNTUK MENGUASAI BARANG-BARANG

DARI WAJIB PAJAK, GUNA DIJADIKAN JAMINAN UNTUK MELUNASI

UTANG PAJAK SESUAI DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN PAJAK

YANG BERLAKU.188

PENYITAAN DALAM HUKUM PAJAK MERUPAKAN TINDAK LANJUT

DARI PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA.

PENYITAAN TERPAKSA DILAKUKAN BILAMANA PAJAK YANG

MASIH HARUS DIBAYAR OLEH PENANGGUNG PAJAK TIDAK

DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU 2 X 24 JAM SESUDAH TANGGAL PEMBERITAHUAN DENGAN PERNYATAAN DAN PENYERAHAN

SURAT PAKSA KEPADA WAJIB PAJAK. DALAM PELAKSANAANNYA

PENYITAAN DILAKUKAN OLEH JURUSITA PAJAK DENGAN

DIDAMPINGI OLEH 2 (DUA) ORANG SAKSI. ADAPUN BARANG-

BARANG PENANGGUNG PAJAK YANG DAPAT DISITA ANTARA LAIN:

BARANG BERGERAK

SEMUA BARANG BERGERAK MILIK PENANGGUNG PAJAK

YANG ADA DI RUMAH, DI TOKO, DI TEMPAT USAHA, ATAU

KANTOR DARI PENANGGUNG PAJAK.

BARANG TIDAK BERGERAK

SEMUA BARANG TAK BERGERAK BERUPA RUMAH, KANTOR, PERUSAHAAN DAN SEBAGAINYA, BAIK ITU DITEMPATI

SENDIRI ATAU DIKONTRAKKAN KEPADA PIHAK LAINNYA.

JUGA TERMASUK KEBUN, SAWAH, BUNGALOW DAN

SEBAGAINYA, BAIK ITU DIKERJAKAN SENDIRI ATAU

DISEWAKAN PADA PIHAK LAIN SERTA KAPAL DENGAN

BOBOT TERTENTU.

TUJUAN PENYITAAN ADALAH UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN

PELUNASAN UTANG PAJAK DARI PENANGGUNG PAJAK.

5. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN

PENGERTIAN PENCEGAHAN SEBAGAIMANA TERSEBUT DALAM

PASAL 7 SUB 17 UU NOMOR19 TAHUN 2000 ADALAH LARANGAN

188 Ibid., hal. 49

Page 186: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxvi

YANG BERSIFAT SEMENTARA TERHADAP PENANGGUNG PAJAK

TERTENTU UNTUK KELUAR DARI WILAYAH NEGARA REPUBLIK

INDONESIA. PELAKSANAAN PENCEGAHAN TERHADAP

PENANGGUNG PAJAK DALAM UPAYA PENAGIHAN PAJAK HARUS

MEMENUHI UTANG PAJAK DALAM JUMLAH SEKURANG-

KURANGNYA SEBESAR RP 100.000.000,00 DAN DIRAGUKAN ITIKAD BAIKNYA DALAM MELUNASI UTANG PAJAK. KEPUTUSAN

PENCEGAHAN DITERBITKAN OLEH MENTERI ATAS PERMINTAAN

DARI PEJABAT YANG BERSANGKUTAN.

PENGERTIAN PENYANDERAAN (GIJZELING) ATAU LEBIH DIKENAL

DENGAN SITA BADAN ADALAH PENGEKANGAN SEMENTARA

WAKTU KEBEBASAN DARI PENANGGUNG PAJAK DENGAN

MENEMPATKAN DITEMPAT TERTENTU. PENYANDERAAN

DILAKUKAN BILAMANA PENANGGUNG PAJAK MEMPUNYAI

KEMAMPUAN UNTUK MEMBAYAR PAJAK TETAPI TIDAK MAU

MEMBAYARNYA BAHKAN MENYEMBUNYIKAN HARTA

KEKAYAANNYA SETELAH LEWAT JANGKA WAKTU 14 (EMPAT

BELAS) HARI SEJAK TANGGAL SURAT PAKSA DIBERITAHUKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK, SEDANGKAN BESARNYA UTANG

PAJAK SEKURANG-KURANGNYA RP 100.000.000,00 DAN DIRAGUKAN

ITIKAD BAIKNYA DALAM MELUNASI UTANG PAJAK.

SURAT PERINTAH PENYANDERAAN DITERBITKAN OLEH PEJABAT

SETEMPAT SETELAH MENDAPAT IZIN TERTULIS DARI MENTERI

KEUANGAN. SURAT PERINTAH TERSEBUT DISAMPAIKAN OLEH

JURUSITA PAJAK DENGAN DIDAMPINGI 2 (DUA) ORANG SAKSI DAN

DAPAT MEMINTA BANTUAN PIHAK KEPOLISIAN ATAU KEJAKSAAN.

4. PELELANGAN

PELELANGAN ADALAH PENJUALAN BARANG MILIK PENANGGUNG

PAJAK DIMUKA UMUM DENGAN CARA PENAWARAN HARGA SECARA LISAN DAN ATAU TERTULIS MELALUI USAHA

PENGUMPULAN PEMINAT ATAU CALON PEMBELI. LELANG ADALAH

SEBAGAI AKIBAT DARI UTANG PAJAK DAN ATAU BIAYA

PENAGIHAN PAJAK TIDAK DILUNASI SETELAH DILAKSANAKAN

PENYITAAN. DALAM HAL PELAKSANAANNYA LELANG

DILAKSANAKAN MELALUI KANTOR LELANG. LELANG TETAP

DILAKSANAKAN WALAUPUN KEBERATAN YANG DIAJUKAN OLEH

PENANGGUNG PAJAK BELUM MEMPEROLEH PUTUSAN DARI

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, DAN JUGA LELANG DAPAT

DILAKSANAKAN MESKIPUN SI PENANGGUNG PAJAK TIDAK HADIR.

HASIL DARI PELELANGAN DIGUNAKAN LEBIH DAHULU UNTUK

MEMBAYAR BIAYA PENAGIHAN DAN SISANYA UNTUK MEMBAYAR UTANG PAJAK. APABILA LELANG SUDAH MENCAPAI JUMLAH YANG

Page 187: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxvii

CUKUP UNTUK MELUNASI BIAYA PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG

PAJAK PELAKSANAAN LELANG DIHENTIKAN, WALAUPUN BARANG

YANG AKAN DILELANG MASIH ADA. JIKA ADA SISA BARANG DAN

KELEBIHAN UANG HASIL LELANG DIKEMBALIKAN KEPADA

PENANGGUNG PAJAK SEGERA SETELAH PELAKSANAAN LELANG.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENAGIHAN PAJAK

1. Tindakan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

MEMBAHAS TENTANG SURAT PAKSA, MAKA SURAT PAKSA

DAPAT DITINJAU DARI 2 (DUA) SEGI, YAITU SEGI ISINYA DAN SEGI

KARAKTERISTIKNYA. DITINJAU DARI SEGI ISINYA, SESUAI DENGAN

PASAL 7 AYAT 1 DAN 2 UU NOMOR19 TAHUN 2000, SURAT PAKSA

MEMUAT HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT :

- DIAWALI DENGAN KATA-KATA YANG BERBUNYI “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

- NAMA WAJIB PAJAK ATAU PENANGGUNG PAJAK, KETERANGAN CUKUP TENTANG ALASAN YANG MENJADI DASAR PENAGIHAN,

PERINTAH MEMBAYAR.

- DIKELUARKAN ATAU DITANDATANGANI OLEH PEJABAT

BERWENANG YANG DITUNJUK OLEH MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA.

SEDANGKAN DITINJAU DARI SEGI KARAKTERISTIKNYA ADALAH

SEBAGAI BERIKUT :

- MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG SAMA DENGAN GROSSE

PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PERDATA YANG TIDAK

DAPAT DIMINTA BANDING LAGI PADA HAKIM ATASANNYA. - MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG PASTI (IN KRACHT VAN

GEWIJSDE).

- MEMPUNYAI FUNGSI GANDA YAITU MENAGIH PAJAK DAN

MENAGIH BUKAN PAJAK ATAU BIAYA-BIAYA DALAM PROSES

PENAGIHAN.

- DAPAT DILANJUTKAN DENGAN TINDAKAN PENYITAAN ATAU

PENYANDERAAN/ PENCEGAHAN.189

PERLU DIPAHAMI OLEH PENANGGUNG PAJAK BAHWA DENGAN

SURAT PAKSA, JURUSITA PAJAK DAPAT MELAKUKAN EKSEKUSI

LANGSUNG BAIK ITU BERUPA TINDAKAN PENYITAAN MAUPUN

189

Moeljo Hadi, Op.Cit, hal. 23

Page 188: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxviii

PELAKSANAAN LELANG. KHUSUS PELELANGAN JURUSITA PAJAK

MENYERAHKANNYA KEPADA KANTOR LELANG YANG BERWENANG

MELAKSANAKAN LELANG.

SURAT PAKSA MEMPUNYAI KEKUATAN EXECUTORIAL KARENA

MEPUNYAI TITLE BERUPA KEPALA (IRAH-IRAH) “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, INI SAMA DENGAN KEPUTUSAN PENGADILAN DAN GROSSE AKTE NOTARIS YANG JUGA

BERKEPALA DEMIKIAN.190

SURAT PAKSA DITERBITKAN FISKUS (APARAT PAJAK) KEPADA

PARA WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI TUNGGAKAN PAJAK. WAJIB

PAJAK YANG MEMPUNYAI TUNGGAKAN PAJAK DISEBUT PENANGGUNG

PAJAK, SEDANGKAN TUNGGAKAN PAJAK SELANJUTNYA DISEBUT UTANG

PAJAK YANG HARUS DILUNASI SESUAI JANGKA WAKTU YANG TELAH

DITETAPKAN OLEH UNDANG-UNDANG. UTANG PAJAK YANG TIDAK

DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU YANG DITENTUKAN AKAN

DITERBITKAN SURAT PAKSA DENGAN TERLEBIH DAHULU DITERBITKAN

SURAT TEGORAN ATAU SURAT PERINGATAN.

TERHADAP PENANGGUNG PAJAK YANG TELAH DILAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS JUGA DITERBITKAN SURAT

PAKSA DAN TERHADAP PENANGGUNG PAJAK YANG MENGAJUKAN

PERSETUJUAN ANGSURAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK DAN

SAMPAI JANGKA WAKTU PEMBAYARAN MASIH JUGA BELUM

MELUNASINYA SESUAI DENGAN KEPUTUSAN YANG DIKELUARKAN OLEH

KANTOR PELAYANAN PAJAK.

PROSEDUR PENERBITAN SURAT PAKSA PADA KANTOR

PELAYANAN PAJAK PAMEKASAN DIAWALI DENGAN PELAKSANAANNYA

DIBIDANG TATA USAHA SEBELUM SURAT PAKSA TERSEBUT

DISAMPAIKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK. INI PENTING SEKALI

KARENA SURAT PAKSA ADALAH SALAH SATU PRODUK HUKUM DARI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, JANGAN SAMPAI SURAT PAKSA

DIKELUARKAN BEGITU SAJA TANPA ADA DASARNYA BAIK ITU DASAR

HUKUMNYA ATAUPUN DASAR ADMINISTRASINYA.

DASAR HUKUM DARI PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

SUDAH JELAS YAITU UNDANG-UNDANG NOMOR19 TAHUN 2000,

SEDANGKAN DASAR ADMINISTRASINYA DAPAT DIURAIKAN SEBAGAI

BERIKUT :

- SURAT PAKSA DIKELUARKAN SETELAH LEWAT 21 (DUA PULUH

SATU) HARI SEJAK TANGGAL SURAT TEGORAN YANG

SEBELUMNYA TELAH DIKIRIM;

190

Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank,

CetI, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.34

Page 189: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxix

- TANGGAL DAN NOMOR SURAT PAKSA DICATAT DALAM BUKU

REGISTER SURAT PAKSA, BUKU REGISTER PENGAWASAN

PENAGIHAN, DAN BUKU REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN;

- SELANJUTNYA SURAT PAKSA DISERAHKAN KEPADA JURUSITA

PAJAK YANG MEMPUNYAI KEWENANGAN UNTUK

MELAKSANAKAN TUGAS PENAGIHAN; - JURUSITA PAJAK YANG TELAH MENERIMA PENYERAHAN SURAT

PAKSA, HARUS :

MENCATATNYA DALAM BUKU PRODUKSI HARIAN DAN BUKU

REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN;

MENYAMPAIKAN, MEMBERITAHUKAN DAN MENYERAHKAN

SALINAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK;

MEMBUAT LAPORAN PELAKSANAAN SURAT PAKSA DAN

MEMBUAT BERITA ACARA PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA;

PELAKSANAAN SURAT PAKSA DICATAT DALAM BUKU

REGISTER PENGAWASAN PENAGIHAN DAN BUKU REGISTER

TINDAKAN PENAGIHAN SERTA SURAT PAKSA DIMASUKKAN DALAM BERKAS PENAGIHAN WAJIB PAJAK YANG

BERSANGKUTAN.

2. Upaya Hukum terhadap Penagihan dengan Surat Paksa

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan juncto Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan keberatan, banding serta gugatan.

Keberatan dan banding serta gugatan Wajib Pajak terhadap fiscus atas

ketetapan pajak adalah merupakan jaminan bagi wajib pajak untuk menggunakan haknya yang dijamin oleh undang-undang pajak.

191 Khusus untuk banding dan gugatan

di bidang pajak adalah termasuk kewenangan Pengadilan Pajak untuk memeriksa,

mengadili dan memutuskannya, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang

Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada bab II dan bab III.

Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 belum lahir, maka segala

sengketa di bidang perpajakan dilakukan dan di bawah kewenangan Pengadilan Tata

Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan

Tata Usaha Negara. Namun ketika lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997

Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sengketa pajak menjadi

kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan putusannya bersifat final.

191

Bohari. H., Op.Cit., h.133

Page 190: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxc

Kondisi hukum tersebut, mendapat respon dari kalangan hukum termasuk para

praktisi hukum. Hal itu dikarenakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukanlah

lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman yaitu pasal 10 tentang 4 (empat) Lingkungan Peradilan, sehingga bentuk

keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak boleh bersifat final dan hal ini

terbukti dari adanya perkara atas Surat Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan kasasi dan peradilan kasasi menyatakan berwenang mengadili sengketa

pajak yang telah diputuskan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Pengadilan Pajak dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman tidak disebutkan sebagai bagian lembaga

peradilan yang dapat mengadili, memeriksa, dan memutus sesuatu perkara. Sehingga

perlu dicari dasar pembenar tentang apakah Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga

peradilan.

Untuk menjawab masalah di atas, maka perlu dianalisis terlebih dahulu tentang

Pengadilan pajak apakah telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu peradilan. Adapun

unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai suatu lembaga peradilan adalah:

a. adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan

pada suatu persoalan; b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit;

c. adanya sekurang-kurangnya dua pihak;

d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.192

Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasan

kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan

terhadap sengketa pajak (pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002).

Kemudian hukum pajak yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan

pada suatu persoalan atau sengketa pajak adalah segala ketentuan di bidang

perpajakan, misalnya Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan di ubah dengan Undang-undang

192Ibid..

Page 191: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxci

Nomor 16 Tahun 2000. Dengan demikian Pengadilan pajak telah memenuhi unsur

pertama sebagai lembaga peradilan.

Kewenangan Pengadilan Pajak adalah di bidang sengketa pajak, jadi di sini

telah ditetapkan tentang kewenangan Pengadilan Pajak secara khusus hanya untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan sengketa di bidang pajak. Ini termasuk bentuk

sengketa konkrit yaitu sengketa di bidang pajak, artinya Pengadilan Pajak tidak dapat

mengadili sengketa lain selain sengketa pajak. Untuk itu, unsur kedua dari unsur-unsur

sebagai lembaga peradilan telah terpenuhi.

Pengadilan Pajak hanya dapat mengadili sedikitnya dua pihak yang

bersengketa di bidang pajak, yang salah satunya harus Direktorat Jenderal pajak selaku

Fiscus atau pemungut pajak. Bilamana hanya ada satu pihak saja yaitu Fiscus saja tanpa

ada pihak Wajib Pajak, maka tidak dapat diadili di Pengadilan pajak. Unsur ini dapat

dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak merupakan lembaga

peradilan.

Aparatur yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yaitu hakim di

lingkungan Pengadilan Pajak, sedangkan aparatur hakim di lain lingkungan selain Pengadilan Pajak, misalnya hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan

Tata Usaha Negara, atau hakim Pengadilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk

memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa pajak. Dengan demikian

ke empat unsur sebagai ciri lembaga peradilan telah dapat dibuktikan oleh Pengadilan

Pajak, karenanya Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan.

Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 25

ayat 1 diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur

Jenderal Pajak atas surat:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan pajak Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang

Pengadilan Pajak ialah sifat dari pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di

sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut

pajak (fiscus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.

Pengadilan Pajak yaitu lembaga peradilan yang berwenang melakukan penyelesaian semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak, namun khusus untuk

Page 192: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcii

memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pajak tentang banding dan

gugatannya. Sedangkan untuk keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak hanya dapat

diajukan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memutuskannya.

Khusus untuk keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia

dengan mengajukan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau

dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan

sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud di

atas. Kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak

dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.

Bilamana suatu keberatan tidak diajukan sebagaimana diuraikan di atas,

sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, maka surat keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan.

Kendati demikian, bilamana Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan

Pajak, tidaklah menunda kewajiban Wajib Pajak untuk membayar pajak.

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama duabelas bulan sejak

tanggal Surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang

diajukan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan keberatan tambahan atau penjelasan tertulis.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima

seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang

terutang. Namun bilamana Direktur Jenderal Pajak setelah jangka waktu dua belas bulan

sejak tanggal surat keberatan diterima tidak memberikan keputusannya, maka keberatan

yang diajukan tersebut dianggap diterima.

Guna lebih sistematis selanjutnya akan dikemukakan beberapa persoalan yang

berhubungan dengan masalah keberatan, yaitu tentang:

a. pokok perselisihan;

b. pemasukan surat keberatan.

Perselisihan itu ialah mengenai dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, jadi bukan jumlah pajaknya meskipun jumlah

utang, pajak tergantung pada besarnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.

Dalam pajak penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bersihnya. Adapun

penghasilan itu dibedakan atau dua yaitu laba usaha (business profit) dan penghasilan

lain-lain (other income).193

Pada Pajak Penghasilan misalnya, ada suatu kewajiban bahwa bagi wajib pajak

untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam SPT itu oleh Wajib Pajak

yang bersangkutan diharuskan oleh undang-undang untuk memberitahukan jumlah

193

John Hutagaol, Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia

dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I, Salemba Empat, Jakarta, 2000, h.21

Page 193: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxciii

yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak yang terhutang.

Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan mengisi

SPT itu secara lengkap, misalnya bagi badan usaha yang menjadi wajib pajak

diwajibkan melengkapi SPT itu dengan laporan keuangan berupa neraca dan

perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk

menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Akan tetapi hal itu tidak selalu

dilakukan, ada yang disebabkan karena ketidak-jujuran wajib pajak, yang dengan

sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan

dengan cara pengisian yang tidak sebenarnya.

Dalam hal demikian Direktur Jenderal pajak tidak terikat dengan Surat

Pemberitahuan itu dan selalu berwenang untuk mengadakan penelitian dan penilaian ini

berarti bahwa Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari Surat Pemberitahuan

Wajib Pajak, dan penyimpangan ini tentunya dilakukan dengan alasan yang kuat.

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian dan penilaian Surat

Pemberitahuan (SPT) yang dimasukkan oleh wajib pajak, dan dari hasil pemeriksaan

terbukti bahwa pengisian Surat Pemberitahuan itu adalah tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak

berwenang menetapkan pajak secara jabatan.

Pada umumnya penetapan pajak secara jabatan ini adalah jauh lebih besar dari

jumlah perkiraan oleh wajib pajak sendiri sewaktu mengajukan Surat Pemberitahuannya. Oleh karena penetapan pajak secara jabatan ini dianggap tidak adil

karena pajaknya terlalu tinggi, maka wajib pajak biasanya mengajukan keberatan pada

Direktur Jenderal Pajak sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan

pajak tersebut.

Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk satu jenis

pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun 2001 dan 2000. Keberatan

terhadap surat keterangan pajak penghasilan tahun 2001 dan tahun 2000 tersebut, harus

diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak

tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa batas waktu pengajuan surat

keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak

atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Page 194: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxciv

Adapun maksud penentuan tenggang waktu tiga bulan tersebut adalah supaya

wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat

keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut

tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasan wajib pajak

(force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat

dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal pajak (Penjelasan pasal 25 ayat 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat

Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan

melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi

kepentingan wajib pajak. Tanda bukti penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga

digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu

dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas

bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus

memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk

melakukan tindakan penagihan. Kententuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar

wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan

penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan.

Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi

tentang isi surat keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian

secara tersirat, namun kalau diteliti lebih jauh maka nampak tersirat lima hal yang

merupakan syarat minimum yaitu:

a. Penyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak;

b. Jenis pajaknya;

c. Tahun pajak;

d. Nomor pokok Wajib Pajak;

e. Nama dan tanda tangan wajib pajak. Pada dasarnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib

pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun

alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun

demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan

pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu.

Surat keberatan yang tidak disertai alasan adalah lemah, karena itu besar

kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undang-undang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah

Page 195: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcv

berkisar pada dasar-dasar pengenalan pajak telah ditetapkan oleh kepada instansi pajak

setempat. Sebagai contoh pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Undang-undang

Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 serta

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, maka penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri

dari:

a. Penghasilan dari pekerjaan;

b. Penghasilan dari kegiatan usaha;

c. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;

d. Pengasilan lain-lain.

Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi

wajib pajak tertentu. Wajib Pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk

memasukkan surat pemberitahuan. Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak

berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi

karena ketidak-jujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian

fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang

melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk

mengadakan penilian ini berarti Direktorat Pajak (fiscus) dapat menyimpang dari

surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak

ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat

pemberitahuan dari Wajib Pajak.

Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat

digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan jika wajib pajak mengajukan

keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidak-benaran penetapan pajak secara

sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak.

Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatannya

ditolak dan wajib pajak boleh mengajukan banding pada banding pada Pengadilan

Pajak. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan

Page 196: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcvi

penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk

memberikan keputusannya.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa:

1. menerima seluruhnya atau sebagian;

2. menolak seluruhnya keberatan.

Apabila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan pemohon dapat

diterima dan karena itu pajak dikurangkan.

Jika surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat

membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang

pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.

Wajib pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh

Direktur Jenderal pajak mengenai keberatannya itu, dapat mengajukan banding pada

Pengadilan Pajak menurut ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak.

Adapun banding dapat diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia

kepada Pengadilan Pajak, dengan ketentuan tidak boleh melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding tersebut, kecuali diatur lain dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu tiga bulan tersebut adalah

bersifat mengikat, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasan pemohon banding

misalnya force majeure.

Setiap permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap satu Keputusan,

dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan pula tanggal diterimanya

surat keputusan yang dimohonkan banding tersebut. Di samping ada kewajiban untuk

mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohon banding, pemohon

banding juga wajib melampirkan salinan keputusan yang dimaksud.

Syarat yang bersifat mutlak dipenuhi oleh pemohon banding adalah bilamana

banding itu diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding itu hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%

(lima puluh persen).

Banding dapat diajukan wajib pajaksendiri, ahli warisnya, seorang pengurus,

atau kuasa hukumnya. Namun apabila selama proses banding, pemohon banding

meninggal dunia, maka pemohonan banding tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli

warisnya, atau kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon

banding dalam pailit.

Bilamana selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan,

peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud

dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena

penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud.

Permohonan banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud di atas, dihapus dari

Page 197: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcvii

daftar sengketa dengan penetapan ketua, dalam hal surat pernyataan pencabutan

diajukan sebelum sidang dilaksanakan. Bilamana pencabutan diajukan dalam tahap

pemeriksaan sengketanya, maka pencabutan tersebut harus atas persetujuan pihak

terbanding, yang nantinya akan dibuatkan putusan hakim yang memeriksa perkaranya

bahwa perkaranya telah di cabut.

Terhadap banding yang permohonannya dicabut melalui penetapan ataupun putusan, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan satu kali saja. Artinya setelah

permohonan banding terhadap Surat Ketetapan Pajak dicabut, maka terhadap Surat

Ketetapan Pajak dimaksud tidak dapat diajukan permohonan banding lagi.

Bilamana Wajib Pajak tidak puas pula terhadap Keputusan Banding, maka ia

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak secara tertulis dengan Bahasa

Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan

yang digugat. Pengajuan gugatan tersebut hanya dapat diajukan satu surat keputusan

yang digugat.

Gugatan pada Pengadilan Pajak terhadap Surat Keputusan sebagaimana

dimaksud di atas, dapat diajukan oleh Penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau

kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal

diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila selam proses gugatan, penggugat meninggal dunia,

gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau

pengampunya dalam hal penggugat pailit.

Bilamana selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan,

peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud

dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena

penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Bilamana pihak penggugat tidak berkehendak melanjutkan perkaranya, maka

penggugat dapat membuat pernyataan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan

Pajak. Gugatan yang dicabut tersebut baru akan dihapus dari daftar sengketa, jika

terdapat penetapan ketua bilamana surat pernyataan pencabutan itu diajukan sebelum sidang perkaranya belum dimulai dan penghapusan dari daftar perkara akan didasarkan

pada putusan hakim yang mengadilinya, bila pernyataan pencabutan itu dilakukan pada

saat perkara sedang berjalan, sehingga perlu persetujuan pihak tergugat pula.

Setelah gugatan tersebut dicabut, maka terhadap perkara dimaksud tidak dapat

diajukan perkara gugatan lagi. Jadi Wajib Pajak hanya mempunyai hak satu kali saja

untuk mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak atau surat keputusan banding,

sebab bilamana perkara itu diajukan kembali, maka perkara gugatan demikian akan

ditolak.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan penulis dalam bab penuntut ini adalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

Page 198: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcviii

c. Pajak dapat dilakukan penagihan terhadap wajib pajak, bilamana wajib

pajak telah menyetor Surat Pemberitahuan, atau pihak fiscus telah

menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Barang, Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan dan lainnya. Atas dasar kekuatan surat-surat

tersebut, maka pihak fiscus dapat melakukan tindakan-tindakan hukum,

seperti penagihan pajak dengan Surat Paksa. d. Akibat hukum terhadap penagihan pajak adalah lahirnya kewajiban bagi

wajib pajak untuk segera melakukan pembayaran pajak. Sebab bilamana

penagihan pajak tersebut tidak diindahkan oleh wajib pajak, fiscus dapat

memaksa wajib pajak dengan Surat Paksa guna wajib pajak membayar

hutang pajaknya. Adapun bilamana pihak wajib pajak menyatakan

keberatan atas penagihan pajak tersebut, maka ia dapat mengajukan

keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengeluarkan surat

tagihan pajak tersebut. Wajib pajak juga diberikan hak untuk menolak

keputusan keberatan dari Kantor Pelayanan Pajak dengan mengajukan

banding ke Pengadilan Pajak, namun syaratnya wajib pajak harus

membayar separuh dari hutang pajak yang telah ditetapkan.

SARAN

Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait

untuk segera melakukan tindakan-tindakan:

a. Penagihan pajak hendaknya harus memperhatikan hak azasi manusia dari

Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak agar diberikan kebebasan dengan waktu yang

cukup guna menyatakan keberatan ataupun mengajukan upaya hukum;

b. Pengadilan Pajak jangan dijadikan alat oleh fiscus guna mencapai tujuan fiscus

untuk memaksa Wajib Pajak guna melakukan pembayaran hutang pajak,

artinya Pengadilan Pajak haruslah diberikan kewenangan untuk menangguhkan

pembayaran hutang pajak bilamana terdapat cukup alasan sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dalam sengketa pajak.

Page 199: Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis …fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-8.pdf · Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian

Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcix