jurnal tanah air edisi wto & masa depan gerakan sosial

91

Upload: andreas-iswinarto

Post on 15-Mar-2016

235 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Jurnal Tanah Air, edisi kali ini mengangkat tema "WTO dan masa depan gerakan sosial dan lingkungan di Indonesia". Redaksi memilih tema ini, salah satunya sebagai bagian dari respon masyarakat sipil terhadap pertemuan KTM WTO ke 9 di Bali. Akhir kata, selamat membaca, menikmati tulisan-tulisan dan menyelami pikiran-pikiran yang tertuang didalam jurnal ini.

TRANSCRIPT

REDAKSI

Redaksi Jurnal Tanah Air

Penanggung Jawab : Abetnego TariganDewan Redaksi : Khalisah Khalid, Nurhidaya, Ahmad SH,

Pius Ginng, Dedi Rah, M. Islah,Zenzi Suhadi, Tumpak Hutabarat

Redaktur Pelaksana : Irhash AhmadiEditor : Khalisah Khalid, Irhash AhmadiDesign & LDesign & Layout : Yogan Jaya Negara

Penerbit : Walhi EknasDistributor : Suhardi, Harno

Wahana Lingkungan Hidup IndonesiaJl. Tegalparang Utara No. 14

Mampang-Jakarta Selatan 12790T/F : +6221 79193363/7941673

E: IE: [email protected]: www.walhi.or.id

REDAKSI

Redaksi Jurnal Tanah Air

Daar Isi

i Pengantar

ii Ancaman APEC dan WTO Serta Masa Depan Gerakan Lingkungan Hidup

1 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat.

17 Mengkrisi Keterlibatan Indonesia Dalam Forum Kerjasama Ekonomi Internasional:KKasus Keketuaan Indonesia Dalam APEC Dan WTO

32 Konferensi WTO di Bali :Momentum Membangun Alternaf

39 Membaca MP3EI Sebagai Peraampasan Ruang Hidup Rakyat Dan Reproduksi Generasi Buruh

60 Tak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli

67 Ekonomi Hijau Memperburuk Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Kata Pengantar

Abetnego Tarigan Direktur Eksekuf Walhi Nasional

Kata Pengantar Pada tahun 2013 ini Indonesia menjadi panggung dunia dengan menjadi tuan rumah dari 3 per-temuan besar internaonal pada tahun 2013 secara berturut-turut yakni Rapat Tingkat Tinggi PBB tentang Pencapaian Pembangunan Paska 2015 yang dilaksanakan pada bulan Maret 2013, Pertemuan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang telah berlangsung dari tanggal 1-8 Oktober 2013, Konfer-ensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang akan berlangsung 3-6 Desember 2013. Bagi Pemerintahan Indonesia agenda diakhir tahun 2013 konon adalah momentum menunjukan peran lebih di level internasional. Menjadi tuan rumah yang sempurna bagi pertemuan-pertemuan internasional tersebut. Indonesia telah memposisikan dirinya sendiri sebagai pemain kunci dunia, se-menjak menjadi anggota dari G-20. Dengan ngkat “pertumbuhan ekonomi” yang stabil ditengah kri-sisi yang berkepanjangan (Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, mengatakan bahwa per-tumbuhan ekonomi pada tahun 2013 sebesar 6.4%), yang diasumsikan dengan “peningkatan kelas menengah”. Indonesia telah menjadi role model negeri yang berhasil menjalankan agenda global saat ini. Hasil pertemuan APEC telah kita ketahui bersama, dan bagaimana Presiden SBY telah menunjuk-kan secara vulgar bahwa dia merepresentasikan dirinya sebagai “bagian pemasaran” dari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dengan atas nama pertumbuhan ekonomi dan kesejaher-aan rakyat. Perhelatan pertemuan WTO akan segera berlangsung, dan hampir sebagian besar kita dapat menduga bahwa pertemuan tersebut akan terus melanggengkan eksploitasi besar-basaran baik terhadap manusia maupun alam. Jurnal Tanah Air edisi kali ini mengangkat tema “ancaman APEC dan WTO serta masa depan gera-kan sosial dan lingkungan hidup”. Tema ini sengaja diangkat untuk membantu kita, organisasi masyarakat sipil lebih jauh menyelami dan memahami makna dan agenda yang didorong dalam per-temuan APEC dan WTO. Tentu sebagian besar dari kita sudah mengetahuinya, namun kiranya ulasan sub-sub tema yang dituliskan para penulis dari berbagai latar belakang pengetahuan dan pengalaman baik secara akademis maupun praktek langsung di lapangan, dapat membantu kita mendalami lebih jauh bacaan-bacaan yang sesungguhnya saling terhubung dari berbagai sudut pandang, sehingga kedepan masyarakat sipil dapat lebih tajam menyoro dan mengintervensi agenda internasional ini bagi kepenngan penyelamatan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, dan tentu saja bagi kepenngan kehidupan berbangsa. Selamat Membaca!

Salam Adil LestariAbetnego Tarigan

i

“Ancaman APEC dan WTO serta Masa Depan Gerakan Sosial dan Lingkungan Hidup”.

Khalisah Khalid Dari Ruangan Redaksi Jurnal Tanah Air Ada hal yang membuat cemas membayang-kan masa depan bangsa ini, sebuah dogma pembangunan dengan jargon pertumbuhan (growth) yang menempatkan eksploitasi sumber daya alam dan manusia sebagai “mesin” penggerak dari sebuah sistem ekonomi polik kapitalisme. Seolah-olah tanpa eksploitasi maka semua hal akan berhen. Padahal dibalik eksploitasi tercipta dan terbentuk berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Kecemasan tersebut bukan tanpa alasan, karena dalam RPJM secara tegas menyebutkan bahwa andalan pertumbuhan ekonomi Indone-sia bertumpu pada sumber daya alam. Kon-sekuensinya sudah dapat diduga, lingkungan hidup akan dikorbankan, sementara disisi yang lain ruang hidup rakyat terus dirampas. Generasi yang akan datang pada gilirannya harusnya menanggung beban ekologis dari jargon pembangunan yang mengejar pertum-buhan. Krisis kapitalisme dunia dewasa ini telah memasuki babak baru yang mengarah pada krisis yang semakin dalam, meluas dan membu-ruk. Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi di AS pada tahun 2008 akibat sub-prime mortgage, telah menyebabkan depresi ekonomi dunia yang berat hingga sekarang. DampakDampak krisis ini telah membangkrutkan perusahaan-perusahaan besar dunia, menger-ingkan likuiditas bank-bank besar mengham-burkan dana publik dalam jumlah besar dan secara langsung memerosotkan ekonomi dunia ke lembah stagnasi.

Dengan klaim krisis global sebagai legimas-inya, sistem ekonomi polik yang sesungguhnya telah gagal melahirkan kesejahteraan dan keadi-lan bagi warga dunia, justru menggunakan krisis global sebagai sebuah opportunity bagi mereka dengan restrukturisasi diri, di tengah berbagai kecaman atas kegagalan pelaksanaannya. Bagi Pemerintahan Indonesia agenda diakhir tahun 2013 adalah momentum menunjukan peran lebih di level internasional. Menjadi tuan rumah yang sempurna bagi pertemuan-pertemuan internasional tersebut. Indonesia telah memposisikan dirinya sendiri sebagai pemain kunci dunia, semenjak menjadi anggota dari G-20. Dengan ngkat “pertumbuhan ekonomi” yang stabil ditengah krisisi yang berkepanjangan (Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, mengatakan bahwa pertum-buhan ekonomi pada tahun 2013 sebesar 6.4%), yang diasumsikan dengan “peningkatan kelas menengah”. Indonesia telah menjadi role model negeri yang berhasil menjalankan agenda global saat ini. Maka daklah mengherankan, dalam per-temuan APEC lalu, Presiden SBY mendeklarasi-kan dirinya sebagai tenaga “pemasaran” bagi jualan besar-besaran (baca; obral murah, jual habis) terhadap sumber daya alam Indonesia. Tentulah kita sudah menduga, hal yang sama akan terjadi dalam pertemuan WTO yang akan berlangsung pada bulan Desember 2013. berlangsung pada bulan Desember 2013. Yang menarik, ekonomi hijau digunakan untuk menaikkan komodifikasi, privasasi, dan finansialisasi alam, sekaligus pemusatan kendali atas alam oleh elite-elite bisnis dan elite polik dunia ke level yang lebih nggi. ii

“Ancaman APEC dan WTO serta Masa Depan Gerakan Sosial dan Lingkungan Hidup”.

Khalisah Khalid Dari Ruangan Redaksi Jurnal Tanah AirModel ekonomi hijau yang sedang dibicarakan saat ini semakin memfasilitasi penguasaan dan monopoli atas sumber daya penng kehidupan, seper air, keragaman haya, atmosfer, hutan, penguasaan lahan secara besar-besaran, bibit, dan sarana produksi lainnya. Kebijakan Liberal-isasi perdagangan dengan pengurangan tarif beabea masuk sejalan dengan agenda MP3EI. Pada pembukaan KTT para CEO APEC 2013 (APEC CEO Summit) SBY menyampaikan perlunya untuk meneruskan liberalisasi perdagangan di anggota Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di masa depan. “Apa yang sudah didapatdidapat rakyat Indonesia sejak tahun berdi-rinya APEC pada bulan Nopember 1989 di Can-berra, Australia. Liberalisasi hari ini semakin memperkuat dominasi Investor asing untuk memonopoli perdagangan dan SDA di Indone-sia. Jurnal tanah air edisi ini dimaksudkan untuk memeriksa secara mendalam peran dan posisi lembaga internasional khususnya WTO ada APEC. Seper apa implikasi terhadap rakyat In-donesia, bagaimana negara/pemerintah se-mesnya menyikapi agenda ini, baik dalam level internasional maupun dalam negeri? APAPEC dan WTO adalah dua dari sekian ban-yaknya pertemuan global. Seluruh kesepakatan yang ada tersebut memberikan dampak bagi kepenngan negara masing-masing. Dr. Azra Sayeed, seorang akademisi dari Pakistan yang concern dengan isu-isu rural dan perempuan menuliskan bagaimana sejarah dan perkembangan WTO dengan berbagai perlua-

san agenda liberalisasi di dunia dan bagaimana praktek buruk yang telah dijalankan oleh WTO selama ini. Ironinya, praktek buruk ini difasilitasi oleh negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah Indonesia. Inilah yang dikrisi oleh Syamsul Hadi,Ph.D, pengajar ekonomi polik interna-sional di departemen Hubungan Internasional FISIP UI, terkait dengan keterlibatan Indonesia dalam forum kerjasama ekonomi internasional yangyang coba melihat dalam sudut pandang “keketuaan” Indonesia dalam APEC dan WTO. Alih-alih menyelesaikan krisis global, kapital-isme justru semakin kuat mencengkram bak gurita dan ironinya juga tak mampu menyelesai-kan krisis muldimensi ini. Tulisan dari Ario mengingatkan kita bahwa jargon pembangunan dan penyelesaian krisis hanyalah ilusi, karena dak mungkin ada pembangunan, terlebih kea-dilan, jika ada dominasi dan monopoli. Laksmi Savitri dan Zuhdi S. Sang menjelaskan dalam arkelnya membaca MP3EI sebagai per-ampasan ruang hidup rakyat dan reproduksi generasi buruh, dengan sangat gamblang ba-gaimana wujud dari kekuatan sistem ekonomi polik global yang dimainkan dalam forum inter-nasional seper APEC dan WTO mencengkram melaluimelalui proyek MP3EI sebagai sebuah perluasan kapital, MP3EI memiliki hubungan yang erat dengan rejim perdagangan global di bawah APEC dan WTO. Pada akhirnya, apa yang diskenariokan dalam konteks global dengan balutan kemasan krisis-nya seper krisis energi, krisis pangan dan iklim, diturunkan dalam praktek ekspansi perkebunan

iii

“Ancaman APEC dan WTO serta Masa Depan Gerakan Sosial dan Lingkungan Hidup”.

Khalisah Khalid Dari Ruangan Redaksi Jurnal Tanah Airmonokultur di berbagai wilayah di Indonesia antara lain Kalimantan Tengah, sebagaimana yang diceritakan Ari Rompas dalam tulisannya yang berjudul memperburuk krisis iklim, mem-perkuat monopoli lahan. Dengan bacaan dari berbagai sudut pan-dang ini, Riza Damanik, mencoba mengajak kita untuk menjadikan pertemuan WTO ini sebagai sebuah momentum untuk membangun kekua-tan alternaf yang kita miliki, dan sekaligus menjadi momentum untuk mengkonsolidasi-kan kekuatan gerakan masyarakat sipil dan termasuk gerakan lingkungan hidup. Ajakan ini tentu dak segampang membalik telapak tangan, fragmentasi gerakan terus membayangi langkah organisasi masyarakat sipil.

Namun disinilah tantangannya, bagaimana gerakan lingkungan dan organisasi masyarakat sipil untuk menemukan dan meggali kekuatan al-ternaf yang dimiliki oleh rakyat. Jika mau dika-takan sebagai sebuah momentum, maka disini-lah meletakkan agenda ini sebagai agenda ber-sama yang harus diperjuangkan. Ini sekaligus menjadi sebuah kesempatan untuk meyakinkan negara ini bahwa jika negara percaya rakyatnya punya kekuatan, niscaya negeri ini bisa lepas dari kungkungan dan jebakan sistem ekonomi polik kapitalisme yang sesungguhnya telah gagal, dan bisa mengatakan#Junk WTO

iv

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan

WTO is considered to be one of the strongest pillars of globalizaon,advancing the capitalist mode of producon and cemenng the base for an open market economy through policies of privazaon, deregulaon, and trade liberalizaon. WTO blatantly denies the historical structural causes of inequity inherited by the third world countries as a result of plundering and

extoron of colonialists during the colonial period.The The colonial era is marked by deliberate destrucon of local instuons

including local industry and entrenching of a feudal elite base which has on one hand led to a systemic lack of industrial development.

The presence of a strong brutal feudal elite class and its central posion in government policy making structures to this day has cemennga semi-colonial semi-feudal base in the third world countries.

The WTO in itself is based on a complex legal text with more than 60 agreements, annexes, and understandings. Two of those agreements are TRIPs, and AoA (Agreement of Agriculture). The TRIPs agreement in the WTO creacreates havoc in all walks of life, as it controls access to technology whether it is related to health, educaon, energy, communicaons, and transport among others. TRIPs have far reaching impacts on the enre society. But the impact on farmers’ livelihood as well the food security and sovereignty of

naons is devastang. The enre food supply as well as livelihood of farmers, which are an overwhelming majority of the world populaon is now dictated

by a handful of profit-greedy agro-chemical and biotechnology TNCs.

Apart from TRIPS, another an-people, an-farmer agreement in the WTO is the Agreement on Agriculture (AoA). In the context of trade in general, and

agriculture in parcular, it is important to point out that global trade iscarried out by transnaonal corporaons, and not small farmers or small producers. Therefore, the open market economy pushed by the WTO is a

prime demand of imperialist agrochemical corporaons. There are twoimportant set of rules of AoA which are suicidal for small and landless

ffarmers. Those are that AoA takes away the sovereign right of naon states

1

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan

to provide domesc subsidy to small farmers in third world countries, and that the Market Access clause of the AoA forces poor naons to open their agricultural markets even for products in which the country is self-sufficient. It causes poor

farmers are forced to compete with the cheap products of agro-chemicalcorporaons inundang local markets and results them to be unable to sell their products and fall more and more in debt, suffering from abject poverty, hunger,

debt and loss of livelihood.

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organizaon/WTO) dibentuk pada tanggal 1 Januari 1995, dan merupakan sebuah bentukan dari perangkat perdagangan mullateral sebel-umnya yang bernama Kesepakatan Umum ten-tang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT). GATT merupakan sepeseperangkat kesepakatan yang dak mempu-nyai struktur instusional yang lahir sepanjang tahun 1947 hingga 1994. Pasca pecahnya perang dunia II barulah dirasakan perlunya sebuah sistem perdagangan mullateral, seh-ingga dibentuklah GATT yang didasarkan atas negosiasi dagang di antara 23 negara; dan di-maksudkan untuk ditransformasikan menjadi sebuah instusi, sebut saja Organisasi Perda-gangan Internasional (Internaonal Trade Organizaon/ITO). Sayangnya kongres Amerika Serikat menolak untuk merafikasi kesepakatan tersebut, meskipun Amerika Serikat telah menjadi bagian dari negara-negara yang terlibat dalam perund-ingan tersebut. Hal itu kemudian menyebabkan GATT hanya menjadi sekadar kesepakatan yang seiring dengan waktu berubah menjadi sep-erangkat perjanjian hukum yang rumit, yang merupakan hasil dari delapan kali

negosiasi atau putaran perdagangan mullat-eral. Pertama adalah Putaran Jenewa yang dis-elenggarakan pada tahun 1947 dan terakhir adalah Putaran Uruguay yang diselenggarakan tahun 1986 hingga tahun 1994 (Hoekman dan Kostecki, 1995). Hasil dari Putaran Uruguay adalah pemben-tukan WTO, sebuah organisasi yang bahkan sebelum kelahirannya telah ditentang, digugat, dan dicaci karena berbagai aspeknya. Ia diang-gap sebagai salah satu pilar terkuat globalisasi yang mempercepat perkembangan mode produksi kapitalisme serta membentuk dasar ekonomi pasar bebas melalui kebijakan priva-sasi, deregulasi, dan liberalisasi perdagangan. Kebijakan tersebut diperkenalkan pertama kali melalui Konsensus Washington yang didasar-kan pada kesepakatan penyesuaian struktural bilateral (Chossudovsky, M. 1997). Selanjutnya, melalui WTO, diberikanlah sebuah pijakan yang kuat dalam bentuk sistem perdagangan mul-lateral.

2

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Konteks globalisasi –islah yang digunakan PBB untuk menjelaskan dimensi perdagangan internaonal dan pasar bebas (UNDP, 1999)— telah mendapat sebuah tantangan (Petras, J. dan Veltmeyer, H., 2001, hal.62):

““Globalisasi atau imperialisme Amerika Ser-ikat?” Itu pertanyaannya! Pada akhir sebuah milenium atau pada permulaaan milenium yang lain, mungkin sebuah jawaban pas akan bisa diberikan: ... sejauh retorika globalisasi selalu bersikeras, hal itu menjadi kedok ideologi untuk menyamarkan munculnya kekuatan korporasi AmeriAmerika Serikat ... Globalisasi bisa dilihat seba-gai sebuah kata sandi untuk kekuasaan imperi-alisme Amerika Serikat.

T̀erdapat buk bahwa Amerika Serikat telah menjadi katalis utama dalam pembentukan WTO, dengan dua kata kunci. Pertama, ”mem-batasi penyebaran pengetahuan ... ke negara-negara lain” dengan penerapan ketat hukum Hak Kekayaan Intelektual, dan yang kedua adalah “memaskan akses terhadap pasar ekspor” (Sayeed, 1995). Penolakan terhadap WTO didasarkan pada penipuan imperialis yang menjijikkan yang di-lakukan oleh WTO dan negara-negara kapitalis maju pengejar laba, terutama Amerika Serikat. Menurut Julius K. Nyerere (Raghavan, 1990):

“Putaran Uruguay dimaksudkan untuk menjadi yang kedelapan dari serangkaian negosiasi per-dagangan yang diselenggarakan di bawah per-lindungan GATT ...

Innya, ini adalah sebuah percobaan untuk merombak dan memperindah aturan sistem perdagangan internasional dan membuatnya menjadi lebih disukai dibandingkan keadaan-nya sekarang yang lebih berpihak pada kepent-ingan negara-negara industri maju – negara-negara industri di Ekonomi Utar Apabila percobaan tersebut berhasil, maka bisa dipaskan akan ada Tatanan Ekonomi In-ternaonal Baru. Meskipun hal itu malah akan lebih mengerikan dan merugikan perkemban-gan aspirasi serta kebutuhan negara-negara berkembang yang miskin dibandingkan dengan Tatanan lama yang telah mereka protes selama berbertahun-tahun.”.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Landasan Krik yang bergema datang dari mereka yang mempunyai kepenngan pada negara-negara dunia kega yang berada di jantung di mana WTO dilahirkan. WTO sendiri didasarkan pada sebuah teks hukum yang rumit yang berisi lebih dari 60 perjanjian, lampiran, dan kesepakatan (WTO, 2011).

3

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Menurut website WTO, WTO adalah “sebuah organisasi untuk liberalisasi perdagangan”, sebuah forum untuk menegosiasikan “per-masalahan perdagangan”, dan “jantungnya adalah kesepakatan-kesepakatan WTO yang dinegosiasikan dan ditandatangani oleh se-bagian besar negara-negara perdagangan dunia. Dokumen-dokumen tersebut menyedia-kan aturan dasar yang legal bagi perdagangan internasional”. Sebagai tambahan, WTO juga memiliki mekanisme penyelesaian sengketa se-bagai “pilar utama sistem perdagangan mul-lateral”. (WTO, 2011)

Prinsip-prinsip dasar WTO melipu (WTO, 2011):(a) Sebuah perdagangan tanpa diskriminasi yang didasarkan pada (ii) negara dengan status paling disukai (MFN), yang berar seap negara harus memberikan seap anggota WTO perlakuan yang sama seper pada anggota WTO lainnya, dalam konteks perdagangan, seper halnya (ii) Naonal Treatment (Perlakuan Nasional) yang berar harus memperlakukan nasional dan asing dengan cara yang sama. Hal ini berar jika pemerintahan dalam negeri menyediakan insenf atau subsidi pada industri produsen nasional, hal yang sama harus juga diberikan pada entas asing yang mempunyai operasional bisnis di dalam negara tersebut.

(b) Perdagangan bebas merupakan prinsip lain yang merupakan dasar untuk semua halangan di luar tarif (seper kuota atau perbedaan harga) untuk dijadikan tarif, dan

juga dengan merendahkan biaya tarif yang sudah ada sebelum lahirnya WTO. (c) Bisa diramalkan sebagai sebuah prinsip yang berar bahwa anggota WTO harus mengikat komitmen mereka, dengan kata lain semua keputusan yang dibuat dalam konteks perdagangan seper membuka pasar untuk barang dan jasa, mengatur tarif pada tataran tertentu, semuanya merupakan komitmen yang harus di jalankan oleh negara-negara anggota. ”Untuk produk pertanian, sekarang ini 100 % produk ada tarif wajibnya” . Mekanisme kajian kebijakan perdagangan WTO menjalankan sebuah “pengawasan run terhadap kebijakan perdagangan nasional” yang berar memaskan komponen transparansi pada prinsip WTO terkait “ramalan” ini.

(d)(d) Mempromosikan kompesi yang sehat berdasarkan prinsip tanpa diskriminasi seper MFN dan Perlakuan Nasional. Menurut WTO, peraturan ini akan mem bantu dalam mengembangkan ”sebuah kompesi yang terbuka, adil, dan tanpa gangguan … Banyak kesepakatan WTO yang bertujuan untuk mendukung kom pesi yang sehat: dalam pertanian, keka yaan intelektual, dan jasa…”

4

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan (e) Prinsip terakhir menguatkan pembangunan dan reformasi ekonomi yang didasarkan pada pemikiran bahwa perdagangan akan membawa serta pembangunan. Reformasi ekonomi mampu untuk membawa liberali sasi perdagangan. (Liberalisasi perdagangan secara umum berar membawa serta refor masi struktural seper privasasi, deregu lasi, dan liberalisasi yang berar membuka pasar-pasar lokal terhadap sektor korporasi internasional).

Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut, WTO mempunyai serangkaian kesepakatan yang rumit, yang innya didasarkan pada enam area sebagai kesepakatan payung untuk mengem-bangkan WTO, kemudian “ga wilayah utama perdagangan” yaitu (i) barang, (ii) jasa, dan (iii) kekayaan intelektual. Wilayah kelima adalah pproses penyelesaian sengketa yang berada di bawah kesepakatan terkait ”Kesepemahaman pada Peraturan dan Prosedur mengenai Peng-aturan Penyelesaian sengketa”, dan yang tera-khir adalah Kajian Kebijakan Perdagangan (WTO, 2011).

Kesepakatan untuk barang didasarkan pada kesepakatan GATT asli dan melipu 12 wilayah. Meskipun demikian, di antara hal-hal tersebut, sektor pertanian telah ditambahkan di bawah WTO. Beberapa kesepakatan di bawah naun-gan bagian ini adalah Standar Sanitary dan Phy-tosanitary (SPS) dan Hambatan Teknis pada Perdagangan (TBT), Peraturan Daerah Asal, serta Jaminan Keamanan. Dicantumkannya kesepakatan layanan jasa dalam Kesepakatan Umum tentang Perdagan-gan Jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS) menjadi sangat penng layaknya yang “pertama dan satu-satunya perangkat peraturan mullateral yang meng-atur perdagangan jasa internasional” (WTO, 2011, hal. 33).2011, hal. 33). Serupa dengan GATS, isu hak kekayaan in-telektual juga diperkenalkan dalam sebuah sistem perdagangan, pertama kalinya melalui WTO, yaitu diatur melalui kesepakatan Aspek terkait Perdagangan dari Hak-Hak Kekayaan In-telektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs).

5

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan

Mengoyak Sarung Tangan Beludru: WTO dari Sudut Pandang Rakyat

Bagian ini akan memberikan sebuah ring-kasan pandangan terkait berbagai wilayah prob-lemaka WTO yang melipu wilayah yang sangat luas mengenai perdagangan interna-sional yang semuanya mengikat secara hukum 159 negara anggotanya saat ini. Untuk memberikan teks hukum pada WTO sangatlah kompleks dan membutuhkan sekel-ompok khusus ahli teknis untuk menginterpre-tasikan ratusan halaman yang di dalamnya meli-pu kesepakatan, lampiran, komitmen, dan pe-mahaman. Sepernya memang organisasi ini dak ada kepenngannya dengan hajat hidup banyak ma-nusia di dunia ini yang membanng tulang demi menaahi diri mereka sendiri dan keluarganya. Seharusnya dak seper itu: perdagangan pada dasarnya mengandung ar bertukar barang dan jasa yang diproduksi oleh para buruh pekerja. Produksi memotong dak hanya kawasan in-dustri besar di perkotaan tetapi juga kelompok terkecil dalam masyarakat, yaitu komunitas yang berada di pedesaan.

Hal tersebut melipu perburuhan di wilayah formal dan informal, baik dalam wilayah teknik produksi ahli seper teknologi informasi, maupun wilayah yang dak memer-lukan keahlian teknik seper layanan jasa do-mesk. Singkat kata, perdagangan terhubung secara kompleks dengan kehidupan sehari-hari dan penghidupan jutaan produsen kecil dan buruh di seluruh dunia, di mana mayoritas dengan jumlah yang sangat besarnya adalah dari sektor yang rentan dan termarjinalisasi seper petani kecil yang dak mempunyai tanah,tanah, penduduk pribumi, nelayan, penduduk pedesaan, perempuan, penggembala, dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan oleh karena gera-kan rakyat telah memahami bahwa perjanjian dak masuk akal yang telah dilakukan dan aki-batnya terhadap kehidupan mereka sehingga menyebabkan munculnya gerakan di seluruh penjuru dunia, yang telah berlangsung selama 18 tahun keberadaan WTO.

6

Sebagai hasilnya, WTO sejak kelahiran-nya dan sebelum tahapan konseptualisas-inya telah menghadapi perlawanan yang kuat, dengan seruan “Junk WTO/Enyahkan WTO” yang menjadi suara paling keras dari gerakan rakyat tersebut: sama halnya, gera-kan petani telah mengambil posisi “WTO enyah dari pertanian” dan menampilkan al-ternaf yang disajikan berupa kedaulatan pangan. Terlihat jelas pada penjelasan singkat mengenai WTO bahwa WTO bukanlah se-rangkaian kesepakatan kosong, melainkan melalui bermacam mekanismenya –khusus-nya mekanisme penyelesaian konfliknya— mempunyai kemampuan untuk memaskan jalannya implementasi dari banyak kesepakatannya. Berikut adalah wilayah paling penng dari krik dan kekhawaran yang diajukan oleh gerakan rakyat beserta organisasinya:

(i) WTO, dalam konteks perdagangan, meng anggap negara-negara kapitalis maju dan negara-negara dunia kega yang miskin sebagai mitra yang setara. Oleh karena itu, negara-negara dunia kega seper Indonesia, Thailand, Pakistan, Kenya, dan Bolivia di anggap setara dengan negara- negara dunia pertama yang kaya seper Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jepang. Bagaimanapun juga, fakta menunjukkan bahwa negara-negara dunia pertama adalah negara yang paling berkuasa dan maju di dunia, baik secara teknologi maupun militer, yang melalui korporasi-korporasi transna sional raksasa mereka, mengontrol per dagangan global

barang dan jasa. Jadi, dak ada alasan nya bisa disetarakan antara negara- negara paling miskin dengan yang pa ling kaya di dunia.(ii) WTO, dengan banyak prinsip, kesetara- an, dan persyaratannya harus diterima secara keseluruhan. Negara-negara bangsa dak dapat memilih dan memu tuskan akan menggunakan kesepakatan yang ada didalam WTO berdasarkan si- tuasi sosial ekonomi spesifik di negara mereka. Negara-negara bangsa yang - dak mengiku persyaratan yang diaju- kan oleh WTO akan mendapatkan pin- al, denda, dan hukuman bahkan me- reka dapat diembargo dari perdagang- an dengan negara-negara anggota WTO lainnya.(iii)Dasar dari seperangkat prinsip yang me ngatur WTO dilandaskan pada liberali- sasi perdagangan, yang telah secara a- gresif membuka pasar-pasar lokal dari negara-negara dunia kega yang miskin terhadap korporasi-korporasi transna sional (TNCs) dari negara-negara dunia pertama.(iv)WTO telah secara tegas mendorong hak -hak kekayaan intelektual sebagai ba- gian integral dari liberalisasi perdagang- an, meskipun kekayaan intelektual bu kanlah bagian dari perdagangan.(v) Liberalisasi perdagangan juga dilaksana kan di sektor pertanian, sebuah sektor yang sangat penng bagi negara-nega- ra miskin karena menjadi sumber utama penghidupan serta keamanan pangan nasional yang selama ini selalu terlin dung dari dampak buruk perdagangan bebas. 7

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan (vi) WTO juga telah memasukkan sektor jasa ke dalam liberalisasi perdagangan. Sektor ini sebelum ada WTO— telah dilindungi oleh negara-negara bangsa dunia kega dikarena- kan (a) perkembangan yang sangat lemah dari sektor-sektor yang berada di bawah sektor jasa; dan (b) sektor-sektor jasa ini termasuk ke sehatan dan pendidikan yang merupakan wilayah-wilayah perlindungan sosial utama bagi kelas pekerja.

WTO terang-terangan menyangkal struktur historis yang menyebabkan kedaksetaraan yang diwarisi oleh negara-negara dunia kega sebagai hasil dari perampasan dan pemerasan para kolonialis selama periode era kolonial. Era kolonial ditandai dengan penghancuran yang disengaja terhadap instusi-instusi lokal termasuk industri lokal dan juga menerobos basis elit feodal yang di satu sisi membawa kekurangan secara sistemik dari perkembangan industrial, namun di sisi lainnya, membawa per-tumbuhan masyarakat feodal di banyak daerah didi Asia, Afrika, dan Amerika Lan (Stavrionos, 1999). Kehadiran kelas elit feodal yang kuat dan brutal serta posisi sentral mereka dalam struk-tur pembuatan kebijakan pemerintahan hari ini, telah membentuk dasar semi-kolonial semi-feodal di negara-negara dunia kega. Sebagai hasilnya adalah hadirnya kebijakan-kebijakan pembangunan yang terdistorsi di negara-negara dunia kega yang justru melindungi kepenn-gan negara-negara imperialis dan korporasi-korporasi raksasa mereka (Amado, 2005).

Perkembangan teknologi dan industri di negara-negara dunia kega mempunyai akibat sangat buruk yang disebabkan oleh diabaikan-nya akses pendidikan, dan juga karena dak berfungsinya infrastruktur dan kebijakan pem-bangunan industrial yang didikte oleh negara-negara maju dan kaya. Mayoritas negara-negara dunia kega telah ternggal jauh dan dak mempunyai dasar in-dustri yang kuat yang bisa membuat mereka menjadi rekan yang sepadan dalam ekonomi ekspor-impor, seper yang didiktekan oleh WTO. Hal ini berar bahwa negara-negara dunia kega yang miskin keka mereka berhubungan dengan WTO, mereka hanya mempunyai sedikit untuk diekspor; seper yang telah diprediksikan pada tahun 1990an, negara-negara tersebut sekarang dibanjiri oleh barang dan jasa dari negara-negara dunia pertama, dan beban hutang mereka pun telah mening-kat secara konsisten. “Untuk negara-negara berkembang secara keseluruhan, pada tahun 1991 jumlah total hutang eksternal mereka adalah 1,362 trilyun dolar yang merupakan 126,5 % dari total ekspor barang dan jasa pada tahun yang sama...” (Bank Dunia, 1992) dan sekarang set-elah hampir sepuluh tahun berlalu “peng-gabungan saham hutang eksternal negara-negara berkembang meningkat dari 4,4 trilyun dolar pada tahun 2010 menjadi 44,9 trilyun dolar pada akhir tahun 2011” (Bank Dunia, hal.2). Angka-angka tersebut memperlihatkan dengan jelas dampak dari WTO

8

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Kesepakatan TRIPs di WTO menciptakan kekacauan di seap sisi kehidupan, seper pada kontrol akan teknologi, baik yang berhubungan dengan pendidikan, energi, komunikasi, dan transportasi. Setahun sebelum finalisasi Putaran Uruguay ditandai dengan debat mengenai hak kekayaan intelektual dan pencantumannya dalam nego-siasi oleh Amerika Serikat. Sangat jelas bahwa kesepakatan TRIPs dipak-sakan oleh bermacam korporasi Amerika Serikat seper mereka yang akf dalam sektor farmasi, bioteknologi, agro-kimia, dan teknologi infor-masi. Telah ditengarai adanya hubungan khusus antara industri farmasi dengan kantor dagang Amerika Serikat, di mana negara-negara bagian yang memiliki industri farmasi telah mendapat tempat khusus pada kelompok penasihat kepresidenan.

Industri farmasi Amerika Serikat adalah pe-rusahan terbesar dalam bidang perdagangan, sebuah posisi yang terus dijaga sejak tahun 1970 hingga tahun 1990 (Sayeed, 1995). Per-mintaan dari perusahaan semacam inilah yang menjadikan kesepakatan TRIPs dibuat dan di-paksakan di Putaran Uruguay, padahal sangat bertentangan dengan kebutuhan negara-negara dunia kega (Raghavan,1990). Selain sektor farmasi Amerika Serikat, se-jumlah pemain penng lainnya tentu saja adalah korporasi bio-teknologi dan agro-kimia yang sebagian besar juga berasal dari Amerika Serikat. Paksaan yang kuat terhadap TRIPs juga datang dari perusahaan industri benih yang telah ada sejak awal tahun 1967 dan bisa me-maksakan hukum pematenan benih nasional melalui Plat Variety Act (Undang-Undang Ragam Petak Tanah) (Kloppenburg, 2004). Undang-undang ini merupakan awal diperbo-lehkannya hak-hak pembibitan tanaman yang dipaskan akan mengarah pada kesepakatan TRIPs yang memaksakan pematenan benih dan organisme hidup lainnya. 9

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Permasalahan ini sama penngnya dengan kedaulatan pangan, khususnya dengan meng-horma kontrol dan akses petani atas benih. Kesepakatan TRIPs pada dasarnya membuka kontrol petani atas produk pertanian kepada sektor korporasi agro-kimia. Kesepakatan TRIPs telah memaksa peneri-maan atas hak-hak kekayaan intelektual terh-adap organisme-organisme hidup, termasuk benih. Hal ini berar bahwa benih hibrida dan rekayasa geneka sekarang diperkenalkan di pasar oleh korporasi transnasional di bawah perlindungan hak kekayaan intelektual. Berdasarkan kesepakatan TRIPs, para petani dak bisa lagi menyimpan ataupun menukar benih-benih yang dipasarkan oleh korporasi transnasional. Para raksasa benih seper Monsanto dan Pioneer telah memaksakan hak kekayaan in-telektual atas benih sebagai “perkembangan benih hasil rekayasa geneka yang secara luas bergantung pada sistem perlindungan yudisial dari hak kekayaan intelektual” (Perriere, hal. 91). Hasil dari hak kekayaan intelektual atas benih terhadap korporasi benih global telah membawa pada kontrol monopolisk mereka yang luas. Sebagai contoh, menurut ETC Group, “10 perusahaan benih terbesar dunia, secara global merepresentasikan 14.785 juta dolar – atau dua perga (67 %) dari pasar benih milik sendirsendiri” (Group ETC, hal. 12). Perlu ditekankan bahwa material geneka yang digunakan di dalam benih “baru” yang di-patenkan ini adalah hasil dari biopiracy

(perkembangan material biologi tak berbayar) oleh korporasi-korporasi benih raksasa seper Monsanto, Dupont, dan Pioneer. Sumber-sumber daya geneka ini adalah hasil dari benih yang dikonservasikan selama beberapa milenium oleh para petani, terutama petani-petani negara dunia kega. TRIPs telah berdampak pada keseluruhan masyarakat. Akan tetapi dampaknya pada penghidupan petani –seper halnya pada ket-ahanan pangan dan kedaulatan bangsa— benar-benar telah terporak-porandakan. Berbagai varietas benih tradisional telah menjadi langka dikarenakan arus Varietas Unggul (High Yielding Variees/HYVs) dan benih hibrida yang diperkenalkan melalui Rev-olusi Hijau selama 60 tahun terakhir atau lebih. Sebagian besar benih sekarang dibawa ke pasar oleh korporasi transnasional yang me-megang hak kekayaan intelektual atas benih-benih tersebut. Innya, keseluruhan pasokan makanan sep-er halnya penghidupan para petani yang merupakan mayoritas luar biasa dari populasi dunia ini, sekarang diperintah oleh genggaman korporasi transnasional bioteknologi dan agro-kimia yang serakah dan gila laba.

10

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Selain TRIPs, kesepakatan lain yang an-rakyat dan an-petani di dalam WTO adalah Kesepakatan Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA). Dalam konteks perdagangan secara umum, dan khususnya dalam konteks pertanian, sangatlah penng untuk menunjuk-kan bahwa perdagangan global dijalankan oleh korpokorporasi transnasional, dan bukannya oleh petani kecil atau produsen kecil. Dengan demikian, ekonomi pasar terbuka yang didesakkan oleh WTO merupakan tuntutan utama dari korporasi agro-kimia imperialis. AoA memiliki dua perangkat peraturan penng yang akan sangat membunuh para petani kecil dan juga petani tak bertanah, yaitu: a) AoA merampas hak kedaulatan negara-negara bangsa dunia kega untuk menyediakan subdisi domesk bagi petani kecil di negaranya. AoA menetapkan bahwa persentase subsidi do-mesk tersebut harus diturunkan berdasarkan baseline (panduan) tahun 1986 – 1988; yang arnya seap negara harus menurunkan persentase yang sudah ditetapkan dari subsidi domesk di dalam produksi pertaniannya ber-dasarkan subsidi yang disediakan oleh seap negara anggota WTO pada tahun 1986 – 1988. Jumlah subsidi yang disediakan pada tahun-tahun tersebut harus dikurangi baik oleh negara-negara kapitalis kaya yang maju maupun oleh negara-negara dunia kega yang miskin (pengurangan 36 % bagi negara-negara dunia pertama, dan pengurangan 24 % untuk negara-negara dunia kega).

Secara historis, negara-negara kaya telah memberikan sejumlah besar subsidi domesk mereka kepada petaninya, sedangkan negara-negara miskin hanya menyediakan bantuan yang minimal. Sekarang setelah baseline (panduan) sudah terbentuk, bahkan keka negara-negara dunia pertama menurunkan persentase subsidi mereka, sebenarnya angka riil-nya secara astronomis masih nggi. Seba-gai tambahan, negara-negara dunia pertama juga menyediakan subsidi ekspor yang sangat nggi bagi para “petani” mereka untuk mengekspor barang-barang ke negara-negara lain. Pada sisi lain, subsidi ekspor hampir dak adaada di negara-negara miskin. Ini berar bahwa para petani korporasi kaya dan korporasi agro-kimia mengambil manfaat baik dari sub-sidi domesk maupun subsidi ekspor dari pe-merintah mereka. Hal ini membuat korporasi transnasional menjadi mampu untuk mem-produksi produk pertanian dengan sangat murah. Para petani negara dunia kega, tanpa subsidi apapun dan bahkan dengan adanya peningkatan ongkos produksi dikarenakan per-syaratan dari IMF dan Bank Dunia serta kes-epakatan WTO, menjadi dak mampu untuk bersaing dengan produk pertanian yang diim-por ke pasar-pasar lokal merek b) Klausul Akses Pasar dari AoA memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasar-pasar pertanian mereka, bahkan untuk produk-produk yang sebenarnya di negaranya sudah cukup mandiri; petani-petani miskin di-paksa untuk bersaing dengan produk-produk murah 11

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan dari korporasi agro-kimia yang membanjiri pasar-pasar lokal; hasilnya kemudian mereka dak mampu lagi untuk menjual produk-produk mereka dan menjadi semakin terjerembab dalam hutang lagi dan lagi, menderita karena kemiskinan yang hina, kelaparan, hutang, dan kehilangan mata pencaharian. Di negara-negara seper India, para petani kecil bahkan melakukan bunuh diri karena dak mampu membayar hutang atau karena mereka dak bisa menaahi keluarganya. Contoh lainnya adalah di Filipina di mana tarif dipotong secara drass. Menurut Jose Africa, Direktur Eksekuf dari Ibon Foundaon Filipina, “periode antara 19811981 hingga 1994 dilaporkan sebagai periode penurunan tarif yang paling nggi. Dari rata-rata 42 persen tarif impor pada tahun 1981 hingga 1985, dikurangi menjadi 28 persen pada tahun 1991, dan terus turun hingga 20 persen pada tahun 1994 ... Pada tahun 1996, menye-suaikan dengan WTO, tarif dipatok pada angk9,7 persen, kemudian turun menjadi 7,8 persen pada tahun 2006, dan 6,1 persen pada tahun 2011. Hari ini, tarif produk pertanian yang diim-por hanya 8,7 persen.”

Pada bulan Desember 2013, WTO akan me-nyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri Ke-9-nya di Bali, Indonesia. Isu utama yang akan diangkat di Bali adalah kesepakatan fasili-tasi perdagangan di mana negara-negara dunia pertama, khususnya yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Eropa. Lebih lanjut, beberapa aspek dari Kesepakatan Pertanian (AoA) juga akan menjadi isu prioritas.

Kesepakatan fasilitasi perdagangan dinego-siasikan dengan tujuan untuk menyederhana-kan prosedur dan kontrol yang meregulasi pergerakan barang melewa batas-batas na-sional; tujuan lain adalah untuk mengurangi biaya transaksi dan juga untuk “membuat per-dagangan mengalir seefisien mungkin” (WTO, 2013). Dalam hal ini, Uni Eropa telah menye-diakan lebih dari 700.000 euro untuk peningka-tan kapasitas negara-negara dunia kega. Menurut WTO, “donasi-donasi tersebut akan membiayai program pendampingan teknis dalam rangka membantu pembangunan dan sedaknya negara-negara maju bisa mengidenfikasi kebutuhan dan prioritas di dalam negosiasi fasilitasi perdagangan” 12

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Sama halnya, Bank Dunia telah mengeluar-kan 58 juta dolar Amerika Serikat untuk pen-dampingan fasilitasi perdagangan pada tahun 2013 dan akan mendukung negara-negara berkembang dalam melaksanakan komitmen mereka (WTO, Oktober 2013). Bagi OECD, fasilitasi perdagangan ini juga mencakup penngnya penyederhanaan doku-men, prosedur, dan meningkatkan ketersediaan informasi sehingga biaya-biaya perdagangan akan dapat dikurangi (WTO, Oktober 2013). San-gatlah jelas bahwa fasilitasi perdagangan adalah kepenngan negara-negara kapitalis maju agar korporasi-korporasi mereka mampu untuk berg-erak lebih cepat di dalam pasar-pasar nasional negara-negara dunia kega. Kesepakatan ini adalah tentang meningkat-kan aksesibilitas dan efisiensi operasi-operasi mereka di dunia kega dan dak ada hubungan-nya dengan memenuhi agenda pembangunan negara-negara dunia kega atau masyarakatnya.

Pada saat yang bersamaan, isu kris yang amat sangat penng dari negara-negara dunia kega telah jatuh ke dalam posisi yang sangat rendah. Mereka menuntut “penghalusan” Kes-epakatan Pertanian (AoA), namun hal tersebut ditentang oleh Amerika Serikat dan Eropa, meskipun mereka belum melaksanakan komit-men mereka sesuai dengan kesepakatan WTO. Sebagai contoh, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan Inggris menyediakan subsidi yang sangat nggi bagi petani mereka. Bahkan, komitmen yang telah dibuat di Pu-taran Doha untuk mengurangi subsidi ekspor juga belum dilaksanakan. Hal ini telah disepaka pada Pertemuan Tingkat Menteri WTO terakhir di Hong Kong terkait bahwa subsidi ekspor pertanian akan dieliminasi pada tahun 2013, tetapi hal terse-but gagal untuk diwujudkan.

13

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Di dalam negosiasi Bali, negara-negara dunia kega menuntut adanya Klausul Perdamaian di bawah Kesepakatan Pertanian (AoA) yang me-lindungi subsidi yang dianugerahkan oleh negara-negara yang memenuhi kesepakatan tersebut, atas tantangan dari kesepakatan-kesepakatan WTO yang lain. Tuntutan dari G-33 ini adalah tentang kedudukan tetap dari klausul perdamaian hingga menjadi 10 tahun, tetapi negara-negara dunia pertama seper Amerika Serikat hanya siap untuk menerima 2 hingga 3 tahun periode (Financial Express, 2013). Isu ini dengan jelas merefleksikan suasana ha negara-negara dunia pertama di dalam Per-temuan Tingkat Menteri ke-9 WTO yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Sebenarnya ada sedikit perubahan di dalam cara berpikir negara-negara dunia pertama dan korporasi-korporasi mereka. Hal ini terlihat sangat jelas dari ga hari Forum Publik WTO yang diselenggarakan pada tanggal 1 – 3 Oktober 2013 di Jenewa. Sesi Kerja 34 membahas tentang “teknologi-teknologi produksi pertanian yang inovaf: pendekatan global untuk meningkatkan produksi, mengem-bangkan ketahanan pangan, dan memajukan kkeamanan pangan?” Iklim umum yang terjadi dalam diskusi pada saat itu adalah tentang teknologi-teknologi pembibitan terbaru. Menurut Dr. Cerzo, AGRITECH, Komisi Eropa (WTO, Oktober 2013): “...terutama negara-negara barat (Amerika Utara dan Uni Eropa) berada di belakang peneli-an tentang teknik pembibitan baru ini.

Kepenngan komersial dalam membawa teknik pembibitan baru ini ke dalam pasar san-gatlah kuat; instusi-instusi di balik paten-paten ini sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengkhususkan diri pada satu teknik pembibitan tertentu. Perusahaan-perusahaan yang mendomi-nasi pasar benih tertarik kepada teknologi-teknologi pembibitan baru ini dan kemudian mereka mengambil hak atas teknologi-teknolo-gi tersebut ataupun melisensinya.

Keengganan Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menyediakan dukungan bagi kebutuhan hidup yang paling dasar kepada para petani kecil di negara dunia kega, sementara mereka menyediakan bantuan domesk hingga jutaan dolar Amerika Serikat adalah indikasi kuat bahwa dak ada yang berubah di dalam WTO. Kedua, Eropa dan Amerika Serikat tetap berkomitmen untuk melindungi “inovasi teknik pembibitan baru” atau dengan islah yang lebih sederhana; pengenalan teknologi reka-yasa geneka yang akan berlanjut dengan ter-jadinya kelaparan yang parah dan kedakama-nan pangan yang dilanjutkan dengan hilangnya mmata pencaharian para produsen kecil. Satu-satunya cara tantangan ini dapat di-atasi adalah dengan tetap selalu bersatu di bawah tuntutan kita terkait kedaulatan pangan dan menolak untuk memberikan legimasi ter-hadap manipulasi imperialis WTO yang fantas-s.

14

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan ReferensiBank Dunia. “Stask Hutang Internasional 2013.” Washington D. C. Amerika Serikat, 2013, hal. 2.

ETC Group. “Siapa yang memiliki dunia ini? Kekuatan korporasi dan batas akhir komodifikasi kehidupan.” Pengumuman Resmi Etc, Isu #100, November 2008, hal. 12.

The Financial ExpThe Financial Express. “Direktur WTO mencari dukungan untuk Pertemuan Tingkat Menteri di Bali”. 15 Oktober 2013,

diakses dari h p://www.financialexpress.com/news/wto-chief-seeks-support-for-bali-ministerial-meet/1179692.

Guerrero, Amado. “Masyarakat Filipina dan Revolusi.” Aklat ng Bayan, Filipina, 2005.

Hoekman,Hoekman, Bernard M. dan Kostecki, Michael M. “Ekonomi Polik Sistem Perdagangan Dunia: dari GATT hingga WTO.” Oxford University Press, 1995.

IMF. “Pandangan Ekonomi Dunia, Oktober 1992”. Washington, Internaonal Monetary Fund, 1992, tabel A46 dan A48, hal. 157 dan 162-163, dikup dari Ferraro, Vincent dan Rosser, Melissa. “Hu“Hutang Global dan Pembangunan Dunia Kega” dalam Klare, Michael dan Thomas, Daniel. “Keamanan Dunia: Tantangan Abad Baru”, New York: St. Marn’s Press, 1994, diakses dariwww.mtholyoke.edu/acad/intrel/globdebt.htm.

Kloppeburg, J. “Pertama Benihnya: Ekonomi Polik Bioteknologi Tanaman, 1492 – 2000”. The University of Winconsin Press, 2004.

Petras, J. dan Veltmeyer, H. ““Globalisasi Tanpa Topeng: Imperialisme pada Abad Ke-21”. Madhyam Books, 2001, hal. 62. 15

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO): Si Tangan Besi Perdagangan Global, Dampaknya serta Perlawanan Rakyat

Azra Talat Sayeed, Roots for Equity (Akar untuk Persatuan), Pakistan Perriere, R. et. al. “Benih Baru yang Hebat: Ancaman Tanaman Rekayasa Geneka terhadap Para Petani”. Zed Books Ltd, 2000, hal. 91.

Raghavan, Chakravarthi. “Rekolonisasi: GATT, Putaran Uruguay, dan Dunia Kega.” Jaringan Dunia Kega, 1990, hal. 23.

Sayeed, A. “Dampak Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) terhadap Sektor Farmasi di Dunia Kega.” Tesis PhD. University of Minnesota, 1995. UNDP, 1999.

WWTO. “Memahami WTO”. Divisi Hubungan Eksternal dan Informasi, WTO, 2011, diakses pada 10 Oktober 2013 dari www.wto.org/english/thewto_e/whas_e/f_e/understanding_e.pdf.

WTO. “Uni Eropa mendonasikan 700.000 euro untuk meningkatkan kapasitas perdagangan negara-negara berkembang.” Pernyataan Pers, Press 695, 20 September 2013, diakses dari hp://www.wto.org/english/news_e/pres13_e/pr695_e.htm.

WWTO. “Forum Publik Memandang Isu-Isu Bali, Sesi Kerja 24, Membuat Perdagangan Menjadi Lebih Mudah: Melihat Lebih Dekat Fasilitasi Perdagangan.” Forum Publik Memandang Isu-Isu Bali, 1 – 3 Oktober 2013, diakses dari hp://www.wto.org/english/news_e/news13_e/pfor_03oct13_e.htm.

16

I.Pendahuluan

Perkembangan ekonomi dalam sekurangnya lima tahun terakhir menunjukkan kedakmam-puan kekuatan-kekuatan ekonomi dunia baik dalam keberadaannya sebagai negara-negara maupun instusi-instusi internasional untuk mewujudkan solusi yang benar-benar efekf guna menyelesaikan krisis dan kemunduran ekekonomi di AS dan zona euro yang terus berkepanjangan. Bahkan langkah-langkah yang diambil oleh banyak negara saat menghadapi kondisi kedak-pasan ekonomi global ini membenarkan pendapat bahwa kepenngan nasional seap negara dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi sangat diutamakan. Negara-negara besar, di tengah keadaan negara yang benar-benar ber-fungsifungsi sebagai kekuatan hegemoni, benar-benar menunjukkan kedakraguan untuk mendahulu-kan kepenngan nasionalnya sendiri dibanding-kan dengan kepenngan global yang bersifat “kolekf”. Sejumlah langkah pemerintah AS seper ke-bijakan “Buy American” dan pengeluaran surat-

surat berharga (memperbesar utang) tanpa ada kejelasan sejauh mana “limit”-nya, sejumlah langkah pemerintah Jepang dan China untuk mendorong pelemahan mata uang mereka dengan beragam cara, maupun menonjolnya spirit “domesc economy first” dalam paket smulus ekonomi di hampir seap negara menunjukmenunjukkan terjadinya babak baru dalam pers-pekf pembangunan di ngkat global Senafas dengan itu, Uni Eropa yang didera krisis mata uang beberapa waktu lalu mengumumkan ren-cana membatasi keterlibatan pihak di luar Eropa dalam tender pengadaan belanja pemerintah (government procurement) guna mendorong dunia usaha di Eropa bangkit lagi. Jelas sekali bahwa negara-negara besar justru dalam prakteknya dak lagi mengekang dirinya dalam prinsip-prinsip persaingan bebas dalam sistem ekonomi dunia dan malahan justru dak ragu untuk menggannya dengan prinsip penda-huluan kepenngan nasional. Di tengah situasi ekonomi polik global yang ditandai dengan menguatnya kecenderungan ke arah kebijakan proteksionisme dan nasionalisme ekonomi, pemerintah Indonesia justru

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Abstract:

This arcle analyzes the naonal and internaonal context of Indonesian posion as the chairman of APEC and WTO forums in this year. Internaonal and regional dynamics in the post-global financial crisis have been marked by the intensificaon of proteconism around the world and the intenons of most countries to concentrate their efforts to strengthen their own domesc economic structure. Indonesia fails to make a real connectedness between such iinternaonal presgious acvies with domesc needs and challenges, which mostly related to negave impacts of internaonal capital oulow as well as the weakening

of economic compe veness.

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

17

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

18

seper terobsesi untuk menunjukkan kepelopo-rannya dalam sistem ekonomi internasional yang didasarkan diri pada prinsip-prinsip ekonomi lib-eral. Indonesia menjadi ketua sekaligus tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi/KTT APEC (Asia Pacific Economic Cooperaon), di samping men-jadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri/KTM WWTO (World Trade Organizaon) pada tahun 2013 ini. Tentu hal ini mengundang pertanyaan, apakah sebenarnya target yang ingin dicapai oleh pemer-intah dalam hal ini, selain melakukan langkah pencitraan serta menggelembungkan “presse” di dunia internasional? Sejauh mana peluang In-donesia untuk menjadi “bangsa pelopor” dalam kedua forum internasional yang berupaya menegakkan prinsip pasar bebas itu, dan apakah benar ada koherensi yang bisa dipertanggung-jawabkan antara “kepeloporan” Indonesia dalam WTO dan APEC dengan kebutuhan untuk mem-perkokoh ketahanan ekonomi Indonesia sendiri?

II. Stagnasi WTO Pasca Krisis Global

Walaupun secara normaf kebanyakan negara menyuarakan penngnya menghindari proteksionisme dan menyatakan bahwa prinsip keterbukaan pasar akan memberikan lebih banyak keuntungan, namun pada kenyataannya saat ini seap negara semakin berha-ha terh-adap risiko dari tatanan ekonomi dan finansial globalglobal yang sering diwarnai kedakstabilan. Permasalahan sejauh mana negara-negara maju bersedia mengorbankan kepenngan do-mesknya mengemuka dalam negosiasi perta-nian di WTO yang menyebabkan jalan buntu bagi perundingan WTO Putaran Doha sejak tahun 2008. Stagnasi dalam perundingan WTO itu dipicu oleh terus berlanjutnya perbedaan pandangan menyangkut bagaimana dan sejauh mana pen-gurangan dukungan pemerintah sektor perta-nian baik yang boleh dilakukan oleh negara-negara maju atau negara-negara berkembang untuk memproteksi petani mereka. Dalam perspekf realisme, WTO (dan pen-dahulunya, GATT/General Agreement on Tariffs and Trade) dibentuk sebagai implementasi dari visi hegemoni AS pasca Perang Dunia II. Bersama-sama dengan dua instusi lainnya, yaitu Internaonal Monetary Fund (IMF) dan World Bank (dulu dikenal dengan nama Interna-onalonal Bank for Reconstrucon and Development/ IBRD) merupakan bagian dari in-stusi Breon Woods yang bertujuan untuk menciptakan dunia yang bebas dan terbuka.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

19

Tata dunia liberal seper ini merupakan interpre-tasi AS atas model dunia yang harus dibentuk set-elah perang berakhir, dimana perang terjadi karena tendensi proteksionisme dan fasisme yang menjadi ideologi mainstream kali itu. Pembentukan WTO pasca Putaran Doha tahun 1986-1994 semakin menekankan visi liberal ini. WTO merupakan organisasi perdagangan dunia yang berupaya meralisasikan prinsip-prinsip per-dagangan bebas dan mereduksi tarif-tarif baik di negara maju maupun berkembang. Sebagai ins-tusi, WTO sangat sejalan dengan ideologi yang di-pegang AS mengenai tata perkenonomian global. Melalui prinsip Most Favoured Naons (MFN), WTO menekankan penngnya mullateralisme, di mana jika ada kesepakatan dagang diantara dua negara, maka hal tersebut harus diberlaku-kan pula kepada semua negara anggota (prinsip non-diskriminasi). Sebagai instusi, WTO juga sangat kuat karena keputusan-keputusannya ber-sifat mengikat secara hukum dan memiliki sanksi atas pelanggarnya. Lebih jauh, WTO juga memiliki mekanisme penyelesaian sengketa dagang, di mana pihak-pihak yang berkai harus patuh pada keputusan panel independen. Dengan landasan-landasan organisasi seper ini, dak mengherankan jika munculnya WTO juga sejalan dengan era keterbukaan (atau globalisasi) dan neoliberal-isme (fundamentalisme pasar) yang marak berkembang sejak dekade 1990an. Masalahnya adalah, meskipun organisasi ini dipandang sebagai keberhasilan perundingan global, isi-isi perjanjian yang ada di dalamnya dak mencerminkan keadilan ekonomi antara negara-negara maju dan negara-negara berkem-bang.

WTO terlihat sangat memihak negara maju, terutama Uni Eropa dan Jepang, yang dak mengikutsertakan sektor pertanian dalam liber-alisasi tarif padahal sektor ini merupakan com-parave advantage utama negara berkembang. Di sisi lain, negara berkembang juga diharus-kan melakukan liberalisasi secara penuh pada semua sektor yang dituntut negara maju, sep-er sektor jasa dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Perdebatan-perdebatan inilah yang akh-irnya membuat Putaran Pembangunan Doha (Doha Development Round, tahun 2001) mengalami deadlock hingga saat ini. Putaran ini sebenarnya diharapkan sebagai lanjutan pe-rundingan perdagangan global untuk memba-has kempangan tersebut. Meski demikian, persistensi sikap diantara kedua kubu inilah yang justru membuat putaran tersebut menga-lami kegagalan. Kompleksitas yang nggi dalam perundin-gan di level mullateral ini berkonsekuensi pada makin maraknya perundingan-perundingan dagang di level bilateral dan regional. Ini dapat dilihat sebagai semacam strategi untuk me-mecah kebuntuan dalam perundingan, mengin-gat lebih mudah mencapai kesepakatan dagang jika ada lebih sedikit negara-negara yang terli-bat. Hingga Januari 2009, di Asia Timur saja telah ada 116 pakta perdagangan bebas, belum ter-masuk 94 buah yang berstatus dalam negosiasi dan 75 buah yang sedang diusulkan. Bagi WTO, meskipun kesepakatan-kesepakatannya masih berlaku hingga sekarang, fenomena ini mem-berikan tekanan lebih lanjut bagi eksistensinya.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

20

Bagaimanapun, kehadiran instusi bilateral dan regional telah membuat stumbling block terh-adap keberadaan instusi mullateral, karena bi-asanya kesepakatan-kesepakatan di level ini memberikan perlakuan diskriminasi terhadap negara-negara non-anggota. Saat krisis global terjadi pada tahun 2008, WTO seolah-seolah kehilangan otoritas moralnya. Pada masa ini hingga sekarang, muncul gejala-gejala proteksionis yang dilakukan oleh banyak negara di dunia. Tercatat ada 17 dari total 20 ang-gota G20 yang melakukan ndakan ini. Baldwin dan Evene mendeskripsikan ndakan ini sebagai murky proteconism , dimana hambatan dagang dak diterapkan sebagai tentangan ter-buka terhadap prinsip-prinsip WTO, tapi lebih se-bagai upaya ‘menyamarkan’ agar sesuai dengan standar-standar perlindungan produk yang di-izinkan WTO. Negara-negara maju umumnya lebih suka menggunakan instrumen subsidi, sementara negara-negara berkembang mengguna-kan instrumen yang lebih bervariasi dari ham-batan tarif hingga non-tarif. AS menggunakan ke-bijakan ‘hijau’ sebagai salah satu bentuk murky proteconism ini, dimana pemerintah AS men-subsidi produksi advanced baeries and compo-nents untuk pabrik-pabrik yang terletak di wilayah AS. Pemerintah Amerika Serikat juga terli-hat seolah-olah berhaluan sosialisme dengan menerapkan kebijakan “Buy American Product”, selain juga memberlakukan kredit pajak (tax credit) sebesar 20 persen untuk seap perusa-haan global AS yang berniat berinvestasi kembali di dalam negeri. Di sisi lain, Rusia telah meningkatkan tarif di sektor used automobiles dan Ekua-dor menaikkan tarif di lebih dari 900 macam barang.

Argenna menerapkan hambatan non tarif, seper keharusan licensing untuk komponen otomof, teksl, televisi, mainan, sepatu, dan barang-barang dari kulit, sementara Indonesia mengharuskan impor lima jenis produk (garmen, alas kaki, mainan anak-anak, elek-tronik, dan makanan serta minuman) dilakukan llewat lima pelabuhan utama. Negara-negara lain meningkatkan standar untuk produk-produk impor, misalnya India yang menaikkan standar bagi produk mainan dari China, dan China yang menaikkan standar untuk impor daging babi dari Irlandia, colekat dari Belgia, brandy dari Italia, telur dari Belanda, dan produk-produk peternakan dari Spanyol. Beberapa negara lain menggunakan instru-men bail out sebagai cara proteksinya. Di Ing-gris, sektor perbankan yang menerima dana bailout diharuskan untuk memberikan kredit atau pinjaman di dalam negeri. Tindakan yang kurang lebih sama juga dilakukan Perancis, yang mensyaratkan perbankan untuk memberikan pinjaman kepada maskapai penerbangan yang berpotensi menghenkan kontrak pembelian dengan perusahaan Airbus. Tindakan-ndakan proteksionis ini digambarkan oleh Presiden Per-ancis Nicholas Sarkozy sebagai berikut :

“...the situation in Europe means that you cannot

accuse any country of being protectionist

when the Americans put up to $30 billion

to support their automative industry...”

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

21

Sehubungan dengan ndakan proteksionis ini, laporan Global Trade Alert (GTA) menyatakan bahwa secara kumulaf ndakan diskriminasi perdagangan terlihat meningkat selama krisis fin-ansial global berlangsung. Tercatat antara No-vember 2008 hingga Juli 2011, terdapat 1.055 buah ndakan proteksionis di level global, dimanadimana 932 diantaranya bersifat diskriminaf dan 123 lainnya berpotensi melukai pelaku ekonomi asing. Selama kurun waktu ini, tercatat hanya ada 359 ndakan liberalisasi yang diterapkan, semen-tara ada 318 ndakan proteksionis lainnya yang hendak diluncurkan. Terkait ndakan-ndakan proteksionis ini, China menjadi sasaran uta-manya. Sementara itu, Argenna, China, Jerman, India, dan Rusia merupakan negara-negara yang paling ofensif dalam mengimplementasikan n-dakan proteksi.

“...the threat of protectionism may be greater now than any time since the start of the crisis, since other policies to restore growth have been

tried and found wanting...”

WTO menyebutkan bahwa semakin lamanya penyelesaian krisis ekonomi global, maka anca-man proteksionisme terhadap perdagangan global akan terus muncul. Pada tahun 2012 saat ekonomi global kembali menunjukkan penu-runan, tercatat perdagangan global hanya tumbuh sebesar 2 persen, padahal pada tahun 2011 perdagangan global bisa tumbuh hingga 5,2 persen. Pada tahun 2013, dengan mengacu pada suramnya prospek ekonomi global, WTO bahkan merevisi target pertumbuhan perda-gangan global dari 4,5 persen menjadi hanya 3,3 persen. Dalam pandangan Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy:

Di tengah terus meningkatnya upaya protek-sionisme yang dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia, WTO sendiri ternyata dak banyak menerima pengaduan pada badan trade dispute selement-nya. Hal ini berbeda dengan waktu-waktu sebelum krisis dimana n-dakan proteksi hampir selalu berujung pada mejameja WTO. Hal ini disebabkan oleh sejumlah hal. Yang pertama, ndakan proteksionisme yang diterapkan umumnya berupa murky pro-teconism, yang pada dasarnya daklah me-langgar aturan-aturan legal WTO.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

22

Saat sebuah negara meningkatkan tarif dagang-nya, negara tersebut akan menyesuaikannya supaya masih berada di bawah level bound tariff maksimal yang diizinkan organisasi ini. Yang kedua, seper tampak dalam kasus pemberian subsidi, dak adanya pengaduan yang diajukan ke WTO disebabkan oleh hampir semua negara menemenerapkan atau sedang memikirkan untuk kebi-jakan yang serupa. Paket smulus yang diberikan AS di sektor otomof juga diterapkan di negara lain, seper Uni Eropa. Yang kega, pengajuan ke meja WTO dipandang sebagai proses yang rumit, karena harus melibatkan pengumpulan buk-buk legal sehingga memakan waktu yang lama. Selama krisis berlangsung, WTO lebih banyak melakukan fungsi monitoring dan supervisi . WTO secara berkala mengeluarkan laporan mengenai aksi-aksi proteksionisme yang terus berkembang secara global. Meski demikian, WTO bergantung sangat besar pada ketersediaan data dari negara-negara anggotanya (terutama dari Ministry of Economics, Trade, and Industry/ METI dari Jepang) karena sekretariatnya masih mengalami kapasitas yang terbatas. WTO juga terlihat mem-batasi diri untuk dak mengkrisi ndakan anggota-anggotanya ini karena memang dak memiliki mandat tersebut. Terkait dengan Putaran Pembangunan Doha, krisis finansial global semakin memperburuk arah negosiasi perdagangan global. Krisis ini telah membuat prospek perundingan kian suram karena kini hampir semua negara berupaya me-nyelamatkan diri masing-masing terlebih dahulu dalam rangka mengatasi resesi berkelanjutan dalam pedalam perekonomian mereka.

Lebih jauh, walaupun sudah ada berbagai komitmen global untuk menekan proteksion-isme (misalnya dalam forum G20 dan APEC), pada kenyataannya komitmen ini hanya ber-hen di atas kertas tanpa ada implementasi secara nyata. Oleh karena itu, negosiasi Putaran Pembangunan Doha ke depan tampaknya akan semakin keras dan memperuncing perbedaan antara negara maju dan berkembang . Negara maju, atas dalih krisis global (yang berlanjut dengan krisis di zona Euro), akan semakin enggan untuk menghapus subsidi sektor perta-niannya, sementara negara berkembang akan semakin keras menolak untuk melakukan liberalisasi lebih jauh dalam perekonomian mereka.

III. Kemandegan dan Kedakefekfan APEC

Berbeda dengan regionalisme di Eropa (Uni Eropa) dan Amerika Utara (North American Free Trade Area/ NAFTA), APEC sebagai sebuah kerjasama ekonomi di kawasan Asia Pasifik daklah diarahkan menjadi regionalisme model Barat. Baik NAFTA maupun Uni Eropa memiliki struktur birokrasi yang besar dengan kewenan-ggan yang nggi untuk memaksakan komitmen-komitmen regional yang telah disepaka. Sementara itu, Sekretariat APEC hanyalah sebuah sekretariat kecil. Sekretariat APEC juga dak memiliki struktur organisasi yang memiliki kewenangan baik untuk merafikasi memaksa-kan keputusan-keputusan kolekf.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

23

Perbedaan dengan NAFTA dan Uni Eropa juga terlihat dari APEC yang dak pernah diarahkan menjadi sebuah closed regionalism, dimana dis-kriminasi dagang dan investasi diberlakukan secara nyata untuk anggota dan non-anggota. Pada kedua organisasi tersebut, berbagai kemu-dahan dan insenf diberikan untuk negaranegara anggota saja, sebaliknya disinsenf akan diberikan untuk negara non-anggota. Insenf ini umumnya diberikan dalam wujud pembebasan tarif, dimana negara anggota bisa menikma tarif hingga sebesar 0 persen. Itulah sebabnya dalam kasus NAFTA, Meksiko memiliki akses pasar ke AS yang jauh lebih luas dibanding-kan negara berkembang lainnya. Itulah pula se-babnya ekspor teksl dari Indonesia atau Bangla-desh cenderung kurang kompe f dibandingkan Meksiko di pasar AS. APEC mengadopsi prinsip open regionalism dalam kerjasama ekonominya. Pada dasarnya, prinsip open regionalism adalah upaya menjem-batani antara upaya integrasi regional dengan global, dalam hal ini liberalisasi dagang dalam kerangka mullateral di World Trade Organizaon (WTO). Pendekatan terbuka bisa dikatakan sebagai krik terhadap model NAFTA dan Uni Eropa yang cenderung membuat stumbling bloc dalam kerangka integrasi global. Liberalisasi dagang di-antara negara APEC dilakukan secara unilateral tanpa perlu menerapkan asas resiproksitas dari negara anggota lainnya. Oleh karena itu, mekanisme ini juga sejalan dengan prinsip Most Favored Naon (MFN) yang ada dalam WTO.

Lebih jauh open regionalism juga dak men-egaskan keharusan untuk menciptakan kontrak hukum yang mengikat bagi anggota-anggotan-ya. Open regionalism di kawasan Asia Pasifik sangat terpengaruh oleh pendekatan ASEAN dalam mewujudkan organisasi regional, yaitu pendekatan konsultasi (atau musyawarah) dan konsensus (atau mufakat). Instusi regional yang dibangun di APEC pun biasanya dak rigid menerapkan tenggat waktu kesepakatan kolek-f, sederhana, dan dak men-direct anggota-anggotanya untuk mematuhi regulasi-regulasi yang berlaku. Hal ini kembali membedakan APEC dengan Uni Eropa dan NAFTA yang cen derung sangat legalisk. Pada APEC, kesepaka-tan hampir selalu berwujud deklarasi (sifatnya dak mengikat) sementara pada Uni Eropa dan NAFTA, kesepakatan penng selalu berupa agreement atau convenon (sifatnya mengikat dan harus dirafikasi).

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

24

Oleh karena itu dalam konteks APEC, sebuah komitmen diantara anggota dicapai atas dasar prinsip volunterisme. Seap negara anggota mendapat kebebasan untuk menerapkan sendiri komitmennya, menyesuaikannya dengan level pembangunan dan kondisi polik domesk (prinsip fleksibilitas), dan dak dibatasi oleh komitmenkomitmen mengikat apapun. Sebagai manifestas-inya, seap negara APEC diminta untuk menyam-paikan Individual Acon Plan (IAP) seap tahun sebagai bahan rujukan dari akvitas-akvitas yang akan dilakukannya untuk mengimplementa-sikan kesepakatan kolekf. Dengan skema ini, seap negara anggota diperbolehkan untuk menentukan sendiri kecepatan implementasinya, sektor-sektor mana saja yang diprioritaskan, dan sektor-sektor mana yang kategorikan sensif. Jika merujuk pada konstelasi ekonomi dan polik di Asia Pasifik, prinsip-prinsip dasar yang diterapkan oleh APEC ini menjadi mudah dipa-hami. Pada dasarnya, Asia Pasifik merupakan ka-wasan dengan diversitas paling nggi di dunia. Secara ekonomi, level pembangunan diantara negara-negara di dalamnya sangat besar. Kawasan ini dihuni oleh negara-negara maju seper AS, Kanada, Australia, dan Jepang, selain juga negara-negara industri baru (Newly Industrialized Countries) seper Hongkong, Taiwan, Korsel, dan Singapura. APEC juga memiliki anggota negara berkembang seper China dan Indonesia serta negara-negara miskin seper Papua Nugini. SeSecara polik, diversitas juga terjadi, dimana ada negara-negara yang menganut demokrasi seper AS dan Indonesia, setengah demokrasi (paral democracy) seper Rusia, negara otoritarian sep-er Singapura dan Malaysia, serta negara “sosia-lis kapitalis” seper China dan Vietnam.

Tiap negara mewakili identas, latar belakang,dan kepenngan yang berbeda satu sama lain. Tidak mengherankan jika APEC selalu kesulitan untuk mendefinisikan tujuan-tujuan yang hendak dibawanya, cara-cara apa saja yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan terse-but, dan menentukan pola relasi intra dan inter-regional. Dalam kondisi ini, prinsip musyarawah, mu-fakat, dan volunterisme dipandang sebagai prinsip yang paling nyaman untuk diadopsi dalam rangka menjembatani segala perbedaan tersebut. Pilihan pendekatan seper ini bermakna ganda bagi APEC. Di satu sisi, prinsip open re-gionalism menjadi ciri khas yang membedakan APEC dengan regionalisme di kawasan lain. Di sisi lain, prinsip ini berkonsekuensi pada komit-men minimal yang diberikan anggota pada kesepakatan-kesepakatan organisasi. Tidak mengherankan jika dalam perkembangannya, APEC selalu dikrik karena dak pernah berha-sil memenuhi komitmen-komitmen yang telah dibuatnya.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

25

Kondisi tersebut terefleksi secara nyata dari implementasi Bogor Goals. Bogor Goals yang dis-epaka tahun 1994 di Bogor, Indonesia, dipan-dang sebagai kesepakatan bersejarah dalam APEC karena menekankan komitmen negara-negara di kawasan untuk membentuk “free and open trade and investment in the Asia Pacific in 2010 for de-velopedveloped countries and in 2020 for developing countries”. Masalahnya, cara pencapaian komitmen tersebut dak pernah didefinisikan secara jelas ataupun merefleksikan perdebatan riil di ka-wasan. AS, sebagai contoh, tentunya merasa enggan memberikan konsesi perdagangan kepada negara-negara Asia Timur yang telah mengekspor begitu banyak ke pasar AS. Di sisi lain,lain, negara-negara Asia Timur pun bersikap enggan membuka pasar domesknya yang cend-erung diproteksi sebagai pengaruh dari kelompok-kelompok bisnis dominan di dalam negeri.

APEC hanya bergantung pada mekanisme IAP (Individual Acon Plan) dalam mencapai Bogor Goals. Seper telah dibahas, mekanisme ini pun menyimpan permasalahan karena bersi-fat sukarela dan dak mengikat. Terlebih lagi, satu-satunya mekanisme kontrol dalam IAP hanyalah berupa evaluasi peer review dari sesamasesama negara anggota yang sifatnya sukarela dan dak mengikat. Tidak mengherankan jika pada akhirnya APEC sendiri mengakui bahwa komitmen Bogor Goals dak tercapai pada tahun 2010. Seper terlihat dari Deklarasi Yoko-hama tahun 2010 di bawah ini, negara-negara APEC akhirnya sepakat untuk memundurkan deadline-nya ini menjadi tahun 2020:

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

26

Perkembangan di atas pada akhirnya turut mempengaruhi perundingan liberalisasi perda-gangan APEC. Kegagalan dalam Bogor Goals kem-bali terefleksi dalam kesepakatan ini, yang mencerminkan besarnya perbedaan kepenngan dan dak efekfnya prinsip-prinsip APEC. Sepan-jang negosiasi, terlihat ada dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu kelompok Western dan Asian. Liberalisasi perdagangan APEC dimulai dengan negosiasi mengenai Early Voluntary Sec-toral Liberalizaon (EVSL) pada tahun 1997-1998, sempat meredup hingga tahun 2010, baru kemu-dian dimulai lagi pada skala yang lebih sempit (Environmental Goods and Services/ EGS) tahun 2011 hingga sekarang.

Sebelum bernama EVSL, sebenarnya liberalisasi dagang APEC diarahkan menjadi Concurrent Uni-lateral Voluntary Trade Liberalizaon (CUVTL). Dalam mekanisme ini, seap negara APEC di-harapkan untuk menurunkan tarifnya secara bersama-sama (concurrent) secara unilateral. Mekanisme ini juga mengharuskan penurunan ttarif dilakukan secara komprehensif di semua sektor ekonomi. Meski demikian, pertentangan muncul terutama dari negara-negara Asia Timur.

Mereka menilai bahwa kecepatan melakukan liberalisasi haruslah ditentukan oleh negara yang bersangkutan, mengingat ap negara memiliki kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendekatan fleksibel atau concerted unilateralism dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik karena lebih mencerminkan diversitas ekonomi dan kapasi-tas negara-negara di Asia Pasifik. Negara-negara di Asia Timur juga memandang bahwa dak semua sektor perlu untuk diliberalisasikan. Kon-disi inilah yang kemudian mengubah pendeka-tan CUVTL menjadi Early Voluntary Sectoral Lib-eralizaon (EVSL). Dalam EVSL, seap negadiperbolehkan menurunkan tarif sesuai dengan

kapabilitas ekonominya, selain juga dak lagi mengadopsi liberalisasi tarif menyeluruh sep-er yang diharapkan sebelumnya. Kondisi ini sangat menguntungkan untuk negara-negara Asia, terutama China, Jepang, dan Korsel, yang berkeinginan untuk mengeluarkan sektor perta-nian dari kewajiban liberalisasi, tetapi di sisi lain menimbulkan rasa frustasi bagi AS yang meng-inginkan liberalisasi menyeluruh dan terjadwal.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

27

Negosiasi yang alot antara dua kubu dalam APEC tercermin pada secara jelas dalam proses negosiasi yang terjadi. Kelompok Western (disebut juga sebagai kelompok Package Deal) menginginkan EVSL berbentuk package deal, dimana seap negara anggota harus memiliki komitmen yang sama dan harus berparsipasi dalamdalam seap sektor. Fleksibilitas hanya diberikan dalam wujud perpanjangan waktu liberalisasi. Kelompok ini menjadi ketua Specialist Group pada 5 dari 8 sektor yang termasuk dalam Front-Nine (satu sektor, yaitu MRA sektor telekomu-nikasi dak diarahkan untuk liberalisasi), seh-ingga mereka bisa memaksakan hasil-hasil rundingan di level pejabat nggi untuk dibawa ke level diatasnya. Di sisi lain, kelompok Asia (disebut juga kelompok voluntarism) digalang oleh negara-negara yang masih sensif terhadap liberalisasi yang dipimpin oleh Jepang. Kelompok ini menginginkan fleksibilitas dan volunterisme secara penuh, termasuk dalam hal memilih atau dakdak memilih ikut serta dalam sektor-sektor yang memberatkan mereka. Secara khusus, Jepang menyuarakan keberatannya untuk berparsipasi di sektor perikanan dan kehutanan (Front-Nine), serta sektor makanan dan oilseeds (Back-Six). Pertentangan-pertentangan ini telah mem-buat negara-negara APEC dak berhasil mencapai kesepakatan dan memutuskan menyerahkan ne-gosiasi EVSL ini ke level WTO. Dalam pernyataan resminya, negara-negara APEC berdalih bahwa APEC hanyalah berstatus lembaga konsultaf dan bukan lembaga negosiasi, sehingga dak harus mencapai kesepakatan final. Di level WTO, kes-epakatan EVSL bergan nama menjadi Acceler-ated Tariff Liberalizaon (ATL).Meski demikian, mengingat nature-nya sebagai kesepakatan

dak mengikat, selain juga pertentangan yang begitu besar sebelumnya, negara-negara APEC sulit diharapkan komitmennya untuk terus memperjuangkan ATL ini. Terlebih lagi, negosiasi-negosiasi dalam WTO akan melipu sejumlah isu sensif, seper an-dumping, lib-eralisasi sektor pertanian, relasi perdagangan-buruh, dan lain-lain. Ini arnya semakin besar potensi terjadi friksi diantara negara-negara APEC, sehingga secara keseluruhan EVSL dikata-kan sebagai kegagalan. Kegagalan EVSL berujung pada memudarnya kredibilitas APEC di awal dekade 2000an. Di masa ini, lambatnya perundingan APEC, bersa-maan dengan lambatnya perundingan WTO telah membawa konsekuensi pada proliferasi perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) bilateral. Perjanjian-perjanjian ttersebut dibuat dalam skala bilateral karena lebih mudah mempertemukan kepenngan pihak-pihak yang ada jika pelakunya lebih sedikit. AS membuat kerjasama dengan Sin-gapura dan Korsel, selain juga tengah bernego-siasi dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand. Jepang juga tercatat cukup masif melakukan perjanjian FTA bilateral, seper yang dilakukan-nya dengan Singapura, Meksiko, Indonesia, dan ASEAN. Sementara itu, Singapura tercatat seba-gai negara yang paling masif melakukan perjan-jian bilateral, antara lain dengan Australia, Se-landia baru, Jepang, AS, European Free Trade Associaon (EFTA), dan Chile. AS juga menjadi pelopor bagi pembentukan Trans-Pacific Part-nership (TPP) yang diarahkan pada pembentu-kan kesepakatan perdagangan bebas di Asia Pasific yang bersifat strict dan mengikat.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

28

III. Indonesia dalam Dinamika Ekonomi Polik Global Kontemporer

Sejumlah pengamat ekonomi dan hubungan internasional berpendapat bahwa krisis global tahun 2008 juga menjadi momentum bagi makin signifikannya peranan dari negara-negara emerg-ing economies seper China, Brazil dan India di tengah kemunduran ekonomi yang dialami oleh AS dan Eropa . Hal ini sejaan dengan prediksi Jim OO’Neill tentang sejumlah negara berkembang yang berpotensi menggankan kekuatan G7 dalam perekonomian global pada tahun 2050 mendatang, yaitu Brazil, Rusia, India dan China. BRIC yang pada awalnya merupakan terminologi buatan O’Neill selanjutnya menjadi sebuah forum kerjasama internasional yang resmi berdiri pada ttahun 2009. Dengan masuknya Afrika Selatan (South Africa) pada tahun 2011, BRIC kemudian bertambah dengan huruf S menjadi BRICS.

KEEP SMILE

Krisis ekonomi global tahun 2008 menjadi sebuah momentum tersendiri bagi emerging economies seper Brazil, Rusia, India dan China untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan polik dengan membentuk forum yang dapat meningkatkan daya tawar mereka dalam sistem ekonomi dan polik internasional dengan per-temuantemuan ngkat nggi (summit) yang bersifat regular seap tahunnya. Beragam isu dan ker-jasama dibahas dalam forum ini, termasuk re-formasi sistem finansial global dengan meng-garisbawahi keinginan mereka akan sebuah re-formasi dalam global governance. Pada per-temuan BRICS bulan Maret 2013 di Duban, Afrika Selatan, dibahas tentang rencana mem-bangun BRICS Development Bank, kesepakatan untuk memiliki dana cadangan bersama sebe-sar 100 milyar dollar AS, dan pembentukan lem-baga think tank BRICS serta BRICS Business Council . Semua perkembangan ini menunjuk-kan bahwa kelima negara anggota BRICS gatlah serius untuk meningkatkan substansi kerjasama di antara mereka dan mengordinasi-kan kemungkinan peranan global yang jauh lebih besar dalam ekonomi dan polik dunia di masa mendatang.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

29

Namun demikian, negara-negara yang tergo-long emerging economies, di mana Indonesia sering dimasukkan di dalamnya, saat ini pun tengah dihadapkan pada situasi kedakpasan. Benar bahwa fundamen ekonomi AS dan Eropa memang masih sangat rapuh. Sebagai contoh, tumpukan utang AS sudah mencapai 16 triliun dollardollar AS atau 105 persen dari PDBnya, jauh di atas 60 persen yang merupakan ambang batas aman. Ini tetap sangat bahaya karena AS teran-cam default sewaktu-waktu . Namun demikian, tetap saja dinamika ekonomi yang terjadi di AS sangat berpengaruh bagi perkembangan ekonomi di negara-negara emerging economies tersebut. Keka guberner Bank Sentral AS, Ben Bernanke, akhir Mei 2013 membuat pernyataan akan me-narik kebijakan pelonggaran moneter (quantave easing) karena perekonomian AS yang dianggap sedang membaik, dampaknya langsung negaf bagi negara-negara berkembang

seper India, Brazil, Turki, Indonesia dan Afrika Selatan. Akibatnya, kurs negara-negara berkem-bang mengalami penurunan nilai yang drass. Akhir Agustus 2013, kurs mata uang telah anjlok 22 persen di India, 15 persen di Indonesia, dan 5 persen di Turki . Sebelumnya, keka ngkat bunga di AS hampir nol, investor berduyun-duyun ke psar bursa negara-negara berkembang untuk men-cari keuntungan yang lebih besar. Laporan HSBC menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2012 mencapai 1,2 triliun dollar AS, setara dengan dana yang masuk ke negara berkembang dalam sepuluhsepuluh tahun terkhir sebelum tahun 2012. Pasca pernyataan Bernanke sampai dengan akhir Agustus 2013 diperkirakan lebih dari 1,5 triliun dollar AS telah meninggalkan pasar saham di negara-negara berkembang . Inilah yang menyebabkan mata uang negara-negara berkembang mengalami depresiasi yang dras-s, yang menyebabkan terjadinya defisit neraca pembayaran yang berdampak langsung pada penurunan cadangan devisa.

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

30

Di sisi lain, banyak negara berkembang ter-masuk Indonesia dan Brazil yang dalam perda-gangan internasionalnya mengandalkan produk-produk komoditas primer. Kebangkitan ekonomi China memberikan keuntungan karena kemam-puannya menyerap produk-produk komoditas tersebut. China muncul sebagai mitra dagang utama yang menyedot ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia, kayu keras Kamboja, dan bijih besi Brazil . Namun demikian, mulai berlang-sungnya perlambatan ekonomi China menyebab-kan negara eksporr komoditas yang besar sep-er Brasil dan Indonesia mengalami penurunan ekspor. Pada 9 Juli 2013, untuk kesembilan kalinya secara berturut-turut, IMF menurunkan prediksi pertumbuhan internasionalnya. Menurut IMF, pelemahan ekonomi China dan risiko kem-balinya uang ke negara-negara maju untuk pasar negara berkembang yang selama ini menjadi pen-dorong posip bagi perekonomian dunia . Dapat disimpulkan bahwa dinamika ekonomi global dalam lima tahun terakhir tetap diwarnai oleh kedakpasan. Memang benar bahwa kon-disi makro dan fundamen ekonomi negara-negara emerging economies seper Brasil, China, India dan Indonesia jauh lebih baik daripada AS dan Eropa. Namun seper terbuk dari efek yang dit-imbulimbulkan oleh pernyataan Bernanke, kondisi-kondisi di negara-negara emerging economies sangat mudah dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam ekonomi AS. Interdependensi ekonomi telah terjalin sangat erat antar negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Di samping itu, dinamika ekonomi China yang tetap bertumbuh nggi namun mulai mengalami pelemahan juga berpengaruh negaf bagi negara

negara mitra dagangnya, termasuk negara-negara berkembang seper Indonesia. Indonesia yang kerap digolongkan sebagai emerging economies juga terancam oleh adanya perubahan-perubahan kecenderungan yang terjadi dalam lingkungan global, dengan sebab yang sangat bervariasi. Indonesia secara langsung mengalami dampak buruk dari penari-kan modal besar-besaran dari pasar finansial akibakibat pernyataan Bernanke yang menyebutkan kemungkinan AS akan segera memberlakukan kebijakan uang ketat karena terdapatnya in-dikasi bahwa ekonomi AS semakin membaik. Akibatnya terjadi pelarian modal dari pasar fin-ansial di negara-negara berkembang, tak terke-cuali Indonesia. Akibatnya rupiah mengalami pelemahan menembus level batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Kurs rupiah terhadap dollar AS menurun menjadi Rp 10.300 pada bulan kega Juli 2013 dan terus menurun men-jadi Rp 10.924 per dollar AS pada akhir Agustus 2013 .

MENGKRITISI KETERLIBATAN INDONESIA DALAM FORUM KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL: KASUS KEKETUAAN INDONESIA DALAM APEC DAN WTO

Syamsul Hadi, Ph.DPengajar Ekonomi Polik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Depok

31

Indonesia juga telah mengalami defisit tran-saksi berjalan (kinerja ekspor barang dan jasa serta impor barang dan jasa) selama tujuh triwu-lan berturut-turut. Transaksi berjalan masih posi-p pada 1,685 miliar dollar AS. Namun, sepanjang tahun 2012, transaksi berjalan defisit 24,321 miliar dollar AS . Ini terutama disebabkan oleh melonjaknya impor produk migas. Defisit tran-saksi berjalan pada triwulan II tahun 2013 telah mencapai 9,8 miliar dollar AS. Defisit transaksi berjalan berpengaruh besar bagi memburuknya neraca pembayaran (transaksi berjalan digabung-kan dengan transaksi modal dan finansial), yang pada akhirnya memperbesar penyusutan cadangan devisa. Pada bulan Agustus 2013, cadangan devisa Indonesia nggal 92 miliar dollar AS, pada-hal Agustus 2011 mencapai 124 miliar dollar AS . Beban utang Indonesia juga menjadi semakin berat. Rasio pembayaran utang atau debt service rao (DSR, pembayaran utang dibagi penerimaan ekspor) Indonesia menembus angka 41,4 persen pada triwulan II tahun 2013. Dalam sejarahnya, DSR baru menembus angka 30 persen pada tahun 2012. DSR pada tahun 2006 hanya 7,6 persen, tahuntahun 2007 sebesar 18,3 persen, tahun 2010 19,8 persen, dan tahun 2011 sebesar 21,7 persen. Untuk mengendalikan DSR yang semakin besar, maka diperlukan peningkatan ekspor yang besar pula. Padahal ekspor sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dunia, termasuk pele-mahan ekonomi China yang menjadi penyerap terbesar ekspor komoditas Indonesia. Padahal 65 persen dari ekspor Indonesia adalah ekspor ko-moditas, sehingga masalahnya menjadi lebih sulit diatasi.

IV. Catatan Penutup Uraian yang cukup panjang di atas kiranya cukup dapat menggambarkan bagaimana ke-beradaan Indonesia sebagai tuan rumah KTT APEC dan WTO sebenarnya dak koheren dengan kondisi-kondisi eksternal (global) maupun internal (nasional). Dengan demikian, keinginan Indonesia untuk tampil sebagai kkekuatan diplomasi yang hebat dalam skema liberalisasi perdagangan di ngkat global (WTO) maupun regional (APEC) dak menemukan pi-jakan struktural yang kuat secara global maupun mengakar secara domesk. Dalam kaitan dengan dinamika ekonomi global dalam kaitannya dengan WTO dan APEC, ada sedaknya ga hal yang perlu digaris-bawahi. Pertama, sejak terjadinya krisis finansial global tahun 2008 kebanyakan negara, dengan dipelopori oleh negara-negara maju, justru bergerak ke arah prinsip-prinsip kebijakan yang mendahulukan kepenngan nasional dengan menghindari untuk memberikan komitmen bagi liberalisasi perdagangan dalam kerangka mullmullateral. Kedua, terkait dengan poin pertama, terjadi stagnasi perundingan perdagangan bebas di WTO, yang justru berakar dari keengganan negara-negara maju untuk melakukan liberal-isasi di sektor-sektor yang menguntungkan negara-negara berkembang, khususnya sektor pertanian.

AbstrakPertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan ber-langsung pada 3 hingga 6 Desember 2013, di Bali Indonesia. Pertemuan ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali (atau bahkan memperluas) sistem kapitalisme di bawah rezim

WTO. Ini didukung dengan kenyataan bahwa untuk menyikapi tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia belakangan ini, banyak negara mulai mengambil ndakan proteksi. Termasuk,

melalui perluasan berbagai inisiaf regionalisme perdagangan.

Dalam Dalam kondisi demikian itulah, Konferensi Tingkat Menteri WTO di Bali hendak mendorong pertumbuhan ekonomi dengan kembali memajukan sistem perdagangan mullateral. Ada ga agenda utama yang menjadi fokus pembahasan, masing-masing: fasilitasi perdagangan (Trade Facilitaon), paket pembangunan negara-negara kurang berkembang (LDCs Develop-ment Package), dan pertanian (Agriculture). Belakangan, keganya lebih dikenal sebagai

Paket Bali atau Bali Pakage.

TTulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran teraktual prakk liberalisasi perdagangan dan investasi di dunia, termasuk dampaknya bagi Indonesia. Pada akhirnya memberikan per-mbangan bagaimana sebaiknya gerakan sosial dan lingkungan hidup di Indonesia menyikapi

Konferensi WTO di Bali dengan Bali Package-nya.

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

32

Absract

Memperparah Krisis

Pada paruh pertama dekade 90-an, pro-posal berdirinya WTO dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan (baca: keadilan dan kesejahteraan) melalui peng-aturan sistem perdagangan global—selanjut-nya disebut perdagangan bebas mullateral. Yang terjadi justru sebaliknya! Paradigma pembangunan yang berorien-tasi pasar telah memperluas pasar komoditas menjadi pasar sumberdaya alam. Bahkan, me-nyebabkan over produksi dan persaingan yang dak sehat: antar negara, antar sektor, hingga antar komoditas. Peran negara untuk melind-ungi rakyatnya pun terus diperlemah. Pada kenyataanya, WTO telah bekerja efek-f untuk memperkuat hegemoni sebagian negara-negara anggota terhadap mayoritas negara lainnya (baca: anggota dan non-anggota) melalui kebijakan perdagangan bebas. Langkah ini dijalankan melalui pengu-rangan dan penghilangan hambatan pergangan seper tarif dan non-tarif, termasuk mendorong penghapusan subsidi bagi sektor-sektor strategis rakyat.

Sedang pada yang sisi lain, WTO juga telah ber-hasil memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Untuk itulah, WTO memperkuat instrumen perdagangan dengan mendirikan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispu(Dispute Selement Body). Dari sini, krisis ber-mula dan semakin parah. Pertama, krisis perdagangan dan pengelolaan pangan. Faktanya, meski sekitar 48% produksi sereal dan lebih dari 40% produksi daging dunia berasal dari kawasan Asia (FAO, 2012), kenyataan-nya 6 dari 10 orang di dunia yang hidup dalam ke-laparan nggal di Asia.

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

33

Gambar 1. Berbagai Fakta Kempangan Pengelolan Pangan DuniaSumber: IGJ (2013) diolah dari FAOStat (2012); Naonal Geographic (Nov, 2009); The State of World Fishery 2008 (FAO, 2009)

Masalah yang sama terjadi dalam hal pen-gelolaan perikanan. Meskipun lebih dari 70% produksi ikan dunia berasal dari negara-negara berkembang, pada kenyataannya, konsumsi ikan rata-rata negara-negara berkembang hanya sekitar 16 kg/kapita/tahun. Jumlah itu jauh di bawah rata-rata konsumsi negara-negara maju, yang mencapai 29 kg/kapita/tahun (FAO, 2009). Persoalannya menjadi lebih rumit, setelah subsidi pertanian dan perikanan rakyat di negara-negara berkembang terus menerus dipersoalkan. Sebaliknya, negara industri, sep-er Uni Eropa justru leluasa memberikan sub-sidi yang besar kepada sektor pertaniannya melalui Common Agriculture Policy (CAP). De-mikian pula, Amerika Serikat secara terbuka telah menyatakan menolak untuk menghapus subsidi pertanian mereka.

defisit lebih dari US$ 6,5 miliar atau setara dengan 11,4 juta ton produk pangan. Kedua, krisis ekonomi yang pada akhirnya me-nyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi disejumlah kawasan (lihat Gambar 2). Hal ini seka-ligus mendorong bergeraknya investasi dari negara-negara industri ke negara-negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Koordi-nasi Penanaman Modal, diketahui lebih dari 90% investasi di sektor perkebunan, peternakan, perta-nian, perikanan, dan pertambangan berupa pena-naman modal asing. Dominasi investasi asing masih berlanjut di 2013. Celakanya, dari berbagai sektor investasi tersebut justru ditemukan prakk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan perusakan lingkungan. Bahkan Markas Besar Kepolisian RI mencatat sebanyak 588 potensi konflik terkait perebutan sumberdaya alam yang melibatkan petani, nelayan, dan masyarakat adat disepanjang 2012.

Di Indonesia, minimnya dukungan pemerintah kepada sektor pertanian dan perikanan rakyat telah mem-perparah ketergantungan terhadap berbagai produk pangan impor. Di 2012, nilai imporimpor makanan mencapai US$ 17,2 miliar atau menin-gkat 47% dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar US$ 11.7 milyar. Nilai impor yang nggi telah meningkat-kan defisit perdagangan Sampai kwartal kega 2012, tercatat neraca perdagangan

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

34

Kega, krisis iklim. Pada kenyataannya, dunia telah gagal mencegah peningkatan suhu global di atas 2ºC. Hambatan terbesarnya adalah kedakberdayaan berbagai inisiaf re-gional maupun internasional untuk memotong volume pembuangan emisi karbon—sebagai konsekuensi mengejar pertumbuhan ekonomi dibdibawah rezim perdagangan bebas. Pada kel-ompok APEC misalnya, diketahui 4 dari 21 ang-gotanya, masing-masing: Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Jepang—tercatat sebagai emitor karbon terbesar di dunia. Celakanya, APEC justru memilih untuk “memuhkan” tanggungjawabnya dengan sekedar memberi dukungan pendanaan kepada Green Climate Fund (GCF). Padahal, FAO sejak 2010 silam telah men-egaskan bahwa perubahan iklim membawa dampak berlapis (mulple effects) terhadap produkvitas masyarakat di pedesaan dan daerah-daerah yang telah mengalami ngkat rawan pangan nggi.

Paket Bali

Sulit dihindari, bahwa negara-negara maju-ditengah situasi perlambatan pertumbuhan ekonominya—sangat berkepenngan terhadap perluasan dan penguatan liberalisasi perdagangan dengan memaskan pasar tetap terbuka. Kar-enanya, Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali ditujukan untuk menyelesaikan perundingan Putaran Doha (Doha Round) melalui pengambilan kesepakatan atas beberapa perjanjian kunci yang belum tuntas dalam perundingan-perundingan sebelumnya. Perjanjian kunci tersebut disusun dalam sebuah paket yang disebut Paket Bali. Paket Bali terdiri dari 3 perjanjian, yaitu fasilitas perda-gangan (trade facilitaon), paket pembangunan negara-negara kurang berkembang (LDCs), dan perjanjian pertanian (agriculture).

Gambar 2. Grafik Volume Emisi Karbon di Negara-negara APEC, 2010-2011

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

35

Secara substansial, trade facilitaon bertu-juan untuk mempermudah akses pasar ekspor-impor melalui fasilitasi perdagangan yang dilengkapi dengan standarisasi prosedur kepabeanan (customs procedures) dan terikat sanksi. Isu trade facilitaon sebenarnya hanya akan menguntungkan negara-negara maju kakarena lebih memfasilitasi impor daripada ekspor. Hal ini akan berdampak pada pening-katan jumlah impor dan menghancurkan daya saing produk lokal. Meski dalam menjalankan kesepakatan trade facilitaon terdapat ketentuan Special and Differenal Treatment (SDT) dalam bentuk technical assistance dan capacity build-ing, hal ini dak akan memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Sebab pada akhirnya, dalam pprakk perdagangan mullateral, pemberian bantuan pendanaan oleh negara maju akan menyandera ataubahkan melemahkan posisi tawar negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Lalu, paket pembangunan negara-negara kurang berkembang (LDCs). Disini, LDCs ber-maksud hendak mendapatkan perlakuan khusus dan pengecualian dalam proses perda-gangan mullateral, berupa:

Namun, penerapan perlakuan khusus dan ber-beda untuk LDCs dak semulus dan semudah yang diharapkan. LDCs masih harus berjuang untuk mendapatkan perlakuan khusus itu, karena dak ada negara maju yang mau secara sukarela mem-berikan kemudahan akses pasar bagi LDCs, khususnya bagi Amerika Serikat. Terakhir, isu pertanian, khususnya terkait dengan urusan subsidi ekspor, praktek dumping dan pemanfaatan bantuan pangan (food aid) yang kerap dimanfaatkan oleh negara-negara industri dan perusahan transnasional pangan untuk mem-perluas bisnisnya di negara-negara lain. Dalam konferensi WTO kali ini, G-33 muncul dengan usulanusulan agar negara-negara berkembang diberikan pengecualian dan perlakuan berbeda untuk melakukan domesc support terkait pembelian stok pangan.

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

36

Sehingga negara, gagal pula dalam mendidik, mencerdaskan, bahkan menyejahterakan rakyat Indonesia. Bahkan dalam dimensi regional dan in-ternasional, parsipasi Indonesia memperkuat in-strumen WTO justru memperparah angka kela-paran, kemiskinan, bahkan kekacauan (baca: konf-lik agraria), bukan perdamaian. Olehnya, momentum Konferensi Tingkat Men-teri ke-9 WTO di Bali, 3 hingga 6 Desember men-datang, harus diopmalkan sebagai media kon-solidaf untuk membangun gagasan alternaf. Secara argumentaf, gerakan sosial dan lingkun-gan hidup, baik di Indonesia maupun dunia, perlu terus menyuarakan 3 hal berikut :

Adapun tujuan dari proposal ini adalah untuk: mendukung produsen berpendapatan rendah (low income and poor resources producers/ petani miskin), program land reform, pemban-gunan pedesaan dan keamanan penghidupan desa. Namun dapat dipaskan, usulan ini segera mendapat hambatan besar dari AmeriAmerika Serikat dan Uni Eropa.

Rekomendasi

Indonesia adalah negara yang konstusinya secara jelas dan otenk menyebutkan bahwa tujuan kemerdekaan adalah: melindungi se-genap bangsa dan seluruh tumpah darah In-donesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan terlibat dalam menegakkan perdamaian dunia. Bahkan dalam ketentuan yang lebih opera-sional, Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa "Bumi, air, dan ke-kayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"

Dalam substansi konstusi tersebutlah, Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO, patut diper-soalkan konstusionalitasnya. Sebab, seper diuraikan diatas, 18 tahun keterlibatan Indone-sia di WTO justru telah membatasi dan mereduksi peran negara dalam melindungi warga dan wilayah kedaulatan kepulauan In-donesia dari ancaman berbagai produk dan in-vestasi asing.

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

37

Riza Damanik, Kalibata, 4 Oktober 2013

Konferensi WTO di Bali: Momentum Membangun Alternatif

M. Riza Damanik Direktur Eksekuf Indonesia for Global Jusce

38

“..kapitalisme selamanya akan mencari jalan untuk membentuk lanskap geografis yang bisa mem-fasilitasi akvitasnya di satu waktu, hanya untuk kemudian menghancurkannya dan membangun lanskap yang sama sekali baru demi memuaskan kehausan abadi dari akumulasi kapital tanpa akhir. Inilah sejarah destruksi kreaf dari kapitalisme yang terukir pada lanskap geografis historis yang sesungguhnya dari akumulasi kapital.” (David Harvey, New Imperialism, 2003:101)

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang

Apa itu Master Plan Percepatan dan Perlua-san Perekonomian Indonesia (MP3EI)? Cara baca seper apa yang harus digunakan untuk memahami MP3EI? Dua pertanyaan ini diem-ban sebagai tugas yang harus dijelaskan oleh tulisan ini. Rantai penjelasannya dak bisa dimulai dari suatu region yang bernama Indonesia saja. Indonesia hanya satu k kecil dari jejaring yang ingin dibangun untuk perluasan kapital dari suatu tata konstruksi geografis yang bernama Asia, lalu meluas menjadi Asia dan Pasifik, bahkan melebar lagi menjadi beyond ASEAN atau tanpa batasan geografis, melampaui sejauh-jauhnya dari sekedar Indo-nesia. Skema, skenario, retorika disusun dan ditetapkan sebagai rencana perluasan kapital tersebut. Sebagai ide orisinil untuk kepenn-gan perluasan perekonomian Indonesia, MP3EI dak berdiri sendiri. Sedari rencana, MP3EI adalah derivat atau turunan dari ren-cana lain yang lebih luas, yaitu Comprehensive AsiaAsia Development Programme (CADP) dan Master Plan of ASEAN Connecvity (MPAC).Oleh sebab itu, menjadi penng untuk dimenger apa ar dari keterhubungan antara kega instrumen perencanaan ini dalam kon-teks pelancaran konnuitas akumulasi melalui pembentukan regionalitas. Suatu region ber-nama Indonesia, lalu menjadi ASEAN, melebar

lagi menjadi ASEAN + 3 dan ASEAN + lainnya adalah hasil dari konstruk sosial; sebuah konsep yang bukan sekedar penamaan wilayah geografis. Konsep yang melandasi pembentu-kan regionalitas ini merupakan alat baca yang akan digunakan untuk memahami cara kerja MP3EI dan hasil yang akan diproduksinya. Implikasi sosial ekologis dari MP3EI saat ini bisa diramalkan tapi belum bisa disimpulkan karena operasionalisasi MP3EI dalam bentuk proyek-proyek infrastruktur dan perluasan perkebunan, pertambangan dan industri lain-nya masih terserak dalam dokumentasi be-ragam pihak. Oleh sebab itu, pembahasan dari cara baca MP3EI ini akan dimuarakan pada bentuk-bentuk tantangan yang dihadapi oleh gerakan sosial, kembang mengulang ramalan bencana yang sudah lama diketahui berdasar-kan pengalaman proyek-proyek pembangunan dalam lima dekade terakhir. Maka alat baca yang kami tawarkan untuk memahami MP3EI agar sampai pada iden-fikasi tantangan konkrit yang dihadapi oleh gerakan sosial adalah suatu konsep yang dis-ebut oleh David Harvey (2001. 2003, 2007) se-bagai ‘spao-temporal fix’ atau solusi ruang-waktu dari masalah akumulasi dan proses yang memungkinkan ekspansi geografis untuk per-luasan kapital terus berlangsung, bernama: akumulasi melalui perampasan (accumulaon by dispossession).

39

“..kapitalisme selamanya akan mencari jalan untuk membentuk lanskap geografis yang bisa mem-fasilitasi akvitasnya di satu waktu, hanya untuk kemudian menghancurkannya dan membangun lanskap yang sama sekali baru demi memuaskan kehausan abadi dari akumulasi kapital tanpa akhir. Inilah sejarah destruksi kreaf dari kapitalisme yang terukir pada lanskap geografis historis yang sesungguhnya dari akumulasi kapital.” (David Harvey, New Imperialism, 2003:101)

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang

Kontradiksi Internal Kapitalisme, Akumu-lasi Berlebih dan Spao-Temporal Fix

“Rajawali diberi kesempatan investasi di Merauke. Kami mengusulkan ijin lahan 70.000 hektare karena investasi di Papua harus skala besar, tanah harus luas, lahan kecil dak untung. Dalam undang-undang pertanahan satu perusahaan maksimal 35.000 hektar, maka Rajawali ajukan dua perusahaan untuk dapdapat 70.000”. Pernyataan ini disampaikan oleh perwaki-lan dari grup perusahaan yang menanamkan modal di Merauke untuk perkebunan tebu. Dengan lugas disampaikan bagaimana logika kapital bekerja: investasi harus untung, ska-lanya harus besar. Di lain kesempatan, MEDCO yang berhadapan dengan warga yang memprotes kegiatan perusahaan ini di Merauke berdalih bahwa “Hutan ini sudah tua, sudah dak produkf, maka kami lakukan regenerasi supaya jadi produkf.” Perusahaan ini mengimajinasikan suatu perubahan lanskap, pembentukan lanskap baru yang lebih produk-f dengan menghadirkan investasi perkebunan akasia di tanah seluas ratusan ribu hektar untuk menggankan ekosistem rawa yang di-tumbuhi beragam jenis pohon kayu puh yang menjadi gantungan hidup orang Marind, pen-duduk di tanah itu sejak jaman tete-nenek moyang.

Di lain tempat, masih di Merauke, grup Mur-daya mendatangi orang Marind-Bian dan beru-saha meyakinkan para pemilik tanah bahwa “Kami dak ambil bapa punya tanah. Kami cuma pinjam supaya tanah kosong ini bisa di-manfaatkan. Nan keuntungannya milik bapa juga. Hutan dak rusak karena pohon-pohon yang dibongkar akan kami gan dengan kelapa sawit yang sama hijaunya”.

Hamparan hutan seluas mata memandang di-pandang sebagai tanah kosong yang dak akan berkurang ‘kebaikannya’ jika digankan oleh ribuan batang kelapa sawit satu jenis saja. Retorika-retorika yang diarkulasikan oleh para pemilik modal ini tepat menggambarkan apa yang disebut oleh David Harvey (2001, 2003, 2007),

40

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang meminjam sekaligus mengembangkan konsep Marx, sebagai ‘spao-temporal fix’ atau upaya solusi ruang-waktu untuk melancarkan akumu-lasi, mengatasi kemacetan investasi. Kaum pemilik modal secara tak hen dengan be-ragam siasat akan selalu membutuhkan ruang baru untuk akumulasi kapital, karena sebagian surplussurplus yang mereka akumulasi harus selalu bisa diputar kembali dalam sirkuit kapital agar aliran surplus dak macet. Jika macet, maka akan terjadi ‘musibah’ yang bernama penum-pukan akumulasi secara berlebih (over accu-mulaon). ‘Musibah’ ini adalah krisis yang diciptakan sendiri oleh gerak tak hen dari akumulasi kapital yang dak memperhakan bahwa pasar punya batas, demikian menurut Marx sebagaimana dikup oleh Harvey (2001, 2003). Corak produksi kapitalisme menghasilkan nilai surplus tapi surplus itu sendiri secara peri-odik akan menghasilkan krisis atau kehan-curan. Inilah yang disebut sebagai kontradiksi internal dari kapitalisme. Alih-alih menjadi ma, krisis justeru menjadi pendorong untuk dibentuknya sirkuit baru putaran kapital, bahkan pada tataran yang lebih canggih. Krisis bisa memiliki beragam wajah, be-berapa diantaranya ditandai oleh devaluasi aset, pemutusan hubungan kerja dan pengang-guran, mesin-mesin yang terlantar, pabrik yang dak lagi beroperasi, tanah perkebunan yang dak lagi diusahakan. Semua hal ini adalah ikutan sekaligus dialekka dari surplus kapital yang dak bisa diinvestasikan, turunnya ng-kat laba, ngkat permintaan yang rendah, penurunan daya beli, dan seterusnya.

Jika hal ini terjadi maka Negara akan keba-karan jenggot karena roda perekonomian mengalami kemacetan dan stabilitas polik menjadi taruhan. Pada k inilah Negara ber-peran memfasilitasi untuk dikembangkan be-ragam jalan, terutama melalui regulasi, baik dengan cara persuasi maupun paksaan, agar krisis atau kemacetan sirkuit kapital ini bisa diurai. Sedikitnya ada empat jalan dimana krisis kemudian diubah menjadi peluang dalam bentuk yang lebih canggih dari sebelumnya, baik karena difasilitasi oleh Negara maupun karena kerja kapital itu sendiri. yakni: 1) penggunaan teknologi baru untuk men-ingkatkan produkvitas, sementara mesin dan teknologi lama menjadi lebih murah karena devaluasi, sehingga mudah dilikuidasi; 2) karena produksi dan efisiensi dingkat-kan melalui pembaruan teknologi, maka ter-jadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang menganggur. Kondisi ini menguntungkan pemilik kapital karena akan menurunkan upah tenaga kerja; 3) surplus kapital akan ditarik untuk ditana-mkan pada lini-lini produksi yang lebih meng untungkan; 4) permintaan efekf untuk semua produk diperluas dengan dilapangkannya jalan untuk ‘pembukaan pasar baru dan wilayah produksi baru’ (Harvey 2001). 41

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Pilihan ke-empat biasanya menjadi pilihan yang sering diambil oleh para pemilik kapital dengan menggunakan tangan negara, yakni melakukan ekspansi geografis ke wilayah baru dan sekaligus melakukan rekonstruksi ruang untuk memaskan sirkulasi produksi dan dis-tribusi dari satu tempat ke tempat lain terja-minmin ketersambungannya dan bisa terlaksana dalam waktu yang secepat-cepatnya untuk mendatangkan keuntungan-balik. Transpor-tasi, pembangunan infrastruktur dan teleko-munikasi adalah syarat mutlak untuk menihil-kan kendala ruang melalui waktu (annihilaon of space by me). Pengiriman barang dengan transportasi udara, misalnya, mendekatkan jarak ribuan kilometer dengan hitungan waktu yang dipersingkat dibandingkan apabila jarak itu harus ditempuh melalui laut atau darat. Karena waktu dipersingkat, maka perputaran modal untuk menuju surplus pun menjadi lebih cepat. Ironinya adalah: solusi ruang-waktu atau ‘spao-temporal fix’ ini juga mengandung kon-tradiksi internal. Harapan yang ingin diraih dengan ekspansi geografis adalah membebas-kan kapital yang terbelenggu di tempat lama ke tempat yang baru. Sayangnya, hal itu hanya bisa diperoleh dengan memenjarakan kapital itu,itu, secara ‘fix’, di tempat baru, yakni melalui investasi dalam bentuk pembangunan in-frastruktur (jalan, pelabuhan, jembatan, rel kereta api) dan telekomunikasi yang ditempat-kan di wilayah itu dan dak mungkin dipindah-pindah. Dua hal ini tentu dimaksud-kan untuk memobilisasi kapasitas produkfkomodi, tenaga kerja, dan uang ke wilayah

baru dengan cepat. Harvey (2003) menegas-kan bahwa transportasi, komunikasi dan ragam bentuk infrastruktur itu dak lain ditujukan untuk ‘memadatkan ruang dan waktu’ (me space compression) atau mereduksi biaya dan meningkatkan efisiensi waktu dalam meng-gerakan kapital secara geografis. Namun yang tterjadi lagi-lagi adalah kontradiksi: menyelesai-kan masalah spasial dengan membuat masalah spasial baru. Mengapa disebut seba-gai masalah spasial baru? Karena jika jalan atau rel kereta dan pelabuhan ini dak mampu memfasilitasi terbentuknya ruang produksi baru yang menghasilkan surplus, maka semua modal yang ditanamkan di infrastruktur demi melancarkan lini produksi baru itu akan men-galami kerugian. Kerugian ini dak boleh ter-jadi, sebab itu harus dibangun suatu koherensi yang terstruktur (structured coherence) secara geografis yang disebut Harvey (2001, 2003, 2007) sebagai: ‘regionality’.

42

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang

Negara memiliki kepenngan untuk menca-pai stabilitas polik dengan memaskan per-tumbuhan ekonomi yang nggi, termasuk dengan mengimbuhkan jargon ‘pemerataan’ (‘growth with equity’). Tidak dapat disanggah bahwa untuk mencapai kepenngan itu, logika kapitalisk dipandang oleh Negara mampu memberimemberikan jalan dan harus diberi jalan. Oleh sebab itu, Negara adalah agen penng yang bukan hanya berperan memaskan terjadinya investasi dan pembangunan di sektor in-frastruktur dan telekomunikasi, tapi juga men-jamin bahwa kegiatan tersebut berlangsung secara legal dan terencana. Perencanaan tata ruang, peraturan dan perundang-undangan pertanahan, kesepakatan dan perjanjian inter-nasional menjadi instrumen utama. Dalam hal ini, Negara nyata-nyata menggunakan kekua-tannya untuk memonopoli ruang demi me-nawarkan kekuatan monopoli ekonomi kepada siapa pun yang mampu memberikan keuntungan.

Maka lahirlah apa yang disebut sebagai ASEAN, ASEAN+3, ASEAN and beyond, dan set-erusnya, termasuk APEC dan WTO sebagai me-kanisme re-organisasi spasial dan re-teritorial-isasi polik untuk mengkonstruksi ‘regionali-tas’. Dari tangan ASEAN diluncurkan sebuah rencana membuat struktur regional yang kheren bagi perluasan akumulasi kapital di selu-ruh wilayah ASEAN and beyond melalui pasar bebas dan perdagangan bebas. Seper dis-ebutkan terdahulu, rencana ini bernama Com-prehensive Asian Development Plan (CADP).Secara koheren, CADP menempatkan Indonesia menjadi bagian dari struktur rgional yang diimajinasikan mampu menyedia-kan ruang baru untuk perluasan kapital global. Dan instrumen untuk mendudukkan Indonesia dalam koherensi yang terstruktur ini diberi judul ‘Master Plan Percepatan dan Perluasan Perekonomian Indonesia’ atau MP3EI.

43

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang ASEAN and beyond sebagai Pembentukan Ruang Koheren untuk Perluasan Kapital New Asian Regionalism merupakan islah yang dilontarkan oleh Tran Van Hoa (2003) untuk menjelaskan perkembangan organisasi ASEAN yang pada tahun 2002 menjadi ASEAN+3 dan seterusnya, dimana perkemban-gan perekonomiannya ditandai oleh dengan gencarnya produksi free trade agreement (FTA) aantar negara anggota. Regionalisme ini disebut baru karena umur pertumbuhannya memang relaf masih muda jika dibandingkan dengan regionalisme lainnya di Eropa, Pasific dan Amerika (Hoa, 2003). Fenomena pertumbuhan regionalisme ini menjadi menarik untuk dilihat keka pada era globalisasi, liberalisasi ekonomi AsiaAsia berkembang sangat pesat dengan bersan-dar pada Asian Value , yaitu argumen tentang nilai-nilai Asia yang menjelaskan dasar kesuk-sesan beberapa Negara di Asia dalamkemun-culannya sebagai macan ekonomi baru. Sejak krisis keuangan Asia 1997-98, Negara-negara ASEAN telah memulai serang-kaian pertemuan reguler dengan ga Negara Asia Timur Laut yaitu Jepang, Cina, dan Korea. Banyak hal yang telah dihasilkan dari per-temuan regular tersebut yang secara umum bisa disimpulkan bahwa negara-negara ASEAN bersama Jepang, Cina dan Korea Selatan (dikenal dengan nama ASEAN+3) bersepakat untuk menjalin suatu kerjasama dalam mem-bangun integrasi ekonomi dengan mengkon-struksi suatu jaringan perdagangan bebas dalam skala regional Asia Timur. Beberapa wacana yang secara implisit terlontar dalam agenda tersebut mencakup antara lain adalah

bahwa:‘tekanan globalisasi’ (baca: kompesi dan perebutan monopoli ekonomi) telah me-maksa perusahaan dan negara untuk mencari efisiensi melalui pasar yang lebih besar, per-saingan yang meningkat, dan akses ke investasi dan teknologi baru. Kondisi itu pun selanjutnya melahirkan keinginan negara-negara tersebut uuntuk mengikat diri dalam sutu kebijakan terkait investasi dan akses ‘lebih aman’ ke pasar global. Krisis menjadi cikal bakal pem-bentukan regionalitas baru, karena ASEAN me-nyediakan tanah murah, buruh murah dan teknologi murah akibat devaluasi, maka ditar-iklah investor dari Asia Timur yang mempunyai surplus menganggur dan siap diinvestasikan. Ikatan kontraktual dalam bentuk perjanjian dan kesepakatan diadakan untuk memaskan bahwa seap Negara menjalankan perannya masing-masing dalam rantai produksi, distri-busi dan konsumsi. Hasil nyata dari agenda ini adalah dilahir-kannya ASEAN-China Free Trade Agreement (FTA) yang dengan tegas menyatakan: 1) Memperkuat dan meningkatkan ekonomi, perdagangan dan kerjasama in-vestasi diantara para pihak; 2) Meliberalisasi secara progresif dan men-ingkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu rezim investasi yang trans-paran, liberal dan fasilitaf; 3) menjelajahi daerah baru dan mengem-bangkan langkah-langkah yang tepat untuk lebih memperdalam kerjasama ekonomi antara pihak, dan; 4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efekf dan menjembatani kesenjangan

44

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang pembangunan bagi Negara anggota baru ASEAN (Qing, 2003 : 4, 12). Semenjak itu, dan walaupun tergolong se-bagai pendatang baru dalam praktek FTA di kancah global, Asia Timur menunjukkan pen-ingkatan yang dramas dalam hal banyaknya jumlah perjanjian yang dilahirkan dalam be-berapa tahun terakhir (terhitung hingga 2010). Ledakan FTA di Asia Timur ini memang dak terlepas dari bantuan ga negara maju Asia Timur Laut yaitu Jepang, Cina dan Korea terkait dengan kebutuhan untuk mendukung jaringan produksi melalui perdagangan lanjutan dan lib-eralisasi investasi. Terhitung hingga Mei 2010, Asia Timur telah muncul di garis depan kegia-tan FTA global, dengan 45 FTA yang telah resmi disepaka dan 84 lainnya yang berada dalam tahap persiapan (ADB, 2010). Selain itu, kesuksesan ASEAN dalam mem-produksi FTA juga terdorong oleh perkemban-gan dan perluasan kerjasama bilateral, re-gional, dan mullateral yang memang telah di-gagas sejak regionalisme ASEAN mulai didiri-kan pada tahun 1967. Berawal dari ASEAN FTA 1992 di Singapura dan berlanjut hingga pasckrisis ekonomi Asia 1997/98, ASEAN dengan cepat melebarkan sayap perdagangan bebas-nya seiring dengan meluasnya jaringan ker-jasama dengan berbagai Negara lain. Bisa dili-hat bagaimana kerjasama tersebut berkem-bang dari menjadi ASEAN+1 dengan negara dan kawasan mitra wicara; ASEAN+3 (China, Jepang, Korea Selatan); ASEAN+6 (3 + Austra-lia, New Zealand, and India) atau East Asia Summit (EAS) yang selanjutnya menjadi ASEAN+8 karena mampu menarik minat

Amerika Serikat dan Rusia untuk terlibat dida-lamnya; serta ASEAN Regional Forum (ARF: 8 + Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Korea Utara, Mongolia, Timor Leste, Papua New Guinea, Uni Eropa, dan Kanada) yang mengusung tema ker-jasama di bidang polik dan keamanan. Imajinasi tentang lingkaran konsentrik yang meluas, berpusat pada ASEAN dan mencakup ‘the beyond’ menggambarkan fantasi ASEAN sebagai ‘the emerging force’ yang mampu memrakarsai munculnya berbagai kerjasama regional dan mullateral baru bersama be-berapa negara di kawasan Asia Timur, Amerika UtUtara dan Selatan, serta kawasan Pasifik. Be-berapa wadah organisasi sub-kawasan, intra- dan ekstra-kawasan dalam berbagai bidang, seper misalnya Asia Pacific Economic Coop-eraon (APEC), US Lower-Mekong Iniave, South Asian Associaon for Regional Coopera-on (SAARC), Shanghai Cooperaon Organiza-on (SCO), serta Pacific Forum Island (PIF), menggambarkan imajinasi mengenai perlua-san regionalitas tersebut dengan gamblang, seper berikut:

Sumber: Abdini dkk (2011)

45

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Sampai di sini tergambar betapa regional-isme berhasrat untuk menyatukan Negara-negara di dunia dalam bingkai liberalisasi: ke-bebasan untuk mengakses semua sumber-daya, kapan pun dan dimana pun. Dalam kon-teks ASEAN (termasuk juga semua regional-isme yang terhubung dengannya), kebebasan tersebut dibayangkan akan terwujud di dalam sebuah kesatuan yang integral, dimana batas negara tak lagi menjadi penghalang ruang (spaal barrier), bahkan menjadi jembatan atau konekvitasyang membuka akses terh-adap inkorporasi segala macam bentuk sum-berdaya ke dalam mekanisme pasar global. Kuncinya adalah konekvitas. Dengan konek-vitas maka regionalisme diharapkan berperan menjadi jawaban dari segala permasalahan overaccumulaon. Oleh sebab itu, disiapkan suatu rencana untuk konekvitas ASEAN yang bernama: Master Plan of ASEAN Connecvity (MPAC). Konekvitas jika hanya sekedar menyodor-kan kaitan-kaitan kepenngan ekonomi diang-gap dak cukup, harus ada tawaran yang lebih ideologis guna menciptakan hubungan hege-monik yang langgeng dalam ikatan regionali-tas, seper ditegaskan oleh Harvey (2003:103):

One Vision, One Identy, One Community’ dibentuk sebagai norma dan nilai kultural yang memberikan landasan bagi kerjasama ekonomi ASEAN. Oleh sebab itu, kerjasama Negara-negara ASEAN harus dilakukan dengan kode ek ‘The ASEAN Way’. Abdini ddk (2011) menjelaskan ‘The ASEAN Way’ sebagai berikut:

Berlandaskan pada prinsip ini, maka konekvi-tas telah meluas melingkup ga aspek: konek-vitas fisik (infrastruktur), konekvitas instusi (instusi, proses dan mekanisme yang efekf) dan konekvitas manusia (melalui pember-dayaan). MPAC menyebutkan bahwa semua itu dimaksudkan untuk “menjadikan manusia, barang,barang, jasa dan kapital lebih dekat”. Lebih jauh lagi, ga pilar konekvitas tersebut dibayangkan akan menopang terbentuknya ASEAN Polical-Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-cultural Community. Kata Community meng-hadirkan kesan‘kebersamaan, kekeluargaan dan kehangatan’; ga simbol yang mengek-spresikan the imagined community atau komu-nitas sebagai sesuatu yang diimajinasikan dan sesungguhnya dak ada dalam realitas (Anderson, 2001).

46

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Apa yang menjadi penng untuk dibahas seputar regionalisme ini adalah bahwa ker-jasama ekonomi yang terbangun antar negara anggotanya tersebut juga sangat menentukan arah dari pembangunan ekonomi nasional, bahkan kebijakan ekonominya. Hal itu bisa dilihat dalam pembahasan se-lanjutnya tentang MP3EI yang tak hanya mem-promosikan Indonesia di pasar regional, tapi juga mengadopsi ide dan gagasan pasar re-gional tersebut sebagai model promosi liberal-isasi ekonomi Indonesia.

MP3EI: Koridor dan Konekfitas sebagai Perampasan Ruang Hidup

Sebagaimana telah dijelaskan sekilas di bagian terdahulu, MP3EI adalah perwujudan dari Indonesia Economic Development Corri-dors (IEDC) yang terdapat dalam Comprehen-sive Asian Development Programme (CADP), sebuah program besar yang digagas oleh Eco-nomic Research Instute for ASEAN and East Asia (ERIA) untuk ‘menyediakan grand design-infrastruktur ekonomi dan penempatan indus-tri demi mencapai integrasi ekonomi yang lebih dalam dan menjembatani kesenjangan pembangunan secara bersamaan, terutama di kawasan sub-regional Asia Timur’ (ERIA 2010). CADP bermula dari pernyataan pers bersama oleh negara-negara yang hadir dalam East Asia Summit terkait dengan krisis ekonomi dan fin-ansial global pada tanggal 3 Juni 2009 yang menyatakan bahwa:

Dalam laporan penelian ERIA 2009 di-jelaskan bahwa CADP adalah: ‘Comprehensive’, yang arnya seluruh rencana didasarkan pada kerangka konseptual yang ketat, memberikan buk empiris yang kuat, dan menyajikan strategi pembangunan yang kongkrit dengan lebih dari 600 proyek prospekf pada logisk dandan infrastruktur serta ekonomi lainnya. Ini mencakup berbagai mode kebijakan yang membantu untuk menjembatani pembangu-nan infrastruktur dan industrialisasi. ‘Asia’, be-rar mencakup negara-negara yang berparsi-pasi dalam KTT Asia Timur, dengan penekanan pada ASEAN dan negara-negara sekitarnya atau wilayah di Asia Timur. ‘Development’ merujuk dak hanya pada pertumbuhan ekonomi makro, tetapi juga untuk berbagai aspek pembangunan ekonomi secara keselu-ruhan, dengan fokus pada integrasi ekonomi dan kesenjangan pembangunan.

47

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang ‘Plan’ berar rencana indikaf yang menyedia-kan kerangka kerja bagi para perancang kebi-jakan untuk merumuskan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur dan industrialisasi. Jadi, apa yang akan dikerjakan oleh CADP tak lain adalah pelaksanaan suatu program yang berhasrat untuk mewujudkan sebuah gagasan kkonekfitas antar Negara dalam bidang ekonomi. Sejalan dengan CADP, ERIA ditugaskan untuk melakukan proyek studi kelayakan pada awal tahun 2009 sebagai proyek individu Pe-merintah Jepang. Tujuan dari proyek adalah: 1) mendorong dan mempercepat pelaksa naan proyek-proyek infrastruktur di AsiA Timur; 2) mempromosikan public-private partner-ship (PPP) untuk pembangunan infrastruktur di Asia Timur dengan menyediakan model per-contohan, dan; 3) memberi masukan untuk CADP. Dalam rangka itu ERIA, dengan dukungan dari Kemen-terian Koordinator Bidang Perekonomian Indo-nesia dan Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI), melakukan studi tentang Koridor Pembangunan Ekonomi Indo-nesia. Penelian ini dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepenngan lainnya termasuk pejabat pemerintah dari berbagai departemen dan akademisi di Indonesia, serta dengan merujuk pada RTRWN dan sejumlah laporan Bank Dunia. Dan sebagai salah satu rekomen-dasi dari hasil studi tersebut tentang hal yang harusharus diutamakan dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah:

Nominasi dan Pembagian IEDC menjadi 6 kori-dor ekonomi yang terdiri dari Sumatera Timur-Jawa Barat, Jawa Utara, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jawa Timur-Bali-NTT, dan Papua (ERIA, 2010 : 177-179). Sesampainya di tangan pemerintah Indo-nesia, enam koridor ekonomi yang telah direkomendasikan oleh ERIA itu dak langsung diterima mentah begitu saja, melainkan di-nominasi dan disusun ulang sehingga mampu mencakup seluruh wilayah Indonesia dalam enam koridor yang lebih menyeluruh yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, serta Papua–Kepulauan Maluku. Maka jadilah bentuk MP3EI sebagai program Nasional dalam rangka merealisasikan IEDC dan mengintegrasikan pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara-negara di kawasan regional Asia Timur melalui cara yang disebut sebasebagai konekvitas (baca: proyek infrastruk-tur) dan pembentukan pusat pertumbuhan ekonomi baru atau dibaca sebagai ‘re-konstruksi froner’, melalui sistem koridor. Sistem koridor dan konekfitas menjadikan segala akvitas ekonomi (produksi, distribusi komodi, mobilitas tenaga kerja, dan aliran kapital finansial) menjadi satu kesatuan struk-tur yang koheren, saling terhubung dan mampu mengatasi kendala ruang dan waktu.

48

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Dalam melakukan rekonstruksi Indonesia sebagai suatu ‘froner’ atau daerah yang belum terjamah pengembangan kapitalisme secara penuh, maka sumberdaya alam, posisi geografis dan sumberdaya manusia (demografi) digambarkan sebagai sebuah keis-mewaan yang tak banyak dimiliki oleh nenegara-negara di dunia (BAPPENAS, 2011 : 4). Kega hal inilah yang dijadikan sebagai poin andalan dalam memperlihatkan Indonesia se-bagai suatu anugerah sekaligus potensi, seh-ingga sangatlah bodoh Indonesia jika hal yang dilirik dan diinginkan oleh banyak negara terse-but dak disikapi secara proyekf dan produkf. Maka dalam rangka itu, promosi MP3EI ten-tang potensi yang dimiliki oleh Indonesia telah dilancarkan bahkan sejak kebijakan dari mas-terplan ini diterbitkan, yaitu Perpres No.32/2011. Dalam dokumen MP3EI dijelaskan bahwa sampai tahun 2010, Indonesia masih menjadi salah satu produsen besar di dunia untuk ber-bagai komoditas, antara lain kelapa sawit (penghasil dan eksporr terbesar di dunia), kakao (produsen terbesar kedua di dunia), mah (produsen terbesar kedua di dunia), ninikel (cadangan terbesar ke empat di dunia) dan bauksit (cadangan terbesar ke tujuh di dunia) serta komoditas unggulan lainnya sep-er besi baja, tembaga, karet dan perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energi yang sangat besar seper misalnya batubara, panas bumi, gas alam, dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri anda-lan seper teksl, perkapalan, peralatan trans-portasi dan makanan-minuman.

Secara geografis, posisi Indonesia juga sangat strategis (memiliki akses langsung ke pasar terbesar di dunia) karena Indonesia dilewa oleh satu Sea Lane of Communicaon (SLoC), yaitu Selat Malaka yang menempa peringkat pertama dalam jalur pelayaran kontainer global. Berdasarkan data United Naons Envi-ronmeronmental Programme (UNEP, 2009) terdapat 64 wilayah perairan Large Marine Ecosistem (LME) di seluruh dunia yang disusun berdasar-kan ngkat kesuburan, produkvitas, dan pen-garuh perubahan iklim terhadap masing-masing LME. Indonesia memiliki akses lang-sung kepada 6 (enam) wilayah LME yang punyai potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, sehingga, peluang Indonesia untuk mengembangkan industri perikanan tangkap sangat besar (Perpres No.32, Lampi-ran, 2011 : 5-6). Sedangkan dari sisi demografi, Indonesia juga memengalami peningkatan jumlah pen-duduk usia produkf sampai tahun 2030, BAP-PENAS menyebutnya sebagai ‘Bonus De-mografi’, karena ini menunjukkan bahwa po-tensi ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia juga didukung oleh potensi produkfitas sumber daya manusia di masa mendatang (BAPPENAS, 2011 : 4). Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia, dilihat sebagai peluang pasar. Pen-duduk yang besar dengan daya beli yang terus meningkat adalah pasar yang potensial, se-mentara itu jumlah penduduk yang besar dengan kualitas SDM yang terus membaik adalah potensi daya saing yang luar biasa.

49

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Potensi tersebut juga dilihat sebagai tan-tangan pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, bahwa kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia dak merata di seluruh wilayah Indonesia. Sebaran sumber daya alam, khusus-nya minyak dan gas, serta pertumbuhan pusat perdagangan dan industri terkonsentrasi di beberapa daerah sehingga menyebabkan ter-jadinya kesenjangan ekonomi dan kesejahter-aan antar wilayah. Hal ini dianggap terkondisi-kan juga oleh ketersediaan infrastruktur yang dak memadai dan kurang mendukung akvi-tas ekonomi, terutama dalam konteks konek-vitas antar wilayah dalam mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi (Perpres No.32, Lampiran, 2011 : 7-8). Arnya, dalam konteks wacana perekono-mian internasional, Indonesia adalah wajah besar dari sebuah surplus. Indonesia yang telah diketahui sedari dulu memiliki sumber-daya dan posisi strategis ini harus tetap dipro-mosikan seolah ia adalah hal baru, sebagai ‘new froner for capitalism’. Apa yang diban-gun oleh segala promosi ini tak lain adalah suatu gambaran (baca: fantasi) tentang kesem-purnaan Indonesia sebagai sebuah wilayah po-tensial untuk perluasan ekonomi. Dalam hal ini Indonesia dihadirkan sebagai sesuatu yang selalu baru dan dalam konteks yang lebih besar, Indonesia adalah froner yang menjanjikan surplus bagi Asia.Untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi tersebut, harus diban-gun sebuah konekvitas dan koridor ekonomi baru. ‘Membangun konekvitas’ menjadi agenda utama yang disodorkan Indonesia dalam pertemuan APEC yang baru-baru ini berlangsung.

Mari kita ambil satu contoh proyek yang di-cantumkan di dalam MP3EI dan sudah ber-langsung sejak 2007-2008, namanya: MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Mega proyek pangan dan energi ini adalah konvergensi dari misi MP3EI dan ambisi kepemimpinan lokal untuk menjadikan Merauke sebagai ‘new froner of capitalism’ atau sebutan lainnya adalah: wilayah investasi baru.

Desentralisasi memungkinkan dan menjadi katalis utama dari sedemikian progresifnya pe-nyediaan segala perangkat konekvitas oleh kabupaten Merauke untuk mengintegrasikan wilayahnya dalam mekanisme pasar global. Dimulai dengan perluasan Bandar udara Mopah dan investasi pembelian ga pesawat tterbang Boeing 737 oleh Pemerintah Kabu-paten Merauke, yang dikonversi menjadi saham pemerintah daerah di perusahaan pen-erbangan Merpa. Transportasi udara adalah sarana konekvitas yang dari segi waktu paling efisien menghubungkan Merauke dengan dunia luar karena demikian jauhnya letak Merauke dari pusat yang dinamakan Jakarta. Pem-bangunan hotel berbintang lima, pengemban-gan pelabuhan kapal, jalan dan jembatan, adalah kelengkapan infrastruktur lainnya yang dibangun kemudian untuk menarik investor dan mempermudah akses perjalanan darat di Merauke yang dipisahkan oleh sedikitnya empat sungai besar.

50

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Penahbisan Merauke sebagai froner baru untuk perkembangan kapitalisme juga adalah buah manis dari desentralisasi yang memberi-kan kuasa kepada Bupa dan Gubernur untuk mengeluarkan ijin lokasi. Penahbisan itu ditan-dai dengan masuknya investasi perusahaan MEDCO yang lalu berkongsi dengan LG Korea Selatan untuk membangun industriwood pellet sebagai salah satu bentuk investasi ko-modi untuk energi terbarukan. ‘Bisnis hijau’ ini difasilitasi oleh pemberian konsesi seluas hampir 300.000 hektare di tanah Merauke kepada MEDCO untuk industri kehutanan dan perkebunan. Cara-cara yang kemudian digunakan oleh perusahaan dan negara untuk me-lepaskan ikatan orang Merauke dengan tanah-nya agar tanah tersedia untuk investasi perke-bunan dan kehutanan dilakukan dengan paksaan-rayuan, manipulasi nilai budaya, di-laksanakan secara simultan dan masif oleh ragam perusahaan di seluruh wilayah yang lokasikan untuk investasi, dan secara sistemas-terlembaga didukung oleh Rencana Tata Ruang Wilayah mulai dari ngkat nasional sampai kabupaten, serta tujuh belas peraturan dan perundang-undangan lainnya (Ito dkk 2011, Savitri 2013, Sumarjono 2013), termasuk pelembagaan proyek di ngkat kabupaten yyang dikepalai oleh BAPPEDA Kabupaten Merauke.

Tentu saja ini bukan cerita unik dan baru, karena hampir di semua wilayah Indonesia, mulai dari perluasan pertambangan batu bara dan mineral di seap jengkal tanah Kaliman-tan, ekspansi perkebunan kelapa sawit yang menelan hampir seluruh muka tanah di Su-matera, dan fenomena yang sama di Sulawesi, bahbahkan hampir di semua pulau-pulau kecil di Indonesia (Maluku, dan Nusa Tenggara khususnya) menyajikan gambaran yang serupa tentang penciptaan imajinasi daerah-daerah ini sebagai froner dan re-organisasi spasial yang dilakukan melalui ‘ijin lokasi’. Seolah-olah semua itu adalah wilayah ‘tak bertuan-tak ber-penghuni’, ruang kosong yang siap diatur, dipe-takan, dibagi-bagi dan dimiliki. Wilayah yang dianugerahi kekayaan alam yang belum diolah dan karenanya harus diolah agar bisa keluar dari ‘keternggalan’ atau ‘kesenjangan’ (Tsing 2005). Kalimantan, misalnya, akan dibelah oleh rel kereta api yang akan memiliki fungsi utama untuk memobilisasi batu bara dari tempat penambangan ke pelabuhan, lalu meskipun 75% ijin pertambangan yang dikelu-arkan saling bertumpang-ndih, dak ada satu upaya pun untuk menjernihkan kekacauan yang dihasilkannya. Kalimantan berubah men-jadi froner yang liar dan dikeraskan oleh kharusan berkompesi dan merebut monopoli lahan pertambangan minerba dan perkebunan sawit.

51

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Rencana nggal rencana jika dak bisa di-operasionalisasi. Tentu ada harus cara untuk mengubah dan merekonstruksi wilayah-wilayah baru agar mampu menjadi ruang produkf yang menghasilkan surplus. Cara itu disebut Harvey (2003) sebagai ‘akumulasi melalui perampasan (Accumulaon by dispossession)’, yakni akumulasi yang diperoleh melalui praktek-praktek predatoris yang me-nyebabkan terjadinya proses akumulasi prim-if secara terus-menerus. Ada beragam meka-nisme dimana akumulasi melalui perampasan ini berkerja, misalnya:komodifikasi dan priva-sasi tanah dan penggusuran paksa warga yang nggal di tanah itu, konversi beragam bentuk hak atas property (hak komunal, hak marga, dll) menjadi hak pribadisecara eksklusif, ko-modifikasi tenaga kerja dan tekanan terhadap bentuk cara produksi dan komsumsi berbasis tradisi/adat, pengambilan asset melalui proses-proses kolonial, neo-kolonial dan imperialisk, finansialisasi dalam bentuk jeratan hutang pada Negara Dunia Kega, dan bentuk akumulasi primif yang paling radikal: sistem kredit. Legaliasi perampasan tanah yang dikuasai petani atau masyarakat adat melalui pembe-rian ijin lokasi, misalnya, salah satu tahapan penng dan awalan yang sering dilanjutkan dengan mobilisasi kekerasan untuk menggusur penduduk dari tanahnya. Kemudian, mem-pekerjakan petani dan rakyat tak bertanah sebagai buruh harian lepas di perkebunan atau pertambangan. Terlalu banyak kasus di tanah air untuk membukkan terjadinya mekanisme seper ini.

Yang menjadi penng untuk diingat adalah akibat yang dihasilkan oleh akumulasi melalui perampasan, yaitu: terampasnya ruang dan waktu kehidupan dari rakyat yang digusur. Di kampung Zanegi, Merauke, misalnya: pada 2012 ada lima belas anak terdeteksi kurang gizi, tahun berikutnya lima anak meninggal kakarena gizi buruk akibat orang tuanya dak lagi bisa berburu dan memangkur sagu. Dengan bergantung hanya pada upah buruh harian, dak cukup untuk membeli beras dan maka-nan bergizi bagi anak-anak. Padahal sebelum MEDCO membabat hutan Zanegi, seap hari minimal anak-anak mendapat kecukupan protein dari ikan, di lain hari bisa daging rusa atau babi. Begitu hutan hilang, binatang musnah, makanan habis,yang ternggal adalah beras dan mi instan di kios kampung. Mereka kehil-angan ruang hidup sekaligus dirampas masa depannya, karena generasi muda semakin rapuh digerogo makanan instan dan kalen-gan, hutan dan air menjadi barang langka, udara menjadi penyebar penyakit, perempuan mengunyah pinang dan tembakau menahan lapar, dan terpaksa menyusui anaknya dengan ASI ber-nikon (Savitri 2013).

52

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang

Cerita yang sama bisa kita temukan di ap sudut tanah berhutan dan bermineral di Indo-nesia. Lebih-lebih lagi, akumulasi melalui per-ampasan bisa mejuwud dalam modus ope-randi yang berbeda-beda tergantung dari situasi dan kondisi yang dihadapinya, namun dapat dipaskan bahwa semua akan mengancam keselamatan hidup rakyat. Termasuk melalui program yang kelihatannya bertujuan mengentaskan kemiskinan dan kempangan seper: land reform. Land reform yang dimuarakan pada legal-isasi kepemilikan tanah secara individual, sep-er terjadi di Filipina, justeru menyediakan cara teraman untuk melepaskan kepemilikan atau penguasaan tanah dalam bentuk penye-waan atau penjualan kepada perusahaan perkebunan (Guiterez &Borras 2004). Maka dengan sedemikian menariknya kekayaan alam Indonesia ditawarkan oleh buku menu MP3EI, bisa disimpulkan bahwa koridor ekonomi Su-matera Timur-Jawa Barat, Jawa Utara, Kalim-antan, Sulawesi Barat, Jawa Timur-Bali-NTT, dan Papuaadalah jalur-jalur yang disediakan untuk proses akumulasi melalui perampasan yang dilegalisasi.

MP3EI dan Reproduksi Generasi Buruh

David Harvey mengup perkataan Marx mengingatkan bahwa ‘peningkatan populasi adalah syarat perlu agar akumulasi bisa ber-langsung secara konnyu’ (Harvey 2001). Oleh sebab itu, re-teritorialisasi polik dan re-organisasi spasial dak cukup dengan sekedar membangun koridor dan konekvitas untuk menjangkau daerah-daerah froner -atau yang diimajinasikan sebagai froner-. Tetapi di re-gionalitas yang baru, juga harus dijamin adanya cadangan buruh yang cukup untuk me-mutar gerak kapital pada sirkuitnya. Lalu dari mana cadangan buruh ini akan didapat?

Memang, proses akumulasi primif - atau sederhananya: proses separasi rakyat pede-saan dari kontrol atas alat produksi mereka melalui cara-cara kekerasan dan penipuan-, akan membuat cadangan tenaga kerja yang tadinya laten bertransformasi menjadi buruh bebas yang siap masuk dalam mekanisme pasarpasar tenaga kerja. Namun demikian, dak ada jaminan bahwa mereka yang masuk dalam barisan cadangan buruh ini adalah tenaga kerja yang memiliki kapasitas seper yang di-

53

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang diharapkan oleh para pemilik modal. Tingkat persaingan yang semakin nggi menuntut kor-porasi untuk mempekerjakan tenaga yang menurut standar mereka paling efisien dan produkf. Tingkat pendidikan merupakan salah satu ukuran penentu dari kualitas tenaga kerja. Menurut data BPS,pada 2012 angka parsi-pasi sekolah untuk anak usia 6-12 tahun sudah mencapai 97,95 persen, meskipun pada 2007 masih terdapat ngkat buta huruf di desa 9,93 persen sedangkan di kota hanya 3,89 persen. Akan tetapi, kesenjangan akses pendidikan melebar pada transisi anak ke sekolah menen-ggah. Mereka yang bisa melanjutkan ke sekolah menengah pertama sebagian besar adalah penduduk kaya. Di antara kelompok usia 13 sampai 15 tahun, kemungkinan anak-anak dari rumah tangga termiskin untuk dak berseko-lah adalah empat kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga terkaya (UNICEF 2012). Celakanya, kemiskinan tetap terkonsentrasi di daerah-daerah perdesaan. Persentase penduduk miskin di pedesaan pada 2008 mencapai 18,93 persen, sementara di perkotaan 11,65 persen (UNICEF 2012). Ar-nya, penduduk pedesaan yang tergusur oleh konsesi perkebunan, pertambangan dan kehu-ttanan adalah mereka yang sebagian besar ter-golong berpendidikan rendah dan miskin. Aki-batnya, dak terjadi transisi mulus yang men-gandaikan mereka yang tak bertanah (lagi) itu bisa langsung berubah menjadi buruh industri. Kondisi ini menyebabkan, di satu sisi ngkat permintaan perusahaan untuk pasokan tenaga kerja dak pernah tercukupi, tapi di sisi lain terdapat sejumlah besar rakyat pedesaan yang

disebut sebagai ‘surplus populaon’, yakni: mereka yang terlunta-lunta karena di desa sudah dak ada tanah, lari ke kota dak ada kerja; mereka yang bahkan menjual tenaganya saja sudah dak laku . Mempekerjakan ‘surplus populaon’ tentu dak ada untungnya bagi perusa-haan. Tapi, untuk memperbesar suplai cadangan buruh ini, negara dan korporasi dak kurang akal. Cara pemecahan masalah overaccumulaon dak hanya berhen pada opsi ekspansi geografis. PadaPada saat bersamaan ekspansi geografis itu dak dapat dipisahkan dengan ‘pergeseran temporal’, yakni surplus diin-vestasikan untuk proyek yang mendatang-kan keuntungan dalamjangka panjang, seper: investasi di proyek infrastruktur, dan juga yang dak kalah penng adalah: proyek pendidikan (Harvey 2003: 88).

54

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Pemerintah Indonesia mempercepat pu-taran kapital dengan menyediakan cadangan buruh siap pakai melalui fasilitasi proyek pen-didikan untuk mendukung MP3EI. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) - sebuah Badan Layanan Umum (BLU) yang berada di bawa Kementerian Keuangan- membuka program beasiswa S2 (magister) dan S3 (doktor) yang dibiayai Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN).

Program beasiswa magister dan doktor LPDP melipu bidang ilmu yang mendukung program MP3EI, terdiri atas : teknik, sains, per-tanian, akuntansi dan keuangan, hukum dan agama . LPDP menargetkan di 2013 peneri-maan beasiswa mencapai 1.455 orang dari jumlah pendaar beasiswa sebanyak 1.957 orang . Beasiswa LPDP ini khusus berasal dari Dana Abadi Pendidikan, bagian dari dana 20% alokasi pendidikan RAPBN yang diinvestasikan. Hasil investasi inilah yang siap dimanfaatkan untuk beasiswa dan penelian di Indonesia, dengan Dana Pokok Investasi yang senanasa bertambah seap tahunnya. DPPN merupakan pepenyisihan anggaran pendidikan seap tahun yang diinvestasikan. Dana ini digalang sejak 2010 lalu atas inisiaf Menteri Keuangan yang dijabat oleh Sri Mulyani Indrawa. Saat ini total DPPN mencapai Rp 16 triliun

. Korporasi industri kelapa sawit dan pengolahan kayu serpih secara khusus juga telah menginvestasikan surplus dalam bentuk dana beasiswa dan bekerjasama dengan instusi pendidikan nggi negeri dan swasta. Salah satunya adalah Instut Pertanian (INSTIPER) Yogyakarta. Untuk menghasilmenghasilkan Sarjana Teknik Industri Kelapa Sawit, INSTIPER dengan dana bea-siswa PT.SMART,Tbk (PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk), dan Wilmar grup merekrut mahasiswa untuk ditempatkan langsung bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut, bahkan dengan jabatan yang sudah dijanjikan, yaitu: Asisten Mill di perkebunan (Wilmar Grup) di seluruh Indonesia. Masih di INSTI-PER Yogya, PT.SMART,Tbk juga mendanai beasiswa melalui Eka Tjipta Foundaon (ETF) untuk menghasilkan Sarjana Perke-bunan Kelapa Sawit. Untuk kebutuhan mandor perkebunan ( estate foreman), PT. Astra Agro Lestari juga menginvestasikan surplusnya pada proyek pendidikan di IN-STIPER dalam bentuk beasiswa. Tidak ket-inggalan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menyediakan beasiswa Ikatan Dinas RAPP untuk mengiku perkuliahan di Akademi Teknologi Pulp dan Kertas (ATPK) Bandung dan Instut Pertanian STIPER (Insper) Yogyakarta.

55

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Penetrasi korporasi pada sistem dan instusi pendidikan bukan hal baru. Di Amerika Serikat kecenderungan ini berhasil mengkooptasi sistem pendidikan nggi dan menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘corporate culture’. Menurut Giroux (2000) budaya korporasi ini adalah:

Intervensi investasi dana korporasi sawit dan industri kayu serpih telah dibukkan mela-lui beberapa contoh di atas. Bahkan dak cukup dengan menguasai instusi pendidikan nggi, PT. SMART Tbk. bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundaon mendirikan sekolah untuk pendidikan dasar yang disebut sekolah kebun,kebun, di semua perkebunan yang dimiliki pe-rusahaan ini di seluruh Indonesia. Di majalah Teacherguide yang diterbitkan oleh ETFdijelas-kan bahwa sekolah kebun Eka Tjipta Founda-on adalah: “Sekolah yang baik untuk mem-bentuk kader-kader berpendidikan baik, men-jaga lingkungan kerja yang baik, dan mampu bekerja bersama dengan kualifikasi yang baik untuk mengelola perkebunan, sehingga peru-sahaan tumbuh baik-berkesinambungan. Sum-berdaya manusia lokal akan meningkat kuali-tasnya, sehingga terjadi arus penyerapan tenaga kerja,meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, yang berujung pada kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, terutama daerah pedalaman yang sesungguhnya berpotensi sumberdaya alam luar biasa tapi minim sumber daya manusia” (cetak miring ditam-bahkan penulis). Pembentukan budaya korpo-rasi telah ditanamkan sedemikian dini, sejak dari dasar. Keseriusan kontrol pendidikan ini bukan main-main, ETF dak sekedar mendiri-kan sekolah, bahkan memaskan bahwa mereka mendapatkan tenaga guru dengan kualitas terbaik, karena guru menjadi kunci bagi pendidikan dasar.

56

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Beasiswa diberikan kepada mahasiswa jurusan kependidikan di 20 perguruan nggi negeri dan swasta terbaik di Jawa dan Bali dengan janji penempatan langsung di seluruh sekolah kebun ETF. Apakah pendidikan menengah bebas dari budaya korporasi? Tentu dak. Kementerian Pendidikan Nasional telah merevisi kurikulum pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan dan dengan lugas menyatakan bahwa SMK memi-liki visi “Terwujudnya SMK bertaraf interna-sional, menghasilkan tamatan yang memiliki ja diri bangsa, mampu mengembangkan ke-unggulan lokal dan memilili keunggulan kom-pe f di pasar nasional dan global.” Dengan iklan SMK yang menampilkan Aburizal Bakrie sebagai ikon dan mensimbolisasi keberhasilan sebagai kesuksesan menjadi orang kaya tanpa harus sekolah lama dan nggi-nggi, SMK menjadi pukauan baru bagi pemuda-pemudi yang disodori mimpi ‘cepat kerja agar menjadi kaya’ yang realitasnya adalah kekerasan kom-pesi dalam pasar tenaga kerja industrial.

Penutup Tantangan yang dihadapi oleh gerakan sosial dari kehadiran MP3EI adalah suatu ke-nyataan bahwa ruang untuk kapital diproduksi melalui polik perampasan ruang hidup, fisik dan mental, yang dilakukan secara paksaan-rayuan, simultan, masif, sistemas dan terlem-baga. Pergerakan perampasan ini bekerja efekf dengan cara ‘mendatarkan dunia’, ‘memam-patkan ruang dan waktu’ melalui perluasan jaringan infrastruktur untuk mengintegrasikan wilayah-wilayah atau sektor-sektor froner ke dalam hubungan kapitalisk dengan menggu-nakan tangan Negara. Lebih jauh lagi, berpikir dan berndak kris, imajinasi sosial yang melampauimelampaui kelaziman, kesadaran sebagai subyek polik, bahkan kesadaran sebagai ma-nusia –bukan mesin atau alat- sudah dimakan melalui pencetakan dan disiplinisasi buruh secara generasional dengan internalisasi budaya korporasi secara sistemas melalui semua jenjang pendidikan. Proses pembalikan dak akan terjadi semata-mata melalui gerakan polik tanpa bersanding dengan gerakan budaya. Mengup Roem Topamasang, yang diperlukan adalah keberanian untuk bertekun melakukan ‘sab-otase kebudayaan’ melalui pendidikan. Men-gapa harus melalui polik pendidikan?Tidak lain karena “pendidikan sudah terbuk sebagai proyek polik yang mendorong manusia untuk mengembangkan kapasitasnya guna mene gaskan keutamaan ruang publik kembang sekedar kepenngan-kepenngan korporasi dan untuk me-reklaim demokrasi dari sekedar alat penciptaan budaya pasar ” (Giroux 2000:60). 57

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Referensi:

Abidin, Chairil. Hardyanto. Aldi Triyanto. 2011. Konekvitas ASEAN: Peluang dan Tantangan (hp://www.setneg.go.id/index.php?opon=com_content&task=view&id=6033&Itemid=29

Kementrian Sekretarian Negara RI), diakses pada 17/12/2012.Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communies. Yogyakarta: Insist PressASEAN Secretariat. 2012, Master Plan of ASEAN Connecvity. Jakarta:ASEAN Secretariat

BanoBanomyong, Ruth. 2009. Comprehensive Asian Development Plan: A Proposed framework, (www.thaia.com/trade/services/sem15sep53_ruth.pdf : Thammasat Buseness School).

BAPPENAS. 2011. Sustaining Partnership: Konekvitas Enam Koridor Ekonomi, (hp://pkps.bappenas.go.id/aachments/arcle/957/DESEMBER%20Khusus_KONEKTIFITAS_INDONESIA_L.pdf : IRSDP), diakses pada 07/02/2013.

ERIA. 2010. Comprehensive Asia Development Plan (CADP), ERIA Research Project Report 2009-7-1, (hp://www.eria.org/RPR-2009-7-1.pdf : ERIA), diakses pada 11/01/2013.

GiGiroux, Henry. 2000. Impure Acts: The Praccal Polics of Cultural Studies. New York, London: Routledge

Guerrez, Eric, dan Saturnino Jr. Borras. 2004. The Moro Conflict: Landlessness and Misdirected State Policies. Washington: East-West Center Washington, Policy Studies Series 8

58

MEMBACA MP3EI SEBAGAI PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN REPRODUKSI GENERASI BURUH

Laksmi A. Savitri Dan Zuhdi S. Sang Harvey, David. 2001. Spaces of Capital Towards a Crical Geography, (New York : Routledge)._________________. 203. New Imperialism. Oxford:Oxford University Press_________________. 2007. Limits to Capital. London New York:Verso.

Hoa,Hoa, Tran Van. 2003. New Asian Regionalism: Evidence on ASEAN+3 Free Trade Agreement From Ex-tended Gravity Theory and New Modelling Approach, Economic Working Paper, (hp://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?arcle=1068&context=commwkpapers&sei-redir=1&referer=hp%3A%2F%2Fwww.google.com%2Furl%3Fsa%3Dt%26rct%3Dj%26q%3Dasean%252B3%2520free%2520trade%2520agreement%26source%3Dweb%26cd%3D7%26cad%3Drja%26sqi%3D2%26ved%3D0CFUQFjAG%26url%3Dhp%253A%252F%252Fro.uow.edu.au%252Fcgi%252Fviewcontent.cgi%253Farcle%253D1068%2526context%253Dcommwkpapers%26ei%3DvcPuUK20Kcm-kQX2y4H4Aw%26usg%3y4H4Aw%26usg%3DAFQjCNFDFJyjjJwaQtgCRNF_TFPkfo94eA%26bvm%3Dbv.1357700187%2Cd.bmk#search=%22asean%2B3%20free%20trade%20agreement%22 : Univesity of Wollongong Re-search Online), diakses pada 11/01/2013.

Ito, Takeshi. Noer Fauzi Rahman. Laksmi A. Savitri. 2011. Naturalizing Land Dispossession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energi Estate, (University of Sussex : LDPI)

Li, Tania. 2010. To make live or let die? Rural Dispossession and the Protecon of Surplus Populaons.Anpode Vol. 41 No. S1

Peraturan Presiden RI No.32/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025

Qing, Bi Jing. Prarthana Mitra. Tsuyoshi Minato. 2003. The Future of ASEAN+3 Free Trade Agree-ment, (hp://faculty-course.insead.edu/du/emdc/projects/Sep-Oct05/Group_F.pdf), diakses pada 10/02/2013.

Savitri, Laksmi A. 2013. Korporasi dan Polik Perampasan Tanah di Merauke. Yogyakarta:Insist Press

Sumarjono, Maria W. 2013. Evaluasi Program MIFEE. KOMPAS, 27 September 2013

Tsing, Anna. 2005. Fricon. Princeton and Oxford: Princeton University Press

UNICEF. 2012. MDG, Keadilan dan Anak-anak: Jalan ke depan bagi Indonesia. Ringkasan Kebijakan, Oktober 2012.

59

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Krisis Muldimensional yang berkepanjan-gan telah membukkan bahwa sistem yang hari mendominasi dunia telah gagal dalam menjawab kebutuhan masyarakat dunia terh-adap kehidupan manusia. Didorong dan dipro-mosikan melalui resep-resep gobalisasi-neoliberal yang usang telah membuat usahausaha untuk memecahkan krisis dan dampak-nya justru telah semakin membawa rakyat dunia kedalam jurang penderitaan dan penghisapan yang semakin dalam. Kegagalan globalisasi-neoliberal sudah dapat diduga. Krisis ekonomi dak menunju-kan tanda-tanda pemulihan dan bahkan se-makin membuat sektor energi, pangan dan iklim semakin rentan terhadp krisis. Ditengah gejala-gejala yang jelas bahwa kapitalisme mo-nopoli semakin mundur, promosi kebijakan globalisasi neoliberal, yang bertujuan untuk mengeluarkan mereka dari resesi dunia, hanya mempromosikan jalan keluar dan mekanisme yang senanasa diulang meskipun sudah ter-buk gagal (liberalisasi, privasasi, deregulasi), resep-resep inilah yang justru telah melipat-gandakan kedalaman daripada krisis mutlidimensi. Konsentrasi produksi dan kapital, terjadi se-bagai konsekuensi yang terjadi diantara pemi-

lik modal monopoli internasional yang beru-jung pada praktek akusisi dan merger perusahaan-perusahaan kecil kepada kapital monopoli besar. Penggabungan modal perda-gangan dan modal industrial telah mencipta-kan apa yang disebut sebagai kapital finansial, hal ini telah mendorong ekspor kapital lebih cepat dari sebelumnya. Kompesi yang dak terhindarkan diantara kapitalis monopoli di dunia juga menjadi sebab pembagian dunia di-antara mereka, dalam rangka melipatgandakan akumulasi modal untuk bertahan dalam mo-mentum krisis yang dak terhindarkan, krisis adalah imperaf dalam kapitalis monopoli. Pasar bebas, perdagangan bebas telah usai, hari ini adalah era monopoli.

Ario

60

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Proses internaonal seper Post-2015 De-velopment Agenda, Aid dan Development Effec-veness; dan formasi-formasi regional seper Asia Pacific Economic Cooperaon (APEC), As-sociaon of South East Asia Naon (ASEAN), dan SAARC telah dijadikan alat bagi kapital mo-nopoli untuk menjalan skemanya mereka: reduksi peran negara, liberalisasi perdagangan, pembukaan pasar, dan mempromosikan keterli-batan sektor swasta melalui foreign direct in-vestment. Dalam skema untuk menjawab krisis muldimensi dunia, pemerintahan negeri-negeri utara dan para pengusaha besar secara bersama mendorong ‘green economy’ demi untuk mengeksplorasi jalan baru bagi pertum-buhan dan pada saat yang bersamaan mendor-ong lebih jauh privasasi, komodifikasi, finansi-alisasi lingkungan. Serangan baru dari neolib-eral seper ini telah dimungkinkan melalui in-tensifikasi liberalisasi perdagangan dan in-vestasi melalui berbagai macam gelombang free trade agreements’ antara negeri-negeri utara dengan selatan,serta usaha untuk mem-bangkitkan ‘Doha talks’ dalam WTO (World Trade Organizaon). Sementara bank-bank besar dan perusahaan-perusahaan raksasa ditalangi keru-giannya dengan uang publik, kelas pekerja dan rakyat yang sudah menderita dari penganggu-ran,

Sementara bank-bank besar dan perusahaan-perusahaan raksasa ditalangi kerugiannya dengan uang publik, kelas pekerja dan rakyat yang sudah menderita dari pen-gangguran, fleksibilisasi sistem perburuhan, perampasan upah dan tunjangan, dan hilang-nya kesempatan untuk mewujudkan kehidupan yang layak, telah semakin jauh dibebani dengan kebijakan pengetatan (austerity mea-sures) yang memasukan, namun dak terbatas, pada pemotongan subsidi sosial, pendidikan dan kesehatan. Kebijakan-kebijakan ini telah memaksa jutaan rakyat pekerja diseluruh dunia masuk pada jurang penganguran, kemiskinan dan kedaksetaraan.

WTO dan Perjanjian Perdagangan Bebas: Usaha untuk memonopoli perdagangan dunia.

Sampai hari ini, WTO tetap menjadi salah satu mekanisme yang terpenng bagi kapital-isme monopoli internasional untuk memas-kan monopoli perdagangan dunia. Setelah hampir dua dekade sejak didirikan, WTO telah mewarisi perampokan sumber daya dunia oleh negeri kaya melalui perjanjian perdagangan yang mpang. yang mpang.

Ario

61

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Disebabkan oleh dak setara dan dak demokrasnya sifat alamiah daripada WTO, pu-taran Doha, yang seharusnya mencerma kebutuhan-kebutuhan pembangunan negeri-negeri berkembang, telah digunakan untuk oleh negeri-negeri maju untuk memperluas monopoli perdagangan melalui liberalisasi dir area-area seper invenstasi, proyek pengadaan pemerintah dan kebijakan-kebijakan tentang kompesi. Meskipun putaran Doha, masih tetap dalam deadlock selama 12 tahun, akibat berbagai macam tuntutan dan aksi-aksi protest rakyat yang massif, usaha untuk menerapkan agenda perdagangan model neoliberal dak berhen. Perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional telah menjadi tempat baru untuk menmengamankan konsesi-konsesi dimana negeri-negeri berkembang disyaratkan untuk mengim-plementasikan kebijakan-kebijakan liberalisasi yang telah menelanjangi kebijakan-kebijakan proteksi yang selasa ini dengan susash payah dipertahankan oleh negeri negeri berkembang didalam aturan-aturan WTO. Perjanjian pergangan bebas telah digunakan oleh negeri negeri industrial untuk menuntut lebih banyak pembukaan dari negeri negeri berkembang, dan pada saat yang bersamaan, mereka mem-pertahankan kebijakan proteksi terhadap pasar mereka melalui kebijakan-kebijakan tentang hak atas kekayaan intelektual, kuota-kuota, sanitasi.

Krisis muldimensi yang masih berlangsung dan semakin buruk telah membuat kapitalis monopoli untuk memaksimalkan WTO dalam Konferensi Tingkat Mentri ke 9, yang akan di-laksanakan pada 3-6 Desember 2013, di Bali, Indonesia. Saat ini yang sedang berada dala meja negosiasi mereka adalah ’Paket Bali’ yang tterdiri dari fasilitas perdagangan (trade facilita-on), masalah-masalah negeri-negeri yang kurang berkembang (Least Develop Countries Issues), dan pertanian (agriculture). Paket ini, bersama dengan ‘post-Bali issues’ (Internaonal Technology Agreement dan Trade in Sevices Agreement) digunakan oleh negeri-negeri maju untuk memperluas dan memperdalam liberalisasi diseluruh area per-dagangan termasuk teknologi informasi, produk-produk lingkungan (environmental good) dan jasa, proyek pengadaan pemerintah, serta buruh migran. Neoliberalisme adalah oxymoron, para kapitalis monopoli memakai kata liberal dan kebijakan dalam rangka untuk menghiangkan hambatan-hambatan usaha-usaha monopoli merek

Ario

62

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Indonesia tuan rumah yang baik bagi kapitalisme monopoli !

Kekuatan-kekuatan ekonomi asia dipandang sebagai wilayah yang “menjanjikan” karena ”pertumbuhan” ekonominya ditengah krisis ekonomi. Ekonomi-ekonomi asia seper Cina, Korea Selatan, India dan Indonesia mampu me-naikan angka pengeluaran konsumen dan per-dagangan internasional, dan menyebutnya dengan islah “Asian Century.” Nilai starategis asia untuk investasi bagi negeri-negeri maju ini, diperlihatkan melalui meningkatnya usaha-usaha kerjasama oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menandatangani perjanjian perda-gangan bebas seper Trans Pacific Partnership Agreement (TPPA), dan kerja sama perdaggan bebas Uni Eropa-ASEAN. Fokus pergeseran ini direfleksikan dengan keterlibatan AS dan UE dalam badan-badan regional yang penng sep-er APEC, ASEAN, dan KTT Asia Timur. Indonesia secara khusus, telah mempertah-ankan ngkat pertumbuhan ekonominya, saat ini pada ngkat 6.2% dan diproyeksikan naik menjadi 6.4% pada 2014. Saat ini, Indonesia, telah menjadi anggota G20 dan menjadi negeri ber-ekonomi besar pada peringkat ke 16 di dunia. Pada kenyataannya, ‘pertumbuhan’ ini didodidorong oeleh perluasan kredit yang telah memberikan dorongan besar pada konsusmsi pribadi, perluasan sektor jasa dan memfasilitasi iklim dalam negeri bagi investasi asing.

Terutama pada investasi asing kapitalis mo-nopoli asing telah masuk dalam sektor-sektor strategis di Indonesia. Dari mulai minum air ke-masan merek Aqua (74 persen sahamnya di-kuasai Danone, Prancis), atau minum teh Sari-wangi (100 persen milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (82 persen dikuasai NumicoBelanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (Unilever), merokok Sampo-erna (97 persen milik Philips Morris, AS). Mau belanja ke supermarket Carrefour (Prancis), Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan 75 persen, atau mau ke Giant (milik Dairy Farm Internasional, Malaysia, yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Mau menabung atau mengambil uang di BCA, Dana-mon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional lainnya, hampir semua bank ini sudah milik pe-rusahaan asing. Bangun rumah pakai semen Tiga Roda (Heidelberg, Jerman), Semen Gresik (Cemex, Meksiko), Semen Cibinong (Holchim, Swiss).

Ario

63

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Meskipun demikian, laporan ‘naiknya’ kese jahteraan ekonomi ini dak dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia pada umumnya. Lebih dari 60% masyarakat Indonesia (tani miskin dan buruh tani), masih hidup dibawah garis keiski-nan yang ditetapkan pada penghasilan 22 US $ perbulan, lebih rendah dari ukuran kemiskinan BankBank Dunia yang ditetapkan pada pengahasilan harian 2 US $ per hari. Jurang kemiskinan se-makin dalam, ditengah klaim pemerintah menurunkan angka kemiskinan melalui pro-gram Milenium Developement Goals (MDGs) menurut Badan Pusat Stask Indonesia, angka kemiskinan juga masih cukup mencengangkan. Jumlah penduduk miskin ternggi, di Maluku dan Papua sebanyak 23,97 persen, Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 14,51 persen, Sumat-era 11,51 persen, Sulawesi 11,22 persen, dan Jawa 10,92 persen. Labor casualizaon dan flexibilizaon dan penganguran tetap mera-jalela. Depu bidang stask sosial BPS juga menyimpulkan bahwa klaim pertumbuhann ekonomi dak berelasi dengan angka kemiski-nan, karena pertumbuhan ekonomi hanya

dinikma oleh orang yang mempunyai akses terhadap orang berpendidikan nggi. Dari total tenaga produkf Indonesia, 60% nya merupa-kan pekerja informal di pendapatnnya rendah dan rentan terhadap eksploitasi dan keselama-tan kerja. Tingkat kesetaraan pendapatan yang diukur melalui koefisiensi GINI ikut memburuk daridari 0.35 pada 2008 menjadi 0.41 pada 2011, tak ada peningkatan signifikansi. Penurunan subsidi sebagai langkah lanjutan dari privasasi untuk komoditas dasar dan jasa seper listrik , air, dan pendidikan telah menyebabkan nai-knya ongkos pada hal-hal dasar tersebut, se-makin dak terjangkau bagi mayoritas rakyat Indonesia pada umumnya. Indonesia secara bersungguh-sungguh mengimplementasikan reformasi ekonomi yang didiktekan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO, hal ini telah membuat Indonesia bergan-tung pada impor dan rentan terhadap resesi dunia. Pada tahun 2012, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono telah mengha-biskan 20,3 Miliar US $ pada impor minyak dan 13 Miliar US $ pada impor pangan.

Ario

64

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Ditahun yang sama, nilai perdagangan Indone-sia turun sebanyak 1.6 miliar US $ akibat krisis kapitalis monopoli dan impor. Namun, disaat yang bersamaan Indonesia terus mengejar ilusi berbagai macam perjanjian ‘perdagangan bebas’ seper Indonesia-Japan Economic Part-nership Agreement (IJEPA), US-Indonesia Com-prehensive Partnership, Indonesia-Europe Free Trade Agreement, ASEAN-China Free Trade Agreement, ASEAN-Korea Free Trade Agree-ment, ASEAN-India Free Trade Agreement, ASEAN-Australia and New Zealand Free Trade Agreement, dan serangkaian perjanjian kom-prehensif lainnya. Privasasi dan proteksi bagi perusahaan-perusahaan juga semakin membuat situasi memburuk. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin banyak yang diprivasasi, 110 perusa-haannya telah dijual pada tahun 2012. Insenf-insenf seper tax holiday dan tunjangan pajak yang diberikan oleh pemerintahan SBY-Budiono diladilakukan untuk menarik investasi. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kepulauan Riau dan Sabang, Aceh, dibuka sebagai surga bagi inves-tor karena dapat mengeksploitasi kelas buruh di kawasan tersebut, sesuai dengan aturan dika-wasan tersebut. Dalam pertaruhan dan usahanya dalam me-narik lebih banyak investor asing, Pemerintahan SBY-Budiono telah memainkan peran yang baik sebagai “tuan rumah yang baik” dalam

beberapa rapat-rapat ngkat nggi yang di-lakukan untuk memajukan skema kapitalisme monopoli dan kebijkan globalisasi-neoliberal: the High-level Panel on Sustainable Develop-ment, the UN High Level Panel on the Post 2015 Development Agenda (March), Asia Pacific Economic Cooperaon (APEC) Summit October), and the World Trade Organizaon (WTO) Ministerial Meeng (December).

Pembangunan yang mengabdi rakyat!

Rakyat berkepenngan untuk mengkahiri kapitalisme monopoli, monopoli perdagangan dan krisis, yang telah merampas serta menghisap jutaan rakyat, sementara mereka semakin meningkatkan konsentrasi kesejahter-aan ditangan segelinr kecil elit dunia, para pemilik modal monopoli dunia. Rakyat harus menghemenghenkan kesenjangan dan kedakadilan hubungan antar negeri-negeri, yang telah membuat dan mempromosikan eksploitasi model kolonialisme. WTO dan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas, bersama dengan keseluruhan sistem kapitalis monopoli global harus diakhiri dan digan dengan sebuah hubungan alternaf yang berakar pada kedaulatan dan kerjasama pembangunan yang saling menguntungkan. Kredo pembangunan harus dikembalikan yaitu pembangunan yang mengabdi pada rakyat.

Ario

65

Tidak Ada Pembangunan Dibawah Dominasi Kapitalisme Monopoli !

Pembangunan yang mengabdi rakyat, men-junjung rakyat sebagai satu-satunya kekuatan perubahan, mengakui kedakadilan sosial, ling-kungan dan ekonomi, dan juga melihat masalah struktural yang menghalangi rakyat untuk hidup dengan harga diri. Pembangunan yang meng-abdi rakyat mensyaratkan redistribusi kese jahteraan, kekuasaan, dan kesempatan serta menyerukan untuk mengakhiri rejim perdagan-gan dan ekonomi yang disandarkan pada eks ploitasi sumberdaya alam dan rakyat. Pemban-gunan yang mengabdi rakyat menyerukan wu-judkan keadilan sosial untuk mewujudkan segala bentuk diskriminasi, marginalisasi, eklusi dan mewujudkan akuntabilitas serta men-dukung tuntutan rakyat terhadap pemerin-tahan yang demokras dan adil.

Pada sektor perdagangan, pembangunan yang mengabdi rakyat menyerukan perombakan ar-sitektur perdagangan internasional, finansial dan moneter, untuk memaskan negeri-negeri berkembang mendapatkan tempat bagi peru-musan kebijakan dalam rangka mendorong kepemilikan dalam program pembangunannya, hukum, dan hubungan, yang mempromosikan kesetaraan antar negeri-negeri, dan secara ber-samaan mempromosikan perlakukan berbeda dan khusus bagi negeri-negeri maju.

Ario

Referensi:

1. Imperialism: The Highest Stage of Imperialism, Lenin, Internaonal Publisher2. Primer On G20: Global Economic Governance for Whom?, IBON Internaonal and INDIES, 2012;3. Mengembalikan Kredo Pembangunan, Ario Adityo, INDIES, Presentasi dalam pertemuan IPA 2013;4. Dibawah Cengkraman Asing, Wawan Tunggul Alam, Ufuk Press, 2011;5.5. www.bps.go.id6. Instute of Polical Economy Journals, IPE, February 2009;7. Prospect for The Global Crisis: 2013 Report on Internaonal Situaon, Antonio Tujan Jr & Pio Verzola Jr, IBON Instute for Internaonal Development, 2013.

Ario

66

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Perubahan iklim, pangkal cerita kemerosotan masalah lingkungan hidup global.

Pemanasan global merupakan isu yang sering didengungkan oleh berbagai pihak dalam berbagai event. Disadari bahwa pemanasan global memang semakin nyata mengancam planet bumi. Situasi efek pemanasan global yang bisa dirasakan oleh penduduk bumi adalah suhu permukaan bumi yang semakin mening-kkat, siklus cuaca yang naik turun serta badai yang dak bisa prediksi. Situasi ini menandakan kondisi bumi sedang bermasalah sudah mulai memasuki ambang kehancuran. Penyebab utama dari pemanasan global ini adalah mening katnya efek rumah kaca akibat meningkatnya kosentrasi Gas Rumah Kaca (CO2, Metan, dan CCFC) di atmosfer.

Menilik lebih jauh tentang munculnya gas rumah kaca dak bisa di pisahkan dengan perkembangan ekonomi dan polik global serta erat kaitannya dengan sejarah perkem-bangan umat manusia. Kepenngan ekonomi yang kemudian ditopang oleh kepenngan polik ikut berpengaruh terhadap kondisi alamalam dan keseimbangan ekologis. Sejak jaman komunal primive alam merupakan sumber ekonomi sebagai sasaran kerja dalam melaku-kan akvitas produksi untuk memenuhi kebu-tuhan dasar umat manusia. Alam dikelola ber-dasarkan perkembangan dan pengetahuan serta alat kerja yang terus berkembang dari hasil pemikiran manusia. Respon dan kemam-puan alam untuk memenuhi kebutuhan umat manusia termasuk dengan perkembangan

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

67

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

populasi penduduk dunia tentunya terbatas, namun nafsu ekonomi dari manusia yang dak terbatas telah mengakibatkan bencana krisis yang berkepanjangan. Masifnya emisi gas ruma kaca (GRK) dimulai dari revolusi industri di Inggris pada abad ke 18 dan awal abad ke 19. Penemuan mesin uap pada tahun 1712 oleh salah satu tukang besi bernama James Newcome telah mempercepat peningkatan emisi GRK. Penggunaan secara meluas untuk kebutuhan pembangunan telah memenyebabkan perubahan dramak disektor pertanian, manufaktur, pertambangan & trans-portasi. Kondisi ini menimbulkan pengaruh luar biasa pada bentang polik-ekonomi Eropa dan dunia hingga saat ini. Pengunaan batu bara dalam skala besar telah memulai era baru model pembangunan global. Efisiensi produksi dengan menggunakan teknologi untuk memenuhi konsumsi barang dan jasa komoditas masyarakat Eropa. Teknolo-gi kemudian menjadi “tuhan” baru yang diiku dengan pemangkasan biaya sosial dan ekologis dari neraca produksi untuk memperoleh aku-mulasi profit margin yang lebih berlipat. Mem-pernggi kapasitas produksi, melipat gandakan infrastruktur dan daya jangkau distribusi secara meluas untuk kepenngan akumulasi kapital. Bersamaan dengan itu model pendekatan kolonialisme melalui pendudukan langsung berubah menjadi model baru (neo kolonial-isme) dengan penguasaan atas sumberdaya alam dengan praktek pengerukan (extrakf co-lonialisme) atas bahan mentah galian dan min-eral.

Proses ini terus menciptakan pengisapan ter hadap buruh murah dan perampasan tanah terhadap kaum tani melalui praktek monopoli tanah. Tidak berhen di situ, model kolonialisme juga menyasar pada praktek budidaya dengan menciptakan model pendidikan untuk mem-pengaruhi pola komsumsi dan produksi, ko-moditas dan target dan distribusi pasar (cultural colonialisme). Untuk memperta hankan dan melanggengkan kekuasaan, mereka kemudian mengunakan pendidikan dengan menciptakan tata hukum dan polik untuk kepenngan ekonomi pasar negara-negara maju hingga saat ini. Industrialisasi sesungguhnya telah mem-perkuat system kolonialisasi dimana penghisa-pan yang sangat konservaf melalui pendudu-kan dan perdagangan antar negara menjadi pendudukan disertai penguasaan dan memo-nopoli sumber daya alam dan lingkungan. Disisi lain upaya negeri-negeri di dunia jajahan dan setengah jajahan untuk mencoba mem-bebaskan diri dari kungkungan kolonialis ber-hasil secara bertahap kembali diambil alih melalui upaya perdagangan dunia.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

68

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Efisiensi dan Malapetaka Lingkungan

Kehidupan dunia modern hingga saat ini idenk dengan kepraksan dan efisiensi yang bersifat “adikf” terhadap bahan bakar fosil seper batu bara, minyak dan gas alam. Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya kedakseimbangan lingkungan dan manusia. Kedak mampuan layanan alam terhadap pe-menuhanmenuhan kebutuhan manusia menimbulkan perombakan pada siklus alam. Ujungnya adalah hilangnya keselamatan manusia akibat kondisi lingkungan sekitar semakin rusak. Kemerosatan pada kualitas air, kualitas udara dan berbagai bencana telah berujungan pada menurunnya daya produkfitas hidup warga. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sebagai organisasi dunia telah melihat gejala ini, namun untuk meyakinkan masyarakat dunia mereka membentuk sebuah kelompok peneli yang disebut dengan Internaonal Panel on Climate Change (IPCC). Forum ini melakukan riset dan upaya-upaya untuk mencari solusi terhadap situasi bumi situasi bumi yang semakin kronis ini.

Temuan mereka sederhana, bahwa iklim berubah adalah sebuah keniscayaan, namun kesiapan masyarakat dunia yang melihat pe-rubahan ekstrem dan cepat ini membuat selu-ruh pemimpin dunia panik. Maka lahir lah pada tahun 1992 lahirlah Protokol Kyoto dimana menghasilkan salah satu konvensi tentang Kerangka-kerja Perubahan Iklim (UN-FCCC), dimana mempertegas bahwa peruba-han iklim disebabkan meningkatnya emisi karbon akibat produksi dan konsumsi energy fosil untuk memenuhi kebutuhan industry khususnya di negara maju. Negara maju dika-takan sebagai penyumbang emisi terbesar terutama Amerika Serikat. Namun dalam perkembangannya upaya utama menurunkan emisi karbon dengan menurunkan produksi negara industry mendapat reaksi penolakan oleh negara maju. Disisi lain kondisi dampak dari perubahan iklim sangat dirasakan oleh negara selatan yang didominasi oleh negara setengah jaja-han,han, jajahan dan bergantung lainnya. Itulah sebabnya berbagai negosiasi mengalami ke-buntuan dari putaran pertemuan global yang ada. Pertemuan global tersebut tak lebih dari upaya tawar menawar antara negara-negara utara dan selatan yang berkompesi pada ke-penngan atas energi dan kepemerintahan yang dihadapkan dengan masalah-masalah ekonomi yang bertumbuh, mengembangkan investasi di masa datang yang akan semakin penng tetapi menjadi lebih sulit.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

69

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Dalam laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang diluncur-kan pada 30 september 2013 yang di muat dalam naskah Rangkuman untuk Para Pembuat Kebijakan (Summary for Policy Makers)Dampak perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara, ter-masuk di Indonesia, diperkirakan akan meningkatkan ancaman terhadap ketahanan pangan, kesehatan manusia, ketersediaan air, keraga-man haya, dan kenaikan muka air laut.

Lebih mencengangkan dalam laporan pe-modelan iklim dengan yang digunakan melalui model RCP (Reperentaf Concre oan Path-way) dalam skenaria 0* >% mengambarkan ra-div forcing yang terjadi mencapai 8,5 Wa/m2, dimana skenario ternggi yang menggambarkan keadaan dunia dengan pertumbuhan populasi yang nggi, namun sedikit sekali aksi signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Skenario ini merupakan re-fleksi dari realita polik perubahan iklim yang saat ini terjadi, dimana pertumbuhan emisi gas rumah kaca meningkat dan diiringi dengan ter-batasnya kemauan polis untuk melakukan aksi migasi gas rumah kaca yang drass dalam waktu dekat.

Laporan ini mencakup kajian atas 18 area regional secara global, dimana Asia Tenggara merupakan salah satunya. Laporan ini juga memberikan gambaran fakta dan data menge-nai iklim, serta perkiraan mengenai pertum-buhan emisi gas rumah kaca ke depan beserta dampaknya. Menurut IPCC, kenaikan temperatur global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89 °C. Di ka-wasan Asia Tenggara, tercatat kenaikan tem-peratur pada kisaran 0,4 – 1 °C. Diperkirakan kenaikan temperatur di wilayah Asia Tenggara untuk jangka menengah di tahun-tahun men-datang (2046-2065) akan terjadi pada rentang 1,5-2 °C. Pada masa-masa ini, kenaikan tem-peratur yang paling nggi akan terkonsentrasi di daerah-daerah bagian Barat Laut yaitu di negara-negara seper Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja. Hal ini menunjukan bahwa ke-selamatan rakyat menjadi prioritas dari upaya untuk melakukan ndakan yang nyata.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

70

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Solusi yang dak berpihak :Proporsi Utara- Selatan

Kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim sudah lama memikirkan tentang solusi dari pe-rubahan iklim, namun sayangnya argumen-argumen yang disampaikan dak berangkat dari kesadaran dan pengakuan gagalnya model pembangunan hari ini. Pembangunan bero rientasi pada pertumbuhan ekonomi makro telah membuat kempangan negara utara dan negara selatan yang sangat jauh. Model pem-bangunan dak memperoleh manfaat yang besar bagi keselamatan umat manusia khusus-nya di Negara Selatan namun memberikan proporsi keuntungan besar dari akumulasi modal bagi Negara Utara. Solusi-solusi yang dikeluarkan lebih men-guntungkan negara maju dan dak pernah mengarah kepada penyebab utama meningkat-nya emisi gas rumah kaca di atmosfer. Tuntutan untuk merubah tata komsumsi dan produksi ke-mudian ditolak oleh negara-negara kaya dengan dalih penyelamatan industri dan menghindari melambatnya pertumbuhan ekonomi mereka. Solusi yang muncul adalah kompromi dengan membagi dua skema pendekatan. per-tama, adaptasi yaitu penyesuaian diri terhadap perubahan iklim dan agenda kedua, migasi yaitu mengurangi ngkat dampak perubahan iklim. Agenda pokok yang selalu dibicarakan adalah upaya-upaya penyelesaian lewat tteknologi dan pengaturan kembali lahan-lahan (terutama wilayah hutan) agar terus dapat menjaga stabilitas atmosfer pada ngkat yang dak membahayakan bagi kehidupan manusia.

Padahal pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah wilayah pesisir dan populasi di negara selatan yang miskin dan dak mampu beradaptasi atas perubahan iklim. Sementara Negara Utara yang merupa-kan bagian dari sejarah pengerukan sumber daya alam di wilayah kolonialisasi di Negara SelSelatan (baca; setengah jajahan, jajahan ber-gantung dan terbelakang) selama ini mendap-atkan keuntungan dari akumulasi pengerukan sumberdaya alam dan penggunaan fosil fuel untuk industri mereka merupakan pihak yang paling besar mengeluarkan emisi sebesar 83 persen, sementara pembuangan emisi dari sektor land use change termasuk deforestasi hanya sekitar 17 persen dari total emisi. Ironisnya negara-negara selatan kemudian dituduh harus bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim akibat degradasi hutan tropis karena deforestasi dan kebakaran hutan yang dimbulkan. Padahal target penu-runan emisi dan upaya pemulihan hingga saat ini belum pernah dicapai oleh Negara Utara dalamdalam target protocol Kyoto yang sudah bera-khir pada tahun 2012 lalu.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

71

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Sementara negara-Negara Selatan yang meru-pakan sumber bahan-bahan mentah alami masih berkutat pada upaya meraup dana-dana bantuan dan investasi menggunakan kerangka kerja perubahan iklim . Upaya penurunan emisi dengan target ter-tentu di Negara Selatan yang dijanjikan sejum-lah dana berimplikasi serius bagi masyarakat se-tempat. Persoalan pemerintahan yang dak efekf, pengelolaan program yang dak baik serta sebagian besar negara ini memiliki karak-ter sentralisk, otoriter dan korup termasuk donesia. Dalam berbagai kasus upaya mengejar target penurunan emisi karbon mulai dari in-dustri ekstrakf hingga perluasan kawasan kon-servasi memiliki nuansa pelanggaran pengor-banan kehidupan warga setempat dan pelang-garan hak asasi manusia (HAM).

Skema Ekonomi Hijau Memperkuat Monopoli Lahan di Indonesia

Ekonomi hijau atau green economy mulai diluncurkan menjadi landasan ekonomi baru dunia dalam Konferensi Internasional tentang Pembangunan Berkelanjutan dalam mer-espon 20 tahun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi pada Bulan Juni Tahun 2012 lalu. Dalam konferensi Rio+20 tersebut memasu-kan konsep green economy dalam Rencana Aksi ‘The Future We Want’ (Masa depan yang kita inginkan).

Ekonomi hijau kemudian muncul sebagai gagasan baru untuk mewujudkan era pem-bangunan rendah karbon untuk modifikasi jargon pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang terbuk gagal dalam prakk dan dak pernah dievalu-asi secara substansi. Jargon yang diluncurkan padapada tahun 1992 melalui KTT Bumi di Rio Je-neiro Brazil hanya mampu menyembunyikan kebobrokan model pembangunan yang rakus sumberdaya alam dan dak memperhakan keselamatan lingkungan hidup.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

72

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Sehingga bisa dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan. Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan social . Ekonomi hijauhijau diharapkan mampu menghilangkan dampak negaf pertumbuhan ekonomi terh-adap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Dalam kerangka polik ekonomi global yang sedang krisis dewasa ini khususnya yang terjadi di Negara Maju seper Amerika dan Erop, dimana monopoli sumberdaya alam semakin menjadi ditengah problem iklim yang semakin dak menentu. Wajar upaya-upaya perbaikan dilakukan kapitalis monopoli internasional didirepresentasikan oleh Negara Utara khususnya Amerika. Ini merupakan watak seja mereka untuk selalu mencari varian baru untuk men-transformasi krisis di negera-negara imprealis untuk mencoba keluar dari bayang-banyang over produksi. Salah satu upaya stagnasi kapital finance mereka dak mengalami kerugian maka dicari cara untuk memperlancar capital finance yang jauh sesungguhnya dari skema ekonomi ril. Alasan utamanya adalah untuk memproteksi dan menambah pendapatan dari rata-rata ke-untungan dimana sasaran dari eksport kapital adalahadalah negara-negara yang terjajah dan seten-gah jajahan serta bergantung lainnya.

Beberapa skema dalam mengatasi kebang-krutan kapitalisme dan krisis-krisis yang dih-adapinya selama ini, kaum kapitalis monopoli (kaum imperialis) menyodorkan berbagai jalan keluar. Skema yang didorong dalam men-gatasi krisis finansial global, dengan mendesak negara-negara untuk mengeluarkan dana tlangan (uang rakyat yang dikelola negara) yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi krisis pangan, mereka mempromosikan jalan keluar dengan menggenjot produksi dan produkvitas perta-nian pangan, dengan mengandalkan perlua-san pertanian skala raksasa (food estates), dan melibatkan industri pertanian (perusahaan-perusahaan agrobisnis) dengan skema ketah-anan pangan yang lebih mendorong pada ket-ersedian pangan bukan kedaulatan pangan . Sementara dalam mengatasi krisis energi, kaum imperialis mempromosikan penggu-naan energi berbahan bakar naba, sebapenggan energi berbahan bakar fosil (minyak bumi), yang diperkirakan akan terus menyusut produksinya pada tahun 2020 nan. Dengan peralihan pemakaian energi ke energi berba-han bakar naba, maka diperlukan perluasan tanah-tanah perkebunan untuk meningkatkan produksi energi berbahan naba yang berimp-ilkasi terhadap perampasan tanah dan kerusa-kan lingkungan karena membuka peluang untuk mendorong ekspansi perkebunan skala besar dan monokultur, untuk mengikat secara internaonal kemudian lembaga internaonal seper IMF, Badan-Badan PBB, WTO serta badan finansial dunia seper Bank Dunia, ADB

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

73

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Beberapa inisiaf muncul dengan kampanye “green” yang diterima gegap gempita oleh In-donesia pasca pertemuan COP 13 yang meng-hasilkan “Bali Raod Map” pada tahun 2007 di Bali. Presiden Amerika Serikat Barack Obama kemudian menjadikan Indonesia sebagai mitra terbaik ( baca ; boneka) dalam upaya memerangi perubahan iklim dan Presiden SBY cukup senang dengan mengumumkan komitmen In-donesia untuk menurunkan emisi 26 % hingga 42 % dengan bantuan pihak luar yang di sam-paikan dalam pidatonya di pertemuan G-20 di Pitsburg Jerman. Hal ini juga kemudian mendorong berbagai insiaf kerja sama lainnya. Diantaranya kerja sama antara Indonesia dengan kerajaan Norwe-gia melalui program pengurangan emisi dari de-forestasi dan perbaikan lahan gambut dimana Indonesia. Melalui Leter of Intent (LOI) Indone-sia mendapat bantuan 1 milyard US, begitu juga inisiaf antara pemerintah Australia dan Indo-nesia melalui proyek Indonesia-Australia Forest Carbon Patnership (IAFCP) sebesar 40 Juta AUD, kerja sama indonesia dengan pemerintah jepang ,UE, Perancis dan terakhir Jerman se-muanya dalam kerangka perubahan iklim.

Yang paling fenomenal tentu adalah kerja sama Indonesia dengan Amerika Serikat. Se-bagai bagian dari Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia, Amerika Serikat telah menjanji-kan lebih dari $ 450 juta untuk kerjasama ling-kungan dan perubahan iklim . Amerika Serikat bekerja sama dengan Indonesia dalam berbagai kegiatan dalam rangka menciptkaan per-tumbuhan karbon yang rendah serta mening-katkan kesadaran akan ancaman-ancaman utama bagi lingkungan, diantaranya:

• Mempromosikan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan Yang Ramah Lingkungan: Melalui Millennium Challenge Corporaon (MCC) Compact untuk Indonesia, Pemerin tah Indonesia akan melaksanakan Proyek Kesejahteraan Hijau (Green Prosperity Project) senilai 332,5 jutal dolar guna men dukung pertumbuhan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan melalui manajemen peningkatan hutan, lahan gambut, dan sumber daya alam lainnya serta penyeba ran energi terbarukan.• Memperkuat Kebijakan Perubahan Iklim: Amerika Serikat memberikan bantuan dana sebesar 6,9 juta dolar untuk mend kung – bersama dengan dana dukungan dari Norwegia – guna membentuk Pusat Perubahan Iklim atau Indonesian Climate Change Center (ICCC) yang baru,yang akan fokus pada pemetaan dan pemantauan lahan gambut yang kaya akan karbon dan hutan tropis dengan menggunakan keah- lian dari US Forest Service.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

74

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Instusi ini akan membawa ilmu yang ter- baik serta analisis untuk para pembuat kebi- jakan Indonesia dan dunia internasional, mengenai keputusan kunci dan strategis untuk migasi serta adaptasi perubahan iklim.•• Pelestarian Hutan Tropis: Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani Perjanjian Konservasi Hutan Tropis (TFCA) kedua pada bulan September 2011 yang memungkinkan untuk pengalihan utang untuk pemelihraan lingkungan sebesar 28,5 juta dolar guna mendukung pelestarian hutan tropis.•• Melindungi Masyarakat Pesisir dan Perika- nan: Amerika Serikat berencana untuk me- nyediakan paling sedik 40 juta dolar untuk kurun waktu lima tahun guna mendukung prakarsa Segia Terumbu Karang atau Coral Triangle Iniave (CTI) untuk terumbu karang, perikanan dan ketahanan pangan, ICT merupakan kemitraan mullateral antara Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste, dan Kepulauan Solo- mon untuk melindungi laut di Asia Tenggara dan sumber daya haya pesisir. Selain itu, dukungan bilateral senilai 35 juta dolar untuk meningkatkan perikanan dan pe gelolaan pesisir di Indonesia untuk kurun waktu lima tahun.• Bergerak maju pada SOLUSI: Amerika Se- rikat telah memulai program USAID baru s nilai 58 juta dolar untuk pengelolaan hutan, sumber daya kelautan, dan energi bersih, sebagai bagian dari 119 juta program kemi- traan SOLUSI dengan Indonesia untuk pe capaian emisi rendah.

• Meningkatkan Kualitas Udara: US Environ- mental Protecon Agency (EPA) dan Ke- mentrian Lingkungan Hidup Indonesia me nandatangani nota kesepahaman pada bulan Juni 2011, untuk memperluas ker- jasama lingkungan, dan meresmikan pro- gram "Breath Easy, Jakarta" dalam rangka meningkatkan kualitas udara dan melindu ngi kesehatan masyarakat. Disisi lain ternyata berbagai inisiaf pe-rubahan klim juga di peroleh dari dana utang yang sejak 2007 pemerintah terus menarik dana penanganan perubahan iklim melalui hutang luar negeri. Data terakhir KAU, pada 2009 utang luar negeri Indonesia untuk pe-rubahan iklim mencapai 2,3 milyar dolar AS (68%),(68%), Sementara dana perubahan iklim yang sifatnya hibah (grant) hanya 1,1 milyar dolar AS (32%). Disisi lain pihak swasta dan TNC mem-perkuat skema usang dengan model serfikasi yang berlabel “green” yang seolah peduli terh-adap lingkungan. Isu hijau adalah upaya mereka membungkus pengusaan wilayah melalui konsesni yang semakin luas dan me-monopoli. Bebagai persolaan lingkungan kmudian di simplikasi dengan serfikasi baik di motori oleh pemerintah maupun insiaf pasar namun yang dak pernah merubah prak-teknya di lapangan. Inisiaf yang ada tersebut diantaranya RSPO, SUSPO, FLEGT VPAs yang bertransformasi menjadi SLVT (serfikasi le-galitas kayu).

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

75

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan pulp paper Golden Agri-Resources Limited (GAR) dan anak perusahaannya PT SMART Tbk (SMART), men-gumumkan Kebijakan Konservasi Hutan (KKH) yang akan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat yang bergantung tterhadap hutan sebagai sumber mata pencaha-rian mereka , namun faktanya tetap saja basis penguasaan konsensi di bawah kontrol mereka. Pun demkian halnya dengan pemerintah In-donesia, melalui Kementrian Kehutanan men-geluarkan satu skema ijin di kawasan hutan dengan model IUPHK-RE. Model ini hakikatnya dak berbeda dengan HPH hanya basis komodi-tasnya yang berbeda, namun di hitung sebagai komoditas untuk di perdagangkan namun penguasaan wilayah tetap di bawah kontrol pengu-saha. Dengan alasan sesungguhnya negara telah memfasilitasi kapitalis monopoli men-transformasi bisnis mereka dari yang dulu seba-gai perusak hutan menjadi penjaga hutan dan penyelamat hutan Indonesia. Situasi ini se-makin memperkuat pengusaan tanah oleh realisme di Indonesia melalui kebijakan maupun model pembangunan . Tujuan uta-manya adalah terus memperkuat basis social monopoli tanah untuk mengeruk keuntungan dari sumberdaya alam yang melimpah di Indo-nesia sebagai bahan baku untuk menyokong in-dustri di negara maju, perluasan lahan konservasi merupakan asset dan land banking untuk menghindari biaya produksi dalam waktu ber-samaan dan modal di kemudian hari.

Menilik lebih jauh praktek keruk sebagian sudah habis dan yang lain masih terus ber-langsung seper dilakukan kapitalis asing yang selama ini berjalan dak pernah tersen-tuh bahkan terus dilindungi, seper ek-sploitasi Migas oleh perusahaan milik AS dian-taranya Exxon mobil, Caltex, Unocal, Freeport, Newmont dll. Prakk penguasaan sumberdaya alam oleh kapitalis monopoli internasional dapat dilaku-kan dengan mudah karena masih bercokolnya system feodalisme yang terus dipelihara oleh Imperialis di Indonesia. Eksistensi penghisa-pan feodal dak hanya berlangsung di dalam pertanian tanaman pangan dan dalam sistem perdagangan ala feodal semata, akan tetapi juga dengan terang dapat dilihat dalam seja-rah monopoli tanah oleh para tuan tanah besar baik oleh pemerintah boneka secara langsung maupun oleh tuan tanah besar perseorangan dalam bentuk pengusaan hutan (HPH/ HTI), perkebunan-perkebunan besar monopoli, Ijin pertambangan (Kontrak karya dan KP).

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

76

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Model “green” yang di tawarkan pada innya tetap menggunakan skema pengusaan lahan dalam model pengembangan yang dipraktekan selama ini. Hanya dibungkus sedemikian rupa untuk terus mempertahankan watak ekspansif dan monopoli. Sebagai upaya menghibur negara boneka mereka pun memberikan berba-ggai bantuan sebagaimana yang sudah dipapar-kan di atas. Dalam mengimple-mentasikan program TFCA II tersebut, kedua negara didukung oleh dua swap partners, yaitu The Nature Conservancy dan WWF. Pihak Bank dunia yang dulunya banyak berperan mensuplai investasi di sector kehutanan yang malah mendorong pada kehancuran hutan di Indo-nesia kemudian mengumumkan pendanaan baru yang disumbangkan oleh Finlandia, Jerman, dan Norwegia total sebesar US$180 juta kepada Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) yang diadministrasikan Bank Dunia . Tercatat ada 39 proyek REDD di indensia yang didukaung oleh berbagai lembagaan pendan-aanaan Negara maju seper GIZ, JICA, USAID, AUSAID, NORAD, UKAID yang diimplemntasikan oleh lembaga konservasi internasional seper CI, WWF, FFI dan TNC termasuk perushaan-perushaan okal dan perusahan pialang carbon .

KFCP yang awalnya di dorong oleh BHP Bili-ton kemudian juga mengunakan skema Ofset melalui kerjasama bilateral dengan pemerin-tah Indonesia melaui IAFCP yang kemudian menguasai 120.000 ha di wilyah masayrakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Bukan hanya menyasar di sector kehu-tanan, mereka juga menyasar sector kelautan

dengan membangun ar-gumentasi akademis dan kesepakatan dalam forum internaonal yang mereka control untuk memasukan sektor kelautan sebagai penghasilpenghasil karbon seh-ingga bisa dimasukan dalam skema perdagan-gan carbon.

REDD+ : Mereduksi emisi dari deforesta-si atau proyek green grabing

Salah satu penyebab terjadinya peruba-han iklim adalah pengundulan dan pengru-sakan hutan yang memunculkan diskusi ten-tang REDD (Reducing emision From De-forestasi dan forest degardaon). Hal ini ke-mudian dijadikan inisiaf global yang bertu-juan memberikan kompensasi melalui pasar karbon global untuk negara-negara yang ber-hasil mengurangi ngkat emisi nasional.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

77

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Salah satu cara yang dilakukan dengan menghenkan dan membalikkan penggundulan dan degradasi hutan dimana negara penghasil emisi GRK (gas rumah kaca) penyebab peruba-han iklim bisa memberikan dana sebagai kompensasi pengurangan GRK kepada negara-negara penyerap karbon. Negara penyerab karbon tersebut tentu adalah negara yang memiliki hutan luas yang ada di negara setengah jajahan, jajahan bergan-tung dan terbelakang lainnya. Dengan program ini, negara berkembang harus menjaga lahan-nya, dan sebagai kompensasinya negara peng-hasil emisi yang umumnya negara-negara industri akan membayar apa yang telah mereka keluarkan. Konsep REDD pertama kali muncul pada KTT Perubahan Iklim ke-11 di Montreal, Kanada pada 2005 dan menjadi agenda pembahasan bersama di ngkat global. Pihak yang pertama mengajukan propsal ini adalah Papua New Guinea dan Costa Rica yang didukung oleh dela-pan Pihak yang tergabung dalam Coalion for RainRainforest Naons (CfRN). Mereka mengajukan proposal tentang insenf untuk pencegahan deforestasi atau dikenal dengan Reducing Emis-sions from Deforestaon in Developing Coun-tries (REDD). COP ke-11 mengundang para Pihak dan peninjau terakreditasi (accredited observers) seper NGOs, untuk mengajukan pandangan-pandangan nya kepada Subsidiary Body on Scienfic and Technical Advice (SBSTA) tentang RED dalam proses selama dua tahun untuk disepaka pada COP ke-13 di Bali. Sedan-gkan agenda REDD pada COP ke-15 di

Kopenhagen yaitu agar dapat disepaka men-genai modality, aturan dan prosedur imple-mentasi REDD namun dak pernah tercapai hingga saat ini. Di indonesia salah satu perdebatan yang terjadi adalah solusi REDD+ sebagai langkah untuk melakukan perubahan di sektor kehu-tanan dan menurunkan emisi dengan cara menghenkan deforestasi. Subtansi yang paling mendasar adalah sumber utama ter-jadinya deforestasi dan degradasi hutan berasal dari model pembangunan indonesia yang bertumpuh pada ekstrakf terhadap sumber daya alam. Deforestasi ini terjadi akibat akvitas investasi yang membabat hutan skala luas dan massif dimana hal ini juga terkait erat dengan perijinan yang diberikan oleh pemerintah berupa HPH (IUPHA-HTI), PPerkebunan sawit dan pertambangan adalah akar dari deforestasi. Dalam sekala yang lebih luas praktek penghancuran hutan ini bukan saja mengakibatkan terjadinya pelepasan emisi tetapi juga menyebabkan kerusakan ekosistem, bencana ekologi, pelanggaran hukum dan konflik agraria dan sumber daya alam alam yang berkepanjangan.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

78

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Walhasil upaya untuk mereduksi emisi dari sektor kehutanan dak pernah diarahkan pada sumber utama terjadinya deforestasi tersebut, namun lebih membicarakan soal mekanisme pendanaan melalui skema REDD+ yang melipu konservasi, managemen yang berkelanjutan dan upaya peningkatan karbon stock. Yang menjadimenjadi pertanyaan mendasar dimana upaya pemerintah untuk menghenkan upaya de-forestasi dari sisi investasi yang merupakan sumber deforestasi tersebut ? pada kenyataan-ya perijinan untuk perkebunan sawit, pertam-bangan dan HPH/ HTI masih terus saja diberikan oleh pemerintah. Kalimantan tengah, merupakan salah satu mosaic dari kecarutmarutan pengelolaan hutan dimana kebijakan tata ruang yang dak pernah di tuntaskan mengakibat kan ngkat deforestasi yang nggi , penguasaan wilayah yang mpang dimana hampir 87 % dikusai oleh investasi se-perper pertambangan, perkebunan sawit, IUPHK-HA/ HTI, selebihnya hutan lindung dan Taman Nasional. Kondisi ini juga menimbulkan ngkat konflik agraria yang nggi ditengah ka-wasan hutan merupakan wilayah yang luas dan lahan gambut yang tersesebar luas. Ironisnya Kalimantan Tengah justru dipilih sebagai pilot provinsi REDD oleh presiden di akhir tahun 2010. Selama hampir ga tahun perjalanan Kalimantan Tengah sebagai pilot provinsi dak ada kemajuan yang significant yang di hasilkan.

Justru persoalaan kehutanan masih terus ber-lanjut bahkan pemerintah daerah melalui proyek MP3EI merencanakan pembangunan rel kereta api yang akan mempercepat pengerukan sumber daya alam di di wilayah chatment area (tangkapan air) di hulu Kalim-antan Tengah. Proyek KFCP yang di jalankan di Kalteng bahkan di nilai gagal oleh berbagai pihak karena dak mencapai target ambisius yang dijanjikan, sehingga Pemerintah Australia menghenkan proyek tersebut dan sedikit daknya mempengaruhi pemerintah Australia pasca menangnya kubu konservaf yang men-dudududukan Tonny Abbot sebagai Perdana Mentri baru. Rejim baru ini berjanji untuk mengu-rangi kebijakan bantuan luar negeri karena dak mendapatkan keuntungan dalam negeri pemerintah australia . Di ngkat tapak proyek ini terus mengalami kontroversial dan mencip-takan konflik karena pendekatan dan relasi yang dibangun dak melibatkan masyarakat setempat, sehingga memunculkan persolaan dengan masyrakat Dayak Ngaju di sekitar pelaksanaan proyek seluas 120.000 ha.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

79

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Berbagai proyek muncul di Kalteng dengan skema konservasi dengan pendekatan model REDD+ melalui Taman Nasional dengan judul Skema Restorasi Ekosistem dengan volenteri market (pasar sukarela). Lembaga konservasi interonal WWF mengusulkan HOB (heart of borneo) sebagai bagian dari skema Debt Swap NatureNature dari proyek USAID. Selain itu mereka juga menjalankan program skema REDD di Taman Nasional Sebangau . Sedangkan Sumi-tomao mengunakan skema REDD+ dengan judul program “Project through Prevenng Large Scale Peatland Fire in the Central Kalim-antan”, Mistsubsihi juga dak mau kenggalan, melalui program Mitsubsihi New Mechanism FS for REDD+ in Central Kalimantan Province, mereka menguasai hutan Kalimantan Tengah. Hutan Amanah Lestari milik Jusuf Kalla juga dak kenggalan juga untuk mengajukan restorasi ini di wilayah Eks PLG di Kalimantan Tengah. Sebelumnya di bidang restorasi ekosistem pada tahun 2009, sudah ada tujuh perusahaan yang mengajukan ijin restoriasi ekosistem kepada Kementerian Kehutanan. Dua dian-taranya sudah mendapatkan sinyal dari Pemer-intah yakni PT. Rimba Makmur Utama di Kabu-paten Kangan seluas 217.755 Ha dan Rimba Raya Conservaon di Kabupaten Seruyan wilayah penyangga Taman Nasional Tanjung Pu ng. Dalam pertemuan Doha Qatar, mereka mengklaim sudah mendapat ijin dari pemerin-tah Indonesia seluas 80.000 ha dan mengu-mumkan secara terbuka sela-sela Konferensi Perubahan Iklim. Perusahaan ini merupakan

perusahaan yang di sponsori oleh infinite earth yang berbasis di Hongkong dan dimo-dali oleh Gazprom Market and Trading dan the Clinton Foundaon. Pemerintah sendiri telah menerbitkan ber-bagai regulasi dalam upaya mempertahankan dak meluasnya kerusakan hutan di Indone-sia. Salah satu adalah terbitnya Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Regu-lasi ini merupakan pengejawantahan dari isi perjanjian antara indonesia dengan norwegia yang tertuang dalam Leer of Intent (LOI). Pada kenyataannya Inpres ini hanya merupa-kan “lips service” bagi pihak Norwegia yang menjanjikan dana US 1 Miliyar dengan mekan-isme penurunan emisi dari sektor kehutanan. Inpres ini banyak disertai kelemahan antara lain dari status hukumnya sangat lemah karena hanya merupakan instruksi presiden yang dak masuk dalam struktur perundang-undangan di Indonesia sehingga dak memi-liki konswekensi hukum yang tegas dan mengikat. Disisi lain islah hutan alam primer dakdak ada dalam islah hukum di Indonesia termasuk Norwegia sehingga Inpres ini cacat hukum dan juga mengaburkan objek morato-rium tersebut. Sedangkan objek moratorium dalam kebijakan ini justru statusnya sudah merupakan hutan lindung dan Taman Na-sional yang sudah dilindungi melalui kebijakan yang lebih nggi. Yang paling mencemaskan adalah klausul pengecualian kebijakan ini dimana perizinan yang sudah diterbitkan dan

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

80

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

mendapat persetujuan prinsip dari menteri ke-hutanan dan objek vital nasional dak termasuk dalam kebijakan inpres penundaan ijin sehingga bisa dimanfaatkan untuk mempercepat peng-hancuran hutan yang ada luar objek tersebut. Kalimantan Tengah sebagai pilot privinsi REDD+ yang di tunjuk oleh presiden SBY pada akhir tahun 2010 merupakan gambaran yang nyata atas kedak efekfan inpres tersebut. Pe-merintah juga dak melihat bahwa perijinan di Kalimantan tengah pada tahun 2011 sudah mencapai 12, 8 juta hektar yang akan sangat besarbesar berpotensi melakukan konversi hutan keka program REDD+ dijalankan. Sementara dalam objek moratorium yang merupakan hutan primer dan kawasan gambut tersebut sudah terdapat 136 izin perkebunan sawit seluas 1.017.899 hektar dan 78 izin, pertam-bangan seluas 249, 599 hektar berada di kawasan moratorium sedangkan sisanya merupa-kan kawasan hutan lindung dan Taman Nasioa-nal Sebangau dan Taman Nasional Tanjung Put-ng. Dari data diatas dapat dikatakan sesung-guhnya Inpres juga dak memperlihatkan maksud dilahirkannya Inpres tersebut karena wilayah yang akan di lindungi melalui kebijakan Inpres ini ksususnya di Kalimantan tengah caku-pannya sangat kecil.

Agenda APEC dan WTO ; Memperkuat kerja sama ekonomi global memperburuk krisis iklim.

Indonesia pada tahun ini menjadi tuan rumah dari pelaksanaan forum ekonomi re-gional dan internaonal melalui agenda per-temuan APEC dan WTO dimulai bulan oktober hingga desember tahun 2013 ini. Ditutup pada akhir tahun nan pertemuan KTM WTO pada tanggal 2-6 Desember 2013. Banyak yang pepercaya upaya membangkitkan WTO khusus-nya adalah mengerakan mesin usang untuk menyelesaikan persoalan krisis. Faktanya memang demikian, secara global APEC dan WTO adalah agenda imprealisme dimana telah selesainya sistem kapitalisme modern dan membagi dunia diantara negeri imprealisme. Bagi negara maju, WTO diang-gap strategis karena melibatkan lebih dari 155 negara anggota yang terikat perjanjian di da-lamnya. Seluruh skema yang dibangun untuk kepenngan mereka akan mengikat seluruh anggotanya.

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

81

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Indonesia sebenarnya sudah jauh hari mengi-ku skema ini, dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Estab-lishing The World Trade Organizaon (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perda-gangan Dunia). Liberalisasi sektor dasar rakyat terus difasili-tasi untuk memberikan ruang pasar yang lebih besar di dalam negeri. Indonesia yang kaya sumber daya alam terus diberikan konsesi kuasa kepada kapitalis monopoli asing untuk mengeruk dan merampok sumberdaya alam. Dalam Pertemun APEC di Bali telah menyetujui aagenda yang akan menjadi pembahasan di KTM 9WTO di Bali, disebut dengan nama Bali Pack-age (Paket Bali). Dimana akan ada ga isu utama yang akan di bahas yaitu: Agriculture (pertanian), Least Develop Countries Issues (Masalah-masalah negeri yang kurang berkem-bang) dan Trade Facilitaon (Fasilitas perdagangan). Hal ini terus diupayakan dalam beberapa perkembangannya semenjak deadlocknya Pu-taran Doha, Trade facilitaon akan menjadi agenda yang menjadi prioritas pembahasan, dalam rangka menuntaskan putaran Doha. Sama hal nya dengan pertemuan global lain-nya, Isu lingkungan hanya menjadi cover untuk terus memperkuat dominasi dan perampokan sumberdaya alam. Melalui kebijakan neolibarl-isasi. Padahal dalam dokumen teks mukadimah WTO sudah dijelaskan bahwa penngnya per-lindungan lingkungan dan keberlanjutan lingkungan hidup :

“ The Pares to this Agreement, Recognizing that their relaons in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effecve demand, and expanding the produconproducon of and trade in goods and services, while allowing for the opmal use of the world’s resources in accordance with the

objecve of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment and to enhance the means for doing so in a manner consistent with their respecve needs and needs and concerns at different levels of

economic development. ”

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

82

Ekonomi HijauMemperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan

Oleh karenanya dalam pertemuan WTO tak lain adalah jalan keluar dari krisis global hari ini, dan diyakini lingkungan sebagai sumber dari produksi barang dan jasa akan semakin rusak akibat legal-isasi agenda penghancuran dan perampokan sumberdaya alam. Sedangkan rakyat sebagai pemilik sah negeri ini hanya menjadi korban dari kerakusan kapitalis monopoli. Keadaan jaminan keberlangsungan lingkungan hidup. Apakah model pembangunan seper ini yang harus diterus kana tau kita rubah bersama-sama? Ini adalah tantangan terbesar yang harus di-jawab oleh negara dan bangsa besar ini. Mampukah ?

Daar Pusaka :

Arifin, Bustanul, Prof. Dr. :Ekonomi Hijua, Evolusi Konsep pembangunan berkelanjutan.Böhm, Steffen and Dabhi, Siddhartha (eds) :Upse ng the Offset: The Polical Economy of Carbon Markets.

Civil society Forum, 2009 :MEMBACA JEJAK PERUBAHAN IKLIM, Bunga Rampai Pengalaman Lapang CSF untuk Keadilan Iklim.

Civil Society Forum :Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20IInternaonal Panel Climate Change 2013 :Report : Summary for Policymakers.

Lenin, V.I. (1916) "Imperialisme, Tahapan Ternggi Kapitalisme"Bab ke VIII dariTerjemahan Ted Sparegue.Mac Kenzie, Donal :Finding the Ratchet: The Polical Economy of Carbon Trading.

Sangaji, Anto: Kapitalisme dan Produksi Ruang, dimuat dalam sius online indoprogress.comUNFCC 2012 :Subsidiary Body for Implementaon Thirty-seventh session : Naonal greenhouse gas inventory data for the period 1990–2010

UNEPUNEP 2013 :Laporan Towards a GREEN economy : Pathways to Sustainable Development and Pov-erty Eradicaon : A Synthesis for Policy Makers.

Arie RompasDirektur Eksekuf Walhi Kalimantan Tengah

Arie Rompas, Direktur Eksekuf Walhi daerah Kalimantan Tengah

83