hubungan indeks massa tubuh dengan sindrom …

62
HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM KERAPUHAN PADA LANSIA DI KOTA MALANG TUGAS AKHIR Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Oleh: Yosefin Joenadi 145070101111008 Pembimbing: dr. Sri Sunarti, SpPD-Kger Dr. dr. Tita Hariyanti, M. Kes PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Upload: others

Post on 01-Nov-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN

SINDROM KERAPUHAN

PADA LANSIA DI KOTA MALANG

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

Yosefin Joenadi

145070101111008

Pembimbing:

dr. Sri Sunarti, SpPD-Kger

Dr. dr. Tita Hariyanti, M. Kes

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

Page 2: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

ii

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN

SINDROM KERAPUHAN

PADA LANSIA DI KOTA MALANG

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

Yosefin Joenadi

145070101111008

Pembimbing:

dr. Sri Sunarti, SpPD-Kger

Dr. dr. Tita Hariyanti, M. Kes

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

Page 3: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Judul i

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar isi viii

Daftar Gambar x

Daftar Tabel xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ` 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sindrom Kerapuhan 5

2.2 Epidemiologi 5 2.3 Patofisiologi 6 2.4 Fenotip 7

2.5 Faktor Risiko Sindrom Kerapuhan 7 2.6 Kehilangan Berat Badan dan Obesitas pada

Usia Lanjut 8

2.6.1 Faktor Terkait dengan Kurangnya Nutrisi yang Menyebabkan Penurunan IMT 9

2.6.2 Faktor Terkait Obesitas yang Menyebabkan Peningkatan IMT 10

2.7 Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Kerapuhan 11 2.8 Evaluasi Sindrom Kerapuhan 12 2.9 Indeks Kerapuhan 40 item 13

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian 16

3.2 Hipotesis Penelitian 17

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian 18

4.2 Populasi dan Sampel 18 4.2.1 Populasi 18 4.2.2 Sampel 18

4.2.2.1 Kriteria Inklusi 18 4.2.2.2 Teknik Pengambilan Sampel 19 4.2.2.3 Perhitungan Besar Sampel 19

4.3 Variabel Penelitian 21 4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 21 4.5 Bahan dan Alat/ Instrumen Penelitian 22 4.6 Definisi Operasional 22

Page 4: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

iv

4.7 Metode Pengumpulan Data 23 4.8 Pengolahan Data 24 4.9 Jadwal Kegiatan 24

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Identitas Responden 25

5.1.1 Identitas Subjek Berdasarkan Kecamatan 25 5.1.2 Identitas Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 25 5.1.3 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan 25

5.1.4 Identitas Subjek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh 26

5.2 Gambaran Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Indeks

Massa Tubuh 27 5.3 Pengujian Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan

Sindrom Kerapuhan 28

5.3.1 Koefisien Determinasi 29 5.3.2 Koefisien Korelasi 29 5.3.3 Pengujian Hipotesis 30

5.3.3.1 Uji Hipotesis Simultan 30

5.3.3.2 Uji Hipotesis Parsial 31 5.3.4 Model Empirik Regresi Kuadratik 32

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian 36 6.2 Implikasi terhadap bidang kedokteran 37

6.3 Keterbatasan Penelitian 38

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 39

7.2 Saran 39 Lampiran 40

Page 5: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Sistem Skor Indeks Kerapuhan 40 item 12

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penduduk Lansia dan Sampel Menurut Kecamatan di kota Malang pada Tahun 2016 20

Tabel 4.2 Rincian Jumlah Sampel Menurut Kecamatan di Kota Malang 20

Tabel 5.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecamatan 25 Tabel 5.2 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 25 Tabel 5.3 Distribusi Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan 26

Tabel 5.4 Gambaran Tingkat Kerapuhan 26 Tabel 5.5 Distribusi Subjek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh 26 Tabel 5.6 Gambaran Indeks Massa Tubuh 27

Tabel 5.7 Koefisien Determinasi 29 Tabel 5.8 Koefisien Korelasi 30 Tabel 5.9 Hasil Pengujian Hipotesis Simultan 30 Tabel 5.10 Hasil Pengujian Hipotesis Parsial 31

Tabel 5.11 Perhitungan Model Empirik Regresi Kuadratik 33

Page 6: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 5.1 Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Kategori Indeks Massa

Tubuh 27

Gambar 5.2 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom Kerapuhan 28

Page 7: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …
Page 8: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …
Page 9: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

ABSTRAK

Joenadi, Yosefin. 2018. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom

Kerapuhan Pada Lansia di Kota Malang. Tugas Akhir, Program Studi

Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Pembimbing:

(1) dr. Sri Sunarti, SpPD-KGer (2) Dr.dr . Tita Hariyanti, M.Kes.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam praktik klinik sehari-hari

orang berusia lanjut adalah kerapuhan. Sindrom kerapuhan merupakan interaksi

dari faktor fisik, psikologis, dan sosial. Salah satu dari faktor risiko sindrom

kerapuhan adalah indeks massa tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara faktor risiko sindrom kerapuhan, yaitu indeks

massa tubuh dengan sindrom kerapuhan. Penelitian dilakukan secara

observasional analitik dengan desain potong lintang April-Juni 2017 di kota

Malang menggunakan kuesioner untuk menilai sindrom kerapuhan serta

dilakukan pengukuran IMT. Jumlah sampel sebesar 211 orang, dilakukan secara

accidental sampling. Hasil uji regresi kuadratik didapatkan tidak ada hubungan

antara indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan (r=0.080; p=0.514).

Secara grafis, hubungan indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan

berbentuk “U”, di mana subjek dengan IMT normal memiliki indeks kerapuhan

paling kecil dibandingkan underweight dan obesitas. IMT sebesar 19 kg/m2, 20

kg m/2, dan 21 kg/m2 (normal) menghasilkan indeks kerapuhan terendah. Dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan

sindrom kerapuhan. Namun secara grafis, terdapat gambaran kurva berbentuk

“U” antara IMT dan kerapuhan, di mana IMT normal memiliki indeks kerapuhan

terkecil.

Kata kunci: kerapuhan, indeks kerapuhan, indeks massa tubuh

Page 10: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

ABSTRACT

Joenadi, Yosefin. 2018. The Relation between Body Mass Index and Frailty

Syndrome of the Elderly People in Malang. Final assignment, Medical

Program, Faculty of Medicine, Universitas Brawijaya. Supervisors: (1) dr. Sri

Sunarti, SpPD-KGer (2) Dr.dr . Tita Hariyanti, M.Kes.

One of the biggest challenges that is regularly encountered in the clinical practice

for elderly patients is frailty syndrome. Frailty syndrome is the interaction from

physical, psychological, and social factors. One of the factors of frailty syndrome

is body mass index (BMI). This research aims to find the relation between the

factors of frailty syndrome, specifically, the body mass index and frailty

syndrome. This research was conducted using observational analysis and cross-

sectional design, from April to June 2017, in Malang. This research was

conducted by distributing questionnaire to measure the frailty syndrome and by

measuring the body mass index. There are 211 samples taken by using

accidental sampling. The result of quadratic regression test showed that there

was no correlation between body mass index and frailty syndrome (r=0.080;

p=0.514). Graphically, the relation between body mass index and frailty

syndrome resembled the letter „U‟, which showed that the subject with normal

body mass index had the lowest frailty index compared to underweight and

obesity. Body mass index which showed 19 kg/m2, 20 kg m/2, and 21 kg/m2

(normal) generated the lowest frailty index. It could be concluded that there was

no correlation between body mass index and frailty index. However, graphically,

there was a curve resembling the letter „U‟ which showed the body mass index

and frailty syndrome, and the normal BMI had the lowest frailty index.

Keywords: frailty syndrome frailty index, body mass index

Page 11: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …
Page 12: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dengan bertambahnya populasi lanjut usia, diperlukan perhatian lebih

terhadap masalah yang dihadapi golongan lanjut usia. Salah satu tantangan

terbesar yang dihadapi dalam praktik klinik sehari-hari orang berusia lanjut

adalah kerapuhan (kerentaan) (Vries et al., 2011). Kerapuhan berdampak

terhadap kualitas hidup lanjut usia. Individu yang rapuh membutuhkan biaya

kesehatan yang lebih tinggi, baik dalam hal perburukan kemampuan mobilitas

dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (gangguan status fungsional/

disabilitas) sehingga menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan, maupun

peningkatan risiko masuk perawatan di rumah sakit dan kematian (Laksmi,

2015).

Kerapuhan didefinisikan sebagai sindrom fisiologis yang bercirikan

kurangnya resistensi terhadap stresor, yang menyebabkan penurunan berbagai

sistem fisiologis menyebabkan kerentanan terhadap dampak buruk dan risiko

kematian tinggi (Kasper et al., 2015). Kerapuhan merefleksikan usia biologis

seseorang dan dipandang sebagai salah satu sindrom geriatri (Laksmi, 2015).

Sindrom kerapuhan tidak hanya disebabkan oleh proses menua. Faktor

lain yang berperan dalam etiologi sindrom kerapuhan adalah faktor genetik, gaya

hidup, dan penyakit (termasuk penyakit yang bersifat subklinis). Salah satu dari

faktor risiko tersebut adalah indeks massa tubuh, yang dipengaruhi oleh genetik,

gaya hidup, dan penyakit (Little et al., 2016; Ahmad, 2016; Bernstein dan

Luggen, 2010). Vries et al. (2011) menyebutkan sindrom kerapuhan merupakan

Page 13: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

interaksi dari faktor fisik, psikologis, dan sosial. Indeks massa tubuh merupakan

faktor psikososial yang penting (Nuttall, 2015). Sindrom kerapuhan dapat diukur

salah satunya dengan indeks kerapuhan (frailty index). Indeks kerapuhan

menggunakan skor 40 item dan mengevalusi semua aspek sindrom kerapuhan

(fisik, psikologis, dan sosial) (Laksmi, 2015).

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya sindrom

kerapuhan adalah indeks massa tubuh. Berat badan dan perubahan berat badan

merupakan kontributor penting terhadap risiko timbulnya kerapuhan. Beberapa

definisi sindrom kerapuhan menyebutkan kehilangan berat badan sebagai salah

satu kriterianya. Teori lain menyebutkan penambahan berat badan merupakan

faktor risiko timbulnya sindrom kerapuhan terkait dengan faktor komorbid yang

terkait dengan obesitas (misalnya diabetes tipe 2). Obesitas menyebabkan

kelemahan dan penurunan fungsional sehingga lebih rentan terhadap sindrom

kerapuhan (Mezuk et al., 2016).

Hubungan antara sindrom kerapuhan dengan berat badan jika diplotkan

secara grafis berbentuk kurva U, yaitu indeks massa tubuh normal memiliki

indeks kerapuhan terkecil. Risiko timbulnya kerapuhan paling tinggi pada orang

yang mengalami kehilangan berat badan dan overweight dibandingkan normal

(Mezuk et al., 2016).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan yang diukur dengan

indeks kerapuhan. Indeks massa tubuh didapatkan dari pengukuran berat badan

yang dibagi dengan tinggi badan kuadrat (Nuttall, 2015). Dengan demikian,

diharapkan dapat dilakukan tindakan pencegahan secara dini terhadap timbulnya

kerapuhan.

Page 14: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

3

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan sindrom

kerapuhan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan

pada lansia.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengukur indeks massa tubuh lansia di kota Malang.

b. Mengukur sindrom kerapuhan menggunakan indeks kerapuhan pada lansia di

kota Malang.

c. Mengetahui adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan kerapuhan

pada lansia di kota Malang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

a. Sebagai dasar teori yang mendukung penyusunan dan kelengkapan

informasi mengenai sindrom kerapuhan.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan

penelitian lebih lanjut tentang sindrom kerapuhan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui hubungan antara indeks

massa tubuh dengan timbulnya sindrom kerapuhan sehingga dalam praktik

Page 15: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

4

sehari-hari baik klinisi maupun pasien dapat melakukan pencegahan dini

terhadap timbulnya kerapuhan.

Page 16: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …
Page 17: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sindrom Kerapuhan

Kerapuhan adalah kumpulan gejala (sindrom biologis) akibat penurunan

berbagai sistem fisiologis tubuh terkait usia. Kerapuhan berdampak pada

rendahnya kemampuan untuk menghadapi stres (Laksmi, 2015). Kerapuhan

adalah kondisi dinamis yang berdampak pada individu yang mengalami

kehilangan salah satu atau lebih domain fungsional (fisik, psikologis, dan sosial).

Definisi ini menekankan pada interaksi antara domain fisik, psikologis , dan sosial

sebagai sistem yang dinamis dan kompleks (Vries et al., 2011).

Terdapat pula definisi yang menekankan terhadap fenotip kerapuhan.

Fenotip kerapuhan memiliki lima ciri-ciri spesifik, yaitu kelambatan, penurunan

berat badan, kekuatan menurun, kelelahan, dan menurunannya aktivitas fisik

(Holroyd-Leduc dan Reddy, 2012). Orang lanjut usia yang dikatakan rapuh

memiliki perubahan yang sama pada berbagai proses, yaitu komposisi tubuh,

disregulasi homeostasis, kekurangan energi, dan neurodegenerasi (Kasper et al.,

2015).

2.2 Epidemiologi

Menurut World Health Organization, populasi global dari orang lanjut usia

yang berusia di atas 60 tahun atau lebih berjumlah 600 juta pada tahun 2000 dan

diperkirakan akan meningkat sekitar 2 milyar pada tahun 2050. Sekitar

seperempat sampai setengah populasi usia lanjut yang berusia lebih dari 85

tahun dikatakan rentan. Kerapuhan berdampak penting pada individu, keluarga,

sistem layanan kesehatan, dan masyarakat. Dari sudut pandang klinis,

Page 18: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

kerapuhan dapat menyebabkan risiko yaitu dampak kesehatan yang buruk,

misalnya jatuh, rawat inap, disabilitas, dan kematian (Buckinx et al., 2015).

2.3 Patofisiologi

Kerapuhan bukan hanya akibat dari penuaan, namun melibatkan interaksi

perubahan fisiologis terkait proses menua dan nutrisi yang tidak adekuat,

penyakit yang mendasari, genetik, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor ini

menyebabkan kemunduran progresif dan menyeluruh pada sistem organ

multipel. Homeostasis normal tidak dapat dipertahankan, dan inflamasi kronis

derajat rendah terjadi bersamaan dengan perubahan jumlah hormon dan aktivasi

sistem koagulasi. Hal ini menyebabkan kematian dan penuaan seluler terkait

dengan peningkatan faktor-faktor proinflamasi dan perubahan sitokin tertentu.

Penurunan jumlah interleukin-10, dengan peningkatan jumlah protein C reaktif,

TNFα, dan interleukin-6 dapat berkontribusi terhadap terjadinya kerapuhan

(Byard dan Bellis, 2016).

Siklus kerapuhan diawali dengan akumulasi dari efek berkurangnya

aktivitas fisik, nutrisi yang inadekuat, lingkungan tidak sehat, injury, penyakit dan

penggunaan berbagai obat. Berbagai faktor ini menyebabkan malnutrisi kronik

dan berakhir pada penurunan massa tulang dan otot, yang disebut sarkopenia.

Dalam keadaan sarkopenia, diperlukan usaha yang lebih besar untuk melakukan

aktivitas fisik dengaan intensitas tertentu. Ambang laktat yang meninggi

menyebabkan pasien usia lanjut harus meningkatkan aktivitas fisiknya berakibat

semakin malas beraktivitas (Setiati dan Rizka, 2014).

Penurunan aktivitas fisik ditambah lagi dengan penurunan fungsi

kardiovaskular dan muskuloskeletal akibat proses menua menyebabkan

sarkopenia semakin berat sehingga aktivitas fisik semakin terhambat. Seluruh

Page 19: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

3

perubahan ini menyebabkan penurunan resting metabolism sehingga total

energy expenditure (TEE) menurun. Konsekuensi dari penurunan TEE adalah

malnutrisi. Siklus kerapuhan ini kemudian akan berulang dan semakin berat

(Setiati dan Rizka, 2014).

2.4 Fenotip

Orang lanjut usia yang rapuh memiliki berbagai karakteristik. Karakteristik

tersebut secara umum dapat dirumuskan dalam fenotip kerapuhan. Lima

karakteristik utama sindrom kerapuhan yaitu kelambatan, kehilangan berat

badan, kekuatan berkurang, kelelahan, dan aktivitas berkurang. Jika tiga dari

lima karakter ini terpenuhi dikatakan frail, jika satu atau dua dari karakter ini

terpenuhi maka dikatakan prefrail, jika tidak ditemukan karakter di atas, dikatakan

robust. Argumen lain menyebutkan selain lima karakter di atas hendaknya

dipertimbangkan persepsi kesehatan diri, kemampuan kognitif, dan kesesuaian

penampilan dengan umur (Gosney et al., 2012).

2.5 Faktor Risiko Sindrom Kerapuhan

Terdapat delapan faktor risiko yang beraitan dengan konsep kerapuhan.

Faktor-faktor tersebut termasuk dimensi fisik, status nutrisi, aktivitas fisik,

mobilitas, kekuatan dan energi, dimensi psikologis, kognisi dan mood, dan pada

dimensi sosial, yaitu kurangnya dukungan sosial (Vries et al., 2011).

Kerapuhan sangat terkait dengan sejumlah penyakit kardiovaskuler dan

pulmoner, dan diabetes (Kim, 2012). Untuk itu sangat penting untuk melihat

kerapuhan dalam hubungannya dengan penyakit yang mendasarinya, misalnya

penyakit jantung kongestif berhubungan dengan ketersedian energi yang rendah,

gangguan hormonal, dan kondisi proinflamasi yang berpengaruh terhadap tingkat

Page 20: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

4

keparahan kerapuhan. Penyakit Parkinson menyebabkan neurodegenerasi yang

pada fase lanjut berdampak pada komposisi tubuh, metabolisme energi,

homeostasis yang menyebabkan sindrom mirip kerapuhan (Kasper et al., 2015).

Strandberg et al. (2011) menyatakan terdapat potensi terapi dan

pencegahan terhadap kerapuhan. Latihan jasmani dan suplementasi energi

protein dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya kerapuhan (Kim dan Lee,

2013).

2.6 Kehilangan Berat Badan dan Obesitas pada Usia Lanjut

Kehilangan berat badan dan obesitas pada usia lanjut diukur dengan

Indeks Massa Tubuh, yaitu rasio berat badan dalam kilogram terhadap tinggi

badan dalam meter kuadrat. Indeks Massa Tubuh dapat menunjukkan adanya

kekurangan nutrisi. Indikator umum kekurangan nutrisi antara lain albumin yang

rendah. Kekurangan nutrisi ringan ditunjukkan dengan kadar albumin 2,8-3,5

g/dL, kekurangan nutrisi sedang ditunjukkan dengan kadar albumin 2,1-2,7 g/dL,

dan kekurangan nutrisi berat ditunjukkan dengan kadar albumin kurang dari 2,1

g/dL. Kadar kolesterol serum <160 mg/dL menunjukkan kurangnya jumlah kalori

yang dikonsumsi. Limfosit total 1500-1800 dapat menunjukkan keadaan

malnutrisi, limfosit total <1000 menunjukkan malnutrisi berat (Bernstein dan

Luggen, 2010).

Tanda dan gejala lansia yang mengalami malnutrisi antara lain

kehilangan massa otot, lemak tubuh, dan mengalami underweight. Underweight

terkait dengan peningkatan risiko hospitalisasi, lamanya perawatan di rumah

sakit, dan peningkatan risiko kematian (Bernstein dan Luggen, 2010).

2.6.1 Faktor Terkait dengan Kurangnya Nutrisi yang Menyebabkan

Penurunan IMT

Page 21: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

5

Indeks Massa Tubuh dipengaruhi oleh proses fisiologis penuaan,

misalnya berkurangnya tinggi badan dan perubahan distribusi lemak. Tinggi

badan berkurang 1-2 cm setelah umur 50 tahun dan berlangsung lebih cepat

setelah usia 85 tahun. Rata-rata BMI baik pada laki-laki maupun perempuan

berkurang setelah umur 70 tahun. Penyebab lain berkurangnya berat badan

adalah sarkopenia yang terjadi seiring dengan penuaan. Perubahan lain terkait

dengan penuaan peningkatan jaringan lemak di tubuh dan abdomen sementara

lemak subkutan (terutama di ekstremitas) berukurang. Karena penumpukan

lemak di abdomen meningkat seiring dengan usia, IMT menjadi indikator yang

lemah untuk menunjukkan distribusi lemak sentral dan keseluruhan. Selain itu

usia lanjut mengalami berkurangnya kemampuan pengecap dan penghidu, serta

berkurangnya nafsu makan dan anoreksia (Bernstein dan Luggen, 2010).

Kendala mekanis dapat menyebabkan seseorang menjadi underweight,

misalnya kesehatan mulut yang buruk, penglihatan yang buruk, koordinasi

motorik terganggu, disfagia. Kondisi medis dapat menyebabkan peningkatan

kebutuhan energi, misalnya kanker, infeksi, COPD, luka, dan fraktur. Kondisi

medis lain yang berpengaruh terhadap makan misalnya gagal jantung kongestif,

sindrom malabsorbsi, gastroparesis diabetes, dan kolelistiasis. Selain itu kondisi

psikologis seperti depresi dan demensia juga dapat berpengaruh. Faktor-faktor

sosial seperti isolasi dan kemiskinan juga terkait (Bernstein dan Luggen, 2010).

2.6.2 Faktor Terkait Obesitas yang Menyebabkan Peningkatan IMT

Inaktivitas adalah penyebab utama obesitas pada usia lanjut. Salah satu

penyebab inaktivitas adalah penyakit kronis yang diderita lansia. Hal ini dapat

menyebabkan disabilitas dan mengganggu fungsi motorik sehingga mengurangi

pemakaian energi. Selain itu kurangnya olahraga merupakan penyebab utama

Page 22: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

6

obesitas pada usia lanjut. Selain itu, pada usia lanjut produksi hormon

pertumbuhan dan testosteron berkurang menyebabkan berkurangnya massa otot

dan meningkatnya lemak tubuh (Bernstein dan Luggen, 2010).

Faktor gizi, yaitu overnutrition juga berperan penting. Usia lanjut

cenderung memilih makanan yang tidak mahal karena masalah ekonomi dan

status sosioekonomi yang rendah. Mereka cenderung memilih makanan yang

banyak mengandung gula tambahan tetapi rendah protein. Hal ini disebut

“sindrom kalori kosong”. Sebaliknya jika lansia memilih makanan restoran,

meskipun dalam jumlah sedikit, makanan tersebut mengandung jumlah kalori

yang besar. Kesepian, rasa bosan, depresi, dan di bawah tekanan juga

mempengaruhi pola makan seseorang (Bernstein dan Luggen, 2010)

Obat-obatan seperti insulin, antidepresan, dan steroid dapat

menyebabkan penambahan berat badan. Penyakit hipotiroid juga dapat

meningkatkan berat badan karena laju metabolisme yang lambat. Nikotin dalam

rokok dapat mengurangi nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme,

namun berhenti merokok dapat menyebabkan penambahan berat badan karena

laju metabolisme melambat. Mereka yang merokok dapat tetap kurus, namun

mengalami akumulasi lemak di abdomen (Bernstein dan Luggen, 2010).

2.7 Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Kerapuhan

Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan antara indeks massa

tubuh dengan kerapuhan. Mezuk et al. (2016) melakukan penelitian untuk

melihat hubungan antara indeks massa tubuh dengan timbulnya kerapuhan

menggunakan desain penelitian kohort. Data diambil dari tahun 2004 sampai

2012, dikategorikan dalam 4 kelompok, yaitu berat badan meningkat, berat

badan menurun, obesitas konstan, berat badan berlebih konstan. Perubahan

Page 23: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

7

berat badan, baik peningkatan maupun penurunan berat badan, meningkatkan

risiko timbulnya kerapuhan. Hubbart et al. (2010) dalam Sheehan et al (2013)

melaporkan adanya korelasi antara obesitas dengan kerapuhan berbentuk U.

Lansia yang underweight (indeks massa tubuh (IMT) <18,5) dan lansia yang

obesitas (IMT>30) lebih rentan mengalami kerapuhan.

Penurunan jumlah interleukin-10, dengan peningkatan jumlah protein C

reaktif, TNFα, dan interleukin-6 dapat berkontribusi terhadap terjadinya

kerapuhan. Kadar IL-6 yang paling rendah ditemukan pada orang dengan berat

badan normal dan overweight, demikian pula kadar CRP terendah ditemukan

pada orang dengan berat badan normal. Hubungan antara IMT dan faktor

proinflamasi yang berbentuk U ini, mendukung teori paradoks obesitas. Teori

paradoks obesitas menyebutkan bahwa mortalitas dan mordibitas terendah

terdapat pada lansia dengan berat badan normal dan overweight, sementara

mortalitas dan mordibitas tertinggi dialami oleh lansia obesitas dan underweight.

Mortalitas dan mordibitas ini terkait dengan adanya peningkatan inflamasi

sistemik pada kelompok underweight dan obese. BMI yang rendah <18,5 kg/m2

memiliki IL-6 paling tinggi dan mengalami peningkatan CRP (Puzianowska-

Kuźnicka, 2016).

Obesitas sering dikaitkan dengan kecepatan berjalan yang lambat,

berkurangnya aktivitas fisik kelemahan, dan kelelahan. Lansia yang overweight

dan obesitas juga berisiko mengalami kerapuhan. Berat badan berlebih terkait

dengan munculnya penyakit, keterbatasan fungsional, dan disabilitas. Selain itu

lansia yang overweight dan obese memiliki kualitas, kekuatan, dan daya tahan

otot yang rendah daripada lansia yang underweight dan normal (Bowen, 2012).

Beberapa mediator yang berperan dalam mekanisme timbulnya kerapuhan pada

Page 24: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

8

lansia yang obesitas antara lain adanya peningkatan penanda inflamasi protein C

reaktif dan rendahnya kapasitas antioksidan serta berkurangnya karotenoid

(Sheehan et al., 2013).

Lansia yang underweight lebih rentan dengan minimalnya kapasitas yang

dimiliki dan meningkatnya risiko malnutrisi dan kematian. Lansia yang

underweight mengalami peningkatan risiko berkurangnya keseimbangan dan

kestabilan dalam berjalan. Lansia underweight lebih rentan mengalami

osteoporosis, peningkatan risiko jatuh, fraktur, dan cedera lain yang disebabkan

jatuh (Bowen, 2012).

2.8 Evaluasi Sindrom Kerapuhan

Sindrom skor untuk mengevaluasi status kerapuhan seharusnya mampu

meneliti semua aspek sindrom kerapuhan (fisik, psikologis, dan sosial),

menentukan derajat berat ringan, serta mengukur perubahan dari waktu ke

waktu (Laksmi, 2015). Untuk mengevaluasi fenotip sindrom kerapuhan dapat

digunakan berbagai instrumen, antara lain Cardiovascular Health Study (CHS),

The Study of Osteoporotic Fracture (SOF), Survey of Health, Ageing, and

Retirement in Europe (SHARE), Fatigue, Resistance, Ambulation, Illness, Loss of

weight (FRAIL), Indeks Kerapuhan 40 item, Frailty Index –Comprehensive

Geriatric Assessment (FI-CGA), Clinical Frailty Scale (CFS), Groningen Frailty

Indicator (GFI) (Laksmi, 2015).

2.9 Indeks Kerapuhan 40 item

Page 25: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

9

Dalam penelitian ini digunakan indeks kerapuhan 40-item. Sistem skor ini

dikembangkan berdasarkan hasil penelitian Canadian Study of Health and Aging.

Sistem skor indeks kerapuhan 40 item menggunakan 40 variabel defisit

kesehatan. Defisit kesehatan tersebut meliputi gejala klinis, tanda klinis, penyakit,

hendaya, dan kelainan pemeriksaan penunjang. Semakin banyak defisit

kesehatan yang dialami seseorang maka individu tersebut akan semakin rapuh

(Laksmi, 2015).

Perhitungan indeks kerapuhan didapatkan dengan cara menjumlahkan

defisit kesehatan yang dijumpai dibagi dengan jumlah defisit kesehatan yang

dihitung (indeks kerapuhan = skor total /40). Interpretasi indeks kerapuhan dapat

bersifat kontinu atau dapat dilakukan terhadap status sindrom kerapuhan menjadi

fit/robust bila skor ≤ 0,08, pre-frail bila skor >0,08 - < 0,25, dan frail bila skor

≥0,25 (Laksmi, 2015).

Sistem skor indeks kerapuhan 40 item mengevaluasi semua aspek

sindrom kerapuhan, baik fisik, psikologis, dan sosial (Laksmi, 2015). Vries et al.

(2011) menyimpulkan berdasarkan telaah sistematik bahwa metode yang paling

baik untuk mengevaluasi keluaran sindrom kerapuhan adalah dengan

pendekatan akumulasi defisit menggunakan indeks kerapuhan. Sistem skor

indeks kerapuhan 40 item ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1 Sistem Skor Indeks Kerapuhan 40 item

No Defisit Skor

0 0,25 0,5 0,75 1

1 Gangguan penglihatan

Tidak

ada Ringan Sedang Berat

Sangat

berat

2 Gangguan pendengaran

Tidak

ada Ringan Sedang Berat

Sangat

berat

3 Bantuan untuk makan Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

Page 26: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

10

4

Bantuan untuk berpakaian dan

melepas pakaian Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

5 Kemampuan untuk merawat diri Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

6 Bantuan untuk berjalan Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

7

Bantuan untuk tidur dan bangun

tidur Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

8 Bantuan untuk mandi Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

9

Bantuan untuk pergi ke kamar

mandi Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

10 Bantuan untuk menelepon Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

11

Bantuan untuk berjalan

mencapai tempat-tempat

kegiatan Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

12 Bantuan untuk berbelanja Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

13

Bantuan untuk mempersiapkan

makanan sendiri Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

14

Bantuan untuk pekerjaan rumah

tangga Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

15 Kemampuan untuk minum obat Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

16

Kemampuan untuk mengurus

keuangan sendiri Mandiri

Bantuan

minimal

Tergantung

total

17

Anggapan mengenai tingkat

kesehatan sendiri

Sangat

baik Baik Sedang Buruk

Sangat

buruk

18

Kesulitan untuk melakukan

aktivitas sehari-hari

Tidak

ada

Kesulitan

ringan

Kesulitan

berat

19 Hidup sendiri Tidak Ya

20 Batuk Tidak Ya

21 Merasa lelah Tidak Ya

22 Hidung tersumbat atau bersin Tidak Ya

23 Tekanan darah tinggi Tidak Ya

24

Masalah jantung dan peredaran

darah Tidak Ya

25 Stroke atau akibat stroke Tidak Ya

26 Artritis atau rematik Tidak Ya

Page 27: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

11

27 Penyakit Parkinson Tidak Ya

28 Masalah mata Tidak Ya

29 Masalah telinga Tidak Ya

30 Masalah gigi Tidak Ya

31 Masalah paru Tidak Ya

32 Masalah lambung Tidak Ya

33 Masalah ginjal Tidak Ya

34 Tidak dapat mengontrol kemih Tidak Ya

35 Tidak dapat mengontrol BAB Tidak Ya

36 Diabetes Tidak Ya

37

Masalah dengan kaki atau

pergelangan kaki Tidak Ya

38 Masalah dengan saraf Tidak Ya

39 Masalah kulit Tidak Ya

40 Fraktur Tidak Ya

Sumber: Laksmi, 2015, Tabel 3 , hlm. 320

Page 28: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

37

Page 29: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

16

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Proses terkait penuaan -↓ tinggi badan IMT ↓ - sarkopenia - perubahan distribusi lemak

Kendala mekanis

Kondisi medis menyebabkan

peningkatan kebutuhan energi

Kondisi medis berpengaruh

terhadap pola makan

Psikologis

Sosial

Inaktivitas

Berkurangnya

hormon

Faktor gizi

Obat-obatan

Hipotiroid

Berhenti

merokok

Underweight

Obesitas

↑CRP

↓antioksidan

↓ karotenoid

↓IL-6, CRP ↑

Inflamasi sistemik

Variabel bebas yang diteliti

Variabel tergantung yang diteliti

Sindrom Kerapuhan, diukur

dengan indeks kerapuhan

Indeks

Massa

Tubuh

Page 30: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

Berbagai faktor dapat menyebabkan lansia memiliki indeks massa tubuh

yang rendah (underweight). Penyebab dari kehilangan berat badan yang terkait

underweight adalah kendala mekanis, kondisi medis yang menyebabkan

peningkatan kebutuhan energi, kondisi medis yang berpengaruh terhadap pola

makan, kondisi psikologis, dan sosial. Sebaliknya, inaktivitas, berkurangnya

hormon, pola makan, obat-obatan, dan berhenti merokok dapat menyebabkan

obesitas (Bernstein dan Luggen, 2010; Uzogara 2016). Baik lansia yang obesitas

maupun yang underweight rentan mengalami sindrom kerapuhan akibat

terjadinya inflamasi sistemik (Puzianowska-Kuźnicka, 2016).

Lansia yang mengalami underweight memiliki kadar IL-6 dan CRP yang

meningkat (Puzianowska-Kuźnicka, 2016). Lansia yang obesitas mengalami

peningkatan CRP, penurunan antioksidan, dan berkurangnya karotenoid

(Sheehan et al., 2013). Peningkatan IL-6 dan CRP menyebabkan inflamasi

derajat rendah yang merupakan faktor risiko dari kerapuhan (Vellisarias, 2017).

Selain itu, antioksidan yang rendah merupakan faktor terjadinya sindrom

kerapuhan melalui mekanisme kerusakaan oksidatif (Preedy, 2014). Lansia yang

obesitas dapat mengalami kekurangan mikronutrien, yaitu karotenoid yang juga

terkait dengan sindrom kerapuhan (Michelon, et al., 2006).

Dalam penelitian ini, obesitas dan underweight diukur dengan indeks

massa tubuh. Indeks massa tubuh merupakan variabel bebas. Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah sindrom kerapuhan diukur dengan indeks kerapuhan.

3.2 Hipotesis Penelitian

Dari kerangka konsep di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

Orang lanjut usia yang obesitas dan underweight memiliki indeks kerapuhan

yang tinggi dibandingkan orang lanjut usia dengan indeks massa tubuh normal.

Page 31: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

16

Page 32: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

18

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan

menggunakan pendekatan desain potong lintang untuk mengetahui hubungan

indeks massa tubuh dengan indeks kerapuhan. Data yang didapatkan

selanjutnya dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan antar variabel.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua orang berusia lanjut ≥60 tahun di kota

Malang.

4.2.2 Sampel

4.2.2.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

Subjek bersedia menjadi subjek penelitian secara sukarela serta

menandatangani form kesediaan menjadi responden.

Subjek berusia ≥60 tahun.

Dapat dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan

4.2.2.2 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling di lima

kecamatan di kota Malang. Populasi yang terpilih kemudian dilakukan

wawancara.

Page 33: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

Penelitian dikerjakan setelah mendapatkan persetujuan dari komite etik

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (Keterangan Kelaikan Etik No.176 /

EC / KEPK / 04 / 2017). Seluruh responden yang diikutkan dalam penelitian ini

diberikan penjelasan dan yang bersedia mengikuti penelitian diminta

menandatangani lembar persetujuan (Informed Consent).

4.2.2.3 Perhitungan Besar Sampel

Sampel adalah bagian kecil dari populasi yang diteliti. Besar sampel pada

populasi yang tidak diketahui ditentukan dengan rumus sebagai berikut

(Hutagalung dan Aisha, 2008).

n =

Keterangan:

n : Jumlah sampel

Zα: Nilai standar yang besarnya tergantung α.

Jika α= 0,05 maka z=1,67

Jika α=0,01 maka z=1,96

p : estimator populasi yang tidak diketahui = 0,5

q : 1-p

d : Presisi (persen kelonggaran ketidaktelitian kesalahan) 5 %

Berdasarkan perhitungan α = 0,05 didapatkan besar sampel 279 orang.

Besar sampel ditentukan secara proporsional pada 5 kecamatan di kota Malang

sebagai berikut.

Page 34: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

3

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penduduk Lansia dan Sampel Menurut Kecamatan di kota

Malang pada Tahun 2016

No Kecamatan

Jumlah Penduduk

Lansia

Besar

Sampel

1 Klojen 12.596/67.419 x 279 52

2 Lowokwaru 14.976/67.419 x 279 62

3 Sukun 16.620/ 67.419 x 279 68

4 Blimbing 16.815/ 67.419 x 279 70

5 Kedungkandang 6.412/ 67.419 x 279 27

Jumlah 67.419 279

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2015

Namun dalam penelitian ini, hanya didapatkan 211 sampel dengan rincian

sebagai berikut.

Tabel 4.2 Rincian Jumlah Sampel Pada Penelitian Ini Menurut Kecamatan di Kota

Malang

No Kecamatan Besar Sampel

1 Sukun 61

2 Lowokwaru 47 3 Klojen 23 4 Blimbing 37 5 Kedungkandang 43

Jumlah 211

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Menurut Suresh dan Chandrasekara (2015), besar sampel yang dihitung

adalah jumlah total subjek yang dibutuhkan untuk analisis data penelitian.

Beberapa masalah praktis, terkait perhitungan jumlah sampel dapat terjadi.

Subjek yang eligible mungkin tidak bersedia untuk mengikuti penelitian. Selain

itu, bahkan penelitian yang memiliki desain baik, jarang ditemukan data yang

lengkap untuk semua subjek yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan faktor subjek,

misalnya subjek mungkin gagal atau menolak memberikan respon yang valid

pada pertanyaan tertentu dan pengukuran fisik yang memiliki masalah teknis.

Dalam penelitian ini didapatkan beberapa kendala, antara lain ketidaklengkapan

Page 35: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

4

data dan subjek yang menolak dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi

badan.

4.3 Variabel Penelitian

Variabel bebas: indeks massa tubuh

Variabel terikat: indeks kerapuhan

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian di kota Malang, Jawa Timur. Alasan pemilihan lokasi ini

adalah mudah dijangkau dan memiliki populasi dan komunitas lansia yang

memadai. Diambil semua kecamatan yang ada, yaitu Kecamatan Klojen,

Lowokwaru, Kedungkandang, Sukun, dan Blimbing. Waktu penelitian adalah

bulan April-Juni 2017. Rincian jadwal dan lokasi pengambilan sampel adalah

sebagai berikut.

Tanggal 6 Mei 2017, pukul 08.30-11.00 di Kecamatan Sukun

Tanggal 7 Mei 2017, pukul 08.00-12.00 di Kecamatan Lowokwaru

Tanggal 13 Mei 2017, pukul 07.00-11.00 di Kecamatan

Kedungkandang

Tanggal 20 Mei 2017, pukul 09.00-11.00 di Kecamatan Klojen

Tanggal 21 Mei 2017, pukul 07.30-11.00 di Kecamatan

Lowokwaru

Tanggal 22 Mei 2017, pukul 08.00-14.00 di Kecamatan

Kedungkandang (home visit)

Tanggal 23 Mei 2017 s.d. 24 Mei 2017, pukul 15.30-17.00 di

Kecamatan Blimbing (home visit)

Page 36: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

5

Tanggal 25 Mei 2017, pukul 08.00-12.00 di Panti Lansia Al-Ishlah

Kecamatan Blimbing

Tanggal 27 Mei 2017, pukul 08-00-12.00 di Panti Lansia Siloam

Kecamatan Sukun

Tanggal 31 Mei 2017, pukul 08.00-12.00 di Kecamatan Sukun

4.5 Bahan dan Alat/Instrumen Penelitian

Instrumen atau alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk keperluan

data adalah:

Kuesioner, berisi pertanyaan mengenai data demografi seperti umur,

jenis, kelamin, tinggi badan, berat badan, pendidikan.

Formulir penilaian Indeks Kerapuhan 40 item, berisi 40 variabel defisit

kesehatan. Defisit kesehatan tersebut meliputi gejala klinis, tanda klinis,

penyakit, hendaya, dan kelainan pemeriksaan penunjang.

Timbangan untuk mengukur berat badan

Stadiometer microtoise untuk mengukur tinggi badan

4.6 Definisi Operasional

1. Sindrom Kerapuhan

Kerapuhan didefinisian sebagai kumpulan gejala (sindrom biologis) akibat

penurunan berbagai sistem fisiologis tubuh terkait usia. Kerapuhan berdampak

pada rendahnya kemampuan untuk menghadapi stres (Laksmi, 2015). Terdapat

pula definisi yang menekankan terhadap fenotip kerapuhan. Fenotip kerapuhan

memiliki lima ciri-ciri spesifik, yaitu kelambatan, penurunan berat badan,

kekuatan menurun, kelelahan, dan menurunannya aktivitas fisik (Holroyd-Leduc

Page 37: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

6

dan Reddy, 2012). Kerapuhan dapat dievaluasi dengan indeks kerapuhan 40

item (Laksmi, 2015).

a. Frail. Subjek dikatakan frail bila skor ≥0,25

b. Pre-frail. Subjek dikatakan pre-frail bila skor indeks kerapuhan >0,08 - < 0,25

c. Robust. Subjek dikatakan robust bila skor indeks kerapuhan ≤ 0,08 (Laksmi,

2015).

Faktor risiko yang diteliti adalah:

Indeks Massa Tubuh : pengukuran antropometri pada dewasa yang

diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Indeks Massa Tubuh adalah berat

badan dalam kilogram dibagi tinggi badan kuadrat dalam meter. Kriteria Indeks

Massa Tubuh untuk orang Asia adalah sebagai berikut (Stegenga et al., 2014;

Nuttall, 2015; Llido dan Mirasol, 2011).

<18,5 kg/m2 : underweight

18,5-22,9 kg/m2 : normal

23-24,9 kg/m2 : overweight

25-29,9 kg/m2 : pre-obese

>30 : obesitas

4.7 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dipakai adalah data primer (observasi langsung

ke lapangan dengan melihat, memeriksa, dan mewawancara.

a. Wawancara

Subjek yang berusia 60 tahun atau lebih diwawancarai karakteristik

dasar. Subjek yang tidak memahami Bahasa Indonesia, pewawancara

membantu menerjemahkan ke dalam Bahasa Jawa.

b. Pengukuran

Page 38: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

7

Pengukuran meliputi penimbangan berat badan dan tinggi badan.

4.8 Pengolahan Data

Data dari wawancara dan formulir dikumpulkan dan dilakukan pengolahan

berupa kategorisasi dan koding sesuai pembagian yang disepakati, berdasarkan

penelitian sebelumnya. Selanjutnya hubungan antara indeks massa tubuh dan

indeks kerapuhan dianalisis menggunakan uji regresi kuadratik.

4.9 Jadwal Kegiatan

Tabel 4.3 Jadwal Kegiatan

N

o Kegiatan

Bulan

1

Bulan

2

Bulan

3

Bulan

4

Bulan

5

Bulan

6

Bulan

7

Tahap persiapan dan pengumpulan

data

1 Mengurus Ethical Clearance

2 Uji validitas dan reliabilitas

kuesioner

3 Pengumpulan data

Tahap tabulasi dan analisis data

Analisis data dengan uji regresi

kuadratik

Tahap Penyelesaian

1 Analisa data

2 Penyusunan laporan akhir

Page 39: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

18

Page 40: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

25

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Identitas Subjek Penelitian

5.1.1 Identitas Subjek Berdasarkan Kecamatan

Tabel 5.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecamatan

Kecamatan F %

Sukun 61 28.9%

Lowokwaru 47 22.3%

Klojen 23 10.9%

Blimbing 37 17.5%

Kedungkandang 43 20.4%

Jumlah 211 100.0% Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang

terlibat dalam penelitian ini paling banyak berasal dari Kecamatan Sukun dengan

persentase sebesar 28.9%. 22.3% subjek berasal dari Kecamatan Lowokwaru

dan 20.4% subjek berasal dari Kecamatan Kedungkandang. Subjek yang berasal

dari Kecamatan Blimbing memiliki persentase sebesar 17.5%. Sementara

sisanya sebesar 10.9% berasal dari Kecamatan Klojen.

5.1.2 Identitas Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin F %

Laki-laki 55 26.1%

Perempuan 156 73.9%

Jumlah 211 100.0% Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Berdasarkan Tabel 5.2 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang

terlibat dalam penelitian ini paling banyak berjenis kelamin perempuan dengan

Page 41: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

persentase sebesar 73.9%. Sementara sisanya sebesar 26.1% berjenis kelamin

laki-laki.

5.1.3 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan

Tabel 5.3 Distribusi Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan

Kerapuhan Frekuensi Persentase

Robust 37 17.5%

Prefrail 143 67.8%

Frail 31 14.7%

Total 211 100.0%

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang

terlibat dalam penelitian ini paling banyak termasuk dalam kategori prefrail

dengan persentase sebesar 67.8%. Kemudian 17.5% subjek termasuk dalam

kategori robust, dan paling rendah sebesar 14.7% subjek termasuk dalam

kategori frail.

Tabel 5.4 Gambaran Tingkat Kerapuhan

Indeks Kerapuhan

Minimum 0.006

Maximum 0.506

Rata-Rata 0.159

Simpangan Baku 0.094

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Ditinjau dari ukuran statistik maka indeks kerapuhan paling rendah dari

211 orang subjek yaitu sebesar 0.006%, sedangkan indeks kerapuhan paling

tinggi yaitu sebesar 0.506%. Rata-rata indeks kerapuhan sebesar 0.159%

dengan simpangan baku sebesar 0.094%.

Page 42: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

3

5.1.4 Identitas Responden Berdasarkan Indeks Masa Tubuh

Tabel 5.5 Distribusi Subjek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

IMT F %

Underweight 17 11.5%

Normal 70 47.3%

Overweight 39 26.4%

Pre-Obese 63 29,9%

Obesitas 22 14.9%

Total 148 100%

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang terlibat dalam

penelitian ini paling banyak termasuk dalam kategori normal dengan persentase

sebesar 47.3%. Kemudian 26.4% subjek termasuk dalam kategori overweight.

Sebesar 14.9% subjek termasuk dalam kategori obesitas. Berikutnya sebesar

11.5% subjek termasuk dalam kategori underweight, dan 29.9% responden

termasuk dalam kategori pre-obese.

Tabel 5.6 Gambaran Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh

Minimum 12.960

Maximum 42.460

Rata-Rata 24.387

Simpangan Baku 4.667

Sumber: Hasil Penelitian 2018

Ditinjau dari ukuran statistik maka indeks massa tubuh paling rendah dari

211 orang subjek yaitu sebesar 12.960 kg/m2, sedangkan indeks massa tubuh

paling tinggi yaitu sebesar 42.460 kg/m2. Rata-rata indeks massa tubuh sebesar

24.387 kg/m2 dengan simpangan baku sebesar 4.667 kg/m2.

Page 43: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

4

5.2 Gambaran Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Kategori Indeks Massa

Tubuh

Gambar 5.1 Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh

Gambar 5.1 menunjukkan gambaran tingkat kerapuhan berdasarkan

kategori indeks massa tubuh. Persentase lansia yang frail pada kategori

underweight adalah 17,6%, pada kategori normal adalah 8.6%, pada kategori

overweight adalah 23.1%, sedangkan pada kategori pre-obese adalah 14,3%,

dan pada kategori obesitas adalah 18.2%. Berdasarkan data ini, didapatkan

persentase lansia yang frail lebih besar pada kelompok yang berisiko

(underweight, overweight, pre-obese, dan obesitas) dibandingkan yang normal.

5.3 Pengujian Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom Kerapuhan

Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara indeks

massa tubuh dan sindrom kerapuhan dalam penelitian ini adalah regresi

kuadratik. Secara grafis, trendline data indeks massa tubuh dan indeks

kerapuhan dapat dilihat pada Gambar 5.2 sebagai berikut.

Underweight

NormalOverweigh

tPre-Obese Obesitas

Robust 17.6% 21.4% 12.8% 14.3% 22.7%

Prefrail 64.7% 70.0% 64.1% 71.4% 59.1%

Frail 17.6% 8.6% 23.1% 14.3% 18.2%

17.6% 21.4%

12.8% 14.3%

22.7%

64.7% 70.0%

64.1% 71.4%

59.1%

17.6%

8.6%

23.1% 14.3%

18.2%

0.0%10.0%20.0%30.0%40.0%50.0%60.0%70.0%80.0%

Per

sen

tase

Page 44: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

5

Gambar 5.2 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom Kerapuhan

Berdasarkan Gambar 5.2 dapat diketahui secara grafis, trendline data

indeks massa tubuh dan indeks kerapuhan berbentuk kurva “U”. Semakin rendah

indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan seseorang akan semakin tinggi,

dan semakin tinggi indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan seseorang

juga akan semakin tinggi. Trendline ini membentuk kurva U yang tidak terlalu

curam.

5.3.1 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa

representatif indeks massa tubuh menjelaskan sindrom kerapuhan. Hasil

koefisien determinasi dapat diketahui melalui Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Koefisien Determinasi

y = 0.0002x2 - 0.0078x + 0.2443 R² = 0.0064

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

0.000 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000

Ind

eks

Ker

apu

han

Indeks Massa Tubuh

Page 45: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

6

Independen Dependen R Square

Konstanta

Sindrom Kerapuhan 0.006 IMT

IMT2

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Koefisien determinasi (R2) hubungan antara indeks massa tubuh terhadap

sindrom kerapuhan sebesar 0.006 (0.6%). Hal ini menunjukkan sindrom

kerapuhan dijelaskan oleh indeks massa tubuh dengan efek kuadratik sebesar

0.6%. Dengan kata lain, indeks massa tubuh dengan efek kuadratik mampu

merepresentasikan indeks massa tubuh sebesar 0.6%, sedangkan sisanya

sebesar 99.4% keragaman sindrom kerapuhan dijelaskan oleh faktor lain diluar

penelitian ini.

5.3.2 Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi (R) digunakan untuk mengetahui tingkat keeratan

hubungan antara indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan. Hasil

koefisien korelasi dapat diketahui melalui Tabel 5.8. Hasil koefisien korelasi (R)

sebesar 0.080 menunjukkan ada hubungan kuadratik yang sangat lemah antara

indeks massa tubuh dan sindrom kerapuhan.

Tabel 5.8 Koefisien Korelasi

Independen Dependen R

Konstanta

Sindrom Kerapuhan 0.080 IMT

IMT2

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

5.3.3 Pengujian Hipotesis

5.3.3.1 Uji Hipotesis Simultan

Pengujian hipotesis simultan digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh variabel indeks massa tubuh dan efek kuadratik indeks massa tubuh

terhadap sindrom kerapuhan. Kriteria pengujian menyatakan jika nilai probabilitas

Page 46: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

7

< level of significance () maka terdapat pengaruh signifikan secara simultan

indeks massa tubuh dan efek kuadratik indeks massa tubuh terhadap sindrom

kerapuhan. Hasil pengujian hipotesis simultan dapat diketahui melalui tabel

berikut :

Tabel 5.9 Hasil Pengujian Hipotesis Simultan

Independen Dependen F Statistics Probabilitas

Konstanta

Sindrom Kerapuhan 0.667 0.514 IMT

IMT2

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Pengujian hipotesis secara simultan menghasilkan nilai Fhitung sebesar

0.667 dengan probabilitas sebesar 0.514. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

probabilitas > level of significance (=5%). Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh

signifikan secara simultan (bersama-sama) indeks massa tubuh dan efek

kuadratik indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan.

5.3.3.2 Uji Hipotesis Parsial

Pengujian hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh variabel indeks massa tubuh dan efek kuadratik indeks massa tubuh

terhadap sindrom kerapuhan. Kriteria pengujian menyatakan jika probabilitas <

level of significance () maka terdapat pengaruh signifikan secara individu

pengaruh indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan; dan efek kuadratik

indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan. Hasil pengujian hipotesis

parsial dapat diketahui melalui tabel berikut.

Tabel 5.10 Hasil Pengujian Hipotesis Parsial

Page 47: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

8

Independen Dependen Koefisien Regresi T

Statistics Probabilitas

Konstanta Sindrom

Kerapuhan

0.244 1.960 0.051

IMT -0.008 -0.799 0.425

IMT2 0.0002 0.910 0.364

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Pengujian hipotesis parsial variabel indeks massa tubuh menghasilkan

nilai t hitung sebesar -0.799 dengan probabilitas sebesar 0.425. Hasil pengujian

tersebut menunjukkan probabilitas > level of significance (=5%). Hal ini berarti

tidak terdapat pengaruh yang signifikan variabel indeks massa tubuh terhadap

sindrom kerapuhan.

Pengujian hipotesis parsial variabel indeks massa tubuh dengan efek

kuadratik menghasilkan nilai t hitung sebesar 0.910 dengan probabilitas sebesar

0.364. Hasil pengujian tersebut menunjukkan probabilitas > level of significance

(=5%). Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan variabel indeks

massa tubuh dengan efek kuadratik terhadap sindrom kerapuhan.

Pengujian hipotesis parsial konstanta menghasilkan nilai t hitung sebesar

1.960 dengan probabilitas sebesar 0.051. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

probabilitas > level of significance (=5%). Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh

yang signifikan konstanta terhadap sindrom kerapuhan.

Plot data indeks massa tubuh dan sindrom kerapuhan bisa di lihat pada

Gambar 5.1. Secara grafis, trendline data indeks massa tubuh dan sindrom

kerapuhan berbentuk kurva „U‟ . Artinya semakin rendah indeks massa tubuh

maka sindrom kerapuhan seseorang akan semakin tinggi, semakin tinggi indeks

massa tubuh maka sindrom kerapuhan seseorang juga akan semakin tinggi.

Page 48: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

9

5.3.4 Model Empirik Regresi Kuadratik

Persamaan regresi kuadratik dari hasil estimasi analisis regresi kuadratik

adalah sebagai berikut :

FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

Persamaan ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

1. Konstanta sebesar 0.244 mengindikasikan bahwa apabila indeks massa

tubuh bernilai konstan (tidak berubah) maka besarnya sindrom kerapuhan

adalah 0.244%.

2. Koefisien regresi indeks massa tubuh sebesar -0.008 mengindikasikan

bahwa indeks massa tubuh berpengaruh negatif dan tidak signifikan

terhadap sindrom kerapuhan. Hal ini berarti terjadinya peningkatan indeks

massa tubuh sebesar 1 kg/m2, maka akan menurunkan sindrom kerapuhan

sebesar 0.008%. Dengan kata lain, semakin tinggi indeks massa tubuh maka

sindrom kerapuhan akan semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah

indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan akan semakin tinggi.

3. Koefisien regresi indeks massa tubuh dengan efek kuadratik sebesar 0.0002

mengindikasikan bahwa indeks massa tubuh dengan efek kuadratik

berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap sindrom kerapuhan. Hal

ini berarti terjadinya peningkatan indeks massa tubuh dengan efek kuadratik

sebesar 1 kg/m2, maka akan meningkatkan sindrom kerapuhan sebesar

0.0002%. Dengan kata lain, semakin tinggi indeks massa tubuh maka

sindrom kerapuhan akan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah

indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan akan semakin rendah.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

indeks massa tubuh tertentu yang akan menghasilkan sindrom kerapuhan paling

Page 49: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

10

rendah (optimal) dan semakin rendah maupun semakin tinggi indeks massa

tubuh maka akan menghasilkan sindrom kerapuhan paling tinggi. Dengan

demikian, untuk memprediksi indeks massa tubuh yang menghasilkan sindrom

kerapuhan paling rendah (optimal) maka dapat diketahui melalui prediksi sebagai

berikut.

Tabel 5.11 Perhitungan Model Empirik Regresi Kuadratik

IMT Perhitungan Model Prediksi Sindrom Kerapuhan

1 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (1) + 0.0002 (1)2

0.236%

2 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (2) + 0.0002 (2)2

0.229%

3 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (3) + 0.0002 (3)2 0.222%

4 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (4) + 0.0002 (4)2

0.215%

5 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (5) + 0.0002 (5)2 0.209%

6 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (6) + 0.0002 (6)2

0.203%

7 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (7) + 0.0002 (7)2

0.198%

8 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (8) + 0.0002 (8)2 0.193%

9 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (9) + 0.0002 (9)2

0.188%

10 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (10) + 0.0002 (10)2 0.184%

11 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (11) + 0.0002 (11)2

0.180%

12 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (12) + 0.0002 (12)2

0.177%

13 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (13) + 0.0002 (13)2 0.174%

14 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (14) + 0.0002 (14)2

0.171%

15 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (15) + 0.0002 (15)2 0.169%

16 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (16) + 0.0002 (16)2

0.167%

17 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (17) + 0.0002 (17)2

0.166%

18 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (18) + 0.0002 (18)2

0.165%

19 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 0.164%

Page 50: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

11

FI = 0.244 - 0.009 (19) + 0.0002 (19)2

20 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (20) + 0.0002 (20)2

0.164%

21 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (21) + 0.0002 (21)2

0.164%

22 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (22) + 0.0002 (22)2 0.165%

23 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (23) + 0.0002 (23)2

0.166%

24 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (24) + 0.0002 (24)2 0.167%

25 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (25) + 0.0002 (25)2

0.169%

26 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (26) + 0.0002 (26)2

0.171%

27 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (27) + 0.0002 (27)2 0.174%

28 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (28) + 0.0002 (28)2

0.177%

29 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (29) + 0.0002 (29)2 0.180%

30 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (30) + 0.0002 (30)2

0.184%

31 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (31) + 0.0002 (31)2

0.188%

32 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (32) + 0.0002 (32)2 0.193%

33 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (33) + 0.0002 (33)2

0.198%

34 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (34) + 0.0002 (34)2 0.203%

35 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (35) + 0.0002 (35)2

0.209%

36 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (36) + 0.0002 (36)2

0.215%

37 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (37) + 0.0002 (37)2 0.222%

38 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (38) + 0.0002 (38)2

0.229%

39 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2

FI = 0.244 - 0.009 (39) + 0.0002 (39)2 0.236%

40 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (40) + 0.0002 (40)2

0.244%

Sumber: Hasil Penelitian, 2018

Berdasarkan perhitungan prediksi dalam tabel di atas diketahui bahwa

indeks massa tubuh sebesar 19 kg/m2, 20 kg/m2 dan 21 kg/m2 menghasilkan

indeks kerapuhan paling rendah sebesar 0.154%. Hal ini berarti indeks massa

Page 51: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

12

tubuh yang paling optimal menghasilkan indeks kerapuhan paling rendah adalah

19 kg/m2 (normal), 20 kg/m2 (normal), dan 21 kg/m2 (normal).

Page 52: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

25

Page 53: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

37

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan hasil penelitian

Dalam penelitian ini diukur indeks massa tubuh lansia di kota Malang

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.5. Selain itu sindrom kerapuhan diukur

dengan indeks kerapuhan 40 item dan hasilnya dijabarkan pada Tabel 5.3.

Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji regresi kuadratik untuk melihat

hubungan antara indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan.

Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhanan. Hubungan yang tidak

signifikan tersebut kemungkinan disebabkan adanya intervensi variabel lain

terhadap sindrom kerapuhan yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Secara grafis

trendline data indeks massa tubuh dan sindrom kerapuhan berbentuk kurva U

(Gambar 2). Semakin rendah indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan

seseorang juga akan semakin tinggi, dan semakin tinggi indeks massa tubuh

maka sindrom kerapuhan seseorang juga akan semakin tinggi.

Blaum et al. (2005) mengemukakan, indeks massa tubuh yang tinggi dan

obesitas terkait dengan beberapa indikator sindrom kerapuhan. Sementara itu,

obesitas sangat terkait dengan sindrom kerapuhan klinis. Berbeda dengan

penelitian ini yang menggunakan indeks kerapuhan, Blaum et al. (2005)

menggunakan kriteria Cardiovascular Health Study (CHS) untuk mengukur

sindrom kerapuhan yaitu kehilangan berat badan, kelelahan, kelambanan,

aktivitas rendah, dan kelemahan. Lansia yang underweight tidak disertakan

Page 54: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

karena dianggap sebagai faktor perancu berkaitan dengan kriteria CHS yang

digunakan (kehilangan berat badan).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Villareal et al. (2004), obesitas juga

merupakan penyebab disfungsi fisik pada lansia, hampir semua subjek memiliki

ciri-ciri objektif dan subjektif dari sindrom kerapuhan. Kerapuhan pada obesitas

disebabkan oleh rendahnya massa otot relatif dan kualitas otot. Strandberg et al.

(2013) mengemukakan risiko kerapuhan terbesar dimiliki oleh mereka yang

mengalami kehilangan berat badan, sedangkan individu yang secara konsisten

overweight juga memiliki risiko kerapuhan yang lebih besar dibandingkan indeks

massa tubuh normal.

Gambaran kurva berbentuk U antara indeks massa tubuh dan sindrom

kerapuhan dapat dijelaskan sebagai berikut. Lansia yang underweight sangat

rentan dengan kapasitas cadangan yang minimal, peningkatan risiko malnutrisi

dan kematian. Lansia underweight juga mengalami peningkatan risiko penurunan

keseimbangan kecepatan berjalan, osteoporosis, dan peningkatan risiko jatuh,

dan fraktur (Bowen, 2012).

Obesitas dan overweight juga diketahui mempercepat mordibitas dan

disabilitas. Berdasarkan literatur, obesitas merupakan faktor risiko timbulnya

kerapuhan melalui berbagai penanda fisiologis yang terkait dengan kerapuhan,

terutama penanda inflamasi. Terdapat hubungan antara CRP yang tinggi,

karotenoid yang rendah, dengan indeks massa tubuh yang tinggi. Selain itu,

terdapat pula kemungkinan terjadinya obesitas sarkopenik pada lansia dengan

obesitas, terjadi ketidakseimbangan antara lemak dan otot. Sindrom ini terkait

dengan berkurangnya kekuatan dan meningkatnya disabilitas (Blaum, et al.,

2005; Roschelle, 2011).

Page 55: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

3

Hasil yang tidak bermakna dapat disebabkan keterbatasan indeks massa

tubuh untuk mengukur massa lemak tubuh. Pengukuran dengan indeks massa

tubuh memiliki keterbatasan karena tidak dapat membedakan massa lemak

tubuh dan massa tubuh tanpa lemak. Seseorang dapat memiliki indeks massa

tubuh yang besar, tetapi memiliki massa lemak yang sedikit dan sebaliknya

(Nuttall, 2015).

Dari sudut pandang metabolik dan anatomi, istilah obesitas merujuk pada

akumulasi lemak (triasilgliserol). Dalam hal ini terdapat keterbatasan IMT untuk

mengukur massa lemak tubuh. Berbagai faktor dapat mempengaruhi, misalnya

jenis kelamin, usia, etnis, dan panjang kaki. Dalam studi populasi, perempuan

umumnya memiliki indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan laki-laki,

meskipun massa lemak relatif terhadap massa tubuh lebih besar (20% hingga

45%), sehingga perempuan bisa saja memiliki indeks massa tubuh yang rendah,

padahal memiliki massa lemak yang besar (Nuttall, 2015).

Selain itu, hasil yang tidak bermakna dapat disebabkan karena rasio

perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang, jumlah subjek perempuan lebih

besar. Hal ini dapat berpengaruh terhadap pengukuran indeks massa tubuh

karena pada populasi perempuan cenderung memiliki indeks massa tubuh yang

lebih rendah dibandingkan laki-laki meskipun massa lemak relatif terhadap

massa tubuh lebih besar dibandingkan laki-laki (Nuttall, 2015).

6.2 Implikasi terhadap bidang kedokteran

Meskipun dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara indeks

kerapuhan dan sindrom kerapuhan yang diukur dengan indeks kerapuhan,

literatur menyebutkan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko dari sindrom

kerapuhan. Masyarakat diharapkan menjaga indeks massa tubuh dalam rentang

Page 56: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

4

normal. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga

indeks massa tubuh, perlu dilakukan penyuluhan, penyebaran poster, dan

advokasi melalui Dinas Kesehatan.

6.3 Keterbatasan penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Jumlah sampel

yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 211 orang, tidak mencapai target

perhitungan sampel sebelumnya, yaitu 279 orang karena beberapa kendala,

antara lain ketidaklengkapan data dan subjek yang menolak dilakukan

pengukuran berat badan dan tinggi badan. Selain itu, pada penelitan ini

didapatkan rasio laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang, jumlah lansia

perempuan lebih besar.

Page 57: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

5

Page 58: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

1

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan sindrom

kerapuhan.

2. Secara grafis, plot data indeks massa tubuh dan indeks kerapuhan berbentuk

kurva U. Peningkatan indeks massa tubuh akan diikuti dengan peningkatan

indeks kerapuhan, penurunan indeks massa tubuh juga akan diikuti

peningkatan indeks kerapuhan.

7.2 Saran

Bagi masyarakat, menjaga indeks massa tubuh dalam rentang normal

diduga dapat memperkecil risiko timbulnya kerapuhan. Untuk meningkatkan

kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga indeks massa tubuh, perlu

dilakukan penyuluhan, penyebaran poster, dan advokasi melalui Dinas

Kesehatan.

Page 59: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

Page 60: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

1

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad S et al. Established BMI-associated genetic variants and their prospective associations with BMI and other cardiometabolic traits: The GLACIER Study. International Journal of Obesity accepted article preview 28 April 2016.

Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Thapary DL. 2015. Penatalaksanaan di

Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Interna Publishing.

Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2015. Proyeksi Penduduk Masing-Masing

Kecamatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2011-2020. https://malangkota.bps.go.id/

Bernstein M, Luggen A. 2010. Nutrition for Older Adults. Jones & Barlett

Learning. Blaum CS, Xue QL, Michelon, Semba R, Fried L. The Association Between

Obesity and the Frailty Syndrome in Older Women: The Women’s Health and Aging Studies. JAG, 2005, 53:927-934.

Bowen ME. The relationship between body weight, frailty, and the disablement

process. Journals of Gerontology Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 67 (5), 618–626.

Buckinx F, Rolland Y, Reginster J, Ricour C, Petermans J, Bruyere O. Burden of

Frailty in The Elderly Population: Perspectives for A Public Health Challenge. Arch Public Health, 2015, 73(1): 19.

Byard RW, Bellis M. Incidence of Low Body Mass Index in the Elderly in

Forensic Cases—A Possible Markerfor Frailty Syndrome?. J Forensic Sci, 2016, 61 (3): 676-678.

Gosney M, Harper A, Conroy S. 2012. Oxford Desk Reference Geriatric

Medicine. Oxford University Press, United Kingdom, p. 14-15. Holroyd-Leduc J, Reddy M. 2012. Evidence Based Geriatric Medicine, Blackwell

Publishing, United Kingdom. Hutagalung RB dan Aisha N. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Konsumen terhadap Keputusan Menggunakan Dua Ponsel (GSM dan CDMA) pada Mahasiswa Departemen Managemen Fakultas Ekonomi Usu. Jurnal Manajemen Bisnis. 2008; vol. 1, no. 3, pp. 97-102.

Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2015. Harrison’s Principal of

Internal Medicine, 19th Ed., Mc.Graw-Hill Education, USA, p.77.

Page 61: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

2

Kim CO, Lee KR. Preventive Effect of Protein-Energy Supplementation on The Functional Decline of Frail Older Adults with Low Socioeconomic Status: A Community-Based Randomized Controlled Study. J Gerontol A Biol Sci Med Sci, 2013, 68(3):309-16.

Kim H. 2012. Behavioral Treatment for Geriatric Syndrome in Atwood CS,

Geriatrics. In Tech, Croatia, p. 85-101. Laksmi PW. 2015. Evaluasi Sindrom Frailty pada Pasien Usia Lanjut dalam

Soeroto AY, Supriyadi R, Wijaya IP, Hamijoyo L (Eds), Prosiding Naskah Lengkap Simposium Kopapdi, Bandung, hal.313-323.

Little M, Humphries S, Patel K, Dewey C. Factors associated with

BMI, underweight, overweight, and obesity among adults in a population of rural south India: a crosssectional study. BMC Obesity, 2016, 3:12

Llido LO, Mirasol R. Comparison of Body Mass Index based nutritional status

using WHO criteria versus ―Asian‖ criteria: report from the Philippines. PhilSPEN Online Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, 2011; Issue January 2010 - January 2012: 1-8.

Mezuk B, Lohman MC, Rock AK, Payne ME. Trajectories of Body Mass Indices

and Development of Frailty: Evidence from the Health and Retirement Study Obesity, 2016, 24, 1643–47.

Michelon et al. Vitamin and Carotenoid Status in Older Women: Associations

With the Frailty Syndrome. The Journals of Gerontology: Series A, 2006;

(61)6: 600-607.

Nuttall FQ. Body Mass Index. Nutrition Today, 2015, 50(3): 117-28.

Preedy VR. 2014. Aging: Oxidative Stress and Dietary Antioxidants. Academic

Press.

Puzianowska-Kuźnicka et al. Interleukin-6 and C-reactive protein, successful

aging, and mortality: the PolSenior study. Immunity & Ageing, 2016, 13:21. Roschelle, Heuberger. The Frailty Syndrome: A Comprehensive Review, Journal

of Nutrition in Gerontology and Geriatrics. 2011, 30:4, 315-316. Setiati S dan Rizka A. 2014. Kerapuhan dan Sindrom Gagal Pulih dalam Setiati

S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (Eds) ,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Interna Publishing, hal. 3725-3742.

Sheehan KJ, O’Connell MD, Cunningham C, Crosby L, Kenny RA. The

Relationship Between Increased Body Mass Index And Frailty on Falls in Community Dwelling Older Adults. BMC Geriatrics, 2013, 13:132.

Page 62: HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN SINDROM …

3

Strandberg TE, Pitkala KH, Tilvis RS. Frailty in Older People. European Geriatric Medicine, 2011; 2:344-55.

Suresh KP, Chandrashekara. Sample size estimation and power analysis for

clinical research studies. J Hum Reprod Sci, 2015, 8(3):186.

Uzogara. Underweight, the Less Discussed Type of Unhealthy Weight and Its

Implications: A Review. American Journal of Food Science and Nutrition

Research, 2016; 3(5): 126-142.

Vellisarias et al. C-Reactive Protein and Frailty in the Elderly: A Literature

Review. J Clin Med Res, 2017 Jun; 9(6): 461–465.

Villareal D, Banks M, Siener C, Sinacore DR, Klein S. Physical Frailty and Body

Composition in Obese Elderly Men and Women. Obesity Research, 2004, 12(6): 913-920.

Vries NM, Staal JB, Ravensberg CD, Hobbelen JSM, Rikkert MGMO, Sanden

MWGN. Outcome Instruments to Measure Frailty : A Systemic Review. Ageing Research Reviews 10, 2011; 104–114.