ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · jurnal...

129
JURNAL KEDIKLAT AN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG No. ISSN: 2088-4397 KEMENTERIAN DALAM NEGERI AGUSTUS 2019 Membangun Kepemimpinan Pemerintahan Profesional Melalui Diklat Kepemimpinan Terintegrasi Suparjana Pergeseran Paradigma Pemerintah Mudji Estiningsih Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri 1 Palembang Ratna Hustati Relokasi Atas Hapusnya Hak Milik Tanah Akibat Erosi Pantai di Desa Bedono Abu Hasan Ruang Terbuka Hijau Publik dalam Memberikan Daya Dukung Bagi Pembangunan di Kawasan Perkotaan Sumedang Yetti Seprianti Br. Sembiring Triple Helix Faktor Kunci Pembangunan Desa: Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa Ala Korea Teguh Solih Setyo Wibowo Kinerja Birokrasi Pendidikan Era Otonomi Daerah dalam Kompleksitas Perkembangan Lutfhi N. Fahri Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia: Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System Adima Insan Akbar Noors

Upload: others

Post on 03-Feb-2020

45 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

REGIONAL BANDUNG

No. ISSN: 2088-4397 KEMENTERIAN DALAM NEGERI

AG

US

TU

S

2019

Membangun Kepemimpinan Pemerintahan Profesional Melalui

Diklat Kepemimpinan Terintegrasi

Suparjana

Pergeseran Paradigma Pemerintah

Mudji Estiningsih

Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri 1 Palembang

Ratna Hustati

Relokasi Atas Hapusnya Hak Milik Tanah Akibat Erosi Pantai di Desa Bedono

Abu Hasan

Ruang Terbuka Hijau Publik dalam Memberikan Daya Dukung Bagi

Pembangunan di Kawasan Perkotaan Sumedang

Yetti Seprianti Br. Sembiring

Triple Helix Faktor Kunci Pembangunan Desa:

Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa Ala Korea

Teguh Solih Setyo Wibowo

Kinerja Birokrasi Pendidikan Era Otonomi Daerah dalam

Kompleksitas Perkembangan

Lutfhi N. Fahri

Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia:

Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System Adima Insan Akbar Noors

Page 2: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

i

Jurnal Kediklatan merupakan media publikasi ilmiah berkala yang diterbitkan oleh

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung

DEWAN REDAKSI

JURNAL KEDIKLATAN

PUSAT PENGEMBANGAN

SUMBER DAYA MANUSIA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

REGIONAL BANDUNG

Penanggung Jawab : Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si

Pimpinan Redaktur : 1. Drs. Suparjana, MA, M.Pub.Admin

2. Dra. Mimi Mintarti, M.AP

Penyunting Editor : 1. Kartiwi, M.Si

2. Dyah Miranti Maharani, MA

Sekretariat : 1. Mamay Mulyadin, SE, M.Si

2. Nusirman, SE, M.AP

3. Endang Yusnani, SE, M.Si

Desain Grafis : 1. Rudy Suhartanto, S.STP, M.AP

2. Lutfhi N. Fahri, S.STP, M.Si

Paper Calling for Jurnal

Dewan Redaksi Jurnal menerima sumbangan naskah berupa hasil

penelitian, kajian dan gagasan ilmiah yang merupakan karya orisinil

Penulis dan belum pernah dipublikasikan di media publikasi yang lain.

Tulisan dapat disampaikan ke Pusat Pengembangan Sumber Daya

Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung Jalan Kiara

Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang atau melalui E mail

[email protected]. Untuk informasi lebih lanjut dapat

menghubungi Sekretariat Dewan Redaksi Jurnal (Telepon (022)

87835007).

Page 3: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

ii

SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENGEMBANGAN

SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG

Kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan

Yang Maha Esa karena atas perkenan dan karunia-Nya bahwa

Jurnal Kediklatan pada Edisi Agustus ini dapat terbit sesuai dengan

rencana yang telah ditetapkan.

Dengan terbitnya dan melalui jurnal ini diharapkan para

Aparatur termotivasi untuk menuangkan pengetahuannya mungkin

juga pandangan dan wawasan mengenai bidang ilmu yang

digelutinya selama ini atau mungkin bidang ilmu lainnya, baik

yang relevan ataupun yang kurang relevan dengan bidang ilmunya,

tetapi merupakan bidang yang diminatinya atau yang menjadi

perhatiannya.

Untuk mengakhiri sambutan ini Saya ucapkan “SELAMAT”

kepada Dewan Redaksi Jurnal Kediklatan dan terima kasih kepada

semua pihak, khususnya para Penulis yang telah membantu dalam

penerbitan Jurnal Kediklatan Edisi Agustus Tahun 2019 ini.

Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Regional Bandung

Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si

Page 4: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

iii

PENGANTAR REDAKSI

uji dan syukur diucapkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa

karena dengan berkat rahmat dan karunia-Nya, Jurnal Kediklatan telah

terbit untuk Edisi Agustus 2019. Jurnal berkala ini merupakan jurnal

yang dikelola oleh Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Regional

Bandung. Penerbitan jurnal dilakukan 3 (tiga) kali setahun, yaitu pada Bulan

April, Agustus dan Desember. Jurnal Kediklatan merupakan suatu wadah bagi

Widyaiswara, Pejabat Struktural, Peneliti, Dosen, Tenaga Kediklatan dan para

pihak-pihak lainnya sesuai minat kajian masing-masing untuk meningkatkan

kemampuan menulis dan mempublikasikan artikel-artikel ilmiah. Jurnal

berkala ini memuat tulisan-tulisan, baik berupa hasil penelitian, artikel ulas

balik dan laporan kasus.

Pada edisi ini dimuat 8 (delapan) artikel berupa hasil penelitian dan

kajian kepustakaan. Sebagai Penulis utama artikel pada volume ini adalah

Suparjana, Mudji Estiningsih, Ratna Hustati, Abu Hasan, Yetti Seprianti Br.

Sembiring, Teguh Solih Setyo Wibowo, Lutfhi N. Fahri dan Adima Insan

Akbar Noors. Pada umumnya Penulis artikel pada Jurnal Kediklatan berasal

dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Regional Bandung. Pada

Edisi Agustus ini telah masuk 3 (tiga) artikel dari Pusat Pengembangan

Sumber Daya Manusia Regional Yogyakarta, Biro Kepegawaian Sekretariat

Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengembangan Sumber Daya

Manusia Provinsi Sumatera Selatan.

Mudah-mudahan Jurnal Kediklatan dapat memberikan wawasan baru

dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Negeri

pada umumnya, dan pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur pada

khususnya. Dengan demikian, jurnal ini dapat memberikan kontribusi

terhadap perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Negeri dan

pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur serta aplikasinya melalui

publikasi ilmiah.

P

Salam,

Redaksi

Page 5: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

iv

DAFTAR ISI

halaman

DEWAN REDAKSI ......................................................................... i

SAMBUTAN ..................................................................................... ii

PENGANTAR REDAKSI ............................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................... iv

MEMBANGUN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

PROFESIONAL MELALUI DIKLAT KEPEMIMPINAN

TERINTEGRASI: Sebuah Gagasan Alternatif Suparjana/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 1 – 15

PERGESERAN PARADIGMA PEMERINTAH Mudji Estiningsih/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta ........................................ 16 – 29

EVALUASI PROGRAM BUDAYA MEMBACA DI

SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PALEMBANG Ratna Hustati/ Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Provinsi Sumatera Selatan ............................................................................. 30 – 41

RELOKASI ATAS HAPUSNYA HAK MILIK TANAH

AKIBAT EROSI PANTAI DI DESA BEDONO Abu Hasan/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 42 – 49

RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DALAM

MEMBERIKAN DAYA DUKUNG BAGI PEMBANGUNAN

DI KAWASAN PERKOTAAN SUMEDANG Yetti Seprianti Br. Sembiring/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................. 50 – 61

TRIPLE HELIX FAKTOR KUNCI PEMBANGUNAN DESA:

Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa

Ala Korea Teguh Solih Setyo Wibowo/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung .............................................. 62 – 77

KINERJA BIROKRASI PENDIDIKAN ERA

OTONOMI DAERAH DALAM KOMPLEKSITAS

PERKEMBANGAN Lutfhi N. Fahri/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung .............................................. 78 – 108

Page 6: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

v

SELEKSI JABATAN PIMPINAN TINGGI DI INDONESIA:

Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System Adima Insan Akbar Noors/ Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal

Kementerian Dalam Negeri ............................................................................ 109 – 118

Template Artikel Jurnal Kediklatan

Page 7: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

Hal. 1 - 15

1

1. KONSIDERASI

Euforia Revolusi Industri 4.0 dan

Society 5.0 di dunia barat dan jepang

pada dekade terakhir ini melahirkan

konsekuensi bagi organisasi untuk

meningkatkan kemampuan beradaptasi

dari aspek paradigma, manajemen/

business process, budaya kerja maupun

kepemimpinan/ leadership. Singkatnya,

“perubahan”/ change dan inovasi/

innovation menjadi kata kunci bagi

organisasi baik yang akan tetap

bertahan/ eksis di tengah derasnya arus

globalisasi saat ini.

Di sektor publik/ pemerintahan,

tantangan di era Revolusi Industri 4.0

dan Society 5.0 berimplikasi pada

kewajiban pemerintah untuk melakukan

standarisasi dan sertifikasi terhadap

barang/ jasa, pelayanan maupun sumber

daya manusia. Tanpa standarisasi dan

sertifikasi terhadap aspek-aspek di atas,

pemerintahan tidak akan mampu

mengimbangi tuntutan masyarakat yang

kian deras dan masif.

Untuk dapat menggerakkan roda

pemerintahan secara progresif dan

dinamis (dynamic governance), perlu

dilakukan perubahan pada sektor

kepemimpinan/ leadership secara

komprehensif, yang mencakup

paradigma, kompetensi maupun

integritas kepemimpinan. Fenomena ini

penting, mengingat Kepemimpinan

pemerintahan memiliki kharakteristik

MEMBANGUN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN PROFESONAL

MELALUI DIKLAT KEPEMIMPINAN TERINTEGRASI:

Sebuah Gagasan Alternatif

Suparjana

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Bandung

[email protected]

Abstract

Current situation of Indonesian government needs leaders who know how to manage

organization and managers who know how to lead the government effectively

Effective leaders must be able to shift their roles and responsibilities in any

turbulencies. They need a judicious blend of leaders and managers as a managerial-

leader. Hence, the government must introduce leadership training to pursue

managerial leaders (those who have managerial and government competency

comprehensively) to overcome volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity of

the government.

Keywords: leadership, education and training, domestic government leadership,

integration.

Page 8: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

2

yang unik dan problematika yang lebih

kompleks dari kepemimpinan organisasi

pada umumnya. Kepemimpinan

pemerintahan tidak hanya berfokus pada

upaya mewujudkan efisiensi dan

efektifitas dalam penyediaan produk

layanan pemerintah (public service)

melalui serangkain proses manajemen

(Planning, organizing, actuating and

controlling) saja, namun jauh lebih

penting dari itu adalah kemampuan

menggerakkan keseluruhan pemangku

kepentingan (stakeholder). Dengan kata

lain, kepemimpin organisasi lebih

berfokus pada kualitas produk layanan,

sedangkan kepemimpinan pemerintahan

lebih menitikberatkan pada aspek

„manusia”nya melalui penguatan pada

aspek ke-pamong-an/ nurturing.

Dengan demikian, seorang

pemimpin pemerintahan, tidak cukup

hanya memiliki kompetensi manajerial

untuk mengelola luasnya masalah

pemerintahan, namun juga harus

memiliki kapasitas governance-

leadership (kompetensi Pemerintahan)

untuk memastikan bahwa semua urusan

pemerintahan dapat diselenggarakan dan

dihadirkan sesuai kebutuhan masyarakat.

Disamping itu, sejalan dengan

meningkatnya kompleksitas

penyelenggaraan pemerintahan saat ini,

Kompetensi Pemerintahan -sebagaimana

diatur di dalam Pasal 233 Ayat (1) s.d.

(5) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah- menjadi sangat

krusial mengingat berbagai inovasi

kebijakan strategis pemerintahan

khususnya di daerah harus dilakukan

dalam kerangka penguatan kebijakan

desentralisasi, menciptakan

keseimbangan hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah yang

harmonis untuk menjaga keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI), memastikan bahwa semua

urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah dapat dilaksanakan

dengan baik, menjamin pengelolaan

Keuangan Daerah yang semakin efisien

dan tepat sasaran.

Menguatnya permasalahan-

permasalahan sosial yang bernuansa

suku, agama, ras dan antar golongan

yang terjadi akhir-akhir ini memerlukan

perhatian yang serius bahwa rajutan

tenun kebangsaan yang bernama NKRI

ini harus tetap dijaga dan dirawat secara

bersama oleh pemerintah pusat dan

daerah melalui penguatan urusan

Pemerintahan Umum dengan spirit

bahwa Pusat adalah pusatnya daerah, dan

Daerah adalah daerahnya Pusat.

Menguatnya demokrasi di tingkat

local saat ini, juga menandakan bahwa

pembangunan demokrasi di Indonesia

melalui konsolidasi demokrasi telah

menunjukkan hasil yang

menggembirakan dengan diindikasikan

semakin tingginya partisipasi masyarakat

dan menguatnya lembaga perwakilan

baik di pusat maupun di daerah. DI

tingkat local, fenomena ini harus

diimbangi dengan penguatan serta

harmonisasi hubungan antara Pemerintah

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Derah (DPRD) agar penyelenggaraan

pemerintahan daerah semakin efektif

dan inovatif. Pada sat yang sama,

penguatan integritas kepemimpinan baik

di pusat maupun daerah harus terus

dilakukan secara simultan dan konisten

melalui serangkain proses mental

engineering dari aspek etika

kepemimpinan dan etika pemerintahan.

Munculnya paradigma Leadership

4.0 sebagaimana di lukiskan oleh Kim

Scott dalam bukunya yang berjudul

“Radical Candor (2017)” dapat dijadikan

sebagai referensi dalam membangun

Page 9: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

3

figur kepemimpinan pemerintahan yang

lebih professional dan adaptif terhadap

dinamika pemerintahan yang terjadi saat

ini. Leadership 4.0 menekankan pada

harmoni antara “manajemen” dan

“keseimbangan kekuasaan” (kemampuan

membangun hubungan yang baik dan

harmonis antar pemangku kepentingan/

stakeholder). Maksudnya bahwa

keberhasilan kepemimpinan di sektor

publik, tidak hanya disebabkan karena

kemampuan manajerial semata, namun

juga membutuhkan kemampuan untuk

mengkoordinasi, mengolaborasi,

membangun sinergi kemudian

mengorkestrasikan seluruh pemangku

kepentingan maupun lingkungan

strategis yang melingkupinya. Harus

disadari bahwa Pemerintahan saat ini

merindukan pemimpin yang secara tulus

mampu memadukan dua dimensi

fundamental yakni manajerial dan

kepamongan secara padu dan harmonis,

di sinilah letak pentingnya mendesain

intrumen pengembangan kompetensi

kepemimpinan (Pendidikan dan

Pelatihan/ Diklat) secara terintegrasi,

yang mampu memadukan dan

mengintegrasikan antara kompetensi

manajerial dan kompetensi

pemerintahan.

2. PEMAHAMAN GEJALA DAN

FAKTA

Meskipun kebijakan desentralisasi

di Indonesia sudah di inisiasi sejak awal

abad 20 melalui Decentralization Wet

Tahun 1903, namun secara serius, baru

dilaksanakan pada awal tahun 2000-an

dengan diundangkannya UU nomor 22

Tahun 1999. Selama hampir dua dekade

kebijakan desentralisasi tersebut

diluncurkan, berbagai kemajuan di

daerah sudah dapat dirasakan, bahkan

tidak sedikit prestasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang

ditorehkan oleh daerah baik pada tingkat

nasional maupun nationl international.

Namun jika kita cermati, berbagai

kemajuan dalam penyelenggaraan

pemerintahan (khususnya di daerah,

masih lebih diwarnai oleh dominannya

faktor kualitas “personal leadership

capacity” baik kepala daerah maupun

pimpinan OPD, daripada faktor kuatnya

bangunan “system” dari organisasi

pemerintahan daerah. Fakta ini tidak

keliru, hanya saja kondiwsi seperti ini

akan sangat lemah untuk menjaga

sustainabilitasnya, atau bahkan untuk

secara konsisten meningkatkan pada

level yang lebih tinggi. Akibatnya, bisa

kita lihat jika akselerasi kemajuan

Bangsa Indonesia tidak secepat negara-

negara di Asia Tenggara sekalipun.

Kemajuan suatu daerah juga sering sekali

mengalami antitesa atau bahkan anti-

klimak, ketika terjadi regenerasi

kepemimpinan baik pada level

organisasi, maupun pemerintah daerah,

sehingga pergantian kepemimpinan

organisasi pemerintahan lebih sering

merepresentasikan proses “trial and

error” daripada “execute and progress”.

Fenomena ini mendorong perlunya

kebijakan yang bersifat afirmatif dari

pemerintah untuk menyiapkan pemimpin

pemerintahan (baik di pusat maupun

daerah) yang memiliki profesionalitas

dan kompetensi yang tinggi;

Memasuki era digital-governance

saat ini, kepemimpinan pemerintahan

perlu di desain dan disiapkan sesuai

dengan tantangan jamannya, tanpa perlu

lagi menunggu berkah lahirnya seorang

pemimpin yang mewarisi bakat

kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan

dapat dibangun melalui serangkaian

proses yang memperkuat aspek

Page 10: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

4

knowledge, skill maupun personal

capacity (attitude), secara terintegrasi.

Dalam hal ini Dklat kepemimpinan bisa

dijadikan sebagai instrumen membangun

kualitas pemimpin pemerintahan yang

dibutuhkan pada masa yang akan datang.

Faktanya, Diklat untuk

menyiapkan kepemimpinan yang ada

saat ini masih bersifat parsial dan

sporadis. Parsial karena dari sisi

substansi belum mampu mencakup aspek

aspek yang dibutuhkan dalam

menjalankan fungsi kepemimpinan

secara komprehensif. Dikotomi antara

managerial vs leadership, manager vs

leader, masih sangat kuat dalam desain

materi maupun metode diklatnya.

Sedangkan sporadis, maksudnya bahwa

diklat-diklat yang menyiapkan kapasitas

kepemimpinan saat ini masih bersifat

sektoral dan merepresentasikan institusi,

daripada representasi kualifikasi

kompetensi yang dibutuhkan oleh

seorang pemimpin. Akibatnya, lembaga-

lembaga pemerintah, baik sipil maupun

militer, cenderung mendesain diklat

kepemimpinan sesuai kebutuhan masing-

masing. Selain tidak efisien dari sisi

waktu maupun pembiayaan, juga tidak

efektif dalam membangun spirit “Whole

of Government” (WoG) saat ini. Ke

depan, diklat kepemimpinan harus di

desain se-efisien dan sefektif mungkin

serta lebih banyak melibatkan banyak

stakeholder.

Diklat Kepemimpinan (Pelatihan

Kepemimpinan) serta Diklat

Kepemimpinan Pemerintahan Dalam

Negeri (Diklat Pimpemdagri) merupakan

diklat yang secara legal formal menjadi

kebijakan yang lakukan untuk

meningkatkan “kinerja kepemimpinan”

bagi ASN, meskipun keduanya memiliki

metode dan pendekatan yang berbeda.

Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) yang

selama ini dilaksanakan lebih

menitikberatkan pada pengembangan

kemampuan manajerial organisasi secara

umum (kompetensi Manajerial)

sebagaimana diamanatkan oleh UU

Nomer 5/ 2014 tentang ASN, sedangkan

Diklat Pimpemdagri mendorong pada

penguatan karakter kepemimpinan

pemerintahan (kepamongan),

sebagaimana diatur dalam UU Nomor

23/ 2014 tentang Pemerintahan Dearah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa

kehadiran Diklatpim dan Diklat

Pimpemdagri ini sebagai konsekuesi

dari adanya peraturan perundang-

undangan yang menyisakan adanya

diskrepansi dalam pengaturan

pengembangan kompetensi sumder daya

aparatur penyelenggara pemerintahan,

sehingga dalam implementasinya sering

terjadi inkonsistensi maupun distorsi.

Fenomena ini banyak dinilai sebagai

kebijakan yang kurang efektif dan

efisien, juga cenderung mendorong

panjangnya rantai birokrasi

pengembangan kompetensi dan

pengembangan karir pejabat ASN.

3. GAGASAN

Jabatan di sektor publik (mulai

dari JPT Madya sampai dengan

Pengawas) seyogyanya menjadi ajang

unjuk kompetensi dan unjuk kinerja

(field of battle) bagi ASN yang secara

kualifikasi telah memenuhi

persyaratan,bukan sebagai ajang latihan

(training camp), oleh karenanya

diperlukan serangkain kriteria dan

proses yang harus dipersiapkan bagi

ASN yang akan (sebelum) menduduki

jabatan publik. Hal ini penting untuk

dilakukan mengingat pada era dynamic

governance ini, sudah menjadi

keniscayaan bahwa pemerintahan harus

Page 11: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

5

KOMPETENSIMANAJERIAL

KOMPETENSIPEMERINTAHAN

PELATIHANKEPEMIMPINANPEMERINTAHAN(PKP)

PKP-NASIONAL(PKPN)

PKP-STRATEGIS(PKPS)

PKP-ADMINISTRATOR(PKPA)

PKP-PENGAWAS(PKPP)

UU NO 5/2014 UU NO 23/2014

ü DISKREPANSIü MISSINGLINKü SILO/EGO-SENTRIS

BRIDGING

DiperuntukkanuntuklevelJPTMadya/Eselon1ataujabatanyangsetara

DiperuntukkanuntuklevelJPTPratama/Eselon2ataujabatanyangsetara

Diperuntukkanuntukleveladinistrator/Eselon3ataujabatanyangsetara

DiperuntukkanuntuklevelPengawas/Eselon4ataujabatanyangsetara

UNSURYANGDIINTEGRASIKAN

DASARHUKUM

STANDARKOMPETENSILULUSAN

DESAINPEMBELAJARAN

STANDARINPUT

KURIKULUM

dikelola secara benar dan oleh orang-

orang yang tepat, bukan sebagai ajang

“trial and error”.

Berangkat dari pemahaman ini,

diklat-diklat yang fokus pada kapasitas

kepemimpinan (leadership capacity)

hendaknya di desain sebagai “Diklat

Pembentukan/ Diktuk” untuk persiapan

menduduki jabatan publik tertentu.

Desain “diktuk” ini tentu memiliki

karakter yang berbeda dengan diklat-

diklat yang bersifat pengembangan

“Dikbang”. “Diktuk” sebaiknya di desain

dengan memadukan antara character

building dan capacity development.

Dengan demikian gagasan

mengintegrasikan Diklat Kepemimpinan

dan Diklat Pimpemdagri lebih didorong

untuk membangun kebijakan

pengembangan kapasitas kepemimpinan

secara terintegrasi.

Gagasan integrasi ini tidak

dimaknai sebagai kebijakan untuk

mengintegrasikan dua kompetensi

(kompetensi manajerial dan kompetensi

pemerintahan) menjadi satu kompetensi.

Selain tidak memiliki rujukan secara

hukum, dua kompetensi ini tidak bisa

disatukan mengingat keduanya memiliki

dimensi dan sasaran yang berbeda,

namun perlu diselaraskan dan

diharmonisasikan dalam

pengembangannya. Oleh karena itu

upaya mengintegrasikan kedua diklat

kepemimpinan ini perlu difokuskan

untuk mencari desain/ formula yang tepat

untuk mengembangkan dua kompetensi

(manajerial dan pemerintahan) melalui

satu kegiatan pengembangan kompetensi

(diklat) yang terintegrasi.

4. INSTRUMENTASI GAGASAN

Integrasi Diklatpim dan Diklat

Pimpemdagri dapat dimulai dengan

mengidentifikasi aspek-aspek

fundamental yang dibutuhkan/

diperlukan dalam penyelenggaran

diklat, yang setidaknya mencakup :

a. Dasar Hukum kebijakan;

b. Standar Kompetensi yang akan

diwujudkan;

c. Kurikulum Diklat;

d. Desain/ Metode Pembelajaran;

e. Standar Waktu dan pembiayaan;

f. Standar input diklat.

Page 12: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

6

A. Dasar Hukum Kebijakan

Selama ini, Diklatpim

diselenggarakan sebagaimana amanat

dari UU No. 5/ 2014 tentang ASN,

sedangkan Diklat Pimpemdari

merupakan implementasi dari Pasal 233

ayat (1) samapi dengan (5) UU No. 23/

2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Penyelenggaraan kedua diklat ini masih

dirasakan belum sinergis dan cenderung

merepresentasikan ego-sektoral,

mengingat sampai saat ini belum ada

regulasi yang dapat dijadikan sebagai

titik simpul/ bridging, baik aspek

penyelenggaraan diklat, harmonisasi

kompetensi maupun sinergitas dalam

pendayagunaan sumber daya alumni

diklatnya di lingkungan pemerintah pusat

maupun daerah;

Oleh karenanya diperlukan

adanya regulasi yang dapat

menjembatani UU No. 5/ 2014 dan UU

No. 23/ 2014. Regulasi ini diharapkan

mampu mengharmonikan standar

kompetensi, standar kompetensi,

kurikulum, penyelenggaraan diklat

maupun pendayagunaan alumni diklat

bagi pemerintah pusat maupun daerah.

Namun demikian dalam kurun waktu

singkat sekarang ini dapat diterbitkan

regulasi secara bersama antar

kementerian/ lembaga yang memiliki

kewenangan dalam pengelolaan dan

pembinaan Sumber Daya Aparatur

Pemerintahan, seperti Kementerian PAN

dan RB, Lembaga Administrasi Negara,

Kementerian Dalam Negeri dan Badan

Kepegawaian Negara.

B. Standar Kompetensi yang

Diwujudkan

Integrasi kedua diklat ini tidak

dimaksudkan untuk meleburkan dua jenis

kompetensi (kompetensi manajerial dan

kompetensi pemerintahan) yang saat ini

secara legal formal sudah memiliki

rujukan hukum berbeda, yakni UU No. 5/

2014 tentang ASN dan UU No. 23/ 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Namun

demikian integrasi diklat ini

dimaksudkan agar kedua kompetensi ini

dapat diwujudkan dan diwadahi melalui

satu proses diklat yang terintegrasi,

sehingga selain lebih efektif dan efisien,

penguasaan kedua kompetensi ini oleh

ASN dapat selaras dan komprehensif,

mengingat kedua kompetensi ini

sebagaimana dua sisi mata uang yang

tidak dapat dipisahkan dalam

penyelenggaraan pemerintahan baik di

pusat maupun daerah.

Page 13: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

7

KOMPETENSILULUSAN YANG DIHARAPKAN

LEADER MANAGER

LEADERSHIP MANAGERIAL

ü PemimpinPemerintahanyangmemilikikemampuanmanagerialhandalü ManagerOPDyangmemilikikharakterkepemimpinanyangkuat

GOVERNNANCE

ManagerialLeader

Dari sudut pandang akademis,

pengembangan dua kompetensi ini secara

terpisah, masih mencerminkan kuatnya

dikotomi antara Managerial vs

Leadership atau manager vs leader,

sebagaimana kita temukan dalam

beberapa literature pada saat paradigma

The Old of Public Administration/ OPA

beberapa dekade yang lalu. Pandangan

yang dikotomis tersebut saat ini

dirasakan sudah tidak relevan lagi,

mengingat paradigma Whole of

Government lebih menekankan pada

pentingya bagi seorang pemimpin

pemerintahan atau (pimpinan OPD)

untuk mengelola organisasi

pemerintahan dengan melibatkan

keseluruhan stakeholder, baik

government, private sector, civil society

dan media secara koordinatif dan

integratif, karenanya, kompetensi

manajerial dan kompetensi pemerintahan

merupakan “conditio sine quanon” bagi

ASN yang akan menduduki jabatan

pemerintahan.

Sedangkan dari sudut pandang

filosofis-yuridis, masih menyiratkan

kuatnya ego sektoral (siloisme) dan

overlapping antar kementerian/ lembaga

di tingkat pusat, yang tentu saja bukan

menjadi pembelajaran yang baik bagi

daerah di era otonomi daerah sekarang

ini. Integrasi Diklatpim dan Diklat

Pimpemdagri ini, hendaknya bisa

menjadi momentum untuk

menyelaraskan antara UU No. 5/ 2014

dan UU No. 23/ 2014 serta menyerasikan

kinerja kementerian/ lembaga dalam hal

pengembangan kompetensi bagi Sumber

Daya Aparatur pemerintahan di pusat

dan daerah, sehingga tidak ada lagi ego-

sektoral dan overlapping dalam

pengembangan kompetensi ASN yang

kontra-produktif terhadap spirit whole of

government.

Singkatnya, integrasi diklat ini

diharapkan dapat menjadi rujukan bahwa

seorang ASN yang akan diberikan

tanggung jawab jabatan di instansi

pemerintahan, ia perlu dipastikan telah

memiliki kualifikasi sebagai

“managerial-leader”, yakni seorang

pemimpin yang mahir mengelola

organisasi sesuai dengan prinsip dan asas

penyelenggaraan pemerintahan yang

baik. Tidak selayaknya, jabatan

pemerintahan diberikan kepada orang

yang secara sahih belum bisa dibuktikan

kompetensinya, sebagai ajang “trial and

eror”. Sebagaimana dikatakan oleh

Bennis (1989:76):

Pemimpin yang memiliki kapasitas

“managerial-leader” harus mampu

menjebatani antar teori dan

praktek dalam menjalankan

pemerintahan, serta memiliki

kemampuan untuk mengambil

keputusan secara cepat dan tepat

untuk mengubah arah dan tujuan

organisasi ketika terjadi turbulensi.

Page 14: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

8

Kualifikasi “managerial-leader”

harus diwujudkan melalui harmonisasi

unsur-unsur kompetensi manajerial dan

kompetensi pemerintahan,

menyelaraskan kurikulum diklat serta

mengintegrasikan metode pembelajaran

melalui “blended-model”, bukan

“sequential-model” dalam integrasi

diklat ini, karena keduanya memiliki

pendekatan dan metode yang berbeda.

Sequential model hanya

menekankan pada proses

penyelenggaraan diklat, dengan

mengambil bagian-bagian dari kurikulum

ataupun sequen pembelajaran dari kedua

diklat kemudian dijadikan sebagai satu

kesatuan proses pembelajaran.

Kelemahan dari integrasi diklat dengan

model sequential learning sangat

potensial memunculkan miss-leading,

karena akan sangat berpeluang terjadinya

overlapping maupun redudancy baik dari

sisi substansi maupun metode

pembelajaran, walaupun metode

sequential learning ini lebih mudah untuk

di desain. Kelemahan lain yang mungkin

terjadi dan lebih beresiko adalah

munculnya ketidakseimbangan dari sisi

substansi dan dimensi, contohnya,

apabila subtansi (kurikulum maupun

metode pembelajaran) Diktpim lebih

banyak diakomodasi dalam integrasi ini,

maka ada kesan bahwa Diklatpim lebih

dominan daripada Diklat Pimpemdagri,

demikian juga sebaliknya. Hal ini tentu

kurang baik dan kurang tepat.

Metode “blended-model” dalam

integrasi ini lebih menekankan pada

mengharmonisasikan “esensi” dari

standar kompetensi, kurikulum maupu

metode pembelajarannya, bukan dengan

cara menggabungkan dua standar

kompetensi, dua kurikulum maupun dua

metode pembelajaran menjadi satu,

melainkan kita ambil esensi dan

filosofinya, kemudian di selaraskan dan

diharmonisasikan dalam diklat

terintegrasi. Sebagaimana yang saat ini

telah dan sedang berjalan, Standar

kompetensi manajerial telah diatur dalam

Permen PAN No. 38 Tahun 2017

tentang Standar Kompetensi Jabatan

ASN dan Kompetensi pemerintahan

diatur dalam Permendagri No. 108/ 2017

tentang Kompetensi Pemerintahan.

Untuk kurikulum dan metode

pembelajaran, selama ini Diklatpim

diatur dalam Peraturan Kepala LAN

Nomor 19/ 2015 dan Peraturan Kepala

LAN Nomor 20/ 2015. Metode blended-

model ini tentu akan lebih ideal

menimbukan kesan sebagai solusi “win-

win solution”, meskipun lebih rumit dan

membutuhkan waktu yang lebih panjang

dalam mendesain. Namun sebagai

sebuah proses desain kebijakan, faktor

kualitas kebijakan hendaknya lebih

menjadi perhatian daripada faktor

kemudahan maupun kecepatan.

C. Kurikulum Diklat

Kurikulum diklat integrasi di

desain dengan mengacu kepada

kompetensi yang akan diwujudkan dalam

diklat integrasi ini yakni Pemimpin

pemerintahan yang memiliki kualifikasi

sebagai “managerial-leader”, baik dari

aspek pengetahuan (knowledge),

keterampilam (skill) maupun sikap dan

perilaku (attitude) yang setidaknya

mencakup:

1) Pemahaman dan penguasaan nilai-

nilai dasar kepemimpinan

(leadership), seperti:

Penguasaan nilai diri seorang

pemimpin (personal leadership

capacity), kemampuan dalam

mengelola konflik dan

pengambilan keputusan (conflict

management and decision

Page 15: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

9

making), pemahaman dan

kesadaran terhadap tindakan dan

perilaku anti-korupsi, teknik

mempengaruhi dan menggerakkan

stakeholder.

Kemampuan memahami dan

mengadaptasi terhadap perubahan

paradigma kepemimpinan dan

dinamika lingkungan internal dan

ekternal organisasi.

2) Pemahaman dan penguasaan terhadap

aspek-aspek manajerial yang

meliputi:

Integritas

Komunikasi

Kerjasama

Orientasi pada hasil

Pelayanan publik

Pengembangan diri dan orang lain

Mengelola perubahan

Pengambilan keputusan

Perekat bangsa.

3) Kemampuan mengelola organisasi

pemerintahan yang mencakup:

Melakukan diagnosis organisasi

Melakukan identifikasi dan

pemetaan isu-isu permasalahan

pemerintahan

Membangun dan menumbuhkan

stimulus untuk melakukan inovasi

organisasi pemerintahan

4) Pemahaman terhadap aspek-aspek

penyelenggaraan pemerintahan yang

meliputi:

Kebijakan desentralisasi;

Hubungan Pemerintah Pusat dan

Daerah;

Urusan Pemerintahan yang

Menjadi Kewenangan Daerah;

Pemerintahan Umum;

Pengelolaan Keuangan Daerah;

Hubungan Pemerintah Daerah dan

DPRD; serta

Etika Pemerintahan.

5) Kemampuan dan keterampilan dalam

kepemimpinan lapangan yang

langsung berinteraksi dengan

masyarakat, yang meliputi:

Penjaringan informasi dan aspirasi

masyarakat

Kemampuan deteksi dini dan

cegah dini

Kemampuan mengidentifikasi dan

menggerakkan stakeholder

Pengambilan keputusan

D. Desain Pembelajaran

Untuk mengimplementasikan

kurikulum di atas agar standar

kompetensi lulusan yang telah ditetapkan

dapaat dicapai, maka metode diklat harus

di desain dengan memperhatikan

keseimbangan antara dimensi

kompetensi knowledge/ pengetahuan

(baik explicite maupun tacit), skill/

keterampilan, attitude/ sikap dan perilaku

kepemimpinan melalui pembelajaran

kelas dan non-kelas dengan

menggunakan media pembelajaran yang

relevan. Metode pembelajaran diklat

kepemimpinan ini setidaknya mencakup

tahap-tahap:

1) Leadership Capacity Development

(LCD);

2) Entrance to Governance-Managerial

(E-Gov);

3) Mapping on Governance‟s Issue

(MoGI);

4) Governance Innovation Iniciative

(GII); dan

5) Government-Leadership Laboratory;

6) Coaching Clinic on Governance

(CoCoG).

Page 16: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

10

1) Leadership Capacity Development

(LCD)

Merupakan tahap awal

pembelajaran dan merupakan tahap

fundamental yang bertujuan untuk

menenamkan dan membangun kapasitas

kepemimpinan ASN untuk dipersiapkan

menduduki jabatan pemerintahan.Pada

tahap ini materi pembelajaran lebih fokus

pada leadership personality peserta

diklat, untuk meyakinkan dan

memastikan bahwa sebelum diberikan

tugas jabatan sebagai pimpinan

organisasi pemerintahan (pada level

tertentu), ia sudah memiliki kesiapan

secara mental, memiliki paradigma dan

integritaskepemimpinan yang

memenuhi kriteria jabatan.

Tahapan ini merupakan elaborasi

dan kolaborasi esensi dari tahapan

pembelajaran Self Mastery pada

Diklatpim dan tahapan Collective

Leadership Building pada Diklat

Pimpemdagri. Pada tahapan ini,

pembelajaran dapat dilakukan di dalam

kelas (in door learning, out door

learning maupun dikombinasikan dengan

visitasi terhadap objek pembelajaran

tertentu yang dapat semakin

memantapkan proses internalisasi nilai-

nilai kepemimpinan pemerintahan.

Beberapa substansi yang dapat

diakomodasi dalam tahapan

pembelajaran ini, antara lain:

1) Mental/ Spiritual Engineering

(Revolusi Mental, wawasan

kebangsaan, integritas kepemimpinan,

membangun perilaku anti korupsi dan

sebagainya);

2) Leadership In Governance (LIG):

Materi ini bertujuan untuk

mengenalkan prinsip-prinsip

kepemimpinan pemerintahan,

mengingat tidak semua peserta diklat

telah memeiliki pengalaman

kepemimpinan sebelumnya. Pada

materi ini diperkenalkan

perkembangan paradigma

kepemimpinan yang berkembang saat

ini, seperti: Adaptive-leadership,

Digital-leadership, Leadership 4.0 dan

sebagainya, namun tidak dilepaskan

dalam konteks Kepemimpinan

Pemerintahan Indonesia (KPI) yang

memiliki filosofi “Ing Ngarso Sung

Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso,

dan Tut Wuri Handayani” (Di depan

menjadi teladan, di tengah

membangkitkan dan memberi

semangat serta di belakang memberi

support/ dukungan sebagaimana Bill

Gates mengatakan bahwa “Leaders

are those who empower others”;

3) Azas-Azas Umum Penyelenggaraan

Pemerintahan yang Baik (AUPB):

AUPB merupakan materi dasar dan

wajib dipahami dan

diimplementasikan oleh setiap

aparatur pemerintahan, terlebih bagi

pejabat pemerintahan. Materi ini akan

meletakkan nilai-nilai dasar

bagaimana berpemerintahan yang

Page 17: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

11

baik segaligus memberikan moral

guidance bagi aparatur pemerintahan;

4) Grand Design Regional Autonomy

(GDRA): Desain Besar Otonomi

Daerah ini materi yang wajib

dipahami oleh setiap aparatur

pemerintahan, baik di pusat maupun

daerah, karena memberikan kerangka

pemahaman dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Hubungan pusat dan

daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan dikonstrusi dalam

kerangka kebijakan otonomi daerah di

Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang memiliki kharakteristik yang

berbeda dengan negara-negara lain;

5) Public Service Oriented Governance

(PSOG): Materi ini bertujuan untuk

mengingatkan kembali peserta

mengenai jati diri pemerintahan yang

dilahirkan untuk memberikan

pelayanan pada masyarakat, sehingga

para aparatur sipil, terlebih lagi

pemimpin pemerintahan tidak boleh

mengalami disorientasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan;

6) Confict Resolution and Decision

Making (CRDM): Keterampilan dasar

yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin adalah mengelola konfik di

organisasi yang dipimpinnya. Ada

kalanya, tujuan organisasi tidak dapat

dicapai karena seorang pemimpin

gagal mengelola konflik yang terjadi

tidak mampu mengambil keputusan

secara tepat. Oleh karenanya, CRDM

ini menjadi materi yang wajib

diberikan dalam diklat kepemimpinan

terintegrasi ini.

2) Entrance to Governance-Managerial

(E-Gov)

Merupakan tahapan dimana,

setelah peserta diberikan bekal

kepemimpinan yang kuat, selanjutnya di

bawa masuk ke area atau medan di mana

kompetensi leadership-nya akan

dipraktekan, yakni dunia pemerintahan.

Tahap ini merupakan pembelajaran di

kelas (on class learning) dengan

penekanan bobot yang berimbang antara

teori dan praktek (sesuai level jabatan),

dapat juga diselingi dengan pembelajaran

yang bersifat “on the spot learning”

maupun “comparative learning” untuk

lebih mendalami isu-isu atau masalah

pemerintahan tertentu secara lebih

spesifik dan detail. Materi pembelajaran

pada tahap ini merupakan substansi dari

kompetensi manajerial (generic maupun

spesifik) sebagaimana diatur dalam

Permen PAN dan RB No. 38/ 2017

tentang Standar Kompetensi Jabatan

ASN dan kompetensi pemerintahan

(generic atau spesifik) sebagaimana

diatur dalam Permendagri No. 108/ 2017.

Materi-materi tersebut dapat mencakup,

antara lain:

1) Kebijakan Desentralisasi;

2) Hubungan Pemerintah Pusat dan

Daerah;

3) Urusan Pemerintahan yang Menjadi

Kewenangan Daerah;

4) Pemerintahan Umum;

5) Pengeleolaan Keuangan Daerah;

6) Hubungan Pemerintah Daerah dan

DPRD;

7) Etika Pemerintahan;

8) Integritas (Menyelaraskan antara pola

pikir, perilaku dengan tujuan

organisasi);

9) Komunikasi dan Kerjasama

(Membangun komunikasi dan

kerjasama dengan unsur pemerinah,

swasta, civil society dan media);

10) Orientasi pada Hasil (Mengelola dan

mengoptimalkan sumber daya

organisasi untuk tujuan bersama);

Page 18: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

12

11) Pelayanan Publik (Mengelola

pelayanan publik di organisasi

pemerintah);

12) Pengembangan Diri dan Orang Lain

(Membangun Organisasi

Pembelajaran);

13) Mengelola Perubahan (Mengelola

perubahan lingkungan strategis

organisasi pemerintahan); serta

14) Perekat Bangsa.

3) Mapping on Governance‟s Issue

(MoGI)

Tahapan ini merupakan elaborasi

dari tahapan pembelajaran Diagnostic

Reading pada Diklatpim dan

pembelajaran Define A Problem pada

Diklat Pimpemdagri. MoGI sangat

diperlukan bagi ASN khususnya pejabat

pemerintahan, karena pengambilan

keputusan organisasi akan efektif apabila

isu aatau permasalahan organisasi dapat

diidentifikasi secara akurat lalu dipetakan

secara tepat, sehingga permasalahan di

organisasi pemerintahan tidak dapat

diselesaikan secara parsial.

Pembelajaran pada Diagnostic

Reading secara umum hanya

dimaksudkan untuk mengidentifikasi

permasalahan organisasi yang dinilai

krusial dan urgen untuk dilakukan

intervensi dengan suatu inovasi,

sedangkan pada pembelajaran Define A

Problem, permasalahan yang sudah

teridentifikasi harus dianalisis lebih

mendalam dengan mengidentifikasi

keterkaitan suatu isu/ masalah

pemerintahan tersebut dengan berbagai

aspek yang terkait dengan standar

kompetensi pemerintaha, sehingga dapat

diidentifikasi bahwa suatu isu/ masalah

yang terjadi dalam suatu organisasi

pemerintahan tidak mustahil akan terkait

dengan permasalahan pada unit

organisasi pemerintahan yang lainnya.

Contohnya, permasalahan yang dihadapi

oleh Dinas Sosial di salah satu

Kabupaten/ Kota A, sangat mungkin

dipengaruhi oleh permasalahan pada

Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan,

Satpol PP dan sebagainya, dan akan

berpengaruh pada permasalahan di Dinas

yang lain pula, hal ini dikarenakan

permasalahan pemerintahan, akan saling

berkaitan dan tidak mungkin berdiri

sendiri.

Pembelajaran pada tahapan MoGI

ini dimaksudkan untuk menemukan peta

permasalahan tersebut, sehingga

permasalahan pemerintahan dapat

dipetakan dengan jelas dan kongkrit

untuk menjadi dasar untuk menentukan

inovasi pemerintahan secara

komprehensif pula, bukan secara parsial.

Selama ini, inovasi yang dimunculkan

dalam pembelajaran Diklatpim masih

bersifat parsial dan kasuistis sehingga

kurang memiliki daya ungkit

(leveraging) yang kuat bagi

pembangunan daerah. Output

pembelajaran pada tahap ini adalah,

setiap peserta mampu mengidentifikasi

dan mengaanlisis isu/ masalah

organisasinya, lalu secara bersama-sama

memetakan isu/ permasalahan tersebut

dalam bingkai permasalahan yang lebih

luas dan komprehensif, sehingga selain

bisa menemukan gagasan inovasi

individual untuk organisasinya, secara

bersama-sama bisa menemukan solusi/

inovasi yang lebih komprehensif (grand

innovation). Metode pembelajaran

MoGI ini juga dapat dijadikan

pembelajaran tematik (berdasarkan peta

permasalahan yang ditemukan) sehingga

output pembelajaran diklat integrasi lebih

dirasakan efektif, sehingga dalam setiap

penyelenggaraan diklat, dapat

dimunculkan setidaknya satu atau lebih

inovasi besar (grand innovation).

Page 19: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

13

4) Governance Innovation Iniciative

(GII)

Tahap ini lebih menekankan pada

aspek tacit knowledge dengan

memberikan stimulus kepada para

peserta untuk memunculkan gagasan

inovasi terhadap isu/ masalah di

organisasinya. Metode pembelajaran

pada tahap ini merupakan elaborasi dari

pembelajaran Merancang Proyek

Perubahan pada Diklatpim dan

pembelajaran Back Home Action Plan

(BHAP) pada Diklat Pimpemdagri. Input

pembelajaran aini adalah hasil/ output

dari pembelajaran MoGI pada tahap

sebelumnya. Jika pada pembelajaran

Diklatpim dan Diklat Pimpemdagri,

peserta hanya menemukan gagasan

inovasi/ action plan untuk internal

organisasinya, maka pada pembelajaran

GII ini, selain setiap peserta harus

memunculkan gagasan inovasi internal

organisasinya, secara bersama-sama bisa

menemukan konsep inovasi besar yang

dapat mengatasi permasalah secara

komprehensif. Konsep inovasi besar

(grand innovation) ini tidak perlu di

implementasikan selamakurun waktu

pembelajaran diklat, namun bisa menjadi

bahan untuk dilakukan pembelajaran

lapangan/ geladi bagi tahapan

pembelajaran selanjutnya.

5) Government-Leadership Laboratory

Tahapan ini merupakan

pembelajaran off class yang memberikan

kesempatan kepada peserta untuk

merealisasikan dan mengeksekusi

gagasan inovasi individual di organisasi

tempat asal peserta. Metode ini

merupakan elaborasi dari Implementasi

Proyek perubahan/ laboratorium

kepemimpinan pada Diklatpim dan

implementasi BHAP pada Diklat

Pimpemdagri. Tahap pembelajaran ini

lebih menekankan pada penguatan tacit

knowledge melalui praktek

kepemimpinan lapangan dalam

mengorganisasikan suatu kegiatan yang

sudah direncanakan pada tahapan

pembelajaran sebelumnya. Output

pembelajaran ini adalah berupa laporan

capaian implementasi gagasan inovasi

individual, sebagai bahan untuk

penyusunan Grand Innovation secara

bersama-sama dalam kelas yang

kemudian akan menjadi bahan geladi dan

pelaksanaaan uji kompetensi.

6) Coaching Clinic on Governance

(CoCoG)

Pada tahap pembelajaran ini ada

dua kegiatan utama yakni :

a) Geladi Manajemen Pemerintahan

Setelah peserta telah selesai

menyusun gagasan inovasi dan

mengimplementasikan di instansi

masing-masing, secara bersama-sama

dalam kelas, peserta menyusun grand

inovasi yang merupakan rangkaian

dari keterkaitan dari tiap-tiap inovasi

individual, untuk dijadikan sebagai

skenario geladi pemerintahan.

Kegiatan ini akan dipandu oleh tim

fasilitator.

b) Uji kompetensi dan Sertifikasi

Kompetensi

Merupakan kegiatan individual untuk

mengevaluasi keseluruhan

pembelajaran dan penguasaan materi

oleh peserta. Uji sertifikasi

dilaksanakan melalui test wawancara

yang didahului dengan setiap peserta

melakukan presentasi atas hasil

capaian pada akegiatan laboratorium

pemerintahan dan pengalaman peserta

dalam pelaksanaan geladi manajemen

pemerintahan. Penilaian dilakukan

oleh 3 (tiga) orang asesor, yang

meliputi:

Page 20: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

14

1) Asesor kompetensi manajerial

(LAN);

2) Asesor Kompetensi Pemerintahan

(LSP PDN/ Kemendagri); dan

3) Asesor/ konfirmasi dari pihak

ketiga (Mentor/atasan langsung

peserta).

7) Standar Waktu dan Pembiayaan

Selain tujuan efektivitas dalam

penyelenggaraan maupun

pendayagunaan output Diklat, integrasi

ini juga diharapkan dapat

mengefisienkan waktu maupun

pembiayaan diklat. Dengan demikian

integrasi kedua diklat ini dapat didesain

dengan tepat dan akurat baik dari sisi

anggara maupun durasi waktunya.

8) Standar Input Peserta Diklat

Sebagai Diklat pembentukan,

rekrutmen peserta diklat kepemimpinan

seyogyanya perlu dilakukan dengan

kriteria yang ditentukan dengan beberapa

pertimbangan, seperti:

1. Calon peserta sebaiknya telah

memiliki pengalaman kerja selama

kurun waktu tertentu dan pernah

mengikuti diklat teknis tertentu,

sehingga peserta akan memiliki

pengalaman untuk mengidentifikasi

organisasi masing-masing dan

memiliki kemampuan untuk

menyusun gagasan inovasi di

organisasi masing-masing.

2. Calon peserta merupakan ASN yang

sudah masuk dalam database calon

potensial menduduki jabatan tertentu

di Badan Kepegawaian (talent pool)

instansi yang bersangkutan;

3. Persyaratan lain sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang

menegatur tentang kepegawain/ ASN.

5. KESIMPULAN

Mengingat dinamika

penyelenggaraan pemerintahan yang

semakin cepat dan kompleks, maka

penguatan kapasitas kepemimpinan

(leadership) semakin penting dan

mendesak untuk dilakukan. Penguatan

kapasitas kepemimpinan bagi ASN ini

perlu dilakukan melalui serangkain

proses yang dapat mengintegrasikan

antara kompetensi manajerial

sebagaimana diamanatkan dalam UU

Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan

kompetensi Pemerintahan, sebagaimana

diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Selama

ini, masih dirasakan bahwa

pengembangan kompetensi

kepemimpinan bagi ASN masih bersifat

parsial dan sporadik,serta masih banyak

terjadi overlapping dan redundancy.

Oleh karena ini Diklat kepemimpinan

(Diklatpim) yang selama ini

dilaksanakan untuk memberikan

kompetensi manajerial dan Diklat

Kepemimpinan Dalam Negeri

(Pimpemdagri) untuk memberikan

kompetensi Pemerintahan, perlu di

integrasikan melalui desain yang tepat

agar penyelenggaraannya dapat lebih

efektif dan efisien. Integrasi kedua diklat

ini juga diharapkan dapat menjembatani

diskrepansi antara UU Nomor 5/ 2014

tentang ASN dan UU Nomor 23/ 2014

tentang dalam hal pengaturan mengenai

kompetensi sumber daya aparatur.

Integrasi Diklatpim dan Diklat

Pimpemdagri ini dapat dilakukan dengan

mengharmoniskan beberapa aspek yang

meliputi, dasar hokum penyelenggaraan,

menetapkan standar output yang akan

dihasilkan, merancang kurikulum diklat,

menyusun metode pembelajaran yng

tepat, menentukan standar waktu dan

Page 21: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Suparjana

15

pembiayaan serta kriteria input peserta

yang akan mengikuti diklat. Dengan

mamadukan keseluruhan aspek-aspek di

atas, maka integrasi Diklatpim dan Diklat

Pimpemdagri ini akan dapat

menghasilkan diklat yang efektif dan

efisien dan dapat memebuhi kebutuhan

kompetensi kepemimpinan saat ini.

Tulisan ini merupakan gagasan

awal yang perlu didiskusikan lebih lanjut

oleh para pemangku kepentingan secara

lebih luas, baik Kementerian Dalam

Negeri, Lembaga Administrasi Negara,

Kementerian PAN dan RB, Badan

Kepegawaian Negara maupun pihak-

pihak lain yang terkait.

5. DAFTAR RUJUKAN

Bennis, Warren; 1989, Becoming A

Leader, USA.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aparatur SIpil Negara.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi Nomor 38 tentang

Standar Kompetensi Jabatan

Aparatur Sipil Negara (ASN).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

85 Tahun 2017 tentang Pendidikan

dan Pelatihan Kepemimpinan

Dalam Negeri.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

108 tentang Kompetensi

Pemerintahan.

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi

Negara Nomor 17 Tahun 2015

tentang Pedoman Penyelenggaraan

Pendidikan dan Kepemimpinan

Tingkat I.

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi

Negara Nomor 18 Tahun2015

tentang Pedoman Penyelenggaraan

Pendidikan dan Kepemimpinan

Tingkat II.

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi

Negara Nomor 19 Tahun2015

tentang Pedoman Penyelenggaraan

Pendidikan dan Kepemimpinan

Tingkat III.

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi

Negara Nomor 20 Tahun2015

tentang Pedoman Penyelenggaraan

Pendidikan dan Kepemimpinan

Tingkat IV.

Nakah Akademik UU Nomor 23 Thun

2014 Tentang Pemerintahan

Daerah.

Radical Candor‟s “Care Personally

Change Directly” matrix — Taken

from:

https://www.radicalcandor.com/ab

out-radical-

candor/https://www.radicalcandor.

com

Page 22: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

Hal. 16 - 29

16

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintahan dibentuk dengan

maksud untuk membangun peradaban

dan untuk menjaga suatu sistem

ketertiban sehingga masyarakat bisa

menjalani kehidupan secara wajar.

Dalam perkembangannya, pemerintahan

telah mengalami pergeseran paradigma

yang kesemuanya dimaksudkan untuk

membangun peradaban suatu bangsa.

Transformasi paradigma pemerintahan

meliputi beberapa aspek antara lain;

perubahan paradigma manajemen

pemerintahan dari yang serba negara ke

orientasi pasar (market or public

interest), perubahan paradigma dari

pemerintahan yang kuat, besar dan

otoritarian ke orientasi small and less

government, egalitarian dan demokratis,

dan perubahan paradigma sistem

pemerintahan dari yang sentralistis ke

desentralisasi pengelolaan pemerintahan.

Hal itulah yang biasa

didengungkan adanya reformasi birokasi,

berarti adanya harapan dari pemerintah

untuk melakukan pergeseran paradigma

pada setiap perbuatan pemerintah.

Sebenarnya esensi dari pergeseran

paradigma atau yang biasa disebut

reformasi birokrasi adalah bukan

perbaikan pada struktur birokrasi semata.

Reformasi birokrasi juga harus membuat

aparatur birokrasi dapat secara efektif

dan efisien menggunakan serta

mengelola anggaran negara, menjalankan

PERGESERAN PARADIGMA PEMERINTAH

Mudji Estiningsih

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Yogyakarta

[email protected]

Abstract

The government was formed with the intention to develop civilization and to maintain

a system of order so that people could live their lives naturally. In its development,

the government has experienced a paradigm shift which is all intended to build the

civilization of a nation. The transformation of the governance paradigm includes

several aspects including; a change in the paradigm of government management from

an all-state to market orientation (market or public interest), a change in paradigm

from a strong, large and authoritarian government to a small and less government

orientation, egalitarian and democratic, and a change in the paradigm of a

government system from centralized to decentralized management government.

Keywords: paradigm, governance, bureaucratic reform.

Page 23: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

17

program dan menggunakan sumber daya

yang diberikan.

Perlu diingat kembali bahwa ada

tiga penanda reformasi birokrasi berhasil

dilaksanakan. Pertama, apabila birokrasi

menjadi lebih profesional, berbasis

kompetensi; kedua, birokrasi yang

profesional tersebut memberikan

pelayanan yang baik kepada masyarakat,

dalam arti murah, cepat dan efisien; dan

ketiga, jika reformasi birokrasi bisa

bebas dari semua kemungkinan KKN.

Patut kita sadari bahwa untuk

menggapai semua itu di atas memang

tidak mudah, apalagi diperoleh dalam

jangka waktu yang cepat. Hal ini karena

perubahan paradigma pemerintah atau

reformasi birokasi bukan hanya

mengeluarkan peraturan, membuat

organisasi, atau merekrut pegawai baru,

tapi reformasi birokrasi adalah

peningkatan kualitas SDM,

penyempurnaan sistem, prosedur kerja

dan menciptakan budaya kerja yang

unggul. Sekarang pertanyaannya, apakah

kita telah benar-benar menjalankan

pergeseran paradigma pemerintah?

Dari uraian diatas, maka dapat

dirumuskan suatu permasalahan dari

gerak tarnsformasi paradigma

pemerintah, antara lain :

1. Mengapa pergeseran paradigma

pemerintah ini perlu dalam dunia

kepemerintahan ?

2. Bagaimana mesin pergeseran

paradigma pemerintah ini

digerakkan?

3. Apa wujud nyata dari pergeseran

paradigma pemerintah menuju

perwujudan pemerintah yang baik ?

2. PEMBAHASAN

A. Pergeseran Paradigma Pemerintah itu

perlu dalam Dunia Kepemerintahan

Pemerintah (Government) ditinjau

dari pengertiannya berarti the

authoritative direction and administration

of the affairs of men/ women in a nation

state, city, etc. Pengertian kata

pemerintah dalam bahasa Indonesia

diartikan sebagai pengarahan dan

administrasi yang berwenang atas

kegiatan orang-orang dalam sebuah

Negara, bagian, kota dan sebagainya.

Istilah pemerintah dapat juga diartikan

sebagai the governing body of a nation,

state, city, etc., yaitu lembaga atau badan

yang menyelenggarakan pemerintahan

Negara, Negara bagian, atau kota dan

sebagainya.

Istilah pemerintah dapat

diklasifikasikan atas pengertian

pemerintah dalam arti luas maupun

dalam arti sempit. Istilah pemerintah

dalam arti luas meliputi seluruh

kekuasaan Negara yaitu kekuasaan

legislative, kekuasaan eksekutif dan

kekuasaan yudikatif. Pengertian

pemerintah dalam arti sempit hanya

meliputi cabang kekuasaan eksekutif

saja.

Sehubungan dengan istilah

pemerintah dan pemerintahan, saat ini

selain terdapat istilah government, juga

banyak dipergunakan istilah governance.

Berkaitan dengan pengertian governance,

Suhady, dkk. mengutip Kooiman

menyatakan bahwa:

Governance lebih merupakan

serangkaian proses interaksi sosial

politik antara pemerintah dengan

masyarakat dalam berbagai bidang

yang berkaitan dengan

kepentingan masyarakat dan

intervensi pemerintah atas

Page 24: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

18

kepentingan-kepentinga tersebut.

Dengan demikian, governance

tidak hanya berarti pemerintahan

sebagai suatu kegiatan, tetapi juga

mengandung arti pengurusan,

pengelolaan, pengarahan,

pembinaan, penyelenggaraan dan

bisa juga diartikan pemerintahan.

Governance sebagai terjemahan

dari pemerintahan kemudian berkembang

dan menjadi populer dengan sebutan

kepemerintahan, sedangkan praktek

terbaiknya disebut dengan

kepemerintahan yang baik (good

governance). Berdasarkan tinjauan

etimologis, governance berasal dari

bahasa Yunani kubernan, yang artinya to

pilot atau to steer. Istilah gubernare

dalam bahasa latin memiliki konotasi

makna yang sama dengan piloting, rule

making atau steering. Governance

diartikan sebagai the act or manner of

governing; the office or function of

governing.

Pengertian pemerintah dalam

perspektif hukum administrasi negara

sama dengan administrasi negara, yang

dalam bahasa Belanda dikenal dengan

sebutan bestuur. Kepustakaan Bahasa

Belanda mengartikan administrasi dalam

istilah adminstratief recht dengan

administrare/besturen. Besturen

mengandung pengertian fungsional dan

institusional/struktural. Fungsional

bestuur berarti fungsi pemerintahan,

sedangkan institusional/struktural bestuur

berarti keseluruhan organ pemerintah.

Lingkungan bestuur adalah lingkungan di

luar lingkungan regelgeving atau

pembentukan peraturan dan rechtsspraak

atau peradilan 4.

Istilah pemerintah mengandung

arti badan atau lembaga yang

menjalankan fungsi penyelenggaraan

pemerintahan (governing), sedangkan

kepemerintahan (governance) berkaitan

dengan proses penyelenggaraan

pemerintahan tersebut. Dalam praktek

penyelenggaraan pemerintahan,

governance merupakan proses yang

melibatkan berbagai aktor. Aktor-aktor

tersebut bisa merupakan badan publik,

badan semi privat atau privat, Pemerintah

tetap memiliki kedudukan dan fungsi

yang tak tergantikan dalam ha-hal

tertentu, walaupun dalam proses

governance seringkali terlibat banyak

aktor. Dikatakan oleh Osborne, dkk.5

bahwa pelayanan dapat dikontrakan atau

dialihkan ke sektor swasta, sedangkan

kepemerintahan tidak.

Fungsi-fungsi yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah modern

dewasa ini kian bertambah luas dan

membutuhkan kompleksitas kapasitas

profesional teknis yang semakin

beragam. Fungsi-fungsi pemerintah

tersebut adalah memimpin warga

masyarakat (leader) yang terdiri dari 6:

a. Mengemudikan pemerintahan

(governing)

b. Memberikan petunjuk (instructing)

c. Menghimpun potensi (gathering)

d. Menggerakkan potensi (actuating)

e. Memberikan arah (directing)

f. Mengkoordinasi kegiatan

(coordinating)

g. Memberi kesempatan dan kemudahan

(facilitating)

h. Memantau dan menilai (evaluating

and monitoring)

i. Membina (developing)

j. Melindungi (protecting)

k. Mengawasi (controllling)

l. Menunjang dan Mendukung

(supporting)

Page 25: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

19

Pergeseran paradigma pemerintah

ini perlu , karena untuk menghadapai dan

menjawab dinamika perubahan model

atau gaya kepemerintahan, mulai

perncanaan, pelaksanaan sampai

pertanggungjawaban.

Hal-hal yang berhubungan dengan

perubahan paradigma pemerintahan,

antara lain:

a. Sistem pemerintahan berubah, dari

sentralistik menjadi desentralistik.

b. Perubahan Peraturan Perundang-

undangan yang fundamentalis, mulai

lapis pemerintahan tingkat bawah

sampai pemerintah pusat.

Dalam dunia pemerintahan perlu

adanya suatu manajemen untuk

melakukan penataan ulang terhadap

semua aktifitas pemerintah. Perlu diingat

bahwa pemmerintah merupakan

penyelenggara negara yang memilikki

kekuasaan untuk mengatur seluruh sektor

dengan melakukan kendali yang kokoh

agar ketiga pilar kekuasaan pada negara

ini dapat berjalan normal sesuai

fungsinya masing-masing dengan tetap

memperhatikan kepentingan rakyat

diutamakan .penajaman kembali fungsi

sesuai dengan koridor dan rel yang benar

, perlu adanya penataan ulang organisasi

membuat keberadaan responsibility

center menjadi jelas.. oleh karena

perubahan paradigma pemerintah sangat

diperlukan dalam dunia kepemerintahan

dan organisasi pemerintahan.

Jika mempelajari pengalaman

sukses berbagai entiti organisasi yang

memanfaatkan teknologi informasi

disejumlah sektor/aspek kehidupan akan

terlihat sebuah benang merah yang

menjadi kunci keberhasilan. Benang

merah atau kesamaan yang ada adalah

berhasilnya para pengelola dan/atau

pemakai teknologi informasi dalam

memahami, menghayati, dan

menjalankan perubahan paradigma (cara

pandang) sistem entiti organisasi terkait

dari yang konvensional menjadi berbasis

teknologi digital. Hal tersebut berlaku

pula pada entiti pemerintahan. Paradigma

birokrat yang selama ini efektif

dipergunakan harus mulai digantikan

dengan paradigma e-Government.

Setidak-tidaknya ada 8 (delapan) aspek

yang membedakan antara kedua buah

paradigma tersebut, yaitu:

1. Orientation;

2. Process Organization;

3. Management Principle;

4. Leadership Style;

5. Internal Communication;

6. External Communication;

7. Mode of Service Delivery; dan

8. Principles of Orientation

Orientasi dari paradigma birokrat

adalah menghasilkan produk atau

pelayanan yang cost-efficient kepada

masyarakat dan mereka yang

berkepentingan (stakeholders).

Orientasinya pada efisiensi karena bukan

merupakan rahasia umum bahwa biaya

pemerintahan diambil langsung dari

anggaran belanja negara/daerah yang

terkadang sangat kecil dibandingkan

dengan volume dan frekuensi

produk/pelayanan yang harus diberikan

kepada masyarakat. Karena selalu

menggunakan ukuran biaya sebagai

fokus, maka dapat dimaklumi jika

banyak sekali produk atau pelayanan

yang diberikan kalangan birokrat

terkadang memiliki kualitas yang rendah

dan cenderung terkesan asal-asalan. Di

dalam e-Government pemberian produk

dan pelayanan harus berorientasi pada

kepuasan pelanggan (customer

satisfaction oriented). Ukuran

keberhasilan pemberian produk dan

Page 26: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

20

pelayanan dari pihak pemerintah kepada

masyarakat adalah jumlah keluhan

(complaint) dari pelanggan yang

bersangkutan terhadap kualitas produk

dan pelayanan yang diberikan.

Hal yang lain yang harus

diperhatikan, karena berorientasi kepada

kebutuhan dan kepuasan pelanggan,

maka produk maupun pelayanan yang

diberikan pun harus dapat fleksibel (di

sisi ekstrim, setiap produk atau

pelayanan harus dapat disesuaikan/tailor-

made dengan kebutuhan unik masing-

masing individu). Contoh lain aspek

fleksibilitas adalah sehubungan dengan

cara akses kepada pemerintahan. Kalau

di dalam pendekatan konvensional

masyarakat yang harus datang ke

birokrat, di dalam e-Government

pemerintah harus dapat menjawab

kebutuhan masyarakat 24 jam sehari dan

7 hari seminggu, dari mana saja dan

kapan saja.

I. Process Organization

Sebagaimana layaknya organisasi

birokrat kebanyakan, struktur organisasi

yang rigid dan kaku merupakan ciri khas

mesin manajemen pemerintahan. Dalam

kerangka ini, pemerintah membagi

dirinya menjadi departemendepartemen

atau divisi-divisi berdasarkan

spesialisasinya masing-masing

(fungsional) dimana di setiap departemen

atau divisi terkait, akan diberlakukan lagi

struktur organisasi yang disusun dengan

paradigma yang sama. Tujuan

dibangunnya mesin birokrasi semacam

ini adalah agar kontrol internal secara

efektif dapat berjalan dengan baik.

Dampak dari pendekatan organisasi

seperti ini adalah pembentukan teritori

pada masing-masing bagian sehingga

terkadang membuat penyelesaian

serangkaian pekerjaan menjadi lambat

dan mahal. Service Delivery.

Lihatlah bagaimana masyarakat

kerap di-“ping-pong” dari satu bagian ke

bagian yang lain jika yang bersangkutan

ingin mendapatkan pelayanan tertentu.

Di dalam e-Government, fenomena

“ping-pong” semacam itu tidak boleh

terjadi lagi karena akan sangat

merugikan masyarakat dan mereka yang

berkepentingan dengan pemerintah.

Masyarakat menuntut agar berbagai

proses pelayanan yang diberikan dari

hari harus semakin baik, cepat, dan

murah. Untuk keperluan tersebut,

pemerintah harus merombak ulang

struktur organisasi rigid-nya agar dari

yang bersifat fungsional dapat

mendukung aktivitas yang berbasis

proses. Jelas terlihat di sini bahwa kerja

sama antara departemen (lintas sektoral)

Page 27: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

21

harus terjadi. Di dalam e-Government,

tuntutan ini dapat menjadi kenyataan bila

pemerintah mengimplementasikan sistem

jaringan antar departemennya yang

berfungsi saling tukar-menukar informasi

melalui sistem informasi (aplikasi) yang

terintegrasi.

II. Management Principle

Sistem manajemen yang

diterapkan di sini adalah “management

by mandate and rule”, artinya seseorang

baru akan bergerak jika mendapatkan

mandat dari atasannya yang biasanya

secara sah dinyatakan dalam surat

keputusan. Buruknya gaya manajemen

ini adalah tidak beraninya atau tidak

maunya seseorang karyawan untuk

bekerja atau mengambil inisiatif jika

belum diberikan perintah atau mandat

dari atasannya. Hal ini menyebabkan

lambatnya kerja atau response dari

manajemen di segala lini yang bermuara

pada buruknya pelayanan yang diberikan

pada pelanggan internal maupun

eksternal. Di dalam paradigma e-

Government, gaya manajemen

pemerintahan harus lebih fleksibel dalam

arti kata harus dapat selalu beradaptasi

dengan berbagai perubahan kebutuhan

para pelanggan, baik yang berasal dari

kalangan birokrat sendiri (internal)

maupun dari luar lembaga pemerintahan

(eksternal). Kunci sukses manajemen

dengan gaya fleksibel ini terletak pada

kemampuan para birokrat bekerja secara

tim (teamwork). Tim yang terdiri dari

berbagai sumber daya manusia dari

beragam struktur organisasi ini bekerja

sama untuk menghasilkan sebuah

rangkaian produk atau pelayanan yang

baik dan berkualitas.

III. Leadership Type

Gaya kepemimpinan yang dahulu

terbukti efektif di dalam mengelola

struktur organisasi birokratis adalah

“command and control” seperti yang

biasa diterapkan pada organisasi militer.

Maksudnya baik, yaitu agar mesin

birokrasi dipastikan dapat berjalan secara

efektif sesuai dengan pagu yang disusun

bersama (karena adanya kontrol yang

baik dan tidak terjadi persepsi yang salah

karena semua pekerjaan berasal dari satu

perintah atau rantai komando). Namun

kelemahannya adalah berkurangnya

potensi kreativitas pada masing-masing

sumber daya manusia karena yang

bersangkutan hanya bekerja berdasarkan

perintah dari atasan semata. Karena

struktur organisasi merupakan satu-

satunya alat manajemen yang

dipergunakan untuk berkomunikasi,

maka secara tidak langsung gaya

kepemimpinan yang ada akan menular

sampai ke unit organisasi terkecil yang

ada pada struktur. Dengan kata lain,

karena semua memiliki gaya

kepemimpinan pasif, maka sebagai

organisasi akan sulit berkembang dan

adaptif terhadap perubahan lingkungan.

Menerapkan e-Government yang efektif

berarti memaksa para birokrat untuk

mengubah gaya kepemimpinannya.

Idealnya, mereka haruslah seseorang

yang dapat menggabungkan antara gaya

kepemimpinan seorang profesional dan

seorang wiraswastawan

(entrepreneurship). Karena seluruh

departemen telah dihubungkan melalui

infrastruktur teknologi informasi (data,

aplikasi, dan teknologi), maka fungsi

pemerintah menjadi berubah, dari

seorang pemberi perintah dan

pengontrol, menjadi seorang fasilitator

dan koordinator yang bekerja

berdasarkan kebutuhan atau tuntutan

Page 28: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

22

pelanggan. Jika dahulu prinsip

kepemimpinan dibangun berdasarkan

“the boss idea”, maka dengan gaya

kepemimpinan e-Government yang harus

diikuti adalah “the best idea”.

IV. Internal Communication

Proses komunikasi yang terjadi di

dalam manajemen internal adalah dengan

mempergunakan “top-down approach”.

Walaupun terlihat bahwa sekilas sistem

tersebut bersifat netral, namun dalam

pelaksanaannya menghasilkan efek

psikologis yang cenderung membuat

organisasi menjadi kontraproduktif.

Contoh klasiknya adalah ketidakberanian

seorang anak buah untuk bersikap yang

bertentangan dengan kemauan atasan

(bahkan untuk berbeda pendapat pun

terkadang yang bersangkutan tidak

berani), atau terbentuknya suasana yang

kaku karena adanya hubungan struktural

antara atasan dan bawahan (atasan harus

selalu dihormati dan tidak boleh

dipersalahkan), dan lain sebagainya.

Karena tidak adanya suasana demokrasi

yang cukup di dalam organisasi, sering

kali kinerja institusi terkait tergantung

dari kompetensi manajemen puncak yang

ada (bukan terletak pada sistem

organisasi). Jika manajemen puncak

ditempati oleh orang-orang yang ahli

dan/atau capable di bidangnya, maka

cenderung keputusannya akan

berkualitas; namun jika manajemen

puncak ditempati oleh mereka yang

memiliki kompetensi dan keahlian

rendah, maka berbagai keputusan yang

diambil akan cenderung berdampak

buruk bagi kinerja institusi. Di dalam e-

Government, melalui fasilitas semacam

email dan chatting, komunikasi dapat

berlangsung secara bebas dan intensif

antara masing-masing individu maupun

di dalam format kelompok. Dengan

diinstalasinya jaringan komputer lokal

yang terhubung ke internet, maka setiap

individu di dalam pemerintahan dapat

berkomunikasi secara cepat, langsung,

aman, dan murah ke berbagai pihak yang

berkepentingan tanpa harus mengikuti

garis komando yang ada pada struktur

organisasi.

V. External Communication

Seperti halnya internal

communication, external communication

merupakan hal lain yang tidak kalah

pentingnya untuk diperhatikan di dalam

mengelola pemerintahan. Dalam sistem

birokratis, hubungan antar departemen

atau antara pihak pemerintah dengan

kalangan lain (seperti swasta, luar negeri,

LSM, organisasi, partai, dan lain

sebagainya) biasanya dilakukan secara

formal, dengan mengikuti prosedur-

prosedur baku baik korespondensi

maupun protokoler yang berlaku. Karena

banyaknya aturan yang harus ditaati,

maka sangat terasa sekali sulitnya

menjalin kerja sama antara satu

departemen dengan departemen lainnya.

Tentu saja format tersebut tidak bisa

diterapkan pada e-Government yang

lebih mengutamakan pada bekerjanya

sebuah sistem lintas sektoral yang cepat.

Di samping itu, beragam kanal akses pun

dibutuhkan untuk keperluan komunikasi

agar para pengambil keputusan dapat

melakukan hubungan dengan mitra

kerjanya dari mana saja dan kapan saja.

Komunikasi eksternal secara cepat

dibutuhkan agar berbagai produk dan

pelayanan pemerintah kepada masyarakat

yang sifatnya lintas sektoral, disamping

untuk mempermulus jalannya kerja sama

dan menghindari adanya pertikaian

karena saling “memasuki teritori” pihak

lain.

Page 29: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

23

VI. Mode of Service Delivery

Karena banyak berhubungan

dengan hal-hal berbau administratif,

maka model pelayanan yang biasa

diberikan oleh pemerintah pasti

melibatkan sejumlah dokumen-dokumen

penting (seperti formulir, laporan, dan

lain sebagainya). Selain memakan biaya

yang cukup banyak, proses yang

melibatkan dokumen-dokumen berbasis

kertas biasanya memakan waktu yang

cukup banyak, sehingga pelayanan yang

diberikan cenderung lambat. Di dalam

era e-Government, tujuan akhirnya

adalah terbentuk suasana kerja yang

paperless/scriptless, dimana sejauh

mungkin penggunaan kertas dikurangi

(karena memakan biaya pembuatan dan

penyimpanannya). Sehingga semua

aspek pelayanan dan sumber daya yang

dapat didigitalisasikan harus dilakukan

migrasi dari sistem manual ke otomatis.

Konsep virtual office (kantor maya) juga

akan diterapkan di sini. Jika dahulu

sebuah transaksi dikatakan sah apabila

terdapat dua pihak yang saling bertatap

muka dan bersepakat, pada implementasi

e- Government, kebutuhan bertatap muka

secara fisik tidak perlu dilakukan karena

semuanya dapat diwakili dengan

berbagai produk teknologi informasi

yang canggih.

VII. Principles of Service Delivery

Aspek yang terakhir menyangkut

prinsip yang dipakai dalam memberikan

pelayanan berbasis informasi. Pada

sistem birokrasi, semua jenis pelanggan

diperlakukan sama di mata pemerintah,

sehingga disusunlah berbagai standar-

standar aturan baku yang harus dipatuhi

oleh semua khalayak. Seringkali ditemui

kasus-kasus tertentu yang tidak dapat

dipecahkan dengan standarisasi yang

ada; namun masalah tersebut tidak dapat

segera ditemukan solusinya, karena

pemerintah tidak mau bekerja diluar

mekanisme standar yang telah disepakati.

Sebaliknya pada e-Government,

pemerintah harus memperlakukan

masing-masing pelanggannya sebagai

sebuah entiti yang unik, dalam arti kata

masing-masing memiliki kebutuhan yang

spesifik. Sehingga pelayanan yang

diberikanpun harus dapat di-tailor-made

sesuai kebutuhan unik masing-masing

pelanggan. Pada akhirnya, perubahan

paradigma merupakan hal utama yang

harus didahulukan oleh pemerintah

dalam mempersiapkan perangkat sumber

daya manusianya. Ingatlah pepatah yang

mengatakan “old organisation plus

information technology is equal to old

and expensive organisation”.

B. Pergerakan Mesin Paradigma

Pemerintah

Pergeseran paradigma pemerintah

dapat digerakkan melalui mesin yang

dapat menumbuhkan citra pemerintah.

Mesin ini dapat bergerak karena adanya

hubungan , koordinasi antara institusi

yang satu dengan yang lain, hal ini

berguna bagi pemerintah untuk bisa

menyampaikan program keseluruh

lapisan lembaga pemerintahan..

Seiring dengan perubahan

paradigma pemerintah, mesin mengarah

pada suatu kebebasan pers dan

keterbukaan informasi publik serta

banyak informasi dari berbagai media

baik cetak maupun elekronik telah

membawa dampak bagi sebagian

masyarakat. Disinilah peran humas

semakin kompleks, tantangan tugas

kehumasan semakin berat, semua itu

dapat membawa perubahan drastis

pekerjaan kehumasan akibat adanya

perubahan tata nilai, pola pikir

,tingkahlaku, bahkan pola budaya

Page 30: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

24

masyarakat dan cara mengemukakan

pendapat masyarakat baik individu

maupun kelompok. Disamping

pemerintah dapat mengakses aspirasi

masyarakat, begitu sebaliknya

masyarakat dapat mengetahui secara

transparan program-program pemerintah.

Mesin yang dimaksud yaitu melalui:

1. Humas (Public Relations) Menurut

Jefkins (2003)

Adalah suatu bentuk komunikasi yang

terencana, baik itu kedalam maupun

keluar, antara suatu organisasi dengan

semua khalayaknya dalam rangka

mencapai tujuan-tujuan spesifik yang

berlandaskan pada saling pengertian.

Dalam mengejar suatu tujuan, semua

hasil atau tingkat kemajuan yang telah

dicapai harus bisa diukur secara jelas,

mengingat PR merupakan kegiatan

yang nyata. Kenyataan ini dengan

jelas menyangkal anggapan keliru

yang mengatakan bahwa PR

merupakan kegiatan yang abstrak.

2. Humas dan Para Pelaksana Humas

Dilingkungan Pemerintah, mau tak

mau harus dapat menyesuaikan dan

membangun visi dan orientasi baru

melalui beragam pendekatan dan

upaya, agar citra Pemerintah seiring

dengan tuntunan dan perkembangan

masyarakat.

3. Citra Terbentuk

Berdasarkan pengetahuan dan

informasi-informasi yang diterima

seseorang. Komunikasi tidak secara

langsung menimbulkan perilaku

tertentu, tetapi cenderung

mempengaruhi cara kita

mengorganisasikan citra kita tentang

lingkungan. Pemahaman kehumasan

sebagai salah satu bagian dalam

organisasi/ lembaga semakin hari

semakin memerlukan pemahaman dan

pendalaman bahkan aktualisasinya

dapat dilakukan setiap saat sesuai

dengan perkembangan paradigma

baru di era reformasi.

4. Penguatan Kelembagaan

Peran hubungan masyarakat (humas)

menjadi sangat vital. Hal itu

disebabkan betapa pentingnya

membangun citra bagi lembaga dalam

kaitannya dengan paradigma baru

pelayanan berbasis pelanggan. Humas

yang didalam konsep semula adalah

public relation, maka sesungguhnya

perannya adalah untuk

mengkomunikasikan lembaga

dimaksud dengan publik atau

masyarakat. Sehingga humas menjadi

garda depan bagi lembaga untuk

mengintrodusir apa dan bagaimana

lembaga tersebut terkait dalam

relasinya dengan masyarakat.

5. Menurut George Lukas Bahwa Dunia

Dibangun di atas Citra

Itu berarti bahwa siapa yang berhasil

membangun citra maka dialah yang

akan menguasai dunia. Makanya

didalam dunia bisnis, ada survey

pelanggan, survey produk, survey

kepuasan pelanggan, survey

kebutuhan pelanggan dan sebagainya.

Didunia politik ada survey pemilih,

survey akseptabilitas calon pejabat

politik, survey parpol dan sebagainya.

Semua ini dilakukan untuk

mememahami respon sosial terhadap

kepentingan lembaga.

6. Peran Humas Sungguh Sangat Sentral

Dikenal atau tidaknya sebuah

lembaga sangat tergantung kepada

berperan atau tidaknya humas. Dalam

kaitan ini maka ada humas yang

Page 31: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

25

berperan internal dan eksternal.

Humas internal terkait dengan

bagaimana humas menguatkan

identitas dan rasa memiliki terhadap

lembaga, membangun kesadaran dan

dedikasi internal dan eksternal tentang

pentingnya lembaga bagi para

karyawan. Sedangkan humas

eksternal berfungsi untuk menggaet

relasi dengan dunia diluar lembaga

dan juga masyarakat luas. Humas

eksternal berfungsi untuk

mengekpose berbagai hal yang terkait

dengan eksistensi, fungsi dan produk

lembaga bagi masyarakat secara luas.

C. Perwujudan Pemerintah yang Baik

I. Penerapan Pemerintah yang Baik

Salah satu upaya untuk mewujudkan

pelaksanaan pemerintah yang baik

(good governance) adalah reformasi

birokrasi. Birokrasi sebagai organisasi

formal memiliki kedudukan dan cara

kerja yang terikat dengan peraturan,

memiliki kompetensi sesuai jabatan

dan pekerjaan, memiliki semangat

pelayanan publik, pemisahan yang

tegas antara milik organisasi dan

individu, serta sumber daya organisasi

yang tidak bebas dari pengawasan

eksternal.

Upaya untuk mewujudkan pemerintah

yang baik hanya dapat dilakukan

apabila terjadi keseimbangan peran

ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia

usaha swasta, dan masyarakat.

Ketiganya mempunyai peran masing-

masing. Pemerintahan (legislatif,

eksekutif, dan yudikatif) memainkan

peran menjalankan dan menciptakan

lingkungan politik dan hukum yang

kondusif bagi unsur-unsur lain dalam

governance. Dunia usaha swasta

berperan dalam penciptaan lapangan

kerja dan pendapatan. Masyarakat

berperan dalam penciptaan interaksi

sosial, ekonomi dan politik. Ketiga

unsur tersebut dalam memainkan

perannya masing-masing harus sesuai

dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip

yang terkandung dalam tata kelola

pemerintah yang baik.

Agenda penciptaan pemerintah yang

baik setidaknya memiliki 5 (lima)

sasaran yaitu:

1. Berkurangnya secara nyata praktek

korupsi kolusi dan nepotisme di

birokrasi, yang dimulai dari jajaran

pejabat yang paling atas;

2. Terciptanya sistem kelembagaan

& ketatalaksanaan pemerintah

yang efisien, efektif dan

profesional transparan dan

akuntabel;

3. Terhapusnya peraturan dan

praktek yang bersifat diskriminatif

terhadap warga negara;

4. Meningkatnya partisipasi

masyarakat dalam pengambilan

kebijakan publik;

5. Terjaminnya konsistensi seluruh

peraturan pusat dan daerah.

Penerapan pemerintah yang baik di

lingkungan pemerintahan tidak

terlepas dari penerapan sistem

manajemen pemerintahan yang

merupakan rangkaian hasil dari

pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen

(planning, organizing, actuating, dan

controlling) yang dilaksanakan secara

profesional dan konsisten. Penerapan

sistem manajemen tersebut mampu

menghasilkan kemitraan positif antara

pemerintah, dunia usaha swasta, dan

masyarakat. Dengan demikian,

lingkungan instansi pemerintah

diharapkan dapat memberikan

pelayanan prima kepada masyarakat.

Page 32: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

26

Kepercayaan, dukungan, dan

legitimasi politik dari masyarakat

akan diperoleh apabila pemerintah

dapat menyediakan pelayanan publik

yang memadai dan menjalankan

fungsi perlindungan pada masyarakat.

Di sisi lain pemerintah juga harus

mampu menciptakan stabilitas politik,

hukum, pertahanan dan keamanan,

ekonomi, serta sosial dan budaya

untuk mendorong peran dunia usaha

swasta dalam pembangunan ekonomi.

Dunia usaha swasta yang sehat akan

menghasilkan kualitas layanan serta

memberikan nilai tambah yang positif

bagi masyarakat. Hal ini tentunya

juga akan menghasilkan pertumbuhan

kegiatan usaha yang tinggi sehingga

dapat menumbuhkan loyalitas

konsumen dan kontribusi keuntungan

yang lebih besar dari masyarakat

sebagai target pasar. Integrasi

pengelolaan ketiga rantai nilai

tersebut secara selaras akan

menghasilkan nilai tambah bagi

masyarakat.

II. Prinsip-Prinsip Pemerintah yang Baik

Dari telusuran keberagaman wacana

tata kelola pemerintah yang baik,

terdapat sekumpulan nilai yang perlu

diterapkan di Indonesia. Sebagian dari

nilai tersebut sebenarnya telah

tumbuh dan berkembang dalam akar

budaya masyarakat Indonesia.

Walaupun demikian, nilai-nilai

tersebut sangat relevan untuk kembali

diterapkan dalam perubahan

paradigma pemerintahan kita, hanya

saja istilah dan kemasannya yang

berbeda. Sekurang-kurangnya

terdapat empat belas nilai yang

menjadi prinsip tata kepemerintahan

yang baik, yaitu:

1. Wawasan ke Depan (Visionary);

2. Keterbukaan dan Transparansi

(Openness and Transparency);

3. Partisipasi Masyarakat

(Participation);

4. Tanggung Gugat

(Accountability);

5. Supremasi Hukum (Rule of

Law);

6. Demokrasi (Democracy);

7. Profesionalisme dan Kompetensi

(Profesionalism and

Competency);

8. Daya Tanggap (Responsiveness);

9. Efisiensi dan Efektivitas

(Efficiency and Effectiveness);

10. Desentralisasi (Decentralization);

11. Kemitraan dengan Dunia Usaha

Swasta dan Masyarakat (Private

and Civil Society Partnership);

12. Komitmen pada Pengurangan

Kesenjangan (Commitment to

Reduce nequality);

13. Komitmen pada Perlindungan

Lingkungan Hidup (Commitment

to nvironmental Protection);

14. Komitmen pada Pasar yang Fair

(Commitment to Fair Market).

III. Peraturan-Peraturan Terkait dalam

Tata Kelola Pemerintah yang Baik

1. Undang-Undang

1. UU No. 23 Tahun 1997

Tentang Pengelolaan

Lingkungan;

2. UU No. 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat;

3. UU No. 28 Tahun 1999

Tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme;

Page 33: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

27

4. UU No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan atas UU

No.31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi;

5. UU No. 30 Tahun 2002

Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi;

6. UU No. 12 Tahun 2003

Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah;

7. UU No.17 Tahun 2003

Tentang Keuangan Negara;

8. UU No. 1 Tahun 2004

Tentang Perbendaharaan

Negara;

9. UU No. 25 Tahun 2004

Tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan

Nasional (SPPN);

10. UU No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan

Daerah;

11. UU No. 33 Tahun 2004

Tentang Perimbangan

Keuangan Antara

Pemerintahan Pusat dan

Pemerintah Daerah;

12. UU No. 9 Tahun 2004

Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara (Pratun);

13. UU No.15 Tahun 2004

Tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara;

14. UU No. 17 Tahun 2007

Tentang Rencana

Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun

2005-2025.

2. Peraturan Pemerintah

1. PP No. 69 Tahun 1996

Tentang Pelaksanaan Hak

dan Kewajiban, serta

Bentuk dan Tata Cara Peran

Serta Masyarakat Dalam

Penataan Ruang;

2. PP No. 27 Tahun 1999

Tentang Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan Hidup;

3. PP No. 68 Tahun 1999

Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta

Masyarakat dalam

Penyelenggaraan Negara;

4. PP No.19 Tahun 2000

Tentang Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi;

5. PP No. 71 Tahun 2000

Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta

Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan Dalam

Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi;

6. PP No. 98 Tahun 2000

Tentang Pengadaan Pegawai

Negeri Sipil;

7. PP No. 2 Tahun 2001

Tentang Pengamanan dan

Pengalihan Barang

Milik/Kekayaan Negara dari

Pemerintah Pusat Kepada

Pemerintah Daerah dalam

rangka Pelaksanaan

Otonomi Daerah;

8. PP No. 55 Tahun 2005

Tentang Dana Perimbangan;

9. PP No. 56 Tahun 2005

Tentang Sistem Informasi

Keuangan Daerah;

Page 34: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

28

10. PP No. 58 Tahun 2005

Tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah;

11. PP No. 79 Tahun 2005

Tentang Pedoman

Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah;

12. PP No. 6 Tahun 2006

Tentang Pengelolaan

Barang Milik

Negara/Daerah;

13. PP No. 8 Tahun 2006

Tentang Pelaporan

Keuangan dan Kinerja

Instansi Pemerintah;

14. PP No. 39 Tahun 2006

Tentang Tata Cara

Pengendalian dan Evaluasi

Pelaksanaan Rencana

Pembangunan;

15. PP No. 40 Tahun 2006

Tentang Tata Cara

Penyusunan Rencana

Pembangunan Nasional.

3. Peraturan Presiden

1. Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 Tentang

Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum;

2. Peraturan Presiden No. 7

Tahun 2005 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka

Menengah Tahun 2004 -2009;

3. Peraturan Presiden No. 39

Tahun 2005 Tentang Rencana

Kerja Pemerintah (RKP)

Tahun 2006;

4. Peraturan Presiden No. 65

Tahun 2005 Tentang

Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan

Minimal;

5. Peraturan Presiden No. 83

Tahun 2005 Tentang Badan

Koordinasi Nasional

Penanganan Bencana;

6. Peraturan Presiden No. 67

Tahun 2005 Tentang Kerja

Sama Pemerintah dengan

Badan Usaha dalam

Penyediaan Infrastruktur;

7. Peraturan Presiden No. 19

Tahun 2006 Tentang Rencana

Kerja Pemerintah Tahun

2007.

4. Keppres

1. Keppres No. 32 Tahun 1990

Tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung;

2. Keppres No. 75 Tahun 1999

Tentang Komisi Pengawas

Persaingan Usaha;

3. Keppres No. 8 Tahun 2002

Tentang Perubahan Atas

Kepres No.124 Tahun 2001

Tentang Komite

Penanggulangan Kemiskinan;

4. Keppres No. 80 Tahun 2006

Tentang Pengadaan Barang

dan Jasa.

5. Inpres

1. Inpres No. 3 Tahun 2003

Tentang Kebijakan dan

Strategi Nasional

Pengembangan e-

Government;

2. Inpres No. 5 Tahun 2004

Tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi;

3. Inpres No. 3 Tahun 2006

Tentang Paket Kebijakan

Perbaikan Iklim Investasi.

Page 35: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Estiningsih

29

3. KESIMPULAN

Dalam menyongsong dan

meneruskan ekpektasi masyarakat dan

pemerintahan terhadap pergeseran

paradigma pemerintahan yang perlu

diperhatikan adalah :

1. Reformasi Birokrasi yang berkeadilan

dalam segala aspek, tidak hanya

perubahan dari lapisan luarnya saja,

tetapi perubahan paradigma

pemerintah sampai pada pembentukan

sistem yang mendasar dan mendalam,

serta terintegritas di setiap sektor

pemerintahan.

2. Tetap konsisten terhadap pelaksanaan

secara riil prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik.

3. Adanya komitmen elit dalam

menegakkan pemerintahan dengan

menerapkan Zona Integritas secara

jujur dan tegas, serta disiplin pada

setiap lembaga dan institusi

pemerintahan.

4. Membuat mesin selalu bergerak aktif

dalam setiap kegiatan pemerintah agar

berjalan dengan normal sesuai dengan

Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku.

5. Mengaktifkan semua lembaga untuk

berperan aktif menjalankan fungsinya

sebagai pelindung masyarakat dan

pengayom masyarakat.

4. DAFTAR RUJUKAN

Hadjon, PM (penyunting), 1994,

Undang-Undang Hukum

Adminstrasi Umum Naskah

1992/1993

Idup Suhady, dkk., Dasar-dasar Good

Governance-Bahan Ajar Diklatpim

Tingkat IV, Lembaga Administrasi

Negara, Jakarta, 2001

Kjaer, Anne Mette, 2004, Governance,

Polity Press, Cambridge, UK.

Mudji Estiningsih, 2016, Fungsi

Perngawasan Ombudsman dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang

Baik, Penerbit : Liberty

Yogyakarta.

Marbun, SF dan Mahfud MD, 1987,

Pokok-pokok Hukum Administrasi

Negara, Liberty, Yogyakarta.

Mulgan, R, 2000, Perspectives on the

public interest‟, Canberra Bulletin

of PublicAdministration vol.95,

esp pp.2-5.

Neuman, L, 2006 „Social Research

Methods‟ Pearson, New York.

Osborne, David, dan Plastrik, Peter,

1997, Banishing Beuracracy, The

Five Strategis for Reinventing

Government, Massachussets,

Addition Westly Publishing

Company, Inc.

Oflyn, J, 2007, From New Public

Management to Public value, The

Autralian Journal of Public

Adminstration, vol. 66, No. 3, pp.

253- 366 ;

Peters, G. B,2011, Governance as

political therory, Critical Political

Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-72.

Thalhah, HM, 2007, Menggugat Fungsi

DPRD Dalam Mewujudkan Good

Governance dan Clean

Governmnet, Total Media,

Yogyayakarta.

Page 36: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

Hal. 30 - 41

30

1. PENDAHULUAN

Tingkat literasi membaca di

Indonesia sangatlah rendah. Berdasarkan

uji literasi yang dilakukan oleh IEA

tahun 2011 (data PIRLS), Indonesia

menempati peringkat ke 45 dari 48

negara yang menjadi peserta dalan skor

428 (skor rata-rata semua peserta 500).

(Direktorat Jenderal Pendididkan Dasar

Dan Menengah Kementria Pendidikan

Dan Budaya Tahun 2016 hal 1).

Sementara itu, uji literasi membaca

menurut PISA 2009 menunjukan peserta

didik Indonesia berada peringkat ke 57

dengan skor 396 (skor rata-rata 493),

sedangkan data PISA 2012 menunjukkan

peserta didik indonesia berada peringkat

ke 64 dengan skor 396 dari rata-rata skor

OECD 496, sebanyak 65 negara

berpartisipasi dalam PISA 2009 dan

2012 (Direktorat Jenderal Pendidikan

EVALUASI PROGRAM BUDAYA MEMBACA DI

SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PALEMBANG

Ratna Hustati

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sumatera Selatan

[email protected]

Abstract

The purpose of this study is eveluate implementation of literacy program in public

elementary school one palembang (SD 1 Palembang), district of Palembang

evaluation using CIPP model. Data collection through interview, documentation, and

observation, data display and data verification. The result shows that from context

aspect, studenst in public elementary school one palembang (SD N 1) need this

liberacy program: in public aspect, this program has answered the needs of students

with support by human resources, infrastucture, bugde, schudule, and adequate

working mechanismsm: proces aspec the iplementation is implemented according to

plan, although there were obstacles in routine activities such as teacher’s and

student’s low consistency as well as poor support from parents; and in product aspect

the result of literacy program is 90% of students have read fluently, 60% of students

are confindence to do presentation, 66% of students are able to make bulletin board

independently, 66% of students are able to write resume independently, 90% of

students actively write their personal experience in the diary, one of 65 students

passed the student passed and get third place in speech competition in sub-distric

level. Based on the findings, literacy program should be continued but need

improvement.

Keywords: evaluation program, literacy, CIPP model.

Page 37: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

31

Dasar dan Kementerian Pendidikan Dan

Kebudayaan, 2016:2).

Berdasarkan data PISA 2015

tingkat litersi indonesia belum

menunjukan peningkatan yang cuckup

seknifikat yaitu sebesar 1 poin dari skor

396 di tahun 2012 menjadi 397 di tahun

2015. Peningkatan tersebut mengangkat

posisi Indonesia 6 peringkat ke atas

(peringkat 62 dari 70 peserta) bila

dibandingkan posisi peringkat kedua dari

bawah pada tahun 2012 (OECD, 2015) .

meski terdapat peningkatan namun

tingkat literasi di indonesia masih

tergolong rendah. Rendahnya

keterampilan membaca membuktian

bahwa proses pendidikan di indonesia

belum mengembangkan kompetensi dan

minat peserta didik terhadap

pengetahuan. Berdasarkan data PIRLS

dan PISA di atas. Kementerian

pendidikan dan kebudayaan

mengembanhka gerakan literasi sekolah.

Gerakan literasi sekolah adalah

kemampuan megakses, memahami dan

menggunakan sesuatu secara cerdas

melalui aktivitas, antara lain membaca,

melihat, menyimak, menulis dan atau

berbicara. Disini sekolah diwajibkan

meluangankan waktu 15 menit sebelum

pembelajaran untuk membaca buku non

akademik. Tujuan umum dari gerakan

literasi adalah untuk menumbuh

kembangkan budi pekerti peserta didik

melalui pembudayaan ekosistem literasi

sekolah yang diwujudkan dalam gerakan

literasi sekolah agar mereka menjadi

pembelajar sepanjang hayat (Direktorat

Jenderal Pendididkan Dasar Dan

Menengah Kementerian Pendidikan Dan

Kebudayaan, 2016 : 2). Gerakan literasi

sekolah sendiri harus dilaksanakan untuk

memperluas ilmu pengetahan siswa

sesuai dengan peraturan Menteri nomor

23 Tahun 2015 tentang penumbuhan

budi pekerti yang menyebutkan bahwa :

“penghargaan terhadap keunikan

potensi peserta didik untuk

mengembangkan, yaitu medorong

peserta didik gemar membaca dan

mengembangkan minat yang sesuai

dengan potensi bakatnya untuk

memperluas cakrawala kehidupan dalam

mengembangkan dirinya sendiri”.

Didukung Dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB III Pasal 4 Nomor 5 yang tertulis

bahwa :

“pendidikan diselenggarakan

dengan megembangkan budaya

membaca, menulis dan menghitung bagi

segenap warga masyarakat”.

Salah satu penemuan dari

penelitian Heather Thomas (2013: 56)

menyatakan bahwa program literasi

berkontribusi dalam meningkatkan

prestasi siswa.

Dalam upaya mensukseskan

Gerakan Literasi Sekolah, SDN 1

Palembang merancang prgram budaya

membaca di SDN 1 Palembang

merupakan suatu program yang di

rancang agar siswa saat membaca tidak

hanya mahir membaca, akan tetapi siswa

dapat memahami isi bacaan. Hal ini

sesuai dengan pengertian dari program

yaitu serangkaian kegiatan yang

dirancang/ di rencanakan oleh suatu

organisasi, yang dalam pelaksanaannya

berlangsung melalui proes yang

berkesinambungan ( Wirawan,

2011:17;Arikunto,2010:4;Widoyoko,200

9:8). Sedangkan pengertian budaya

membaca sudah melekat dan mengikat

dalam kehidupan sehari-hari seseorang,

sehingga membaca dilakukan secara

teratur dan berkelanjutan ( Umar,

Page 38: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

32

2013:127, Gol A Gong & Agus M.

Irkham,2012:62).

Program budaya membaca di SDN

1 Palembang di putuskan dan di

laksanakan mulai tahun ajaran

2014/2015. Program budaya membaca di

sekolah merupakan program yang di

harapkan dapat membuat para guru dan

seluruh siswa meningkatkan intensitas

membaca, sehingga pengetahuan guru

dan siswa dapat meningkat. Kepala

sekolah, guru dan para siswa diharapkan

dapat berperan aktif dalam mengawasi

dan melaksanakan program budaya baca.

Dalam hal ini SDN 1 Palembang

membuat rangkuman untuk menjadi

bukti pemahaman siswa dalam membaca.

Hasil rangkumann wajib dikumpulkan ke

sekolah melalui guru-guru kelas. Setelah

siswa dapat memahami dan mengerti dari

siswa dapat meningkat, sehingga prestasi

dan mutu sekolah dapat meningkat.

Permasalahan yang timbul dalam

melaksanakan program budaya membaca

yang pertama adalah tentang konsisten

guru-guru. Beberapa guru terkadang

malas dalam melaksanakan apa yang

menjadi tugas ( mengumpulkan hasil

rangkuman ) dan mengawasi kegiatan

program budaya membaca. Hal ini di

karenakan banyaknya tugas dan kegiatan

lain para guru disekolah.

Adapun data pengumpulan hasil

rangkuman tiga bulan terakhir sebagai

berikut: mewajibkan siswa satu kali

dalam satu minggu.

Terlihat dari data di atas selama

bulan april, mei dan juni 2016 pada kelas

1 terdapat 7 rangkuman yang tidak

terkumpul, kelas II terdapat 4 rangkuman

yang tidak terkumpul, kelas III terdapat 8

rangkuman yang tidak terkumpul, kelas

IV terdapat 7 rangkuman yang tidak

terkumpul, kelas V terdapat 8 rangkuman

yang tidak terkumpul, VI terdapat satu

rangkuman yang tidak terkumpul. Dari

tiga bulan terakhir saja terdapat 47

rangkuman yang tidak terkumpul. Hal ini

dapat mengakibatkan kelancaran

program budaya membaca dapat

terganggu 50 hingga tujuan dari program

budaya membaca sangat sulit dicapai.

Permasalahan yang kedua yaitu

kurangnya pengawasan dari orang tua

juga menjadi kendala dalam

melaksanakan program budaya

membaca. Orang tua lebih fokus kepada

pekerjaan dan tidak sampai mengawasi

kegiatan belajar anak dirumah.

Pemasalaha terakhir yang muncul adalah

kurangnya jumlah buku yang menjadi

pembaharuan. Jumah siswa yang banyak,

intesitas membaca yang cepat

mengakibatkan perputaran buku dari

siswa ke siswa lain juga cepat, sehingga

siswa akan menjadi bosan membaca jika

buku yang dibaca hanya itu-itu saja.

Ketiga permasalahan tersebut tidak bisa

dianggap remeh, karena permasalahan-

permasalahan tersebut dapat

menghambat proses kegiatan program

budaya membaca dan tujuan akhir dari

program budaya membaca yaitu

meingkatkan mutu sekolah tidak akan

terwujud.

Permasalahan tersebut serupa

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Tahira DuPree Chase (2011: 5) yang

berjudul The Children Left Behing: An

Evaluation of a Reading intervention

Program for Upper Elementary Stidents,

yang menyatakan bahwa adanya

penurunan kemampuan membaca saat

siswa memasuki sekolah tingkat

menengah. Penelitian tersebut berpokus

kepada siswa kelas 5 yang menunjukan

kesulitan membaca padahal disana ada

program membaca yaitu membaca

intervensi. Selain itu permasalahan yang

dihadapi oleh Heather Thomas (2013)

Page 39: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

33

yang berjudul An Evaluation of The

Literacy program at Garibaldi Grade

School menyatakan bahwa sejak tahun

2006 sekolah Neah-Kah-Nie susah

mengembangkan program literasi

membaca. Guru memanfaatkan model

literasi yang seimbang antara teori dan

praktek dalam lima bidang utama

membaca:fonemik kesadaran, phonics,

kelancaran, kosakata, dan pemahaman.

Siswa kelas lima di nilai dalam tiga kali

dalam setahun menggunakan DIBELS

(Dynamic Indicators Of Basic Early

Literacy Skills), yang dikembangkan

oleh University of Oregon. Meskipun

sudah dilakukan penilaian secara rutin

tetapi masih belum diketahui apakah

program literasi efektif meningkatkan

kemampuan membaca siswa sekolah

Garibaldi Grade. Penelitian yang

dilakukan Corinne Serra Smith, M.S.ED

(2009) yang berjudul An Analysis and

evaluation of Sit Stay Read: is the

program Effective in Improving Student

Engagement and Reading Outcomes?

Menyatakan bahwa program “Sit untuk

meningkatkan membaca keterampilan

membaca dan menumbuhkan kasih

belajar pada anak-anak yang kurang

beruntung dikelas kedua dan ketiga (usia

7-9) ini efektif dalam meningkatkan

kemampuan membaca anak. Akan tetapi

belum diketahui apakah program ini

meningkatkan prestasi belajar anak-anak

di Chicago. Dari beberapa permasalahan

tersebut, solusi yang dinilai tepat untuk

mengatasi permasalahan yang muncul

adalah dilakukannya evaluasi suatu

program yang berkaitan dengan

meningkatkan kemapuan baca anak

tersebut. Dengan berdasarkan uraian

tersebut maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian tentang evaluasi

program budaya membaca di SDN 1 Plg

dari evaluasi adalah suatu kegiatan

mengumpulkan, menganalisi, dan

menyajikan informasi dengan cara

membandingkan antara kegiatan yang

direncanakan terhadap kegiatan yang

dilaksanakan dan membandingkan antara

tujuan program terhadap hasil yang

tercapai, yang selanjutanya informasi

tersebut digunakan untuk mengetahui

efektifitas dan efisiensi proyek,

kebijakan dan program yang dipakai

untuk menentukan alternative yang tepat

dalam mengambil suatu keputusan

(Sukardi,2008:1); Arikunto, 2010;2;

Wirawan,2011:7) . sedangkan pengertian

dari evaluasi program adalah metode

sistematik untuk mengumpulkan,

menganalisis, dan memakai informasi

dengan ujuan untuk mengetahui

efektifitas dan efisien proyek, kebijakan

dan program ( Wirawan,2011:17; Weiss (

Sugiyono, 2014:741); Sugiyono,2014 :

742 ) sementara itu tujuan dari evaluasi

program adalah untuk mengetahui

apakah tujuan program telah tercapai

serta mengetahui penyebab-penyebab

yang selanjutnya hasil evaluasi dapat

digunakan untuk mengambil keputusan

tentang berkelanjutan sebuah program

perlu diteruskan, diperbaiki atau Stay

Read” yang memanfaatkan anjing terapi

dihentikan ( Wirawan, 2011:17;

Arikunto, 2010:18 Endang, 2011 144-

145 )

Model yang akan digunakan dalam

mengevaluasi program ini adalah CIPP

yang dikembangkan oleh Stufflebeam.

CIPP singatan dari context, input,

process and product. Tujuan uama

penelitian ini adalah untuk memberikan

masukan untk perbaikan pelaksanaan

program budaya membaca SDN 1

Palembang, serta dilakukan analisis serta

evaluasi tentang program budaya

membaca di SDN 1 Palembang guna

mengetahui : 1) Konteks program budaya

Page 40: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

34

membaca di SDN 1 Palembang; 2) input

program baca di SD N 1 Palembang ;

Proses program budaya membaca di

SDN 1 Palembang dan; 4) produk

program budaya membaca di SDN 1

Palembang.

Menurut Wirawan ( 2011:92-94)

model evaluasi CIPP dalam menganalisis

program dilaksanakan berdasarkan

komponen-komponennya yang dapat

dijelaskan sebagai berikut: a) Evaluasi

konteks adalah upaya mengidentifikasi

dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang

mendasari disusunnya suatu program.

Evaluasi konteks untuk menjawab

pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan ?

(What needs to be done ?). b) Evaluasi

masukan ( input ) untuk mencari jawaban

atas pertanyaan : apa yang harus

dilakukan ( what should be done ?)

Evaluasi ini mengidetifikasi problem,

asset dan peluang untuk membantu para

pengambil keputusan mengidentifikasi

tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat

dari program , menilai pendekatan

alternatif , rencana tindakan , rencana

staf dan anggaran untuk faseabilitas dan

potensi cost efectiviness untuk

memenuhi kebutuhan dan tujuan yang

ditargetkan. Para pengambil keputusan

memakai evaluasi masukan dalam

memilih rencana-rencana yang ada,

menyusun proposal pendanaan, alokasi

sumber-sumber , menetapkan staf,

menskedul pekerjaan, menilai rencana-

rencana aktivtas, dan penganggaran 3)

Evaluasi Proses berupaya untuk mencari

jawaban atas pertanyaan dari: Apakah

program sedang dilaksanakan ? ( is it

being done ? ). Evaluasi ini berupaya

mengakses pelaksanaan dari rencana

untuk membantu staf program

melaksanakan aktivitas dan kemudian

membantu kelompok pemakai lebih luas

menilai program dan menginterpretasi

manfaat. 4) Evaluasi produk diarahkan

untuk mencari jawaban pertanyaan: Did

it Succed ?. evaluasi ini berupaya

mengidentifikasi dan mengakses

keluaran dan manfaat, baik yang

direncanakan atau tidak di rencanakan,

baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Evaluasi produk merupakan

tahap akhir dari serangkaian evaluasi

program. Jadi setelah evaluasi produk

selesai dapat direkomendasikan hasil

program yang berjalan untuk

merumuskan kebijakan berikutnya.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan

penelitian evaluatif menggunakan

pendekatan deskriptif kualitatif. Tempat

penelitian SDN 1 Palembang Provinsi

Sumatera Selatan. Subyek dalam

penelitian ini adalah Kepala Sekolah,

pendidik dan peserta didik SDN 1

Palembang. Teknik pengumpulan data

menggunakan wawancara, observasi dan

studi dokumen. Instrumen pengumpulan

data berupa lembar wawancara, lembar

observasi dan lembar dokumentasi.

Untuk menguji keabsahan data pada

penelitian ini digunakan teknik

triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Teknik analisis data yang digunakan

adalah analisis data kualitatif. Analasis

data didalam penelitian kualitatif ini

didasarkan pada metode evaluasi

program dengan model CIPP.

3. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Konteks Program Budaya Membaca

di SD N 1 Palembang

Komponen pada evaluasi konteks

adalah : 1) apakah program budaya

membaca merupakan kebutuhan sekolah;

Page 41: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

35

2) apa tujuan dari program budaya

membaca serta ; 3) siapa sasaran dari

program budaya membaca. Latar

belakang dirancangnya program budaya

membaca di SDN 1 Palembang adalah

Kepala Sekolah melihat bahwa

kemampuan baca tulis siswa masih

kurang, yaitu ada beberapa siswa masih

kurang, yaitu ada beberapa siswa kelas,

1, 2, 3 bahkan kelas 5 belum lancar

membaca. Hal ini terlihat ketika saah

satu siswa kelas 5 diberi tugas untuk

membaca UUD 1945 ketika Upacara

Bendera hari senin namun siswa tersebut

belum lancar membaca. Permasalahan ini

serupan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurfalah (2015) yang

menyatakan bahwa siswa kelas II di SDN

1 Wosu Kecamatan Bongku Barat

Kabupaten Morowali belum lancar

membaca, serta penelitian yang

dilakukan oleh sukartiningsih (2005)

yang mengemukakan bahwa siswa kelas

I SDN Arjosari 1 belum lancar membaca

dan menulis.

Untuk mengatasi permasalahan

rendahnya kemampuan membaca siswa

SDN 1 Palembang pihak sekolah

meracang program budaya membaca.

Melalui program ini diharapkan kegiatan

membaca menjadi kebiasaan bagi siswa

selajutnya kemampuan membaca siswa

meningkat. Hal ini sesuai dengan

pengertian program menurut Widoyoko

(2009: 8) yaitu serangkain kegiatan yang

direncanakan secara seksama dan dalam

pelaksanaannya berlangsung dalam

proses yang berkesinambungan dan

terjadi dalamsuatu organisasi yang

melibatkan orang banyak. Berdasarkan

permasalahan tersebut dapat diketahui

bahwa program budaya membaca

merupakan kebutuhan siswa SDN 1

Palembang. Hal ini senada dengan

pengertian kebutuhan menurut

Wirawan(2011 :19) yaitu ketimpangan

antara kondisi dan keadaan sekarang atau

apa yag terjadi dengan keadaan yang

dinginkan atau keadaan yang seharusnya.

Tujuan dari program budaya

membaca di SDN 1 Plg adalah untuk

melatih keterampilan membaca dan

menulis, khususnya meningkatkan literas

bagis siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan

Gerakan Literasi Sekolah yaitu

menumbuhkembangkan budi pekerti

peserta didik melalui pembudayaan

ekosistem literasi sekolah yang

diwijudkan dalam Gerakan Literasi

Sekolah agar mereka menjadi pembelajar

sepanjang hayar (Direktur Jenderal

Pendidikan Dasar Dan Menangah

Kemantrian Pendidikan dan Kebudayaan,

2016 : 2). Program budaya membaca

sendiri sangat penting bagi siswa SDN 1

Plg karena denga adanya program

budaya membaca siswa akan mempunyai

wawasan yang lebih luas, serta program

ini dapat membantu siswa dalam

mengikuti proses pembelajaran dan

pengembangan diri. Hal ini serupa

dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Hather Thomas (2013 : 56)

menyatakan bahwa program literasi

berkontribusi dalam meningkatkan

prestasi siswa.

B. Input Progam Budaya Membaca di

SD Negeri 1 Palembang

Program budaya membaca

merupakan jawaban dari permasalahan

dari rendahnya kemampuan membaca

sswa SDN 1 Palembang. Hal ini susuai

dengan pendapat dari Wirawan (2011 :

19) yang menyatakana bahwa assesmen

kebutuhan perlu dilakukan sebelum

merecanakan suatu kebijakan, program

atau proyek. Hal ini dilakukan untuk

mengidentifikasi dan mendefinisikan

kebutuhan dan mengumpulkan sejumlah

Page 42: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

36

alternatif untuk memenuhi kebutuhan

tersebut. Dari alternatif yang dipilih

merupakan inti dari rencana program

untuk memenuhi kebutuhan.

Program budaya membaca di SDN

1 Palembang sudah sesuai dengan juklak

dan juknis yang dibuktikan dengan 7

kegiatan program yaitu membaca 5 menit

sebelum PBM, membaca massal,

membuat mading, cipta baca puisi,

membuat pidato, merangkum hasil

bacaan dan menulis buku harian (Diary).

Tiga kegian bersifat rutin (membaca 15

menit sebelum PBM, merangkum hasil

bacaan dan menulis buku harian ( Diary

)serta empat kegiatan yang dilakukan

ketika jeda semester ( membaca massal,

membuat mading, cipta baca puisi,

membuat pidato), namun terkhusus untuk

kegiatan cipta baca puisi dan membuat

idato sering dipersiapkan untuk

mengikuti perlombaan.

Program hanya bisa berjalan

komponen pendukung berfungsi

sebagaimana mestinya, adapun

komponen pendukung meliputi: 1)

sumber daya manusia; 2) sarana dan

prasarana pendukunh; 3) dana/anggaran;

4) berbagai prosedur dan aturan yang

diperlukan. Oleh karena itu dapat

diketahui sumber daya pendukung

program budaya membaca di sekolah ini

dari visi dan misi serta tujuan sekolah.

Karakteristik pemimpin, guru dan warga

sekolah harus melingkupi visi dan misi

serta tujuan sekolah.

Kepala Sekolah mempunyai

tanggung jawab yang besar terhadap

pelaksaan program budaya membaca.

Kemampuan manajemen Kepala Sekolah

dalam menjalankan program budaya

membaca ini berpengauh dalam

pelaksaan program. Kebijakan dan

keputusan yang di ambil Kepala Sekolah

dalam mengatasi kendala yang muncul

pada saat pelaksaan program budaya

membaca sangat menentukan

keberhasilan program tersebut.

Kemampuan Kepala Sekolah dalam

bekerjasama dengan guru dapat

melancarkan pelaksaan sehingga tidak

muncul msalah dalam melaksanakan

kegiatan program budaya membaca di

SDN 1 Palembang. Guru sebagai SDM

juga mempunyai peranan yang besar

dalam mensukseskan kegiatan program

budaya membaca. Untuk itu guru

mendapatkan pelatihan dari sekolah beru

supervisi guru, selain itu guru juga

mendapatkan pelatihan dari USAID

PRIORITAS megenai budaya membaca,

guna mempersiapkan diri untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan pada

program budaya membaca. Berdasarkan

uraian tersebut dapat diketehaui bahwa

SDM sudah memadai untuk menunjang

kegiatan program buadaya membaca.

Selain kredibilitas pengelola,

pelaksaan program budaa membaca di

SDN 1 Palembangharus didukung

keungan sekolah. Besaran dana yang

dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan

program budaya membaca di SDN 1

Palembang yaitu tercantum dalam RKAS

sebesar 5% dari penerimaan dana BOS

pertahunnya. Besaran dana tersebut

dinilai sudah memadahi untuk kegiatan

program budaya membaca di SDN 1

Palembang . pengadaan sarana dan

prasarana juga merupakan input

pelaksaan program budaya membaca di

SDN 1 Palembang juga sudah memadahi.

Adapun sarana prasarana yang

dipersiapkan antara lain adalah; buku,

ruang baca, teras baca (pralon baca)

sudut baca( didalam kelas), taman baca (

gazebo )serta peralatan lain yang

mendukung terlaksananya program

tersebut. Dengan adanya dukungan

Page 43: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

37

peralatan terset pelaksaan program

menjadi lancar serta tidak ada kendala.

Aturan-aturan juga di buat untuk

mensukseskan kegiatan program budaya

membaca. Selain itu membuat jadwal

yang baik dalam peminjaman buku

berlangsung secara teratur. Jadwal serta

aturan dipajang pada tempat-tempat yang

strategis supaya siswa dengan mudah

membaca serta memahami kegiatan-

kegiatan program budaya membaca

dengan mudah. Penerapan pelaksaan

program budaya membaca mendapat

dukungan dari beberapa pihak antara

lain, warga sekolah, komite sekolah,

serta orang taua murid. Pihak sekolah

memiliki kapasitas yang tinggi sebagai

perencanaan dan pelaksanaan program

budaya membaca. Hal ini berkaitan

dengan keberhasilan pelaksanaan

program budaya membaca.

C. Proses Program Budaya Membaca di

SDN 1 Palembang

Pada tahun ajaran 2014/2015

program budaya membaca mulai

dilaksanakan. Hal ini sebagai tindakan

lanjut dari kerjasama pihak sekoalh

dengan USAID PRIORITAS. Pada tahap

awal pelaksaan program budaya

membaca, kemudian di musyawarahkan

kepada seluruh guru dalam rapat kerja

tahunan, dan akhirnya disosialisasikan

kepada seluruh warga sekolah termasuk

orang tua siswa. Rencana anggaran biaya

untuk koleksi buku dan fasilitas untuk

membaca harus disediakan. Dalam

rencana anggaran tersebut diuraikan

jenis-jenis fasilitas yaitu, ruang baca,

sudut baca, teras baca, serta taman baca.

Pada dasarnya evaluasi proses

untuk mengetahui sampai sejauh mana

rencana telah diterapkan dan komponen

apa yang perlu diperbaiki. Dimulai dari

peranan guru dalam melaksanakan

kegiatan program budaya membaca

disekolah sangatlah dibutuhukan agar

nantinya siswa benar-benar paham dan

mengaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini sesuai dengan temuan

pada penelitian yang yang dilakukan oleh

Heather Thomas ( 2013 ), bahwa guru

merupakan komponen yang sangat

mendukung peningkatan kemampuan

membaca siswa terutama pada program

litersai.

Namun kendala yang dihadapi

oleh SDN 1 Palembang adalah

kurangnya komitmen guru dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan program

budaya membaca, terutama pada

kegiatan yang bersifat rutinitas yaitu

pada kegiatan membaca 15 menit

sebelum PMB belum berjalan sesuai

dengan jadwal, kendala yang di hadapi

adalah beberapa guru belum hadir saat

kegiatan berlangsung sehingga banyak

kelas yang tidak tertunggui, akibatnya

kegiatan membaca 15 menit sebelum

PMB terhambat pada pelaksaannya.

Untuk mengatasi hal tersebut pihak

sekolah sudah melakukan berbagai solusi

antara lain adalah Kepala Sekolah

memberikan motivasi kepada guru-guru

agar mempunyai komitmen yang tinggi

dalam melaksanakan kegiatan membaca

15 menit sebelum PMB. Selain itu guru

lain yang sudah hadir sebelum kegiatan

berlangsung diminta tolong untuk

menghendel kelas-kelas yang belum

tertunggui oleh guru-guru kelas.

Pada kegiatan merangkum selain

konsisten guru-guru yang lemah,

pengawasan orang tua yang kurang juga

menjadi kendala. Beberapa anak tidak

melaksanakan kegiatan ini. Hal ini

karena kegiatan merangkum

dilaksanakan dirumah siswa, sehingga

peran orang tua menjadi sangat krusial

dalam melancarkan kegiatan

Page 44: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

38

merangkum. Solusi yang sudah

dilakukan oleh pihak sekolah adalah guru

harus senantiasa bekerjasama dengan

pihak orangtua untuk selalu mengawasi

kegiatan belajar siswa ketika dirumah.

Berdasarkan hasil temuan di

lapangan dan kajian dokumen diperoleh

informasi bahwa pada aspek proses

pelaksaan program budaya membaca di

SDN 1 Palembang belum sepenuhnya

terlaksana dengan baik. Namun kendala-

kendala yang muncul pada tahap proses

teratasi dengan baik. Hal ini karena

adanya kerja sama yang baik dengan

berbagai pihak yang terlibat dalam

proses pelaksanaan program budaya

membaca.

D. Produk Program Budaya Membaca di

SDN 1 Palembang

Evaluasi produk merupakan

penilaian yang dilakukan guna untuk

melihat ketercapain/ keberhasilan suatu

program dalam mencapai tujuan yang

ditentukan sebelumnya. Hasil yang

didapatkan dari evaluasi produk adalah

keuntungan pelaksanaan program budaya

membaca di SDN 1 Palembang. Siswa

mampu membaca dan menulis secara

lancar sehingga mampu membantu siswa

dalam meningkatkan prestasi belajar.

Dari ketujuh kegiatan program

budaya membaca terdapat lima kegiatan

dengan ukuran keberhasilan baru pada

tingkat keterlibatan siswa, dan ukurn

kualitas belum dimasukkan, yaitu 15

menit sebelum PBM terdapat 90% siswa

SDN 1 Palembang mampu lancar

membaca, 60% siswa SDN 1 Palembang

berani prestasi, 66% siswa mampu

membuat pidato secara mandiri, 66%

siswa mampu membuat rangkuman hasil

bacaan secara mandiri, serta 90% siswa

aktif menulis buku harian (Diary).

Sedangkan untuk kedua kegiatan lain

yaitu kegiatan baca cipta puisi dan

membuat pidato ukuran kualitas bagi

tingkat keberhasilan sudah dimasukkan.

Untuk kegiatan cipta baca puisi

dari kelas 5 dan 6 dipersiapkan,

kemudian diseleksi untuk

diperlombakan, satu anak lolos seleksi

tingkat kecamatan untuk lomba membaca

puisi tingat kabupaten. Sedangkan satu

kegiatan membuat pidato dari 65 siswa

yang dipersiapkan, setelah melalui

seleksi, terdapat satu anak yang

mendapat peringakat 3 pada tingkat

kecamatan.

Produk berupa hasil karya siswa

adalah hasil rangkuman (resume), buku

harian (Diary), puisi, naska pidato

sedangkan serta karya-karya yang

dipajang pada majalah dinding (mading)

juga merupakan ciri utama keberhasilan

pelaksanaan program budaya membaca

di SDN 1 Palembang. Keberhasilan

pelaksanaan program budaya membaca

dapat dilihat juga dari prestasi siswa

SDN 1 Palembang yang mampu

menjuarai perlombaan membaca pidato

dan lomba membaca puisi tingkat

kecamatan, serta meningkatkan nilai

siswa pada mata pelajaran bahasa

indonesia. Selain itu bertambahnya

koleksi buku, terciptanya taman baca,

sudut baca, teras baca serta ruang baca

yang memadai, kondusif dan

menyenangkan. Berdasarkan uraian

diatas dapat disimpulkan bahwa

pelaksanaan produk budaya membaca di

SDN 1 Palembang menghasilkan produk

yang sesuai dengan yang diharapkan.

Dampak positif dari pelaksanaan

program budaya membaca adalah

meningkatnya kemampuan dan minat

membaca siswa SDN 1 Palembang.

Hal ini sesuai dengan penelitian

terdahulu yang dilakukan oleh Syariffatul

Fitria dan Suparno (2016), bahwa dengan

Page 45: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

39

adanya pembelajaran keterampilan

membaca pemula, kemampuan membaca

siswa TK Fastrack Fun School Kelas A

berkembangan sesuai harapan. Hasil

yang berbeda pada penelitian yang

dilakukan oleh James D. Quinn (2014),

bahwa model “Read to Learn” secara

statistik tidak memberikan dampak pada

kelancaran maupun pencapain dalam

membaca.

4. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pada aspek konteks, program

budaya membaca sangat dibutuhkan

siswa di SD N 1 Palembang. Adapun

sasaran program budaya membaca adalah

seluruh warga sekolah khususnya siswa.

Tujuan dari program budaya membaca

adalah untuk melatih keterampilan

membaca dan menulis khususnya

meningkatkan literasi bagi siswa. Pada

aspek input program budaya membaca di

SDN 1 Palembang sudah menjawab

kebutuhan sekolah dengan ditopang

kegiatan, SDM, sarana dan prasarana,

dana serta mekanisme kerja yang

memadai. Pada aspek proses pelaksanaan

program budaya membaca berjalan

lancar meski terdapat beberapa kendala-

kendala. Serta pada aspek produk

program budaya membaca telah

mencapai sesuai rencana awal, walaupun

tingkat keberhasilan pada lima kegiatan

masih pada tingkat keterlibatan siswa

diantaranya: kegiatan membaca 15 menit

sebelum PBM, merangkum, menulis

buku harian (Diary), membaca massal

dan mading, sedangkan dua lainnya

sudah pada tingkat kualitas, yaitu

kegiatan cipta baca puisi dan membaca

pidato.

B. Saran

Saran yang bisa diberikan berdasarkan

kesimpulan diatas adalah :

1. Bagi Kepala Sekolah

Kepala Sekolah hendaknya

menambah pelatihan-pelatihan yang

berkaitan dengan program budaya

membaca, agar motivasi guru

meningkat sehingga program budaya

membaca dapat dilanjutkan dan

berjalan sesuai dengan rencana.

2. Bagi Tim Literasin SDN 1 Palembang

a. Tim literasi sekolah hendaknya

meningkatkan kulitas produk dari

setiap kegiatan dengan

menetapkan kriteria penilaian yang

jelas.

b. Tim literasi hendaknya menambah

kegiatan-kegiatan baru yang

sesuai, untuk mengembangkan

program budaya membaca.

3. Bagi Guru SDN 1 Palembang

Guru hendaknya senantiasa bekerja

sama dengan orang tua siswa agar

meluangkan waktu untuk mengawasi

anak-anaknya ketika belajar disekolah

maupun dirumah.

4. Bagi Sekolah lain

Sekolah-sekolah yang melaksanakan

program yang serupa, hendaknya

selalu mengevaluasi program secara

mendalamsetidaknya satu atau dua

tahun sekali agar program yang sudah

berjalan dapat dilanjutkan sesuai

dengan perencanaan.

5. DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi dan Jabar, epi

Safruddin Abdul. 2010. Evaluasi

Program Pendidikan: Pedoman

Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa

dan Praktisi Pendidikan. Edisi

Page 46: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

40

Kedua, Cetakan ke empat, Jakarta:

Bumi Aksara.

Corinne Serra Smith, M,S ED. 2009. An

Analysis and Evaluation of Sit

Stay Read: Is The Program

Effective in Improving Student

Engagement and Reading

Outcomes? Dissertations National-

Louis University.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar

Dan Menengah Kementrian

Pendidikan Dan Kebudayaan.

2016. Panduan Gerakan Literasi

Sekolah Di Sekolah-Sekolah

Dasar. Jakarta: Bagian

Perencanaaan dan Penganggaran

Sekretariat Direktorat Jendral

Pendidikan Dasar Dan Menengah.

Endang Mulyaningsih. 2011. Riset

Terapan Bidang Pendidikan dan

Teknik. Yogyakarta :UNY Pres.

Fitria, Syarifatul & Suparno, 2016.

Evaluasi Pembelajaran

Keterampilan Membaca

Permulaan Di Tk Fastrack

Funschool Kelas A Program

Nusantara Yogyakarta. Jurnal

Pendidikan Dan Pemberdayaan

Masyarakat Volume 3 Nomor 1

Maret 2016,(85-96).

Gol A Gong & Agus M.Irkham.2012.

Gempa Literasi. Dari Kampung

Untuk Nusantara. Jakarta : PT

Gramedia.

Heather Thomas.2013. An Evaluation of

the literacy program at Garibaldi

Grade School. Doctor of

Education. Georgy Fox University.

James D. Quinn. 2014. A Program

Evaluation of the Impact of a “

Read to Learn” Model on

Alternative High School Student’

Lexile Level and Reading

Achievements. A Dissertation

Submitedd to be Gardner-Webb

University Scholl Education.

Nurfallah, 2015. Upaya Meningkatkan

Kemampuan Membaca Permulaan

Melalui Pendekatan Proses pada

Siswa Kelas II SD N 1 Wosu Kec.

Bungku Barat Kab. Morowali.

Jurnal Kreatif Tadulako Online

Vol. 3 No 1 ISSN 2354-614X.

OECD. (2015). PISA 2015 Results in

Focus. Programme for

International Student Assessment,

1-16

https://www.oecd.org/pisa/pisa-

2915-results-in-focus.pdf.

Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015

Tentang Penumbuhan Budi

Pekerti.

Sugiyono,2014. Metode Penelitian

Manajemen, Bandung: CV.

Alfabeta

Sukardi, 2018. Evaluasi Pendidikan:

Prinsip & Operasionalnya. Jakarta

Bumi Aksara.

Sukartiningsih, Wahyu, 2005

Peningkatan Kemampuan

Membaca Dan Menulis Permulaan

Melalui Pembelajaran

Konstruktuvisme. JURNAL

PENDIDIKAN DASAR, VOL 6

NO.2. Program PGSD FIP

Universitas Negeri Surabaya.

Page 47: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hustati

41

Tahira DuPree Chase. 2011. Children

Left Behind : An Evaluation of a

Reading Intervention Program For

Upper Elementary Students.

Education Doctoral. St. Jhon

Fisher Colleg.

Umar, Touku. 2013. Perpustakaan

sekolah dalam menanamkan

budaya membaca. Jurnal: UIN

Alauddin, Gowa.

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional BAB

III Pasal 4 Nomor 5.

Widoyoko, Eko Putro. 2009 Evaluasi

Program Pembelajaran: Panduan

Praktis Bagi Pendidik dan Calon

Pendidik. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Wirawan,2011. Evaluasi : Teori Model,

Standar. Aplikasi dan Profesi.

Jakarta Rajawali Pers.

Page 48: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

Hal. 42 - 49

42

1. PENDAHULUAN

Wilayah pesisir merupakan

kawasan yang sangat dinamis dari segi

fisik, social dan ekonomi. Wilayah

pesisir, secara proses fisik merupakan

kawasan yang sangat kompleks dan

mempunyai dinamika yang tinggi.

Wilayah pesisir pun mengalami tekanan

yang besar dari berbagai segi proses fisik

maupun aktivitas manusia.

Salah satu contohnya ialah

wilayah pesisir di Kecamatan Sayung

Kabupaten Demak. Kondisi kepesisiran

RELOKASI ATAS HAPUSNYA HAK MILIK TANAH AKIBAT

EROSI PANTAI DI DESA BEDONO

Abu Hasan

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Bandung

[email protected]

Abstract

Indonesia which consits of a group of islands has quite a plenty of coasts where the

coastal residents inhabit those areas as a place to live as well as a source of their

primary livelihood especially as fishermen and pond farmers. Nonetheless in reality,

these nearshore regions have the potential for natural harm and high risk of

catastrophe, which one of the enviromental damage is seaside disintegration.

Sayung Sub-district in Demak Regency is one of the sub-districs in Indonesia which

is threatened with the loss of some area caused by coastal erosion. In last 10 years,

erosion has sunk Bedono Village that villagers must be moved to a protected spot. To

move occupants’s settelments is unquestionably arranged just as conceivable so that

there are no contentions and resulting issues that emerge after migration. Relocating

implies likewise moving individuals along with their social and monetary life. Also

the issue of land status possessed by residents that can not be utilized anymore thus it

requires State intervention to ensure its kin for humankind and social justice.

Therefore, in the procurement of relocation land it must be able to provide a

conventional life to the dislodged people so that the principle of expediency have to

be organized and prioritized. So all the time, there are land conflicts and disputes by

residents and the government due to compensation or improper relocation sites,

disengaged by encompassing networks, choosing individuals' occupations and

troublesome access to business sectors, schools and other fundamental

administrations. Accordingly, the arranging and assurance of movement must be as

per the material guidelines so as to secure all residents.

Keywords: erosion, relocation, conflict.

Page 49: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

43

Kecamatan Sayung bersifat sangat

dinamis karena adanya perubahan fisik

pantai, baik dilihat dari perubahan garis

pantai maupun akibat adanya proses

erosi pantai. Berdasarkan data Dinas

Kelautan dan Perikanan tahun 2009 dan

2011, panjang pantai Kecamatan Sayung

mengalami pengurangan sepanjang 2

Km. selain itu, garis pantai juga

mengalami perubahan dari sepanjang

23,36 Km pada tahun 2009 menjadi

25,56 pada tahun 2011. Perubahan garis

pantai ini disebabkan oleh kemunduran

garis pantai akibat adanya proses erosi

pantai dan akresi.

Di kecamatan Sayung, proses erosi

pantai tertinggi adalah di Desa Bedono

yaitu dari 1,5 Km di tahun 2009 menjadi

124,12 Km pada tahun 2011. Hal ini

menyebabkan hilangnya sebagian

wilayah di Desa Bedono, bahkan

beberapa rumah harus direlokasi ke

tempat yang lebih aman. Disinyalir sejak

tahun 2000, sebanyak 200 lebih rumah

yang harus direlokasi akibat terjadinya

erosi tersebut. Ditambah lagi dengan

genang pasang air laut yang bisa

memakan waktu cukup lama untuk surut

yang berakibat hilangnya tambak dan

pemukiman warga desa Bedono yaitu

dusun Tambaksar dan Rejosari Senik di

mana lahan berubah menjadi laut.

Fenomena berkurangnya panjang pantai

dan tenggelamnya beberapa wilayah

akibat erosi pantai ini, membawa

konsekuensi-konsekuensi dalam

beberapa hal, diantaranya konsekuensi

pemilikan tanah, penggunaan lahan dan

sebagainya.

Kondisi seperti inilah yang

membuat pemerintah harus membuat

kebijakan, salah satunya adalah segera

merelokasi warga yang terkena dampak

erosi sebelum menelan korban jiwa.

Relokasi yang dimaksud adalah relokasi

yang bisa mengatasi persoalan erosi

pantai dan meminimalisir konflik social

yang timbul akibat relokasi warga,

sehingga wacana relokasi merupakan

solusi terbaik, bukan menimbulkan

masalah baru lagi. Maka dari itu aturan

tentang relokasi warga harus sesuai

dengan kaidah hukum yang berlaku

untuk menciptakan kebijakan yang ber-

Keadilan dan melindungi masayarakat

setempat. Karena tidak sedikit kebijakan

pemerintah, terutama relokasi warga

terkena dampak bencana justru

menimbulkan masalah baru akibat

relokasi yang tidak sesuai dengan asas-

asas yang diatur dalam hukum dan

peraturan yang berlaku, sehingga

masyarakat marah dan tmbul konflik

baru berkepanjangan.

2. METODE

Penelitian ini berupa penelitian

deskriptif kualitatif dimana didalamnya

memberikan penjelasan atau gambaran

mengenai analisa peranan Pemerintah

Daerah terhadap Dampak Relokasi.

Menurut Gunawan (2013:80-81)

penelitian kualitatif merupakan sebuah

metode penelitian yang digunakan dalam

mengungkapkan permasalahan dalam

kehidupan kerja organisasi pemerintah,

swasta, kemasyarakatan, kepemudaan,

perempuan, olah raga, seni dan budaya,

sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan

untuk dilaksanakan demi kesejahteraan

bersama.

Penelitian ini akan dilaksanakan di

Kantor Desa Bedono, Kecamatan

Sayung, Kabupaten Demak. Alasan

memilih lokasi ini karena di Desa

Bedono merupakan lokasi kejadian erosi

yang mengakibatkan hapusnya hak

kepemilikan tanah. Selain itu dengan

adanya upaya relokasi korban erosi telah

Page 50: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

44

memberikan manfaat bagi upaya

penanggulangan bencana agar

masyarakat tidak kehilangan tempat

tinggal dan mata pencahariannya.

Informan dalam penelitian ini,

peneliti tentukan dengan metode

purposive sampling. Purposive sampling

adalah teknik pengambilan sampel

dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,

2012:216). Informan yang ditunjuk

kriterianya, yaitu korban yang

mengalami hapusnya kepemilikan tanah

dan aparatur pemerintah daerah yang

memahami penanganan korban pasca

ereosi dalam hal ini adalah OPD yang

terlibat langsung seperti Kecamatan,

BPBD, yang selalu berkoordinasi dengan

BPN.

Pengumpulan data dilakukan

dengan melakukan wawancara terhadap

pihak-pihak terkait. Informan yang telah

ditunjuk diwawancarai dengan memakai

teknik wawancara mendalam. Agar

wawancara mendalam bisa berlangsung

secara terarah, disusun pedoman

wawancara yang memuat pokok-pokok

pikiran yang terkait dengan masalah

yang diteliti. Data hasil wawancara

direkam memakai alat perekam serta

ditulis menggunakan alat tulis.

Observasi didefinisikan sebagai

suatu proses melihat, mengamati, dan

mencermati serta merekam perilaku

secara sistematis untuk suatu tujuan

tertentu (Herdiansyah, 2015:131). Pada

jenis observasi ini, penelitian melakukan

pengamatan yang dilakukan tanpa

menggunakan pedoman observasi,

sehingga peneliti mengembangkan

pengamatannya berdasarkan

perkembangan yang terjadi di lapangan.

Keabsahan data adalah untuk

melihat derajat kebenaran atau

kepercayaan terhadap hasil penelitian

dengan mempergunakan standarisasi

tertentu. Menurut Patton dan Moleong

(2012) mengatakan bahwa dalam rangka

menjaga keabsahan data digunakan

empat kriteria, yaitu: Kepercayaan

(Credibility/ Validitas Internal),

Keteralihan (Transferability/ Validitas

Eksternal), Ketergantungan

(Dependability/ Reliabilitas) dan

Kepastian (Confirmability/ Objektivitas).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Desa Bedono

Desa Bedono berada di Kecamatan

Sayung Kabupaten Demak Provinsi Jawa

Tengah memiliki tipe pantai berpasir dan

berlumpur, topografi landai dengan

variasi tinggi permukaan 0-10 m di atas

permukaan air laut. Berdasarkan data

dari Dinas Kelautan dan Perikanan tahun

2009 dan 2011, panjang pantai

Kecamatan Sayung mengalami

pengurangan sepanjang 2 Km. selain itu

garis pantai juga mengalami perubahan

dai sepanjang 23,36 km pada tahun 2009

menjadi 25,56 km pada tahun 2011.

Perubahan garis pantai ini disebabkan

oleh kemunduran garis pantai akibat

adanya proses erosi pantai dan akresi.

Fenomena erosi pantai dan akresi saling

terkait karena apabila terjadi erosi pantai

di suatu wilayah maka sering diiringi

oleh terjadinya sedimentasi (akresi) di

wilayah pesisir lain di sekitarnya. Di

kecamatan Sayung terjadi erosi pantai

terbesar yaitu berada di Desa Bedono.

Page 51: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

45

Gambar 1

Desa Bedono Kecamatan Sayung

Tahun 1991 dan 2007

Sumber: Citra Satelit

Dari gambar di atas terlihat

perubahan yang sangat jelas pada pantai

di Desa Bedono. Pada tahun 1991

daratan masih terlihat jelas di peta,

namun pada tahun 2007 sebagian

wilayah pantai telah terendam air laut

(tenggelam). Pada tahun 1991 lokasi

pantai Morosari, Desa Bedono terletak

sejauh 455 m di depan garis pantai,

namun di tahun 2009 telah terjadi

kemunduran garis pantai sejauh 802 m.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

erosi di pesisir utara Demak adalah

pengarug sea level rise dan penurunan

muka tanah. Pembangunan pelabuhan

Tanjung Mas di Semarang pada tahun

1987 merupakan salah satu penyebab

utama terjadinya proses erosi pantai di

pesisir Sayung. Pelabuhan dan aktivitas

industry di wilayah pesisir menjadi hal

yang berpengaruh terhadap dinamika

wilayah kepesisiran. Keberadaan

pelabuhan di wilayah pesisir membawa

dampak positif dan negatif. Dampak

positif berupa peningkatan ekonomi ,

yang diharapkan mampu

mensejahterakan masyarakat, namun

dengan tingginya aktivitas pelabuhan

juga berdampak negatif berupa

kerusakan lingkungan, seperti banyaknya

bangunan yang tumbuh di sekitar

pelabuhan, sampah dan limbah pabrik.

Gambar 2

Pelabuhan Tanjung Mas

Sumber: Citra Satelit

Karena tingginya aktivitas di

Pelabuhan Tanjung Mas, gundulnya

Mangrove dan sebagainya berakibat

terjadinya proses erosi di desa Bedono.

Keadaan erosi pantai terparah terjadi di

tahun 1998 sampai saat ini. Bahkan pada

Page 52: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

46

tahun 2000, sebanyak 208 rumah (sekitar

400 keluarga) di Dusun Senik, Rejosari,

Desa Bedono harus direlokasi akibat

terjadinya erosi pantai tersebut.

B. Relokasi Warga Desa Bedono

Dari foto satelit 3.1 di atas terlihat

bahwa di tahun 2007 bentuk pantai sudah

menjorok ke daratan sekitar 1,85 km.

warga desa Bedono sebagian besar sudah

dipindahkan (direlokasi) ke wilayah

yang lebih aman, yaitu menempati tanah

irigasi milik kantor Pekerjaan Umum

(Kantor PU Kabupaten Demak).

Gambar 3

Rumah Warga Desa Bedono

Sumber: google.com

Relokasi harus

mempertimbangkan bahwa penerima

dampak relokasi merupakan pihak yang

dinilai rentan (vulnerable person).

Dengan mempertimbangkan hal itu ,

maka dalam pelaksanaan relokasi harus

mengikuti beberapa prinsip yaitu

meliputi pemindahan bersifat sukarela,

penerima dampak mendapatkan

penghidupan yang setara atau lebih baik

dari sebelum relokasi, dan penerima

dampak mendapatkan kompensasi penuh

selama proses transisi dan meminimalisir

kerusakan jaringan social dan peluang

ekonomi.

Pihak masyarakat pemilik tanah

dapat diberikan ganti rugi yang layak

atau dapat diberikan tanah pengganti dan

permukiman kembali seperti yang diatur

dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

Pembangunaan, sehingga tingkat

kehidupan sosial ekonominya dapaat

menjadi lebih baik atau setidaknya tidak

membuat warga menjadi lebih miskin

dari sebelum tanah tersebut dicabut.

Status tanah dari tanah-tanah Hak

Milik warga Desa Bedono yang terkena

erosi pantai, masuk pada kategori

Hapusnya Hak Milik karena Musnah.

Istilah musnah dalam hal ini dipahami

dalam pengertian yuridis, yaitu secara

fisik tanah tersebut tidak dapat

dipergunakan secara layak sesuai dengan

isi/kewenangan haknya. Meskipun secara

fisik bidang tanah tersebut masih dapat

ditemukan, namun karena sudah tidak

dapat mendukung kegunaannnya secara

layak, maka haknya hapus menjadi tanah

Negara. Ketentuan yang mengatur

mengenai hapusnya Hak Milik ini dapat

ditemukan dalam rumusan Pasal 27

Undang-undang Pokok Agraria.

Status Hak milik terhadap tanah

tidak akan hilang, walaupun terjadi kasus

erosi pantai di Desa Bedono ini.

Masyarakat masih bisa mendaftarkan

tanah mereka kembali dengan

menunjukkan bukti-bukti kepemilikan

tanah. Hal ini seperti yang diatur di

dalam Pasal 24 ayat 1 dan 2 PP Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Dalam melaksanakan relokasi

permukiman, pemerintah harus

melaksanakan sesuai asas-asas yang

tercantum dalam undang-undang dan

memberi ganti rugi kepada masyarakat

yang mengedepankan asas kemanusiaan

dan asas keadilan agar masyarakat yang

Page 53: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

47

tinggal di rumah relokasi mendapat

kehidupan yang lebih layak. Hal ini

sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang

Pokok Agraria:

Untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan

Negara serta kepentinga bersama

dari rakyat, hak-hak atas tanah

dapat dicabut, dengan memberi

ganti kerugian yang layak dan

menurut cara yang diatur dengan

undang-undang.

Dan diatur pula pada pasal 9

undang-undang Nomor 20 Tahun 1961

abhwa tanah yang telah dicabut haknya

harus segera dikuasai oleh Negara dan

digunakan sebagaimana mestinya.

Adapun pasal tersebut berbunyi:

Setelah ditetapkannya surat

keputusan pencabutan hak tersebut

pada pasal 5 dan 6, dan setelah

dilakukannya pembayaran ganti

kerugian kepada yang berhak,

maka tanah yang haknya dicabut

itu menjadi tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara, untuk

segera diberikan kepada yang

berkepentingan dengan suatu hak

yang sesuai.

Pada dasarnya hak-hak atas tanah

tersebut bersumber pada eksistensi atau

keberadaan tanah tersebut pada suatu

lokasi tertentu. Musnahnya tanah baik itu

karena gempa bumi, longsor, erosi

menjadi dasar penghapusan Hak Atas

tanah oleh Negara. Selanjutnya

pemerintah dalam hal melindungi

segenap bangsa Indonesia sesuai

Undang-undang Dasar 1945,

berkewajiban merelokasi warga atau

memberi ganti rugi atas hapusnya hak

milik akibat musnahnya tanah dengan

ganti rugi yang layak atau merelokasi

pemukiman pada lahan yang baik tanpa

memutus rantai perekonomian

masyarakat setempat. Bahkan dengan

relokasi tersebut diharapkan mampu

memberikan kehidupan yang layak dan

lebih baik dari sebelum direlokasi.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Wilayah pesisir di Kecamatan

Sayung, Kabupaten Demak mengalami

berbagai perubahan yang sangat dinamis.

Di satu wilayah mengalami erosi dan

menenggelamkan beberapa desa, Namun

di wilayah lain di sekitarnya mengalami

sedimentasi berupa penambahan daratan

yang terbentuk akibat adanya

sedimentasi, yang kemudian disebut

sebagai akresi. Salah satu desa yang

terendam air laut yang mengakibatkan

musnahnya sebagian wilayah Kecamatan

Sayung, di mana tanah-tanah tersebut

tadinya adalah berstatus hak milik warga,

namun karena kejadian erosi tersebut

mengakibatkan tanah tak bisa berfungsi

lagi yang akhirnya status hak miliknya

hapus. Hal ini sesuai dengan Undang-

Undang Pokok Agraria pasal 27.

Hak Milik hapus bila:

a. Tanahnya jatuh kepada Negara,

1. Karena pencabutan hak

berdasarkan pasal 18

2. Karena penyerahan dengan

sukarela oleh pemiliknya

3. Karena ditelantarkan

4. Karena keteentuan Pasal 21 ayat

(3) dan 26 ayat (2)

b. Tanahnya Musnah

Kasus Desa Bedono merupakan

hak milik hapus dikarenakan oleh

musnahnya tanah, yang berakibat warga

masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan

tanah tersebut. Dengan demikian, sesuai

Page 54: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

48

ketentuan yang berlaku, Negara harus

mengganti kerugian atau merelokasi

warga ke tempat yang lebih aman dan

tidak memutus mata perekonomian dan

sosial masyarakat setempat, sehingga

masyarakat yang direlokasi bisa hidup

layak, bahkan lebih baik dari sebelum

direlokasi.

Dalam melaksanakan relokasi

permukiman, pemerintah harus

melaksanakan sesuai asas-asas yang

tercantum dalam undang-undang dan

memberi ganti rugi kepada masyarakat

yang mengedepankan asas kemanusiaan

dan asas keadilan agar tercipta

masyarakat yang sejahtera.

B. Saran

Untuk melakukan relokasi,

sebaiknya mengkaji beberapa factor

berikut ini:

1. Prasarana dan Sarana

Dalam proses pengadaan tanah harus

berpikir tentang pemenuhan

kebutuhan hidup masyarakat yang

akan direlokasi. Kebutuhan terhadap

tata ruang dengan ketersediaan

jaringan air bersih, listrik yang mudah

dijangkau, sehingga saat membangun

sarana dan prasarana permukiman

dapat dilakukan dekat dengan sumber

air bersih sehingga kebutuhan air

bersih masyarakat bias terpenuhi.

Mempersiapkan struktur ruang dan

pola ruang sangat penting untuk

mengatur kawasan permukiman baru,

seperti jaringan jalan tersedia,

jaringan listrik, air bersih, drainase,

permukiman dan sebagainya.

2. Ekonomi

Dalam merencanakan relokasi warga

berarti juga merelokasi mata

pencaharian mereka. Sebaiknya untuk

menetapkan lokasi pemukiman baru

tidak memutus mata pencaharian

warganya dan memaksa untuk beralih

profesi/ mata pencaharian yang lain ,

padahal mereka belum tentu mau,

mampu dan terampil dengan profesi

baru tersebut. Misalkan, warga yang

bermata pencaharian sehari-hariny

sebagai petani akan suli berpindah

profesi menjadi buruh pabrik, seorang

nelayan akan kesulitan jika dipaksa

menjadi pedagang pasar dan

sebagainya.

3. Sosial

Dalam rangka pengadaan tanah untuk

relokasi harus sesuai dengan asas

kemanfaatan yang pada prinsipnya

harus dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak. Membuat relokasi

menjadi permukiman yang tidak

terisolasi terhadap masyarakat di

luarnya, tapi warga yang direlokasi

masih bias melakukan interaksi social

dengan leluasa terhadap masyarakat

lainnya seperti sedia kala (sebelum

direlokasi).

4. Kearifan Lokal

Warga yang direlokasi tidak

kehilangan identitas budaya yang

memiliki kearifan local, justru

sebaliknya, dengan adanya relokasi

ini diharapkan kearifan local budaya

yanga baik, bias dimunculkan sebagai

upaya pengurangan resiko bencana

dan pembangunan pesisir. Kearifan

local yang dimaksud merupakan

modal social yang harus dibangun,

seperti bersama-sama menanam

kembali hutan mangrove, menjagaa

kebersihan, mengelola sampah dan

menjaga kelestarian biota di sekitar

panta.

Page 55: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Hasan

49

5. DAFTAR RUJUKAN

Muh Aris Marfai, Esti Rahayu, Annisa

Triyani ; Peran Kearifan Lokal dan

Modal Sosial Dalam Pengurangan.

Risiko Bencana Dan Pembangunan

Pesisir , Gadjah Mada.

Siti Zumrokhatun, Darda Syahrizal;

Undang-undang Agraria dan

Aplikasinya, Dunia Cerdas,

Jakarta.

Nur Aini Fitianti, Nurul Laili Fadhilah:

Relokasi Permukiman Warga

Bantaran Sungai Ciliwung di

Provinsi Jakarta, lentera hokum

vol.5 issue 2 (2018).

CB Herman Edyanto:Analisa Kebijakan

Penataan Ruang Untuk Kawasan

Rawan Tsunami di Wilayah

Pesisir, jurnal teknik lingkungan

vol.12, September 2011.

Tjaturahono Budi Sanjoto, Sunarko,

Satyanta Parman ; Tanggap Diri

Masyarakat Pesisir Dalam

Menghadapi Bencana Erosi Pantai;

jurnal geografi,UNNES, 2016.

Sugiyono, Metode Penelitian

Administrasi, Alfabeta, Bandung,

2003.

Sukandarrumidi et al., Dasar-dasar

Penulisan Proposal Penelitian,

Gajah Mada University Press,

Jogjakarta, 2014.

Sadu Wasistiono, et al, Perkembangan

Organisasi Kecamatan dari Masa

ke Masa, Lembaga Kajian

Manajemen Pemerintahan Daerah,

Fokus Media, Bandung, 2009.

Page 56: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

Hal. 50 - 61

50

RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DALAM MEMBERIKAN

DAYA DUKUNG BAGI PEMBANGUNAN DI KAWASAN

PERKOTAAN SUMEDANG

Yetti Seprianti Br. Sembiring

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Bandung

[email protected]

Abstract

Based on National Medium Term Development Plan (RPJMN), future city is a city

which is sustainable and competitive for community welfare. This sustainable city

consists of three vital aspects, such as smart city, livable city and green city. So

unlikely is to design a good city for self-preservation without supporting by

convenient environment as well. In conducting Livable City, the existence of Green

Open Space (RTH) must decisively be conserved regarding on the rapidly growing

phenomenon of urbanisation, which in the future will create new profound problems

in urban areas as spring up of slum areas, inconvenience if the city is crowded with

buildings, vehicle fumes and other city activities, hot climate without any shelters

from trees and plans around it. Furthermore, these will have harmful impacts on the

quality of human resources for next long period, since the level of happiness and

health are influenced by the learning of process and work. RTH gives ecological

benefit - Oxygen (O2) contributor, provided that one tree can support a life for two

adults."Shade tree produces oxygen for 10 people to breath in a year in one season.

:"Mature shade tree absorbs carbon dioxide at 48pound/year Dan releases oxygen,

which is truly enough to transfer back into the atmosphere to assist two human

beings" (Arbor Day Foundation; McAliney, Mike; Argument for Land Convervstion:

Documentations and Information Sources to Conserve Land Resources, Trust for

Public Land, Sacramento, CA, December 1993). "One tree, on average, nearly 260

pounds of oxygen annually. Two mature trees can generate sufficient oxygen for four

families." (Northwest Territories Forest Management)To summarise, the existence of

RTH can be green lungs of the city that provides oxygen, a stable climate for well-

human being. In addition, the amount of RTH in each urban area must meet the

applicable standards in accordance with the applicable law and regulation.

Keywords: urban area, RTH, Applicable law, regulation.

Page 57: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

51

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu fenomena

pembangunan kota-kota di Indonesia

adalah semakin meningkatnya arus

urbanisasi. Perkembangan urban yang

semakin tinggi seiring perkembangan

waktu menjadi permasalahan baru bagi

tata kelola kota. Pada umumnya tata

kelola kota kurang mengantisipasi

pertumbuhan arus urban yang semakin

bertambah. Akibatnya penduduk kota

bertambah secara signifikan. Dengan

bertambahnya penduduk tersebut maka

kebutuhan layanan publik semakin

tinggi. Tingkat kepadatan penduduk kota

yang tinggi membutuhkan tata kelola

yang tepat dan adil. Yang dimaksud tepat

adalah sesuai dengan kebutuhan

masyarakat kota yang heterogen,

sedangkan adil mencerminkan

keberpihakan yang utuh terhadap seluruh

pemangku kepentingan di kota.

Seringkali upaya penyediaan

layanan publik yang masif tidak

diimbangi keberpihakan terhadap

keberlangsungan lingkungan hidup.

Kebutuhan akan lahan pemukiman yang

meningkat harus mengorbankan ruang

ruang terbuka hijau. Demikian juga

kebutuhan transportasi yang tinggi harus

didukung penambahan jalan. Dengan

membuat jalan baru harus menebang

pohon sepanjang jalan. Akibatnya

kapasitas paru-paru kota semakin

berkurang seiring perubahan waktu.

Konflik kepentingan dalam penggunaan

lahan pun semakin bermunculan. Hal ini

diakibatkan oleh meningkatnya

permintaan (demand) lahan untuk

berbagaai keperluan seperti pemukiman,

perkantoran, industry, perdagangan,

infrastruktur jalan, irigasi serta keperluan

terhadap prasarana publik lainnya.

Hal tersebut di atas yang membuat

lahan semakin mahal dan langka. Dengan

banyaknya kepentingan terhadap lahan

ini dikhawatirkan Pemerintah Kota

melupakan kenyamanan bagi penduduk

kota terhadap berbagai pembangunan

gedung dan infarstruktur lainnya yang

semakin tinggi, sehingga hal ini sangat

berpengaruh terhadap indeks

kebahagiaan masyarakat kota.

RTH (Ruang Terbuka Hijau)

sebagai salah satu Ruang Publik sangat

penting keberadaannya di dalam tata

ruang kota, karena ruang publik ini

berpengaruh terhadap kehidupan social,

ekonomi dan budaya masyarakat kota.

Perencanaan RTH hendaknya disediakan

sesuai dengan kebutuhan public. Namun

demikain perlu mempertimbangkan

aspek-aspek lain yang penting, yaitu

aspek ekologi, aspek kesehatan, aspek

psikologi, aspek kearifan local dan

ketentuan regualasi. Hal ini penting

untuk mewujudkan kehidupan kota yang

layak huni, dan berkelanjutan (livable

city).

Secara ekologis manusia

membutuhkan lingkungan hidup yang

baik dan nyaman, misalnya kawasan

perkotaan yang tidak mampu mengelola

persoalan urban menjadikan kota sangat

padat dan kumuh. Akibanya ketersediaan

air berkurang, sanitasi buruk dan

kurangnya lingkungan hijau, menjadikan

lingkungan kota menjadi rawan penyakit

dan tidak nyaman. Dalam pandangan

kesehatan manusia membutuhkan

oksigen yang bersih dan bebas polusi.

Kepadatan penduduk yang tinggi yang

tidak diimbangi dengan ruang terbuka

hijau membuat produksi oksigen sangat

terbatas. Padahal ada ketentuan bahwa 1

(satu) pohon dewasa tunggal menghidupi

2 (dua) orang manusia. Apabila tidak

terjadi keseimbangan maka terjadi

Page 58: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

52

perebutan oksigen dan penurunan

kualitas hidup.

Aspek lain yang mempengaruhi

perencanaan ruang terbuka dari

pandangan psikologi menyebutkan

bahwa manusia membutuhkan ruang

public yang mampu menyehatkan

jiwanya. Kepadatan penduduk yang

tinggi dengan keterbatasan ruang terbuka

hijau mengakibatkan publik cenderung

mengalami kejenuhan dan stres, yang

akan berkaibat pada tingginya tingkat

kriminalitas. Selain itu dalam pandangan

kearifan lokal, sejarah kota-kota di

Indonesia sudah mengenal ruang public

yang konsepnya berbeda dengan konsep

ruang publik masyarakat Eropa. Ruang

publik dalam pandangan local bersifat

sacral dan multi guna, selain untuk

mendengarkan wejangan raja, ruang

public digunakan untuk mengadili serta

mengeksekusi pelaku tindak kejahatan

serta banyak aktifitas social lainnya

seperti wahana berkumpul, bersosialisasi,

dan berinteraksi dengan masyarakat.

Disamping itu pemerintah telah

mengeluarkan kebijakan tentang ruaang

public, baik terbuka hijau maupun ruang

terbuka non hijau yang diperuntukkan

untuk public.

Ruang Publik juga mampu

meminimalisir kesenjangan antar lapisan

masyarakat, sehingga ruang public yang

hijau dipercaya mampu mengurangi

kriminalitas di Kota. Hal ini senada

dengan yang dikatakan oleh salah

seorang Camat di Kota Surabaya

beberapa waktu lalu saat melakukan

audiensi dengan Camat Benowo, Kota

Surabaya, bahwa keberadaan ruang

terbuka mampu mengurangi kriminalitas

warga, hal ini dikarenakan mereka hidup

bahagia.

Walaupun bagi sebagian orang

menganggap bahwa ruang publik tidak

menguntungkan secara langsung bagi

peningkatan PAD, namun keberadaannya

sangat penting dalam menciptakan Kota

yang Berkelanjutan, yaitu salah satunya

adalah kota yang layak huni (Livable

City) bagi semua warga kota.

B. Rumusan Masalah

Dengan demikian kegiatan

penelitian ini memfokuskan pada

permasalahan, prinsipupaya penataan

Ruang Terbuka Hujau (RTH) di kawasan

perkotaan Sumedang?

C. Maksud, Tujuan dan Lokus Penelitian

Maksud dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui perencanaan

RTH sesuai prinsip livable city di

Kawasan Perkotaan Sumedang.

Sedangkan tujuan dari penelitan

ini adalah:

1. Mengidentifikasi Ruang Terbuka

Hijau di Kawasan Perkotaan

Sumedang

2. Memperbandingkan rasio

ketersediaan Ruang Terbuka Hijau

(RTH) terhadap regulasi yang berlaku

di Kawasan Perkotaan Sumedang

3. Membuat rekomendasi perencanaan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di

Kawasan Perkotaan Sumedang

Adapun lokus penelitian ini

dibatasi pada 2 (dua) Kecamatan di Kota

Sumedang yaitu Kecamatan Sumedang

Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan.

Page 59: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

53

2. KAJIAN KEBIJAKAN DAN

TEORITIK

A. Kota Layak Huni (Livable City)

Konsep Kota Layak Huni (Livable

City), dimna kota bias memberikan

kenyamanan, keamanan dan kehidupan

yang sehat secara fisik dan psikhis untuk

semua kalangan. Hal ini sesuai dengan

yang diungkapkan oleh HahIweg sebagai

berikut:

A livable city is a city where I can

have a healty life and where I have

the chance for easy mobility –by

foot, by bicycle, by public

transportation, and even by car

where there is no other

choice…The livable city is a city

for all people. That means that the

livable city should be attractive ,

worthwhile , safe our children, for

older people, not only for people

who earn money there and then go

and I live outside in the suburbs

and in the surrounding

communities. For the children and

elderly people it is especialy

important to have easy access to

areas with green, where they have

a place to play and meet each

other, and talk with each other.

The livable city is a city for all.”

(D. Hahlweg, 1997).

B. Ruang Terbuka Hijau

Menurut Permen PU No. 5 Tahun

2008, mendefenisikan:

Ruang Terbuka Hijau adalah area

memanjang/ jalur dan/atau

mengelompok, yang

penggunaannya lebih bersifat

terbuka, tempat tumbuh tanaman,

baik yang tumbuh secara alamiah

maupun yang sengaja ditanam.

Ruang Terbuka Hijau Publik

adalah RTH yang dimiliki dan dikelola

oleh Pemerintah Daerah Kota/

Kabupaten yang digunakan untuk

kepentingan masyarakat secara umum.

Penyediaan dan pemanfaatan RTH

dalam RTRW Kota/ RDTR Kota/ RTR

Kawasan Strategis Kota/ RTR Kawasan

Perkotaan , dimaksudkan untuk

menjamin tersedianya ruang yang cukup

bagi:

a. Kawasan konservasi untuk kelestaria

hidrologis

b. Kawasan pengendalian air larian

dengan menyediakan kolam retensi

c. Area pengembangan keanekaragaman

hayati

d. Area penciptaan iklim mikro dan

pereduksi polutan di kawasan

perkotaan

e. Tempat rekreasi dan olahraga

masyarakat

f. Tempat pemakaman umum

g. Pembatas perkembangan kota kea rah

yang tidak diharapkan

h. Pengamanan sumberdaya baik alam,

buatan maupun historis

i. Penyediaan RTH yang bersifat privat,

melalui pembatasan kepadatan serta

kriteria pemanfaatannya

j. Area mitigasi/ evakuasi bencana

k. Ruang penempatan pertandaan

(signage) sesuai dengan peraturan

perundangan dan tidak mengganggu

fungsi utama RTH tersebut.

Tujuan penyelenggaraan RTH

adalah:

a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai

kawasan respan air

b. Menciptakan aspek planologis

perkotaan melalui keseimbangan

antara lingkungan alam dan

lingkungan binaan yang berguna

untuk kepentingan masyarakat

Page 60: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

54

c. Meningkatkan keserasian lingkungan

perkotaan sebagai sarana pengaman

RTH memiliki fungsi sebagai

berikut:

a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi

ekologis:

• Memberi jaminan pengadaan RTH

menjadi bagian dari system sirkulasi

udara (paru-paru kota)

• Pengatur iklim mikro agar system

sirkulasi udara dan air secara alami

dapat berlangsug lancar

• Sebagai peneduh

• Produsen oksigen

• Penyerap air hujan

• Penyedia habitat satwa

• Penyerap polutan media udara, air

dan tanah, serta

• Penahan angin

b. Fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu:

• Fungsi sosial dan budaya

- Menggambarkan ekspresi budaya

lokal

- Merupakan media komunikasi

warga kota

- Tempat rekreasi

- Wadah dan objek pendidikan,

penelitian dan pelatihan dalam

mempelajari alam

Manfaat RTH berdasarkan

fungsinya dibagi atas:

a. Manfaat langsung (dalam pengertian

cepat dan bersifat tangible), yaitu

membentuk keindahan dan

kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan

mendapatkan bahan-bahan untuk

dijual (kayu, daun, bunga, buah)

b. Manfaat tidak langsung (berjangka

panjang dan bersifat intangible), yaitu

pembersih udara yang sangat efektif,

pemeliharaan akan kelangsungan

persediaan air tanah, pelestarian

fungsi lingkungan beserta segala isi

flora dan fauna yang ada (konservasi

hayati atau keanekaragamn hayati).

Gambar 2

Tipologi RTH

Di dalam kawasan perkotaan

terdapat RTH berupa:

a. RTH Taman Kota

RTH Taman Kota adalah taman yang

ditujukan untuk melayani penduduk

satu kota atau bagian wilayah kota.

Taman ini melayani minimal 480.000

penduduk dengan standar minimal 0,3

m2 per penduduk kota, dengan luas

taman minimal 144.000 m2. Taman

ini dapat berbentuk sebagai RTH

(lapangan hijau), yang dilengkapi

dengan fasilitas rekresi dan olahraga,

dan kompleks olahraga dengan

minimal RTH 80%-90%. Semua

fasilitas tersebut terbuka untuk umum.

b. Hutan Kota

Tujuan penyelenggaraan hutan kota

adalah sebagai penyangga lingkungan

kota yang berfungsi untuk:

Page 61: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

55

- Memperbaiki dan menjaga iklim

mikro dan nilai estetika

- Meresapkan air

- Menciptakan keseimbangan dan

keserasian lingkungan fisik kota

- Mendukung pelestarian dari

perlindungan keanekaragaman

hayati Indonesia.

c. RTH Jalur Hijau Jalan

RTH Jalur Hijau Jalan terdiri dari

Pulau Jalan dan Median Jalan. Taman

Pulau Jalan adalah RTH yang

terbentuk oleh geometris jalan seperti

pada persimpangan tiga atau bundaran

jalan. Sedangkan median berupa jalur

pemisah yang membagi jalan menjadi

dua lajur atau lebih. Median atau

pulau jalan dapat berupa taman atau

non taman.

d. RTH Ruang Pejalan Kaki

Ruang pejalan kaki adalah ruang yang

disediakan bagi pejalaan kaki pada

kiri-kanan jalan di dalam taman.

Ruang pejalan kaki yang dilengkapi

dengan RTH harus memenuhi hal-hal

sebagai berikut:

Kenyamanan, adalah cara mengukur

kualitas fungsional yang ditawarkan

oleh system pedestrian, yaitu:

• Orientasi, berupa tanda visual

(landmark, marka jalan) pada

lansekap untuk membantu dalam

menemukan jalan pada konteks

lingkungan yang lebih besar.

• Kemudahan berpindah dari satu arah

kea rah lainnya yang dipengaruhi

oleh kepadatan pedestrian,

kehadiran penghambat fisik, kondisi

permukaan jalan dan kondisi iklim.

Jalur pejalan kaki harus aksesibel

untuk semua orang termasuk

penyandang cacat.

e. RTH Fungsi Tertentu

• RTH Sempadan Sungai adalah jalur

hijau yang terletak di bagian kiri dan

kanan sungai yang memiliki fungsi

utama untuk melindungi sungai

tersebut dari berbagai gangguan

yang dapat merusak kondisi sungai

dan kelestariannya

• RTH Pemakaman. Penyediaan

ruang terbuka hijau pada areal

pemakaman disamping memiliki

fungsi utama sebagai tempat

penguburan jenazah yang memiliki

fungsi ekologis yaitu sebagai daerah

resapan air, tempat pertumbuhan

berbagai jenis vegetasi, pencipta

iklim mikro serta tempat hidup

burung serta fungsi social

masyarakat di sekitar seperti

beristirahat dan sebagai sumber

pendapatan.

Penyediaan RTH berdasarkan

jumlah penduduk sesuai Permen PU No.

5 Tahun 2008:

No.

Unit

Lingku-ngan

Tipe RTH Luas minimal/

unit (m2)

Luas mini-mal/

kapita (m2)

Lokasi

1. 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah

lingkungan RT

2. 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat

kegiatan RW

3. 30.000

jiwa

Taman Kelura-

han

9.000 0,3 Dikelom-

pokan

dengan sekolah/

pusat kelurahan

4. 120.000

jiwa

Taman Keca-

matan

24.000 0,2 Dikelom-

pokan dengan

sekolah/ pusat

kecamatan

Pema-kaman disesuaikan 1,2 Tersebar

5. 480.000 jiwa

Taman Kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/

kota

Hutan Kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan

pinggiran

Untuk fungsi-fungsi tertentu

disesuaikan 12,5 Disesuaikan dengan

kebutuhan

Page 62: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

56

Salah satu dari RTH Publik yang

harus disediakan pemerintah adalah Jalur

Pejalan Kaki. Menurut Peraturan Menteri

PUPR No 3 Tahun 2014 tentang

Perencanaan, Penyediaan, dan

Pemanfaatan Prasarana dan Sarana

Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan

Perkotaan, mempunya prinsip sebagai

berikut:

a. Jalur penghubung antar pusat

kegiatan, blok ke blok, dan persil ke

persil di kawasan perkotaan

b. Bagian yang tidak terpisahkan dalaam

sistem pergantian moda pergerakan

lainnya

c. Ruang interaksi social

d. Pendukung keindahan dan

kenyamanan kota

e. Jalur evakuasi bencana

Di dalam Undang-undang No. 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

perencanaan tata ruang wilayah kota

harus memuat rencana penyediaan dan

pemanfaatan ruang terbuka hijau yang

luas minimalnya sebesar 30% dari luas

wilayah kota, terdiri dari 20 % RTH

Publik dan 10% RTH Privat.

3. FAKTA DAN ANALISA RUANG

TERBUKA HIJAU (RTH)

PUBLIK DI KAWASAN

PERKOTAAN SUMEDANG

Kawasan perkotaan Sumedang

terdapat 2 kecamatan yaitu Kecamatan

Sumedang Selatan dan Sumedang Utara

dengan luas sebagai berikut:

- Luas Kecamatan Sumedang Selatan:

11.652,36 Ha

- Luas Kecamatan Sumedang Utara:

3.174,6 Ha

Tabel 1

Jumlah Penduduk di Kawasan Perkotaan

Sumedang Tahun 2014-2018

Tahun Sumedang

Selatan

Sumedang

Utara

2014 77.324 103.158

2015 76.510 102.072

2016 76.897 102.994

2017 93.453 106.160

2018 86.005 107.789

Sumber: BPS Kabupaten Sumedang

2014-2018.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa

Kecamatan Sumedang Utara, dengan

luas wilayah 3.174,6 Ha memiliki

kepadatan penduduk yang tinggi

dibandingkan kepadatan penduduk di

Kecamatan Sumedang Selatan.

Di dalam Peraturan Menteri PU

No.5 Tahun 2008 dikatakan bahwa

sesuai data yang diperoleh dari Dinas

PUPR Kabupaten Sumedang, Kawasan

perkotaan Sumedang memiliki luas RTH

Publik sebagai berikut:

Tabel 2

Data Ruang Terbuka Hijau di

Wilayah Sumedang Kota No Jenis Ruang Terbuka

Hijau

Luas

(Ha)

Lokasi

RTH Publik 771,7312

A. RTH Taman 115,2690

1. Taman

Kota/Kecamatan/Kel

urahan/Desa

4,9207

Kecamatan

Sumedang Utara

0,4265

- Taman Kota 0,2226 Kelurahan

Kota Kaler

- Taman Tegalkalong 0,2039 Kelurahan

Talun

Kecamatan

Sumedang Selatan

4,4942

- Alun-alun Sumedang

1,4242 Kelurahan

Regol

Wetan

Page 63: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

57

No Jenis Ruang Terbuka

Hijau

Luas

(Ha)

Lokasi

- Kel.

Cipameungpeuk

0,0420 Kelurahan

Cipameung

-peuk

- Kel. Pasanggrahan 0,0210 Kelurahan

Pasanggra-

han

- Desa Mekar Rahayu 3,0000 Desa

Mekar

Rahayu

- Kel. Regol Wetan 0,0070 Kel. Regol

Wetan

2 Tempat Rekreasi 2,4240

Kecamatan

Sumedang Selatan

2,4240

- Desa Baginda 0,3700 Desa

Baginda

- Kel. Regol Wetan 0,0540 Kel. Regol

Wetan

- Margamekar 2,0000 Desa

Margame-

kar

3. Hutan Kota 35,8000

Kecamatan

Sumedang Selatan

35,8000

- Taman Hutan Raya

Gunung Kunci/

Palasari

35,8000 Kelurahan

Kota Kulon

4. Pemakaman Umum 59,4243

Kecamatan Sumedang

Selatan

26,6937 Pasanggra-

han,

Kotakulon,

Regol

Wetan,

Cipameung

-peuk,

Sukagalih,

Baginda,

cipancar,

Citengah,

Gunasari,

Sukajaya,

Marga

Mekar,

Ciherang

Kecamatan Sumedang

Utara

32,7306 Kotakaler,

Situ, Talun,

Padasuka,

Mulyasari,

Girimukti,

Mekarjaya,

Margamuk-

ti,

Simamulya,

Kebonjati,

Jatihurip,

Jatimulya,

No Jenis Ruang Terbuka

Hijau

Luas

(Ha)

Lokasi

Rancamul-

ya

5 Lapangan Olahraga 12,7000

Kecamatan Sumedang

Selatan

4,5300 Baginda,

Mekar

Rahayu,

sukajaya,

Kotakulon,

Margame-

kar

Kecamatan Sumedang

Utara

8,1700 Pacuan

Kuda,

Padasuka

B. RTH Jalan 0,0269

Pulau Jalan 0,0269

Kecamatan

Sumedang Selatan

0,0018

- Tugu Silat 0,0018 Pasanggra-

han Baru

Kecamatan

Sumedang Utara

0,0252

- Tugu Tahu 0,0045 Kelurahan

Situ

- Tugu

Adipura

0,0207 Kelurahan

Kotakaler

C. RTH Lainnya 546,0870

1 Jalur Sempadan

Sungai/Danau/Sumbe

r Air

3,5000

Kecamatan

Sumedang Selatan

3,5000

- Cipameungpeuk

3,5000 Cipameung

-peuk

2 Sawah 55,000

Kecamatan Sumedang

Selatan

55,000 Baginda,

Mekar

Rahayu

3 Lahan Pertanian 132,0000

Kecamatan Sumedang

Selatan

132,0000 Baginda,

Mekar

Rahayu,

Sukajaya

4 Pekebunan Negara 350,5870

Kecamatan Sumedang

Selatan

350,5870 Pasanggra-

han,

Sukajaya,

Margame-

kar

5 Daerah Resapan Air 5,0000

Kecamatan 5,0000

Page 64: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

58

No Jenis Ruang Terbuka

Hijau

Luas

(Ha)

Lokasi

Sumedang Selatan

- Pasanggrahan 5,0000 Pasanggra-

han

Luas RTH Publik 771,7312

Luas Kawasan

Perkotaan

6.742,17

% RTH Publik 11,45 %

Sumber: Dinas PU Kabupaten

Sumedang, 2015.

Gambar 3

Peta Panel Sebaran RTH yang Telah

Diidentifikasi

Sesuai dengan Permen PU No 5

Tahun 2008 maka beberapa titik berikut

ini adalah merupakan RTH Publik di

kawasan perkotaan Sumedang yang telah

dilakukan survey langsung ke lokasi oleh

peneliti dan penentuan lokasi

berdasarkan prioritas RTH.

Gambar 4

Kondisi Existing RTH Kawasan

Perkotaan Sumedang yang

Teridentifikasi

Keberadaan RTH di dalam RDTR

Kawasan Perkotaan Sumedang termasuk

dalam zona lindung. Disebutkan di dalam

pasal 10 bahwa Zona RTH Publik

ditargetkan dengan luas ± 1.198,70

(kurang lebih seribu seratus Sembilan

puluh delapan koma tujuh nol) hektar

atau ± 20,27% (kurang lebih dua puluh

koma dua puluh tujuh persen) dari luas

BWP kabupaten Sumedang. Sedangkan

dari table 3.1 di atas terlihat bahwa

jumlah luas RTH di kawasan perkotaan

Sumedang masih minim yaitu 771,7312

Ha, sehingga hanya memenuhi 11,45%

dari total kawasan perkotaan Sumedang.

Padahal sesuai aturan Permen PU Nomor

5 tahun 2008 tentang Pedoman

Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang

Terbuka HIjau di Kawasan Perkotaan,

mengamanahkan pemerintah kota untuk

menyediakan RTH minimal sebesar

30% yang terdiri dari 20% Ruang

Terbuka Hijau Publik dan 10% terdiri

dari ruang terbuka hijau privat.

Namun kenyataannya, bahwa jika

dihitung dari data, maka RTH wilayah

Kecamatan Sumedang selatan seluas

620,0307 Ha, sedangkan RTH wilayah

Kecamatan Sumedang Utara adalah

seluas 41,3523 Ha. Kenyataannya itu

menunjukkan bahwa Sumedang Utara

masih kalah dalam penyediaan RTH

dibandingkan wilayah Kecamatan

Sumedang Selatan, padahal jika dilihat

dari jumlah penduduk, maka Kecamatan

Sumedang Utara terbilang lebih padat

daripada kecamatan Sumedang Selatan.

Kecamatan Sumedang Selatan memang

diuntungkan dengan luas wilayah yang

lebih banyak daripada Kecamatan

Sumedang Utara, ditambah lagi dengan

adanya Hutan Kota yaitu Gunung Kunci

dan Gunung Palasari yang berada di

kawasan Kecamatan Sumedang Selatan.

Page 65: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

59

Kondisi RTH di Kawasan

Perkotaan Sumedang masih jauh dari

cukup, apalagi ketersediaan fasilitas

pendukungnya masih sangat minim.

Misalnya kelengkapan fasilitas di RTH

Publik Pacuan kuda yang masih sangat

rendah, dintaranya yaitu tidak adanya

pengaturan area pengunjung yang jelas,

tidak tersedianya tribun / tempat duduk

bagi pengunjung, tidak tersedianya

mushola, tempat parker dan sebagainya.

Begitu pula dengan Lapangan Sepak

Bola Padasuka dan Lapangan Sepak Bola

Baginda .Bagi pengguna lapangan

sepakbola ini sebagai tempat latihan

bola, maka lapangan ini terasa kurang

nyaman karena tanah hanya sebagian

yang tertutup rumput, sedangkan

sebahagian lainnya terlihat tanah licin

dan becek. Hal ini akan membahayakan

bagi pemain bola. Ditambah lagi marka/

garis pembatas lapangan, garis penalti,

tiang bendera dan garis lainnya yang

dibutuhkan pemain tidak tersedia di

lapangan ini.

Masalah kebersihan pun masih

jauh dari sempurna. Banyak RTH Publik

yang tidak memiliki tempat sampah yang

memadai, tempat sampah masih

bercampur Antara sampah organic dan

non organic. Lebih uniknya lagi, di

lapangan/stadion Cigugur terdapat

tempat sampah yang sudah cukup baik,

namun tidak digunakan sebagaimana

mestinya. Pengunjung masih membuang

sampah pada tempat sampah campur.

Gambar 5

Kondisi Tempat Sampah di Lapangan/

Stadion Cigugur

Kondisi tempat sampah di Alun-

alun Sumedang juga terlihat

memprihatinkan. Tempat sampah masih

dalam satu wadah campur, dan alat-alat

kebersihannya masih tergeletak di tanah.

Gambar 6

Tempat Sampah di Alun-Alun Sumedang

Gambar 7

Taman tematik di kota Surabaya

Page 66: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

60

Gambar 8

Taman RW di Kecamatan Rancasari,

Kota Bandung

Pemanfaatan ruang terbuka hijau

yang dimanfaatkan di setiap RW, Desa,

Kecamatan dan Kota sangat bermanfaat

untuk mendukung kondusifitas sosial-

budaya lingkungan hidup. Selain sebagai

citra kota, tersedianya RTH Publik di

unit-unit perumahan dan permukiman,

akan berdampak pada tingginya nilai jual

tanah dan permukiman di sekitarnya. Hal

ini sangat menguntungkan bagi pelaku

ekonomi, terutama bisnis properti.

4. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Jumlah luas RTH di kawasan

perkotaan Sumedang masih minim yaitu

771,7312 Ha, sehingga hanya memenuhi

11,45% dari total kawasan perkotaan

Sumedang. Padahal sesuai aturan Permen

PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan

Ruang Terbuka HIjau di Kawasan

Perkotaan, mengamanahkan pemerintah

kota untuk menyediakan RTH minimal

sebesar 30% yang terdiri dari 20% Ruang

Terbuka Hijau Publik dan 10% terdiri

dari ruang terbuka hijau privat. Dengan

begitu Pemerintah Kabupaten Sumedang

masih harus mengejar ketertinggalan

sebesar 8,55% lagi luas RTH untuk

memenuhi standar yang ditetapkan oleh

peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Jika sesuai harapan RDTR yang

ditargetkankan oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Sumedang mencapai 20,27 %

dari BWP, maka berarti Kawasan

Perkotaan Sumedang masih harus

memenuhi luas RTH sebanyak 8, 82%.

Kondisi RTH Publik yang masih

jauh dari kelayakan juga membuat RTH

Publik kurang dimanfaatkan oleh

masyarakat setempat. Kelengkapan

fasilitas, aksesibilitas, keamanan,

kenyamanan, kebersihan dan

keramahtamahan merupakan persyaratan

yang harus dimiliki oleh penyediaan

RTH Publik. Kenyataannya, dari hasil

survey yang dilakukan peneliti

menemukan beberapa titik lokasi yang

sama sekali tidak memiliki fasilitas

pendukung aktivitas, tidak ramah pada

semua kalangan pengunjung, bahkan

cenderung bias membahayakan

pengunjung RTH Publik tersebut seperti

jalur pedestrian yang terdapat lubang

dengan penutup kayu yang sudak lapuk,

lapangan bola yang tidak tertutup

rumput, hanya tanah becek dan licin.

B. Saran

Raperda kabupaten Sumedang

tentang RDTR kawasan perkotaan

Sumedang yang menargetkan RTH

Publik menjadi 20,27% maka perlu

dilakukan beberapa upaya untuk

penambahan kuantitas dan

pengoptimalisasian fungsi RTH Publik

kawasan Perkotaan Sumedang.

Penambahan kuantitas RTH baik public

maupun privat dapat dilakukan dengan

menggalakkan RTH Privat dengan cara

urban farming di setiap rumah, menanam

pohon-pohon di pulau-pulau jalan,

menghijaukan perkantoran dan

pertokoan.

Page 67: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Sembiring

61

Mengoptimalkan fungsi RTH

public agar bias dimanfaatkan oleh

semua elemen masyarakat.

Memperhatikan kualitas dari RTH

Publik, seperti penyediaan fasilitas

umum yang baik di setiap titik RTH

Publik, menyediakan akses yang mudah

untuk menjangkau RTH Publik seperti

jalur pejalan kaki yang ramah pada

semua kalangan, tersedianya tempat

bermain dan edukasi anak, menyediakan

rambu-rambu visual yang jelas sebagai

himbauan, arahan atau larangan untuk

dipatuhi setiap pengunjung.

5. DAFTAR RUJUKAN

Nirwono Joga dan Dhaneswara Nirwana

Indrajoga ; Membangun Peradaban

Kota, PT.Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta 2018.

Dr.Noverman Duadji dan Unang

Mulkhan, MBA, Ph.D ; Anak,

Perempuan dan Sustainable

Development Goals (SDGs).

Prof.Dr.M.Abdurrahman, MA ; Eko-

Terorisme, Membangun

Paradigma Fikih Lingkungan,

Yayasan Islam Baiturrahman,

2017.

Nirwono Joga; Mewariskan Kota Layak

Huni , Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2017.

M.Arszandi Pratama dkk; Menata Kota

Melalui Rencana Detail Tata

Ruang (RDTR), ANDI,

Yogyakarta, 2014.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Permen PU Nomor 5 Tahun 2008

Tentang Ruang Terbuka Hijau di

Kawasan Perkotaan.

Peraturan Menteri PUPR No 3 Tahun

2014 tentang Perencanaan,

Penyediaan, dan Pemanfaatan

Prasarana dan Sarana Jaringan

Pejalan Kaki di Kawasan

Perkotaan

Page 68: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

Hal. 62 - 77

62

1. PENDAHULUAN

Memajukan kesejahteraan umum,

bunyi tujuan nasional yang termaktub

dalam pembukaan Undang-undang Dasar

1945, jelas mengarahkan pemerintah

untuk bisa mewujudkan pemerataan

pembangunan tidak hanya bagi penduduk

di kota-kota besar saja, tetapi juga

menjamin kemakmuran bagi masyarakat

yang bermukim di desa-desa yang hingga

saat ini dirasa minim sentuhan

pembangunan. Berkaca dari sukses

doktrin Trilogi Pembangunan masa

Presiden Soeharto, yang menekankan

pada 3 unsur esensial pembangunan

yakni, pemerataan hasil pembangunan,

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

disokong oleh stabilitas nasional yang

mantap dan dinamis (Sudiyono, 2010),

𝐓𝐞𝐠𝐮𝐡 𝐒𝐨𝐥𝐢𝐡 𝐒𝐞𝐭𝐲𝐨 𝐖𝐢𝐛𝐨𝐰𝐨𝟏

TRIPLE HELIX FAKTOR KUNCI PEMBANGUNAN DESA:

Sebuah Refleksi dari Saemaul Undong, Pembangunan Desa Ala Korea

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Bandung

[email protected]

Abstract

Almost all countries in the world today are trying to leverage all academic circles,

business elements and entrepreneurship, and in particular to put pressure on the

government through active participation in rural development. This paper seeks to re

evaluate the triple helix concept in the success of village development, focusing on

three important elements of academics, business, and government regulation has a

vital role in it as well. This concept was then juxtaposed with the success of Saemaul

Undong, an integrated rural development model of Korean, which then filtered out

three success factors of its. These factors are then analysed its application in

accordance with the Indonesian values. The focus of this paper lies in the key to the

success of rural development, identification of the role of elements of academia,

entrepreneurship and government regulation as well as attracting lessons to be

applied in current development practices. The objectives of this paper is to describe

and find out the role of three agents (government, business and university) in line

with rural development and empowerment.

Keywords: triple helix model, Saemaul Undong, and rural development.

1 Penulis adalah Widyaiswara di PPSDM Kemendagri Regional Bandung. Alumnus Fakultas PSPS (Park

Chung Hee School of Policy and Saemaul) Yeungnam University, Korea Selatan. Jurusan Saemaul

Undong and Community Development dengan gelar Master of Public Administration (MPA.) Tahun

2018.

Page 69: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

63

maka perlu kiranya ditemukan sebuah

skema pembangunan nasional yang

menyentuh hingga ke akar rumput,

utamanya masyarakat desa. Hal yang

disadari betul oleh pemerintah di bawah

komando Presiden Joko Widodo,

sehingga Nawa Cita dijadikan sebagai

acuan untuk melibatkan masyarakat

bawah yang selama ini kurang tergarap,

melalui setting pembangunan dari

pinggiran dan zona 3T yang melibatkan

level pemerintahan terrendah yakni desa.

Lantas, Bagaimana masyarakat di

desa tersebut dapat diupayakan sebagai

obyek sekaligus juga subyek

pembangunan? Pembangungan desa

idealnya melibatkan pada 3 aspek

penting, yakni partisipasi aktif

masyarakat, kebijakan pemerintah serta

figur kepemimpinan yang disegani.

Ketiga unsur tersebut saling beririsan,

yang membuat ketiganya tidak dapat

dinafikkan satu dengan yang lainnya

karena saling berhubungan dan

berkelindan ibarat sebuah spiral berpilin.

Mengintip dari apa yang sudah

dilakukan masyarakat Korea Selatan

yang sudah diakui dunia sebagai Warisan

Dunia oleh UNESCO, Indonesia dapat

mengadopsi skema pembangunan

dimaksud sesuai dengan kultur

masyarakat desa di Indonesia. Dalam

kasus akselerasi pembangunan di

Republik Korea yang patut

dikemukakan, negeri ini mencapai

pembangunan sosial-ekonomi yang luar

biasa dengan mengurangi kemiskinan

ekstrem, yang telah menjangkiti negara

ini untuk waktu yang sangat lama. Kini,

negara inilah satu-satunya negara di

dunia yang telah berhasil dalam

mengatasi tiga kesulitan sekaligus yang

terjadi di sebagian besar negara

berkembang, yakni perang saudara atau

konflik internal; warisan kolonial; dan

kemiskinan ekstrem melalui program

bernama Saemaul Undong (SMU). SMU

ini dimaksudkan sebagai sebuah gerakan

untuk mengembangkan etika kerja petani

dengan berpartisipasi dalam proyek-

proyek desa untuk mempercepat

modernisasi pedesaan (Park, 1998). SMU

adalah program pembangunan desa yang

dimulai pada 1970an dimana tujuan

utama gerakan ini adalah meningkatkan

kesejahteraan hidup penduduk desa dan

memperkecil ketimpangan antara desa

dan kota, sebuah inisiasi pemerintah

melalui partisipasi aktif dengan

penduduk desa, yang mengacu kepada

prinsip “spirit of dilligence, self-help,

and cooperation” serta moto Let’s Live

Well! (Lestari, 2016)

Setidaknya ada 3 komponen yang

menjadi daya ungkit modernisasi desa di

Korea Selatan, yakni kepemimpinan

yang melayani, regulasi pemerintah yang

kuat, serta dukungan partisipasi penuh

masyarakatnya. Sinergi ketiganya

nampak dari partisipasi aktif warga

sebagaimana dokumen Saemaul Undong

dalam UNDP yakni,

The project is based on a

successful rural development

initiative, the Sae-ma-ul

Movement, developed by the

Republic of Korea. Villagers’

active participation in shaping

their future depends heavily on

their level of access to public

services and information. This is

why UNDP is working closely with

local government to build closer

linkage and usage of existing

public policies. (UNDP, 2015)

Penulis berasumsi bahwa triple

helix model dapat menjadi acuan dan

rujukan bagi percepatan pembangunan di

pedesaan. Konsep ini merupakan sebuah

Page 70: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

64

formulasi fungsional yang dinamis untuk

memperluas akses partisipasi seluruh

komponen bangsa sehingga transformasi

masyarakat desa menuju masyarakat

modern terbangun dari interrelasi antara

akademisi melalui tridarma perguruan

tinggi dengan lembaga riset dunia bisnis

serta regulasi pemerintah yang

menyentuh langsung akar rumput warga

masyarakat di tingkat desa.

2. METODOLOGI

A. Triple Helix Sebagai Sebuah Model

Tanggung jawab keberhasilan

pembangunan tidak hanya dibebankan

kepada pemerintah semata-mata tetapi

juga dunia industri dan universitas. Atas

dasar pemahaman inilah sebuah konsep

yang relatif baru dikemukakan untuk

mendukung ketiga elemen penting

pembangunan diatas. Ide dan konsep

pembangunan melalui metode triple helix

ini menghubungkan sinergi dari tiga

buah komponen penunjang yakni

pemerintah, dunia wirausaha serta

kalangan akademisi. Ketiganya memiliki

relasi yang saling beririsan dimana

pemerintah sebagai yang terdepan dalam

mengupayakan regulasi positif bagi

pembangunan. Dalam hal ini sinergi

ketiganya bersifat eksternal lintas tiga

pemeran serta: universitas, industri, dan

pemerintah (university - industry -

government relations). Konsep ini

bermula dari pemikiran dan praktik

inovasi dunia industri yang melibatkan

perguruan tinggi dan pemerintah.

(Witjaksono, 2013).

Model ala Triple Helix ini pertama

kali dikemukakan oleh Henry Etzkowitz

dan Loet Leydesdorff untuk menganalisis

hubungan antara universitas, industri dan

pemerintah. (Etzkowitz and

Leydesdorff,1997 dalam Sitorus, 2016).

Dalam model ini, tiga bidang (akademisi,

dunia industri, dan pemerintah)

didefinisikan secara kelembagaan untuk

saling berinteraksi, yang dimediasi untuk

melintasi batas yang dipertahankan, baik

melalui sistem komunikasi maupun

dengan inovasi teknologi, yang

dihasilkannya. Hubungan yang muncul

dalam Triple Helix, umumnya bermula

dari upaya pemecahan masalah dan

menghasilkan strategi ketika menghadapi

masalah dalam inovasi, bukan ditentukan

dari suatu pola tertentu. Melalui proses

interaksi ini maka akan terjadi perubahan

aktor dan peran yang mereka lakukan

(Leydersdorff, 2000). Dengan demikian,

pola triple-helix inovasi adalah dinamis

seiring perubahan waktu.

(http://technopark.surakarta.go.id/id/profi

l/kondisi/the-triple-helix-model-of-

innovation).

Lebih jauh (Izzati, 2018)

mengemukakan bahwa korelasi antara

peran universitas, bisnis dan pemerintah

dalam peningkatan pertumbuhan

ekonomi memiliki hubungan ketiga aktor

integral dalam konteks public-private-

partnership terjadi dalam sebuah konsep

Triple Helix, yang dikenal dengan istilah

ABG atau Academic, Business and

Government. Dalam konsep ABG ini,

industri berperan sebagai rumah

produksi, sementara pemerintah adalah

sumber hubungan kontraktual yang

memastikan interaksi dan pertukaran

yang stabil, dan universitas sebagai

sumber pengetahuan dan teknologi baru.

Sinergi dari ketiga sektor ini merupakan

prinsip generatif dalam membangun

ekonomi yang berbasis pengetahuan,

yang memungkinkan tercapainya

kemakmuran.

Konsep ini mengadopsi konsep

biologi dari Model Triple Helix DNA

yang berpusat pada integrasi dan sinergi

Page 71: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

65

peranan masing-masing elemen untuk

mengembangkan produk berbasis

pengetahuan, ekspansi industrialisasi,

dan jasa sebagai pondasi dari sistem

inovasi regional dan nasional. (Sitorus,

2016). Sinergi ketiga komponen tersebut

membuahkan sebuah skema interrelasi

saling berhubungan dan beririsan antar

tiap unsur pembangunan yang

diilustrasikan sebagai sebuah hubungan

yang saling berkelindan, laksana spiral

DNA yang berpilin, dapat digambarkan

sebagaimana diagram di bawah ini:

Gambar 1

Triple Helix Model DNA

Sumber:

https://www.researchgate.net/figure/Tripl

e-helix-model-University-Industry-

Government-6_fig1_279070672

B. Adopsi Triple Helix Sebagai Sebuah

Model pada Pembangunan Desa

Pembangunan tanpa melibatkan

peran serta masyarakat akan menyisakan

sebuah kesia-siaan belaka. Oleh

karenanya, fenomena dalam menyusun

sebuah sinergi yang apik dari tiga elemen

masyarakat; akademisi, regulasi dan

dunia industri menyeruak untuk bisa

menembus ego sektoral di dunia

birokrasi sehingga efek pembangunan

bisa dirasakan oleh seluruh unsur

masyarakat. Konsep triple helix ini

dirasa tepat untuk diaplikasikan dalam

merekrut partisipasi seluruh elemen

masyarakat desa. Karena tujuan dari

konsep ini adalah sebagaimana dibawah:

In this model, three spheres are

defined institutionally (university,

industry, and government) as

interactions, mediated across

otherwise defended boundaries,

both by way of communication

systems and through the

technological innovations, they

generate. While communication

and technical innovation are

fundamental to this process of

knowledge production, in a

scientific based knowledge

economy, growth serves to

intensify the environmental and

cultural complexity of these

interactions and act as a means

for civil society to capitalize on the

intelligence such an

institutionalization of wealth

creation generates.

(https://www.igi-global.com

/dictionary/triple-helix/40797).

Oleh karenanya, hasil penelitian

dari para akademisi dan pembelajar di

dunia perkuliahan seharusnya mampu

menjadi katalisator pembangunan desa.

Pola-pola KKN masa lampau yang hanya

menyentuh pada formalitas belaka

mestinya dapat diganti dengan bentuk

yang hasilnya bisa diaktualisasikan

langsung pada masyarakat desa.

Misalnya saja, mahasiswa diminta untuk

Page 72: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

66

melakukan pengembangan agar desa-

desa di tepi pantai dapat terangkat

ekonominya melalui pemberdayaan desa

wisata maupun olahan hasil lautnya. Jika

dilihat dari hubungan antar ketiga elemen

pembangunan sebagaimana diagram

diatas, maka terdapat irisan antara dunia

akademisi dengan birokrasi

pemerintahan. Hubungan ini dapat

berupa pengembangan kapasitas baik

berupa pengetahuan, sikap maupun

keterampilan para aparatur sipil untuk

bisa menjamin ketersediaan birokrat-

birokrat yang melayani melalui diklat,

workshop maupun training dengan

melibatkan para pakar dari perguruan

tinggi di sekitar. Juga melalui penguatan

literasi SDM mengenai teknologi terkait

sistem dan proses produksi sumber daya

alam yang ada di desa dan

mengkonversinya menjadi sebuah

produk unggulan. Disisi lain, dalam

proses implementasi triple helix model

bagi pembangunan desa ini, dibutuhkan

beberapa prasyarat bagi agar optimalisasi

konsep ini dapat menjadi sukses yakni;

kesetaraan setiap elemen dalam

pengambilan peran, saling bergantung

untuk mencapai sukses bersama, dan

hasilnya berdampak pada peningkatan

kapasitas semua pihak (Witjaksono,

2013).

Dengan kata lain, model ini

memaksa setiap anasir pembangunan di

desa memberikan dampak positif yang

nyata dalam membangun desa tersebut

dengan kontribusi sesuai bidang masing-

masing dalam sebuah hubungan yang

setara dan saling menguatkan. Mengapa

peran kebijakan pemerintah dirasa

penting pada pola triple helix ini?

Menurut argumen penulis, dengan segala

keterbatasan pemahamannya, dengan

memberikan regulasi yang tepat kepada

dua unsur pembangunan yang lain

(akademisi dan industri) maka kedua

elemen tersebut dapat membentuk

sebuah jejaring yang manfaatnya akan

terasa pada pemberian nilai tambah dan

inovasi produk serta hasil pembangunan.

Hal yang sebaliknya, akan menjadi

sebuah blunder jika otoritas

pemerintahan lokal sebagai regulator

membuat kebijakan yang kontradiktif

bagi kedua elemen tersebut. Untuk itu,

perlu sinergi lintas elemen dalam

menumbuhkan konstruksi personal antar

pelaku sehingga kebijakan yang diambil

nantinya relevan dan tepat guna bagi

operasional kelembagaan. Skema

pembangunan desa melalui model triple

helix ini merupakan hasil sinergi tiga

sumber daya yang interseksi ketiganya

berkontribusi positif dapat digambarkan

sebagaimana diagram dibawah:

Gambar 2

Synergy Government-University-

Industry in triple helix

Sumber: Witjaksono, 2014.

Irisan antara pemerintah daerah

dengan akademisi seyogyanya

menghasilkan output berupa penguatan

kapasitas dan literasi sumber daya

manusia tentang teknologi dalam

Page 73: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

67

mengolah sumber daya menjadi produk

unggulan. Sementara itu, interseksi

antara wirausaha lokal mestinya mampu

memberi nilai tambah dalam pergerakan

ekonomi desa. Di lain pihak, sinergi

antara pemerintah daerah dan industri

lokal berperan dalam penguatan

komitmen dan integritas komunitas lokal

pada pengelolaan sumber daya desa agar

berkelanjutan. (Wulandari dkk., 2017).

Bertolak dari kerangka pemikiran

diatas, tidak berlebihan jika penulis

berasumsi bahwa melalui penerapan

paradigma triple helix dalam konsep

pembangunan desa dan dengan tetap

mempertahankan kearifan budaya lokal

yang ada, dapat menjadi sebuah sinergi

yang baik untuk mengakselerasi

pembangunan desa, dan perubahan pola

pikir warga sebagaimana

diimplementasikan pada proyek-proyek

Saemaul Undong di Korea Selatan.

C. Refleksi Triple Helix Model pada

Saemaul Undong

Jika pada triple helix model, lebih

ditekankan pada sinergi antara tiga

komponen pembangunan, maka pada

Saemaul undong terdapat beberapa faktor

kesuksesan implementasi program ini.

Walaupun kebijakan pembangunan

ekonominya lebih difokuskan pada

pengembangan industri modern,

Republik Korea telah terbukti secara

efektif dalam mereduksi kemiskinan dan

kesenjangan ekonomi antara desa dan

kota. Dimulai sejak tahun 1970,

Pemerintah mengalihkan perhatiannya

pada tingkat pertumbuhan yang selaras

antara perkotaan dan masyarakat

pedesaan dan dalam satu dekade

kemudian berhasil menumbuhkan

kondisi masyarakat desanya agar sepadan

dengan kota-kota tersebut. Inti daripada

kesuksesan pembangunan model ini

adalah Saemaul Undong, sebuah

program pengembangan pola pikir

masyarakat terpadu Republik Korea.

Keberhasilan program ini tidak pelak lagi

salah satunya adalah dengan adanya

partisipasi aktif yang masif dari warga

masyarakat desa, yang pada akhirnya

menular hingga ke seluruh penjuru

negeri, meskipun tujuan awal program

ini tidak didefinisikan dengan jelas. Dari

berbagai interpretasi mengenai

bagaimana mendefinisikan tujuan

Saemaul Undong, namun sebagian besar

setuju bahwa tujuannya adalah untuk

menghasilkan perbaikan ekonomi, sosial

dan sikap masyarakat dalam aktifitas

pembangunan. Atas semua hal itu, tujuan

yang paling luas diterima adalah

sebagaimana deskripsi Park (2009):

The most broadly accepted

objectives are (a) income

generation, (b) living environment

and basic rural infrastructure

improvement, and (c) capacity-

building and attitudinal change.

Interpretasi yang berbeda

berpendapat bahwa Saemaul Undong

mencapai sebagian besar tujuannya dan

membawa keberhasilan yang belum

pernah terjadi sebelumnya dalam

pembangunan pedesaan berdasarkan

statistik pemerintah yang menunjukkan

bahwa sebagian besar tujuan telah

tercapai. Regulasi pemerintah Republik

Korea dalam upaya mencapai

keberhasilan pembangunan ekonomi

pada tahun 1970-an ditekankan melalui

kebijakan industri selektif dan kebijakan

perdagangan yang berorientasi ekspor.

Strategi selektif ini, bagaimanapun,

membuat pembangunan pedesaan

tertinggalkan dan memperlebar

kesenjangan antara standar hidup

perkotaan dan pedesaan. Untuk itulah,

Page 74: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

68

Saemaul Undong diinisiasi untuk

memperbaiki pelebaran kesenjangan

dengan memanfaatkan sumber daya yang

terakumulasi utamanya melalui

partisipasi aktif masyarakat lokal.

Sinergi positif juga nampak dari

peran vital pemerintah pusat dan daerah

yang tersirat sebagaimana dilansir oleh

Choe (2005), bahwa:

The Saemaul Undong was initiated

by the political will of the top

national leadership as a rural

development project. Accordingly,

both national government and

local governments played

important roles throughout the

development of the Saemaul

Undong. First, the national

government set up general plan for

the Saemaul Undong based on

community needs. Second, local

governments were also involved in

conducting the Saemaul Projects.

The role of public delivery system

at the community level was also

essential for the implementation of

Saemaul Undong due to its control

of local resources.

Dampak dari industrialisasi di

Korea tahun 70an, Pemerintah memiliki

surplus semen dari produksi pabriknya,

yang lalu dihibahkan ke desa. Pemerintah

pertama-tama membagikan 355 sak

semen ke tiap desa di 34.665 pedesaan

di Korea secara gratis dengan satu syarat,

penggunaannya hanya untuk

kesejahteraan seluruh masyarakat. Diluar

ekspektasi, proyek ini tersebut dibalas

dengan reaksi publik yang luar biasa

dengan pengembalian dana semen yang

tiga kali lipat dari inisiasi awal, hal yang

patut menjadi pelajaran bagi kita

bersama, yakni partisipasi aktif

masyarakat berperan sangat vital bagi

kesuksesan pembangunan desa.

Keberhasilan Saemaul Undong tidak

dapat dilepaskan dari beberapa faktor,

diantaranya adalah hubungan yang baik

antara pemerintah pusat, lokal maupun

masyarakat desanya, layaknya

digambarkan sebagai hubungan triparti

seperti dibawah, Choe (2005):

Gambar 3

Structure of Interaction among NG, LG,

and People

Sumber: Choe, Chang-Soo (2005). “Key

factors to successful community

development: the Korean

experience”, Discussion Paper

No. 39, November, JETRO

(Chiba, Institute of Developing

Economies). p.7.

Sesuai dengan perubahan fokus

dan ruang lingkup proyek tingkat desa,

maka Saemaul Undong menekankan

pada partisipasi masyarakat yang tinggi

pada tahapan awalnya. Pada fase

berikutnya, prioritas diberikan pada

peningkatan infrastruktur fisik dengan

tetap memberikan porsi yang besar bagi

masyarakat desa mengembangkan ide-

ide umum tentang apa yang dapat mereka

lakukan untuk diri mereka sendiri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa,

SMU dapat berjalan baik karena: (1)

keswadayaan masyarakat desa, (2)

Page 75: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

69

keinginan kuat untuk berkembang, (3)

kemampuan menghasilkan sumberdaya

pembangunan, dan (4) kepemimpinan

dalam mengorganisir dan menggerakkan

masyarakat . (Angelia, undated)

Partisipasi semacam inilah yang

diindikasikan oleh Stiglitz (2002) bahwa:

the process of participation should

involve open dialogue and a

broadly active civic engagement.

All individuals should have a voice

in the decisions which influence

their life.

Partisipasi luas masyarakat yang

membuat Saemaul Undong membawa

perbaikan yang berarti dalam dimensi

pembangunan sosial, meliputi

peningkatan infrastruktur dasar;

peningkatan akuntabilitas pemerintah

daerah; dan pemberdayaan penduduk

desa, utamanya dalam menghasilkan

dampak yang nyata pada pengurangan

kemiskinan, serta peningkatan

pendapatan dan pembangunan ekonomi.

Sebagai kesimpulan, Saemaul Undong

membantu mengentaskan kemiskinan

absolut di desa-desa dengan memberikan

akses dan peluang yang lebih baik, yang

didorong oleh kinerja triparti, yakni

pemerintah pusat, pemerintah daerah

hingga ke tingkat desa serta partisipasi

penuh dari masyarakat desa yang

didominasi oleh petani. Dengan kata lain,

SMU memuat kebijakan dan strategi

pemerintah serta partisipasi masyarakat

secara tepat. SMU menggunakan

pendekatan yang berbeda dengan

menggabungkan pelatihan capacity-

building dan institution-building dengan

aktivitas pembangunan fisik berdasarkan

kebutuhan penduduk desa. Secara

efisien, SU menangani persoalan

penduduk desa yang bersifat beragam

namun berkaitan satu dengan lain.

(Lestari, 2016).

Faktor lain yang menjadi pemicu

percepatan pembangunan desa ala

Saemaul Undong adalah dedikasi dan

kepemimpinan yang melayani. Pada

tahap awal, SMU sebagai sebuah konsep

pembangunan kapasitas dan perubahan

sikap penduduk desa tidak jauh berbeda

dari interpretasi tradisional stereotip

tentang mereka yang dilakukan oleh agen

pembangunan di luar pada waktu itu.

Pandangan selama ini bahwa petani

adalah mereka konservatif, tidak mau

berpartisipasi dalam upaya kerja sama,

hedonistik, dan malas. Ditambah lagi

kebiasaan buruk dan sikap negatif

terhadap produktivitas pertanian yang

rendah dan kemiskinan kronis dan

berpendapat bahwa pembangunan

pedesaan hanya mungkin dengan

perubahan signifikan dalam sikap

masyarakat pedesaan. Para saemaul

leaders inilah yang kemudian menarik

simpati dan partisipasi masyarakat dan

berusaha mengubah sikap pesimistis dan

fatalistik mereka dan mempromosikan

nilai-nilai modern yang berfokus pada

tiga nilai inti yakni ketekunan, kerja

sama, dan kemandirian melalui pelatihan

skala besar, seminar, dan lokakarya.

Berdasarkan survei terhadap 150 saemaul

leaders, yang dilakukan di tahun 1974,

38 persen memilih semangat kerja sama

yang meningkat di antara penduduk desa

sebagai hasil paling positif yang

dihasilkan oleh Saemaul Undong (Park

1974). Dalam survei lain, penduduk desa

memilih perubahan perilaku, semangat

kerja sama, dan keyakinan akan masa

depan yang lebih baik karena perubahan

positif dimungkinkan oleh Saemaul

Undong (Brandt dan Lee 1979).

Page 76: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

70

Saemaul Undong received some

favourable responses and achieved

some meaningful results in its

campaign for attitudinal change.

More than 500,000 people took

part in Saemaul Undong trainings

from 1972 to 1979. Based on a

survey of the 150 Saemaul Undong

leaders, conducted in 1974, 38 per

cent chose increased cooperation

spirit among villagers as the most

positive result brought about by

Saemaul Undong (Park 1974). In

another survey, villagers chose

changes in behaviour, spirit of

cooperation and confidence of a

better future as positive changes

made possible by Saemaul Undong

(Brandt and Lee 1979).

Namun, kebiasaan buruk dan sikap

lama bukanlah penyebab utama kesulitan

ekonomi pedesaan. Pertumbuhan

produktivitas pertanian yang lamban dan

kemiskinan yang terus-menerus lebih

berkaitan dengan kegagalan pemerintah

untuk memberikan bantuan dan sumber

daya penting atau untuk memberi orang

langkah-langkah efektif untuk mengatasi

memburuknya kondisi perdagangan.

Beberapa semangat dan sikap yang

Saemaul Undong coba promosikan,

apalagi, tidak membutuhkan dorongan

lebih lanjut. Puncak dari semua yang

disebut perubahan sikap adalah dalam

pemberdayaan orang dan perbaikan

dalam pemerintahan lokal. Saemaul

Undong menciptakan lingkungan yang

memungkinkan di mana orang-orang

pedesaan menyuarakan pendapat mereka

dan membuat diri mereka didengar.

Instansi dan pejabat pemerintah dianggap

sebagai sumber bantuan potensial

daripada sebagai pengeksploitasi yang

ditakuti. Evaluasi tiga nilai inti yang

dipromosikan Saemaul Undong

mengungkap bahwa perubahan sikap,

pola pikir dan nilai luhur budaya lokal

berkontribusi pada pembangunan sosial

di desa-desa yang terdampak program

ini, sebagaimana ADB merangkumnya,

the Saemaul leaders played a more

active role, proposing SU projects

through discussion with

community members and using

their influence with local

government officials regarding

decisions relating to Saemaul

Undong projects. However, not all

Saemaul leaders were capable of

quality value judgments and

practices. Moreover, the views of

the new leadership often conflicted

with those of conventional local

community opinion leaders (ADB,

2012).

SMU dapat dikaitkan dengan

penerapan strategi dasar pengentasan

kemiskinan yang disesuaikan dengan dan

memanfaatkan konteks Korea yakni

mempromosikan peluang dan

memfasilitasi pemberdayaan bagi

masyarakat pedesaan. Empat puluh tahun

yang lalu, orang-orang yang merancang

dan mengimplementasikan Saemaul

Undong tidak memiliki pemahaman yang

jelas tentang konsep dan kosa kata yang

secara luas digunakan dalam

pembangunan saat ini, seperti tata

pemerintahan yang baik, pengembangan

kapasitas, pendekatan partisipatif,

akuntabilitas, pemberdayaan, integrasi

vertikal atau kepemilikan. Sementara itu,

pada era masa kini, fokus Saemaul

Undong lebih pada pencapaian reformasi

pola pikir dan perubahan sikap warga

masyarakat terhadap paradigma

pembangunan desa, dimana sebelumnya

penduduk lokal lebih banyak disuapi

Page 77: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

71

oleh program-program pemerintah,

menuju pada inisiatif dan partisipasi

aktif, sebagaimana deskripsi oleh

UNPAN:

Current focus is placed not on

development but on modifying

mindset, volunteering and helping

social minorities. It is emphasizing

the promotion of morals and

spiritual reform and building a

good community. (UNPAN, 2015).

Sebuah konsep yang belum ada

sebelumnya, yang lalu didiseminasikan,

sehingga implementasinya sejalan

dengan sasaran dan metodologi praktik-

praktik pembangunan era kekinian.

3. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN

SARAN

A. Kesimpulan

Keberhasilan pembangunan desa

dan komunitas tidak terlepas dari peran

penting dari 3 elemen, yakni regulasi

pemerintah, dukungan akademisi serta

partisipasi aktif masyarakat itu sendiri.

Sinergi triparti ini tercermin jelas pada

apa yang telah Korea lakukan pada

program Saemaul Undong. Triple helix

yang diaplikasikan ini pertama, tercermin

pada insentif nasional melalui dukungan

total pemerintah pusat maupun daerah

pada setiap proyek yang diinisiasi oleh

warga. Kedua, tingginya tingkat

partisipasi warga dalam setiap proses dan

tahapan implementasi. Ketiga, Saemaul

Undong menjadi booming dan sukses

besar dengan menumbuhkan dan

memelihara kepemimpinan masyarakat

yang melayani dan berdedikasi yang

dipilih oleh penduduk itu sendiri secara

demokratis. Intinya, sinergi triple helix

telah membawa Saemaul Undong

sebagai gerakan untuk reformasi

spiritual, Saemaul Undong mengilhami

setiap bangsa dengan semangat

ketekunan, kemandirian, dan kerja sama.

Para pakar di level akademisi turut

menyumbang kontribusi aktif pemikiran

melalui wadah Saemaul Training Center,

yang menempa para sukarelawan dan

pemimpin lokal untuk ikut bergerak dan

aktif melayani masyarakat dengan

dedikasi penuh untuk keberhasian setiap

tahapan dari proyek-proyek Saemaul

Undong. Sinergi peran pemerintah

dengan partisipasi penduduk terlihat pada

regulasi pemerintah tidak ditekankan

untuk mendikte masyarakat pada setiap

proyek yang dikerjakan, melainkan

pemerintah merangsang warga desa

untuk memutuskan tahapan yang

ditentukan bagi setiap proyek, maupun

setiap hal teknis lainnya. Dukungan

pemerintah Korea berupa dukungan

anggaran serta bahan dasar proyek

termasuk didalamnya subsidi dana desa,

dan terlibat mengevaluasi keberhasilan

proyek-proyek Saemaul Undong ini.

Pada mulanya, program yang

diluncurkan sebagai proyek

pembangunan masyarakat pedesaan ini

kemudian diperluas cakupan ruang

lingkupnya menuju ke sektor perkotaan,

dan menjadi sebuah gerakan nasional

bagi pembangunan bangsa dan

kemandirian ekonomi dengan tetap

menempatkan partisipasi masyarakat

sebagai prioritas dalam implementasinya.

Dengan menentukan faktor-faktor kunci

keberhasilan Saemaul Undong sebagai

proyek pembangunan masyarakat desa,

maka duplikasi program yang sama dapat

diinisiasi oleh negara-negara

berkembang lainnya, sesuai dengan

karakteristik negara tersebut.

Implikasinya, sinergi tiga elemen,

pemerintah, perguruan tinggi serta

partisipasi masyarakat sebagaimana

Page 78: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

72

perkembangan historis Saemaul Undong

dan pencapaian utamanya dapat

memberikan efek positif bagi penguatan

karakter masyarakat, perubahan pola

pikir dan paradigma pembangunan desa

serta meningkatkan penghasilan

masyarakat desa yang umumnya adalah

petani lokal sehingga kesenjangan

pendapatan desa dan kota dapat dikikis.

Dalam kasus keberhasilan program

Saemaul Undong di Korea, peran

pemerintah baik tingkat nasional maupun

lokal layak untuk difokuskan utamanya

dalam interaksi peran tersebut dengan

partisipasi masyarakat. Seperti

disebutkan di atas, Saemaul Undong

diprakarsai oleh kemauan politik atas

kepemimpinan nasional sebagai proyek

pembangunan pedesaan. Dengan

demikian, baik pemerintah pusat maupun

pemerintah pemerintah daerah

memainkan peran penting sepanjang

sejarah Saemaul Undong.

Pertama, pemerintah pusat

menyusun rencana umum untuk Saemaul

Undong berdasarkan kebutuhan

masyarakat untuk mengolah desa yang

lebih baik sehingga pemerintah melihat

perlunya pendekatan yang lebih

sistematis untukmenjamin pembangunan

pedesaan yang efektif. Pemerintah juga

menetapkan pelatihan-pelatihan dasar

untuk proyek-proyek terkait dan

membatasi bantuannya dengan hanya

pada bahan dasar minimum yang

dibutuhkan untuk proyek. Insentif bagi

masyarakat diberikan hanya sebagai

pemancing bagi desa-desa yang

menunjukkan hasil luar biasa setelah

evaluasi komprehensif terhadap proyek

yang telah diselesaikan. Realisasi

dukungan nyata dari pemerintah dalam

revitalisasi sosial-ekonomi masyarakat

desa nampak melalui upaya kerja sama

dengan dunia akademisi dalam

pembentukan komite koordinasi Saemaul

Undong, yang merupakan badan lintas

sektor baik di tingkat nasional, regional,

dan maupun tingkat lokal di desa-desa.

Peran sistem administrasi publik di

tingkat masyarakat juga penting dalam

implementasi Saemaul Undong karena

kontrolnya terhadap sumber daya lokal.

Badan koordinasi publik melakukan

monitoring dan evaluasi proses

implementasi di tingkat masyarakat

dengan melibatkan sukarelawan lokal

seperti penyuluh pertanian, penyuluh

keluarga berencana, juga merangkul

organisasi sukarela lokal dan pemimpin

masyarakat serta tokoh adat. Mereka

inilah yang memainkan peran laksana

fasilitator dalam implementasi Saemaul

Undong sebagai kepanjangan tangan

pemerintah untuk membimbing dan

memeriksa kemajuan setiap proyek.

Salah satu strategi penting

Saemaul Undong adalah pengumpulan

sumber daya dari organisasi pengiriman

untuk memberikan layanan yang efisien

dalam berbagai kegiatan yang dilakukan

di masyarakat. Untuk meningkatkan

efisiensi dan kemandirian proyek,

pejabat pemerintahan turun langsung

bertemu dengan tokoh masyarakat, dan

turut berpartisipasi dalam pertemuan dan

musyawarah desa. Ini berbuah pada

peningkatan kepercayaan manajerial

terhadap layanan publik pemerintah.

Komitmen kuat dari kredibilitas tinggi

pemerintah daerah diatur sedemikian

rupa sehingga masing - masing pejabat

pemerintah diberi tanggung jawab untuk

pelaksanaan proyek yang efisien. Salah

satu bentuk masukan paling penting bagi

Saemaul Undong adalah paket intervensi

dan dukungan pemerintah. Sejak awal

Saemaul Undong eksis, dukungan

pemerintah untuk itu mencakup berbagai

jenis layanan dan dalam hal ini

Page 79: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

73

pemerintah tidak ikut campur tetapi

menentukan pedoman dengan tidak

mengintervensi desa sehingga

menyebabkan penduduk secara sukarela

berpartisipasi dalam proyek dan memilih

pemimpin mereka sendiri serta

memutuskan proyek mereka sendiri.

Perkara diatas tentu membutuhkan

konsensus besar dan komitmen nilai

kolektif yang tinggi baik dari elemen

pemerintah, sukarelawan dan akademisi

maupun penduduk desa itu sendiri.

Dalam konteks pembangunan pedesaan

berbasis masyarakat, dukungan

pemerintah tertuang dalam

mengidentifikasi prasyarat kontribusi

tingkat desa dan menyediakan

kepemimpinan komunitas yang

berdedikasi dan melayani. Pemimpin ini

tidak serta merta tumbuh di dalam

masyarakat tetapi pemerintah

memproduksinya melalui pelatihan

terkonsentrasi di Saemaul Undong

Central Training Institute. Peran

akademisi sangat terlihat pada bagian ini

dengan turut menularkan semangat

sukarela dan bekerja sama menjadi

mentor di pelatihan ini. Para saemaul

leaders, yang dipilih langsung oleh warga

desa masing-masing ini diberikan materi

kepemimpinan serta eksekusi proyek

sederhana di Pusat Pelatihan tersebut.

Para kontingen desa ini dididik oleh

pemerintah untuk mengemban visi

pembangunan negara, selain itu, mereka

bertindak sebagai agen-agen perubahan

untuk mendistribusikan dan berbagi

inovasi teknologi kepada warga desa,

serta sebagai manajer dalam perencanaan

dan eksekusi setiap proyek.

Saemaul Undong telah membuat

sukses besar dengan memelihara

kepemimpinan masyarakat.

Kepemimpinan desa terdiri dari para

pemimpin Saemaul, baik pria maupun

wanita, yang telah dipilih oleh penduduk

desa. Kepemimpinan yang sebenarnya

dilakukan bekerja sama dengan kepala

desa ditunjuk oleh kantor kecamatan

(sinergi 2 elemen, pemerintah-

masyarakat). Sebagian besar program

pelatihan pemimpin Saemaul

diselenggarakan di bawah kendali

pemerintah dengan maksud untuk

membina kepemimpinan serta

menanamkan filosofi Saemaul melalui

berbagi pengalaman dan diskusi

bersama.

B. Implikasi dan Saran

Terlepas dari keberhasilan nyata

dari Saemaul Undong, jika ditilik dari

metode sinergi triple helix beberapa

saran perbaikan proyek ini juga

mengemuka. Sebagaimana dalam peta

implementasi strategi Triple Helix bahwa

untuk pembangunan infrastruktur intinya

harus melibatkan 3 elemen didalamnya

yaitu akademisi, dunia bisnis, dan

regulasi pemerintah, maka pada kaca

mata Saemaul Undong ini, elemen dunia

bisnis dan wirausaha seolah-olah tertutup

kontribusinya dengan tingginya animo

partisipasi masyarakat dan ketatnya

regulasi pemerintah. Setelah melakukan

identifikasi beberapa keterbatasan

Saemaul Undong yang ditilik dari sudut

pandang triple helix model menyajikan

beberapa pelajaran yang dapat diterapkan

dalam konteks pembangunan desa di

Indonesia saat ini. Pertama, implikasi

Saemaul Undong jika diterapkan di

negara adopsi harus dipahami dan

dintegrasikan dengan konteks lokal,

mengingat nilai-nilai dasar yang telah

ada dan tumbuh di akar masyarakat

tentunya berbeda antara satu negara

dengan yang lainnya. Sejumlah auto

kritik dan penelitian telah mencatatkan

pentingnya konteks lokal di masyarakat

Page 80: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

74

di negara importer Saemaul Undong

bermasalah dengan integrasi konteks

sosial, budaya dan ekonomi negara

tersebut. Perlu diingat bahwa gagasan

ketekunan, swadaya dan kerja sama yang

dipromosikan oleh Saemaul Undong

didasarkan pada nilai-nilai tradisional

masyarakat Korea pada masanya.

Sehingga, mobilisasi besar-besaran

sumber daya dan rantai komando yang

kuat dari tingkat tertinggi pemerintahan

ke desa dimungkinkan karena

kepemimpinan yang kuat dan rezim

otoriter, untuk memastikan Saemaul

Undong berjalan baik. Prakondisi seperti

ini yang bisa ada atau belum ada di

negara berkembang lainnya. Proyek-

proyek yang dibangun dari level paling

rendah yakni desa telah dianalisis

melalui penilaian yang cermat oleh

kapasitas pemerintah daerah, agar tetap

berakar dalam konteks sosiokultural di

setiap titik desa-desa mereka sendiri.

Sementara itu, situasi yang sedikit

berbeda terjadi di Indonesia terhadap

pembangunan pedesaan saat ini. Disini,

pemerintah yang lebih banyak berperan,

dengan munculnya beragam regulasi

tentang pembangunan desa, serta

kenaikan yang signifikan dari besaran

dana desa. Bercermin dari Saemaul

Undong, pemerintah Korea hanya

memberikan sekedar stimulus bagi setiap

proyek yang dijalankan, juga sedikit

bahan dasar proyek, seperti beberapa sak

semen dan besi. Sementara kebutuhan

lain, seperti biaya tenaga kerja,

diselesaikan oleh masyarakat secara

swadaya, sukarela dan musyawarah.

Faktor lain yang perlu disorot adalah

sinergi dengan lembaga akademis perlu

ditingkatkan dengan tidak mengabaikan

peran swasta. Perguruan tinggi maupun

lembaga penelitian dan pengembangan

berperan vital dalam menelurkan inovasi-

inovasi teknologi. Ini akan mengungkit

posisi kalangan akademisi selevel

dengan entitas bisnis dan pemerintah

dalam pembangunan desa. Dalam konsep

Triple Helix yang menjadi fokusnya

ialah sinergi kekuatan antara akademisi,

dunia industri, dan pemerintah. Kalangan

akademisi dengan sumber daya, ilmu

pengetahuan, dan teknologinya

memfokuskan diri dalam memberikan

berbagai temuan dan inovasi yang

aplikatif. Yang disokong pula dari

kalangan bisnis dengan melakukan

kapitalisasi yang memberikan

keuntungan ekonomi dan kemanfaatan

bagi masyarakat desa. Sedangkan

pemerintah berperan dalam menjamin

dan menjaga stabilitas hubungan

keduanya melalui regulasi yang

kondusif. Sehingga nampak bahwa

kualitas dan kuantitas sumber daya

manusia dan keberadaan investor turut

menjadi kunci dalam pembangunan

ekonomi desa tersebut. Namun disini,

peran sentral dipegang oleh pemerintah

sebagai pemegang kunci utama untuk

membuat sebuah situasi yang kondusif

dengan regulasi yang dibuatnya.

Selanjutnya, Peran sektor swasta dan

dunia industri perlu diperluas. Sesuai

dengan konsep triple helix, maka ketiga

entitas tersebut yaitu akademisi, dunia

industri, pemerintah memiliki motivasi

untuk meningkatkan dinamika dan daya

ungkit ekonomi pedesaan, utamanya

dalam memperkuat munculnya suatu

kondisi di mana berbagai proses

kemunculan kebijakan inovasi yang

umumnya merupakan hasil interaksi

antar elemen masyarakat dan bukan lahir

dari regulasi pemerintah semata. Dalam

perkembangannya, Triple Helix

menghasilkan inovasi perekonomian

dalam negeri agar pemerintah tidak lagi

lambat dalam mengelola sumber daya

Page 81: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

75

yang ada sehingga para investor cepat

melirik Indonesia sebagai pasar yang

potensial. Oleh karenanya, pemerintah

tidak akan bekerja sendirian, begitu juga

entitas perguruan tinggi dan dunia

industri, namun dapat saling bersinergi

dalam membangun desa-desa di

Indonesia. Jika berkaca dari Saemaul

Undong maka ketiga elemen diatas

mampu memberikan nilai lebih bagi

perubahan sikap dan nilai-nilai

masyarakat menjadi kegiatan produktif

melalui kampanye kebersamaan dan

saling tolong menolong. Konsep nilai ini

kemudian menyebar ke seluruh sendi

kehidupan level komunitas paling bawah

yakni desa. Refleksi bagi Indonesia, yang

beberapa tahun terakhir menggaungkan

revolusi mental, maka praktik berbagi

pengalaman dapat diadopsi di dalam

kelas-kelas pembelajaran diklat revolusi

mental bagi berbagai kalangan. Sehingga

perubahan pola pikir, cara pandang dan

cara kerja birokrasi dan regulasi

pemerintah dapat terwujud nyata bagi

pelayanan publik yang prima dan

berkomitmen mutu. Proses produksi

pemimpin yang berdedikasi dan

melayani dapat dimunculkan dari diklat

kepemimpinan yang selama ini telah

eksis, dapat lebih efektif jika mampu

disandingkan dengan diklat manajerial

pemerintahan, tujuannya agar aparatur di

level paling bawah, yakni di

pemerintahan desa mampu memberikan

teladan akan birokrasi yang melayani

yang berujung pada partisipasi aktif

masyarakat dalam pembanguan desa.

Indonesia pernah menjalankan program

yang serupa yakni Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mandiri, yang diandalkan untuk mampu

mengentaskan lebih dari setengah juta

warga miskin namun fokusnya lebih

pada peningkatan infrastruktur serta

sedikit menyasar ekonomi, dan

pendidikan serta perubahan pola pikir

warga masyarakat.

5. DAFTAR RUJUKAN

Asian Development Bank. 2012. The

Saemaul Undong Movement in the

Republic of Korea: Sharing

Knowledge on Community-Driven

Development. Mandaluyong City,

Philippines.

Angelia, Yumi. undated. Saemaul

Undong : Modal Sosial sebagai

Energi Super Power dalam

Pembangunan di Korea.

Brandt, V.S.R. and M. Lee. 1979. Rural

Development Movement in Korea,

Korean National Commission for

the United Nations Educational,

Scientifc and Cultural

Organization (Seoul).

Choe, Chang-Soo. 2005. “Key factors to

successful community

development: the Korean

experience”, Discussion Paper

No.39, November, JETRO (Chiba,

Institute of Developing

Economies).

Sudiyono, Armand. 2010. Penetapan

Harga Seorang Politisi: Suatu

Kajian Teoritis. Pascasarjana

Program Magister Agribisnis

Universitas Muhammadiyah

Malang. Volume 13 Nomor 2 Juli

- Desember 2010.

Izzati, Muhammad Fakhrul, dan Wilopo.

2018. Implementasi Triple Helix

dalam Mendorong Pertumbuhan

Industri Kreatif di Kota Malang

Page 82: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

76

sebagai Upaya Peningkatan Daya

Saing untuk Menghadapi

Masyarakat ekonomi

ASEAN.Jurnal Administrasi

Bisnis (JAB) Vol. 55 No. 1

Februari 2018 Universitas

Brawijaya Malang.

Lestari, Indah. 2016. Kerjasama

Pembangunan Korea Selatan di

Vietnam dalam Pengembangan

Area Pedesaan Melalui Model

Saemaul Undong. Jurnal Politik

Internasional Vol. 18 No. 2 Hlm.

177-201. Departemen Ilmu

Hubungan Internasional

Universitas Indonesia.

Park, D. 1974. Faculty Articles: Role,

Election and Skill of the Saemaul

(New Community) Leader.

Institute for Public Administration

Studies at Graduate School of

Public Administration, Seoul

National University, vol. 12, No.

2, pp. 2048 –2082.

Park, Sup and Heng Lee. 1997. State and

Farmers in Modern Korea: An

Analysis of Saemaul Movement.

Korean Political Science Review

31(3): 47-67.

Saemaul Movement Center. 2000.

Saemaul Movement’s 30 Years.

Seoul, Korea.

Sitorus, Hasan. 2016. Peranan Perguruan

Tinggi Dalam Penerapan Triple

Helix. JurnalAsia.id. Asia-Pacifc

Development Journal Vol. 16, No.

2, December 2009.

Sooyoung, Park. 2009. Analysis of

Saemaul Undong: A Korean Rural

Development Program in the

1970s.

Stiglitz, J. E. 2002. Participation and

Development: Perspectives from

the Comprehensive Development

Paradigm. Review of Development

Economics, 6(2): 163-182.

United Nations Development Programme

(UNDP). 2015. Saemaul Initiative

Towards Inclusive and Sustainable

New Communities:

Implementation Guide. Bureau for

Policy and Programme Support.

UNPAN. 2014. Effective Governance

System for Sustainable

Development in the Post-2015 Era.

United Nations Public Service

Forum, Day and Awards

Ceremony. United Nations Public

Administration Network.

Witjaksono, Mit. 2013. Siparti 3-S,

Triple Helix dan Modal Sosial

dalam Penguatan IKM. Paper

dalam Semnas Fekon: Optimisme

Ekonomi Indonesia 2013, Antara

Peluang dan Tantangan

Universitas Negeri Malang.

Witjaksono, M. (2014), Siparti 3-S, triple

helix, and social capital in

strengthening local competitive

industries in Indonesia. Journal of

Economics and Sustainable

Development, 5(3), 21-33.

Wulandari, Dwi. dkk. 2017. The

Development of Productive

Economy Cluster through Siparti

3-S and Triple Helix in Lumajang

Page 83: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Wibowo

77

Regency, Indonesia. International

Journal of Economics and

Financial Issues, 2017, 7(2), 25-

31.

http://technopark.surakarta.go.id/id/profil

/kondisi/the-triple-helix-model-of-

innovation.

https://www.researchgate.net/figure/Tripl

T-helix-model-University-

Industry-Government-

6_fig1_279070672.

https://triplehelix.stanford.edu/3helix_co

conce.

https://www.igiglobal.com/dictionary/tri

ple-helix/40797.

Page 84: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

Hal. 78 - 108

78

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu fungsi Pemerintah yang

utama adalah menyelenggarakan

pelayanan umum sebagai wujud dari

tugas umum Pemerintahan untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Birokrasi merupakan instrumen

Pemerintah untuk mewujudkan

pelayanan publik yang efisien, efektif,

berkeadilan, transparan dan akuntabel.

𝐋𝐮𝐭𝐟𝐡𝐢 𝐍.𝐅𝐚𝐡𝐫𝐢𝟏

KINERJA BIROKRASI PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

DALAM KOMPLEKSITAS PERKEMBANGAN

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Bandung

[email protected]

Abstract

Specifically the purpose of writing in this text, namely (1) To explain related to

autonomy, autonomy of regions and autonomous regions; (2) To explain the related

bureaucracy that is the hope and reality in the current field; (3) To explain related to

bureaucratic performance; (4) To explain related factors that influence performance;

and (5) To explain the problems related to regional autonomy. The main issue raised

in this paper, which is related to the performance produced by the bureaucratic

system that is in the Regional Government, especially in the field of education, which

certainly has a high level of urgency in reaching a highly educated society. Education

has always been the prima donna in terms of performance from the Regional

Government because the field of education is always directly in contact with the wider

community from the lower, middle to upper classes. The performance of educational

bureaucracy is always highlighted by any stakeholders so that its existence is always

taken into account. Alternative solutions to the problems offered in this paper, namely

if the education bureaucracy wants quality, then: (1) Need for changes in service to

the community; (2) Bureaucracy must work responsibly or prioritize accountability;

and (3) All members of the organization must be tough in facing various challenges,

both internal and external.

Keywords: performance, bureaucracy, education, regional autonomy.

1 Penulis adalah Analis Pengembangan Kompetensi pada Seksi Kompetensi Pelaksana Bidang Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional, Pelaksana, Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah,

DPRD dan Lurah. Sedang menempuh Program Doktor Ilmu Pendidikan/ Manajemen Pendidikan pada

Universitas Islam Nusantara-Bandung.

Page 85: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

79

Hal ini berarti bahwa untuk mampu

melaksanakan fungsi Pemerintah dengan

baik, maka organisasi birokrasi harus

profesional, tanggap serta aspiratif

terhadap berbagai tuntutan masyarakat

yang dilayani. Seiring dengan hal

tersebut pembinaan Aparatur Negara

dilakukan secara terus menerus, agar

dapat menjadi alat yang efisien dan

efektif, bersih dan berwibawa, sehingga

mampu menjalankan tugas-tugas umum

Pemerintah maupun untuk menggerakan

pembangunan secara lancar dengan

dilandasi semangat dan sikap pengabdian

terhadap masyarakat. Hal seperti

dijelaskan di atas pun berlaku untuk

birokrasi yang bergerak di ranah

pendidikan agar dapat selalu berkinerja

dalam melaksanakan pelayanan publik,

khususnya pelayanan bidang pendidikan.

Adapun menurut Nurkolis (2013:

45) menjelaskan bahwa:

Istilah birokrasi telah

diperkenalkan oleh Marthin

Albrow sejak Tahun 1745 dan

hingga kini masih menjadi

pembicaraan hangat di masyarakat

terutama kalangan akademisi.

Sejak manusia lahir hingga

meninggal selalu terlibat dalam

urusan birokrasi. Anak lahir harus

memiliki akta kelahiran, mati pun

harus memiliki akta kematian.

Kenyataan ini membernarkan

pernyataan Etziomi Amitai dan

Gerald Caiden bahwa hidup ini

selalu membutuhkan birokrasi dan

birokrasi tidak bisa dihindarkan

dari kehidupan manusia.

Birokrasi sudah menjadi bagian

yang tak terpisahkan dari kehidupan

manusia sehari-hari. Bila kenyataanya

birokrasi adalah bagian kental dari

kehidupan manusia, kenapa banyak yang

membenci dan mencemooh birokrasi?

Apa yang salah dengan birokrasi? Apa

sebenarnya birokrasi itu? Seperti apakah

wajah birokrasi pendidikan kita?

Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2015) mendefinisikan birokrasi sebagai:

1. Sistem Pemerintahan yang dijalankan

oleh Pegawai Pemerintah karena

berpegang pada hirarki dan jenjang

jabatan; serta 2. Cara bekerja atau

susunan pekerjaan yang serba lamban,

serta menurut tata aturan yang banyak

liku-likunya. Dari pengertian Kamus

Besar Bahasan Indonesia pun

menyatakan bahwa birokrasi adalah

sebuah cara kerja yang sangat lambat,

banyak aturan, menyusahkan

penggunanya dan lain sebagainya yang

bersifat negatif. Padahal birokrasi

tersebut merupakan alat bagi jalannya

suatu roda Pemerintahan untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Bagaimana

bisa sejahtera bila alatnya pun tidak

dapat berjalan dengan cepat dan

responsif sesuai kebutuhan masyarakat

yang banyak dan beragam?

Sumaryadi (2016: 35) menyatakan

bahwa:

Birokrat tidak diidentik dengan

birokrasi. Birokrat adalah anggota

satu birokrasi yang terdiri atas

administrasi organisasi dan dari

berbagai bentuk, walaupun istilah

birokrat mengandung arti sebagai

seseorang dalam satu institusi

Pemerintah atau perusahaan.

Pekerjaan birokrat merupakan

pekerjaan meja (desk jobs) meski

birokrat modern ditemukan di

lapangan.

Page 86: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

80

Adapun Weber (Sumaryadi, 2016:

35-36) mendefinisikan seorang birokrat

(bereaucratic officials) sebagai berikut:

1. Secara personal bebas dan

ditunjuk untuk posisi tertentu.

2. Dia mempraktikan otoritas

yang didelegasikan kepadanya

dalam kaitannya dengan aturan-

aturan dan loyalitas-loyalitas

yang ditentukan atan nama

kepercayaan untuk tugas

pekerjaannya.

3. Penunjukan atau pengangkatan

dan penempatan pekerjaan

berdasarkan kualifikasi

teknisnya.

4. Pekerjaan administratifnya

merupakan pekerjaan full time.

5. Pekerjaannya dihargai dengan

gaji yang reguler dan prospek

pencapaian karier satu waktu

tertentu.

6. Dia harus melatih pendapatnya

dan keahliannya, tetapi

tugasnya adalah menempatkan

semua ini pada pelayanan

kepada otoritas yang lebih

tinggi.

7. Kontrol birokrasi adalah

penggunaan aturan, regulasi

dan otoritas formal untuk

menuntun perilaku. Termasuk

hal-hal seperti budget, laporan

statistik, penilaian prestasi

untuk mengatur tingkah laku

dan akibatnya.

Kemudian Abdullah (1984)

mengatakan bahwa:

Determinan penting untuk

meningkatkan kinerja birokrasi

Pemerintah adalah dibutuhkan

infrastruktur admnistrasi yang

memiliki kesiapan dan

ketangguhan pada semua tingkatan

dan tahapan yang meliputi: 1.

Organisasi pelaksana yang

berintikan birokrasi yang mantap

dan tangguh; 2. Sistem

administrasi atau tata laksana yang

efektif dan efisien; serta 3.

Susunan Aparatur atau personalia

yang berkemampuan tinggi dari

segi profesional, orientasional

yang disertai rasa dedikasi yang

tinggi.

Hal ini berarti bahwa kinerja

birokrasi Pemerintah dalam

merencanakan, mengimplementasikan

dan evaluasi serta pengendalian proses

pembangunan dan pelayanan masyarakat

sangat ditentukan oleh faktor

kelembagaan, ketatalaksanaan, Sumber

Daya Manusia (SDM), Aparatur dan

dukungan sarana dan prasarana yang

tersedia. Sorotan tajam tentang kinerja

birokrasi dalam menyelenggarakan

pelayanan publik menjadi wacana yang

aktual dalam studi administrasi Negara

akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh

rendahnya kinerja birokrasi dalam

memberikan pelayanan dan pada sisi lain

munculnya konsep privatisasi,

swastanisasi, kontrak kerja yang pada

intinya ingin meminimalkan campur

tangan Pemerintah yang terlalu besar

dalam pelayanan publik.

Menurut studi yang dilakukan oleh

beberapa pihak menunjukan bahwa

kinerja birokrasi dalam

menyelenggarakan pelayanan publik

lebih rendah ketimbang yang dilakukan

oleh pihak swasta atau kelembagaan

masyarakat lainnya. Bahkan beberapa

ahli menyatakan bahwa tugas Pemerintah

adalah mengarahkan bukan mengayuh

perahu. Memberikan pelayanan adalah

mengayuh dan Pemerintah tidaklah

pandai mengayuh.

Page 87: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

81

Selain itu Wikipedia (Nurkolis,

2013: 45) mendefinisikan birokrasi

sebagai suatu organisasi yang memiliki

rantai komando dengan bentuk piramida

dan biasanya ditemui pada instansi yang

sifatnya administratif maupun militer.

Pada rantai komando ini setiap posisi

serta tanggung jawab kerjanya

dideskripsikan dengan jelas dalam

organigram. Organisasi ini pun memiliki

aturan dan prosedur ketat sehingga

cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya

adalah biasanya terdapat banyak formulir

yang harus dilengkapi.

Birokrasi yang sederhana

memudahkan masyarakat menagih hak-

haknya. Artinya, di era otonomi Daerah

yang ditandai dengan pemilihan langsung

Kepala Daerah secara langsung,

masyarakat tidak perlu kehilangan

banyak waktu hanya sekadar mengurus

Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau

dokumen kenegaraan lainnya. Hal

tersebut mengingat tujuan kebijakan

desentralisasi, yaitu guna menciptakan

suatu sistem pembagian kekuasaan

Antardaerah yang mapan dimana

Pemerintah Pusat dapat meningkatkan

kapasitas, memperoleh dukungan

masyarakat dan mengawasi pembagian

sumber daya dengan adil. Menurut

Nurbarani (2009: 2) mengatakan bahwa:

Desentralisasi yang juga

merupakan bentuk pelaksanaan

dari demokrasi lokal dengan

memanfaatkan keefektivitasan

Pemerintah Daerah pada akhirnya

juga diharapkan dapat mendorong

Pemerintah Daerah agar lebih

bertanggung jawab dalam

mengelola dan memberikan

pelayanan kepada masyarakat

yang ada di Daerah.

Pelayanan kepada masyarakat

merupakan hal utama bagi birokrasi di

Indonesia. Tanpa adanya sikap yang baik

dalam bentuk kinerja mempermudah

urusan masyarakat, maka semangat

desentralisasi dan otonomi Daerah akan

pudar. Pasalnya, pendelegasian

wewenang yang dahulu dimiliki secara

mutlak oleh Pemerintah Pusat kini telah

menjadi kewenangan sepenuhnya

Pemerintah di Daerah. Namun demikian,

setelah genderang otonomi Daerah

ditabuh sejak awal reformasi Tahun 1998

hingga kini potret pelayanan kepada

masyarakat belum memuaskan. Dalam

survey yang dilakukan oleh Dwiyanto

dkk. (Alfiandri, 2012: 180-181) bahkan

dijelaskan bahwa „Nilai capaian kinerja

birokrasi dalam hal produktivitas kualitas

layanan, responsivitas, responsibilitas

dan akuntabilitas birokrasi masih sangat

rendah‟.

Hal itu terbukti dari hasil

penelitian tersebut diketahui bahwa dari

segi orientasi pelayanan birokrasi, masih

cenderung tidak sepenuhnya

mencurahkan waktu dan tenaga untuk

menjalankan tugas melayani rakyat.

Setiyono (2004: 131) menyatakan

bahwa:

Hampir 40% birokrat yang

menjadi responden dalam

penelitian itu menyatakan bahwa

mereka memiliki pekerjaan lain di

luar pekerjaannya sebagai

Aparatur Negara. Kondisi ini

otomatis mengurangi konsentrasi

mereka dalam bekerja sehingga

tidak fokus mengerjakan tugas-

tugasnya.

Menilik kondisi demikian, terlihat

bahwa semangat desentralisasi belum

menyatu dalam diri Aparatur Negara di

Daerah. Masih banyak Aparatur yang

Page 88: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

82

berjiwa sentralisasi, sehingga tugas-tugas

menyejahterakan rakyat di Daerah belum

mampu diemban dengan baik. Ironisnya,

Aparatur di Daerah pun seringkali belum

memahami kewenangan yang luas di era

desentralisasi ini. Aparatur Pemerintah

Daerah sudah selayaknya mampu

melaksanakan fungsi-fungsi manajemen

Pemerintahan, seperti perencanaan

(planning), pengorganisasian

(organizing), pengarahan (actuating) dan

pengawasan (controlling) secara mandiri

dan bebas dari campur tangan

Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi

juga Daerah dapat menentukan bentuk

organisasi, mengembangkan budaya

birokrasi dan menentukan standar kriteria

pencapaian tujuan yang dipandang sesuai

dengan kebutuhan dan aspirasi lokal

(Nurbarani, 2009: 5).

Namun, kini birokrasi tidak lagi

mampu memenuhi tuntutan masyarakat

tersebut. Birokrasi lama yang didesain

untuk bekerja lambat, berhati-hati dan

metodologis sudah tidak dapat diterima

oleh konsumen yang memerlukan

pelayanan cepat, efisien, tepat waktu dan

simpel (sederhana). Apalagi sekarang

telah memasuki era globalisasi yang

menuntut segala sesuatunya berjalan

serba cepat dan tepat.

Pendidikan merupakan suatu usaha

yang sadar dan sistematis dalam

mengembangkan potensi Peserta Didik.

Upaya dalam memaksimalkan

pendidikan di Indonesia, maka

Pemerintah mengambil sebuah kebijakan

Nasional sebagaimana telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah, terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2015 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, urusan

pendidikan diserahkan kepada Daerah

dalam hal pendidikan menengah, dasar,

khusus, anak usia dini dan non formal.

Hal ini berarti bahwa Daerah mempunyai

wewenang di dalam mengatur dan

mengelola pendidikan yang ada di

Daerahnya (Tilaar, 2012: 64).

Menurut Bray dan Fiske

(Departemen Pendidikan Nasional, 2001:

3) menyatakan bahwa:

Desentralisasi pendidikan adalah

suatu proses dimana suatu lembaga

yang lebih rendah kedudukannya

menerima pelimpahan

kewenangan untuk melaksanakan

segala tugas pelaksanaan

pendidikan, termasuk pemanfaatan

segala fasilitas yang ada serta

penyusunan kebijakan dan

pembiayaan.

Senada dengan itu, Husen dan

Postlethwaite (1994: 107) mengartikan

desentralisasi pendidikan sebagai “The

devolution of authority from a higher

level of government, such as a

department of education or local

education authority, to a lower

organizational level, such as individual

schools” (Devolusi kewenangan dari

tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi,

seperti Departemen Pendidikan atau

otoritas pendidikan lokal, ke tingkat

organisasi yang lebih rendah, seperti

sekolah-sekolah individu). Sementara itu,

menurut Gaffar (1990: 18) desentralisasi

pendidikan merupakan:

Sistem manajemen untuk

mewujudkan pembangunan

pendidikan yang menekankan pada

keberagaman, dan sekaligus

sebagai pelimpahan wewenang

dan kekuasaan dalam pembuatan

keputusan untuk memecahkan

berbagai problematika sebagai

Page 89: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

83

akibat ketidaksamaan geografis

dan budaya, baik menyangkut

substansi Nasional, Internasional

atau universal sekalipun.

Penyerahan kewenangan yang

cukup luas kepada Pemerintah Daerah

saat ini selalu menjadi momok dalam

kajian-kajian kontemporer dan isu-isu

aktual yang sering menjadi perbincangan

berbagai pihak. Hal ini pun karena

otonomi yang diberikan kepada Daerah

tidak dibarengi dengan kesiapan

Aparatur Daerah-nya dalam mengelola

urusan-urusan Pemerintahan yang

diserahkan kepada Daerah sehingga

kinerja dari birokrasi Pemerintah Daerah

dirasa masyarakat masih jauh dari

harapan.

Pendidikan pun merupakan hal

yang diserahkan kepada Daerah, dimana

dalam pengelolaannya untuk pendidikan

menengah dan pendidikan luar biasa

diserahkan kepada Pemerintah Provinsi

dan untuk pendidikan dasar serta

pendidikan anak usia dini diserahkan

kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota.

Sempat terjadi perbincangan yang alot

antara pembagian kewenangan urusan

pendidikan ini, dimana yang sebelumnya

bahwa pendidikan menengah merupakan

urusan kewenangan Pemerintah

Kabupaten/ Kota, melalui Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah bahwa urusan tersebut beralih ke

Pemerintah Provinsi. Banyak program

dan kegiatan di Kabupaten/ Kota yang

alokasi anggarannya untuk urusan

pendidikan menengah, menjadi tidak

dapat dilaksanakan karena beralihnya

urusan kewenangan dimaksud ke

Pemerintah Provinsi.

Untuk itulah Penulis merasa

tertarik untuk melakukan kajian lebih

mendalam terkait hal ini dalam artikel

yang berjudul “KINERJA

BIROKRASI PENDIDIKAN ERA

OTONOMI DAERAH DALAM

KOMPLEKSITAS

PERKEMBANGAN”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah

Penulis utarakan di atas, maka rumusan

masalah dalam artikel ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan otonomi,

otonomi Daerah dan Daerah otonom?

2. Bagaimana terkait birokrasi yang

menjadi harapan dan kenyataannya di

lapangan saat ini?

3. Bagaimana terkait dengan kinerja

birokrasi?

4. Apa saja faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja?

5. Apa dan bagaimana terkait dengan

masalah-masalah otonomi Daerah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penulisan

dalam artikel ini, yaitu untuk

mengetahui, mengkaji dan

menganalisis secara kritis terkait

kinerja birokrasi pendidikan era

otonomi Daerah dalam

kompleksitas perkembangan.

b. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penulisan

dalam artikel ini, yaitu:

1) Menjelaskan terkait dengan

otonomi, otonomi Daerah dan

Daerah otonom;

Page 90: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

84

2) Menjelaskan terkait birokrasi

yang menjadi harapan dan

kenyataannya di lapangan saat

ini;

3) Menjelaskan terkait dengan

kinerja birokrasi;

4) Menjelaskan terkait faktor-

faktor yang mempengaruhi

kinerja; serta

5) Menjelaskan terkait dengan

masalah-masalah otonomi

Daerah.

2. Manfaat Penulisan Makalah

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang terkandung

dalam artikel ini, yaitu selain

menambah khazanah keilmuan

bidang manajemen pendidikan

juga secara minimal dapat

menambah prinsip-prinsip umum

dalam kinerja birokrasi pendidikan

era otonomi Daerah dalam

kompleksitas perkembangan.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penulisan

yang tertuang dalam artikel ini,

yaitu dapat menjadi bahan

masukan bagi para praktisi

pendidikan dalam menganalisis

kinerja birokrasi pendidikan era

otonomi Daerah dalam

kompleksitas perkembangan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Otonomi, Otonomi Daerah

dan Daerah Otonom

1. Pengertian Otonomi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2015), otonomi adalah “Pola

Pemerintahan sendiri”. Kemudian

menurut Sarundajang (Rosidin, 2015: 75)

yang dimaksud dengan „otonomi atau

autonomy berasal dari Bahasan Yunani,

auto yang berarti sendiri dan nomous

yang berarti hukum atau peraturan‟.

Dengan demikian Rosidin (2015: 75)

menyatakan bahwa otonomi adalah

“Pemerintahan yang mampu

menyelenggarakan Pemerintahan yang

dituangkan dalam peraturan sendiri

sesuai dengan aspirasi masyarakatnya”.

Lebih lanjut Dwidjowijoto (2000:

46) mengatakan bahwa:

Secara prinsipil, ada dua hal yang

tercakup dalam otonomi, yaitu hak

wewenang untuk memanajemeni

Daerah dan tanggungjawab

terhadap kegagalan dalam

memanajemeni Daerah-nya,

sementara Daerah dalam arti local

state government adalah

Pemerintah di Daerah yang

merupakan kepanjangan tangan

dari Pemerintah Pusat.

Widjadja (2002: 7) menyatakan

bahwa “Dengan adanya otonomi, Daerah

diharapkan lebih mandiri dalam

menentukan seluruh kegiatannya dan

Pemerintah Pusat diharapkan tidak

terlalu aktif mengatur Daerah”.

Pemerintahan Daerah diharapkan mampu

memainkan perannya dalam membuka

peluang memajukan Daerah tanpa

intervensi dari pihak lain, yang disertai

dengan pertanggungjawaban publik

(masyarakat Daerah), serta kepada

Pemerintah Pusat sebagai konsekuensi

dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI).

Adapun Sarundajang (2000: 32)

mengatakan bahwa:

Di Negara kesatuan (unitarisme),

otonomi Daerah diberikan oleh

Pemerintah Pusat (central

govenrment), sedangkan

Pemerintah Daerah hanya

Page 91: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

85

menerima penyerahan dari

Pemerintah Pusat. Berbeda halnya

dengan otonomi Daerah di Negara

federal, yang otonomi Daerah-nya

telah melekat di Negara-Negara

bagian sehingga urusan yang

dimiliki oleh Pemerintah federal

pada hakikatnya diserahkan oleh

Negara bagian.

Irwan (2008: 89) menjelaskan

bahwa dalam otonomi terdapat nilai yang

hakiki, yakni nilai demokrasi dan

prakarsa sendiri. Menurut Hatta (Irwan,

2008: 89) menyatakan bahwa:

Otonomisasi tidak saja berarti

melaksanakan demokrasi, tetapi

mendorong berkembangnya

prakarsa sendiri, yang berarti

pengambilan keputusan sendiri

dan pelaksanaan sendiri

kepentingan masyarakat setempat.

Dengan demikian demokrasi, yaitu

Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat

dapat dicapai. Rakyat tidak saja

menentukan nasibnya sendiri, melainkan

juga memperbaiki nasibnya sendiri.

Selain itu menurut Arenawati (2014: 34)

otonomi dapat diterjemahkan sebagai

berikut:

a) Menurut Einsemen otonomi

adalah kebebasan untuk

membuat keputusan sendiri

dengan tetap menghormati

perundang-undangan.

b) Gie berpendapat bahwa

otonomi adalah wewenang

untuk menyelenggarakan

kepentingan sekelompok

penduduk yang berdiam dalam

suatu lingkungan wilayah

tertentu yang mencakup

mengatur, mengurus,

mengendalikan dan

mengembangkan berbagai hal

yang perlu bagi kehidupan

penduduk.

c) Otonomi adalah hal yang

diberikan kepada penduduk

yang tinggal dalam suatu

wilayah tertentu untuk

mengatur, mengurus,

mengendalikan dan

mengembangkan urusannya

sendiri dengan tetap

menghormati peraturan

perundangan yang berlaku.

2. Pengertian Otonomi Daerah

Sesuai dengan Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah yang dimaksud dengan otonomi

Daerah adalah “Hak, wewenang dan

kewajiban Daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan

Pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sehingga Safitri (2016: 79) berpendapat

bahwa:

Dari pengertian di atas tampak

bahwa Daerah di beri hak otonom

oleh Pemerintah Pusat untuk

mengatur dan mengurus

kepentingan sendiri. Dalam hal ini

hak dan wewenang yang diberikan

terutama untuk mengelola

kekayaan alam dan ekonomi

rumah tangganya sendiri.

Lebih lanjut Safitri (2016: 79)

mengemukakan bahwa “Otonomi Daerah

adalah suatu keadaan yang

memungkinkan Daerah dapat

Page 92: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

86

mengaktualisasikan segala potensi

terbaik yang dimilikinya secara optimal”.

Selain itu, menurut Suparmoko (Safitri,

2016: 80) mengartikan otonomi Daerah

adalah “Kewenangan Daerah otonomi

untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat”. Sesuai dengan

penjelasan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah sebagaimana telah diubah,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor

9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah,

bahwa pemberian kewenangan otonomi

Daerah didasarkan kepada desentralisasi

dalam wujud otonomi yang luas, nyata

dan bertanggung jawab.

Irwan (2008: 89) berpendapat

bahwa “Inti otonomi Daerah adalah

kebebasan masyarakat setempat untuk

mengatur dan mengurus kepentingan

sendiri yang bersifat lokalitas untuk

terselenggaranya kesejahteraan”. Adapun

menurut Arenawati (2014: 33)

menyatakan bahwa “Otonomi Daerah

pada saat ini dianggap sebagai panacea

(obat mujarab) segala penyakit

Pemerintahan. Otonomi Daerah juga

dimitoskan sebagai dewa kamajuan

Pemerintahan”. Lebih lanjut Said

(Arenawati, 2014: 33) mengatakan

bahwa “Otonomi Daerah seakan harus

merupakan bagian dari reformasi

Pemerintahan dan bagian tak terpisahkan

dari upaya demokrasi”.

Menurut Arenawati (2014: 33)

menjelaskan bahwa:

Otonomi Daerah dilahirkan

sebagai wujud kepercayaan

Pemerintah pada Daerah. Melalui

kepercayaan tersebut diharapkan

Pemerintah Daerah dapat

mengelola Daerah-nya dengan

lebih baik, efisien, adil dan merata.

Otonomi Daerah dicanangkan

dalam rangka tercapainya suatu

bangsa yang lebih demokratis dan

sistem Pemerintahan yang lebih

responsif.

Otonomi Daerah menjadi bahasan

yang menarik, karena dalam konsep

otonomi tersebut terkandung makna

pembagian kewenangan, desentralisasi,

pola hubungan Pemerintah Pusat dan

Daerah. Dengan adanya otonomi Daerah

di Indonesia ini menjadi bahan kajian

yang tiada henti karena masih banyak

yang beranggapan belum idealnya bentuk

formulasi otonomi Daerah di Indonesia

ini. Selalu hal tersebut menjadi suatu

bahan isu aktual yang selalu

diperbincangkan, apalagi dengan adanya

undang-undang terbaru di Tahun 2014

yang mengatur terkait Pemerintah

Daerah dimana kebijakan tersebut saat

ini masih menuai pertanyaan-pertanyaan

di berbagai kalangan.

3. Pengertian Daerah Otonom

Sesuai dengan Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah yang dimaksud dengan Daerah

otonom yang selanjutnya disebut Daerah

adalah:

Kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah

yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan Pemerintahan

dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat

Page 93: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

87

dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Tujuan utama pembentukan

Daerah otonom ialah memberikan

kemandirian kepada Daerah untuk

mengurus rumah tangga sendiri dan

mampu membangun pertumbuhan

ekonomi dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan rakyat. Menurut Arenawati

(2014: 34) menyatakan bahwa Daerah

otonom adalah “Daerah yang jelas batas-

batasnya dan memiliki kewenangan

untuk menyelenggarakan urusan rumah

tangganya sendiri berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku”.

Daerah otonom adalah Daerah di

dalam suatu Negara yang memiliki

kekuasaan otonom, atau kebebasan dari

Pemerintah di luar Daerah tersebut.

Biasanya suatu Daerah diberi sistem ini

karena keadaan geografinya yang unik

atau penduduknya merupakan minoritas

Negara tersebut, sehingga diperlukan

hukum-hukum yang khusus, yang hanya

cocok diterapkan untuk daerah tersebut.

Di Indonesia, tidak dikenal lagi

pembedaan antara pengertian Daerah dan

Daerah otonom. Oleh karena semua

Daerah di Indonesia sejak

dilaksanakannya otonomi Daerah telah

diberikan hak untuk menjadi Daerah

otonom. Ini berarti setiap Daerah di

Indonesia memiliki hak untuk mengatur

dan mengurus rumah tangga Daerah-nya

sendiri, dimana hak dan kewenangan

tersebut diatur berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Bedasarkan rumusan di atas

terdapat unsur-unsur yang terkandung

dalam Daerah otonom, yaitu sebagai

berikut:

a) Unsur Batas Wilayah

Artinya adalah bahwa suatu Daerah

harus mempunyai wilayah dengan

batas-batas yang jelas sehingga dapat

dibedakan antara satu Daerah dengan

daerah yang lainnya. Sebagai suatu

kesatuan masyarakat hukum, batas

suatu wilayah adalah sangat penting

dan menentukan untuk menjamin

kepastian hukum bagi Pemerintah dan

masyarakat dalam melakukan

interaksi hukum, misalnya dalam

penetapan kewajiban tertentu sebagai

warga masyarakat serta pemenuhan

hak-hak masyarakat sebagai warga

masyarakat serta pemenuhan

masyarakat terhadap fungsi pelayanan

umum Pemerintahan dan peningkatan

kesejahteraan secara luas kepada

masyarakat setempat.

b) Unsur Pemerintahan

Dalam unsur Pemerintahan ini,

elemen Pemerintah Daerah adalah

meliputi Pemerintah Daerah dan

lembaga Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) sebagai

penyelenggara Pemerintahan Daerah.

Eksistensi Pemerintahan di Daerah

berlandaskan atas “legitimasi”

(seberapa jauh masyarakat mau

menerima dan mengakui kewenangan,

keputusan atau kebijakan yang

diambil oleh seorang pemimpin).

Undang-undang yang memberikan

kewenangan kepada Pemerintah

Daerah untuk menjalankan urusan

pemerintahan yang berwenang

mengatur berdasarkan kreativitasnya

sendiri.

c) Unsur Masyarakat

Dalam unsur masyarakat ini,

masyarakat sebagai elemen

Pemerintahan yang dalam artian

Page 94: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

88

merupakan kesatuan masyarakat

hukum, baik “gemeinschaft”

(biasanya terdapat pada masyarakat

Desa) maupun “gesselschaft”

(kehidupan masyarakat yang ditandai

dengan perhitungan untung-rugi/

Kota), jelas mempunyai tradisi,

kebiasaan dan istiadat yang turut

mewarnai sistem Pemerintahan

Daerah, mulai dari bentuk cara

berpikir, bertindak dan kebiasaan

tertentu dalam masyarakat.

B. Birokrasi Harapan dan Kenyataan

1. Birokrasi Harapan

Seperti kita ketahui bahwa ada

perbedaan pendapat dalam memberikan

makna kepada organisasi birokrasi.

Makna-makna itu, antara lain:

a) Makna Positif

Yaitu organisasi birokrasi dikatakan

sebagai organisasi legal-rasional yang

bekerja secara efisien dan efektif.

Birokrasi adalah organisasi yang

membantu masyarakat dalam

mencapai tujuan-tujuannya secara

efektif dan efisien. Pendukung makna

positif ini adalah Max Weber dan

Harold Laski.

b) Makna Negatif

Yaitu organisasi birokrasi dikatakan

sebagai organisasi yang penuh dengan

patologi (penyakit) dan juga birokrasi

adalah alat penguasa untuk menindas

rakyatnya, yang berarti harus selalu

tunduk dan patuh pada penguasa dan

tidak perlu memperhatikan rakyatnya.

Oleh karena birokrasi dipandang tidak

bermanfaat bagi rakyat, bahkan

merugikan rakyat. Pendukung makna

negatif ini adalah Karl Max dan

Hegel.

c) Makna Netral (Value Free)

Yaitu keseluruhan Pejabat Negara

pada cabang eksekutif atau setiap

organisasi yang berskala besar yang

pegawainya digaji oleh Pemerintah

(Negara).

Birokrasi dipandang sebagai

organisasi yang menjalankan pekerjaan

teknis administratif dari kehidupan

pemerintah (Negara). Pendukung dari

makna netral ini adalah generasi Martin

M. Blau dan lain-lain.

Berdasar pada ketiga makna

tersebut di atas, tentunya birokrasi masa

depan haruslah yang bermakna positif,

atau paling tidak bermakna netral. Oleh

karena itu sangatlah dihindari dan dijauhi

birokrasi yang bermakna negatif.

Sehingga hubungan antara masyarakat

dan birokrasi harus tercipta hubungan

simbiosis mutualisme, hubungan yang

saling menguntungkan karena memang

keduanya sama-sama membutuhkan.

Bagaimana agar hal itu bisa tercapai?

Sebuah ide tentang birokrasi harapan

bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Perubahan pelayanan kepada

masyarakat. Ke depan, keberanian

masyarakat untuk menuntut haknya

semakin jelas. Oleh karena itu

perubahan anggapan kepada

masyarakat sebagai konsumen yang

harus dilayani, tidak bisa ditunda lagi.

Pelayanan kepada masyarakat harus

kepada pelayanan yang bersikap

ramah, terbuka terhadap kritik dan

tidak pilih-pilih (tidak membedakan

masyarakat dari penampilannya atau

karena kenal/ tidak kenal).

2. Birokrasi harus bekerja dengan

bertanggung jawab atau

mengutamakan akuntabilitas. Kata

”bertanggung jawab” di sini

Page 95: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

89

mengandung makna luas dan

mendalam. Seseorang dikatakan

bertanggung jawab, ketika dia mampu

menyelesaikan tugas dengan baik

tanpa cela. Mampu menyelesaikan

tugas dengan baik berarti pula dia

mampu bekerja secara cepat (sesuai

waktu yang ditentukan) dan tepat

(tidak melanggar peraturan-peraturan

yang sudah ditetapkan, yang dalam

Bahasa Jawa disebut bener lan pener.

Artinya, seorang birokrat dikatakan

bekerja dengan bertanggung jawab

dia sudah mampu melaksanakan tugas

dengan baik, dengan indikator-

indikator sebagai berikut: a) Kepada

masyarakat mampu melayani dengan

baik, seperti poin 1 di atas; b) Kepada

atasan, mampu menunjukan

prestasinya tanpa diembel-embeli

dengan cara-cara yang tidak etis,

misalnya suap, sogok, ”mencari

muka” atau menerapkan slogan Asal

Bapak Senang (ABS); c) Kepada

teman-teman sejawat atau partner

kerjanya, mampu menjalin hubungan

atau relationship dengan baik, yaitu

bersaing dalam pekerjaan secara fair,

tidak suka menfitnah, tidak

menelikung dari belakang prestasi

teman, mudah meminta maaf dan

memaafkan, dan sebagainya; d)

Kepada pekerjaannnya, tidak

menganggapnya sebagai beban tetapi

sebagai sebuah amanah yang

diberikan kepadanya sehingga

merupakan ibadah yang apabila

dilaksanakan dengan baik akan

mendapat pahala, dan apabila tidak

melaksanakan dengan baik atau

mengabaikannya akan mendapat

hukuman atau masuk neraka; e)

Mensyukuri atas nikmat yang

diberikan kepada Allah SWT. Posisi

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)

adalah posisi yang diidam-idamkan

banyak orang. Kita sering

menyaksikan di media massa, banyak

antrian masyarakat yang ingin

mendaftar sebagai PNS. Dan kalau

sudah diterima menjadi PNS, harus

mewujudkan rasa syukur itu dengan

ibadah; f) berkaitan dengan posisinya

sebagai PNS, maka memang harus

diawali dengan perjuangan dan doa.

Artinya para Pegawai birokrasi itu

harus dilihat dulu bagaimana proses

rekrutmen ketika dia masuk menjadi

PNS. Apakah murni berdasarkan hasil

tes tertulis dan tes wawancara, atau

karena menggunakan cara pintas

dengan menyogok kepada pihak-

pihak yang tidak bertanggung jawab.

Kalau proses rekrutmen itu dasarnya

adalah kejujuran atau murni karena

kapabilitas dia, maka tentunya

kinerjanya juga pasti akan bagus.

Tetapi sebaliknya, apabila proses

rekrutmennya sudah cacat, maka

kinerjanya juga pasti akan cacat atau

banyak masalah.

3. Seluruh anggota organisasi harus

tangguh menghadapi berbagai

tantangan, baik internal maupun

eksternal. Negara dan bangsa ini

membutuhkan orang-orang yang

tangguh dan kuat dalam segala hal,

bukan yang lemah, lembek dan tidak

kuat iman. Karena kondisi bangsa saat

ini sudah sangat memprihatinkan,

sehingga perubahan dalam organisasi

birokrasi adalah suatu keniscayaan.

Yang dimaksud tangguh secara

internal adalah tangguh dalam hal

motivasi dan keinginan yang datang

dari dalam diri sendiri. Motivasi

untuk maju, berkembang, beribadah,

bekerja dengan baik serta harus

tangguh. Artinya, tidak gampang

Page 96: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

90

terpengaruh oleh teman sekantornya

untuk bekerja semaunya sendiri,

sering membolos, mangkir dan

sebagainya. Tangguh dalam hal

keinginan adalah keinginan untuk

hidup santai, bergelimang kemewahan

dan sebagainya. Karena pada

akhirnya keinginan-keinginan itu

hanya bermuara pada satu hal, yaitu

korupsi. Keinginan untuk hidup enak

dan bergelimang kemewahan tidak

mungkin dinikmati oleh PNS jika

hanya mengandalkan dari gaji semata,

meskipun sudah ditambah dengan

remunerasi. Padahal carut marutnya,

amburadulnya organisasi birokrasi

saat ini sebab utamanya adalah

korupsi. Oleh karena itu ketangguhan

dari keinginan untuk korupsi amat

sangat dibutuhkan. Sedangkan

tangguh secara eksternal adalah

tangguh terhadap terpaan godaan dari

luar. Ketika masyarakat sudah

semakin pandai, tentunya semakin

berani pula mereka dalam menuntut

haknya. Penyampain kritik yang

sebelumnya masih dengan bahasa

yang sopan dan hati-hati, sekarang

menjadi lebih lugas dan tegas. Tahan

terhadap kritik adalah ketangguhan

yang harus dimiliki oleh birokrat.

Bukan dibalas dengan kemarahan dan

membalas dendam dengan pelayanan

yang semaunya sendiri.

Tiga hal di atas apabila

dilaksanakan dengan baik, niscaya akan

membawa pada hubungan simbiosis

mutualisme, seperti yang sudah disebut

di atas. Masyarakat puas dengan kinerja

birokrasi dan sebaliknya anggota

birokrasi akan mampu bekerja dengan

baik tanpa direpoti dengan kritik, hujatan

dan demo-demo yang tak habis-habisnya.

2. Birokrasi Kenyataan

Bahwa pada saat ini (kenyataan)

organisasi birokrasi telah menunjukkan

gejala penuh rekayasa atau sering disebut

sebagai politisasi birokrasi. Politisasi

birokrasi ini bertujuan tidak lain untuk

melanggengkan kekuasaan para Pejabat.

Gejala-gejala politisasi birokrasi tersebut

terjadi disebabkan, antara lain:

Pertama, penggunaan fasilitas

Negara, yaitu berupa penggunaan

fasilitas Negara pada saat menjelang

Pemilihan Umum (Pemilu) yang

dilakukan oleh seorang calon Kepala

Daerah yang incumbent. Penggunaan

fasilitas Negara ini terjadi pada saat

proses rapat-rapat konsolidasi, lobi

politik dengan partai politik lain dan

kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas

Negara yang biasanya dimanfaatkan

adalah mobil dinas, pakaian dinas dan

ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik

Negara;

Kedua, mobilisasi PNS pada saat

Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada), yaitu mobilisasi (pengerahan)

PNS pada saat Pilkada. Dalam setiap

Pemilu, suara PNS menjadi salah satu

modal yang menjanjikan. Pemanfaatan

suara PNS ini jelas sangat mudah bagi

kandidat incumbent. Dengan iming-

iming janji akan diberi jabatan atau

perintah untuk mendukung atasannya,

mobilisasi PNS pada saat Pemilu dan

Pilkada sangat banyak terjadi, baik

proses pemilihan di tingkat Kabupaten/

Kota, Provinsi dan juga Pusat;

Ketiga, kompensasi jabatan, yaitu

banyak terjadi dan mudah dilihat di

tingkat Pusat. Pasca gerakan reformasi

Tahun 1998, terjadi kecenderungan

intervensi politisi terhadap berbagai

kebijakan birokrasi. Muncul fenomena

masuknya aktor-aktor politik baru ke

dalam sistem Pemerintahan. Dalam

Page 97: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

91

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II,

terlihat bahwa partai-partai yang

berkoalisi dengan Partai Demokrat

mendapatkan jatah kursi di kabinet. Pada

jabatan-jabatan strategis (Sekretaris

Daerah (Sekda), Kepala Biro (Karo),

Kepala Dinas (Kadis), Kepala Kantor

dan Kepala Badan (Kaban)) menjadi

ajang lobi politik antara partai pemenang

dengan partai-partai lainnya. Dampak

yang muncul dari kompensasi jabatan

antara penguasa dan partai politik adalah

terganggunya kinerja birokrasi yang

seharusnya memegang teguh merit

sistem (berdasar profesionalisme).

Keempat, rekrutmen PNS baru,

selain kompensasi jabatan, deal-deal

yang terjadi antara penguasa dan partai-

partai koalisi adalah pemberian jatah

pada saat Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah akan mengadakan

rekrutmen PNS baru. Dan pembagian

jatah itu jelas terlihat karena untuk

menjadi PNS harus ada yang

”membawa” (memberi rekomendasi).

Dan salah satu pihak yang bisa

”membawa” adalah (atas nama) partai-

partai politik;

Kelima, komersialisasi jabatan.

Hal ini dilakukan karena Aparat harus

mengembalikan ”modal” yang sudah dia

keluarkan pada saat masuk menjadi

Pegawai/ Pejabat, dan Pelatihan yang dia

ikuti hanya sebagai syarat formal saja

karena untuk mengisi jabatan bukan

berdasar pada merit sistem, tapi pada

kedekatan seseorang dengan penguasa;

Keenam, pencopotan jabatan karir

(Sekda) karena alasan politis.

Pencopotan ini dilakukan karena Kepala

Daerah harus mengakomodir pihak-pihak

yang berkepentingan. Dan sekali lagi,

pencopotan ini tujuannya bukan pada

peningkatan kualitas kinerja, tetapi hanya

sekedar memenuhi nafsu untuk

melanggengkan kekuasaannya.

Dari gejala-gejala pada masa kini

(kenyataan) tersebut, kemudian

munculah tiga tipe politisasi terhadap

birokrasi di Indonesia, yaitu:

Pertama, politisasi secara terbuka

yang berlangsung pada periode

Demokrasi Parlementer (1950-1959). Di

masa ini, para pemimpin Partai Politik

(Parpol) bersaing untuk memperebutkan

posisi Menteri yang langsung memimpin

sebuah Kementerian. Setelah menduduki

kursi Menteri, maka sang Menteri akan

berusaha sekuat tenaga memperlihatkan

kepemimpinannya dan kebijakan yang

ditempuhnya sehingga para Pegawai di

Kementerian tersebut tertarik untuk

masuk ke dalam partai sang Menteri.

Kedua, politisasi setengah terbuka

pada masa periode Demokrasi

Terpimpin. Dikatakan setengah terbuka

karena politisasi birokrasi hanya

diperuntukkan bagi parpol-parpol yang

mewakili golongan-golongan Nasionalis,

Agama dan Komunis (Nasakom).

Ketiga, tipe politisasi secara

tertutup yang berlangsung pada masa

Orde Baru. Mulai dari Presiden Soeharto

sampai ke tingkat Lurah adalah anggota

yang sekaligus pembina Golkar.

Meskipun diakui bahwa penerapan

kebijakan mono-loyalitas birokrasi pada

masa Orde Baru ikut membantu

menciptakan stabilitas dan kemampuan

umum Pemerintah yang memungkinkan

Pemerintah didukung birokrasi untuk

melakukan pembangunan di berbagai

bidang.

Dari kondisi carut marut birokrasi

seperti di atas, maka jelas kinerjanyapun

juga akan carut marut dan amburadul.

Sudah waktunya organisasi birokrasi

harus berubah, dan tidak bisa ditunda

Page 98: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

92

lagi dengan alasan apapun dan

bagaimanapun.

C. Kinerja Birokrasi

Kinerja birokrasi Pemerintahan

adalah struktur Pemerintahan yang

terstruktur yang berfungsi memproduksi

jasa publik atau layanan tertentu

berdasarkan kebijakan yang ditetapkan

dengan mempertimbangkan berbagai

pilihan dari lingkungan Pemerintah

selaku provider harus mengantar dan

menyerahkan produk itu sampai ditangan

masyarakat pada saat di butuhkan dan

tidak sebaliknya, dengan harapan

masyarakat mampu menggunakan

produk tersebut sedemikian rupa

sehingga manfaatnya maksimal (Ndraha,

2003).

Sedangkan menurut Kristiadi

(dalam Afrizal, 2018: 56), kinerja

birokrasi ialah “Susunan yang

terorganisir secara hirarkis dengan

struktur hubungan kewenangan yang

jelas untuk mencapai tujuan tertentu

dengan cara mengkoordinasi secara

sistematis pekerjaan dari banyak orang”.

Ruang lingkup birokrasi dapat diketahui

berdasarkan perbedaan tugas pokok dan

misi yang mendasari birokrasi adalah: 1.

Birokrasi Pemerintahan umum, yaitu

rangkaian organisasi Pemerintahan yang

menjalankan tugas-tugas Pemerintahan

umum dari tingkat Pusat sampai Daerah

(Provinsi, Kabupaten/ Kota, Kecamatan

dan Desa/ Kelurahan); 2. Birokrasi

fungsional, yaitu organisasi

Pemerintahan yang menjalankan salah

satu bidang atau sektor yang khusus guna

mencapai tujuan umum Pemerintahan;

serta 3. Birokrasi pelayanan (service

bureaucracy), yaitu unit organisasi yang

pada hakekatnya melaksanakan

pelayanan langsung dengan masyarakat.

Termasuk dalam konsep ini apa yang

disebut oleh Michael Lipsky sebagai

”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka

yang menjalankan tugas dan

berhubungan langsung dengan warga

masyarakat.

Faktor lain yang mempengaruhi

kinerja dan kepuasan kerja pegawai

dalam melaksanakan tugas adalah

lingkungan kerja, yaitu segala sesuatu

yang ada di sekitar pekerja, yang dapat

mempengaruhi dirinya dalam

menjalankan tugas. Faktor lingkungan

kerja bisa berupa kondisi fisik kantor

yang meliputi penerangan, suhu udara

dan lain-lain yang mampu meningkatkan

suasana kondusif dan semangat kerja

serta berpengaruh terhadap kinerja

pegawai (Sedarmayanti, 2009). Menurut

Mangkunegara (2007) lingkungan kerja

meliputi uraian jabatan yang jelas,

otoritas yang memadai, target kerja yang

menantang, pola komunikasi, hubungan

kerja yang harmonis, iklim kerja yang

dinamis, peluang karir dan fasilitas kerja

yang memadai. Adapun menurut Ahyari

(Dhermawan dkk., 2012) menjelaskan

bahwa “Lingkungan kerja yang tidak

memuaskan dapat menurunkan semangat

kerja dan akhirnya menurunkan

produktivitas kerja Pegawai”.

Ada beberapa indikator untuk

mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu

sebagai berikut:

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya

mengukur tingkat efesiensi, tetapi

juga efektivitas pelayanan.

Produktivitas pada umumnya

dipahami sebagai rasio antara input

dengan output. Konsep produktivitas

dirasa terlalu sempit, dan kemudian

General Acounting Office (GAO)

mencoba mengembangkan satu

ukuran produktivitas yang lebih luas

dengan memasukan seberapa

Page 99: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

93

pelayanan publik itu memiliki hasil

yang diharapkan sebagai salah satu

indikator kinerja yang penting.

2. Kualitas Layanan

Kualitas layanan, yaitu hasil kerja

yang dinilai dari kualitas dan

kuantitasnya suatu kegiatan yang

dilakukan, yang menimbulkan rasa

puas bagi masyarakat, dengan

demikian kepuasan masyarakat

terhadap layanan dapat dijadikan

indikator kinerja organisasi publik.

Keuntungan utama menggunakan

kepuasan masyarakat sebagai

indikator kinerja adalah informasi

mengenai kepuasan masyarakat sering

kali dapat diperoleh dari media massa

atau diskusi publik. Akibat akses

terhadap informasi mengenai

kepuasan masyarakat terhadap

kualitas layanan relatif sangat tinggi,

maka bisa menjadi satu ukuran

kinerja organisasi publik yang mudah

dan murah dipergunakan. Kepuasan

masyarakat bisa menjadi parameter

untuk menilai kinerja Birokrasi

publik.

3. Responsivitas

Responsivitas dengan mengukur

kemampuan organisasi untuk

mengenali kebutuhan masyarakat,

menyusun agenda dan prioritas

pelayanan, dan mengembangkan

program-program pelayanan publik

sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat.

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan

mengukur kesesuaian pelaksanaan

kegiatan organisasi publik yang

dilakukan dengan prinsip-prinsip

administrasi yang benar atau sesuai

dengan kebijakan organisasi.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas seberapa besar

kebijakan dan kegiatan organisasi

publik tunduk pada para Pejabat

politik yang dipilih oleh rakyat atau

ukuran yang menunjukan tingkat

kesesuaian penyelenggaraan

pelayanan dengan ukuran nilai-nilai

atau norma eksternal yang ada

dimasyarakat atau yang dimilki para

stakeholders (Dwiyanto, 2012).

Menurut Denhard (Masyudi, 2005)

menyebutkan bahwa kinerja birokrasi

memiliki acuan tugas, yaitu sebagai

berikut:

1. Komitmen terhadap nilai-nilai

sosial politik yang telah

disepakati bersama (publicly

defined societal values) dan

tujuan publik (public purpose);

2. Implementasi nilai-nilai sosial

politik yang berdasarkan etika

dalam tatanan manajemen

publik (provide an ethical basis

of public management);

3. Realisasi nilai-nilai sosial

politik (exercising social

political values);

4. Penekanan pada pekerjaan

kebijakan publik dalam rangka

pelaksanaan mandat

Pemerintah (emphasis on

public policy in carrying out

mandate of government);

5. Keterlibatan dalam pelayanan

publik (involvement overall

quality of public services);

6. Bekerja dalam rangka

penanganan kepentingan umum

(operate in public interest).

Page 100: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

94

Menurut Dwiyanto (Rizal, 2011)

mengatakan bahwa:

Rendahnya kinerja birokrasi

publik sangat dipengaruhi oleh

budaya paternalisme yang masih

sangat kuat, yang cenderung

mendorong Pejabat birokrasi untuk

lebih berorientasi pada kekuasaan

daripada pelayanan, menempatkan

dirinya sebagai penguasa dan

memperlakukan para pengguna

jasa sebagai objek pelayanan yang

membutuhkan bantuannya.

Di samping itu, rendahnya kinerja

juga disebabkan oleh sistem pembagian

kekuasaan yang cenderung memusat

pada pimpinan. Struktur birokrasi yang

hierarkis mendorong adanya pemusatan

kekuasaan dan wewenang pada Atasan

sehingga Pejabat birokrasi yang langsung

berhubungan dengan para pengguna jasa

sering tidak memiliki wewenang yang

memadai untuk merespon dinamika yang

berkembang dalam penyelenggaraan

pelayanan.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kinerja

PNS adalah sosok yang masih

sering dikaitkan dengan pandangan

miring seperti perilaku Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme (KKN), tidak disiplin,

tidak kompeten, birokrasi yang panjang,

inefesiensi dan lain sebagainya. Menurut

Jaenudin dan Chairunisa (2015: 50)

menyatakan bahwa ada beberapa faktor

yang diduga berpengaruh terhadap

kinerja PNS, yaitu Pendidikan dan

Pelatihan (Diklat), disiplin kerja,

motivasi kerja dan kemampuan SDM.

Satu per satu akan kami jelaskan sebagai

berikut (Jaenudin dan Chairunisa, 2015:

53-54):

1. Diklat

Diklat adalah bagian dari

pengembangan kompetensi dan

pengembangan karier PNS melalui

peningkatan pengetahuan dan

keterampilan.

2. Disiplin Kerja

Disiplin kerja adalah cerminan dan

kunci keberhasilan dalam

melaksanakan pekerjaan sesuai tujuan

yang ditetapkan organisasi, patuh, taat

dan tanggung jawab yang berdampak

pada kinerja.

3. Motivasi Kerja

Motivasi kerja, yaitu keinginan sikap

dan prilaku Pegawai dalam bekerja

atas dorongan dan dukungan yang

datang dari dalam dan luar diri

Pegawai untuk mencapainya.

4. Kemampuan SDM

Kemampuan SDM adalah

ketersediaan SDM Pegawai yang ada

dalam menjalankan tugas

pekerjaannya yang berkualitas,

cerdas, cakap dan ahli yang dilandasi

dengan pengetahuan dan

keterampilan.

E. Masalah-Masalah Otonomi Daerah

Menurut Faisal (2016: 209)

menjelaskan bahwa:

Sejak diberlakukannya paket

undang-undang mengenai otonomi

Daerah, banyak orang sering

membicarakan aspek positifnya.

Memang tidak disangkal lagi,

bahwa otonomi Daerah membawa

perubahan positif di Daerah dalam

hal kewenangan Daerah untuk

mengatur diri sendiri. Kewenangan

ini menjadi sebuah impian karena

sistem Pemerintahan yang

Page 101: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

95

sentralistik cenderung

menempatkan Daerah sebagai

pelaku pembangunan yang tidak

begitu penting atau pinggiran.

Pada masa lalu, pengerukan

potensi Daerah ke Pusat terus

dilakukan dengan dalih

pemerataan pembangunan. Alih-

alih mendapatkan manfaat dari

pembangunan, Daerah justru

mengalami proses pemiskinan

yang luar biasa. Dengan

kewenangan tersebut tampaknya

banyak Daerah yang optimis bakal

bisa mengubah keadaan yang tidak

menguntungkan tersebut.

Akan tetapi apakah di tengah-

tengah optimisme itu tidak terbersit

kekhawatiran bahwa otonomi Daerah

juga akan menimbulkan beberapa

persoalan yang jika tidak segera dicari

pemecahannya, akan menyulitkan upaya

Daerah untuk memajukan rakyatnya?

Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat

naif. Mengapa? Karena tanpa disadari

beberapa dampak yang tidak

menguntungkan bagi pelaksanaan

otonomi Daerah telah terjadi. Ada

beberapa permasalahan yang

dikhawatirkan bila dibiarkan

berkepanjangan akan berdampak sangat

buruk pada susunan ketatanegaraan

Indonesia. Adapun masalah-masalah

tersebut, antara lain:

1. Adanya Eksploitasi Pendapatan

Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi

adalah kewenangan Daerah yang

lebih besar dalam pengelolaan

keuangannya, mulai dari proses

pengumpulan pendapatan sampai

pada alokasi pemanfaatan Pendapatan

Daerah tersebut. Dalam kewenangan

semacam ini sebenarnya sudah

muncul inherent risk (resiko bawaan),

bahwa Daerah akan melakukan upaya

maksimalisasi, bukan optimalisasi,

perolehan Pendapatan Daerah. Upaya

ini didorong oleh kenyataan bahwa

Daerah harus mempunyai dana yang

cukup untuk melakukan kegiatan,

baik itu rutin maupun pembangunan.

Dengan skenario semacam ini,

banyak Daerah akan terjebak pada

pola tradisional dalam pemerolehan

Pendapatan Daerah, yaitu

mengintensifkan pemungutan pajak

dan retribusi. Bagi Pemerintah

Daerah, pola ini tentu akan sangat

gampang diterapkan karena kekuatan

kohersif yang dimiliki oleh institusi

Pemerintahan (sebuah kekuatan yang

tidak applicable dalam Negara

demokratis modern). Pola

peninggalan kolonial ini menjadi

sebuah pilihan utama karena

ketidakmampuan Pemerintah dalam

mengembangkan sifat wirausaha

(enterpreneurship).

Bila dikaji secara matang,

intensifikasi perolehan pendapatan

yang cenderung eksploitatif semacam

itu justru akan banyak mendatangkan

persoalan baru dalam jangka panjang,

dari pada manfaat ekonomis jangka

pendek bagi Daerah. Persoalan

pertama adalah beratnya beban yang

harus ditanggung warga masyarakat.

Meskipun satu item pajak atau

retribusi yang dipungut dari rakyat

hanya berkisar 100 rupiah, akan tetapi

jika dihitung secara agregat jumlah

uang yang harus dikeluarkan rakyat

per bulan tidaklah kecil, terutama jika

pembayar pajak atau retribusi adalah

orang yang tidak mempunyai

penghasilan memadai. Persoalan

kedua terletak pada adanya

kontradiksi dengan upaya Pemerintah

Page 102: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

96

Daerah dalam menggerakan

perekonomian di Daerah. Bukankah

secara empiris tidak terbantahkan lagi

bahwa banyaknya pungutan hanya

akan menambah biaya ekonomi yang

ujung-ujungnya hanya akan

merugikan perkembangan ekonomi

Daerah setempat. Kalau Pemerintah

Daerah ingin menarik minat investor

sebanyak-banyaknya, mengapa pada

saat yang sama justru mengurangi

minat investor untuk berinvestasi?

2. Pemahaman terhadap Konsep

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

yang Belum Mantap

Desentralisasi adalah sebuah

mekanisme penyelenggaraan

Pemerintahan yang menyangkut pola

hubungan antara Pemerintah Nasional

dan Pemerintah lokal. Desentralisasi

diperlukan dalam rangka peningkatan

efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan Pemerintahan.

Sebagai wahana pendidikan politik di

Daerah. Untuk memelihara keutuhan

Negara kesatuan atau integrasi

Nasional. Untuk mewujudkan

dinamika demokrasi dalam

penyelenggaraan Pemerintahan yang

dimulai dari Daerah. Untuk

memberikan peluang kepada

masyarakat untuk membentuk karir

dalam di bidang politik dan

Pemerintahan. Sebagai sarana bagi

percepatan pembangunan di Daerah.

Untuk mewujudkan Pemerintahan

yang bersih dan berwibawa. Oleh

karena itu pemahaman terhadap

konsep desentralisasi dan otonomi

haruslah mantap.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah sebagaimana telah diubah,

terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, serta

Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, maka sejumlah

besar fungsi-fungsi Pemerintahan

dialihkan dari Pusat ke Daerah, dalam

banyak hal melewati Provinsi.

Berdasarkan kedua undang-undang

ini, semua fungsi pelayanan publik

kecuali pertahanan, keamanan, urusan

luar negeri, kebijakan moneter dan

fiskal, yustisi dan agama, telah

dialihkan ke Daerah otonom.

Kabupaten/ Kota memikul tanggung

jawab di hampir semua bidang

pelayanan publik, seperti kesehatan,

pendidikan dan prasarana, dengan

Provinsi bertindak sebagai

koordinator. Jika ada tugas-tugas lain

yang tidak disebut dalam undang-

undang, hal itu berada dalam

tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Kedua undang-undang ini,

mencerminkan realitas politik bahwa

Warga Negara Indonesia (WNI)

kebanyakan menghendaki peran yang

lebih besar dalam mengelola urusan

sendiri. Meskipun demikian, tata

Pemerintahan lokal yang baik pada

saat ini belum dapat dilaksanakan di

Indonesia, meskipun sistem

desentralisasi telah dilaksanakan.

Mentalitas dari Aparat Pemerintah,

baik Pusat maupun Daerah masih

belum mengalami perubahan yang

mendasar. Hal ini terjadi karena

perubahan sistem tidak dibarengi

penguatan kualitas SDM yang

menunjang sistem Pemerintahan yang

baru. Pelayanan publik yang

diharapkan, yaitu birokrasi yang

Page 103: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

97

sepenuhnya mendedikasikan diri

untuk untuk memenuhi kebutuhan

rakyat “sebagai pengguna jasa”

adalah pelayanan publik yang ideal.

Untuk merealisasikan bentuk

pelayanan publik yang sesuai dengan

asas desentralisasi diperlukan

perubahan paradigma secara radikal

dari Aparat birokrasi sebagai unsur

utama dalam pencapaian tata

Pemerintahan lokal.

3. Kondisi SDM Aparatur Pemerintahan

yang Belum Menunjang Sepenuhnya

Pelaksanaan Otonomi Daerah

Sejak diberlakukannya otonomi

Daerah. Sebagian Pemerintah Daerah

bisa melaksanakan amanat konstitusi

meningkatkan taraf hidup rakyat,

menyejahterakan rakyat dan

mencerdaskan rakyat. Berdasarkan

data yang ada, 20% Pemerintah

Daerah mampu menyelenggarakan

otonomi Daerah dan berbuah

kesejahteraan rakyat di Daerah.

Namun masih ada sekitar 80%

Pemerintah Daerah dinilai belum

berhasil menjalankan visi, misi dan

program desentralisasi.

Penyelenggaraan otonomi Daerah

yang sehat dapat di wujudkan melalui

peningkatan kapasitas dan kompetensi

yang di miliki manusia sebagai

pelaksananya. Penyelenggaraan

otonomi Daerah hanya dapat berjalan

dengan sebaik-baiknya apabila

manusia pelaksananya baik, dalam

artian mentalitas, integritas maupun

kapasitasnya.

Pentingnya posisi manusia pelaksana

ini karena manusia merupakan unsur

dinamis dalam organisasi yang

bertindak/ berfungsi sebagai subjek

penggerak roda organisasi

Pemerintahan. Oleh sebab itu kualitas

mentalitas dan kapasitas manusia

yang kurang memadai dengan

sendirinya melahirkan implikasi yang

kurang menguntungkan bagi

penyelenggaraan otonomi Daerah.

4. Korupsi di Daerah

Fenomena lain yang sejak lama

menjadi kekhawatiran banyak

kalangan berkaitan dengan

implementasi otonomi Daerah adalah

bergesernya praktik korupsi dari Pusat

ke Daerah. Sinyalemen ini menjadi

semakin beralasan ketika terbukti

bahwa banyak Pejabat publik yang

masih mempunyai kebiasaan

menghambur-hamburkan uang rakyat

untuk piknik ke luar negeri dengan

alasan studi banding. Juga, mulai

terdengar bagaimana anggota

legislatif mulai menggunakan

kekuasaannya atas eksekutif untuk

menyetujui anggaran rutin DPRD

yang jauh lebih besar dari pada

sebelumnya. Belum lama diberitakan

di Harian Kompas bagaimana

legislatif Kota Yogyakarta membagi

dana 700 juta untuk 40 anggotanya

atau 17,5 juta per orang dengan alasan

menutup biaya operasional dan

kegiatan kesekretariatan. Mengapa

harus ada bagi-bagi sisa anggaran?

Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa

anggaran seharusnya tidak dihabiskan

dengan acara bagi-bagi, melainkan

harus disetorkan kembali ke Kas

Daerah? Dipandang dari kacamata

apapun perilaku Pejabat publik yang

cenderung menyukai menerima uang

yang bukan haknya adalah tidak etis

dan tidak bermoral, terlebih jika hal

itu dilakukan dengan sangat terbuka.

Sumber praktik korupsi lain yang

masih berlangsung terjadi pada proses

pengadaan barang-barang dan jasa

Page 104: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

98

Daerah (procurement). Seringkali

terjadi harga sebuah item barang

dianggarkan jauh lebih besar dari

harga pasar. Kolusi antara bagian

pengadaan dan rekanan sudah

menjadi hal yang jamak. Pemberian

fasilitas yang berlebihan kepada

Pejabat Daerah juga merupakan bukti

ketidakarifan Pemerintah Daerah

dalam mengelola keuangan Daerah.

Hibah dari Pihak Ketiga kepada

Pejabat Daerah sudah menjadi hal

biasa yang tidak pernah diributkan

dari dulu. Kalau dicermati dan

dinalar, berapa kenaikan kekayaan

Pejabat Daerah setelah mereka

menjabat posisi tertentu? Seberapa

drastis perubahan gaya hidup para

Pejabat publik itu?

5. Adanya Potensi Munculnya Konflik

Antardaerah

Ada gejala cukup kuat dalam

pelaksanaan otonomi Daerah, yaitu

konflik horizontal yang terjadi antara

Pemerintah Provinsi dengan

Pemerintah Kabupaten/ Kota, sebagai

akibat dari penekanan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah, terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah yang menekankan bahwa

tidak ada hubungan hierarkhis antara

Pemerintah Provinsi dengan

Pemerintah Kabupaten/

Kota,sehingga Pemerintah Kabupaten

/Kota menganggap kedudukannya

sama dan tidak taat kepada

pemerintah provinsi.

Dengan pelaksanaan otonomi Daerah

muncul gejala etno-sentrisme atau

fenomena primordial ke-Daerahan

semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme

ini terlihat dalam beberapa kebijakan

di Daearah yang menyangkut

pemekaran Daerah, Pilkada,

rekrutmen birokrasi lokal dan

pembuatan kebijakan lainnya.

Selain itu, ancaman disintegrasi juga

dapat memicu sebuah konflik. Paham

pelimpahan wewenang yang luas

kepada Daerah merupakan politik

belah bambu yang telah lama dipupuk

sejak zaman penjajahan. Otonomi

Daerah telah mengkotak-kotakan

wilayah menjadi Daerah basah dan

Daerah kering. Pengkavlingan ini

semakin mencuatkan ketimpangan

pembangunan antara Daerah kaya dan

Daerah miskin. Adanya potensi

Sumber Daya Alam (SDA) di suatu

wilayah, juga rawan menimbulkan

perebutan dalam menentukan batas

wilayah masing-masing. Konflik

horizontal sangat mudah tersulut. Di

era otonomi Daerah tuntutan

pemekaran wilayah juga semakin

kencang dimana-mana. Pemekaran ini

telah menjadikan NKRI terkerat-kerat

menjadi wilayah yang berkeping-

keping. Satu Provinsi pecah menjadi

dua-tiga Provinsi, satu Kabupaten

pecah menjadi dua-tiga Kabupaten

dan seterusnya. Semakin berkeping-

keping NKRI semakin mudah

separatisme dan perpecahan terjadi.

Dari sinilah bahaya disintegrasi

bangsa sangat mungkin terjadi,

bahkan peluangnya semakin besar

karena melalui otonomi Daerah

campur tangan asing semakin mudah

menelusup hingga ke Desa-Desa.

Page 105: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

99

Pemaknaan otonomi secara kultural

memandang politik lokal sebagai

kesatuan nilai, kultur, custom, adat

istiadat dan bukan sebagai konsep

politik. Perspektif ini juga mengakui

kemajemukan masyarakat namun

dalam arti sosiokultural, di mana

setiap masyarakat dan lokalitas adalah

unik sehingga setiap masyarakat dan

lokalitas memiliki hak-hak sosial,

ekonomi, budaya dan identitas diri

yang berbeda dengan identitas

Nasional. Pemahaman inilah yang

kemudian memunculkan berbagai

kebijakan Daerah yang bernuansa

etnisitas. Sedikit banyak karakteristik

masyarakat Indonesia yang pluralistik

dan terfragmentasi, turut

mempengaruhi tumbuh dan

berkembangnya etnonasionalisme.

Pola hubungan antaretnis dilakukan

dalam proses yang linear tanpa

adanya potensi bagi terjadinya cross-

cutting afiliation (afiliasi lintas

sektoral). Akibatnya, tidak ada ruang

bagi bertemunya berbagai etnis secara

sosial. Secara politik, berlakunya

politik aliran menyebabkan sudah

dapat dipastikan bahwa ia akan

memilih partai Islam. Dengan

demikian, jelaslah bahwa pola

interaksi antaretnis menjadi sulit

dilakukan karena tidak ada ruang

baginya untuk mengenal etnis lain,

apalagi memahami etnis lain di luar

stereotip yang selama ini mengemuka.

Maka yang kemudian timbul dan

menguat adalah identitas etnisnya dan

bukan identitas kebangsaan yang

inheren dalam nasionalisme.

3. KAJIAN

A. Penyelesaian Masalah Otonomi

Daerah di Indonesia

Pada intinya, masalah-masalah

dalam pelaksanaan otonomi Daerah pada

seterusnya akan menjadi persoalan

tersendiri, terlepas dari keberhasilan

implementasi otonomi Daerah. Pilihan

kebijakan yang tidak populer melalui

intensifikasi pajak dan perilaku koruptif

Pejabat Daerah sebenarnya sudah ada

sejak lama dan akan terus berlangsung.

Jika kini keduanya baru muncul

dipermukaan sekarang, tidak lain karena

momentum otonomi Daerah memang

memungkinkan untuk itu. Untuk

menyiasati beratnya beban anggaran,

Pemerintah Daerah semestinya bisa

menempuh jalan alternatif, selain

intensifikasi pungutan yang cenderung

membebani rakyat dan menjadi

disinsentif bagi perekonomian Daerah,

yaitu: 1. Efisiensi anggaran; dan 2.

Revitalisasi perusahaan Daerah. Kami

sepenuhnya yakin bahwa banyak

Pemerintah Daerah mengetahui alternatif

ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan

menjadi prioritas pilihan kebijakan maka

Pemerintah pasti punya alasan lain.

Dugaan Kami adalah bahwa Pemerintah

Daerah itu malas! Pemerintah tidak

mempunyai keinginan kuat (strong will)

untuk melakukan efisiensi anggaran

karena upaya ini tidak gampang. Di

samping itu, ada keengganan untuk

berubah dari perilaku boros menjadi

hemat.

Upaya revitalisasi perusahaan

Daerah pun kurang mendapatkan porsi

yang memadai karena kurangnya sifat

kewirausahaan Pemerintah. Sudah

menjadi hakekatnya bahwa Pemerintah

cenderung melakukan kegiatan atas dasar

kekuatan paksaan hukum, dan tidak

Page 106: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

100

berdasarkan prinsip-prinsip pasar,

sehingga ketika dihadapkan pada situasi

yang bermuatan bisnis, Pemerintah tidak

bisa menjalankannya dengan baik. Salah

satu cara untuk mengatasi hal ini

Pemerintah Daerah bisa menempuh jalan

dengan menyerahkan pengelolaan

perusahaan Daerah kepada swasta

melalui privatisasi.

Pemeritah juga seharusnya

merevisi regulasi yang dipandang dapat

menimbulkan masalah baru. Di bawah

ini Kami merangkum solusi untuk keluar

dari masalah otonomi Daerah tanpa harus

mengembalikan kepada sentralisasi. Jika

Pemerintah dan masyarakat bersinergi

mengatasi masalah tersebut. Pasti

kesejahteraan masyarakat segera

terwujud. Solusi untuk keluar dari

masalah otonomi Daerah tersebut, yaitu

seperti yang diutarakan oleh Faisal

(2016: 213-214) sebagai berikut:

1. Membuat masterplan

pembangunan Nasional untuk

membuat sinergi pembangunan

di Daerah. Agar menjadi

landasan pembangunan di

Daerah dan membuat

pemerataan pembangunan

Antardaerah.

2. Memperkuat peranan Daerah

untuk meningkatkan rasa

nasionalisme dengan

mengadakan kegiatan

menanamkan nasionalisme,

seperti kewajiban mengibarkan

bendera merah putih.

3. Melakukan pembatasan

anggaran kampanye karena

menurut penelitian korupsi

yang dilakukan Kepala Daerah

akibat Pemilu berbiaya tinggi

membuat Kepala Daerah

melakukan korupsi.

4. Melakukan pengawasan

Peraturan Daerah (Perda) agar

sinergi dan tidak menyimpang

dengan peraturan di atasnya

yang lebih tinggi.

5. Melarang anggota keluarga

Kepala Daerah untuk maju

dalam Pemilu di Daerah-nya

untuk mencegah pembentukan

dinasti politik.

6. Meningkatkan kontrol terhadap

pembangunan di Daerah

dengan memilih Menteri Dalam

Negeri yang berkapabilitas

untuk mengawasi

pembangunan di Daerah.

7. Melaksanakan Good

Governence dengan

memangkas birokrasi

(reformasi birokrasi),

mengadakan pelayanan satu

pintu untuk masyarakat serta

melakukan efisiensi anggaran.

8. Meningkatkan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dari sektor SDA

dan pajak serta mencari dari

sektor lain, seperti jasa dan

pariwisata digunakan untuk

kesejahteraan masyarakat.

B. Birokrasi Pendidikan di Indonesia

Menurut Rifai (2011: 61)

menyatakan bahwa:

Kehadiran birokrasi sebenarnya

dipergunakan untuk mengatur

suatu pekerjaan yang beraneka

ragam yang menyangkut

kepentingan orang banyak agar

bisa terlaksana dan melayani

semua golongan dengan baik,

efektif, dan mudah. Akan tetapi,

dalam perkembangannya, sampai

sekarang birokrasi telah menjadi

momok bagi manusia modern,

Page 107: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

101

yang selalu ingin dihindari dan

dijauhi.

Adapun Solichin (2015: 165)

mengemukakan pendapatnya, yaitu

sebagai berikut:

Dunia pendidikan Nasional di

zaman reformasi ini, diakui atau

tidak memiliki karakter yang

menenggelamkan gerakan

intelektual bagi kemajuan

pendidikan Nasional.

Kecenderungan birokrasi pada

lembaga pendidikan yang rumit

dalam memberikan pelayanan

terhadap masyarakat karena begitu

banyaknya biro yang harus dilalui.

Kesan mengutamakan aktivitas

birokrasi inilah yang pada

akhirnya mengesampingkan dunia

intelektual.

Mental birokrasi untuk

memberikan pelayanan terhadap

pengembangan dan gerakan intelektual

ini menjadi sangat penting karena

pengembangan dan gerakan intelektual di

lembaga pendidikan memerlukan

suasana dan kondisi yang sangat

kondusif bagi munculnya kreativitas dan

inovasi baru. Peran birokrasi yang

berwajah manusia dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat di bidang

pendidikan diharapkan sepenuhnya

berperan vital, reformis, dinamis,

inovatif, aspiratif, terbuka dan bersifat

mengayomi. Di sini, Kementerian

Pendidikan Nasional segera mengambil

sikap dengan untuk melakukan inovasi

dan pemikiran, mereformasi struktur dan

mekanisme birokrasi yang kondusif

untuk menciptakan pendidikan yang

unggul, walau memerlukan anggaran

yang tidak sedikit dan kemampuan SDM

yang kompeten di bidangnya.

C. Peran Birokrasi Sebagai Kontrol

Pendidikan Nasional

Peran birokrasi sebagai kontrol

pendidikan Nasional merupakan fungsi

birokrasi itu sendiri, mengontrol tugas

pokok dan fungsi birokrasi pendidikan

hingga pelaksanaan proses pendidikan di

Daerah supaya berjalan dengan baik.

Menurut Tilaar (2009: 22) menyatakan

bahwa:

Untuk meningkatkan kemampuan

kinerja birokrasi pendidikan dapat

dilakukan melalui program

pembinaan birokrasi pendidikan

Nasional yang profesional, ini

dilakukan untuk menghapus

stigma bahwa birokrasi merupakan

kelompok yang sangat sulit untuk

berubah. Mereka cenderung

menjadi orang yang konservatif

dalam melaksanakan tugasnya

(business as usual).

Paulus (2013) memberikan contoh

yang berkaitan dengan pelaksanaan

kebijakan di Dinas Pendidikan

Kabupaten/ Kota. Berikut deskripsi yang

digambarkan Penulis dalam tulisannya:

Dalam rencana kerja tahunan yang

telah disusun oleh Dinas

Pendidikan di suatu Daerah,

menjadi bahan Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD).

Sebelum RKPD ditetapkan dengan

Peraturan Bupati/ Walikota,

terlebih dahulu dilaksanakan

Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) di

tingkat Kabupaten/ Kota dan

pembahasan Antarunit Kerja

Pemerintah Daerah. Walaupun

bentuknya pembahasan bersama,

tetapi tidak merubah kegiatan-

kegiatan dalam Rencana Kerja

(Renja) dari Dinas Pendidikan

Page 108: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

102

untuk menjadi RKPD.

Musrenbang di tingkat Kabupaten/

Kota diselenggarakan oleh Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah

(Bappeda). Forum ini diikuti

seluruh Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) serta melibatkan

berbagai Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) di Kabupaten/

Kota. Untuk organisasi di luar

Pemerintah yang terkait dengan

masalah pendidikan, hanya Dewan

Pendidikan Kabupaten/ Kota yang

diundang. Namun pada

kenyataannya proses kegiatan

Musrenbang tingkat Kabupaten/

Kota lebih mirip dengan sosialisasi

RKPD yang akan ditetapkan

dengan Peraturan Bupati/

Walikota. Khusus kegiatan yang

terkait dengan masalah pendidikan

lebih terjadi pada saat Rapakt

Kerja (Raker) Dinas Pendidikan.

Hal ini karena yang dilibatkan

dalam Musrenbang tingkat

Kabupaten/ Kota hanya Dewan

Pendidikan Kabupaten/ Kota yang

sebelumnya telah mengikuti Raker

tahunan Dinas Pendidikan.

D. Peran Birokrasi di Lembaga Sekolah

Menurut Zamroni (2007: 204)

menyatakan bahwa:

Reformasi pendidikan pada era

reformasi dewasa ini secara prinsip

sebenarnya mengarah pada dua

sasaran penting. Pertama,

reformasi pendidikan diarahkan

untuk memberikan tanggungjawab

lebih besar kepada birokrasi di

Daerah untuk secara langsung

menangani pendidikan, dengan

memobilisasi dukungan penuh

masyarakat (desentralisasi).

Kedua, reformasi ditujukan untuk

meningkatkan dinamika internal

sekolah, dengan memberikan

kesempatan lebih besar pada level

sekolah, seperti kepala sekolah,

guru, orang tua siswa serta staf

administrasi dalam melaksanakan

penyelenggaraan sekolah sehari-

hari (otonomi sekolah) atau

disebut juga dalam wujud

Manajemen Berbasis Sekolah

(MBS).

Peran birokrasi di lembaga sekolah

pada akhirnya menjadi puncak model

implementasi kebijakan pada satuan dan

jenjang pendidikan. Di sini diperlukan

adanya pembaharuan manajemen pada

satuan dan jenjang pendidikan tersebut.

Proses pembaharuan atau inovasi

manajemen menjadi suatu keniscayaan

untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan yang tengah dihadapi.

Problem-problem tersebut dapat berupa

usaha pemerataan pendidikan,

peningkatan mutu, peningkatan efisiensi

dan efektivitas pendidikan serta relevansi

pendidikan. Tujuannya agar supaya

penyebaran ide-ide inovasi yang

dilakukan bisa diadopsi, dimanfaatkan

dan didesiminasikan untuk perbaikan dan

pemecahan problematika pendidikan di

Indonesia.

E. Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi

Daerah

Kebijakan pendidikan yang

berlaku di tingkat Pemerintah Daerah,

yaitu mengacu kepada Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah. Dalam lampiran undang-undang

Page 109: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

103

tersebut dirinci terkait dengan pembagian

urusan Pemerintahan konkuren antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi

dan Pemerintah Kabupaten/ Kota,

khususnya di bidang pendidikan sebagai

berikut:

Tabel 1

Pembagian Urusan Pemerintahan

Bidang Pendidikan

No. Sub

Urusan

Pemerintah

Pusat

Pemerintah

Provinsi

Pemerintah

Kabupaten/

Kota

1. Manaje

men

Pendidi

kan

a. Peneta-

pan

standar

nasional

pendidi-

kan.

b. Pengelo-

laan

pendidi-

kan tinggi.

a. Pengelo-

laan

pendidi-

kan mene-

ngah.

b. Pengelo-

laan

pendidi-

kan

khusus.

a. Pengelola-

an

pendidi-

kan dasar.

b. Pengelola-

an

pendidi-

kan anak

usia dini

dan

pendidi-

kan

nonformal

2. Kuriku-

lum

Penetapan

kurikulum

Nasional

pendidikan

menengah,

pendidikan

dasar,

pendidikan

anak usia

dini dan

pendidikan

nonformal.

Penetapan

kurikulum

muatan lokal

pendidikan

menengah

dan muatan

lokal

pendidikan

khusus.

Penetapan

kurikulum

muatan lokal

pendidikan

dasar, anak

usia dini dan

muatan lokal

pendidikan

nonformal.

3. Akredita

-si

Akreditas

perguruan

tinggi,

pendidikan

menengah,

pendidikan

dasar,

pendidikan

anak usia

dini dan

pendidikan

nonformal

- -

4. Pendi-

dik dan

Tenaga

Kependi

-dikan

a. Pengenda-

lian

formasi

pendidik,

peminda-

han

pendidik

dan

pengemba

-ngan

karier

pendidik.

b. Peminda-

han

pendidik

Pemindahan

pendidik dan

tenaga

kependidikan

lintas daerah

kabupaten/

kota dalam

satu daerah

provinsi.

Pemindahan

pendidik dan

tenaga

kependidikan

dalam daerah

kabupaten/

kota.

No. Sub

Urusan

Pemerintah

Pusat

Pemerintah

Provinsi

Pemerintah

Kabupaten/

Kota

dan

tenaga

kependidi

kan lintas

daerah

provinsi.

5. Perizi-

nan

Pendidi-

kan

a. Penerbitan

izin

perguruan

tinggi

swasta

yang

diselengga

-rakan

oleh

masyara-

kat.

b. Penerbitan

izin

penyeleng

-garaan

satuan

pendidi-

kan asing.

a. Penerbitan

izin

pendidi-

kan

menengah

yang

diselengga

-rakan

oleh

masyara-

kat.

b. Penerbitan

izin

pendidi-

kan

khusus

yang

diselengga

-rakan

oleh

masyara-

kat.

a. Penerbitan

izin

pendidi-

kan dasar

yang

diselengga

-rakan

oleh

masyara-

kat.

b. Penerbitan

izin

pendidi-

kan anak

usia dini

dan

pendidi-

kan

nonformal

yang

diselengga

-rakan

oleh

masyara-

kat.

6. Bahasa

dan

Sastra

Pembinaan

bahasan dan

sastra

Indonesia.

Pembinaan

bahasa dan

sastra yang

penuturnya

lintas daerah

kabupaten/

kota dalam

satu daerah

provinsi.

Pembinaan

bahasa dan

sastra yang

penuturnya

dalam daerah

kabupaten/

kota.

Sumber: Lampiran Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah,

terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2015

tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

Page 110: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

104

4. KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari hasil kajian konsep yang

dijelaskan para Bab sebelumnya, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Otonomi adalah hal yang diberikan

kepada penduduk yang tinggal dalam

suatu wilayah tertentu untuk

mengatur, mengurus, mengendalikan

dan mengembangkan urusannya

sendiri dengan tetap menghormati

peraturan perundangan yang berlaku.

Otonomi Daerah adalah hak,

wewenang dan kewajiban Daerah

otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan

Pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan Daerah otonom, yaitu

kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus

urusan Pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem NKRI.

2. Birokrasi haparan mempunyai tiga

makna, yaitu dapat bersifat makna

positif, negatif dan netral. Adapun

untuk ide dalam mewujudkan

birokrasi harapan yang diidam-

idamkan, yaitu: a. Perlu adanya

perubahan pelayanan kepada

masyarakat; b. Birokrasi harus

bekerja dengan bertanggung jawab

atau mengutamakan akuntabilitas;

serta c. Seluruh anggota organisasi

harus tangguh menghadapi berbagai

tantangan, baik internal maupun

eksternal. Sedangkan birokrasi

kenyataan saat ini, yaitu merebaknya

patologi birokrasi di berbagai lini

Pemerintahan, baik tingkat Pusat

maupun Daerah berupa politisasi

birokrasi.

3. Kinerja birokrasi, khusunya dalam

bidang pendidikan seyogyanya

berperan sebagai kontrol pendidikan

Nasional karena hal tersebut

merupakan fungsi birokrasi itu

sendiri, kemudian dalam hal

mengontrol tugas pokok dan fungsi

birokrasi pendidikan hingga

pelaksanaan proses pendidikan di

Daerah supaya berjalan dengan baik.

4. Faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi terhadap kinerja,

khususnya PNS, yaitu Diklat, disiplin

kerja, motivasi kerja dan kemampuan

SDM. Bila keempat faktor tersebut

dijalankan secara simultan,

berkelanjutan dan terus menerus maka

diharapkan kinerja birokrasi yang

berisikan para PNS dapat meningkat

sehingga tujuan dari suatu organisasi

Pemerintah pun dapat terealisasi

dengan baik dan masyarakat pun akan

merasa puas terhadap pelayanan

prima yang diberikan oleh

Pemerintah.

5. Masalah-masalah otonomi Daerah,

yaitu seperti: a. Adanya eksploitasi

pendapatan Daerah; b. Pemahaman

terhadap Konsep desentralisasi dan

otonomi Daerah yang belum mantap;

c. Kondisi SDM Aparatur

Pemerintahan yang belum menunjang

sepenuhnya pelaksanaan otonomi

Daerah; d. Merebaknya kasus korupsi

di Daerah; serta e. Adanya potensi

munculnya konflik Antardaerah.

Page 111: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

105

B. Rekomendasi

1. Direkomendasikan kepada

Pemerintah Pusat untuk: a.

Memberikan hak dan wewenang

Pemerintah Daerah sesuai dengan

asas desentralisasi dan prinsip

otonomi Daerah yang telah

dinyatakan dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana

telah diubah, terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2015 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah; b.

Senantiasa menyamakan persepsi

tentang konsep otonomi Daerah dan

senantiasa mensosialisasikan konsep

otonomi Daerah tersebut kepada

Pemerintah Daerah sehingga

integritas bangsa dalam bentuk NKRI

tetap selalu dihormati dan dijaga oleh

seluruh komponen masyarakat

Indonesia; serta c. Senantiasa

memantau, menilai dan mengawasi

terhadap penerapanan otonomi

Daerah dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah di Indonesia.

2. Direkomendasikan kepada

Pemerintah Daerah agar selalu

menjadi hubungan yang bersimbiosis

mutualisme antara birokrasi dengan

masyarakat karena pada dasarnya

antara Pemerintah dengan

masyarakatpun saling membutuhkan

satu sama lain. Bila birokrasi dapat

menjalankan ide birokrasi harapan

tersebut, maka masyarakat pun akan

puas dengan kinerja birokrasi dan

sebaliknya anggota birokrasi akan

mampu bekerja dengan baik tanpa

direpoti dengan kritik, hujatan dan

demo-demo yang tak habis-habisnya.

Direkomendasikan pula kepada setiap

Instansi Pemerintah agar segera

berubah dengan stigma yang

berkinerja carut marut dan amburadul

melalui penghindaran dari segala

bentuk politisasi birokrasi. Para

Aparatur Pemerintah Daerah

seyogyanya harus dapat bersikap

netral, terutama ketika menghadapi

Pemilu.

3. Direkomendasikan kepada

Pemerintah Daerah agar lebih

mengintensifkan kontrol dalam

bidang pendidikan. Hal tersebut dapat

dilakukan dengan cara mengajak

peran serta masyarakat untuk ikut

mengontrol jalannya bidang

pendidikan agar tujuan dalam

pendidikan tersebut dapat tercapai

dengan optimal.

4. Direkomendasikan kepada

Pemerintah Daerah untuk

memperhatikan faktor-faktor yang

dapat meningkatkan kinerja dari para

Aparaturnya, seperti Diklat, disiplin

kerja, motivasi kerja dan kemampuan

SDM.

5. Direkomendasikan kepada

Pemerintah Pusat untuk a. Membuat

masterplan pembangunan Nasional

sebagai acuan bagi Pemerintah

Daerah dalam melaksanakan

pembangunan; b. Mengajak

Pemerintah Daerah ketika

penyusunan rencana di tingkat Pusat;

c. Menyusun pengaturan terkait

pembatasan anggaran kampanye; d.

Melakukan pengawasan terhadap

produk hukum Daerah; e. Menyusun

regulasi pembatasan anggota keluarga

incumbent untuk mengikuti kontestasi

di Daerahnya; f. Mengoptimalkan

kontrol jalannya Pemerintahan di

Page 112: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

106

Daerah; serta g. Melaksanakan

reformasi birokrasi dan mendorong

Pemerintah Daerah untuk

melaksanakan reformasi birokrasi.

Kemudian bagi Pemerintah Daerah

agar lebih optimal dalam pencarian

PAD, selain dari pajak dan retribusi

Daerah sehingga tidak selalu

membebankan masyarakat di Daerah.

5. DAFTAR RUJUKAN

A. Buku

Arenawati. (2014). Administrasi

Pemerintahan Daerah: Sejarah,

Konsep dan Penatalaksanaan di

Indonesia. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Dwidjowijoto, R. N. (2000). Otonomi

Daerah: Desentralisasi Tanpa

Revolusi. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Dwiyanto, A. (2012). Reformasi

Birokrasi Publik Indonesia.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Mangkunegara, P. A. (2007).

Perencanaan dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia. Jakarta:

Rafika Aditama.

Ndraha, T. (2003). Kybernology Ilmu

Pemerintahan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Rifai, M. (2011). Politik Pendidikan

Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media.

Rosidin, U. (2015). Otonomi Daerah dan

Desentralisasi. Bandung: Pustaka

Setia.

Sedarmayanti. (2009). Sumber Daya

Manusia dan Produktivitas Kerja.

Bandung: Mandar Maju.

Setiyono, B. (2004). Birokrasi dalam

Perspektif Politik dan

Administrasi. Semarang: Pusat

Kajian Otonomi Daerah dan

Kebijakan Publik Universitas

Diponegoro.

Suharso dan Retnoningsih, A. (2015).

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Semarang: Widya Karya.

Sumaryadi, I. N. (2015). Reformasi

Birokrasi Pemerintahan: Menuju

Tata Kelola Pemerintahan yang

Baik. Bogor: Ghalia Indonesia.

T. H. dan Postlethwaite, T. N. (1994).

The International Encyclopedia of

Education. London: Pergamon.

Tilaar, H. A. R. (2009). Kekuasaan dan

Pendidikan: Manajemen

Pendidikan Nasional dalam

Pusaran Kekuasaan. Jakarta:

Rineka Cipta.

______________. (2012). Perubahan

Sosial dan Pendidikan. Jakarta:

Rineka Cipta.

Widjaja, H. A. W. (2002). Otonomi

Daerah dan Daerah Otonom.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 113: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

107

Zamroni. (2007). Pendidikan dan

Demokrasi dalam Transisi:

Prakondisi Menuju Era

Globalisasi. Jakarta: Pusat Studi

Agama dan Peradaban

Muhammadiyah.

B. Jurnal dan Penelitian Lainnya

Afrizal, D. (2018). “Analisis Kinerja

Birokrasi Publik pada Dinas Sosial

Kota Dumai”. Jurnal Ilmu-Ilmu

Sosial, 13 (1), 53-62.

Alfiandri. (2012). “Reformasi Birokrasi

di Era Otonomi Daerah”. Jurnal

Sosio-Religia, 10 (1), 179-200.

Dhermawan dkk. (2012). “Pengaruh

Motivasi, Lingkungan Kerja,

Kompetensi dan Kompensasi

terhadap Kepuasan Kerja dan

Kinerja Pegawai di Lingkungan

Kantor Dinas Pekerjaan Umum

Provinsi Bali. Jurnal Manajemen,

Strategi Bisnis dan

Kewirausahaan, 6 (2), 173-184.

Faisal. (2016). “Otonomi Daerah:

Masalah dan Penyelesaiannya di

Indonesia”. Jurnal Akuntansi, 4

(2), 206-215.

Gaffar, F. (1990). “Implikasi

Desentralisasi Pendidikan

Menyongsong Abad Ke-21”.

Jurnal Mimbar Pendidikan, 3 (9),

229-239.

Irwan, A. L. (2008). “Pelaksanaan

Otonomi Daerah dalam

Mendukung Pelaksanaan Good

Governance di Indonesia”. Jurnal

Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 1 (1),

89-98.

Jaenudin dan Chairunisa, F. (2015).

“Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Kinerja Pegawai

Negeri Sipil pada Sekretariat

Daerah Kabupaten Bulungan”.

Jurnal Administrasi Negara, 21

(2), 50-61.

Masyudi. (2005). “Kinerja Birokrasi

Pemerintah dalam Pelayanan

Kepada Publik”. Jurnal Aplikasi

Ilmu-Ilmu Agama, 6 (1), 47-66.

Nurbarani, M. (2009). “Reformasi

Birokrasi Pemerintah Kota

Surakarta”, Tesis pada Program

Studi Magister Ilmu Politik

Universitas Diponegoro Semarang.

Nurkolis. (2013). “Potret Birokrasi

Pendidikan di Indonesia”. Jurnal

Manajemen Pendidikan, 2 (1), 44-

55.

Paulus, R. D. (2013) “Implementasi

Kebijakan di Dinas Pendidikan

Kabupaten Minahasa”. Jurnal

Eksekutif, 1-14.

Rizal, M. F. (2011). “Analisis Kinerja

Aparatur Birokrasi (Studi pada

Sekretariat Daerah Kabupaten

Aceh Timur)”. Jurnal Administrasi

Publik, 1 (2), 112-129.

Safitri, S. (2016). “Sejarah

Perkembangan Otonomi Daerah di

Indonesia”. Jurnal Criksetra, 5 (9),

79-83.

Solichin, M. (2015). “Implementasi

Kebijakan Pendidikan dan Peran

Birokrasi”. Jurnal Studi Islam, 6

(2), 148-178.

Page 114: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Fahri

108

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah, terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

D. Dokumen

Martini, R. Sebuah Ide Tentang Birokrasi

Masa Depan.

Page 115: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

Hal. 109 - 118

109

1. PENDAHULUAN

Di dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar (UUD) Negara Republik

Indonesia (NRI) Tahun 1945 disebutkan

bahwa salah satu visi dibentuknya

Pemerintah Negara Indonesia adalah

untuk memajukan kesejahteraan umum.

Kesejahteraan umum atau konsep negara

yang sejahtera merupakan sebuah konsep

besar yang ingin dicapai oleh seluruh

negara yang ada di dunia.

Sebuah negara yang sejahtera tidak

akan pernah terwujud apabila tidak ada

pemerintah yang baik (good

government). Adapun good government

yang kemudian akan mendorong

terciptanya good governance (tata kelola

pemerintahan yang baik) tidak akan bisa

terlaksana apabila pegawai atau sumber

daya manusia (SDM) yang ada di

dalamnya bukan diisi oleh orang-orang

hebat dan dikendalikan secara baik. Hal

itu dibuktikan oleh Korea Selatan dan

Singapura, kedua negara tersebut mampu

untuk meningkatkan kesejahteraan bagi

masyarakatnya ketika pemerintahannya

diisi oleh SDM terbaik (Kim, 2010).

𝐀𝐝𝐢𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐬𝐚𝐧 𝐀𝐤𝐛𝐚𝐫 𝐍𝐨𝐨𝐫𝐬𝟏

SELEKSI JABATAN PIMPINAN TINGGI DI INDONESIA:

Sistem Merit yang Ter-infiltrasi Spoil System

Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri

[email protected]

Abstract

This paper tries to describe the application of a merit system infiltrated by the spoil

system as a result of the provisions stipulated in Article 112 - 115 of the ASN Law.

This happened because in the provision, Political Leader had the freedom to choose

Senior Officer from the 3 (three) large open selection results. Political Leader can

choose the winner of the selection regardless of the rank he gets. Therefore, the merit

system can still be defeated by the spoil system approach, such as proximity or other

political factors. The author tries to describe the problem by looking at the merit

principle in the United States and other principles presented by UNDP. Furthermore,

the author explained administrative ethics to better understand the importance of

policies decided based on ethical concepts so as to be able to generate trust and avoid

demoralization of the bureaucracy.

Keywords: merit system, spoil system, political factor.

1 Penulis adalah Analis Data pada Bagian Mutasi Biro Kepegawaian Setjen Kemendagri. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S2, dengan status PNS Tugas Belajar, di Magister Administrasi Publik

Fisipol UGM. Penulis mendapatkan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Page 116: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

110

SDM di dalam sebuah birokrasi

pemerintah merupakan salah satu

indikator yang menentukan kesuksesan

atau kegagalan suatu negara. SDM

menjadi unsur kekuatan daya saing

negara, oleh karena itu SDM sangat

mempengaruhi sejauh mana negara

mampu untuk mewujudkan segala

rencana strategisnya (Huselid, 1995;

Becker dan Gerhart, 1996).

Sehebat apapun visi, misi, program

dan kegiatan yang telah direncanakan,

maka tidak akan mampu untuk

terealisasikan apabila tidak didukung

oleh SDM yang handal dalam

pelaksanaannya. Pun dalam proses

perencanaan serta pembuatan visi, misi,

program dan kegiatan, tidak akan mampu

berjalan dengan baik apabila hal itu tidak

dilakukan oleh SDM yang memiliki

kompetensi tinggi. Sehingga tidak

berlebihan apabila Tjokrowinoto dalam

Sulistiyani (2010:90) berpendapat bahwa

posisi strategis birokrasi dalam

mewujudkan good governance

merupakan suatu condition sine qua non

bagi keberhasilan pembagunan.

Memiliki SDM yang

berkompetensi tinggi tidak akan serta

merta mampu menciptakan iklim

birokrasi yang baik. Iklim birokrasi yang

baik hanya dapat diciptakan ketika SDM

di dalam birokrasi pemerintah dikelola

dengan cara yang baik. Pengelolaan

SDM yang baik akan mendorong mereka

untuk mengeluarkan kemampuan

terbaiknya dalam bekerja.

Syarat utama seseorang mampu

menghasilkan kinerja yang baik adalah

dengan memiliki kemampuan (capacity

to perform), kemauan (willingness to

perform), dan kesempatan (opportunity

to perform) (Ivancevich, Konopaske, dan

Matteson dalam Busro (2018)).

Capacity to perform, willingness

to perform, dan opportunity to perform

yang ada dalam diri seorang pegawai

harus terus senantiasa dijaga agar mereka

tetap memiliki motivasi dalam

melaksanaan pekerjaannya. Oleh karena

itu perlu adanya pengelolaan SDM di

dalam sebuah organisasi. Pengelolaan

SDM lazim disebut dengan istilah

Manajemen SDM (MSDM). Menurut

Widhyharto (2011:117), MSDM adalah

sebuah proses pengaturan dan

pengurusan SDM berdasarkan visi

organisasi agar tujuan organisasi dapat

dicapai secara optimum.

Dewasa ini, fokus MSDM tidak

lagi sekedar melihat SDM sebagai objek

semata, yang berimplikasi pada

pengaturan SDM yang hanya

menggunakan pendekatan administrasi.

SDM mulai dipandang sebagai sesuatu

hal yang strategis sehingga pendekatan

itu disebut dengan Strategic Human

Resources Management.

Di dalam Strategic Human

Resources Management (SHRM),

manusia dinilai sebagai kunci sukses

dalam menjalankan organisasi dan

walaupun konsep ini berasal dari literatur

bisnis, konsep SHRM pun mulai

digunakan di dalam birokrasi pemerintah

(Tompkins, 2002). Pada intinya SHRM

merupakan kesesuaian antara rencana

strategis organisasi dengan SDM yang

dimilikinya. Hal itu seperti definisi yang

disampaikan oleh Dessler dalam

Widhyharto (2011:117), “Strategic

Human Resources Management is the

linking of Human Resource Management

with strategic role and objectives in order

to improve business performance and

develop organizational cultures and

foster innovation and flexibility.”

Page 117: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

111

MSDM birokrasi pemerintah yang

ada di Indonesia diatur melalui Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (UU ASN). UU

ASN merupakan UU baru yang

menggantikan UU Nomor 8 tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

sebagaimana telah diubah melalui UU

Nomor 43 tahun 1999. UU ASN

menawarkan sebuah perubahan besar

dalam paradigma MSDM birokrasi

Indonesia, dari paradigma rule-based

bureaucracy menuju ke dynamic

governance (KASN, 2018).

Melalui UU ASN, tata kelola

SDM atau Aparatur Sipil Negara (ASN)

dikelola melalui pendekatan sistem merit

dan secara tegas menolak spoil system.

Sehingga penekanan utama pengaturan

ASN didasarkan pada kinerja, tidak lagi

berdasarkan kedekatan atau faktor-faktor

spoil lainnya.

Merit system atau sistem merit

menurut Sulistiyani (2010:89)

merupakan sebuah proses perencanaan,

pengadaan, seleksi, penempatan,

pemberian kompensasi dan evaluasi

kepegawaian yang kebijakan, ketentuan

dan langkah-langkahnya harus

memperhatikan ketentuan kualifikasi

minimal, standar kompetensi serta

kinerja sehingga pada akhirnya terbentuk

profesionalitas.

Hal itu senada dengan apa yang

disebutkan dalam Pasal 1 angka 22 UU

ASN, sistem merit adalah kebijakan dan

manajemen ASN yang berdasarkan pada

kualifikasi, kompetensi, dan kinerja

secara adil dan wajar dengan tanpa

membedakan latar belakang politik, ras,

warna kulit, agama, asal usul, jenis

kelamin, status pernikahan, umur, atau

kondisi kecacatan.

Sistem merit bisa dikatakan

sebagai sebuah penjabaran lebih lanjut

dari pendekatan SHRM seperti yang

telah disebutkan di atas. Karena di dalam

sistem merit, pengelolaan SDM tidak lagi

bertumpu pada urusan administrasi.

SDM mulai di dorong untuk

menunjukan kinerjanya, karena segala

bentuk penilaian hanya di dasarkan pada

kualifikasi, kinerja, dan standar

kompetensi. Penekanan pada kualifikasi

minimal serta standar kompetensi

“memaksa” organisasi harus mampu

membuat rencana strateginya secara tepat

dan jelas. Karena tanpa adanya kejelasan

rencana strategi maka organisasi akan

kesulitan untuk menetapkan kualifikasi

minimal dan standar kompetensi bagi

SDM-nya (Tompkins, 2002).

Penerapan sistem merit berarti

mengikis faktor-faktor politis dan segala

faktor yang tidak bisa diukur secara

objektif, seperti kedekatan atau yang

semisalnya. Sehingga Prasojo dan Rudita

dalam KASN (2018) menyebutkan

beberapa perubahan mendasar dalam

manajemen ASN oleh UU ASN, yaitu

adanya perubahan dari pendekatan close-

career system yang sangat berorientasi

kepada senioritas dan kepangkatan,

menjadi open-career system yang

mengedepankan kompetisi dan

kompetensi ASN dalam promosi dan

pengisian jabatan. Sehingga kata kunci

dari penerapan sistem merit adalah

kinerja, kompetensi, terbuka, profesional,

dan terbebas dari faktor politis.

Salah satu bukti nyata dari

penerapan sistem merit melalui UU ASN

adalah diberlakukannya seleksi terbuka

bagi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi

(JPT), baik di level pusat maupun daerah

(Provinsi/Kabupaten/Kota). Hal itu

dilakukan berdasarkan amanat Pasal 108

s.d. 115 UU ASN. Akan tetapi ada satu

Page 118: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

112

celah yang berpotensi menghilangkan

unsur profesionalitas dan masuknya

pendekatan spoil system dalam proses

pengisian JPT, terutama dalam faktor

keterbukaan dan kompetisi yang harus

dikalahkan oleh hubungan emosional

kedekatan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 112

s.d. 115 UU ASN, seleksi terbuka yang

dilakukan oleh Panitia Seleksi akan

menghasilkan atau mengerucut pada 3

(tiga) nama terbaik peserta seleksi, lalu

pada akhirnya ketiga nama tersebut akan

dipilih satu oleh Pejabat Pembina

Kepegawaian (PPK) untuk kemudian

dilantik menjadi JPT. Ketentuan di atas

memberikan ruang bagi PPK untuk

memilih JPT sesuai dengan keinginannya

walaupun pilihannya itu tidak menduduki

peringkat pertama hasil seleksi.

Proses seleksi calon Direktur

Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda)

pada Kementerian Dalam Negeri

(Kemendagri) tahun 2015 merupakan

salah satu contoh kasus yang sempat

mendapatkan perhatian publik. Salah

satu peserta tes yaitu M Zeet Hamdy

Assovie mendapatkan nilai tertinggi dari

seluruh peserta setelah melalui beberapa

tahapan tes sesuai dengan pengumuman

resmi dari Kemendagri dengan nomor

05/PANSEL-JPTM/2015.

Akan tetapi dia tidak terpilih

menjadi Dirjen Otda, melainkan peserta

dengan nilai tertinggi ketiga yang justru

kemudian dilantik menjadi Dirjen Otda

(Antaranews, 2015).

M Zeet, seperti yang diberitakan

oleh Antaranews (2015), mengatakan

bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak

transparan dan belum mampu

menerapkan sistem merit walaupun telah

melalui seleksi secara terbuka.

M Zeet berkata, "Yang saya tahu,

dengan meritokrasi (bentuk

pemerintahan atau administrasi di mana

para pemimpin dipilih berdasarkan

prestasi atau kemampuan) sistem

menerapkan seleksi dengan sistem gugur,

dimana pada awalnya ada 68 orang yang

mengikuti tes, kemudian setelah

mengikuti tes berikutnya tinggal 32

orang, kemudian menjadi 16, menjadi 6

dan akhirnya tinggal tiga terbaik.

Alhamdulillah saya mendapatkan nilai

tertinggi dari tiga peserta tersebut,"

Tapi, pada kenyataannya, kata M

Zeet, Mendagri secara resmi melantik

Dirjen Otda, tanpa memberikan kejelasan

mengenai hasil seleksi tersebut. "Saya

bisa terima jika Mendagri atau panitia

seleksi bisa memberikan kejelasan

kepada peserta lainnya yang tidak

terpilih, apa yang menjadi kekurangan

atau kelebihan dari peserta. Namun,

sayangnya, tanpa ada informasi yang

jelas, tiba-tiba Dirjen Otda sudah dilantik

dan jelas ini saya nilai sangat tidak

transparan," katanya.

Kasus di atas merupakan bukti

nyata bahwa ketentuan yang ada dalam

Pasal 112 s.d. 115 UU ASN berpotensi

untuk mencederai sistem merit yang

ingin diterapkan melalui UU ASN.

Terlebih lagi sistem merit itu telah secara

jelas dinyatakan sebagai paradigma baru

dalam tata kelola ASN yang ada di

Indonesia. Maka artikel ini mencoba

untuk melakukan analisis terhadap

permasalahan tersebut dengan

mendeskripsikan lebih jauh berkenaan

dengan prinsip-prinsip yang ada dalam

sistem merit dan selanjutnya penulis

mencoba memberikan pandangan

permasalahan tersebut melalui sudut

pandang etika administrasi.

Page 119: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

113

Melalui penjelasan tersebut,

penulis berharap Komisi Aparatur Sipil

Negara (KASN), yang berdasarkan Pasal

25 ayat (2) huruf b UU ASN, memiliki

wewenang untuk melakukan monitoring

dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan

Manajemen ASN untuk menjamin

perwujudan Sistem Merit serta

pengawasan terhadap penerapan asas

serta kode etik dan kode perilaku ASN,

mampu untuk menyelesaikan

permasalahan ini dan meredam gejala

distrust yang kemungkinan besar akan

timbul dari kurang sempurnanya

penerapan sistem merit yang di atur

dalam UU ASN.

2. PEMBAHASAN

KASN sebagai lembaga yang

mendapatkan tugas untuk mengawasi dan

menjamin terlaksananya sistem merit di

Indonesia berada di dalam posisi yang

tidak ideal. Karena apabila ditinjau dari

segi ketentuan peraturan perundang-

undangan yang saat ini berlaku, maka

tugas KASN hanya memastikan setiap

lembaga, baik pusat maupun daerah

untuk melaksanakan seleksi terbuka

dalam proses pengisian JPT. Sehingga

sistem merit hanya dimaknai dalam

tahapan pelaksanaan seleksi terbuka lalu

memastikan seleksi tersebut

menghasilkan 3 (tiga) nama terbaik

untuk selanjutnya PPK (Presiden,

Pimpinan Kementerian/Lembaga Pusat,

Gubernur, Bupati, Walikota) memilih

satu diantara ketiga nama tersebut.

Berdasarkan Pasal 112, pengisian

JPT Utama dan Madya di tingkat pusat

dipilih oleh Presiden dari hasil 3 (tiga)

besar seleksi terbuka. Pengusulan ketiga

nama tersebut dilakukan oleh PPK.

Adapun untuk JPT Pratama tingkat pusat,

maka sesuai dengan Pasal 113, PPK

masing-masing instansi yang berhak

untuk memilih pemenangnya dari 3 (tiga)

besar seleksi terbuka.

Di dalam Pasal 114, pengisian JPT

Madya di Provinsi (posisi Sekretaris

Daerah) dipilih oleh Presiden melalui

Menteri Dalam Negeri, berdasarkan hasil

3 (tiga) besar seleksi terbuka yang

diusulkan oleh PPK Provinsi (Gubernur).

Gubernur selaku PPK di tingkat

Provinsi hanya berhak memilih

pemenang seleksi terbuka yang telah

mengerucut ke dalam 3 (tiga) besar untuk

JPT Pratama sesuai dengan Pasal 115.

Pada Pasal 115 ayat (5), Gubernur

mempunyai tugas tambahan untuk

memberikan "restu" pada

Bupati/Walikota ketika akan melantik

JPT Pratama hasil seleksi terbuka yang

akan menduduki posisi Sekretaris Daerah

di Kabupaten/Kota. Selain untuk posisi

Sekretaris Daerah, maka Bupati/Walikota

selaku PPK bisa langsung menentukan

pilihannya sesuai dengan 3 (tiga) besar

seleksi terbuka JPT Pratama.

Ketentuan yang mengakomodir

adanya "kebebasan" bagi PPK, yang

notabenenya diisi melalui mekanisme

politik, untuk memilih peserta seleksi

JPT yang tidak mendapatkan nilai

tertinggi sangat bertolak belakang

dengan sistem merit karena akan

mengikis profesionalisme.

Profesionalisme sejatinya merupakan

sebuah reduksi dari proses politik, sosial,

ekonomi dan budaya (Sulistiyani,

2010:91).

Adapun konsekuensi logis dari

penerapan ketentuan bolehnya PPK

memilih, maka hal itu membuka ruang

bagi PPK untuk menunjukan kekuasaan

politisnya terhadap JPT. Apalgi JPT

merupakan "bawahan" langsung dari

PPK. PPK akan memainkan faktor di

luar kinerja, kompetensi dan segala

Page 120: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

114

macam indikator objektif lainnya ketika

memutuskan untuk memilih JPT dari

orang yang hanya menduduki peringkat

kedua atau ketiga.

Di dalam fase pemilihan tersebut,

dalam konteks MSDM, maka hal itu

merupakan wujud kelonggaran dan

permakluman terhadap infiltrasi spoil

system (Sulistiyani, 2010).

Karir dan posisi jabatan Pegawai

ASN serupa dengan abdi dalem pada era

prakolonial, karena karir dan posisinya

tidak berlandaskan pada sistem merit,

tapi justru sangat tergantung pada

kecerdikan Pegawai ASN dalam

memelihara dan memanfaatkan

hubungan pribadinya dengan para

pemangku jabatan politis (Rozi, 2006).

Hal itu menunjukan bahwa prinsip yang

ada di dalam sistem merit tidak mungkin

masuk ke dalam spoil system, begitu

juga sebaliknya.

Amerika Serikat, sebagai salah

satu negara yang menegaskan

menggunakan sistem merit di dalam

kebijakan dan manajemen birokrasi

sesuai dengan Civil Service Reform Act

yang di proklamirkan pada tahun 1978

(Lah dan Perry, 2008), menyebutkan

setidaknya ada 9 (Sembilan) prinsip

sistem merit, yaitu

Melakukan rekrutmen, seleksi, dan

prioritas berdasarkan kompetisi yang

terbuka dan adil;

a) Memperlakukan Pegawai Aparatur

Sipil Negara secara adil dan setara;

b) Memberikan remunerasi yang setara

untuk pekerjaan-pekerjaan yang

setara dan menghargai kinerja yang

tinggi;

c) Menjaga standar yang tinggi untuk

integritas, perilaku, dan kepedulian

untuk kepentingan masyarakat;

d) Mengelola Pegawai Aparatur Sipil

Negara secara efektif dan efisien;

e) Mempertahankan atau memisahkan

Pegawai Aparatur Sipil Negara

berdasarkan kinerja yang dihasilkan;

f) Memberikan kesempatan untuk

mengembangkan kompetensi kepada

Pegawai Aparatur Sipil Negara;

g) Melindungi Pegawai Aparatur Sipil

Negara dari pengaruh-pengaruh

politik yang tidak pantas atau tidak

tepat;

h) Memberikan perlindungan kepada

Pegawai Aparatur Sipil Negara dari

hukum yang tidak adil dan tidak

terbuka. (KASN, 2018).

Adapun prinsip merit berdasarkan

United Nation Development Programme

dalam KASN (2018), terdiri dari :

a) Jobs at every level;

b) The best candidate;

c) Open to all;

d) Systematic, transparent, and

challengeable.

Berdasarkan prinsip-prinsip yang

telah disebutkan di atas, maka proses

seleksi terbuka untuk pengisian JPT

merupakan penjabaran dan bukti nyata

untuk menerapkan prinsip merit dalam

upaya menghasilkan kandidat terbaik

(the best candidate) melalui mekanisme

kompetisi yang adil dan transparan

berdasarkan kompetensi masing-masing

pegawai. Dan hal itu sangat jelas

bertolak belakang ketika dalam UU ASN

justu mengatur sebuah ketentuan yang

masih memberikan ruang bagi PPK

untuk bebas memilih peserta seleksi JPT

berapapun peringkat yang didapatkannya

(antara peringkat 1, 2, atau 3).

Karena pada hakikatnya ketentuan

tersebut melanggar prinsip untuk

menjauhkan para pegawai dari pengaruh

politik yang tidak pantas dan cenderung

Page 121: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

115

akan membuat sebuah hukum yang tidak

adil dan tidak terbuka.

Hal itu membuat ASN di

Indonesia tidak cukup hanya

mengandalkan kinerja dan

kompetensinya untuk bisa mendapatkan

sebuah jabatan. Mereka masih harus

mempunyai dan bertumpu pada faktor X

untuk bisa dipilih oleh PPK, dan faktor X

itu adalah sebuah faktor yang sangat

dekat dengan unsur spoil system.

Walaupun mereka mampu menunjukan

kinerja dan kompetensi yang baik untuk

mengisi suatu jabatan dan bahkan telah

mendapatkan peringkat pertama serta

mendapatkan nilai tertinggi untuk setiap

komponen tes yang disyaratkan, hal-hal

objektif itu masih belum cukup untuk

menjadikannya sebagai orang yang

terpilih.

Definsi sistem merit seperti yang

tercantum dalam Pasal 1 angka 22 UU

ASN, yang mengatakan bahwa kebijakan

dan manajemen ASN didasarkan pada

kualifikasi, kompetensi, dan kinerja

secara adil dan wajar dengan tanpa

membedakan latar belakang politik, ras,

warna kulit, agama, asal usul, jenis

kelamin, status pernikahan, umur, atau

kondisi kecacatan, adalah sebuah slogan

semata.

Faktanya pengertian umum

tersebut dianulir oleh ketentuan pada

Pasal 112 s.d. 115 UU ASN, karena bila

memang kebijakan dan manajemen ASN

itu hanya didasarkan pada kualifikasi,

kompetensi, dan kinerja, maka orang

yang berhasil menyelesaikan tahapan tes

dan mendapatkan nilai tertinggi adalah

orang yang paling layak untuk

mendapatkan sebuah jabatan.

KASN harus mampu menangkap

fenomena ini secara bijak karena gejala

atau fenomena ketidakpercayaan/distrust

terhadap sistem merit berdasarkan UU

ASN mulai muncul dari kalangan

internal birokrasi pemerintah Indonesia.

Hal itu terlihat dari pernyataan

salah satu mantan Kepala Badan

Kepegawaian Daerah Provinsi

Kalimantan Barart, Kartius, yang

menyebutkan aturan lelang jabatan

(seleksi terbuka) adalah sesuatu hal yang

percuma karena pada akhirnya semua

tergantung kepala daerah. Dia

mencontohkan kasus ketika pelaksanaan

seleksi terbuka Dirjen Otda Kemendagri,

seperti yang telah diuraikan pada

Pendahuluan di atas, bahwasanya M Zeet

(ketika itu masih menjabat sebagai

Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan

Barat) mendapatkan nilai tertinggi tapi

yang dilantik justru orang yang

mendapatkan peringkat 3. Kartius

kemudian mengatakan bahwa Open

bidding (seleksi terbuka) hanya sebuah

proyek bagi orang pusat (Suara Pemred

Kalbar, 2019).

Hal yang menarik dari pernyataan

Kartius di atas adalah, pernyataan

tersebut beliau berikan di tahun 2019

ketika diminta untuk berkomentar

terhadap hasil seleksi terbuka Sekretaris

Daerah (Sekda) Provinsi Kalimantan

Barat. Akan tetapi beliau kemudian

memberikan pernyataan bernada tidak

percaya pada proses seleksi terbuka

dengan langsung mengambil contoh pada

kasus yang terjadi pada tahun 2015.

Itu menandakan bahwa gejala

distrust pada sistem merit UU ASN

merupakan sebuah gejala yang telah

terpendam cukup lama dan kurang

mendapatkan perhatian yang cukup dari

KASN sebagai lembaga yang bertugas

untuk mengawal pelaksanaan sistem

merit di Indonesia.

Kepercayaan (trust) seringkali

menjadi sebuah kata yang dilupakan dan

tergusur oleh konsep legitimasi. Di

Page 122: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

116

dalam praktek demokrasi yang ada saat

ini, pemerintah sering kali mengabaikan

faktor kepercayaan karena telalu sibuk

untuk menjalankan amanat peraturan

perundang-undangan (Margono, 2010).

Pemerintah menganggap bahwa ketika

peraturan itu telah disahkan maka tugas

pemerintah hanya tinggal

melaksanakannya tanpa mau untuk

kembali melihat apakah peraturan

tersebut telah mampu untuk memenuhi

dan menumbuhkan kepercayaan publik

atau tidak.

Menumbuhkan dan mendapatkan

kepercayaan merupakan konsep dalam

etika administrasi. Menurut Margono

(2010:42), etika administrai adalah

pembuatan keputusan yang etis (Ethical

decision making).

Keputusan yang etis atau sebuah

keputusan yang dihasilkan dari konsep

etis dalam sebuah pembuatan keputusan

diharapkan mampu untuk mencapai

kepercayaan/trust (Margono, 2010). De

Walle, dkk, dalam Margono (2010:44),

merumuskan bahwa :

"administration's highest pupose is

to build the public trust that makes

democracy possible". Building

such, …rest on ensuring the

"legality, integrity, efficiency,

effectiveness, involvement,

dependability, transparency, and

fairness" of administrative

practice'

Sehingga bisa saja trust itu tidak

diindahkan dan tidak mendapatkan

perhatian yang cukup besar oleh para

pemangku kepentingan. Karena memang

sebuah peraturan perundang-undangan

akan tetap sah untuk dilakukan, akan

tetapi hal itu hanya akan membuat

semakin kokohnya orientasi pragmatisme

elit pada kekuasaan dan hal itu akan

mendorong terjadinya demoralisasi

birokrasi (Margono, 2010).

Etika adalah sebuah falsafah

berkenaan dengan moralitas beserta

persoalan-persoalan dan pembenaran-

pembenarannya (Kumorotomo, 2009:8).

Etika selalu berkaitan dengan moral,

karena memang etika adalah ilmu

pengetahuan tentang kesusilaan atau

moral. Adapun moral adalah hal-hal yang

mendorong manusia untuk melakukan

tindakan-tindakan yang baik sebagai

"kewajiban" atau "norma" (Kumorotomo,

2009:9).

Berdasarkan pengertian dasar

tersebut, maka konsep yang dirumuskan

oleh De Walle, dkk, bahwa tujuan utama

administrasi adalah mendapatkan

kepercayaan melalui keputusan yang

dihasilkan dari konsep etis sebagai

pengertian dari etika administrasi adalah

sebuah keniscayaan. Karena memang

sudah seharusnya setiap keputusan itu

tidak menyalahi moral yang berlaku

untuk akhirnya mampu menumbuhkan

kepercayaan dari masyarakat. Ketika

yang terjadi justru sebaliknya, maka

fenomena distrust akan muncul ke

permukaan.

Berkaitan dengan seleksi terbuka

JPT di Indonesia, maka secara moral

orang yang berhasil menduduki peringkat

pertama dengan mendapatkan nilai

terbaik adalah orang yang harus terpilih.

Dan ketika yang terjadi justru tidak

seperti itu, maka keputusan yang diambil

adalah sebuah keputusan yang tidak

berangkat dari konsep yang etis.

3. KESIMPULAN

Penerapan sistem merit di

Indonesia melalui UU ASN masih belum

sepenuhnya memenuhi prinsip sistem

merit. Kritik utama yang menyebabkan

Page 123: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

117

sistem merit di Indonesia belum optimal

adalah karena adanya ketentuan dalam

Pasal 112 s.d. 115 UU ASN.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,

pemilihan JPT tidak sepenuhnya melihat

kompetensi Pegawai ASN karena

Pegawai ASN yang mengikuti seleksi

terbuka dan berhasil menduduki

peringkat pertama masih bisa dikalahkan

oleh peringkat kedua dan ketiga hasil

seleksi tersebut.

Permasalahan di atas harus mampu

diselesaikan oleh KASN secara

komprehensif. Penulis merumuskan 2

(dua) strategi yang bisa dilakukan oleh

KASN untuk memperbaiki pelaksanaan

sistem merit di dalam Kebijakan dan

Manajemen Pegawai ASN di Indonesia.

Pertama, KASN harus berani

untuk mengajukan revisi UU ASN

sehingga penerapan sistem merit melalui

mekanisme seleksi terbuka bisa

diimplementasikan dengan baik. Revisi

itu harus langsung mengarah pada Pasal

108 s.d. 115 UU ASN.

Kedua, di dalam proses pengajuan

revisi UU ASN, khususnya revisi untuk

Pasal 108 s.d. 115 UU ASN, KASN pasti

akan menghadapi perlawanan dari

kalangan elit politik. Karena

penghilangan kekuasaan bagi PPK (yang

notabene merupakan sebuah jabatan

politik) akan dipandang sebagai sebuah

usaha mengurangi kewenangan jabatan

politik.

Oleh karena itu KASN harus

mampu membuat kajian akademik secara

mendalam terkait prinsip sistem merit

sesuai dengan teori yang ada serta

praktek yang telah dilakukan oleh negara

maju. Kajian akademik itu pun harus bisa

mengakomodir respon dari pegawai ASN

di Indonesia, sehinga setidak-tidaknya

kajian akademik sebagai pendukung

argumen KASN harus memuat :

a) Tingkat kepuasaan Pegawai ASN,

khususnya yang telah pernah ikut

dalam proses seleksi terbuka sehingga

mampu mendapatkan gambaran

sejauh mana pendapat Pegawai ASN

terkait pelaksanaan seleksi terbuka

yang telah dilakukan selama ini;

b) Listing nama-nama Pegawai ASN

yang berhasil mendapatkan atau

menduduki peringkat pertama seleksi

terbuka JPT akan tetapi tidak terpilih

untuk menduduki jabatan tersebut.

Data ini menjadi penting karena

merupakan indikator utama apakah

presentasi PPK tidak memilih

peringkat pertama hasil seleksi cukup

tinggi atau tidak;

c) Pendapat akademisi dan pejabat

birokrasi (pejabat pimpinan tinggi)

dalam merumuskan dan

mendefinisikan secara lengkap terkait

sistem merit dan prinsip yang ada di

dalamnya.

4. DAFTAR RUJUKAN

A. Buku

Busro, Dr. Muhammad. 2018. Teori-teori

Manajemen Sumber Daya

Manusia. Jakarta. Prenadamedia

Group.

Kumorotomo, Wahyudi. 2009. Etika

Administrasi Negara. Jakarta. PT

RajaGrafindo Persada.

Kim, Pan Suk. (Ed.) 2010. Civil Service

System and Civil Service Reform

in ASEAN Member Countries and

Korea. Seoul. Daeyoung

Moonhwasa Publishing Company.

Page 124: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Edisi Agustus 2019

Noors

118

Margono, Subando Agus. 2010.

Demoralisasi Birokrasi dan

Manipulasi Kebijakan Publik :

Telaah Pengembangan Kapasitas

untuk Mencermati Lemahnya

Governance. In Dr. Wahyudi

Kumorotomo dan Dr. Ambar

Widaningrum (Ed.). Reformasi

Aparatur Negara Ditinjau Kembali

(39-53). Yogyakarta. Gavamedia.

Rozi, Syafuan. 2006. Zaman Bergerak,

Birokrasi Dirombak : Potret

Birokrasi dan Politik di Indonesia.

Jakarta. Pustaka Pelajar.

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2010.

Meritokrasi dalam Sistem

Administrasi Negara Indonesia. In

Dr. Wahyudi Kumorotomo dan Dr.

Ambar Widaningrum (Ed.).

Reformasi Aparatur Negara

Ditinjau Kembali (84-95).

Yogyakarta. Gavamedia.

Widhyharto, Derajad S. 2011.

Permasalahan-permasalahan SDM

: Problem Serius Menuju Good

Governance. In Ambar Teguh

Sulistiyani (Ed.). Memahami Good

Governance : Dalam Persepektif

Sumber Daya Manusia, 109-129.

Yogyakarta. Gavamedia.

B. Jurnal

Becker, Brian dan Barry Gerhart. 1996.

The Impact of Human Resource

Management on Organizational

Performance : Progress and

Prospects. Academy of

Management Journal, 39(4):779-

801.

Huselid, Mark. 1995. The Impact of

Human Resource Management

Practice on Turnover,

Productivity, and Corporate

Financial Performance. Academy

of Managemnt Journal, 38(3) :

635-672.

Lah, T.J., dan Perry, James L. 2008. The

Diffusion of the Civil Service

Reform Act of 1978 in OECD

Countries : A Tale of Two Paths to

Reform. Review of Public

Personnel Administration Vol.

28(3), 282-299.

Tompkins, Jonathan. 2002. Strategic

Human Resource Management in

Government : Unresolved Issues.

Public Personnel Management. 31

(1):95-109.

C. Dokumen

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

2018. Pemetaan Penerapan Sistem

Merit dalam Manajemen Aparatur

Sipil Negara (ASN). Jakarta.

D. Internet

Antaranews. 2015. Seleksi Calon Dirjen

Otda Dinilai Tidak Transparan.

Diakses dari

https://kalbar.antaranews.com/berit

b/334548/seleksi-calon-dirjen-

otda-dinilai-tidak-transparan.

Suara Pemred Kalbar. 2019. Empat

Nama Bersaing Jadi Sekda.

Diakses dari

https://www.suarapemredkalbar.co

m/berita/ponticity/2019/02/27/emp

at-nama-bersaing-jadi-sekda.

Page 125: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Untuk bagian isi ditulis dalam 2

(dua) kolom

1. PENDAHULUAN (Cetak

tebal)

Pendahuluan mencakup

latar belakang atau isu atas

permasalahan serta urgensi dan

rasionalisasi kegiatan (penelitian

atau pengabdian). Tujuan kegiatan

dan rencana pemecahan masalah

disajikan dalam bagian ini.

1. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Riset)

JUDUL

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)

Penulis1

Penulis2

dst.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak

boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja

dan penulisan nama tanpa

menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis

1)

e-mail Penulis1

Nama Instansi (Penulis2)

e-mail Penulis1

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja

untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak

boleh disingkat)

Abstract/ Abstrak

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah dan maksimal 12 kata)

Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang

tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang

menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis

dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak berisikan isu-isu pokok,

tujuan penelitian, metoda/ pendekatan dan hasil penelitian. Abstract/

Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan

rata kiri-kanan dan spasi tunggal)

Keywords/ Kata kunci: Maksimal 5 (lima) kata kunci, dipisahkan dengan

tanda koma.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan

dan cetak miring)

Page 126: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Tinjauan pustaka yang relevan dan

pengembangan hipotesis (jika ada)

dimasukan di dalam bagian ini.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

2. KAJIAN LITERATUR DAN

PENGEMBANGAN

HIPOTESIS (JIKA ADA)

(Cetak tebal)

Bagian ini berisi kajian

literatur yang dijadikan sebagai

penunjang konsep penelitian.

Kajian literatur tidak terbatas pada

teori saja, tetapi juga bukti-bukti

empiris. Hipotesis penelitian (jika

ada) harus dibangun dari konsep

teori dan didukung oleh kajian

empiris (penelitian sebelumnya).

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

3. METODE PENELITIAN

(Cetak tebal)

Metode penelitian

menjelaskan rancangan kegiatan,

ruang lingkup atau objek, bahan

dan alat utama, tempat, teknik

pengumpulan data, definisi

operasional variabel penelitian dan

teknik analisis. (Jenis tulisan

Times New Roman, ukuran 11,

posisi tulisan rata kiri-kanan, spasi

tunggal dan alinea pertama

menjorok ke dalam 4 (empat)

ketukan).

4. HASIL DAN

PEMBAHASAN (Cetak tebal)

Bagian ini menyajikan hasil

penelitian. Di dalam ini dapat

dilengkapi dengan tabel, grafik

(gambar) dan/ atau bagan. Bagian

pembahasan memaparkan hasil

pengolahan data,

menginterpretasikan penemuan

secara logis, mengaitkan dengan

sumber rujukan yang relevan.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

5. KESIMPULAN (Cetak tebal)

Kesimpulan berisi

rangkuman singkat atas hasil

penelitian dan pembahasan serta

dapat pula diberikan suatu

rekomendasi atau saran. (Jenis

tulisan Times New Roman, ukuran

11, posisi tulisan rata kiri-kanan,

spasi tunggal dan alinea pertama

menjorok ke dalam 4 (empat)

ketukan).

6. REFERENSI (Cetak tebal)

Penulisan naskah dan sitasi

yang diacu dalam naskah ini

disarankan menngunakan aplikasi

referensi (reference manager),

seperti Mendeley, Zotero,

Reffwork, Endnote dan lain-lain.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

Page 127: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Untuk bagian isi ditulis dalam 2

(dua) kolom

1. PENDAHULUAN (Cetak

tebal)

Pendahuluan memuat hal

pokok, yaitu: 1) Latar belakang

atau acuan permasalahan; 2) Hal-

hal menarik yang belum tuntas; 3)

Perkembangan baru; dan 4) Tujuan

2. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Non-Riset)

JUDUL

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)

Penulis1

Penulis2

dst.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak

boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja

dan penulisan nama tanpa

menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis

1)

e-mail Penulis1

Nama Instansi (Penulis2)

e-mail Penulis1

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja

untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak

boleh disingkat)

Abstract/ Abstrak

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah dan maksimal 12 kata)

Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang

tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang

menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis

dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak memuat: (a) Tujuan

penelitian; (b) Isu-isu pokok; dan (c) Alternatif pemecahan. Abstract/

Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan

rata kiri-kanan dan spasi tunggal)

Keywords/ Kata kunci: Antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) kata kunci,

dipisahkan dengan tanda koma.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan

dan cetak miring)

Page 128: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

penelitian. Semua referensi yang

dirujuk secara tidak langsung

ditulis dengan cara (Nama,

Tahun), sedangkan yang dikutip

secara langsung ditulis dengan

cara (Nama, Tahun:Halaman).

Pendahuluan diharapkan maksimal

20% dari keseluruhan artikel.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

2. PEMBAHASAN (Cetak tebal)

Paparan pada pembahasan

dapat dibagi menjadi beberapa sub

judul. Pembahasan berupa kupasan

yang sifatnya analitik,

argumentatif, logis dan kritis. Isi

pembahasan adalah cermin dari

pendirian/ sikap Penulis terhadap

permasalahan yang menjadi fokus

tulisan. Semua referensi yang

dirujuk secara tidak langsung

ditulis dengan cara (Nama,

Tahun), sedangkan yang dikutip

secara langsung ditulis dengan

cara (Nama, Tahun:Halaman).

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

3. KESIMPULAN (Cetak tebal)

Kesimpulan dibuat dalam

paragraf pendek yang memuat

tentang penegasan pendirian

Penulis dan saran-saran.

Kesimpulan ditulis maksimal 10%

dari keseluruhan isi artikel. (Jenis

tulisan Times New Roman, ukuran

11, posisi tulisan rata kiri-kanan,

spasi tunggal dan alinea pertama

menjorok ke dalam 4 (empat)

ketukan).

4. DAFTAR RUJUKAN (Cetak

tebal)

Semua rujukan yang dimuat

dalam paparan artikel harus

dicantumkan pada daftar rujukan.

Sumber yang dirujuk sedapat

mungkin (minimal 80%)

merupakan rujukan-rujukan

terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan

yang diutamakan adalah sumber-

sumber primer berupa laporan

penelitian (termasuk skripsi, tesis

dan disertasi) atau artikel-artikel

penelitian dalam jurnal atau

majalah ilmiah. Penulisan naskah

dan sitasi yang diacu dalam naskah

ini disarankan menngunakan

aplikasi referensi (reference

manager), seperti Mendeley,

Zotero, Reffwork, Endnote dan

lain-lain. (Jenis tulisan Times New

Roman, ukuran 11, posisi tulisan

rata kiri-kanan, spasi tunggal dan

alinea pertama menjorok ke dalam

4 (empat) ketukan).

Page 129: ppsdmregbandung.kemendagri.go.idppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/... · JURNAL KEDIKLATAN PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG US KEMENTERIAN DALAM

Redaksi: KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG Jalan Kiara Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang, Telepon (022) 87835007, Fax (022) 87835008

Jalan Sukajadi Nomor 185 Bandung 40162, Telepon/ Fax (022) 2031435 Website www.ppsdmregbandung.kemendagri.go.id, E mail [email protected]

E mail Jurnal: [email protected]

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

REGIONAL BANDUNG