halaqah tadabbur al quran 6 (al baqarah 30 - 37). dr saiful bahri

13
40 Halaqah Tadabbur Qur`an 6 (QS Al-Baqarah 30-37) Dr. Saiful Bahri, MA ﻟﺮﺣ ﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﺴﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﺎ ﺳﻠﻢ ﺻﻠﻲﻟﻠ . ﻟﺒ ﻋﻠﻤ ﻻﻧﺴﺎ ﺧﻠﻖ ﻟﻘﺮ ﻋﻠﻢﻟﺬ ? ﻟﺤﻤﺪ ? ﻟﺤﻤﺪ . ﺑﻌﺪﻣﺎ ﺟﻤﻌ ﺻﺤﺎﺑ ﻋﻠﻲ ﺳﻠﻢ ﻋﻠ ﺻﻞ ﻣﺤﻤﺪﺪﻧﺎ ﻻﻧﺎ Hadirin Majelis Tadabbur Al Qur`an, pada kesempatan kali ini kita bersyukur pada Allah, dengan segala suasana kebaikan kita dikumpulkan setelah menunaikan shalat subuh berjamaah. Mudah-mudahan Allah jadikan kita senantiasa min ahlil khair, dan diberikan keistiqamahan hingga kita kembali menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Pada pertemuan kali ini insya Allah kita akan melanjutkan tadabbur surah Al Baqarah ayat 30 sampai ayat 37. Sebagai tema yang sangat berkaitan dengan kita karena penciptaan Nabi Adam ‘alaihissalam. Juga nanti kita membicarakan hakikat apa yang ditanyakan malaikat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini merupakan pertemuan terakhir sebelum bulan Ramadhan. Insya Allah nanti di bulan Ramadhan kita akan mengadakan satu atau dua kali pertemuan, dengan harapan mudah-mudahan Allah tetap memberikan kestabilan dalam interaksi kita dengan Al Qur`an, baik membaca, menadabburi dan wabilkhusus mengamalkannya, setelah itu mengajarkannya. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pemberitahuan. Qala lil malaikah di sini bukan meminta pendapat, tapi memberikan sebuah bayan, pemberitahuan. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Malaikat, Aku akan menjadikan di bumi-Ku khalifah.” Ini yang nanti setelahnya diikuti jawaban dari malaikat atas pemberitahuan itu. Mereka menjawab, “Ya Allah, apakah Engkau jadikan di dalamnya orang-orang yang berbuat

Upload: halaqahtafsir

Post on 23-Jul-2016

258 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Transcribed by Adhe Purwanto

TRANSCRIPT

Page 1: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  40  

Halaqah Tadabbur Qur`an 6 (QS Al-Baqarah 30-37) Dr. Saiful Bahri, MA

. االحمد ?٬، االحمد ? االذيي علم االقراانن ٬، خلق ااالنسانن ٬، علمهھ االبيیانن . االلهھم صلي وو سلم وو بارركك على بسم هللا االرحمن االرحيیم سيید ااالنامم ٬، سيیدنا محمد صل هللا عليیهھ وو سلم وو علي االهھ وو ااصحابهھ ااجمعيین ٬، ااما بعد Hadirin Majelis Tadabbur Al Qur`an, pada kesempatan kali ini kita bersyukur pada Allah, dengan segala suasana kebaikan kita dikumpulkan setelah menunaikan shalat subuh berjamaah. Mudah-mudahan Allah jadikan kita senantiasa min ahlil khair, dan diberikan keistiqamahan hingga kita kembali menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Pada pertemuan kali ini insya Allah kita akan melanjutkan tadabbur surah Al Baqarah ayat 30 sampai ayat 37. Sebagai tema yang sangat berkaitan dengan kita karena penciptaan Nabi Adam ‘alaihissalam. Juga nanti kita membicarakan hakikat apa yang ditanyakan malaikat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini merupakan pertemuan terakhir sebelum bulan Ramadhan. Insya Allah nanti di bulan Ramadhan kita akan mengadakan satu atau dua kali pertemuan, dengan harapan mudah-mudahan Allah tetap memberikan kestabilan dalam interaksi kita dengan Al Qur`an, baik membaca, menadabburi dan wabilkhusus mengamalkannya, setelah itu mengajarkannya.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pemberitahuan. Qala lil malaikah di sini bukan meminta pendapat, tapi memberikan sebuah bayan, pemberitahuan. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Malaikat, Aku akan menjadikan di bumi-Ku khalifah.” Ini yang nanti setelahnya diikuti jawaban dari malaikat atas pemberitahuan itu. Mereka menjawab, “Ya Allah, apakah Engkau jadikan di dalamnya orang-orang yang berbuat

Page 2: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  41  

kerusakan dan mengalirkan darah, sementara kami adalah yang menasbihkan, mensucikan, memuji Engkau?” Ini ayat yang penuh dengan ‘isykariyat. Sebagian dari kita barangkali mengatakan bahwa malaikat di sini mempertanyakan mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia. Dalam bahasa Arab disebut istifham inkari. Padahal di sini bukan istifham inkari. Para mufassirin, hampir semuanya mengatakan ini bukan istifham inkari. Bukan protes. Apa maksud dari ataj’alu fiha? Ada sebagian mengatakan lil isti’lam, hanya untuk meminta konfirmasi lebih jelas, istiksyaf, membuka tabir, atau istirsyad, apa hikmah di balik penciptaan itu. Nanti di sini disebutkan (al faqir membaca beberapa buku bahasa), tabir di belakang pertanyaan ini membuat pertanyaan berikutnya nanti. Sebelum itu kita ingin tahu dulu, penyebab pertanyaan itu sebenarnya adalah ketika Allah mengungkapkan inni ja’ilun fil ardhi khalifah. Khalifah itu apa? Pendapat seseorang tentang apa itu khalifah akan menyebabkan penafsiran tentang pertanyaan malaikat tersebut. Sebelum membahas khalifah, kita membahas malaikat. Malaikat itu dikaji secara bahasa banyak, mungkin kita tidak konsentrasi ke sana. Intinya bahwa malaikat adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala, yang bukan manusia, bukan juga jin, dia adalah jenis makhluk lain yang diciptakan Allah dari cahaya. Malaikat ini sudah ada tentunya sebelum manusia dan sebelum jin menurut jumhur ulama. Ketika dikatakan inni ja’ilun fil ardhi khalifah, mereka mengetahui kata ‘khalifah’ itulah yang menyebabkan pertanyaan ini. Makanya, khalifah itu menurut Muhyiddin Darwis yang dikutip di dalam buku I’rabul Qur`an, adalah orang yang dipercaya menengahi sebuah kasus, pertikaian. Makna khalifah itu, di dalam istilah kita itu wakil. Wakil itu menurut sebagian maknanya untuk menyelesaikan kasus. Pemahaman malaikat terhadap kata-kata itulah, “Memang nanti di sana ada banyak orang bertengkar?” A taj’alu fiha man yufsidu fiha, apakah Engkau jadikan orang-orang yang seperti itu khalifah. Padahal memang sebagian nanti di antara manusia itu ada yang bertengkar. Ada yang menyukai pertumpahan darah, ada yang menyukai kerusakan. Tetapi di antara mereka ada yang dijadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai khalifah. Khalifah sendiri artinya adalah imaratul ardh, memakmurkan bumi Allah. Jadi kata-kata pemakmuran bumi itu, dalam bahasa Arab ada istilah isti’mar. Makanya dulu ketika penjajah itu menjajah negara-negara berkembang disebut dengan isti’mar, itu salah. Isti’mar itu adalah koloni ketika menjajah sebuah kampung, kampung itu menjadi lebih makmur. Makanya di dalam bahasa futuhat Islamiyyah, ketika mendakwahkan Islam tidak digunakan kata-kata itu. Meskipun itu hakikatnya isti’mar, imaratul ardhi. Istilah yang dipakai untuk penjajahan itu ihtilal, menduduki tempat. Pendudukan tempat itu tidak identik setelah dia duduki menjadi lebih baik. Rata-rata penjajahan itu mengakibatkan keburukan. Orang ingin

Page 3: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  42  

menyamakan apa yang dilakukan negara-negara modern sama dengan futuhat Islamiyyah dulu. Ketika Islam masuk ke Persia, ketika Islam masuk ke wilayah Romawi, membuka Konstantinopel, itu dianggap sama dengan yang dilakukan oleh Inggris, Perancis, menjajah negara-negara berkembang. Padahal itu tidak sama. Maka khalifah di sini intinya adalah keinginan Allah diterjemahkan oleh manusia di bumi untuk memelihara bumi dan isinya. Tetapi kita perlu tahu, kalau seandainya malaikat tidak tahu khalifah, dia pasti bertanya. Malaikat akan bertanya “apa itu khalifah?” Dan kita harus tahu, malaikat itu diformat bukan untuk bertanya, tapi untuk melakukan. Malaikat yang tugasnya mencabut nyawa, sampai hari kiamat tugasnya itu saja. Malaikat yang ditugaskan untuk bersujud, hanya untuk itu. Malaikat yang ditugaskan membagi rizqi, hanya untuk itu. Malaikat yang ditugaskan hanya meniup sangkakala, hanya itu tugasnya. Maka mustahil malaikat yang tidak diformat untuk menyimpan memori kemudian bertanya, bahkan di sini memprotes. Berarti pengetahuan itu sudah sampai kepada malaikat. Lalu muncullah pertanyaan itu, A taj’alu fiha man yufsidu fiha, apakah Engkau jadikan orang-orang yang berbuat kerusakan di dalamnya. Kalau bukan istifham inkari, bukan protes, apa ini artinya? Ada yang menafsirkan menarik. Al faqir lebih nyaman ketika membahas, “Apakah Engkau menjadikan di dalamnya man yufsidu fiha, orang yang merusak, wa man la yufsidu fiha, dan orang yang tidak merusak”. Jadi di situ disimpan. Dan tidak masalah di dalam bahasa ada penyimpanan seperti itu. Ada yang katakan, “Engkau jadikan orang yang baik dan buruk, sehingga masing-masing nanti terjadi pertikaian.” Itulah fungsi khalifah. Atau juga di situ disebut, “Yang Engkau jadikan khalifah itu siapa? Orang yang berbuat kerusakan itu, atau orang yang tidak berbuat kerusakan?” Bentuknya pertanyaan. Atau juga istiksyaf. “Apa hikmahnya Engkau jadikan di bumi-Mu khalifah? Tujuan adanya khalifah itu apa? Kalau tujuannya untuk beribadah, maka jawabannya adalah “nahnu”, kami sudah melakukannya. Dan ini pertanyaan bukan menyombongkan diri. Kalau misalkan saya seorang guru, kemudian kepala sekolah mendatangkan guru lain. “Apa tujuan Anda mendatangkan guru? Kalau untuk mengajarkan bahasa Arab insya Allah saya bisa. Itu jangan diartikan protes. Dia hanya bertanya, “Lho, saya kan sudah mengajar”. Kalau itu pertanyaannya untuk istiksyaf tidak ada masalah. “Jika yang Engkau inginkan dari khalifah itu untuk menyembah-Mu, kami sudah lakukan itu” Tapi apa kata Allah? Qala inni a’lam, sesungguhnya Aku Maha Tahu. Yang engkau sebutkan itu tidak ada apa-apanya dari yang Aku inginkan. Jadi kalau kita menafsirkan demikian, kita tidak terpancing dengan framing atau pembentukan opini bahwa malaikat dicitrakan

Page 4: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  43  

memprotes. Karena bisa juga kalau kita baca seperti itu. Tiba-tiba malaikat bertanya, “Kenapa Engkau ciptakan orang yang berbuat kerusakan?” Padahal kita tidak tahu apa arti dari shiyaghat Al Qur`an itu. Jadi kita lebih nyaman mengatakan ini adalah lil isti’lam, untuk meminta tahu. Atau lil istiksyaf, untuk membuka tabir. Di balik penciptaan manusia sebagai khalifah itu ada apa. Maka Allah mengatakan, qala inni a’lamu ma la ta’lamun, Aku (bukan lebih tahu), Maha Tahu, tahu segala-galanya terhadap yang akan Aku ciptakan.

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Lalu langkah yang pertama, dan di sini yang menarik, wa ‘allama Adama al asma`a kullaha. Di sini Allah mengajarkan nama-nama. Naturalnya, anak-anak kita yang baru lahir, hal yang pertama dipelajari itu nama-nama. Nama bapaknya, nama ibunya, nama benda di sekelilingnya, baru kata kerja, kata sifat, dan berikutnya. Rangkaian kata yang pertama pasti kata benda. Dan itu juga yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam, terlepas dari perbedaan pendapat tentang asma di sini, apakah nama-nama Allah, apakah nama-nama nabi yang nanti akan datang setelahnya, apakah nama malaikat. Itu semuanya kita tidak bisa memastikan, karena kalau kita jadikan satu sudut pandang tertentu maka akan menghilangkan pendapat yang lainnya. Jadi nama-nama, yang itu kelebihan manusia bisa merekamnya. Yang menarik, tsumma ‘aradhahum ‘alal malaikah. Kalau ibarat kata, malaikat itu diformat terbatas. Kemudian di situ diuji. Kata Allah, qala anbiuni bi asma`i ha`ula`i in kuntum shadiqin, sekarang kalian kasih tahu nama-nama itu. Jadi di sini ‘aradhahum. Hum itu menandakan bukan hanya benda mati, Bisa jadi kemudian diketengahkan di depan malaikat, ini apa? Ini bumi. Ini apa? Ini jin. Ini apa? Ini binatang fulan, ini binatang A, binatang B, binatang C. Ketika dites itu, Adam sanggup. Sementara malaikat tidak bisa. Perkataan in kuntum shadiqin, bagi sebagian orang menguatkan pendapat di awal tadi bahwa malaikat protes. Padahal, in kuntum shadiqin, jika kalian benar, bahwa yang kalian khawatirkan itu terjadi, penciptaan-Ku terbatas seperti yang kalian ketahui, maka kalian harusnya bisa menyebutkan itu. Karena penciptaan Allah bukan sekadar nusabbih atau nuqaddis. Kenapa?

Page 5: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  44  

Karena nanti, kalau kita menelisik ada sebuah hadits agak panjang, menceritakan tentang Dzil Khuwaisir. Dikabarkan di hadits ini, Dzil Khuwaisir memprotes Nabi, “Berlaku adillah engkau Muhammad!” Nabi Muhammad menjawab, “Kalau saya tidak berbuat adil, lalu siapa orang yang lebih adil dari saya?” Lalu dikabarkan, Umar marah dengan protesnya Dzil Khuwaisir ini. Mau dibunuh itu Dzil Khuwaisir. Nabi Muhammad menjawab, “Umar, nanti ada sebagian kaum di antara kalian yang ibadahnya jauh lebih baik dari kalian. Shalatnya lebih banyak, lebih khusyu’, shadaqahnya bisa jadi lebih banyak. Tetapi agama keluar dari mereka bagaikan anak panah keluar dari busurnya.” Jadi orang yang rajin ibadah saja, kalau tidak diimbangi dengan ilmu, itu akan mengakibatkan hal-hal yang fatal. Dan benar, sesuai prediksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dzil Khuwaisir ini dari Bani Tamim, dan dari Bani Tamim inilah nanti keluar golongan yang disebut Khawarij. Khawarij itu orang yang mengklaim dirinya paling benar karena rajin ibadah, dan akhirnya mereka merancang pembunuhan tiga sahabat besar, Ali, Mu’awiyah dan Amru bin Ash. Dari tiga usaha itu yang berhasil satu, yaitu terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Jadi nanti ada, orang-orang yang rajin ibadah tetapi dia tidak mau menuntut ilmu, akibatnya dia merasa benar karena tidak ada pandangan yang lainnya. Jadi kata-kata ibadah itu tidak hanya seperti yang dipahami oleh malaikat, tasbih, taqdis kepada Allah. Tetapi ibadah juga adalah imaratul ardh, memakmurkan bumi. Jadi kita, kalau dikatakan imaratul masjid itu kita membuat sarana umum yang bagus, itu termasuk ibadah niatannya, padahal kelihatannya tidak ada hubungan dengan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Jawaban malaikat apa? Dia kembali kepada format asalnya. Qalu subhanaka, Maha Suci Engkau Ya Rabb. Dia khawatir Allah murka dengan jawaban itu, padahal mereka tidak memprotes. Dan ini yang membuat kita menafikan. Itu bukan pertanyaan protes. La ‘ilma lana illa ma ‘allamtana. Itu format malaikat, dan harusnya manusia pun demikian. Bahwa ilmu yang diberikan Allah kepada kita itu terbatas. Makanya di sini, innaka antal ‘alimul hakim, sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Page 6: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  45  

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" Jadi sekarang, ‘jagoannya’ kalau diibaratkan dalam sebuah film. Tadi malaikat tidak bisa menyebutkan, sekarang giliran malaikat mendengarkan apa yang akan disebutkan oleh Adam. Qala ya Adama anbi`hum. Hum di situ menandakan bukan hanya benda mati. Dan ketika terbukti, manusia yang diwakili oleh Adam, calon pertama yang akan diturunkan Allah sebagai khalifah. Fa lamma anba`ahum bi asma`ihim qala a lam aqullakum inni a’lamu ghaibas samawati wal ardh, wa a’lamu ma tubduna wa ma kuntum taktumun. Allah menegaskan kembali bahwa “Aku Maha Tahu”. Ini penegasan yang kedua beda dengan yang pertama. Yang pertama untuk memberitahu, yang kedua untuk penekanan. Kata-kata a’lamu ghaibas samawati wal ardh, mengetahui hal-hal yang gaib di langit dan di bumi. Yang sudah terjadi, yang akan terjadi, yang sedang terjadi. Kalau manusia kan terbatas, yang sebelum dan sesudah itu gaib bagi dia. Yang sedang, gaib juga, sama saja. Maka keterbatasan pengetahuan kita itu juga bagian dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Seandainya manusia tahu seperti yang, tidak usah terlalu banyak, ditambah sedikit saja, mengetahui yang sekarang ada, itu bukan nikmat. Sekarang kita tahu hanya di sini, yang terjadi di tempat kita shalat tadi kita sudah tidak tahu, sudah menjadi bagian dari yang gaib. Tetapi Allah tahu, sekarang ini yang terjadi di detik ini di manapun saja terjadi. Yang belum terjadi dan sudah terjadi pun diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Page 7: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  46  

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Makanya sebagai konsekuensi setelah Adam diciptakan, diuji kelayakannya sebagai khalifah, apa kata Allah? Wa idz qulna lil malaikatisjudu li Adam. Konflik mulai di sini. Ketika Allah katakan usjudu li Adam, bersujudlah kalian kepada Adam, tidak ada masalah bagi malaikat sebagai makhluk yang tadi bertanya lil isti’lam. Fa sajadu, tanpa memikirkan, karena memang formatnya diperintah, oke, diperintah, oke. Tetapi menariknya di sini, illa iblis, ada pengecualian. Ternyata tidak semuanya bersujud kepada Adam. Di situ juga ada permasalahan. Semuanya bersujud kecuali iblis. Pertanyaannya, iblis itu bagian dari malaikat atau bukan? Jumhur ulama mengatakan iblis bukan malaikat. Karena di ayat lain, illa iblisa kana minal jinn. Iblis itu menurut pendapat rajih jumhur ulama, termasuk bagian dari jin. Jadi dia makhluk lain, bukan malaikat. Jin itu diciptakan dari api. Bukan berarti penciptaan dia dari api itu sama dengan penciptaan dari cahaya yang tadi kita katakan adalah bahan dasar malaikat. Ketika malaikat bersujud semuanya tanpa istijabah dari iblis, di situ permulaan adanya dosa besar. Dan dosa besar yang dilakukan iblis itu bukan sembarangan. Iblis itu dia mengakui Allah sebagai Tuhannya. Tetapi permasalahannya adalah, iblis tidak taat. Jadi nanti kita jangan sampai mengatakan bahwa kita lebih baik dari iblis karena lebih santun. Padahal iblis kalau dilihat dari bahasa pertamanya dia santun. Iblis masih punya etika. Dia menyembah Allah tapi tidak mau mengakui keunggulan makhluk lain. Kesombongan dalam hati itu adalah titik yang akan membesar dan menyebabkan seseorang nantinya mengaku jadi tuhan. Karena kesombongan itulah Fir’aun mengaku tuhan. Karena kesombongan itulah Namrudz mengaku tuhan. Dan manusia yang sombong itu adalah musuh Allah subhanahu wa ta’ala. Maka di sini ketika fa sajadu illa iblisa, itu mulai terlihat bahwa nanti akan ada, manusia pun akan ada (yang seperti itu). Tadi kata khalifah yang dipahami malaikat kan ada yang baik dan ada yang buruk. “Yang Engkau jadikan khalifah yang mana? Yang baik atau yang buruk?” nanti pun ketika manusia diciptakan Allah di bumi, akan demikian, ada yang baik, ada yang buruk. Yang jadi khalifah tentunya yang memenuhi syarat, jadi tidak semuanya. Aba wastakbar. Aba itu dia mengingkari. Kalau disuruh menghadap kanan, dia ke kiri. Itu aba. Wastakbar. Menghadapnya ke kiri bukan karena tidak tahu. Dia sudah tahu harusnya menghadap ke kanan. Jadi ibaratnya begini, “saya kasih tunjuk kamu, rumah yang kamu tuju itu nomornya 20”. Dia ternyata tidak mau masuk nomor 20. Masuknya nomor 19 atau 21. Kalau dia masuk nomor 19 atau 21 karena mirip, itu bukan aba.

Page 8: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  47  

Jadi dia memang tidak mau, ditambah wastakbar. “Tidak layak ini saya sujud”. Jadi ada dua di situ. Aba wastakbar. “Saya tidak mau sujud Yaa Rabb”. Ditanya, “Tidak mau sujud kenapa?” Karena harusnya dia tahu bahwa Adam adalah simbol di situ, penciptaan Allah, dan ketaatan kepada-Nya itu dengan sujud. Ketika tidak mau, itu disebut aba. Wastakbar, karena dikatakan di ayat lain, ana khairun minhu, khalaqtani min nar wa khalaqtahu min thin. “Bagaimana saya mau sujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari tanah? Saya lebih baik, Engkau ciptakan dari api”. Itu disebut dengan istikbar, merasa lebih baik dari orang lain. Makanya kesombongan itu bisa bermula ketika kita mengatakan ‘saya lebih baik dari orang lain’ meskipun di dalam hati. Kalau diucapkan, itu sudah permusuhan. Ketika kita melihat banyak orang shalat, “ah shalat saya lebih baik”. Orang baca Al Qur`an, “bacaan Qur`an saya lebih baik”. Orang bersedekah, “sedekah saya lebih berkualitas. Jadi semua yang dilakukan orang, kalau kita komentari meskipun di dalam hati, sudah disebut dengan istikbar, perasaan lebih baik dari orang lain. Itu penyakit turunan dari iblis. Menariknya, Allah mengatakan wa kana minal kafirin. Tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala itu disebut dengan kafir. Dan kafir di sini bukan sekadar kafir. Kekafiran yang paling besar itu menyebabkan kita dikelompokkan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah. Itu yang harus kita fahami. Sering mengatakan “ah nggak apa-apa kufur nikmat”. Jika terakumulasi bisa menyebabkan kita termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi kita jangan meremehkan. Apa sih yang menyebabkan iblis itu langsung tervonis? Bahwa iblis itu nanti tervonis sebagai makhluk Allah yang akan dimasukkan ke neraka pertama kali. Itu karena dosa kesombongan. Setelah Allah muliakan Adam secara personal, dia lebih baik di situ dari jin yang tentu karena memusuhinya, dan dari malaikat, makhluk Allah yang taat. Karena apanya? Karena ilmunya. Dan ilmu siapa yang memberi? Allah subhanahu wa ta’ala yang menghendaki nantinya ada khalifah di bumi-Nya.

Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Allah muliakan Adam. “Adam, kamu tinggal di surga bersama istrimu. Nah di sini ada masalah lagi. Surga yang dijadikan tempat tinggal Nabi Adam itu apakah surga yang di langit

Page 9: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  48  

atau di bumi? Jumhur ulama mengatakan, ini di langit. Tapi tidak sedikit yang mengatakan, ini di bumi. Kenapa? Surga yang dijadikan tempat tinggal Adam itu tentunya bukan surga yang akan diberikan kepada orang-orang nanti. Karena di sana nanti orang-orang akan diberikan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala, itu kenikmatannya belum pernah terbayangkan, terlihat, atau terdengar. Sementara Adam sudah diberikan fasilitas itu. Istilahnya kan, ibarat rumah ini sudah rumah bekas. Betul kan? Nah makanya lalu ada isykaliyat. Itu disebut al jannah al azali. Artinya, yang memasuki ke sana ruhnya saja, ada yang mengatakan demikian. Ada yang memprotesnya, bahwa surga Adam itu hanya sekadar sebuah tempat yang nantinya disediakan oleh Allah untuk orang-orang shalih ketika dia meninggal. Ketika orang shalih meninggal, disebut mendapatkan nikmat kubur. Nikmat kubur itu hakikatnya di mana? Itu disebut dengan surga. Kan tidak mungkin nikmat kubur ada di dalam tanah, itu kan fisiknya. Ruhnya ke mana? Ruhnya ke surga. Para syuhada, ketika meninggal dia langsung disambut oleh burung-burung yang beterbangan, bau yang wangi, mengantarkan ruhnya masuk ke dalam surga. Surga yang mana? Belum, surga itu belum dibuka. Ada pertanyaan berikutnya. Ketika datang bulan Ramadhan, dibuka pintu surga, itu surga yang mana yang dibuka? Jadi istilah ini sengaja dibuat demikian, karena Allah hanya memberikan permisalan. Matsalul jannah. Supaya kita memvisualisasikan diri, nikmat yang diberikan Allah kepada kita itu apa. Itu yang membuat manusia termotivasi berbuat baik. Hakikatnya kita serahkan kepada Allah, apakah surga yang diberikan untuk Nabi Adam itu sama dengan surga yang nanti ditempati manusia? Kalau al faqir lebih mencondongkan beda. Bahkan Nabi Adam pun nanti ketika masuk, “Ini bukan yang dulu nih”. Mana dalilnya? Yang kita tadabburi pekan lalu (QS Al Baqarah ayat 25). Kullama ruziqu minha min tsamaratin rizqan qalu hadzalladzi ruziqna min qabl. “Tadi pagi kan kita baru minum teh, ketika di mulut oh bukan, bukan teh yang tadi pagi ini, lebih nikmat.” Dan itu adalah filosofi kita ketika melakukan sesuatu jangan jadikan rutinitas yang sama. Shalat kita tadi subuh, “Ini bukan shalat seperti halnya shalat kemarin”. Ramadhan kita tahun ini bukan Ramadhan yang kemarin. Itu yang diajarkan penduduk surga dan juga Allah kepada kita. Ketika jannah sudah disediakan untuk Adam, wa kula minha raghadan, diperintah makan apa saja, haitsu syi`tuma wa la taqraba hadzihisy syajarah. Ada masalah lagi. Ini sudah bergelombang masalahnya. Semuanya silakan Anda nikmati kecuali satu ada pohon di situ. Pohon ini jangan didekati. Fa takuna minazh zhalimin. Karena kalau kamu dekati itu, kami termasuk berbuat zhalim, menjadi orang zhalim. Ada tamu di rumah saya, “Oh silakan Bapak, ini ruang tamu, ini tempat buku, maktabah, perpustakaan, ini dapur”. Ditunjukkan semua. “silakan Anda boleh jalan-jalan, nanti saya tinggal pergi dengan keluarga saya, tapi jangan dekati itu satu kamar yang ada di belakang”.

Page 10: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  49  

Tapi namanya manusia, sifat penasaran itu bukan yang tadi ditunjukkan (dibolehkan), tapi “itu kenapa tidak boleh?”. Saya tahu, itu sifat penasaran manusia. Dan bisa jadi itu sengaja Allah ciptakan untuk menguji kesabaran manusia. Jadi sebenarnya kita menguji orang pun juga demikian. Menguji loyalitas seseorang, ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan itu juga Allah lebih tahu bahwa Adam nantinya tidak akan berhasil, ditambah dengan bisikan syaitan. Di antara yang menyebabkan Adam tidak sanggup menahan keingintahuan itu adalah:

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." Syaitan menggelincirkan, fa akhrajahuma mimma kana fihi. Mimma kana fihi itu lebih umum, bukan hanya surga. Adam dimuliakan, mendapatkan nikmat, hidupnya tenang, pada saat sendiri juga luar biasa tenangnya. Tetapi ingat, ketika ada orang merasa lebih baik kemudian tidak mendapatkan posisi, di situ ada penyakit yang kedua. Kalau tadi kan ada penyakit sombong, penyakit merasa lebih baik, penyakit melawan. Kalau dia tidak mendapatkan posisi akan melahirkan penyakit yang kedua, apa itu? Al hasad. Hasad itu jahat sekali. Dikatakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu seperti halnya api yang memakan kayu. Hasad itu yang paling ringan, dia tidak rela nikmat itu jatuh ke tangan saudaranya. Nanti yang paling dahsyat, “bagusnya ke saya”. Tapi kalau tidak sanggup, “yang penting dia tidak menikmati kenikmatan itu”. Nah ini dia lakukan segala cara. Hasad itu dahsyatnya di situ. Maka di sini fa azallahuma bahasanya, digelincirkan, “yang penting ente Adam tidak tinggal di surga, ente tidak diberikan nikmat seperti itu, karena saya sudah diusir Allah”. Nah ini kembali saya ingin menekankan, fa azallahumasy syaithan itu di dalam surah Al A’raf, terjadi dialog yang cukup panjang Nabi Adam dengan syaitan. Ini kembali kepada persepsi yang tempo hari kita bicarakan. Kita mempersepsikan syaitan selalu seram, selalu buruk secara fisik. Kalau kita persepsikan syaitan seperti itu, tidak mungkin Nabi Adam tergelincir. Kenapa? Belum didekati sudah takut. Syaitan kalau misalnya dia menyeramkan, digambarkan ada tanduknya merah menyala, itu tidak mungkin

Page 11: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  50  

Nabi Adam mau mendengarkan itu. Karena ketika wa qasamahuma inni lakuma laminan nashihin, “saya termasuk orang-orang yang memberikan nasihat kepadamu Adam”. Tidak mungkin Adam mendengarkan kalau secara tampilan fisiknya syaitan itu menyeramkan. Betul di dalam Al Qur`an ada beberapa ayat mengatakan syaitan itu seram. Tetapi pada saat menggoda manusia tidak mungkin syaitan itu tampil dalam bentuk yang sangat menyeramkan. Itu harus perform di dalam otak kita, bahwa syaitan yang mengganggu manusia tidak mungkin bentuknya menyeramkan. Karena itulah Allah mengatakan, selalu kalau ada kata syaitan, itu ‘aduwwun mubin, musuh yang nyata, kelihatan. Padahal tidak pernah kita bertemu/melihat syaitan, tapi kita bertemu setiap hari. Itu berarti nyata. Di dalam surah Al A`raf lagi Allah akan mengatakan, innahu yarakum huwa wa qabiluhu min haitsu la taraunahu. Mereka itu melihat kita, dia, pasukannya, melihat kita sementara kita tidak melihat mereka. Makanya kita disuruh al isti’adzah karena kekuatan kita terbatas. Tetapi kita punya Allah. Makanya sebelum baca Al Qur`an isti’adzah, a’udzubillahi minasy syaithanirrajim. Sebelum melakukan kebaikan, isti’adzah. Sebelum bergaul dengan istri kita, isti’adzah. Karena itu tidak terlihat. Dengan isti’adzah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita menjadi kuat. Dan makanya, kata-kata ‘aduwwun mubin itu berarti ada rahasianya. Allah mengatakan nyata, berarti bisa dilihat. Berarti bisa bertemu. Dan al faqir ulangi sekali lagi, wa idza khalau ila syayathinihim. Berarti bukan syaitan yang godain, justru manusia yang maranin (menghampiri) itu syaitan. Berarti ketika dia mengarah ke sana ada sesuatu yang dituju. Itu disebut dengan ‘aduwwun mubin, musuh yang nyata. Syaitan itu, mohon maaf, kalau syaitan berada di balik uang yang bukan uang kita. “Wah ini enak banget nih”, supaya kita memungut, jadilah ia uang haram. Berbentuk proyek, kita tertarik. Sementara kita tidak mengkaji ini halal atau tidak. Berbentuk perempuan di jalan, kita ingin melihat itu yang haram, padahal ada yang halal. Berbentuk apa saja jenisnya. Atau syaitan itu bisa berbentuk yang meskipun tidak nyata, kemudian menjadi nyata, karena semuanya sudah dikelilingi dengan bisikan syaitan. Tetapi jangan sekali-kali kita persepsikan bahwa syaitan itu menyeramkan pada saat dia menggoda kita. Nanti tafsiran lebih banyak, jika ada waktu kita bertemu dengan surah Al A’raf, itu lebih seru di sana. Yang lebih umum di sini, fa akhrajahuma min ma kana fihi itu lebih umum daripada surga, karena sebelum dimasukkan surga mendapatkan kemuliaan. Dari yang paling mulia, terjatuh kalau melakukan maksiat. Makanya bahasanya qulnahbitu ba’dhukum li ba’dhin ‘aduww. Turunlah! Maka di sini diturunkan di bumi. Wa lakum fil ardhi mustaqarrun wa mata’un ila hin. Di bumi nanti kalian bisa menetap pada batas waktu tertentu mendapatkan kenikmatan. Pertemuan ini ditutup dengan ayat 37,

Page 12: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  51  

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Allah mengajarkan kalimat-kalimat taubat yang dalam surah Al A’raf termaktub dengan jelas, rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Itu kalimat sakti, atau yang senada dengan itu, pengakuan terhadap kezaliman yang kita akui, kita melemahkan diri kita di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala maka kita akan menjadi kuat. Dan nanti di dalam surah Thaha, fa asha adama rabbahu fa ghawa. Di situ, kata-kata yang disebut dalam surah Thaha itu dahsyat. Maksiat, fa ghawa, itu maksiat yang dahsyat sekali. Tetapi fajtabahu rabbuhu, Allah justru pilih setelah bermaksiat itu, dengan catatan seseorang mampu dan mau memperbaiki diri. Jadi Adam itu justru fungsi khalifah yang tadi dibangga-banggakan di depan malaikat, yang malaikat sempat bertanya “lho ada apa ini”, itu terjadi setelah maksiat ini. Bukan maksiatnya, tetapi setelah Adam kembali pada nilai fungsi awal yang memuliakan dia. Yaitu apa? Dia tahu ini kesalahan, ya segera perbaiki diri. Dan itulah sifat dasar manusia. Manusia itu menjadi hebat bukan ketika dia tracknya bagus saja terus. Bisa jadi pada saat dia tergelincir, diperbaiki, itu adalah lompatan yang lebih besar. Ada Umar. Siapa yang tidak tahu Umar? Masa lalunya? Tetapi masa lalunya itu terkubur dengan prestasinya. Ada Khalid bin Walid, siapa yang tidak tahu masa lalunya Khalid bin Walid? Prestasinya mengubur masa lalunya yang buruk. Bahkan hampir semua manusia, siapapun orangnya, hanya Nabi saja yang ma’shum dari perbuatan dosa besar. Kesalahan yang dilakukan seorang nabi adalah kesalahan yang tidak melukai misi risalahnya. Kesalahan-kesalahan kecil itu wajar. Tetapi selain Nabi Muhammad dan para nabi yang lainnya, itu tidak ma’shum, melakukan kesalahan. Tetapi bukan berarti orang-orang yang tidak ma’shum itu tidak bisa intilab menjadi manusia-manusia yang baik. Sampai di sini, insya Allah kita akhiri tadabbur ini dengan sebuah kesimpulan. Penciptaan Adam yang tanpa melalui siapa-siapa, dari tanah, yang secara fisik bentuknya seperti apa nanti kita urai lebih lanjut, itu Allah subhanahu wa ta’ala memuliakannya ketika Dia langsung menciptakan. Maka kalau kita ingin mendapatkan sentuhan-sentuhan langsung itu sudah ada aturannya. Lakukan kebaikan, perbanyak ibadah sunnah, maka kuntu sam’ahulladzi... , Allah menolong pendengaran kita, penglihatan, tangan kita. Maka ketika sentuhan itu menjadi langsung, kita akan menjadi lebih mulia dari hanya makhluk-makhluk seperti malaikat saja.

Page 13: Halaqah Tadabbur Al Quran 6 (Al Baqarah 30 - 37). Dr Saiful Bahri

 

  52  

Itu yang bisa al faqir sampaikan, mudah-mudahan di pertemuan yang akan datang kita akan melanjutkan apa misi khalifah yang dibawa Nabi Adam dan keturunannya, dan apakah ada rekonsiliasi antara jin dan manusia yang sejak saat itu bermusuhan, dan di mana posisi malaikat yang dia netral. Karena malaikat itu tidak mendapatkan tambahan informasi, dia tidak bisa memilih, bahkan dalam kasus-kasus tertentu malaikat itu tidak bisa membedakan. Dia hanya menilai secara zahir saja. Mudah-mudahan kajian ini membuka kita untuk semakin dekat dengan Al Qur`an sehingga pengamalan-pengamalan yang kita lakukan berdasarkan atas ilmu dan juga hidayah yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita.