kerusakan neurologi akibat bilirubin

Upload: irah-tuanaya

Post on 11-Oct-2015

82 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

journal translate

TRANSCRIPT

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    1/15

    KERUSAKAN NEUROLOGI AKIBAT BILIRUBIN MEKANISME DAN

    PENDEKATAN TATALAKSANA

    Jon F. Watchko, MD., dan Claudio Tiribelli, MD, PhD

    Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi pada neonatus yang menghasilkan

    ikterus terjadi pada sekitar 85% bayi baru lahir. Walaupun keadaan ini hanya

    bersifat jinak dan sementara, kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat

    mengakibatkan perkembangan cedera otak serius pada sebagian kecil neonatus.

    Ensefalopati bilirubin akut dapat berkembang menjadi kernikterus (ensefalopati

    bilirubin kronis), sebuah kondisi cacat neurologis permanen yang secara klasik

    dicirikan dengan gangguan pergerakan ekstrapiramidal, choreoathetosis, ataupun

    keduanya; pendengaran berkurang karena gangguan spektrum neuropati

    auditorius; dan parese okulomotor. Sekuele SSP ini mencerminkan topografi SSP

    regional dari neuropatologi akibat bilirubin, yaitu globus palidus, nukleus

    subtalamikus, nukleus batang otak, neuron hipocampus CA2, dan sel Purkinje

    serebral.

    Kernikterus sebagai masalah di seluruh dunia

    Meskipun kernikterus terus dilaporkan di seluruh dunia, tetap terdapat

    perbedaan secara geografis. Di Amerika Utara dan Eropa, perkiraan insiden

    kernikterus berkisar dari 0,4 menjadi 2,7 kasus per 100.000 kelahiran antara

    neonatus cukup bulan dan lebih bulan ( 35 minggu kehamilan). Pada beberapa

    negara berkembang, insiden ikterus berat kira-kira sebesar 100 kali lebih tinggi.

    Pada daerah seperti ini, sekitar 3% neonatus masuk rumah sakit dengan gejala

    ensefalopati bilirubin akut, dan kematian akibat kernikterus sama frekuensinya

    dengan kematian akibat tetanus. Resiko hiperbilirubinemia neonatus dan

    kernikterus tidak dimasukkan ke dalam kategori beban penyakit global (global

    burden disease) oleh Bank Dunia dan World Health Organization (WHO);

    penaksiran yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan.

    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap insiden kernikterus di negara

    berkembang adalah skrining yang tidak adekuat untuk ikterus neonatus;

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    2/15

    ketidakmampuan menghitung kadar serum bilirubin total dengan mudah; dan

    prevalensi tinggi kondisi kesehatan yang meningkatkan resiko hiperbilirubinemia

    berat atau neurotoksisitas bilirubin, seperti defisiensi glukosa-6-fosfat

    dehidrogenase, Rh isoimunisasi, dan sepsis. Termasuk juga yaitu terlambatnya

    merujuk neonatus yang ikterus ke RS dengan fasilitas memadai; pemakaian

    fototerapi yang kurang sumber daya dan listrik; dan keterbatasan donor darah

    segar, tempat penyediaan darah yang aman, atau gabungan keduanya untuk

    mendukung proses transfusi darah pada bayi dengan kadar bilirubin yang kritis

    atau toksisitas bilirubin akut. Masalah ini memerlukan respon multifaktorial. Jika,

    seandainya, kadar serum bilirubin total dapat dihitung secara akurat tanpa bantuan

    laboratorium, kadar bilirubin toksik dapat teridentifikasi lebih cepat.

    Pengembangan alat tes bilirubin yang akurat dan murah telah dilaporkan akhir-

    akhir ini, namun pengujian pada penelitian skala besar masih dibutuhkan.

    Peran kaskade molekuler dan selular dalam neurotoksisitas akibat bilirubin

    masih belum jelas digambarkan. Ulasan ini menggambarkan kerusakan otak

    akibat bilirubin dan pengetahuan mengenai patogenesis dan pencegahannya.

    Bilirubin mana yang neurotoksik?

    Penatalaksanaan terhadap bayi dengan hiperbilirubinemia untuk mencegah

    toksisitas bilirubin akut semata-mata hanya berdasarkan kadar bilirubin total.

    Kadar ini terbatas untuk memprediksi gangguan neurologis dan kenikterus pada

    bayi dengan hiperbilirubinemia; kesimpulan ini telah dikonfirmasi dalam

    penelitian terbaru.

    Kadar serum bilirubin total adalah kadar bilirubin yang telah terikat

    albumin. Bilirubin yang tidak terikat dengan albumin dihitung berdasarkan kadar

    bebasnya dalam darah.

    Selama tahun-tahun terakhir, terdapat ketertarikan mengenai pengukuran

    bilirubin bebas dan kegunaannya dalam memprediksi cedera neurologik akibat

    bilirubin. Bilirubin bebas ada dalam keseimbangan dinamin dengan jaringan

    ekstravaskular, termasuk SSP, dan dia memberikan ukuran jumlah bilirubin relatif

    yang akan keluar dari vaskuler pada serum bilirubin total yang ada, konsentrasi

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    3/15

    albumin, dan konstanta bilirubin yang terikat albumin (Gambar 1). Dua nilai yang

    terakhir sangat bervariasi di antara bayi-bayi baru lahir. Kapasitas bilirubin terikat

    albumin diturunkan pada bayi dengan kondisi tidak stabil dan juga diturunkan

    melalui komponen yang bersaing dan melalui kadar serum albumin yang rendah.

    Meskipun konsetrasi albumin yang rendah meningkatkan afinitas ikatan bilirubin

    dan albumin in vitro, efek ini menjadi penting hanya ketika kadar albumin sangat

    rendah, yang tidak khas terlihat pada bayi baru lahir. Sesuai dengan itu, kadar

    bilirubin bebas harus menjadi indeks resiko neurotoksisitas daripada kadar

    bilirubin total.

    Meskipun bilirubin bebas memiliki efek biologis di otak, efek ini tidak

    dapat menyebabkan resiko ensefalopati bilirubin. Neurotoksisitas akibat bilirubin

    bergantung pada interaksi kompleks antara kadar dan durasi paparan SSP terhadap

    bilirubin bebas dan sifat sel innate dalam perkembangan SSP yang dapat

    membuat suatu predisposisi atau proteksi melawan cedera neuronal akibat

    bilirubin.

    Mengukur kadar bilirubin bebas pada SSP menimbulkan tantangan dan

    batasan, memberikan kemungkinan adanya oksidasi bilirubin dalam SSP dan

    efluks bilirubin melewati sawar darah otak (Gambar 1).

    Terdapat sedikit kesepakatan mengenai apa yang mengangkat ambang

    neurotoksik bilirubin bebas (yaitu konsentrasi bilirubin bebas menghasilkan

    perubahan fungsi seluler yang dapat memuncak pada cedera sel permanen dan

    kematian sel). Sebagai tambahan, data dibatasi pada nilai bilirubin bebas yang

    harus digunakan sebagai ambang standart untuk tatalaksana awal. Bahkan susunan

    data untuk penelitian kohort pada bayi dengan berat lahir rendah dalam Eunice

    Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development

    Neonatal Network phototherapy trialtidak digunakan untuk memperkirakan kadar

    bilirubin bebas plasma. Dalam penelitian itu, pengukuran hasilnya tidak

    dikhususkan untuk bilirubin, cedera SSP lebih banyak, dan setengah bayi

    meninggal atau memiliki gangguan perkembangan neurologis. Usia kehamilan

    dan berat lahir tidak digunakan sebagai prediktor kuat munculnya hasil yang

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    4/15

    buruk; faktor-faktor ini juga dihubungkan dengan perbedaan afinitas ikatan

    bilirubin dengan albumin dalam berbagai perkembangan usia.

    Tatalaksana klinis juga mempengaruhi resiko toksisitas SSP akibat bilirubin.

    Contohnya, fotoisomer, yang terhitung lebih dari 25% bilirubin total dihasilkan

    selama fototerapi, dapat mempengaruhi ikatan bilirubin-albumin, mengubah kadar

    bilirubin bebas. Tampilan dan luasnya pengaruh fotoisomer masih kurang jelas.

    Rasio bilirubin:albumin

    Pengukuran bilirubin bebas di laboratorium tidak tersedia secara luas, dan

    teknik yang sering dipakai yaitu metode peroksidase, membutuhkan sampel cair,

    menghasilkan sebuah kadar bilirubin bebas yang meragukan.

    Telah diusulkan wakil untuk menaksir kadar bilirubin bebas dalam darah

    dan digunakan juga untuk memprediksi cedera SSP akibat bilirubin. Rasio serum

    bilirubin total (dalam mg/dL) dengan serum albumin (dalam gr/dL) memiliki

    hubungan dalam menghitung kadar bilirubin bebas pada bayi baru lahir dan telah

    digunakan sebagai wakil pengukuran; pendekatan ini disahkan oleh American

    Academy of Pediatrics. Namun, bukti awal dari penelitian prospektif dan acak

    oleh Billirubin Albumin Ratio Trial di Netherlands mengindikasikan bahwa

    perkembangan neuronal dan mental pada bayi prematur diobati berdasarkan rasio

    serum bilirubin total:albumin bersama dengan kadar serum bilirubin total yang

    tidak tinggi. Penemuan ini menegaskan pentingnya teknik peningkatan,

    standarisasi, dan validasi untuk mengukur bilirubin bebas sebagaimana

    pentingnya untuk melaksanakan percobaan untuk membuat definisi dan ambang

    tatalaksana berdasarkan kadar bilirubin bebas.

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    5/15

    Gambar 1. Hubungan kadar bilirubin bebas dengan bilirubin terikat albumin pada ruang

    vaskuler dengan disposisi bilirubin bebas dan klirensnya dari SSP

    Sirkulasi bilirubin bebas ada dalam keseimbangan dinamik dengan bilirubin terikat albumin sebagaimanaditentukan melalui konsentrasi albumin plasma; konstanta ikatan bilirubin-albumin k1, k2, dan k3; dan kadar totalbilirubin serum. Nilai-nilai ini sangat bervariasi di antara bayi-bayi baru lahir,dan kapasitas ikatan bilirubin-albumin menurun pada bayi dengan kondisi tidak stabil,seperti halnya melalui tampilan komponen bersaingdankadar albumin serum yang rendah. Meskipun kadar albumin rendah meningkatkan afinitas ikatan albumin-bilirubin,efek ini mencolok hanya ketika kadar albumin tidak secara umum terlihat. Albumin khasnya terikat padalebih dari 1 molekul bilirubin pada rasio bilirubin:albumin lebih dari 0,5 dan bilirubin bebas meningkat lebihlambat daripada ikatan tunggal. Manusia juga memiliki albumin polimorfism, dan ikatan konstan lebih lanjutmerumitkan perhitungan ini. Sirkulasi bilirubin bebas memiliki keseimbangan dengan jaringan ekstravaskuler,dan masuknya bilirubin bebas ke dalam SSP terjadi berdasarkan gradien konsentrasi dari ruang vaskuler.Diduga pembawa bilirubin seperti ATP-binding cassette transporter B1 (ABCB1) pada sawar darah otak danATP-binding cassette transporter C1 (ABCC1) pada sawar darah cairan serebrospinal yang mungkinmemfasilitasi efluks bilirubin dari SSP dan klirens bilirubin dari otak. Bilirubin bebas di SSP dapat jugadijelaskan melalui oksidasi bilirubin dan sitokrom P-450 isoenzim atau mungkin berikatan dengan membran sel.

    Kapasitas pengikatan jaringan bervariasi di antara bayi-bayi dan ditingkatkan oleh asidosis; ada jugakekurangan kapasitas pengikatan jaringan pada bayi prematur daripada bayi cukup bulan.

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    6/15

    Gambaran patobiologis dari cedera SSP akibat bilirubin

    Bilirubin bebas merangsang beragam kejadian seluler dan molekuler yang

    berakhir pada neurotoksisitas. Beberapa aspek tentang kejadian tersebut

    dijelaskan di bawah ini.

    Respon regional dan sel spesifik terhadap bilirubin di SSP

    Topografi regional SSP dan kealamian sel spesifik pada cedera SSP akibat

    bilirubin sangat menarik, karena terutama berdampak hanya dalam subgrup

    neuron pada area tertentu di ganglia basalis, batang otak, dan serebelum. Pola ini

    secara khusus lebih jelas dari gambaran neuropatologi hipoksia, iskemik, dan

    cedera otak hiperoksik pada bayi.Penelitian telah menunjukkan respon regional

    dan sel terhadap bahaya peningkatan bilirubin, menunjukkan kerumitan yang

    lebih hebat mengenai neurotoksisitas akibat bilirubin daripada yang sebelumnya

    diketahui.

    Kealamian regio khusus terhadap kernikterus dapat mencerminkan

    perbedaan paparan bilirubin neurotoksik karena perbedaan ambilan bilirubin,

    ikatan jaringan, dan klirens atau sensitivitas sel yang berbeda terhadap cedera.

    Ambilan bilirubin SSP pasif dan sama, dengan bilirubin tak terkonjugasi lipofilik

    siap menyebar ke seluruh hubungan darah dan otak yang sulit. Dengan cara yang

    sama, ada sedikit bukti untuk mengusulkan perbedaan regional dalam ikatan

    bilirubin dan jaringan dalam SSP.

    Bilirubin tampaknya menjadi jelas masuk dalam SSP atas pertolongan

    efluks pembawa pada sawar darah otak dan sawar darah cairan serebrospinal,

    metabolisme seluler, atau keduanya. Pompa efluks bilirubin-membran plasma SSP

    diduga termasuk setidaknya 2 tipe pembawa : ATP-binding cassette transporter

    B1 (ABCB1) glikoprotein-P, yang berlokasi di sisi luminal sel endotel kapiler dari

    sawar darah otak, dan ATP-binding cassette transporter C1 (ABCC1)multidrug

    resistance-associated protein 1 (MRP1), yang berlokasi di sisi basolateral epitel

    pleksus koroidal dari sawar darah cairan serebrospinal. Pada hewan dan manusia,

    ABCB1 dan ABCC1 adalah pembawa ABC yang sangat berlimpah pada

    hubungannya dalam perkembangan SSP dan SSP yang matang. Meskipun peran

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    7/15

    pembawa ini, khususnya ABCC1 MRP1, jelas dalam in vitro, tidak ada bukti

    bahwa ada perbedaan regio dalam tanda ABCB1 atau ABCC1. Sehingga, secara

    keseluruhan efeknya dalam klirens bilirubin tidak didefinisikan.

    Enzim untuk metabolisme bilirubin di otak, seperti sitokrom P-450 (CYP),

    mungkin memiliki peran dalam pengaturan toksisitas bilirubin di serebral.

    Oksidasi bilirubin tak terkonjugasi dikatalisis oleh CYP monooksigenase 1a1,

    1a2, dan 2a3. Penelitian terbaru menunjukkan hubungan yang terbalik antara isi

    bilirubin otak dan ekspresi RNA messenger CYP, mengusulkan bahwa enzim

    CYP memiliki peran dalam melindungi area tertentu dari toksisitas otak. Memang,

    pada penelitian menggunakan tikus Gunn (model kernikterus), serebelum dan

    kolikulus inferior, dua regio yang secara khas terpengaruh dalam kernikterus,

    mengalami penundaan induksi enzim CYP, dibandingkan dengan induksi pada

    korteks serebral dan kolikulus superior, area yang secara khas tidak terpengaruh.

    Perbedaan yang mencolok dalam akumulasi bilirubin tak terkonjugasi antara

    kolikulus inferior dan kolikulus superior tidak mungkin karena perbedaan suplai

    darah atau sawar darah otak dalam mekanisme seluler selama perpindahan

    bilirubin tak terkonjugasi.

    Dalam penelitian in vitro menunjukkan pentingnya respon neuronal dan

    non-neuronal terhadap bilirubin tak terkonjugasi. Penemuan ini mengusulkan

    bahwa ada interaksi tambahan dan mekanisme yang rumit dari toksisitas bilirubin

    (Gambar 2).

    Efek bilirubin pada saraf

    Bilirubin sangat gemar terikat pada membran sel, khususnya membran yang

    kaya akan mielin, membuat neuron menjadi sasaran empuk toksisitas bilirubin.

    Paparan bilirubin tak terkonjugasi pada neuron secara in vitro sering bersama

    dengan perubahan makroskopik, termasuk penurunan arborisasi dendrit dan

    aksonal, penurunan ekstensi dan ramifikasi neurite, penurunan proliferasi sel, dan

    meningkatkan apoptosis sel. Bilirubin menunda progres S-fase dan

    mengakibatkan terhambatnya siklus sel pada SH-SY5Y sel neuroblastoma. Efek

    antiproliferatif ini menunjukkan bahwa hipoplasia yang dicirikan dari model

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    8/15

    kernikterus mungkin dihasilkan dari berhentinya siklus sel. Mengubah proliferasi

    sel mungkin kurang baik berdampak pada migrasi sel dan pembentukan sinaps.

    Gangguan biokimia yang dirangsang oleh bilirubin termasuk oksidasi

    protein, peroksidasi lipid, penurunan komposisi glutation seluler, peningkatan

    kadar laktat dehidrogenase, dan pelepasan nitric oxide (melalui aktivasi sintesis

    nitric oxide neuronal oleh reseptor N-methyl-D-aspartate). Sehingga, stres

    oksidatif akibat bilirubin dan perubahan mitokondrial mungkin menjadi nexus

    cedera neuronal. Bahaya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam penelitian in vitro

    bersamaan dengan penurunan pemakaian oksigen, kegagalan energi selular,

    penurunan potensial membran mitokondrial, peningkatan akumulasi kalsium

    intraselular, dan aktivasi jalur apoptosis mitokondria, dengan aktivasi caspase3

    dan pemecahan poli(adenosine difosfat-ribose) polimerase.

    Selain itu, N-acethylcysteine, sebuah prekursor glutation, dan asam

    glycoursodeoxycholic, sebuah antioksidan asam empedu, membalas perubahan

    buruk dalam status redox, membatasi stres oksidatif akibat bilirubin tak

    terkonjugasi in vitro, dan meningkatkan pertahanan hidup sel. Bilirubin juga dapat

    merangsang mekanisme protektif, seperti yang ditunjukkan in vitro melalui up-

    regulationtanda dan aktivasi gen Na+-independent cystine-glutamate exchanger

    system Xc(-) (SLC7A11 dan SLC3A2) menghasilkan ambilan sistin lebih besar

    dan peningkatan komponen glutation intraseluler dengan konsekuen proteksi dari

    cedera oksidatif. Apakah efeknya berupa proteksi atau racun tergantung dari

    konsentrasi bilirubin; ini juga menunjukkan astrosit, dimana up-regulation dan

    realokasi intraseluler dari pembawa ABCC1 MRP1 efektif pada konsentrasi

    bilirubin tak terkonjugasi rendah namun gagal pada bilirubin tak terkonjugasi

    konsentrasi tinggi (>140 nM).

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    9/15

    Gambar 2. Tipe-tipe Sel dan Proses Metabolik yang Disebabkan oleh Bilirubin pada CNS

    Efek utama dari bilirubin pada neuron adalah menurunkan konsumsi oksigen dan meningkatkan pelepasankalsium dan caspase 3, yang menghasilkan apoptosis. Terdapat juga penurunan penjalaran dendrit dan axon,yang disebabkan kerusakan intraseluler. Pola yang sama terjadi pada oligodendrositik, dengan terjadinyapeningkatan apoptosis, kerusakan redox state(penekanan oksidatif), dan penurunan sintesis dari mielin. Reaksimikroglia terhadap efek toksis berhubungan dengan bilirubin, dengan cara peningkatan pelepasan sitokinproinflamasi dan aktifitas metaloproteinase sebagai sel tipe fagosit. Pola proinflamasi yang sama terjadi padaastrosit, dengan tingginya pelepasa glutamat dan menghasilkan apoptosis. Pada waktu yang sama, sel-seldapat menurunkan konsentrasi intraseluler terhadap bilirubin, salah satunya antara dengan penekanan pigmenmelewati transporter ABC atau dengan meningkatkan susunan produk lesi dari toksik oksidasi bilirubin,melewati bilirubin oksidase, enzym sitokrom P-450 (1a1 dan 1a2, khususnya), atau keduanya. Responnyaberupa efek protektif, dengan segala hasil dari kerusakan sel seperti; sekali kosentrasi intraseluler terhadapbilirubin meningkat, maka akan terjadi toksik (masih diteliti), metabolisme polimorfik mengawali akibatneurotoksik. Bentuk awal cPARP membelah menjadi poli(adenosin difosfat-ribosa) polimerase, TNF alfa, danresistensi TER transelular.

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    10/15

    Respon Sel Non Neural

    Sel non neural pada CNS juga menunjukan sesitivitas terhadap bilirubin tak

    terkonjugasi; seperti sel astrosit, mikroglia, oligodendrosit, sel endotelial

    mikrocaskular otak, barier otak, dan sel epitelial pleksus koroideus pada lapisan

    CSF. Respon dari sel-sel ini dapat memegang peranan pada neurotoksisitas akibat

    bilirubin.

    Kultur astrosit monotipe primer bereaksi terhadap kadar bilirubin tak

    terkonjugasi dengan mengsekresi mediator inflamasi (interleukin-1b, TNFa,

    interleukin-6 melewati transduksi nitrogen-aktivasi protein kinase, dan nuklear

    faktor), melepaskan glutamat dan menjadi apoptosis. Sebagai catatan, astrosit

    kurang sensitif dibandingkan neuron terhadap kerusakan yang berasal dari

    bilirubin tak terkonjugasi. Mirip dengan astrosit, mikroglia secara langsung

    mengaktivasi bilirubin tak terkonjugasi ketika dikultur secara monotipe primer,

    mirip fenotipe fagosit, mensekresi sitokin proinflamasi TNFa dan interleukin 1b,

    dan menunjukan peningkatan aktifitas matriks metaloproteinase 2 dan 9. Kultur

    astrosit dan mikroglia menunjukan bukti dari respon cepat. Pendektesian sitokin

    Imunoreaktif pada kultur menunjukan bahwa itu mungkin berupa sebuah respon

    neuroinflamasi kuat pada enselopati bilirubin.

    Oligodendrositik juga berpengaruh terhadap toksisitas bilirubin tak

    terkonjugasi, dengan menurunkan fungsi mitokondria, meningkatkan kadar reaktif

    oxygen species, dan meningkatkan caspase 3- yang sebagai mediasi apoptosis

    pada bilirubin tak terkunjugasi in vitro. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

    menentukan perbandingan kerusakan oligodendrosit, sntesis myelin, dan fungsi

    axon yang seharusnya yang terjadi pada area otak yang secara umum disebabkan

    oleh kernicterus.

    Pada pengekspresian ABCB1, kultur sel endotel vaskuler otak berespon

    terhadap kadar membahayakan dari bilirubin tak terkonjugasi dengan peningkatan

    awal dari caveolae, caveolin-1, vascular endothelial growth factors (VEGF), dan

    pelepasan reseptor VEGF, yang diikuti dengan penurunan tight-junction protein

    expression. Bagaimanapun, perubahan lapisan darah-otak tidak diobservasi secara

    in vivo selama hiperbilirubinemia akut berat. Ketika terekspos konsentrasi

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    11/15

    bilirubin yang tinggi, sel epitelial pleksus koroideus menunjukan regulasi

    pelepasan ABCC1 dalam in vito dan in vivotanpa perubahan lapisan.

    Penelitian Kolkultur

    Walaupun kultur sel monotipik memiliki karakteristik respon sel spesifik

    terhadap bilirubin tak terkonjugasi, tetapi kuran informasi dibandingkan penelitian

    kolkultur, yang mana mengizinkan eksplorasi dari interaksi sel yang munkin

    berpengaruh terhadap homeostasis jaringan dan keseluruhan fungsi CNS. Sebagai

    catatan, neuron dan sel glia mempunyai respon yang berbeda terhadap toksisitas

    bilirubin tak terkonjugasi. Sebagai contoh, sel glia,dapat memodulasi penyerangan

    neuron dan menjadi terganggu, yang ditunjukan pada penelitian kolkultur terbaru

    dimana astrosit membatasi efek toksik bilirubin tak terkonjugasi pada neuron

    dengan meningkatkan kelansungan hidup neuron, mencegah apoptosis sel, dan

    memngembangkan ekstensi dan percabangan neuron. Bagaimanapun, teknik

    kolkultur tidak sepenuhnya mengreplikasi kompleks dan pengaruh berbagai tipe

    sel pada CNS.

    PENGGUNAAN MODEL HEWAN UNTUK BILIRUBIN ENSELOPATI

    Penggunaan hewan in vivo diperlukan agar dapat sepenuhnya mengetahui

    efek dari bilirubin tak terkonjugasi. Yang penting adalah penggambaran penelitian

    in vivo dengan observasi terkini bahwa asam tauroursodeoxycholic, suatu zat

    yang menunjukan efek sitoprotektif terhadap toksisitas bilirubin, ternyata

    bukanlah neuroprotektif, tapi mempunyai efek antioksidan.

    Dua model binatang pengerat untuk hiperbilirubinemia dan kernicterus:

    tikus (Gunn rat) dan sejenis tikus lainnya. Gunn rat muncul secara tiba-tiba tahun

    1936 secara berkoloni. Dasar genetiknya dikenal sebagai Ugtla, yaitu mutasi satu

    rantai delesi yang hasilnyadapat menginaktif enzim bilirubin terkonjugasi dan

    hiperbilirubinemia. Perbedaannya, tikus lainnya, secara genetik buatan,

    menunjukan kodon stop prematur pada gen Ugtlal; hasilnya adalah enzim yang

    tidak aktif. Keadaan yang buruk dari kedua gen yang mirip ini adalah,

    kemampuan untuk bertahan. Ikterus berat berkembang pada mutasi tikus

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    12/15

    homogenik sesaat setelah lahir, dan kemudian mati sepuluh hari kemudian,

    sedangkan Gunn ratdengan hiperbilirubinemia akut, tetap bertahan hidup. Kedua

    model hewan tersebut menunjukan perubahan serebelum yang signifikan.

    Perbedaan yang mencolok pada neurotoksisitas adalah pemahaman yang masih

    kurang dan harus diteliti lebih baik tentang kerusakan dan kematian CNS.

    Penyelidikan ini sekiranya dapat menunjukan informasi tentang bagaimana cara

    mencegah dan mengobati efek toksis dari bilirubin tak terkonjugasi.

    PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN HIPERBILIRUBINEA BERAT

    Penjelasan tentang intervensi terapi hiperbilirubinae pada bayi dicantumkan

    pada tabel 1. Fototerapi dan transfusi merupakan bagian dari terapi. Keefektifitas

    berdasarkan pembetasan dan penurunan kosentrasi bilirubin tak terkonjugasi

    menjadi level nontoksik. Kemajuan pada fototerapi ditandai dengan penurunan

    keperluan transfusi. Walaupun fototerapi pada umumnya berdasarkan intervensi

    yang baik dan telah digunakan secara klinis untuk beberapa lama, tapi

    pengembangan penelitian memusatkan tentang potensial efek toksik pada

    fototerapi berlebihan pada neonatal dengan berat badan lahir sangat rendah.

    Intervensi lainnya didesain untuk membatasi produksi bilirubin,

    mempertinggi metabolisme dan ekskresi, atau keduanya (tabel 1). Dari intervensi

    seperti, inhibisi metalloporphyrin pada oksigenasi heme, pembatasan produksi

    bilirubin, adalah hal-hal terbaik dalam penurunan kadar bilirubin. Penggunaan

    timah mesoporphyrin telah diteliti lebih dari 800 bayi, dan sangat efektif untuk

    menurunkan kadar bilirubin serum total dan pemakaian fototerapi pada neonatal.

    Bagaimanapun juga, percobaan keamanan harus disempurnakan sebelum terapi

    ini disetujui oleh Food and Drug Administration. Identifikasi dan evaluasi dari

    keamanan metalloporphyrin dengan durasi yang singkat dan tanpa deposisi

    jaringan jangka panjang masih dalam pengembangan.

    Agen farmakologi yang berperan sebagai neuroproteksi dengan cara efek

    langsung pada bilirubin tak terkonjugasi di CNS juga merupakan pilihan yang

    menarik. Beberapa penelitian yang termasuk diantaranya: the Gunn rat show that

    minocycline, a second-generation tetracycline with broad neuroprotective

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    13/15

    properties, prevents bilirubin-induced cerebellar hypoplasia, unconjugated

    bilirubininduced abnormalitiesin brain-stem auditory evoked potentials, and

    overt signs of neuromotor dysfunction such as ataxia, lethargy, failure of

    locomotion, and feeding difficulty. Perhatian pada minocycline, bagaimanapun

    juga mencakup pengetahuan dan tetrasiklin lainnya juga tidak aman dalam

    penggunaan pada neonatal, karena efek samping gangguan pertumbuhan tulang

    dan gigi yang permanen. Karakteristik dari mekanisme efek proteksi pada

    minosiklin berlawanan dengan imbas dari bilirubin berupa kerusakan otak yang

    dapat diidentifikasi sebagai target baru untuk intervensi terapi dan pengembangan

    alternatif terapi untuk investigasi klinis berikutnya.

    Tabel 1. Intervensi Terapi Untuk Mengontrol Hiperbilirubinemia dan Pencegahan

    Enselopati Bilirubin Akut

    Fototerapi

    Penanganan ini digunakan untuk mencegah kadar bilirubin mencapai batas

    yang membahayakan, dan juga untuk menurunkan perlunya transfusi

    Meningkatkan kadar bilirubin darah total, meskipun memerlukan

    fototerapi yang intensif, disarankan untuk proses hemolitik yang dimulai

    dari hiperbilirubinemia.

    Fototerapi pada umumnya aman, namun, sebuah penelitian menunjukan

    potensi toksisitas dari fototerapi yang berlebihan pada neonatal dengan

    berat badan lahir sangat rendah.

    Transfusi

    Volume ganda pada transfusi digunakan untuk mencegah dan mengoreksi

    kadar membahayakan dari hiperbilirubinemia dan menurunkan resiko

    kernicterus

    The American Academy of Pediatricsmerekomendasikan transfusi segera

    ketika gejala dari stase akut enselopati bilirubin (hipertonik, arching,

    retrocollis, opistotonus, demam, dan high-pitched cry) yang menunjukan

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    14/15

    bayi lahir dengan inkterus, tanpa memperhatikan kadar total bilirubin

    serum, dan bahkan jika kadar total bilirubin darah menurun. Kasus bertahap menyarankan bahwa terapi yang berlebihan pada stase

    akut enselopati bilirubin, termasuk opitotonus dan rectrocollis, dapat

    menyebabkan kerusakan neurologi dan gangguan perkembangan neurologi

    bagi beberapa bayi.

    Perbedaan yang ditemukan pada penelitian sebelumnya, opistotonus dan

    rectrocollis tidak selalu merupakan penanda dari cedera yang permanen;

    penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui seberapa sering kasus

    ini terjadi.

    Imun-globulin intravena

    Produk dari darah memiliki aktifitas biologis untuk melawan sistem imun

    yang berperan untuk proses hemodialisis dan bisa jadi berguna pada

    penyakit direct Coombs-positive Hemolytic.

    Mekanismenya tidak jelas, namun termasukFc receptors

    Kadar Karboksihemoglobin menurun pada penyakit direct Coombs-

    positive Hemolytic yang berkaitan dengan rendahnya efek imunoglobulin

    pada kadar total bilirubin darah.

    Cara ini termasuk sederhana, tetapi secara klinis mempunya efek

    signifikan pada menurunnya keperluan transfusi darah.

    Terapi farmakologi

    Heme oksigenase inhibitor seperti metalloporphyrins menurunkan

    produksi bilirubin.

    Fenobarbital meningkatkan klirens bilirubin dengan mengaktivasi modul

    peningkatan fenobarbital pada awal sekuens UGT1A1, yang mana akan

    meningkatkan bilirubin terkonjugasi.

    Konsep penelitian telah menunjukan bahawa agen farmakologi dapat

    secara langsung meproteksi neuron dari toksisitas bilirubin. Sebagai

  • 5/21/2018 Kerusakan Neurologi Akibat Bilirubin

    15/15

    contoh, minosiklin telah diteliti memiliki efek protektif terhadap disfungsi

    neuromotor akibat bilirubin, hipoplasia serebelum, dan abnormalitas jalanpendengaran pada Gunn rat.

    KESIMPULAN

    Imbas bilirubin terhadap kerusakan otak, berlanjut menjadi faktor resiko

    yang penting pada neonatal. Berdasarkan progres dari karakteristik molekular,

    biokimia, sistem seluler yang berkaitan dengan bilirubin neurotoksik, dan

    peningkatan interaksi sel non neural. Kompleks multifaktor dari cedera berlanjut

    menjadi penemuan terbaru dari batas minimum kadar neurotoksik pada bilirubin

    dan prediksi yang akurat dari bilirubin enselopati secara klinis.