iqra' ed. 4.pdf

13
Hilmy Mubarok A l-Quran dengan segala sisi kemukji- zatnya, menjadi kitab pedoman yang tidak hilang bersama waktu, segala hukum yang ada di dalamnya berlaku hingga hari kiamat kelak. Selain meru- pakan kitab akhir zaman yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, ia juga merupakan kitab penyempurna terhadap kitab-kitab sebe- lumnya. Al-Quran sendiri mampu dipahami oleh setiap individu pada masa yang berbeda- beda dengan cara pandang dan dari sisi yang berbeda-beda pula. Usamah al-Azhari dalam bukunya, al-Madkhal ila Ushul al-Tafsir menuliskan beberapa disiplin ilmu yang diambil dari berbagai sisi al-Quran, seperti ilmu bahasa Arab nahwu- yang melihat al- Quran dari sisi i’rab dan dari sisi hubungan antar huruf atau kalimat. Bahkan dewasa ini, ada pula yang mengkaji sisi kebahasaannya dengan menitik beratkan pada setiap lafal al-Quran, seperti Muhyiddin al-Darwisy. Sedangkan dari sisi Qiraah, muncul istilah-istilah tajwid, seperti makharij al-huruf, sifat-sifat huruf dan hukum- hukum tertentu dalam membaca al-Quran. Hal yang sama juga dilakukan oleh para mufasir yang berusaha mengungkapkan makna yang tersurat atau pun tersirat dalam setiap ayat al- Quran. Selain ketiga ilmu tersebut, masih banyak lagi beberapa disiplin ilmu yang lahir dari usaha memahami kandungan isi al-Quran. Pada akhir pembahasan, Usamah al -Azhari mencoba mengategorikan pembagian disiplin ilmu yang berhubungan dengan al- Quran, di antaranya, pertama, disiplin ilmu yang berada di dalam kandungan al-Quran, seperti Kisah-kisah para nabi, Pendidikan akhlak, Fikih dan Syariat. Kedua, disiplin ilmu yang memberi maklumat tambahan terhadap seorang mufasir, seperti ilmu Hikmah. Ketiga, disiplin ilmu yang mempunyai isyarat atau penguat di dalam al-Quran, seperti ilmu Ke- dokteran dan Mantik. Keempat, ilmu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan al-Quran, baik karena kebatilannya atau tidak ada faedah di dalamnya, seperti ilmu Mitologi dan Astrologi. Hakikat Ilmu Tafsir Berangkat dari itu semua, ada salah satu disiplin ilmu yang harus kita ketahui, bukan hanya karena ia memiliki hubungan dengan al-Quran, tetapi ilmu ini juga merupakan ilmu untuk memahami kandungan al-Quran itu sendiri, yaitu ilmu Tafsir. Mayoritas ulama menilai ilmu Tafsir bukan hanya ilmu yang penting untuk dipelajari, tetapi mereka juga menilai ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang mulia. Kemuliaan ini bisa dilihat dari tiga sisi. Pertama, dari sisi objek yang dikaji. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang mempelajari al-Quran, kitab pedoman untuk seluruh manusia. Kedua, tujuan mempe- lajarinya ilmu tafsir adalah untuk menyingkap makna-makna Urgensi Ilmu Tafsir dalam Memahami Kandungan Al-Quran E D I S I I V Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al- Baqarah: 216). Dalam kehidupan terkadang kita mengalami kebimbangan, dan dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis. Untuk menghadapi kesulitan itu tidak jarang dari manusia terjerumus ke dalam kesyirikan. Terkadang apa yang menurut manusia baik belum tentu baik dimata Allah dan sebaliknya apa yang menurut manusia buruk tetapi baik dimata Allah. Islam memberikan jalan keluar dalam menghadapi hal ini yaitu dengan beristikharah. Istikharah berasal dari kata al-khairyang bermakna sesuatu yang baik. Istikharah bertujuan memohon petunjuk dari allah SWT untuk menunjukan sesuatu yang NADHRAH SEBAGAI PEDOMAN DAFTAR ISI ISTIKHARAH DZIKRA KAJIAN AL- I’JAZ IKPM CABANG KAIRO Bersambung ke hlm 8 M A R E T 2 0 1 3 Bersambung ke hlm 5 NADHRAH 1 TAHNIAH 2 MARJA 11 UDHAMA 10 6 SALAM 12 MABHATS URGENSI ILMU TAFSIR DALAM MEMAHAMI KANDUNGAN AL-QURAN AKHLAK QURANI MENEGASKAN KEAGUNGAN AL- QURAN MELALUI SYUBHAT FAKHRUDDIN AL-RAZI: MUFASIR JENIUS, AHLI FILSAFAT MENJAWAB TUDUHAN ORIENTALIS TERHADAP MAKKIYAH DAN MADANIYAH MARI MEMBACA Nur Fitria Qurrotu Aini

Upload: iqrakajianal-ijaz

Post on 07-Feb-2016

123 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: IQRA' Ed. 4.pdf

Hilmy Mubarok

A l-Quran dengan segala sisi kemukji-zatnya, menjadi kitab pedoman

yang tidak hilang bersama waktu, segala hukum yang ada di dalamnya

berlaku hingga hari kiamat kelak. Selain meru-pakan kitab akhir zaman yang diturunkan

kepada Rasulullah SAW, ia juga merupakan kitab penyempurna terhadap kitab-kitab sebe-

lumnya. Al-Quran sendiri mampu dipahami oleh setiap individu pada masa yang berbeda-

beda dengan cara pandang dan dari sisi yang berbeda-beda pula.

Usamah al-Azhari dalam bukunya, al-Madkhal ila

Ushul al-Tafsir menuliskan beberapa disiplin ilmu yang

diambil dari berbagai sisi al-Quran, seperti

ilmu bahasa Arab –nahwu- yang melihat al-

Quran dari sisi i’rab dan dari sisi hubungan antar huruf atau

kalimat. Bahkan dewasa ini, ada pula yang mengkaji sisi kebahasaannya dengan

menitik beratkan pada setiap lafal al-Quran, seperti Muhyiddin al-Darwisy. Sedangkan dari

sisi Qiraah, muncul istilah-istilah tajwid, seperti makharij al-huruf, sifat-sifat huruf dan hukum-

hukum tertentu dalam membaca al-Quran. Hal yang sama juga dilakukan oleh para mufasir

yang berusaha mengungkapkan makna yang tersurat atau pun tersirat dalam setiap ayat al-

Quran. Selain ketiga ilmu tersebut, masih banyak lagi beberapa disiplin ilmu yang lahir

dari usaha memahami kandungan isi al-Quran.

Pada akhir pembahasan, Usamah al-Azhari mencoba mengategorikan pembagian

disiplin ilmu yang berhubungan dengan al-Quran, di antaranya, pertama, disiplin ilmu

yang berada di dalam kandungan al-Quran, seperti Kisah-kisah para nabi, Pendidikan

akhlak, Fikih dan Syariat. Kedua, disiplin ilmu yang memberi maklumat tambahan terhadap

seorang mufasir, seperti ilmu Hikmah. Ketiga, disiplin ilmu yang mempunyai isyarat atau

penguat di dalam al-Quran, seperti ilmu Ke-dokteran dan Mantik. Keempat, ilmu yang tidak

ada kaitannya sama sekali dengan al-Quran, baik karena kebatilannya atau

tidak ada faedah di dalamnya, seperti ilmu Mitologi dan

Astrologi.

Hakikat Ilmu Tafsir Berangkat dari itu semua,

ada salah satu disiplin ilmu yang harus kita ketahui, bukan hanya karena

ia memiliki hubungan dengan al-Quran, tetapi ilmu ini juga merupakan ilmu untuk

memahami kandungan al-Quran itu sendiri, yaitu ilmu Tafsir. Mayoritas ulama menilai ilmu

Tafsir bukan hanya ilmu yang penting untuk dipelajari, tetapi mereka juga menilai ilmu ini

sebagai salah satu ilmu yang mulia. Kemuliaan ini bisa dilihat dari tiga sisi. Pertama, dari sisi

objek yang dikaji. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang mempelajari al-Quran, kitab pedoman

untuk seluruh manusia. Kedua, tujuan mempe-lajarinya ilmu tafsir adalah untuk menyingkap

makna-makna

Urgensi Ilmu Tafsir dalam Memahami Kandungan Al-Quran

E D I S I I V

“Tetapi boleh jadi

kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh

jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.

Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-

Baqarah: 216). Dalam kehidupan

terkadang kita mengalami

kebimbangan, dan dihadapkan

pada pilihan-pilihan dilematis. Untuk menghadapi kesulitan

itu tidak jarang dari manusia terjerumus ke dalam kesyirikan.

Terkadang apa yang menurut manusia baik belum tentu baik

dimata Allah dan sebaliknya apa yang menurut manusia

buruk tetapi baik dimata Allah.

Islam memberikan

jalan keluar dalam menghadapi hal ini yaitu dengan

beristikharah. Istikharah berasal dari kata al-khairyang

bermakna sesuatu yang baik. Istikharah bertujuan memohon

petunjuk dari allah SWT untuk menunjukan sesuatu yang

N A D H R A H

A L - Q U R A N

S E B A G A I P E D O M A N

DAFTAR ISI

ISTIKHARAH

D Z I K R A

K A J I A N A L - I ’ J A Z

I K P M C A B A N G

K A I R O

Bersambung ke hlm 8

M A R E T 2 0 1 3

Bersambung ke hlm 5

NADHRAH 1

TAHNIAH 2

MARJA 11

UDHAMA 10

6

SALAM 12

MABHATS

URGENSI ILMU TAFSIR

DALAM MEMAHAMI

KANDUNGAN AL-QURAN

A K H L A K Q U R A N I

M E N E G A S K A N

K E A G U N G A N A L -

Q U R A N M E L A L U I

S Y U B H A T

F A K H R U D D I N A L - R A Z I :

M U F A S I R J E N I U S ,

A H L I F I L S A F A T

M E N J A W A B T U D U H A N

O R I E N T A L I S

T E R H A D A P M A K K I Y A H

D A N M A D A N I Y A H

M A R I M E M B A C A

Nur Fitria Qurrotu Aini

Page 2: IQRA' Ed. 4.pdf

“Sesungguhnya telah ada

pada (diri) Rasulullah suri

teladan yang baik bagimu. Yaitu bagi

orang yang mengharap

(rahmat) Allah dan (kedatangan)

hari kiamat… “ (QS. al-Ahzab:

21).

Akhlak Qurani

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

2 T A H N I A H

S aat diutus kepada bangsa Q ura i s y , Rasulul l ah

membawa satu misi penting, yaitu mengajar-

kan budi pekerti. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan

akhlak”, demikian sabdanya. Keagungan akhlak Rasulullah

telah terlihat sejak ia berada dalam masa kanak-kanak, dan

terus terbawa hingga ia menjadi pemimpin yang paling berhasil di

muka bumi ini. Perbuatan, uca-pan dan ketetapannya yang kini

diabadikan dalam Hadis, menjadi panutan umat Islam, tentunya

setelah al-Quran. Di dalam kitab suci ini dijelaskan tiga unsur

pokok yang menjadi pondasi utama agama Islam, akidah,

syariat, dan akhlak. Ada dua ragam akhlak yang

ditegaskan al-Quran. Pertama, akhlak rabbani-yah yang menjelaskan etika seorang hamba

kepada penciptanya, seperti ikhlas, takut, tawakal serta tidak mengedepankan urusan

duniawi demi mendapatkan kebahagiaan ukhrawi. Sikap yang terakhir lebih dikenal

dengan istilah zuhud , salah satu pokok peribadatan dalam dunia tasawuf. Sedangkan

tipe akhlak kedua adalah akhlak insaniyyah. Tipikal yang kedua ini menuntut umat

Muhammad untuk bersikap baik kepada sesamanya melalui beberapa sifat, seperti

jujur, amanat, tawadu, sabar, adil, lapang dada, ta’awun dan sebagainya. Orang yang

beriman adalah orang yang mengamalkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal

ini ditegaskan dalam berbagai ayat al-Quran yang menerangkan sifat -sifat seorang

M ukmi n , s e pert i QS . al -Anfal : 2-4, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah

mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka

ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu

o rang -o rang yang mendi r ikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami

berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-I’JAZ IKPM Kairo

Dewan Penasehat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana;

Pemimpin Umum: Maulidatul Hifdhiyah; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Saeful Luthfy; Layouter: Rusydiana Tsani; Kru: Hilmy Mubarak, Muhammad Hafif

At-Tauhiidi, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul, Nur Fitria Qorro tu Aini, Putri Rezeki Rahayu,

Uswahtun Hasanah, Kuntum Afifah.

Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206

beriman dengan sebenar-benarnya…” Selain itu, dalam al-Quran juga

dijelaskan bahwa hamba-hamba yang dicintai Allah adalah mereka yang berakhlak karimah.

Sebaliknya, Allah pun membenci semua akhlak tercela. Dalam hal ini, berbagai bentuk azab

dihadirkan al-Quran sebagai peringatan bagi pembacanya. Hal yang sama juga ditegaskan

dalam banyak kisah al-Quran, yang menyampai-kan pesan tentang bobroknya akhlak umat seba-

gai salah satu faktor pembunuh peradaban gemi-lang di masa lalu. Oleh karena itulah, manusia

dituntut untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan, agar kehancuran dan binasa yang sama

tidak menimpa mereka. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu.

Yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat… “ (QS. al-Ahzab: 21).

Tujuan dari semua ajaran tersebut sebenarnya berpangkal pada satu kata, takwa.

Kepatuhan dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhan-Nya inilah bentuk hakiki akhlak. Akhlak

meminta seorang hamba untuk tunduk pada semua perintah-Nya, baik yang tertera dalam

kalam atupun sabda utusan-Nya. Kendatipun demikian, menurut Yusuf al-Qaradhawi, baik al-

Quran maupun Sunah tidak pernah menafikan peran akal untuk melaksanakan semua perintah

tersebut. Ia justru berada dalam posisi sentral dalam hal ini, yaitu sebagai pengantar untuk

memahami perintah-perintah yang ditegaskan al-Quran ataupun Hadis.

Pada akhirnya, keputusan sepe-nuhnya terletak di tangan seorang hamba. Den-

gan akal yang dimilikinya, ia akan menentukan untuk berakhlak terpuji atau sebaliknya. Meski

hal tersebut tidak mudah, kita tetap dituntut untuk berusaha memenuhi kriteria seorang

Mukmin yang telah diterangkan al-Quran, sebab balasan seorang hamba tergantung seberapa

gigih ia berusaha. “Dan bahwasanya seorang manu-sia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusa-

hakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi

balasan kepadanya dengan balasan yang paling sem-purna. Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah segala

sesuatu bermuara.” (QS. al-Najm: 39-42).

Page 3: IQRA' Ed. 4.pdf

Pelajaran Moral dari Al-Quran

S eiring waktu berjalan, moralitas masyarakat pun mengalami perkembangan. Namun, sebagaimana

kita saksikan saat ini, moralitas sebagai tolak ukur perkembangan sebuah peradaban, kini bukan

berkembang ke arah yang lebih baik, tetapi semakin mem-buruk dan sangat mengkhawatirkan. Sekarang banyak di

sekeliling kita kejadian-kejadian yang jauh dari nilai-nilai moral, khususnya yang ditetapkan di dalam al-Quran.

Pada dasarnya, moralitas masyarakat yang dinilai buruk ini lahir dari sikap masyarakat yang cenderung

individualis. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, sehingga lahir sebuah keegoisan. Berbagai cara

dilakukan demi terwujudnya hasrat pribadi tersebut, tanpa menghiraukan benar-salah atau sesuai -tidaknya dengan

ketetapan Allah SWT yang ada di dalam al-Quran.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia

(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang

yang sombong lagi membanggakan diri" (Lukman: 18). Sebagai pedoman bagi umat manusia, al-Quran

mengandung ayat-ayat yang menjelaskan nilai-nilai morali-tas. Salah satunya ayat di atas yang menjelaskan bahwa

Allah memerintahkan manusia untuk bersikap rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman, dan mau mendengar-

kan apa yang disampaikan oleh orang lain. Ayat ini juga menjelaskan bahwa pada hakikat-

nya Allah SWT telah menentukan batas-batas bagi makhluk-Nya dalam menjalani kehidupan, khususnya bagi manusia.

Namun sayang, kebanyakan manusia tidak melihat hal tersebut, sehingga mereka mengabaikan dan bahkan

melanggarnya. Selain itu, moral masyarakat yang cenderung individualis juga disebabkan prinsip mereka sendiri yang

dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman, atau sia-papun di sekitarnya. Padahal, jika ia mau melihat dan men-

yadari bahwa nilai-nilai moral tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan ketaatan kepada Sang Pencipta, maka

sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan petunjuk untuk menjalani kehidupan.

Harun Yahya, seorang penulis dan pemikir Islam, menyatakan bahwa terjadinya tindak kekerasan dan

konflik yang berkepanjangan seperti saat ini, dikarenakan kaum Muslim mulai menganut ideologi-ideologi kaum

Kafir yang tentu saja menyeleweng dari norma-norma yang telah diajarkan al-Quran. Oleh sebab itulah, Muhammad

Abu Âshi, di dalam bukunya "Maqalatâni fi al-Takwîl" menuliskan bahwa seorang Muslim tidak boleh men-

gafirkan sesama Muslim, karena di dalam ilmu akidah disebutkan bahwa seorang hamba tidak terlepas dari

keimanan, kecuali hatinya sudah dihingggapi keingkaran. Kemudian hal ini dipertegas dengan perkataan Imam al-

Ghazali yang menyatakan bahwa tindakan mengafirkan

sesama Muslim merupakan sebuah kebodohan. Dalam hal ini, ada beberapa solusi yang diberi-

kan al-Quran untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, bertafakur. Dalam al-Quran, sering kita temukan

ayat-ayat yang berakhiran "tidakkah kamu perhatikan?", "terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal," dan lain seba-

gainya. Hal tersebut menekankan betapa pentingnya berta-fakur dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan

Allah. Salah satunya terdapat di dalam QS. al-Nahl: 11, "Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-

tanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar tanda

(kekuasaan Allah) bagi kaum yang mau memikirkan." Jika kita renungkan sejenak, bagaimana mungkin biji kecil dari

pohon-pohon itu mampu menghasilkan buah-buahan yang manis dan diminati banyak orang?

Kedua, berbaik sangka pada setiap peristiwa. Segala sesuatu di atas muka bumi ini tidak akan terjadi

kecuali dengan izin Allah SWT. Sebagaimana kita ketahui, bahwa segala apa yang dikehendaki-Nya adalah baik,

meski terasa pahit oleh kita. Pahit manis sebuah peristiwa, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang selalu berusaha

baik sangka dan mencari hikmah dari setiap peristiwa tersebut. Misalnya dalam peristiwa banjir yang menimpa

sebuah derah. Di antara mereka ada yang menganggap hal ini merupakan bencana dan sebagian lain menganggap

bahwa ini adalah ujian. Pada akhirnya, siapa yang mau dan mampu melewati ujian tersebut maka dialah orang yang

beruntung. Ketiga, tidak pernah berhenti melawan iblis.

Sudah jelas bahwa iblis adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dalam QS. al-A’raf ayat 200, Allah berfirman,

"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindun-glah kepada Allah." Dengan kata lain, ketika kita merasa

setan sedang menggoda dengan bisikan-bisikannya, maka kita seharusnya kita segera mengucapkan lafal isti’adzah.

Keempat, menjadi moderat dalam batasan al-Quran. Dalam hal ini kita harus mempunyai pandangan yang seimbang

ketika kita sudah terjun dalam ranah kemasyarakatan. Artinya, kita mampu menempatkan diri sesuai dengan

tempat atau kapasitas kita masing-masing. Tidak masalah untuk bersikap moderat, selama tidak bertentangan den-

gan aturan yang ada di dalam al-Quran. Dari nilai-nilai moral yang ditawarkan al-

Quran di atas, seharusnya kita sadar akan karunia-Nya, karena semua itu tiada lain kembali untuk kebaikan kita.

Sehingga perlu dicatat bahwa terkadang setiap apa yang buruk adalah baik untuk kita dan apa yang tidak kita

inginkan adalah baik untuk kita. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk terus berpegang teguh terhadap al-

Quran yang mengajarkan nilai-nilai moral untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan.

3 F I K R A H

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

Anisa Nur Rohmah

Page 4: IQRA' Ed. 4.pdf

Hakikat Gibah dalam Kehidupan Sehari-hari 4 Q A D H A Y A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

Istilah ghibah sangat berdekatan dengan makna dari kalimat al-Jarh dalam ilmu Hadis, karena masing-masing

kata memiliki konotasi dan substansi yang dapat menjatuhkan martabat seseorang dalam pandangan publik. Tidak selamanya

kita harus melindungi seseorang apabila ia memiliki aib atau-pun keburukan yang dapat membahayakan lingkungan tempat

pergaulannya, karena di saat-saat tertentu, kita perlu menjelas-kan hal-hal yang perlu diketahui oleh orang lain mengenai

pribadi ‘buruk’ tersebut. Namun kita juga tidak dibenarkan untuk membuka peluang selebar-lebarnya sehingga kita akan

membuka apa yang Allah telah sembunyikan dari kesalahan maupun kekurangan orang tersebut. Hemat kata, terdapat

kode etik yang harus diterapkan dalam hal ini.

Hukum Gibah Semua ulama sepakat bahwa gibah haram hukum-

nya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah dalam surat al-

Hujurat ayat 12 tentang larangan berghibah: ببب وال يغتبببب

بببببب dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan dengan gamblang definisi gibah itu sendiri. Dalam riwayat

Imam Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi, Nabi Muhammad

SAW brsabda: ذ بب أ اكبب أ كبب ي ببن يه بب ه ليببن كبب ت ببو yang berarti ketika kita menyebutkan sesuatu yang berkaitan den-

gan kepribadian ‘saudara’ kita, dan dia tidak suka hal tersebut dibeberkan walau hanya kepada satu orang, meskipun hal

tersebut sesuai dengan fakta yang ada dan tidak dibuat-buat. Tidak ada bedanya hukum membicarakan ke-

jelekan seseorang yang masih hidup maupun telah tiada, keduanya tetap haram hukumnya. Hal ini disebabkan oleh

luhurnya hakikat Islam yang sangat menghargai martabat dan kehormatan seseorang, baik di saat ia hidup maupun sudah

meninggal. Sebagaimana penjelasan Aisyah yang diriwayatkan

oleh Imam Bukhari dalam shahihnya: ال تسوا األكوات لإنه قد

. ال وا يلى ك قدكوا Namun di sisi lain syariat telah memberikan

sedikit kelonggaran mengenai hal ini, yaitu tatkala sebuah

kemaslahatan hanya bisa dicapai melalui pembicaraan terse-

but. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi: ال و ات تيح

Dari kaidah ini kita dapat melihat apabila maslahat . الكحظبو اتyang ada lebih berat dan rajih daripada larangan tersebut

menurut skala prioritas, maka kita diperbolehkan untuk mem-buka tabir aib yang ada sesuai dengan kebutuhan, sebagai-

mana dijelaskan dalam kaidah lain: ال و ة ت د د Dalam beberapa hal, syariat justru mewajibkan

gibah. Hal ini pernah diajarkan Nabi ketika salah seorang

Sahabat bertanya kepadanya. Saat itu, Fatimah bintu Qais datang kepada Nabi dan meminta saran untuk memberikan

keputusan; lamaran mana yang akan dia terima, antara Abu al-Jahm dan Mu’awiyah. Nabi kemudian menjawab dengan lugas

dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA:

. اك ك وية لصلوأ ال ك لن اك او الجه لال ي ع الص عه ع ت ن

..ان حي اس كة

Dalam kisah ini, secara sederhana Nabi memberikan gam-

Dede Permana

baran tentang kedua orang yang akan meminang Fatimah Binti Qais bahwa keduanya kurang baik, kemudian Nabi

menyarankan Fatimah untuk menikahi Usamah Bin Zaid. Fatimah akhirnya menikahi Usamah karena kepatuhannya

kepada Nabi. Dalam hal ini, Nabi hanya memberikan penjelasan singkat mengenai keduanya tanpa harus mem-

beberkan banyak hal mengenai kehidupan Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm.

Apabila kita menelisik sedikit ke dalam konsep al-Jarh wa al-Ta’dil pada pembahasan Hadis nabawi, akan

tampak dengan jelas bahwa para ulama telah memberikan pondasi awal sebelum memberikan gambaran terhadap

kepribadian seseorang yang meriwayatkan Hadis. Hal ini dilakukan tidak lain untuk memberikan hukum yang pada

matan Hadis yang disampaikannya. Apabila sang perawi dinilai bagus dalam agamanya dan kepribadiannya, maka ia

dapat dikategorikan ke dalam golongan perawi tsiqah. Sedangkan matan Hadis yang dibawanya dapat dipakai

untuk berdalih apabila kita dihadapkan kepada suatu per-masalahan yang bersifat hukum, baik itu hukum duniawi

maupun kabar ukhrawi yang bersifat sam’iyat. Namun jika terdapat sedikit dusta yang terdengar dari perawi Hadis,

maka kita tidak memiliki harapan untuk dapat mengate-gorikannya sebagai Hadis nabawi, kecuali jika Hadis terse-

but dikuatkan oleh jalur-jalur periwayatan yang lain dan kandungannya sesuai dengan isi ataupun makna Hadis

yang menguatkannya. Jadi, dalam hal ini Hadis yang di-bawa oleh perawi yang telah terkena tuduhan dusta dalam

perkataannya, statusnya menjadi tabi’ (Hadis yang men-guatkan Hadis lain; pen), bukan sebagai suatu Hadis yang

berdiri sendiri, dan memberikan ketetapan hukum terha-dap suatu perkara tanpa adanya Hadis sahih yang menguat-

kannya. Mustafa Abu Imarah, guru besar pada jurusan

Hadis Universitas al-Azhar mengamini proses tajrih dalam kaitannya sebagai penentu hukum suatu Hadis. Dengan

kata lain, ia memandang perlunya memasukkan segelintir manusia yang ‘tidak jelas’ sisi keagamaannya sebagai perawi

yang lemah. Namun beliau juga memberikan rambu-rambu penting di dalam hal ini, bahwasanya kita harus menghe-

mat perkataan yang dapat menjatuhkan kepribadian seseo-rang. Jika memang bisa memakai isyarat untuk memberi-

kan sinyal bahwa orang tersebut ‘tidak beres’, maka lebih baik memakai isyarat saja, seperti kedipan mata yang di-

barengi oleh penggelengan kepala, atau merentangkan kelima jari tangan yang menandakan penolakan, maupun

paras wajah yang masam, hal tersebut sudah cukup untuk memberikan konotasi bahwa seseorang yang kita bicarakan

memang ada ‘apa-apanya’. Dari sinilah, diketahui alasan mengapa para nuqqad al-Hadist semisal Ibnu Hajar al-

Asqalani, Ibnu Abi Hatim al-Razi, Hakim al-Naisabury, al-Sakhawy, al ‘Iraqi, al-Khatib al-Baghdadi dan ulama-ulama

Hadis lainnya sangat ‘pelit’ dalam melekatkan label dhaif

Page 5: IQRA' Ed. 4.pdf

5 Q A D H A Y A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

terbaik bagi kita,karena hanya Allah Yang Mahatahu segala urusan manusia.Rasulullah SAW menganjurkan akan hal ini

sebagaimana sabdanya, “ Tidak akan kecewa bagi mereka yang melaksanakan istikharah...”(HR.Thabrani).

Namun istikharah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa melalui usaha-usaha dan tahapan yang benar.

Istikharah merupakan ‘jalan keluar’ dan bukan ‘jalan pintas’. Kebanyakan manusia memiliki pandangan yang

keliru tentang istikharah dan penggunaannya. Istikharah hanya dilakukan ketika menghadapi masalah. Kemudian,

setelah masalah tersebut terpecahkan, Allah SWT dilupakan. Padahal, istikharah seharusnya dilakukan dalam

menghadapi semua urusan. Oleh karena itulah, umat Islam dalam memulai segala pekerjaan dianjurkan untuk berdoa,

yang tidak lain merupakan bentuk istikharah. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:“ Katakanlah!

Tuhanku tidak peduli terhadap kalian, (selain) doa yang kalian panjatkan” (QS. al-Furqan :77).

Selain itu, istikharah juga bermakna berdoa kepada Allah SWT untuk memohon hal terbaik atas

keputusan dan tindakan yang kita lakukan. Tidak hanya itu, ketika memohon pada-Nya, hendaknya kita juga harus

selalu berprasangka baik dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah. Jika sudah benar-benar

tawakal, maka hati kita akan merasa tenang. Ketenangan hati inilah yang merupakan hakikat istikharah, sebab

istikharah tidak hanya sebuah permohonan petunjuk, namun juga permohonan untuk menenangkan jiwa dalam

menghadapi setiap masalah yang ada. Namun sayang, istikharah yang sudah menjadi

tradisi dalam kehidupan umat Islam tersebut, saat ini tak lagi sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.

Dewasa ini, mimpi setelah melakukan istikharah diyakini sebagai petunjuk atas istikharah yang dilakukan. Hakikatnya

tidak seperti itu, akan tetapi sebelum beristikharah kita dianjurkan untuk berusaha dan mempertimbangkan

kemungkinan-kemungkinan yang logis. Setelah itu, barulah dilakukan istikharah untuk memohon ketetapan dan

kemantapan hati. Pandangan para ulama dalam menyikapi

istikharah berbeda-beda. Menurut Muhammad Husain Thabathaba’i, dalam menghadapi suatu masalah, seseorang

harus berusaha dan berpikir keras untuk mendapatkan jalan keluarnya. Jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia

meminta pendapat dan nasihat orang lain. Namun jika kedua hal tersebut masih belum bisa memberikan solusi,

maka tidak ada alternatif lain kecuali berdoa dan meminta petunjuk keoada Allah SWT. Singkatnya, tak ada dosa

apabila sesorang melakukan istikharah, karena istikharah tak bermakna apa-apa selain untuk menentukan apa yang

harus ia tempuh untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Istikharah tidak berarti mengubah

ketetapan Allah SWT. Sekali lagi, istikharah bukanlah jalan pintas

dalam menghadapi kesulitan atau pilihan tertentu. Akan tetapi, istikharah merupakan langkah untuk memantapkan

hati atas keputusan dan pilihan yang kita ambil tanpa melupakan usaha dan nalar-nalar yang logis. Wallahu a’lam

bi al-Shawab.

Istikharah….. Sambungan dari hlm. 1

pada seorang perawi. Biasanya kita hanya mendapatkan satu kata saja, semisal fulan dhaif, wahima, wahin, ataupun la

yu’tabar dan lain sebagainya. Dalam buku al-Irsyad fi ‘Ulum al-Hadist,

Mustafa Abu Imarah, dijelaskan pembahasan yang mem-bolehkan gibah demi mencapai maslahah syar’iah. Ia mene-

gaskan bahwa ulama telah membolehkan gibah dalam Sembilan butir permasalahan, yaitu: Pertama, Pengakuan

orang yang teraniaya. Kedua, Pemberitahuan kepada pihak berwajib tentang suatu kasus yang harus ditangan-

inya. Ketiga, Orang yang tidak memiliki pengetahuan seputar masalah hukum, kemudian ia menceritakan perla-

kuan orang yang memperlakukannya dengan sewenang-wenang atas nama hukum. Keempat, Memberitahukan

seseorang tentang rencana buruk golongan lain yang akan mencelakakannya. Kelima, Memberi label Jarh para per-

awi Hadis yang memang bersifat demikian. Dalam hal ini wajib hukumnya. Keenam, Meminta pendapat tentang

kepribadian seseorang yang ingin berinteraksi kepada kita, baik sebagai tetangga, mitra bisnis, dan lain sebagainya.

Diwajibkan bagi orang yang dimintai keterangan untuk tidak menyembunyikan informasi yang dibutuhkan, den-

gan niat baik untuk menasihati orang yang bertanya terse-but. Ketujuh, Membeberkan nama ulama atau tokoh

pemikiran yang sering memberikan opini yang bersifat bid’ah atau sesat, untuk memperingatkan khayalak akan

bahaya pemikirannya. Kedelapan, Memberikan keteran-gan kepada seseorang akan kekurangannya, apabila tanpa

diberitahukan tentang ciri-cirinya maka kita sulit untuk mengenalnya. Dalam hal ini banyak dari ulama yang kita

kenal melalui laqab atau julukan kelainan fisiknya, semisal : al-A’raj (orang yang pincang), julukan bagi al-Jâhidz, al-

Qâshir, dan lain sebagainya. Kesembilan, Memperkenal-kan seseorang berdasarkan pekerjaannya, walaupun ia

adalah pekerja kasar yang pekerjaannya dipandang rendah di mata manusia, seperti penyemir sepatu, pembersih

selokan, dan lain sebagainya. Menceritakan keburukan seseorang diisti-

lahkan dalam ilmu Hadis dengan kata al-Jarh, yang berarti

melukai. Sebagaimana kita melukai seseorang dengan

pedang, maka melukai pribadinya dengan lisan tentu tidak

hanya meninggalkan luka sesaat, dikarenakan proses

mengembalikan nama baik memerlukan waktu yang lebih

lama daripada proses untuk menjatuhkannya. Sebagaimana

kita tidak ingin kehormatan kita dijatuhkan, maka kita juga

berkewajiban menjaga nama baik dan kehormatan sesama

saudara kita lainnya. Ushikum wa iyyaya nafsi, wa billahi al-

Taufiq wa al-minan.

Page 6: IQRA' Ed. 4.pdf

Al-Quran diturunkan dalam dua

priode. Periode

makkiyah yang mayoritas

diturunkan di Mekah dan madaniyah

yang mayoritas diturunkan di

Madinah

6 M A B H A T S

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

S alah satu pemba-hasan penting seka-

ligus menarik dalam studi ‘ulum al-Quran

adalah pembahasan tentang ayat-ayat makkiyah dan madani-

yah. Ia begitu penting sebab dengan memahaminya, penaf-

siran dan kajian terhadap suatu ayat akan lebih mengena. Selain

itu, pemahaman dan pengeta-huan mengenai keduanya me-

mungkinkan seorang mufasir untuk menyimpulkan ayat-ayat

yang nasikh dan mansukh. Selain urgen, pembahasan ini

juga sangat menarik, karena ia selalu menjadi salah satu target

tuduhan miring Orientalis atas otentisitas dan keagungan al-

Quran. Lebih menarik lagi, dengan memahami makkiyah

dan madaniyah, dapat dilihat bagaimana al-Quran dengan keindahan bahasanya

membantah semua hujatan Orientalis yang ditujukan padanya. Urgensi dan

poin menarik inilah yang menjadikan pembahasan makkiyah dan madaniyah

berada dalam urutan awal pada buku-buku Ulum al-Quran.

Salah satu ciri khas dalam pembahasan makki-madani adalah riwayat

perkataan Sahabat yang digunakan seba-gai acuan untuk menentukan klasifikasi

sebuah ayat. Hal ini tentu sangat berbeda bila dibandingkan dengan pembahasan

lainnya yang menggunakan Hadis sebagai salah satu sumber utama. Mengenai

sumber riwayat yang unik ini, Abu Bakar al-Baqilani dalam Intishar mengatakan

bahwa hal tersebut disebabkan Rasulul-lah tidak pernah memerintahkannya.

Selain penggunaan riwayat Sahabat, metode lain yang digunakan untuk me-

mahami makki-madani adalah ijtihad para Sahabat sendiri, dengan melihat dan

memperhatikan karakteristik suatu ayat, dan kemudian menyimpulkan kategori

yang paling tepat untuk ayat tersebut. Dari kedua metode tersebut,

ada beberapa cara yang ditetapkan ulama untuk mengetahui karakter makki-madani

suatu ayat. Pertama, berdasarkan waktu turunnya. Suatu ayat akan dimasukkan

dalam kategori makkiyah apabila ia ditu-runkan sebelum hijrah, sekalipun ia ditu-

runkan di Madinah. Sebaliknya, ayat madani-yah adalah ayat yang diturunkan pasca hijrah,

meskipun ia turun di Mekah. Kedua, ber-dasarkan tempat turunnya. Ayat makkiyah

merupakan ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudai-

biyah, sedangkan ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya.

Ketiga, berdasarkan objek pembicaraannya. Apabila ayat tersebut membicarakan pen-

duduk Mekah, maka ayat tersebut akan dikategorikan sebagai ayat makkiyah, dan

sebaliknya, jika ayat tersebut membahas warga Madinah, maka ia merupakan ayat

madaniyah. Secara zahir, ada beberapa

karakteristik yang membedakan ayat makkiyah dan madaniyah. Beberapa sifat ayat

makkiyah antara lain: (1) Menyeru kepada tauhid, seperti yang ditegaskan dalam QS. Al

-Qashash: 70 yang artinya: “Dialah Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain

Dia. Bagi-Nya segala puji di dunia dan akhirat, dan bagi-Nya segala penentuan, dan hanya kepada-

Nya kalian dikembalikan.” (2) Mengingkari syirik. Hal ini dijelaskan dalam surat al-

Ankabut ayat 41, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah seperti laba-

laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba

jika mereka mengetahui.” (3) Pengungkapan kisah-kisah nabi dan kaum terdahulu. (4)

Menjelaskan urgensi budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya seperti

yang terdapat dalam sebuah ayat yang berbunyi: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan

kamu untuk tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-

bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu di antara mereka atau keduanya telah berusia

lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya

kata “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan

yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23). Selain itu, secara zahir ayat-yat makkiyah pada

umumnya pendek namun mengandung balaghah yang cukup dalam; menggunakan

model bahasa yang cukup keras dan dahsyat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kondisi

masyarakat Quraisy pada waktu itu. Mereka terkenal sebagai ahli sastra dan balaghah, juga

Menjawab Tuduhan Orientalis terhadap Makkiyah dan Madaniyah

Ari Kurniawati

Page 7: IQRA' Ed. 4.pdf

teramat keras wataknya. Adapun ayat madaniyah memiliki karakteristik

sebagai berikut: (1) Menjelaskan syariat dan hukum peribadatan. (2) Menerangkan sifat-sifat kaum munafik.

(3) Menjelaskan ketentuan khusus dalam berinteraksi dengan kaum non-Muslim. Sedangkan gaya bahasa yang

terdapat dalam ayat madaniyah secara global panjang dan banyak menggunakan ta’kid. Seperti halnya ayat makkiyah,

ayat madaniyah pun diturunkan demikian, sebab masyarakat Madinah terkenal lembut dan mengakui kerasulan

Muhammad, sehingga ayat-ayat yang turun kepada mereka lebih banyak didominasi oleh ayat-ayat yang menjelaskan

syariat agama Islam. Meski demikian, para Orientalis yang selalu

meragukan dan mengingkari keagungan al-Quran, tidak mau begitu saja mengamini fakta ini. Kesesuaian ayat

makkiyah dan madaniyah dengan keadaan Makah dan Madinah saat itu, menurut mereka, menunjukkan bahwa

turunnya al-Quran dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Arab. Hal ini dalam pandangan mereka merupakan bukti

terkuat bahwa al-Quran tak lebih dari produk budaya masyarakat Arab ketika itu. Berangkat dari pemikiran

seperti inilah, mereka mengingkari keotentikan dan

7 M A B H A T S

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

perbedaan karakteristik dan isi kandungan antara Makkiyah dan Madaniyah. Kita lihat penduduk Mekah mayoritas dari

mereka buta akan agama, kemasyarakatan dan akhlak. Dengan inilah gaya bahasa al-Quran keras dan seolah-olah

merendahkan mereka, namun di balik semua itu al-Quran menuntun mereka menuju jalan yang benar.

Metode inilah yang menguatkan Rasulullah dalam menghadapi serangan musuhnya saat berdakwah,

hingga menumbuhkan benih percaya diri dalam berdak-wah. Metode ini pula turut berpengaruh terhadap keadaan

manusia saat itu. Dengan begitu kaum Muslimin merasa selalu dalam penjagan Allah, karena penglihatan-Nya lah

yang selalu menyelimuti makhluk-Nya dari segala sisi. Bahkan kaum kafir Mekah saat itupun tidak melihat adanya

keraguan dalam segi bahasa maupun kandungan dalam al-Quran. Mereka merasa bahwa turunnya al-Quran kepada

kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan apa yang tidak kamu

perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penggunaan

kata “Wahai orang-orang yang beriman” yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah ayat madaniyah, namun kalimat berikutnya yang begitu keras memperingatkan

orang-orang yang beriman (masyarakat Madinah), merupakan gaya yang ditemukan pada ayat-ayat makkiyah. Seharusnya, dalam posisinya sebagai ayat

madaniyah, gaya bahasanya tidaklah demikian, namun sebaliknya. Bila demikian, masihkah bisa dikatakan bahwa al-Quran “menyesuaikan diri” dengan lingkungan

Mekah dan Madinah? Al-Quran diturunkan dalam dua priode. Periode makkiyah yang mayo-

ritas diturunkan di Mekah dan madaniyah yang mayoritas diturunkan di Madinah. Tujuan Allah menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW sebagai hi-

dayah kepada seluruh manusia dan mengeluarkan orang-orang yang percaya pada-Nya dari zaman kegelapan menuju jalan yang terang. Karena perkara inilah, ada

memanusiakan al-Quran. Menanggapi hal ini, para pemikir Islam tak

mau diam begitu saja. Nuruddin ‘Ithr, dalam Ulum al-Quran al-Karim menyebut perkataan Orientalis sebagai

perkataan yang hanya diucapkan oleh orang-orang dungu. Demi menjawab keragu-raguan yang dilontarkan

Orientalis terhadap al-Quran, ada beberapa argumen logis yang diungkapkan para pemikir Islam. Pertama, bila al-

Quran memang merupakan produk budaya dan sesuai dengan kondisi masyarakat Mekah ataupun Madinah,

bagaimana mungkin terdapat karakteristik ayat makiyah dalam ayat madaniyah, dan begitu juga sebaliknya. Salah

satunya terlihat dalam surat al-Kautsar yang merupakan surat terpendek dalam al-Quran, sedangkan ia merupakan

surat madaniyah. Hal ini tentunya sudah menyalahi ketentuan yang menyatakan bahwa ayat madaniyah pada

umumnya panjang. Bila demikian adanya, masihkah bisa dikatakan bahwa al-Quran terpengaruh oleh keadaan

masyarakat Mekah dan Madinah? Selain itu, ada beberapa ayat madaniyah yang

menggunakan gaya bahasa keras, sedangkan ciri tersebut merupakan ciri khas ayat makkiyah. Misalnya terdapat

dalam surat al-Shaff ayat 1-3, yang artinya: “Bertasbih

penduduk Mekah membawa kekuatan yang mampu me-rubah keadaan yang ada menuju keadaan baru yang lebih

baik. Meski demikian, para Orientalis tetap saja tidak

mau berhenti berusaha untuk membuat keraguan terhadap al-Quran. Sebagian dari mereka ada yang menggunakan

metode ilmiah dalam mendalami ulum al-Quran, akan tetapi mereka tetap saja terbelenggu dengan keyakinan serta hawa

nafsu mereka. Sebenarnya, jika mereka benar-benar ber-sandar pada metode Ilmiah, mereka akan menyadari bahwa

al-Quran bukah hasil karya manusia, karena di dalamnya banyak hal yang manusia tidak tahu karena kemampuan

manusia itu sendiri terbatas. Wallahu a’lam.

Mu

ham

mad

Raja

b a

l-B

ayyu

mi

Page 8: IQRA' Ed. 4.pdf

Imam Zarkasyi, “ia adalah

disiplin ilmu yang membahas

bagaimana memahami kitab

Allah yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad

SAW dengan menjelaskan

makna, hukum dan hikmah yang

terkandung di dalamnya.”

Sambungan Urgensitas Tafsir...

yang terkandung di setiap lafal yang ada di dalam ayat-ayat al-Quran. Ketiga, kebutu-

han kita terhadapnya. Kita semua membu-tuhkan ilmu tafsir tersebut, karena hanya

dengan memahami al-Quran-lah kita mampu melaksanakan segala perintah dan

menjauhi larangan Allah SWT. Selain itu, sejarah pun men-

catat bagaimana para ulama semenjak zaman Sahabat hingga sekarang berusaha

mempelajari ilmu ini dan mengembang-kannya. Umar bin Khatthab, dalam

menghafal surat al-Baqarah, memerlukan waktu selama lima tahun. Hal tersebut

bukan karena kesulitannya dalam menghafal, karena toh al-Quran ditu-

runkan dengan bahasa mereka. Namun hal ini disebabkan pemahaman kandungan

dalam ayat-ayat al-Quran. Ketika itu Umar tidak ingin melanjutkan hafalan ke ayat

setelahnya, sebelum ia paham dengan kandungan ayat yang dihafalkan dan dia-

malkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ibnu Jariral-Thabari meriwayatkan dari

Sa’id bin Zubair, ia berkata, “Barang siapa membaca al-Quran kemudian tidak tahu

tafsirnya, maka dia seperti orang buta atau orang Badui (Arab gunung).” Sedangkan al

-Suyuthi, seorang ulama kontemporer, berpendapat bahwa hukum mempelajari

ilmu tafsir adalah fardlu kifayah. Mengenai akar kata tafsir,

meski beberapa ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, namun secara garis besar

makna kata tafsir tidak terlepas dari arti menyingkap atau menjelaskan. Pertama,

sebagian ulama mengatakan asal kata tafsir

diambil dari kata “ ” الفس yang bermakna menjelaskan atau menyingkap kandungan

sebuah kata yang membingung-kan. Allah berfirman, “Tidaklah

orang-orang Kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang

ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan

yang paling baik penjelasannya.” Kedua, tafsir merupakan kata

(terbalik) yang berasal dari kata

“ ” السف yang artinya sama

dengan “ ” الفس yaitu

menyingkapkan, " نت الك اة

yang artinya seorang ”ل س ةperempuan menyingkapkan kerudungnya. Ketiga, dikatakan

bahwa tafsir berasal dari kata

" yaitu proses seorang "التفس ةdokter memeriksa organ dalam

8 N A D H R A H

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

pasien untuk mengetahui sebab penyakit yang dialaminya. Mereka yang mengatakan pendapat ini,

berangkat dari pemahaman bahwa seorang mufasir memeriksa isi al-Quran untuk mengetahui kandun-

gan hukum dan maknanya. Adapun secara istilah, Husain al-

Dzahabi dalam bukunya “Al-Tafsir wa al-Mufasirun” mengatakan tafsir merupakan sebuah penjelasan

terhadap firman Allah atau lafal-lafal al-Quran beserta kandungannya. Pendapat ini sedikit ber-

beda dengan pendapat Abu Hayyan dalam taf-sirnya, “al-Bahr al-Muhith.” Ia secara jelas

mendefinisikan bahwa tafsir merupakan disiplin ilmu yang mampu berdiri sendiri, “Tafsir adalah

ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal-lafalal-Quran, beserta maksud dan hukum-hukum

yang dikandungnya, baik secara per kata atau per kalimat.” Adapun definisi yang paling mudah

dipahami, seperti yang disebutkan oleh Maulaya Hammad dalam bukunya “Ilmu Ushul al-Tafsir,

muhawalah fi al-Bina,” adalah definisi yang dikemu-kakan oleh Imam Zarkasyi, “ia adalah disiplin ilmu

yang membahas bagaimana memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

dengan menjelaskan makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.”

Di sisi lain, tafsir berkaitan erat dengan takwil. Terbukti banyak ulama, baik klasik atau

kontemporer yang berkonsentrasi dalam Ulum al-Quran, selain menulis pembahasan tentang tafsir,

juga membahas takwil. Selain itu, mereka pun berbeda pendapat dalam mendefinisikan keduanya.

Di antara ulama ada yang mengategorikan bahwa keduanya sama dan sebagian yang lain menilai

keduanya berbeda. Fahd Sulaiman al-Rumy, dalam bukunya Buhuts Fi al-Tafsir wa Manahijuhu, menulis-

kan bahwa di antara ulama yang menilai bahwa keduanya sama yaitu, Imam Suyuthi. Salah satu

dalil yang ia pakai adalah riwayat yang datang dari Abu 'Abbas Ahmad bin Yahya Tsa'lab, “Arti tafsir

dan takwil adalah sama.” Selain itu, ia pun berdalil dengan doa Nabi Muhammad SAW kepada Ibnu

‘Abbas, “wahai Tuhanku fahamkanlah ia terhadap agama dan ajarilah ilmu takwil.” Dalil ini dikuatkan

dengan perkataan Ibnu ‘Abbas sendiri, “aku terma-suk mereka yang mengetahui penafsiran al-Quran.”

Sedangkan ulama yang menilai keduanya berbeda, mereka pun berbeda pendapat,

tergantung sisi pandang mereka masing-masing. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa

keduanya berbeda dilihat dari ‘umum wa khushush. Kelompok ulama yang melihat dari sudut pandang

ini pun berbeda pendapat, di antara mereka men-gatakan bahwa tafsir lebih umum dari takwil,

karena pemakaian kata tafsir yang lebih luas dan lebih banyak dari pada takwil. Tafsir digunakan di

dalam lafal, kosa kata dan lain sebagainya, sedang-kan takwil hanya dipakai dalam istilah, seperti

Page 9: IQRA' Ed. 4.pdf

takwil mimpi. Sebagian lain mengatakan kebalikannya. Artinya, takwil-lah yang lebih umum daripada tafsir, karena pemakaianya yang lebih luas daripada tafsir. Takwil dipakai bukan hanya di dalam istilah kata, sedangkan tafsir hanya

dipakai di dalam istilah tersebut. Kedua, sebagian ulama lain mengatakan keduanya berbeda dilihat dari istilah masing-masing keduanya. Ulama yang

berpandangan seperti ini pun berbeda. Di antara mereka mengatakan bahwa tafsir bermakna memutuskan keinginan Allah apa adanya, sedangkan takwil bermakna menguatkan makna-makna –sebuah ayat- yang muncul tanpa memu-

tuskan –benar atau salahnya. Di antara mereka pun berpendapat bahwa tafsir berkaitan dengan riwayat, sedangkan takwil berkaitan dengan dirayah. Di antara yang lain mengatakan bahwa tafsir untuk kita sebagai makhluk, sedangkan

takwil hanya diketahui oleh Sang Khaliq, dengan dalil ayat 7 surat Ali Imran.

Perkembangan Ilmu Tafsir Jika melihat sejarah, diketahui bahwa ilmu tafsir sudah ada semenjak zaman Rasulullah SAW. Pada waktu

itu, ketika para Sahabat mengalami kesulitan memahami al-Quran, mereka datang kepada Rasulullah untuk menanya-kannya. Rasulullah sebagai seorang yang diberikan Allah wahyu tersebut, kemudian menjelaskan dan menafsirkan

maksud ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para Sahabat tidak sama dalam memahami al -Quran, terlebih pada sisi balaghah dan susunan kalimatnya, sekalipun al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.

Di sini muncul sebuah pernyataan dari kalangan Orientalis, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa yang disesuaikan dengan keadaan umat kala itu, maka ini menunjukkan bahwa al-Quran terpengaruh oleh budaya atau meru-

pakan produksi budaya. Menanggapi tudingan seperti ini syekh Sya’rawi mencoba menjawabnya dengan sebuah analogi. Kita sepakat bahwa rambu-rambu lalu lintas sangat penting bagi setiap pengemudi, sehingga setiap pengemudi

kendaraan harus mampu memahami setiap rambu-rambu lalu lintas yang ada, agar selamat sampai tujuan dan terhindar dari mara bahaya. Namun, bagaimana ketika rambu-rambu lalu lintas tersebut menggunakan tanda atau bahasa yang

sama sekali tidak dipahami oleh pengemudi, apakah akan menciptakan lalu lintas yang aman dari bahaya? Apakah bisa

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

menjamin setiap pengemudi untuk sampai ke tujuan mereka masing-masing? Tentu saja tidak. Begitu juga

dengan al-Quran yang merupakan kitab pedoman seluruh umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya,

bagaimana menjadi pedoman bagi umat –kala itu bangsa Arab- kalau kitab tersebut tidak bisa dipahami?

Dengan penjelasan di atas, kita bisa menyim-pulkan bahwa metodologi penafsiran al-Quran ketika

zaman Nabi, Sahabat dan Tabiin menggunakan penafsiran yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Kendati demikian,

di antara zaman tersebut tetap ada perbedaan. Jika pada zaman Nabi, penafsiran langsung datang dari Rasulullah,

sedangkan pada zaman Sahabat dan Tabiin tidak secara langsung, tetapi melalui periwayatan yang diambil dari

Rasulullah. Seiring berjalannya waktu, metode tersebut

mengalami perubahan dan perkembangan, baik positif atau negatif. Dikatakan metodologi tersebut berkembang

ke arah negatif, sebab ada beberapa penafsiran setelah zaman Sahabat dan Tabiin yang tidak sesuai dengan me-

todologi yang benar, atau metodologi yang sesat atau hanya menggunakan nafsu saja, dan tidak mempertim-

bangkan benar atau salahnya. Salah satu contohnya, penafsiran yang menggunakan riwayat israiliyat yang tidak

sesuai dengan syariat Islam, penafsiran yang mengacu pada paham sekte yag sesat dan lain sebagainya.

Adapun mengenai perkembangan positif, metodologi penafsiran berkembang tidak hanya meng-

gunakan metode atsari (Tafsir bi al-Ma’tsur), akan tetapi berkembang menjadi bermacam-macam metodologi, di

antaranya metodologi penafsiran Ahlusunah, metodologi fikih, metodologi ilmu eksperimen, maupun metodologi

bayani yang digunakan oleh Zamakhsyari, Amin al-Khuli, Muhammad Ahmad Khalafullah dan Aisyah Abdurrah-

man yang dikenal dengan “bintu syathi”. Selain itu, Mu-hammad Ali Ridlai dalam bukunya “Manahij al-Tafsir wa

Ittijahatuhu” juga menambahkan beberapa metodologi, di antaranya metodologi penafsiran modern, seperti me-

todologi penafsiran sosio-kultural, metodologi politis, penafsiran jihad dan lain sebagainya.

Hal lain yang menjadi perhatian para ulama terhadap al-Quran adalah penetapan beberapa syarat dan

ketentuan untuk seseorang yang ingin menafsirkan al-Quran. Sebagaimana yang ditulis Maulaya Hammad dalam

bukunya, “Ilmu Ushul al-Tafsir, muhawalah fi al-Bina,” bahwa syarat mufasir dibagi menjadi dua, yaitu syarat yang ber-

kaitan dengan ilmu pengetahuan dan syarat yang berkaitan dengan akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mufasir.

Di antara ilmu pengetahuan yang harus di-miliki oleh mufasir antara lain, ilmu Fikih, ilmu gramatikal

bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), serta beberapa ilmu yang termasuk dalam lingkup ulum al-Quran, seperti

Asbab Al-nuzul, Nasikh wa Mansukh, Makky-Madany, Muhkam-Mutasyabih, kisah-kisah al-Quran dan lain seba-

gainya. Selain ilmu tersebut, ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir antara lain ilmu Ushul Fiqh, Qiraah, dan

beberapa ilmu lainnya. Adapun akhlak-akhlak yang harus dimiliki seorang mufasir secara umum merupakan akhlak

mulia yang harus dimiliki setiap Mukmin Semua hal di atas menunjukkan bahwa al-

Quran memang benar-benar kitab pedoman untuk selu-ruh umat manusia, dan kemukjizatannya tidak terbatas

oleh waktu. Kandungannya akan terus dikaji dan rahasia-rahasianya akan terus ditelusuri, hingga seluruh manusia

mendapatkan segala apa yang mereka butuhkan untuk kehidupan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Wallahu A'lam.

9 N A D H R A H

Page 10: IQRA' Ed. 4.pdf

1 0 U D H A M A

Mufasir Jenius, Ahli Filsafat

N ama lengkapnya Abu Abdullah

Muhammad bin Umar bin al-

Husain bin al-Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri al -

Thabaristani al-Razi, yang juga dikenal dengan nama

Ibnu al-Khatib al-Syafi’i. Silsilah nasabnya bersambung

kepada Abu Bakr al-Shiddiq RA. Razi dilahirkan pada

tahun 544 H dan tumbuh besar di kota Ray. Ray

merupakan ibu kota Irak a’jami ketika itu, yang terletak di sebelah utara pegunungan Iran. Kota ini sebenarnya telah

menghilang sejak lama, tetapi masih banyak beberapa peninggalannya yang didapati di Teheran, ibu kota Iran

sekarang. Fakhruddin al-Razi memulai perjalanan keilmuannya dari kota Ray, yang dilanjutkan pada kedua

bagian kota Irak, a’jami dan ‘arabi, Khurasan dan Syam. Selain itu, Razi juga dikenal menguasai dua bahasa sekaligus,

yaitu bahasa Arab dan bahasa Persia. Pendidikan Razi didapatkannya langsung dari

sang ayah, Dhiya’ al-Din. Darinya, Razi belajar Teologi dan Fikih. Razi kemudian melanjutkan pendidikannya dengan

berguru pada al-Jaili, al-Kamal al-Samani, dan Muhammad bin Umar dalam bidang Filsafat. Tak lama berselang, Razi

mulai mengajarkan Teologi setelah berhasil menghafalkan kitab al-Syamil yang ditulis oleh Imam Haramain.

Dalam perjalanan keilmuannya, ia banyak mempelajari ilmu Kalam, Ushul Fikih, Fikih Syafii dan

bahasa Arab. Hal ini menjadikan banyak ulama yang mengaguminya, sebab ia mampu menggabungkan beberapa

disiplin ilmu dalam satu waktu. Dengan wawasan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itulah Razi berhasil

menelurkan banyak karya dalam berbagai cabang keilmuan, seperti Tafsir, Teologi, Fikih, Nahwu, Sastra Arab, Filsafat,

Kedokteran, Arsitek, dan Astronomi. Melalui karya-karyanya, Razi ingin menegaskan luasnya khazanah

keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam, yang meliputi hampir seluruh pengetahuan di berbagai belahan dunia, baik

Timur ataupun Barat. Kemahiran dan luasnya pengetahuan yang

dimiliki Razi menjadikan banyak ulama yang mengagumi kemampuan intelegensianya. Salah satunya adalah Judah

Muhammad. Dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain al-Dzahabi, Judah Muhammad berujar,

“Razi merupakan seorang ulama yang sangat memahami ilmu Ushul, piawai dalam menafsirkan al-Quran, serta sosok

individu yang amat cerdas. Selain itu, karya-karya yang ditulisnya pun begitu fenomenal.” Pernyataan ini diperkuat

oleh Husain al-Dzahabi, “Buah karyanya tersebar luas di dunia, mulai ufuk Timur hingga Barat. Karya-karyanya yang

begitu legendaris seolah menegaskan kejeniusannya dalam

segala bidang keilmuan. Fakhruddin al-Razi juga disebut sebagai

pembaharu Islam abad ke-6 H setelah Abu Hamid al-Ghazali. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya

yang ia hasilkan dalam berbagai cabang keilmuan Islam. Dalam bidang Teologi, tak kurang dari dua belas judul

buku telah ditulisnya, antara lain: al-Mathalib al-‘Aliyah, Asas al-Taqdis dan al-Mahshul fi ‘Ilmi al-Kalam. Adapun

dalam ilmu Mantik dan Filsafat, Razi menulis sekitar lima belas judul buku, seperti al-Mulakhash fi al-Hikmah

wa al-Manthiq, Kitab al-Manthiq al-Kabir wa Mbahits Wujud wa ‘Adam, dan Syarh Isyarat wa Tanbihat li Ibnu Sina.

Sedangkan karya-karyanya yang paling masyhur dan fenomenal sebagian besar adalah tafsir al-Quran, seperti

Mafatih al-Ghaib, Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil (Tafsir Shagir), Tafsir surat al-Baqarah ‘ala Wajh al-‘Aql wa al-Naql,

Tafsir surat al-Ikhlas, serta Risalah fi al-Tanbih ‘ala Ba’dhi al-Asrar al-Mudah fi Ba’dhi ayat al-Quran al-Karim.

Setelah sekian lama bergelut dalam ilmu Kalam dan Filsafat, Razi akhirnya menyadari bahwa

cahaya petunjuk dan keyakinan yang hakiki ada di dalam al-Quran. Menurutnya, al-Quran adalah hakikat untuk

mengetahui kebenaran, bukan ilmu Kalam dan Filsafat. Dalam salah satu kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu

Shalah dalam Thabaqat al-Mufassirin, Razi berkata: “Betapa aku termasuk orang yang merugi, sebab aku

berlebihan menyibukkan diri dalam ilmu Kalam.” Kemudian ia menangis.”

Muhammad Fadhil Ibnu Asyur dalam al-Tafsir wa Rijaluhu menjelaskan bahwa Razi pernah

berkata, “Aku telah mengetahui hakikat ilmu Kalam dan Filsafat. Namun tidak kutemui pada keduanya hikmah

yang setara dengan hikmah yang dijelaskan al-Quran. Al-Quran mengajarkan manusia untuk bertawakal kepada

Allah yang Maha Besar dan Maha Mulia. Ia menjauhkan manusia dari lautan perselisihan yang disebabkan

ketidakmampuan manusia untuk menyelami hakikat ilmu-ilmu tersebut.” Sejak saat itulah, Razi mulai

mengarang tafsir al-Quran. Fakhruddin al-Razi menghembuskan nafas

terakhirnya pada tahun 606 H di kota Ray. Disebutkan dalam kitab Wafyat al-A’yan karya Ibnu Khalkan bahwa

Razi meninggal di kota Harah, dan dikebumikan pada sore harinya di gunung Masakib yang terletak di desa

Muzdakhan (sebuah desa dekat kota Harah). Dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, Husain Dzahabi menjelaskan

bahwa penyebab wafatnya Razi adalah pandangannya yang kontradiktif dengan golongan Karamiah dalam hal

akidah. Perselisihan ini mengakibatkan keduanya saling mengafirkan satu sama lain. Hal ini juga yang

mendorong beberapa orang dari golongan Karamiah meracuninya, hingga ia pun wafat tak lama setelah

meminum racun tersebut.

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

Fakhruddin Al-Razi

Faiq Aziz

Page 11: IQRA' Ed. 4.pdf

T elah lama berbagai macam syubhat dilancarkan kepada umat Islam, khususnya kepada kitab suci mereka, al-Quran. Mereka yang membenci Islam mencurahkan

segala upaya untuk menurunkan derajat al-Quran dari kedudukan sakralnya sebagai kalamullah, dengan menyatakan bahwa al-Quran tak lebih dari karya tulis yang dibuat

oleh Muhammad SAW, dan juga produk budaya masyarakat Arab, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut menuntut umat Islam untuk menjawabnya. Umat Islam juga

membutuhkan cendekiawan rabani untuk mengetahui kebenaran atas syubhat tersebut , juga untuk membedakan yang benar dan salah. Terlebih distorsi nilai al-Quran yang digalang oleh

para pengingkar tersebut terkadang sangat kabur, sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwa syubhat inilah nilai Islam yang sebenarnya.

Di tengah geliat ulama dalam menjawab syubhat terhadap al-Quran, muncul sebuah buku fenomenal karya seorang ulama dengan kapabilitas keilmuan yang tak diragukan

lagi, Muhammad Rasyid Ridha, yang berjudul “al-Wahyu al-Muhammadi”. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa dunia ini, lahir untuk menjawab syubhat-syubhat yang

dilontarkan untuk al-Quran, juga untuk meyakinkan umat Islam akan keagungan kitab sucinya. Berbicara mengenai penulis buku ini, namanya sudah pasti tidak asing lagi di telinga

umat Islam. Gagasan-gagasan dan idenya banyak mewarnai kancah pemikiran Islam. Tafsirnya yang sebagian ditulis oleh Muhammad Abduh, al-Mannar, menjadi rujukan ulama hingga hari

ini. Tidak hanya itu, berbagai konsep perjuangan yang dibentuknya menginspirasi banyak

pemikir setelahnya. Di Indonesia sendiri, tidak s e d i k i t p e n d i r i o rmas I s l am y ang

mengaplikasikan pemikiran cendekiawan bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali

Ridha bin Syamsuddin al-Qalmuni al-Husaini ini.

“ a l -W a h y u a l -M u h a m m a d i ” merupakan buku yang lahir dari sebuah

ke t i d akse ng a j aan pe nu l i snya . Dalam mukadimah buku ini dijelaskan bahwa buku ini

baru ditulis ketika Rasyid Ridha tengah menadaburkan surat Yunus yang menjelaskan

otentisitas al-Quran, yaitu bahwa al-Quran merupakan kalamullah, dan bukan ucapan

Rasulullah SAW. Masih dalam mukadimah, Rasyid Ridha juga menegaskan bahwa buku ini

dimaksudkan untuk menjadi media dakwah kepada seluruh umat manusia. Terlebih kepada

mereka yang mendewakan materi dan jauh dari hidayah, seperti masyarakat Barat. Selain itu,

buku ini juga merupakan ringkasan dari tema-tema yang ada dalam tafsir “al-Manar” yang

sebelumnya dimuat dalam majalah dengan nama yang sama.

Buku ini merupakan jawaban atas

syubhat-syubhat yang dilekatkan pada al-

Quran oleh mereka yang membenci dan

mengingkari Islam. meyakinkan kaum non

Muslim akan keagungan al-Quran, sekaligus

untuk membantah tuduhan mereka atas nabi

Muhammad SAW. Sehingga syubhat yang

mereka utarakan bukannya melemahkan posisi,

namun justru semakin menegaskan akan

otentisitas dan kebenarannya.

Pembahasan pokok buku ini

terletak pada bab terakhir. Uniknya, penulis kelahiran Syam ini menuntun pembaca

untuk sampai pada bab tersebut melalui pengantar-pengantar yang cukup menarik

dalam bab-bab sebelumnya. Pada bab pertama, dijelaskan tentang definisi wahyu

dan komparasi antar agama. Kemudian dalam bab berikutnya, diterangkan tentang

hujah atas kemutlakan wahyu Muhammd SAW. Dilanjutkan dengan pengungkapan

syubhat-syubhat yang mengaburkan nilai-nilai Islam, nabi Muhammad, dan juga al-

Quran dalam bab ketiga. Rasyid Ridha juga juga secara detail menerangkan kemukjizatan

sastrawi al-Quran melalui penjelasan tentang

balaghah dan gaya bahasa al-Quran dalam

bab selanjutnya. Diakhiri dengan pemaparan

sepuluh maksud pokok (maqashid) al-Quran

dalam mendidik al-Quran yang merupakan pembahasan paling luas dalam buku ini.

Secara umum, pembahasan dalam buku ini, khususnya mengenai jawaban atas syubhat-syubhat, banyak dibahas oleh

cendekiawan-cendekiawan Muslim setelahnya, seperti Muhammad Imarah, Yusuf Qaradhawi, dan lainnya. Namun, terlepas dari hal itu,

kapabilitas Rasyid Ridha sebagai pelopor dalam mendobrak kejumudan taklid dan perjuangannya untuk membuka mata umat Islam dari

penindasan pemikiran dan fisik di masanya menjadi kredit tersendiri di mata pembaca. Apalagi didukung dengan gayanya yang

mengomparasikan kitab suci antar agama. Oleh karena itulah, buku ini sangat cocok untuk dijadikan rujukan dalam mengenali medan dakwah

Islam. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Menegaskan Keagungan Al-Quran melalui Syubhat

Muhammad Hafif At-Tauhidi

Data Buku: Al-Wahyu al-Muhammadi Penulis: Muhammad Rasyid Ridha Penerbit: Al-Ahram al-Tijariyyah Cetakan: II/ 2008 M Tebal: 317 halaman

1 1 M A R J A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

Page 12: IQRA' Ed. 4.pdf

I qra’, demikianlah bunyi wahyu yang pertama kali didapatkan Rasululllah. Bila dibaca sekilas, lafal

tersebut sama persis dengan nama buletin ini, sebab keduanya memang berasal dari sumber yang sama,

QS . al-‘Alaq: 1. Meski demikian, tulisan ini tidak bermaksud untuk menceritakan asal-usul dan alasan

mengapa lafal tersebut digunakan sebagai nama buletin ini , karena hal ini bukanlah konsumsi publik. Adapun catatan

ini, sengaja ditulis guna mendaburkan perintah pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah tersebut. Mengapa

harus iqra’?

Hakikat Iqra’ Lafal iqra’ berasal dari kata qara’a yang pada

awalnya berarti menghimpun. Apabila satu huruf atau kalimat telah dirangkai dan diucapkan, maka lafal tersebut

telah dihimpun. Arti asal ini menunjukkan bahwa kata iqra’ yang diterjemahkan dengan “bacalah”, tidak menuntut

adanya adanya tulisan atau bacaan yang dibaca keras-keras agar didengar orang lain. Kata qara’a juga bisa bermakna

menyampaikan; menelaah; membaca; meneliti; mengkaji, dan lain sebagainya. Al-Quran sendiri menyebut kata ini

sebanyak tiga kali, yaitu pada QS. al-Ira’: 14 dan QS. al-‘Alaq: 1 dan 3. Adapun lafal al-Quran, yang juga berasal

dari kata qara’a, disebut sebanyak tujuh belas kali, dan selain keduanya diulang hingga tujuh puluh kali di dalam al-

Quran. Objek bacaan yang dijelaskan oleh al-Quran

pun berbeda-beda. Ada kalanya objek tersebut berupa bacaan yang bersumber dari Tuhan, seperti al-Quran dan

kitab-kitab suci sebelumnya. Hal ini ditegaskan misalnya dalam QS. al-Isra’: 45, “Dan apabila kamu membaca al-Quran,

niscaya Kami jadikan di antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat suatu penghalang yang tertutup”,

juga pada QS. Yunus: 94 yang artinya: “Maka jika kamu berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan

kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran

untukmu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang meragu.” Namun terkadang objek

yang dimaksud al-Quran juga termasuk tulisan karya manusia, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Isra’: 14.

Selain itu, makna kata yang berasal dari lafal qara’a berbeda dengan lafal yang diambil dari kata tala-tilawatan. Lafal yang

terahir ini, merujuk pada bacaan yang bersifat sakral dan mutlak kebenarannya. Salah satu contohnya terdapat dalam

ayat yang berbunyi, “Itu adalah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benar-

benar salah seorang di antara nabi yang diutus.” (QS. al-Baqarah: 252).

Dalam salah satu kaidah ilmu balaghah dijelaskan bahwa suatu kata dalam susunan kalimat yang

tidak disebutkan objeknya, maka objek kata tersebut bersifat umum, dan mencakup segala hal yang dimaksud

oleh kata tersebut. Ini artinya, kata qara’a dapat dikatakan

bersifat umum, sebab selain ia mengandung banyak arti, objek yang disebutkan pun tidak bersifat psesifik. Oleh

karena itulah, objek kata tersebut mencakup kedua objek yang telah disebutkan di atas, al-Quran dan selainnya.

Manusia dan Perintah Membaca

Bila diteliti, perintah membaca yang diberikan Allah kepada Rasulullah sangatlah mencengangkan .

Bagaimana t idak , seorang ummi sepertinya justru diperintahkan membaca sebagai tugas pertamanya. Lebih

mengherankan lagi, perintah tersebut diulang untuk yang kedua kalinya dalam surat yang sama.

Al-Quran tentu memiliki tujuan khusus di balik pengulangan tersebut, seperti halnya pengulangan kisah-kisah

di dalamnya. Dalam mengulang kisah, al-Quran menyisipkan informasi baru yang tidak dicantumkan dalam kisah sebelum-

nya. Sedangkan dalam kaitannya dengan perintah pertama ini, al-Quran ingin menekankan urgensi membaca sebagai

sebuah kunci bagi umatnya dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini.

Petunjuk-petunjuk yang dijabarkan Allah di dalam al-Quran tidak akan bisa dijangkau oleh manusia tanpa

adanya proses membaca. Penemuan-penemuan sains terkini, yang banyak memberikan kemudahan untuk kehidupan

manusia didapatkan dari hasil membaca, meneliti dan meng-kaji, pada hakikatnya telah dijelaskan oleh al-Quran sejak

empat belas abad silam. Lebih dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan suatu peradaban juga tidak bisa dilepaskan

dari proses belajar dan membaca. Dalam hal ini, Dinasti Abbasiyah menjadi salah

satu prototipenya. Sejarah mengenang, keberhasilan dinasti ini menguasai berbagai wilayah dalam kurun waktu delapan

abad tidak terlepas dari kegiatan terjemah dan kajian keil-muan lainnya. Selain itu, salah satu pembicaraan mengenai

keistimewaan dinasti ini adalah kegigihan penguasanya mem-bangun pusat kajian dan terjemah, baik di dalam ataupun di

luar negeri. Demikianlah al-Quran menjelaskan urgensi mem-

baca dan kaitannya dengan manusia. Adapun dalam posisi pencari ilmu (thalib al-Ilmi), kegiatan membaca mutlak untuk

dilakukan, sebab mereka diharapkan bisa memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang berkembang di masa

kini. Tidak hanya itu, mereka juga diharapkan untuk mengembalikan kejayaan Islam, yang pernah direngkuh oleh

Islam berabad-abad silam. Kedua tugas ini, tidak akan mampu diemban tanpa membaca.

Jostein Gaarder, seorang cendekiawan berke-bangsaan Norwegia pernah berujar, “Aku tahu, setiap kali

aku membuka buku, aku akan bisa menguak sepetak langit. Jika aku membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit

lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar

dan luas.” Selamat membaca!

Mari Membaca 1 2 S A L A M

Maulidatul Hifdhiyah

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3

Page 13: IQRA' Ed. 4.pdf