issn 1410-7821, volume 3, no. 3, 2001 terhadap 80 rumah tangga nelayan. untuk melihat kuantitas...

60

Upload: trinhnguyet

Post on 04-Aug-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ISSN 1410-7821, Volume 3, No. 3, 2001Pemimpin Redaksi(Editor-in-Chief)

Dietriech G. Bengen

Dewan Redaksi(Editorial Board)Rokhmin DahuriIan M. Dutton

Richardus F. KaswadjiJacub Rais

Chou Loke MingDarmawan

Neviaty P. Zamani

Konsultan Redaksi(Consulting Editors)

Herman Haeruman Js.Anugerah Nontji

Aprilani SoegiartoIrwandi Idris

Sapta Putra GintingTridoyo Kusumastanto

Chairul MulukEffendy A. Sumardja

Iwan GunawanDaniel Mohammad Rosyid

Rilly DjohaniJanny D. Kusen

J. WennoNatsir Nessa

Sekretaris Redaksi( Editorial Secretary)

Achmad Rizal

Desain Grafis(Graphic Designer)

Pasus LegowoPepen S. Abdullah

Alamat Redaksi(Editorial Address)

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan(Center for Coastal and Marine Resources Studies)

Gedung Marine Center Lt. 4, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPBKampus IPB Darmaga Bogor 16680 INDONESIA

Tel/Fax. 62-251-621086, Tel. 62-251-626380e-mail: [email protected]; [email protected]

Halaman muka (cover): Sunset on the famous waterfront of Makassar (Losari Beach)celebrating Indonesia’s Independence Day (17 August 2000)

(Photo: Dietriech G. Bengen, 2000)

1

KAJIAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN NELAYANPADA MUSIM TIMUR DAN MUSIM BARAT KAITANNYA

DENGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR

CARLA TH. KARUBABABadan Perencanaan Pembangunan Daerah Tk II Biak Numfor

DIETRIECH G. BENGENPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor

e-mail:[email protected]

VICTOR P. H. NIKIJULUWDirektorat Jenderal Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil

Departemen Kelautan dan Perikanan RI

ABSTRAK

Penelitian yang dilakukan di Kepulauan Padaido, Kecamatan Padaido, Kabupaten Biak Numfor ini bertujuanuntuk mengetahui hubungan antara pemenuhan kebutuhan pangan nelayan dengan intensitas pemanfaatansumberdaya pesisir pada musim Timur dan musim Barat, serta implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya

pesisir di Kepulauan Padaido. Data intensitas pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan pangan diperoleh dari wawancarakuesioner terhadap 80 rumah tangga nelayan. Untuk melihat kuantitas pangan dan pengeluaran pangan antar musimTimur dan musim Barat diukur dengan Uji-t pengamatan berpasangan. Analisis Faktorial Diskriminan digunakan untukmenguji apakah terdapat perbedaan nyata antar grup serta mendeterminasi variabel-variabel yang palingmengkarakteristikkan perbedaan-perbedaan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada musim Timur, jumlah jenis alat tangkap berkorelasi erat denganpemenuhan kebutuhan pangan bila dibandingkan dengan musim Barat. Di musim Timur variabel-variabel intensitaspemanfaatan, seperti jarak melaut, lama melaut, frekuensi melaut dan variasi pemanfaatan berkorelasi erat denganvariabel pemenuhan kebutuhan pangan.Kata-kata kunci : kebutuhan pangan, nelayan, kepulauan Padaido, musim timur, musim barat, intensitas

pemanfaatan.

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

ABSTRACT

The Padaido Islands, a district of Biak-Numfor Regency, is the area of this study. The objectives of the study were tounderstand relationships between food consumption and intensity of coastal resource use during the two differentmoonson periods, and to derive implication for the management of the islands. Interviews were performed tocollect data from 80 households, in addition secondary information was collected from various sources. The datawere analyzed by using student test of paired observations and factorial discriminant analysis.

The results of the study indicate that type of fishing technologies was highly positively correlated with foodprocurement at the east moonson. Also, during the east moonson, resource use intensity was higher as shown bydistance of fishing ground, time spent fishing, and number of fishing trips.Keywords : food necessity, fishermans, Padaido Island, east moonson, west moonson, utilisation intensity.

PENDAHULUANSekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di

sekitar wilayah pesisir, dimana banyak pusatpemukiman berkembang di wilayah ini.Sementara itu, kondisi kesejahteraan masyarakatpesisir termasuk kategori miskin. Hal ini menjadisangat ironis mengingat wilayah pesisir dan laut

memiliki potensi sumberdaya alam yang besar.Fenomena ini hanya dapat diselesaikan denganjalan membangun wilayah pesisir dan laut secaraoptimal, sehingga pemanfaatan sumberdaya alamyang terkandung di dalamnya dapat dilakukansecara berkelanjutan dan sekaligus dapatmeningkatkan barang dan jasa, dengan tetap

2

memperhatikan kesejahteraan masyarakat pesisir.Dengan kata lain, pembangunan wilayah pesisirdan laut harus dapat dilakukan tanpa meninggalkanpertimbangan terhadap keadaan sosial ekonomibudaya masyarakat setempat/sekitar pesisir.

Berdasarkan laporan akhir survei perikanandan sosial ekonomi di Marine and CoastalManagement Area (MCMA) Biak Numfor,sebagai hasil kerjasama antara Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitiandan Pengembangan Perikanan, dan Marine Re-sources Evaluation Project (MREP)Bakosurtanal, dinyatakan bahwa penangkapanikan tidak dilakukan sepanjang tahun, tetapitergantung dari kondisi dan situasi perairansetempat, terutama yang dilakukan pada saatmusim melaut. Dari hasil wawancara diperolehinformasi bahwa ombak besar terjadi paling lamatiga bulan dalam setahun yaitu pada saat musimBarat (Desember-Februari). Hasil surveimenemukan juga bahwa infrastruktur masih sangatterbatas dan masih belum bisa menunjang danmemenuhi kebutuhan nelayan. Selain itu, menurutlaporan akhir studi sosial ekonomi, budaya danlingkungan proyek MREP kawasan MCMA BiakNumfor, kerjasama PSL- UNPATTI dan DitjenBangda, bahwa kondisi terumbu karang banyakmengalami kerusakan dan persentase penutupan-nya semakin menurun.

Dari hasil laporan di atas dapat dibuathipotesa bahwa pada musim Timur, masyarakatnelayan akan menjual sebagian hasil tangkapan

ikannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,dan sebagian lagi akan disimpan untuk memenuhikebutuhannya pada musim Barat. Apabila hargajual tidak mencukupi kebutuhan yang harusdipenuhi maka untuk mendapatkan hasil yangcukup, masyarakat akan mengeksploitasi sumber-daya perikanan dan pesisir secara berlebihandengan cara merusak lingkungan dan menggunakanbahan peledak. Hal ini dapat mengancam kelesta-rian sumberdaya pesisir.

Bertitik tolak dari permasalahan yang ada,penelitian ini bertujuan untuk :1. Mengetahui hubungan antara pemenuhan

kebutuhan nelayan dengan intensitas peman-faatan sumberdaya pesisir pada musim Timurdan musim Barat.

2. Merumuskan implikasi pengelolaan wilayahpesisir di Kepulauan Padaido.

METODOLOGIPenelitian ini merupakan studi kasus di

Kepulauan Padaido, Kecamatan Padaido,Kabupaten Biak Numfor (Gambar 1), dimanapenentuan lokasi penelitian dilakukan secara pur-posive, dengan pertimbangan bahwa lokasitersebut merupakan desa nelayan dengankepadatan penduduk yang tinggi. Penelitian inidilaksanakan selama 3 bulan, dimulai pada bulanMaret hingga Mei 1999.

Data yang dikumpulkan berupa data primermelalui survei lapangan dan data sekunder. Dataprimer meliputi:

Kajian pemenuhan kebutuhan.......(1-13)

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

3

a) Data pendapatan dan pengeluaran, terdiri dari :- Pendapatan keluarga- Pengeluaran keluarga

b) Data intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan,terdiri dari :- Jarak melaut- Lamanya melaut (waktu)- Berapa kali dalam sehari pergi melaut

(frekuensi)- Jumlah jenis alat tangkap yang digunakan- Variasi pemanfaatan pada musim melaut

dan musim paceklikc) Data pemenuhan kebutuhan pangan yang

dihitung dalam jumlah dan rupiah, terdiri dari:- Pangan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota

keluarga- Frekuensi mengkonsumsi pangan dalam

sehari- Jenis pangan yang dikonsumsi- Asal dan cara memperolehnya

Sampel yang diambil adalah keluarganelayan yang terdiri dari kepala keluarga besertakeluarga (isteri, anak), dimana mereka tinggalbersama dalam satu rumah dan memiliki satudapur.

Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 10keluarga nelayan tiap desa, dimana satu desadiambil dari tiap satu pulau. Desa sampel adalahdesa yang terbanyak penduduknya.

Di Kepulauan Padaido, Kecamatan Padaido,terdapat delapan pulau yang berpenghuni sehinggaada delapan desa yang diambil. Delapan desatersebut adalah Auki, Wundi, Nusi, Pai, Sasari,Mbromsi, Pasi dan Miosmangwandi (Tabel 1).Dengan demikian jumlah seluruh sampel yangterambil adalah sebanyak 80 keluarga nelayan.

Untuk mengolah dan menganalisa data yangdiperoleh, dilakukan perhitungan sebagai berikut :

A. PenerimaanPenerimaan keluarga nelayan merupakan

perkalian antara produksi yang diperoleh denganharga jual, kemudian dikurangi biaya yangdikeluarkan untuk proses produksi, sebagaiberikut (Soekartawi, 1995):

dimana :TPB = Total Penerimaan BersihY

i= Produksi yang diperoleh dalam

suatu usaha perikananP

i= Harga Y

Ci

= Pengeluaran

B. PengeluaranData mengenai pengeluaran keluarga

diperoleh dari besarnya pengeluaran berdasarkanjumlah anggota keluarga yang menjadi bebantanggungan kepala keluarga, dengan definisikeluarga adalah mereka yang tinggal bersamadalam satu rumah dan memiliki satu dapur.

Pengeluaran masyarakat di KepulauanPadaido berupa pengeluaran untuk membelibahan-bahan pokok makanan seperti beras, sagudan umbi-umbian. Selain itu, pengeluaran baginelayan yang mempunyai motor tempel dan mesinparut kelapa, adalah pengeluaran untuk membelibahan bakar.

C. Kuantitas dan Pengeluaran Konsumsi Pangan

Data pemenuhan kebutuhan dihitung dalamjumlah (misalnya : kg) dan dalam rupiah, sehinggaada 5 variabel pemenuhan kebutuhan, yakni : a.Jumlah (kg) ikan; b. Jumlah (kg) beras, sagu danumbi-umbian; c. Nilai ikan (rupiah); d. Nilaiberas, sagu dan umbi-umbian (rupiah); e. Besarpengeluaran per kapita (Tabel 2).

Nilai (kg) tidak dijumlahkan karena ingindibedakan antara sumber protein dan sumberkarbohidrat.

Beda kuantitas dan pengeluaran (rupiah)pangan antar musim Timur dan musim Barat diukurdengan pengamatan berpasangan sebagai berikut(Walpole, 1997):

dimana:t

p: Uji t pengamatan berpasangan

XMi

: Pengeluaran / kuantitas pemenuhankebutuhan responden pada musim Timur

XPi

: Pengeluaran / kuantitas pemenuhan kebutuhan responden pada musim Barat

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

i i i

s

4

Kajian pemenuhan kebutuhan.......(1-13)

Tab

el 1

. N

ama-

nam

a pu

lau

yang

ber

peng

huni

dan

nam

a-na

ma

desa

di K

epul

auan

Pad

aido

Nam

a pu

lau

Ow

i *

Auk

i

Wun

di

Nus

i

Pai

Pad

aido

ri

Bro

msi

Pas

i

Mio

sman

gwan

di

Jum

lah

Spes

ifik

asi

Pul

au

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lu

as(k

m2)

13

34,1

11,2

3

13,7

6

10,4

7

17,4

4

20,9

3

14,2

14,2

4

149,

37

Jum

lah

pen

du

du

k

663

241

334

552

385

483

783

515

256

4,21

2

Kep

adat

an

51 7 30 40 37 28 37 36 18

28**

Nam

a de

sa d

ida

lam

pul

au

Ow

i

Sar

aeji

Auk

i

Wun

di

Nus

i

Nus

i Bab

aruk

Pai

Pad

aido

ri

Sas

ari

Mbr

omsi

Kar

abai

Sar

ibra

Pas

i

Sam

ber

Pas

i

Mio

sman

gwan

di

Sp

esif

ikas

i D

esa

Lua

s de

sa(k

m2)

6 7

34,1

11,2

3

6,49

7,27

10,4

7

6,99

10,4

5

7,9

6,81

6,22

7,51

6,69

14,2

4

149,

37

Jum

lah

pen

du

du

k

294

369

241

334

331

221

385

198

285

326

241

216

351

164

256

4,21

2

No.

Kep

adat

anP

end

ud

uk

49

52,7 7 30 51 30 37 41 27 41 35 35 47 24 18

28**

Mat

a pe

ncah

aria

n

- - Pen

graj

in lo

gam

(pa

ndai

bes

i).

Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gasa

p ik

an,

peng

olah

min

yak

kela

pa.

Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gasa

p ik

an.

- Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gasa

p ik

an.

- Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gasa

p ik

an.

Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

angk

ap t

erip

ang,

pen

gasa

p ik

an.

- Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gola

h m

inya

k ke

lapa

.

Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gola

h m

inya

k ke

lapa

.

Nel

ayan

, pe

tani

kel

apa,

pen

gasa

p ik

an.

- -

Kete

rang

an :

* m

asuk

ke

dala

m w

ilaya

h ad

min

istr

atif

Keca

mat

an B

iak

Tim

ur,

** r

ata-

rata

5

E. Perbedaan Musim Timur dan Musim Barat

Untuk menguji perbedaan antara musimTimur dan musim Barat yang ditentukan olehvariabel pendapatan, intensitas pemanfaatan danpemenuhan kebutuhan digunakan AnalisisFaktorial Diskriminan (Legendre dan Legendre,1983; Bengen, 1998).

Analisis Faktorial Diskriminan digunakanuntuk menguji apakah terdapat perbedaan nyataantar grup serta mendeterminasi variabel-variabelyang paling mengkarakteristikkan perbedaan-perbedaan. Dengan musim Timur dan musim Baratsebagai grup, banyaknya kepala keluarga (KK)tiap pulau sebagai observasi per grup, dimanapada setiap observasi diukur variabel-variabelpendapatan, intensitas pemanfaatan, danpemenuhan kebutuhan, maka Analisis FaktorialDiskriminan dilakukan pada data sebagaimanayang disajikan pada Tabel 4 (Bengen, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Intensitas Pemanfaatan1. Jarak melaut

Jangkauan usaha penangkapan ikan terbatasdi perairan yang tidak begitu jauh dari pulautempat tinggal nelayan, berkisar antara 350 - 400 mdari tepi pantai pada musim Timur dan pada musim

skt

: Simpangan baku beda antarapengeluaran musim Timur dan musim Barat

n : Jumlah responden

Dengan hipotesa:H0 : XM - XP < 0 atau XM < XP

H1 : XM - XP > 0 atau XM > XP

Dengan kriteria keputusan:

D. Intensitas Pemanfaatan dan Pemenuhan Kebutuhan

Data jarak melaut, lamanya melaut, frekuensimelaut, dan alat tangkap yang digunakandikemukakan secara deskriptif. Demikian puladata jumlah pangan yang dikonsumsi, frekuensipangan yang dikonsumsi dalam sehari, jenispangan yang dikonsumsi, dan darimana memper-olehnya dikemukakan secara deskriptif.

Penggunaan metode kuantitatif bertujuanuntuk melihat hubungan antara pemenuhankebutuhan dan intensitas pemanfaatan dengananalisis korelasi.

Terdapat 5 variabel pemenuhan kebutuhan(Tabel 2) dan 5 variabel intensitas pemanfaatan,yang dianalisis hubungannya berdasarkan koefisienkorelasi parsial contoh r

Y2.1, (Tabel 3).

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

Tabel 3. Korelasi antara intensitas pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan

Pemenuhan Kebutuhan Intensitas Pemanfaatan1 2 3 4 5

1. Ikan (kg)2. Beras, sagu & umbi-umbian (kg)3. Nilai ikan4. Nilai beras, sagu & umbi-umbian5. Nilai ikan, beras, sagu & umbi-umbian

r11 r12 r13 r14 r15

r21 . . . .r31 . . . .r41 . . . .r51 r52 . . r55

Keterangan :1 = jarak melaut (meter)2 = lamanya melaut (jam)3 = frekuensi melaut (banyak melaut/bulan)

4 = jumlah alat tangkap yang digunakan (unit)5 = variasi pemanfaatan (banyaknya jenis kegiatan yang dilakukan)

1. tp > t (n1 + n2 - 2)

: Tolak H0

2. tp < t (n1 + n2 - 2)

: Terima H0

Tabel 2. Variabel Pemenuhan Kebutuhan

Pemenuhan Kebutuhan Ikan Beras, sagu danumbi-umbian

Total

bd

-e

Jumlah (Kg)Nilai (rupiah)

ac

6

Kajian pemenuhan kebutuhan.......(1-13)

Tabel 4. Matrik data yang diolah dengan Analisis Faktorial Diskriminan

Observasi (responden) VariabelX

1X

2X

3

G r u p

123..n1

123..n2

X11 X21 X31

. . .

. . .

. . .

. . .Xn1 Xn2 Xn3

X11 X21 X31

. . .

. . .

. . .

. . .Xn1 Xn2 Xn3

1111 Grup : G1

11

2222 Grup : G2

22

Keterangan :X1 : Pendapatan per kapitaX2 : Intensitas Pemanfaatan, dengan variabel-variabel :

(1) jarak melaut, (2) lama melaut, (3) frekuensi melaut,(4) jumlah jenis alat tangkap, dan (5) variasi pemanfaatan.

X3 : Pemenuhan kebutuhan, dengan variabel-variabel : (1) Ikan(kg), (2) beras, sagu dan umbi-umbian (kg), (3) ikan (Rp), (4)beras, sagu dan umbi-umbian (Rp), dan (5) total

G1 : Musim TimurG2 : Musim Baratn1 : Banyaknya observasi pada grup 1.n2 : Banyaknya observasi pada grup 2.

Barat sekitar 100 - 200 m. Hal ini dipengaruhioleh kondisi daerah paparan benua yang relatifsempit dan sarana penangkapan ikan umumnyamasih sangat sederhana serta masih bersifattradisional (hasil survei perikanan dan sosialekonomi di MCMA Biak Numfor Irian Jaya).Alasan lain, yaitu bahwa kehidupan masyarakatdi Kepulauan Padaido masih bersifat subsistem,dimana nelayan menangkap ikan sebagian besarhanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsinyasendiri. Untuk Pulau Pasi dan Bromsi bisa dikatakansemi komersil, karena sebagian besar hasilpenangkapan ikannya untuk dijual.

2. Lama melautPada musim Timur, umumnya masyarakat

nelayan melakukan penangkapan ikan selamakurang lebih 7 jam. Khusus untuk Pulau Pasi danBromsi, nelayan menggunakan perahu motortempel untuk mengangkut perahu-perahu dayungberukuran kecil (sekitar 6 - 8 buah), sampai kedaerah penangkapan yang umumnya dekat pulau-pulau sekitarnya. Kemudian perahu-perahu kecilmulai melakukan penangkapan di sekitar perahuinduk. Setelah kembali hasil masing-masing dijualdengan harga Rp. 1.200,-/kg, Rp. 1.300,-/kg, danRp. 1.500,-/kg tergantung kelompok masing-masing.

Para nelayan pembuat ikan asar atau ikanasin, waktu penangkapan ikannya berkisar antara2 - 3 jam. Umumnya mereka akan menginapselama kurang lebih 3 hari di pulau-pulau terdekatyang tidak berpenghuni. Pada musim Barat,nelayan tetap melakukan kegiatan penangkapanikan 1 - 2 jam, dimana hasilnya untuk dikonsumsisendiri.

3. Frekuensi melautUmumnya masyarakat nelayan di Kepulauan

Padaido melakukan penangkapan ikan tergantungpada cuaca. Pada musim Timur penangkapan ikandilakukan hampir setiap hari. Khusus Pulau Pasidan Bromsi yang termasuk dalam kelompok coolbox, usaha penangkapan ikan dilakukan setiap hariselama 3 - 4 hari (hasilnya 10 -15 kg/orang);sehingga dalam satu bulan rata-rata terdapat 15hari laut. Nelayan yang mengolah ikan asar ataumelakukan pengasapan ikan juga melakukanpenangkapan ikan setiap hari dengan menginapselama 3 hari di pulau-pulau yang dekat dengantempat tinggalnya, dimana dalam satu bulanterdapat 15 hari laut sama dengan rata-ratakelompok cool box.

Pada musim Barat, nelayan melakukan usahapenangkapan ikan hanya untuk memenuhi

7

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jadi dalam satubulan rata-rata terdapat 5 - 6 hari laut baik yangdilakukan oleh kelompok cool box maupun bukan.

4. Jumlah jenis alat tangkapAlat tangkap yang dominan dimiliki hampir

setiap nelayan adalah pancing ulur. Nelayan diPulau Pasi dan Bromsi menggunakan pancingberukuran besar untuk perairan dalam, sedangkan6 pulau lainnya menggunakan pancing berukurankecil. Pada musim Barat, rata-rata nelayanresponden menggunakan satu jenis alat tangkap,yaitu pancing ulur.

B. Pemenuhan Kebutuhan PanganPada Tabel 5, terlihat bahwa untuk memenuhi

bahan pangan ikan pada musim Timur maupunmusim Barat tidak terpengaruh oleh musim, yaitusebanyak ± 55,95 kg/bulan; sedangkan pemenuh-an kebutuhan beras, sagu dan umbi-umbianmengalami penurunan dari 60,72 kg/bulanmenjadi 32,85 kg/bulan. Hal ini disebabkan sagu,beras dan umbi-umbian diperoleh dari Bosnikatau Biak Kota.

Hasil pengamatan berpasangan pada tarafnyata ( = 0,5), tidak menunjukkan perbedaannyata antara jumlah ikan yang dikonsumsi padamusim Timur dan musim Barat Tabel 6. Tetapikonsumsi bahan pangan beras, sagu dan umbi-

umbian memperlihatkan perbedaan nyata ( = 0,5)dimana konsumsi pada musim Timur lebih banyakdibandingkan pada musim Barat Tabel 6.

Nilai pangan ikan mempunyai pola yangsama dengan jumlah pangan ikan, karena sesuaidengan penjelasan di atas, bahwa jumlah ikanyang dikonsumsi adalah sama, baik di musimTimur maupun di musim Barat; sedangkan nilaipengeluaran yang digunakan untuk membeli beras,sagu, dan umbi-umbian berbeda nyata ( = 0,5)pada kedua musim.

C. Intensitas Pemanfaatan dan Pemenuhan Kebutuhan Pangan

Hubungan antara intensitas pemanfaatan danpemenuhan kebutuhan pangan pada musim Timurdan musim Barat dapat dilihat pada Tabel 7. Padamusim Timur tidak terdapat korelasi antara jarakmelaut dengan jumlah (banyaknya) dan pengeluar-an (biaya) dari beras, sagu dan umbi-umbian; sertatotal pengeluaran. Variabel jumlah jenis alattangkap yang digunakan berkorelasi lebih eratdengan pemenuhan kebutuhan pangan (banyaknyadan pengeluaran dari ikan, beras, sagu dan umbi-umbian). Hal ini disebabkan pada musim Timurada beberapa jenis alat tangkap yang digunakan,seperti pancing ulur, gillnet dasar monofilamendan purse seine mini, sehingga hasil tangkapanikan lebih banyak dan bervariasi.

Tabel 5. Jumlah dan nilai rata-rata jenis kebutuhan pangan pada musim Timur dan musim Barat

J e n i s

Ikan

Beras, sagu & umbi-umbian

Total

Jumlah (Kg)Timur

55,95

60,72

-

Barat

55,95

32,85

-

Nilai (Rp)Timur

223.800

143.425

367.225

Barat

223.800

75.650

299.450

Tabel 6. Hasil uji beda rata-rata pengeluaran pangan antara musim Timur dan musim Barat

J e n i s

Ikan

Beras, sagu &umbi-an

Total

t hitung

0

11.89

5.25

Probabilitas

0.5

0

0

t tabel

1.645

1.645

1.645

Uji beda

Tidak nyata

Sangat Nyata

Sangat nyata

8

Kajian pemenuhan kebutuhan.....(1-13)

Tabel 8. Korelasi antara intensitas pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan pangan pada musim Barat

Intensitas pemanfaatanPemenuhan kebutuhan pangan

Ikan (kg)

Beras, sagu & umbi-an (kg)

Ikan (Rp)

Beras, sagu & umbi-an (Rp)

Total (Rp)

Jarakmelaut

0.24659

0.22207

0.24659

0.17143

0.26930

Lamamelaut

0.29369

0.31717

0.29369

0.30045

0.35141

Frekuensimelaut

0.10424

0.09734

0.10424

0.11627

0.12780

Variasipemanfaatan

0.117957

0.21154

0.17957

0.19636

0.21889

Tabel 7. Korelasi antara intensitas pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan pangan pada musim Timur

Intensitas pemanfaatan

Pemenuhan kebutuhan pangan

Ikan (kg)

Beras, sagu & umbi-an (kg)

Ikan (Rp)

Beras, sagu & umbi-an (Rp)

Total (Rp)

Jarakmelaut

0.00843

-0.09838

0.00843

-0.04623

-0.01626

Lamamelaut

0.05634

0.14103

0.05634

0.12855

0.10152

Jumlah jenisalat tangkap

0.34571

0.24248

0.34571

0.24517

0.37841

Variasipemanfaatan

0.14734

0.04949

0.14734

0.06582

0.14273

Di musim Barat, terlihat bahwa lama melautdengan pemenuhan kebutuhan pangan berkorelasilebih erat, bila dibandingkan dengan variasipemanfaatan, jarak melaut dan frekuensi melaut(Tabel 8). Meskipun lama melaut hanya 1 - 2 jam,namun kebutuhan pangan ikan dapat terpenuhisekalipun hanya dikonsumsi sendiri.

Pada musim Barat bila dibandingkan denganmusim Timur, variabel-variabel intensitas peman-faatan seperti jarak melaut, lama melaut, frekuensimelaut dan variasi pemanfaatan berkorelasi lebiherat dengan variabel pemenuhan kebutuhanpangan. Hal ini dikarenakan variabel-variabelintensitas pemanfaatan pada musim Barat lebihbervariasi bila dibandingkan dengan musimTimur.

Berdasarkan korelasi total antara intensitaspemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan panganpada musim Timur dan musim Barat (Tabel 9),terlihat bahwa jumlah (kuantitas) dan nilai beras,sagu dan umbi-umbian mempunyai keeratan yangtinggi dengan intensitas pemanfaatan (jarakmelaut, lama melaut, frekuensi melaut, jumlahjenis alat tangkap dan variasi pemanfaatan). Jugaterlihat adanya korelasi negatif antara variasipemanfaatan, banyaknya dan pengeluaran dariberas, sagu dan umbi-umbian serta total penge-

luaran, sedangkan banyaknya dan pengeluaranpangan ikan berkorelasi rendah dengan intensitaspemanfaatan.

D. Perbedaan Musim Timur dan Musim Barat

Hasil analisis Faktorial Diskriminanterhadap musim Timur dan musim Barat yangditentukan oleh variabel pendapatan, intensitaspemanfaatan (jarak melaut, lama melaut, frekuensimelaut, jumlah jenis alat tangkap dan variasipemanfaatan) dan pemenuhan kebutuhan pangan(banyaknya ikan, beras, sagu dan umbi-umbian),menunjukkan bahwa korelasi yang erat terjadipada jarak melaut (X

2), lama melaut (X

3), dan

frekuensi melaut (X4); sedangkan korelasi

terendah terlihat antara banyaknya protein (X7)

dengan pendapatan (X1), jarak melaut (X

2), lama

melaut (X3), frekuensi melaut (X

4), jumlah jenis

alat tangkap (X5), dan variasi pemanfaatan (X

6)

(Tabel 10 dan 11).Lebih lanjut hasil kajian variabel

memperlihatkan adanya perbedaan antar musim(P= 0,05). Hal ini diperkuat oleh hasil korelasiantara musim Barat dan musim Timur, dimanaterlihat bahwa jarak melaut, lama melaut,frekuensi melaut, jumlah jenis alat tangkap dan

9

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

variasi pemanfaatan menunjukkan adanyaperbedaan musim (Tabel 8 dan 9). Pada musimTimur, variabel jumlah jenis alat tangkap memilikikeeratan lebih tinggi dengan variabel-variabelpemenuhan kebutuhan pangan bila dibandingkandengan musim Barat.

Pada musim Barat, variabel-variabel jarakmelaut, lama melaut, frekuensi melaut, jumlahjenis alat tangkap dan variasi pemanfaatanmempunyai hubungan erat dengan pemenuhankebutuhan pangan.

E. Implikasi PengelolaanKondisi lingkungan yang baik merupakan

kebutuhan yang diinginkan oleh setiap anggotamasyarakat, seperti rasa aman, nyaman danterpenuhinya sarana dan prasarana (pendidikan,kesehatan, perhubungan dan air bersih). Kondisidemikian merupakan hal yang wajar mengingatKepulauan Padaido merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang memiliki daya dukung lingkunganyang terbatas, sedang di sisi lain terdapat pertum-buhan penduduk yang memberi peluang bagitimbulnya sejumlah permasalahan lingkungan,seperti penumpukan sampah.

Kesadaran penduduk akan arti pentingnyamenjaga lingkungan, khususnya hutan dan terumbukarang relatif tinggi. Hal ini terlihat daripenebangan pohon berdasarkan sistem tebangpilih dan hanya terbatas untuk mendirikanbangunan seperti rumah dan gereja.

Sistem pengelolaan sumberdaya alam,seperti teripang dan pemanfaatan kelapamenunjukkan kearifan terhadap kemungkinandegradasi lingkungan, sebagaimana dikenaldengan sebutan sasi, yang berarti menutup untuksementara waktu pemanfaatan sumberdaya.Dalam pengelolaan tersebut terdapat pengaturantentang area yang dilarang, waktu untukmemanfaatkan dan tidak memanfaatkansumberdaya.

Kepulauan Padaido yang akan dijadikankawasan pariwisata bahari, memperlihatkan adanyarespon yang positif dari masyarakat. Berbagaiaktivitas pariwisata akan memberikan peningkatanpendapatan, mengingat lahan pertanian yang relatiftidak subur. Meskipun Kepulauan Padaido telahditetapkan menjadi Taman Wisata Alam melaluiSK nomor 91/Kpts-IV/1997, namun sampai saatini belum terdapat lembaga khusus yang mengatur

Tabel 9. Korelasi total antara intensitas pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan pangan pada musimTimur dan musim Barat

Jenis

Ikan (kg)

Beras, sagu & umbi-an (kg)

Ikan (Rp)

Beras, sagu &umbi-an (Rp)

Total (Rp)

Jarakmelaut

0.03514

0.69281

0.03514

0.67894

0.40618

Lamamelaut

0.02273

0.71145

0.02273

0.69577

0.40592

Frekuensimelaut

0.00548

0.70211

0.00548

0.68811

0.38973

Jumlah jenisalat tangkap

0.1137

0.69302

0.1137

0.68172

0.46606

Variasipemanfaatan

0.12987

-0.36804

0.12987

-0.35538

-0.10423

Tabel 10. Rata-rata variabel pada musim Timur dan musim Barat

Grup

Variabel

X = 1X = 2X = 3X = 4X = 5X = 6X = 7X = 8

G1

648.519395.008.27515.002.2751.48755.9560.725

G2

342.260175.001.3065.5251.002.50055.9532.85

Rata-rata

513.389285.004.79110.2621.6381.99455.9546.787

10

Kajian pemenuhan kebutuhan.....(1-13)

Tabel 11. Korelasi total antar variabel pendapatan intensitas pemanfaatan dan kuantitas pangan

X1X2X3X4X5X6X7X8

X1

10.5740.5990.5650.538-0.1630.1330.75

X2

10.9580.9740.857-0.580.0350.693

X3

10.9760.866-0.590.0230.707

X4

10.883-0.6120.0050.699

X5

1-0.4620.1140.693

X6

10.13-0.361

X7

10.213

X8

1

Keterangan :X1 : pendapatan; X2 : jarak melaut; X3 : lama melaut; X4 : frekuensi melaut; X5 : jumlah jenis alat tangkap; X6 : variasi pemanfaatan;X7 : jumlah ikan; X8 : jumlah beras, sagu & umbi-umbian; G1 : musim Timur; G2 : musim Barat.

secara operasional, yang diharapkan dapatmenghindari konflik yang timbul antarapemerintah daerah, instansi teknis dan masyarakatsetempat.

Sebagian besar nelayan mengalami kesulitandalam mengembangkan usahanya ini disebabkanbelum berkembangnya dengan baik lembagaekonomi seperti KUD, sedangkan lembagakeuangan seperti bank tidak ada. Di samping ituperlu juga dibentuk kelompok usaha masyarakat,khususnya kelompok nelayan dan pengolah ikan.

Jarak yang relatif jauh dan terisolasinya desa-desa di Kepulauan Padaido dari Ibukota Kabupatenmenyebabkan pertukaran barang dan jasa dari dankeluar desa mengalami hambatan. Tidak adatransportasi khusus secara reguler dan komersial baikperahu maupun kapal yang mengangkut penumpangdan barang setiap hari. Masyarakat/penduduk yangingin bepergian ke Biak Kota, atau Bosnik hanyadapat ikut dengan perahu pedagang ikan yang akanmenjual hasil tangkapannya ke kota-kota tersebut.Tarif angkutan berbeda-beda tergantung jaraknya,kurang lebih Rp. 30.000,- atau Rp. 20.000,-/orangpulang pergi.

Saat ini baru satu LSM yang mengaturkepentingan masyarakat Kepulauan Padaido yangbekerjasama dengan gereja melalui badan klasis.Kegiatan LSM ini pada dasarnya mempunyaikepedulian terhadap perlindungan alam dan upaya-upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat. LSMjuga memberi dukungan terhadap kegiatan wisatadi Kepulauan Padaido dengan memberikan informasikepada masyarakat tentang pentingnya menjagalingkungan khususnya perairan.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpaduadalah pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yangmelibatkan satu atau lebih ekosistem, sumberdayadan kegiatan pemanfaatan secara terpadu gunamencapai pembangunan wilayah pesisir yangberkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraanpembangunan konservasi sumberdaya alam hayatidan ekosistem harus terkait dengan penyelenggaraanpembangunan masyarakat di sekitarnya. Untuk ituperlu adanya peningkatan peran serta masyarakatyang aktif dan positif, dan selalu diupayakanpeningkatan kesadaran masyarakat tentanglingkungan hidup dan konservasi.

Pengembangan masyarakat setempatmerupakan upaya mengakui hak dan kewajibanmasyarakat yang bermukim di Kepulauan Padaidomelalui keterlibatannya dalam perencanaanpelaksanaan dan penilaian pengelolaan dengantetap memperhatikan tingkat kesejahteraannya,seperti :

Menyediakan insentif bagi masyarakat setempatatas peran sertanya dalam proses perencanaandan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir.Menyediakan alternatif sumber pendapatanbagi masyarakat setempat seperti mengelolapondok wisata (seperti dilakukan oleh YayasanRumsram), budidaya rumput laut, budidayakerang-kerangan dan penangkapan ikan denganalat yang tidak membahayakan lingkungan.

Kepedulian masyarakat terhadap lingkunganperlu ditingkatkan lagi dalam bentuk partisipasiaktif. Norma-norma tradisional yang menunjukkankearifan terhadap pelestarian alam perlu dijagadan dilestarikan. Selain itu peningkatan

11

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 1996. Laporan Akhir Studi Sosial Ekonomi,

Budaya dan Lingkungan Proyek MREP KawasanMCMA Biak Numfor-Irian Jaya. Ambon.

_________. 1996. Laporan Akhir Survai Perikanan danSosial Ekonomi di MCMA Biak Numfor-Irian Jaya.Jakarta.

_________. 1987. Statistik Perikanan Indonesia.Direktorat Jenderal Perikanan. DepartemenPertanian.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1996. BukuPanduan : Penyusunan AMDAL KegiatanPembangunan di Wilayah Pesisir dan Lautan. Bapedal.

Bengen, D.G, 1998. Sinopsis Analisis StatistikMultivariabel/Multidimensi. Program Pascasarjana.IPB. Bogor

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996.Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SecaraTerpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah dan DirektoratJenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.1997. Buku I Rencana Pengelolaan Taman WisataAlam Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor-Irian Jaya.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. Agenda21 Indonesia. Strategi Nasional untuk PembangunanBerkelanjutan. Jakarta.

Legendre, L and P. Legendre, 1983. Numerical Ecology.Elsevier Scientific Publishing Company. 419 p.

Resosoedarmo, R.S., Kuswata K, dan A. Soegiarti. 1993.Pengantar Ekologi. Penerbit Remaja Rosdakarya Off-set. Bandung.

Siegel, A. F., and C. J. Morgan. 1996. Statistical andData Analysis an Introduction. Second Edition. JohnWiley and Sons, Inc. New York, Chichester, Brisbane,Toronto, Singapore.

Walpole. 1997. Pengantar Statistik, Gramedia, Jakarta.

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. PenerbitUniversitas Indonesia. Jakarta.

pemahaman masyarakat terhadap fungsi ekosistempantai dan keragaman hayati, seperti terumbukarang dan hutan mangrove, bagi terjaminnyaproduksi perikanan dan pengembangan potensiwisata perlu dilakukan secara berkesinambungan.Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan pangandan peningkatan kesejahteraan masyarakat,khususnya nelayan, dapat terus berlangsung.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan yang dapat ditarik dari

penelitian ini adalah :Pada musim Barat, jarak melaut, lama melaut,frakuensi melaut dan variasi pemanfaatan untukmemenuhi kebutuhan hidup lebih bervariasi biladibandingkan dengan musim Timur.Variabel intensitas pemanfaatan mempunyaihubungan erat dengan variabel pemenuhankebutuhan pangan, dimana pada musim Timurvariabel jumlah jenis alat tangkap berkorelasierat dengan variabel-variabel pemenuhankebutuhan pangan; sedangkan di musim Barat,variabel lama melaut berkorelasi erat denganvariabel-variabel pemenuhan kebutuhanpangan.Variabel-variabel yang membedakan antaramusim Timur dan musim Barat adalahpendapatan, jarak melaut, lama melaut,frekuensi melaut, jumlah jenis alat tangkap,variasi pemanfaatan dan banyaknya pangan,(seperti beras, sagu, dan umbi-umbian).

Saran yang dapat dikemukakan dari hasilpenelitian ini adalah :

Pengaktifan kembali lembaga ekonomi, sepertiKUD, untuk membantu kelompok-kelompok usahanelayan dan pengolah ikan, sehingga masyarakatdapat memperoleh harga jual yang lebih baik.Penyediaan bahan pangan untuk mengantisipasikekurangan pangan pada musim Barat.Penyediaan transportasi secara reguler dankomersial, agar kehidupan masyarakat bisaberkembang.

12

KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVETERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS IKAN

DI PANTAI UTARA KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT

MUJIZAT KAWAROEJurusan Perikanan, Universitas Haluoleo, Kendari

DIETRIECH G. BENGEN, MUHAMMAD EIDMAN dan MENNOFATRIA BOERFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,

e-mail:[email protected]

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

ABSTRAK

Sebagai sumberdaya pesisir, ekosistem mangrove memiliki multi-fungsi untuk menunjang sistem kehidupan.Kurangnya informasi tentang fungsi mangrove sebagai habitat ikan mengilhami kami untuk mencermati masalahini sebagai suatu kebutuhan penelitian untuk membangun basis data untuk memonitor kemungkinan perubahan-

perubahan di masa mendatang. Pengambilan contoh berlangsung selama tiga hari untuk setiap pengambilan data yangdilakukan antara bulan September 1999 dan Januari 2000. Struktur komunitas ikan, serta hubungan antara mangrovedan sumberdaya ikan pesisir daerah Mayangan dan Blanakan, Kabupaten Subang dibahas.

Sebanyak 74 spesies ikan ekonomis penting dari 30 famili didapatkan dari dua daerah tersebut. Hasil tangkapan didua daerah tersebut didominasi oleh Engraulis grayi, Stolephorus zollingeri, Trichiurus haumela dan Mugildussumieri. Kelompok famili ikan tersebut diklasifikasikan ke dalam dua grup, yaitu ikan yang berasosiasi denganestuaria-sungai dan ikan yang berasosiasi dengan estuaria-laut. Meskipun fauna ikan di Mayangan memiliki kelimpahanyang rendah, tetapi nampaknya kaya akan spesies ketimbang daerah Blanakan. Program FISAT (Perangkat Lunak PendugaStok, FAO-ICLARM) memisahkan ikan yang dominan ke dalam sembilan kelas umur, yaitu: Engraulis grayi (EG)1,2,3, Stolephorus zollingeri (SZ) 1,2, Trichiurus haumela (TH) 1,2, dan Mugil dussumieri (MD) 1,2. Dengandemikian, klasifikasi mangrove (densitas, daun yang gugur, dan masa terendam air) dipakai untuk menentukan kondisimangrove di tiap lokasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peran ekosistem mangrove terhadap struktur komunitasikan di pantai utara Kabupaten Subang terutama pada fungsi dasar sebagai daerah asuhan ikan dan daerah yang bebasdari ikan predator.Kata kunci: ikan, struktur komunitas, kontribusi, mangrove, Kabupaten Subang.

ABSTRACT

As coastal resources, mangrove ecosystems have multiple functions to support life systems. The lack ofinformation about mangrove functions as a habitat of fishes led us to research needs for establishing databases for monitoring possible future changes. Sampling took place during three days for each mouth and was

undertaken between September 1999 and January 2000.The community structure of fishes, and relationships be-tween mangroves and coastal fish resources of Mayangan and Blanakan area of Subang regency are described. A totalof 74 species of economically important fish of 30 families were recorded from the two areas. Catches at two areaswere dominated by Engraulis grayi, Stolephorus zollingeri, Trichiurus haumela, and Mugil dussumieri. The as-semblages of fish family were classified in two groups association of river-estuarine fish and association estuarine-marine fish. Although Mayangan fish faunas have low individual numbers, they appear to be richer in species thanBlanakan area. The FISAT Program (FAO-ICLARM Stock Assessment Tools) separated fish dominant into nine ageclasses respectively: Engraulis grayi (EG) 1,2,3, Stolephorus zollingeri (SZ) 1,2, Trichiurus haumela (TH) 1,2,and Mugil dussumieri (MD) 1,2. Therefore, the classification of mangroves (density, litter fall, and inundation)were used to determine the condition of mangrove in each location. The main conclusion of this research is the roleof mangrove ecosystem on community structure of fishes in the north coast of Subang Regency mainly on the base ofit function as a nursery ground of fishes and protected area from fish predators.Key words: fishes, community structure, contribution, mangroves, and Subang Regency

13

PENDAHULUANLatar Belakang

Ekosistem mangrove memiliki peran yangsangat penting dalam dinamika ekosistem pesisirdan laut, terutama perikanan pantai sehinggapemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem man-grove merupakan salah satu alasan untuk tetapmempertahankan keberadaan ekosistem tersebut.Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir danlaut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistemtersebut dalam menunjang keberadaan biotamenurut beberapa aspek antara lain adalah fungsifisik, biologi, dan sosial ekonomi.

Salah satu alasan yang menjadikan ekosistemmangrove sangat terkait dengan perairan disekitarnya adalah keunikan ekosistem mangroveyang merupakan batas yang menghubungkan antaraekosistem darat dan ekosistem laut, sehinggadapat mempengaruhi proses kehidupan biota(flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbedadengan ekosistem darat, mangrove adalahekosistem terbuka, yang dihubungkan denganekosistem laut melalui arus pasang surut.

Keterkaitan ekosistem mangrove dengansumberdaya ikan telah di buktikan oleh Paw danChua (1989) yang melakukan penelitian diFilipina, dan menemukan hubungan positif antaraarea mangrove dan penangkapan udang penaeid.Di Indonesia, Martosubroto dan Naamin (1977)membuktikan hubungan yang positif antara hasiltangkapan udang tahunan dan luas mangrove diseluruh Indonesia. Tetapi Chansang (1979),menyatakan hubungan yang ada tidak linear danterdapat hubungan negatif antara mangrove danhasil panen udang pada setiap unit area yangmerupakan produktivitas mangrove. Blaber et al(1985), dan Robertson dan Duke (1987)menyimpulkan bahwa mangrove yang ditelitinyatidak memainkan peran yang nyata sebagai daerahpembesaran bagi spesies-spesies ikan ekonomispenting, sedangkan pada penelitian yang dilakukanoleh dua peneliti di atas pada lokasi dan waktuyang berbeda, maka diperoleh kesimpulan yangberbeda dari hasil di atas. Dari uraian tersebutdilakukan penelitian mengenai keterkaitanekosistem mangrove dengan jenis-jenis ikan yangberada di sekitar ekosistem mangrove Mayangandan Blanakan.

Perumusan MasalahDampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan

ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalahkerusakan ekosistem mangrove karena terputusnyamata rantai kehidupan antara ekosistem mangrovedengan ekosistem lain maupun di dalam ekosistemitu sendiri. Keadaan ini secara jelas akanmengurangi fungsi ekosistem tersebut dalammenunjang kehidupan biota air yangmemanfaatkan keberadaan hutan mangrovetersebut sebagai tempat pembiakan danpembesaran (spawning dan nursery ground)serta tempat mencari makan (feeding ground).Karena keberadaan ekosistem mangrove meme-gang peranan penting untuk kelangsungan prosesekologis dan hidrologis maka keanekaragamanbiota air pada perairan pantai di wilayah pesisirakan tergantung dari kondisi ekosistem mangroveyang merupakan sistem penyangga bagi kehidupanbiota tersebut.

Dengan demikian, perlu dipelajari peranekosistem mangrove dalam menunjang strukturkomunitas ikan yang memanfaatkan keberadaanekosistem mangrove sebagai tempat pembiakan,pembesaran, dan mencari makan.

Tujuan dan ManfaatTujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui kualitas ekosistem mangrove melaluipenghitungan Indeks Nilai Penting (Kerapatan),kelas genangan, dan produksi serasah yangdilakukan selama penelitian; serta untukmengetahui keterkaitan antara ekosistem man-grove dengan kelas umur ikan.

Penelitian ini diharapkan suatu hasil yangbermanfaat, yaitu:

Bagi peneliti sebagai sarana untuk melakukanverifikasi terhadap keberadaan hutan mangrovedalam kaitan dengan fungsinya sebagai penunjangkehidupan ikan yang ada di lingkungan sekitarnya.Memberikan informasi kepada pihak yangberkepentingan sehingga dampak daripembangunan di kawasan mangrove tidakmemberikan pengaruh negatif terhadapkeberadaan komunitas ikan di sekitarnya.Merupakan data dasar bagi peneliti lain dalammenunjang penelitian di kawasan mangrove.

Kontribusi ekosistem mangrove....(13-26)

14

METODOLOGIWaktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Septem-ber 1999 sampai dengan bulan Januari 2000 diArea Mangrove Kabupaten Subang. Area man-grove yang merupakan lokasi penelitian adalaharea mangrove yang berada di sekitar DesaBlanakan (Kecamatan Blanakan) dan area man-grove yang berada di sekitar Desa Mayangan(Kecamatan Pamanukan). Lokasi penelitian iniditentukan berdasarkan keberadaan hutan man-grove di kawasan tersebut (Gambar 1,2,3).

Metode PenelitianPeralatan, bahan, dan metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini secara rincidisajikan pada Tabel 1.

Analisis DataEkosistem Mangrove

Informasi yang perlu diketahui dari ekosis-tem mangrove untuk mendapatkan gambaran

kondisi mangrove adalah :Indeks Nilai Penting dihitung melalui:

INP = KRi + FRi +DRi

Produksi Serasah dihitung berdasarkan rata-rata produksi seluruh plot pada masing-masingstasiun.

Kelas genangan mangrove dihitung berda-sarkan tahun penanaman mangrove.

Komunitas IkanKeanekaragaman ikan dihitung dengan

menggunakan Indeks Shannon-Wiener yangdidasarkan pada logaritma dasar dua (Magurran,1988):

Keseragaman jenis ikan (E) dihitung denganrumus : E = H’/H’

maks

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

H = - pi log2 pi

Tabel 1. Parameter kualitas air, parameter biologi, bahan, alat, dan metode analisis

No Parameter Satuan Alat Bahan

Fisik

Salinitas (in situ)Suhu (in situ)Kecerahan (in situ)KedalamanKekeruhanSubstratMPT(Muatan PadatanTersuspensi

PH (in situ)BOD (Winkler)

COD (Titrimetrik)

DO (Winkler)

NH3-N(Spektrofotometrik)NO3-N(Spektrofotometrik)PO4-P(Spektrofotometrik)BiologiIkanSerasah mangroveMangrove

O/oooC%mNTU

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

cm, indgr/m2/blnINP

TermometerSalinometerSecchi diskMeteranTurbidimeter

Gravimetrik

KimiapH meterAlat titrasi

Alat titrasi

Alat titrasi

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Trammel netJala penampungMeteran, counter

1.2.3.4.5.6.7.

1.2.

3.

4.

5.

6.

7.

1.2.3.

Air contohAir contohAir contoh

Air contoh, larutan100 ppm SiO2SubstratAir contoh

Air contohAircontoh,NaOHKI,MnSO4Amilum,NaTioSulfatK2Cr2O7,Ag2SO4,H2SO4,HgSO4Aircontoh,NaOHKI,MnSO4Amilum, NaTioSulfatAmmonium Chlorida,Nessler

Asam disulfonim, NO3,NH4OH

Asam disulfonim, PO4,NH4OH

IkanDaun mangroveArea mangrove

15

Dominansi jenis dihitung dengan:

ni ( ni -1)D =

N (N - 1)

Kelas Umur Ikan dianalisis denganmenggunakan metoda Bhatacharya.

Karakteristik Habitat Ikan BerdasarkanVariabel Fisika-Kimia di Perairan

Untuk mengkaji variasi parameter fisika-kimia perairan antar stasiun penelitian digunakanAnalisis Komponen Utama (Principal Compo-nents Analysis, PCA) (Legendre dan Legendre,1983; Ludwig dan Reynolds, 1988; Digby danKempton, 1988; Bengen, 1998).

Distribusi Ikan berdasarkanStasiun Penelitian

Untuk mengevaluasi distribusi Ikanberdasarkan Stasiun Penelitian digunakan AnalisisFaktorial Koresponden (AFK) (Legendre danLegendre, 1983;Bengen, 1992).

Keterkaitan Ikan denganKondisi Ekosistem Mangrove

Evaluasi keterkaitan ikan dengan kondisiekosistem mangrove dilakukan dengan AnalisisFaktorial Koresponden (AFK) (Legendre danLegendre, 1983; Bengen, 1998)

HASIL DAN PEMBAHASANKualitas Air

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secaraumum kualitas air di lokasi Mayangan danBlanakan berada pada kondisi yang dapatditolerir oleh biota laut, walaupun mengalamifluktuasi dan cenderung memiliki nilai yang baikpada lokasi-lokasi yang dekat atau telah melewatikawasan mangrove. Dua parameter fisika yaituMuatan Padatan Tersuspensi (MPT) dankekeruhan berada pada nilai yang telah melewatibaku mutu yang disarankan oleh standar baku mutubiota laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukanBlaber et al (1995) menunjukkan bahwakekeruhan yang masih dapat ditolerir oleh biotaperairan memegang peranan yang penting terhadap

distribusi ikan di suatu perairan. Adanyakekeruhan yang masih dapat ditoleransi oleh biotaperairan akan menurunkan tingkat efektivitaspenglihatan dari ikan-ikan predator (piscivorous).Dan menurut Kneib, 1987, kekeruhan yang terjadidi suatu perairan dapat mengakibatkan menurun-nya jangkauan jarak penglihatan dari predatoryang ada di wilayah tersebut dan dapat memper-luas daerah pembesaran ikan, yang pada akhirnyadapat meningkatkan tingkat hidup ikan-ikan mudayang banyak terdapat pada ekosistem tersebut.

Ekosistem MangroveKondisi ekosistem mangrove pada lokasi

penelitian Mayangan dan Blanakan menunjukkanhasil yang berbeda terutama pada kerapatan jenis.Kerapatan mangrove yang ada menunjukkanbahwa ekosistem mangrove yang ada di kawasanMayangan dan Blanakan berada pada kondisisedang, yang dicirikan dengan tidak adanya zonasimangrove yang lengkap pada kawasan tersebut.Hal ini didukung juga oleh hasil produksi serasahtotal rata-rata yang berada di bawah kategoriproduksi baik yaitu 7-8 ton/ha/tahun. Dari hasilanalisis, kondisi kerapatan ekosistem mangrovedibagi menjadi tiga kelompok kerapatan (1-50,50-200, dan 200-300 pohon/ha), produksi serasahdibagi menjadi 3 kelompok serasah (2, 3, dan 4ton/thn/ha), dan kelas genangan dibagi menjadi 3kelompok juga (15, 20, dan 25 tahun).

Komposisi Jenis IkanJenis-jenis ikan yang tertangkap selama

penelitian pada lokasi penelitian Mayangan danBlanakan sebanyak 75 jenis yang terbagi dalam32 famili (Tabel 2 dan 3). Dari Tabel 4 terlihatbahwa pada lokasi Blanakan ikan familiLeiognathidae dan Mugilidae terdapat padasemua stasiun penelitian. Sedangkan pada lokasiMayangan, hanya ikan famili Mugilidae yang adapada semua stasiun penelitian. Struktur komunitasikan pada lokasi Mayangan dijelaskan pada tabel4. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada lokasiMayangan, nilai keaneka ragaman ikan yang pal-ing tinggi ditemukan di stasiun IV yang merupakanstasiun Laut yang dekat dengan laut lepas (2.8268)dan keragaman paling rendah ditemukan di stasiunIII yang merupakan stasiun laut yang dekat denganMuara Sungai (1.1378). Sedangkan untuk lokasi

Kontribusi ekosistem mangrove.....(13-26)

16

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

Tabel 3. Nilai Struktur Komunitas Ikan Pada Tiap Stasiun Penelitian Blanakan

Struktur Komunitas Stasiun

I257

2.34575.54910.42270.1183

II345

1.53945.84350.26340.2884

III2440

1.44947.79980.18580.3871

IV463

1.99466.13770.32500.1811

V425

1.59426.05210.26340.3453

FrekuensiKeragaman (H’)H’ maksimumKeseragaman (E)Dominansi (c)

Tabel 2. Nilai Struktur Komunitas Ikan Pada Tiap Stasiun Penelitian Mayangan

Struktur KomunitasStasiun

I35

2.16073.55530.60770.1412

II144

1.28374.96980.25830.3874

III1647

1.13787.40670.15360.5321

IV423

2.82686.04740.46740.1124

V410

1.98486.01620.32990.3286

FrekuensiKeragaman (H’)H’ maksimumKeseragaman (E)Dominansi (c)

Blanakan (Tabel 5), nilai keragaman dankeseragaman paling tinggi ditemukan di stasiun Iyang merupakan stasiun Sungai (2.3457 dan0.4227). Sedangkan nilai keragaman sertakeseragaman yang paling rendah ditemukan distasiun III (1.4494 dan 0.1858), dan nilaidominansi ikan di stasiun III merupakan nilai yangtertinggi (0.3871). Dari nilai keseragaman jenis,baik pada lokasi Mayangan maupun Blanakan,memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan yang

tertangkap pada masing-masing stasiunmenunjukkan tidak terdistribusi merata.Perbedaan struktur komunitas ikan baik antarstasiun penelitian maupun antar lokasi penelitiandiduga disebabkan karena perbedaan kualitas airdan secara tidak langsung mempengaruhikarakteristik habitat ikan tersebut. Dan adanyaspesies ikan Ambasis kopsi dan Ambasis naluamengindikasikan bahwa perairan di lokasipenelitian telah mengalami pelumpuran.

Karakteristik Fisik KimiaHabitat

Untuk menganalisis distribusivariabel fisika kimia perairanterhadap stasiun penelitian dilokasi Mayangan dan Blanakandigunakan Analisis KomponenUtama (PCA). Hasil dari analisismatriks korelasi data fisika kimiaperairan di lokasi Mayanganmemperlihatkan bahwa ragam padakomponen utama adalah tinggi.Gambar 4 menjelaskan bahwastasiun sungai 3 (S3) dan mangrove1 (M1) dikarakteristikkan olehkandungan amonia (NH

3) dan nitrat

(NO3) yang tinggi. Stasiun Sungai

1 (S1), S2, dan Laut 4 (L4)dicirikan oleh kandungan fosfat(PO4) dan Muatan Padatan

Gambar 1.Grafik Analisis Komponen Utama Karakteristik Fisika KimiaStasiun Penelitian Mayangan. A. Korelasi antar Variabel FisikaKimia pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2); B. Sebaran stasiunPenelitian pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2).

17

Tersuspensi (MPT) yang tinggi; sedangkan stasiunMangrove 3 (M3), Laut 2 (L2), dan L3dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut (DO),suhu, salinitas, dan secara tidak langsungmempengaruhi keanekaragaman jenis ikan (KJI).Dari hasil tersebut dapat diduga bahwa stasiunpenelitian yang dekat dengan sungai danmenerima limbah dari daerah pertambakan banyakdipengaruhi oleh kondisi kimia perairan;sedangkan stasiun sungai dan laut yang jauh darikawasan mangrove lebih dipengaruhi oleh kon-disi fisik perairan. Stasiun mangrove dan laut yangdekat dengan kawasan mangrove lebih dipenga-ruhi oleh kondisi fisik kimiawi perairan karenakedalaman perairan yang lebih dangkalmenyebabkan perubahan suhu, salinitas, danoksigen terlarut menjadi lebih nyata.

Untuk lokasi Blanakan, ragam pada kom-ponen utama yang dihasilkan dari matrikskorelasi data fisika kimia perairan adalah tinggi.Gambar 5 menjelaskan bahwa stasiun Laut 2 (L2),Laut 3 (L3) dan Mangrove 4 (M4) banyakdipengaruhi oleh kelarutan oksigen (DO), suhu,salinitas , dan kedalaman. Sedangkan stasiun Laut1 (L1) , Sungai 2 (S2), dan Mangrove 3 (M3)banyak dipengaruhi oleh kandungan fosfat. Danstasiun M 2 dan S 3 banyak dipengaruhi olehkandungan nitrat dan amonia. Dari hasil tersebutmengindikasikan bahwa pada lokasi Blanakanhasil yang diperoleh sama dengan lokasi

Mayangan, kecuali bahwa Muatan PadatanTersuspensi (MPT) tidak berperan dalammenentukan karakteristik habitat. Hal ini dapatdipahami karena kondisi perairan di kawasanBlanakan cenderung memiliki kualitas perairanyang lebih stabil yang didukung oleh adanyapasang surut yang lebih tinggi dan sungai yanglebih besar (Sungai Blanakan), sehingga pertukaranair menjadi lebih baik.

Distribusi Jenis Ikan BerdasarkanStasiun Penelitian

Distribusi ikan hasil tangkapan pada lokasiMayangan dan Blanakan dikaji denganmenggunakan Analisis Faktorial Koresponden(AFK). Ikan hasil tangkapan yang diperolehdikelompokkan berdasarkan Famili dan kelimpahandari kelompok famili ikan ini merupakan barisdalam matriks data yang digunakan dalam AFK.Sedangkan kolom dalam matriks data adalah stasiunpenelitian.

Pada Gambar 6 terlihat bahwa asosiasistasiun penelitian dan famili ikan hasil tangkapanmembentuk dua kelompok. Kelompok I yangterbentuk merupakan asosiasi antara Stasiunpenelitian I dan II dengan jenis-jenis ikan darifamili Cichlidae, Gobiidae, Tetraodontidae,Mugilidae, dan Scatophagidae. Jenis-jenis ikantersebut berasosiasi dengan stasiun I (sungai) danII (mangrove) yang cenderung memiliki habitat

Gambar 1.Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik Fisika KimiaStasiun Penelitian Blanakan. A. Korelasi antar Variabel FisikaKimia pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2); B. Sebaran stasiunPenelitian pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2).

Kontribusi ekosistem mangrove.........(13-26)

18

yang dekat dengan kondisi air tawar dan airpayau. Dan kelompok II merupakan asosiasiantara stasiun penelitian III (muara), IV (Laut),dan V (Laut) dengan jenis-jenis ikan dari familiStromateidae, Polynemidae, Teraponidae,Engraulidae, Clupeidae, Belonidae, Altherinidae,Bagridae, Sciaenidae, Pomatomidae, Carangidae,Anthidae, Muraenidae, Leiognathidae, danSoleidae. Hasil di atas menunjukkan bahwa enis-jenis ikan tersebut berasosiasi dengan stasiunpenelitian yang memiliki kondisi perairan payau(muara) dan laut.

Pada lokasi Blanakan terbentuk duakelompok asosiasi antara stasiunpenelitian dan jenis-jenis ikan hasiltangkapan. Kelompok satu merupakanasosiasi antar stasiun I (Sungai) dan II(Mangrove) dengan jenis-jenis ikan darifamili Bagridae, Gobiidae, Mugilidae,Scatophagidae, Soleidae, dan Chanidae.Dan kelompok dua merupakan asosiasiantara stasiun penelitian III (Muara), IV(Laut), dan V (Laut) dengan jenis-jenis ikandari famili Leiognathidae, Siganidae,Sciaenidae, Pomatomidae, Sillaginidae,Carangidae, dan Belonidae. Dengandemikian asosiasi ini merupakan asosiasiantara jenis-jenis ikan dan stasiunpenelitian yang memiliki kondisi habitatpayau dan air laut. Beberapa jenis ikandari famili Carangidae yang merupakan

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

ikan yang hidup pada habitat terumbu karang,diperoleh juga pada hasil tangkapan. Hal inimengindikasikan keeratan hubungan danketergantungan antara berbagai habitat yang adadi wilayah pesisir baik fauna maupun flora yanghidup pada di kawasan tersebut.

Keterkaitan Ikan denganKondisi Ekosistem Mangrove

Hasil analisis FISAT membentuk sembilankelompok umur ikan masing masing yang terdiridari : Kelas umur ikan Engraulis grayi 1 (EG1),

Gambar 1.Grafik Analisis Faktorial Koresponden antar StasiunPenelitian dan Famili ikan di lokasi Mayangan pada sumbuFaktorial 1 dan 2 (F1 dan F2).

Gambar 1.Grafik Analisis Faktorial Korespoden antar StasiunPenelitian dan Famili ikan di lokasi Blanakan pada sumbuFaktorial 1 dan 2 (F1 dan F2).

19

Engraulis grayi 2 (EG2), Engraulis grayi 3(EG3), Stolephorus zollingeri 1 (SZ 1),Stolephorus zollingeri 2 (SZ 2), Trichiurushaumela 1 (TH 1), Trichiurus haumela 2 (TH2),Mugil dussumieri 1 (MD 1), Mugil dussumieri2 (MD 2). Sembilan kelompok umur ikan inisebagai observasi dihubungkan dengan kerapatan, produksi serasah , dan kelas genangan mangrovesebagai variabel kondisi mangrove pada lokasi

penelitian Mayangan dan Blanakan.Hasil Analisis Faktorial Koresponden

menunjukkan bahwa baik pada lokasi Mayanganmaupun Blanakan keberadaan kelompok kelas umurikan menyebar pada semua kondisi ekosistemmangrove (Gambar 5 dan 6). Dan kontribusi yangbesar bagi keberadaan ikan pada ekosistem tersebutdiperoleh pada kondisi ekosistem mangrove yangmemiliki Kerapatan 50-200 pohon per hektar,

Gambar 1.Grafik Analisis Faktorial Korespondesi antar Kelas Umur Ikandan Kondisi Ekosistem Mangrove di lokasi Mayangan pada sumbuFaktorial 1 dan 2 (F1 dan F2)

Gambar 1.Grafik Analisis Faktorial Korespondesi antar Kelas Umur Ikandan Kondisi Ekosistem Mangrove di lokasi Blanakan pada sumbuFaktorial 1 dan 2 (F1 dan F2)

Kontribusi ekosistem mangrove........(13-26)

20

produksi serasah 4 ton per hektar per tahun, dankelas genang 25 tahun. Dari hasil analisis tersebutjuga dapat diketahui bahwa keberadaan ikan denganukuran juvenil menyebar pada kondisi ekosistemmangrove yang memiliki kerapatan tinggi (200-300pohon per hektar), produksi serasah 4 ton per hektarper tahun, dan kelas genang 25 tahun. Hal inimengindikasikan bahwa ikan-ikan juvenil tersebutmemerlukan kondisi ekosistem yang terlindungsebagai upaya untuk menghindari predator danlingkungan yang buruk.

KESIMPULANVariabel-variabel fisika kimiawi perairan

berperan penting dalam mengkarakteristikkan habi-tat ikan. Variabel-Variabel yang berperan adalahnitrat, muatan padatan tersuspensi, fosfat, oksigenterlarut, suhu, salinitas, dan kedalaman perairan.

Ekosistem mangrove dicirikan oleh kerapatanpohon yang sangat bervariasi, dengan produksiserasah berkategori sedang dan pohon mangroveberumur lebih dari lima tahun.

Komposisi jenis ikan hasil tangkapan terdiriatas dua kelompok, yaitu kelompok ikan yangmemiliki habitat tawar-payau dan kelompok ikanyang memiliki habitat payau-laut. Dari nilai keane-karagaman dan keseragaman jenis, baik pada lokasiMayangan maupun Blanakan, memperlihatkanbahwa jenis-jenis ikan yang tertangkap pada masing-masing stasiun menunjukkan struktur komunitas ikanyang beragam.

Kualitas ekosistem mangrove yang memilikikerapatan bervariasi, produksi serasah sedang, dankelas genangan tinggi dicirikan oleh keberadaanikan-ikan muda (juvenil). Kondisi ini memper-lihatkan kontribusi ekosistem mangrove sebagaitempat tumbuh besar dan mencari makan bagiberagam komunitas ikan.

SARANAdanya zonasi dan tingkat kerapatan pohon

yang tinggi pada kawasan ekosistem mangrovesangat menentukan kualitas ekosistem mangrove.Untuk itu disarankan perlu dilakukan rehabilitasi danpenzonasian ekosistem mangrove untuk meningkat-kan fungsi ekobiologis dan produktivitas perairansekitarnya.

DAFTAR PUSTAKABaran, E and John, H, 1999. Mangrove conservation and

coastal management in Southeast Asia : What impacton fishery resources?. Marine Pollution BulletinVol. 37. Nos. 8-12. pp. 431-440.

Bengen, D.G, 2000. Pengenalan dan pengelolaan ekosistemmangrove. Pedoman Teknis. PKSPL IPB. Bogor.

Bengen, D.G, 1998. Sinopsis analisis statistikmultivariabel/multidimensi. Program Pascasarjana.IPB. Bogor

Bengen, D.G., A.Belaud and P.Lim. 1992. Structure andfish typology of three ancients arms of the GaronneRiver. Annls. Limnol., 28 (1):35-56

Blaber, S.J.M., Young, J.W. and Dunning, M.C, 1985.Community structure and zoogeographic affinities ofthe coastal fishes of the Dampier region of north-western Australia. Australian Journal of Marine andFreshwater Research 36, 247-266.

Chansang, H,1979. Correlation between commercialshrimp yields and mangroves. In Proceedings of TheThird National Seminar on Mangrove Ecology, vol.2,pp 744-753. Songkhla University, Hat Yai.

Digby, P.G.N and R.A. Kempton, 1988. Multivariate analy-sis of ecological communities. Chapman and Hall.New York. 206 p.

Kneib, R.T, 1987. Predation risk and use of intertidalhabitats by young fishes and shrimp. Ecology 68 (2),379-386.

Legendre, L and P. Legendre, 1983. Numerical ecology.Elsevier Scientific Publishing Company. 419 p.

Ludwig, J. A and J.F. Reynolds, 1988. Statistical ecol-ogy, primer on methods and computing. John Willey& Sons. Singapore, 338 p.

Magurran, A.E., 1988. Ecological diversity and its mea-surement croom, Ltd.London, 179 p.

Martosubroto, P, dan Naamin, N, 1977. Relationshipsbetween tidal fores (mangroves) and commercialshrimp production in Indonesia. Marine Research inIndonesia 18, 81-86.

Paw, J.N, dan Chua, T.E, 1989. An assessment of the eco-logical and economis impact of mangrove conver-sion in Southeast Asia. Marine Pollution Bulletin20 (7), 335-343.

Robertson, A.I, dan Duke, N.C, 1987. Mangroves as nurs-ery sites comparisons of the abundance and spesiescomposition of fish and crustaceansin mangroves andother nearshore habitats in tropical Australia. MarineBiology 96. 193-205.

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

21

Gam

bar 1

.P

eta

Kaw

asan

Man

grov

e B

agia

n K

esat

uan

Pem

angk

uan

Hut

an (B

KP

H) C

iase

m.

Kontribusi ekosistem mangrove.........(13-26)

22

Gambar 2. Kawasan Mangrove Mayangan.

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

23

Gam

bar 3

. Kaw

asan

Man

grov

e B

lana

kan.

Kontribusi ekosistem mangrove........(13-26)

24

Lampiran 4. Kelompok Famili ikan yang tertangkap pada lokasi Mayangan dan Blanakan di tiap stasiun penelitian

No. Famili BlanakanST I ST II ST III ST IV ST V

MayanganST I ST II ST III ST IV ST V

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.26.27.28.29.30.31.32.

AlthernidaeAnthidaeBagridaeBelonidaeCarangidaeChanidaeCichlidaeClupeidaeElopsidaeEngraulidaeGobiidaeHemirhamphidaeLeiognathidaeMugilidaeMuraenidaeOphiocephalidaePercomorphiPlotosidaePolynemidaePomatomidaeScatophagidaeScianidaeScombridaeSiganidaeSillaginidaeSoleidaeSphyraenidaeStromateidaeSynbranchidaeTeraponidaeTetraodontidaeTrichiuridae

0000069000010092040000003900007008070

00110020310006005862250000000000008000

000345002002017001500026016664050020110363

0200300201450094500000201982111000100

20014008033601111000033122285000000000

000007700014022100000000000000000

0000080010501117000000900001000020

012311003909600003000192237603002070450

072225401101610956330000166974134300100

800650041125801048000122942410000000000

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

25

Lam

pira

n-5.

Hab

itat d

an D

aur H

idup

Ikan

No

.C

AR

AN

GID

AE

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

Ser

iola

dum

erili

Ser

iola

nig

rofa

scia

taP

laty

ceph

alus

sca

ber

Par

astro

mat

eus

nige

rA

lect

is in

dica

Chr

orin

emus

tol

Car

anx

goop

sC

hror

inem

us ta

laM

egal

opsi

s ce

rdyl

aE

NG

RA

ULI

DA

EE

ngra

ulis

gra

yiE

ngra

ulis

mys

tax

Thr

yssa

ham

ilton

iS

etip

ina

taty

SC

IAE

NID

AE

John

ius

bele

nger

iS

ciae

na m

acro

pter

usO

tolit

hoid

es b

runn

eus

Oto

lithe

s ar

gent

usO

tolit

hoid

es m

icro

don

Oto

lithe

s la

teoi

des

GO

BIID

AE

Glo

ssob

ius

bioc

ella

tus

Glo

biop

teru

s br

achy

pter

usG

loss

obiu

s gi

uris

Sic

yopu

s zo

ster

opho

rum

Per

ioth

alm

us v

aria

bilis

Ras

trelli

ger k

anag

urta

Ras

trelli

ger n

egle

ctus

Sco

mbe

rom

orus

cro

oche

viti

Sco

mbe

rom

orus

gut

atus

Sco

mbe

rom

orus

com

mer

soni

CLU

PE

IDA

ES

ardi

nella

fim

bria

taA

losa

toli

pesi

sir

pesi

sir

mua

ra-p

esis

ir

pesi

sir

pesi

sir

pesi

sir

pesi

sir

pesi

sir

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

pesi

sir

pesi

sir

pesi

sir

pesi

sir

sung

ai-m

uara

sung

ai-m

uara

sung

ai-m

uara

sung

ai-m

uara

sung

ai-m

uara

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

mua

ra-p

esis

ir

pred

ator

pred

ator

pred

ator

pred

ator

pred

ator

pred

ator

pred

ator

pred

ator

plan

ktiv

orpl

ankt

ivor

plan

ktiv

orpl

ankt

ivor

plan

ktiv

orpl

ankt

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

pred

ator

pred

ator

pred

ator

plan

ktiv

orpl

ankt

ivor

No

.S

CO

MB

RID

AE

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

54.

55.

56.

57.

58.

59.

60.

61.

62.

63.

64.

65.

66.

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

74.

Clu

pea

toli

Dor

osom

a ch

acun

daP

ello

na d

itcho

aS

tole

phor

us c

omm

erso

niS

tole

phor

us h

eter

olub

usS

tole

phor

us z

olin

geri

BE

LON

IDA

ET

hylo

suru

s cr

ocod

ilus

Thy

losu

rus

stro

ngyl

urus

Thy

losu

rus

leiu

rus

SO

LEID

AE

Cyn

oglo

ssus

gra

ndis

quam

isC

ynog

loss

us b

rach

icep

halu

sC

ynog

loss

us k

aupi

SY

NB

RA

NC

HID

AE

Syn

bran

chus

ben

gale

nsis

LEIO

GN

ATH

IDA

ELe

iogn

athu

s eq

uulu

sG

azza

min

uta

Leio

gnat

hus

sple

dens

CH

AN

IDA

EA

mba

sis

kops

iA

mba

sis

nalu

aC

hano

s ch

anos

MU

GIL

IDA

EM

ugil

duss

umie

riM

ugil

trosc

heli

MU

RA

EN

IDA

EM

urae

na p

arda

lisT

hyrs

oide

a m

acru

nus

TR

ICH

IUR

IDA

ET

richi

urus

hau

mel

aT

richi

urus

sp.

TER

AP

ON

IDA

ETe

rapo

n m

uta

Epi

neph

elus

boe

nack

CIC

HLI

DA

EO

reoc

hrom

is m

ossa

mbi

cus

BA

GR

IDA

EM

acro

nes

gulio

AN

THID

AE

Ant

hias

mon

toni

ALT

HE

RIN

IDA

EA

lther

ina

tem

min

cki

PO

MA

TO

MID

AE

Pom

atom

us s

alta

tor

PL

OT

OS

IDA

EP

loto

sus

cani

usP

OL

YN

EM

IDA

EE

leut

hero

nem

a te

trada

ctyl

umE

LOP

SID

AE

Elo

ps h

awai

ensi

sT

ET

RA

OD

ON

TID

AE

Tet

raod

on im

mac

ulat

usS

ILLA

GIN

IDA

ES

ilago

sih

ama

SC

ATO

PH

AG

IDA

ES

cato

phag

us a

rgus

SIG

AN

IDA

ES

igan

us ja

vus

SP

HY

RA

EN

AS

phyr

aena

jello

ST

RO

MA

TE

IDA

EP

ampu

s ar

gent

usH

EM

IRH

AM

PH

IDA

EH

emirh

ampu

s du

ssum

ieri

OP

HIO

CE

PH

ALI

DA

EC

hana

stri

ata

mua

ra-p

esis

irpe

sisi

rpe

sisi

rpe

sisi

rpe

sisi

r

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

mua

ra-p

esis

ir

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

mua

ra-p

esis

ir

mua

ra

pesi

sir

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

mua

ra-p

esis

irm

uara

-pes

isir

mua

ra-

Su-

mu-

pesi

sir

Su-

mu-

pesi

sir

mua

ra-p

esis

irm

uara

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

pesi

sir-

laut

Sun

gai-m

uara

sung

ai

mua

ra

mua

ra

mua

ra-p

esis

ir

mua

ra-p

esis

ir

sung

ai-p

esis

ir

mua

ra-p

esis

ir

mua

ra

mua

ra-p

esis

ir

mua

ra

laut

laut

mua

ra-p

esis

ir-la

ut

pesi

sir-

laut

mua

ra

plan

ktiv

orde

trivo

rpl

ankt

ivor

plan

ktiv

orpl

aktiv

orpl

ankt

ivor

k.m

.ben

tikk.

m.b

entik

k.m

.ben

tik

k.m

.ben

tikk.

m.b

entik

k.m

.ben

tik

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

herb

ovor

detri

vor

detri

vor

karn

ivor

karn

ivor

pred

ator

pred

ator

karn

ivor

pred

ator

omni

vor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

karn

ivor

pred

ator

pred

ator

detri

vor

karn

ivor

herb

ivor

herb

ivor

pred

ator

plan

ktiv

or

detri

vor

karn

ivor

SE

RR

AN

IDA

E

Kontribusi ekosistem mangrove.......(13-26)

26

INCREASED CORAL COVER INKOMODO NATIONAL PARK, INDONESIA:

MONITORING FOR MANAGEMENT RELEVANCE

H. E. FOXDepartment of Integrative Biology, 3060 VLSB

University of California, Berkeley, CA 94720-3140e-mail: [email protected]

R. DAHURIDirector General of Coast, Beach and Small Island

Department of Marine Affairs and Fisheries, Republic of Indonesiae-mail: [email protected]

A. H. MULJADI Yayasan Pusaka Alam Nusantara (YPAN)

Labuan Bajo, Manggarai, Flores Barat, NTT Indonesiae-mail: [email protected]

P. J. MOUS, and J. S. PETThe Nature Conservancy Indonesia Program

Jl. Hang Tuah Raya No. 42, Kebayoran Baru, Jakarta 12120, Indonesia;e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Komodo National Park (KNP), a World Heritage site in eastern Indonesia, has been seriously threatened bydestructive fishing practices. This paper presents the design and results from the first two surveys (1996 and1998) of a long-term coral reef monitoring program initiated and conducted by The Nature Conservancy

(TNC). The objective of the monitoring program is to examine changes in coral cover, which can inform a recently-implemented management plan for the marine component of KNP. To this end, we broadly assessed the benthiccover of a large reef area. Timed survey swims at 3 depths (4, 8, and 12 m) were conducted at 185 sites in 10 regionsthroughout the Park, as well as in areas outside Park borders. Percent cover of live scleractinian coral, dead scleractiniancoral, soft coral, and other cover was recorded, and an index of hard coral mortality calculated [% dead *100 / (%dead + % live)]. Although there is extensive coral mortality in many areas of KNP, there has been a significantincrease in live coral cover in some regions, primarily those with the largest initial damage and located close to thecenter of Park management and protective activity. In six areas most likely to have had the highest protective activity,hard coral mortality decreased significantly. This monitoring program provides information relevant to Park manag-ers on the kilometer-scale variability in coral cover within KNP.Key Words: coral reef recovery; coral cover; monitoring; destructive fishing; marine protected areas;Indonesia.

ABSTRACT

Taman Nasional Komodo, satu lokasi warisan dunia di bagian timur Indonesia, kondisinya sangat terancam olehkegiatan perikanan yang bersifat merusak. Makalah ini mengetengahkan desain dan hasil dari 2 buah surveyawal (tahun 1996 dan 1998) pada program pemantauan jangka panjang yang dirancang dan dilaksanakan oleh

TNC. Tujuan dari program pemantauan tersebut adalah untuk mempelajari perubahan pada tutupan karang. Berdasarkanhal itu, TNC melakukan kajian terhadap penutupan benthic dari wilayah karang yang luas.

Survey yang dilaksanakan dengan berenang di waktu tertentu (timed swim) pada 3 kedalaman (4, 8 dan 12 meter)dilakukan pada 185 lokasi di 10 (sepuluh) wilayah dalam taman nasional dan wilayah lain di luar taman nasional.Persentasi penutupan karang hidup dari karang scleractinia, karang scleractinia mati, karang lunak dan jenis lainnya

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

27

INTRODUCTIONPressures from rapid population and eco-

nomic growth in Southeast Asia severely threatenmany reef ecosystems in this region. It is esti-mated that less than 3% of the reefs in Indonesiaremain in excellent condition (>75% live coralcover) and these are being rapidly degraded, asfew of the marine protected areas that exist onpaper are effectively managed (Chou, 1997;Wilkinson, et al 1994). The need for effectivemanagement of marine protected areas and ofmonitoring programs to determine the success ofmanagement actions is widely recognized(Allison, et al 1998; Kelleher et al 1995;McClanahan 1999; McNeill 1994).

A marine park that is being actively man-aged is Komodo National Park (KNP), in east-ern Indonesia. KNP is a large (>170,000 ha),tremendously diverse park and a premier divetourism destination. However, the coral reefs inKNP remain seriously threatened (Pet andDjohani,1998; Pet, 1999). The main threat is un-sustainable resource use, practiced both by localinhabitants and by fishermen from other areas inIndonesia. An early survey conducted by TheNature Conservancy (TNC) in 1995 showed thatmore than 50% of the coral reefs inside the Parkhad suffered damage from destructive fishingpractices (DFPs), primarily blast fishing(Holthus, 1995). Other DFPs include the use ofcyanide to catch fish and the harvesting of organ-isms that hide between corals (reef gleaning or“meting”) (Pet, 1997). Destructive fishing prac-tices not only remove the resource itself (fish andinvertebrate stocks) but also destroy the habitat(coral reefs) (Pauly et al, 1989).

Perhaps the most damaging of DFPs is dy-namite or “blast” fishing (Mous et al, 2000).Blast fishing in Indonesia originated with excessmunitions from World War II, and today consistsof home-made kerosene and fertilizer bombs

packed in glass or plastic bottles (Pet-Soede andErdmann,1998). The detonated bomb’s shockwaves not only kill fish and other organismswithin the 1-5 m blast radius, but also pulverizethe coral skeletons themselves (Alcala and Gomez1987; McManus et al, 1997).

This study is different than many other stud-ies of disturbance and recovery (reviewed inConnell 1997) in that no pre-disturbance baselinecoral cover data exists. However, data from pa-trols, oral histories, and eyewitness accounts sug-gest that the damage reported is due to DFPs,rather than other causes. Furthermore, KNP isnot within a hurricane belt, and is generally well-protected from major storm damage. Observersfamiliar with blast damage concur that the vastrubble fields point to chronic blast fishing in thepast. The threatened status of the coral reefs inKNP necessitates the implementation of an ac-tive conservation program. We therefore are us-ing the 1996 survey results as baseline “damaged”data, and are attempting to document any trendsin live coral coverage now that an active marinemanagement plan is in place. There are no “con-trol sites,” as enforcement patrols attempt to pro-tect the entire park, so we are examining long-term trends. Finally, the large number of studysites covers a wide area, which should add sta-tistical robustness.

There is good potential to protect the ma-rine waters of the Park, since there is an existingterrestrial management infrastructure and low hu-man population pressure (Alpert 1995). To com-bat the multiple threats to the marine resourcesof KNP, a management plan was drafted in 1996by the Park service and TNC (Pet and Djohani,1996). This management plan has recently beenupdated and incorporated into Indonesian law(Pet and Yeager 2000a-c). The primary goals ofthe management plan are to stop destructive har-vesting of marine resources in KNP and to in-

Increased coral cover.......(27-36)

dicatat, dan indeks mortalitas karang keras dihitung (% mati x 100/(% mati + % hidup)). Walaupun terdapat mortalitaskarang yang ekstensif di banyak area taman nasional, namun penutupan karang hidup di beberapa tempat juga cukupsignifikan, terutama di daerah yang dekat dengan lokasi pusat pengelolaan taman nasional.

Di-6 (enam) daerah yang mendapat perlindungan utama, mortalitas karang keras menurun secara signifikan. Pro-gram pemantauan ini menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pengelola taman nasional untuk mengetahuivariabilitas penutupan karang dalam skala luasan perkilo meternya.Kata kunci: pemulihan terumbu karang, penutupan karang, pengawasan, perikanan yang merusak, daerahperlindungan laut, Indonesia.

28

volve local communities in conservation deci-sion making, implementation, and enforcement.Monitoring and research programs were devel-oped to assess fish stocks, resource utilization,and coral reef condition.

Objectives of the long-term coral reef moni-toring program are to assess the current state ofcoral reefs and track subsequent changes of liveand dead coral cover. This information is neededto assess the success of enforcement and conser-vation programs. Crucial to any long-term moni-toring program is cost-effectiveness and abilityto detect significant change in the resources inquestion. To this end we sample a large area todetermine the status of corals throughout the Park(Pet and Mous, 1999). The methodology doesnot require extensive education or training. Itcan and has been taught to local rangers and Parkmanagement staff with little formal marine biol-ogy background. The design of the coral reefmonitoring program and results from the first twoyears (1996 and 1998) are presented here.

MATERIALS AND METHODSStudy area

Komodo National Park (KNP) is locatedbetween the islands of Sumbawa and Flores ineastern Indonesia (Figure 1). The Park encom-passes 41,000 ha of land area and 132,000 ha ofmarine waters. The three major islands areKomodo, Rinca, and Padar, and there are manysmaller islands. The Park was established in

1980, and was declared a Man and BiosphereReserve and a World Heritage Site in 1986. Fa-mous as the habitat of the world’s largest lizard,the Komodo dragon Varanus komodoensis, KNPis also one of the world’s richest areas for ma-rine biodiversity. In 1994 the government ofIndonesia requested The Nature ConservancyAsia/Pacific Program to conduct a Rapid Eco-logical Assessment (REA) of the marine envi-ronment of KNP, with a focus on coral reefs, toprovide a basis for conservation managementplanning. From this REA conducted in 1995, itwas estimated that ~260 species of reef-buildingcorals and ~1000 species of fish are found in thePark. This high diversity of marine life is sus-tained by a wide range of habitats: coral reefs,mangroves, sea grass beds, rocky shores, shel-tered bays, and narrow sea straits with strongcurrents (Holthus, 1995). Several areas withinKNP are designated as multiple use zones, inwhich subsistence fishing and some mariculture isallowed. There is also a buffer zone to the north-east of the Park, to which several communities havelimited fishing rights (Pet and Djohani, 1996).

Coral Reef Monitoring ProgramThe objective of the KNP coral reef moni-

toring program is to obtain information on spa-tial and temporal patterns of coral cover insideand outside the Park (Pet and Mous, 1999). Themonitoring program was designed to be relevantto managers, rather than to acquire general knowl-

Figure 1. Map of Indonesia, showing the study site, Komodo National Park, boxed. KNP is located between the islands of Sumbawa and Flores in Eastern Indonesia

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

29

edge on coral reef ecology. The program is con-ducted by 2-3 trained SCUBA divers, for a totalof approximately 60 speedboat days every otheryear. Finally, since the monitoring team fre-quently changes, ease of training is important.

Sites were chosen throughout KNP, insidethe buffer zone, and outside the Park (Figure 2).Sites were selected for extensive spatial cover-age, and the large number of sites (185) helpsensure statistical robustness. To compare differ-ent regions within the Park, the monitoring areawas divided into ten geographically contiguousregions, each with similar sample size, surfacearea, and habitat characteristics (Figure 2). Thenorthwestern regions (Labuan Bajo, Misa, andSiaba areas) in general have wide reef flats, withmany islands and patch reefs. Some islands arepopulated and fishing effort is much higher thanin the regions inside the National Park. KomodoNorth and Banta have narrower reef flats and asteep slope. The northern areas are influencedmore by the Flores Sea, which tends to be warmand calm. Rinca North is dominated by 2 largebays. The narrow straits between Rinca andFlores, and between Rinca and Padar, cause ex-tremely strong currents. The southern coasts ofKomodo, Padar, and Rinca are steep and rugged,with a rocky volcanic foundation. These areasare influenced more by the Indian Ocean, experi-ence upwelling, and are colder with strong cur-rents and more wave action. Different regionshave different environmental conditions and dif-ferent levels of impact from the fisheries (Pet,1999).

Monitoring sites were positioned approxi-mately every 1 to 5 km of shallow fringing reef.The GPS location of each site was recorded toenable subsequent expeditions to monitor ap-proximately the same sites each year. At eachsite, 3 depths were surveyed: 4, 8, and 12 m (oneobserver at each depth). Five consecutive swims(4 minutes each) were conducted at each depth,using snorkel for 4 m depths and SCUBA for 8and 12 m. The swimming speed was ~0.33 m/s,so ~80 m were covered per observation swim,for a total distance covered at each depth of ~400m. At the end of each observation swim, the ob-server recorded the visually estimated percent-ages to the nearest 5% of four habitat categories:

“live hard (scleractinian) coral”; “dead hardcoral” (dead portions of colonies or coral rubble);“soft coral”; and “other,” including rock, sand,algae, sponges, tunicates, anemones, echinoderms,etc. Other studies have shown that visual esti-mates can be accurate in manta tows (Miller andMüller, 1999) and quadrats (Dethier et al, 1993).All observers participated in a training programuntil all observers could estimate the percentcover by habitat categories within 5% of eachother as recommended by English et al (1994).Standard underwater data sheets were designedfor recording of date, site number, GPS location,depth, and name of observer. The survey is con-ducted every 2 years, and the 60 total survey daysare spread over 8-9 months. The first survey wasconducted in 1996, the year in which enforce-ment patrols began.

Data analysisFor each of the 185 sites, coverage data from

the five swims at each depth were averaged,yielding 3 samples per site. These means werethen used to compute averages of the percentcover of four benthic categories (live hard coral,dead hard coral, soft coral, and other), for eachregion at each depth. A hard coral mortality(HCM) index, a unitless ratio of dead coral coverto the sum of live and dead coral cover, was cal-culated for each site with HCM = [% dead * 100/ (% live + % dead)] (Gomez et al. 1994). Thehigher the hard coral mortality, the smaller theproportion of live coral. This mortality indexwas used in addition to the more common pa-rameter of percent live coral cover, since it maybe a better gauge of reef health than live coralcover, which can be low even in pristine reefs(Gomez et al, 1994). SAS version 6.11 was usedfor all statistical analyses. To normalize the data,the ARCSIN(SQRT(x)) transformation was ap-plied to the mean HCM/100 per sample data(Sokal and Rohlf 1995). To test differences be-tween years, the difference in transformed HCMvalues between 1996 and 1998 was calculated.Two-way analyses of variance (ANOVAs) wereperformed with survey depth, geographical re-gion, and the interaction term as explaining vari-ables. Depth explained only 0.09% of the totalvariance; consequently the different depths were

Increased coral cover.......(27-36)

30

pooled within sites, and depth was not includedin subsequent models. Residual analyses werecarried out to confirm that the assumptions ofANOVA were approximately met. For allANOVAs, the residuals were approximately nor-mally distributed (Wilk-Shapiro test, p>0.05). At-test was used to test the hypothesis that therewas a difference in mean HCM of each regionbetween survey years.

The Mean Square Error (MSE) from theANOVA was used as a measure of within-regionvariance (Cochran, 1977). This measure wasused to evaluate the minimum sample size re-quired to detect meaningful differences in HCMvalues, using the critical values for t at (=0.05. Itis assumed the Mean Square Error measures thevariance typically found within a relatively ho-mogeneous area. Although KNP overall is verydiverse, the habitat is similar within the 10 sub-regions.

RESULTSThe 1996 survey showed that many of the

coral reefs in KNP have been extensively dam-aged in nearly all regions. However, in 1998 therewere increases in the living proportion of hardcoral in a majority of regions. The cover of softcoral and other benthos remained basically un-changed between the two surveys (changing from22% to 24% and 35 to 34%, respectively). In1996 45% of monitoring sites had at least 30%dead hard coral coverage; two years later only31% had similar levels of dead coral.

The changes in live and dead coral coverdiffered markedly between the ten regions (Fig-ure 2). Figure 3 shows the average percent coverof each habitat category at each depth in eachregion. Live coral coverage increased in 6 of the10 regions, from 11-14% in 1996 to 15-21% in1998. The most prominent increases in live coralcover and decreases in dead coral cover were inareas near the center of Park management andprotective activity: average live hard coral coverincreased by 10, 4, and 6% in Labuan Bajo, Misa,and Siaba, respectively, and average dead hardcoral cover decreased by 15, 14, and 10%, re-spectively. Banta and Komodo North had thehighest average cover of live coral in 1996 (28%and 23%, respectively); live coral cover did not

increase significantly in these areas. In most re-gions, soft coral and other habitat cover did notchange dramatically, although in Misa and Bantasoft coral increased while dead hard coral de-creased, suggesting that soft coral, in addition tolive hard coral, is growing over the dead hardcoral.

Figure 4 summarizes the hard coral mor-tality (HCM) data. The results from the one-wayANOVA on the difference between years of thearcsine transformed HCM of each region indi-cate that there are significant regional differences(F value=7.60, p<0.0001). Variance correctedfor area and survey year was 0.064. In 1996,HCM was 57 overall; the most damaged regionswere Labuan Bajo, Misa, and Siaba (77, 70, and73 HCM, respectively). These are the closestregions to the large town of Labuan Bajo, justoutside the Park. In 1998, HCM decreased to 49overall, and all 3 of the most damaged regionshad experienced a statistically significant reduc-tion (to 56, 55, and 59, respectively; p < 0.0001in all cases). HCM also decreased in the re-gions of Rinca North, Komodo North, andKomodo Southeast (p<0.05). The area with theleast hard coral mortality was the remote KomodoSouthwest area (HCM=26), although this in-creased in 1998 (to 32; p<0.05). There was nostatistically significant change in the other 3 re-gions (Figure 4).

The average HCM at each of the 185 sitesin 1996 and 1998 is shown in Figure 5. Note theoverall shift from higher coral mortality (darkercircles) to lower coral mortality (lighter circles),especially in the northeastern regions.

The results from the analysis of the mini-mum sample size required to detect meaningfuldifferences in HCM values indicated that ~50samples are sufficient to detect differences inHCM of ~10. The number of samples in eachregion ranges from 48 to 63, except for Banta,which has 39 samples.

DISCUSSIONThe initial increase in live coral cover al-

ready detected with this long-term coral moni-toring program is encouraging, although coral re-covery differs markedly in the different regions.In four areas (Labuan Bajo, Siaba, Rinca South

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

31

Figure 2. Map of Komodo National Park (KNP), the 185 sampling sites, and ten sub-regions, with regional borders shown in solid line

Figure 3. Percent cover of each habitat categoryNote: (HCL= hard coral live; HCD= hard coral dead; SC= soft coral; Other=rock, sand, algae, other invertebrates, etc.) in each region for1996 (top) and 1998 (bottom) at A) 4 m, B) 8 m, and C) 12 m.

Increased coral cover.....(27-36)

32

and Komodo Southeast), average live coral coverin 1998 had increased by over 40% of 1996 lev-els. Decrease in hard coral mortality (HCM) ismost pronounced in the Labuan Bajo, Misa, andSiaba areas, with decreases in HCM of 15-20(Figure 4). Those regions are nearest the centerof protective activity (The Nature Conservancyfield office, Police Station, and National Parkoffice are all located in Labuan Bajo) and thusreceive the most surveillance time. There werelower, but still significant, levels of recovery inKomodo North, Komodo Southeast and RincaNorth, with decreases in HCM of 8-11 (Figure4). These increases in coral cover are compa-rable to other studies in the literature (reviewedin Connell 1997). In 46 cases of coral that haddeclined from disturbance (defined as an eventthat damages or kills the corals), significant coralrecovery occurred in 41%. Most of those recov-eries (11) were from acute disturbances with in-direct effects on the environment (Connell 1997).Blast fishing, however, tends to be a chronic dis-turbance with direct effects on the physical sub-strate, shattering the coral skeletons and leavinga shifting, unstable rubble field (Alcala and

Gomez 1987). Considering the extent of deadcoral, the increase in cover seen in some of themost damaged regions is encouraging.

Areas in which there was no natural recov-ery of hard corals between 1996 and 1998 in-clude Banta Island, Komodo Southwest, RincaSouth, and the Padar area. Several possible rea-sons might explain the lack of recovery. BantaIsland and parts of Rinca South are outside Parkboundaries and not covered by enforcement pa-trols. Komodo Southwest and Rinca South aremore remote areas at the edge of the umbrella ofprotective activities. In addition, Banta andKomodo Southwest are easily accessible by blastfishing communities from eastern Sumbawa, al-though some of the former dynamite fishing com-munities have changed their practices due toclashes with enforcement patrols. Although thePadar area is in the middle of the presently pro-tected area, it is one of the most extensively dam-aged locations. It is easily reached by severalcommunities and had been subject to blast fish-ing for several decades prior to the start of pa-trols in 1996. The habitat has been almost en-tirely leveled, so there is little three-dimensional,

Figure 4. Boxplot and whiskers showing the average hard coral mortality (X) in each region for 1996 (open)and 1998 (shaded). Note : Also shown are the maximum, minimum, and 25%, 50%, and 75% quartiles. (HCM = [% dead/ (%live +% dead) * 100]). Statistical results of t-test on the arcsine-transformed HCM data and sample size are shown above the boxplots((= decrease in coral mortality, (= increase in coral mortality; *=p<0.05, **=p<0.002, ***=p<0.0001).

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

33

complex, stable substrate left (Pet and Mous,1999). A topographically complex substrategreatly facilitates new coral growth (Clark andEdwards, 1995). Additionally, the area is sweptby strong currents, which, combined with the lackof habitat complexity and few nearby live“source” corals in the immediate area, might in-hibit the settlement of coral larvae (Fox et al,1999). This might be an area where active reha-bilitation would be necessary to enhance recovery.

The variation in coral reef community struc-ture varies over a scale of kilometers, necessi-tating sampling programs that will identify thevariability on this spatial scale (Edmunds andBruno, 1996). The area covered per swim andbenthic categories recorded in this monitoring pro-

gram are comparable to those for amanta tow survey (~80 m covered ina 4 min swim, compared to ~65 mcovered in a 2 min tow at 2 km/hr).Manta tows have been shown to beparticularly useful for assessingbroad changes in coral cover, espe-cially when the unit of interest is alarge reef area (Miller and Müller,1999; Pernetta, 1993). Although thisstudy is less detailed than other long-term transect- or quadrat-based coralmonitoring studies (e.g. Bythell et al,1993; Connell et al, 1997; Edinger,2000; Hughes, 1994) and does notprovide information on species abun-dance and overall diversity, it isnonetheless valuable for a number ofreasons. First, this monitoring pro-gram covers a much larger area thanmost other studies and can be usedto detect relatively small changes incoral cover in KNP. Second, themethodology is simple and appropri-ate for training Park rangers andmanagement staff without formal edu-cation in marine biology. Third,habitat complexity and the overallcover of hard coral is likely to bemore important for fish populationsthan the specific taxonomic makeupof the community (Lewis, 1997). Fi-nally, since an inventory of

biodiversity is not a management goal, the addi-tional training and effort needed to separate hardcorals into more detailed life form or taxonomicdivisions would not be cost-effective.

In order to evaluate the cost-effectivenessand usefulness of a monitoring program, it is im-portant for managers of a park to decide the levelof change they hope to be able to detect. Theanalysis of the minimum sample size required todetect differences in hard coral mortality (~50sites per region to detect HCM differences of >10)can be used to determine the number of samplingsites in a monitoring program to avoid over-andunder-sampling (Hughes, 1992).

There are several potential management re-sponses to our coral monitoring results. For ex-

Figure 5. The average hard coral mortality (HCM) at each of the185 sites in 1996 (top) and 1998 (bottom). Note: HCM = [% dead * 100/ (% live + % dead)]. Note the overall decrease in HCM in 1998 (lighter circlesrather than darker circles)

Increased coral cover......(27-36)

34

ample, it seems clear that the areas at the edge ofthe protective umbrella (Banta, Komodo South-west, and Rinca South) are in need of further pro-tection, so enforcement patrols should increasetheir presence in those areas. A proposal to in-clude Banta within KNP has been approved.Although this has not yet happened, the inclusionwould provide further protection to the reefs ofBanta if combined with increased enforcement.In some areas, reef regrowth appears to occurnaturally and rapidly, whereas in other areas, suchas Padar, little or no recovery is observed at all.A research project is currently underway to in-vestigate environmental influences on coral re-covery and to explore methods to enhance reefrehabilitation (Fox et al, 1999).

The increase in live coral cover is corre-lated with increased enforcement patrols. Basedon resource use surveys counting encounters withblast-fishing boats, dynamite fishing in the Parkdecreased by 75% in 1996, the year regular pa-trolling began (Pet, 1999). This reflects increasedlaw enforcement and community awareness aswell as a shift from low-income fishing for localmarkets (dynamited fish) to high-income fishingfor export markets (live reef fish and fresh chilledpelagics) (Cesar, 1996; Pet, 1999). Consideringthat dynamite fishing has been calculated to causea net loss of between US$33,900 and US$306,800per km2 of coral reef over a 20 year period, pro-grams that successfully decrease this destructivefishing practice are well worth the effort (Pet-Soede et al, 1999). We anticipate that this moni-toring program will continue to provide manage-ment-relevant information on damage and recov-ery from anthropogenic impacts or natural dis-turbances.

ACKNOWLEDGEMENTSWe thank the management and rangers of

Komodo National Park for their support. We arealso grateful to C. Subagyo, R. Ardiwijaya, andA. Halim for help with data collection. Fundingwas provided by Packard Foundation, KNCF(Keidenran), the Perkins Foundation, and a GAGPgrassroots grant from the Japanese Embassy inJakarta. M. V. Erdmann, R. L. Caldwell, L. Pet-Soede, V. Resh, R. Robison, R. Salm, and W. Sousaprovided helpful comments on the manuscript.

REFERENCESAlcala, A.C. and E. D. Gomez . 1987. Dynamiting coral

reefs for fish: a resource-destructive fishing method.In: B. Salvat (ed) Human Impacts on Coral Reefs:Facts and Recommendations, pp. 52-60

Allison, G. W., J. Lubchenco, and M. H. Carr. 1998. Ma-rine reserves are necessary but not sufficient for ma-rine conservation. Ecological Applications 8:S79-S92

Alpert P. 1995. Integrated conservation and develop-ment: applying ecological research at integrated con-servation and development projects. Ecological Ap-plications 5:857-860

Bythell, J. C., M. Bythell, and E. H. Gladfelter. 1993.Initial results of a long-term coral reef monitoringprogram: Impact of Hurricane Hugo at Buck IslandReef National Monument, St. Croix, U.S. Virgin Is-lands. Journal of Experimental Marine Biology andEcology 172:171-183

Cesar H. 1996. Economic analysis of Indonesian coralreefs. The World Bank, Washington, D.C.

Chou, L. M. 1997. The status of Southeast Asian coralreefs. Proceedings of the Eighth International CoralReef Symposium 1:317-322.

Clark, S. and A. J. Edwards. 1995. Coral transplantationas an aid to reef rehabilitation: Evaluation of a casestudy in the Maldive Islands. Coral Reefs 14:201-213.

Cochran, W. G. 1977. Sampling techniques. John Wiley& Sons, New York.

Connell, J. H. 1997. Disturbance and recovery of coralassemblages. Coral Reefs 16:S101-S113.

Connell, J.H., T.P. Hughes , and A. C. Wallace. 1997. A30-year study of coral abundance, recruitment, anddisturbance at several scales in space and time. Eco-logical Monographs 67:461-488.

Dethier, M. N., E. S. Graham , S. Cohen, and L. M. Tear.1993. Visual versus random-point percent cover es-timations objective is not always better. Marine Ecol-ogy Progress Series 96:93-100.

Edinger, E. N. and M. J. Risk. 2000. Reef classificationby coral morphology predicts coral reef conserva-tion value. Biological Conservation 92: 1-13.

Edmunds, P. J. and J. F. Bruno. 1996. The importance ofsampling scale in ecology: Kilometer-wide variationin coral reef communities. Marine Ecology ProgressSeries 143:165-171.

English S, C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. SurveyManual for Tropical Marine Resources. AustralianInstitute for Marine Science, Townsville, Australia,pp. 368

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

35

Fox, H. E., R. L. Caldwell , J. S. Pet. 1999. Enhancingcoral reef recovery after destructive fishing practicesin Indonesia. International Conference on ScientificAspects of Coral Reef Assessment, Monitoring, andRestoration, 14-16 April 1999 Fort Lauderdale, FLUSA, NCRI, p 88

Gomez, E.D., P. M. Alino, H. T. Yap, W. Y. Licuana. 1994.A review of the status of Philippine reefs. MarinePollution Bulletin 29:62-68.

Holthus, P. 1995. Rapid ecological assessment of KomodoNational Park. The Nature Conservancy, 57 pp

Hughes, T. 1992. Monitoring of coral reefs: a band-wagon? Reef Encounter 11:9-12.

Hughes, T. P. 1994. Coral reef degradation: A long-termstudy of human and natural impacts. In R. N. Ginsburg(ed) Proceedings of the Colloquium on Global As-pects of Coral Reefs: Health, Hazards and History;Symposium, Miami, Florida, USA, June 10-11, 1993,Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Sci-ence, University of Miami, Miami, Florida, USA, pp.208-213

Kelleher G, C. Bleakley, S. Wells . 1995. A global rep-resentative system of marine protected areas. GreatBarrier Reef Marine Park Authority, World Bank,World Conservation Union, Washington, D.C.

Lewis, A. R. 1997. Effects of experimental coral dis-turbance on the structure of fish communities onlarge patch reefs. Marine Ecology Progress Series161:37-50

McClanahan, T. R. 1999. Is there a future for coral reef parks inpoor tropical countries? Coral Reefs 18:321-325.

McManus, J. W., R. B. Reyes Jr., and C. L. Nanola Jr.1997. Effects of some destructive fishing methodson coral cover and potential rates of recovery. Envi-ronmental Management 21:69-78.

McNeill, S. E. 1994. The selection and design of marineprotected areas: Australia as a case study. Biodiversityand Conservation 3:586-605.

Miller, I. and R. Müller R. 1999. Validity and reproduc-ibility of benthic cover estimates made duringbroadscale surveys of coral reefs by manta tow. CoralReefs 18: 353-356.

Mous, P. J., C. Pet-Soede, M. V. Erdmann, H. J. S. Cesar, Y. Sadovy, J. S. Pet. 2000. Cyanide fishing on Indo-nesian coral reefs for the live food fish market. Whatis the problem? Live Reef Fish Information Bulletin7: 20-26.

Pauly, D., G. Silvestre, I. R. Smith. 1989. On develop-ment, fisheries and dynamite: a brief review of tropi-cal fisheries management. Natural Resource Mod-eling 3:307-329.

Pernetta, J. C. 1993. Monitoring coral reefs for globalchange. IUCN, Gland, Switzerland

Pet, J. S. and C. Yeager eds. 2000a. 25 year master planfor management, Komodo National Park, Book 1,Management Plan. Ministry of Forestry, Departmentof Nature Protection and Conservation, Jakarta, In-donesia. 81 pp.

Pet, J. S., C. Yeager eds. 2000b. 25 year master plan formanagement, Komodo National Park, Book 2, Data andAnalysis. Ministry of Forestry, Department of NatureProtection and Conservation, Jakarta, Indonesia. 242pp.

Pet, J. S. and C. Yeager C eds. 2000c. 25 year master planfor management, Komodo National Park, Book 3, SitePlanning. Ministry of Forestry, Department of NatureProtection and Conservation, Jakarta, Indonesia. 62 pp

Pet, J. S. and Mous, P. J. 1999. Status of the coral reefsin and around Komodo National Park 1996-1998:Monitoring report. The Nature Conservancy, Jakarta,21 pp

Pet, J. S. and Djohani R. 1998. Combatting destructivefishing practices in Komodo National Park: Ban thehookah compressor! Live Reef Fish Information Bul-letin 4:17-28.

Pet, J. S. 1997. Destructive fishing methods in andaround Komodo National Park. Live Reef Fish In-formation Bulletin:20-23.

Pet, J. S. 1999. Marine Resource Utilization KomodoNational Park Monitoring Program. The Nature Con-servancy, Jakarta, 38 pp

Pet, J. S. and R. Djohani. 1996. A framework for man-agement of the marine resources of Komodo Na-tional Park and surrounding marine areas in EasternIndonesia. The Nature Conservancy, Jakarta, Indone-sia, 38 pp

Pet-Soede, C., H. S. J. Cesar, and J. S. Pet. 1999. Aneconomic analysis of blast fishing on Indonesian coralreefs. Environmental Conservation 26:83-93.

Pet-Soede, L. and Erdmann, M. V. 1998. Blast fishing insouthwest Sulawesi, Indonesia. Naga, the ICLARMQuarterly April-June:4-9

Sokal, R. R. and F. J. Rohlf . 1995. Biometry. The prin-ciples and practice of statistics in biological research.Third ed. W.H. Freeman & Company, New York.

Wilkinson, C. R., L. M. Chou, E. Gomez, A. R. Ridzwan,S. Soekarno, S. Sudara. 1994. Status of coral reefsin southeast Asia: Threats and responses. In R. N.Ginsburg (ed) Proceedings of the Colloquium on Glo-bal Aspects of Coral Reefs: Health, Hazards and His-tory; Symposium, Miami, Florida, USA, June 10-11,1993, Rosenstiel School of Marine and AtmosphericScience, University of Miami, Miami, Florida, USA,pp. 311-317

Increased coral cover......(27-36)

36

ENHANCING CORAL REEF RECOVERY AFTERDESTRUCTIVE FISHING PRACTICES:

INITIAL RESULTS IN KOMODO NATIONAL PARK

HELEN E. FOXDepartment of Integrative Biology 3060 VLSB

University of California, Berkeley, CA 94720-3140e-mail: [email protected]

ROKHMIN DAHURIDirector General of Coast, Beach and Small Island

Department of Marine Affairs anf Fisheries, Republic of Indonesiae-mail: [email protected]

ABSTRACT

Dynamite or “blast” fishing is one of the most serious threats to Indonesian’s coral reefs. To monitor accurately the recovery of the reef community from anthropogenic impacts such as blast fishing the experimental area should be well-managed and no longer subject to blasting. Komodo National Park (KNP) is ideal in

this respect. Blast fishing commenced in KNP in 1950’s. However, since 1996 when regular policing of the parkwas initiated by TNC and PHPA (now PKA) the practice has declined in extent and frequency.

To monitor coral recovery in KNP, nine large (~ 300 m2) rubble fields have been monitored using video surveysand line intercept - transects at six monthly intervals. In addition, larvae recruitment in measured by using terracottasettlement tiles. Overall results indicate there is good potential to rehabilitate degraded coral reefs in KNP. Rapidcollonization, especially by Acroporids and Pocilloporids, suggest that creating stable, 3-dimensional substrate issufficient to enhance coral recruitment. In such situations, coral transplantation is not necessary. Continued moni-toring of both coral recovery and the effectiveness of rehabilitation strategic should yield results that are of regionalrelevance.Keywords: Komodo National Park, coral reefs, blast fishing, monitoring.

ABSTRACT

Penangkapan ikan dengan dinamit atau bahan peledak merupakan salah satu ancaman yang serius terhadap terumbukarang Indonesia. Untuk memonitor secara akurat pemulihan (recovery) komunitas karang dari dampakantropogenik seperti pemboman ikan, oleh sebab itu kawasan percobaan harus dikelola dengan baik dan tidak

lagi merupakan daerah pemboman. Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan kawasan yang ideal. Pemboman ikanmulai diperkenalkan di TNK pada tahun 1950 an. Namun demikian, sejak tahun 1996 saat kebijakan regulerdiperkenalkan oleh TNC dan PHPA (saat ini namanya PKA) kegiatan pemboman menurun baik dalam luasan maupunfrekuensi.

Dalam rangka memonitor pemulihan karang di TNK, sembilan padang pecahan karang yang luas (300 m2) telah dimonitor menggunakan pengamatan video dan transek garis dengan interval waktu 6 bulan sekali. Disamping itu,penambahan larvae diukur menggunakan “terracotta settlement tiles”. Hasil keseluruhan memperlihatkan potensiyang baik untuk rehabilitasi dari kerusakan terumbu karang di TNK. Kolonisasi yang cepat, khususnya oleh Acroporidsdan Pocilloporids, menunjukan adanya pembentukan kestabilan 3 dimensi substrat untuk mendukung penambahankarang. Pada situasi seperti ini, transplantasi karang tidak diperlukan. Monitoring lanjutan baik terhadap pemulihankarang dan efektifitas dari strategi rehabilitasi seharusnya menghasilkan bahwa kegiatan ini memiliki relevansi secararegional.Kata kunci: Taman Nasional Komodo (TNK), terumbu karang, pemboman ikan dan monitoring.

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

37

INTRODUCTIONBlast fishing

Coral reefs are among the earth’s most pro-ductive, diverse, and valuable habitats. However,pressures from rapid population and economicgrowth in Southeast Asia have brought many reefecosystems to the brink of collapse. It is esti-mated that less than 3 % of the reefs in Indonesiaremain in excellent condition (>75% live coralcover) and these are being rapidly degraded, asfew of the marine protected areas that exist onpaper are effectively managed (Chou, 1997;Wilkinson et al, 1994).

A devastating threat to reefs comes from dy-namite or “blast” fishing, which not only killsorganisms within the blast radius (including thetargeted fish), but also pulverizes the coral skel-etons themselves, leaving a shifting, unstablerubble field that inhibits, if not prevents, coloni-zation. Despite being illegal, blast fishing iswidespread, practiced in nearly 30 countries inSoutheast Asia and Oceania and has reportedlycaused major reef degradation in half of the coun-tries in the South Pacific (Ruddle, 1996). In thisstudy, we are investigating factors that inhibit orenhance coral regeneration and ways to acceler-ate recovery of coral reef communities damagedby blast fishing in Komodo National Park.

One of the most serious problems associ-ated with blast fishing is that new coral coloniesare not growing back, even when the damagedarea is protected from further impact. Blast fish-ing destroys living coral at a rate far beyond itscapacity to regenerate, since with extensive reefdestruction the sources of coral recruits (the adultcolonies) are eliminated. As more of a reef isblasted, there is increased pressure on the areasthat remain healthy, potentially leading to a cas-cade of ecosystem collapse (McManus, 1997).Furthermore, the potential long term economiccosts of destructive fishing in loss of sustainablefishery income, coastal protection, and tourismis more than 50 time higher than the short termbenefits (Cesar, 1996).

Coral recoveryThe widespread use and devastating effects

of blast fishing have been well documented(Alcala and Gomez, 1987; McManus et al, 1997;

Pauly et al, 1989), yet little is known about theprocess of recovery once a reef has been blasted.In general, coral larvae from seasonal spawningevents provide the primary means for recovery.While some living fragments might initially sur-vive, hard corals (scleractinians) are less likelyto recover either from chronic disturbance or dis-turbance that alters the physical environment;blast fishing falls into both categories (Connellet al, 1997). Furthermore, heavily disturbed oroverfished sites often undergo a “phase shift” tocommunities dominated by soft corals andmacroalgae, which limit recovery of hard coralcolonies (Done, 1992; Hughes, 1994; Roberts,1995). In Komodo National Park, large fields ofthe soft coral Xenia spp. often grow on top ofrubble (H. Fox, pers. obs.). Not only is Xenia asuccessful colonizer, with high fecundity and sev-eral dispersal modes, but also a superior com-petitor (Benayahu and Loya, 1985). Soft coralsalso can inhibit larval recruitment of scleractiniancorals via allelopathy (Maida et al, 1995). How-ever, there are also cases where soft corals andmacro algae do not invade space cleared by thedeath of hard corals (Fabricius, 1997).

To rehabilitate damaged reefs, some work-ers have experimented with transplantation of liv-ing coral colonies or cultivation of coral “gar-dens” to re-seed areas (Harriott and Fisk, 1995;Rinkevich, 1995). Clark and Edwards (1995)found that simply stabilizing the substrate withconcrete mats, onto which new coral settled, re-sulted in recovery comparable to that of trans-plantation to the concrete mats. Many rehabilita-tion methods are expensive, labor intensive, and,if transplantation is attempted, can result in highmortality of transplants (Clark and Edwards,1995; Harriott and Fisk, 1995). Furthermore, theyare not designed specifically for the type of dam-age done by blast fishing, or for the limited con-servation resources of developing countries. Thisproject focuses on exploring relatively inexpen-sive, cost-effective, and locally available tech-nologies to enhance coral reef rehabilitation.Since substrate stability and topographic com-plexity are crucial to survival of coral recruits,we predict that the recovery of coral communi-ties can be accelerated by stabilizing loose rubbleand creating three-dimensional surfaces for coral

Enhancing coral reef.....(36-45)

38

settlement (Harriott and Fisk, 1995; Schuhmacher,1988). Effective methods could be incorporatedin other regions in Indonesia, as well as in exist-ing reef management programs in other SoutheastAsian and Oceanic countries facing this problem.

Research ObjectivesThere are many factors that can influence

variation in recovery rates, including source oflarvae (adult coral colonies), substrate stabilityand condition, currents and hydrologic processes,and species interactions, such as presence of coralpredators and algal grazers. We are focusing onthe effects of source coral, water movement, andsubstrate size and condition, and seek to answerthe following questions:1. Is coral recovering naturally in rubble fields in

KNP?2. Is there potential for coral recovery, i.e. source

larvae?3. How does current strength affect natural recov-

ery?4. Do soft corals help or hinder hard coral recov-

ery?5. Can we enhance coral recovery with reef reha-

bilitation techniques?Taken together, these linked objectives will

allow us to determine factors influencing coralrecovery. We predict that the succession of areef community will begin once the structuralfoundation of the reef is reestablished, given ad-equate source coral populations.

MATERIALS AND METHODSStudy Area

To monitor accurately the recovery of thereef community from anthropogenic impacts, thestudy requires a well-managed marine reservethat is no longer being heavily blasted. Locatedin eastern Indonesia between the major islandsof Sumbawa and Flores, Komodo National Park(KNP) fulfills this need (Figure 1). The parkencompass areas where blast fishing has occurredat varying levels since the early 1950s, decliningdramatically due to efforts by The Nature Con-servancy. In 1996, weekly patrols were estab-lished to monitor extractive activities in the parkand enforce the ban on destructive fishing prac-tices. In addition, a coral monitoring programwas established to evaluate the reef environment

Figure 1. Locations of the nine rubble field sites (numbered red circles) and comparison sites with higher live coral cover (green circles)

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

39

of KNP and map the extent of damage by destruc-tive fishing methods. The coral monitoring projectand relatively high level of protection that KNPnow enjoys, combined with the many, diversesites that have been heavily damaged by blast fish-ing, make KNP an ideal site to conduct the bulkof this research, which began in January 1998.

METHODOLOGYIs coral recovering naturally inrubble fields in KNP?

Nine large (~300 m2) rubble fields approxi-mately 8-10 m deep in areas with a wide rangeof current strength were selected (Figure 1). Us-ing video surveys and line intercept transects, wehave estimated benthic cover within the site andat 6 control areas nearby that have higher coralcover. Natural recruitment is assessed every sixmonths by counting and measuring the size of hardcoral recruits in ten, randomly located 1 x 1 mquadrats and in four, 1 x 1 m permanently markedquadrats.

Is there potential for coral recovery, i.e.source larvae?

Levels of source larvae are being assessedwith settlement tiles. Five pairs of 10 x 20 cmterra cotta settlement tiles are installed within theblast site and at the control area, and are col-lected and replaced every 6 months. Each pair isvertically oriented with a gap of approximately1 cm between the tiles to create an environmentfavourable to coral settlement (Harriott and Fisk,1987). Collected tiles are examined with a dis-section microscope and location on the tile, size(measured with a micrometer in the microscopeocular), and family of the coral spat are identi-fied to determine if recruitment rate is correlatedto coral cover within the rubble field.

How does current strength affectnatural recovery?

It is inferred that a primary reason for lackof coral recovery is the continued motion of un-consolidated substrate leading to abrasion orsmothering of any recently-settled coral colonies(Clark and Edwards, 1995), however, the actualextent of movement has not to our knowledge beendocumented. In this case, we determined the ex-

tent of rubble movement and current strength tosee how each relates to levels of coral recruit-ment to the rubble. At each site, 30 pieces ofrubble were collected of each of three sizeclasses. The rubble was painted bright yellow,weighed and measured, and placed at precise lo-cations within each plot. Every 3-5 days afterinitial placement, the position of each rubble piecewas re-measured. From this, the distance anddirection of rubble movement per day was esti-mated. In addition, weighed blocks of dental ce-ment were employed at all sites for the same 24hour period, since the tides, and thus strength ofcurrent, is related to the lunar cycle. The blockswere then collected, dried, and re-weighed, inorder to calculate the dissolution rate, which iscorrelated with current strength.

Do soft corals help or hinder hardcoral recovery?

To determine if soft corals are inhibiting orfacilitating hard coral growth, soft coral removalplots and permanent mixed soft and hard coralquadrats have been established. At each of twosites, soft coral colonies were cleared from theunderlying rubble in seven, 1x1 m and two, 2x2m quadrats. Four, 1x1 m control plots and six,1x1 m “mixed” plots of approximately 50% softcoral and 50% hard coral were also marked. Thenumber, size, and taxa of hard coral recruits wereidentified at all plots. In four of the 1x1 m plotsand one 2x2 m plot, soft coral was re-clearedmonthly; in the other removal plots it has beenallowed to recolonize the bare rubble naturally.Sites were established, surveyed, and photo-graphed in November-December 1999, and werere-surveyed and re-photographed in April 2000.

Can we enhance coral recovery with reefrehabilitation techniques?

Methods to stabilize loose rubble in 1x1m plots are being examined. Two to four repli-cates of each of the following locally availabletreatments were installed at each blast site inApril or October 1998: a) fishing net pinned tothe rubble, b) cement slabs, half of which hadpieces of coral rubble inserted for greater sur-face complexity and c) piles of rocks. There arealso four untreated controls per site. These sites

Enhancing coral reef......(36-45)

40

are revisited every six months to measure size,number, and taxa of corals recruiting under thedifferent treatments in comparison with untreated,control areas. The material costs, time, and la-bor necessary to install each treatment is alsobeing recorded, for cost-benefit analyses. Sta-tistical analyses (repeated measures ANOVAs)have been performed to determine the most ef-fective rehabilitation treatment.

Based on the pilot studies, rocks were foundto be the most practical and effective rehabilita-tion treatment. At each of the 9 blast sites, 3-4larger rock piles of approximately 1-6m3 wereinstalled April-May 2000. These have been piledhigh (70-90 cm) in an attempt to avoid rubbleburial. Bamboo stakes have been driven in leav-ing exactly 40 cm above the rubble surface andare re-measured every 1-2 months, in order tomonitor if rubble is getting deeper or shallowerat each location.

INITIAL RESULTS AND DISCUSSIONNatural Recovery

Preliminary data analysis of the line-inter-cept transects clearly shows the high amount ofrubble, and low cover of hard corals (Figure 2).Although site 4 appears to have less rubble, thereis in fact rubble underlying the soft coral abun-dant at that site. In general, there is low naturalrecruitment at all sites.

Source CoralsResults from the settlement tile studies in-

dicate that even in rubble fields with extremelylow coral cover, source larvae are in the water,so there are potential coral recruits at all sites.There is no correlation between “potential” re-cruits, i.e. the coral larvae in the water as as-sayed by the settlement tiles, and “actual” recruitsto the bare rubble fields.

Rubble Movement and CurrentBased on the marked rubble studies, pieces

of rubble move several cm per day at all sites,with some pieces moving 10-15, or even 50 cmper day. Results from the bamboo stakes ham-mered to a known height above the rubble indi-cate a constant shifting landscape (Figure 3). Overthe course of each 1-2 month monitoring period,the rubble becomes approximately 2-10 cmdeeper or shallow, with no consistent pattern.Clearly, even in low current areas, this amountof rubble motion is sufficient to abrade or burysmall coral colonies that had settled on the rubble.Indeed, sites with stronger current (based on thedissolving blocks) and greater rubble movement havelower natural recruitment (Figure 4).

Competition with Soft CoralResults from the April 2000 re-survey show

Figure 2. Percent cover of rubble, soft coral, and hard coral at each of the rubble field sitesNote the extremely low level of hard coral (Scleractinia). The soft coral in site 4 is growing on top of underlying rubble

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

41

Figure 3. Change in height of rubble (in cm) at each of 9 bamboo stakes within high current (left) and low current (right) blast sites based on 3 survey periods May-October 2000

Note that there is not a consistent pattern of the rubble getting deeper or shallower

Figure 4. The relationship between average numbers of coral recruits per square meter to rubble movement (left) and current strength as measured by dissolving blocks of dental cement (right)

Note that the stronger the current and greater the rubble movement, the lower the natural recruitment

Figure 5. Results from soft coral removal studies. Plots that had been cleared of soft coral coloniesshowed subsequent increases in number of hard coral colonies (right) as compared to whennewly cleared (left)

Enhancing coral reef......(36-45)

42

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

Fig

ure

6. N

umbe

r of h

ard

cora

l rec

ruits

per

squ

are

met

er (y

-axi

s) p

er s

urve

y pe

riod

on u

ntre

ated

rubb

le(r

ando

m) a

nd re

plic

ates

of c

emen

t sla

bs (C

), p

iles

of ro

cks

(R) o

r nee

ting

pinn

ed o

n th

e ru

bble

(N).

43

statistically greater numbers of hard coral recruitsper square meter in quadrats cleared of soft coral(Figure 5). This would suggest that soft coral iscompeting with hard coral, at least in the shortterm. Sites would need to be followed for anextended period to determine whether soft coralcan facilitate hard coral recovery by stabilizingthe loose rubble.

Rehabilitation TreatmentsOverall results indicate that there is good

potential to rehabilitate destroyed reefs inKomodo National Park. At all nine sites, chosento broadly represent rubble fields in the Park,there was increased coral recruitment to the treat-ments, as compared to untreated, bare rubble(Figure 6). In some cases, recruitment (numberof colonies per square meter) was over 20 timeshigher in the experimental plots than on untreatedrubble. However, in some cases the cumulativemovement of the vast rubble fields encroachedon, or even buried completely, the experimentalplots, perhaps because they were too small. Thelarger rock piles showed considerable recruit-ment of hard corals after only 5 months (Figure7), with 10-20 recruits per square meter at somesites. Most recruits are Acroporids orPocilliporids, with fewer Porites or other mas-

sive corals. This rapid colonization suggests thattransplantation would be unnecessary in KNP, andthat creating stable, 3-dimensional substrate issufficient to enhance coral recruitment.

By continuing to monitor where, when, andhow rubble moves, as well as track the recruit-ment to the larger rock piles, we hope to be ableto construct and place rehabilitation treatmentsthat will be resistant to rubble burial. Techniquesthat result in enhanced regeneration can lead tomanagement measures and policy decisions toaccelerate rehabilitation of reefs. This will bevaluable not only in Komodo but also in otherregions in Indonesia, Southeast Asia, and Oceaniathat have been damaged by a history of blast fish-ing but currently have successful enforcement andalternative livelihood programs to reduce futuredamage.

ACKNOWLEDGEMENTSWe thank the staff of Komodo National Park

and The Nature Conservancy Komodo Field Of-fice for their support. We are also grateful to C.Huffard, E. Maloney, A. Muljadi, R. Legawa, andSudarsono for help with data collection. Fund-ing was provided by TNC/Mellon Ecosystem Re-search Program, U.C. Berkeley Pacific Rim Re-search Program, the National Science Founda-

Figure 7. Average number per square meter of dominant families of hard coral recruits after 5 months (May-October 2000) to larger rock piles at rubble field sites in KNP

Enhancing coral reef......(36-45)

44

tion, and the International Society for Reef Stud-ies. R. L. Caldwell, M. V. Erdmann, P. Mous,and J. Pet, provided helpful advice throughout.

REFERENCESAlcala, A. C. and E. D. Gomez. 1987. Dynamiting coral

reefs for fish: a resource-destructive fishing method.In Human Impacts on Coral Reefs: Facts and Rec-ommendations (ed. B. Salvat), pp. 52-60.

Benayahu, Y. and Y. Loya. 1985. Settlement and recruit-ment of a soft coral: Why is Xenia macrospiculata asuccessful colonizer? Bulletin of Marine Science 36,177-188.

Cesar, H. 1996. Economic analysis of Indonesian coralreefs. In World Bank Enviromnetal Department Pa-per, Environment Economics Series. Washington,D.C.: The World Bank.

Chou, L. M. 1997. The status of Southeast Asian coralreefs. Proceedings of the Eighth International CoralReef Symposium 1, 317-322.

Clark, S. and A. J. Edwards. 1995. Coral transplantationas an aid to reef rehabilitation: Evaluation of a casestudy in the Maldive Islands. Coral Reefs 14, 201-213.

Connell, J. H., T. P. Hughes and C. C. Wallace. 1997. A30-year study of coral abundance, recruitment, anddisturbance at several scales in space and time. Eco-logical Monographs 67, 461-488.

Done, T. 1992. Constancy and change in some Great Bar-rier Reef coral communities: 1980-1990. AmericanZoologist 32, 655-662.

Fabricius, K. E. 1997. Soft coral abundance on the cen-tral Great Barrier Reef: Effects of Acanthaster planci,space availability, and aspects of the physical envi-ronment. Coral Reefs 16, 159-167.

Harriott, V. J. and D. A. Fisk. 1987. A comparison ofsettlement plate types for experiments on the recruit-ment of scleractinian corals. Marine EcologyProgress Series 37, 201-208.

Harriott, V. J. and D. A. Fisk. 1995. Accelerated regen-eration of hard corals: a manual for coral reef usersand managers. Great Barrier Reef Marine Park Au-

thority Technical Memorandum, 1-42.

Hughes, T. P. 1994. Catastrophes, phase shifts, and large-scale degradation of a Caribbean coral reef. Science(Washington D C) 265, 1547-1551.

Maida, M., P. W. Sammarco and J. C. Coll. 1995. Ef-fects of soft corals on scleractinian coral recruitment.I: Directional allelopathy and inhibition of settlement.Marine Ecology Progress Series 121, 191-202.

McManus, J. W. 1997. Tropical marine fisheries and thefuture of coral reefs: A brief review with emphasison Southeast Asia. Coral Reefs 16, S121-S127.

McManus, J. W., R. B. Reyes Jr. and C. L. Nanola Jr.1997. Effects of some destructive fishing methodson coral cover and potential rates of recovery. Envi-ronmental Management 21, 69-78.

Pauly , D., G. Silvestre and I. R. Smith. 1989. On devel-opment, fisheries and dynamite: a brief review oftropical fisheries management. Natural ResourceModeling 3, 307-329.

Rinkevich, B. 1995. Restoration strategies for coral reefsdamaged by recreational activities: The use of sexualand asexual recruits. Restoration Ecology 3, 241-251.

Roberts, C. M. 1995 . Effects of fishing on the ecosys-tem structure of coral reefs. Conservation Biology9, 988-995.

Ruddle, K. 1996. Traditional management of reef fish-ing. In Fish and Fisheries Series, 20. Reef fisheries(ed. N. V. C. Polunin and M. R. C), pp. 315-335. Lon-don, England, UK; New York, New York, USA:Chapman and Hall Ltd.

Schuhmacher, H. 1988. Development of coral commu-nities on artificial reef types over 20 years (Eilat,Red Sea). Proceedings of the Sixth InternationalCoral Reef Symposium. 2, 379-384.

Wilkinson, C. R., L. M. Chou, E. Gomez, A.R. Ridzwan,S. Soekarno and S. Sudara. 1994. Status of coralreefs in southeast Asia: Threats and responses. In Pro-ceedings of the Colloquium on Global Aspects ofCoral Reefs: Health, Hazards and History; Sympo-sium, Miami, Florida, USA, June 10-11, 1993 (ed.R. N. Ginsburg), pp. 311-317. Miami, Florida, USA:Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Sci-ence, University of Miami.

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

45

SIKAP DAN PERSEPSI MASYARAKATMENGENAI SUMBERDAYA PESISIR

DAN LAUT DI INDONESIA

IAN M. DUTTON, KUN S. HIDAYAT, TIENE GUNAWANCoatal Resources Management Project

e-mail: [email protected]

FEDI SONDITAProyek Pesisir PKSPL-IPB Bogor

e-mail: [email protected]

JAN STEFFENYayasan KEHATI

e-mail: [email protected]

DOUG STOREYJohn Hopkins University

Center for Communication Program-Indonesia Field Officee-mail: [email protected]

REED MERRILNRM Program/EPIQ

reed @ibm.net

dan

SYLVIANITATerangi

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Adalah suatu hal yang patut dipertanyakan bahwa dalam suatu negara yang luas lautannya jauh lebih besar dariluas daratannya belum pernah ada survei nasional mengenai persepsi masyarakat terhadap kekayaan lautyang dimilikinya. Untuk mengedepankan hal ini, pada tahun 2000 yang lalu Proyek Pesisir menyelenggarakan

survei mengenai sikap dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia untuk pertama kalinya.Hasil survei ini dapat digunakan sebagai tolok ukur masyarakat Indonesia terhadap konservasi dan pemanfaatansumberdaya pesisir dan lautan.

Jumlah sampel yang diambil adalah 1600 responden dari berbagai wilayah di propinsi Lampung, Kalimantan Timur,Sulawesi Utara, dan Jabotabek. Sampel kemudian diklasifikasikan ke dalam lokasi tempat tinggal responden, yaitupedesaan di wilayah pesisir dan wilayah pedalaman, serta wilayah urban pada setiap propinsi. Pada setiap lokasi,survei dilaksanakan dengan mewawancarai orang dewasa yang ada dalam rumah tangga yang dipilih secara acak sehinggakeseimbangan gender dan usia tercapai.

Ada dua kesimpulan utama yang didapat dari survei. Yang pertama adalah sangat rendahnya pengetahuan yangdimiliki masyarakat Indonesia secara umum mengenai keberadaan dan letak Indonesia. Rendahnya pengetahuan inijuga mencakup minimnya pengetahuan mengenai sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia yang berlimpah bagi kehidupansosial dan ekonomi. Di samping itu ada perbedaan yang mendasar dalam pengetahuan dan pengertian masyarakat yangmenjadi kendala bagi keikutsertaannya dalam program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang lebih baik. Namun

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

46

demikian, di luar keterbatasan yang ada, masyarakat secara umum menyadari pentingnya sumberdaya pesisir dan lautbagi kehidupan sehari-hari.

Hal kedua dan yang lebih penting adalah bahwa masyarakat Indonesia sangat memperhatikan kondisi lautnya danpelestarian nilai dan keberadaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa terdapatdukungan yang kuat bagi Departemen Kelautan dan Perikanan. Dari hasil survei juga terlihat bahwa pencemaran lautmemiliki peringkat keenam sebagai hal yang dianggap sebagai masalah nasional yang mendesak untuk ditangani, diatas masalah-masalah kejahatan, kemiskinan, dan masalah kondisi jalan. Survei ini juga menunjukkan bahwa masyarakatbersedia untuk lebih terlibat secara aktif dengan pemerintah setempat dan institusi lainnya dalam pengelolaan sumberdayapesisir dan laut. Namun demikian, masyarakat memerlukan pendidikan, petunjuk, serta kepercayaan dalamketerlibatannya tersebut. Makalah ini merekomendasikan agar metode yang digunakan dalam survei ini direplikasidalam survei yang akan datang di propinsi-propinsi lain di Indonesia serta dalam survei-survei nasional yang sebaiknyadilakukan secara rutin untuk memastikan tercakupnya sikap dan persepsi masyarakat dalam agenda kebijakan kelautannasional.Kata-kata kunci:tolak ukur, survei, persepsi, sikap masyarakat, sumberdaya pesisir dan laut.

ABSTRACT

Somewhat surprisingly in a country that is more sea than land, there has never been a comprehensive nationalsurvey of how Indonesians relate to their marine heritage. To redress this glaring gap in our knowledge, in2000, Proyek Pesisir commissioned the first national benchmark study of public attitudes towards the conser-

vation and use of marine resources.The survey sampled 1,600 households divided equally between Lampung, East Kalimantan, North Sulawesi and

Jabotabek. The sample was further stratified by location of household; rural villages in coastal and inland and urbancentres in each province. In each location, a trained surveyor administered the interview survey to an adult in eachhousehold randomly selected so as to achieve a gender and age balance.

Two key conclusions emerged from the survey. Firstly, Indonesians are poorly informed about the geography,social and economic significance of Indonesia’s vast coastal and marine estate. There are significant gaps in basicknowledge and understanding that limit the ability of individuals to effectively engage in programs to better managecoastal and marine resources. Despite these limitations, they recognize that marine resources are very important totheir well being.

Secondly and more significantly, Indonesians are very concerned about the state of the nation’s seas and theirsubsequent ability to sustain the many values that Indonesians ascribe to coastal and marine resources. Clearly thereis a strong constituency for the new Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Pollution of the sea is ranked as thesixth most pressing national problem, above issues such as crime, poverty and roads. Importantly, the survey revealedthat Indonesians are willing to engage moe actively with local government and others to more effectively managecoastal and marine resources but need education, guidance and trust. It is proposed that the methods pioneered in thisstudy should be replicated in future surveys of other provinces and in more regular national surveys so as to ensurepublic attitudes are incorporated in the national marine policy agenda.Keywords: benchmark, perception, community attitude, coastal and marine resources.

PENDAHULUANPenelitian ini dipicu oleh pembentukan

Departemen Kelautan dan Perikanan di akhir1999. Dalam suatu pembicaraan awal denganMenteri Kelautan dan Perikanan serta stafseniornya, terungkap kurangnya informasi yangdapat diandalkan mengenai persepsi dan sikapmasyarakat tentang sumberdaya laut. Kurangnyainformasi tersebut tidak hanya mencakupkurangnya pengetahuan tentang bagaimanaanggapan berbagai lapisan masyarakat terhadapsumberdaya laut, tetapi juga termasuk tidakadanya konsensus yang valid mengenai aspirasi

masyarakat bagi pengelolaan sumberdaya tersebutdi masa datang.

Dalam pembicaraan tersebut Pak Sarwonomengungkapkan bahwa kelompok-kelompokstakeholders kelautan di Indonesia tidak memilikikesamaan visi dalam pembangunan sumberdayalaut meskipun pada saat yang bersamaan terdapatperhatian yang hampir merata terhadap ekosistempesisir dan laut. Selain itu, terungkap adanyapandangan-pandangan yang berbeda mengenaikondisi cadangan sumberdaya tertentu sertaketidakpastian mengenai pengelolaan sumberdayapesisir dan laut di masa otonomi daerah. Hal

Sikap dan persepsi.....( 46-52)

47

yang sama juga diungkapkan dalam gagasanreformasi kebijakan kelautan lain baru-baru ini(Dahuri dan Dutton, 2000).

Dari konsultasi tersebut, terlihat bahwapengetahuan akan pandangan masyarakat secaraumum terhadap sumberdaya pesisir dan laut sertapemanfaatannya sangat diperlukan sebagaimasukan kepada program awal di DepartemenKelautan dan Perikanan yang baru dibentuktersebut. Proyek Pesisir kemudian mengedepan-kan kebutuhan tersebut sebagai bagian dariprogramnya di Tahun Keempat yaitu mendukungprogram kebijakan pesisir nasional (ProyekPesisir, 2000). Suatu survei mengenai hal yangsama juga diperlukan sebagai masukan bagikegiatan outreach dan pendidikan lingkunganhidup. Secara khusus, survei ini diperlukan bagipengalokasian sumberdaya (dana) yang terbatasuntuk mengedepankan kebutuhan pendidikan danpenyadaran masyarakat mengenai sumberdayapesisir dan laut di Indonesia. Survei ini dirasakansangat tepat waktunya karena pada saat yangbersamaan program COREMAP John Hopkinsmenyelesaikan survei mengenai persepsi dansikap sejenis di Riau, Sulawesi Selatan, dan IrianJaya (Storey, 2000; Strain et al., 2000).

METODEUntuk memastikan bahwa kebutuhan dari

mitra-mitra Proyek Pesisir terpenuhi serta untukmemastikan bahwa Proyek Pesisir memanfaatkankeahlian yang ada dalam pelaksanaan survei ini,suatu Panitia Pengarah (steering committee)kemudian dibentuk. Anggota Panitia Pengarahsurvei terdiri dari perwakilan dari:

John Hopkins University (untuk mengkaitkansurvei dan kegiatan outreach Proyek Pesisirdengan kegiatan COREMAP-nya)Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan -Institut Pertanian BogorYayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)Yayasan Terumbu Karang Indonesia(TERANGI)Departemen Kelautan dan PerikananDirektorat Jendral Pembangunan Daerah(BANGDA), Departemen Dalam NegeriUSAID-BAPPENAS EPIQ/NRM Sub-programKawasan LindungStaf Outreach dan staf Teknis Proyek Pesisir

Panitia Pengarah mengkaji survei lokal danglobal yang berkaitan dan relevan, serta kemudianmengembangkan kerangka acuan bagi tenderpelaksanaan survei. Pelaksana survei yang dipilihkemudian adalah Consensus - MBL. Adasejumlah kesulitan dalam pelaksanaan survei,khususnya dalam mengembangkan pertanyaandengan bahasa sederhana yang dapat denganmudah dipahami serta dalam memastikan bahwajawaban yang diberikan merupakan jawaban yangbenar-benar mencerminkan kondisi sesungguhnya.Panitia Pengarah kemudian mengembangkanberagam protokol survei dan jenis-jenispertanyaan untuk diuji. Setelah survei mengalamirevisi sebanyak tiga kali, uji coba pelaksanaansebanyak dua kali, dan pelatihan pewawancara,survei dilaksanakan pada bulan Juli hinggaAgustus 2000. Dari setiap wilayah, yaituJabotabek, Lampung, Sulawesi Utara, danKalimantan Timur, diambil sampel masing-masing 400 orang responden. Ke 1600 respondendi setiap lokasi kemudian distratifikasi denganmengelompokkan penduduk di wilayah perkotaan(urban), wilayah desa pedalaman, dan wilayahdesa pesisir. Rumah tangga dan orang dewasadalam rumah tangga terpilih yang menjadi targetwawancara dipilih secara acak denganberdasarkan pada informasi Rukun Tetangga.Wawancara terhadap responden dilakukan selamakira-kira satu jam.

TEMUAN-TEMUAN PENTINGSurvei yang dilaksanakan menghasilkan

sejumlah besar data dan informasi yang secaragaris besar dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

PENGETAHUAN MASYARAKATPengetahuan mengenai negara kepulauan In-

donesia secara umum sangat buruk. Hal inimencerminkan kegagalan kurikulum dan mediapendidikan nasional untuk dapat menjelaskandasar-dasar pengetahuan geografis, sertakepentingan sosial dan ekonomi dari laut yangdimiliki Indonesia. Ragam pengetahuan wanitadibandingkan pria sangat kecil, demikian pularagam pengetahuan ditinjau dari aspek usia.

Contoh kegagalan ini adalah sebagai berikut:Sekitar 20% orang Indonesia tidak tahu di lautmana letak Indonesia

Sikap dan persepsi......( 46-52)

48

Sebagian besar masyarakat (52%) menganggapbahwa Indonesia memiliki kurang dari 2500buah pulau (jumlah yang benar adalah 17.500lebih!). Lebih jauh, 24% dari responden tidakmemiliki gambaran sama sekali mengenaijumlah pulau di IndonesiaHanya empat persen dari masyarakat tahubahwa Indonesia memiliki keanekaragamanhayati terbesar di dunia; 43% menganggapbahwa Jepang memiliki spesies ikan dankarang yang terbanyak, 23% menganggap Cinayang memiliki paling banyak spesies ikan dankarang, 17% Filipina dan Malaysia, 15%Amerika Serikat, dan 14% Australia.

Persepsi masyarakat beragam sejalan denganragam lokasi dimana mereka tinggal dan terlihatkurangnya pengetahuan dalam hal-hal yangmendasar sekalipun mengenai fenomena yangada di luar wilayah tinggalnya. Sebagai contoh,28% dari responden di Jabotabek dan 23%responden Lampung menganggap bahwa PulauJawa adalah pulau yang terbesar; hanya 13%dari responden Kalimantan Timur dan 11% dariresponden Sulawesi Utara memiliki anggapanyang sama. Hal yang sama mengenai terumbukarang, 20% reponden yang tinggal di desa

pedalaman menganggap bahwa terumbu karangadalah benda mati, sementara hanya sembilanpersen dari penduduk pesisir memilikianggapan yang sama.

79% masyarakat tidak tahu nama MenteriKelautan dan Perikanan dan 41% tidakmengetahui Departemen yang bertanggungja-wab dalam pengelolaan pesisir dan lautan(hanya 19% yang dapat mengidentifikasiDepartemen yang baru ini secara benar).

Yang dianggap tergolong dalam sumberdaya lautadalah ikan, rumput laut, kerang, garam, mutiaradan udang, sementara minyak, tripang, bintanglaut, ubur-ubur, serta mangrove adalah hal-halyang tidak diidentifikasi sebagai sumberdaya laut.Kampanye Selamatkan Terumbu Karang(SeKarang!) dikenal secara luas melalui me-dia - 52% responden mengatakan pernahmelihat logo SeKarang! tersebut dibandingkandengan 46% logo WWF, 14% logo ProyekPesisir, dan 11% logo KEHATI.

PEMANFAATAN SUMBERDAYAKarena sebagian besar data yang didapat

dari survei berkaitan erat dengan lokasinya,generalisasi yang dilakukan dalam pemanfaatan

Gambar 1. Persepsi Masyarakat mengenai Ancaman terhadap Sumberdaya Pesisir dan Laut

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

49

sumberdaya pesisir dan laut sangat terbatas.Terdapat tiga temuan yang menarik untukdiperhatikan, yaitu: Pemanfaatan sumberdaya laut yang utama olehmasyarakat secara umum adalah pemanfaatansumberdaya yang dipandang sebagai “sumberpangan untuk dikonsumsi pribadi/keluarga”,“sumber pangan untuk dijual”, “saranatransportasi laut”, serta “sumber produk-produk laut untuk dijual secara lokal” (misalnyapasir, kerang, dan lain lain). Tiga jenissumberdaya laut yang dianggap sangat pentingbagi rumah tangga adalah ikan (99%), garam(84%), udang (58%), cumi-cumi (47%),kepiting (33%), kerang (28%), rumput laut(27%) dan pasir (17%).

Melancong adalah rekreasi yang populer diwilayah pesisir dan laut (89%), diikuti olehberenang (42%), memancing (6%),sembahyang (5%), makan (4%), dan snorkel-ing/menyelam, berjalan-jalan, bermain, danbersantai (masing-masing kurang dari 2%).

73% orang Indonesia dilaporkan dapatberenang, dengan presentasi lebih besar bagipenduduk di wilayah pesisir (82% vs. 68%penduduk pedalaman). Namun demikian, 70%dari yang perenang-perenang tersebut hanyaberenang tiga bulan sekali. Ada perbedaanbesar dalam jumlah yang tidak dapat berenang- hanya 11% pria dilaporkan tidak dapatberenang dibandingkan dengan 44% wanita.

SIKAP DAN PERHATIAN MASYARAKATSebagian besar pertanyaan dalam survei ini

difokuskan pada sikap dan anggapan masyarakatmengenai kondisi dan pengelolaan sumberdayapesisir dan lautan. Dari temuan berikut ini(Gambar 1) terlihat bahwa meskipun tingkatpengetahuan umum masyarakat rendah, terlihatbahwa ada perhatian dan rasa kepentingan yangkuat dalam isu-isu kelautan serta terdapatdukungan (konstituen) yang signifikan dalamperbaikan perngelolaan sumberdaya tersebut.

Responden menempatkan “perlindungan lautterhadap pencemaran” di urutan keenam darimasalah-masalah di Indonesia yang dianggapmendesak untuk segera ditangani. Urutan diatasnya (dari urutan ke satu hingga ke lima) adalahmasalah-masalah biaya hidup, pendapatan rumah

tangga, biaya pendidikan, pengangguran, dankeamanan. Isu perlindungan laut terhadappencemaran tersebut berada di atas masalahseperti krisis ekonomi, masalah sampah, jalanrusak, kejahatan/kriminal, kemiskinan, danstabilitas politik.

Dalam hal pentingnya sumberdaya alam,responden menempatkan isu tersebut pada urutandi bawah perhatian terhadap isu penghasilan,kemampuan untuk menghidupi keluarga, standarhidup, dan pendidikan. Namun pentingnyasumberdaya alam menempati peringkat di ataspentingnya keinginan untuk membeli baju baru danmenyelenggarakan pesta perkawinan yang besar.Selanjutnya dapat disimpulkan adalah bahwaresponden memiliki perhatian pada kelestariansumberdaya alam. Hal ini dapat ditunjukkan dari47% responden yang menganggap bahwa kondisilaut di Indonesia semakin memburuk(dibandingkan dengan 14% yang menganggapkondisinya sama saja dan 25% yang menganggapbahwa kondisi laut semakin membaik).

Gambar 1. di bawah ini menunjukan secararinci hal-hal yang dianggap sebagai ancamanterhadap sumberdaya serta kualitas lingkunganpesisir dan laut. Pertanyaan lebih rinci yangdiajukan kepada responden lebih jauhmemberikan gambaran mengenai sikap danpersepsi masyarakat akan kegiatan industrikelautan dan kegiatan yang berkaitan sumberdayalaut. Berikut ini adalah butir-butir yang mencer-minkan sikap dan persepsi tersebut.

Nelayan yang meggunakan teknik ilegal harusdihukum (82%)Kura-kura laut dan lumba-lumba yangtertangkap harus dilepaskan kembali (81.5%)Ikan yang belum cukup umur harus dilepaskankembali ke laut (78%)Saya bersedia untuk ikut serta dalam kegiatanperlindungan sumberdaya pesisir dan laut(72%)Kembangkan sistem musim tertutup bagipenangkapan ikan sehingga cadangan sumber-daya perikanan dapat pulih kembali (70%)

Bila masyarakat tidak berbuat apapun, kita tidakdapat lagi tergantung pada sumberdaya laut(66%)

Kerusakan hutan akan berakibat pada kerusakanwilayah pesisir dan laut (64%)

Sikap dan persepsi......( 46-52)

50

Gambar 2 berikut ini merinci lembaga-lembaga atau kelompok yang berkepentingan(stakeholders) yang dirasakan masyarakatsebaiknya dipercayai untuk mengelolasumberdaya pesisir dan lautan. Pandangan inimemberikan gambaran lebih jauh mengenaipenekanan akan pentingnya keragaman keahliandan lembaga yang terlibat dalam menanganimasalah pesisir dan lautan yang kompleks.

DISKUSITemuan-temuan survei mengungkapkan fakta

bahwa masyarakat Indonesia menyadari penting-nya sumberdaya pesisir dan lautan sebagai sumberpenunjang kehidupannya. Hal ini tercermin darianggapan bahwa sumberdaya pesisir dan lautmerupakan sumber utama bahan pangan yangdikonsumsi sehari-hari. Fakta juga menunjukkanbahwa masyarakat memberikan perhatian besarterhadap ketersediaan sumberdaya pesisir danlautan bagi generasi yang akan datang. Di sampingitu, masyarakat secara umum bersedia terlibatdalam kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdayaserta ekosistem pesisir dan laut.

Berlawanan dengan kenyataan di atas, faktamenunjukan bahwa pengetahuan dasar mengenaisumberdaya pesisir dan laut terutama bagi

pengelolaannya sangat kurang. Keterbatasanpengetahuan dasar tersebut memicu ketidak-mampuan masyarakat untuk terlibat dalam prosespengambilan keputusan yang berkaitan dengankebijakan pemanfaatan sumberdaya pesisir danlautan. Tidak terlibatnya masyarakat dalam prosespengambilan keputusan bagi kebijakanpemanfaatan sumberdaya akan berakibat padatidak terwakilinya kepentingan masyarakattersebut. Lebih jauh, dampak positif pengelolaandan/atau pemanfaatan tidak dapat dirasakan olehmasyarakat itu sendiri.

Kenyataan di atas merupakan hal yang terkaitsatu sama lain. Di satu pihak, masyarakat inginterlibat dalam pengelolaan sumberdaya, sementaradi pihak lain, pengetatuhan dasar yang dimilikikurang. Hal ini secara nyata ditunjukan dalamhasil survey bahwa masyarakat memerlukanbimbingan, petunjuk, serta koordinasi dari pihak-pihak lain yang berkepentingan. Untukmemutuskan mata rantai tersebut, perhatian yangkhusus harus diberikan kepada pendidikan umum(public educations). Hal ini dapat dilakukanmelalui pembenahan kurikulum di bidangpendidikan formal, peningkatan kapasitas melaluipelatihan, penyuluhan tentang pengelolaansumberdaya pesisir dan laut, serta upaya-upaya

Gambar 2. Peringkat yang diberikan masyarakat mengenai siapa yang harus diberi tanggung jawab dalampengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

51

pembangunan kemampuan kelembagaan diinstansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaanwilayah pesisir dan lautan, utamanya DepartemenKelautan dan Perikanan.

KESIMPULANHasil survei nasional ini menyajikan tiga

tantangan utama bagi Departemen Kelautan danPerikanan dan pihak-pihak lain yang berkepen-tingan dengan kebijakan dan pengelolaan kelautanIndonesia.

Yang pertama adalah kenyataan bahwapengetahuan formal masyarakat Indonesia tentangsumberdaya pesisir dan laut yang ada kurang. Halini berakibat pada kurangnya dasar pemikiran bagipengambilan keputusan tentang pemanfaatanlangsung sumberdaya pesisir dan laut tersebut.Di samping itu kenyataan di atas mengakibatkankurangnya kemampuan masyarakat untuk berperanlangsung dan memberikan kontribusi yangsignifikan dalam perumusan kebijakan kelautan.

Yang kedua adalah masyarakat Indonesiamenempatkan nilai yang tinggi bagi sumberdayapesisir dan laut bagi tujuan pemanfaatanfungsional (misalnya sebagai sumber pangan) danamenitas (misalnya rekreasi). Masyarakatmemberikan perhatian yang tinggi dalam halpenurunan nilai sumberdaya pesisir dan laut sertamengkaitkan kualitas sumberdaya tersebut padakualitas hidup mereka dan bersedia untuk ikutserta dalam upaya tersebut.

Yang terakhir adalah bahwa dalam perumus-an kebijakan bagi wilayah pesisir dan lautan, parapenentu kebijakan harus memberikan perhatianpenuh baik kepada kepentingan masyarakat secaraumum dan kepentingan lembaga yang mewakilikepentingan masyarakat tersebut. Kepercayaanpublik terhadap lembaga-lembaga formal padasaat ini sangatlah rentan. Efektivitas bentuk-bentuk pengelolaan yang telah direformasi ataubentuk-bentuk pengelolaan baru akan sangattergantung pada kepercayaan publik yang harusdibangun sejalan dengan proses kebijakan. Disamping itu, efektivitas pengelolaan tersebut jugaakan tergantung pada perhatian yang diberikankepada konstituen yang lebih luas yang ada dalamsetiap proses pengambilan keputusan di tingkatlokal maupun nasional.

Makalah ini merekomendasikan kampanyependidikan masyarakat yang terfokus yangsangatdiperlukan untuk membangunan basis pengetahuanbagi kegiatan-kegiatan pengelolaan dan kebijakansumberdaya. Di samping itu, bimbingan, dukung-an, serta koordinasi dengan stakeholders yang lainyang diperlukan oleh masyarakat diberikandengan proporsi yang tepat. Hal yang juga pentingadalah untuk selalu memonitor denyut nadipendapat masyarakat, sehingga survei semacamini secara rutin sangat diperlukan dan perluasanwilayah survei ke propinsi-propinsi yang belumtercakup sangat direkomendasikan.

UCAPAN TERIMAKASIHTim penulis mengucapkan terima kasih

kepada Bapak John Farnel dan Ibu AstitiSuhirman dari MBL-Consensus atas bantuannyayang diberikan. Terima kasih kami haturkan pulakepada staf lapangan Proyek Pesisir yang telahmemberikan dukungan yang luar biasa dalampelaksanaan wawancara di propinsi-propinsiLampung, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.Versi bahasa Inggris yang lebih singkat dari pa-per ini dipublikasikan di NRM Newsletter.

REFERENSIDahuri, R. and I.M. Dutton (2000) Integrated Coastal and

Marine Management Enters a New Era in Indonesia,Integrated Coastal Zone Management, 1:11-16.

Farnell, J. and A. Suhirman (2000) National benchmarkStudy: Exploration and measurement of Public Atti-tude to Conservation and use of Marine Resources,MBL Consensus Market Research Summary Reportto Proyek Pesisir, Jakarta, 108pp.

Proyek Pesisir (2000) Year 4 Workplan, Coastal Re-sources Management Project Administration ReportAR/00/01/E, Coastal Resources Center, Universityof Rhode Island, Jakarta.

Storey, D. (2000) Sikap-sikap dan perilaku mengenaipengelolaan lokal sumerdaya terumbu karang: model-model dari survei masyarakat di Riau, SulawesiSelatan dan Papua Utara (Attitudes and behaviors re-lated to local management of marine resources: mod-els from a survey of the public in Riau, South Sulawesiand Papua, presentation to the Second NationalCoastal Conference (Konas II), 15-17 May, 2000,Makassar, 22pp.

Strain, J., S. Thomson and B. Rahardian (2000) Coral Reefand Marine Resource Public Awareness: Findingsfrom Benchmark Research, Taylor Nelson Sofres andJohns Hopkins University, Jakarta.

Sikap dan persepsi......( 46-52)

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

52

Gender and Development:Weaving a Balanced Tapestry

Banning, J (ed.), Christine Claaz and Shireen Lateef (2000),Gender and Development: Weaving a Balanced Tapestry, AsianDevelopment Bank Publications, Manila, Philippines, 36 pp.

This book was published by Asian Development Bank, and its content is focusedon ADB programs. The book gives me a

different perspective on gender issue and womengrounded in regional experience.

In general, the content of the book coversADB’s activities in countries where it has residentmissions, namely, Indonesia, Bangladesh,Cambodia, India, Kazakhstan, Nepal, Pakistan,Sri Lanka, Uzbekistan, and Viet Nam. The Bookstarted with ADB’s perspectives on themainstreaming of women and gender issue inevery project they funded. ADB’s philosophy inunderlining the importance of women roles in thesociety is reflected in the introduction: Weavinggender into the mainstream of all ADB activities.

The Bank has now recognized the strategicposition of women so that their investments’ leadto greater returns.

It is noted that there are no developmentactivities that can be assumed to be gender neutral;the book provides an interesting sight on how aninfrastructure development project such asbuilding a new road surprisingly gives a negativeeffect to women. This observation lead to theunderlying rationale for ADB’s policies thatrequire gender analysis in each project they fund.

The subsequent chapters detailed of activitieswhich ADB funds in each country. The activitiesrange from empowering women through educationto providing access to creating economicopportunities to promoting better health. These

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

53

In our constant search for better ways ofdoing business so as to maximize economic efficiency whilst meeting social

and ecological objectives, there is growingpublic and private sector interest in develop-ing best practices. Best practices seek to de-fine the way in which business or other ac-tivity should be undertaken in certain situa-tions. They are typically defined as best prac-tice by a process of peer review, althoughthat is not always the case - in some indus-tries, best practices come into being simplyby being industry standard practice at any pointin time.

There is some debate about whether theterm best practice is appropriate. Some pre-fer the term good practice or wise practice.However, developers and their financierswho strive for an industry-based approachhave largely ignored this semantic debate -

Developing Best Practices for Promoting PrivateSector Investment in Infrastructure

Asian Development Bank (2000) Developing Best practicesfor Promoting private Sector Investment in Infrastructure, ADB,Manila, 83pp + xi, ISBN No 971-561-281-4; RRP $15

Tiene GunawanCommunication SpecialistProyek Pesisir - [email protected]

chapters also contain boxes detailing projectactivities related to women and gender issues inAsia.

With 36 pages of nicely laid out and superbpeople photos, the book is easy to read. However,what interested me most are the grim statistics onwomen literacy rate and education in Asia andthe contrasting facts on women’s attitudes towardsearning, spending, and other economic activities.The book reveals that poor women are proven tobe good savers and good repayers, so they areexcellent credit risks. There is also clearevidence that women are likely to invest theirearnings in family assets, better meals, medicine,and children education. I fully support the ADBobservation based on the fact that public policiesand investments that promote the development ofwomen are proven to have a more impact in

reducing health and welfare costs, lower fertilityand infant and maternal morbidity as well asmortality rates, and just as importantly, inincreasing life expectancy.

In addition, and not merely because I am awoman, I agree that educating women benefitsthe individual woman, and the entire society.Increased investment in women produce ahealthier, better educated, and literate work force,which can, in turn, produce a robust humanresource foundation on which to build theeconomy. The statistics in this book proof thatcase.

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

54

they typically advocate that nothing short of bestavailable technology is acceptable and thus cham-pion the term best practice. This is the case withthis recent publication by the Asian DevelopmentBank (ADB). In this work, “best practice” isdefined as having a customer focus and a well-structured regulatory environment (around infra-structure projects).

The ADB is charged with taking a holisticapproach to development in the Asia region. Inthe bullish years before the 1997 Asian financialcrisis, the ADB, World Bank and other financiersforesaw a massive demand for key infrastructure.Water supply, power, air transport, road and portinfrastructure was considered to be a constrainton the development potential of most Asian coun-tries - estimates of investment needed in East Asiaalone varied form $1,000 billion to $1,500 bil-lion in the mid 1990s. To meet these needs, vari-ous industry-government partnership approacheswere trialled, including the well-known BOT(build-operate-transfer) and BOOT (build-own-operate-transfer) approaches. It was, however,noted that the assignment of risks under thesemethods often left much to be desired as they typi-cally burdened already weak government utili-ties or required subsidy.

In the wake of the Asian financial crisis, boththe demand projections made earlier and the meth-ods by which development was being undertakencame under scrutiny. This publication is part ofa special series commissioned by the ADB tobetter inform the process of private sector par-ticipation (PSP) in infrastructure development.As part of the background studies undertaken, thereview examined cross cutting issues such as:(a) The need for reform and the role of

government,(b) Institutional reform,(c) Strategic planning,(d) Legal and regulatory framework,(e) Unbundling and introducing competition,(f) Sources of financing, and(g) Risk and risk mitigation.

The background research for this study wasundertaken by John Arnold, an independent portsspecialist. He reviewed global experience with

port development and notes the often consider-able difficulty that governments face when trying(as many have done historically) to act as pri-vate sector port managers. To overcome suchproblems, he notes that most developing coun-tries have begun to decentralize their port opera-tions. He contrasts, for example, the Indonesianexperience where port corporations have consid-erable autonomy with that of the Philippineswhere the authority has been retained in Manila(with a subsequent adverse impact on efficiency).

Privatization, is however, not the panacea thatsome believe, at least in the port sector. Arnoldnotes that the leading general cargo ports in theworld, such as Singapore, Hong Kong, and Pusan,are public ports. However, he also notes that forbulk cargo, the largest and most efficient portsare in private ports in Australia, Eastern Indone-sia, Malaysia and Singapore. Such nuances arethen used to define the best practice guidelinesfor PSP in port development; i.e. best practicedoes not support the wholesale privatization ofexisting public ports.

The report defines just seven best practicesin total (perhaps not surprising given the veryspecialized scope of the work). Importantly, thederivation and logic of each is clearly and care-fully defined so that potential users/adopters canclearly understand the context of the practice.

I commend this reference to all Indonesianmaritime authorities for its clear focus and rel-evance in the current economic restructuring anddecentralization processes. Given the importanceof ports to the Indonesian economy, the rethink-ing of the role of government in infrastructure pro-vision and the conflicts that port expansion canoften induce in Indonesia’s crowded coastal zone,this report has much relevance to all concernedwith sound coastal management. It is to be hopedthat the ADB will support similar guides on othersubjects of relevance to ICM.

Ian M DuttonCoastal Resources Center,University of Rhode [email protected]

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

55

Seas at the Millennium: An Environmental Evaluation

Charles Sheppard (Editor) (2000) Seas at the Millennium: AnEnvironmental Evaluation, Pergamon, Amsterdam, 3 Volumes,2352pp, ISBN 0-08-043207-7, $732.50.

Back in early 1999 we received aflyer from Pergamon Publishersadvertising that they were embark-

ing on production of the definitive book onthe state of the world’s oceans. Despite thehigh price, it seemed like a timely opportu-nity to acquire a true state-of-the-art refer-ence work that would help us put coastaland marine management in Indonesia into atruly global perspective. We expected thebook would both help answer our partner’squestions about the current state of theworld’s oceans and enable us to benchmarkthe condition of Indonesia’s seas with glo-bal trends. Surely a work of thus scale andwith the contributions from the world’s mosteminent marine scientists would be defini-tive. Perhaps we expected too much.

First impressions were positive. WhenI was first asked to come and pick up thismassive tome from our secure mailbox, Iwas amazed by the sheer bulk of this work- the 135 Chapters in the three volumes addup to some 11 kg! On a cost for weight orper page basis perhaps maybe this is notsuch an expensive book after all? But one mustbe wary of such simple measures, particularlywhere quantity may be inadvertently confusedwith quality.

The work is structured into two distinct parts.The first part (Chapters 1-106) covers two vol-umes and some 1,800 pages and represents anodd mix of regions and country level analyses.Odd in the sense that while many of the chapterscover standard global marine divisions, for rea-sons justified by the Editor, these are adjusted totake into account the research interests of the 500+contributors or other geo-political factors. Theresultant divisions make sense in some areas butare a source of much confusion in others. One ofthe worst examples of this is three overlapping

chapters on the Malacca Strait(s) - one writtenfrom the perspective of a UNDP/IMO project,the other from a Singaporean context, the otherviewing the Straits in terms of the Western Indo-nesian seas. None of these divisions makes suchsense, especially when one looks at the often-significant geographic gaps in coverage elsewherein the tome. For example, Eastern Indonesia, theglobal center of marine biodiversity, is a “blackhole” as it receives no specific attention in anypart of the whole book - an unbelievable over-sight!

The Editor defends the logic and balance ofthese divisions, noting the difficulties of commu-nicating with remote regions and in locating per-sons with appropriate expertise. However, in a

Pesisir & Lautan Volume 3, No.3, 2001

56

work of this magnitude such excuses wear thin,particularly given the obvious lack of represen-tation of indigenous scientists from many coastalnations.

The second part of the book (Chapters 107 to135) is published as the concluding Volume andsome 498 pages. They deal with selected cross-cutting issues of global significance such as sta-tus of key ecosystems such as seagrasses andmangroves, or and species such as whales andwhaling and sea turtles. Somewhat disappoint-ingly, few of these incorporate data from the re-gional analyses presented in Volumes I and II.

There are also some cross-cutting analysesof fisheries impacts, ocean energy, effects of cli-mate change, global legal instruments and ma-rine reserves. Most of these are the “stand outchapters” of the entire work. The synthesis ofvast literatures from temperate and tropical re-gions is not an easy task. Authors such as CliveWilkinson et al. (Coral Bleaching - Chapter 110),Raquel Gori (Fisheries Effects on Ecosystems -p. 117) and Robert Costanza (Economic, Eco-logical and Social Importance of the Oceans -Chapter 135) show their considerable dexterityin distilling key messages of the type one expectsin a millennium benchmark book.

However, like the first part of the book, thispart is also spoiled by a lack of balance in sub-ject scope and depth. For example, a chapter(123) on the effects of mine tailings on thebiodiversity of seabeds that I had expected to beof great relevance turned out to be one of my great-est disappointments - the chapter focused exclu-sively on one long term study from a mine off-shore from British Columbia, Canada. While itis a well-written piece, it does not deserve a placein this globally-oriented volume. Equally bemus-ing is the relegation of a broad chapter on persis-tent organic pollutants (Chapter 81) to the region-by-region volume; such inconsistency of struc-ture is most confusing.

And so what is in the book specifically forthe Indonesian reader? In two words, not much.The main Indonesia chapter (78) was preparedprimarily by Canadian marine scientists, EvanEdinger and David Browne and focuses on “Con-tinental Seas of Western Indonesia”, although thisarea is not strictly defined and also overlaps with

the earlier-mentioned chapters on the MalaccaStrait(s). Additional short contributions are pro-vided by Andreas Kunzman (Marine Ecosystemsof Western Sumatra), Mark Erdmann (Destruc-tive Fishing Practices in Indonesian Seas) andAnnmarie Mah and Tomas Tomascik (Demise ofReefs in Jakarta bay). These feature articles addvaluable insights to key issues introduced in thebackground text.

Despite being allowed the editorial latitudeof a longer than average chapter (24 pages c.f.17.5 average), very little of the material presentedis new and there is an overt emphasis on eco-logical conditions with little mention of economicand social aspects of Indonesia’s seas. Much ofthe information presented is summarized from thelandmark work “Ecology of Indonesian Seas” andvarious EMDI-related studies and reflects thestate of knowledge up until around 1997 only.Only limited mention is given to key develop-ments since 1998. Their conclusion is that “thestatus and prospects of western Indonesian seasat the Millennium appear very bleak indeed”. Itshould be kept in mind, however, that this as-sessment is made with no overt acknowledgmentof the newly established Ministry of Marine Af-fairs and Fisheries (DKP).

It is to be hoped that at some stage, Indone-sian scientists will rise to the obvious challengepresented by this conclusion in two ways. Firstlyit will be an important achievement and sign ofmaturation of domestic marine science capacitywhen a comprehensive Indonesian State of theSeas is published. Secondly, and perhaps moreimportantly, the numerous demonstration andlarger scale marine projects underway in Indo-nesia must obviously begin to add up to a morecohesive and systematic program of sustainablemarine resource management. Only then will theprospects for Indonesia’s marine ecosystems, andthe food millions of Indonesians who depend onthem for employment and income, look morepromising to the world.

Ian DuttonCoastal Resources Center,University of Rhode [email protected]

OBJECTIVESIncrease public’s awareness of the benefitsof integrated coastal and marine resourcesmanagement.Stimulate dialogue between practitionersand scientific community.Share experience and learn lessons withinthe coastal and marine managementcommunity.

SCOPETechnical, legal, political, social and policy

that related to the management of coastal andmarine resources.

TARGET AUDIENCEGovernment officials at all levels, academ-

ics, researchers and practitioners involved in dis-cipline of coastal and marine resources manage-ment.

FORMATResearch and policy review papers (up to3,000 words).Research notes (usually based upon morelimited set of data and not exceeding 1,500words).Topic review articles (not more than8,000 words).Comments (opinions relating to previouslypublished material and all issues relevant tothe journal’s objectives, not more than 1,000words).Book review.

TUJUANMeningkatkan kepedulian masyarakat luasterhadap manfaat dari pengelolaan sumberdayapesisir dan lautan secara terpadu.Merangsang dialog di antara para praktisi danpakar pengelolaan sumberdaya pesisir danlautan.Membagi pengalaman dan pengetahuandi antara seluruh pemerhati masalah-masalahpengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

RUANG LINGKUPTeknis, hukum, politik, sosial dan kebijakan yang

berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisirdan lautan.

SASARAN PEMBACAPejabat pemerintah dari seluruh tingkatan,

kalangan akademik, para peneliti dan praktisi, sertaberbagai kalangan pemerhati masalah-masalahpengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

FORMATMakalah penelitian dan kajian kebijakan (tidaklebih dari 3.000 kata).Laporan singkat (menggunakan data yang lebihterbatas dan tidak lebih dari 1.500 kata).Artikel kajian (tidak lebih dari 8.000 kata).Komentar (opini tentang naskah yang telahditerbitkan dan berbagai macam isu lain yangsesuai dengan ruang lingkup jurnal, tidak lebihdari 1.000 kata).Resensi Buku.

D a f t a r I s iContents

Makalah Penelitian dan Kajian Kebijakan (Research and Policy Review Paper)

KARUBABA , C. TH. - Kajian Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nelayan pada Musim Timur danMusim Barat Kaitannya dengan Pemenfaatan Sumberdaya Pesisir ...........................................1

KAWAROE , M. - Kontribusi Ekosistem Mangrove terhadap Struktur Komunitas Ikan di PantaiUtara Kabupaten Subang, Jawa Barat .......................................................................................13

FOX, H.E. , R. DAHURI, A. H. MULJADI, P. J. MOUS, J.S. PET.- Increased Coral Cover inKomodo National Park, Indonesia: Monitoring for Management Relevance..........................................................................................................................................................27

FOX, H.E. , R. DAHURI - Enhancing Coral Reef Recovery After Destructive Fishing Practices:Initial Results in Komodo National Park .................................................................................... 37

DUTTON, I. M., KUN HIDAYAT, TIENE GUNAWAN, FEDI SONDITA, JAN STEFFEN, DOUGSTOREY, REED MERRIL, DAN SYLVIANITA - Sikap dan Persepsi Masyarakat MengenaiSumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia ......................................................................... .............46

RESENSI BUKU (BOOK REVIEW)

GUNAWAN, T .- Gender and Development: Weaving a Balanced Tapestry ......................... 53

DUTTON, I. M.- Developing Best practices for Promoting Private Sector Investment inInfrastructure .............................................................................................................................. 54

DUTTON, I. M - Seas at the Millennium: An Environmental Evaluation ................................ 56

This Journal is produced with the Sponsorship Support of Proyek Pesisir the USAIDCoastal Resources Management Project which is implemented via The CoastalResources Center of the University of Rhode Island