iqra' ed. 4.pdf
TRANSCRIPT
Hilmy Mubarok
A l-Quran dengan segala sisi kemukji-zatnya, menjadi kitab pedoman
yang tidak hilang bersama waktu, segala hukum yang ada di dalamnya
berlaku hingga hari kiamat kelak. Selain meru-pakan kitab akhir zaman yang diturunkan
kepada Rasulullah SAW, ia juga merupakan kitab penyempurna terhadap kitab-kitab sebe-
lumnya. Al-Quran sendiri mampu dipahami oleh setiap individu pada masa yang berbeda-
beda dengan cara pandang dan dari sisi yang berbeda-beda pula.
Usamah al-Azhari dalam bukunya, al-Madkhal ila
Ushul al-Tafsir menuliskan beberapa disiplin ilmu yang
diambil dari berbagai sisi al-Quran, seperti
ilmu bahasa Arab –nahwu- yang melihat al-
Quran dari sisi i’rab dan dari sisi hubungan antar huruf atau
kalimat. Bahkan dewasa ini, ada pula yang mengkaji sisi kebahasaannya dengan
menitik beratkan pada setiap lafal al-Quran, seperti Muhyiddin al-Darwisy. Sedangkan dari
sisi Qiraah, muncul istilah-istilah tajwid, seperti makharij al-huruf, sifat-sifat huruf dan hukum-
hukum tertentu dalam membaca al-Quran. Hal yang sama juga dilakukan oleh para mufasir
yang berusaha mengungkapkan makna yang tersurat atau pun tersirat dalam setiap ayat al-
Quran. Selain ketiga ilmu tersebut, masih banyak lagi beberapa disiplin ilmu yang lahir
dari usaha memahami kandungan isi al-Quran.
Pada akhir pembahasan, Usamah al-Azhari mencoba mengategorikan pembagian
disiplin ilmu yang berhubungan dengan al-Quran, di antaranya, pertama, disiplin ilmu
yang berada di dalam kandungan al-Quran, seperti Kisah-kisah para nabi, Pendidikan
akhlak, Fikih dan Syariat. Kedua, disiplin ilmu yang memberi maklumat tambahan terhadap
seorang mufasir, seperti ilmu Hikmah. Ketiga, disiplin ilmu yang mempunyai isyarat atau
penguat di dalam al-Quran, seperti ilmu Ke-dokteran dan Mantik. Keempat, ilmu yang tidak
ada kaitannya sama sekali dengan al-Quran, baik karena kebatilannya atau
tidak ada faedah di dalamnya, seperti ilmu Mitologi dan
Astrologi.
Hakikat Ilmu Tafsir Berangkat dari itu semua,
ada salah satu disiplin ilmu yang harus kita ketahui, bukan hanya karena
ia memiliki hubungan dengan al-Quran, tetapi ilmu ini juga merupakan ilmu untuk
memahami kandungan al-Quran itu sendiri, yaitu ilmu Tafsir. Mayoritas ulama menilai ilmu
Tafsir bukan hanya ilmu yang penting untuk dipelajari, tetapi mereka juga menilai ilmu ini
sebagai salah satu ilmu yang mulia. Kemuliaan ini bisa dilihat dari tiga sisi. Pertama, dari sisi
objek yang dikaji. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang mempelajari al-Quran, kitab pedoman
untuk seluruh manusia. Kedua, tujuan mempe-lajarinya ilmu tafsir adalah untuk menyingkap
makna-makna
Urgensi Ilmu Tafsir dalam Memahami Kandungan Al-Quran
E D I S I I V
“Tetapi boleh jadi
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh
jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-
Baqarah: 216). Dalam kehidupan
terkadang kita mengalami
kebimbangan, dan dihadapkan
pada pilihan-pilihan dilematis. Untuk menghadapi kesulitan
itu tidak jarang dari manusia terjerumus ke dalam kesyirikan.
Terkadang apa yang menurut manusia baik belum tentu baik
dimata Allah dan sebaliknya apa yang menurut manusia
buruk tetapi baik dimata Allah.
Islam memberikan
jalan keluar dalam menghadapi hal ini yaitu dengan
beristikharah. Istikharah berasal dari kata al-khairyang
bermakna sesuatu yang baik. Istikharah bertujuan memohon
petunjuk dari allah SWT untuk menunjukan sesuatu yang
N A D H R A H
A L - Q U R A N
S E B A G A I P E D O M A N
DAFTAR ISI
ISTIKHARAH
D Z I K R A
K A J I A N A L - I ’ J A Z
I K P M C A B A N G
K A I R O
Bersambung ke hlm 8
M A R E T 2 0 1 3
Bersambung ke hlm 5
NADHRAH 1
TAHNIAH 2
MARJA 11
UDHAMA 10
6
SALAM 12
MABHATS
URGENSI ILMU TAFSIR
DALAM MEMAHAMI
KANDUNGAN AL-QURAN
A K H L A K Q U R A N I
M E N E G A S K A N
K E A G U N G A N A L -
Q U R A N M E L A L U I
S Y U B H A T
F A K H R U D D I N A L - R A Z I :
M U F A S I R J E N I U S ,
A H L I F I L S A F A T
M E N J A W A B T U D U H A N
O R I E N T A L I S
T E R H A D A P M A K K I Y A H
D A N M A D A N I Y A H
M A R I M E M B A C A
Nur Fitria Qurrotu Aini
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah suri
teladan yang baik bagimu. Yaitu bagi
orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat… “ (QS. al-Ahzab:
21).
Akhlak Qurani
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
2 T A H N I A H
S aat diutus kepada bangsa Q ura i s y , Rasulul l ah
membawa satu misi penting, yaitu mengajar-
kan budi pekerti. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak”, demikian sabdanya. Keagungan akhlak Rasulullah
telah terlihat sejak ia berada dalam masa kanak-kanak, dan
terus terbawa hingga ia menjadi pemimpin yang paling berhasil di
muka bumi ini. Perbuatan, uca-pan dan ketetapannya yang kini
diabadikan dalam Hadis, menjadi panutan umat Islam, tentunya
setelah al-Quran. Di dalam kitab suci ini dijelaskan tiga unsur
pokok yang menjadi pondasi utama agama Islam, akidah,
syariat, dan akhlak. Ada dua ragam akhlak yang
ditegaskan al-Quran. Pertama, akhlak rabbani-yah yang menjelaskan etika seorang hamba
kepada penciptanya, seperti ikhlas, takut, tawakal serta tidak mengedepankan urusan
duniawi demi mendapatkan kebahagiaan ukhrawi. Sikap yang terakhir lebih dikenal
dengan istilah zuhud , salah satu pokok peribadatan dalam dunia tasawuf. Sedangkan
tipe akhlak kedua adalah akhlak insaniyyah. Tipikal yang kedua ini menuntut umat
Muhammad untuk bersikap baik kepada sesamanya melalui beberapa sifat, seperti
jujur, amanat, tawadu, sabar, adil, lapang dada, ta’awun dan sebagainya. Orang yang
beriman adalah orang yang mengamalkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini ditegaskan dalam berbagai ayat al-Quran yang menerangkan sifat -sifat seorang
M ukmi n , s e pert i QS . al -Anfal : 2-4, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu
o rang -o rang yang mendi r ikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami
berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang
Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-I’JAZ IKPM Kairo
Dewan Penasehat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana;
Pemimpin Umum: Maulidatul Hifdhiyah; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Saeful Luthfy; Layouter: Rusydiana Tsani; Kru: Hilmy Mubarak, Muhammad Hafif
At-Tauhiidi, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul, Nur Fitria Qorro tu Aini, Putri Rezeki Rahayu,
Uswahtun Hasanah, Kuntum Afifah.
Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206
beriman dengan sebenar-benarnya…” Selain itu, dalam al-Quran juga
dijelaskan bahwa hamba-hamba yang dicintai Allah adalah mereka yang berakhlak karimah.
Sebaliknya, Allah pun membenci semua akhlak tercela. Dalam hal ini, berbagai bentuk azab
dihadirkan al-Quran sebagai peringatan bagi pembacanya. Hal yang sama juga ditegaskan
dalam banyak kisah al-Quran, yang menyampai-kan pesan tentang bobroknya akhlak umat seba-
gai salah satu faktor pembunuh peradaban gemi-lang di masa lalu. Oleh karena itulah, manusia
dituntut untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan, agar kehancuran dan binasa yang sama
tidak menimpa mereka. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu.
Yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat… “ (QS. al-Ahzab: 21).
Tujuan dari semua ajaran tersebut sebenarnya berpangkal pada satu kata, takwa.
Kepatuhan dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhan-Nya inilah bentuk hakiki akhlak. Akhlak
meminta seorang hamba untuk tunduk pada semua perintah-Nya, baik yang tertera dalam
kalam atupun sabda utusan-Nya. Kendatipun demikian, menurut Yusuf al-Qaradhawi, baik al-
Quran maupun Sunah tidak pernah menafikan peran akal untuk melaksanakan semua perintah
tersebut. Ia justru berada dalam posisi sentral dalam hal ini, yaitu sebagai pengantar untuk
memahami perintah-perintah yang ditegaskan al-Quran ataupun Hadis.
Pada akhirnya, keputusan sepe-nuhnya terletak di tangan seorang hamba. Den-
gan akal yang dimilikinya, ia akan menentukan untuk berakhlak terpuji atau sebaliknya. Meski
hal tersebut tidak mudah, kita tetap dituntut untuk berusaha memenuhi kriteria seorang
Mukmin yang telah diterangkan al-Quran, sebab balasan seorang hamba tergantung seberapa
gigih ia berusaha. “Dan bahwasanya seorang manu-sia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusa-
hakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi
balasan kepadanya dengan balasan yang paling sem-purna. Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah segala
sesuatu bermuara.” (QS. al-Najm: 39-42).
Pelajaran Moral dari Al-Quran
S eiring waktu berjalan, moralitas masyarakat pun mengalami perkembangan. Namun, sebagaimana
kita saksikan saat ini, moralitas sebagai tolak ukur perkembangan sebuah peradaban, kini bukan
berkembang ke arah yang lebih baik, tetapi semakin mem-buruk dan sangat mengkhawatirkan. Sekarang banyak di
sekeliling kita kejadian-kejadian yang jauh dari nilai-nilai moral, khususnya yang ditetapkan di dalam al-Quran.
Pada dasarnya, moralitas masyarakat yang dinilai buruk ini lahir dari sikap masyarakat yang cenderung
individualis. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, sehingga lahir sebuah keegoisan. Berbagai cara
dilakukan demi terwujudnya hasrat pribadi tersebut, tanpa menghiraukan benar-salah atau sesuai -tidaknya dengan
ketetapan Allah SWT yang ada di dalam al-Quran.
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri" (Lukman: 18). Sebagai pedoman bagi umat manusia, al-Quran
mengandung ayat-ayat yang menjelaskan nilai-nilai morali-tas. Salah satunya ayat di atas yang menjelaskan bahwa
Allah memerintahkan manusia untuk bersikap rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman, dan mau mendengar-
kan apa yang disampaikan oleh orang lain. Ayat ini juga menjelaskan bahwa pada hakikat-
nya Allah SWT telah menentukan batas-batas bagi makhluk-Nya dalam menjalani kehidupan, khususnya bagi manusia.
Namun sayang, kebanyakan manusia tidak melihat hal tersebut, sehingga mereka mengabaikan dan bahkan
melanggarnya. Selain itu, moral masyarakat yang cenderung individualis juga disebabkan prinsip mereka sendiri yang
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman, atau sia-papun di sekitarnya. Padahal, jika ia mau melihat dan men-
yadari bahwa nilai-nilai moral tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan ketaatan kepada Sang Pencipta, maka
sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan petunjuk untuk menjalani kehidupan.
Harun Yahya, seorang penulis dan pemikir Islam, menyatakan bahwa terjadinya tindak kekerasan dan
konflik yang berkepanjangan seperti saat ini, dikarenakan kaum Muslim mulai menganut ideologi-ideologi kaum
Kafir yang tentu saja menyeleweng dari norma-norma yang telah diajarkan al-Quran. Oleh sebab itulah, Muhammad
Abu Âshi, di dalam bukunya "Maqalatâni fi al-Takwîl" menuliskan bahwa seorang Muslim tidak boleh men-
gafirkan sesama Muslim, karena di dalam ilmu akidah disebutkan bahwa seorang hamba tidak terlepas dari
keimanan, kecuali hatinya sudah dihingggapi keingkaran. Kemudian hal ini dipertegas dengan perkataan Imam al-
Ghazali yang menyatakan bahwa tindakan mengafirkan
sesama Muslim merupakan sebuah kebodohan. Dalam hal ini, ada beberapa solusi yang diberi-
kan al-Quran untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, bertafakur. Dalam al-Quran, sering kita temukan
ayat-ayat yang berakhiran "tidakkah kamu perhatikan?", "terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal," dan lain seba-
gainya. Hal tersebut menekankan betapa pentingnya berta-fakur dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan
Allah. Salah satunya terdapat di dalam QS. al-Nahl: 11, "Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-
tanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang mau memikirkan." Jika kita renungkan sejenak, bagaimana mungkin biji kecil dari
pohon-pohon itu mampu menghasilkan buah-buahan yang manis dan diminati banyak orang?
Kedua, berbaik sangka pada setiap peristiwa. Segala sesuatu di atas muka bumi ini tidak akan terjadi
kecuali dengan izin Allah SWT. Sebagaimana kita ketahui, bahwa segala apa yang dikehendaki-Nya adalah baik,
meski terasa pahit oleh kita. Pahit manis sebuah peristiwa, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang selalu berusaha
baik sangka dan mencari hikmah dari setiap peristiwa tersebut. Misalnya dalam peristiwa banjir yang menimpa
sebuah derah. Di antara mereka ada yang menganggap hal ini merupakan bencana dan sebagian lain menganggap
bahwa ini adalah ujian. Pada akhirnya, siapa yang mau dan mampu melewati ujian tersebut maka dialah orang yang
beruntung. Ketiga, tidak pernah berhenti melawan iblis.
Sudah jelas bahwa iblis adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dalam QS. al-A’raf ayat 200, Allah berfirman,
"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindun-glah kepada Allah." Dengan kata lain, ketika kita merasa
setan sedang menggoda dengan bisikan-bisikannya, maka kita seharusnya kita segera mengucapkan lafal isti’adzah.
Keempat, menjadi moderat dalam batasan al-Quran. Dalam hal ini kita harus mempunyai pandangan yang seimbang
ketika kita sudah terjun dalam ranah kemasyarakatan. Artinya, kita mampu menempatkan diri sesuai dengan
tempat atau kapasitas kita masing-masing. Tidak masalah untuk bersikap moderat, selama tidak bertentangan den-
gan aturan yang ada di dalam al-Quran. Dari nilai-nilai moral yang ditawarkan al-
Quran di atas, seharusnya kita sadar akan karunia-Nya, karena semua itu tiada lain kembali untuk kebaikan kita.
Sehingga perlu dicatat bahwa terkadang setiap apa yang buruk adalah baik untuk kita dan apa yang tidak kita
inginkan adalah baik untuk kita. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk terus berpegang teguh terhadap al-
Quran yang mengajarkan nilai-nilai moral untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan.
3 F I K R A H
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
Anisa Nur Rohmah
Hakikat Gibah dalam Kehidupan Sehari-hari 4 Q A D H A Y A
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
Istilah ghibah sangat berdekatan dengan makna dari kalimat al-Jarh dalam ilmu Hadis, karena masing-masing
kata memiliki konotasi dan substansi yang dapat menjatuhkan martabat seseorang dalam pandangan publik. Tidak selamanya
kita harus melindungi seseorang apabila ia memiliki aib atau-pun keburukan yang dapat membahayakan lingkungan tempat
pergaulannya, karena di saat-saat tertentu, kita perlu menjelas-kan hal-hal yang perlu diketahui oleh orang lain mengenai
pribadi ‘buruk’ tersebut. Namun kita juga tidak dibenarkan untuk membuka peluang selebar-lebarnya sehingga kita akan
membuka apa yang Allah telah sembunyikan dari kesalahan maupun kekurangan orang tersebut. Hemat kata, terdapat
kode etik yang harus diterapkan dalam hal ini.
Hukum Gibah Semua ulama sepakat bahwa gibah haram hukum-
nya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah dalam surat al-
Hujurat ayat 12 tentang larangan berghibah: ببب وال يغتبببب
بببببب dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan dengan gamblang definisi gibah itu sendiri. Dalam riwayat
Imam Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi, Nabi Muhammad
SAW brsabda: ذ بب أ اكبب أ كبب ي ببن يه بب ه ليببن كبب ت ببو yang berarti ketika kita menyebutkan sesuatu yang berkaitan den-
gan kepribadian ‘saudara’ kita, dan dia tidak suka hal tersebut dibeberkan walau hanya kepada satu orang, meskipun hal
tersebut sesuai dengan fakta yang ada dan tidak dibuat-buat. Tidak ada bedanya hukum membicarakan ke-
jelekan seseorang yang masih hidup maupun telah tiada, keduanya tetap haram hukumnya. Hal ini disebabkan oleh
luhurnya hakikat Islam yang sangat menghargai martabat dan kehormatan seseorang, baik di saat ia hidup maupun sudah
meninggal. Sebagaimana penjelasan Aisyah yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam shahihnya: ال تسوا األكوات لإنه قد
. ال وا يلى ك قدكوا Namun di sisi lain syariat telah memberikan
sedikit kelonggaran mengenai hal ini, yaitu tatkala sebuah
kemaslahatan hanya bisa dicapai melalui pembicaraan terse-
but. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi: ال و ات تيح
Dari kaidah ini kita dapat melihat apabila maslahat . الكحظبو اتyang ada lebih berat dan rajih daripada larangan tersebut
menurut skala prioritas, maka kita diperbolehkan untuk mem-buka tabir aib yang ada sesuai dengan kebutuhan, sebagai-
mana dijelaskan dalam kaidah lain: ال و ة ت د د Dalam beberapa hal, syariat justru mewajibkan
gibah. Hal ini pernah diajarkan Nabi ketika salah seorang
Sahabat bertanya kepadanya. Saat itu, Fatimah bintu Qais datang kepada Nabi dan meminta saran untuk memberikan
keputusan; lamaran mana yang akan dia terima, antara Abu al-Jahm dan Mu’awiyah. Nabi kemudian menjawab dengan lugas
dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA:
. اك ك وية لصلوأ ال ك لن اك او الجه لال ي ع الص عه ع ت ن
..ان حي اس كة
Dalam kisah ini, secara sederhana Nabi memberikan gam-
Dede Permana
baran tentang kedua orang yang akan meminang Fatimah Binti Qais bahwa keduanya kurang baik, kemudian Nabi
menyarankan Fatimah untuk menikahi Usamah Bin Zaid. Fatimah akhirnya menikahi Usamah karena kepatuhannya
kepada Nabi. Dalam hal ini, Nabi hanya memberikan penjelasan singkat mengenai keduanya tanpa harus mem-
beberkan banyak hal mengenai kehidupan Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm.
Apabila kita menelisik sedikit ke dalam konsep al-Jarh wa al-Ta’dil pada pembahasan Hadis nabawi, akan
tampak dengan jelas bahwa para ulama telah memberikan pondasi awal sebelum memberikan gambaran terhadap
kepribadian seseorang yang meriwayatkan Hadis. Hal ini dilakukan tidak lain untuk memberikan hukum yang pada
matan Hadis yang disampaikannya. Apabila sang perawi dinilai bagus dalam agamanya dan kepribadiannya, maka ia
dapat dikategorikan ke dalam golongan perawi tsiqah. Sedangkan matan Hadis yang dibawanya dapat dipakai
untuk berdalih apabila kita dihadapkan kepada suatu per-masalahan yang bersifat hukum, baik itu hukum duniawi
maupun kabar ukhrawi yang bersifat sam’iyat. Namun jika terdapat sedikit dusta yang terdengar dari perawi Hadis,
maka kita tidak memiliki harapan untuk dapat mengate-gorikannya sebagai Hadis nabawi, kecuali jika Hadis terse-
but dikuatkan oleh jalur-jalur periwayatan yang lain dan kandungannya sesuai dengan isi ataupun makna Hadis
yang menguatkannya. Jadi, dalam hal ini Hadis yang di-bawa oleh perawi yang telah terkena tuduhan dusta dalam
perkataannya, statusnya menjadi tabi’ (Hadis yang men-guatkan Hadis lain; pen), bukan sebagai suatu Hadis yang
berdiri sendiri, dan memberikan ketetapan hukum terha-dap suatu perkara tanpa adanya Hadis sahih yang menguat-
kannya. Mustafa Abu Imarah, guru besar pada jurusan
Hadis Universitas al-Azhar mengamini proses tajrih dalam kaitannya sebagai penentu hukum suatu Hadis. Dengan
kata lain, ia memandang perlunya memasukkan segelintir manusia yang ‘tidak jelas’ sisi keagamaannya sebagai perawi
yang lemah. Namun beliau juga memberikan rambu-rambu penting di dalam hal ini, bahwasanya kita harus menghe-
mat perkataan yang dapat menjatuhkan kepribadian seseo-rang. Jika memang bisa memakai isyarat untuk memberi-
kan sinyal bahwa orang tersebut ‘tidak beres’, maka lebih baik memakai isyarat saja, seperti kedipan mata yang di-
barengi oleh penggelengan kepala, atau merentangkan kelima jari tangan yang menandakan penolakan, maupun
paras wajah yang masam, hal tersebut sudah cukup untuk memberikan konotasi bahwa seseorang yang kita bicarakan
memang ada ‘apa-apanya’. Dari sinilah, diketahui alasan mengapa para nuqqad al-Hadist semisal Ibnu Hajar al-
Asqalani, Ibnu Abi Hatim al-Razi, Hakim al-Naisabury, al-Sakhawy, al ‘Iraqi, al-Khatib al-Baghdadi dan ulama-ulama
Hadis lainnya sangat ‘pelit’ dalam melekatkan label dhaif
5 Q A D H A Y A
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
terbaik bagi kita,karena hanya Allah Yang Mahatahu segala urusan manusia.Rasulullah SAW menganjurkan akan hal ini
sebagaimana sabdanya, “ Tidak akan kecewa bagi mereka yang melaksanakan istikharah...”(HR.Thabrani).
Namun istikharah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa melalui usaha-usaha dan tahapan yang benar.
Istikharah merupakan ‘jalan keluar’ dan bukan ‘jalan pintas’. Kebanyakan manusia memiliki pandangan yang
keliru tentang istikharah dan penggunaannya. Istikharah hanya dilakukan ketika menghadapi masalah. Kemudian,
setelah masalah tersebut terpecahkan, Allah SWT dilupakan. Padahal, istikharah seharusnya dilakukan dalam
menghadapi semua urusan. Oleh karena itulah, umat Islam dalam memulai segala pekerjaan dianjurkan untuk berdoa,
yang tidak lain merupakan bentuk istikharah. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:“ Katakanlah!
Tuhanku tidak peduli terhadap kalian, (selain) doa yang kalian panjatkan” (QS. al-Furqan :77).
Selain itu, istikharah juga bermakna berdoa kepada Allah SWT untuk memohon hal terbaik atas
keputusan dan tindakan yang kita lakukan. Tidak hanya itu, ketika memohon pada-Nya, hendaknya kita juga harus
selalu berprasangka baik dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah. Jika sudah benar-benar
tawakal, maka hati kita akan merasa tenang. Ketenangan hati inilah yang merupakan hakikat istikharah, sebab
istikharah tidak hanya sebuah permohonan petunjuk, namun juga permohonan untuk menenangkan jiwa dalam
menghadapi setiap masalah yang ada. Namun sayang, istikharah yang sudah menjadi
tradisi dalam kehidupan umat Islam tersebut, saat ini tak lagi sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Dewasa ini, mimpi setelah melakukan istikharah diyakini sebagai petunjuk atas istikharah yang dilakukan. Hakikatnya
tidak seperti itu, akan tetapi sebelum beristikharah kita dianjurkan untuk berusaha dan mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang logis. Setelah itu, barulah dilakukan istikharah untuk memohon ketetapan dan
kemantapan hati. Pandangan para ulama dalam menyikapi
istikharah berbeda-beda. Menurut Muhammad Husain Thabathaba’i, dalam menghadapi suatu masalah, seseorang
harus berusaha dan berpikir keras untuk mendapatkan jalan keluarnya. Jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia
meminta pendapat dan nasihat orang lain. Namun jika kedua hal tersebut masih belum bisa memberikan solusi,
maka tidak ada alternatif lain kecuali berdoa dan meminta petunjuk keoada Allah SWT. Singkatnya, tak ada dosa
apabila sesorang melakukan istikharah, karena istikharah tak bermakna apa-apa selain untuk menentukan apa yang
harus ia tempuh untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Istikharah tidak berarti mengubah
ketetapan Allah SWT. Sekali lagi, istikharah bukanlah jalan pintas
dalam menghadapi kesulitan atau pilihan tertentu. Akan tetapi, istikharah merupakan langkah untuk memantapkan
hati atas keputusan dan pilihan yang kita ambil tanpa melupakan usaha dan nalar-nalar yang logis. Wallahu a’lam
bi al-Shawab.
Istikharah….. Sambungan dari hlm. 1
pada seorang perawi. Biasanya kita hanya mendapatkan satu kata saja, semisal fulan dhaif, wahima, wahin, ataupun la
yu’tabar dan lain sebagainya. Dalam buku al-Irsyad fi ‘Ulum al-Hadist,
Mustafa Abu Imarah, dijelaskan pembahasan yang mem-bolehkan gibah demi mencapai maslahah syar’iah. Ia mene-
gaskan bahwa ulama telah membolehkan gibah dalam Sembilan butir permasalahan, yaitu: Pertama, Pengakuan
orang yang teraniaya. Kedua, Pemberitahuan kepada pihak berwajib tentang suatu kasus yang harus ditangan-
inya. Ketiga, Orang yang tidak memiliki pengetahuan seputar masalah hukum, kemudian ia menceritakan perla-
kuan orang yang memperlakukannya dengan sewenang-wenang atas nama hukum. Keempat, Memberitahukan
seseorang tentang rencana buruk golongan lain yang akan mencelakakannya. Kelima, Memberi label Jarh para per-
awi Hadis yang memang bersifat demikian. Dalam hal ini wajib hukumnya. Keenam, Meminta pendapat tentang
kepribadian seseorang yang ingin berinteraksi kepada kita, baik sebagai tetangga, mitra bisnis, dan lain sebagainya.
Diwajibkan bagi orang yang dimintai keterangan untuk tidak menyembunyikan informasi yang dibutuhkan, den-
gan niat baik untuk menasihati orang yang bertanya terse-but. Ketujuh, Membeberkan nama ulama atau tokoh
pemikiran yang sering memberikan opini yang bersifat bid’ah atau sesat, untuk memperingatkan khayalak akan
bahaya pemikirannya. Kedelapan, Memberikan keteran-gan kepada seseorang akan kekurangannya, apabila tanpa
diberitahukan tentang ciri-cirinya maka kita sulit untuk mengenalnya. Dalam hal ini banyak dari ulama yang kita
kenal melalui laqab atau julukan kelainan fisiknya, semisal : al-A’raj (orang yang pincang), julukan bagi al-Jâhidz, al-
Qâshir, dan lain sebagainya. Kesembilan, Memperkenal-kan seseorang berdasarkan pekerjaannya, walaupun ia
adalah pekerja kasar yang pekerjaannya dipandang rendah di mata manusia, seperti penyemir sepatu, pembersih
selokan, dan lain sebagainya. Menceritakan keburukan seseorang diisti-
lahkan dalam ilmu Hadis dengan kata al-Jarh, yang berarti
melukai. Sebagaimana kita melukai seseorang dengan
pedang, maka melukai pribadinya dengan lisan tentu tidak
hanya meninggalkan luka sesaat, dikarenakan proses
mengembalikan nama baik memerlukan waktu yang lebih
lama daripada proses untuk menjatuhkannya. Sebagaimana
kita tidak ingin kehormatan kita dijatuhkan, maka kita juga
berkewajiban menjaga nama baik dan kehormatan sesama
saudara kita lainnya. Ushikum wa iyyaya nafsi, wa billahi al-
Taufiq wa al-minan.
Al-Quran diturunkan dalam dua
priode. Periode
makkiyah yang mayoritas
diturunkan di Mekah dan madaniyah
yang mayoritas diturunkan di
Madinah
6 M A B H A T S
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
S alah satu pemba-hasan penting seka-
ligus menarik dalam studi ‘ulum al-Quran
adalah pembahasan tentang ayat-ayat makkiyah dan madani-
yah. Ia begitu penting sebab dengan memahaminya, penaf-
siran dan kajian terhadap suatu ayat akan lebih mengena. Selain
itu, pemahaman dan pengeta-huan mengenai keduanya me-
mungkinkan seorang mufasir untuk menyimpulkan ayat-ayat
yang nasikh dan mansukh. Selain urgen, pembahasan ini
juga sangat menarik, karena ia selalu menjadi salah satu target
tuduhan miring Orientalis atas otentisitas dan keagungan al-
Quran. Lebih menarik lagi, dengan memahami makkiyah
dan madaniyah, dapat dilihat bagaimana al-Quran dengan keindahan bahasanya
membantah semua hujatan Orientalis yang ditujukan padanya. Urgensi dan
poin menarik inilah yang menjadikan pembahasan makkiyah dan madaniyah
berada dalam urutan awal pada buku-buku Ulum al-Quran.
Salah satu ciri khas dalam pembahasan makki-madani adalah riwayat
perkataan Sahabat yang digunakan seba-gai acuan untuk menentukan klasifikasi
sebuah ayat. Hal ini tentu sangat berbeda bila dibandingkan dengan pembahasan
lainnya yang menggunakan Hadis sebagai salah satu sumber utama. Mengenai
sumber riwayat yang unik ini, Abu Bakar al-Baqilani dalam Intishar mengatakan
bahwa hal tersebut disebabkan Rasulul-lah tidak pernah memerintahkannya.
Selain penggunaan riwayat Sahabat, metode lain yang digunakan untuk me-
mahami makki-madani adalah ijtihad para Sahabat sendiri, dengan melihat dan
memperhatikan karakteristik suatu ayat, dan kemudian menyimpulkan kategori
yang paling tepat untuk ayat tersebut. Dari kedua metode tersebut,
ada beberapa cara yang ditetapkan ulama untuk mengetahui karakter makki-madani
suatu ayat. Pertama, berdasarkan waktu turunnya. Suatu ayat akan dimasukkan
dalam kategori makkiyah apabila ia ditu-runkan sebelum hijrah, sekalipun ia ditu-
runkan di Madinah. Sebaliknya, ayat madani-yah adalah ayat yang diturunkan pasca hijrah,
meskipun ia turun di Mekah. Kedua, ber-dasarkan tempat turunnya. Ayat makkiyah
merupakan ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudai-
biyah, sedangkan ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya.
Ketiga, berdasarkan objek pembicaraannya. Apabila ayat tersebut membicarakan pen-
duduk Mekah, maka ayat tersebut akan dikategorikan sebagai ayat makkiyah, dan
sebaliknya, jika ayat tersebut membahas warga Madinah, maka ia merupakan ayat
madaniyah. Secara zahir, ada beberapa
karakteristik yang membedakan ayat makkiyah dan madaniyah. Beberapa sifat ayat
makkiyah antara lain: (1) Menyeru kepada tauhid, seperti yang ditegaskan dalam QS. Al
-Qashash: 70 yang artinya: “Dialah Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Bagi-Nya segala puji di dunia dan akhirat, dan bagi-Nya segala penentuan, dan hanya kepada-
Nya kalian dikembalikan.” (2) Mengingkari syirik. Hal ini dijelaskan dalam surat al-
Ankabut ayat 41, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah seperti laba-
laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba
jika mereka mengetahui.” (3) Pengungkapan kisah-kisah nabi dan kaum terdahulu. (4)
Menjelaskan urgensi budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya seperti
yang terdapat dalam sebuah ayat yang berbunyi: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan
kamu untuk tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu di antara mereka atau keduanya telah berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
kata “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23). Selain itu, secara zahir ayat-yat makkiyah pada
umumnya pendek namun mengandung balaghah yang cukup dalam; menggunakan
model bahasa yang cukup keras dan dahsyat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kondisi
masyarakat Quraisy pada waktu itu. Mereka terkenal sebagai ahli sastra dan balaghah, juga
Menjawab Tuduhan Orientalis terhadap Makkiyah dan Madaniyah
Ari Kurniawati
teramat keras wataknya. Adapun ayat madaniyah memiliki karakteristik
sebagai berikut: (1) Menjelaskan syariat dan hukum peribadatan. (2) Menerangkan sifat-sifat kaum munafik.
(3) Menjelaskan ketentuan khusus dalam berinteraksi dengan kaum non-Muslim. Sedangkan gaya bahasa yang
terdapat dalam ayat madaniyah secara global panjang dan banyak menggunakan ta’kid. Seperti halnya ayat makkiyah,
ayat madaniyah pun diturunkan demikian, sebab masyarakat Madinah terkenal lembut dan mengakui kerasulan
Muhammad, sehingga ayat-ayat yang turun kepada mereka lebih banyak didominasi oleh ayat-ayat yang menjelaskan
syariat agama Islam. Meski demikian, para Orientalis yang selalu
meragukan dan mengingkari keagungan al-Quran, tidak mau begitu saja mengamini fakta ini. Kesesuaian ayat
makkiyah dan madaniyah dengan keadaan Makah dan Madinah saat itu, menurut mereka, menunjukkan bahwa
turunnya al-Quran dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Arab. Hal ini dalam pandangan mereka merupakan bukti
terkuat bahwa al-Quran tak lebih dari produk budaya masyarakat Arab ketika itu. Berangkat dari pemikiran
seperti inilah, mereka mengingkari keotentikan dan
7 M A B H A T S
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
perbedaan karakteristik dan isi kandungan antara Makkiyah dan Madaniyah. Kita lihat penduduk Mekah mayoritas dari
mereka buta akan agama, kemasyarakatan dan akhlak. Dengan inilah gaya bahasa al-Quran keras dan seolah-olah
merendahkan mereka, namun di balik semua itu al-Quran menuntun mereka menuju jalan yang benar.
Metode inilah yang menguatkan Rasulullah dalam menghadapi serangan musuhnya saat berdakwah,
hingga menumbuhkan benih percaya diri dalam berdak-wah. Metode ini pula turut berpengaruh terhadap keadaan
manusia saat itu. Dengan begitu kaum Muslimin merasa selalu dalam penjagan Allah, karena penglihatan-Nya lah
yang selalu menyelimuti makhluk-Nya dari segala sisi. Bahkan kaum kafir Mekah saat itupun tidak melihat adanya
keraguan dalam segi bahasa maupun kandungan dalam al-Quran. Mereka merasa bahwa turunnya al-Quran kepada
kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan apa yang tidak kamu
perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penggunaan
kata “Wahai orang-orang yang beriman” yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah ayat madaniyah, namun kalimat berikutnya yang begitu keras memperingatkan
orang-orang yang beriman (masyarakat Madinah), merupakan gaya yang ditemukan pada ayat-ayat makkiyah. Seharusnya, dalam posisinya sebagai ayat
madaniyah, gaya bahasanya tidaklah demikian, namun sebaliknya. Bila demikian, masihkah bisa dikatakan bahwa al-Quran “menyesuaikan diri” dengan lingkungan
Mekah dan Madinah? Al-Quran diturunkan dalam dua priode. Periode makkiyah yang mayo-
ritas diturunkan di Mekah dan madaniyah yang mayoritas diturunkan di Madinah. Tujuan Allah menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW sebagai hi-
dayah kepada seluruh manusia dan mengeluarkan orang-orang yang percaya pada-Nya dari zaman kegelapan menuju jalan yang terang. Karena perkara inilah, ada
memanusiakan al-Quran. Menanggapi hal ini, para pemikir Islam tak
mau diam begitu saja. Nuruddin ‘Ithr, dalam Ulum al-Quran al-Karim menyebut perkataan Orientalis sebagai
perkataan yang hanya diucapkan oleh orang-orang dungu. Demi menjawab keragu-raguan yang dilontarkan
Orientalis terhadap al-Quran, ada beberapa argumen logis yang diungkapkan para pemikir Islam. Pertama, bila al-
Quran memang merupakan produk budaya dan sesuai dengan kondisi masyarakat Mekah ataupun Madinah,
bagaimana mungkin terdapat karakteristik ayat makiyah dalam ayat madaniyah, dan begitu juga sebaliknya. Salah
satunya terlihat dalam surat al-Kautsar yang merupakan surat terpendek dalam al-Quran, sedangkan ia merupakan
surat madaniyah. Hal ini tentunya sudah menyalahi ketentuan yang menyatakan bahwa ayat madaniyah pada
umumnya panjang. Bila demikian adanya, masihkah bisa dikatakan bahwa al-Quran terpengaruh oleh keadaan
masyarakat Mekah dan Madinah? Selain itu, ada beberapa ayat madaniyah yang
menggunakan gaya bahasa keras, sedangkan ciri tersebut merupakan ciri khas ayat makkiyah. Misalnya terdapat
dalam surat al-Shaff ayat 1-3, yang artinya: “Bertasbih
penduduk Mekah membawa kekuatan yang mampu me-rubah keadaan yang ada menuju keadaan baru yang lebih
baik. Meski demikian, para Orientalis tetap saja tidak
mau berhenti berusaha untuk membuat keraguan terhadap al-Quran. Sebagian dari mereka ada yang menggunakan
metode ilmiah dalam mendalami ulum al-Quran, akan tetapi mereka tetap saja terbelenggu dengan keyakinan serta hawa
nafsu mereka. Sebenarnya, jika mereka benar-benar ber-sandar pada metode Ilmiah, mereka akan menyadari bahwa
al-Quran bukah hasil karya manusia, karena di dalamnya banyak hal yang manusia tidak tahu karena kemampuan
manusia itu sendiri terbatas. Wallahu a’lam.
Mu
ham
mad
Raja
b a
l-B
ayyu
mi
Imam Zarkasyi, “ia adalah
disiplin ilmu yang membahas
bagaimana memahami kitab
Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad
SAW dengan menjelaskan
makna, hukum dan hikmah yang
terkandung di dalamnya.”
Sambungan Urgensitas Tafsir...
yang terkandung di setiap lafal yang ada di dalam ayat-ayat al-Quran. Ketiga, kebutu-
han kita terhadapnya. Kita semua membu-tuhkan ilmu tafsir tersebut, karena hanya
dengan memahami al-Quran-lah kita mampu melaksanakan segala perintah dan
menjauhi larangan Allah SWT. Selain itu, sejarah pun men-
catat bagaimana para ulama semenjak zaman Sahabat hingga sekarang berusaha
mempelajari ilmu ini dan mengembang-kannya. Umar bin Khatthab, dalam
menghafal surat al-Baqarah, memerlukan waktu selama lima tahun. Hal tersebut
bukan karena kesulitannya dalam menghafal, karena toh al-Quran ditu-
runkan dengan bahasa mereka. Namun hal ini disebabkan pemahaman kandungan
dalam ayat-ayat al-Quran. Ketika itu Umar tidak ingin melanjutkan hafalan ke ayat
setelahnya, sebelum ia paham dengan kandungan ayat yang dihafalkan dan dia-
malkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ibnu Jariral-Thabari meriwayatkan dari
Sa’id bin Zubair, ia berkata, “Barang siapa membaca al-Quran kemudian tidak tahu
tafsirnya, maka dia seperti orang buta atau orang Badui (Arab gunung).” Sedangkan al
-Suyuthi, seorang ulama kontemporer, berpendapat bahwa hukum mempelajari
ilmu tafsir adalah fardlu kifayah. Mengenai akar kata tafsir,
meski beberapa ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, namun secara garis besar
makna kata tafsir tidak terlepas dari arti menyingkap atau menjelaskan. Pertama,
sebagian ulama mengatakan asal kata tafsir
diambil dari kata “ ” الفس yang bermakna menjelaskan atau menyingkap kandungan
sebuah kata yang membingung-kan. Allah berfirman, “Tidaklah
orang-orang Kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan
yang paling baik penjelasannya.” Kedua, tafsir merupakan kata
(terbalik) yang berasal dari kata
“ ” السف yang artinya sama
dengan “ ” الفس yaitu
menyingkapkan, " نت الك اة
yang artinya seorang ”ل س ةperempuan menyingkapkan kerudungnya. Ketiga, dikatakan
bahwa tafsir berasal dari kata
" yaitu proses seorang "التفس ةdokter memeriksa organ dalam
8 N A D H R A H
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
pasien untuk mengetahui sebab penyakit yang dialaminya. Mereka yang mengatakan pendapat ini,
berangkat dari pemahaman bahwa seorang mufasir memeriksa isi al-Quran untuk mengetahui kandun-
gan hukum dan maknanya. Adapun secara istilah, Husain al-
Dzahabi dalam bukunya “Al-Tafsir wa al-Mufasirun” mengatakan tafsir merupakan sebuah penjelasan
terhadap firman Allah atau lafal-lafal al-Quran beserta kandungannya. Pendapat ini sedikit ber-
beda dengan pendapat Abu Hayyan dalam taf-sirnya, “al-Bahr al-Muhith.” Ia secara jelas
mendefinisikan bahwa tafsir merupakan disiplin ilmu yang mampu berdiri sendiri, “Tafsir adalah
ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal-lafalal-Quran, beserta maksud dan hukum-hukum
yang dikandungnya, baik secara per kata atau per kalimat.” Adapun definisi yang paling mudah
dipahami, seperti yang disebutkan oleh Maulaya Hammad dalam bukunya “Ilmu Ushul al-Tafsir,
muhawalah fi al-Bina,” adalah definisi yang dikemu-kakan oleh Imam Zarkasyi, “ia adalah disiplin ilmu
yang membahas bagaimana memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan menjelaskan makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.”
Di sisi lain, tafsir berkaitan erat dengan takwil. Terbukti banyak ulama, baik klasik atau
kontemporer yang berkonsentrasi dalam Ulum al-Quran, selain menulis pembahasan tentang tafsir,
juga membahas takwil. Selain itu, mereka pun berbeda pendapat dalam mendefinisikan keduanya.
Di antara ulama ada yang mengategorikan bahwa keduanya sama dan sebagian yang lain menilai
keduanya berbeda. Fahd Sulaiman al-Rumy, dalam bukunya Buhuts Fi al-Tafsir wa Manahijuhu, menulis-
kan bahwa di antara ulama yang menilai bahwa keduanya sama yaitu, Imam Suyuthi. Salah satu
dalil yang ia pakai adalah riwayat yang datang dari Abu 'Abbas Ahmad bin Yahya Tsa'lab, “Arti tafsir
dan takwil adalah sama.” Selain itu, ia pun berdalil dengan doa Nabi Muhammad SAW kepada Ibnu
‘Abbas, “wahai Tuhanku fahamkanlah ia terhadap agama dan ajarilah ilmu takwil.” Dalil ini dikuatkan
dengan perkataan Ibnu ‘Abbas sendiri, “aku terma-suk mereka yang mengetahui penafsiran al-Quran.”
Sedangkan ulama yang menilai keduanya berbeda, mereka pun berbeda pendapat,
tergantung sisi pandang mereka masing-masing. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa
keduanya berbeda dilihat dari ‘umum wa khushush. Kelompok ulama yang melihat dari sudut pandang
ini pun berbeda pendapat, di antara mereka men-gatakan bahwa tafsir lebih umum dari takwil,
karena pemakaian kata tafsir yang lebih luas dan lebih banyak dari pada takwil. Tafsir digunakan di
dalam lafal, kosa kata dan lain sebagainya, sedang-kan takwil hanya dipakai dalam istilah, seperti
takwil mimpi. Sebagian lain mengatakan kebalikannya. Artinya, takwil-lah yang lebih umum daripada tafsir, karena pemakaianya yang lebih luas daripada tafsir. Takwil dipakai bukan hanya di dalam istilah kata, sedangkan tafsir hanya
dipakai di dalam istilah tersebut. Kedua, sebagian ulama lain mengatakan keduanya berbeda dilihat dari istilah masing-masing keduanya. Ulama yang
berpandangan seperti ini pun berbeda. Di antara mereka mengatakan bahwa tafsir bermakna memutuskan keinginan Allah apa adanya, sedangkan takwil bermakna menguatkan makna-makna –sebuah ayat- yang muncul tanpa memu-
tuskan –benar atau salahnya. Di antara mereka pun berpendapat bahwa tafsir berkaitan dengan riwayat, sedangkan takwil berkaitan dengan dirayah. Di antara yang lain mengatakan bahwa tafsir untuk kita sebagai makhluk, sedangkan
takwil hanya diketahui oleh Sang Khaliq, dengan dalil ayat 7 surat Ali Imran.
Perkembangan Ilmu Tafsir Jika melihat sejarah, diketahui bahwa ilmu tafsir sudah ada semenjak zaman Rasulullah SAW. Pada waktu
itu, ketika para Sahabat mengalami kesulitan memahami al-Quran, mereka datang kepada Rasulullah untuk menanya-kannya. Rasulullah sebagai seorang yang diberikan Allah wahyu tersebut, kemudian menjelaskan dan menafsirkan
maksud ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para Sahabat tidak sama dalam memahami al -Quran, terlebih pada sisi balaghah dan susunan kalimatnya, sekalipun al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.
Di sini muncul sebuah pernyataan dari kalangan Orientalis, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa yang disesuaikan dengan keadaan umat kala itu, maka ini menunjukkan bahwa al-Quran terpengaruh oleh budaya atau meru-
pakan produksi budaya. Menanggapi tudingan seperti ini syekh Sya’rawi mencoba menjawabnya dengan sebuah analogi. Kita sepakat bahwa rambu-rambu lalu lintas sangat penting bagi setiap pengemudi, sehingga setiap pengemudi
kendaraan harus mampu memahami setiap rambu-rambu lalu lintas yang ada, agar selamat sampai tujuan dan terhindar dari mara bahaya. Namun, bagaimana ketika rambu-rambu lalu lintas tersebut menggunakan tanda atau bahasa yang
sama sekali tidak dipahami oleh pengemudi, apakah akan menciptakan lalu lintas yang aman dari bahaya? Apakah bisa
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
menjamin setiap pengemudi untuk sampai ke tujuan mereka masing-masing? Tentu saja tidak. Begitu juga
dengan al-Quran yang merupakan kitab pedoman seluruh umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya,
bagaimana menjadi pedoman bagi umat –kala itu bangsa Arab- kalau kitab tersebut tidak bisa dipahami?
Dengan penjelasan di atas, kita bisa menyim-pulkan bahwa metodologi penafsiran al-Quran ketika
zaman Nabi, Sahabat dan Tabiin menggunakan penafsiran yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Kendati demikian,
di antara zaman tersebut tetap ada perbedaan. Jika pada zaman Nabi, penafsiran langsung datang dari Rasulullah,
sedangkan pada zaman Sahabat dan Tabiin tidak secara langsung, tetapi melalui periwayatan yang diambil dari
Rasulullah. Seiring berjalannya waktu, metode tersebut
mengalami perubahan dan perkembangan, baik positif atau negatif. Dikatakan metodologi tersebut berkembang
ke arah negatif, sebab ada beberapa penafsiran setelah zaman Sahabat dan Tabiin yang tidak sesuai dengan me-
todologi yang benar, atau metodologi yang sesat atau hanya menggunakan nafsu saja, dan tidak mempertim-
bangkan benar atau salahnya. Salah satu contohnya, penafsiran yang menggunakan riwayat israiliyat yang tidak
sesuai dengan syariat Islam, penafsiran yang mengacu pada paham sekte yag sesat dan lain sebagainya.
Adapun mengenai perkembangan positif, metodologi penafsiran berkembang tidak hanya meng-
gunakan metode atsari (Tafsir bi al-Ma’tsur), akan tetapi berkembang menjadi bermacam-macam metodologi, di
antaranya metodologi penafsiran Ahlusunah, metodologi fikih, metodologi ilmu eksperimen, maupun metodologi
bayani yang digunakan oleh Zamakhsyari, Amin al-Khuli, Muhammad Ahmad Khalafullah dan Aisyah Abdurrah-
man yang dikenal dengan “bintu syathi”. Selain itu, Mu-hammad Ali Ridlai dalam bukunya “Manahij al-Tafsir wa
Ittijahatuhu” juga menambahkan beberapa metodologi, di antaranya metodologi penafsiran modern, seperti me-
todologi penafsiran sosio-kultural, metodologi politis, penafsiran jihad dan lain sebagainya.
Hal lain yang menjadi perhatian para ulama terhadap al-Quran adalah penetapan beberapa syarat dan
ketentuan untuk seseorang yang ingin menafsirkan al-Quran. Sebagaimana yang ditulis Maulaya Hammad dalam
bukunya, “Ilmu Ushul al-Tafsir, muhawalah fi al-Bina,” bahwa syarat mufasir dibagi menjadi dua, yaitu syarat yang ber-
kaitan dengan ilmu pengetahuan dan syarat yang berkaitan dengan akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mufasir.
Di antara ilmu pengetahuan yang harus di-miliki oleh mufasir antara lain, ilmu Fikih, ilmu gramatikal
bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), serta beberapa ilmu yang termasuk dalam lingkup ulum al-Quran, seperti
Asbab Al-nuzul, Nasikh wa Mansukh, Makky-Madany, Muhkam-Mutasyabih, kisah-kisah al-Quran dan lain seba-
gainya. Selain ilmu tersebut, ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir antara lain ilmu Ushul Fiqh, Qiraah, dan
beberapa ilmu lainnya. Adapun akhlak-akhlak yang harus dimiliki seorang mufasir secara umum merupakan akhlak
mulia yang harus dimiliki setiap Mukmin Semua hal di atas menunjukkan bahwa al-
Quran memang benar-benar kitab pedoman untuk selu-ruh umat manusia, dan kemukjizatannya tidak terbatas
oleh waktu. Kandungannya akan terus dikaji dan rahasia-rahasianya akan terus ditelusuri, hingga seluruh manusia
mendapatkan segala apa yang mereka butuhkan untuk kehidupan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Wallahu A'lam.
9 N A D H R A H
1 0 U D H A M A
Mufasir Jenius, Ahli Filsafat
N ama lengkapnya Abu Abdullah
Muhammad bin Umar bin al-
Husain bin al-Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri al -
Thabaristani al-Razi, yang juga dikenal dengan nama
Ibnu al-Khatib al-Syafi’i. Silsilah nasabnya bersambung
kepada Abu Bakr al-Shiddiq RA. Razi dilahirkan pada
tahun 544 H dan tumbuh besar di kota Ray. Ray
merupakan ibu kota Irak a’jami ketika itu, yang terletak di sebelah utara pegunungan Iran. Kota ini sebenarnya telah
menghilang sejak lama, tetapi masih banyak beberapa peninggalannya yang didapati di Teheran, ibu kota Iran
sekarang. Fakhruddin al-Razi memulai perjalanan keilmuannya dari kota Ray, yang dilanjutkan pada kedua
bagian kota Irak, a’jami dan ‘arabi, Khurasan dan Syam. Selain itu, Razi juga dikenal menguasai dua bahasa sekaligus,
yaitu bahasa Arab dan bahasa Persia. Pendidikan Razi didapatkannya langsung dari
sang ayah, Dhiya’ al-Din. Darinya, Razi belajar Teologi dan Fikih. Razi kemudian melanjutkan pendidikannya dengan
berguru pada al-Jaili, al-Kamal al-Samani, dan Muhammad bin Umar dalam bidang Filsafat. Tak lama berselang, Razi
mulai mengajarkan Teologi setelah berhasil menghafalkan kitab al-Syamil yang ditulis oleh Imam Haramain.
Dalam perjalanan keilmuannya, ia banyak mempelajari ilmu Kalam, Ushul Fikih, Fikih Syafii dan
bahasa Arab. Hal ini menjadikan banyak ulama yang mengaguminya, sebab ia mampu menggabungkan beberapa
disiplin ilmu dalam satu waktu. Dengan wawasan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itulah Razi berhasil
menelurkan banyak karya dalam berbagai cabang keilmuan, seperti Tafsir, Teologi, Fikih, Nahwu, Sastra Arab, Filsafat,
Kedokteran, Arsitek, dan Astronomi. Melalui karya-karyanya, Razi ingin menegaskan luasnya khazanah
keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam, yang meliputi hampir seluruh pengetahuan di berbagai belahan dunia, baik
Timur ataupun Barat. Kemahiran dan luasnya pengetahuan yang
dimiliki Razi menjadikan banyak ulama yang mengagumi kemampuan intelegensianya. Salah satunya adalah Judah
Muhammad. Dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain al-Dzahabi, Judah Muhammad berujar,
“Razi merupakan seorang ulama yang sangat memahami ilmu Ushul, piawai dalam menafsirkan al-Quran, serta sosok
individu yang amat cerdas. Selain itu, karya-karya yang ditulisnya pun begitu fenomenal.” Pernyataan ini diperkuat
oleh Husain al-Dzahabi, “Buah karyanya tersebar luas di dunia, mulai ufuk Timur hingga Barat. Karya-karyanya yang
begitu legendaris seolah menegaskan kejeniusannya dalam
segala bidang keilmuan. Fakhruddin al-Razi juga disebut sebagai
pembaharu Islam abad ke-6 H setelah Abu Hamid al-Ghazali. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya
yang ia hasilkan dalam berbagai cabang keilmuan Islam. Dalam bidang Teologi, tak kurang dari dua belas judul
buku telah ditulisnya, antara lain: al-Mathalib al-‘Aliyah, Asas al-Taqdis dan al-Mahshul fi ‘Ilmi al-Kalam. Adapun
dalam ilmu Mantik dan Filsafat, Razi menulis sekitar lima belas judul buku, seperti al-Mulakhash fi al-Hikmah
wa al-Manthiq, Kitab al-Manthiq al-Kabir wa Mbahits Wujud wa ‘Adam, dan Syarh Isyarat wa Tanbihat li Ibnu Sina.
Sedangkan karya-karyanya yang paling masyhur dan fenomenal sebagian besar adalah tafsir al-Quran, seperti
Mafatih al-Ghaib, Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil (Tafsir Shagir), Tafsir surat al-Baqarah ‘ala Wajh al-‘Aql wa al-Naql,
Tafsir surat al-Ikhlas, serta Risalah fi al-Tanbih ‘ala Ba’dhi al-Asrar al-Mudah fi Ba’dhi ayat al-Quran al-Karim.
Setelah sekian lama bergelut dalam ilmu Kalam dan Filsafat, Razi akhirnya menyadari bahwa
cahaya petunjuk dan keyakinan yang hakiki ada di dalam al-Quran. Menurutnya, al-Quran adalah hakikat untuk
mengetahui kebenaran, bukan ilmu Kalam dan Filsafat. Dalam salah satu kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu
Shalah dalam Thabaqat al-Mufassirin, Razi berkata: “Betapa aku termasuk orang yang merugi, sebab aku
berlebihan menyibukkan diri dalam ilmu Kalam.” Kemudian ia menangis.”
Muhammad Fadhil Ibnu Asyur dalam al-Tafsir wa Rijaluhu menjelaskan bahwa Razi pernah
berkata, “Aku telah mengetahui hakikat ilmu Kalam dan Filsafat. Namun tidak kutemui pada keduanya hikmah
yang setara dengan hikmah yang dijelaskan al-Quran. Al-Quran mengajarkan manusia untuk bertawakal kepada
Allah yang Maha Besar dan Maha Mulia. Ia menjauhkan manusia dari lautan perselisihan yang disebabkan
ketidakmampuan manusia untuk menyelami hakikat ilmu-ilmu tersebut.” Sejak saat itulah, Razi mulai
mengarang tafsir al-Quran. Fakhruddin al-Razi menghembuskan nafas
terakhirnya pada tahun 606 H di kota Ray. Disebutkan dalam kitab Wafyat al-A’yan karya Ibnu Khalkan bahwa
Razi meninggal di kota Harah, dan dikebumikan pada sore harinya di gunung Masakib yang terletak di desa
Muzdakhan (sebuah desa dekat kota Harah). Dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, Husain Dzahabi menjelaskan
bahwa penyebab wafatnya Razi adalah pandangannya yang kontradiktif dengan golongan Karamiah dalam hal
akidah. Perselisihan ini mengakibatkan keduanya saling mengafirkan satu sama lain. Hal ini juga yang
mendorong beberapa orang dari golongan Karamiah meracuninya, hingga ia pun wafat tak lama setelah
meminum racun tersebut.
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
Fakhruddin Al-Razi
Faiq Aziz
T elah lama berbagai macam syubhat dilancarkan kepada umat Islam, khususnya kepada kitab suci mereka, al-Quran. Mereka yang membenci Islam mencurahkan
segala upaya untuk menurunkan derajat al-Quran dari kedudukan sakralnya sebagai kalamullah, dengan menyatakan bahwa al-Quran tak lebih dari karya tulis yang dibuat
oleh Muhammad SAW, dan juga produk budaya masyarakat Arab, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut menuntut umat Islam untuk menjawabnya. Umat Islam juga
membutuhkan cendekiawan rabani untuk mengetahui kebenaran atas syubhat tersebut , juga untuk membedakan yang benar dan salah. Terlebih distorsi nilai al-Quran yang digalang oleh
para pengingkar tersebut terkadang sangat kabur, sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwa syubhat inilah nilai Islam yang sebenarnya.
Di tengah geliat ulama dalam menjawab syubhat terhadap al-Quran, muncul sebuah buku fenomenal karya seorang ulama dengan kapabilitas keilmuan yang tak diragukan
lagi, Muhammad Rasyid Ridha, yang berjudul “al-Wahyu al-Muhammadi”. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa dunia ini, lahir untuk menjawab syubhat-syubhat yang
dilontarkan untuk al-Quran, juga untuk meyakinkan umat Islam akan keagungan kitab sucinya. Berbicara mengenai penulis buku ini, namanya sudah pasti tidak asing lagi di telinga
umat Islam. Gagasan-gagasan dan idenya banyak mewarnai kancah pemikiran Islam. Tafsirnya yang sebagian ditulis oleh Muhammad Abduh, al-Mannar, menjadi rujukan ulama hingga hari
ini. Tidak hanya itu, berbagai konsep perjuangan yang dibentuknya menginspirasi banyak
pemikir setelahnya. Di Indonesia sendiri, tidak s e d i k i t p e n d i r i o rmas I s l am y ang
mengaplikasikan pemikiran cendekiawan bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali
Ridha bin Syamsuddin al-Qalmuni al-Husaini ini.
“ a l -W a h y u a l -M u h a m m a d i ” merupakan buku yang lahir dari sebuah
ke t i d akse ng a j aan pe nu l i snya . Dalam mukadimah buku ini dijelaskan bahwa buku ini
baru ditulis ketika Rasyid Ridha tengah menadaburkan surat Yunus yang menjelaskan
otentisitas al-Quran, yaitu bahwa al-Quran merupakan kalamullah, dan bukan ucapan
Rasulullah SAW. Masih dalam mukadimah, Rasyid Ridha juga menegaskan bahwa buku ini
dimaksudkan untuk menjadi media dakwah kepada seluruh umat manusia. Terlebih kepada
mereka yang mendewakan materi dan jauh dari hidayah, seperti masyarakat Barat. Selain itu,
buku ini juga merupakan ringkasan dari tema-tema yang ada dalam tafsir “al-Manar” yang
sebelumnya dimuat dalam majalah dengan nama yang sama.
Buku ini merupakan jawaban atas
syubhat-syubhat yang dilekatkan pada al-
Quran oleh mereka yang membenci dan
mengingkari Islam. meyakinkan kaum non
Muslim akan keagungan al-Quran, sekaligus
untuk membantah tuduhan mereka atas nabi
Muhammad SAW. Sehingga syubhat yang
mereka utarakan bukannya melemahkan posisi,
namun justru semakin menegaskan akan
otentisitas dan kebenarannya.
Pembahasan pokok buku ini
terletak pada bab terakhir. Uniknya, penulis kelahiran Syam ini menuntun pembaca
untuk sampai pada bab tersebut melalui pengantar-pengantar yang cukup menarik
dalam bab-bab sebelumnya. Pada bab pertama, dijelaskan tentang definisi wahyu
dan komparasi antar agama. Kemudian dalam bab berikutnya, diterangkan tentang
hujah atas kemutlakan wahyu Muhammd SAW. Dilanjutkan dengan pengungkapan
syubhat-syubhat yang mengaburkan nilai-nilai Islam, nabi Muhammad, dan juga al-
Quran dalam bab ketiga. Rasyid Ridha juga juga secara detail menerangkan kemukjizatan
sastrawi al-Quran melalui penjelasan tentang
balaghah dan gaya bahasa al-Quran dalam
bab selanjutnya. Diakhiri dengan pemaparan
sepuluh maksud pokok (maqashid) al-Quran
dalam mendidik al-Quran yang merupakan pembahasan paling luas dalam buku ini.
Secara umum, pembahasan dalam buku ini, khususnya mengenai jawaban atas syubhat-syubhat, banyak dibahas oleh
cendekiawan-cendekiawan Muslim setelahnya, seperti Muhammad Imarah, Yusuf Qaradhawi, dan lainnya. Namun, terlepas dari hal itu,
kapabilitas Rasyid Ridha sebagai pelopor dalam mendobrak kejumudan taklid dan perjuangannya untuk membuka mata umat Islam dari
penindasan pemikiran dan fisik di masanya menjadi kredit tersendiri di mata pembaca. Apalagi didukung dengan gayanya yang
mengomparasikan kitab suci antar agama. Oleh karena itulah, buku ini sangat cocok untuk dijadikan rujukan dalam mengenali medan dakwah
Islam. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Menegaskan Keagungan Al-Quran melalui Syubhat
Muhammad Hafif At-Tauhidi
Data Buku: Al-Wahyu al-Muhammadi Penulis: Muhammad Rasyid Ridha Penerbit: Al-Ahram al-Tijariyyah Cetakan: II/ 2008 M Tebal: 317 halaman
1 1 M A R J A
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3
I qra’, demikianlah bunyi wahyu yang pertama kali didapatkan Rasululllah. Bila dibaca sekilas, lafal
tersebut sama persis dengan nama buletin ini, sebab keduanya memang berasal dari sumber yang sama,
QS . al-‘Alaq: 1. Meski demikian, tulisan ini tidak bermaksud untuk menceritakan asal-usul dan alasan
mengapa lafal tersebut digunakan sebagai nama buletin ini , karena hal ini bukanlah konsumsi publik. Adapun catatan
ini, sengaja ditulis guna mendaburkan perintah pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah tersebut. Mengapa
harus iqra’?
Hakikat Iqra’ Lafal iqra’ berasal dari kata qara’a yang pada
awalnya berarti menghimpun. Apabila satu huruf atau kalimat telah dirangkai dan diucapkan, maka lafal tersebut
telah dihimpun. Arti asal ini menunjukkan bahwa kata iqra’ yang diterjemahkan dengan “bacalah”, tidak menuntut
adanya adanya tulisan atau bacaan yang dibaca keras-keras agar didengar orang lain. Kata qara’a juga bisa bermakna
menyampaikan; menelaah; membaca; meneliti; mengkaji, dan lain sebagainya. Al-Quran sendiri menyebut kata ini
sebanyak tiga kali, yaitu pada QS. al-Ira’: 14 dan QS. al-‘Alaq: 1 dan 3. Adapun lafal al-Quran, yang juga berasal
dari kata qara’a, disebut sebanyak tujuh belas kali, dan selain keduanya diulang hingga tujuh puluh kali di dalam al-
Quran. Objek bacaan yang dijelaskan oleh al-Quran
pun berbeda-beda. Ada kalanya objek tersebut berupa bacaan yang bersumber dari Tuhan, seperti al-Quran dan
kitab-kitab suci sebelumnya. Hal ini ditegaskan misalnya dalam QS. al-Isra’: 45, “Dan apabila kamu membaca al-Quran,
niscaya Kami jadikan di antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat suatu penghalang yang tertutup”,
juga pada QS. Yunus: 94 yang artinya: “Maka jika kamu berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran
untukmu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang meragu.” Namun terkadang objek
yang dimaksud al-Quran juga termasuk tulisan karya manusia, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Isra’: 14.
Selain itu, makna kata yang berasal dari lafal qara’a berbeda dengan lafal yang diambil dari kata tala-tilawatan. Lafal yang
terahir ini, merujuk pada bacaan yang bersifat sakral dan mutlak kebenarannya. Salah satu contohnya terdapat dalam
ayat yang berbunyi, “Itu adalah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benar-
benar salah seorang di antara nabi yang diutus.” (QS. al-Baqarah: 252).
Dalam salah satu kaidah ilmu balaghah dijelaskan bahwa suatu kata dalam susunan kalimat yang
tidak disebutkan objeknya, maka objek kata tersebut bersifat umum, dan mencakup segala hal yang dimaksud
oleh kata tersebut. Ini artinya, kata qara’a dapat dikatakan
bersifat umum, sebab selain ia mengandung banyak arti, objek yang disebutkan pun tidak bersifat psesifik. Oleh
karena itulah, objek kata tersebut mencakup kedua objek yang telah disebutkan di atas, al-Quran dan selainnya.
Manusia dan Perintah Membaca
Bila diteliti, perintah membaca yang diberikan Allah kepada Rasulullah sangatlah mencengangkan .
Bagaimana t idak , seorang ummi sepertinya justru diperintahkan membaca sebagai tugas pertamanya. Lebih
mengherankan lagi, perintah tersebut diulang untuk yang kedua kalinya dalam surat yang sama.
Al-Quran tentu memiliki tujuan khusus di balik pengulangan tersebut, seperti halnya pengulangan kisah-kisah
di dalamnya. Dalam mengulang kisah, al-Quran menyisipkan informasi baru yang tidak dicantumkan dalam kisah sebelum-
nya. Sedangkan dalam kaitannya dengan perintah pertama ini, al-Quran ingin menekankan urgensi membaca sebagai
sebuah kunci bagi umatnya dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini.
Petunjuk-petunjuk yang dijabarkan Allah di dalam al-Quran tidak akan bisa dijangkau oleh manusia tanpa
adanya proses membaca. Penemuan-penemuan sains terkini, yang banyak memberikan kemudahan untuk kehidupan
manusia didapatkan dari hasil membaca, meneliti dan meng-kaji, pada hakikatnya telah dijelaskan oleh al-Quran sejak
empat belas abad silam. Lebih dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan suatu peradaban juga tidak bisa dilepaskan
dari proses belajar dan membaca. Dalam hal ini, Dinasti Abbasiyah menjadi salah
satu prototipenya. Sejarah mengenang, keberhasilan dinasti ini menguasai berbagai wilayah dalam kurun waktu delapan
abad tidak terlepas dari kegiatan terjemah dan kajian keil-muan lainnya. Selain itu, salah satu pembicaraan mengenai
keistimewaan dinasti ini adalah kegigihan penguasanya mem-bangun pusat kajian dan terjemah, baik di dalam ataupun di
luar negeri. Demikianlah al-Quran menjelaskan urgensi mem-
baca dan kaitannya dengan manusia. Adapun dalam posisi pencari ilmu (thalib al-Ilmi), kegiatan membaca mutlak untuk
dilakukan, sebab mereka diharapkan bisa memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang berkembang di masa
kini. Tidak hanya itu, mereka juga diharapkan untuk mengembalikan kejayaan Islam, yang pernah direngkuh oleh
Islam berabad-abad silam. Kedua tugas ini, tidak akan mampu diemban tanpa membaca.
Jostein Gaarder, seorang cendekiawan berke-bangsaan Norwegia pernah berujar, “Aku tahu, setiap kali
aku membuka buku, aku akan bisa menguak sepetak langit. Jika aku membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit
lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar
dan luas.” Selamat membaca!
Mari Membaca 1 2 S A L A M
Maulidatul Hifdhiyah
B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I I V , M A R E T 2 0 1 3