ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · jurnal...
TRANSCRIPT
JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
REGIONAL BANDUNG
No. ISSN: 2088-4397 KEMENTERIAN DALAM NEGERI
AG
US
TU
S
2019
Membangun Kepemimpinan Pemerintahan Profesional Melalui
Diklat Kepemimpinan Terintegrasi
Suparjana
Pergeseran Paradigma Pemerintah
Mudji Estiningsih
Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri 1 Palembang
Ratna Hustati
Relokasi Atas Hapusnya Hak Milik Tanah Akibat Erosi Pantai di Desa Bedono
Abu Hasan
Ruang Terbuka Hijau Publik dalam Memberikan Daya Dukung Bagi
Pembangunan di Kawasan Perkotaan Sumedang
Yetti Seprianti Br. Sembiring
Triple Helix Faktor Kunci Pembangunan Desa:
Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa Ala Korea
Teguh Solih Setyo Wibowo
Kinerja Birokrasi Pendidikan Era Otonomi Daerah dalam
Kompleksitas Perkembangan
Lutfhi N. Fahri
Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia:
Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System Adima Insan Akbar Noors
Edisi Agustus 2019
i
Jurnal Kediklatan merupakan media publikasi ilmiah berkala yang diterbitkan oleh
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung
DEWAN REDAKSI
JURNAL KEDIKLATAN
PUSAT PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REGIONAL BANDUNG
Penanggung Jawab : Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si
Pimpinan Redaktur : 1. Drs. Suparjana, MA, M.Pub.Admin
2. Dra. Mimi Mintarti, M.AP
Penyunting Editor : 1. Kartiwi, M.Si
2. Dyah Miranti Maharani, MA
Sekretariat : 1. Mamay Mulyadin, SE, M.Si
2. Nusirman, SE, M.AP
3. Endang Yusnani, SE, M.Si
Desain Grafis : 1. Rudy Suhartanto, S.STP, M.AP
2. Lutfhi N. Fahri, S.STP, M.Si
Paper Calling for Jurnal
Dewan Redaksi Jurnal menerima sumbangan naskah berupa hasil
penelitian, kajian dan gagasan ilmiah yang merupakan karya orisinil
Penulis dan belum pernah dipublikasikan di media publikasi yang lain.
Tulisan dapat disampaikan ke Pusat Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung Jalan Kiara
Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang atau melalui E mail
[email protected]. Untuk informasi lebih lanjut dapat
menghubungi Sekretariat Dewan Redaksi Jurnal (Telepon (022)
87835007).
Edisi Agustus 2019
ii
SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG
Kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa karena atas perkenan dan karunia-Nya bahwa
Jurnal Kediklatan pada Edisi Agustus ini dapat terbit sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan.
Dengan terbitnya dan melalui jurnal ini diharapkan para
Aparatur termotivasi untuk menuangkan pengetahuannya mungkin
juga pandangan dan wawasan mengenai bidang ilmu yang
digelutinya selama ini atau mungkin bidang ilmu lainnya, baik
yang relevan ataupun yang kurang relevan dengan bidang ilmunya,
tetapi merupakan bidang yang diminatinya atau yang menjadi
perhatiannya.
Untuk mengakhiri sambutan ini Saya ucapkan “SELAMAT”
kepada Dewan Redaksi Jurnal Kediklatan dan terima kasih kepada
semua pihak, khususnya para Penulis yang telah membantu dalam
penerbitan Jurnal Kediklatan Edisi Agustus Tahun 2019 ini.
Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Regional Bandung
Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si
Edisi Agustus 2019
iii
PENGANTAR REDAKSI
uji dan syukur diucapkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan berkat rahmat dan karunia-Nya, Jurnal Kediklatan telah
terbit untuk Edisi Agustus 2019. Jurnal berkala ini merupakan jurnal
yang dikelola oleh Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Regional
Bandung. Penerbitan jurnal dilakukan 3 (tiga) kali setahun, yaitu pada Bulan
April, Agustus dan Desember. Jurnal Kediklatan merupakan suatu wadah bagi
Widyaiswara, Pejabat Struktural, Peneliti, Dosen, Tenaga Kediklatan dan para
pihak-pihak lainnya sesuai minat kajian masing-masing untuk meningkatkan
kemampuan menulis dan mempublikasikan artikel-artikel ilmiah. Jurnal
berkala ini memuat tulisan-tulisan, baik berupa hasil penelitian, artikel ulas
balik dan laporan kasus.
Pada edisi ini dimuat 8 (delapan) artikel berupa hasil penelitian dan
kajian kepustakaan. Sebagai Penulis utama artikel pada volume ini adalah
Suparjana, Mudji Estiningsih, Ratna Hustati, Abu Hasan, Yetti Seprianti Br.
Sembiring, Teguh Solih Setyo Wibowo, Lutfhi N. Fahri dan Adima Insan
Akbar Noors. Pada umumnya Penulis artikel pada Jurnal Kediklatan berasal
dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Regional Bandung. Pada
Edisi Agustus ini telah masuk 3 (tiga) artikel dari Pusat Pengembangan
Sumber Daya Manusia Regional Yogyakarta, Biro Kepegawaian Sekretariat
Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Provinsi Sumatera Selatan.
Mudah-mudahan Jurnal Kediklatan dapat memberikan wawasan baru
dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Negeri
pada umumnya, dan pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur pada
khususnya. Dengan demikian, jurnal ini dapat memberikan kontribusi
terhadap perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Negeri dan
pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur serta aplikasinya melalui
publikasi ilmiah.
P
Salam,
Redaksi
Edisi Agustus 2019
iv
DAFTAR ISI
halaman
DEWAN REDAKSI ......................................................................... i
SAMBUTAN ..................................................................................... ii
PENGANTAR REDAKSI ............................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iv
MEMBANGUN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN
PROFESIONAL MELALUI DIKLAT KEPEMIMPINAN
TERINTEGRASI: Sebuah Gagasan Alternatif Suparjana/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 1 – 15
PERGESERAN PARADIGMA PEMERINTAH Mudji Estiningsih/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta ........................................ 16 – 29
EVALUASI PROGRAM BUDAYA MEMBACA DI
SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PALEMBANG Ratna Hustati/ Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Provinsi Sumatera Selatan ............................................................................. 30 – 41
RELOKASI ATAS HAPUSNYA HAK MILIK TANAH
AKIBAT EROSI PANTAI DI DESA BEDONO Abu Hasan/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 42 – 49
RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DALAM
MEMBERIKAN DAYA DUKUNG BAGI PEMBANGUNAN
DI KAWASAN PERKOTAAN SUMEDANG Yetti Seprianti Br. Sembiring/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................. 50 – 61
TRIPLE HELIX FAKTOR KUNCI PEMBANGUNAN DESA:
Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa
Ala Korea Teguh Solih Setyo Wibowo/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung .............................................. 62 – 77
KINERJA BIROKRASI PENDIDIKAN ERA
OTONOMI DAERAH DALAM KOMPLEKSITAS
PERKEMBANGAN Lutfhi N. Fahri/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung .............................................. 78 – 108
Edisi Agustus 2019
v
SELEKSI JABATAN PIMPINAN TINGGI DI INDONESIA:
Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System Adima Insan Akbar Noors/ Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal
Kementerian Dalam Negeri ............................................................................ 109 – 118
Template Artikel Jurnal Kediklatan
Edisi Agustus 2019
Suparjana
Hal. 1 - 15
1
1. KONSIDERASI
Euforia Revolusi Industri 4.0 dan
Society 5.0 di dunia barat dan jepang
pada dekade terakhir ini melahirkan
konsekuensi bagi organisasi untuk
meningkatkan kemampuan beradaptasi
dari aspek paradigma, manajemen/
business process, budaya kerja maupun
kepemimpinan/ leadership. Singkatnya,
“perubahan”/ change dan inovasi/
innovation menjadi kata kunci bagi
organisasi baik yang akan tetap
bertahan/ eksis di tengah derasnya arus
globalisasi saat ini.
Di sektor publik/ pemerintahan,
tantangan di era Revolusi Industri 4.0
dan Society 5.0 berimplikasi pada
kewajiban pemerintah untuk melakukan
standarisasi dan sertifikasi terhadap
barang/ jasa, pelayanan maupun sumber
daya manusia. Tanpa standarisasi dan
sertifikasi terhadap aspek-aspek di atas,
pemerintahan tidak akan mampu
mengimbangi tuntutan masyarakat yang
kian deras dan masif.
Untuk dapat menggerakkan roda
pemerintahan secara progresif dan
dinamis (dynamic governance), perlu
dilakukan perubahan pada sektor
kepemimpinan/ leadership secara
komprehensif, yang mencakup
paradigma, kompetensi maupun
integritas kepemimpinan. Fenomena ini
penting, mengingat Kepemimpinan
pemerintahan memiliki kharakteristik
MEMBANGUN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN PROFESONAL
MELALUI DIKLAT KEPEMIMPINAN TERINTEGRASI:
Sebuah Gagasan Alternatif
Suparjana
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Bandung
Abstract
Current situation of Indonesian government needs leaders who know how to manage
organization and managers who know how to lead the government effectively
Effective leaders must be able to shift their roles and responsibilities in any
turbulencies. They need a judicious blend of leaders and managers as a managerial-
leader. Hence, the government must introduce leadership training to pursue
managerial leaders (those who have managerial and government competency
comprehensively) to overcome volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity of
the government.
Keywords: leadership, education and training, domestic government leadership,
integration.
Edisi Agustus 2019
Suparjana
2
yang unik dan problematika yang lebih
kompleks dari kepemimpinan organisasi
pada umumnya. Kepemimpinan
pemerintahan tidak hanya berfokus pada
upaya mewujudkan efisiensi dan
efektifitas dalam penyediaan produk
layanan pemerintah (public service)
melalui serangkain proses manajemen
(Planning, organizing, actuating and
controlling) saja, namun jauh lebih
penting dari itu adalah kemampuan
menggerakkan keseluruhan pemangku
kepentingan (stakeholder). Dengan kata
lain, kepemimpin organisasi lebih
berfokus pada kualitas produk layanan,
sedangkan kepemimpinan pemerintahan
lebih menitikberatkan pada aspek
„manusia”nya melalui penguatan pada
aspek ke-pamong-an/ nurturing.
Dengan demikian, seorang
pemimpin pemerintahan, tidak cukup
hanya memiliki kompetensi manajerial
untuk mengelola luasnya masalah
pemerintahan, namun juga harus
memiliki kapasitas governance-
leadership (kompetensi Pemerintahan)
untuk memastikan bahwa semua urusan
pemerintahan dapat diselenggarakan dan
dihadirkan sesuai kebutuhan masyarakat.
Disamping itu, sejalan dengan
meningkatnya kompleksitas
penyelenggaraan pemerintahan saat ini,
Kompetensi Pemerintahan -sebagaimana
diatur di dalam Pasal 233 Ayat (1) s.d.
(5) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah- menjadi sangat
krusial mengingat berbagai inovasi
kebijakan strategis pemerintahan
khususnya di daerah harus dilakukan
dalam kerangka penguatan kebijakan
desentralisasi, menciptakan
keseimbangan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah yang
harmonis untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), memastikan bahwa semua
urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dapat dilaksanakan
dengan baik, menjamin pengelolaan
Keuangan Daerah yang semakin efisien
dan tepat sasaran.
Menguatnya permasalahan-
permasalahan sosial yang bernuansa
suku, agama, ras dan antar golongan
yang terjadi akhir-akhir ini memerlukan
perhatian yang serius bahwa rajutan
tenun kebangsaan yang bernama NKRI
ini harus tetap dijaga dan dirawat secara
bersama oleh pemerintah pusat dan
daerah melalui penguatan urusan
Pemerintahan Umum dengan spirit
bahwa Pusat adalah pusatnya daerah, dan
Daerah adalah daerahnya Pusat.
Menguatnya demokrasi di tingkat
local saat ini, juga menandakan bahwa
pembangunan demokrasi di Indonesia
melalui konsolidasi demokrasi telah
menunjukkan hasil yang
menggembirakan dengan diindikasikan
semakin tingginya partisipasi masyarakat
dan menguatnya lembaga perwakilan
baik di pusat maupun di daerah. DI
tingkat local, fenomena ini harus
diimbangi dengan penguatan serta
harmonisasi hubungan antara Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Derah (DPRD) agar penyelenggaraan
pemerintahan daerah semakin efektif
dan inovatif. Pada sat yang sama,
penguatan integritas kepemimpinan baik
di pusat maupun daerah harus terus
dilakukan secara simultan dan konisten
melalui serangkain proses mental
engineering dari aspek etika
kepemimpinan dan etika pemerintahan.
Munculnya paradigma Leadership
4.0 sebagaimana di lukiskan oleh Kim
Scott dalam bukunya yang berjudul
“Radical Candor (2017)” dapat dijadikan
sebagai referensi dalam membangun
Edisi Agustus 2019
Suparjana
3
figur kepemimpinan pemerintahan yang
lebih professional dan adaptif terhadap
dinamika pemerintahan yang terjadi saat
ini. Leadership 4.0 menekankan pada
harmoni antara “manajemen” dan
“keseimbangan kekuasaan” (kemampuan
membangun hubungan yang baik dan
harmonis antar pemangku kepentingan/
stakeholder). Maksudnya bahwa
keberhasilan kepemimpinan di sektor
publik, tidak hanya disebabkan karena
kemampuan manajerial semata, namun
juga membutuhkan kemampuan untuk
mengkoordinasi, mengolaborasi,
membangun sinergi kemudian
mengorkestrasikan seluruh pemangku
kepentingan maupun lingkungan
strategis yang melingkupinya. Harus
disadari bahwa Pemerintahan saat ini
merindukan pemimpin yang secara tulus
mampu memadukan dua dimensi
fundamental yakni manajerial dan
kepamongan secara padu dan harmonis,
di sinilah letak pentingnya mendesain
intrumen pengembangan kompetensi
kepemimpinan (Pendidikan dan
Pelatihan/ Diklat) secara terintegrasi,
yang mampu memadukan dan
mengintegrasikan antara kompetensi
manajerial dan kompetensi
pemerintahan.
2. PEMAHAMAN GEJALA DAN
FAKTA
Meskipun kebijakan desentralisasi
di Indonesia sudah di inisiasi sejak awal
abad 20 melalui Decentralization Wet
Tahun 1903, namun secara serius, baru
dilaksanakan pada awal tahun 2000-an
dengan diundangkannya UU nomor 22
Tahun 1999. Selama hampir dua dekade
kebijakan desentralisasi tersebut
diluncurkan, berbagai kemajuan di
daerah sudah dapat dirasakan, bahkan
tidak sedikit prestasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang
ditorehkan oleh daerah baik pada tingkat
nasional maupun nationl international.
Namun jika kita cermati, berbagai
kemajuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan (khususnya di daerah,
masih lebih diwarnai oleh dominannya
faktor kualitas “personal leadership
capacity” baik kepala daerah maupun
pimpinan OPD, daripada faktor kuatnya
bangunan “system” dari organisasi
pemerintahan daerah. Fakta ini tidak
keliru, hanya saja kondiwsi seperti ini
akan sangat lemah untuk menjaga
sustainabilitasnya, atau bahkan untuk
secara konsisten meningkatkan pada
level yang lebih tinggi. Akibatnya, bisa
kita lihat jika akselerasi kemajuan
Bangsa Indonesia tidak secepat negara-
negara di Asia Tenggara sekalipun.
Kemajuan suatu daerah juga sering sekali
mengalami antitesa atau bahkan anti-
klimak, ketika terjadi regenerasi
kepemimpinan baik pada level
organisasi, maupun pemerintah daerah,
sehingga pergantian kepemimpinan
organisasi pemerintahan lebih sering
merepresentasikan proses “trial and
error” daripada “execute and progress”.
Fenomena ini mendorong perlunya
kebijakan yang bersifat afirmatif dari
pemerintah untuk menyiapkan pemimpin
pemerintahan (baik di pusat maupun
daerah) yang memiliki profesionalitas
dan kompetensi yang tinggi;
Memasuki era digital-governance
saat ini, kepemimpinan pemerintahan
perlu di desain dan disiapkan sesuai
dengan tantangan jamannya, tanpa perlu
lagi menunggu berkah lahirnya seorang
pemimpin yang mewarisi bakat
kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan
dapat dibangun melalui serangkaian
proses yang memperkuat aspek
Edisi Agustus 2019
Suparjana
4
knowledge, skill maupun personal
capacity (attitude), secara terintegrasi.
Dalam hal ini Dklat kepemimpinan bisa
dijadikan sebagai instrumen membangun
kualitas pemimpin pemerintahan yang
dibutuhkan pada masa yang akan datang.
Faktanya, Diklat untuk
menyiapkan kepemimpinan yang ada
saat ini masih bersifat parsial dan
sporadis. Parsial karena dari sisi
substansi belum mampu mencakup aspek
aspek yang dibutuhkan dalam
menjalankan fungsi kepemimpinan
secara komprehensif. Dikotomi antara
managerial vs leadership, manager vs
leader, masih sangat kuat dalam desain
materi maupun metode diklatnya.
Sedangkan sporadis, maksudnya bahwa
diklat-diklat yang menyiapkan kapasitas
kepemimpinan saat ini masih bersifat
sektoral dan merepresentasikan institusi,
daripada representasi kualifikasi
kompetensi yang dibutuhkan oleh
seorang pemimpin. Akibatnya, lembaga-
lembaga pemerintah, baik sipil maupun
militer, cenderung mendesain diklat
kepemimpinan sesuai kebutuhan masing-
masing. Selain tidak efisien dari sisi
waktu maupun pembiayaan, juga tidak
efektif dalam membangun spirit “Whole
of Government” (WoG) saat ini. Ke
depan, diklat kepemimpinan harus di
desain se-efisien dan sefektif mungkin
serta lebih banyak melibatkan banyak
stakeholder.
Diklat Kepemimpinan (Pelatihan
Kepemimpinan) serta Diklat
Kepemimpinan Pemerintahan Dalam
Negeri (Diklat Pimpemdagri) merupakan
diklat yang secara legal formal menjadi
kebijakan yang lakukan untuk
meningkatkan “kinerja kepemimpinan”
bagi ASN, meskipun keduanya memiliki
metode dan pendekatan yang berbeda.
Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) yang
selama ini dilaksanakan lebih
menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan manajerial organisasi secara
umum (kompetensi Manajerial)
sebagaimana diamanatkan oleh UU
Nomer 5/ 2014 tentang ASN, sedangkan
Diklat Pimpemdagri mendorong pada
penguatan karakter kepemimpinan
pemerintahan (kepamongan),
sebagaimana diatur dalam UU Nomor
23/ 2014 tentang Pemerintahan Dearah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa
kehadiran Diklatpim dan Diklat
Pimpemdagri ini sebagai konsekuesi
dari adanya peraturan perundang-
undangan yang menyisakan adanya
diskrepansi dalam pengaturan
pengembangan kompetensi sumder daya
aparatur penyelenggara pemerintahan,
sehingga dalam implementasinya sering
terjadi inkonsistensi maupun distorsi.
Fenomena ini banyak dinilai sebagai
kebijakan yang kurang efektif dan
efisien, juga cenderung mendorong
panjangnya rantai birokrasi
pengembangan kompetensi dan
pengembangan karir pejabat ASN.
3. GAGASAN
Jabatan di sektor publik (mulai
dari JPT Madya sampai dengan
Pengawas) seyogyanya menjadi ajang
unjuk kompetensi dan unjuk kinerja
(field of battle) bagi ASN yang secara
kualifikasi telah memenuhi
persyaratan,bukan sebagai ajang latihan
(training camp), oleh karenanya
diperlukan serangkain kriteria dan
proses yang harus dipersiapkan bagi
ASN yang akan (sebelum) menduduki
jabatan publik. Hal ini penting untuk
dilakukan mengingat pada era dynamic
governance ini, sudah menjadi
keniscayaan bahwa pemerintahan harus
Edisi Agustus 2019
Suparjana
5
KOMPETENSIMANAJERIAL
KOMPETENSIPEMERINTAHAN
PELATIHANKEPEMIMPINANPEMERINTAHAN(PKP)
PKP-NASIONAL(PKPN)
PKP-STRATEGIS(PKPS)
PKP-ADMINISTRATOR(PKPA)
PKP-PENGAWAS(PKPP)
UU NO 5/2014 UU NO 23/2014
ü DISKREPANSIü MISSINGLINKü SILO/EGO-SENTRIS
BRIDGING
DiperuntukkanuntuklevelJPTMadya/Eselon1ataujabatanyangsetara
DiperuntukkanuntuklevelJPTPratama/Eselon2ataujabatanyangsetara
Diperuntukkanuntukleveladinistrator/Eselon3ataujabatanyangsetara
DiperuntukkanuntuklevelPengawas/Eselon4ataujabatanyangsetara
UNSURYANGDIINTEGRASIKAN
DASARHUKUM
STANDARKOMPETENSILULUSAN
DESAINPEMBELAJARAN
STANDARINPUT
KURIKULUM
dikelola secara benar dan oleh orang-
orang yang tepat, bukan sebagai ajang
“trial and error”.
Berangkat dari pemahaman ini,
diklat-diklat yang fokus pada kapasitas
kepemimpinan (leadership capacity)
hendaknya di desain sebagai “Diklat
Pembentukan/ Diktuk” untuk persiapan
menduduki jabatan publik tertentu.
Desain “diktuk” ini tentu memiliki
karakter yang berbeda dengan diklat-
diklat yang bersifat pengembangan
“Dikbang”. “Diktuk” sebaiknya di desain
dengan memadukan antara character
building dan capacity development.
Dengan demikian gagasan
mengintegrasikan Diklat Kepemimpinan
dan Diklat Pimpemdagri lebih didorong
untuk membangun kebijakan
pengembangan kapasitas kepemimpinan
secara terintegrasi.
Gagasan integrasi ini tidak
dimaknai sebagai kebijakan untuk
mengintegrasikan dua kompetensi
(kompetensi manajerial dan kompetensi
pemerintahan) menjadi satu kompetensi.
Selain tidak memiliki rujukan secara
hukum, dua kompetensi ini tidak bisa
disatukan mengingat keduanya memiliki
dimensi dan sasaran yang berbeda,
namun perlu diselaraskan dan
diharmonisasikan dalam
pengembangannya. Oleh karena itu
upaya mengintegrasikan kedua diklat
kepemimpinan ini perlu difokuskan
untuk mencari desain/ formula yang tepat
untuk mengembangkan dua kompetensi
(manajerial dan pemerintahan) melalui
satu kegiatan pengembangan kompetensi
(diklat) yang terintegrasi.
4. INSTRUMENTASI GAGASAN
Integrasi Diklatpim dan Diklat
Pimpemdagri dapat dimulai dengan
mengidentifikasi aspek-aspek
fundamental yang dibutuhkan/
diperlukan dalam penyelenggaran
diklat, yang setidaknya mencakup :
a. Dasar Hukum kebijakan;
b. Standar Kompetensi yang akan
diwujudkan;
c. Kurikulum Diklat;
d. Desain/ Metode Pembelajaran;
e. Standar Waktu dan pembiayaan;
f. Standar input diklat.
Edisi Agustus 2019
Suparjana
6
A. Dasar Hukum Kebijakan
Selama ini, Diklatpim
diselenggarakan sebagaimana amanat
dari UU No. 5/ 2014 tentang ASN,
sedangkan Diklat Pimpemdari
merupakan implementasi dari Pasal 233
ayat (1) samapi dengan (5) UU No. 23/
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan kedua diklat ini masih
dirasakan belum sinergis dan cenderung
merepresentasikan ego-sektoral,
mengingat sampai saat ini belum ada
regulasi yang dapat dijadikan sebagai
titik simpul/ bridging, baik aspek
penyelenggaraan diklat, harmonisasi
kompetensi maupun sinergitas dalam
pendayagunaan sumber daya alumni
diklatnya di lingkungan pemerintah pusat
maupun daerah;
Oleh karenanya diperlukan
adanya regulasi yang dapat
menjembatani UU No. 5/ 2014 dan UU
No. 23/ 2014. Regulasi ini diharapkan
mampu mengharmonikan standar
kompetensi, standar kompetensi,
kurikulum, penyelenggaraan diklat
maupun pendayagunaan alumni diklat
bagi pemerintah pusat maupun daerah.
Namun demikian dalam kurun waktu
singkat sekarang ini dapat diterbitkan
regulasi secara bersama antar
kementerian/ lembaga yang memiliki
kewenangan dalam pengelolaan dan
pembinaan Sumber Daya Aparatur
Pemerintahan, seperti Kementerian PAN
dan RB, Lembaga Administrasi Negara,
Kementerian Dalam Negeri dan Badan
Kepegawaian Negara.
B. Standar Kompetensi yang
Diwujudkan
Integrasi kedua diklat ini tidak
dimaksudkan untuk meleburkan dua jenis
kompetensi (kompetensi manajerial dan
kompetensi pemerintahan) yang saat ini
secara legal formal sudah memiliki
rujukan hukum berbeda, yakni UU No. 5/
2014 tentang ASN dan UU No. 23/ 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Namun
demikian integrasi diklat ini
dimaksudkan agar kedua kompetensi ini
dapat diwujudkan dan diwadahi melalui
satu proses diklat yang terintegrasi,
sehingga selain lebih efektif dan efisien,
penguasaan kedua kompetensi ini oleh
ASN dapat selaras dan komprehensif,
mengingat kedua kompetensi ini
sebagaimana dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik di
pusat maupun daerah.
Edisi Agustus 2019
Suparjana
7
KOMPETENSILULUSAN YANG DIHARAPKAN
LEADER MANAGER
LEADERSHIP MANAGERIAL
ü PemimpinPemerintahanyangmemilikikemampuanmanagerialhandalü ManagerOPDyangmemilikikharakterkepemimpinanyangkuat
GOVERNNANCE
ManagerialLeader
Dari sudut pandang akademis,
pengembangan dua kompetensi ini secara
terpisah, masih mencerminkan kuatnya
dikotomi antara Managerial vs
Leadership atau manager vs leader,
sebagaimana kita temukan dalam
beberapa literature pada saat paradigma
The Old of Public Administration/ OPA
beberapa dekade yang lalu. Pandangan
yang dikotomis tersebut saat ini
dirasakan sudah tidak relevan lagi,
mengingat paradigma Whole of
Government lebih menekankan pada
pentingya bagi seorang pemimpin
pemerintahan atau (pimpinan OPD)
untuk mengelola organisasi
pemerintahan dengan melibatkan
keseluruhan stakeholder, baik
government, private sector, civil society
dan media secara koordinatif dan
integratif, karenanya, kompetensi
manajerial dan kompetensi pemerintahan
merupakan “conditio sine quanon” bagi
ASN yang akan menduduki jabatan
pemerintahan.
Sedangkan dari sudut pandang
filosofis-yuridis, masih menyiratkan
kuatnya ego sektoral (siloisme) dan
overlapping antar kementerian/ lembaga
di tingkat pusat, yang tentu saja bukan
menjadi pembelajaran yang baik bagi
daerah di era otonomi daerah sekarang
ini. Integrasi Diklatpim dan Diklat
Pimpemdagri ini, hendaknya bisa
menjadi momentum untuk
menyelaraskan antara UU No. 5/ 2014
dan UU No. 23/ 2014 serta menyerasikan
kinerja kementerian/ lembaga dalam hal
pengembangan kompetensi bagi Sumber
Daya Aparatur pemerintahan di pusat
dan daerah, sehingga tidak ada lagi ego-
sektoral dan overlapping dalam
pengembangan kompetensi ASN yang
kontra-produktif terhadap spirit whole of
government.
Singkatnya, integrasi diklat ini
diharapkan dapat menjadi rujukan bahwa
seorang ASN yang akan diberikan
tanggung jawab jabatan di instansi
pemerintahan, ia perlu dipastikan telah
memiliki kualifikasi sebagai
“managerial-leader”, yakni seorang
pemimpin yang mahir mengelola
organisasi sesuai dengan prinsip dan asas
penyelenggaraan pemerintahan yang
baik. Tidak selayaknya, jabatan
pemerintahan diberikan kepada orang
yang secara sahih belum bisa dibuktikan
kompetensinya, sebagai ajang “trial and
eror”. Sebagaimana dikatakan oleh
Bennis (1989:76):
Pemimpin yang memiliki kapasitas
“managerial-leader” harus mampu
menjebatani antar teori dan
praktek dalam menjalankan
pemerintahan, serta memiliki
kemampuan untuk mengambil
keputusan secara cepat dan tepat
untuk mengubah arah dan tujuan
organisasi ketika terjadi turbulensi.
Edisi Agustus 2019
Suparjana
8
Kualifikasi “managerial-leader”
harus diwujudkan melalui harmonisasi
unsur-unsur kompetensi manajerial dan
kompetensi pemerintahan,
menyelaraskan kurikulum diklat serta
mengintegrasikan metode pembelajaran
melalui “blended-model”, bukan
“sequential-model” dalam integrasi
diklat ini, karena keduanya memiliki
pendekatan dan metode yang berbeda.
Sequential model hanya
menekankan pada proses
penyelenggaraan diklat, dengan
mengambil bagian-bagian dari kurikulum
ataupun sequen pembelajaran dari kedua
diklat kemudian dijadikan sebagai satu
kesatuan proses pembelajaran.
Kelemahan dari integrasi diklat dengan
model sequential learning sangat
potensial memunculkan miss-leading,
karena akan sangat berpeluang terjadinya
overlapping maupun redudancy baik dari
sisi substansi maupun metode
pembelajaran, walaupun metode
sequential learning ini lebih mudah untuk
di desain. Kelemahan lain yang mungkin
terjadi dan lebih beresiko adalah
munculnya ketidakseimbangan dari sisi
substansi dan dimensi, contohnya,
apabila subtansi (kurikulum maupun
metode pembelajaran) Diktpim lebih
banyak diakomodasi dalam integrasi ini,
maka ada kesan bahwa Diklatpim lebih
dominan daripada Diklat Pimpemdagri,
demikian juga sebaliknya. Hal ini tentu
kurang baik dan kurang tepat.
Metode “blended-model” dalam
integrasi ini lebih menekankan pada
mengharmonisasikan “esensi” dari
standar kompetensi, kurikulum maupu
metode pembelajarannya, bukan dengan
cara menggabungkan dua standar
kompetensi, dua kurikulum maupun dua
metode pembelajaran menjadi satu,
melainkan kita ambil esensi dan
filosofinya, kemudian di selaraskan dan
diharmonisasikan dalam diklat
terintegrasi. Sebagaimana yang saat ini
telah dan sedang berjalan, Standar
kompetensi manajerial telah diatur dalam
Permen PAN No. 38 Tahun 2017
tentang Standar Kompetensi Jabatan
ASN dan Kompetensi pemerintahan
diatur dalam Permendagri No. 108/ 2017
tentang Kompetensi Pemerintahan.
Untuk kurikulum dan metode
pembelajaran, selama ini Diklatpim
diatur dalam Peraturan Kepala LAN
Nomor 19/ 2015 dan Peraturan Kepala
LAN Nomor 20/ 2015. Metode blended-
model ini tentu akan lebih ideal
menimbukan kesan sebagai solusi “win-
win solution”, meskipun lebih rumit dan
membutuhkan waktu yang lebih panjang
dalam mendesain. Namun sebagai
sebuah proses desain kebijakan, faktor
kualitas kebijakan hendaknya lebih
menjadi perhatian daripada faktor
kemudahan maupun kecepatan.
C. Kurikulum Diklat
Kurikulum diklat integrasi di
desain dengan mengacu kepada
kompetensi yang akan diwujudkan dalam
diklat integrasi ini yakni Pemimpin
pemerintahan yang memiliki kualifikasi
sebagai “managerial-leader”, baik dari
aspek pengetahuan (knowledge),
keterampilam (skill) maupun sikap dan
perilaku (attitude) yang setidaknya
mencakup:
1) Pemahaman dan penguasaan nilai-
nilai dasar kepemimpinan
(leadership), seperti:
Penguasaan nilai diri seorang
pemimpin (personal leadership
capacity), kemampuan dalam
mengelola konflik dan
pengambilan keputusan (conflict
management and decision
Edisi Agustus 2019
Suparjana
9
making), pemahaman dan
kesadaran terhadap tindakan dan
perilaku anti-korupsi, teknik
mempengaruhi dan menggerakkan
stakeholder.
Kemampuan memahami dan
mengadaptasi terhadap perubahan
paradigma kepemimpinan dan
dinamika lingkungan internal dan
ekternal organisasi.
2) Pemahaman dan penguasaan terhadap
aspek-aspek manajerial yang
meliputi:
Integritas
Komunikasi
Kerjasama
Orientasi pada hasil
Pelayanan publik
Pengembangan diri dan orang lain
Mengelola perubahan
Pengambilan keputusan
Perekat bangsa.
3) Kemampuan mengelola organisasi
pemerintahan yang mencakup:
Melakukan diagnosis organisasi
Melakukan identifikasi dan
pemetaan isu-isu permasalahan
pemerintahan
Membangun dan menumbuhkan
stimulus untuk melakukan inovasi
organisasi pemerintahan
4) Pemahaman terhadap aspek-aspek
penyelenggaraan pemerintahan yang
meliputi:
Kebijakan desentralisasi;
Hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah;
Urusan Pemerintahan yang
Menjadi Kewenangan Daerah;
Pemerintahan Umum;
Pengelolaan Keuangan Daerah;
Hubungan Pemerintah Daerah dan
DPRD; serta
Etika Pemerintahan.
5) Kemampuan dan keterampilan dalam
kepemimpinan lapangan yang
langsung berinteraksi dengan
masyarakat, yang meliputi:
Penjaringan informasi dan aspirasi
masyarakat
Kemampuan deteksi dini dan
cegah dini
Kemampuan mengidentifikasi dan
menggerakkan stakeholder
Pengambilan keputusan
D. Desain Pembelajaran
Untuk mengimplementasikan
kurikulum di atas agar standar
kompetensi lulusan yang telah ditetapkan
dapaat dicapai, maka metode diklat harus
di desain dengan memperhatikan
keseimbangan antara dimensi
kompetensi knowledge/ pengetahuan
(baik explicite maupun tacit), skill/
keterampilan, attitude/ sikap dan perilaku
kepemimpinan melalui pembelajaran
kelas dan non-kelas dengan
menggunakan media pembelajaran yang
relevan. Metode pembelajaran diklat
kepemimpinan ini setidaknya mencakup
tahap-tahap:
1) Leadership Capacity Development
(LCD);
2) Entrance to Governance-Managerial
(E-Gov);
3) Mapping on Governance‟s Issue
(MoGI);
4) Governance Innovation Iniciative
(GII); dan
5) Government-Leadership Laboratory;
6) Coaching Clinic on Governance
(CoCoG).
Edisi Agustus 2019
Suparjana
10
1) Leadership Capacity Development
(LCD)
Merupakan tahap awal
pembelajaran dan merupakan tahap
fundamental yang bertujuan untuk
menenamkan dan membangun kapasitas
kepemimpinan ASN untuk dipersiapkan
menduduki jabatan pemerintahan.Pada
tahap ini materi pembelajaran lebih fokus
pada leadership personality peserta
diklat, untuk meyakinkan dan
memastikan bahwa sebelum diberikan
tugas jabatan sebagai pimpinan
organisasi pemerintahan (pada level
tertentu), ia sudah memiliki kesiapan
secara mental, memiliki paradigma dan
integritaskepemimpinan yang
memenuhi kriteria jabatan.
Tahapan ini merupakan elaborasi
dan kolaborasi esensi dari tahapan
pembelajaran Self Mastery pada
Diklatpim dan tahapan Collective
Leadership Building pada Diklat
Pimpemdagri. Pada tahapan ini,
pembelajaran dapat dilakukan di dalam
kelas (in door learning, out door
learning maupun dikombinasikan dengan
visitasi terhadap objek pembelajaran
tertentu yang dapat semakin
memantapkan proses internalisasi nilai-
nilai kepemimpinan pemerintahan.
Beberapa substansi yang dapat
diakomodasi dalam tahapan
pembelajaran ini, antara lain:
1) Mental/ Spiritual Engineering
(Revolusi Mental, wawasan
kebangsaan, integritas kepemimpinan,
membangun perilaku anti korupsi dan
sebagainya);
2) Leadership In Governance (LIG):
Materi ini bertujuan untuk
mengenalkan prinsip-prinsip
kepemimpinan pemerintahan,
mengingat tidak semua peserta diklat
telah memeiliki pengalaman
kepemimpinan sebelumnya. Pada
materi ini diperkenalkan
perkembangan paradigma
kepemimpinan yang berkembang saat
ini, seperti: Adaptive-leadership,
Digital-leadership, Leadership 4.0 dan
sebagainya, namun tidak dilepaskan
dalam konteks Kepemimpinan
Pemerintahan Indonesia (KPI) yang
memiliki filosofi “Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso,
dan Tut Wuri Handayani” (Di depan
menjadi teladan, di tengah
membangkitkan dan memberi
semangat serta di belakang memberi
support/ dukungan sebagaimana Bill
Gates mengatakan bahwa “Leaders
are those who empower others”;
3) Azas-Azas Umum Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Baik (AUPB):
AUPB merupakan materi dasar dan
wajib dipahami dan
diimplementasikan oleh setiap
aparatur pemerintahan, terlebih bagi
pejabat pemerintahan. Materi ini akan
meletakkan nilai-nilai dasar
bagaimana berpemerintahan yang
Edisi Agustus 2019
Suparjana
11
baik segaligus memberikan moral
guidance bagi aparatur pemerintahan;
4) Grand Design Regional Autonomy
(GDRA): Desain Besar Otonomi
Daerah ini materi yang wajib
dipahami oleh setiap aparatur
pemerintahan, baik di pusat maupun
daerah, karena memberikan kerangka
pemahaman dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hubungan pusat dan
daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dikonstrusi dalam
kerangka kebijakan otonomi daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang memiliki kharakteristik yang
berbeda dengan negara-negara lain;
5) Public Service Oriented Governance
(PSOG): Materi ini bertujuan untuk
mengingatkan kembali peserta
mengenai jati diri pemerintahan yang
dilahirkan untuk memberikan
pelayanan pada masyarakat, sehingga
para aparatur sipil, terlebih lagi
pemimpin pemerintahan tidak boleh
mengalami disorientasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
6) Confict Resolution and Decision
Making (CRDM): Keterampilan dasar
yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin adalah mengelola konfik di
organisasi yang dipimpinnya. Ada
kalanya, tujuan organisasi tidak dapat
dicapai karena seorang pemimpin
gagal mengelola konflik yang terjadi
tidak mampu mengambil keputusan
secara tepat. Oleh karenanya, CRDM
ini menjadi materi yang wajib
diberikan dalam diklat kepemimpinan
terintegrasi ini.
2) Entrance to Governance-Managerial
(E-Gov)
Merupakan tahapan dimana,
setelah peserta diberikan bekal
kepemimpinan yang kuat, selanjutnya di
bawa masuk ke area atau medan di mana
kompetensi leadership-nya akan
dipraktekan, yakni dunia pemerintahan.
Tahap ini merupakan pembelajaran di
kelas (on class learning) dengan
penekanan bobot yang berimbang antara
teori dan praktek (sesuai level jabatan),
dapat juga diselingi dengan pembelajaran
yang bersifat “on the spot learning”
maupun “comparative learning” untuk
lebih mendalami isu-isu atau masalah
pemerintahan tertentu secara lebih
spesifik dan detail. Materi pembelajaran
pada tahap ini merupakan substansi dari
kompetensi manajerial (generic maupun
spesifik) sebagaimana diatur dalam
Permen PAN dan RB No. 38/ 2017
tentang Standar Kompetensi Jabatan
ASN dan kompetensi pemerintahan
(generic atau spesifik) sebagaimana
diatur dalam Permendagri No. 108/ 2017.
Materi-materi tersebut dapat mencakup,
antara lain:
1) Kebijakan Desentralisasi;
2) Hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah;
3) Urusan Pemerintahan yang Menjadi
Kewenangan Daerah;
4) Pemerintahan Umum;
5) Pengeleolaan Keuangan Daerah;
6) Hubungan Pemerintah Daerah dan
DPRD;
7) Etika Pemerintahan;
8) Integritas (Menyelaraskan antara pola
pikir, perilaku dengan tujuan
organisasi);
9) Komunikasi dan Kerjasama
(Membangun komunikasi dan
kerjasama dengan unsur pemerinah,
swasta, civil society dan media);
10) Orientasi pada Hasil (Mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya
organisasi untuk tujuan bersama);
Edisi Agustus 2019
Suparjana
12
11) Pelayanan Publik (Mengelola
pelayanan publik di organisasi
pemerintah);
12) Pengembangan Diri dan Orang Lain
(Membangun Organisasi
Pembelajaran);
13) Mengelola Perubahan (Mengelola
perubahan lingkungan strategis
organisasi pemerintahan); serta
14) Perekat Bangsa.
3) Mapping on Governance‟s Issue
(MoGI)
Tahapan ini merupakan elaborasi
dari tahapan pembelajaran Diagnostic
Reading pada Diklatpim dan
pembelajaran Define A Problem pada
Diklat Pimpemdagri. MoGI sangat
diperlukan bagi ASN khususnya pejabat
pemerintahan, karena pengambilan
keputusan organisasi akan efektif apabila
isu aatau permasalahan organisasi dapat
diidentifikasi secara akurat lalu dipetakan
secara tepat, sehingga permasalahan di
organisasi pemerintahan tidak dapat
diselesaikan secara parsial.
Pembelajaran pada Diagnostic
Reading secara umum hanya
dimaksudkan untuk mengidentifikasi
permasalahan organisasi yang dinilai
krusial dan urgen untuk dilakukan
intervensi dengan suatu inovasi,
sedangkan pada pembelajaran Define A
Problem, permasalahan yang sudah
teridentifikasi harus dianalisis lebih
mendalam dengan mengidentifikasi
keterkaitan suatu isu/ masalah
pemerintahan tersebut dengan berbagai
aspek yang terkait dengan standar
kompetensi pemerintaha, sehingga dapat
diidentifikasi bahwa suatu isu/ masalah
yang terjadi dalam suatu organisasi
pemerintahan tidak mustahil akan terkait
dengan permasalahan pada unit
organisasi pemerintahan yang lainnya.
Contohnya, permasalahan yang dihadapi
oleh Dinas Sosial di salah satu
Kabupaten/ Kota A, sangat mungkin
dipengaruhi oleh permasalahan pada
Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan,
Satpol PP dan sebagainya, dan akan
berpengaruh pada permasalahan di Dinas
yang lain pula, hal ini dikarenakan
permasalahan pemerintahan, akan saling
berkaitan dan tidak mungkin berdiri
sendiri.
Pembelajaran pada tahapan MoGI
ini dimaksudkan untuk menemukan peta
permasalahan tersebut, sehingga
permasalahan pemerintahan dapat
dipetakan dengan jelas dan kongkrit
untuk menjadi dasar untuk menentukan
inovasi pemerintahan secara
komprehensif pula, bukan secara parsial.
Selama ini, inovasi yang dimunculkan
dalam pembelajaran Diklatpim masih
bersifat parsial dan kasuistis sehingga
kurang memiliki daya ungkit
(leveraging) yang kuat bagi
pembangunan daerah. Output
pembelajaran pada tahap ini adalah,
setiap peserta mampu mengidentifikasi
dan mengaanlisis isu/ masalah
organisasinya, lalu secara bersama-sama
memetakan isu/ permasalahan tersebut
dalam bingkai permasalahan yang lebih
luas dan komprehensif, sehingga selain
bisa menemukan gagasan inovasi
individual untuk organisasinya, secara
bersama-sama bisa menemukan solusi/
inovasi yang lebih komprehensif (grand
innovation). Metode pembelajaran
MoGI ini juga dapat dijadikan
pembelajaran tematik (berdasarkan peta
permasalahan yang ditemukan) sehingga
output pembelajaran diklat integrasi lebih
dirasakan efektif, sehingga dalam setiap
penyelenggaraan diklat, dapat
dimunculkan setidaknya satu atau lebih
inovasi besar (grand innovation).
Edisi Agustus 2019
Suparjana
13
4) Governance Innovation Iniciative
(GII)
Tahap ini lebih menekankan pada
aspek tacit knowledge dengan
memberikan stimulus kepada para
peserta untuk memunculkan gagasan
inovasi terhadap isu/ masalah di
organisasinya. Metode pembelajaran
pada tahap ini merupakan elaborasi dari
pembelajaran Merancang Proyek
Perubahan pada Diklatpim dan
pembelajaran Back Home Action Plan
(BHAP) pada Diklat Pimpemdagri. Input
pembelajaran aini adalah hasil/ output
dari pembelajaran MoGI pada tahap
sebelumnya. Jika pada pembelajaran
Diklatpim dan Diklat Pimpemdagri,
peserta hanya menemukan gagasan
inovasi/ action plan untuk internal
organisasinya, maka pada pembelajaran
GII ini, selain setiap peserta harus
memunculkan gagasan inovasi internal
organisasinya, secara bersama-sama bisa
menemukan konsep inovasi besar yang
dapat mengatasi permasalah secara
komprehensif. Konsep inovasi besar
(grand innovation) ini tidak perlu di
implementasikan selamakurun waktu
pembelajaran diklat, namun bisa menjadi
bahan untuk dilakukan pembelajaran
lapangan/ geladi bagi tahapan
pembelajaran selanjutnya.
5) Government-Leadership Laboratory
Tahapan ini merupakan
pembelajaran off class yang memberikan
kesempatan kepada peserta untuk
merealisasikan dan mengeksekusi
gagasan inovasi individual di organisasi
tempat asal peserta. Metode ini
merupakan elaborasi dari Implementasi
Proyek perubahan/ laboratorium
kepemimpinan pada Diklatpim dan
implementasi BHAP pada Diklat
Pimpemdagri. Tahap pembelajaran ini
lebih menekankan pada penguatan tacit
knowledge melalui praktek
kepemimpinan lapangan dalam
mengorganisasikan suatu kegiatan yang
sudah direncanakan pada tahapan
pembelajaran sebelumnya. Output
pembelajaran ini adalah berupa laporan
capaian implementasi gagasan inovasi
individual, sebagai bahan untuk
penyusunan Grand Innovation secara
bersama-sama dalam kelas yang
kemudian akan menjadi bahan geladi dan
pelaksanaaan uji kompetensi.
6) Coaching Clinic on Governance
(CoCoG)
Pada tahap pembelajaran ini ada
dua kegiatan utama yakni :
a) Geladi Manajemen Pemerintahan
Setelah peserta telah selesai
menyusun gagasan inovasi dan
mengimplementasikan di instansi
masing-masing, secara bersama-sama
dalam kelas, peserta menyusun grand
inovasi yang merupakan rangkaian
dari keterkaitan dari tiap-tiap inovasi
individual, untuk dijadikan sebagai
skenario geladi pemerintahan.
Kegiatan ini akan dipandu oleh tim
fasilitator.
b) Uji kompetensi dan Sertifikasi
Kompetensi
Merupakan kegiatan individual untuk
mengevaluasi keseluruhan
pembelajaran dan penguasaan materi
oleh peserta. Uji sertifikasi
dilaksanakan melalui test wawancara
yang didahului dengan setiap peserta
melakukan presentasi atas hasil
capaian pada akegiatan laboratorium
pemerintahan dan pengalaman peserta
dalam pelaksanaan geladi manajemen
pemerintahan. Penilaian dilakukan
oleh 3 (tiga) orang asesor, yang
meliputi:
Edisi Agustus 2019
Suparjana
14
1) Asesor kompetensi manajerial
(LAN);
2) Asesor Kompetensi Pemerintahan
(LSP PDN/ Kemendagri); dan
3) Asesor/ konfirmasi dari pihak
ketiga (Mentor/atasan langsung
peserta).
7) Standar Waktu dan Pembiayaan
Selain tujuan efektivitas dalam
penyelenggaraan maupun
pendayagunaan output Diklat, integrasi
ini juga diharapkan dapat
mengefisienkan waktu maupun
pembiayaan diklat. Dengan demikian
integrasi kedua diklat ini dapat didesain
dengan tepat dan akurat baik dari sisi
anggara maupun durasi waktunya.
8) Standar Input Peserta Diklat
Sebagai Diklat pembentukan,
rekrutmen peserta diklat kepemimpinan
seyogyanya perlu dilakukan dengan
kriteria yang ditentukan dengan beberapa
pertimbangan, seperti:
1. Calon peserta sebaiknya telah
memiliki pengalaman kerja selama
kurun waktu tertentu dan pernah
mengikuti diklat teknis tertentu,
sehingga peserta akan memiliki
pengalaman untuk mengidentifikasi
organisasi masing-masing dan
memiliki kemampuan untuk
menyusun gagasan inovasi di
organisasi masing-masing.
2. Calon peserta merupakan ASN yang
sudah masuk dalam database calon
potensial menduduki jabatan tertentu
di Badan Kepegawaian (talent pool)
instansi yang bersangkutan;
3. Persyaratan lain sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
menegatur tentang kepegawain/ ASN.
5. KESIMPULAN
Mengingat dinamika
penyelenggaraan pemerintahan yang
semakin cepat dan kompleks, maka
penguatan kapasitas kepemimpinan
(leadership) semakin penting dan
mendesak untuk dilakukan. Penguatan
kapasitas kepemimpinan bagi ASN ini
perlu dilakukan melalui serangkain
proses yang dapat mengintegrasikan
antara kompetensi manajerial
sebagaimana diamanatkan dalam UU
Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan
kompetensi Pemerintahan, sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Selama
ini, masih dirasakan bahwa
pengembangan kompetensi
kepemimpinan bagi ASN masih bersifat
parsial dan sporadik,serta masih banyak
terjadi overlapping dan redundancy.
Oleh karena ini Diklat kepemimpinan
(Diklatpim) yang selama ini
dilaksanakan untuk memberikan
kompetensi manajerial dan Diklat
Kepemimpinan Dalam Negeri
(Pimpemdagri) untuk memberikan
kompetensi Pemerintahan, perlu di
integrasikan melalui desain yang tepat
agar penyelenggaraannya dapat lebih
efektif dan efisien. Integrasi kedua diklat
ini juga diharapkan dapat menjembatani
diskrepansi antara UU Nomor 5/ 2014
tentang ASN dan UU Nomor 23/ 2014
tentang dalam hal pengaturan mengenai
kompetensi sumber daya aparatur.
Integrasi Diklatpim dan Diklat
Pimpemdagri ini dapat dilakukan dengan
mengharmoniskan beberapa aspek yang
meliputi, dasar hokum penyelenggaraan,
menetapkan standar output yang akan
dihasilkan, merancang kurikulum diklat,
menyusun metode pembelajaran yng
tepat, menentukan standar waktu dan
Edisi Agustus 2019
Suparjana
15
pembiayaan serta kriteria input peserta
yang akan mengikuti diklat. Dengan
mamadukan keseluruhan aspek-aspek di
atas, maka integrasi Diklatpim dan Diklat
Pimpemdagri ini akan dapat
menghasilkan diklat yang efektif dan
efisien dan dapat memebuhi kebutuhan
kompetensi kepemimpinan saat ini.
Tulisan ini merupakan gagasan
awal yang perlu didiskusikan lebih lanjut
oleh para pemangku kepentingan secara
lebih luas, baik Kementerian Dalam
Negeri, Lembaga Administrasi Negara,
Kementerian PAN dan RB, Badan
Kepegawaian Negara maupun pihak-
pihak lain yang terkait.
5. DAFTAR RUJUKAN
Bennis, Warren; 1989, Becoming A
Leader, USA.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur SIpil Negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 38 tentang
Standar Kompetensi Jabatan
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
85 Tahun 2017 tentang Pendidikan
dan Pelatihan Kepemimpinan
Dalam Negeri.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
108 tentang Kompetensi
Pemerintahan.
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi
Negara Nomor 17 Tahun 2015
tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan dan Kepemimpinan
Tingkat I.
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi
Negara Nomor 18 Tahun2015
tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan dan Kepemimpinan
Tingkat II.
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi
Negara Nomor 19 Tahun2015
tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan dan Kepemimpinan
Tingkat III.
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi
Negara Nomor 20 Tahun2015
tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan dan Kepemimpinan
Tingkat IV.
Nakah Akademik UU Nomor 23 Thun
2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Radical Candor‟s “Care Personally
Change Directly” matrix — Taken
from:
https://www.radicalcandor.com/ab
out-radical-
candor/https://www.radicalcandor.
com
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
Hal. 16 - 29
16
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan dibentuk dengan
maksud untuk membangun peradaban
dan untuk menjaga suatu sistem
ketertiban sehingga masyarakat bisa
menjalani kehidupan secara wajar.
Dalam perkembangannya, pemerintahan
telah mengalami pergeseran paradigma
yang kesemuanya dimaksudkan untuk
membangun peradaban suatu bangsa.
Transformasi paradigma pemerintahan
meliputi beberapa aspek antara lain;
perubahan paradigma manajemen
pemerintahan dari yang serba negara ke
orientasi pasar (market or public
interest), perubahan paradigma dari
pemerintahan yang kuat, besar dan
otoritarian ke orientasi small and less
government, egalitarian dan demokratis,
dan perubahan paradigma sistem
pemerintahan dari yang sentralistis ke
desentralisasi pengelolaan pemerintahan.
Hal itulah yang biasa
didengungkan adanya reformasi birokasi,
berarti adanya harapan dari pemerintah
untuk melakukan pergeseran paradigma
pada setiap perbuatan pemerintah.
Sebenarnya esensi dari pergeseran
paradigma atau yang biasa disebut
reformasi birokrasi adalah bukan
perbaikan pada struktur birokrasi semata.
Reformasi birokrasi juga harus membuat
aparatur birokrasi dapat secara efektif
dan efisien menggunakan serta
mengelola anggaran negara, menjalankan
PERGESERAN PARADIGMA PEMERINTAH
Mudji Estiningsih
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Yogyakarta
Abstract
The government was formed with the intention to develop civilization and to maintain
a system of order so that people could live their lives naturally. In its development,
the government has experienced a paradigm shift which is all intended to build the
civilization of a nation. The transformation of the governance paradigm includes
several aspects including; a change in the paradigm of government management from
an all-state to market orientation (market or public interest), a change in paradigm
from a strong, large and authoritarian government to a small and less government
orientation, egalitarian and democratic, and a change in the paradigm of a
government system from centralized to decentralized management government.
Keywords: paradigm, governance, bureaucratic reform.
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
17
program dan menggunakan sumber daya
yang diberikan.
Perlu diingat kembali bahwa ada
tiga penanda reformasi birokrasi berhasil
dilaksanakan. Pertama, apabila birokrasi
menjadi lebih profesional, berbasis
kompetensi; kedua, birokrasi yang
profesional tersebut memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat,
dalam arti murah, cepat dan efisien; dan
ketiga, jika reformasi birokrasi bisa
bebas dari semua kemungkinan KKN.
Patut kita sadari bahwa untuk
menggapai semua itu di atas memang
tidak mudah, apalagi diperoleh dalam
jangka waktu yang cepat. Hal ini karena
perubahan paradigma pemerintah atau
reformasi birokasi bukan hanya
mengeluarkan peraturan, membuat
organisasi, atau merekrut pegawai baru,
tapi reformasi birokrasi adalah
peningkatan kualitas SDM,
penyempurnaan sistem, prosedur kerja
dan menciptakan budaya kerja yang
unggul. Sekarang pertanyaannya, apakah
kita telah benar-benar menjalankan
pergeseran paradigma pemerintah?
Dari uraian diatas, maka dapat
dirumuskan suatu permasalahan dari
gerak tarnsformasi paradigma
pemerintah, antara lain :
1. Mengapa pergeseran paradigma
pemerintah ini perlu dalam dunia
kepemerintahan ?
2. Bagaimana mesin pergeseran
paradigma pemerintah ini
digerakkan?
3. Apa wujud nyata dari pergeseran
paradigma pemerintah menuju
perwujudan pemerintah yang baik ?
2. PEMBAHASAN
A. Pergeseran Paradigma Pemerintah itu
perlu dalam Dunia Kepemerintahan
Pemerintah (Government) ditinjau
dari pengertiannya berarti the
authoritative direction and administration
of the affairs of men/ women in a nation
state, city, etc. Pengertian kata
pemerintah dalam bahasa Indonesia
diartikan sebagai pengarahan dan
administrasi yang berwenang atas
kegiatan orang-orang dalam sebuah
Negara, bagian, kota dan sebagainya.
Istilah pemerintah dapat juga diartikan
sebagai the governing body of a nation,
state, city, etc., yaitu lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pemerintahan
Negara, Negara bagian, atau kota dan
sebagainya.
Istilah pemerintah dapat
diklasifikasikan atas pengertian
pemerintah dalam arti luas maupun
dalam arti sempit. Istilah pemerintah
dalam arti luas meliputi seluruh
kekuasaan Negara yaitu kekuasaan
legislative, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Pengertian
pemerintah dalam arti sempit hanya
meliputi cabang kekuasaan eksekutif
saja.
Sehubungan dengan istilah
pemerintah dan pemerintahan, saat ini
selain terdapat istilah government, juga
banyak dipergunakan istilah governance.
Berkaitan dengan pengertian governance,
Suhady, dkk. mengutip Kooiman
menyatakan bahwa:
Governance lebih merupakan
serangkaian proses interaksi sosial
politik antara pemerintah dengan
masyarakat dalam berbagai bidang
yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat dan
intervensi pemerintah atas
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
18
kepentingan-kepentinga tersebut.
Dengan demikian, governance
tidak hanya berarti pemerintahan
sebagai suatu kegiatan, tetapi juga
mengandung arti pengurusan,
pengelolaan, pengarahan,
pembinaan, penyelenggaraan dan
bisa juga diartikan pemerintahan.
Governance sebagai terjemahan
dari pemerintahan kemudian berkembang
dan menjadi populer dengan sebutan
kepemerintahan, sedangkan praktek
terbaiknya disebut dengan
kepemerintahan yang baik (good
governance). Berdasarkan tinjauan
etimologis, governance berasal dari
bahasa Yunani kubernan, yang artinya to
pilot atau to steer. Istilah gubernare
dalam bahasa latin memiliki konotasi
makna yang sama dengan piloting, rule
making atau steering. Governance
diartikan sebagai the act or manner of
governing; the office or function of
governing.
Pengertian pemerintah dalam
perspektif hukum administrasi negara
sama dengan administrasi negara, yang
dalam bahasa Belanda dikenal dengan
sebutan bestuur. Kepustakaan Bahasa
Belanda mengartikan administrasi dalam
istilah adminstratief recht dengan
administrare/besturen. Besturen
mengandung pengertian fungsional dan
institusional/struktural. Fungsional
bestuur berarti fungsi pemerintahan,
sedangkan institusional/struktural bestuur
berarti keseluruhan organ pemerintah.
Lingkungan bestuur adalah lingkungan di
luar lingkungan regelgeving atau
pembentukan peraturan dan rechtsspraak
atau peradilan 4.
Istilah pemerintah mengandung
arti badan atau lembaga yang
menjalankan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan (governing), sedangkan
kepemerintahan (governance) berkaitan
dengan proses penyelenggaraan
pemerintahan tersebut. Dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan,
governance merupakan proses yang
melibatkan berbagai aktor. Aktor-aktor
tersebut bisa merupakan badan publik,
badan semi privat atau privat, Pemerintah
tetap memiliki kedudukan dan fungsi
yang tak tergantikan dalam ha-hal
tertentu, walaupun dalam proses
governance seringkali terlibat banyak
aktor. Dikatakan oleh Osborne, dkk.5
bahwa pelayanan dapat dikontrakan atau
dialihkan ke sektor swasta, sedangkan
kepemerintahan tidak.
Fungsi-fungsi yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah modern
dewasa ini kian bertambah luas dan
membutuhkan kompleksitas kapasitas
profesional teknis yang semakin
beragam. Fungsi-fungsi pemerintah
tersebut adalah memimpin warga
masyarakat (leader) yang terdiri dari 6:
a. Mengemudikan pemerintahan
(governing)
b. Memberikan petunjuk (instructing)
c. Menghimpun potensi (gathering)
d. Menggerakkan potensi (actuating)
e. Memberikan arah (directing)
f. Mengkoordinasi kegiatan
(coordinating)
g. Memberi kesempatan dan kemudahan
(facilitating)
h. Memantau dan menilai (evaluating
and monitoring)
i. Membina (developing)
j. Melindungi (protecting)
k. Mengawasi (controllling)
l. Menunjang dan Mendukung
(supporting)
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
19
Pergeseran paradigma pemerintah
ini perlu , karena untuk menghadapai dan
menjawab dinamika perubahan model
atau gaya kepemerintahan, mulai
perncanaan, pelaksanaan sampai
pertanggungjawaban.
Hal-hal yang berhubungan dengan
perubahan paradigma pemerintahan,
antara lain:
a. Sistem pemerintahan berubah, dari
sentralistik menjadi desentralistik.
b. Perubahan Peraturan Perundang-
undangan yang fundamentalis, mulai
lapis pemerintahan tingkat bawah
sampai pemerintah pusat.
Dalam dunia pemerintahan perlu
adanya suatu manajemen untuk
melakukan penataan ulang terhadap
semua aktifitas pemerintah. Perlu diingat
bahwa pemmerintah merupakan
penyelenggara negara yang memilikki
kekuasaan untuk mengatur seluruh sektor
dengan melakukan kendali yang kokoh
agar ketiga pilar kekuasaan pada negara
ini dapat berjalan normal sesuai
fungsinya masing-masing dengan tetap
memperhatikan kepentingan rakyat
diutamakan .penajaman kembali fungsi
sesuai dengan koridor dan rel yang benar
, perlu adanya penataan ulang organisasi
membuat keberadaan responsibility
center menjadi jelas.. oleh karena
perubahan paradigma pemerintah sangat
diperlukan dalam dunia kepemerintahan
dan organisasi pemerintahan.
Jika mempelajari pengalaman
sukses berbagai entiti organisasi yang
memanfaatkan teknologi informasi
disejumlah sektor/aspek kehidupan akan
terlihat sebuah benang merah yang
menjadi kunci keberhasilan. Benang
merah atau kesamaan yang ada adalah
berhasilnya para pengelola dan/atau
pemakai teknologi informasi dalam
memahami, menghayati, dan
menjalankan perubahan paradigma (cara
pandang) sistem entiti organisasi terkait
dari yang konvensional menjadi berbasis
teknologi digital. Hal tersebut berlaku
pula pada entiti pemerintahan. Paradigma
birokrat yang selama ini efektif
dipergunakan harus mulai digantikan
dengan paradigma e-Government.
Setidak-tidaknya ada 8 (delapan) aspek
yang membedakan antara kedua buah
paradigma tersebut, yaitu:
1. Orientation;
2. Process Organization;
3. Management Principle;
4. Leadership Style;
5. Internal Communication;
6. External Communication;
7. Mode of Service Delivery; dan
8. Principles of Orientation
Orientasi dari paradigma birokrat
adalah menghasilkan produk atau
pelayanan yang cost-efficient kepada
masyarakat dan mereka yang
berkepentingan (stakeholders).
Orientasinya pada efisiensi karena bukan
merupakan rahasia umum bahwa biaya
pemerintahan diambil langsung dari
anggaran belanja negara/daerah yang
terkadang sangat kecil dibandingkan
dengan volume dan frekuensi
produk/pelayanan yang harus diberikan
kepada masyarakat. Karena selalu
menggunakan ukuran biaya sebagai
fokus, maka dapat dimaklumi jika
banyak sekali produk atau pelayanan
yang diberikan kalangan birokrat
terkadang memiliki kualitas yang rendah
dan cenderung terkesan asal-asalan. Di
dalam e-Government pemberian produk
dan pelayanan harus berorientasi pada
kepuasan pelanggan (customer
satisfaction oriented). Ukuran
keberhasilan pemberian produk dan
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
20
pelayanan dari pihak pemerintah kepada
masyarakat adalah jumlah keluhan
(complaint) dari pelanggan yang
bersangkutan terhadap kualitas produk
dan pelayanan yang diberikan.
Hal yang lain yang harus
diperhatikan, karena berorientasi kepada
kebutuhan dan kepuasan pelanggan,
maka produk maupun pelayanan yang
diberikan pun harus dapat fleksibel (di
sisi ekstrim, setiap produk atau
pelayanan harus dapat disesuaikan/tailor-
made dengan kebutuhan unik masing-
masing individu). Contoh lain aspek
fleksibilitas adalah sehubungan dengan
cara akses kepada pemerintahan. Kalau
di dalam pendekatan konvensional
masyarakat yang harus datang ke
birokrat, di dalam e-Government
pemerintah harus dapat menjawab
kebutuhan masyarakat 24 jam sehari dan
7 hari seminggu, dari mana saja dan
kapan saja.
I. Process Organization
Sebagaimana layaknya organisasi
birokrat kebanyakan, struktur organisasi
yang rigid dan kaku merupakan ciri khas
mesin manajemen pemerintahan. Dalam
kerangka ini, pemerintah membagi
dirinya menjadi departemendepartemen
atau divisi-divisi berdasarkan
spesialisasinya masing-masing
(fungsional) dimana di setiap departemen
atau divisi terkait, akan diberlakukan lagi
struktur organisasi yang disusun dengan
paradigma yang sama. Tujuan
dibangunnya mesin birokrasi semacam
ini adalah agar kontrol internal secara
efektif dapat berjalan dengan baik.
Dampak dari pendekatan organisasi
seperti ini adalah pembentukan teritori
pada masing-masing bagian sehingga
terkadang membuat penyelesaian
serangkaian pekerjaan menjadi lambat
dan mahal. Service Delivery.
Lihatlah bagaimana masyarakat
kerap di-“ping-pong” dari satu bagian ke
bagian yang lain jika yang bersangkutan
ingin mendapatkan pelayanan tertentu.
Di dalam e-Government, fenomena
“ping-pong” semacam itu tidak boleh
terjadi lagi karena akan sangat
merugikan masyarakat dan mereka yang
berkepentingan dengan pemerintah.
Masyarakat menuntut agar berbagai
proses pelayanan yang diberikan dari
hari harus semakin baik, cepat, dan
murah. Untuk keperluan tersebut,
pemerintah harus merombak ulang
struktur organisasi rigid-nya agar dari
yang bersifat fungsional dapat
mendukung aktivitas yang berbasis
proses. Jelas terlihat di sini bahwa kerja
sama antara departemen (lintas sektoral)
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
21
harus terjadi. Di dalam e-Government,
tuntutan ini dapat menjadi kenyataan bila
pemerintah mengimplementasikan sistem
jaringan antar departemennya yang
berfungsi saling tukar-menukar informasi
melalui sistem informasi (aplikasi) yang
terintegrasi.
II. Management Principle
Sistem manajemen yang
diterapkan di sini adalah “management
by mandate and rule”, artinya seseorang
baru akan bergerak jika mendapatkan
mandat dari atasannya yang biasanya
secara sah dinyatakan dalam surat
keputusan. Buruknya gaya manajemen
ini adalah tidak beraninya atau tidak
maunya seseorang karyawan untuk
bekerja atau mengambil inisiatif jika
belum diberikan perintah atau mandat
dari atasannya. Hal ini menyebabkan
lambatnya kerja atau response dari
manajemen di segala lini yang bermuara
pada buruknya pelayanan yang diberikan
pada pelanggan internal maupun
eksternal. Di dalam paradigma e-
Government, gaya manajemen
pemerintahan harus lebih fleksibel dalam
arti kata harus dapat selalu beradaptasi
dengan berbagai perubahan kebutuhan
para pelanggan, baik yang berasal dari
kalangan birokrat sendiri (internal)
maupun dari luar lembaga pemerintahan
(eksternal). Kunci sukses manajemen
dengan gaya fleksibel ini terletak pada
kemampuan para birokrat bekerja secara
tim (teamwork). Tim yang terdiri dari
berbagai sumber daya manusia dari
beragam struktur organisasi ini bekerja
sama untuk menghasilkan sebuah
rangkaian produk atau pelayanan yang
baik dan berkualitas.
III. Leadership Type
Gaya kepemimpinan yang dahulu
terbukti efektif di dalam mengelola
struktur organisasi birokratis adalah
“command and control” seperti yang
biasa diterapkan pada organisasi militer.
Maksudnya baik, yaitu agar mesin
birokrasi dipastikan dapat berjalan secara
efektif sesuai dengan pagu yang disusun
bersama (karena adanya kontrol yang
baik dan tidak terjadi persepsi yang salah
karena semua pekerjaan berasal dari satu
perintah atau rantai komando). Namun
kelemahannya adalah berkurangnya
potensi kreativitas pada masing-masing
sumber daya manusia karena yang
bersangkutan hanya bekerja berdasarkan
perintah dari atasan semata. Karena
struktur organisasi merupakan satu-
satunya alat manajemen yang
dipergunakan untuk berkomunikasi,
maka secara tidak langsung gaya
kepemimpinan yang ada akan menular
sampai ke unit organisasi terkecil yang
ada pada struktur. Dengan kata lain,
karena semua memiliki gaya
kepemimpinan pasif, maka sebagai
organisasi akan sulit berkembang dan
adaptif terhadap perubahan lingkungan.
Menerapkan e-Government yang efektif
berarti memaksa para birokrat untuk
mengubah gaya kepemimpinannya.
Idealnya, mereka haruslah seseorang
yang dapat menggabungkan antara gaya
kepemimpinan seorang profesional dan
seorang wiraswastawan
(entrepreneurship). Karena seluruh
departemen telah dihubungkan melalui
infrastruktur teknologi informasi (data,
aplikasi, dan teknologi), maka fungsi
pemerintah menjadi berubah, dari
seorang pemberi perintah dan
pengontrol, menjadi seorang fasilitator
dan koordinator yang bekerja
berdasarkan kebutuhan atau tuntutan
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
22
pelanggan. Jika dahulu prinsip
kepemimpinan dibangun berdasarkan
“the boss idea”, maka dengan gaya
kepemimpinan e-Government yang harus
diikuti adalah “the best idea”.
IV. Internal Communication
Proses komunikasi yang terjadi di
dalam manajemen internal adalah dengan
mempergunakan “top-down approach”.
Walaupun terlihat bahwa sekilas sistem
tersebut bersifat netral, namun dalam
pelaksanaannya menghasilkan efek
psikologis yang cenderung membuat
organisasi menjadi kontraproduktif.
Contoh klasiknya adalah ketidakberanian
seorang anak buah untuk bersikap yang
bertentangan dengan kemauan atasan
(bahkan untuk berbeda pendapat pun
terkadang yang bersangkutan tidak
berani), atau terbentuknya suasana yang
kaku karena adanya hubungan struktural
antara atasan dan bawahan (atasan harus
selalu dihormati dan tidak boleh
dipersalahkan), dan lain sebagainya.
Karena tidak adanya suasana demokrasi
yang cukup di dalam organisasi, sering
kali kinerja institusi terkait tergantung
dari kompetensi manajemen puncak yang
ada (bukan terletak pada sistem
organisasi). Jika manajemen puncak
ditempati oleh orang-orang yang ahli
dan/atau capable di bidangnya, maka
cenderung keputusannya akan
berkualitas; namun jika manajemen
puncak ditempati oleh mereka yang
memiliki kompetensi dan keahlian
rendah, maka berbagai keputusan yang
diambil akan cenderung berdampak
buruk bagi kinerja institusi. Di dalam e-
Government, melalui fasilitas semacam
email dan chatting, komunikasi dapat
berlangsung secara bebas dan intensif
antara masing-masing individu maupun
di dalam format kelompok. Dengan
diinstalasinya jaringan komputer lokal
yang terhubung ke internet, maka setiap
individu di dalam pemerintahan dapat
berkomunikasi secara cepat, langsung,
aman, dan murah ke berbagai pihak yang
berkepentingan tanpa harus mengikuti
garis komando yang ada pada struktur
organisasi.
V. External Communication
Seperti halnya internal
communication, external communication
merupakan hal lain yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan di dalam
mengelola pemerintahan. Dalam sistem
birokratis, hubungan antar departemen
atau antara pihak pemerintah dengan
kalangan lain (seperti swasta, luar negeri,
LSM, organisasi, partai, dan lain
sebagainya) biasanya dilakukan secara
formal, dengan mengikuti prosedur-
prosedur baku baik korespondensi
maupun protokoler yang berlaku. Karena
banyaknya aturan yang harus ditaati,
maka sangat terasa sekali sulitnya
menjalin kerja sama antara satu
departemen dengan departemen lainnya.
Tentu saja format tersebut tidak bisa
diterapkan pada e-Government yang
lebih mengutamakan pada bekerjanya
sebuah sistem lintas sektoral yang cepat.
Di samping itu, beragam kanal akses pun
dibutuhkan untuk keperluan komunikasi
agar para pengambil keputusan dapat
melakukan hubungan dengan mitra
kerjanya dari mana saja dan kapan saja.
Komunikasi eksternal secara cepat
dibutuhkan agar berbagai produk dan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat
yang sifatnya lintas sektoral, disamping
untuk mempermulus jalannya kerja sama
dan menghindari adanya pertikaian
karena saling “memasuki teritori” pihak
lain.
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
23
VI. Mode of Service Delivery
Karena banyak berhubungan
dengan hal-hal berbau administratif,
maka model pelayanan yang biasa
diberikan oleh pemerintah pasti
melibatkan sejumlah dokumen-dokumen
penting (seperti formulir, laporan, dan
lain sebagainya). Selain memakan biaya
yang cukup banyak, proses yang
melibatkan dokumen-dokumen berbasis
kertas biasanya memakan waktu yang
cukup banyak, sehingga pelayanan yang
diberikan cenderung lambat. Di dalam
era e-Government, tujuan akhirnya
adalah terbentuk suasana kerja yang
paperless/scriptless, dimana sejauh
mungkin penggunaan kertas dikurangi
(karena memakan biaya pembuatan dan
penyimpanannya). Sehingga semua
aspek pelayanan dan sumber daya yang
dapat didigitalisasikan harus dilakukan
migrasi dari sistem manual ke otomatis.
Konsep virtual office (kantor maya) juga
akan diterapkan di sini. Jika dahulu
sebuah transaksi dikatakan sah apabila
terdapat dua pihak yang saling bertatap
muka dan bersepakat, pada implementasi
e- Government, kebutuhan bertatap muka
secara fisik tidak perlu dilakukan karena
semuanya dapat diwakili dengan
berbagai produk teknologi informasi
yang canggih.
VII. Principles of Service Delivery
Aspek yang terakhir menyangkut
prinsip yang dipakai dalam memberikan
pelayanan berbasis informasi. Pada
sistem birokrasi, semua jenis pelanggan
diperlakukan sama di mata pemerintah,
sehingga disusunlah berbagai standar-
standar aturan baku yang harus dipatuhi
oleh semua khalayak. Seringkali ditemui
kasus-kasus tertentu yang tidak dapat
dipecahkan dengan standarisasi yang
ada; namun masalah tersebut tidak dapat
segera ditemukan solusinya, karena
pemerintah tidak mau bekerja diluar
mekanisme standar yang telah disepakati.
Sebaliknya pada e-Government,
pemerintah harus memperlakukan
masing-masing pelanggannya sebagai
sebuah entiti yang unik, dalam arti kata
masing-masing memiliki kebutuhan yang
spesifik. Sehingga pelayanan yang
diberikanpun harus dapat di-tailor-made
sesuai kebutuhan unik masing-masing
pelanggan. Pada akhirnya, perubahan
paradigma merupakan hal utama yang
harus didahulukan oleh pemerintah
dalam mempersiapkan perangkat sumber
daya manusianya. Ingatlah pepatah yang
mengatakan “old organisation plus
information technology is equal to old
and expensive organisation”.
B. Pergerakan Mesin Paradigma
Pemerintah
Pergeseran paradigma pemerintah
dapat digerakkan melalui mesin yang
dapat menumbuhkan citra pemerintah.
Mesin ini dapat bergerak karena adanya
hubungan , koordinasi antara institusi
yang satu dengan yang lain, hal ini
berguna bagi pemerintah untuk bisa
menyampaikan program keseluruh
lapisan lembaga pemerintahan..
Seiring dengan perubahan
paradigma pemerintah, mesin mengarah
pada suatu kebebasan pers dan
keterbukaan informasi publik serta
banyak informasi dari berbagai media
baik cetak maupun elekronik telah
membawa dampak bagi sebagian
masyarakat. Disinilah peran humas
semakin kompleks, tantangan tugas
kehumasan semakin berat, semua itu
dapat membawa perubahan drastis
pekerjaan kehumasan akibat adanya
perubahan tata nilai, pola pikir
,tingkahlaku, bahkan pola budaya
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
24
masyarakat dan cara mengemukakan
pendapat masyarakat baik individu
maupun kelompok. Disamping
pemerintah dapat mengakses aspirasi
masyarakat, begitu sebaliknya
masyarakat dapat mengetahui secara
transparan program-program pemerintah.
Mesin yang dimaksud yaitu melalui:
1. Humas (Public Relations) Menurut
Jefkins (2003)
Adalah suatu bentuk komunikasi yang
terencana, baik itu kedalam maupun
keluar, antara suatu organisasi dengan
semua khalayaknya dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan spesifik yang
berlandaskan pada saling pengertian.
Dalam mengejar suatu tujuan, semua
hasil atau tingkat kemajuan yang telah
dicapai harus bisa diukur secara jelas,
mengingat PR merupakan kegiatan
yang nyata. Kenyataan ini dengan
jelas menyangkal anggapan keliru
yang mengatakan bahwa PR
merupakan kegiatan yang abstrak.
2. Humas dan Para Pelaksana Humas
Dilingkungan Pemerintah, mau tak
mau harus dapat menyesuaikan dan
membangun visi dan orientasi baru
melalui beragam pendekatan dan
upaya, agar citra Pemerintah seiring
dengan tuntunan dan perkembangan
masyarakat.
3. Citra Terbentuk
Berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima
seseorang. Komunikasi tidak secara
langsung menimbulkan perilaku
tertentu, tetapi cenderung
mempengaruhi cara kita
mengorganisasikan citra kita tentang
lingkungan. Pemahaman kehumasan
sebagai salah satu bagian dalam
organisasi/ lembaga semakin hari
semakin memerlukan pemahaman dan
pendalaman bahkan aktualisasinya
dapat dilakukan setiap saat sesuai
dengan perkembangan paradigma
baru di era reformasi.
4. Penguatan Kelembagaan
Peran hubungan masyarakat (humas)
menjadi sangat vital. Hal itu
disebabkan betapa pentingnya
membangun citra bagi lembaga dalam
kaitannya dengan paradigma baru
pelayanan berbasis pelanggan. Humas
yang didalam konsep semula adalah
public relation, maka sesungguhnya
perannya adalah untuk
mengkomunikasikan lembaga
dimaksud dengan publik atau
masyarakat. Sehingga humas menjadi
garda depan bagi lembaga untuk
mengintrodusir apa dan bagaimana
lembaga tersebut terkait dalam
relasinya dengan masyarakat.
5. Menurut George Lukas Bahwa Dunia
Dibangun di atas Citra
Itu berarti bahwa siapa yang berhasil
membangun citra maka dialah yang
akan menguasai dunia. Makanya
didalam dunia bisnis, ada survey
pelanggan, survey produk, survey
kepuasan pelanggan, survey
kebutuhan pelanggan dan sebagainya.
Didunia politik ada survey pemilih,
survey akseptabilitas calon pejabat
politik, survey parpol dan sebagainya.
Semua ini dilakukan untuk
mememahami respon sosial terhadap
kepentingan lembaga.
6. Peran Humas Sungguh Sangat Sentral
Dikenal atau tidaknya sebuah
lembaga sangat tergantung kepada
berperan atau tidaknya humas. Dalam
kaitan ini maka ada humas yang
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
25
berperan internal dan eksternal.
Humas internal terkait dengan
bagaimana humas menguatkan
identitas dan rasa memiliki terhadap
lembaga, membangun kesadaran dan
dedikasi internal dan eksternal tentang
pentingnya lembaga bagi para
karyawan. Sedangkan humas
eksternal berfungsi untuk menggaet
relasi dengan dunia diluar lembaga
dan juga masyarakat luas. Humas
eksternal berfungsi untuk
mengekpose berbagai hal yang terkait
dengan eksistensi, fungsi dan produk
lembaga bagi masyarakat secara luas.
C. Perwujudan Pemerintah yang Baik
I. Penerapan Pemerintah yang Baik
Salah satu upaya untuk mewujudkan
pelaksanaan pemerintah yang baik
(good governance) adalah reformasi
birokrasi. Birokrasi sebagai organisasi
formal memiliki kedudukan dan cara
kerja yang terikat dengan peraturan,
memiliki kompetensi sesuai jabatan
dan pekerjaan, memiliki semangat
pelayanan publik, pemisahan yang
tegas antara milik organisasi dan
individu, serta sumber daya organisasi
yang tidak bebas dari pengawasan
eksternal.
Upaya untuk mewujudkan pemerintah
yang baik hanya dapat dilakukan
apabila terjadi keseimbangan peran
ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia
usaha swasta, dan masyarakat.
Ketiganya mempunyai peran masing-
masing. Pemerintahan (legislatif,
eksekutif, dan yudikatif) memainkan
peran menjalankan dan menciptakan
lingkungan politik dan hukum yang
kondusif bagi unsur-unsur lain dalam
governance. Dunia usaha swasta
berperan dalam penciptaan lapangan
kerja dan pendapatan. Masyarakat
berperan dalam penciptaan interaksi
sosial, ekonomi dan politik. Ketiga
unsur tersebut dalam memainkan
perannya masing-masing harus sesuai
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam tata kelola
pemerintah yang baik.
Agenda penciptaan pemerintah yang
baik setidaknya memiliki 5 (lima)
sasaran yaitu:
1. Berkurangnya secara nyata praktek
korupsi kolusi dan nepotisme di
birokrasi, yang dimulai dari jajaran
pejabat yang paling atas;
2. Terciptanya sistem kelembagaan
& ketatalaksanaan pemerintah
yang efisien, efektif dan
profesional transparan dan
akuntabel;
3. Terhapusnya peraturan dan
praktek yang bersifat diskriminatif
terhadap warga negara;
4. Meningkatnya partisipasi
masyarakat dalam pengambilan
kebijakan publik;
5. Terjaminnya konsistensi seluruh
peraturan pusat dan daerah.
Penerapan pemerintah yang baik di
lingkungan pemerintahan tidak
terlepas dari penerapan sistem
manajemen pemerintahan yang
merupakan rangkaian hasil dari
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
(planning, organizing, actuating, dan
controlling) yang dilaksanakan secara
profesional dan konsisten. Penerapan
sistem manajemen tersebut mampu
menghasilkan kemitraan positif antara
pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat. Dengan demikian,
lingkungan instansi pemerintah
diharapkan dapat memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat.
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
26
Kepercayaan, dukungan, dan
legitimasi politik dari masyarakat
akan diperoleh apabila pemerintah
dapat menyediakan pelayanan publik
yang memadai dan menjalankan
fungsi perlindungan pada masyarakat.
Di sisi lain pemerintah juga harus
mampu menciptakan stabilitas politik,
hukum, pertahanan dan keamanan,
ekonomi, serta sosial dan budaya
untuk mendorong peran dunia usaha
swasta dalam pembangunan ekonomi.
Dunia usaha swasta yang sehat akan
menghasilkan kualitas layanan serta
memberikan nilai tambah yang positif
bagi masyarakat. Hal ini tentunya
juga akan menghasilkan pertumbuhan
kegiatan usaha yang tinggi sehingga
dapat menumbuhkan loyalitas
konsumen dan kontribusi keuntungan
yang lebih besar dari masyarakat
sebagai target pasar. Integrasi
pengelolaan ketiga rantai nilai
tersebut secara selaras akan
menghasilkan nilai tambah bagi
masyarakat.
II. Prinsip-Prinsip Pemerintah yang Baik
Dari telusuran keberagaman wacana
tata kelola pemerintah yang baik,
terdapat sekumpulan nilai yang perlu
diterapkan di Indonesia. Sebagian dari
nilai tersebut sebenarnya telah
tumbuh dan berkembang dalam akar
budaya masyarakat Indonesia.
Walaupun demikian, nilai-nilai
tersebut sangat relevan untuk kembali
diterapkan dalam perubahan
paradigma pemerintahan kita, hanya
saja istilah dan kemasannya yang
berbeda. Sekurang-kurangnya
terdapat empat belas nilai yang
menjadi prinsip tata kepemerintahan
yang baik, yaitu:
1. Wawasan ke Depan (Visionary);
2. Keterbukaan dan Transparansi
(Openness and Transparency);
3. Partisipasi Masyarakat
(Participation);
4. Tanggung Gugat
(Accountability);
5. Supremasi Hukum (Rule of
Law);
6. Demokrasi (Democracy);
7. Profesionalisme dan Kompetensi
(Profesionalism and
Competency);
8. Daya Tanggap (Responsiveness);
9. Efisiensi dan Efektivitas
(Efficiency and Effectiveness);
10. Desentralisasi (Decentralization);
11. Kemitraan dengan Dunia Usaha
Swasta dan Masyarakat (Private
and Civil Society Partnership);
12. Komitmen pada Pengurangan
Kesenjangan (Commitment to
Reduce nequality);
13. Komitmen pada Perlindungan
Lingkungan Hidup (Commitment
to nvironmental Protection);
14. Komitmen pada Pasar yang Fair
(Commitment to Fair Market).
III. Peraturan-Peraturan Terkait dalam
Tata Kelola Pemerintah yang Baik
1. Undang-Undang
1. UU No. 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan
Lingkungan;
2. UU No. 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat;
3. UU No. 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme;
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
27
4. UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan atas UU
No.31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
5. UU No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
6. UU No. 12 Tahun 2003
Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
7. UU No.17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara;
8. UU No. 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan
Negara;
9. UU No. 25 Tahun 2004
Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN);
10. UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan
Daerah;
11. UU No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan
Keuangan Antara
Pemerintahan Pusat dan
Pemerintah Daerah;
12. UU No. 9 Tahun 2004
Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Pratun);
13. UU No.15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;
14. UU No. 17 Tahun 2007
Tentang Rencana
Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun
2005-2025.
2. Peraturan Pemerintah
1. PP No. 69 Tahun 1996
Tentang Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban, serta
Bentuk dan Tata Cara Peran
Serta Masyarakat Dalam
Penataan Ruang;
2. PP No. 27 Tahun 1999
Tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
3. PP No. 68 Tahun 1999
Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Negara;
4. PP No.19 Tahun 2000
Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
5. PP No. 71 Tahun 2000
Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan Dalam
Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
6. PP No. 98 Tahun 2000
Tentang Pengadaan Pegawai
Negeri Sipil;
7. PP No. 2 Tahun 2001
Tentang Pengamanan dan
Pengalihan Barang
Milik/Kekayaan Negara dari
Pemerintah Pusat Kepada
Pemerintah Daerah dalam
rangka Pelaksanaan
Otonomi Daerah;
8. PP No. 55 Tahun 2005
Tentang Dana Perimbangan;
9. PP No. 56 Tahun 2005
Tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah;
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
28
10. PP No. 58 Tahun 2005
Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah;
11. PP No. 79 Tahun 2005
Tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
12. PP No. 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan
Barang Milik
Negara/Daerah;
13. PP No. 8 Tahun 2006
Tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah;
14. PP No. 39 Tahun 2006
Tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana
Pembangunan;
15. PP No. 40 Tahun 2006
Tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional.
3. Peraturan Presiden
1. Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum;
2. Peraturan Presiden No. 7
Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka
Menengah Tahun 2004 -2009;
3. Peraturan Presiden No. 39
Tahun 2005 Tentang Rencana
Kerja Pemerintah (RKP)
Tahun 2006;
4. Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2005 Tentang
Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan
Minimal;
5. Peraturan Presiden No. 83
Tahun 2005 Tentang Badan
Koordinasi Nasional
Penanganan Bencana;
6. Peraturan Presiden No. 67
Tahun 2005 Tentang Kerja
Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur;
7. Peraturan Presiden No. 19
Tahun 2006 Tentang Rencana
Kerja Pemerintah Tahun
2007.
4. Keppres
1. Keppres No. 32 Tahun 1990
Tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung;
2. Keppres No. 75 Tahun 1999
Tentang Komisi Pengawas
Persaingan Usaha;
3. Keppres No. 8 Tahun 2002
Tentang Perubahan Atas
Kepres No.124 Tahun 2001
Tentang Komite
Penanggulangan Kemiskinan;
4. Keppres No. 80 Tahun 2006
Tentang Pengadaan Barang
dan Jasa.
5. Inpres
1. Inpres No. 3 Tahun 2003
Tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional
Pengembangan e-
Government;
2. Inpres No. 5 Tahun 2004
Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi;
3. Inpres No. 3 Tahun 2006
Tentang Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi.
Edisi Agustus 2019
Estiningsih
29
3. KESIMPULAN
Dalam menyongsong dan
meneruskan ekpektasi masyarakat dan
pemerintahan terhadap pergeseran
paradigma pemerintahan yang perlu
diperhatikan adalah :
1. Reformasi Birokrasi yang berkeadilan
dalam segala aspek, tidak hanya
perubahan dari lapisan luarnya saja,
tetapi perubahan paradigma
pemerintah sampai pada pembentukan
sistem yang mendasar dan mendalam,
serta terintegritas di setiap sektor
pemerintahan.
2. Tetap konsisten terhadap pelaksanaan
secara riil prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik.
3. Adanya komitmen elit dalam
menegakkan pemerintahan dengan
menerapkan Zona Integritas secara
jujur dan tegas, serta disiplin pada
setiap lembaga dan institusi
pemerintahan.
4. Membuat mesin selalu bergerak aktif
dalam setiap kegiatan pemerintah agar
berjalan dengan normal sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
5. Mengaktifkan semua lembaga untuk
berperan aktif menjalankan fungsinya
sebagai pelindung masyarakat dan
pengayom masyarakat.
4. DAFTAR RUJUKAN
Hadjon, PM (penyunting), 1994,
Undang-Undang Hukum
Adminstrasi Umum Naskah
1992/1993
Idup Suhady, dkk., Dasar-dasar Good
Governance-Bahan Ajar Diklatpim
Tingkat IV, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta, 2001
Kjaer, Anne Mette, 2004, Governance,
Polity Press, Cambridge, UK.
Mudji Estiningsih, 2016, Fungsi
Perngawasan Ombudsman dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang
Baik, Penerbit : Liberty
Yogyakarta.
Marbun, SF dan Mahfud MD, 1987,
Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta.
Mulgan, R, 2000, Perspectives on the
public interest‟, Canberra Bulletin
of PublicAdministration vol.95,
esp pp.2-5.
Neuman, L, 2006 „Social Research
Methods‟ Pearson, New York.
Osborne, David, dan Plastrik, Peter,
1997, Banishing Beuracracy, The
Five Strategis for Reinventing
Government, Massachussets,
Addition Westly Publishing
Company, Inc.
Oflyn, J, 2007, From New Public
Management to Public value, The
Autralian Journal of Public
Adminstration, vol. 66, No. 3, pp.
253- 366 ;
Peters, G. B,2011, Governance as
political therory, Critical Political
Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-72.
Thalhah, HM, 2007, Menggugat Fungsi
DPRD Dalam Mewujudkan Good
Governance dan Clean
Governmnet, Total Media,
Yogyayakarta.
Edisi Agustus 2019
Hustati
Hal. 30 - 41
30
1. PENDAHULUAN
Tingkat literasi membaca di
Indonesia sangatlah rendah. Berdasarkan
uji literasi yang dilakukan oleh IEA
tahun 2011 (data PIRLS), Indonesia
menempati peringkat ke 45 dari 48
negara yang menjadi peserta dalan skor
428 (skor rata-rata semua peserta 500).
(Direktorat Jenderal Pendididkan Dasar
Dan Menengah Kementria Pendidikan
Dan Budaya Tahun 2016 hal 1).
Sementara itu, uji literasi membaca
menurut PISA 2009 menunjukan peserta
didik Indonesia berada peringkat ke 57
dengan skor 396 (skor rata-rata 493),
sedangkan data PISA 2012 menunjukkan
peserta didik indonesia berada peringkat
ke 64 dengan skor 396 dari rata-rata skor
OECD 496, sebanyak 65 negara
berpartisipasi dalam PISA 2009 dan
2012 (Direktorat Jenderal Pendidikan
EVALUASI PROGRAM BUDAYA MEMBACA DI
SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PALEMBANG
Ratna Hustati
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sumatera Selatan
Abstract
The purpose of this study is eveluate implementation of literacy program in public
elementary school one palembang (SD 1 Palembang), district of Palembang
evaluation using CIPP model. Data collection through interview, documentation, and
observation, data display and data verification. The result shows that from context
aspect, studenst in public elementary school one palembang (SD N 1) need this
liberacy program: in public aspect, this program has answered the needs of students
with support by human resources, infrastucture, bugde, schudule, and adequate
working mechanismsm: proces aspec the iplementation is implemented according to
plan, although there were obstacles in routine activities such as teacher’s and
student’s low consistency as well as poor support from parents; and in product aspect
the result of literacy program is 90% of students have read fluently, 60% of students
are confindence to do presentation, 66% of students are able to make bulletin board
independently, 66% of students are able to write resume independently, 90% of
students actively write their personal experience in the diary, one of 65 students
passed the student passed and get third place in speech competition in sub-distric
level. Based on the findings, literacy program should be continued but need
improvement.
Keywords: evaluation program, literacy, CIPP model.
Edisi Agustus 2019
Hustati
31
Dasar dan Kementerian Pendidikan Dan
Kebudayaan, 2016:2).
Berdasarkan data PISA 2015
tingkat litersi indonesia belum
menunjukan peningkatan yang cuckup
seknifikat yaitu sebesar 1 poin dari skor
396 di tahun 2012 menjadi 397 di tahun
2015. Peningkatan tersebut mengangkat
posisi Indonesia 6 peringkat ke atas
(peringkat 62 dari 70 peserta) bila
dibandingkan posisi peringkat kedua dari
bawah pada tahun 2012 (OECD, 2015) .
meski terdapat peningkatan namun
tingkat literasi di indonesia masih
tergolong rendah. Rendahnya
keterampilan membaca membuktian
bahwa proses pendidikan di indonesia
belum mengembangkan kompetensi dan
minat peserta didik terhadap
pengetahuan. Berdasarkan data PIRLS
dan PISA di atas. Kementerian
pendidikan dan kebudayaan
mengembanhka gerakan literasi sekolah.
Gerakan literasi sekolah adalah
kemampuan megakses, memahami dan
menggunakan sesuatu secara cerdas
melalui aktivitas, antara lain membaca,
melihat, menyimak, menulis dan atau
berbicara. Disini sekolah diwajibkan
meluangankan waktu 15 menit sebelum
pembelajaran untuk membaca buku non
akademik. Tujuan umum dari gerakan
literasi adalah untuk menumbuh
kembangkan budi pekerti peserta didik
melalui pembudayaan ekosistem literasi
sekolah yang diwujudkan dalam gerakan
literasi sekolah agar mereka menjadi
pembelajar sepanjang hayat (Direktorat
Jenderal Pendididkan Dasar Dan
Menengah Kementerian Pendidikan Dan
Kebudayaan, 2016 : 2). Gerakan literasi
sekolah sendiri harus dilaksanakan untuk
memperluas ilmu pengetahan siswa
sesuai dengan peraturan Menteri nomor
23 Tahun 2015 tentang penumbuhan
budi pekerti yang menyebutkan bahwa :
“penghargaan terhadap keunikan
potensi peserta didik untuk
mengembangkan, yaitu medorong
peserta didik gemar membaca dan
mengembangkan minat yang sesuai
dengan potensi bakatnya untuk
memperluas cakrawala kehidupan dalam
mengembangkan dirinya sendiri”.
Didukung Dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
BAB III Pasal 4 Nomor 5 yang tertulis
bahwa :
“pendidikan diselenggarakan
dengan megembangkan budaya
membaca, menulis dan menghitung bagi
segenap warga masyarakat”.
Salah satu penemuan dari
penelitian Heather Thomas (2013: 56)
menyatakan bahwa program literasi
berkontribusi dalam meningkatkan
prestasi siswa.
Dalam upaya mensukseskan
Gerakan Literasi Sekolah, SDN 1
Palembang merancang prgram budaya
membaca di SDN 1 Palembang
merupakan suatu program yang di
rancang agar siswa saat membaca tidak
hanya mahir membaca, akan tetapi siswa
dapat memahami isi bacaan. Hal ini
sesuai dengan pengertian dari program
yaitu serangkaian kegiatan yang
dirancang/ di rencanakan oleh suatu
organisasi, yang dalam pelaksanaannya
berlangsung melalui proes yang
berkesinambungan ( Wirawan,
2011:17;Arikunto,2010:4;Widoyoko,200
9:8). Sedangkan pengertian budaya
membaca sudah melekat dan mengikat
dalam kehidupan sehari-hari seseorang,
sehingga membaca dilakukan secara
teratur dan berkelanjutan ( Umar,
Edisi Agustus 2019
Hustati
32
2013:127, Gol A Gong & Agus M.
Irkham,2012:62).
Program budaya membaca di SDN
1 Palembang di putuskan dan di
laksanakan mulai tahun ajaran
2014/2015. Program budaya membaca di
sekolah merupakan program yang di
harapkan dapat membuat para guru dan
seluruh siswa meningkatkan intensitas
membaca, sehingga pengetahuan guru
dan siswa dapat meningkat. Kepala
sekolah, guru dan para siswa diharapkan
dapat berperan aktif dalam mengawasi
dan melaksanakan program budaya baca.
Dalam hal ini SDN 1 Palembang
membuat rangkuman untuk menjadi
bukti pemahaman siswa dalam membaca.
Hasil rangkumann wajib dikumpulkan ke
sekolah melalui guru-guru kelas. Setelah
siswa dapat memahami dan mengerti dari
siswa dapat meningkat, sehingga prestasi
dan mutu sekolah dapat meningkat.
Permasalahan yang timbul dalam
melaksanakan program budaya membaca
yang pertama adalah tentang konsisten
guru-guru. Beberapa guru terkadang
malas dalam melaksanakan apa yang
menjadi tugas ( mengumpulkan hasil
rangkuman ) dan mengawasi kegiatan
program budaya membaca. Hal ini di
karenakan banyaknya tugas dan kegiatan
lain para guru disekolah.
Adapun data pengumpulan hasil
rangkuman tiga bulan terakhir sebagai
berikut: mewajibkan siswa satu kali
dalam satu minggu.
Terlihat dari data di atas selama
bulan april, mei dan juni 2016 pada kelas
1 terdapat 7 rangkuman yang tidak
terkumpul, kelas II terdapat 4 rangkuman
yang tidak terkumpul, kelas III terdapat 8
rangkuman yang tidak terkumpul, kelas
IV terdapat 7 rangkuman yang tidak
terkumpul, kelas V terdapat 8 rangkuman
yang tidak terkumpul, VI terdapat satu
rangkuman yang tidak terkumpul. Dari
tiga bulan terakhir saja terdapat 47
rangkuman yang tidak terkumpul. Hal ini
dapat mengakibatkan kelancaran
program budaya membaca dapat
terganggu 50 hingga tujuan dari program
budaya membaca sangat sulit dicapai.
Permasalahan yang kedua yaitu
kurangnya pengawasan dari orang tua
juga menjadi kendala dalam
melaksanakan program budaya
membaca. Orang tua lebih fokus kepada
pekerjaan dan tidak sampai mengawasi
kegiatan belajar anak dirumah.
Pemasalaha terakhir yang muncul adalah
kurangnya jumlah buku yang menjadi
pembaharuan. Jumah siswa yang banyak,
intesitas membaca yang cepat
mengakibatkan perputaran buku dari
siswa ke siswa lain juga cepat, sehingga
siswa akan menjadi bosan membaca jika
buku yang dibaca hanya itu-itu saja.
Ketiga permasalahan tersebut tidak bisa
dianggap remeh, karena permasalahan-
permasalahan tersebut dapat
menghambat proses kegiatan program
budaya membaca dan tujuan akhir dari
program budaya membaca yaitu
meingkatkan mutu sekolah tidak akan
terwujud.
Permasalahan tersebut serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tahira DuPree Chase (2011: 5) yang
berjudul The Children Left Behing: An
Evaluation of a Reading intervention
Program for Upper Elementary Stidents,
yang menyatakan bahwa adanya
penurunan kemampuan membaca saat
siswa memasuki sekolah tingkat
menengah. Penelitian tersebut berpokus
kepada siswa kelas 5 yang menunjukan
kesulitan membaca padahal disana ada
program membaca yaitu membaca
intervensi. Selain itu permasalahan yang
dihadapi oleh Heather Thomas (2013)
Edisi Agustus 2019
Hustati
33
yang berjudul An Evaluation of The
Literacy program at Garibaldi Grade
School menyatakan bahwa sejak tahun
2006 sekolah Neah-Kah-Nie susah
mengembangkan program literasi
membaca. Guru memanfaatkan model
literasi yang seimbang antara teori dan
praktek dalam lima bidang utama
membaca:fonemik kesadaran, phonics,
kelancaran, kosakata, dan pemahaman.
Siswa kelas lima di nilai dalam tiga kali
dalam setahun menggunakan DIBELS
(Dynamic Indicators Of Basic Early
Literacy Skills), yang dikembangkan
oleh University of Oregon. Meskipun
sudah dilakukan penilaian secara rutin
tetapi masih belum diketahui apakah
program literasi efektif meningkatkan
kemampuan membaca siswa sekolah
Garibaldi Grade. Penelitian yang
dilakukan Corinne Serra Smith, M.S.ED
(2009) yang berjudul An Analysis and
evaluation of Sit Stay Read: is the
program Effective in Improving Student
Engagement and Reading Outcomes?
Menyatakan bahwa program “Sit untuk
meningkatkan membaca keterampilan
membaca dan menumbuhkan kasih
belajar pada anak-anak yang kurang
beruntung dikelas kedua dan ketiga (usia
7-9) ini efektif dalam meningkatkan
kemampuan membaca anak. Akan tetapi
belum diketahui apakah program ini
meningkatkan prestasi belajar anak-anak
di Chicago. Dari beberapa permasalahan
tersebut, solusi yang dinilai tepat untuk
mengatasi permasalahan yang muncul
adalah dilakukannya evaluasi suatu
program yang berkaitan dengan
meningkatkan kemapuan baca anak
tersebut. Dengan berdasarkan uraian
tersebut maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian tentang evaluasi
program budaya membaca di SDN 1 Plg
dari evaluasi adalah suatu kegiatan
mengumpulkan, menganalisi, dan
menyajikan informasi dengan cara
membandingkan antara kegiatan yang
direncanakan terhadap kegiatan yang
dilaksanakan dan membandingkan antara
tujuan program terhadap hasil yang
tercapai, yang selanjutanya informasi
tersebut digunakan untuk mengetahui
efektifitas dan efisiensi proyek,
kebijakan dan program yang dipakai
untuk menentukan alternative yang tepat
dalam mengambil suatu keputusan
(Sukardi,2008:1); Arikunto, 2010;2;
Wirawan,2011:7) . sedangkan pengertian
dari evaluasi program adalah metode
sistematik untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan memakai informasi
dengan ujuan untuk mengetahui
efektifitas dan efisien proyek, kebijakan
dan program ( Wirawan,2011:17; Weiss (
Sugiyono, 2014:741); Sugiyono,2014 :
742 ) sementara itu tujuan dari evaluasi
program adalah untuk mengetahui
apakah tujuan program telah tercapai
serta mengetahui penyebab-penyebab
yang selanjutnya hasil evaluasi dapat
digunakan untuk mengambil keputusan
tentang berkelanjutan sebuah program
perlu diteruskan, diperbaiki atau Stay
Read” yang memanfaatkan anjing terapi
dihentikan ( Wirawan, 2011:17;
Arikunto, 2010:18 Endang, 2011 144-
145 )
Model yang akan digunakan dalam
mengevaluasi program ini adalah CIPP
yang dikembangkan oleh Stufflebeam.
CIPP singatan dari context, input,
process and product. Tujuan uama
penelitian ini adalah untuk memberikan
masukan untk perbaikan pelaksanaan
program budaya membaca SDN 1
Palembang, serta dilakukan analisis serta
evaluasi tentang program budaya
membaca di SDN 1 Palembang guna
mengetahui : 1) Konteks program budaya
Edisi Agustus 2019
Hustati
34
membaca di SDN 1 Palembang; 2) input
program baca di SD N 1 Palembang ;
Proses program budaya membaca di
SDN 1 Palembang dan; 4) produk
program budaya membaca di SDN 1
Palembang.
Menurut Wirawan ( 2011:92-94)
model evaluasi CIPP dalam menganalisis
program dilaksanakan berdasarkan
komponen-komponennya yang dapat
dijelaskan sebagai berikut: a) Evaluasi
konteks adalah upaya mengidentifikasi
dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang
mendasari disusunnya suatu program.
Evaluasi konteks untuk menjawab
pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan ?
(What needs to be done ?). b) Evaluasi
masukan ( input ) untuk mencari jawaban
atas pertanyaan : apa yang harus
dilakukan ( what should be done ?)
Evaluasi ini mengidetifikasi problem,
asset dan peluang untuk membantu para
pengambil keputusan mengidentifikasi
tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat
dari program , menilai pendekatan
alternatif , rencana tindakan , rencana
staf dan anggaran untuk faseabilitas dan
potensi cost efectiviness untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan yang
ditargetkan. Para pengambil keputusan
memakai evaluasi masukan dalam
memilih rencana-rencana yang ada,
menyusun proposal pendanaan, alokasi
sumber-sumber , menetapkan staf,
menskedul pekerjaan, menilai rencana-
rencana aktivtas, dan penganggaran 3)
Evaluasi Proses berupaya untuk mencari
jawaban atas pertanyaan dari: Apakah
program sedang dilaksanakan ? ( is it
being done ? ). Evaluasi ini berupaya
mengakses pelaksanaan dari rencana
untuk membantu staf program
melaksanakan aktivitas dan kemudian
membantu kelompok pemakai lebih luas
menilai program dan menginterpretasi
manfaat. 4) Evaluasi produk diarahkan
untuk mencari jawaban pertanyaan: Did
it Succed ?. evaluasi ini berupaya
mengidentifikasi dan mengakses
keluaran dan manfaat, baik yang
direncanakan atau tidak di rencanakan,
baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Evaluasi produk merupakan
tahap akhir dari serangkaian evaluasi
program. Jadi setelah evaluasi produk
selesai dapat direkomendasikan hasil
program yang berjalan untuk
merumuskan kebijakan berikutnya.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian evaluatif menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif. Tempat
penelitian SDN 1 Palembang Provinsi
Sumatera Selatan. Subyek dalam
penelitian ini adalah Kepala Sekolah,
pendidik dan peserta didik SDN 1
Palembang. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara, observasi dan
studi dokumen. Instrumen pengumpulan
data berupa lembar wawancara, lembar
observasi dan lembar dokumentasi.
Untuk menguji keabsahan data pada
penelitian ini digunakan teknik
triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Teknik analisis data yang digunakan
adalah analisis data kualitatif. Analasis
data didalam penelitian kualitatif ini
didasarkan pada metode evaluasi
program dengan model CIPP.
3. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Konteks Program Budaya Membaca
di SD N 1 Palembang
Komponen pada evaluasi konteks
adalah : 1) apakah program budaya
membaca merupakan kebutuhan sekolah;
Edisi Agustus 2019
Hustati
35
2) apa tujuan dari program budaya
membaca serta ; 3) siapa sasaran dari
program budaya membaca. Latar
belakang dirancangnya program budaya
membaca di SDN 1 Palembang adalah
Kepala Sekolah melihat bahwa
kemampuan baca tulis siswa masih
kurang, yaitu ada beberapa siswa masih
kurang, yaitu ada beberapa siswa kelas,
1, 2, 3 bahkan kelas 5 belum lancar
membaca. Hal ini terlihat ketika saah
satu siswa kelas 5 diberi tugas untuk
membaca UUD 1945 ketika Upacara
Bendera hari senin namun siswa tersebut
belum lancar membaca. Permasalahan ini
serupan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurfalah (2015) yang
menyatakan bahwa siswa kelas II di SDN
1 Wosu Kecamatan Bongku Barat
Kabupaten Morowali belum lancar
membaca, serta penelitian yang
dilakukan oleh sukartiningsih (2005)
yang mengemukakan bahwa siswa kelas
I SDN Arjosari 1 belum lancar membaca
dan menulis.
Untuk mengatasi permasalahan
rendahnya kemampuan membaca siswa
SDN 1 Palembang pihak sekolah
meracang program budaya membaca.
Melalui program ini diharapkan kegiatan
membaca menjadi kebiasaan bagi siswa
selajutnya kemampuan membaca siswa
meningkat. Hal ini sesuai dengan
pengertian program menurut Widoyoko
(2009: 8) yaitu serangkain kegiatan yang
direncanakan secara seksama dan dalam
pelaksanaannya berlangsung dalam
proses yang berkesinambungan dan
terjadi dalamsuatu organisasi yang
melibatkan orang banyak. Berdasarkan
permasalahan tersebut dapat diketahui
bahwa program budaya membaca
merupakan kebutuhan siswa SDN 1
Palembang. Hal ini senada dengan
pengertian kebutuhan menurut
Wirawan(2011 :19) yaitu ketimpangan
antara kondisi dan keadaan sekarang atau
apa yag terjadi dengan keadaan yang
dinginkan atau keadaan yang seharusnya.
Tujuan dari program budaya
membaca di SDN 1 Plg adalah untuk
melatih keterampilan membaca dan
menulis, khususnya meningkatkan literas
bagis siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan
Gerakan Literasi Sekolah yaitu
menumbuhkembangkan budi pekerti
peserta didik melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang
diwijudkan dalam Gerakan Literasi
Sekolah agar mereka menjadi pembelajar
sepanjang hayar (Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar Dan Menangah
Kemantrian Pendidikan dan Kebudayaan,
2016 : 2). Program budaya membaca
sendiri sangat penting bagi siswa SDN 1
Plg karena denga adanya program
budaya membaca siswa akan mempunyai
wawasan yang lebih luas, serta program
ini dapat membantu siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran dan
pengembangan diri. Hal ini serupa
dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Hather Thomas (2013 : 56)
menyatakan bahwa program literasi
berkontribusi dalam meningkatkan
prestasi siswa.
B. Input Progam Budaya Membaca di
SD Negeri 1 Palembang
Program budaya membaca
merupakan jawaban dari permasalahan
dari rendahnya kemampuan membaca
sswa SDN 1 Palembang. Hal ini susuai
dengan pendapat dari Wirawan (2011 :
19) yang menyatakana bahwa assesmen
kebutuhan perlu dilakukan sebelum
merecanakan suatu kebijakan, program
atau proyek. Hal ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mendefinisikan
kebutuhan dan mengumpulkan sejumlah
Edisi Agustus 2019
Hustati
36
alternatif untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Dari alternatif yang dipilih
merupakan inti dari rencana program
untuk memenuhi kebutuhan.
Program budaya membaca di SDN
1 Palembang sudah sesuai dengan juklak
dan juknis yang dibuktikan dengan 7
kegiatan program yaitu membaca 5 menit
sebelum PBM, membaca massal,
membuat mading, cipta baca puisi,
membuat pidato, merangkum hasil
bacaan dan menulis buku harian (Diary).
Tiga kegian bersifat rutin (membaca 15
menit sebelum PBM, merangkum hasil
bacaan dan menulis buku harian ( Diary
)serta empat kegiatan yang dilakukan
ketika jeda semester ( membaca massal,
membuat mading, cipta baca puisi,
membuat pidato), namun terkhusus untuk
kegiatan cipta baca puisi dan membuat
idato sering dipersiapkan untuk
mengikuti perlombaan.
Program hanya bisa berjalan
komponen pendukung berfungsi
sebagaimana mestinya, adapun
komponen pendukung meliputi: 1)
sumber daya manusia; 2) sarana dan
prasarana pendukunh; 3) dana/anggaran;
4) berbagai prosedur dan aturan yang
diperlukan. Oleh karena itu dapat
diketahui sumber daya pendukung
program budaya membaca di sekolah ini
dari visi dan misi serta tujuan sekolah.
Karakteristik pemimpin, guru dan warga
sekolah harus melingkupi visi dan misi
serta tujuan sekolah.
Kepala Sekolah mempunyai
tanggung jawab yang besar terhadap
pelaksaan program budaya membaca.
Kemampuan manajemen Kepala Sekolah
dalam menjalankan program budaya
membaca ini berpengauh dalam
pelaksaan program. Kebijakan dan
keputusan yang di ambil Kepala Sekolah
dalam mengatasi kendala yang muncul
pada saat pelaksaan program budaya
membaca sangat menentukan
keberhasilan program tersebut.
Kemampuan Kepala Sekolah dalam
bekerjasama dengan guru dapat
melancarkan pelaksaan sehingga tidak
muncul msalah dalam melaksanakan
kegiatan program budaya membaca di
SDN 1 Palembang. Guru sebagai SDM
juga mempunyai peranan yang besar
dalam mensukseskan kegiatan program
budaya membaca. Untuk itu guru
mendapatkan pelatihan dari sekolah beru
supervisi guru, selain itu guru juga
mendapatkan pelatihan dari USAID
PRIORITAS megenai budaya membaca,
guna mempersiapkan diri untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan pada
program budaya membaca. Berdasarkan
uraian tersebut dapat diketehaui bahwa
SDM sudah memadai untuk menunjang
kegiatan program buadaya membaca.
Selain kredibilitas pengelola,
pelaksaan program budaa membaca di
SDN 1 Palembangharus didukung
keungan sekolah. Besaran dana yang
dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan
program budaya membaca di SDN 1
Palembang yaitu tercantum dalam RKAS
sebesar 5% dari penerimaan dana BOS
pertahunnya. Besaran dana tersebut
dinilai sudah memadahi untuk kegiatan
program budaya membaca di SDN 1
Palembang . pengadaan sarana dan
prasarana juga merupakan input
pelaksaan program budaya membaca di
SDN 1 Palembang juga sudah memadahi.
Adapun sarana prasarana yang
dipersiapkan antara lain adalah; buku,
ruang baca, teras baca (pralon baca)
sudut baca( didalam kelas), taman baca (
gazebo )serta peralatan lain yang
mendukung terlaksananya program
tersebut. Dengan adanya dukungan
Edisi Agustus 2019
Hustati
37
peralatan terset pelaksaan program
menjadi lancar serta tidak ada kendala.
Aturan-aturan juga di buat untuk
mensukseskan kegiatan program budaya
membaca. Selain itu membuat jadwal
yang baik dalam peminjaman buku
berlangsung secara teratur. Jadwal serta
aturan dipajang pada tempat-tempat yang
strategis supaya siswa dengan mudah
membaca serta memahami kegiatan-
kegiatan program budaya membaca
dengan mudah. Penerapan pelaksaan
program budaya membaca mendapat
dukungan dari beberapa pihak antara
lain, warga sekolah, komite sekolah,
serta orang taua murid. Pihak sekolah
memiliki kapasitas yang tinggi sebagai
perencanaan dan pelaksanaan program
budaya membaca. Hal ini berkaitan
dengan keberhasilan pelaksanaan
program budaya membaca.
C. Proses Program Budaya Membaca di
SDN 1 Palembang
Pada tahun ajaran 2014/2015
program budaya membaca mulai
dilaksanakan. Hal ini sebagai tindakan
lanjut dari kerjasama pihak sekoalh
dengan USAID PRIORITAS. Pada tahap
awal pelaksaan program budaya
membaca, kemudian di musyawarahkan
kepada seluruh guru dalam rapat kerja
tahunan, dan akhirnya disosialisasikan
kepada seluruh warga sekolah termasuk
orang tua siswa. Rencana anggaran biaya
untuk koleksi buku dan fasilitas untuk
membaca harus disediakan. Dalam
rencana anggaran tersebut diuraikan
jenis-jenis fasilitas yaitu, ruang baca,
sudut baca, teras baca, serta taman baca.
Pada dasarnya evaluasi proses
untuk mengetahui sampai sejauh mana
rencana telah diterapkan dan komponen
apa yang perlu diperbaiki. Dimulai dari
peranan guru dalam melaksanakan
kegiatan program budaya membaca
disekolah sangatlah dibutuhukan agar
nantinya siswa benar-benar paham dan
mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan temuan
pada penelitian yang yang dilakukan oleh
Heather Thomas ( 2013 ), bahwa guru
merupakan komponen yang sangat
mendukung peningkatan kemampuan
membaca siswa terutama pada program
litersai.
Namun kendala yang dihadapi
oleh SDN 1 Palembang adalah
kurangnya komitmen guru dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan program
budaya membaca, terutama pada
kegiatan yang bersifat rutinitas yaitu
pada kegiatan membaca 15 menit
sebelum PMB belum berjalan sesuai
dengan jadwal, kendala yang di hadapi
adalah beberapa guru belum hadir saat
kegiatan berlangsung sehingga banyak
kelas yang tidak tertunggui, akibatnya
kegiatan membaca 15 menit sebelum
PMB terhambat pada pelaksaannya.
Untuk mengatasi hal tersebut pihak
sekolah sudah melakukan berbagai solusi
antara lain adalah Kepala Sekolah
memberikan motivasi kepada guru-guru
agar mempunyai komitmen yang tinggi
dalam melaksanakan kegiatan membaca
15 menit sebelum PMB. Selain itu guru
lain yang sudah hadir sebelum kegiatan
berlangsung diminta tolong untuk
menghendel kelas-kelas yang belum
tertunggui oleh guru-guru kelas.
Pada kegiatan merangkum selain
konsisten guru-guru yang lemah,
pengawasan orang tua yang kurang juga
menjadi kendala. Beberapa anak tidak
melaksanakan kegiatan ini. Hal ini
karena kegiatan merangkum
dilaksanakan dirumah siswa, sehingga
peran orang tua menjadi sangat krusial
dalam melancarkan kegiatan
Edisi Agustus 2019
Hustati
38
merangkum. Solusi yang sudah
dilakukan oleh pihak sekolah adalah guru
harus senantiasa bekerjasama dengan
pihak orangtua untuk selalu mengawasi
kegiatan belajar siswa ketika dirumah.
Berdasarkan hasil temuan di
lapangan dan kajian dokumen diperoleh
informasi bahwa pada aspek proses
pelaksaan program budaya membaca di
SDN 1 Palembang belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik. Namun kendala-
kendala yang muncul pada tahap proses
teratasi dengan baik. Hal ini karena
adanya kerja sama yang baik dengan
berbagai pihak yang terlibat dalam
proses pelaksanaan program budaya
membaca.
D. Produk Program Budaya Membaca di
SDN 1 Palembang
Evaluasi produk merupakan
penilaian yang dilakukan guna untuk
melihat ketercapain/ keberhasilan suatu
program dalam mencapai tujuan yang
ditentukan sebelumnya. Hasil yang
didapatkan dari evaluasi produk adalah
keuntungan pelaksanaan program budaya
membaca di SDN 1 Palembang. Siswa
mampu membaca dan menulis secara
lancar sehingga mampu membantu siswa
dalam meningkatkan prestasi belajar.
Dari ketujuh kegiatan program
budaya membaca terdapat lima kegiatan
dengan ukuran keberhasilan baru pada
tingkat keterlibatan siswa, dan ukurn
kualitas belum dimasukkan, yaitu 15
menit sebelum PBM terdapat 90% siswa
SDN 1 Palembang mampu lancar
membaca, 60% siswa SDN 1 Palembang
berani prestasi, 66% siswa mampu
membuat pidato secara mandiri, 66%
siswa mampu membuat rangkuman hasil
bacaan secara mandiri, serta 90% siswa
aktif menulis buku harian (Diary).
Sedangkan untuk kedua kegiatan lain
yaitu kegiatan baca cipta puisi dan
membuat pidato ukuran kualitas bagi
tingkat keberhasilan sudah dimasukkan.
Untuk kegiatan cipta baca puisi
dari kelas 5 dan 6 dipersiapkan,
kemudian diseleksi untuk
diperlombakan, satu anak lolos seleksi
tingkat kecamatan untuk lomba membaca
puisi tingat kabupaten. Sedangkan satu
kegiatan membuat pidato dari 65 siswa
yang dipersiapkan, setelah melalui
seleksi, terdapat satu anak yang
mendapat peringakat 3 pada tingkat
kecamatan.
Produk berupa hasil karya siswa
adalah hasil rangkuman (resume), buku
harian (Diary), puisi, naska pidato
sedangkan serta karya-karya yang
dipajang pada majalah dinding (mading)
juga merupakan ciri utama keberhasilan
pelaksanaan program budaya membaca
di SDN 1 Palembang. Keberhasilan
pelaksanaan program budaya membaca
dapat dilihat juga dari prestasi siswa
SDN 1 Palembang yang mampu
menjuarai perlombaan membaca pidato
dan lomba membaca puisi tingkat
kecamatan, serta meningkatkan nilai
siswa pada mata pelajaran bahasa
indonesia. Selain itu bertambahnya
koleksi buku, terciptanya taman baca,
sudut baca, teras baca serta ruang baca
yang memadai, kondusif dan
menyenangkan. Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan produk budaya membaca di
SDN 1 Palembang menghasilkan produk
yang sesuai dengan yang diharapkan.
Dampak positif dari pelaksanaan
program budaya membaca adalah
meningkatnya kemampuan dan minat
membaca siswa SDN 1 Palembang.
Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Syariffatul
Fitria dan Suparno (2016), bahwa dengan
Edisi Agustus 2019
Hustati
39
adanya pembelajaran keterampilan
membaca pemula, kemampuan membaca
siswa TK Fastrack Fun School Kelas A
berkembangan sesuai harapan. Hasil
yang berbeda pada penelitian yang
dilakukan oleh James D. Quinn (2014),
bahwa model “Read to Learn” secara
statistik tidak memberikan dampak pada
kelancaran maupun pencapain dalam
membaca.
4. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pada aspek konteks, program
budaya membaca sangat dibutuhkan
siswa di SD N 1 Palembang. Adapun
sasaran program budaya membaca adalah
seluruh warga sekolah khususnya siswa.
Tujuan dari program budaya membaca
adalah untuk melatih keterampilan
membaca dan menulis khususnya
meningkatkan literasi bagi siswa. Pada
aspek input program budaya membaca di
SDN 1 Palembang sudah menjawab
kebutuhan sekolah dengan ditopang
kegiatan, SDM, sarana dan prasarana,
dana serta mekanisme kerja yang
memadai. Pada aspek proses pelaksanaan
program budaya membaca berjalan
lancar meski terdapat beberapa kendala-
kendala. Serta pada aspek produk
program budaya membaca telah
mencapai sesuai rencana awal, walaupun
tingkat keberhasilan pada lima kegiatan
masih pada tingkat keterlibatan siswa
diantaranya: kegiatan membaca 15 menit
sebelum PBM, merangkum, menulis
buku harian (Diary), membaca massal
dan mading, sedangkan dua lainnya
sudah pada tingkat kualitas, yaitu
kegiatan cipta baca puisi dan membaca
pidato.
B. Saran
Saran yang bisa diberikan berdasarkan
kesimpulan diatas adalah :
1. Bagi Kepala Sekolah
Kepala Sekolah hendaknya
menambah pelatihan-pelatihan yang
berkaitan dengan program budaya
membaca, agar motivasi guru
meningkat sehingga program budaya
membaca dapat dilanjutkan dan
berjalan sesuai dengan rencana.
2. Bagi Tim Literasin SDN 1 Palembang
a. Tim literasi sekolah hendaknya
meningkatkan kulitas produk dari
setiap kegiatan dengan
menetapkan kriteria penilaian yang
jelas.
b. Tim literasi hendaknya menambah
kegiatan-kegiatan baru yang
sesuai, untuk mengembangkan
program budaya membaca.
3. Bagi Guru SDN 1 Palembang
Guru hendaknya senantiasa bekerja
sama dengan orang tua siswa agar
meluangkan waktu untuk mengawasi
anak-anaknya ketika belajar disekolah
maupun dirumah.
4. Bagi Sekolah lain
Sekolah-sekolah yang melaksanakan
program yang serupa, hendaknya
selalu mengevaluasi program secara
mendalamsetidaknya satu atau dua
tahun sekali agar program yang sudah
berjalan dapat dilanjutkan sesuai
dengan perencanaan.
5. DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, epi
Safruddin Abdul. 2010. Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman
Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa
dan Praktisi Pendidikan. Edisi
Edisi Agustus 2019
Hustati
40
Kedua, Cetakan ke empat, Jakarta:
Bumi Aksara.
Corinne Serra Smith, M,S ED. 2009. An
Analysis and Evaluation of Sit
Stay Read: Is The Program
Effective in Improving Student
Engagement and Reading
Outcomes? Dissertations National-
Louis University.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
Dan Menengah Kementrian
Pendidikan Dan Kebudayaan.
2016. Panduan Gerakan Literasi
Sekolah Di Sekolah-Sekolah
Dasar. Jakarta: Bagian
Perencanaaan dan Penganggaran
Sekretariat Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Endang Mulyaningsih. 2011. Riset
Terapan Bidang Pendidikan dan
Teknik. Yogyakarta :UNY Pres.
Fitria, Syarifatul & Suparno, 2016.
Evaluasi Pembelajaran
Keterampilan Membaca
Permulaan Di Tk Fastrack
Funschool Kelas A Program
Nusantara Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan Dan Pemberdayaan
Masyarakat Volume 3 Nomor 1
Maret 2016,(85-96).
Gol A Gong & Agus M.Irkham.2012.
Gempa Literasi. Dari Kampung
Untuk Nusantara. Jakarta : PT
Gramedia.
Heather Thomas.2013. An Evaluation of
the literacy program at Garibaldi
Grade School. Doctor of
Education. Georgy Fox University.
James D. Quinn. 2014. A Program
Evaluation of the Impact of a “
Read to Learn” Model on
Alternative High School Student’
Lexile Level and Reading
Achievements. A Dissertation
Submitedd to be Gardner-Webb
University Scholl Education.
Nurfallah, 2015. Upaya Meningkatkan
Kemampuan Membaca Permulaan
Melalui Pendekatan Proses pada
Siswa Kelas II SD N 1 Wosu Kec.
Bungku Barat Kab. Morowali.
Jurnal Kreatif Tadulako Online
Vol. 3 No 1 ISSN 2354-614X.
OECD. (2015). PISA 2015 Results in
Focus. Programme for
International Student Assessment,
1-16
https://www.oecd.org/pisa/pisa-
2915-results-in-focus.pdf.
Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015
Tentang Penumbuhan Budi
Pekerti.
Sugiyono,2014. Metode Penelitian
Manajemen, Bandung: CV.
Alfabeta
Sukardi, 2018. Evaluasi Pendidikan:
Prinsip & Operasionalnya. Jakarta
Bumi Aksara.
Sukartiningsih, Wahyu, 2005
Peningkatan Kemampuan
Membaca Dan Menulis Permulaan
Melalui Pembelajaran
Konstruktuvisme. JURNAL
PENDIDIKAN DASAR, VOL 6
NO.2. Program PGSD FIP
Universitas Negeri Surabaya.
Edisi Agustus 2019
Hustati
41
Tahira DuPree Chase. 2011. Children
Left Behind : An Evaluation of a
Reading Intervention Program For
Upper Elementary Students.
Education Doctoral. St. Jhon
Fisher Colleg.
Umar, Touku. 2013. Perpustakaan
sekolah dalam menanamkan
budaya membaca. Jurnal: UIN
Alauddin, Gowa.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional BAB
III Pasal 4 Nomor 5.
Widoyoko, Eko Putro. 2009 Evaluasi
Program Pembelajaran: Panduan
Praktis Bagi Pendidik dan Calon
Pendidik. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Wirawan,2011. Evaluasi : Teori Model,
Standar. Aplikasi dan Profesi.
Jakarta Rajawali Pers.
Edisi Agustus 2019
Hasan
Hal. 42 - 49
42
1. PENDAHULUAN
Wilayah pesisir merupakan
kawasan yang sangat dinamis dari segi
fisik, social dan ekonomi. Wilayah
pesisir, secara proses fisik merupakan
kawasan yang sangat kompleks dan
mempunyai dinamika yang tinggi.
Wilayah pesisir pun mengalami tekanan
yang besar dari berbagai segi proses fisik
maupun aktivitas manusia.
Salah satu contohnya ialah
wilayah pesisir di Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak. Kondisi kepesisiran
RELOKASI ATAS HAPUSNYA HAK MILIK TANAH AKIBAT
EROSI PANTAI DI DESA BEDONO
Abu Hasan
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Bandung
Abstract
Indonesia which consits of a group of islands has quite a plenty of coasts where the
coastal residents inhabit those areas as a place to live as well as a source of their
primary livelihood especially as fishermen and pond farmers. Nonetheless in reality,
these nearshore regions have the potential for natural harm and high risk of
catastrophe, which one of the enviromental damage is seaside disintegration.
Sayung Sub-district in Demak Regency is one of the sub-districs in Indonesia which
is threatened with the loss of some area caused by coastal erosion. In last 10 years,
erosion has sunk Bedono Village that villagers must be moved to a protected spot. To
move occupants’s settelments is unquestionably arranged just as conceivable so that
there are no contentions and resulting issues that emerge after migration. Relocating
implies likewise moving individuals along with their social and monetary life. Also
the issue of land status possessed by residents that can not be utilized anymore thus it
requires State intervention to ensure its kin for humankind and social justice.
Therefore, in the procurement of relocation land it must be able to provide a
conventional life to the dislodged people so that the principle of expediency have to
be organized and prioritized. So all the time, there are land conflicts and disputes by
residents and the government due to compensation or improper relocation sites,
disengaged by encompassing networks, choosing individuals' occupations and
troublesome access to business sectors, schools and other fundamental
administrations. Accordingly, the arranging and assurance of movement must be as
per the material guidelines so as to secure all residents.
Keywords: erosion, relocation, conflict.
Edisi Agustus 2019
Hasan
43
Kecamatan Sayung bersifat sangat
dinamis karena adanya perubahan fisik
pantai, baik dilihat dari perubahan garis
pantai maupun akibat adanya proses
erosi pantai. Berdasarkan data Dinas
Kelautan dan Perikanan tahun 2009 dan
2011, panjang pantai Kecamatan Sayung
mengalami pengurangan sepanjang 2
Km. selain itu, garis pantai juga
mengalami perubahan dari sepanjang
23,36 Km pada tahun 2009 menjadi
25,56 pada tahun 2011. Perubahan garis
pantai ini disebabkan oleh kemunduran
garis pantai akibat adanya proses erosi
pantai dan akresi.
Di kecamatan Sayung, proses erosi
pantai tertinggi adalah di Desa Bedono
yaitu dari 1,5 Km di tahun 2009 menjadi
124,12 Km pada tahun 2011. Hal ini
menyebabkan hilangnya sebagian
wilayah di Desa Bedono, bahkan
beberapa rumah harus direlokasi ke
tempat yang lebih aman. Disinyalir sejak
tahun 2000, sebanyak 200 lebih rumah
yang harus direlokasi akibat terjadinya
erosi tersebut. Ditambah lagi dengan
genang pasang air laut yang bisa
memakan waktu cukup lama untuk surut
yang berakibat hilangnya tambak dan
pemukiman warga desa Bedono yaitu
dusun Tambaksar dan Rejosari Senik di
mana lahan berubah menjadi laut.
Fenomena berkurangnya panjang pantai
dan tenggelamnya beberapa wilayah
akibat erosi pantai ini, membawa
konsekuensi-konsekuensi dalam
beberapa hal, diantaranya konsekuensi
pemilikan tanah, penggunaan lahan dan
sebagainya.
Kondisi seperti inilah yang
membuat pemerintah harus membuat
kebijakan, salah satunya adalah segera
merelokasi warga yang terkena dampak
erosi sebelum menelan korban jiwa.
Relokasi yang dimaksud adalah relokasi
yang bisa mengatasi persoalan erosi
pantai dan meminimalisir konflik social
yang timbul akibat relokasi warga,
sehingga wacana relokasi merupakan
solusi terbaik, bukan menimbulkan
masalah baru lagi. Maka dari itu aturan
tentang relokasi warga harus sesuai
dengan kaidah hukum yang berlaku
untuk menciptakan kebijakan yang ber-
Keadilan dan melindungi masayarakat
setempat. Karena tidak sedikit kebijakan
pemerintah, terutama relokasi warga
terkena dampak bencana justru
menimbulkan masalah baru akibat
relokasi yang tidak sesuai dengan asas-
asas yang diatur dalam hukum dan
peraturan yang berlaku, sehingga
masyarakat marah dan tmbul konflik
baru berkepanjangan.
2. METODE
Penelitian ini berupa penelitian
deskriptif kualitatif dimana didalamnya
memberikan penjelasan atau gambaran
mengenai analisa peranan Pemerintah
Daerah terhadap Dampak Relokasi.
Menurut Gunawan (2013:80-81)
penelitian kualitatif merupakan sebuah
metode penelitian yang digunakan dalam
mengungkapkan permasalahan dalam
kehidupan kerja organisasi pemerintah,
swasta, kemasyarakatan, kepemudaan,
perempuan, olah raga, seni dan budaya,
sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan
untuk dilaksanakan demi kesejahteraan
bersama.
Penelitian ini akan dilaksanakan di
Kantor Desa Bedono, Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak. Alasan
memilih lokasi ini karena di Desa
Bedono merupakan lokasi kejadian erosi
yang mengakibatkan hapusnya hak
kepemilikan tanah. Selain itu dengan
adanya upaya relokasi korban erosi telah
Edisi Agustus 2019
Hasan
44
memberikan manfaat bagi upaya
penanggulangan bencana agar
masyarakat tidak kehilangan tempat
tinggal dan mata pencahariannya.
Informan dalam penelitian ini,
peneliti tentukan dengan metode
purposive sampling. Purposive sampling
adalah teknik pengambilan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,
2012:216). Informan yang ditunjuk
kriterianya, yaitu korban yang
mengalami hapusnya kepemilikan tanah
dan aparatur pemerintah daerah yang
memahami penanganan korban pasca
ereosi dalam hal ini adalah OPD yang
terlibat langsung seperti Kecamatan,
BPBD, yang selalu berkoordinasi dengan
BPN.
Pengumpulan data dilakukan
dengan melakukan wawancara terhadap
pihak-pihak terkait. Informan yang telah
ditunjuk diwawancarai dengan memakai
teknik wawancara mendalam. Agar
wawancara mendalam bisa berlangsung
secara terarah, disusun pedoman
wawancara yang memuat pokok-pokok
pikiran yang terkait dengan masalah
yang diteliti. Data hasil wawancara
direkam memakai alat perekam serta
ditulis menggunakan alat tulis.
Observasi didefinisikan sebagai
suatu proses melihat, mengamati, dan
mencermati serta merekam perilaku
secara sistematis untuk suatu tujuan
tertentu (Herdiansyah, 2015:131). Pada
jenis observasi ini, penelitian melakukan
pengamatan yang dilakukan tanpa
menggunakan pedoman observasi,
sehingga peneliti mengembangkan
pengamatannya berdasarkan
perkembangan yang terjadi di lapangan.
Keabsahan data adalah untuk
melihat derajat kebenaran atau
kepercayaan terhadap hasil penelitian
dengan mempergunakan standarisasi
tertentu. Menurut Patton dan Moleong
(2012) mengatakan bahwa dalam rangka
menjaga keabsahan data digunakan
empat kriteria, yaitu: Kepercayaan
(Credibility/ Validitas Internal),
Keteralihan (Transferability/ Validitas
Eksternal), Ketergantungan
(Dependability/ Reliabilitas) dan
Kepastian (Confirmability/ Objektivitas).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Desa Bedono
Desa Bedono berada di Kecamatan
Sayung Kabupaten Demak Provinsi Jawa
Tengah memiliki tipe pantai berpasir dan
berlumpur, topografi landai dengan
variasi tinggi permukaan 0-10 m di atas
permukaan air laut. Berdasarkan data
dari Dinas Kelautan dan Perikanan tahun
2009 dan 2011, panjang pantai
Kecamatan Sayung mengalami
pengurangan sepanjang 2 Km. selain itu
garis pantai juga mengalami perubahan
dai sepanjang 23,36 km pada tahun 2009
menjadi 25,56 km pada tahun 2011.
Perubahan garis pantai ini disebabkan
oleh kemunduran garis pantai akibat
adanya proses erosi pantai dan akresi.
Fenomena erosi pantai dan akresi saling
terkait karena apabila terjadi erosi pantai
di suatu wilayah maka sering diiringi
oleh terjadinya sedimentasi (akresi) di
wilayah pesisir lain di sekitarnya. Di
kecamatan Sayung terjadi erosi pantai
terbesar yaitu berada di Desa Bedono.
Edisi Agustus 2019
Hasan
45
Gambar 1
Desa Bedono Kecamatan Sayung
Tahun 1991 dan 2007
Sumber: Citra Satelit
Dari gambar di atas terlihat
perubahan yang sangat jelas pada pantai
di Desa Bedono. Pada tahun 1991
daratan masih terlihat jelas di peta,
namun pada tahun 2007 sebagian
wilayah pantai telah terendam air laut
(tenggelam). Pada tahun 1991 lokasi
pantai Morosari, Desa Bedono terletak
sejauh 455 m di depan garis pantai,
namun di tahun 2009 telah terjadi
kemunduran garis pantai sejauh 802 m.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
erosi di pesisir utara Demak adalah
pengarug sea level rise dan penurunan
muka tanah. Pembangunan pelabuhan
Tanjung Mas di Semarang pada tahun
1987 merupakan salah satu penyebab
utama terjadinya proses erosi pantai di
pesisir Sayung. Pelabuhan dan aktivitas
industry di wilayah pesisir menjadi hal
yang berpengaruh terhadap dinamika
wilayah kepesisiran. Keberadaan
pelabuhan di wilayah pesisir membawa
dampak positif dan negatif. Dampak
positif berupa peningkatan ekonomi ,
yang diharapkan mampu
mensejahterakan masyarakat, namun
dengan tingginya aktivitas pelabuhan
juga berdampak negatif berupa
kerusakan lingkungan, seperti banyaknya
bangunan yang tumbuh di sekitar
pelabuhan, sampah dan limbah pabrik.
Gambar 2
Pelabuhan Tanjung Mas
Sumber: Citra Satelit
Karena tingginya aktivitas di
Pelabuhan Tanjung Mas, gundulnya
Mangrove dan sebagainya berakibat
terjadinya proses erosi di desa Bedono.
Keadaan erosi pantai terparah terjadi di
tahun 1998 sampai saat ini. Bahkan pada
Edisi Agustus 2019
Hasan
46
tahun 2000, sebanyak 208 rumah (sekitar
400 keluarga) di Dusun Senik, Rejosari,
Desa Bedono harus direlokasi akibat
terjadinya erosi pantai tersebut.
B. Relokasi Warga Desa Bedono
Dari foto satelit 3.1 di atas terlihat
bahwa di tahun 2007 bentuk pantai sudah
menjorok ke daratan sekitar 1,85 km.
warga desa Bedono sebagian besar sudah
dipindahkan (direlokasi) ke wilayah
yang lebih aman, yaitu menempati tanah
irigasi milik kantor Pekerjaan Umum
(Kantor PU Kabupaten Demak).
Gambar 3
Rumah Warga Desa Bedono
Sumber: google.com
Relokasi harus
mempertimbangkan bahwa penerima
dampak relokasi merupakan pihak yang
dinilai rentan (vulnerable person).
Dengan mempertimbangkan hal itu ,
maka dalam pelaksanaan relokasi harus
mengikuti beberapa prinsip yaitu
meliputi pemindahan bersifat sukarela,
penerima dampak mendapatkan
penghidupan yang setara atau lebih baik
dari sebelum relokasi, dan penerima
dampak mendapatkan kompensasi penuh
selama proses transisi dan meminimalisir
kerusakan jaringan social dan peluang
ekonomi.
Pihak masyarakat pemilik tanah
dapat diberikan ganti rugi yang layak
atau dapat diberikan tanah pengganti dan
permukiman kembali seperti yang diatur
dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Pembangunaan, sehingga tingkat
kehidupan sosial ekonominya dapaat
menjadi lebih baik atau setidaknya tidak
membuat warga menjadi lebih miskin
dari sebelum tanah tersebut dicabut.
Status tanah dari tanah-tanah Hak
Milik warga Desa Bedono yang terkena
erosi pantai, masuk pada kategori
Hapusnya Hak Milik karena Musnah.
Istilah musnah dalam hal ini dipahami
dalam pengertian yuridis, yaitu secara
fisik tanah tersebut tidak dapat
dipergunakan secara layak sesuai dengan
isi/kewenangan haknya. Meskipun secara
fisik bidang tanah tersebut masih dapat
ditemukan, namun karena sudah tidak
dapat mendukung kegunaannnya secara
layak, maka haknya hapus menjadi tanah
Negara. Ketentuan yang mengatur
mengenai hapusnya Hak Milik ini dapat
ditemukan dalam rumusan Pasal 27
Undang-undang Pokok Agraria.
Status Hak milik terhadap tanah
tidak akan hilang, walaupun terjadi kasus
erosi pantai di Desa Bedono ini.
Masyarakat masih bisa mendaftarkan
tanah mereka kembali dengan
menunjukkan bukti-bukti kepemilikan
tanah. Hal ini seperti yang diatur di
dalam Pasal 24 ayat 1 dan 2 PP Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Dalam melaksanakan relokasi
permukiman, pemerintah harus
melaksanakan sesuai asas-asas yang
tercantum dalam undang-undang dan
memberi ganti rugi kepada masyarakat
yang mengedepankan asas kemanusiaan
dan asas keadilan agar masyarakat yang
Edisi Agustus 2019
Hasan
47
tinggal di rumah relokasi mendapat
kehidupan yang lebih layak. Hal ini
sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang
Pokok Agraria:
Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentinga bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
Dan diatur pula pada pasal 9
undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
abhwa tanah yang telah dicabut haknya
harus segera dikuasai oleh Negara dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Adapun pasal tersebut berbunyi:
Setelah ditetapkannya surat
keputusan pencabutan hak tersebut
pada pasal 5 dan 6, dan setelah
dilakukannya pembayaran ganti
kerugian kepada yang berhak,
maka tanah yang haknya dicabut
itu menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, untuk
segera diberikan kepada yang
berkepentingan dengan suatu hak
yang sesuai.
Pada dasarnya hak-hak atas tanah
tersebut bersumber pada eksistensi atau
keberadaan tanah tersebut pada suatu
lokasi tertentu. Musnahnya tanah baik itu
karena gempa bumi, longsor, erosi
menjadi dasar penghapusan Hak Atas
tanah oleh Negara. Selanjutnya
pemerintah dalam hal melindungi
segenap bangsa Indonesia sesuai
Undang-undang Dasar 1945,
berkewajiban merelokasi warga atau
memberi ganti rugi atas hapusnya hak
milik akibat musnahnya tanah dengan
ganti rugi yang layak atau merelokasi
pemukiman pada lahan yang baik tanpa
memutus rantai perekonomian
masyarakat setempat. Bahkan dengan
relokasi tersebut diharapkan mampu
memberikan kehidupan yang layak dan
lebih baik dari sebelum direlokasi.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Wilayah pesisir di Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak mengalami
berbagai perubahan yang sangat dinamis.
Di satu wilayah mengalami erosi dan
menenggelamkan beberapa desa, Namun
di wilayah lain di sekitarnya mengalami
sedimentasi berupa penambahan daratan
yang terbentuk akibat adanya
sedimentasi, yang kemudian disebut
sebagai akresi. Salah satu desa yang
terendam air laut yang mengakibatkan
musnahnya sebagian wilayah Kecamatan
Sayung, di mana tanah-tanah tersebut
tadinya adalah berstatus hak milik warga,
namun karena kejadian erosi tersebut
mengakibatkan tanah tak bisa berfungsi
lagi yang akhirnya status hak miliknya
hapus. Hal ini sesuai dengan Undang-
Undang Pokok Agraria pasal 27.
Hak Milik hapus bila:
a. Tanahnya jatuh kepada Negara,
1. Karena pencabutan hak
berdasarkan pasal 18
2. Karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya
3. Karena ditelantarkan
4. Karena keteentuan Pasal 21 ayat
(3) dan 26 ayat (2)
b. Tanahnya Musnah
Kasus Desa Bedono merupakan
hak milik hapus dikarenakan oleh
musnahnya tanah, yang berakibat warga
masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan
tanah tersebut. Dengan demikian, sesuai
Edisi Agustus 2019
Hasan
48
ketentuan yang berlaku, Negara harus
mengganti kerugian atau merelokasi
warga ke tempat yang lebih aman dan
tidak memutus mata perekonomian dan
sosial masyarakat setempat, sehingga
masyarakat yang direlokasi bisa hidup
layak, bahkan lebih baik dari sebelum
direlokasi.
Dalam melaksanakan relokasi
permukiman, pemerintah harus
melaksanakan sesuai asas-asas yang
tercantum dalam undang-undang dan
memberi ganti rugi kepada masyarakat
yang mengedepankan asas kemanusiaan
dan asas keadilan agar tercipta
masyarakat yang sejahtera.
B. Saran
Untuk melakukan relokasi,
sebaiknya mengkaji beberapa factor
berikut ini:
1. Prasarana dan Sarana
Dalam proses pengadaan tanah harus
berpikir tentang pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat yang
akan direlokasi. Kebutuhan terhadap
tata ruang dengan ketersediaan
jaringan air bersih, listrik yang mudah
dijangkau, sehingga saat membangun
sarana dan prasarana permukiman
dapat dilakukan dekat dengan sumber
air bersih sehingga kebutuhan air
bersih masyarakat bias terpenuhi.
Mempersiapkan struktur ruang dan
pola ruang sangat penting untuk
mengatur kawasan permukiman baru,
seperti jaringan jalan tersedia,
jaringan listrik, air bersih, drainase,
permukiman dan sebagainya.
2. Ekonomi
Dalam merencanakan relokasi warga
berarti juga merelokasi mata
pencaharian mereka. Sebaiknya untuk
menetapkan lokasi pemukiman baru
tidak memutus mata pencaharian
warganya dan memaksa untuk beralih
profesi/ mata pencaharian yang lain ,
padahal mereka belum tentu mau,
mampu dan terampil dengan profesi
baru tersebut. Misalkan, warga yang
bermata pencaharian sehari-hariny
sebagai petani akan suli berpindah
profesi menjadi buruh pabrik, seorang
nelayan akan kesulitan jika dipaksa
menjadi pedagang pasar dan
sebagainya.
3. Sosial
Dalam rangka pengadaan tanah untuk
relokasi harus sesuai dengan asas
kemanfaatan yang pada prinsipnya
harus dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak. Membuat relokasi
menjadi permukiman yang tidak
terisolasi terhadap masyarakat di
luarnya, tapi warga yang direlokasi
masih bias melakukan interaksi social
dengan leluasa terhadap masyarakat
lainnya seperti sedia kala (sebelum
direlokasi).
4. Kearifan Lokal
Warga yang direlokasi tidak
kehilangan identitas budaya yang
memiliki kearifan local, justru
sebaliknya, dengan adanya relokasi
ini diharapkan kearifan local budaya
yanga baik, bias dimunculkan sebagai
upaya pengurangan resiko bencana
dan pembangunan pesisir. Kearifan
local yang dimaksud merupakan
modal social yang harus dibangun,
seperti bersama-sama menanam
kembali hutan mangrove, menjagaa
kebersihan, mengelola sampah dan
menjaga kelestarian biota di sekitar
panta.
Edisi Agustus 2019
Hasan
49
5. DAFTAR RUJUKAN
Muh Aris Marfai, Esti Rahayu, Annisa
Triyani ; Peran Kearifan Lokal dan
Modal Sosial Dalam Pengurangan.
Risiko Bencana Dan Pembangunan
Pesisir , Gadjah Mada.
Siti Zumrokhatun, Darda Syahrizal;
Undang-undang Agraria dan
Aplikasinya, Dunia Cerdas,
Jakarta.
Nur Aini Fitianti, Nurul Laili Fadhilah:
Relokasi Permukiman Warga
Bantaran Sungai Ciliwung di
Provinsi Jakarta, lentera hokum
vol.5 issue 2 (2018).
CB Herman Edyanto:Analisa Kebijakan
Penataan Ruang Untuk Kawasan
Rawan Tsunami di Wilayah
Pesisir, jurnal teknik lingkungan
vol.12, September 2011.
Tjaturahono Budi Sanjoto, Sunarko,
Satyanta Parman ; Tanggap Diri
Masyarakat Pesisir Dalam
Menghadapi Bencana Erosi Pantai;
jurnal geografi,UNNES, 2016.
Sugiyono, Metode Penelitian
Administrasi, Alfabeta, Bandung,
2003.
Sukandarrumidi et al., Dasar-dasar
Penulisan Proposal Penelitian,
Gajah Mada University Press,
Jogjakarta, 2014.
Sadu Wasistiono, et al, Perkembangan
Organisasi Kecamatan dari Masa
ke Masa, Lembaga Kajian
Manajemen Pemerintahan Daerah,
Fokus Media, Bandung, 2009.
Edisi Agustus 2019
Sembiring
Hal. 50 - 61
50
RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DALAM MEMBERIKAN
DAYA DUKUNG BAGI PEMBANGUNAN DI KAWASAN
PERKOTAAN SUMEDANG
Yetti Seprianti Br. Sembiring
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Bandung
Abstract
Based on National Medium Term Development Plan (RPJMN), future city is a city
which is sustainable and competitive for community welfare. This sustainable city
consists of three vital aspects, such as smart city, livable city and green city. So
unlikely is to design a good city for self-preservation without supporting by
convenient environment as well. In conducting Livable City, the existence of Green
Open Space (RTH) must decisively be conserved regarding on the rapidly growing
phenomenon of urbanisation, which in the future will create new profound problems
in urban areas as spring up of slum areas, inconvenience if the city is crowded with
buildings, vehicle fumes and other city activities, hot climate without any shelters
from trees and plans around it. Furthermore, these will have harmful impacts on the
quality of human resources for next long period, since the level of happiness and
health are influenced by the learning of process and work. RTH gives ecological
benefit - Oxygen (O2) contributor, provided that one tree can support a life for two
adults."Shade tree produces oxygen for 10 people to breath in a year in one season.
:"Mature shade tree absorbs carbon dioxide at 48pound/year Dan releases oxygen,
which is truly enough to transfer back into the atmosphere to assist two human
beings" (Arbor Day Foundation; McAliney, Mike; Argument for Land Convervstion:
Documentations and Information Sources to Conserve Land Resources, Trust for
Public Land, Sacramento, CA, December 1993). "One tree, on average, nearly 260
pounds of oxygen annually. Two mature trees can generate sufficient oxygen for four
families." (Northwest Territories Forest Management)To summarise, the existence of
RTH can be green lungs of the city that provides oxygen, a stable climate for well-
human being. In addition, the amount of RTH in each urban area must meet the
applicable standards in accordance with the applicable law and regulation.
Keywords: urban area, RTH, Applicable law, regulation.
Edisi Agustus 2019
Sembiring
51
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fenomena
pembangunan kota-kota di Indonesia
adalah semakin meningkatnya arus
urbanisasi. Perkembangan urban yang
semakin tinggi seiring perkembangan
waktu menjadi permasalahan baru bagi
tata kelola kota. Pada umumnya tata
kelola kota kurang mengantisipasi
pertumbuhan arus urban yang semakin
bertambah. Akibatnya penduduk kota
bertambah secara signifikan. Dengan
bertambahnya penduduk tersebut maka
kebutuhan layanan publik semakin
tinggi. Tingkat kepadatan penduduk kota
yang tinggi membutuhkan tata kelola
yang tepat dan adil. Yang dimaksud tepat
adalah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat kota yang heterogen,
sedangkan adil mencerminkan
keberpihakan yang utuh terhadap seluruh
pemangku kepentingan di kota.
Seringkali upaya penyediaan
layanan publik yang masif tidak
diimbangi keberpihakan terhadap
keberlangsungan lingkungan hidup.
Kebutuhan akan lahan pemukiman yang
meningkat harus mengorbankan ruang
ruang terbuka hijau. Demikian juga
kebutuhan transportasi yang tinggi harus
didukung penambahan jalan. Dengan
membuat jalan baru harus menebang
pohon sepanjang jalan. Akibatnya
kapasitas paru-paru kota semakin
berkurang seiring perubahan waktu.
Konflik kepentingan dalam penggunaan
lahan pun semakin bermunculan. Hal ini
diakibatkan oleh meningkatnya
permintaan (demand) lahan untuk
berbagaai keperluan seperti pemukiman,
perkantoran, industry, perdagangan,
infrastruktur jalan, irigasi serta keperluan
terhadap prasarana publik lainnya.
Hal tersebut di atas yang membuat
lahan semakin mahal dan langka. Dengan
banyaknya kepentingan terhadap lahan
ini dikhawatirkan Pemerintah Kota
melupakan kenyamanan bagi penduduk
kota terhadap berbagai pembangunan
gedung dan infarstruktur lainnya yang
semakin tinggi, sehingga hal ini sangat
berpengaruh terhadap indeks
kebahagiaan masyarakat kota.
RTH (Ruang Terbuka Hijau)
sebagai salah satu Ruang Publik sangat
penting keberadaannya di dalam tata
ruang kota, karena ruang publik ini
berpengaruh terhadap kehidupan social,
ekonomi dan budaya masyarakat kota.
Perencanaan RTH hendaknya disediakan
sesuai dengan kebutuhan public. Namun
demikain perlu mempertimbangkan
aspek-aspek lain yang penting, yaitu
aspek ekologi, aspek kesehatan, aspek
psikologi, aspek kearifan local dan
ketentuan regualasi. Hal ini penting
untuk mewujudkan kehidupan kota yang
layak huni, dan berkelanjutan (livable
city).
Secara ekologis manusia
membutuhkan lingkungan hidup yang
baik dan nyaman, misalnya kawasan
perkotaan yang tidak mampu mengelola
persoalan urban menjadikan kota sangat
padat dan kumuh. Akibanya ketersediaan
air berkurang, sanitasi buruk dan
kurangnya lingkungan hijau, menjadikan
lingkungan kota menjadi rawan penyakit
dan tidak nyaman. Dalam pandangan
kesehatan manusia membutuhkan
oksigen yang bersih dan bebas polusi.
Kepadatan penduduk yang tinggi yang
tidak diimbangi dengan ruang terbuka
hijau membuat produksi oksigen sangat
terbatas. Padahal ada ketentuan bahwa 1
(satu) pohon dewasa tunggal menghidupi
2 (dua) orang manusia. Apabila tidak
terjadi keseimbangan maka terjadi
Edisi Agustus 2019
Sembiring
52
perebutan oksigen dan penurunan
kualitas hidup.
Aspek lain yang mempengaruhi
perencanaan ruang terbuka dari
pandangan psikologi menyebutkan
bahwa manusia membutuhkan ruang
public yang mampu menyehatkan
jiwanya. Kepadatan penduduk yang
tinggi dengan keterbatasan ruang terbuka
hijau mengakibatkan publik cenderung
mengalami kejenuhan dan stres, yang
akan berkaibat pada tingginya tingkat
kriminalitas. Selain itu dalam pandangan
kearifan lokal, sejarah kota-kota di
Indonesia sudah mengenal ruang public
yang konsepnya berbeda dengan konsep
ruang publik masyarakat Eropa. Ruang
publik dalam pandangan local bersifat
sacral dan multi guna, selain untuk
mendengarkan wejangan raja, ruang
public digunakan untuk mengadili serta
mengeksekusi pelaku tindak kejahatan
serta banyak aktifitas social lainnya
seperti wahana berkumpul, bersosialisasi,
dan berinteraksi dengan masyarakat.
Disamping itu pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan tentang ruaang
public, baik terbuka hijau maupun ruang
terbuka non hijau yang diperuntukkan
untuk public.
Ruang Publik juga mampu
meminimalisir kesenjangan antar lapisan
masyarakat, sehingga ruang public yang
hijau dipercaya mampu mengurangi
kriminalitas di Kota. Hal ini senada
dengan yang dikatakan oleh salah
seorang Camat di Kota Surabaya
beberapa waktu lalu saat melakukan
audiensi dengan Camat Benowo, Kota
Surabaya, bahwa keberadaan ruang
terbuka mampu mengurangi kriminalitas
warga, hal ini dikarenakan mereka hidup
bahagia.
Walaupun bagi sebagian orang
menganggap bahwa ruang publik tidak
menguntungkan secara langsung bagi
peningkatan PAD, namun keberadaannya
sangat penting dalam menciptakan Kota
yang Berkelanjutan, yaitu salah satunya
adalah kota yang layak huni (Livable
City) bagi semua warga kota.
B. Rumusan Masalah
Dengan demikian kegiatan
penelitian ini memfokuskan pada
permasalahan, prinsipupaya penataan
Ruang Terbuka Hujau (RTH) di kawasan
perkotaan Sumedang?
C. Maksud, Tujuan dan Lokus Penelitian
Maksud dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui perencanaan
RTH sesuai prinsip livable city di
Kawasan Perkotaan Sumedang.
Sedangkan tujuan dari penelitan
ini adalah:
1. Mengidentifikasi Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan
Sumedang
2. Memperbandingkan rasio
ketersediaan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) terhadap regulasi yang berlaku
di Kawasan Perkotaan Sumedang
3. Membuat rekomendasi perencanaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kawasan Perkotaan Sumedang
Adapun lokus penelitian ini
dibatasi pada 2 (dua) Kecamatan di Kota
Sumedang yaitu Kecamatan Sumedang
Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan.
Edisi Agustus 2019
Sembiring
53
2. KAJIAN KEBIJAKAN DAN
TEORITIK
A. Kota Layak Huni (Livable City)
Konsep Kota Layak Huni (Livable
City), dimna kota bias memberikan
kenyamanan, keamanan dan kehidupan
yang sehat secara fisik dan psikhis untuk
semua kalangan. Hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh HahIweg sebagai
berikut:
A livable city is a city where I can
have a healty life and where I have
the chance for easy mobility –by
foot, by bicycle, by public
transportation, and even by car
where there is no other
choice…The livable city is a city
for all people. That means that the
livable city should be attractive ,
worthwhile , safe our children, for
older people, not only for people
who earn money there and then go
and I live outside in the suburbs
and in the surrounding
communities. For the children and
elderly people it is especialy
important to have easy access to
areas with green, where they have
a place to play and meet each
other, and talk with each other.
The livable city is a city for all.”
(D. Hahlweg, 1997).
B. Ruang Terbuka Hijau
Menurut Permen PU No. 5 Tahun
2008, mendefenisikan:
Ruang Terbuka Hijau adalah area
memanjang/ jalur dan/atau
mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman,
baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
Ruang Terbuka Hijau Publik
adalah RTH yang dimiliki dan dikelola
oleh Pemerintah Daerah Kota/
Kabupaten yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat secara umum.
Penyediaan dan pemanfaatan RTH
dalam RTRW Kota/ RDTR Kota/ RTR
Kawasan Strategis Kota/ RTR Kawasan
Perkotaan , dimaksudkan untuk
menjamin tersedianya ruang yang cukup
bagi:
a. Kawasan konservasi untuk kelestaria
hidrologis
b. Kawasan pengendalian air larian
dengan menyediakan kolam retensi
c. Area pengembangan keanekaragaman
hayati
d. Area penciptaan iklim mikro dan
pereduksi polutan di kawasan
perkotaan
e. Tempat rekreasi dan olahraga
masyarakat
f. Tempat pemakaman umum
g. Pembatas perkembangan kota kea rah
yang tidak diharapkan
h. Pengamanan sumberdaya baik alam,
buatan maupun historis
i. Penyediaan RTH yang bersifat privat,
melalui pembatasan kepadatan serta
kriteria pemanfaatannya
j. Area mitigasi/ evakuasi bencana
k. Ruang penempatan pertandaan
(signage) sesuai dengan peraturan
perundangan dan tidak mengganggu
fungsi utama RTH tersebut.
Tujuan penyelenggaraan RTH
adalah:
a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai
kawasan respan air
b. Menciptakan aspek planologis
perkotaan melalui keseimbangan
antara lingkungan alam dan
lingkungan binaan yang berguna
untuk kepentingan masyarakat
Edisi Agustus 2019
Sembiring
54
c. Meningkatkan keserasian lingkungan
perkotaan sebagai sarana pengaman
RTH memiliki fungsi sebagai
berikut:
a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi
ekologis:
• Memberi jaminan pengadaan RTH
menjadi bagian dari system sirkulasi
udara (paru-paru kota)
• Pengatur iklim mikro agar system
sirkulasi udara dan air secara alami
dapat berlangsug lancar
• Sebagai peneduh
• Produsen oksigen
• Penyerap air hujan
• Penyedia habitat satwa
• Penyerap polutan media udara, air
dan tanah, serta
• Penahan angin
b. Fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu:
• Fungsi sosial dan budaya
- Menggambarkan ekspresi budaya
lokal
- Merupakan media komunikasi
warga kota
- Tempat rekreasi
- Wadah dan objek pendidikan,
penelitian dan pelatihan dalam
mempelajari alam
Manfaat RTH berdasarkan
fungsinya dibagi atas:
a. Manfaat langsung (dalam pengertian
cepat dan bersifat tangible), yaitu
membentuk keindahan dan
kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan
mendapatkan bahan-bahan untuk
dijual (kayu, daun, bunga, buah)
b. Manfaat tidak langsung (berjangka
panjang dan bersifat intangible), yaitu
pembersih udara yang sangat efektif,
pemeliharaan akan kelangsungan
persediaan air tanah, pelestarian
fungsi lingkungan beserta segala isi
flora dan fauna yang ada (konservasi
hayati atau keanekaragamn hayati).
Gambar 2
Tipologi RTH
Di dalam kawasan perkotaan
terdapat RTH berupa:
a. RTH Taman Kota
RTH Taman Kota adalah taman yang
ditujukan untuk melayani penduduk
satu kota atau bagian wilayah kota.
Taman ini melayani minimal 480.000
penduduk dengan standar minimal 0,3
m2 per penduduk kota, dengan luas
taman minimal 144.000 m2. Taman
ini dapat berbentuk sebagai RTH
(lapangan hijau), yang dilengkapi
dengan fasilitas rekresi dan olahraga,
dan kompleks olahraga dengan
minimal RTH 80%-90%. Semua
fasilitas tersebut terbuka untuk umum.
b. Hutan Kota
Tujuan penyelenggaraan hutan kota
adalah sebagai penyangga lingkungan
kota yang berfungsi untuk:
Edisi Agustus 2019
Sembiring
55
- Memperbaiki dan menjaga iklim
mikro dan nilai estetika
- Meresapkan air
- Menciptakan keseimbangan dan
keserasian lingkungan fisik kota
- Mendukung pelestarian dari
perlindungan keanekaragaman
hayati Indonesia.
c. RTH Jalur Hijau Jalan
RTH Jalur Hijau Jalan terdiri dari
Pulau Jalan dan Median Jalan. Taman
Pulau Jalan adalah RTH yang
terbentuk oleh geometris jalan seperti
pada persimpangan tiga atau bundaran
jalan. Sedangkan median berupa jalur
pemisah yang membagi jalan menjadi
dua lajur atau lebih. Median atau
pulau jalan dapat berupa taman atau
non taman.
d. RTH Ruang Pejalan Kaki
Ruang pejalan kaki adalah ruang yang
disediakan bagi pejalaan kaki pada
kiri-kanan jalan di dalam taman.
Ruang pejalan kaki yang dilengkapi
dengan RTH harus memenuhi hal-hal
sebagai berikut:
Kenyamanan, adalah cara mengukur
kualitas fungsional yang ditawarkan
oleh system pedestrian, yaitu:
• Orientasi, berupa tanda visual
(landmark, marka jalan) pada
lansekap untuk membantu dalam
menemukan jalan pada konteks
lingkungan yang lebih besar.
• Kemudahan berpindah dari satu arah
kea rah lainnya yang dipengaruhi
oleh kepadatan pedestrian,
kehadiran penghambat fisik, kondisi
permukaan jalan dan kondisi iklim.
Jalur pejalan kaki harus aksesibel
untuk semua orang termasuk
penyandang cacat.
e. RTH Fungsi Tertentu
• RTH Sempadan Sungai adalah jalur
hijau yang terletak di bagian kiri dan
kanan sungai yang memiliki fungsi
utama untuk melindungi sungai
tersebut dari berbagai gangguan
yang dapat merusak kondisi sungai
dan kelestariannya
• RTH Pemakaman. Penyediaan
ruang terbuka hijau pada areal
pemakaman disamping memiliki
fungsi utama sebagai tempat
penguburan jenazah yang memiliki
fungsi ekologis yaitu sebagai daerah
resapan air, tempat pertumbuhan
berbagai jenis vegetasi, pencipta
iklim mikro serta tempat hidup
burung serta fungsi social
masyarakat di sekitar seperti
beristirahat dan sebagai sumber
pendapatan.
Penyediaan RTH berdasarkan
jumlah penduduk sesuai Permen PU No.
5 Tahun 2008:
No.
Unit
Lingku-ngan
Tipe RTH Luas minimal/
unit (m2)
Luas mini-mal/
kapita (m2)
Lokasi
1. 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah
lingkungan RT
2. 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat
kegiatan RW
3. 30.000
jiwa
Taman Kelura-
han
9.000 0,3 Dikelom-
pokan
dengan sekolah/
pusat kelurahan
4. 120.000
jiwa
Taman Keca-
matan
24.000 0,2 Dikelom-
pokan dengan
sekolah/ pusat
kecamatan
Pema-kaman disesuaikan 1,2 Tersebar
5. 480.000 jiwa
Taman Kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/
kota
Hutan Kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan
pinggiran
Untuk fungsi-fungsi tertentu
disesuaikan 12,5 Disesuaikan dengan
kebutuhan
Edisi Agustus 2019
Sembiring
56
Salah satu dari RTH Publik yang
harus disediakan pemerintah adalah Jalur
Pejalan Kaki. Menurut Peraturan Menteri
PUPR No 3 Tahun 2014 tentang
Perencanaan, Penyediaan, dan
Pemanfaatan Prasarana dan Sarana
Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan
Perkotaan, mempunya prinsip sebagai
berikut:
a. Jalur penghubung antar pusat
kegiatan, blok ke blok, dan persil ke
persil di kawasan perkotaan
b. Bagian yang tidak terpisahkan dalaam
sistem pergantian moda pergerakan
lainnya
c. Ruang interaksi social
d. Pendukung keindahan dan
kenyamanan kota
e. Jalur evakuasi bencana
Di dalam Undang-undang No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
perencanaan tata ruang wilayah kota
harus memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau yang
luas minimalnya sebesar 30% dari luas
wilayah kota, terdiri dari 20 % RTH
Publik dan 10% RTH Privat.
3. FAKTA DAN ANALISA RUANG
TERBUKA HIJAU (RTH)
PUBLIK DI KAWASAN
PERKOTAAN SUMEDANG
Kawasan perkotaan Sumedang
terdapat 2 kecamatan yaitu Kecamatan
Sumedang Selatan dan Sumedang Utara
dengan luas sebagai berikut:
- Luas Kecamatan Sumedang Selatan:
11.652,36 Ha
- Luas Kecamatan Sumedang Utara:
3.174,6 Ha
Tabel 1
Jumlah Penduduk di Kawasan Perkotaan
Sumedang Tahun 2014-2018
Tahun Sumedang
Selatan
Sumedang
Utara
2014 77.324 103.158
2015 76.510 102.072
2016 76.897 102.994
2017 93.453 106.160
2018 86.005 107.789
Sumber: BPS Kabupaten Sumedang
2014-2018.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa
Kecamatan Sumedang Utara, dengan
luas wilayah 3.174,6 Ha memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi
dibandingkan kepadatan penduduk di
Kecamatan Sumedang Selatan.
Di dalam Peraturan Menteri PU
No.5 Tahun 2008 dikatakan bahwa
sesuai data yang diperoleh dari Dinas
PUPR Kabupaten Sumedang, Kawasan
perkotaan Sumedang memiliki luas RTH
Publik sebagai berikut:
Tabel 2
Data Ruang Terbuka Hijau di
Wilayah Sumedang Kota No Jenis Ruang Terbuka
Hijau
Luas
(Ha)
Lokasi
RTH Publik 771,7312
A. RTH Taman 115,2690
1. Taman
Kota/Kecamatan/Kel
urahan/Desa
4,9207
Kecamatan
Sumedang Utara
0,4265
- Taman Kota 0,2226 Kelurahan
Kota Kaler
- Taman Tegalkalong 0,2039 Kelurahan
Talun
Kecamatan
Sumedang Selatan
4,4942
- Alun-alun Sumedang
1,4242 Kelurahan
Regol
Wetan
Edisi Agustus 2019
Sembiring
57
No Jenis Ruang Terbuka
Hijau
Luas
(Ha)
Lokasi
- Kel.
Cipameungpeuk
0,0420 Kelurahan
Cipameung
-peuk
- Kel. Pasanggrahan 0,0210 Kelurahan
Pasanggra-
han
- Desa Mekar Rahayu 3,0000 Desa
Mekar
Rahayu
- Kel. Regol Wetan 0,0070 Kel. Regol
Wetan
2 Tempat Rekreasi 2,4240
Kecamatan
Sumedang Selatan
2,4240
- Desa Baginda 0,3700 Desa
Baginda
- Kel. Regol Wetan 0,0540 Kel. Regol
Wetan
- Margamekar 2,0000 Desa
Margame-
kar
3. Hutan Kota 35,8000
Kecamatan
Sumedang Selatan
35,8000
- Taman Hutan Raya
Gunung Kunci/
Palasari
35,8000 Kelurahan
Kota Kulon
4. Pemakaman Umum 59,4243
Kecamatan Sumedang
Selatan
26,6937 Pasanggra-
han,
Kotakulon,
Regol
Wetan,
Cipameung
-peuk,
Sukagalih,
Baginda,
cipancar,
Citengah,
Gunasari,
Sukajaya,
Marga
Mekar,
Ciherang
Kecamatan Sumedang
Utara
32,7306 Kotakaler,
Situ, Talun,
Padasuka,
Mulyasari,
Girimukti,
Mekarjaya,
Margamuk-
ti,
Simamulya,
Kebonjati,
Jatihurip,
Jatimulya,
No Jenis Ruang Terbuka
Hijau
Luas
(Ha)
Lokasi
Rancamul-
ya
5 Lapangan Olahraga 12,7000
Kecamatan Sumedang
Selatan
4,5300 Baginda,
Mekar
Rahayu,
sukajaya,
Kotakulon,
Margame-
kar
Kecamatan Sumedang
Utara
8,1700 Pacuan
Kuda,
Padasuka
B. RTH Jalan 0,0269
Pulau Jalan 0,0269
Kecamatan
Sumedang Selatan
0,0018
- Tugu Silat 0,0018 Pasanggra-
han Baru
Kecamatan
Sumedang Utara
0,0252
- Tugu Tahu 0,0045 Kelurahan
Situ
- Tugu
Adipura
0,0207 Kelurahan
Kotakaler
C. RTH Lainnya 546,0870
1 Jalur Sempadan
Sungai/Danau/Sumbe
r Air
3,5000
Kecamatan
Sumedang Selatan
3,5000
- Cipameungpeuk
3,5000 Cipameung
-peuk
2 Sawah 55,000
Kecamatan Sumedang
Selatan
55,000 Baginda,
Mekar
Rahayu
3 Lahan Pertanian 132,0000
Kecamatan Sumedang
Selatan
132,0000 Baginda,
Mekar
Rahayu,
Sukajaya
4 Pekebunan Negara 350,5870
Kecamatan Sumedang
Selatan
350,5870 Pasanggra-
han,
Sukajaya,
Margame-
kar
5 Daerah Resapan Air 5,0000
Kecamatan 5,0000
Edisi Agustus 2019
Sembiring
58
No Jenis Ruang Terbuka
Hijau
Luas
(Ha)
Lokasi
Sumedang Selatan
- Pasanggrahan 5,0000 Pasanggra-
han
Luas RTH Publik 771,7312
Luas Kawasan
Perkotaan
6.742,17
% RTH Publik 11,45 %
Sumber: Dinas PU Kabupaten
Sumedang, 2015.
Gambar 3
Peta Panel Sebaran RTH yang Telah
Diidentifikasi
Sesuai dengan Permen PU No 5
Tahun 2008 maka beberapa titik berikut
ini adalah merupakan RTH Publik di
kawasan perkotaan Sumedang yang telah
dilakukan survey langsung ke lokasi oleh
peneliti dan penentuan lokasi
berdasarkan prioritas RTH.
Gambar 4
Kondisi Existing RTH Kawasan
Perkotaan Sumedang yang
Teridentifikasi
Keberadaan RTH di dalam RDTR
Kawasan Perkotaan Sumedang termasuk
dalam zona lindung. Disebutkan di dalam
pasal 10 bahwa Zona RTH Publik
ditargetkan dengan luas ± 1.198,70
(kurang lebih seribu seratus Sembilan
puluh delapan koma tujuh nol) hektar
atau ± 20,27% (kurang lebih dua puluh
koma dua puluh tujuh persen) dari luas
BWP kabupaten Sumedang. Sedangkan
dari table 3.1 di atas terlihat bahwa
jumlah luas RTH di kawasan perkotaan
Sumedang masih minim yaitu 771,7312
Ha, sehingga hanya memenuhi 11,45%
dari total kawasan perkotaan Sumedang.
Padahal sesuai aturan Permen PU Nomor
5 tahun 2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka HIjau di Kawasan Perkotaan,
mengamanahkan pemerintah kota untuk
menyediakan RTH minimal sebesar
30% yang terdiri dari 20% Ruang
Terbuka Hijau Publik dan 10% terdiri
dari ruang terbuka hijau privat.
Namun kenyataannya, bahwa jika
dihitung dari data, maka RTH wilayah
Kecamatan Sumedang selatan seluas
620,0307 Ha, sedangkan RTH wilayah
Kecamatan Sumedang Utara adalah
seluas 41,3523 Ha. Kenyataannya itu
menunjukkan bahwa Sumedang Utara
masih kalah dalam penyediaan RTH
dibandingkan wilayah Kecamatan
Sumedang Selatan, padahal jika dilihat
dari jumlah penduduk, maka Kecamatan
Sumedang Utara terbilang lebih padat
daripada kecamatan Sumedang Selatan.
Kecamatan Sumedang Selatan memang
diuntungkan dengan luas wilayah yang
lebih banyak daripada Kecamatan
Sumedang Utara, ditambah lagi dengan
adanya Hutan Kota yaitu Gunung Kunci
dan Gunung Palasari yang berada di
kawasan Kecamatan Sumedang Selatan.
Edisi Agustus 2019
Sembiring
59
Kondisi RTH di Kawasan
Perkotaan Sumedang masih jauh dari
cukup, apalagi ketersediaan fasilitas
pendukungnya masih sangat minim.
Misalnya kelengkapan fasilitas di RTH
Publik Pacuan kuda yang masih sangat
rendah, dintaranya yaitu tidak adanya
pengaturan area pengunjung yang jelas,
tidak tersedianya tribun / tempat duduk
bagi pengunjung, tidak tersedianya
mushola, tempat parker dan sebagainya.
Begitu pula dengan Lapangan Sepak
Bola Padasuka dan Lapangan Sepak Bola
Baginda .Bagi pengguna lapangan
sepakbola ini sebagai tempat latihan
bola, maka lapangan ini terasa kurang
nyaman karena tanah hanya sebagian
yang tertutup rumput, sedangkan
sebahagian lainnya terlihat tanah licin
dan becek. Hal ini akan membahayakan
bagi pemain bola. Ditambah lagi marka/
garis pembatas lapangan, garis penalti,
tiang bendera dan garis lainnya yang
dibutuhkan pemain tidak tersedia di
lapangan ini.
Masalah kebersihan pun masih
jauh dari sempurna. Banyak RTH Publik
yang tidak memiliki tempat sampah yang
memadai, tempat sampah masih
bercampur Antara sampah organic dan
non organic. Lebih uniknya lagi, di
lapangan/stadion Cigugur terdapat
tempat sampah yang sudah cukup baik,
namun tidak digunakan sebagaimana
mestinya. Pengunjung masih membuang
sampah pada tempat sampah campur.
Gambar 5
Kondisi Tempat Sampah di Lapangan/
Stadion Cigugur
Kondisi tempat sampah di Alun-
alun Sumedang juga terlihat
memprihatinkan. Tempat sampah masih
dalam satu wadah campur, dan alat-alat
kebersihannya masih tergeletak di tanah.
Gambar 6
Tempat Sampah di Alun-Alun Sumedang
Gambar 7
Taman tematik di kota Surabaya
Edisi Agustus 2019
Sembiring
60
Gambar 8
Taman RW di Kecamatan Rancasari,
Kota Bandung
Pemanfaatan ruang terbuka hijau
yang dimanfaatkan di setiap RW, Desa,
Kecamatan dan Kota sangat bermanfaat
untuk mendukung kondusifitas sosial-
budaya lingkungan hidup. Selain sebagai
citra kota, tersedianya RTH Publik di
unit-unit perumahan dan permukiman,
akan berdampak pada tingginya nilai jual
tanah dan permukiman di sekitarnya. Hal
ini sangat menguntungkan bagi pelaku
ekonomi, terutama bisnis properti.
4. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Jumlah luas RTH di kawasan
perkotaan Sumedang masih minim yaitu
771,7312 Ha, sehingga hanya memenuhi
11,45% dari total kawasan perkotaan
Sumedang. Padahal sesuai aturan Permen
PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka HIjau di Kawasan
Perkotaan, mengamanahkan pemerintah
kota untuk menyediakan RTH minimal
sebesar 30% yang terdiri dari 20% Ruang
Terbuka Hijau Publik dan 10% terdiri
dari ruang terbuka hijau privat. Dengan
begitu Pemerintah Kabupaten Sumedang
masih harus mengejar ketertinggalan
sebesar 8,55% lagi luas RTH untuk
memenuhi standar yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jika sesuai harapan RDTR yang
ditargetkankan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumedang mencapai 20,27 %
dari BWP, maka berarti Kawasan
Perkotaan Sumedang masih harus
memenuhi luas RTH sebanyak 8, 82%.
Kondisi RTH Publik yang masih
jauh dari kelayakan juga membuat RTH
Publik kurang dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat. Kelengkapan
fasilitas, aksesibilitas, keamanan,
kenyamanan, kebersihan dan
keramahtamahan merupakan persyaratan
yang harus dimiliki oleh penyediaan
RTH Publik. Kenyataannya, dari hasil
survey yang dilakukan peneliti
menemukan beberapa titik lokasi yang
sama sekali tidak memiliki fasilitas
pendukung aktivitas, tidak ramah pada
semua kalangan pengunjung, bahkan
cenderung bias membahayakan
pengunjung RTH Publik tersebut seperti
jalur pedestrian yang terdapat lubang
dengan penutup kayu yang sudak lapuk,
lapangan bola yang tidak tertutup
rumput, hanya tanah becek dan licin.
B. Saran
Raperda kabupaten Sumedang
tentang RDTR kawasan perkotaan
Sumedang yang menargetkan RTH
Publik menjadi 20,27% maka perlu
dilakukan beberapa upaya untuk
penambahan kuantitas dan
pengoptimalisasian fungsi RTH Publik
kawasan Perkotaan Sumedang.
Penambahan kuantitas RTH baik public
maupun privat dapat dilakukan dengan
menggalakkan RTH Privat dengan cara
urban farming di setiap rumah, menanam
pohon-pohon di pulau-pulau jalan,
menghijaukan perkantoran dan
pertokoan.
Edisi Agustus 2019
Sembiring
61
Mengoptimalkan fungsi RTH
public agar bias dimanfaatkan oleh
semua elemen masyarakat.
Memperhatikan kualitas dari RTH
Publik, seperti penyediaan fasilitas
umum yang baik di setiap titik RTH
Publik, menyediakan akses yang mudah
untuk menjangkau RTH Publik seperti
jalur pejalan kaki yang ramah pada
semua kalangan, tersedianya tempat
bermain dan edukasi anak, menyediakan
rambu-rambu visual yang jelas sebagai
himbauan, arahan atau larangan untuk
dipatuhi setiap pengunjung.
5. DAFTAR RUJUKAN
Nirwono Joga dan Dhaneswara Nirwana
Indrajoga ; Membangun Peradaban
Kota, PT.Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2018.
Dr.Noverman Duadji dan Unang
Mulkhan, MBA, Ph.D ; Anak,
Perempuan dan Sustainable
Development Goals (SDGs).
Prof.Dr.M.Abdurrahman, MA ; Eko-
Terorisme, Membangun
Paradigma Fikih Lingkungan,
Yayasan Islam Baiturrahman,
2017.
Nirwono Joga; Mewariskan Kota Layak
Huni , Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2017.
M.Arszandi Pratama dkk; Menata Kota
Melalui Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR), ANDI,
Yogyakarta, 2014.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Permen PU Nomor 5 Tahun 2008
Tentang Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan.
Peraturan Menteri PUPR No 3 Tahun
2014 tentang Perencanaan,
Penyediaan, dan Pemanfaatan
Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki di Kawasan
Perkotaan
Edisi Agustus 2019
Wibowo
Hal. 62 - 77
62
1. PENDAHULUAN
Memajukan kesejahteraan umum,
bunyi tujuan nasional yang termaktub
dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945, jelas mengarahkan pemerintah
untuk bisa mewujudkan pemerataan
pembangunan tidak hanya bagi penduduk
di kota-kota besar saja, tetapi juga
menjamin kemakmuran bagi masyarakat
yang bermukim di desa-desa yang hingga
saat ini dirasa minim sentuhan
pembangunan. Berkaca dari sukses
doktrin Trilogi Pembangunan masa
Presiden Soeharto, yang menekankan
pada 3 unsur esensial pembangunan
yakni, pemerataan hasil pembangunan,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
disokong oleh stabilitas nasional yang
mantap dan dinamis (Sudiyono, 2010),
𝐓𝐞𝐠𝐮𝐡 𝐒𝐨𝐥𝐢𝐡 𝐒𝐞𝐭𝐲𝐨 𝐖𝐢𝐛𝐨𝐰𝐨𝟏
TRIPLE HELIX FAKTOR KUNCI PEMBANGUNAN DESA:
Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa Ala Korea
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Bandung
Abstract
Almost all countries in the world today are trying to leverage all academic circles,
business elements and entrepreneurship, and in particular to put pressure on the
government through active participation in rural development. This paper seeks to re
evaluate the triple helix concept in the success of village development, focusing on
three important elements of academics, business, and government regulation has a
vital role in it as well. This concept was then juxtaposed with the success of Saemaul
Undong, an integrated rural development model of Korean, which then filtered out
three success factors of its. These factors are then analysed its application in
accordance with the Indonesian values. The focus of this paper lies in the key to the
success of rural development, identification of the role of elements of academia,
entrepreneurship and government regulation as well as attracting lessons to be
applied in current development practices. The objectives of this paper is to describe
and find out the role of three agents (government, business and university) in line
with rural development and empowerment.
Keywords: triple helix model, Saemaul Undong, and rural development.
1 Penulis adalah Widyaiswara di PPSDM Kemendagri Regional Bandung. Alumnus Fakultas PSPS (Park
Chung Hee School of Policy and Saemaul) Yeungnam University, Korea Selatan. Jurusan Saemaul
Undong and Community Development dengan gelar Master of Public Administration (MPA.) Tahun
2018.
Edisi Agustus 2019
Wibowo
63
maka perlu kiranya ditemukan sebuah
skema pembangunan nasional yang
menyentuh hingga ke akar rumput,
utamanya masyarakat desa. Hal yang
disadari betul oleh pemerintah di bawah
komando Presiden Joko Widodo,
sehingga Nawa Cita dijadikan sebagai
acuan untuk melibatkan masyarakat
bawah yang selama ini kurang tergarap,
melalui setting pembangunan dari
pinggiran dan zona 3T yang melibatkan
level pemerintahan terrendah yakni desa.
Lantas, Bagaimana masyarakat di
desa tersebut dapat diupayakan sebagai
obyek sekaligus juga subyek
pembangunan? Pembangungan desa
idealnya melibatkan pada 3 aspek
penting, yakni partisipasi aktif
masyarakat, kebijakan pemerintah serta
figur kepemimpinan yang disegani.
Ketiga unsur tersebut saling beririsan,
yang membuat ketiganya tidak dapat
dinafikkan satu dengan yang lainnya
karena saling berhubungan dan
berkelindan ibarat sebuah spiral berpilin.
Mengintip dari apa yang sudah
dilakukan masyarakat Korea Selatan
yang sudah diakui dunia sebagai Warisan
Dunia oleh UNESCO, Indonesia dapat
mengadopsi skema pembangunan
dimaksud sesuai dengan kultur
masyarakat desa di Indonesia. Dalam
kasus akselerasi pembangunan di
Republik Korea yang patut
dikemukakan, negeri ini mencapai
pembangunan sosial-ekonomi yang luar
biasa dengan mengurangi kemiskinan
ekstrem, yang telah menjangkiti negara
ini untuk waktu yang sangat lama. Kini,
negara inilah satu-satunya negara di
dunia yang telah berhasil dalam
mengatasi tiga kesulitan sekaligus yang
terjadi di sebagian besar negara
berkembang, yakni perang saudara atau
konflik internal; warisan kolonial; dan
kemiskinan ekstrem melalui program
bernama Saemaul Undong (SMU). SMU
ini dimaksudkan sebagai sebuah gerakan
untuk mengembangkan etika kerja petani
dengan berpartisipasi dalam proyek-
proyek desa untuk mempercepat
modernisasi pedesaan (Park, 1998). SMU
adalah program pembangunan desa yang
dimulai pada 1970an dimana tujuan
utama gerakan ini adalah meningkatkan
kesejahteraan hidup penduduk desa dan
memperkecil ketimpangan antara desa
dan kota, sebuah inisiasi pemerintah
melalui partisipasi aktif dengan
penduduk desa, yang mengacu kepada
prinsip “spirit of dilligence, self-help,
and cooperation” serta moto Let’s Live
Well! (Lestari, 2016)
Setidaknya ada 3 komponen yang
menjadi daya ungkit modernisasi desa di
Korea Selatan, yakni kepemimpinan
yang melayani, regulasi pemerintah yang
kuat, serta dukungan partisipasi penuh
masyarakatnya. Sinergi ketiganya
nampak dari partisipasi aktif warga
sebagaimana dokumen Saemaul Undong
dalam UNDP yakni,
The project is based on a
successful rural development
initiative, the Sae-ma-ul
Movement, developed by the
Republic of Korea. Villagers’
active participation in shaping
their future depends heavily on
their level of access to public
services and information. This is
why UNDP is working closely with
local government to build closer
linkage and usage of existing
public policies. (UNDP, 2015)
Penulis berasumsi bahwa triple
helix model dapat menjadi acuan dan
rujukan bagi percepatan pembangunan di
pedesaan. Konsep ini merupakan sebuah
Edisi Agustus 2019
Wibowo
64
formulasi fungsional yang dinamis untuk
memperluas akses partisipasi seluruh
komponen bangsa sehingga transformasi
masyarakat desa menuju masyarakat
modern terbangun dari interrelasi antara
akademisi melalui tridarma perguruan
tinggi dengan lembaga riset dunia bisnis
serta regulasi pemerintah yang
menyentuh langsung akar rumput warga
masyarakat di tingkat desa.
2. METODOLOGI
A. Triple Helix Sebagai Sebuah Model
Tanggung jawab keberhasilan
pembangunan tidak hanya dibebankan
kepada pemerintah semata-mata tetapi
juga dunia industri dan universitas. Atas
dasar pemahaman inilah sebuah konsep
yang relatif baru dikemukakan untuk
mendukung ketiga elemen penting
pembangunan diatas. Ide dan konsep
pembangunan melalui metode triple helix
ini menghubungkan sinergi dari tiga
buah komponen penunjang yakni
pemerintah, dunia wirausaha serta
kalangan akademisi. Ketiganya memiliki
relasi yang saling beririsan dimana
pemerintah sebagai yang terdepan dalam
mengupayakan regulasi positif bagi
pembangunan. Dalam hal ini sinergi
ketiganya bersifat eksternal lintas tiga
pemeran serta: universitas, industri, dan
pemerintah (university - industry -
government relations). Konsep ini
bermula dari pemikiran dan praktik
inovasi dunia industri yang melibatkan
perguruan tinggi dan pemerintah.
(Witjaksono, 2013).
Model ala Triple Helix ini pertama
kali dikemukakan oleh Henry Etzkowitz
dan Loet Leydesdorff untuk menganalisis
hubungan antara universitas, industri dan
pemerintah. (Etzkowitz and
Leydesdorff,1997 dalam Sitorus, 2016).
Dalam model ini, tiga bidang (akademisi,
dunia industri, dan pemerintah)
didefinisikan secara kelembagaan untuk
saling berinteraksi, yang dimediasi untuk
melintasi batas yang dipertahankan, baik
melalui sistem komunikasi maupun
dengan inovasi teknologi, yang
dihasilkannya. Hubungan yang muncul
dalam Triple Helix, umumnya bermula
dari upaya pemecahan masalah dan
menghasilkan strategi ketika menghadapi
masalah dalam inovasi, bukan ditentukan
dari suatu pola tertentu. Melalui proses
interaksi ini maka akan terjadi perubahan
aktor dan peran yang mereka lakukan
(Leydersdorff, 2000). Dengan demikian,
pola triple-helix inovasi adalah dinamis
seiring perubahan waktu.
(http://technopark.surakarta.go.id/id/profi
l/kondisi/the-triple-helix-model-of-
innovation).
Lebih jauh (Izzati, 2018)
mengemukakan bahwa korelasi antara
peran universitas, bisnis dan pemerintah
dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi memiliki hubungan ketiga aktor
integral dalam konteks public-private-
partnership terjadi dalam sebuah konsep
Triple Helix, yang dikenal dengan istilah
ABG atau Academic, Business and
Government. Dalam konsep ABG ini,
industri berperan sebagai rumah
produksi, sementara pemerintah adalah
sumber hubungan kontraktual yang
memastikan interaksi dan pertukaran
yang stabil, dan universitas sebagai
sumber pengetahuan dan teknologi baru.
Sinergi dari ketiga sektor ini merupakan
prinsip generatif dalam membangun
ekonomi yang berbasis pengetahuan,
yang memungkinkan tercapainya
kemakmuran.
Konsep ini mengadopsi konsep
biologi dari Model Triple Helix DNA
yang berpusat pada integrasi dan sinergi
Edisi Agustus 2019
Wibowo
65
peranan masing-masing elemen untuk
mengembangkan produk berbasis
pengetahuan, ekspansi industrialisasi,
dan jasa sebagai pondasi dari sistem
inovasi regional dan nasional. (Sitorus,
2016). Sinergi ketiga komponen tersebut
membuahkan sebuah skema interrelasi
saling berhubungan dan beririsan antar
tiap unsur pembangunan yang
diilustrasikan sebagai sebuah hubungan
yang saling berkelindan, laksana spiral
DNA yang berpilin, dapat digambarkan
sebagaimana diagram di bawah ini:
Gambar 1
Triple Helix Model DNA
Sumber:
https://www.researchgate.net/figure/Tripl
e-helix-model-University-Industry-
Government-6_fig1_279070672
B. Adopsi Triple Helix Sebagai Sebuah
Model pada Pembangunan Desa
Pembangunan tanpa melibatkan
peran serta masyarakat akan menyisakan
sebuah kesia-siaan belaka. Oleh
karenanya, fenomena dalam menyusun
sebuah sinergi yang apik dari tiga elemen
masyarakat; akademisi, regulasi dan
dunia industri menyeruak untuk bisa
menembus ego sektoral di dunia
birokrasi sehingga efek pembangunan
bisa dirasakan oleh seluruh unsur
masyarakat. Konsep triple helix ini
dirasa tepat untuk diaplikasikan dalam
merekrut partisipasi seluruh elemen
masyarakat desa. Karena tujuan dari
konsep ini adalah sebagaimana dibawah:
In this model, three spheres are
defined institutionally (university,
industry, and government) as
interactions, mediated across
otherwise defended boundaries,
both by way of communication
systems and through the
technological innovations, they
generate. While communication
and technical innovation are
fundamental to this process of
knowledge production, in a
scientific based knowledge
economy, growth serves to
intensify the environmental and
cultural complexity of these
interactions and act as a means
for civil society to capitalize on the
intelligence such an
institutionalization of wealth
creation generates.
(https://www.igi-global.com
/dictionary/triple-helix/40797).
Oleh karenanya, hasil penelitian
dari para akademisi dan pembelajar di
dunia perkuliahan seharusnya mampu
menjadi katalisator pembangunan desa.
Pola-pola KKN masa lampau yang hanya
menyentuh pada formalitas belaka
mestinya dapat diganti dengan bentuk
yang hasilnya bisa diaktualisasikan
langsung pada masyarakat desa.
Misalnya saja, mahasiswa diminta untuk
Edisi Agustus 2019
Wibowo
66
melakukan pengembangan agar desa-
desa di tepi pantai dapat terangkat
ekonominya melalui pemberdayaan desa
wisata maupun olahan hasil lautnya. Jika
dilihat dari hubungan antar ketiga elemen
pembangunan sebagaimana diagram
diatas, maka terdapat irisan antara dunia
akademisi dengan birokrasi
pemerintahan. Hubungan ini dapat
berupa pengembangan kapasitas baik
berupa pengetahuan, sikap maupun
keterampilan para aparatur sipil untuk
bisa menjamin ketersediaan birokrat-
birokrat yang melayani melalui diklat,
workshop maupun training dengan
melibatkan para pakar dari perguruan
tinggi di sekitar. Juga melalui penguatan
literasi SDM mengenai teknologi terkait
sistem dan proses produksi sumber daya
alam yang ada di desa dan
mengkonversinya menjadi sebuah
produk unggulan. Disisi lain, dalam
proses implementasi triple helix model
bagi pembangunan desa ini, dibutuhkan
beberapa prasyarat bagi agar optimalisasi
konsep ini dapat menjadi sukses yakni;
kesetaraan setiap elemen dalam
pengambilan peran, saling bergantung
untuk mencapai sukses bersama, dan
hasilnya berdampak pada peningkatan
kapasitas semua pihak (Witjaksono,
2013).
Dengan kata lain, model ini
memaksa setiap anasir pembangunan di
desa memberikan dampak positif yang
nyata dalam membangun desa tersebut
dengan kontribusi sesuai bidang masing-
masing dalam sebuah hubungan yang
setara dan saling menguatkan. Mengapa
peran kebijakan pemerintah dirasa
penting pada pola triple helix ini?
Menurut argumen penulis, dengan segala
keterbatasan pemahamannya, dengan
memberikan regulasi yang tepat kepada
dua unsur pembangunan yang lain
(akademisi dan industri) maka kedua
elemen tersebut dapat membentuk
sebuah jejaring yang manfaatnya akan
terasa pada pemberian nilai tambah dan
inovasi produk serta hasil pembangunan.
Hal yang sebaliknya, akan menjadi
sebuah blunder jika otoritas
pemerintahan lokal sebagai regulator
membuat kebijakan yang kontradiktif
bagi kedua elemen tersebut. Untuk itu,
perlu sinergi lintas elemen dalam
menumbuhkan konstruksi personal antar
pelaku sehingga kebijakan yang diambil
nantinya relevan dan tepat guna bagi
operasional kelembagaan. Skema
pembangunan desa melalui model triple
helix ini merupakan hasil sinergi tiga
sumber daya yang interseksi ketiganya
berkontribusi positif dapat digambarkan
sebagaimana diagram dibawah:
Gambar 2
Synergy Government-University-
Industry in triple helix
Sumber: Witjaksono, 2014.
Irisan antara pemerintah daerah
dengan akademisi seyogyanya
menghasilkan output berupa penguatan
kapasitas dan literasi sumber daya
manusia tentang teknologi dalam
Edisi Agustus 2019
Wibowo
67
mengolah sumber daya menjadi produk
unggulan. Sementara itu, interseksi
antara wirausaha lokal mestinya mampu
memberi nilai tambah dalam pergerakan
ekonomi desa. Di lain pihak, sinergi
antara pemerintah daerah dan industri
lokal berperan dalam penguatan
komitmen dan integritas komunitas lokal
pada pengelolaan sumber daya desa agar
berkelanjutan. (Wulandari dkk., 2017).
Bertolak dari kerangka pemikiran
diatas, tidak berlebihan jika penulis
berasumsi bahwa melalui penerapan
paradigma triple helix dalam konsep
pembangunan desa dan dengan tetap
mempertahankan kearifan budaya lokal
yang ada, dapat menjadi sebuah sinergi
yang baik untuk mengakselerasi
pembangunan desa, dan perubahan pola
pikir warga sebagaimana
diimplementasikan pada proyek-proyek
Saemaul Undong di Korea Selatan.
C. Refleksi Triple Helix Model pada
Saemaul Undong
Jika pada triple helix model, lebih
ditekankan pada sinergi antara tiga
komponen pembangunan, maka pada
Saemaul undong terdapat beberapa faktor
kesuksesan implementasi program ini.
Walaupun kebijakan pembangunan
ekonominya lebih difokuskan pada
pengembangan industri modern,
Republik Korea telah terbukti secara
efektif dalam mereduksi kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi antara desa dan
kota. Dimulai sejak tahun 1970,
Pemerintah mengalihkan perhatiannya
pada tingkat pertumbuhan yang selaras
antara perkotaan dan masyarakat
pedesaan dan dalam satu dekade
kemudian berhasil menumbuhkan
kondisi masyarakat desanya agar sepadan
dengan kota-kota tersebut. Inti daripada
kesuksesan pembangunan model ini
adalah Saemaul Undong, sebuah
program pengembangan pola pikir
masyarakat terpadu Republik Korea.
Keberhasilan program ini tidak pelak lagi
salah satunya adalah dengan adanya
partisipasi aktif yang masif dari warga
masyarakat desa, yang pada akhirnya
menular hingga ke seluruh penjuru
negeri, meskipun tujuan awal program
ini tidak didefinisikan dengan jelas. Dari
berbagai interpretasi mengenai
bagaimana mendefinisikan tujuan
Saemaul Undong, namun sebagian besar
setuju bahwa tujuannya adalah untuk
menghasilkan perbaikan ekonomi, sosial
dan sikap masyarakat dalam aktifitas
pembangunan. Atas semua hal itu, tujuan
yang paling luas diterima adalah
sebagaimana deskripsi Park (2009):
The most broadly accepted
objectives are (a) income
generation, (b) living environment
and basic rural infrastructure
improvement, and (c) capacity-
building and attitudinal change.
Interpretasi yang berbeda
berpendapat bahwa Saemaul Undong
mencapai sebagian besar tujuannya dan
membawa keberhasilan yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam
pembangunan pedesaan berdasarkan
statistik pemerintah yang menunjukkan
bahwa sebagian besar tujuan telah
tercapai. Regulasi pemerintah Republik
Korea dalam upaya mencapai
keberhasilan pembangunan ekonomi
pada tahun 1970-an ditekankan melalui
kebijakan industri selektif dan kebijakan
perdagangan yang berorientasi ekspor.
Strategi selektif ini, bagaimanapun,
membuat pembangunan pedesaan
tertinggalkan dan memperlebar
kesenjangan antara standar hidup
perkotaan dan pedesaan. Untuk itulah,
Edisi Agustus 2019
Wibowo
68
Saemaul Undong diinisiasi untuk
memperbaiki pelebaran kesenjangan
dengan memanfaatkan sumber daya yang
terakumulasi utamanya melalui
partisipasi aktif masyarakat lokal.
Sinergi positif juga nampak dari
peran vital pemerintah pusat dan daerah
yang tersirat sebagaimana dilansir oleh
Choe (2005), bahwa:
The Saemaul Undong was initiated
by the political will of the top
national leadership as a rural
development project. Accordingly,
both national government and
local governments played
important roles throughout the
development of the Saemaul
Undong. First, the national
government set up general plan for
the Saemaul Undong based on
community needs. Second, local
governments were also involved in
conducting the Saemaul Projects.
The role of public delivery system
at the community level was also
essential for the implementation of
Saemaul Undong due to its control
of local resources.
Dampak dari industrialisasi di
Korea tahun 70an, Pemerintah memiliki
surplus semen dari produksi pabriknya,
yang lalu dihibahkan ke desa. Pemerintah
pertama-tama membagikan 355 sak
semen ke tiap desa di 34.665 pedesaan
di Korea secara gratis dengan satu syarat,
penggunaannya hanya untuk
kesejahteraan seluruh masyarakat. Diluar
ekspektasi, proyek ini tersebut dibalas
dengan reaksi publik yang luar biasa
dengan pengembalian dana semen yang
tiga kali lipat dari inisiasi awal, hal yang
patut menjadi pelajaran bagi kita
bersama, yakni partisipasi aktif
masyarakat berperan sangat vital bagi
kesuksesan pembangunan desa.
Keberhasilan Saemaul Undong tidak
dapat dilepaskan dari beberapa faktor,
diantaranya adalah hubungan yang baik
antara pemerintah pusat, lokal maupun
masyarakat desanya, layaknya
digambarkan sebagai hubungan triparti
seperti dibawah, Choe (2005):
Gambar 3
Structure of Interaction among NG, LG,
and People
Sumber: Choe, Chang-Soo (2005). “Key
factors to successful community
development: the Korean
experience”, Discussion Paper
No. 39, November, JETRO
(Chiba, Institute of Developing
Economies). p.7.
Sesuai dengan perubahan fokus
dan ruang lingkup proyek tingkat desa,
maka Saemaul Undong menekankan
pada partisipasi masyarakat yang tinggi
pada tahapan awalnya. Pada fase
berikutnya, prioritas diberikan pada
peningkatan infrastruktur fisik dengan
tetap memberikan porsi yang besar bagi
masyarakat desa mengembangkan ide-
ide umum tentang apa yang dapat mereka
lakukan untuk diri mereka sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa,
SMU dapat berjalan baik karena: (1)
keswadayaan masyarakat desa, (2)
Edisi Agustus 2019
Wibowo
69
keinginan kuat untuk berkembang, (3)
kemampuan menghasilkan sumberdaya
pembangunan, dan (4) kepemimpinan
dalam mengorganisir dan menggerakkan
masyarakat . (Angelia, undated)
Partisipasi semacam inilah yang
diindikasikan oleh Stiglitz (2002) bahwa:
the process of participation should
involve open dialogue and a
broadly active civic engagement.
All individuals should have a voice
in the decisions which influence
their life.
Partisipasi luas masyarakat yang
membuat Saemaul Undong membawa
perbaikan yang berarti dalam dimensi
pembangunan sosial, meliputi
peningkatan infrastruktur dasar;
peningkatan akuntabilitas pemerintah
daerah; dan pemberdayaan penduduk
desa, utamanya dalam menghasilkan
dampak yang nyata pada pengurangan
kemiskinan, serta peningkatan
pendapatan dan pembangunan ekonomi.
Sebagai kesimpulan, Saemaul Undong
membantu mengentaskan kemiskinan
absolut di desa-desa dengan memberikan
akses dan peluang yang lebih baik, yang
didorong oleh kinerja triparti, yakni
pemerintah pusat, pemerintah daerah
hingga ke tingkat desa serta partisipasi
penuh dari masyarakat desa yang
didominasi oleh petani. Dengan kata lain,
SMU memuat kebijakan dan strategi
pemerintah serta partisipasi masyarakat
secara tepat. SMU menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan
menggabungkan pelatihan capacity-
building dan institution-building dengan
aktivitas pembangunan fisik berdasarkan
kebutuhan penduduk desa. Secara
efisien, SU menangani persoalan
penduduk desa yang bersifat beragam
namun berkaitan satu dengan lain.
(Lestari, 2016).
Faktor lain yang menjadi pemicu
percepatan pembangunan desa ala
Saemaul Undong adalah dedikasi dan
kepemimpinan yang melayani. Pada
tahap awal, SMU sebagai sebuah konsep
pembangunan kapasitas dan perubahan
sikap penduduk desa tidak jauh berbeda
dari interpretasi tradisional stereotip
tentang mereka yang dilakukan oleh agen
pembangunan di luar pada waktu itu.
Pandangan selama ini bahwa petani
adalah mereka konservatif, tidak mau
berpartisipasi dalam upaya kerja sama,
hedonistik, dan malas. Ditambah lagi
kebiasaan buruk dan sikap negatif
terhadap produktivitas pertanian yang
rendah dan kemiskinan kronis dan
berpendapat bahwa pembangunan
pedesaan hanya mungkin dengan
perubahan signifikan dalam sikap
masyarakat pedesaan. Para saemaul
leaders inilah yang kemudian menarik
simpati dan partisipasi masyarakat dan
berusaha mengubah sikap pesimistis dan
fatalistik mereka dan mempromosikan
nilai-nilai modern yang berfokus pada
tiga nilai inti yakni ketekunan, kerja
sama, dan kemandirian melalui pelatihan
skala besar, seminar, dan lokakarya.
Berdasarkan survei terhadap 150 saemaul
leaders, yang dilakukan di tahun 1974,
38 persen memilih semangat kerja sama
yang meningkat di antara penduduk desa
sebagai hasil paling positif yang
dihasilkan oleh Saemaul Undong (Park
1974). Dalam survei lain, penduduk desa
memilih perubahan perilaku, semangat
kerja sama, dan keyakinan akan masa
depan yang lebih baik karena perubahan
positif dimungkinkan oleh Saemaul
Undong (Brandt dan Lee 1979).
Edisi Agustus 2019
Wibowo
70
Saemaul Undong received some
favourable responses and achieved
some meaningful results in its
campaign for attitudinal change.
More than 500,000 people took
part in Saemaul Undong trainings
from 1972 to 1979. Based on a
survey of the 150 Saemaul Undong
leaders, conducted in 1974, 38 per
cent chose increased cooperation
spirit among villagers as the most
positive result brought about by
Saemaul Undong (Park 1974). In
another survey, villagers chose
changes in behaviour, spirit of
cooperation and confidence of a
better future as positive changes
made possible by Saemaul Undong
(Brandt and Lee 1979).
Namun, kebiasaan buruk dan sikap
lama bukanlah penyebab utama kesulitan
ekonomi pedesaan. Pertumbuhan
produktivitas pertanian yang lamban dan
kemiskinan yang terus-menerus lebih
berkaitan dengan kegagalan pemerintah
untuk memberikan bantuan dan sumber
daya penting atau untuk memberi orang
langkah-langkah efektif untuk mengatasi
memburuknya kondisi perdagangan.
Beberapa semangat dan sikap yang
Saemaul Undong coba promosikan,
apalagi, tidak membutuhkan dorongan
lebih lanjut. Puncak dari semua yang
disebut perubahan sikap adalah dalam
pemberdayaan orang dan perbaikan
dalam pemerintahan lokal. Saemaul
Undong menciptakan lingkungan yang
memungkinkan di mana orang-orang
pedesaan menyuarakan pendapat mereka
dan membuat diri mereka didengar.
Instansi dan pejabat pemerintah dianggap
sebagai sumber bantuan potensial
daripada sebagai pengeksploitasi yang
ditakuti. Evaluasi tiga nilai inti yang
dipromosikan Saemaul Undong
mengungkap bahwa perubahan sikap,
pola pikir dan nilai luhur budaya lokal
berkontribusi pada pembangunan sosial
di desa-desa yang terdampak program
ini, sebagaimana ADB merangkumnya,
the Saemaul leaders played a more
active role, proposing SU projects
through discussion with
community members and using
their influence with local
government officials regarding
decisions relating to Saemaul
Undong projects. However, not all
Saemaul leaders were capable of
quality value judgments and
practices. Moreover, the views of
the new leadership often conflicted
with those of conventional local
community opinion leaders (ADB,
2012).
SMU dapat dikaitkan dengan
penerapan strategi dasar pengentasan
kemiskinan yang disesuaikan dengan dan
memanfaatkan konteks Korea yakni
mempromosikan peluang dan
memfasilitasi pemberdayaan bagi
masyarakat pedesaan. Empat puluh tahun
yang lalu, orang-orang yang merancang
dan mengimplementasikan Saemaul
Undong tidak memiliki pemahaman yang
jelas tentang konsep dan kosa kata yang
secara luas digunakan dalam
pembangunan saat ini, seperti tata
pemerintahan yang baik, pengembangan
kapasitas, pendekatan partisipatif,
akuntabilitas, pemberdayaan, integrasi
vertikal atau kepemilikan. Sementara itu,
pada era masa kini, fokus Saemaul
Undong lebih pada pencapaian reformasi
pola pikir dan perubahan sikap warga
masyarakat terhadap paradigma
pembangunan desa, dimana sebelumnya
penduduk lokal lebih banyak disuapi
Edisi Agustus 2019
Wibowo
71
oleh program-program pemerintah,
menuju pada inisiatif dan partisipasi
aktif, sebagaimana deskripsi oleh
UNPAN:
Current focus is placed not on
development but on modifying
mindset, volunteering and helping
social minorities. It is emphasizing
the promotion of morals and
spiritual reform and building a
good community. (UNPAN, 2015).
Sebuah konsep yang belum ada
sebelumnya, yang lalu didiseminasikan,
sehingga implementasinya sejalan
dengan sasaran dan metodologi praktik-
praktik pembangunan era kekinian.
3. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN
SARAN
A. Kesimpulan
Keberhasilan pembangunan desa
dan komunitas tidak terlepas dari peran
penting dari 3 elemen, yakni regulasi
pemerintah, dukungan akademisi serta
partisipasi aktif masyarakat itu sendiri.
Sinergi triparti ini tercermin jelas pada
apa yang telah Korea lakukan pada
program Saemaul Undong. Triple helix
yang diaplikasikan ini pertama, tercermin
pada insentif nasional melalui dukungan
total pemerintah pusat maupun daerah
pada setiap proyek yang diinisiasi oleh
warga. Kedua, tingginya tingkat
partisipasi warga dalam setiap proses dan
tahapan implementasi. Ketiga, Saemaul
Undong menjadi booming dan sukses
besar dengan menumbuhkan dan
memelihara kepemimpinan masyarakat
yang melayani dan berdedikasi yang
dipilih oleh penduduk itu sendiri secara
demokratis. Intinya, sinergi triple helix
telah membawa Saemaul Undong
sebagai gerakan untuk reformasi
spiritual, Saemaul Undong mengilhami
setiap bangsa dengan semangat
ketekunan, kemandirian, dan kerja sama.
Para pakar di level akademisi turut
menyumbang kontribusi aktif pemikiran
melalui wadah Saemaul Training Center,
yang menempa para sukarelawan dan
pemimpin lokal untuk ikut bergerak dan
aktif melayani masyarakat dengan
dedikasi penuh untuk keberhasian setiap
tahapan dari proyek-proyek Saemaul
Undong. Sinergi peran pemerintah
dengan partisipasi penduduk terlihat pada
regulasi pemerintah tidak ditekankan
untuk mendikte masyarakat pada setiap
proyek yang dikerjakan, melainkan
pemerintah merangsang warga desa
untuk memutuskan tahapan yang
ditentukan bagi setiap proyek, maupun
setiap hal teknis lainnya. Dukungan
pemerintah Korea berupa dukungan
anggaran serta bahan dasar proyek
termasuk didalamnya subsidi dana desa,
dan terlibat mengevaluasi keberhasilan
proyek-proyek Saemaul Undong ini.
Pada mulanya, program yang
diluncurkan sebagai proyek
pembangunan masyarakat pedesaan ini
kemudian diperluas cakupan ruang
lingkupnya menuju ke sektor perkotaan,
dan menjadi sebuah gerakan nasional
bagi pembangunan bangsa dan
kemandirian ekonomi dengan tetap
menempatkan partisipasi masyarakat
sebagai prioritas dalam implementasinya.
Dengan menentukan faktor-faktor kunci
keberhasilan Saemaul Undong sebagai
proyek pembangunan masyarakat desa,
maka duplikasi program yang sama dapat
diinisiasi oleh negara-negara
berkembang lainnya, sesuai dengan
karakteristik negara tersebut.
Implikasinya, sinergi tiga elemen,
pemerintah, perguruan tinggi serta
partisipasi masyarakat sebagaimana
Edisi Agustus 2019
Wibowo
72
perkembangan historis Saemaul Undong
dan pencapaian utamanya dapat
memberikan efek positif bagi penguatan
karakter masyarakat, perubahan pola
pikir dan paradigma pembangunan desa
serta meningkatkan penghasilan
masyarakat desa yang umumnya adalah
petani lokal sehingga kesenjangan
pendapatan desa dan kota dapat dikikis.
Dalam kasus keberhasilan program
Saemaul Undong di Korea, peran
pemerintah baik tingkat nasional maupun
lokal layak untuk difokuskan utamanya
dalam interaksi peran tersebut dengan
partisipasi masyarakat. Seperti
disebutkan di atas, Saemaul Undong
diprakarsai oleh kemauan politik atas
kepemimpinan nasional sebagai proyek
pembangunan pedesaan. Dengan
demikian, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah pemerintah daerah
memainkan peran penting sepanjang
sejarah Saemaul Undong.
Pertama, pemerintah pusat
menyusun rencana umum untuk Saemaul
Undong berdasarkan kebutuhan
masyarakat untuk mengolah desa yang
lebih baik sehingga pemerintah melihat
perlunya pendekatan yang lebih
sistematis untukmenjamin pembangunan
pedesaan yang efektif. Pemerintah juga
menetapkan pelatihan-pelatihan dasar
untuk proyek-proyek terkait dan
membatasi bantuannya dengan hanya
pada bahan dasar minimum yang
dibutuhkan untuk proyek. Insentif bagi
masyarakat diberikan hanya sebagai
pemancing bagi desa-desa yang
menunjukkan hasil luar biasa setelah
evaluasi komprehensif terhadap proyek
yang telah diselesaikan. Realisasi
dukungan nyata dari pemerintah dalam
revitalisasi sosial-ekonomi masyarakat
desa nampak melalui upaya kerja sama
dengan dunia akademisi dalam
pembentukan komite koordinasi Saemaul
Undong, yang merupakan badan lintas
sektor baik di tingkat nasional, regional,
dan maupun tingkat lokal di desa-desa.
Peran sistem administrasi publik di
tingkat masyarakat juga penting dalam
implementasi Saemaul Undong karena
kontrolnya terhadap sumber daya lokal.
Badan koordinasi publik melakukan
monitoring dan evaluasi proses
implementasi di tingkat masyarakat
dengan melibatkan sukarelawan lokal
seperti penyuluh pertanian, penyuluh
keluarga berencana, juga merangkul
organisasi sukarela lokal dan pemimpin
masyarakat serta tokoh adat. Mereka
inilah yang memainkan peran laksana
fasilitator dalam implementasi Saemaul
Undong sebagai kepanjangan tangan
pemerintah untuk membimbing dan
memeriksa kemajuan setiap proyek.
Salah satu strategi penting
Saemaul Undong adalah pengumpulan
sumber daya dari organisasi pengiriman
untuk memberikan layanan yang efisien
dalam berbagai kegiatan yang dilakukan
di masyarakat. Untuk meningkatkan
efisiensi dan kemandirian proyek,
pejabat pemerintahan turun langsung
bertemu dengan tokoh masyarakat, dan
turut berpartisipasi dalam pertemuan dan
musyawarah desa. Ini berbuah pada
peningkatan kepercayaan manajerial
terhadap layanan publik pemerintah.
Komitmen kuat dari kredibilitas tinggi
pemerintah daerah diatur sedemikian
rupa sehingga masing - masing pejabat
pemerintah diberi tanggung jawab untuk
pelaksanaan proyek yang efisien. Salah
satu bentuk masukan paling penting bagi
Saemaul Undong adalah paket intervensi
dan dukungan pemerintah. Sejak awal
Saemaul Undong eksis, dukungan
pemerintah untuk itu mencakup berbagai
jenis layanan dan dalam hal ini
Edisi Agustus 2019
Wibowo
73
pemerintah tidak ikut campur tetapi
menentukan pedoman dengan tidak
mengintervensi desa sehingga
menyebabkan penduduk secara sukarela
berpartisipasi dalam proyek dan memilih
pemimpin mereka sendiri serta
memutuskan proyek mereka sendiri.
Perkara diatas tentu membutuhkan
konsensus besar dan komitmen nilai
kolektif yang tinggi baik dari elemen
pemerintah, sukarelawan dan akademisi
maupun penduduk desa itu sendiri.
Dalam konteks pembangunan pedesaan
berbasis masyarakat, dukungan
pemerintah tertuang dalam
mengidentifikasi prasyarat kontribusi
tingkat desa dan menyediakan
kepemimpinan komunitas yang
berdedikasi dan melayani. Pemimpin ini
tidak serta merta tumbuh di dalam
masyarakat tetapi pemerintah
memproduksinya melalui pelatihan
terkonsentrasi di Saemaul Undong
Central Training Institute. Peran
akademisi sangat terlihat pada bagian ini
dengan turut menularkan semangat
sukarela dan bekerja sama menjadi
mentor di pelatihan ini. Para saemaul
leaders, yang dipilih langsung oleh warga
desa masing-masing ini diberikan materi
kepemimpinan serta eksekusi proyek
sederhana di Pusat Pelatihan tersebut.
Para kontingen desa ini dididik oleh
pemerintah untuk mengemban visi
pembangunan negara, selain itu, mereka
bertindak sebagai agen-agen perubahan
untuk mendistribusikan dan berbagi
inovasi teknologi kepada warga desa,
serta sebagai manajer dalam perencanaan
dan eksekusi setiap proyek.
Saemaul Undong telah membuat
sukses besar dengan memelihara
kepemimpinan masyarakat.
Kepemimpinan desa terdiri dari para
pemimpin Saemaul, baik pria maupun
wanita, yang telah dipilih oleh penduduk
desa. Kepemimpinan yang sebenarnya
dilakukan bekerja sama dengan kepala
desa ditunjuk oleh kantor kecamatan
(sinergi 2 elemen, pemerintah-
masyarakat). Sebagian besar program
pelatihan pemimpin Saemaul
diselenggarakan di bawah kendali
pemerintah dengan maksud untuk
membina kepemimpinan serta
menanamkan filosofi Saemaul melalui
berbagi pengalaman dan diskusi
bersama.
B. Implikasi dan Saran
Terlepas dari keberhasilan nyata
dari Saemaul Undong, jika ditilik dari
metode sinergi triple helix beberapa
saran perbaikan proyek ini juga
mengemuka. Sebagaimana dalam peta
implementasi strategi Triple Helix bahwa
untuk pembangunan infrastruktur intinya
harus melibatkan 3 elemen didalamnya
yaitu akademisi, dunia bisnis, dan
regulasi pemerintah, maka pada kaca
mata Saemaul Undong ini, elemen dunia
bisnis dan wirausaha seolah-olah tertutup
kontribusinya dengan tingginya animo
partisipasi masyarakat dan ketatnya
regulasi pemerintah. Setelah melakukan
identifikasi beberapa keterbatasan
Saemaul Undong yang ditilik dari sudut
pandang triple helix model menyajikan
beberapa pelajaran yang dapat diterapkan
dalam konteks pembangunan desa di
Indonesia saat ini. Pertama, implikasi
Saemaul Undong jika diterapkan di
negara adopsi harus dipahami dan
dintegrasikan dengan konteks lokal,
mengingat nilai-nilai dasar yang telah
ada dan tumbuh di akar masyarakat
tentunya berbeda antara satu negara
dengan yang lainnya. Sejumlah auto
kritik dan penelitian telah mencatatkan
pentingnya konteks lokal di masyarakat
Edisi Agustus 2019
Wibowo
74
di negara importer Saemaul Undong
bermasalah dengan integrasi konteks
sosial, budaya dan ekonomi negara
tersebut. Perlu diingat bahwa gagasan
ketekunan, swadaya dan kerja sama yang
dipromosikan oleh Saemaul Undong
didasarkan pada nilai-nilai tradisional
masyarakat Korea pada masanya.
Sehingga, mobilisasi besar-besaran
sumber daya dan rantai komando yang
kuat dari tingkat tertinggi pemerintahan
ke desa dimungkinkan karena
kepemimpinan yang kuat dan rezim
otoriter, untuk memastikan Saemaul
Undong berjalan baik. Prakondisi seperti
ini yang bisa ada atau belum ada di
negara berkembang lainnya. Proyek-
proyek yang dibangun dari level paling
rendah yakni desa telah dianalisis
melalui penilaian yang cermat oleh
kapasitas pemerintah daerah, agar tetap
berakar dalam konteks sosiokultural di
setiap titik desa-desa mereka sendiri.
Sementara itu, situasi yang sedikit
berbeda terjadi di Indonesia terhadap
pembangunan pedesaan saat ini. Disini,
pemerintah yang lebih banyak berperan,
dengan munculnya beragam regulasi
tentang pembangunan desa, serta
kenaikan yang signifikan dari besaran
dana desa. Bercermin dari Saemaul
Undong, pemerintah Korea hanya
memberikan sekedar stimulus bagi setiap
proyek yang dijalankan, juga sedikit
bahan dasar proyek, seperti beberapa sak
semen dan besi. Sementara kebutuhan
lain, seperti biaya tenaga kerja,
diselesaikan oleh masyarakat secara
swadaya, sukarela dan musyawarah.
Faktor lain yang perlu disorot adalah
sinergi dengan lembaga akademis perlu
ditingkatkan dengan tidak mengabaikan
peran swasta. Perguruan tinggi maupun
lembaga penelitian dan pengembangan
berperan vital dalam menelurkan inovasi-
inovasi teknologi. Ini akan mengungkit
posisi kalangan akademisi selevel
dengan entitas bisnis dan pemerintah
dalam pembangunan desa. Dalam konsep
Triple Helix yang menjadi fokusnya
ialah sinergi kekuatan antara akademisi,
dunia industri, dan pemerintah. Kalangan
akademisi dengan sumber daya, ilmu
pengetahuan, dan teknologinya
memfokuskan diri dalam memberikan
berbagai temuan dan inovasi yang
aplikatif. Yang disokong pula dari
kalangan bisnis dengan melakukan
kapitalisasi yang memberikan
keuntungan ekonomi dan kemanfaatan
bagi masyarakat desa. Sedangkan
pemerintah berperan dalam menjamin
dan menjaga stabilitas hubungan
keduanya melalui regulasi yang
kondusif. Sehingga nampak bahwa
kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia dan keberadaan investor turut
menjadi kunci dalam pembangunan
ekonomi desa tersebut. Namun disini,
peran sentral dipegang oleh pemerintah
sebagai pemegang kunci utama untuk
membuat sebuah situasi yang kondusif
dengan regulasi yang dibuatnya.
Selanjutnya, Peran sektor swasta dan
dunia industri perlu diperluas. Sesuai
dengan konsep triple helix, maka ketiga
entitas tersebut yaitu akademisi, dunia
industri, pemerintah memiliki motivasi
untuk meningkatkan dinamika dan daya
ungkit ekonomi pedesaan, utamanya
dalam memperkuat munculnya suatu
kondisi di mana berbagai proses
kemunculan kebijakan inovasi yang
umumnya merupakan hasil interaksi
antar elemen masyarakat dan bukan lahir
dari regulasi pemerintah semata. Dalam
perkembangannya, Triple Helix
menghasilkan inovasi perekonomian
dalam negeri agar pemerintah tidak lagi
lambat dalam mengelola sumber daya
Edisi Agustus 2019
Wibowo
75
yang ada sehingga para investor cepat
melirik Indonesia sebagai pasar yang
potensial. Oleh karenanya, pemerintah
tidak akan bekerja sendirian, begitu juga
entitas perguruan tinggi dan dunia
industri, namun dapat saling bersinergi
dalam membangun desa-desa di
Indonesia. Jika berkaca dari Saemaul
Undong maka ketiga elemen diatas
mampu memberikan nilai lebih bagi
perubahan sikap dan nilai-nilai
masyarakat menjadi kegiatan produktif
melalui kampanye kebersamaan dan
saling tolong menolong. Konsep nilai ini
kemudian menyebar ke seluruh sendi
kehidupan level komunitas paling bawah
yakni desa. Refleksi bagi Indonesia, yang
beberapa tahun terakhir menggaungkan
revolusi mental, maka praktik berbagi
pengalaman dapat diadopsi di dalam
kelas-kelas pembelajaran diklat revolusi
mental bagi berbagai kalangan. Sehingga
perubahan pola pikir, cara pandang dan
cara kerja birokrasi dan regulasi
pemerintah dapat terwujud nyata bagi
pelayanan publik yang prima dan
berkomitmen mutu. Proses produksi
pemimpin yang berdedikasi dan
melayani dapat dimunculkan dari diklat
kepemimpinan yang selama ini telah
eksis, dapat lebih efektif jika mampu
disandingkan dengan diklat manajerial
pemerintahan, tujuannya agar aparatur di
level paling bawah, yakni di
pemerintahan desa mampu memberikan
teladan akan birokrasi yang melayani
yang berujung pada partisipasi aktif
masyarakat dalam pembanguan desa.
Indonesia pernah menjalankan program
yang serupa yakni Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri, yang diandalkan untuk mampu
mengentaskan lebih dari setengah juta
warga miskin namun fokusnya lebih
pada peningkatan infrastruktur serta
sedikit menyasar ekonomi, dan
pendidikan serta perubahan pola pikir
warga masyarakat.
5. DAFTAR RUJUKAN
Asian Development Bank. 2012. The
Saemaul Undong Movement in the
Republic of Korea: Sharing
Knowledge on Community-Driven
Development. Mandaluyong City,
Philippines.
Angelia, Yumi. undated. Saemaul
Undong : Modal Sosial sebagai
Energi Super Power dalam
Pembangunan di Korea.
Brandt, V.S.R. and M. Lee. 1979. Rural
Development Movement in Korea,
Korean National Commission for
the United Nations Educational,
Scientifc and Cultural
Organization (Seoul).
Choe, Chang-Soo. 2005. “Key factors to
successful community
development: the Korean
experience”, Discussion Paper
No.39, November, JETRO (Chiba,
Institute of Developing
Economies).
Sudiyono, Armand. 2010. Penetapan
Harga Seorang Politisi: Suatu
Kajian Teoritis. Pascasarjana
Program Magister Agribisnis
Universitas Muhammadiyah
Malang. Volume 13 Nomor 2 Juli
- Desember 2010.
Izzati, Muhammad Fakhrul, dan Wilopo.
2018. Implementasi Triple Helix
dalam Mendorong Pertumbuhan
Industri Kreatif di Kota Malang
Edisi Agustus 2019
Wibowo
76
sebagai Upaya Peningkatan Daya
Saing untuk Menghadapi
Masyarakat ekonomi
ASEAN.Jurnal Administrasi
Bisnis (JAB) Vol. 55 No. 1
Februari 2018 Universitas
Brawijaya Malang.
Lestari, Indah. 2016. Kerjasama
Pembangunan Korea Selatan di
Vietnam dalam Pengembangan
Area Pedesaan Melalui Model
Saemaul Undong. Jurnal Politik
Internasional Vol. 18 No. 2 Hlm.
177-201. Departemen Ilmu
Hubungan Internasional
Universitas Indonesia.
Park, D. 1974. Faculty Articles: Role,
Election and Skill of the Saemaul
(New Community) Leader.
Institute for Public Administration
Studies at Graduate School of
Public Administration, Seoul
National University, vol. 12, No.
2, pp. 2048 –2082.
Park, Sup and Heng Lee. 1997. State and
Farmers in Modern Korea: An
Analysis of Saemaul Movement.
Korean Political Science Review
31(3): 47-67.
Saemaul Movement Center. 2000.
Saemaul Movement’s 30 Years.
Seoul, Korea.
Sitorus, Hasan. 2016. Peranan Perguruan
Tinggi Dalam Penerapan Triple
Helix. JurnalAsia.id. Asia-Pacifc
Development Journal Vol. 16, No.
2, December 2009.
Sooyoung, Park. 2009. Analysis of
Saemaul Undong: A Korean Rural
Development Program in the
1970s.
Stiglitz, J. E. 2002. Participation and
Development: Perspectives from
the Comprehensive Development
Paradigm. Review of Development
Economics, 6(2): 163-182.
United Nations Development Programme
(UNDP). 2015. Saemaul Initiative
Towards Inclusive and Sustainable
New Communities:
Implementation Guide. Bureau for
Policy and Programme Support.
UNPAN. 2014. Effective Governance
System for Sustainable
Development in the Post-2015 Era.
United Nations Public Service
Forum, Day and Awards
Ceremony. United Nations Public
Administration Network.
Witjaksono, Mit. 2013. Siparti 3-S,
Triple Helix dan Modal Sosial
dalam Penguatan IKM. Paper
dalam Semnas Fekon: Optimisme
Ekonomi Indonesia 2013, Antara
Peluang dan Tantangan
Universitas Negeri Malang.
Witjaksono, M. (2014), Siparti 3-S, triple
helix, and social capital in
strengthening local competitive
industries in Indonesia. Journal of
Economics and Sustainable
Development, 5(3), 21-33.
Wulandari, Dwi. dkk. 2017. The
Development of Productive
Economy Cluster through Siparti
3-S and Triple Helix in Lumajang
Edisi Agustus 2019
Wibowo
77
Regency, Indonesia. International
Journal of Economics and
Financial Issues, 2017, 7(2), 25-
31.
http://technopark.surakarta.go.id/id/profil
/kondisi/the-triple-helix-model-of-
innovation.
https://www.researchgate.net/figure/Tripl
T-helix-model-University-
Industry-Government-
6_fig1_279070672.
https://triplehelix.stanford.edu/3helix_co
conce.
https://www.igiglobal.com/dictionary/tri
ple-helix/40797.
Edisi Agustus 2019
Fahri
Hal. 78 - 108
78
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fungsi Pemerintah yang
utama adalah menyelenggarakan
pelayanan umum sebagai wujud dari
tugas umum Pemerintahan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Birokrasi merupakan instrumen
Pemerintah untuk mewujudkan
pelayanan publik yang efisien, efektif,
berkeadilan, transparan dan akuntabel.
𝐋𝐮𝐭𝐟𝐡𝐢 𝐍.𝐅𝐚𝐡𝐫𝐢𝟏
KINERJA BIROKRASI PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH
DALAM KOMPLEKSITAS PERKEMBANGAN
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Bandung
Abstract
Specifically the purpose of writing in this text, namely (1) To explain related to
autonomy, autonomy of regions and autonomous regions; (2) To explain the related
bureaucracy that is the hope and reality in the current field; (3) To explain related to
bureaucratic performance; (4) To explain related factors that influence performance;
and (5) To explain the problems related to regional autonomy. The main issue raised
in this paper, which is related to the performance produced by the bureaucratic
system that is in the Regional Government, especially in the field of education, which
certainly has a high level of urgency in reaching a highly educated society. Education
has always been the prima donna in terms of performance from the Regional
Government because the field of education is always directly in contact with the wider
community from the lower, middle to upper classes. The performance of educational
bureaucracy is always highlighted by any stakeholders so that its existence is always
taken into account. Alternative solutions to the problems offered in this paper, namely
if the education bureaucracy wants quality, then: (1) Need for changes in service to
the community; (2) Bureaucracy must work responsibly or prioritize accountability;
and (3) All members of the organization must be tough in facing various challenges,
both internal and external.
Keywords: performance, bureaucracy, education, regional autonomy.
1 Penulis adalah Analis Pengembangan Kompetensi pada Seksi Kompetensi Pelaksana Bidang Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional, Pelaksana, Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah,
DPRD dan Lurah. Sedang menempuh Program Doktor Ilmu Pendidikan/ Manajemen Pendidikan pada
Universitas Islam Nusantara-Bandung.
Edisi Agustus 2019
Fahri
79
Hal ini berarti bahwa untuk mampu
melaksanakan fungsi Pemerintah dengan
baik, maka organisasi birokrasi harus
profesional, tanggap serta aspiratif
terhadap berbagai tuntutan masyarakat
yang dilayani. Seiring dengan hal
tersebut pembinaan Aparatur Negara
dilakukan secara terus menerus, agar
dapat menjadi alat yang efisien dan
efektif, bersih dan berwibawa, sehingga
mampu menjalankan tugas-tugas umum
Pemerintah maupun untuk menggerakan
pembangunan secara lancar dengan
dilandasi semangat dan sikap pengabdian
terhadap masyarakat. Hal seperti
dijelaskan di atas pun berlaku untuk
birokrasi yang bergerak di ranah
pendidikan agar dapat selalu berkinerja
dalam melaksanakan pelayanan publik,
khususnya pelayanan bidang pendidikan.
Adapun menurut Nurkolis (2013:
45) menjelaskan bahwa:
Istilah birokrasi telah
diperkenalkan oleh Marthin
Albrow sejak Tahun 1745 dan
hingga kini masih menjadi
pembicaraan hangat di masyarakat
terutama kalangan akademisi.
Sejak manusia lahir hingga
meninggal selalu terlibat dalam
urusan birokrasi. Anak lahir harus
memiliki akta kelahiran, mati pun
harus memiliki akta kematian.
Kenyataan ini membernarkan
pernyataan Etziomi Amitai dan
Gerald Caiden bahwa hidup ini
selalu membutuhkan birokrasi dan
birokrasi tidak bisa dihindarkan
dari kehidupan manusia.
Birokrasi sudah menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia sehari-hari. Bila kenyataanya
birokrasi adalah bagian kental dari
kehidupan manusia, kenapa banyak yang
membenci dan mencemooh birokrasi?
Apa yang salah dengan birokrasi? Apa
sebenarnya birokrasi itu? Seperti apakah
wajah birokrasi pendidikan kita?
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2015) mendefinisikan birokrasi sebagai:
1. Sistem Pemerintahan yang dijalankan
oleh Pegawai Pemerintah karena
berpegang pada hirarki dan jenjang
jabatan; serta 2. Cara bekerja atau
susunan pekerjaan yang serba lamban,
serta menurut tata aturan yang banyak
liku-likunya. Dari pengertian Kamus
Besar Bahasan Indonesia pun
menyatakan bahwa birokrasi adalah
sebuah cara kerja yang sangat lambat,
banyak aturan, menyusahkan
penggunanya dan lain sebagainya yang
bersifat negatif. Padahal birokrasi
tersebut merupakan alat bagi jalannya
suatu roda Pemerintahan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Bagaimana
bisa sejahtera bila alatnya pun tidak
dapat berjalan dengan cepat dan
responsif sesuai kebutuhan masyarakat
yang banyak dan beragam?
Sumaryadi (2016: 35) menyatakan
bahwa:
Birokrat tidak diidentik dengan
birokrasi. Birokrat adalah anggota
satu birokrasi yang terdiri atas
administrasi organisasi dan dari
berbagai bentuk, walaupun istilah
birokrat mengandung arti sebagai
seseorang dalam satu institusi
Pemerintah atau perusahaan.
Pekerjaan birokrat merupakan
pekerjaan meja (desk jobs) meski
birokrat modern ditemukan di
lapangan.
Edisi Agustus 2019
Fahri
80
Adapun Weber (Sumaryadi, 2016:
35-36) mendefinisikan seorang birokrat
(bereaucratic officials) sebagai berikut:
1. Secara personal bebas dan
ditunjuk untuk posisi tertentu.
2. Dia mempraktikan otoritas
yang didelegasikan kepadanya
dalam kaitannya dengan aturan-
aturan dan loyalitas-loyalitas
yang ditentukan atan nama
kepercayaan untuk tugas
pekerjaannya.
3. Penunjukan atau pengangkatan
dan penempatan pekerjaan
berdasarkan kualifikasi
teknisnya.
4. Pekerjaan administratifnya
merupakan pekerjaan full time.
5. Pekerjaannya dihargai dengan
gaji yang reguler dan prospek
pencapaian karier satu waktu
tertentu.
6. Dia harus melatih pendapatnya
dan keahliannya, tetapi
tugasnya adalah menempatkan
semua ini pada pelayanan
kepada otoritas yang lebih
tinggi.
7. Kontrol birokrasi adalah
penggunaan aturan, regulasi
dan otoritas formal untuk
menuntun perilaku. Termasuk
hal-hal seperti budget, laporan
statistik, penilaian prestasi
untuk mengatur tingkah laku
dan akibatnya.
Kemudian Abdullah (1984)
mengatakan bahwa:
Determinan penting untuk
meningkatkan kinerja birokrasi
Pemerintah adalah dibutuhkan
infrastruktur admnistrasi yang
memiliki kesiapan dan
ketangguhan pada semua tingkatan
dan tahapan yang meliputi: 1.
Organisasi pelaksana yang
berintikan birokrasi yang mantap
dan tangguh; 2. Sistem
administrasi atau tata laksana yang
efektif dan efisien; serta 3.
Susunan Aparatur atau personalia
yang berkemampuan tinggi dari
segi profesional, orientasional
yang disertai rasa dedikasi yang
tinggi.
Hal ini berarti bahwa kinerja
birokrasi Pemerintah dalam
merencanakan, mengimplementasikan
dan evaluasi serta pengendalian proses
pembangunan dan pelayanan masyarakat
sangat ditentukan oleh faktor
kelembagaan, ketatalaksanaan, Sumber
Daya Manusia (SDM), Aparatur dan
dukungan sarana dan prasarana yang
tersedia. Sorotan tajam tentang kinerja
birokrasi dalam menyelenggarakan
pelayanan publik menjadi wacana yang
aktual dalam studi administrasi Negara
akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya kinerja birokrasi dalam
memberikan pelayanan dan pada sisi lain
munculnya konsep privatisasi,
swastanisasi, kontrak kerja yang pada
intinya ingin meminimalkan campur
tangan Pemerintah yang terlalu besar
dalam pelayanan publik.
Menurut studi yang dilakukan oleh
beberapa pihak menunjukan bahwa
kinerja birokrasi dalam
menyelenggarakan pelayanan publik
lebih rendah ketimbang yang dilakukan
oleh pihak swasta atau kelembagaan
masyarakat lainnya. Bahkan beberapa
ahli menyatakan bahwa tugas Pemerintah
adalah mengarahkan bukan mengayuh
perahu. Memberikan pelayanan adalah
mengayuh dan Pemerintah tidaklah
pandai mengayuh.
Edisi Agustus 2019
Fahri
81
Selain itu Wikipedia (Nurkolis,
2013: 45) mendefinisikan birokrasi
sebagai suatu organisasi yang memiliki
rantai komando dengan bentuk piramida
dan biasanya ditemui pada instansi yang
sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi
serta tanggung jawab kerjanya
dideskripsikan dengan jelas dalam
organigram. Organisasi ini pun memiliki
aturan dan prosedur ketat sehingga
cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya
adalah biasanya terdapat banyak formulir
yang harus dilengkapi.
Birokrasi yang sederhana
memudahkan masyarakat menagih hak-
haknya. Artinya, di era otonomi Daerah
yang ditandai dengan pemilihan langsung
Kepala Daerah secara langsung,
masyarakat tidak perlu kehilangan
banyak waktu hanya sekadar mengurus
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
dokumen kenegaraan lainnya. Hal
tersebut mengingat tujuan kebijakan
desentralisasi, yaitu guna menciptakan
suatu sistem pembagian kekuasaan
Antardaerah yang mapan dimana
Pemerintah Pusat dapat meningkatkan
kapasitas, memperoleh dukungan
masyarakat dan mengawasi pembagian
sumber daya dengan adil. Menurut
Nurbarani (2009: 2) mengatakan bahwa:
Desentralisasi yang juga
merupakan bentuk pelaksanaan
dari demokrasi lokal dengan
memanfaatkan keefektivitasan
Pemerintah Daerah pada akhirnya
juga diharapkan dapat mendorong
Pemerintah Daerah agar lebih
bertanggung jawab dalam
mengelola dan memberikan
pelayanan kepada masyarakat
yang ada di Daerah.
Pelayanan kepada masyarakat
merupakan hal utama bagi birokrasi di
Indonesia. Tanpa adanya sikap yang baik
dalam bentuk kinerja mempermudah
urusan masyarakat, maka semangat
desentralisasi dan otonomi Daerah akan
pudar. Pasalnya, pendelegasian
wewenang yang dahulu dimiliki secara
mutlak oleh Pemerintah Pusat kini telah
menjadi kewenangan sepenuhnya
Pemerintah di Daerah. Namun demikian,
setelah genderang otonomi Daerah
ditabuh sejak awal reformasi Tahun 1998
hingga kini potret pelayanan kepada
masyarakat belum memuaskan. Dalam
survey yang dilakukan oleh Dwiyanto
dkk. (Alfiandri, 2012: 180-181) bahkan
dijelaskan bahwa „Nilai capaian kinerja
birokrasi dalam hal produktivitas kualitas
layanan, responsivitas, responsibilitas
dan akuntabilitas birokrasi masih sangat
rendah‟.
Hal itu terbukti dari hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa dari
segi orientasi pelayanan birokrasi, masih
cenderung tidak sepenuhnya
mencurahkan waktu dan tenaga untuk
menjalankan tugas melayani rakyat.
Setiyono (2004: 131) menyatakan
bahwa:
Hampir 40% birokrat yang
menjadi responden dalam
penelitian itu menyatakan bahwa
mereka memiliki pekerjaan lain di
luar pekerjaannya sebagai
Aparatur Negara. Kondisi ini
otomatis mengurangi konsentrasi
mereka dalam bekerja sehingga
tidak fokus mengerjakan tugas-
tugasnya.
Menilik kondisi demikian, terlihat
bahwa semangat desentralisasi belum
menyatu dalam diri Aparatur Negara di
Daerah. Masih banyak Aparatur yang
Edisi Agustus 2019
Fahri
82
berjiwa sentralisasi, sehingga tugas-tugas
menyejahterakan rakyat di Daerah belum
mampu diemban dengan baik. Ironisnya,
Aparatur di Daerah pun seringkali belum
memahami kewenangan yang luas di era
desentralisasi ini. Aparatur Pemerintah
Daerah sudah selayaknya mampu
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen
Pemerintahan, seperti perencanaan
(planning), pengorganisasian
(organizing), pengarahan (actuating) dan
pengawasan (controlling) secara mandiri
dan bebas dari campur tangan
Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi
juga Daerah dapat menentukan bentuk
organisasi, mengembangkan budaya
birokrasi dan menentukan standar kriteria
pencapaian tujuan yang dipandang sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi lokal
(Nurbarani, 2009: 5).
Namun, kini birokrasi tidak lagi
mampu memenuhi tuntutan masyarakat
tersebut. Birokrasi lama yang didesain
untuk bekerja lambat, berhati-hati dan
metodologis sudah tidak dapat diterima
oleh konsumen yang memerlukan
pelayanan cepat, efisien, tepat waktu dan
simpel (sederhana). Apalagi sekarang
telah memasuki era globalisasi yang
menuntut segala sesuatunya berjalan
serba cepat dan tepat.
Pendidikan merupakan suatu usaha
yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi Peserta Didik.
Upaya dalam memaksimalkan
pendidikan di Indonesia, maka
Pemerintah mengambil sebuah kebijakan
Nasional sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, urusan
pendidikan diserahkan kepada Daerah
dalam hal pendidikan menengah, dasar,
khusus, anak usia dini dan non formal.
Hal ini berarti bahwa Daerah mempunyai
wewenang di dalam mengatur dan
mengelola pendidikan yang ada di
Daerahnya (Tilaar, 2012: 64).
Menurut Bray dan Fiske
(Departemen Pendidikan Nasional, 2001:
3) menyatakan bahwa:
Desentralisasi pendidikan adalah
suatu proses dimana suatu lembaga
yang lebih rendah kedudukannya
menerima pelimpahan
kewenangan untuk melaksanakan
segala tugas pelaksanaan
pendidikan, termasuk pemanfaatan
segala fasilitas yang ada serta
penyusunan kebijakan dan
pembiayaan.
Senada dengan itu, Husen dan
Postlethwaite (1994: 107) mengartikan
desentralisasi pendidikan sebagai “The
devolution of authority from a higher
level of government, such as a
department of education or local
education authority, to a lower
organizational level, such as individual
schools” (Devolusi kewenangan dari
tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi,
seperti Departemen Pendidikan atau
otoritas pendidikan lokal, ke tingkat
organisasi yang lebih rendah, seperti
sekolah-sekolah individu). Sementara itu,
menurut Gaffar (1990: 18) desentralisasi
pendidikan merupakan:
Sistem manajemen untuk
mewujudkan pembangunan
pendidikan yang menekankan pada
keberagaman, dan sekaligus
sebagai pelimpahan wewenang
dan kekuasaan dalam pembuatan
keputusan untuk memecahkan
berbagai problematika sebagai
Edisi Agustus 2019
Fahri
83
akibat ketidaksamaan geografis
dan budaya, baik menyangkut
substansi Nasional, Internasional
atau universal sekalipun.
Penyerahan kewenangan yang
cukup luas kepada Pemerintah Daerah
saat ini selalu menjadi momok dalam
kajian-kajian kontemporer dan isu-isu
aktual yang sering menjadi perbincangan
berbagai pihak. Hal ini pun karena
otonomi yang diberikan kepada Daerah
tidak dibarengi dengan kesiapan
Aparatur Daerah-nya dalam mengelola
urusan-urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah sehingga
kinerja dari birokrasi Pemerintah Daerah
dirasa masyarakat masih jauh dari
harapan.
Pendidikan pun merupakan hal
yang diserahkan kepada Daerah, dimana
dalam pengelolaannya untuk pendidikan
menengah dan pendidikan luar biasa
diserahkan kepada Pemerintah Provinsi
dan untuk pendidikan dasar serta
pendidikan anak usia dini diserahkan
kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota.
Sempat terjadi perbincangan yang alot
antara pembagian kewenangan urusan
pendidikan ini, dimana yang sebelumnya
bahwa pendidikan menengah merupakan
urusan kewenangan Pemerintah
Kabupaten/ Kota, melalui Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa urusan tersebut beralih ke
Pemerintah Provinsi. Banyak program
dan kegiatan di Kabupaten/ Kota yang
alokasi anggarannya untuk urusan
pendidikan menengah, menjadi tidak
dapat dilaksanakan karena beralihnya
urusan kewenangan dimaksud ke
Pemerintah Provinsi.
Untuk itulah Penulis merasa
tertarik untuk melakukan kajian lebih
mendalam terkait hal ini dalam artikel
yang berjudul “KINERJA
BIROKRASI PENDIDIKAN ERA
OTONOMI DAERAH DALAM
KOMPLEKSITAS
PERKEMBANGAN”.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
Penulis utarakan di atas, maka rumusan
masalah dalam artikel ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan otonomi,
otonomi Daerah dan Daerah otonom?
2. Bagaimana terkait birokrasi yang
menjadi harapan dan kenyataannya di
lapangan saat ini?
3. Bagaimana terkait dengan kinerja
birokrasi?
4. Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja?
5. Apa dan bagaimana terkait dengan
masalah-masalah otonomi Daerah?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penulisan
dalam artikel ini, yaitu untuk
mengetahui, mengkaji dan
menganalisis secara kritis terkait
kinerja birokrasi pendidikan era
otonomi Daerah dalam
kompleksitas perkembangan.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penulisan
dalam artikel ini, yaitu:
1) Menjelaskan terkait dengan
otonomi, otonomi Daerah dan
Daerah otonom;
Edisi Agustus 2019
Fahri
84
2) Menjelaskan terkait birokrasi
yang menjadi harapan dan
kenyataannya di lapangan saat
ini;
3) Menjelaskan terkait dengan
kinerja birokrasi;
4) Menjelaskan terkait faktor-
faktor yang mempengaruhi
kinerja; serta
5) Menjelaskan terkait dengan
masalah-masalah otonomi
Daerah.
2. Manfaat Penulisan Makalah
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang terkandung
dalam artikel ini, yaitu selain
menambah khazanah keilmuan
bidang manajemen pendidikan
juga secara minimal dapat
menambah prinsip-prinsip umum
dalam kinerja birokrasi pendidikan
era otonomi Daerah dalam
kompleksitas perkembangan.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penulisan
yang tertuang dalam artikel ini,
yaitu dapat menjadi bahan
masukan bagi para praktisi
pendidikan dalam menganalisis
kinerja birokrasi pendidikan era
otonomi Daerah dalam
kompleksitas perkembangan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Otonomi, Otonomi Daerah
dan Daerah Otonom
1. Pengertian Otonomi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2015), otonomi adalah “Pola
Pemerintahan sendiri”. Kemudian
menurut Sarundajang (Rosidin, 2015: 75)
yang dimaksud dengan „otonomi atau
autonomy berasal dari Bahasan Yunani,
auto yang berarti sendiri dan nomous
yang berarti hukum atau peraturan‟.
Dengan demikian Rosidin (2015: 75)
menyatakan bahwa otonomi adalah
“Pemerintahan yang mampu
menyelenggarakan Pemerintahan yang
dituangkan dalam peraturan sendiri
sesuai dengan aspirasi masyarakatnya”.
Lebih lanjut Dwidjowijoto (2000:
46) mengatakan bahwa:
Secara prinsipil, ada dua hal yang
tercakup dalam otonomi, yaitu hak
wewenang untuk memanajemeni
Daerah dan tanggungjawab
terhadap kegagalan dalam
memanajemeni Daerah-nya,
sementara Daerah dalam arti local
state government adalah
Pemerintah di Daerah yang
merupakan kepanjangan tangan
dari Pemerintah Pusat.
Widjadja (2002: 7) menyatakan
bahwa “Dengan adanya otonomi, Daerah
diharapkan lebih mandiri dalam
menentukan seluruh kegiatannya dan
Pemerintah Pusat diharapkan tidak
terlalu aktif mengatur Daerah”.
Pemerintahan Daerah diharapkan mampu
memainkan perannya dalam membuka
peluang memajukan Daerah tanpa
intervensi dari pihak lain, yang disertai
dengan pertanggungjawaban publik
(masyarakat Daerah), serta kepada
Pemerintah Pusat sebagai konsekuensi
dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Adapun Sarundajang (2000: 32)
mengatakan bahwa:
Di Negara kesatuan (unitarisme),
otonomi Daerah diberikan oleh
Pemerintah Pusat (central
govenrment), sedangkan
Pemerintah Daerah hanya
Edisi Agustus 2019
Fahri
85
menerima penyerahan dari
Pemerintah Pusat. Berbeda halnya
dengan otonomi Daerah di Negara
federal, yang otonomi Daerah-nya
telah melekat di Negara-Negara
bagian sehingga urusan yang
dimiliki oleh Pemerintah federal
pada hakikatnya diserahkan oleh
Negara bagian.
Irwan (2008: 89) menjelaskan
bahwa dalam otonomi terdapat nilai yang
hakiki, yakni nilai demokrasi dan
prakarsa sendiri. Menurut Hatta (Irwan,
2008: 89) menyatakan bahwa:
Otonomisasi tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi, tetapi
mendorong berkembangnya
prakarsa sendiri, yang berarti
pengambilan keputusan sendiri
dan pelaksanaan sendiri
kepentingan masyarakat setempat.
Dengan demikian demokrasi, yaitu
Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat
dapat dicapai. Rakyat tidak saja
menentukan nasibnya sendiri, melainkan
juga memperbaiki nasibnya sendiri.
Selain itu menurut Arenawati (2014: 34)
otonomi dapat diterjemahkan sebagai
berikut:
a) Menurut Einsemen otonomi
adalah kebebasan untuk
membuat keputusan sendiri
dengan tetap menghormati
perundang-undangan.
b) Gie berpendapat bahwa
otonomi adalah wewenang
untuk menyelenggarakan
kepentingan sekelompok
penduduk yang berdiam dalam
suatu lingkungan wilayah
tertentu yang mencakup
mengatur, mengurus,
mengendalikan dan
mengembangkan berbagai hal
yang perlu bagi kehidupan
penduduk.
c) Otonomi adalah hal yang
diberikan kepada penduduk
yang tinggal dalam suatu
wilayah tertentu untuk
mengatur, mengurus,
mengendalikan dan
mengembangkan urusannya
sendiri dengan tetap
menghormati peraturan
perundangan yang berlaku.
2. Pengertian Otonomi Daerah
Sesuai dengan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang dimaksud dengan otonomi
Daerah adalah “Hak, wewenang dan
kewajiban Daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan
Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sehingga Safitri (2016: 79) berpendapat
bahwa:
Dari pengertian di atas tampak
bahwa Daerah di beri hak otonom
oleh Pemerintah Pusat untuk
mengatur dan mengurus
kepentingan sendiri. Dalam hal ini
hak dan wewenang yang diberikan
terutama untuk mengelola
kekayaan alam dan ekonomi
rumah tangganya sendiri.
Lebih lanjut Safitri (2016: 79)
mengemukakan bahwa “Otonomi Daerah
adalah suatu keadaan yang
memungkinkan Daerah dapat
Edisi Agustus 2019
Fahri
86
mengaktualisasikan segala potensi
terbaik yang dimilikinya secara optimal”.
Selain itu, menurut Suparmoko (Safitri,
2016: 80) mengartikan otonomi Daerah
adalah “Kewenangan Daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat”. Sesuai dengan
penjelasan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah,
bahwa pemberian kewenangan otonomi
Daerah didasarkan kepada desentralisasi
dalam wujud otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab.
Irwan (2008: 89) berpendapat
bahwa “Inti otonomi Daerah adalah
kebebasan masyarakat setempat untuk
mengatur dan mengurus kepentingan
sendiri yang bersifat lokalitas untuk
terselenggaranya kesejahteraan”. Adapun
menurut Arenawati (2014: 33)
menyatakan bahwa “Otonomi Daerah
pada saat ini dianggap sebagai panacea
(obat mujarab) segala penyakit
Pemerintahan. Otonomi Daerah juga
dimitoskan sebagai dewa kamajuan
Pemerintahan”. Lebih lanjut Said
(Arenawati, 2014: 33) mengatakan
bahwa “Otonomi Daerah seakan harus
merupakan bagian dari reformasi
Pemerintahan dan bagian tak terpisahkan
dari upaya demokrasi”.
Menurut Arenawati (2014: 33)
menjelaskan bahwa:
Otonomi Daerah dilahirkan
sebagai wujud kepercayaan
Pemerintah pada Daerah. Melalui
kepercayaan tersebut diharapkan
Pemerintah Daerah dapat
mengelola Daerah-nya dengan
lebih baik, efisien, adil dan merata.
Otonomi Daerah dicanangkan
dalam rangka tercapainya suatu
bangsa yang lebih demokratis dan
sistem Pemerintahan yang lebih
responsif.
Otonomi Daerah menjadi bahasan
yang menarik, karena dalam konsep
otonomi tersebut terkandung makna
pembagian kewenangan, desentralisasi,
pola hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah. Dengan adanya otonomi Daerah
di Indonesia ini menjadi bahan kajian
yang tiada henti karena masih banyak
yang beranggapan belum idealnya bentuk
formulasi otonomi Daerah di Indonesia
ini. Selalu hal tersebut menjadi suatu
bahan isu aktual yang selalu
diperbincangkan, apalagi dengan adanya
undang-undang terbaru di Tahun 2014
yang mengatur terkait Pemerintah
Daerah dimana kebijakan tersebut saat
ini masih menuai pertanyaan-pertanyaan
di berbagai kalangan.
3. Pengertian Daerah Otonom
Sesuai dengan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang dimaksud dengan Daerah
otonom yang selanjutnya disebut Daerah
adalah:
Kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat
Edisi Agustus 2019
Fahri
87
dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tujuan utama pembentukan
Daerah otonom ialah memberikan
kemandirian kepada Daerah untuk
mengurus rumah tangga sendiri dan
mampu membangun pertumbuhan
ekonomi dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Menurut Arenawati
(2014: 34) menyatakan bahwa Daerah
otonom adalah “Daerah yang jelas batas-
batasnya dan memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku”.
Daerah otonom adalah Daerah di
dalam suatu Negara yang memiliki
kekuasaan otonom, atau kebebasan dari
Pemerintah di luar Daerah tersebut.
Biasanya suatu Daerah diberi sistem ini
karena keadaan geografinya yang unik
atau penduduknya merupakan minoritas
Negara tersebut, sehingga diperlukan
hukum-hukum yang khusus, yang hanya
cocok diterapkan untuk daerah tersebut.
Di Indonesia, tidak dikenal lagi
pembedaan antara pengertian Daerah dan
Daerah otonom. Oleh karena semua
Daerah di Indonesia sejak
dilaksanakannya otonomi Daerah telah
diberikan hak untuk menjadi Daerah
otonom. Ini berarti setiap Daerah di
Indonesia memiliki hak untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga Daerah-nya
sendiri, dimana hak dan kewenangan
tersebut diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Bedasarkan rumusan di atas
terdapat unsur-unsur yang terkandung
dalam Daerah otonom, yaitu sebagai
berikut:
a) Unsur Batas Wilayah
Artinya adalah bahwa suatu Daerah
harus mempunyai wilayah dengan
batas-batas yang jelas sehingga dapat
dibedakan antara satu Daerah dengan
daerah yang lainnya. Sebagai suatu
kesatuan masyarakat hukum, batas
suatu wilayah adalah sangat penting
dan menentukan untuk menjamin
kepastian hukum bagi Pemerintah dan
masyarakat dalam melakukan
interaksi hukum, misalnya dalam
penetapan kewajiban tertentu sebagai
warga masyarakat serta pemenuhan
hak-hak masyarakat sebagai warga
masyarakat serta pemenuhan
masyarakat terhadap fungsi pelayanan
umum Pemerintahan dan peningkatan
kesejahteraan secara luas kepada
masyarakat setempat.
b) Unsur Pemerintahan
Dalam unsur Pemerintahan ini,
elemen Pemerintah Daerah adalah
meliputi Pemerintah Daerah dan
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sebagai
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Eksistensi Pemerintahan di Daerah
berlandaskan atas “legitimasi”
(seberapa jauh masyarakat mau
menerima dan mengakui kewenangan,
keputusan atau kebijakan yang
diambil oleh seorang pemimpin).
Undang-undang yang memberikan
kewenangan kepada Pemerintah
Daerah untuk menjalankan urusan
pemerintahan yang berwenang
mengatur berdasarkan kreativitasnya
sendiri.
c) Unsur Masyarakat
Dalam unsur masyarakat ini,
masyarakat sebagai elemen
Pemerintahan yang dalam artian
Edisi Agustus 2019
Fahri
88
merupakan kesatuan masyarakat
hukum, baik “gemeinschaft”
(biasanya terdapat pada masyarakat
Desa) maupun “gesselschaft”
(kehidupan masyarakat yang ditandai
dengan perhitungan untung-rugi/
Kota), jelas mempunyai tradisi,
kebiasaan dan istiadat yang turut
mewarnai sistem Pemerintahan
Daerah, mulai dari bentuk cara
berpikir, bertindak dan kebiasaan
tertentu dalam masyarakat.
B. Birokrasi Harapan dan Kenyataan
1. Birokrasi Harapan
Seperti kita ketahui bahwa ada
perbedaan pendapat dalam memberikan
makna kepada organisasi birokrasi.
Makna-makna itu, antara lain:
a) Makna Positif
Yaitu organisasi birokrasi dikatakan
sebagai organisasi legal-rasional yang
bekerja secara efisien dan efektif.
Birokrasi adalah organisasi yang
membantu masyarakat dalam
mencapai tujuan-tujuannya secara
efektif dan efisien. Pendukung makna
positif ini adalah Max Weber dan
Harold Laski.
b) Makna Negatif
Yaitu organisasi birokrasi dikatakan
sebagai organisasi yang penuh dengan
patologi (penyakit) dan juga birokrasi
adalah alat penguasa untuk menindas
rakyatnya, yang berarti harus selalu
tunduk dan patuh pada penguasa dan
tidak perlu memperhatikan rakyatnya.
Oleh karena birokrasi dipandang tidak
bermanfaat bagi rakyat, bahkan
merugikan rakyat. Pendukung makna
negatif ini adalah Karl Max dan
Hegel.
c) Makna Netral (Value Free)
Yaitu keseluruhan Pejabat Negara
pada cabang eksekutif atau setiap
organisasi yang berskala besar yang
pegawainya digaji oleh Pemerintah
(Negara).
Birokrasi dipandang sebagai
organisasi yang menjalankan pekerjaan
teknis administratif dari kehidupan
pemerintah (Negara). Pendukung dari
makna netral ini adalah generasi Martin
M. Blau dan lain-lain.
Berdasar pada ketiga makna
tersebut di atas, tentunya birokrasi masa
depan haruslah yang bermakna positif,
atau paling tidak bermakna netral. Oleh
karena itu sangatlah dihindari dan dijauhi
birokrasi yang bermakna negatif.
Sehingga hubungan antara masyarakat
dan birokrasi harus tercipta hubungan
simbiosis mutualisme, hubungan yang
saling menguntungkan karena memang
keduanya sama-sama membutuhkan.
Bagaimana agar hal itu bisa tercapai?
Sebuah ide tentang birokrasi harapan
bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Perubahan pelayanan kepada
masyarakat. Ke depan, keberanian
masyarakat untuk menuntut haknya
semakin jelas. Oleh karena itu
perubahan anggapan kepada
masyarakat sebagai konsumen yang
harus dilayani, tidak bisa ditunda lagi.
Pelayanan kepada masyarakat harus
kepada pelayanan yang bersikap
ramah, terbuka terhadap kritik dan
tidak pilih-pilih (tidak membedakan
masyarakat dari penampilannya atau
karena kenal/ tidak kenal).
2. Birokrasi harus bekerja dengan
bertanggung jawab atau
mengutamakan akuntabilitas. Kata
”bertanggung jawab” di sini
Edisi Agustus 2019
Fahri
89
mengandung makna luas dan
mendalam. Seseorang dikatakan
bertanggung jawab, ketika dia mampu
menyelesaikan tugas dengan baik
tanpa cela. Mampu menyelesaikan
tugas dengan baik berarti pula dia
mampu bekerja secara cepat (sesuai
waktu yang ditentukan) dan tepat
(tidak melanggar peraturan-peraturan
yang sudah ditetapkan, yang dalam
Bahasa Jawa disebut bener lan pener.
Artinya, seorang birokrat dikatakan
bekerja dengan bertanggung jawab
dia sudah mampu melaksanakan tugas
dengan baik, dengan indikator-
indikator sebagai berikut: a) Kepada
masyarakat mampu melayani dengan
baik, seperti poin 1 di atas; b) Kepada
atasan, mampu menunjukan
prestasinya tanpa diembel-embeli
dengan cara-cara yang tidak etis,
misalnya suap, sogok, ”mencari
muka” atau menerapkan slogan Asal
Bapak Senang (ABS); c) Kepada
teman-teman sejawat atau partner
kerjanya, mampu menjalin hubungan
atau relationship dengan baik, yaitu
bersaing dalam pekerjaan secara fair,
tidak suka menfitnah, tidak
menelikung dari belakang prestasi
teman, mudah meminta maaf dan
memaafkan, dan sebagainya; d)
Kepada pekerjaannnya, tidak
menganggapnya sebagai beban tetapi
sebagai sebuah amanah yang
diberikan kepadanya sehingga
merupakan ibadah yang apabila
dilaksanakan dengan baik akan
mendapat pahala, dan apabila tidak
melaksanakan dengan baik atau
mengabaikannya akan mendapat
hukuman atau masuk neraka; e)
Mensyukuri atas nikmat yang
diberikan kepada Allah SWT. Posisi
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
adalah posisi yang diidam-idamkan
banyak orang. Kita sering
menyaksikan di media massa, banyak
antrian masyarakat yang ingin
mendaftar sebagai PNS. Dan kalau
sudah diterima menjadi PNS, harus
mewujudkan rasa syukur itu dengan
ibadah; f) berkaitan dengan posisinya
sebagai PNS, maka memang harus
diawali dengan perjuangan dan doa.
Artinya para Pegawai birokrasi itu
harus dilihat dulu bagaimana proses
rekrutmen ketika dia masuk menjadi
PNS. Apakah murni berdasarkan hasil
tes tertulis dan tes wawancara, atau
karena menggunakan cara pintas
dengan menyogok kepada pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kalau proses rekrutmen itu dasarnya
adalah kejujuran atau murni karena
kapabilitas dia, maka tentunya
kinerjanya juga pasti akan bagus.
Tetapi sebaliknya, apabila proses
rekrutmennya sudah cacat, maka
kinerjanya juga pasti akan cacat atau
banyak masalah.
3. Seluruh anggota organisasi harus
tangguh menghadapi berbagai
tantangan, baik internal maupun
eksternal. Negara dan bangsa ini
membutuhkan orang-orang yang
tangguh dan kuat dalam segala hal,
bukan yang lemah, lembek dan tidak
kuat iman. Karena kondisi bangsa saat
ini sudah sangat memprihatinkan,
sehingga perubahan dalam organisasi
birokrasi adalah suatu keniscayaan.
Yang dimaksud tangguh secara
internal adalah tangguh dalam hal
motivasi dan keinginan yang datang
dari dalam diri sendiri. Motivasi
untuk maju, berkembang, beribadah,
bekerja dengan baik serta harus
tangguh. Artinya, tidak gampang
Edisi Agustus 2019
Fahri
90
terpengaruh oleh teman sekantornya
untuk bekerja semaunya sendiri,
sering membolos, mangkir dan
sebagainya. Tangguh dalam hal
keinginan adalah keinginan untuk
hidup santai, bergelimang kemewahan
dan sebagainya. Karena pada
akhirnya keinginan-keinginan itu
hanya bermuara pada satu hal, yaitu
korupsi. Keinginan untuk hidup enak
dan bergelimang kemewahan tidak
mungkin dinikmati oleh PNS jika
hanya mengandalkan dari gaji semata,
meskipun sudah ditambah dengan
remunerasi. Padahal carut marutnya,
amburadulnya organisasi birokrasi
saat ini sebab utamanya adalah
korupsi. Oleh karena itu ketangguhan
dari keinginan untuk korupsi amat
sangat dibutuhkan. Sedangkan
tangguh secara eksternal adalah
tangguh terhadap terpaan godaan dari
luar. Ketika masyarakat sudah
semakin pandai, tentunya semakin
berani pula mereka dalam menuntut
haknya. Penyampain kritik yang
sebelumnya masih dengan bahasa
yang sopan dan hati-hati, sekarang
menjadi lebih lugas dan tegas. Tahan
terhadap kritik adalah ketangguhan
yang harus dimiliki oleh birokrat.
Bukan dibalas dengan kemarahan dan
membalas dendam dengan pelayanan
yang semaunya sendiri.
Tiga hal di atas apabila
dilaksanakan dengan baik, niscaya akan
membawa pada hubungan simbiosis
mutualisme, seperti yang sudah disebut
di atas. Masyarakat puas dengan kinerja
birokrasi dan sebaliknya anggota
birokrasi akan mampu bekerja dengan
baik tanpa direpoti dengan kritik, hujatan
dan demo-demo yang tak habis-habisnya.
2. Birokrasi Kenyataan
Bahwa pada saat ini (kenyataan)
organisasi birokrasi telah menunjukkan
gejala penuh rekayasa atau sering disebut
sebagai politisasi birokrasi. Politisasi
birokrasi ini bertujuan tidak lain untuk
melanggengkan kekuasaan para Pejabat.
Gejala-gejala politisasi birokrasi tersebut
terjadi disebabkan, antara lain:
Pertama, penggunaan fasilitas
Negara, yaitu berupa penggunaan
fasilitas Negara pada saat menjelang
Pemilihan Umum (Pemilu) yang
dilakukan oleh seorang calon Kepala
Daerah yang incumbent. Penggunaan
fasilitas Negara ini terjadi pada saat
proses rapat-rapat konsolidasi, lobi
politik dengan partai politik lain dan
kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas
Negara yang biasanya dimanfaatkan
adalah mobil dinas, pakaian dinas dan
ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik
Negara;
Kedua, mobilisasi PNS pada saat
Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada), yaitu mobilisasi (pengerahan)
PNS pada saat Pilkada. Dalam setiap
Pemilu, suara PNS menjadi salah satu
modal yang menjanjikan. Pemanfaatan
suara PNS ini jelas sangat mudah bagi
kandidat incumbent. Dengan iming-
iming janji akan diberi jabatan atau
perintah untuk mendukung atasannya,
mobilisasi PNS pada saat Pemilu dan
Pilkada sangat banyak terjadi, baik
proses pemilihan di tingkat Kabupaten/
Kota, Provinsi dan juga Pusat;
Ketiga, kompensasi jabatan, yaitu
banyak terjadi dan mudah dilihat di
tingkat Pusat. Pasca gerakan reformasi
Tahun 1998, terjadi kecenderungan
intervensi politisi terhadap berbagai
kebijakan birokrasi. Muncul fenomena
masuknya aktor-aktor politik baru ke
dalam sistem Pemerintahan. Dalam
Edisi Agustus 2019
Fahri
91
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II,
terlihat bahwa partai-partai yang
berkoalisi dengan Partai Demokrat
mendapatkan jatah kursi di kabinet. Pada
jabatan-jabatan strategis (Sekretaris
Daerah (Sekda), Kepala Biro (Karo),
Kepala Dinas (Kadis), Kepala Kantor
dan Kepala Badan (Kaban)) menjadi
ajang lobi politik antara partai pemenang
dengan partai-partai lainnya. Dampak
yang muncul dari kompensasi jabatan
antara penguasa dan partai politik adalah
terganggunya kinerja birokrasi yang
seharusnya memegang teguh merit
sistem (berdasar profesionalisme).
Keempat, rekrutmen PNS baru,
selain kompensasi jabatan, deal-deal
yang terjadi antara penguasa dan partai-
partai koalisi adalah pemberian jatah
pada saat Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah akan mengadakan
rekrutmen PNS baru. Dan pembagian
jatah itu jelas terlihat karena untuk
menjadi PNS harus ada yang
”membawa” (memberi rekomendasi).
Dan salah satu pihak yang bisa
”membawa” adalah (atas nama) partai-
partai politik;
Kelima, komersialisasi jabatan.
Hal ini dilakukan karena Aparat harus
mengembalikan ”modal” yang sudah dia
keluarkan pada saat masuk menjadi
Pegawai/ Pejabat, dan Pelatihan yang dia
ikuti hanya sebagai syarat formal saja
karena untuk mengisi jabatan bukan
berdasar pada merit sistem, tapi pada
kedekatan seseorang dengan penguasa;
Keenam, pencopotan jabatan karir
(Sekda) karena alasan politis.
Pencopotan ini dilakukan karena Kepala
Daerah harus mengakomodir pihak-pihak
yang berkepentingan. Dan sekali lagi,
pencopotan ini tujuannya bukan pada
peningkatan kualitas kinerja, tetapi hanya
sekedar memenuhi nafsu untuk
melanggengkan kekuasaannya.
Dari gejala-gejala pada masa kini
(kenyataan) tersebut, kemudian
munculah tiga tipe politisasi terhadap
birokrasi di Indonesia, yaitu:
Pertama, politisasi secara terbuka
yang berlangsung pada periode
Demokrasi Parlementer (1950-1959). Di
masa ini, para pemimpin Partai Politik
(Parpol) bersaing untuk memperebutkan
posisi Menteri yang langsung memimpin
sebuah Kementerian. Setelah menduduki
kursi Menteri, maka sang Menteri akan
berusaha sekuat tenaga memperlihatkan
kepemimpinannya dan kebijakan yang
ditempuhnya sehingga para Pegawai di
Kementerian tersebut tertarik untuk
masuk ke dalam partai sang Menteri.
Kedua, politisasi setengah terbuka
pada masa periode Demokrasi
Terpimpin. Dikatakan setengah terbuka
karena politisasi birokrasi hanya
diperuntukkan bagi parpol-parpol yang
mewakili golongan-golongan Nasionalis,
Agama dan Komunis (Nasakom).
Ketiga, tipe politisasi secara
tertutup yang berlangsung pada masa
Orde Baru. Mulai dari Presiden Soeharto
sampai ke tingkat Lurah adalah anggota
yang sekaligus pembina Golkar.
Meskipun diakui bahwa penerapan
kebijakan mono-loyalitas birokrasi pada
masa Orde Baru ikut membantu
menciptakan stabilitas dan kemampuan
umum Pemerintah yang memungkinkan
Pemerintah didukung birokrasi untuk
melakukan pembangunan di berbagai
bidang.
Dari kondisi carut marut birokrasi
seperti di atas, maka jelas kinerjanyapun
juga akan carut marut dan amburadul.
Sudah waktunya organisasi birokrasi
harus berubah, dan tidak bisa ditunda
Edisi Agustus 2019
Fahri
92
lagi dengan alasan apapun dan
bagaimanapun.
C. Kinerja Birokrasi
Kinerja birokrasi Pemerintahan
adalah struktur Pemerintahan yang
terstruktur yang berfungsi memproduksi
jasa publik atau layanan tertentu
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
dengan mempertimbangkan berbagai
pilihan dari lingkungan Pemerintah
selaku provider harus mengantar dan
menyerahkan produk itu sampai ditangan
masyarakat pada saat di butuhkan dan
tidak sebaliknya, dengan harapan
masyarakat mampu menggunakan
produk tersebut sedemikian rupa
sehingga manfaatnya maksimal (Ndraha,
2003).
Sedangkan menurut Kristiadi
(dalam Afrizal, 2018: 56), kinerja
birokrasi ialah “Susunan yang
terorganisir secara hirarkis dengan
struktur hubungan kewenangan yang
jelas untuk mencapai tujuan tertentu
dengan cara mengkoordinasi secara
sistematis pekerjaan dari banyak orang”.
Ruang lingkup birokrasi dapat diketahui
berdasarkan perbedaan tugas pokok dan
misi yang mendasari birokrasi adalah: 1.
Birokrasi Pemerintahan umum, yaitu
rangkaian organisasi Pemerintahan yang
menjalankan tugas-tugas Pemerintahan
umum dari tingkat Pusat sampai Daerah
(Provinsi, Kabupaten/ Kota, Kecamatan
dan Desa/ Kelurahan); 2. Birokrasi
fungsional, yaitu organisasi
Pemerintahan yang menjalankan salah
satu bidang atau sektor yang khusus guna
mencapai tujuan umum Pemerintahan;
serta 3. Birokrasi pelayanan (service
bureaucracy), yaitu unit organisasi yang
pada hakekatnya melaksanakan
pelayanan langsung dengan masyarakat.
Termasuk dalam konsep ini apa yang
disebut oleh Michael Lipsky sebagai
”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka
yang menjalankan tugas dan
berhubungan langsung dengan warga
masyarakat.
Faktor lain yang mempengaruhi
kinerja dan kepuasan kerja pegawai
dalam melaksanakan tugas adalah
lingkungan kerja, yaitu segala sesuatu
yang ada di sekitar pekerja, yang dapat
mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas. Faktor lingkungan
kerja bisa berupa kondisi fisik kantor
yang meliputi penerangan, suhu udara
dan lain-lain yang mampu meningkatkan
suasana kondusif dan semangat kerja
serta berpengaruh terhadap kinerja
pegawai (Sedarmayanti, 2009). Menurut
Mangkunegara (2007) lingkungan kerja
meliputi uraian jabatan yang jelas,
otoritas yang memadai, target kerja yang
menantang, pola komunikasi, hubungan
kerja yang harmonis, iklim kerja yang
dinamis, peluang karir dan fasilitas kerja
yang memadai. Adapun menurut Ahyari
(Dhermawan dkk., 2012) menjelaskan
bahwa “Lingkungan kerja yang tidak
memuaskan dapat menurunkan semangat
kerja dan akhirnya menurunkan
produktivitas kerja Pegawai”.
Ada beberapa indikator untuk
mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu
sebagai berikut:
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya
mengukur tingkat efesiensi, tetapi
juga efektivitas pelayanan.
Produktivitas pada umumnya
dipahami sebagai rasio antara input
dengan output. Konsep produktivitas
dirasa terlalu sempit, dan kemudian
General Acounting Office (GAO)
mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas
dengan memasukan seberapa
Edisi Agustus 2019
Fahri
93
pelayanan publik itu memiliki hasil
yang diharapkan sebagai salah satu
indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Kualitas layanan, yaitu hasil kerja
yang dinilai dari kualitas dan
kuantitasnya suatu kegiatan yang
dilakukan, yang menimbulkan rasa
puas bagi masyarakat, dengan
demikian kepuasan masyarakat
terhadap layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi publik.
Keuntungan utama menggunakan
kepuasan masyarakat sebagai
indikator kinerja adalah informasi
mengenai kepuasan masyarakat sering
kali dapat diperoleh dari media massa
atau diskusi publik. Akibat akses
terhadap informasi mengenai
kepuasan masyarakat terhadap
kualitas layanan relatif sangat tinggi,
maka bisa menjadi satu ukuran
kinerja organisasi publik yang mudah
dan murah dipergunakan. Kepuasan
masyarakat bisa menjadi parameter
untuk menilai kinerja Birokrasi
publik.
3. Responsivitas
Responsivitas dengan mengukur
kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan
mengukur kesesuaian pelaksanaan
kegiatan organisasi publik yang
dilakukan dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai
dengan kebijakan organisasi.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi
publik tunduk pada para Pejabat
politik yang dipilih oleh rakyat atau
ukuran yang menunjukan tingkat
kesesuaian penyelenggaraan
pelayanan dengan ukuran nilai-nilai
atau norma eksternal yang ada
dimasyarakat atau yang dimilki para
stakeholders (Dwiyanto, 2012).
Menurut Denhard (Masyudi, 2005)
menyebutkan bahwa kinerja birokrasi
memiliki acuan tugas, yaitu sebagai
berikut:
1. Komitmen terhadap nilai-nilai
sosial politik yang telah
disepakati bersama (publicly
defined societal values) dan
tujuan publik (public purpose);
2. Implementasi nilai-nilai sosial
politik yang berdasarkan etika
dalam tatanan manajemen
publik (provide an ethical basis
of public management);
3. Realisasi nilai-nilai sosial
politik (exercising social
political values);
4. Penekanan pada pekerjaan
kebijakan publik dalam rangka
pelaksanaan mandat
Pemerintah (emphasis on
public policy in carrying out
mandate of government);
5. Keterlibatan dalam pelayanan
publik (involvement overall
quality of public services);
6. Bekerja dalam rangka
penanganan kepentingan umum
(operate in public interest).
Edisi Agustus 2019
Fahri
94
Menurut Dwiyanto (Rizal, 2011)
mengatakan bahwa:
Rendahnya kinerja birokrasi
publik sangat dipengaruhi oleh
budaya paternalisme yang masih
sangat kuat, yang cenderung
mendorong Pejabat birokrasi untuk
lebih berorientasi pada kekuasaan
daripada pelayanan, menempatkan
dirinya sebagai penguasa dan
memperlakukan para pengguna
jasa sebagai objek pelayanan yang
membutuhkan bantuannya.
Di samping itu, rendahnya kinerja
juga disebabkan oleh sistem pembagian
kekuasaan yang cenderung memusat
pada pimpinan. Struktur birokrasi yang
hierarkis mendorong adanya pemusatan
kekuasaan dan wewenang pada Atasan
sehingga Pejabat birokrasi yang langsung
berhubungan dengan para pengguna jasa
sering tidak memiliki wewenang yang
memadai untuk merespon dinamika yang
berkembang dalam penyelenggaraan
pelayanan.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kinerja
PNS adalah sosok yang masih
sering dikaitkan dengan pandangan
miring seperti perilaku Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN), tidak disiplin,
tidak kompeten, birokrasi yang panjang,
inefesiensi dan lain sebagainya. Menurut
Jaenudin dan Chairunisa (2015: 50)
menyatakan bahwa ada beberapa faktor
yang diduga berpengaruh terhadap
kinerja PNS, yaitu Pendidikan dan
Pelatihan (Diklat), disiplin kerja,
motivasi kerja dan kemampuan SDM.
Satu per satu akan kami jelaskan sebagai
berikut (Jaenudin dan Chairunisa, 2015:
53-54):
1. Diklat
Diklat adalah bagian dari
pengembangan kompetensi dan
pengembangan karier PNS melalui
peningkatan pengetahuan dan
keterampilan.
2. Disiplin Kerja
Disiplin kerja adalah cerminan dan
kunci keberhasilan dalam
melaksanakan pekerjaan sesuai tujuan
yang ditetapkan organisasi, patuh, taat
dan tanggung jawab yang berdampak
pada kinerja.
3. Motivasi Kerja
Motivasi kerja, yaitu keinginan sikap
dan prilaku Pegawai dalam bekerja
atas dorongan dan dukungan yang
datang dari dalam dan luar diri
Pegawai untuk mencapainya.
4. Kemampuan SDM
Kemampuan SDM adalah
ketersediaan SDM Pegawai yang ada
dalam menjalankan tugas
pekerjaannya yang berkualitas,
cerdas, cakap dan ahli yang dilandasi
dengan pengetahuan dan
keterampilan.
E. Masalah-Masalah Otonomi Daerah
Menurut Faisal (2016: 209)
menjelaskan bahwa:
Sejak diberlakukannya paket
undang-undang mengenai otonomi
Daerah, banyak orang sering
membicarakan aspek positifnya.
Memang tidak disangkal lagi,
bahwa otonomi Daerah membawa
perubahan positif di Daerah dalam
hal kewenangan Daerah untuk
mengatur diri sendiri. Kewenangan
ini menjadi sebuah impian karena
sistem Pemerintahan yang
Edisi Agustus 2019
Fahri
95
sentralistik cenderung
menempatkan Daerah sebagai
pelaku pembangunan yang tidak
begitu penting atau pinggiran.
Pada masa lalu, pengerukan
potensi Daerah ke Pusat terus
dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-
alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, Daerah justru
mengalami proses pemiskinan
yang luar biasa. Dengan
kewenangan tersebut tampaknya
banyak Daerah yang optimis bakal
bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-
tengah optimisme itu tidak terbersit
kekhawatiran bahwa otonomi Daerah
juga akan menimbulkan beberapa
persoalan yang jika tidak segera dicari
pemecahannya, akan menyulitkan upaya
Daerah untuk memajukan rakyatnya?
Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat
naif. Mengapa? Karena tanpa disadari
beberapa dampak yang tidak
menguntungkan bagi pelaksanaan
otonomi Daerah telah terjadi. Ada
beberapa permasalahan yang
dikhawatirkan bila dibiarkan
berkepanjangan akan berdampak sangat
buruk pada susunan ketatanegaraan
Indonesia. Adapun masalah-masalah
tersebut, antara lain:
1. Adanya Eksploitasi Pendapatan
Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi
adalah kewenangan Daerah yang
lebih besar dalam pengelolaan
keuangannya, mulai dari proses
pengumpulan pendapatan sampai
pada alokasi pemanfaatan Pendapatan
Daerah tersebut. Dalam kewenangan
semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk (resiko bawaan),
bahwa Daerah akan melakukan upaya
maksimalisasi, bukan optimalisasi,
perolehan Pendapatan Daerah. Upaya
ini didorong oleh kenyataan bahwa
Daerah harus mempunyai dana yang
cukup untuk melakukan kegiatan,
baik itu rutin maupun pembangunan.
Dengan skenario semacam ini,
banyak Daerah akan terjebak pada
pola tradisional dalam pemerolehan
Pendapatan Daerah, yaitu
mengintensifkan pemungutan pajak
dan retribusi. Bagi Pemerintah
Daerah, pola ini tentu akan sangat
gampang diterapkan karena kekuatan
kohersif yang dimiliki oleh institusi
Pemerintahan (sebuah kekuatan yang
tidak applicable dalam Negara
demokratis modern). Pola
peninggalan kolonial ini menjadi
sebuah pilihan utama karena
ketidakmampuan Pemerintah dalam
mengembangkan sifat wirausaha
(enterpreneurship).
Bila dikaji secara matang,
intensifikasi perolehan pendapatan
yang cenderung eksploitatif semacam
itu justru akan banyak mendatangkan
persoalan baru dalam jangka panjang,
dari pada manfaat ekonomis jangka
pendek bagi Daerah. Persoalan
pertama adalah beratnya beban yang
harus ditanggung warga masyarakat.
Meskipun satu item pajak atau
retribusi yang dipungut dari rakyat
hanya berkisar 100 rupiah, akan tetapi
jika dihitung secara agregat jumlah
uang yang harus dikeluarkan rakyat
per bulan tidaklah kecil, terutama jika
pembayar pajak atau retribusi adalah
orang yang tidak mempunyai
penghasilan memadai. Persoalan
kedua terletak pada adanya
kontradiksi dengan upaya Pemerintah
Edisi Agustus 2019
Fahri
96
Daerah dalam menggerakan
perekonomian di Daerah. Bukankah
secara empiris tidak terbantahkan lagi
bahwa banyaknya pungutan hanya
akan menambah biaya ekonomi yang
ujung-ujungnya hanya akan
merugikan perkembangan ekonomi
Daerah setempat. Kalau Pemerintah
Daerah ingin menarik minat investor
sebanyak-banyaknya, mengapa pada
saat yang sama justru mengurangi
minat investor untuk berinvestasi?
2. Pemahaman terhadap Konsep
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
yang Belum Mantap
Desentralisasi adalah sebuah
mekanisme penyelenggaraan
Pemerintahan yang menyangkut pola
hubungan antara Pemerintah Nasional
dan Pemerintah lokal. Desentralisasi
diperlukan dalam rangka peningkatan
efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan Pemerintahan.
Sebagai wahana pendidikan politik di
Daerah. Untuk memelihara keutuhan
Negara kesatuan atau integrasi
Nasional. Untuk mewujudkan
dinamika demokrasi dalam
penyelenggaraan Pemerintahan yang
dimulai dari Daerah. Untuk
memberikan peluang kepada
masyarakat untuk membentuk karir
dalam di bidang politik dan
Pemerintahan. Sebagai sarana bagi
percepatan pembangunan di Daerah.
Untuk mewujudkan Pemerintahan
yang bersih dan berwibawa. Oleh
karena itu pemahaman terhadap
konsep desentralisasi dan otonomi
haruslah mantap.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah,
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, maka sejumlah
besar fungsi-fungsi Pemerintahan
dialihkan dari Pusat ke Daerah, dalam
banyak hal melewati Provinsi.
Berdasarkan kedua undang-undang
ini, semua fungsi pelayanan publik
kecuali pertahanan, keamanan, urusan
luar negeri, kebijakan moneter dan
fiskal, yustisi dan agama, telah
dialihkan ke Daerah otonom.
Kabupaten/ Kota memikul tanggung
jawab di hampir semua bidang
pelayanan publik, seperti kesehatan,
pendidikan dan prasarana, dengan
Provinsi bertindak sebagai
koordinator. Jika ada tugas-tugas lain
yang tidak disebut dalam undang-
undang, hal itu berada dalam
tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Kedua undang-undang ini,
mencerminkan realitas politik bahwa
Warga Negara Indonesia (WNI)
kebanyakan menghendaki peran yang
lebih besar dalam mengelola urusan
sendiri. Meskipun demikian, tata
Pemerintahan lokal yang baik pada
saat ini belum dapat dilaksanakan di
Indonesia, meskipun sistem
desentralisasi telah dilaksanakan.
Mentalitas dari Aparat Pemerintah,
baik Pusat maupun Daerah masih
belum mengalami perubahan yang
mendasar. Hal ini terjadi karena
perubahan sistem tidak dibarengi
penguatan kualitas SDM yang
menunjang sistem Pemerintahan yang
baru. Pelayanan publik yang
diharapkan, yaitu birokrasi yang
Edisi Agustus 2019
Fahri
97
sepenuhnya mendedikasikan diri
untuk untuk memenuhi kebutuhan
rakyat “sebagai pengguna jasa”
adalah pelayanan publik yang ideal.
Untuk merealisasikan bentuk
pelayanan publik yang sesuai dengan
asas desentralisasi diperlukan
perubahan paradigma secara radikal
dari Aparat birokrasi sebagai unsur
utama dalam pencapaian tata
Pemerintahan lokal.
3. Kondisi SDM Aparatur Pemerintahan
yang Belum Menunjang Sepenuhnya
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sejak diberlakukannya otonomi
Daerah. Sebagian Pemerintah Daerah
bisa melaksanakan amanat konstitusi
meningkatkan taraf hidup rakyat,
menyejahterakan rakyat dan
mencerdaskan rakyat. Berdasarkan
data yang ada, 20% Pemerintah
Daerah mampu menyelenggarakan
otonomi Daerah dan berbuah
kesejahteraan rakyat di Daerah.
Namun masih ada sekitar 80%
Pemerintah Daerah dinilai belum
berhasil menjalankan visi, misi dan
program desentralisasi.
Penyelenggaraan otonomi Daerah
yang sehat dapat di wujudkan melalui
peningkatan kapasitas dan kompetensi
yang di miliki manusia sebagai
pelaksananya. Penyelenggaraan
otonomi Daerah hanya dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya apabila
manusia pelaksananya baik, dalam
artian mentalitas, integritas maupun
kapasitasnya.
Pentingnya posisi manusia pelaksana
ini karena manusia merupakan unsur
dinamis dalam organisasi yang
bertindak/ berfungsi sebagai subjek
penggerak roda organisasi
Pemerintahan. Oleh sebab itu kualitas
mentalitas dan kapasitas manusia
yang kurang memadai dengan
sendirinya melahirkan implikasi yang
kurang menguntungkan bagi
penyelenggaraan otonomi Daerah.
4. Korupsi di Daerah
Fenomena lain yang sejak lama
menjadi kekhawatiran banyak
kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi Daerah adalah
bergesernya praktik korupsi dari Pusat
ke Daerah. Sinyalemen ini menjadi
semakin beralasan ketika terbukti
bahwa banyak Pejabat publik yang
masih mempunyai kebiasaan
menghambur-hamburkan uang rakyat
untuk piknik ke luar negeri dengan
alasan studi banding. Juga, mulai
terdengar bagaimana anggota
legislatif mulai menggunakan
kekuasaannya atas eksekutif untuk
menyetujui anggaran rutin DPRD
yang jauh lebih besar dari pada
sebelumnya. Belum lama diberitakan
di Harian Kompas bagaimana
legislatif Kota Yogyakarta membagi
dana 700 juta untuk 40 anggotanya
atau 17,5 juta per orang dengan alasan
menutup biaya operasional dan
kegiatan kesekretariatan. Mengapa
harus ada bagi-bagi sisa anggaran?
Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa
anggaran seharusnya tidak dihabiskan
dengan acara bagi-bagi, melainkan
harus disetorkan kembali ke Kas
Daerah? Dipandang dari kacamata
apapun perilaku Pejabat publik yang
cenderung menyukai menerima uang
yang bukan haknya adalah tidak etis
dan tidak bermoral, terlebih jika hal
itu dilakukan dengan sangat terbuka.
Sumber praktik korupsi lain yang
masih berlangsung terjadi pada proses
pengadaan barang-barang dan jasa
Edisi Agustus 2019
Fahri
98
Daerah (procurement). Seringkali
terjadi harga sebuah item barang
dianggarkan jauh lebih besar dari
harga pasar. Kolusi antara bagian
pengadaan dan rekanan sudah
menjadi hal yang jamak. Pemberian
fasilitas yang berlebihan kepada
Pejabat Daerah juga merupakan bukti
ketidakarifan Pemerintah Daerah
dalam mengelola keuangan Daerah.
Hibah dari Pihak Ketiga kepada
Pejabat Daerah sudah menjadi hal
biasa yang tidak pernah diributkan
dari dulu. Kalau dicermati dan
dinalar, berapa kenaikan kekayaan
Pejabat Daerah setelah mereka
menjabat posisi tertentu? Seberapa
drastis perubahan gaya hidup para
Pejabat publik itu?
5. Adanya Potensi Munculnya Konflik
Antardaerah
Ada gejala cukup kuat dalam
pelaksanaan otonomi Daerah, yaitu
konflik horizontal yang terjadi antara
Pemerintah Provinsi dengan
Pemerintah Kabupaten/ Kota, sebagai
akibat dari penekanan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menekankan bahwa
tidak ada hubungan hierarkhis antara
Pemerintah Provinsi dengan
Pemerintah Kabupaten/
Kota,sehingga Pemerintah Kabupaten
/Kota menganggap kedudukannya
sama dan tidak taat kepada
pemerintah provinsi.
Dengan pelaksanaan otonomi Daerah
muncul gejala etno-sentrisme atau
fenomena primordial ke-Daerahan
semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme
ini terlihat dalam beberapa kebijakan
di Daearah yang menyangkut
pemekaran Daerah, Pilkada,
rekrutmen birokrasi lokal dan
pembuatan kebijakan lainnya.
Selain itu, ancaman disintegrasi juga
dapat memicu sebuah konflik. Paham
pelimpahan wewenang yang luas
kepada Daerah merupakan politik
belah bambu yang telah lama dipupuk
sejak zaman penjajahan. Otonomi
Daerah telah mengkotak-kotakan
wilayah menjadi Daerah basah dan
Daerah kering. Pengkavlingan ini
semakin mencuatkan ketimpangan
pembangunan antara Daerah kaya dan
Daerah miskin. Adanya potensi
Sumber Daya Alam (SDA) di suatu
wilayah, juga rawan menimbulkan
perebutan dalam menentukan batas
wilayah masing-masing. Konflik
horizontal sangat mudah tersulut. Di
era otonomi Daerah tuntutan
pemekaran wilayah juga semakin
kencang dimana-mana. Pemekaran ini
telah menjadikan NKRI terkerat-kerat
menjadi wilayah yang berkeping-
keping. Satu Provinsi pecah menjadi
dua-tiga Provinsi, satu Kabupaten
pecah menjadi dua-tiga Kabupaten
dan seterusnya. Semakin berkeping-
keping NKRI semakin mudah
separatisme dan perpecahan terjadi.
Dari sinilah bahaya disintegrasi
bangsa sangat mungkin terjadi,
bahkan peluangnya semakin besar
karena melalui otonomi Daerah
campur tangan asing semakin mudah
menelusup hingga ke Desa-Desa.
Edisi Agustus 2019
Fahri
99
Pemaknaan otonomi secara kultural
memandang politik lokal sebagai
kesatuan nilai, kultur, custom, adat
istiadat dan bukan sebagai konsep
politik. Perspektif ini juga mengakui
kemajemukan masyarakat namun
dalam arti sosiokultural, di mana
setiap masyarakat dan lokalitas adalah
unik sehingga setiap masyarakat dan
lokalitas memiliki hak-hak sosial,
ekonomi, budaya dan identitas diri
yang berbeda dengan identitas
Nasional. Pemahaman inilah yang
kemudian memunculkan berbagai
kebijakan Daerah yang bernuansa
etnisitas. Sedikit banyak karakteristik
masyarakat Indonesia yang pluralistik
dan terfragmentasi, turut
mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya etnonasionalisme.
Pola hubungan antaretnis dilakukan
dalam proses yang linear tanpa
adanya potensi bagi terjadinya cross-
cutting afiliation (afiliasi lintas
sektoral). Akibatnya, tidak ada ruang
bagi bertemunya berbagai etnis secara
sosial. Secara politik, berlakunya
politik aliran menyebabkan sudah
dapat dipastikan bahwa ia akan
memilih partai Islam. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pola
interaksi antaretnis menjadi sulit
dilakukan karena tidak ada ruang
baginya untuk mengenal etnis lain,
apalagi memahami etnis lain di luar
stereotip yang selama ini mengemuka.
Maka yang kemudian timbul dan
menguat adalah identitas etnisnya dan
bukan identitas kebangsaan yang
inheren dalam nasionalisme.
3. KAJIAN
A. Penyelesaian Masalah Otonomi
Daerah di Indonesia
Pada intinya, masalah-masalah
dalam pelaksanaan otonomi Daerah pada
seterusnya akan menjadi persoalan
tersendiri, terlepas dari keberhasilan
implementasi otonomi Daerah. Pilihan
kebijakan yang tidak populer melalui
intensifikasi pajak dan perilaku koruptif
Pejabat Daerah sebenarnya sudah ada
sejak lama dan akan terus berlangsung.
Jika kini keduanya baru muncul
dipermukaan sekarang, tidak lain karena
momentum otonomi Daerah memang
memungkinkan untuk itu. Untuk
menyiasati beratnya beban anggaran,
Pemerintah Daerah semestinya bisa
menempuh jalan alternatif, selain
intensifikasi pungutan yang cenderung
membebani rakyat dan menjadi
disinsentif bagi perekonomian Daerah,
yaitu: 1. Efisiensi anggaran; dan 2.
Revitalisasi perusahaan Daerah. Kami
sepenuhnya yakin bahwa banyak
Pemerintah Daerah mengetahui alternatif
ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan
menjadi prioritas pilihan kebijakan maka
Pemerintah pasti punya alasan lain.
Dugaan Kami adalah bahwa Pemerintah
Daerah itu malas! Pemerintah tidak
mempunyai keinginan kuat (strong will)
untuk melakukan efisiensi anggaran
karena upaya ini tidak gampang. Di
samping itu, ada keengganan untuk
berubah dari perilaku boros menjadi
hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan
Daerah pun kurang mendapatkan porsi
yang memadai karena kurangnya sifat
kewirausahaan Pemerintah. Sudah
menjadi hakekatnya bahwa Pemerintah
cenderung melakukan kegiatan atas dasar
kekuatan paksaan hukum, dan tidak
Edisi Agustus 2019
Fahri
100
berdasarkan prinsip-prinsip pasar,
sehingga ketika dihadapkan pada situasi
yang bermuatan bisnis, Pemerintah tidak
bisa menjalankannya dengan baik. Salah
satu cara untuk mengatasi hal ini
Pemerintah Daerah bisa menempuh jalan
dengan menyerahkan pengelolaan
perusahaan Daerah kepada swasta
melalui privatisasi.
Pemeritah juga seharusnya
merevisi regulasi yang dipandang dapat
menimbulkan masalah baru. Di bawah
ini Kami merangkum solusi untuk keluar
dari masalah otonomi Daerah tanpa harus
mengembalikan kepada sentralisasi. Jika
Pemerintah dan masyarakat bersinergi
mengatasi masalah tersebut. Pasti
kesejahteraan masyarakat segera
terwujud. Solusi untuk keluar dari
masalah otonomi Daerah tersebut, yaitu
seperti yang diutarakan oleh Faisal
(2016: 213-214) sebagai berikut:
1. Membuat masterplan
pembangunan Nasional untuk
membuat sinergi pembangunan
di Daerah. Agar menjadi
landasan pembangunan di
Daerah dan membuat
pemerataan pembangunan
Antardaerah.
2. Memperkuat peranan Daerah
untuk meningkatkan rasa
nasionalisme dengan
mengadakan kegiatan
menanamkan nasionalisme,
seperti kewajiban mengibarkan
bendera merah putih.
3. Melakukan pembatasan
anggaran kampanye karena
menurut penelitian korupsi
yang dilakukan Kepala Daerah
akibat Pemilu berbiaya tinggi
membuat Kepala Daerah
melakukan korupsi.
4. Melakukan pengawasan
Peraturan Daerah (Perda) agar
sinergi dan tidak menyimpang
dengan peraturan di atasnya
yang lebih tinggi.
5. Melarang anggota keluarga
Kepala Daerah untuk maju
dalam Pemilu di Daerah-nya
untuk mencegah pembentukan
dinasti politik.
6. Meningkatkan kontrol terhadap
pembangunan di Daerah
dengan memilih Menteri Dalam
Negeri yang berkapabilitas
untuk mengawasi
pembangunan di Daerah.
7. Melaksanakan Good
Governence dengan
memangkas birokrasi
(reformasi birokrasi),
mengadakan pelayanan satu
pintu untuk masyarakat serta
melakukan efisiensi anggaran.
8. Meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dari sektor SDA
dan pajak serta mencari dari
sektor lain, seperti jasa dan
pariwisata digunakan untuk
kesejahteraan masyarakat.
B. Birokrasi Pendidikan di Indonesia
Menurut Rifai (2011: 61)
menyatakan bahwa:
Kehadiran birokrasi sebenarnya
dipergunakan untuk mengatur
suatu pekerjaan yang beraneka
ragam yang menyangkut
kepentingan orang banyak agar
bisa terlaksana dan melayani
semua golongan dengan baik,
efektif, dan mudah. Akan tetapi,
dalam perkembangannya, sampai
sekarang birokrasi telah menjadi
momok bagi manusia modern,
Edisi Agustus 2019
Fahri
101
yang selalu ingin dihindari dan
dijauhi.
Adapun Solichin (2015: 165)
mengemukakan pendapatnya, yaitu
sebagai berikut:
Dunia pendidikan Nasional di
zaman reformasi ini, diakui atau
tidak memiliki karakter yang
menenggelamkan gerakan
intelektual bagi kemajuan
pendidikan Nasional.
Kecenderungan birokrasi pada
lembaga pendidikan yang rumit
dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat karena begitu
banyaknya biro yang harus dilalui.
Kesan mengutamakan aktivitas
birokrasi inilah yang pada
akhirnya mengesampingkan dunia
intelektual.
Mental birokrasi untuk
memberikan pelayanan terhadap
pengembangan dan gerakan intelektual
ini menjadi sangat penting karena
pengembangan dan gerakan intelektual di
lembaga pendidikan memerlukan
suasana dan kondisi yang sangat
kondusif bagi munculnya kreativitas dan
inovasi baru. Peran birokrasi yang
berwajah manusia dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat di bidang
pendidikan diharapkan sepenuhnya
berperan vital, reformis, dinamis,
inovatif, aspiratif, terbuka dan bersifat
mengayomi. Di sini, Kementerian
Pendidikan Nasional segera mengambil
sikap dengan untuk melakukan inovasi
dan pemikiran, mereformasi struktur dan
mekanisme birokrasi yang kondusif
untuk menciptakan pendidikan yang
unggul, walau memerlukan anggaran
yang tidak sedikit dan kemampuan SDM
yang kompeten di bidangnya.
C. Peran Birokrasi Sebagai Kontrol
Pendidikan Nasional
Peran birokrasi sebagai kontrol
pendidikan Nasional merupakan fungsi
birokrasi itu sendiri, mengontrol tugas
pokok dan fungsi birokrasi pendidikan
hingga pelaksanaan proses pendidikan di
Daerah supaya berjalan dengan baik.
Menurut Tilaar (2009: 22) menyatakan
bahwa:
Untuk meningkatkan kemampuan
kinerja birokrasi pendidikan dapat
dilakukan melalui program
pembinaan birokrasi pendidikan
Nasional yang profesional, ini
dilakukan untuk menghapus
stigma bahwa birokrasi merupakan
kelompok yang sangat sulit untuk
berubah. Mereka cenderung
menjadi orang yang konservatif
dalam melaksanakan tugasnya
(business as usual).
Paulus (2013) memberikan contoh
yang berkaitan dengan pelaksanaan
kebijakan di Dinas Pendidikan
Kabupaten/ Kota. Berikut deskripsi yang
digambarkan Penulis dalam tulisannya:
Dalam rencana kerja tahunan yang
telah disusun oleh Dinas
Pendidikan di suatu Daerah,
menjadi bahan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD).
Sebelum RKPD ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/ Walikota,
terlebih dahulu dilaksanakan
Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) di
tingkat Kabupaten/ Kota dan
pembahasan Antarunit Kerja
Pemerintah Daerah. Walaupun
bentuknya pembahasan bersama,
tetapi tidak merubah kegiatan-
kegiatan dalam Rencana Kerja
(Renja) dari Dinas Pendidikan
Edisi Agustus 2019
Fahri
102
untuk menjadi RKPD.
Musrenbang di tingkat Kabupaten/
Kota diselenggarakan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda). Forum ini diikuti
seluruh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) serta melibatkan
berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) di Kabupaten/
Kota. Untuk organisasi di luar
Pemerintah yang terkait dengan
masalah pendidikan, hanya Dewan
Pendidikan Kabupaten/ Kota yang
diundang. Namun pada
kenyataannya proses kegiatan
Musrenbang tingkat Kabupaten/
Kota lebih mirip dengan sosialisasi
RKPD yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Bupati/
Walikota. Khusus kegiatan yang
terkait dengan masalah pendidikan
lebih terjadi pada saat Rapakt
Kerja (Raker) Dinas Pendidikan.
Hal ini karena yang dilibatkan
dalam Musrenbang tingkat
Kabupaten/ Kota hanya Dewan
Pendidikan Kabupaten/ Kota yang
sebelumnya telah mengikuti Raker
tahunan Dinas Pendidikan.
D. Peran Birokrasi di Lembaga Sekolah
Menurut Zamroni (2007: 204)
menyatakan bahwa:
Reformasi pendidikan pada era
reformasi dewasa ini secara prinsip
sebenarnya mengarah pada dua
sasaran penting. Pertama,
reformasi pendidikan diarahkan
untuk memberikan tanggungjawab
lebih besar kepada birokrasi di
Daerah untuk secara langsung
menangani pendidikan, dengan
memobilisasi dukungan penuh
masyarakat (desentralisasi).
Kedua, reformasi ditujukan untuk
meningkatkan dinamika internal
sekolah, dengan memberikan
kesempatan lebih besar pada level
sekolah, seperti kepala sekolah,
guru, orang tua siswa serta staf
administrasi dalam melaksanakan
penyelenggaraan sekolah sehari-
hari (otonomi sekolah) atau
disebut juga dalam wujud
Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Peran birokrasi di lembaga sekolah
pada akhirnya menjadi puncak model
implementasi kebijakan pada satuan dan
jenjang pendidikan. Di sini diperlukan
adanya pembaharuan manajemen pada
satuan dan jenjang pendidikan tersebut.
Proses pembaharuan atau inovasi
manajemen menjadi suatu keniscayaan
untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang tengah dihadapi.
Problem-problem tersebut dapat berupa
usaha pemerataan pendidikan,
peningkatan mutu, peningkatan efisiensi
dan efektivitas pendidikan serta relevansi
pendidikan. Tujuannya agar supaya
penyebaran ide-ide inovasi yang
dilakukan bisa diadopsi, dimanfaatkan
dan didesiminasikan untuk perbaikan dan
pemecahan problematika pendidikan di
Indonesia.
E. Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi
Daerah
Kebijakan pendidikan yang
berlaku di tingkat Pemerintah Daerah,
yaitu mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam lampiran undang-undang
Edisi Agustus 2019
Fahri
103
tersebut dirinci terkait dengan pembagian
urusan Pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/ Kota,
khususnya di bidang pendidikan sebagai
berikut:
Tabel 1
Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Pendidikan
No. Sub
Urusan
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Provinsi
Pemerintah
Kabupaten/
Kota
1. Manaje
men
Pendidi
kan
a. Peneta-
pan
standar
nasional
pendidi-
kan.
b. Pengelo-
laan
pendidi-
kan tinggi.
a. Pengelo-
laan
pendidi-
kan mene-
ngah.
b. Pengelo-
laan
pendidi-
kan
khusus.
a. Pengelola-
an
pendidi-
kan dasar.
b. Pengelola-
an
pendidi-
kan anak
usia dini
dan
pendidi-
kan
nonformal
2. Kuriku-
lum
Penetapan
kurikulum
Nasional
pendidikan
menengah,
pendidikan
dasar,
pendidikan
anak usia
dini dan
pendidikan
nonformal.
Penetapan
kurikulum
muatan lokal
pendidikan
menengah
dan muatan
lokal
pendidikan
khusus.
Penetapan
kurikulum
muatan lokal
pendidikan
dasar, anak
usia dini dan
muatan lokal
pendidikan
nonformal.
3. Akredita
-si
Akreditas
perguruan
tinggi,
pendidikan
menengah,
pendidikan
dasar,
pendidikan
anak usia
dini dan
pendidikan
nonformal
- -
4. Pendi-
dik dan
Tenaga
Kependi
-dikan
a. Pengenda-
lian
formasi
pendidik,
peminda-
han
pendidik
dan
pengemba
-ngan
karier
pendidik.
b. Peminda-
han
pendidik
Pemindahan
pendidik dan
tenaga
kependidikan
lintas daerah
kabupaten/
kota dalam
satu daerah
provinsi.
Pemindahan
pendidik dan
tenaga
kependidikan
dalam daerah
kabupaten/
kota.
No. Sub
Urusan
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Provinsi
Pemerintah
Kabupaten/
Kota
dan
tenaga
kependidi
kan lintas
daerah
provinsi.
5. Perizi-
nan
Pendidi-
kan
a. Penerbitan
izin
perguruan
tinggi
swasta
yang
diselengga
-rakan
oleh
masyara-
kat.
b. Penerbitan
izin
penyeleng
-garaan
satuan
pendidi-
kan asing.
a. Penerbitan
izin
pendidi-
kan
menengah
yang
diselengga
-rakan
oleh
masyara-
kat.
b. Penerbitan
izin
pendidi-
kan
khusus
yang
diselengga
-rakan
oleh
masyara-
kat.
a. Penerbitan
izin
pendidi-
kan dasar
yang
diselengga
-rakan
oleh
masyara-
kat.
b. Penerbitan
izin
pendidi-
kan anak
usia dini
dan
pendidi-
kan
nonformal
yang
diselengga
-rakan
oleh
masyara-
kat.
6. Bahasa
dan
Sastra
Pembinaan
bahasan dan
sastra
Indonesia.
Pembinaan
bahasa dan
sastra yang
penuturnya
lintas daerah
kabupaten/
kota dalam
satu daerah
provinsi.
Pembinaan
bahasa dan
sastra yang
penuturnya
dalam daerah
kabupaten/
kota.
Sumber: Lampiran Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah,
terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Edisi Agustus 2019
Fahri
104
4. KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari hasil kajian konsep yang
dijelaskan para Bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Otonomi adalah hal yang diberikan
kepada penduduk yang tinggal dalam
suatu wilayah tertentu untuk
mengatur, mengurus, mengendalikan
dan mengembangkan urusannya
sendiri dengan tetap menghormati
peraturan perundangan yang berlaku.
Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban Daerah
otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan
Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan Daerah otonom, yaitu
kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus
urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem NKRI.
2. Birokrasi haparan mempunyai tiga
makna, yaitu dapat bersifat makna
positif, negatif dan netral. Adapun
untuk ide dalam mewujudkan
birokrasi harapan yang diidam-
idamkan, yaitu: a. Perlu adanya
perubahan pelayanan kepada
masyarakat; b. Birokrasi harus
bekerja dengan bertanggung jawab
atau mengutamakan akuntabilitas;
serta c. Seluruh anggota organisasi
harus tangguh menghadapi berbagai
tantangan, baik internal maupun
eksternal. Sedangkan birokrasi
kenyataan saat ini, yaitu merebaknya
patologi birokrasi di berbagai lini
Pemerintahan, baik tingkat Pusat
maupun Daerah berupa politisasi
birokrasi.
3. Kinerja birokrasi, khusunya dalam
bidang pendidikan seyogyanya
berperan sebagai kontrol pendidikan
Nasional karena hal tersebut
merupakan fungsi birokrasi itu
sendiri, kemudian dalam hal
mengontrol tugas pokok dan fungsi
birokrasi pendidikan hingga
pelaksanaan proses pendidikan di
Daerah supaya berjalan dengan baik.
4. Faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi terhadap kinerja,
khususnya PNS, yaitu Diklat, disiplin
kerja, motivasi kerja dan kemampuan
SDM. Bila keempat faktor tersebut
dijalankan secara simultan,
berkelanjutan dan terus menerus maka
diharapkan kinerja birokrasi yang
berisikan para PNS dapat meningkat
sehingga tujuan dari suatu organisasi
Pemerintah pun dapat terealisasi
dengan baik dan masyarakat pun akan
merasa puas terhadap pelayanan
prima yang diberikan oleh
Pemerintah.
5. Masalah-masalah otonomi Daerah,
yaitu seperti: a. Adanya eksploitasi
pendapatan Daerah; b. Pemahaman
terhadap Konsep desentralisasi dan
otonomi Daerah yang belum mantap;
c. Kondisi SDM Aparatur
Pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnya pelaksanaan otonomi
Daerah; d. Merebaknya kasus korupsi
di Daerah; serta e. Adanya potensi
munculnya konflik Antardaerah.
Edisi Agustus 2019
Fahri
105
B. Rekomendasi
1. Direkomendasikan kepada
Pemerintah Pusat untuk: a.
Memberikan hak dan wewenang
Pemerintah Daerah sesuai dengan
asas desentralisasi dan prinsip
otonomi Daerah yang telah
dinyatakan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah; b.
Senantiasa menyamakan persepsi
tentang konsep otonomi Daerah dan
senantiasa mensosialisasikan konsep
otonomi Daerah tersebut kepada
Pemerintah Daerah sehingga
integritas bangsa dalam bentuk NKRI
tetap selalu dihormati dan dijaga oleh
seluruh komponen masyarakat
Indonesia; serta c. Senantiasa
memantau, menilai dan mengawasi
terhadap penerapanan otonomi
Daerah dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah di Indonesia.
2. Direkomendasikan kepada
Pemerintah Daerah agar selalu
menjadi hubungan yang bersimbiosis
mutualisme antara birokrasi dengan
masyarakat karena pada dasarnya
antara Pemerintah dengan
masyarakatpun saling membutuhkan
satu sama lain. Bila birokrasi dapat
menjalankan ide birokrasi harapan
tersebut, maka masyarakat pun akan
puas dengan kinerja birokrasi dan
sebaliknya anggota birokrasi akan
mampu bekerja dengan baik tanpa
direpoti dengan kritik, hujatan dan
demo-demo yang tak habis-habisnya.
Direkomendasikan pula kepada setiap
Instansi Pemerintah agar segera
berubah dengan stigma yang
berkinerja carut marut dan amburadul
melalui penghindaran dari segala
bentuk politisasi birokrasi. Para
Aparatur Pemerintah Daerah
seyogyanya harus dapat bersikap
netral, terutama ketika menghadapi
Pemilu.
3. Direkomendasikan kepada
Pemerintah Daerah agar lebih
mengintensifkan kontrol dalam
bidang pendidikan. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara mengajak
peran serta masyarakat untuk ikut
mengontrol jalannya bidang
pendidikan agar tujuan dalam
pendidikan tersebut dapat tercapai
dengan optimal.
4. Direkomendasikan kepada
Pemerintah Daerah untuk
memperhatikan faktor-faktor yang
dapat meningkatkan kinerja dari para
Aparaturnya, seperti Diklat, disiplin
kerja, motivasi kerja dan kemampuan
SDM.
5. Direkomendasikan kepada
Pemerintah Pusat untuk a. Membuat
masterplan pembangunan Nasional
sebagai acuan bagi Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan
pembangunan; b. Mengajak
Pemerintah Daerah ketika
penyusunan rencana di tingkat Pusat;
c. Menyusun pengaturan terkait
pembatasan anggaran kampanye; d.
Melakukan pengawasan terhadap
produk hukum Daerah; e. Menyusun
regulasi pembatasan anggota keluarga
incumbent untuk mengikuti kontestasi
di Daerahnya; f. Mengoptimalkan
kontrol jalannya Pemerintahan di
Edisi Agustus 2019
Fahri
106
Daerah; serta g. Melaksanakan
reformasi birokrasi dan mendorong
Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan reformasi birokrasi.
Kemudian bagi Pemerintah Daerah
agar lebih optimal dalam pencarian
PAD, selain dari pajak dan retribusi
Daerah sehingga tidak selalu
membebankan masyarakat di Daerah.
5. DAFTAR RUJUKAN
A. Buku
Arenawati. (2014). Administrasi
Pemerintahan Daerah: Sejarah,
Konsep dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Dwidjowijoto, R. N. (2000). Otonomi
Daerah: Desentralisasi Tanpa
Revolusi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Dwiyanto, A. (2012). Reformasi
Birokrasi Publik Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mangkunegara, P. A. (2007).
Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rafika Aditama.
Ndraha, T. (2003). Kybernology Ilmu
Pemerintahan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Rifai, M. (2011). Politik Pendidikan
Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Rosidin, U. (2015). Otonomi Daerah dan
Desentralisasi. Bandung: Pustaka
Setia.
Sedarmayanti. (2009). Sumber Daya
Manusia dan Produktivitas Kerja.
Bandung: Mandar Maju.
Setiyono, B. (2004). Birokrasi dalam
Perspektif Politik dan
Administrasi. Semarang: Pusat
Kajian Otonomi Daerah dan
Kebijakan Publik Universitas
Diponegoro.
Suharso dan Retnoningsih, A. (2015).
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semarang: Widya Karya.
Sumaryadi, I. N. (2015). Reformasi
Birokrasi Pemerintahan: Menuju
Tata Kelola Pemerintahan yang
Baik. Bogor: Ghalia Indonesia.
T. H. dan Postlethwaite, T. N. (1994).
The International Encyclopedia of
Education. London: Pergamon.
Tilaar, H. A. R. (2009). Kekuasaan dan
Pendidikan: Manajemen
Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekuasaan. Jakarta:
Rineka Cipta.
______________. (2012). Perubahan
Sosial dan Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Widjaja, H. A. W. (2002). Otonomi
Daerah dan Daerah Otonom.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edisi Agustus 2019
Fahri
107
Zamroni. (2007). Pendidikan dan
Demokrasi dalam Transisi:
Prakondisi Menuju Era
Globalisasi. Jakarta: Pusat Studi
Agama dan Peradaban
Muhammadiyah.
B. Jurnal dan Penelitian Lainnya
Afrizal, D. (2018). “Analisis Kinerja
Birokrasi Publik pada Dinas Sosial
Kota Dumai”. Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial, 13 (1), 53-62.
Alfiandri. (2012). “Reformasi Birokrasi
di Era Otonomi Daerah”. Jurnal
Sosio-Religia, 10 (1), 179-200.
Dhermawan dkk. (2012). “Pengaruh
Motivasi, Lingkungan Kerja,
Kompetensi dan Kompensasi
terhadap Kepuasan Kerja dan
Kinerja Pegawai di Lingkungan
Kantor Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Bali. Jurnal Manajemen,
Strategi Bisnis dan
Kewirausahaan, 6 (2), 173-184.
Faisal. (2016). “Otonomi Daerah:
Masalah dan Penyelesaiannya di
Indonesia”. Jurnal Akuntansi, 4
(2), 206-215.
Gaffar, F. (1990). “Implikasi
Desentralisasi Pendidikan
Menyongsong Abad Ke-21”.
Jurnal Mimbar Pendidikan, 3 (9),
229-239.
Irwan, A. L. (2008). “Pelaksanaan
Otonomi Daerah dalam
Mendukung Pelaksanaan Good
Governance di Indonesia”. Jurnal
Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 1 (1),
89-98.
Jaenudin dan Chairunisa, F. (2015).
“Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kinerja Pegawai
Negeri Sipil pada Sekretariat
Daerah Kabupaten Bulungan”.
Jurnal Administrasi Negara, 21
(2), 50-61.
Masyudi. (2005). “Kinerja Birokrasi
Pemerintah dalam Pelayanan
Kepada Publik”. Jurnal Aplikasi
Ilmu-Ilmu Agama, 6 (1), 47-66.
Nurbarani, M. (2009). “Reformasi
Birokrasi Pemerintah Kota
Surakarta”, Tesis pada Program
Studi Magister Ilmu Politik
Universitas Diponegoro Semarang.
Nurkolis. (2013). “Potret Birokrasi
Pendidikan di Indonesia”. Jurnal
Manajemen Pendidikan, 2 (1), 44-
55.
Paulus, R. D. (2013) “Implementasi
Kebijakan di Dinas Pendidikan
Kabupaten Minahasa”. Jurnal
Eksekutif, 1-14.
Rizal, M. F. (2011). “Analisis Kinerja
Aparatur Birokrasi (Studi pada
Sekretariat Daerah Kabupaten
Aceh Timur)”. Jurnal Administrasi
Publik, 1 (2), 112-129.
Safitri, S. (2016). “Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah di
Indonesia”. Jurnal Criksetra, 5 (9),
79-83.
Solichin, M. (2015). “Implementasi
Kebijakan Pendidikan dan Peran
Birokrasi”. Jurnal Studi Islam, 6
(2), 148-178.
Edisi Agustus 2019
Fahri
108
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
D. Dokumen
Martini, R. Sebuah Ide Tentang Birokrasi
Masa Depan.
Edisi Agustus 2019
Noors
Hal. 109 - 118
109
1. PENDAHULUAN
Di dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia (NRI) Tahun 1945 disebutkan
bahwa salah satu visi dibentuknya
Pemerintah Negara Indonesia adalah
untuk memajukan kesejahteraan umum.
Kesejahteraan umum atau konsep negara
yang sejahtera merupakan sebuah konsep
besar yang ingin dicapai oleh seluruh
negara yang ada di dunia.
Sebuah negara yang sejahtera tidak
akan pernah terwujud apabila tidak ada
pemerintah yang baik (good
government). Adapun good government
yang kemudian akan mendorong
terciptanya good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik) tidak akan bisa
terlaksana apabila pegawai atau sumber
daya manusia (SDM) yang ada di
dalamnya bukan diisi oleh orang-orang
hebat dan dikendalikan secara baik. Hal
itu dibuktikan oleh Korea Selatan dan
Singapura, kedua negara tersebut mampu
untuk meningkatkan kesejahteraan bagi
masyarakatnya ketika pemerintahannya
diisi oleh SDM terbaik (Kim, 2010).
𝐀𝐝𝐢𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐬𝐚𝐧 𝐀𝐤𝐛𝐚𝐫 𝐍𝐨𝐨𝐫𝐬𝟏
SELEKSI JABATAN PIMPINAN TINGGI DI INDONESIA:
Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System
Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri
Abstract
This paper tries to describe the application of a merit system infiltrated by the spoil
system as a result of the provisions stipulated in Article 112 - 115 of the ASN Law.
This happened because in the provision, Political Leader had the freedom to choose
Senior Officer from the 3 (three) large open selection results. Political Leader can
choose the winner of the selection regardless of the rank he gets. Therefore, the merit
system can still be defeated by the spoil system approach, such as proximity or other
political factors. The author tries to describe the problem by looking at the merit
principle in the United States and other principles presented by UNDP. Furthermore,
the author explained administrative ethics to better understand the importance of
policies decided based on ethical concepts so as to be able to generate trust and avoid
demoralization of the bureaucracy.
Keywords: merit system, spoil system, political factor.
1 Penulis adalah Analis Data pada Bagian Mutasi Biro Kepegawaian Setjen Kemendagri. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S2, dengan status PNS Tugas Belajar, di Magister Administrasi Publik
Fisipol UGM. Penulis mendapatkan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Edisi Agustus 2019
Noors
110
SDM di dalam sebuah birokrasi
pemerintah merupakan salah satu
indikator yang menentukan kesuksesan
atau kegagalan suatu negara. SDM
menjadi unsur kekuatan daya saing
negara, oleh karena itu SDM sangat
mempengaruhi sejauh mana negara
mampu untuk mewujudkan segala
rencana strategisnya (Huselid, 1995;
Becker dan Gerhart, 1996).
Sehebat apapun visi, misi, program
dan kegiatan yang telah direncanakan,
maka tidak akan mampu untuk
terealisasikan apabila tidak didukung
oleh SDM yang handal dalam
pelaksanaannya. Pun dalam proses
perencanaan serta pembuatan visi, misi,
program dan kegiatan, tidak akan mampu
berjalan dengan baik apabila hal itu tidak
dilakukan oleh SDM yang memiliki
kompetensi tinggi. Sehingga tidak
berlebihan apabila Tjokrowinoto dalam
Sulistiyani (2010:90) berpendapat bahwa
posisi strategis birokrasi dalam
mewujudkan good governance
merupakan suatu condition sine qua non
bagi keberhasilan pembagunan.
Memiliki SDM yang
berkompetensi tinggi tidak akan serta
merta mampu menciptakan iklim
birokrasi yang baik. Iklim birokrasi yang
baik hanya dapat diciptakan ketika SDM
di dalam birokrasi pemerintah dikelola
dengan cara yang baik. Pengelolaan
SDM yang baik akan mendorong mereka
untuk mengeluarkan kemampuan
terbaiknya dalam bekerja.
Syarat utama seseorang mampu
menghasilkan kinerja yang baik adalah
dengan memiliki kemampuan (capacity
to perform), kemauan (willingness to
perform), dan kesempatan (opportunity
to perform) (Ivancevich, Konopaske, dan
Matteson dalam Busro (2018)).
Capacity to perform, willingness
to perform, dan opportunity to perform
yang ada dalam diri seorang pegawai
harus terus senantiasa dijaga agar mereka
tetap memiliki motivasi dalam
melaksanaan pekerjaannya. Oleh karena
itu perlu adanya pengelolaan SDM di
dalam sebuah organisasi. Pengelolaan
SDM lazim disebut dengan istilah
Manajemen SDM (MSDM). Menurut
Widhyharto (2011:117), MSDM adalah
sebuah proses pengaturan dan
pengurusan SDM berdasarkan visi
organisasi agar tujuan organisasi dapat
dicapai secara optimum.
Dewasa ini, fokus MSDM tidak
lagi sekedar melihat SDM sebagai objek
semata, yang berimplikasi pada
pengaturan SDM yang hanya
menggunakan pendekatan administrasi.
SDM mulai dipandang sebagai sesuatu
hal yang strategis sehingga pendekatan
itu disebut dengan Strategic Human
Resources Management.
Di dalam Strategic Human
Resources Management (SHRM),
manusia dinilai sebagai kunci sukses
dalam menjalankan organisasi dan
walaupun konsep ini berasal dari literatur
bisnis, konsep SHRM pun mulai
digunakan di dalam birokrasi pemerintah
(Tompkins, 2002). Pada intinya SHRM
merupakan kesesuaian antara rencana
strategis organisasi dengan SDM yang
dimilikinya. Hal itu seperti definisi yang
disampaikan oleh Dessler dalam
Widhyharto (2011:117), “Strategic
Human Resources Management is the
linking of Human Resource Management
with strategic role and objectives in order
to improve business performance and
develop organizational cultures and
foster innovation and flexibility.”
Edisi Agustus 2019
Noors
111
MSDM birokrasi pemerintah yang
ada di Indonesia diatur melalui Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UU ASN). UU
ASN merupakan UU baru yang
menggantikan UU Nomor 8 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah melalui UU
Nomor 43 tahun 1999. UU ASN
menawarkan sebuah perubahan besar
dalam paradigma MSDM birokrasi
Indonesia, dari paradigma rule-based
bureaucracy menuju ke dynamic
governance (KASN, 2018).
Melalui UU ASN, tata kelola
SDM atau Aparatur Sipil Negara (ASN)
dikelola melalui pendekatan sistem merit
dan secara tegas menolak spoil system.
Sehingga penekanan utama pengaturan
ASN didasarkan pada kinerja, tidak lagi
berdasarkan kedekatan atau faktor-faktor
spoil lainnya.
Merit system atau sistem merit
menurut Sulistiyani (2010:89)
merupakan sebuah proses perencanaan,
pengadaan, seleksi, penempatan,
pemberian kompensasi dan evaluasi
kepegawaian yang kebijakan, ketentuan
dan langkah-langkahnya harus
memperhatikan ketentuan kualifikasi
minimal, standar kompetensi serta
kinerja sehingga pada akhirnya terbentuk
profesionalitas.
Hal itu senada dengan apa yang
disebutkan dalam Pasal 1 angka 22 UU
ASN, sistem merit adalah kebijakan dan
manajemen ASN yang berdasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara adil dan wajar dengan tanpa
membedakan latar belakang politik, ras,
warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau
kondisi kecacatan.
Sistem merit bisa dikatakan
sebagai sebuah penjabaran lebih lanjut
dari pendekatan SHRM seperti yang
telah disebutkan di atas. Karena di dalam
sistem merit, pengelolaan SDM tidak lagi
bertumpu pada urusan administrasi.
SDM mulai di dorong untuk
menunjukan kinerjanya, karena segala
bentuk penilaian hanya di dasarkan pada
kualifikasi, kinerja, dan standar
kompetensi. Penekanan pada kualifikasi
minimal serta standar kompetensi
“memaksa” organisasi harus mampu
membuat rencana strateginya secara tepat
dan jelas. Karena tanpa adanya kejelasan
rencana strategi maka organisasi akan
kesulitan untuk menetapkan kualifikasi
minimal dan standar kompetensi bagi
SDM-nya (Tompkins, 2002).
Penerapan sistem merit berarti
mengikis faktor-faktor politis dan segala
faktor yang tidak bisa diukur secara
objektif, seperti kedekatan atau yang
semisalnya. Sehingga Prasojo dan Rudita
dalam KASN (2018) menyebutkan
beberapa perubahan mendasar dalam
manajemen ASN oleh UU ASN, yaitu
adanya perubahan dari pendekatan close-
career system yang sangat berorientasi
kepada senioritas dan kepangkatan,
menjadi open-career system yang
mengedepankan kompetisi dan
kompetensi ASN dalam promosi dan
pengisian jabatan. Sehingga kata kunci
dari penerapan sistem merit adalah
kinerja, kompetensi, terbuka, profesional,
dan terbebas dari faktor politis.
Salah satu bukti nyata dari
penerapan sistem merit melalui UU ASN
adalah diberlakukannya seleksi terbuka
bagi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
(JPT), baik di level pusat maupun daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota). Hal itu
dilakukan berdasarkan amanat Pasal 108
s.d. 115 UU ASN. Akan tetapi ada satu
Edisi Agustus 2019
Noors
112
celah yang berpotensi menghilangkan
unsur profesionalitas dan masuknya
pendekatan spoil system dalam proses
pengisian JPT, terutama dalam faktor
keterbukaan dan kompetisi yang harus
dikalahkan oleh hubungan emosional
kedekatan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 112
s.d. 115 UU ASN, seleksi terbuka yang
dilakukan oleh Panitia Seleksi akan
menghasilkan atau mengerucut pada 3
(tiga) nama terbaik peserta seleksi, lalu
pada akhirnya ketiga nama tersebut akan
dipilih satu oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK) untuk kemudian
dilantik menjadi JPT. Ketentuan di atas
memberikan ruang bagi PPK untuk
memilih JPT sesuai dengan keinginannya
walaupun pilihannya itu tidak menduduki
peringkat pertama hasil seleksi.
Proses seleksi calon Direktur
Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda)
pada Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) tahun 2015 merupakan
salah satu contoh kasus yang sempat
mendapatkan perhatian publik. Salah
satu peserta tes yaitu M Zeet Hamdy
Assovie mendapatkan nilai tertinggi dari
seluruh peserta setelah melalui beberapa
tahapan tes sesuai dengan pengumuman
resmi dari Kemendagri dengan nomor
05/PANSEL-JPTM/2015.
Akan tetapi dia tidak terpilih
menjadi Dirjen Otda, melainkan peserta
dengan nilai tertinggi ketiga yang justru
kemudian dilantik menjadi Dirjen Otda
(Antaranews, 2015).
M Zeet, seperti yang diberitakan
oleh Antaranews (2015), mengatakan
bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak
transparan dan belum mampu
menerapkan sistem merit walaupun telah
melalui seleksi secara terbuka.
M Zeet berkata, "Yang saya tahu,
dengan meritokrasi (bentuk
pemerintahan atau administrasi di mana
para pemimpin dipilih berdasarkan
prestasi atau kemampuan) sistem
menerapkan seleksi dengan sistem gugur,
dimana pada awalnya ada 68 orang yang
mengikuti tes, kemudian setelah
mengikuti tes berikutnya tinggal 32
orang, kemudian menjadi 16, menjadi 6
dan akhirnya tinggal tiga terbaik.
Alhamdulillah saya mendapatkan nilai
tertinggi dari tiga peserta tersebut,"
Tapi, pada kenyataannya, kata M
Zeet, Mendagri secara resmi melantik
Dirjen Otda, tanpa memberikan kejelasan
mengenai hasil seleksi tersebut. "Saya
bisa terima jika Mendagri atau panitia
seleksi bisa memberikan kejelasan
kepada peserta lainnya yang tidak
terpilih, apa yang menjadi kekurangan
atau kelebihan dari peserta. Namun,
sayangnya, tanpa ada informasi yang
jelas, tiba-tiba Dirjen Otda sudah dilantik
dan jelas ini saya nilai sangat tidak
transparan," katanya.
Kasus di atas merupakan bukti
nyata bahwa ketentuan yang ada dalam
Pasal 112 s.d. 115 UU ASN berpotensi
untuk mencederai sistem merit yang
ingin diterapkan melalui UU ASN.
Terlebih lagi sistem merit itu telah secara
jelas dinyatakan sebagai paradigma baru
dalam tata kelola ASN yang ada di
Indonesia. Maka artikel ini mencoba
untuk melakukan analisis terhadap
permasalahan tersebut dengan
mendeskripsikan lebih jauh berkenaan
dengan prinsip-prinsip yang ada dalam
sistem merit dan selanjutnya penulis
mencoba memberikan pandangan
permasalahan tersebut melalui sudut
pandang etika administrasi.
Edisi Agustus 2019
Noors
113
Melalui penjelasan tersebut,
penulis berharap Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN), yang berdasarkan Pasal
25 ayat (2) huruf b UU ASN, memiliki
wewenang untuk melakukan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan
Manajemen ASN untuk menjamin
perwujudan Sistem Merit serta
pengawasan terhadap penerapan asas
serta kode etik dan kode perilaku ASN,
mampu untuk menyelesaikan
permasalahan ini dan meredam gejala
distrust yang kemungkinan besar akan
timbul dari kurang sempurnanya
penerapan sistem merit yang di atur
dalam UU ASN.
2. PEMBAHASAN
KASN sebagai lembaga yang
mendapatkan tugas untuk mengawasi dan
menjamin terlaksananya sistem merit di
Indonesia berada di dalam posisi yang
tidak ideal. Karena apabila ditinjau dari
segi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang saat ini berlaku, maka
tugas KASN hanya memastikan setiap
lembaga, baik pusat maupun daerah
untuk melaksanakan seleksi terbuka
dalam proses pengisian JPT. Sehingga
sistem merit hanya dimaknai dalam
tahapan pelaksanaan seleksi terbuka lalu
memastikan seleksi tersebut
menghasilkan 3 (tiga) nama terbaik
untuk selanjutnya PPK (Presiden,
Pimpinan Kementerian/Lembaga Pusat,
Gubernur, Bupati, Walikota) memilih
satu diantara ketiga nama tersebut.
Berdasarkan Pasal 112, pengisian
JPT Utama dan Madya di tingkat pusat
dipilih oleh Presiden dari hasil 3 (tiga)
besar seleksi terbuka. Pengusulan ketiga
nama tersebut dilakukan oleh PPK.
Adapun untuk JPT Pratama tingkat pusat,
maka sesuai dengan Pasal 113, PPK
masing-masing instansi yang berhak
untuk memilih pemenangnya dari 3 (tiga)
besar seleksi terbuka.
Di dalam Pasal 114, pengisian JPT
Madya di Provinsi (posisi Sekretaris
Daerah) dipilih oleh Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri, berdasarkan hasil
3 (tiga) besar seleksi terbuka yang
diusulkan oleh PPK Provinsi (Gubernur).
Gubernur selaku PPK di tingkat
Provinsi hanya berhak memilih
pemenang seleksi terbuka yang telah
mengerucut ke dalam 3 (tiga) besar untuk
JPT Pratama sesuai dengan Pasal 115.
Pada Pasal 115 ayat (5), Gubernur
mempunyai tugas tambahan untuk
memberikan "restu" pada
Bupati/Walikota ketika akan melantik
JPT Pratama hasil seleksi terbuka yang
akan menduduki posisi Sekretaris Daerah
di Kabupaten/Kota. Selain untuk posisi
Sekretaris Daerah, maka Bupati/Walikota
selaku PPK bisa langsung menentukan
pilihannya sesuai dengan 3 (tiga) besar
seleksi terbuka JPT Pratama.
Ketentuan yang mengakomodir
adanya "kebebasan" bagi PPK, yang
notabenenya diisi melalui mekanisme
politik, untuk memilih peserta seleksi
JPT yang tidak mendapatkan nilai
tertinggi sangat bertolak belakang
dengan sistem merit karena akan
mengikis profesionalisme.
Profesionalisme sejatinya merupakan
sebuah reduksi dari proses politik, sosial,
ekonomi dan budaya (Sulistiyani,
2010:91).
Adapun konsekuensi logis dari
penerapan ketentuan bolehnya PPK
memilih, maka hal itu membuka ruang
bagi PPK untuk menunjukan kekuasaan
politisnya terhadap JPT. Apalgi JPT
merupakan "bawahan" langsung dari
PPK. PPK akan memainkan faktor di
luar kinerja, kompetensi dan segala
Edisi Agustus 2019
Noors
114
macam indikator objektif lainnya ketika
memutuskan untuk memilih JPT dari
orang yang hanya menduduki peringkat
kedua atau ketiga.
Di dalam fase pemilihan tersebut,
dalam konteks MSDM, maka hal itu
merupakan wujud kelonggaran dan
permakluman terhadap infiltrasi spoil
system (Sulistiyani, 2010).
Karir dan posisi jabatan Pegawai
ASN serupa dengan abdi dalem pada era
prakolonial, karena karir dan posisinya
tidak berlandaskan pada sistem merit,
tapi justru sangat tergantung pada
kecerdikan Pegawai ASN dalam
memelihara dan memanfaatkan
hubungan pribadinya dengan para
pemangku jabatan politis (Rozi, 2006).
Hal itu menunjukan bahwa prinsip yang
ada di dalam sistem merit tidak mungkin
masuk ke dalam spoil system, begitu
juga sebaliknya.
Amerika Serikat, sebagai salah
satu negara yang menegaskan
menggunakan sistem merit di dalam
kebijakan dan manajemen birokrasi
sesuai dengan Civil Service Reform Act
yang di proklamirkan pada tahun 1978
(Lah dan Perry, 2008), menyebutkan
setidaknya ada 9 (Sembilan) prinsip
sistem merit, yaitu
Melakukan rekrutmen, seleksi, dan
prioritas berdasarkan kompetisi yang
terbuka dan adil;
a) Memperlakukan Pegawai Aparatur
Sipil Negara secara adil dan setara;
b) Memberikan remunerasi yang setara
untuk pekerjaan-pekerjaan yang
setara dan menghargai kinerja yang
tinggi;
c) Menjaga standar yang tinggi untuk
integritas, perilaku, dan kepedulian
untuk kepentingan masyarakat;
d) Mengelola Pegawai Aparatur Sipil
Negara secara efektif dan efisien;
e) Mempertahankan atau memisahkan
Pegawai Aparatur Sipil Negara
berdasarkan kinerja yang dihasilkan;
f) Memberikan kesempatan untuk
mengembangkan kompetensi kepada
Pegawai Aparatur Sipil Negara;
g) Melindungi Pegawai Aparatur Sipil
Negara dari pengaruh-pengaruh
politik yang tidak pantas atau tidak
tepat;
h) Memberikan perlindungan kepada
Pegawai Aparatur Sipil Negara dari
hukum yang tidak adil dan tidak
terbuka. (KASN, 2018).
Adapun prinsip merit berdasarkan
United Nation Development Programme
dalam KASN (2018), terdiri dari :
a) Jobs at every level;
b) The best candidate;
c) Open to all;
d) Systematic, transparent, and
challengeable.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang
telah disebutkan di atas, maka proses
seleksi terbuka untuk pengisian JPT
merupakan penjabaran dan bukti nyata
untuk menerapkan prinsip merit dalam
upaya menghasilkan kandidat terbaik
(the best candidate) melalui mekanisme
kompetisi yang adil dan transparan
berdasarkan kompetensi masing-masing
pegawai. Dan hal itu sangat jelas
bertolak belakang ketika dalam UU ASN
justu mengatur sebuah ketentuan yang
masih memberikan ruang bagi PPK
untuk bebas memilih peserta seleksi JPT
berapapun peringkat yang didapatkannya
(antara peringkat 1, 2, atau 3).
Karena pada hakikatnya ketentuan
tersebut melanggar prinsip untuk
menjauhkan para pegawai dari pengaruh
politik yang tidak pantas dan cenderung
Edisi Agustus 2019
Noors
115
akan membuat sebuah hukum yang tidak
adil dan tidak terbuka.
Hal itu membuat ASN di
Indonesia tidak cukup hanya
mengandalkan kinerja dan
kompetensinya untuk bisa mendapatkan
sebuah jabatan. Mereka masih harus
mempunyai dan bertumpu pada faktor X
untuk bisa dipilih oleh PPK, dan faktor X
itu adalah sebuah faktor yang sangat
dekat dengan unsur spoil system.
Walaupun mereka mampu menunjukan
kinerja dan kompetensi yang baik untuk
mengisi suatu jabatan dan bahkan telah
mendapatkan peringkat pertama serta
mendapatkan nilai tertinggi untuk setiap
komponen tes yang disyaratkan, hal-hal
objektif itu masih belum cukup untuk
menjadikannya sebagai orang yang
terpilih.
Definsi sistem merit seperti yang
tercantum dalam Pasal 1 angka 22 UU
ASN, yang mengatakan bahwa kebijakan
dan manajemen ASN didasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara adil dan wajar dengan tanpa
membedakan latar belakang politik, ras,
warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau
kondisi kecacatan, adalah sebuah slogan
semata.
Faktanya pengertian umum
tersebut dianulir oleh ketentuan pada
Pasal 112 s.d. 115 UU ASN, karena bila
memang kebijakan dan manajemen ASN
itu hanya didasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja, maka orang
yang berhasil menyelesaikan tahapan tes
dan mendapatkan nilai tertinggi adalah
orang yang paling layak untuk
mendapatkan sebuah jabatan.
KASN harus mampu menangkap
fenomena ini secara bijak karena gejala
atau fenomena ketidakpercayaan/distrust
terhadap sistem merit berdasarkan UU
ASN mulai muncul dari kalangan
internal birokrasi pemerintah Indonesia.
Hal itu terlihat dari pernyataan
salah satu mantan Kepala Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi
Kalimantan Barart, Kartius, yang
menyebutkan aturan lelang jabatan
(seleksi terbuka) adalah sesuatu hal yang
percuma karena pada akhirnya semua
tergantung kepala daerah. Dia
mencontohkan kasus ketika pelaksanaan
seleksi terbuka Dirjen Otda Kemendagri,
seperti yang telah diuraikan pada
Pendahuluan di atas, bahwasanya M Zeet
(ketika itu masih menjabat sebagai
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan
Barat) mendapatkan nilai tertinggi tapi
yang dilantik justru orang yang
mendapatkan peringkat 3. Kartius
kemudian mengatakan bahwa Open
bidding (seleksi terbuka) hanya sebuah
proyek bagi orang pusat (Suara Pemred
Kalbar, 2019).
Hal yang menarik dari pernyataan
Kartius di atas adalah, pernyataan
tersebut beliau berikan di tahun 2019
ketika diminta untuk berkomentar
terhadap hasil seleksi terbuka Sekretaris
Daerah (Sekda) Provinsi Kalimantan
Barat. Akan tetapi beliau kemudian
memberikan pernyataan bernada tidak
percaya pada proses seleksi terbuka
dengan langsung mengambil contoh pada
kasus yang terjadi pada tahun 2015.
Itu menandakan bahwa gejala
distrust pada sistem merit UU ASN
merupakan sebuah gejala yang telah
terpendam cukup lama dan kurang
mendapatkan perhatian yang cukup dari
KASN sebagai lembaga yang bertugas
untuk mengawal pelaksanaan sistem
merit di Indonesia.
Kepercayaan (trust) seringkali
menjadi sebuah kata yang dilupakan dan
tergusur oleh konsep legitimasi. Di
Edisi Agustus 2019
Noors
116
dalam praktek demokrasi yang ada saat
ini, pemerintah sering kali mengabaikan
faktor kepercayaan karena telalu sibuk
untuk menjalankan amanat peraturan
perundang-undangan (Margono, 2010).
Pemerintah menganggap bahwa ketika
peraturan itu telah disahkan maka tugas
pemerintah hanya tinggal
melaksanakannya tanpa mau untuk
kembali melihat apakah peraturan
tersebut telah mampu untuk memenuhi
dan menumbuhkan kepercayaan publik
atau tidak.
Menumbuhkan dan mendapatkan
kepercayaan merupakan konsep dalam
etika administrasi. Menurut Margono
(2010:42), etika administrai adalah
pembuatan keputusan yang etis (Ethical
decision making).
Keputusan yang etis atau sebuah
keputusan yang dihasilkan dari konsep
etis dalam sebuah pembuatan keputusan
diharapkan mampu untuk mencapai
kepercayaan/trust (Margono, 2010). De
Walle, dkk, dalam Margono (2010:44),
merumuskan bahwa :
"administration's highest pupose is
to build the public trust that makes
democracy possible". Building
such, …rest on ensuring the
"legality, integrity, efficiency,
effectiveness, involvement,
dependability, transparency, and
fairness" of administrative
practice'
Sehingga bisa saja trust itu tidak
diindahkan dan tidak mendapatkan
perhatian yang cukup besar oleh para
pemangku kepentingan. Karena memang
sebuah peraturan perundang-undangan
akan tetap sah untuk dilakukan, akan
tetapi hal itu hanya akan membuat
semakin kokohnya orientasi pragmatisme
elit pada kekuasaan dan hal itu akan
mendorong terjadinya demoralisasi
birokrasi (Margono, 2010).
Etika adalah sebuah falsafah
berkenaan dengan moralitas beserta
persoalan-persoalan dan pembenaran-
pembenarannya (Kumorotomo, 2009:8).
Etika selalu berkaitan dengan moral,
karena memang etika adalah ilmu
pengetahuan tentang kesusilaan atau
moral. Adapun moral adalah hal-hal yang
mendorong manusia untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik sebagai
"kewajiban" atau "norma" (Kumorotomo,
2009:9).
Berdasarkan pengertian dasar
tersebut, maka konsep yang dirumuskan
oleh De Walle, dkk, bahwa tujuan utama
administrasi adalah mendapatkan
kepercayaan melalui keputusan yang
dihasilkan dari konsep etis sebagai
pengertian dari etika administrasi adalah
sebuah keniscayaan. Karena memang
sudah seharusnya setiap keputusan itu
tidak menyalahi moral yang berlaku
untuk akhirnya mampu menumbuhkan
kepercayaan dari masyarakat. Ketika
yang terjadi justru sebaliknya, maka
fenomena distrust akan muncul ke
permukaan.
Berkaitan dengan seleksi terbuka
JPT di Indonesia, maka secara moral
orang yang berhasil menduduki peringkat
pertama dengan mendapatkan nilai
terbaik adalah orang yang harus terpilih.
Dan ketika yang terjadi justru tidak
seperti itu, maka keputusan yang diambil
adalah sebuah keputusan yang tidak
berangkat dari konsep yang etis.
3. KESIMPULAN
Penerapan sistem merit di
Indonesia melalui UU ASN masih belum
sepenuhnya memenuhi prinsip sistem
merit. Kritik utama yang menyebabkan
Edisi Agustus 2019
Noors
117
sistem merit di Indonesia belum optimal
adalah karena adanya ketentuan dalam
Pasal 112 s.d. 115 UU ASN.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,
pemilihan JPT tidak sepenuhnya melihat
kompetensi Pegawai ASN karena
Pegawai ASN yang mengikuti seleksi
terbuka dan berhasil menduduki
peringkat pertama masih bisa dikalahkan
oleh peringkat kedua dan ketiga hasil
seleksi tersebut.
Permasalahan di atas harus mampu
diselesaikan oleh KASN secara
komprehensif. Penulis merumuskan 2
(dua) strategi yang bisa dilakukan oleh
KASN untuk memperbaiki pelaksanaan
sistem merit di dalam Kebijakan dan
Manajemen Pegawai ASN di Indonesia.
Pertama, KASN harus berani
untuk mengajukan revisi UU ASN
sehingga penerapan sistem merit melalui
mekanisme seleksi terbuka bisa
diimplementasikan dengan baik. Revisi
itu harus langsung mengarah pada Pasal
108 s.d. 115 UU ASN.
Kedua, di dalam proses pengajuan
revisi UU ASN, khususnya revisi untuk
Pasal 108 s.d. 115 UU ASN, KASN pasti
akan menghadapi perlawanan dari
kalangan elit politik. Karena
penghilangan kekuasaan bagi PPK (yang
notabene merupakan sebuah jabatan
politik) akan dipandang sebagai sebuah
usaha mengurangi kewenangan jabatan
politik.
Oleh karena itu KASN harus
mampu membuat kajian akademik secara
mendalam terkait prinsip sistem merit
sesuai dengan teori yang ada serta
praktek yang telah dilakukan oleh negara
maju. Kajian akademik itu pun harus bisa
mengakomodir respon dari pegawai ASN
di Indonesia, sehinga setidak-tidaknya
kajian akademik sebagai pendukung
argumen KASN harus memuat :
a) Tingkat kepuasaan Pegawai ASN,
khususnya yang telah pernah ikut
dalam proses seleksi terbuka sehingga
mampu mendapatkan gambaran
sejauh mana pendapat Pegawai ASN
terkait pelaksanaan seleksi terbuka
yang telah dilakukan selama ini;
b) Listing nama-nama Pegawai ASN
yang berhasil mendapatkan atau
menduduki peringkat pertama seleksi
terbuka JPT akan tetapi tidak terpilih
untuk menduduki jabatan tersebut.
Data ini menjadi penting karena
merupakan indikator utama apakah
presentasi PPK tidak memilih
peringkat pertama hasil seleksi cukup
tinggi atau tidak;
c) Pendapat akademisi dan pejabat
birokrasi (pejabat pimpinan tinggi)
dalam merumuskan dan
mendefinisikan secara lengkap terkait
sistem merit dan prinsip yang ada di
dalamnya.
4. DAFTAR RUJUKAN
A. Buku
Busro, Dr. Muhammad. 2018. Teori-teori
Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta. Prenadamedia
Group.
Kumorotomo, Wahyudi. 2009. Etika
Administrasi Negara. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada.
Kim, Pan Suk. (Ed.) 2010. Civil Service
System and Civil Service Reform
in ASEAN Member Countries and
Korea. Seoul. Daeyoung
Moonhwasa Publishing Company.
Edisi Agustus 2019
Noors
118
Margono, Subando Agus. 2010.
Demoralisasi Birokrasi dan
Manipulasi Kebijakan Publik :
Telaah Pengembangan Kapasitas
untuk Mencermati Lemahnya
Governance. In Dr. Wahyudi
Kumorotomo dan Dr. Ambar
Widaningrum (Ed.). Reformasi
Aparatur Negara Ditinjau Kembali
(39-53). Yogyakarta. Gavamedia.
Rozi, Syafuan. 2006. Zaman Bergerak,
Birokrasi Dirombak : Potret
Birokrasi dan Politik di Indonesia.
Jakarta. Pustaka Pelajar.
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2010.
Meritokrasi dalam Sistem
Administrasi Negara Indonesia. In
Dr. Wahyudi Kumorotomo dan Dr.
Ambar Widaningrum (Ed.).
Reformasi Aparatur Negara
Ditinjau Kembali (84-95).
Yogyakarta. Gavamedia.
Widhyharto, Derajad S. 2011.
Permasalahan-permasalahan SDM
: Problem Serius Menuju Good
Governance. In Ambar Teguh
Sulistiyani (Ed.). Memahami Good
Governance : Dalam Persepektif
Sumber Daya Manusia, 109-129.
Yogyakarta. Gavamedia.
B. Jurnal
Becker, Brian dan Barry Gerhart. 1996.
The Impact of Human Resource
Management on Organizational
Performance : Progress and
Prospects. Academy of
Management Journal, 39(4):779-
801.
Huselid, Mark. 1995. The Impact of
Human Resource Management
Practice on Turnover,
Productivity, and Corporate
Financial Performance. Academy
of Managemnt Journal, 38(3) :
635-672.
Lah, T.J., dan Perry, James L. 2008. The
Diffusion of the Civil Service
Reform Act of 1978 in OECD
Countries : A Tale of Two Paths to
Reform. Review of Public
Personnel Administration Vol.
28(3), 282-299.
Tompkins, Jonathan. 2002. Strategic
Human Resource Management in
Government : Unresolved Issues.
Public Personnel Management. 31
(1):95-109.
C. Dokumen
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
2018. Pemetaan Penerapan Sistem
Merit dalam Manajemen Aparatur
Sipil Negara (ASN). Jakarta.
D. Internet
Antaranews. 2015. Seleksi Calon Dirjen
Otda Dinilai Tidak Transparan.
Diakses dari
https://kalbar.antaranews.com/berit
b/334548/seleksi-calon-dirjen-
otda-dinilai-tidak-transparan.
Suara Pemred Kalbar. 2019. Empat
Nama Bersaing Jadi Sekda.
Diakses dari
https://www.suarapemredkalbar.co
m/berita/ponticity/2019/02/27/emp
at-nama-bersaing-jadi-sekda.
Untuk bagian isi ditulis dalam 2
(dua) kolom
1. PENDAHULUAN (Cetak
tebal)
Pendahuluan mencakup
latar belakang atau isu atas
permasalahan serta urgensi dan
rasionalisasi kegiatan (penelitian
atau pengabdian). Tujuan kegiatan
dan rencana pemecahan masalah
disajikan dalam bagian ini.
1. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Riset)
JUDUL
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)
Penulis1
Penulis2
dst.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak
boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja
dan penulisan nama tanpa
menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis
1)
e-mail Penulis1
Nama Instansi (Penulis2)
e-mail Penulis1
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja
untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak
boleh disingkat)
Abstract/ Abstrak
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah dan maksimal 12 kata)
Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang
tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang
menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis
dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak berisikan isu-isu pokok,
tujuan penelitian, metoda/ pendekatan dan hasil penelitian. Abstract/
Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan
rata kiri-kanan dan spasi tunggal)
Keywords/ Kata kunci: Maksimal 5 (lima) kata kunci, dipisahkan dengan
tanda koma.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan
dan cetak miring)
Tinjauan pustaka yang relevan dan
pengembangan hipotesis (jika ada)
dimasukan di dalam bagian ini.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PENGEMBANGAN
HIPOTESIS (JIKA ADA)
(Cetak tebal)
Bagian ini berisi kajian
literatur yang dijadikan sebagai
penunjang konsep penelitian.
Kajian literatur tidak terbatas pada
teori saja, tetapi juga bukti-bukti
empiris. Hipotesis penelitian (jika
ada) harus dibangun dari konsep
teori dan didukung oleh kajian
empiris (penelitian sebelumnya).
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
3. METODE PENELITIAN
(Cetak tebal)
Metode penelitian
menjelaskan rancangan kegiatan,
ruang lingkup atau objek, bahan
dan alat utama, tempat, teknik
pengumpulan data, definisi
operasional variabel penelitian dan
teknik analisis. (Jenis tulisan
Times New Roman, ukuran 11,
posisi tulisan rata kiri-kanan, spasi
tunggal dan alinea pertama
menjorok ke dalam 4 (empat)
ketukan).
4. HASIL DAN
PEMBAHASAN (Cetak tebal)
Bagian ini menyajikan hasil
penelitian. Di dalam ini dapat
dilengkapi dengan tabel, grafik
(gambar) dan/ atau bagan. Bagian
pembahasan memaparkan hasil
pengolahan data,
menginterpretasikan penemuan
secara logis, mengaitkan dengan
sumber rujukan yang relevan.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
5. KESIMPULAN (Cetak tebal)
Kesimpulan berisi
rangkuman singkat atas hasil
penelitian dan pembahasan serta
dapat pula diberikan suatu
rekomendasi atau saran. (Jenis
tulisan Times New Roman, ukuran
11, posisi tulisan rata kiri-kanan,
spasi tunggal dan alinea pertama
menjorok ke dalam 4 (empat)
ketukan).
6. REFERENSI (Cetak tebal)
Penulisan naskah dan sitasi
yang diacu dalam naskah ini
disarankan menngunakan aplikasi
referensi (reference manager),
seperti Mendeley, Zotero,
Reffwork, Endnote dan lain-lain.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
Untuk bagian isi ditulis dalam 2
(dua) kolom
1. PENDAHULUAN (Cetak
tebal)
Pendahuluan memuat hal
pokok, yaitu: 1) Latar belakang
atau acuan permasalahan; 2) Hal-
hal menarik yang belum tuntas; 3)
Perkembangan baru; dan 4) Tujuan
2. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Non-Riset)
JUDUL
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)
Penulis1
Penulis2
dst.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak
boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja
dan penulisan nama tanpa
menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis
1)
e-mail Penulis1
Nama Instansi (Penulis2)
e-mail Penulis1
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja
untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak
boleh disingkat)
Abstract/ Abstrak
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah dan maksimal 12 kata)
Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang
tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang
menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis
dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak memuat: (a) Tujuan
penelitian; (b) Isu-isu pokok; dan (c) Alternatif pemecahan. Abstract/
Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan
rata kiri-kanan dan spasi tunggal)
Keywords/ Kata kunci: Antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) kata kunci,
dipisahkan dengan tanda koma.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan
dan cetak miring)
penelitian. Semua referensi yang
dirujuk secara tidak langsung
ditulis dengan cara (Nama,
Tahun), sedangkan yang dikutip
secara langsung ditulis dengan
cara (Nama, Tahun:Halaman).
Pendahuluan diharapkan maksimal
20% dari keseluruhan artikel.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
2. PEMBAHASAN (Cetak tebal)
Paparan pada pembahasan
dapat dibagi menjadi beberapa sub
judul. Pembahasan berupa kupasan
yang sifatnya analitik,
argumentatif, logis dan kritis. Isi
pembahasan adalah cermin dari
pendirian/ sikap Penulis terhadap
permasalahan yang menjadi fokus
tulisan. Semua referensi yang
dirujuk secara tidak langsung
ditulis dengan cara (Nama,
Tahun), sedangkan yang dikutip
secara langsung ditulis dengan
cara (Nama, Tahun:Halaman).
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
3. KESIMPULAN (Cetak tebal)
Kesimpulan dibuat dalam
paragraf pendek yang memuat
tentang penegasan pendirian
Penulis dan saran-saran.
Kesimpulan ditulis maksimal 10%
dari keseluruhan isi artikel. (Jenis
tulisan Times New Roman, ukuran
11, posisi tulisan rata kiri-kanan,
spasi tunggal dan alinea pertama
menjorok ke dalam 4 (empat)
ketukan).
4. DAFTAR RUJUKAN (Cetak
tebal)
Semua rujukan yang dimuat
dalam paparan artikel harus
dicantumkan pada daftar rujukan.
Sumber yang dirujuk sedapat
mungkin (minimal 80%)
merupakan rujukan-rujukan
terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan
yang diutamakan adalah sumber-
sumber primer berupa laporan
penelitian (termasuk skripsi, tesis
dan disertasi) atau artikel-artikel
penelitian dalam jurnal atau
majalah ilmiah. Penulisan naskah
dan sitasi yang diacu dalam naskah
ini disarankan menngunakan
aplikasi referensi (reference
manager), seperti Mendeley,
Zotero, Reffwork, Endnote dan
lain-lain. (Jenis tulisan Times New
Roman, ukuran 11, posisi tulisan
rata kiri-kanan, spasi tunggal dan
alinea pertama menjorok ke dalam
4 (empat) ketukan).
Redaksi: KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG Jalan Kiara Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang, Telepon (022) 87835007, Fax (022) 87835008
Jalan Sukajadi Nomor 185 Bandung 40162, Telepon/ Fax (022) 2031435 Website www.ppsdmregbandung.kemendagri.go.id, E mail [email protected]
E mail Jurnal: [email protected]
PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
REGIONAL BANDUNG