skipsi amirul bahri
DESCRIPTION
masalah hutang piutang dalam islamTRANSCRIPT
1
HADIS TENTANG AKIBAT MENINGGALKAN
HUTANG DI DUNIA
(Analisis atas Sanad dan Matan)
SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan kepada Jurusan Ushuluddin
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
dalam Ilmu Ushuluddin
Oleh:
Amirul Bakhri
NIM 30.07.4.5.002
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2010 M. / 1431 H.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang
berpedoman kepada al-Qur'an dan hadis. Agama Islam merupakan agama
yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia termasuk juga dalam
bermuamalah. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan muamalah
dengan Allah semata, akan tetapi juga mengatur hubungan muamalah sesama
manusia. Di antara muamalah sesama manusia tersebut adalah pinjam-
meminjam.
Dalam bahasa Arab penggunaan kosa kata “pinjam-meminjam“
mempunyai banyak kata di antaranya yaitu: al-dain, al-`âriyah, dan al-qardh.
Kata al-dain berasal dari kata adâna-yudînu yang berarti: menghutangi,
memberi pinjaman, kemudian kata al-`âriyah yang berasal dari kata a`âra-
yu`îru yang berarti: meminjamkan, meminjami. Sedangkan al-qardh berasal
dari kata aqradha-yuqridhu yang berarti: meminjam (uang), mengutangi.1
Al-Qurthubî mengatakan dalam kitab Tafsîr al-Qurthubî bahwa
pengertian al-dain secara istilah merupakan semua transaksi di mana salah
satu pihak membayar (memberikan) dengan tunai dan pihak yang lainnya
1 ,menghutangi, memberi pinjaman (lihat Munawir A. Fattah dan Adib Bishri : أدا : ألشض
Kamus Indonesia- Arab, Arab-Indonesia al-Bishri, cet. 1, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h.
[Arab] 214). ألشض : أعبس : meminjam (uang), mengutangi (lihat Ibid., h. [Arab] 592). أعبس : ألشض :
meminjamkan, meminjami (lihat Ibid., h. [Arab] 528).
3
(mengembalikan) dalam tempo (tenggang waktu).2 Sedangkan pengertian al-
`âriyah secara istilah menurut Ibnu Rasyîd merupakan bentuk pinjaman baik
itu berupa tanah, hewan ternak atau apapun yang jelas wujudnya dan
bermanfaat dan juga tidak terlarang.3 Menurut Imam Ahmad, al-`âriyah
merupakan suatu pemberian (pinjaman) yang bermanfaat.4 Adapun menurut
Imam al-Syâfi‟î, al-`âriyah merupakan pinjaman yang mempunyai akad
perjanjian untuk dipertanggung-jawabkan agar diambil manfaatnya dan
pinjaman ini berupa barang yang jelas dan nanti dikemudian hari agar
dikembalikan kepada peminjam apabila telah dipergunakan barang yang
dipinjam tadi.5 Helmi Karim juga mengatakan bahwa dalam pelaksanaan
kegiatan pinjam-meminjam di zaman sekarang, al-`âriyah diartikan sebagai
perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada
pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan
serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar
imbalan dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan
harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi.6 Adapun pengertian al-
qardh merupakan pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh
2 Al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk., cet. 1, j. 3, (Jakarta: Pustaka
Azzam, April 2008), h. 837. 3 Ahmad ibn Rasyîd al-Qurthubî al-Andalusî atau yang terkenal dengan nama Ibnu
Rasyîd, Bidâyat al-Mujtahid fî Nihâyat al-Muqtashid, j. 2, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 235. 4 Muwaffiq al-Dîn `Abdullâh ibn Qudâmah al-Maqdîsî, Al-Kâfî fî Fiqhi al-Imâm Ahmad,
j. 2, cet. 1, (Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994), h. 213. 5 Abû al-`Abbâs Ahmad ibn Hamzah ibn Syihâb al-Dîn al-Ramlî yang terkenal dengan
nama al-Syâfi`î al-Shaghîr, Nihâyat al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, j. 5, (Bairut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyah, 1993), h. 117. 6 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo, Mei 2002), h. 37.
4
bagian laba.7 Menurut al-Naisâburî, al-qardh bukanlah bentuk dari (al-dain),
karena al-dain ada batas waktu peminjamannya, sedangkan al-qardh tidak
boleh ada batas waktunya. Dengan demikian dari ketiga kata yakni al-dain,
al-`âriyah, dan al-qardh, yang termasuk dalam kategori pinjam-meminjam
secara istilah hanya al-dain dan al-`âriyah, sedangkan al-qardh bukan
merupakan istilah pinjam-meminjam.
Dalam kehidupan sekarang, penggunaan kata al-dain atau hutang-
piutang dengan al-`âriyah atau pinjaman berbeda. Hal ini terjadi karena
kedua istilah kata tersebut berbeda dalam pelaksanaannya. Hutang (al-dain)
mengacu kepada pemberian izin untuk menggunakan suatu harta dengan
ketentuan akan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati misalnya
berhutang uang. Adapun pinjaman (al-`âriyah) mengacu kepada pemberian
izin untuk memanfaatkan suatu barang dan akan dikembalikan lagi sesuai
kesepakatan.8
Dalam realita kehidupan sekarang, hubungan antara harta dan hutang
sudah merupakan masalah yang universal dalam kehidupan manusia. Dalam
rangka memenuhi kebutuhannya termasuk pengembangan harta yang
dimilikinya, manusia selalu terlibat dalam hubungan hutang-piutang.
Hubungan transaksi hutang-piutang selalu saja terjadi di setiap masyarakat,
7 Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia- Arab, Arab-Indonesia al-Bishri,
h. (Arab) 592. 8 Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar, j. 6, cet. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2005), h. 41.
5
tanpa membedakan tempat atau masa, dalam keadaan senang atau susah.9
Masyarakat yang melakukan transaksi hutang-piutang merupakan bentuk
ikhtiar atau usaha mereka dalam mengembangkan atau meningkatkan
pendapatan usaha keluarga mereka atau bisa juga untuk pemenuhan
kebutuhan dalam kehidupan mereka. Dalam kehidupan zaman sekarang
banyak sekali fasilitas bagi masyarakat agar bisa memperoleh hutang, salah
satu di antaranya adalah melalui bank, baik itu bank konvensional atau bank
yang menggunakan sistem syari`ah.
Jauh sebelum kegiatan hutang-pitutang yang terjadi dalam masyarakat
sekarang terjadi, agama Islam yang merupakan agama yang memberikan
rahmat bagi seluruh alam telah mengatur tentang hutang-piutang. Dalam al-
Qur‟an surat al-Baqarah ayat 282 dijelaskan tentang bagaimana mekanisme
atau cara melakukan transaksi hutang-piutang, diantaranya adalah kewajiban
bagi kita apabila bermuamalah tidak secara tunai,10
hendaklah menuliskannya
dengan secara benar oleh si penulis. Begitu juga dengan si penulis hutang
kita, agar mematuhi hukum Allah dan tidak mengurangi hutangnya dengan
bantuan orang yang berhutang. Dibutuhkan juga saksi-saksi dalam melakukan
transaksi hutang-piutang kita yakni dua orang saksi dari orang-orang lelaki.
Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang
perempuan yang diridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
9 Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, cet. 1,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, November 2001), h. 203.
10 Muamalah tidak tunai ialah seperti berjual-beli, hutang-piutang, atau sewa-menyewa
dan sebagainya. Lihat Yayasan Penterjemah al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Semarang: PT Tanjung Emas Inti Semarang, 1992), h. 70-71.
6
mengingatkannya.11
Menurut al-Qurthubî dalam kitab Tafsîr al-Qurthubî
yang mengutip pendapat Ibnu `Abbâs mengatakan bahwa ayat ini (QS. Al-
Baqarah: ayat 282) khusus untuk masalah transaksi Salam (pembeliaan
barang yang diserahkan kemudian hari [pemesanan], sementara
pembayarannya diberikan dimuka) dan diturunkan pada kisah transaksi Salam
dalam masyarakat kota Madinah. Itulah asbâb al-nuzûl (sebab turunnya ayat)
ini yang kemudian oleh para ulama dicakupkan untuk seluruh transaksi yang
berbentuk hutang. Selanjutnya, dia (al-Qurthubî) juga mengatakan bahwa dari
ayat inilah beberapa ulama mengambil dalil untuk pembolehan penundaan
pembayaran dalam pinjam-meminjam seperti pendapat yang disampaikan
oleh Imam Mâlik.12
Sebab turun ayat yakni ayat 282 dalam surat al-Baqarah
tersebut tidak hanya tentang kegiatan Salam saja, menurut Hasbie al-
Shiddieqi yang mengutip pendapat al-Râbi‟ mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan ketika seorang lelaki meminta kepada suatu golongan masyarakat
untuk menjadi saksi atas suatu peristiwa, namun tidak seorangpun yang
bersedia.13
Selain mekanisme hutang-piutang yang tertera dalam al-Qur`an, Islam
juga berbicara mengenai hal-hal lain dalam masalah hutang-piutang atau pada
kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan hutang-piutang yakni mengenai
akibat bagi seseorang yang meninggal dunia akan tetapi masih meninggalkan
11
Ibid., h. 70-71. 12
Al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, h. 836. 13
Muhammad Hasbi al-Shiddieqi, Tafsir al-Qur`anul Majid al-Nur, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2000), h. 498.
7
tanggungan hutangnya di dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi
yang berbunyi sebagai berikut:
ث نا ث نا يي بن بكي حد الليث عن عقيل عن ابن شياب عن أب حدسلمة عن أب ىري رة رضى اهلل عنو: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم
ين , فسأل: ىل ت رك لدينو فض ال؟ كان ي ؤتى بالرجل المت وىف عليو الد: ث أنو ت رك لدينو وفاء صلى, وال قال للمسلمي ))صلوا فان حد
ا ف تح اهلل عليو الفت وح قال: ))أنا أول باملؤمني على صا حبكم(( ف لمؤمني ف تك دينا ف على قضاؤه, ومن من أن فسيم, فمن ت وىف من الم
14 ت رك مال فلورثتو(( رواه البخارى
Artinya:
“Menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukair, menceritakan kepada
kami al-Laits dari `Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dari Abû
Hurairah ra.: sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah laki-laki
yang meninggal dan mempunyai tanggungan hutang. Maka Rasulullah
bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (kelebihan harta) untuk
hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa
menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau
seandainya tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata
kepada kaum muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini
(jenazah yang mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan
kemenangan dengan berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya
lebih berhak terhadap kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang
siapa yang meninggal dunia dari kaum mukmin terus dia meninggalkan
hutang, maka saya yang akan menjadi penanggung hutangnya, kalau
seandainya dia meninggalkan harta benda maka untuk ahli warisnya".
(HR. al-Bukhârî).
14
Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 3, cet. 1,
(Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1992), h. 84.
8
Hadis Nabi di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî dalam kitab
Shahîh al-Bukhârî dalam bab nafaqah 15
dan bab hutang.16
Di samping itu
penulis juga melakukan pelacakan hadis tersebut dalam kitab Mu`jam
Mufahras melalui kata al-dain, yang mana penulis mencari hadisnya dengan
melalui kata asal dari al-dain yakni dâna-yadînu,17
maka penulis pun
mendapati bahwa hadis ini tidak hanya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî,
akan tetapi diriwayatkan oleh banyak mukharrij 18
yang lain di antaranya
Imam Muslim dalam kitab Shahîh Muslim dalam bab barang siapa yang
meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya,19
Imam al-Tirmidzî dalam
kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi pada
orang yang berhutang,20
dan Imam Ibnu Mâjah dalam kitab Sunan Ibnu
Mâjah dalam bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau barang maka
atas Allah dan Rasul-Nya.21
Menurut Imam al-Nawâwî dalam kitab Syarh Shahîh Muslim ibn al-
Hajjâj mengatakan bahwa alasan Nabi Muhammad melarang shalat jenazah
merupakan sebagai peringatan agar tidak menganggap kecil perkara hutang
dan juga bahwa hutang merupakan suatu hal yang dibenci Nabi karena bisa
15
Ibid., j. 5, h. 536. 16
Ibid., j. 3, h. 84. 17
Arent Jan Wensinck, Mu’jam Mufahras li al-Alfazh al-Ahadîts al-Nabawi, j. 2, (Leiden:
Breil, 1943), h. 164. 18
Mukharrij adalah tiap-tiap orang yang mengeluarkan hadis atau mencatat hadis. Lihat
Abdul Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadis, cet. 2, (Bandung: CV. Diponegoro, 1987), h.23. 19
Lihat Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2, (Bairut: Dâr
al-Fikr, 1992), h. 58. 20
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-Shahîh),
j. 2, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 266. 21
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 807.
9
menyebabkan tidak diijabahnya doa orang yang berhutang tersebut.22
Begitu
juga menurut Ibnu `Arâbi dalam kitab al-`Âridhah yang dikutip oleh Imam al-
Mubârakfûrî dalam kitab Tuhfat al-Ahwadzî mengatakan bahwa larangan
Nabi Muhammad untuk menshalati jenazah atas orang yang meninggal dalam
keadaan berhutang merupakan sebuah peringatan agar tidak membuat susah
payah hidupnya dengan berhutang dengan demikian tidak akan
menghilangkan harta orang lain, sebagaimana adanya larangan meninggalkan
shalat yang merupakan sebuah kemaksiatan dengan demikian akan membuat
orang menjauhi pinjam-meminjam.23
Berangkat dari fenomena di atas, dirasa perlu untuk dikaji lebih jauh
mengenai hadis Nabi tentang akibat meninggalkan hutang di dunia untuk
menyelaraskan Islam sebagai agama yang membawa rahmat dengan
kehidupan masyarakat sekarang yang hidup mereka selalu bersinggungan
dengan masalah hutang-piutang. Hadis di atas menyebutkan bahwa Nabi
melarang menshalatkan jenazah yang masih mempunyai tanggungan hutang-
piutang. Sedangkan dalam realita kehidupan sekarang hutang-piutang
merupakan bentuk dari ikhtiar atau usaha masyarakat dalam mengembangkan
dan meningkatkan penghasilan mereka. Dengan demikian, penelitian yang
akan kami lakukan sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang pemaknaan hadis Nabi tentang akibat meninggalkan
hutang di dunia untuk zaman sekarang yang mana dalam hadis itu disebutkan
22
Muhyî al-Dîn al-Nawâwî, Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj, j. 11-12, (Bairut: Dâr al-
Ma‟rifah, 1995), h. 17. 23
Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat
al-Ahwadzî, j. 4, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), h.128.
10
bahwa Nabi Muhammad tidak mau menshalati jenazah yang masih berhutang
dan belum ada yang menanggungnya.
Dalam penelitian ini, kami akan melakukan penelitian hadis Nabi
tentang akibat meninggalkan hutang di dunia dalam kitab Shahîh al-Bukhârî
dan juga kitab Shahîh Muslim serta kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh). Hadis dalam kedua kitab yang terakhir (kitab Shahîh Muslim dan
kitab Sunan al-Tirmidzî [Jâmi` al- Shahîh]) kami gunakan sebagai
pembanding. Walaupun kitab Shahîh al-Bukhârî ini selalu dijadikan rujukan
dalam mencari hadis Nabi karena menurut banyak ulama merupakan salah
satu kitab hadis yang paling shahih, namun menurut Imam al-Tirmidzî dalam
kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi pada
orang yang berhutang, hadis tersebut merupakan hadis yang hasan.24
Dalam
sanadnya juga terdapat sanad yang bernama al-Zuhrî. Menurut Ibnu Hajar
yang mengutip pendapat al-Âjirî dari Abû Dâwud bahwa hadis al-Zuhrî
semuanya 1200 hadis, semua hadisnya merupakan hadis yang bersanad, 200
sanad di antaranya merupakan diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah.25
Begitu juga Yahya ibn Bukair, al-Bukhârî dalam kitab al-Târîkh al-Kabîr
tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pribadi Yahya ibn Bukair
selain bahwa beliau (Yahya ibn Bukair) pernah mendengar riwayat al-Laits.26
Begitu juga dengan matan hadis ini, menurut logika akal matan hadis ini
terdapat kejanggalan. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad yang merupakan
24
Ibid., j. 3, h. 133. 25
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolani, Tahdzîb al-Tahdzîb, j. 9, cet. 1, (Bairut: Dâr
al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994), h. 445. 26
Abû `Abdullâh Ismâ`îl ibn Ibrâhîm al-Ja`fi al-Bukhârî, Al-Târîkh al-Kabîr, j. 8,
(Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 284.
11
seorang utusan Allah yang mempunyai tugas menyempurnakan akhlak umat
Islam ketika melihat jenazah umatnya yang terkena hutang-piutang beliau
tidak mau ikut menshalatinya, pada hal salah satu kewajiban orang hidup
terhadap orang yang meninggal dunia adalah menshalatkan jenazahnya.
Dalam matan hadis ini juga terdapat perbedaan lafazh matan hadis, hal ini
dimungkinkan telah terjadi periwayatan secara makna. Di antara perbedaan
lafazh tersebut yaitu dalam riwayat al-Bukhârî dengan lafazh hal taraka
lidanihi fadhlan?,27
dalam riwayat Muslim dengan lafazh hal taraka lidanihi
min qadhâin?,28
dalam riwayat al-Tirmidzî dengan lafazh hal taraka lidanihi
min fadhlin?,29
dalam riwayat Ibnu Mâjah dengan lafazh hal taraka lidanihi
min qadhâin?.30
Dengan demikian, jika dalam penelitian hadis ini terdapat
kejanggalan, maka hadis di kitab lain pun akan mengikuti atau sebaliknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini antara lain:
1. Apakah kualitas sanad dan matan hadis tentang akibat meninggalkan
hutang di dunia dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim dan Sunan
al-Tirmidzî [Jâmi` al- Shahîh] ?
27
Lihat Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhârî, h. 84. 28
Lihat Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, h. 58. 29
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-Shahîh),
h. 226. 30
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, h. 807.
12
2. Bagaimana memaknai kembali hadis tersebut sehingga dapat diterapkan
dalam kehidupan sekarang?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan secara komprehensif kualitas sanad dan matan hadis
tentang akibat meninggalkan hutang di dunia dalam kitab Shahîh al-
Bukhârî.
2. Untuk mengkontektualisasikan pemaknaan hadis tersebut sehingga dapat
diterapkan dalam kehidupan sekarang.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Melihat dari rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka
penelitian ini mempunyai manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
1. Memberikan kontribusi ilmu pengetahuan mengenai kualitas hadis tentang
akibat meninggalkan hutang di dunia kepada masyarakat.
2. Memberikan pemahaman kembali tentang makna hadis tersebut sehingga
dapat diterapkan dalam kehidupan sekarang.
13
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan penulis baru sedikit buku yang membahas
masalah hutang-piutang terutama yang berkaitan dengan kualitas hadis
tentang akibat meninggalkan hutang di dunia dan tentang pemahaman hadis
tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Di antara buku yang membahas masalah tersebut adalah buku yang
berjudul Halal dan Haram dalam Islam, karya Yûsuf al-Qardhâwî yang
diterjemahkan oleh Muammal Hamidy.31
Dalam buku tersebut Yûsuf al-
Qardhâwî menyuruh umat Islam seyogyanya hidup sederhana dan tidak perlu
berhutang. Karena menurutnya, Rasulullah membenci hal tersebut dan dia
juga mengungkapkan bahwa Nabi sampai tidak mau menshalati jenazah yang
ketahuan masih berhutang dan belum ada yang menanggung hutang tersebut.
Selain buku karya Yûsuf al-Qardhâwî di atas, ada juga buku yang
berjudul Mausu’atul Ijma’ karya Sa‟di Abû Habîb yang diterjemahkan oleh
Ahmad Sahal Mahfud dan Mushthafa Bishri. Buku ini menjelaskan tentang
wajibnya pembayaran hak-hak berupa harta yang wajib atas orang mati dan
tidak ada perbedaan apakah hak itu akan dibayar oleh ahli warisnya atau
bukan. Bila hutangnya sudah dilunasi, ia terbebas dari tanggungan.32
Dalam
buku ini juga disebutkan bahwa orang yang meninggal tetapi masih
mempunyai tanggungan hutang dan belum dilunasi, kelak di akhirat akan
diambil kebaikannya, apabila telah habis maka amal-amal buruk yang
31
Lihat Yûsuf al-Qardhâwî, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Muammal Hamidy, edisi
revisi, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 371-373. 32
Lihat Sa‟di Abû Habîb, Mausu’atul Ijma’, terj. Ahmad Sahal Machfudz dan Mushthafa
Bishri, cet. 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Oktober 1997), h. 469.
14
memberi hutang akan dilimpahkan kepadanya sampai hutangnya lunas dan
dia (yang berhutang) akan dihukum di neraka.33
Ada juga sebuah buku yang berjudul Problematika dan Penerapan
Syariat Islam dalam Undang-Undang karya Muhammad Sa‟di al-Asmâwî
yang diterjemahkan oleh Saiful Ibad.34
Dalam buku ini al-Asmâwî
mengungkapkan bahwa saksi dalam hutang-piutang yang terdapat dalam al-
Qur'an yakni dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan itu bukan aturan yang tidak dapat diubah-ubah, karena
menurutnya kondisi sekarang sudah berbeda dengan kondisi zaman dahulu.
Oleh karena itu harus ada kreasi manusia dalam membahas masalah-masalah
muamalah sesama manusia.
Selain itu, ada juga buku Indahnya Syariat Islam karya `Alî Ahmad
al-Jarjâwî yang diterjemahkan oleh Faishal Shaleh dan kawan-kawan.35
Dalam buku tersebut disebutkan tentang hikmah menjamin hutang seseorang
apabila seseorang yang berhutang itu tidak mampu membayar hutangnya.
Hikmah tersebut antara lain: 1) memberikan ketenangan kepada orang yang
mengutanginya, 2) menghindari perlakuan buruk saat penarikan hutang dari
orang yang ditagihnya, dan 3) akan terciptanya sikap saling mencintai dan
saling menyanyangi di antara sesama manusia.
33
Ibid., h. 534. 34
Lihat Muhammad Sa‟di al-Asmâwî, Problematika dan Penerapan Syariat Islam dalam
Undang-Undang, terj. Saiful Ibad, cet. 1, (Jakarta: Gaung Persada Press, September 2005), h. 161-
167. 35
Lihat `Alî Ahmad al-Jarjâwî, Indahnya Syariat Islam, terj. Faishal Shaleh, cet. 1,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 446.
15
Semua buku tersebut memang membahas perihal hutang-piutang,
akan tetapi belum mengungkap kualitas hadis baik dari segi sanad ataupun
matan tentang hadis akibat meninggalkan hutang di dunia beserta pemahaman
interpretasi hadis tersebut agar masyarakat memahami konteks hadis tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini berbeda dengan apa yang telah
dilakukan oleh ulama di atas, karena dalam penelitian ini akan diungkapkan
tentang penelitian dari segi sanad dan matan beserta pemahaman hadis
tersebut dalam realitas konteks sekarang. Dengan demikian masih perlu
dilakukan penelitian tentang hadis yang membahas masalah tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Sumber data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan
penelitian dengan menggunakan bahan kepustakaan (library research).
Maka teknik yang akan digunakan adalah pengumpulan data secara
literatur, yaitu penggalian bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan
dengan objek pembahasan. Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-
analitik yaitu dengan mengumpulkan data-data yang ada, kemudian
mengadakan analisa yang interpretatif. Oleh karena itu, sumber data dalam
penelitian ini dipilah menjadi dua bagian: pertama, data primer yaitu
hadis-hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia yang terdapat
dalam berbagai kitab antara lain: kitab Shahîh al-Bukhârî, kitab Shahîh
Muslim, kitab Sunan al-Tirmidzî, dan kitab Sunan Ibnu Mâjah beserta
16
kitab syarah dari kitab-kitab tersebut yakni kitab Fath al-Bârî bi Syarh
Shahîh al-Bukhârî, kitab `Umdat al-Qâri’, kitab Syarh Shahîh Muslim ibn
al-Hajjâj, serta kitab Tuhfat al-Ahwadzî, dan juga kitab-kitab periwayat
hadis yang digunakan untuk meneliti kredibilitas para perawi seperti kitab
Al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, kitab Dzikr Asmâ’ al-Tabi`în wa Man
Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, dan kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl. Kedua, data sekunder yaitu kitab-kitab tafsir al-Qur'an dan juga
buku-buku yang membahas tentang masalah yang berkaitan dengan hadis
tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data
penelitian dengan cara sebagai berikut:
a. Mula-mula penulis mencari hadis dengan menggunakan metode takhrij
hadis yakni mencari hadis melalui kata-kata dalam matan hadis yaitu
kata al-dain dalam kitab Mu’jam Mufahras karya A.J. Wensinck.
Kemudian dikumpulkan hadis tentang akibat meninggalkan hutang di
dunia yang terdapat dalam berbagai kitab hadis yakni: kitab Shahîh al-
Bukhârî dalam bab nafaqah dan bab hutang, kitab Shahîh Muslim dalam
bab barang siapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya,
kitab Sunan al-Tirmidzî dalam bab apa yang terjadi pada orang yang
berhutang, dan kitab Sunan Ibnu Mâjah dalam bab barang siapa yang
meninggalkan hutang atau barang maka atas Allah dan Rasul-Nya.
17
Setelah dikumpulkan hadis tentang masalah tersebut kemudian
dikumpulkan juga syarah-syarah dari kitab-kitab hadis tersebut dan juga
dikumpulkan kitab-kitab periwayat hadis tersebut yang digunakan
untuk mengetahui kredibilitas para perawi hadis tersebut.
b. Berikutnya, dikumpulkan data-data sekunder yakni kitab-kitab tafsir al-
Qur'an yang membahas masalah yang berkaitan dengan hadis yang
diteliti tersebut dan juga buku pendukung untuk mendalami masalah
yang berkaitan dengan hadis tersebut.
3. Analisis Data
Dalam menganalisis data-data yang telah didapatkan untuk
membahas masalah tentang hadis akibat meninggalkan hutang di dunia
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Setelah data-data primer telah dikumpulkan, maka penulis melakukan
penelitian terhadap hadis tersebut dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, kitab
Shahîh Muslim dan kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh). Dalam
melakukan penelitian hadis tersebut, penulis membagi penelitian
hadisnya menjadi dua bagian yaitu: penelitian sanad dan penelitian
matan. Dalam penelitian sanad, penulis menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Meneliti pribadi para periwayat dan metode periwayatannya (shîghat
al-tahammul wa al-ada').
2) Mengaplikasikan teori al-jarh wa al-ta'dil.
18
3) Meneliti tentang „llat dan Syadz.
4) Mengambil kesimpulan.
Adapun dalam penelitian matan, penulis menggunakan cara-cara
sebagai berikut:
1) Meneliti matan setelah melihat kualitas sanad.
2) Meneliti susunan lafazh berbagai matan semakna.
3) Meneliti kandungan hadis dihubungkan dengan konteks zaman
sekarang.
4) Mengambil kesimpulan.
b. Data-data sekunder seperti kitab-kitab tafsir al-Qur'an dan buku-buku
pendukung lainnya digunakan untuk membantu dalam pemaknaan
kembali hadis tersebut dalam konteks sekarang. Dengan data-data
seperti kitab-kitab tafsir al-Qur'an akan dapat diketahui apakah hadis
yang diteliti bertentangan dengan ayat al-Qur'an ataukah sebaliknya
memperkuat kandungan hadis tersebut. Dalam memahami hadis,
penulis juga menggunakan buku-buku pendukung lainnya dalam
memahami kandungan hadis tersebut agar makna kandungan hadis
tersebut menjadi lebih valid.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam menulis penelitian ini, penulis menyusunnya dengan
sistematika pembahasan sebagai berikut:
19
1. Bab pertama: pendahuluan. Dalam bab ini, penulis mengawali penelitian
ini dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
serta sistematika pembahasan.
2. Bab kedua: metode penelitian hadis. Di bab ini terdiri dari beberapa hal
yaitu: takhrîj al-hadîts sebagai langkah awal penelitian hadis, langkah
konkret penelitian sanad dan matan hadis.
3. Bab ketiga: deskripsi hadis dan biografi rawi. Dalam bab ini penulis
berusaha mengkaji dan menganalisa hadis tentang akibat meninggalkan
hutang di dunia yang diawali dengan melakukan al-i`tibar. Dilanjutkan
dengan pengenalan biografi para perawi hadis.
4. Bab keempat: kualitas sanad dan matan. Dalam bab ini penulis melakukan
analisa hadis melalui kaedah keshahihan hadis baik dari segi sanad dan
matan hadis. Dilanjutkan dengan pemaknaan kontestualisasi hadis dalam
kehidupan masyarakat sekarang.
5. Bab kelima: penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan tentang penelitian
dari permasalahan di atas serta saran-saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan penelitian ini.
20
BAB II
METODE PENELITIAN HADIS
A. Takhrîj al-Hadîts Langkah Awal Penelitian Hadis
1. Pengertian Takhrîj al-Hadîts
Menurut bahasa, kata takhrîj adalah bentuk mashdar dari kata kharaja-
yukhriju yang berarti al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrîb (meneliti, melatih)
dan al-taujih (menerangkan, memperhadapkan).36
Menurut Arifuddin yang
mengutip pendapat dari Mahmûd Thahhan mengatakan bahwa kata takhrîj
mempunyai beberapa arti antara lain:
a. Menjelaskan hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya
dalam sanad hadis dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
b. Mengeluarkan dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab.
c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya dan
menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode periwayatan dan sanad-
sanadnya masing-masing.
d. Menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di dalamnya
dikemukakan secara lengkap dengan sanad-sanadnya masing-masing,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.37
Dari berbagai pengertian tentang takhîj di atas, pengertian yang terakhir
lebih dapat dikatakan sebagai takhrîj al-hadîts karena dalam pelaksanaannya
kegiatan takhrîj merupakan kegiatan yang menunjukkan letak sumber sebuah
36
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Mamahami Hadis Nabi, cet. 1, (Jakarta Timur:
Insan Cemerlang dan PT. Inti Media Cipta Nusantara, t.th.), h. 84. 37
Ibid., h. 84-85.
21
hadis yang di dalamnya dikemukakan tentang sanad-sanadnya sampai kepada
penjelasan tentang derajat sebuah hadis.
2. Metode Takhrîj al-Hadîts
Jumlah kitab hadis yang disusun oleh para ulama periwayat hadis cukup
banyak. Jumlahnya sangat sulit untuk dipastikan angkanya, sebab mukharrij al-
hadîts (ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus melakukan
penghimpunan hadis) tidak terhitung banyaknya. Apalagi sebagian dari para
penghimpun itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu
kitab. Metode penyusunan kitab-kitab hadis tersebut ternyata tidak seragam.
Hal tersebut sangatlah logis karena yang lebih ditekankan dalam kegiatan
penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan
hadisnya. Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri baik
dalam penyusunan sistematikanya dan topik yang dikemukakannya oleh hadis
yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya.38
Walaupun demikian,
para ulama telah merumuskan metode takhrîj al-hadîts dengan lima metode
takhrîj untuk membantu melacak hadis Nabi dalam kitab-kitab yang ditulis
oleh para mukharrij hadis. Lima metode takhrîj tersebut antara lain yaitu:
a. Takhrîj menurut lafazh pertama hadis
Penggunaan metode ini tergantung dari lafazh pertama matan hadis.
Bagi yang akan menggunakan metode ini diharuskan untuk mengetahui
dengan pasti awal hadis yang ingin di-takhrîj. Kemudian melihat awal dari
38
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 18-19.
22
huruf pertama hadis tersebut. Misalnya ingin men-takhrîj hadis غشب ف١ش
maka yang pertama dilihat adalah huruf mim dengan huruf nun , ب
kemudian ghin, syin, dan nun ( غشب ).39
Kitab-kitab yang ditulis dengan metode pertama ini antara lain: kitab
al-Jâmi` al-Kabîr karya al-Suyûthî, kitab al-Jâmi` al-Azhar karya al-
Manâwâ dan lain sebagainya.40
b. Takhrîj menurut lafazh dari bagian sebuah hadis
Penggunaan metode ini dengan cara mengambil satu kata dari banyak
kata yang terdapat dalam sebuah hadis, dan harus merupakan kata kerja atau
kata benda. Banyak para pengarang yang menulis kitabnya dengan metode
ini melalui kata-kata yang asing (gharîb). Dengan demikian jika kata yang
ingin dicari merupakan kata yang asing, maka semakin mudah dan cepat
untuk mendapatkan hadis tersebut.41
Misalnya ingin melakukan takhrîj hadis ا اج ع طعب ازجبس١٠ ا
ازجبس١٠ maka yang pertama cicari adalah kata , ٠ؤو karena kata ini paling
asing di antara kata-kata yang terdapat dalam hadis tersebut. Kitab yang
menggunakan metode ini antara lain: kitab al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh
al-Hadîts al-Nabawî karya Arent Jan Wensinck.42
39
Abu Muhammad `Abd al-Mahdî ibn `Abd al-Qâdir ibn `Abd al-Hâdî, Thuruq Takhrîj
Hadîts, (Mesir: Dâr al-I`tishâm, t.th.), h. 27. 40
Ibid., h. 27-28. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad,
terj. Agil Husin Munawar dan Masykur Hakim, cet. 1, (Semarang: Dina Utama, 1995), h. 55-73. 41
Ibid., h. 83. 42
Ibid., h. 83-84. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad,
terj. Agil Husin Munawar dan Masykur Hakim, h. 74-86.
23
c. Takhrîj menurut periwayat pertama
Penggunaan metode ini dengan mengetahui periwayat yang pertama.
Periwayat pertama dalam hadis merupakan sahabat Nabi apabila hadisnya
muttashil al-isnâd. Akan tetapi bisa juga seorang tabi`in apabila hadisnya
mursal. Pengarang kitab yang menggunakan metode ini menyusun kitabnya
dengan menyusunnya melalui periwayat pertama yakni sahabat atau tabi`in.
Para pengarang tersebut meletakkan hadis-hadis Nabi setelah nama-nama
para periwayat pertama tersebut.43
Kitab-kitab yang menggunakan metode ini sangat banyak sekali,
akan tetapi kitab-kitab tersebut dapat digolongkan menjadi dua bagian kitab
yakni: Kutub al-Athrâf, di antaranya yaitu kitab Tuhfat al-Asyrâf bi Ma`rifat
al-Athrâf karya Jamâl al-Dîn al-Syâfi`î, kitab al-Nukat al-Zharâf `ala al-
Athrâf karya Ibnu Hajar dan Kutub al-Masânîd, di antaranya yaitu Musnad
Ahmad ibn Hanbal karya Ahmad ibn Hanbal.44
d. Takhrîj menurut tema hadis
Penggunaan metode ini dengan mengetahui tema dari sebuah hadis.
Dalam sebuah hadis dimungkinkan memiliki banyak tema. Dengan
demikian haruslah dicari disetiap tema tersebut. Misalnya hadis
: شبدح ا ال ا اال هللا ا ذذا سصي هللا , الب اصالح , ا٠زبء ث االصال ع خش
.ب , دج اج١ذ اصزطبع ا١ صج١الازوبح , ص سض
43
Ibid., h. 105. 44
Ibid., h. 106. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad,
terj. Agil Husin Munawar dan Masykur Hakim, h. 40-54.
24
Untuk mencari hadis di atas, maka kita mencarinya dalam bab iman,
bab tauhid, bab shalat, bab zakat, bab puasa, dan bab haji.45
Kitab-kitab yang menggunakan metode ini sangat banyak sekali, di
antaranya yaitu: kitab Kunuz al-`Amal fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af`âl karya
Muttaqî al-Hindî, kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb karya al-Mundzirî, kitab
Tafsîr al-Qur'ân al-`Azhîm karya Ibnu Katsîr dan lain sebagainya.46
e. Takhrîj menurut keadaan sifat yang muncul dalam hadis
Penggunaan metode ini adalah dengan melihat keadaan sifat yang
jelas dalam sebuah hadis. Para ulama telah mengumpulkan berbagai macam
hadis dalam satu sifat yang terdapat dalam hadis. Misalnya hadis mutawatir,
hadis qudsi, hadis masyhûr, hadis mursal. Kitab-kitab yang menggunakan
metode ini antara lain: kitab al-Azhâr al-Mutanâtsirah fî al-Akhbâr al-
Mutawâtirah karya al-Suyûthî, kitab al-Ittihâfât al-Sunnat fî al-Ahâdîts al-
Qudsiyyah karya al-Madanî, kitab al-Marâsîl karya Abû Dâwûd dan lain
sebagainya.47
Kelima metode takhrîj al-hadîts di atas membantu kita dalam mencari
hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para mukharrij
hadis. Dilihat dari keefektifan dalam mencari hadis, kami menggunakan
metode yang kedua yaitu metode takhrîj al-hadîts dengan melalui lafazh dari
hadis yakni melalui kitab al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadîts al-
Nabawî karya Arent Jan Wensinck.
45
Ibid., h. 151. 46
Ibid., h. 152. 47
Ibid., h. 243-244.
25
B. Langkah-Langkah Konkret Penelitian Hadis
Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu Shalah, bahwa
hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi),
diriwayatkan oleh (periwayat) yang `âdil dan dhâbith sampai akhir sanad, (di
dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (`illat).48
Oleh
karena itu, agar dapat diketahui hadis Nabi itu shahih atau tidak, maka perlu
dilakukan penelitian hadis. Dalam melakukan penelitian hadis, langkah-langkah
penelitiannya diarahkan kepada dua segi yaitu penelitian sanad dan penelitian
matan.
1. Langkah-langkah penelitian sanad hadis
Sanad secara bahasa adalah apa yang disandarkan kepadanya baik itu
seperti dinding atau yang lainnya. Secara istilah ahli hadis, sanad adalah
silsilah sanad yang meriwayatkan hadis.49
Di antara langkah-langkah dalam
melakukan penelitian sanad hadis yaitu:
a. Al-I`tibar
Kata al-i`tibar merupakan (isim) masdar dari kata i`tabara. Secara
bahasa, arti al-i`tibar adalah peninjauan terhadap berbagai hal dengan
maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.50
Menurut istilah
hadis, al-i`tibar berarti menyertakan sanad yang lain untuk suatu hadis
48
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, h. 76. 49
Badrân al-`Ainain Badrân, Al-Hadîts al-Nabawi al-Syarîf (Tarîkhuhu Wa
Mushthalâhuhu), h. 9. Lihat Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, h. 22. Lihat A.
Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadis, h. 22. 50
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, h. 76.
26
tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat
seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain
tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada
untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.51
Adapun kegunaan al-i`tibar adalah untuk mengetahui keadaan
sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung
(corroboration) berupa periwayat yang berstatus tâbi` atau syâhid.
Pengertian tâbi` (jamaknya adalah tawabi`) ialah periwayat yang berstatus
pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Adapun pengertian
syâhid (jamaknya adalah syawâhid) ialah periwayat yang berstatus
pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi.52
Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-i`tibar,
diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan
diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu
mendapat perhatian yaitu 1) jalur seluruh sanad, 2) nama-nama periwayat
seluruh sanad dan 3) metode periwayat yang digunakan oleh masing-
masing periwayat.53
Dalam melukiskan jalur-jalur sanad periwayatan hadis, garis-
garisnya harus jelas sehingga dapat dibedakan antara jalur sanad yang satu
dengan yang lainnya. Nama-nama periwayat yang dicantumkan dalam
51
Ibid., h. 76. 52
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52. Lihat Erfan Soebahar,
Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Kritik Mushthafa al-Siba`i Terhadap Pemikiran Ahmad
Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-Islam), cet. 1, (Jakarta Timur: Prenata Media, Agustus
2003), h. 231-232. 53
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52.
27
skema sanad harus cermat sehingga tidak mengalami kesulitan tatkala
dilakukan penelitian melalui kitab-kitab Rijal al-Hadîts (kitab-kitab yang
menerangkan keadaan para periwayat hadis). Terkadang pribadi periwayat
yang sama dalam sanad berbeda tertulis dengan nama yang berbeda, begitu
juga sebaliknya. Terkadang nama periwayat memiliki kesamaan atau
kemiripan, tetapi pribadi orangnya berlainan. Tanpa kecermatan penulis,
penelitian tentang nama-nama periwayat dapat menyebabkan kesalahan
dalam menilai sanad yang bersangkutan.54
Nama-nama periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi
seluruh nama, mulai dari periwayat pertama yakni sahabat Nabi yang
mengemukakan hadis sampai mukharijnya seperti al-Bukhârî, Muslim dan
sebagainya. Terkadang seorang mukharrij memiliki lebih dari satu sanad
untuk matan hadis yang sama ataupun yang semakna. Bila itu terjadi,
maka masing-masing sanad harus jelas tampak dalam skema.55
Adapun lambang-lambang periwayatan masing-masing periwayat
dalam sanad, penulisannya harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam
sanad yang bersangkutan. Pembuat skema sanad sering tidak
mencantumkan lambang-lambang sanad.56
Pada hal, lambang-lambang itu
merupakan merupakan bentuk-bentuk metode periwayatan yang sedang
54
Ibid., h. 52-53. 55
Ibid., h. 53. 56
Lambang-lambang sanad adalah lafadz-lafadz yang ada dalam sanad yang digunakan
oleh rawi-rawi waktu menyampaikan hadis atau riwayat. Lihat A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah
Hadis, h. 351.
28
ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan. Sering kali cacat
sebuah sanad berlindung di bawah lambang-lambang itu.57
b. Meneliti pribadi periwayat hadis
Dalam meneliti periwayat hadis beberapa yang lazim dilakukan
oleh seorang peneliti hadis yakni:58
1) Kaedah keshahihan hadis sebagai acuan.
Untuk meneliti hadis diperlukan acuan. Acuan yang
dipergunakan adalah kaedah keshahihan hadis bila ternyata hadis yang
diteliti bukanlah hadis mutawatir.59
Rumusan-rumusan tentang
keshahihan sebuah hadis sebenarnya telah muncul pada zaman Nabi
dan sahabat. Imam al-Syâfi`î, Imam al-Bukhârî, Imam Muslim dan
yang lainnya telah memperjelas rumusan-rumusan kaedah tersebut
dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan yang
mereka riwayatkan. Kemudian ulama pada zaman berikutnya
menyempurnakan rumusan-rumusan kaedah keshahihan tersebut
menjadi sebuah rumusan yang berlangsung hingga sekarang.60
Salah
seorang ulama hadis yang berhasil menyusun rumusan kaedah
keshahihan hadis tersebut adalah Abû `Amr `Utsmân ibn `Abd al-
57
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.53. 58
Lihat Ibid., h. 63-97. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah
(Kritik Mushthafa al-Siba`i Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis Dalam Fajr al-
Islam), h. 231-232. 59
Ibid., h. 64. 60
Ibid., h. 64-65.
29
Rahman ibn Shalah al-Syahrâzurî yang biasa disebut Ibnu Shalah (w.
577 H. / 1245 M.). Rumusan tersebut antara lain menyatakan bahwa
hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada
Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang `âdil dan dhâbith sampai
akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz)
dan cacat (`illat).61
Dari pengertian hadis shahih yang dikemukakan Ibnu Shalah
tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur kaedah keshahihan
hadis antara lain:
- Ketersambungan sanad sampai kepada Nabi.
- Ke-`âdil-an atau kualitas pribadi para perawi.
- Ke-dhâbith-an atau kapasitas intelektual para perawi.
- Tidak terdapat kejanggalan (syudzudz).
- Tidak terdapat cacat (`illat).
2) Segi-segi periwayat yang diteliti
Ulama hadis sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti para
pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis
61
Ibid., h. 64. Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan
Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), h. 124. Lihat Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl
al-Hadîts, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 39. Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut
Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, h. 76.
30
yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah atau alasan
ataukah ditolak.62
Kedua hal tersebut antara lain:
a) Ke-`âdil-an atau kualitas pribadi para perawi
Kata `âdil berasal dari bahasa Arab yaitu `adl. `Adl secara
bahasa berarti pertengahan, lurus atau condong kepada
kebenaran.63
Adapun `adl secara istilah terdapat berbagai macam
perbedaan. Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, ke-`adil-an rawi
adalah suatu rawi yang harus terpercaya di dalam agamanya yakni
harus seorang muslim yang baligh, berakal, selamat dari sebab
kefasikan, mempunyai kepribadian yang baik.64
Menurut Mahmûd
al-Thahhan, diantara kriteria `âdil yakni: muslim, baligh, berakal,
bebas dari sebab kefasikan, bebas dari sebab yang menjatuhkan
martabat.65
Adapun Syuhudi Ismail mengungkapkan empat kriteria
`âdil yang merupakan hasil dari penghimpunan pendapat berbagai
macam ulama. Keempat kriteria untuk sifat `âdil tersebut antara
lain:
- Beragama Islam.
- Mukallaf yakni baligh dan berakal sehat.
62
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 66. Lihat Mahmûd al-
Thahhan, Mushthalah al-Hadîts, h. 121. Lihat Ahmâd `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts,
h. 184. Lihat Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadits wa Mushthalâhuhu, h. 126. 63
Ibid., h. 67. Lihat Ibnu Mandzûr, Lisân al-`Arab, j. 13, (Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah,
t.th.) h. 456-463. Lihat Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia- Arab, Arab-
Indonesia al-Bishri, h. 483. 64
Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, h. 40. 65
Mahmûd al-Thahhan, Mushthalâh al-Hadîts, h. 121.
31
- Melaksanakan ketentuan agama Islam atau teguh dalam
beragama Islam.
- Memelihara muru`ah (adab kesopanan pribadi yang membawa
pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral
dan kebiasaan-kebiasaan).66
Di samping kriteria yang harus dimiliki para periwayat `âdil
tersebut, menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu
Hajar al-`Asqolânî mengatakan bahwa perilaku atau keadaan yang
merusak sifat `âdil para periwayat hadis yang termasuk berat yaitu:
- Suka berdusta.
- Tertuduh telah berdusta.
- Berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir.
- Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai
periwayat hadis.
- Berbuat bid`ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum
menjadikannya kafir.67
b) Ke-dhâbith-an atau kapasitas intelektual para periwayat
Dhâbith secara bahasa ada beberapa macam makna yakni
yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang halal dengan
sempurna.68 Adapun dhâbith secara istilah terdapat berbagai macam
66
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 67. 67
Ibid., h. 69. 68
Ibid., h. 70. Lihat Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia- Arab, Arab-
Indonesia al-Bishri, h. 429.
32
pendapat. Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu
Hajar al-`Asqolânî dan al-Sakhâwî, seseorang yang dinyatakan
dhâbith adalah orang yang kuat hafalannya kapan saja dia
menghendaki.69
Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, ke-dhâbith-an
seorang rawi adalah suatu rawi yang harus terpercaya di dalam
riwayatnya yakni harus mempunyai hafalan yang meyakinkan
setiap meriwayatkan hadis. 70 Menurut Mahmûd al-Thahhan,
diantara kriteria dhâbith antara lain tidak betentangan dengan hadis
yang diriwayatkan perawi-perawi tsiqah, tidak susah dalam
hafalan, tidak jahat, tidak pelupa, bukan orang yang suka ragu-
ragu.71
Adapun Syuhudi Ismail, dia mengungkap makna dhâbith
dengan mempertemukan berbagai pendapat para ulama, dan dia
juga memberikan rumusan mengenai maksud dari dhâbith secara
istilah sebagai berikut:
- Periwayat yang dhâbith adalah periwayat yang mempunyai
ciri-ciri yaitu: hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya,
dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya
itu kepada orang lain.
69
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah), h. 135. 70
Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, h. 41. 71
Mahmûd al-Thahhan, Mushthalâh al-Hadîts, h. 121.
33
- Periwayat yang bersifat dhâbith adalah periwayat yang
memiliki ciri seperti yang tertera di atas, dan mampu
memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.72
Sebagaimana sifat `âdil yang mempunyai kriteria yang
dapat merusak sifat `âdil bagi para periwayat hadis, dhâbith juga
mempunyai beberapa hal yang dapat merusak ke-dhâbith-an para
periwayat hadis seperti yang diungkapkan Syuhudi Ismail yang
mengutip pendapat Ibnu Hajar al-`Asqolânî dan `Alî al-Qâri‟ yaitu:
- Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya dari pada
benarnya.
- Lebih menonjolkan sifat lupanya dari pada hafalnya.
- Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung
kekeliruan (al-wahm).
- Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan
oleh orang-orang yang tsiqah.
- Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu
yang benar.73
Dari berbagai penilaian tentang sifat `âdil dan dhâbith di
atas, penilaian tentang sifat `âdil dan dhâbith yang disampaikan
Syuhudi Ismail lebih akomodatif, karena dia memberikan penilaian
tersebut dari hasil rangkuman berbagai macam ulama. Di samping
itu dia (Syuhudi Ismail) juga memberikan beberapa pendapat
72
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 70. 73
Ibid., h. 71.
34
tentang perilaku dan keadaan yang bisa merusak kecacatan dari
sifat `âdil dan dhâbith para periwayat hadis yang merupakan
rangkuman dari berbagai ulama.
Dalam melakukan penilaian tentang kriteria `âdil dan
dhâbith tersebut diperlukan kitab-kitab yang berkenaan dengan
biografi periwayat yaitu kitab al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb,
kitab Dzikr Asmâ’ al-Tabi`în wa Man Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-
Tahdzîb, dan kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl. Kitab-kitab
biografi periwayat tersebut merupakan kitab yang banyak
menerangkan tentang biografi periwayat terutama dari segi jarh
dan ta`dil. Dengan demikian penulis menggunakan kitab-kitab
tersebut untuk menilai kriteria para periwayat sesuai dengan
penilaian sifat `âdil dan dhâbith di atas.
c) Seputar al-Jarh wa al-Ta’dil
Kaedah keshahihan sanad hadis tidaklah sempurna bila
tidak dibantu dengan ilmu jarh wa ta`dil, karena ilmu ini yang
membahas kritik yang berisi celaan dan pujian terhadap para
periwayat hadis. Sehingga pengetahuan tentang ilmu ini
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penelitian
hadis.
35
(1) Pengertian Jarh wa Ta’dil
Secara bahasa kata al-jarh merupakan isim mashdar
dari kata jaraha-yajrahu yang berarti melukai atau cacat. Baik
luka yang berkenaan dengan fisik atau non-fisik.74
Adapun
secara istilah, al-jarh berarti tampak jelas sifat dalam diri
perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan
dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah atau bahkan tertolak riwayatnya.75
Adapun kata al-ta`dil, merupakan isim mashdar dari
kata kerja `addala yang artinya mengemukakan sifat `âdil yang
dimiliki seseorang. Menurut istilah, kata al-ta`dil berarti
mengungkapkan sifa-sifat bersih yang ada pada diri periwayat
sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi
periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya
dapat diterima.76
(2) Ulama kritikus hadis
Ulama yang ahli di bidang kritik para periwayat hadis
yang disebut al-jârih wa al-mu`addil, jumlah mereka relatif
tidak banyak, hal ini disebabkan syarat-syarat untuk menjadi
74
Ibid., h. 72. Lihat Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, cet.1, (Yogyakarta: Madani
Pustaka Hikmah, 2003), h. 27. Lihat Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, h.
120-121. 75
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 72. Lihat Suryadi,
Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, h. 27-28. 76
Ibid., h. 73. Lihat Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, h. 28-29.
36
dan diakui sebagai kritikus hadis memang tidak ringan.
Menurut Syuhudi Ismail, syarat-syarat bagi seseorang yang
dapat dikatakan al-jârih wa al-mu`addil yaitu sebagai berikut:
- Syarat-syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi yakni a)
bersifat `âdil, b) tidak bersikap fanatik terhadap aliran atau
madzhab yang dianutnya, dan c) tidak bersikap bermusuhan
dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap
periwayat yang berbeda aliran dengannya.
- Syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan
yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan:
a) ajaran Islam, b) bahasa Arab, c) hadis dan ilmu hadis, d)
pribadi periwayat yang dikritiknya, e) adat istiadat yang
berlaku, dan f) sebab-sebab yang melatar belakangi sifat-
sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.77
Adapun menurut Said Agil Munawar, dia
mengungkapkan metode atau cara menilai `âdil atau tidaknya
dan juga dapat dipercaya atau tidaknya seorang perawi. Di
antara metode yang digunakan adalah:
- Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi.
- Cermat dan teliti dalam penelitiannya.
- Tetap memegang etika meskipun dalam menilai cacat rawi.
77
Ibid., h.74.
37
- Ta`dil dilakukan secara global, sedangkan dalam tajrih harus
diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan.78
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik
hadis ada yang ketat (tasyaddud), ada yang longgar (tasahul),
dan ada yang berada dalam kedua sikap itu, yakni moderat
(tawasuth).79
Ulama yang dikenal mutasyaddid dalam menilai
ke-tsiqah-an periwayat, yang berarti menilai keshahihan hadis
yakni al-Nasâ‟i (w. 234 H. / 915 M.), `Alî ibn `Abdullâh ibn
Ja`far al-Sa`di al-Madînî atau yang dikenal dengan Ibnu al-
Madînî (w. 234 H. / 849 M.). Ulama yang dikenal mutasahhil
dalam menilai keshahihan suatu hadis yakni al-Hâkim al-
Naisabûrî (w. 405 H. / 1014 M.) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (w.
911 H. / 1505 M.), sedangkan yang dikenal sebagai mutasahhil
dalam menyatakan kepalsuan hadis yakni Ibnu al-Jauzî (w. 597
H. / 1201 M.). Ulama yang dikenal sebagai mutawashith dalam
menilai periwayat dan kualitas hadis yakni al-Dzahabî (w. 748
H. / 1348 M.).80
Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus dalam
menilai periwayat dan kualitas hadis, berarti dalam penelitian
hadis yang dinilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi
juga para ktitikusnya.
78
Said Agil Husain Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, cet. 2,
(Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2002), h.159-160. 79
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 74. Lihat Mahmûd `Alî
Fayyâd, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, h. 59. 80
Ibid., h. 75.
38
(3) Lafazh-lafazh jarh dan ta`dil
Dalam menentukan kapasitas potensi dan kualitas rawi
dengan al-jarh dan al-ta`dil, banyak lafazh yang digunakan
para kritikus. Lafazh-lafazh tersebut mengandung pengertian
khusus dan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi rawi
dalam penilaian kritikus.81
Di kalangan ulama hadis tidak ada kesepakatan tentang
jumlah tingkatan al-jarh dan al-ta`dil tehadap para periwayat
hadis. Ibnu al-Râzî, Ibnu al-Shalah, dan al-Nawâwî membagi
menjadi empat peringkatan untuk penilaian al-jarh dan al-
ta`dil. Sedangkan al-Dzahabî, al-`Irâqî, dan Abû Faidh al-
Harawî membagi membagi menjadi lima tingkatan. Adapun
Ibnu Hajar al-`Asqolânî, dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî membagi
menjadi enam tingkatan.82
Di antara tingkatan-tingkatan lafazh
ta`dil yang dirumuskan oleh para ulama tersebut yaitu:
(a) Ibnu Abû Hâtim al-Râzî
- Ta`dil tingkatan pertama, mempergunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang tsiqah صمخ , orang yang teliti زم ,
orang kokoh ingatannya صجذ , orang yang menjadi hujjah
٠ذزج
81
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, h. 43. 82
Ibid., h. 43.
39
- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafadz-lafazh
seperti: orang yang jujur صذق , orang yang dipandang
jujur ذ اصذق , tidak ada cacat padanya ال ثأس ث
- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh
seperti: seorang syekh ش١خ
- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh
seperti: orang yang shalih hadisnya صبخ اذذ٠ش
(b) Ibnu al-Shalah
- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh
seperti: orang yang tsiqah صمخ , orang yang teliti زم ,
orang kokoh ingatannya صجذ , orang yang menjadi hujjah
ضبثظ orang kuat hafalannya , دجخ
- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang jujur صذق , orang yang dipandang
jujur ذ اصذق , tidak ada cacat padanya ال ثأس ث
- Ta`dil yang ketiga menggunakan lafazh seperti: seorang
syekh ش١خ
- Ta`dil yang keempat menggunakan lafazh seperti: orang
yang shalih hadisnya صبخ اذذ٠ش
(c) Al-Nawâwî
- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh
seperti: orang yang tsiqah صمخ , orang yang teliti زم ,
orang kokoh ingatannya صجذ , orang yang menjadi hujjah
40
orang , دبفظ orang yang hafal , عذي orang yang `âdil , دجخ
kuat hafalannya ضبثظ
- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang jujur صذق , orang yang dipandang
jujur ذ اصذق , tidak ada cacat padanya ثأس ث ال
- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh-lafazh
seperti: seorang syekh ش١خ , orang yang tengah-tengah
, س ع ابس orang banyak meriwayatkan darinya , صظ
orang yang hadisnya didekati مبسة اذذ٠ش
- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh
seperti: orang yang shalih hadisnya صبخ اذذ٠ش
(d) Al-Dzahabî
- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh
seperti: orang kokoh ingatannya dan menjadi hujjah دجخ
صمخ صمخ orang yang sangat tsiqah , صجذ , orang kokoh
ingatannya dan yang teliti صجذ زم , orang kokoh
ingatannya dan yang hafal صجذ دبفظ
- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang tsiqah صمخ , orang kokoh ingatannya
زم orang yang teliti , صجذ
- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang jujur صذق , tidak ada cacat padanya
ال ثأس ث
41
- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh
seperti: orang yang shalih hadisnya صبخ اذذ٠ش , orang
yang dipandang jujur ذ اصذق , orang yang baik
hadisnya ج١ذ اذذ٠ش , seorang syekh ش١خ , orang yang
tengah-tengah صظ , seorang syekh yang tengah-tengah
دض اذذ٠ش orang yang bagus hadisnya , ش١خ صظ
- Ta`dil tingkatan yang kelima menggunakan lafazh
seperti: orang yang jujur insya Allah صذق ا شبء هللا ,
aku berharap ia tidak cacat أسجا أ ال ثأس ث
(e) Al-`Irâqî
- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh
seperti: orang yang sangat tsiqah صمخ صمخ , orang yang
tsiqah yang kokoh ingatannya صمخ صجذ , orang yang sangat
kokoh ingatannya صجذ صجذ , orang yang tsiqah dan
menjadi hujjah صمخ دجخ , orang yang tsiqah dan yang
dapat dipercaya صمخ أ
- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang tsiqah صمخ , orang kokoh ingatannya
orang yang menjadi hujjah , زم orang yang teliti , صجذ
دبفظ orang yang hafal , دجخ
- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang shalih hadisnya صبخ اذذ٠ش , orang
42
yang bagus hadisnya دض اذذ٠ش , orang yang hadisnya
didekati مبسة اذذ٠ش
- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh-
lafazh yaitu: orang yang dipandang jujur ذ اصذق ,
seorang syekh yang tengah-tengah ش١خ صظ , seorang
syekh ش١خ , orang yang tengah-tengah صظ
- Ta`dil tingkatan yang kelima menggunakan lafazh
seperti: orang yang jujur صذق , orang yang dipercaya
orang pilihan , ال ثأس ث tidak ada cacat padanya , أ
خ١بس
(f) Ibnu Hajar al-`Asqolânî dan al-Suyûthî
- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh
seperti: setsiqah-tsiqahnya orang أصك ابس , sekokoh-
kokohnya orang أصجذ ابس , padanya puncak ketsiqahan
ا١ اضجذ padanya puncak kekokohan , ا١ از ف اضمخ
tidak ada seorangpun yang lebih kokoh , از ف
darinya ال أصجذ , siapakah orang yang seperti fulan
فال ٠ضأي ع fulan ditanyakan keadaannya , ض فال
- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang sangat tsiqah صمخ صمخ , orang yang
sangat kokoh ingatannya صجذ صجذ , orang yang sangat
menjadi hujjah دجخ دجخ , orang yang kokoh ingatannya,
yang tsiqah صجذ صمخ , orang kokoh ingatannya dan menjadi
43
hujjah صجذ دجخ , orang hafal, yang menjadi hujjah دبفظ
صمخ أ orang yang tsiqah, yang terpercaya , دجخ
- Ta`dil tingkatan ketiga menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang tsiqah صمخ , orang yang kokoh
ingatannya صجذ , orang yang kuat hafalannya ضبثظ ,
orang yang sangat menjadi hujjah دجخ
- Ta`dil tingkatan keempat menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang jujur صذق , orang yang dipercaya
orang pilihan , ال ثأس ث tidak ada cacat padanya , أ
خ١بس
- Ta`dil tingkatan kelima menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang dipandang jujur ذ اصذق , banyak
orang yang meriwayatkan darinya سا ع , orang yang
tengah-tengah صظ , seorang syekh ش١خ , seorang syekh
yang tengah-tengah ش١خ صظ , orang yang baik hadisnya
orang , دض اذذ٠ش orang bagus hadisnya , ج١ذ اذذ٠ش
yang didekati مبسة , orang yang buruk hafalannya ص١ئ
, صذق ٠خطئ orang yang jujur tetapi sering keliru , اذفظ
orang yang jujur tetapi berubah diakhir umurnya صذق
بخشرغ١ش ث , dituduh melakukan bid`ah ٠ش ثجذع
- Ta`dil tingkatan keenam menggunakan lafazh-lafazh
seperti: orang yang jujur insya Allah صذق ا شبء هللا ,
44
Aku berharap ia tidak cacat أسجا أ ال ثأس ث , orang yang
sedikit shalih ص٠خ , diterima hadisnya مجي .83
Dari berbagai macam pendapat ulama tentang tingkatan
ta`dil para periwayat, pendapat Ibnu Hajar dan al-Suyûthî
menurut kami lebih tepat, karena mempunyai banyak tingkatan
yakni enam tingkatan dan juga dalam tingkatan pertama
disebutkan tingkatan yang paling tertinggi menggunakan kata
tafdhil (kata paling).
Adapun lafazh-lafazh jarh yang telah dirumuskan para
ulama yaitu:
(a) Ibnu Abû Hâtim al-Râzî, Ibnu Shalah dan al-Nawâwî
- Tajrih pada tingkatan yang pertama: seorang yang
pendusta وزاة , orang yang ditinggalkan hadisnya زشن
رات اذذ٠ش orang yang hilang hadisnya , اذذ٠ش
- Tajrih pada tingkatan yang kedua: orang yang lemah
hadisnya ضع١ف اذذ٠ش
- Tajrih pada tingkatan yang ketiga: bukan orang yang
kuat ١ش ثم
- Tajrih pada tingkatan yang keempat: orang yang lunak
hadisnya ١ اذذ٠ش
83
Lihat Ibid., h. 45-56.
45
(b) Al-Dzahabî
- Tajrih pada tingkatan yang pertama: seorang yang
pendusta وزاة , seorang pemalsu hadis ضبع , seorang
penipu دجبي , ia memalsu hadis ٠ضع اذذ٠ش
- Tajrih pada tingkatan yang kedua: orang yang tertuduh
berdusta ز ثبىزة , orang yang disepakati untuk
ditinggalkan hadisnya زفك ع رشو
- Tajrih pada tingkatan yang ketiga: orang yang
ditinggalkan زشن , orang yang hilang hadisnya رات
didiamkan , ١ش ثضمخ bukan orang yang tsiqah , اذذ٠ش
para ulama صىزا ع , orang yang ibnasa به , orang
yang gugur صبلظ
- Tajrih pada tingkatan yang keempat: orang yang lemah
sekali ضع١ف جذا , orang yang lemah ا , dilemahkan para
ulama ضعف , bukan apa-apa ١ش ثشء , orang yang
sangat lemah ف اضع١
- Tajrih pada tingkatan yang kelima: orang yang lunak ١
, di dalamnya ada kelemahan ف١ ضع١ف , padanya ada
cacat yang menjadi pembicaraan ف١ مبي , bukan orang
yang kuat ١ش ثم , bukan orang yang menjadi hujjah ١ش
, رعشف رىش orang yang dikenal dan diingkari , ثذجخ
orang yang diperbincangkan para ulama رى ف١, orang
yang buruk hafalannya صء اذفظ, orang yang dilemahkan
46
hadisnya ٠ضعف ف١, orang yang diperselisihkan
hadisnya اخزف ف١, tidak seberapa ١ش ثزاه , orang yang
tidak menjadi hujjah ال ٠ذزج, orang yang jujur, tetapi
melakukan bid`ah صذق ى جزذع .84
Dilihat dari pendapat tingkatan tajrih di atas, pendapat
al-Dzahabî dirasa cocok dalam penilaian jarh para periwayat
hadis. Hal ini dikarenakan banyaknya tingkatan jarh yang dia
sampaikan dan juga banyaknya macam kategori jarh dalam
tiap tingkatan.
Dengan adanya perbedaan dalam menempatkan lafazh
untuk jarh dan ta`dil, memberi petunjuk bahwa untuk
memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh lafazh al-
jarh dan al-ta`dil diperlukan penelitian, misalnya dengan
menghubungkan penggunaan lafazh itu kepada ulama yang
memakainya.
(4) Beberapa teori jarh dan ta`dil
Para kritikus hadis adakalanya sependapat dalam
menilai pendapat periwayat hadis tertentu, ada juga yang
berbeda pendapat. Selain itu adakalanya seorang kritikus dalam
menilai periwayat tertentu berbeda, misalnya pada suatu saat
84
Lihat Ibid., h. 56-62
47
dia menyatakan laisa bihi ba`s dan pada saat yang lain dia
menyatakan dha`if terhadap periwayat tertentu tersebut.85
Menurut Syuhudi Ismail, ada bebepa teori-teori yang
telah dikemukakan oleh ulama ahli jarh dan ta`dil yang perlu
dijadikan bahan oleh para peneliti hadis tatkala melakukan
kegiatan penelitian, khususnya yang berkaitan dengan
penelitian para periwayat hadis:86
(a) Al-ta`dil didahulukan atas al-jarh
Bila ada seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang
kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang
didahulukan adalah kritikan yang berisi pujian.
(b) Al-jarh didahulukan atas al-ta`dil.
Bila ada seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang
kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang
didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
(c) Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji
dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah
kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela
disertai dengan sebab-sebabnya.
(d) Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah
orang yang tergolong dha`if, maka kritikannya tidak dapat
diterima.
85
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 77. 86
Lihat Ibid., h. 77-81.
48
(e) Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti
secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya
kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.
(f) Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami
permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu
diperhatikan.
Adapun menurut Mahmûd `Alî Fayyâd, ada beberapa
pendapat tentang kontradiksi antara jarh dan ta`dil yang
dikemukakan para ulama hadis, di antaranya yaitu:
(a) Al-Râzî, al-Amidî, Ibnu Shalah mengatakan bahwa secara
mutlak jarh didahulukan dari ta`dil.
(b) Al-Khathîb al-Baghdâdî mengatakan jika yang paling
banyak mengungkapkan pendapatnya adalah dari para pen-
ta`dil, maka menjadi kuat ta`dilnya sedangkan pendapat
yang men-jarh-kan menjadi lemah karena sedikit
jumlahnya begitu juga sebaliknya.
(c) Al-Suyûthî mengatakan jika faktor penyebab jarh itu
mencederakan ke-ta`dil-an, maka pendapat yang men-jarh-
kan didahulukan dari pada pendapat yang men-ta`dil-kan
sekalipun yang men-ta`dil-kan banyak.87
Dilihat dari dari faktor penyebab tentang kontradiksi
antara ta`dil dan jarh, maka pendapat al-Suyûthî lebih dapat
87
Mahmûd `Alî Fayyâd, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, h. 79.
49
diterima, karena dinyatakan bahwa jarh didahulukan dari ta`dil
apabila jarh tersebut dapat mencederakan ta`dil dari para
periwayat tersebut. Untuk dapat dikategorikan jarh mana yang
dapat mencederakan para periwayat, dapatlah dilihat dari
penilaian tentang tingkatan jarh dari para ulama.
(5) Persambungan sanad yang diteliti
(a) Lambang-lambang metode periwayatan
Dalam penerimaan dan penyampaian suatu hadis
diperlukan lambang-lambang periwayatan hadis. Di antara
lambang-lambang periwayatan hadis antara lain yaitu:
- Al-sima` sendiri merupakan cara penerimaan hadis
dengan mendengarkan dari lafazh syekh, yaitu
mendengarkan syekh mengucapkan hadis dari kitab yang
dibacakannya atau dari hafalannya walaupun yang
mendengar sendiri menulisnya ataupun tidak.88
Lafazh-
lafazh al-sima` antara lain: ,أخجشب, صعذ, لبي ب, روش دذصب
, ب فال 89
- Al-qira`ah merupakan pembacaan murid kepada syekh
dengan cara menghafalnya dari lubuk hatinya atau dari
kitab hadis yang dibaca olehnya. Apabila murid tersebut
tidak membaca lewat hafalannya atau dari kitab yang
88
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 88. 89
Ibid., h. 90. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 37.
50
berada di tangannya akan tetapi mendengarkan dari
orang lain yang membacakan kepada syekh, maka
sesungguhnya disyaratkan kepada syekhnya agar benar-
benar hafal apa yang dibacakan olehnya atau
dimungkinkan bagi syekh tersebut agar merujuk kepada
kitab yang shahih yang dipegang oleh muridnya yang
lain yang tsiqah.90
Lafazh al-qira`ah yakni لشأ .
- Al-ijazah merupakan sebuah perizinan syekh kepada
muridnya untuk meriwayatkan hadis yang didengarnya
atau dalam kitab hadis yang ditulisnya walaupun murid
tersebut tidak pernah mendengar dari syekh tersebut dan
belum pernah membacakan hadis tersebut kepada
syekhnya. Lafazh dari al-ijazah: اجزد ه ا رش ع 91
.
Adapun al-ijazah yang sebenarnya merupakan suatu
ucapan syekh secara lisan dengan suara yaang jelas
kepada muridnya, adapun ketika syekh tersebut
memberikan sebuah kitab dengan tanpa ucapan tidak sah
menurut golongan yang keras.92
- Al-munawalah merupakan pemberian syekh kepada
muridnya sebuah kitab atau sebuah hadis yang tertulis
90
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 93. 91
Ibid., h. 95. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 200. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 41. 92
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 96.
51
untuk diriwayatkan dari pemberian syekhnya tersebut.93
Lafazh paling tinggi dan paling kuat dari al-munawalah
ini adalah pemberian syekh kepada muridnya sebuah
kitab atau hadis yang tertulis yaitu dengan
mengucapkan: kamu telah memiliki kitab ini dan saya
(syekh) mengizinkan kamu untuk meriwayatkan hadis
ini, maka ambillah dan riwayatkan hadis ini dari saya
(syekh), hal seperti ini dinamakan munawalah dengan
ijazah. Lafazh-lafazh al-munawalah lainnya yaitu , أجأب
أجأ 94
- Al-mukatabah merupakan sebuah tulisan syekh atau
tulisan orang atas perintah syekh untuk menulisakan dari
syekh sebagian hadisnya kepada seseorang yang berada
di hadapannya yang menginginkan ilmu dari syekh
tersebut atau kepada seseorang yang tidak ada di
hadapannya untuk dikirimkan kepadanya tulisan
tersebut. Lafazh al-mukatabah yaitu saya izinkan kamu
untuk riwayatkan kepada orang lain.95
- Al-i`lam merupakan pemberian sebuah kabar dari syekh
kepada muridnya bahwa sesungguhnya kitab ini atau
hadis ini dari riwayat-riwayat syekh tersebut atau dari
93
Ibid., h. 97. 94
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 97. Lihat Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, h. 202. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 42. 95
Ibid., h. 97-98. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 203. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 42.
52
hasih pendengaran (sima`) syekh tersebut dengan tanpa
memberikan ijazah secara langsung untuk memberikan
ijin meriwayatkan hadis tersebut. Lafazh dari al-I`lam
yaitu أع فال .96
- Al-washiyat merupakan sebuah penjelasan syekh kepada
muridnya ketika sedang bepergian atau menjelang ajal
kematiannya dengan mewasiatkan kitab kepada
seseorang yang jelas atau yang dikenal untuk
meriwayatkan hadis yang ada di kitab tersebut. Lafazh
al-washiyah yaitu ثىزا دذص فال .97
- Al-wijadah merupakan penemuan murid akan sebuah
hadis yang ditulis oleh syekh yang telah dia jumpai dan
dia mengetahui bahwa hadis tersebut dari syekhnya atau
belum berjumpa dengan syekh akan tetapi murid tersebut
berkeyakinan kalau hadis yang tertulis merupakan hadis
yang shahih seperti menemukan sebagian hadis dalam
kitab yang terkenal yang ditulis oleh orang yang
terkenal.98
Lafazh al-wijadah yakni ذد ج .
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara
al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat
96
Ibid., h. 99. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 203. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 42. 97
Ibid., h. 100. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 204. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 42. 98
Ibid., h. 101-102. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 43.
53
dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.99
Menurut Syuhudi
Ismail khusus lambang yang berupa huruf `an dan `anna,
ulama telah banyak mempersoalkannya. Sebagian ulama
menyatakan bahwa hadis mu`an`an yakni hadis yang
sanadnya mengandung lambang `an dan hadis mu`annan
yakni hadis yang sanadnya mengandung lambang `anna
memiliki sanad yang putus. Sebagian ulama lainnya
mengatakan bahwa hadis mu`an`an dapat dinilai sanadnya
bersambung bila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Pada sanad hadis yang bersangkutan tidak terdapat tadlis
(penyembunyian cacat).
- Para periwayat yang namanya beriring dan diantarai oleh
lambang `an atau `anna telah terjadi pertemuan.
- Para periwayat yang menggunakan lambang `an atau
`anna adalah periwayat yang tsiqah.100
(b) Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya
Keadaan periwayat dapat dibagi kepada tsiqah dan
tidak tsiqah atau dha`if. Dalam menyampaikan riwayat
hadis, periwayat yang tsiqah memiliki tingkat akurasi yang
tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya.
Sedangkan riwayat yang tidak tsiqah dari segi akurasinya
99
Ibid., h. 88. 100
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 83. Lihat Nuruddin `Itr,
`Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, cet. 1, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 129.
54
berada di bawah riwayat yang disampaikan oleh orang yang
tsiqah.
Dalam hubungannya dengan persambungan sanad,
kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang
tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima riwayat
dengan metode sami`na misalnya, walaupun metode itu
diakui oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang
tinggi, tetapi karena yang meyatakan lambang itu adalah
orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang
dikemukakannya tetap tidak dapat dipercaya.101
Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa
untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad,
maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan
yang digunakan perlu diteliti karena tadlis102
masih
mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh
periwayat yang tsiqah.
101
Ibid., h. 84. 102
Periwayat hadis yang menyatakan telah menerima hadis dari priwayat tertentu yang
sezaman dengannya, pada hal mereka tidak pernah bertemu. Boleh jadi mereka pernah bertemu,
tetapi antar mereka tidak pernah atau diragukan pernah terjadi penyampaian dan penerimaan
riwayat hadis (lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihah Hadis, h. 177).
55
(c) Meneliti syudzudz dan `illat
- Meneliti syudzudz
Makna syadz secara bahasa adalah seseorang
yang memisahkan diri dari jamaah.103
Adapun secara
istilah, ulama berbeda pendapat tentang pengertian
syudzudz sebagai hadis. Akan tetapi ada tiga pendapat
yang menonjol tentang hadis syudzudz ini, yakni bahwa
yang dimaksud dengan hadis syudzudz adalah:
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah,
tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang
dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang
lainnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam al-
Syâfi`î (w. 204 H. / 820 M.).
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah,
tetapi orang-orang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan
hadis tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh al-
Hâkim al-Naisâbûrî (w. 405 H. / 1014 M.).
- Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik
periwayatannya bersifat tsiqah maupun tidak.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Ya`la al-Khalîlî
(w. 446 H.).104
103
Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 228. 104
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 85-86. Lihat Nuruddin `Itr,
`Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 228. Lihat Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, cet. 1,
(Bandung: Al-Ma`arif, 1974), h. 199.
56
Menurut Syuhudi Ismail, dari ketiga pendapat di
atas, maka pendapat Imam al-Syâfi`î merupakan
pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis
sampai saat sekarang. Salah satu langkah penelitian
yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan
adanya syudzudz suatu sanad adalah dengan
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk
matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki
segi kesamaan.105
- Meneliti illat
Kata illat berasal dari kata `a`alla berarti
menjadikan cacat. `Illat adalah faktor abstrak yang
menodai hadis sehingga merusak keshahihannya.106
`Illat yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah
keshahihan sanad hadis adalah `illat yang untuk
mengetahuinya dilakukan penelitian yang lebih cermat.
Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu
al-Madînî dan al-Khathîb al-Baghdâdî bahwa untuk
meneliti `illat hadis, langkah-langkah yang perlu
ditempuh adalah:
105
Ibid., h. 86. 106
Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 254.
57
- Seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna
dihimpun dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan
memang memiliki mutabi` atau syahid.
- Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti
berdasarkan kritik yang telah dilakukan oleh para
ahli kritik hadis.107
(d) Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Kegiatan menyimpulkan sanad merupakan kegiatan
akhir dari penelitian sanad hadis. Hasil penelitian berupa
natijah (konklusi). Dalam mengemukakan natijah harus
disertai argumen-argumen yang jelas.
Isi natijah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah
periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis
yang bersangkutan berstatus mutawatir, dan bila tidak
demikian maka hadis tersebut berstatus ahad. Untuk hasil
penelitian hadis ahad, maka natijah-nya mungkin berisi
pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas
shahîh atau hasan atau dha`îf sesuai dengan apa yang telah
diteliti.
107
Ibid., h. 88. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 258. Lihat Fathur
Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, h. 187.
58
2. Langkah-langkah penelitian matan
Matan secara bahasa adalah apa yang tampak, dan apa yang tertancap
dari bumi dan meninggi ke atas. Dalam ilmu hadis, matan adalah suatu
perkataan berakhir dari sanad sebuah hadis.108
Di antara langkah-langkah
dalam penelitian matan suatu hadis yaitu:
a. Meneliti matan hadis dengan melihat kualitas sanadnya.
Dalam kegiatan penelitian hadis, ulama hadis mendahulukan
penelitian sanad atas penelitian matan. Langkah penelitian yang dilakukan
oleh ulama hadis tersebut tidaklah berarti bahwa sanad lebih penting dari
pada matan. Bagi ulama hadis, sanad dan matan merupakan bagian yang
penting dalam penelitian hadis, hanya saja penelitian matan akan
mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah
jelas-jelas memenuhi syarat sebagai sanad yang shahih. Tanpa adanya
sanad, maka suatu matan hadis tidak dapat dinyatakan sebagai hadis yang
berasal dari Nabi.109
1) Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanad
Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan
berkualitas shahih apabila sanad dan matan hadisnya sama-sama
berkualitas shahih.110
Kualitas sanad dan matan hadis Nabi cukup
108
Badrân al-`Ainain Badrân, Al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf (Tarikhuhu Wa
Mushthalâhuhu), h. 10. 109
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 122. 110
Ibid., h. 123.
59
bervariasi, ada suatu hadis yang sanad shahih tetapi matannya dha`if
atau sebaliknya yakni sanadnya dha`if tetapi matannya shahih. Dengan
demikian, hadis yang sanadnya shahih dan matannya tidak shahih atau
sebaliknya yakni sanadnya dha`if dan matannya shahih tidak
dinyatakan sebagai hadis shahih. Apabila terjadi di dalam penelitian
hadis, sanadnya shahih tetapi matannya dha`if mungkin terjadi
beberapa faktor yang telah terjadi. Karena kaedah keshahihan sanad
hadis mempunyai tingkat akurasi yang tinggi terhadap shahih tidaknya
sebuah hadis. Di antara faktor yang menyebabkan kejadian penelitian
yang demikian yaitu:
- Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian
matan hadis, misalnya kesalahan dalam menggunakan pendekatan
ketika melakukan penelitian matan.
- Karena telah terjadi kesalahan dalam melakukan penelitian sanad
hadis.
- Karena matan yang bersangkutan telah mengalami periwayatan
secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.111
Dengan kemungkinan adanya kesalahan yang terjadi, maka
penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat
konfirmatif semata, akan tetapi memang sebuah keharusan dan sangat
penting.
111
Ibid., h. 124.
60
2) Kaedah keshahihan matan sebagai acuan
Menurut Syuhudi Ismail, unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh
suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam yaitu: terhindar
dari syudzudz (kejanggalan) dan terhindar dari `illat (cacat).112
Akan
tetapi para ulama yang lain dalam menentukan keshahihan hadis
menggunakan tolok ukur yang bermacam-macam. Di antaranya al-
Khathîb al-Baghdâdî (w. 463 H. / 1072 M.), menurutnya seperti yang
dikutip Syuhudi Ismail bahwa suatu matan hadis dinyatakan maqbul
atau diterima apabila:
- Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur'an yang telah muhkam
(ketentuan hukum yang telah tetap).
- Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
- Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan
ulama salaf (masa lalu).
- Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya
lebih kuat.113
Di samping itu, Ibnu al-Jauzî (w. 597 H. / 1210 M.) seperti
yang dikutip Syuhudi Ismail mengatakan bahwa setiap hadis yang
bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok
agama, maka ketahuilah bahwa hadis itu adalah hadis yang palsu.114
Selanjutnya Shalâh al-Dîn al-Dhâbî menyimpulkan bahwa tolok ukur
untuk penelitian matan ada empat macam yaitu:
112
Ibid., h. 124. 113
Ibid., h. 127. 114
Ibid., h. 128.
61
- Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.
- Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
- Tidak bertentangan dengan akal, indera, dan sejarah.
- Susunan periwayatannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi.115
Begitu juga menurut al-Zuhrî, ada beberapa ciri yang bisa
dijadikan patokan tentang palsunya suatu matan hadis yaitu:
- Kelemahan lafazh yang terdapat dalam matan. Artinya orang yang
mengetahui betul makna ungkapan bahasa Arab ketika menjumpai
kata tertentu maka akan mengatakan bahwa kalimat seperti ini
mustahil keluar dari orang fasih, terlebih-lebih Nabi.
- Kelemahan kandungan hadis. Artinya kandungan hadis
bertentangan temuan rasional, tanpa ada kemungkinan takwil.
Misalnya, sebuah hadis “sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu
melakukan thawaf di Ka`bah tujuh kali dan shalat di Maqam
Ibrahim dua raka`at".
- Bertentangan dengan nash al-Qur'an atau hadis mutawatir. Hadis
yang mengatakan “anak hasil zina tidak akan masuk syurga hingga
tujuh turunan" bertentangan dengan ayat “seseorang tidak akan
menanggung dosa orang lain".
- Hadis yang menggambarkan bahwa para sahabat sepakat
menyembunyikan ajaran Nabi.
- Hadis yang isinya bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.
115
Ibid., h. 128-129.
62
- Hadis yang isinya sesuai dengan pendapat madzhab periwayatnya,
sedangkan periwayat tersebut dikenal sangat fanatik terhadap
madzhabnya.
- Hadis yang mengandung informasi tentang pahala yang amat
berlebihan atas perbuatan kecil atau siksa yang amat berlebihan pula
atas dosa yang kecil.116
Dengan uraian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa walaupun
unsur-unsur kaedah keshahihan matan hadis hanya dua macam yakni
terhindar dari syudzudz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat),
tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan
dengan tolok ukur sesuai dengan keadaan matan yang diteliti. Akan
tetapi jika dilihat dari proses penilaian keshahihan matan, maka
pendapat al-Khathîb al-Baghdâdî dan Shalâh al-Dîn al-Dhâbî lebih
akomodatif untuk digunakan dalam penilaian sebuah matan hadis. Hal
ini karena di dalam pernyataan mereka menggunakan pendekatan
dengan al-Qur'an dan hadis mutawatir atau yang lebih shahih dalam
menilai hadis serta dengan pendekatan akal, indera dan sejarah
sehingga penilaian matan hadis akan menjadi relevan.
116
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, h. 74-77.
63
3) Meneliti susunan matan yang semakna
a) Terjadinya perbedaan lafazh
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafazh pada matan
hadis yang semakna ialah karena dalam periwayat hadis telah
terjadi periwayatan secara makna. Menurut ulama hadis, perbedaan
lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna asalkan
sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu masih ditolerir.117
Akibat terjadinya perbedaan lafazh, maka metode
muqaranah (perbandingan) menjadi sangat penting. Dengan
melakukan metode muqaranah, maka akan dapat diketahui apakah
terjadinya perbedaan lafazh pada matan masih dapat ditoleransi
atau tidak.118
b) Ziyadah, Idraj dan lain-lain
Dengan metode muqaranah juga, akan dapat diketahui
kemungkinan adanya ziyadah, idraj dan lain-lain yang dapat
berpengaruh terhadap kehujahan suatu matan hadis. Dalam
penelitian matan hadis, ziyadah, idraj dan lain-lain sangat penting.
Secara bahasa, ziyadah adalah tambahan. Menurut ilmu
hadis, ziyadah pada matan ialah tambahan lafazh atau kalimat
(pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan tersebut
dikemukakan oleh periwayat tertentu sedangkan periwayat tertentu
117
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 131. 118
Ibid., h. 134.
64
lainnya tidak mengemukakannya.119
Menurut Ibnu Shalâh yang
dikutip oleh Syuhudi Ismail, bahwa ziyadah itu ada tiga macam
yaitu:
- Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya
bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat
yang tsiqah juga. Ziyadah seperti ini ditolak.
- Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya
tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak
periwayat yang tsiqah juga. Ziyadah seperti ini diterima.
- Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah
lafazh yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat
lainnya yang bersifat tsiqah juga tidak mengemukakannya.120
Adapun idraj, secara bahasa merupakan isim mashdar dari
kata adraja yang artinya: memasukkan atau menghimpunkan.
Menurut pengertian secara istilah ilmu hadis, idraj berarti
memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam
suatu matan hadis.121
Perbedaan antara ziyadah dan idraj yaitu
idraj berasal dari diri periwayat, sedangkan ziyadah (yang sesuai
syarat) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari matan hadis.
119
Ibid, h. 135. 120
Ibid., h. 137. 121
Ibid., h. 138.
65
c) Meneliti kandungan matan
(1) Membandingkan kandungan matan yang sejalan
Setelah susunan lafazh diteliti, maka langkah berikutnya
adalah meneliti kandungan matan. Dalam meneliti kandungan
matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil yang
mempunyai topik masalah yang sama. Apabila ada matan lain
yang topiknya sama, maka perlu diteliti sanadnya. Apabila
sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah
dilakukan. Apabila kandungan matan yang diperbandingkan
ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan
penelitian berakhir. Dalam prakteknya, kegiatan penelitian
biasanya masih perlu dilakukan yaitu dengan memeriksa
penjelasan masing-masing matan di berbagai kitab syarah hadis
untuk diketahui lebih jauh tentang matan yang diteliti dan
hubungannya dengan dalil-dalil lain.122
(2) Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau
tampak bertentangan
Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi bertentangan
dengan hadis Nabi yang lain ataupun dengan dalil-dalil dari al-
Qur'an. Sebab apa yang dikemukakan Nabi, baik berupa hadis
maupun ayat al-Qur'an sama-sama dari Allah. Namun pada
122
Ibid., h. 141.
66
kenyataannya, ada sejumlah hadis Nabi yang tampak tidak
sejalan dengan atau tampak bertentangan dengan hadis yang
lain ataupun dengan ayat al-Qur'an.
Dalam menyelesaikan matan hadis tentang hadis-hadis
yang tampak bertentangan, ulama berbeda pandangan:
- Ibnu Hazm mengatakan bahwa matan-matan hadis harus
diamalkan, karena dia menekankan perlunya penggunaan
metode istisna` (pengecualian) dalam penyelesaian itu.
- Menurut al-Syâfi`î, kemungkinan hadis-hadis yang tampak
bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang
satu bersifat global (mujmal) sedang yang satunya lagi
bersifat rinci (mufassar), mungkin yang satu bersifat umum
(`amm) sedang yang satunya lagi bersifat khusus (khas),
mungkin yang satu bersifat penghapus (nasikh) sedang yang
satunya lagi yang dihapus (mansukh).
- Shihâb al-Dîn menempuh dengan cara tajrih (mencari
argumen yang lebih kuat).
- Al-Thahâwanî menempuh cara al-nasikh dan al-mansukh.
- Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Dhâbî menempuh cara al-
jam`u, kemudian al-tajrih.
- Ibnu Hajar al-`Asqolânî menempuh empat tahap yakni al-
jam`u, al-nasikh dan al-mansukh, al-tajrih, al-tauqif
67
(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat
menyelesaikan atau menjernihkannya).123
Dalam menyelesaikan masalah hadis yang tampak
bertentangan, pendapat dari Ibnu Hajar al-`Asqolânî lebih
akomodatif. Hal ini karena dalam praktek penelitian matan,
keempat tahap atau cara itu memang dapat memberikan
alternatif yang lebih hati-hati dan relevan dalam menyelesaikan
hadis yang tampak bertentangan.
123
Ibid., h. 138.
68
BAB III
DESKRIPSI HADIS DAN BIOGRAFI RAWI
A. Teks seluruh hadis
Hadis Nabi tentang akibat meninggalkan hutang di dunia diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dalam bab nafaqah124
dan bab hutang.125
Di samping itu penulis juga melakukan pelacakan hadis
tersebut dalam kitab Mu`jam Mufahras melalui metode takhrij dengan
melalui kata-kata dalam matan hadis tersebut yaitu kata al-dain, yang mana
penulis mencari hadisnya dengan melalui kata asal dari al-dain yakni dâna-
yadînu,126
maka penulis pun mendapati bahwa hadis ini tidak hanya
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî, akan tetapi diriwayatkan oleh banyak
mukharrij. Berikut ini adalah seluruh teks hadis tersebut:
1. Hadis Riwayat al-Bukhârî
ث نا ال ث نا يي بن بكي حد ليث عن عقيل عن ابن شياب عن أب حدسلمة عن أب ىري رة رضى اهلل عنو: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم
ين, فسأل: ىل ت رك لدينو فضال ؟ كان ي ؤتى بالرجل المت وىف عليو الد: ))صلوا على ث أنو ت رك لدينو وفاء صلى, وال قال للمسلمي فان حدا ف تح اهلل عليو الفت وح قال: ))أنا أول باملؤمني من صا حبكم(( ف لم
124
Lihat Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 5, h.
536. 125
Ibid., j. 3, h. 84. 126
Arent Jan Wensinck, Mu’jam Mufahras li al-Alfazh al-Ahadîts al-Nabawî, h. 164.
69
مني ف تك دينا ف على قضاؤه, ومن ت رك مال أن فسيم, فمن ت وىف من المؤ 127.فلورثتو(( رواه البخارى
Artinya:
“Menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukair, menceritakan kepada kami
al-Laits dari `Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dari Abû Hurairah
ra.: sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah. laki-laki yang
meninggal dan mempunyai tanggungan hutang. Maka Rasulullah.
bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (kelebihan harta) untuk
hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa
menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau seandainya
tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada kaum
muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang
mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan dengan
berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak terhadap
kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang meninggal dunia
dari kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka saya yang akan
menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia meninggalkan harta
benda maka untuk ahli warisnya". (HR. al-Bukhârî).
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî di Shahîh al-Bukhârî dalam
kitab al-kafalah bab hutang juz 3 pada no hadis 2298 dan di dalam kitab al-
nafaqah juz 5 pada hadis no 5371.
2. Hadis Riwayat Muslim
ث نا أبو صفوان األموي عن ي ونس األيلي ح و ر ابن حرب حد ث نا زىي حد, قال: أخب رنا عبد اهلل بن وىب -و للفظ لو -ثن حرملة بن يي حد
عن أب سلمة بن عبد الرحن عن أب أخب رن ي ونس عن ابن شياب ىري رة رضى اهلل عنو: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان ي ؤتى
127
Lihat Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 3, h.
84 dan j. 5, h. 536.
70
ين بالرجل , ف يسأل: ىل ت رك لدينو من قضاء؟ فان الميت عليو الدث أنو ت رك وفاء صلى عليو, وال قال: ))صلوا على صا حبكم(( حد
ا ف تح اهلل عليو الفت وح قال: ))أنا أول باملؤمني من أن فسيم, فمن ف لمى قضاؤه, ومن ت رك مال ف يو لورثتو(( ت وىف من المؤمني ف ت رك دينا ف عل
128.رواه مسلم
Artinya:
"Menceritakan kepada kami Zuhair ibn Harb menceritakan kepada kami
Abû Shafwân al-Umawiyyi dari Yûnus al-`Ailî, dan juga telah
menceritakan kepada kami Harmalah ibn Yahya adapun lafazh dari dia,
berkata: mengkhabarkan kepada kami `Abdullâh ibn Wahab,
mengkhabarkan kepada kami Yûnus ibn Syihâb dari Abû Salamah ibn
`Abd al-Rahman dari Abû Hurairah ra.: sesungguhnya didatangkan kepada
Rasulullah laki-laki yang meninggal dan mempunyai tanggungan hutang.
Maka Rasulullah bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (tanggungan)
untuk hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan tanggungan
yang bisa menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau
seandainya tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada
kaum muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah
yang mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan
dengan berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak
terhadap kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang
meninggal dunia dari kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka
saya yang akan menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia
meninggalkan harta benda maka untuk ahli warisnya". (HR. Muslim).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh Muslim
dalam kitab al-farâidh bab barang siapa yang meninggalkan harta maka
untuk ahli warisnya juz 2 pada hadis no 4242.
128
Lihat Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2, h. 58.
71
3. Hadis Riwayat al-Tirmidzî
ثن أبو الفضل مكت وم بن العباس قال ح ثن عبد اهلل ابن صالح حد دثن عقيل, عن ابن شياب أخب رن أب و سلمة عن أب ثن الليث حد حدىري رة: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان ي ؤتى بالرجل المت وىف عليو
ث أنو ت رك لدينو وفاء الد ين, ف ي قول: ىل ت رك لدينو من فضل؟ فان حدا ف تح : ))صلوا على صا حبكم(( ف لم صلى عليو, وال قال للمسلمي
ؤمني من أن فسيم, فمن ت وىف من اهلل عليو الفت وح قال: ))أنا أول بامل المؤمني و ت رك دينا ف على قضاؤه, ومن ت رك مال فلورثتو(( رواه
.التمذى129
Artinya:
"Menceritakan kepada saya Abû al-Fadhal Maktûm ibn `Abbâs berkata:
menceritakan kepada saya `Abdullâh ibn Shâlih, menceritakan kepada
saya al-Laits, menceritakan kepada saya `Uqail dari Ibnu Syihâb, telah
mengkhabarkan kepada saya Abû Salamah dari Abû Hurairah ra.:
sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah laki-laki yang meninggal
dan mempunyai tanggungan hutang. Maka Rasulullah bertanya: apakah
dia meninggalkan sesuatu (kelebihan harta) untuk hutangnya? jika
dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa menutupi hutangnya,
Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau seandainya tidak ada yang
menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada kaum muslimin:
shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang mempunyai
hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan dengan berbagai
penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak terhadap kaum
mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang meninggal dunia dari
kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka saya yang akan
menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia meninggalkan harta
benda maka untuk ahli warisnya". (HR. al-Tirmidzî).
129
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh), j. 2, h. 266.
72
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzî di Sunan al-Tirmidzî
dalam kitab jenazah bab apa yang ada di balik shalat (jenazah) atas orang
yang berhutang juz 4 hadis no 1091.
4. Hadis Riwayat Ibnu Mâjah
ث نا أحد بن ث نا عبد اهلل بن وىب حد رح المصرى حد عمر و بن السأخب رن ي ونس عن ابن شياب عن أب سلمة عن أب ىري رة رضى اهلل
ىف املؤمن ف عنو: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان ي قول: اذا ت و ين, ف يسأل: ىل ت رك عيد رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم و عليو الدلدينو من قضاء؟ فان قالوا: ن عم. صلى عليو وان قالوا: ل. قال: ))صلوا
ا ف تح اهلل عليو الفت وح قال: ))أنا أول باملؤمني على صا حبكم(( ف لم من أن فسيم, فمن ت وىف من المؤمني ف تك دينا ف على قضاؤه, ومن ت رك
130.مال فلورثتو(( رواه ابن ماجو
Artinya:
"Menceritakan kepada kami Ahmad ibn`Umar dan Ibnu al-Sarh al-Mishri,
menceritakan kepada `Abdullâh ibn Wahab, mengkhabarkan kepada saya
Yûnus dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dari Abû Hurairah ra.:
sesungguhnya Rasulullah berkata: apabila seorang mukmin yang
meninggal pada zaman Rasulullah dan dia mempunyai tanggungan hutang.
Maka Rasulullah bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (tanggungan)
untuk hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa
menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau seandainya
tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada kaum
muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang
mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan dengan
berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak terhadap
kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang meninggal dunia
dari kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka saya yang akan
130
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, h. 807.
73
menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia meninggalkan harta
benda maka untuk ahli warisnya". (HR. Ibnu Mâjah)
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dalam Sunan Ibnu Mâjah
di kitab jenazah bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau
tanggungan maka atas kepunyaan Allah juz 2 hadis no 2508.
Dari seluruh matan tentang hadis akibat meninggalkan hutang di
dunia yang ada di atas, terdapat perbedaan lafazh matan hadis. Hal ini
dimungkinkan telah terjadi periwayatan secara makna. Di antara
perbedaan lafazh tersebut yaitu dalam riwayat al-Bukhârî dengan lafazh
فضالا ؟ رشن ذ٠ , dalam riwayat Muslim dengan lafazh لضبء رشن ذ٠
؟ dalam riwayat al-Tirmidzî dengan lafazh ؟ فض رشن ذ٠ , dalam
riwayat Ibnu Mâjah dengan lafazh ل رشن ذ٠ ضبء ؟ .
74
B. I`tibar sanad
1. Sanad di kitab Shahîh al-Bukhârî dalam kitab al-kafalah dan al-
nafaqah
قال
عن
ن ع
عن
عن
ا حدثن
احدثن
م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر
ة ر ي ر و ى ب أ
ل ي ق ع
ىار خ لب ا
ىر ى الز اب ي ش ن اب
ي ك ب ن ب ي ي
د ع س ن ب ث لي ال
ة م ل و س ب أ
75
2. Sanad di kitab Shahîh Muslim dalam kitab al-farâidh
لبي
ع
ع
ع
اخجش ع
دذصب دذص
بدذص بدذص
م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر
ة ر ي ر و ى ب أ
مة بن عبد الرحن أبو سل
ىر ى الز اب ي ش ن اب
عبد اهلل ابن وىب
حرملة بن يي
أبو صفوان األموي
ي ونس األيلي
مسلم
ر ابن حرب زىي
76
3. Di Kitab Sunan al-Tirmidzî 4. Di Kitab Sunan Ibnu Mâjah
لبي لبي
ع ع
ع اخجش
ع ع
اخجش دذص
دذص
ب دذصب دذص
دذص
ب دذص
دذص
م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر
ة ر ي ر و ى ب أ
ة م ل و س ب أ
ىر ى الز اب ي ش ن اب
ل ي ق ع
د ع س ن ب ث لي ال
عبد اهلل ابن صالح
أبو الفضل مكت وم بن العباس
رمذى الت
م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر
ة ر ي ر و ى ب أ
ة م ل و س ب أ
ىر ى الز اب ي ش ن اب
عبد اهلل ابن وىب
و اج م ن اب
ي ونس
رح المصرى ا أحد بن عمر بن الس
77
C. Skema Seluruh Sanad Hadis Tentang Akibat Meninggalkan Hutang Di
Dunia
لبي
ع
اخجش ع
ع ع
دذص ع ع اخجش
دذصب دذص
دذص دذصب
دذصب
دذص دذصب ب دذصبدذص
دذص دذصب دذصب دذصب
م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر
ة ر ي ر و ى ب أ
بن عبد الرحن لمة أبو س
ىر ى الز اب ي ش ن اب
ل ي ق ع
عبد اهلل ابن وىب
ابن وىب
د ع س ن ب ث لي ال
لة بن يي حرم
رح المصرى ابن الس
ي ك ب ن ب ي ي عبد اهلل ابن صالح
ي ونس األيلي
أحد بن عمر
و اج م ن اب
م بن العباس مكت و
رمذى الت
أبو صفوان األموي
ىار خ لب ا
ر ابن حرب زىي
مسلم
78
Penjelasan tentang skema:
Dalam mengemukakan riwayat, al-Bukhârî menyandarkan
riwayatnya kepada Yahya ibn Bukair. Nama periwayat yang disandarkan
al-Bukhârî yaitu Yahya ibn Bukair, dalam ilmu hadis disebut sebagai
sanad pertama. Dengan demikian sanad terakhir dalam riwayat al-Bukhârî
adalah Abû Hurairah yang berposisi sebagai periwayat pertama karena dia
adalah sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama riwayat hadis
tersebut. Dengan demikan, periwayat terakhir adalah al-Bukhârî. Berikut
ini adalah seluruh urutan sanad dan urutan periwayat dari hadis riwayat al-
Bukhârî:
Nama
Periwayat
Urutan
Sebagai Periwayat
Urutan
Sebagai Sanad
Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 6
Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 5
Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 4
`Uqail Periwayat 4 Sanad 3
Al-Laits ibn Sa`ad Periwayat 5 Sanad 2
Yahya ibn Bukair Periwayat 6 Sanad 1
Al-Bukhârî Periwayat 7 Mukharrij
Selanjutnya dalam riwayat Muslim, terdapat huruf dalam riwayat ح
sanadnya yang berarti adalah االصبد ازذ٠ ا االصبد yang artinya
79
perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain.131
Dengan demikian,
dalam riwayat Muslim terdapat dua sanad yakni dari riwayat Zuhair ibn
Harb dan Harmalah ibn Yahya. Kedua nama periwayat tersebut dalam
ilmu hadis disebut sebagai sanad pertama. Dengan demikian, sanad
terakhir dalam riwayat Muslim adalah Abû Hurairah yang berposisi
sebagai periwayat pertama, karena dia adalah sahabat Nabi yang berstatus
sebagai pihak pertama riwayat hadis tersebut. Adapun periwayat terakhir
adalah Muslim. Berikut ini adalah seluruh urutan sanad dan urutan
periwayat dari hadis riwayat Muslim:
Nama
Periwayat
Urutan
Sebagai Periwayat
Urutan
Sebagai Sanad
Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 6
Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 5
Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 4
Yûnus al-Ailî Periwayat 4 Sanad 3
Abû Shafwân al-
Umawiyyi
Periwayat 5 Sanad 2
`Abdullâh ibn Wahab Periwayat 5 Sanad 2
Zuhair ibn Harb Periwayat 6 Sanad 1
Harmalah ibn Yahya Periwayat 6 Sanad 1
Muslim Periwayat 7 Mukharrij
131
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 57.
80
Demikian juga dalam al-Tirmidzî, dia menyandarkan riwayatnya
kepada Maktûm ibn `Abbâs yang dalam ilmu hadis disebut sebagai sanad
pertama. Dengan demikian sanad terakhir dalam riwayat al-Tirmidzî
adalah Abû Hurairah yang berposisi sebagai periwayat pertama, karena dia
adalah sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama riwayat hadis
tersebut. Sedangkan periwayat terakhir adalah al-Tirmidzî. Berikut ini
adalah seluruh urutan sanad dan urutan periwayat dari hadis riwayat al-
Tirmidzî:
Nama
Periwayat
Urutan
Sebagai Periwayat
Urutan
Sebagai Sanad
Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 7
Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 6
Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 5
`Uqail Periwayat 4 Sanad 4
Al-Laits ibn Sa`ad Periwayat 5 Sanad 3
`Abdullâh ibn Shâlih Periwayat 6 Sanad 2
Maktûm ibn `Abbâs Periwayat 7 Sanad 1
Al-Tirmidzî Periwayat 8 Mukharrij
Begitu juga dalam riwayat Ibnu Mâjah, dia menyandarkan
riwayatnya kepada Ahmad ibn`Umar dan Ibnu al-Sarh al-Mishrî. Kedua
nama periwayat tersebut dalam ilmu hadis disebut sebagai sanad pertama.
81
Dengan demikian, sanad terakhir dalam riwayat Ibnu Mâjah adalah Abû
Hurairah yang berposisi sebagai periwayat pertama, karena dia adalah
sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama riwayat hadis tersebut.
Sedangkan periwayat terakhir adalah Ibnu Mâjah. Berikut ini adalah
seluruh urutan sanad dan urutan periwayat dari hadis riwayat Ibnu Mâjah:
Nama
Periwayat
Urutan
Sebagai Periwayat
Urutan
Sebagai Sanad
Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 6
Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 5
Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 4
Yûnus Periwayat 4 Sanad 3
`Abdullâh ibn Wahab Periwayat 5 Sanad 2
Ahmad ibn `Umair Periwayat 6 Sanad 1
Ibnu al-Sarh al-Mishrî Periwayat 6 Sanad 1
Ibnu Mâjah Periwayat 7 Mukharrij
Dari skema di atas, dapat diketahui bahwa periwayat yang
berstatus syahid tidak ada. Hal ini disebabkan karena Abû Hurairah
(periwayat pertama) merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadis ini. Adapun posisi periwayat kedua dan ketiga pun
tidak ada muttabi` (pendukung), karena kedua periwayat ini masing-
masing hanya sendiri. Pada posisi periwayat keempat bercabang menjadi
82
dua periwayat yaitu `Uqail, dan Yûnus al-Ailî. Dengan demikian,
periwayat keempat yakni `Uqail terdapat muttabi` (pendukung) yaitu
Yûnus al-Ailî. Pada posisi periwayat kelima terdapat tiga periwayat yaitu
al-Laits ibn Sa`ad, `Abdullâh ibn Wahab dan Abû Shafwân al-Umawiyyi.
Dengan demikian, periwayat kelima yakni al-Laits ibn Sa`ad terdapat
muttabi` (pendukung) yaitu `Abdullâh ibn Wahab dan Abû Shafwân al-
Umawiyyi. Pada posisi periwayat yang keenam terdapat enam periwayat
yaitu Yahya ibn Bukair, Zuhair ibn Harb, Harmalah ibn Yahya, `Abdullâh
ibn Shâlih, Ahmad ibn `Umair dan Ibnu al-Sarh al-Mishri. Dengan
demikian, periwayat keenam yakni Yahya ibn Bukair terdapat muttabi`
(pendukung) yaitu Zuhair ibn Harb, Harmalah ibn Yahya, `Abdullâh ibn
Shâlih, Ahmad ibn `Umair dan Ibnu al-Sarh al-Mishrî. Adapun periwayat
yang ketujuh yakni Maktûm ibn `Abbâs, merupakan periwayat yang tidak
ada muttabi` (pendukung) karena dia satu-satunya yang meriwayatkan
dalam periwayat ketujuh.
Mengenai lambang-lambang metode periwayatan yang digunakan
para periwayat hadis ini antara lain: اخجش , اخجشب , دذص , دذصب , dan ع .
Dengan demikian, terdapat perbedaan metode periwayatan yang
digunakan oleh para periwayat dalam sanad-sanad hadis tersebut.
83
D. Biografi Periwayat Hadis
1. Biografi periwayat dalam hadis riwayat al-Bukhârî
a) Abû Hurairah
Nama lengkap beliau adalah Abû Hurairah al-Dausî al-Yamâni
seorang sahabat Nabi dan juga merupakan seorang yang hâfidz.
Terdapat berbagai macam perbedaan tentang nama Abû Hurairah dan
juga tentang nama ayahnya dalam perbedaan yang banyak. Ada yang
berkata bahwa nama Abû Hurairah adalah `Abd al-Rahman ibn
Shakhr, Ibnu Ghanam, `Aidz, Ibnu `Âmir, Ibnu `Amrû, Sikkîn ibn
Razmah ibn Hâni‟, Ibnu Tsarmal, Ibnu Shakhr, `Âmir ibn `Abd al-
Syams, Ibnu `Umair, Yazîd ibn `Asyraqah, `Abd al-Nahm, `Abd al-
Syams, `Ubaid ibn Ghanam, `Amrû ibn Ghanam, Sa`îd ibn al-Hârits.
Hisyâm ibn al-Kalbî berkata: bahwa nama sebenarnya dari Abû
Hurairah adalah `Umair ibn `Âmir ibn Dzi al-Syâri ibn Thârif ibn `Iyân
ibn Abû Sha`b ibn Hunaid ibn Sa`ad ibn Tsa`labah ibn Sâlim ibn Fahm
ibn Ghanam ibn Daus. Dikatakan bahwa nama Abû Hurairrah pada
masa Jahiliyah adalah `Abd al-Syams dengan nama julukannya adalah
Abû al-Aswad, maka Nabi memberikan nama kepadanya yakni Abû
Hurairah karena kesukaannya terhadap kucing kecil. Dikatakan juga
bahwa nama ibunya adalah Maimûnah ibnti Shakhr.132
Abû Hurairah
132
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, j. 12, (Bairut: Dâr al-
Shâdir, t.th.), h. 262-263. Lihat Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 22, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 90-91. Abû `Umar Yûsuf ibn `Abdullâh ibn
Muhammad ibn `Abd al-Barr al-Qurthubî, Al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, j. 4, (Bairut: Dâr al-
Kutub al-`Ilmiyah, 2002), h. 332.
84
lahir pada tahun 600 M. (20 tahun sebelum Hijrah) di Yaman dan
wafat 45 tahun kemudian setelah Nabi yakni pada tahun 675 M. / 58
H. dalam usia 78 tahun.133
Adapun rahasia Abû Hurairah dapat memperoleh banyak hadis
ialah:
- Abû Hurairah selalu menghadiri majelis Nabi dan beliau
memperoleh doa dari Nabi untuk tidak lupa akan hadis-hadis yang
didengarnya dari Nabi.
- Abû Hurairah gigih sekali dalam usaha mencari ilmu sehingga
beliau memperoleh doa dari Nabi supaya tidak akan lupa apa yang
telah diketahuinya.
- Abû Hurairah berjumpa dengan sahabat-sahabat besar dan
menerima hadis dari sahabat-sahabat itu.
- Abû Hurairah hidup lebih lama lagi sesudah Nabi wafat dalam
mengembangkan hadis sesudah beliau menjauhkan diri dari
pemerintahan.134
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis adalah Nabi
(beliau sangat banyak sekali meriwayatkan hadis dari Nabi), Abû
Bakar, `Umar, al-Fadhal ibn `Abbâs ibn `Abd al-Muthallib, Ubai ibn
133
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, cet. 2, (Jakarta:
Djambatan, 2002), h. 407. 134
Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, cet. 2, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 145.
85
Ka`ab, Usâmah ibn Zaid, `Âisyah, Nadhrah ibn Abû Nadhrah al-
Ghafârî, Ka`ab al-Ahbar.135
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
anaknya sendiri yakni al-Muharrar, Ibnu `Abbâs, Ibnu `Umar, Anas,
Jâbir, Marwân ibn Hikam, Qabîshah ibn Dzuwaib, Sa`îd ibn
Musayyab, Salmân ibn al-Aghar, Qais ibn Abû Hâzim, Mâlik ibn Abû
`Âmir al-Ashbahî, Abû Usâmah ibn Sahal ibn Hânif, Abû Durais al-
Khulânî, Abû `Utsmân al-Nahdî, Abû Sufyân yang merupakan budak
dari Ibnu Abû Ahmad, Abû Râfi` al-Shâ`igh, Abû Zar`ah ibn `Amrû
ibn Jarîr, al-Aghar Abû Muslim, Ibnu Farîdh, Basar ibn Sa`îd, Basyîr
ibn Luhaik, Ba`jah al-Juhnî, Tsâbit ibn `Iyâdh al-Ahnaf, Hafsh ibn
`Âshim ibn `Umar ibn al-Khaththâb, Humaid dan Abû Salamah
(keduanya) merupakan ibn `Abd al-Rahman ibn `Auf, Humaid ibn
`Abd al-Rahman al-Humairî, Handlalah ibn `Alî al-Asalî, Khubâb
seorang sahabat dari al-Maqshurah, dan lain sebagainya dari golongan
sahabat dan tabi`in.136
Pendapat para kritikus tentang ta`dil dari Abû Hurairah:
- Al-Bukhâri berkata: bahwa gurunya dalam periwayatan hadis
mencapai 800 orang laki-laki atau bisa juga lebih dari itu baik dari
golongan ahli ilmu dari sahabat, tabi`in atau sebagainya.
135
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, j. 12, h. 263. Jamâl al-
Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, h. 91. 136
Ibid., h. 263-264. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 91-97.
86
- `Amrû ibn `Alî berkata: bahwa Abû Hurairah masuk Islam pada
tahun Khaibar pada bulan Ramadhan tahun 7 H.
- Al-A`raj berkata: bahwa Abû Hurairah seorang yang paling hafal
setiap hadis yang diriwayatkan dari Nabi yang berada di zamannya,
dan tidak ada satupun dari sahabat yang seperti dia.
- Ibnu `Uyaynah dari Hisyâm ibn `Urwah berkata: bahwa Abû
Hurairah dan `Aisyah meninggal dunia tahun 57 H.
- Dhamrah ibn Rabi`ah, Haitsam ibn `Adî dan Abû Ma`syar berkata:
bahwa Abû Hurairah meninggal dunia tahun 8 H.
- Al-Waqidî, Abû `Ubaid dan selain dari keduanya berkata: bahwa
Abû Hurairah meninggal dunia pada tahun 9 H., al-Waqidî
menambahkan bahwa Abû Hurairah ketika meninggalnya berumur
78 tahun dan dia (Abû Hurairah) sempat menshalati `Âisyah dan
Ummu Salamah.137
Pendapat yang dikemukakan oleh Dhamrah ibn Rabi`ah,
Haitsam ibn `Adî, Abû Ma`syar, al-Waqidî, Abû `Ubaid dan lainnya
yang mengatakan bahwa Abû Hurairah meninggal pada tahun 8 H.
merupakan kekeliruan, begitu juga dengan pendapat bahwa Abû
Hurairah sempat menshalati `Âisyah dan Ummu Salamah. Karena Abû
Hurairah meninggal pada tahun yang sama dengan `Âisyah yakni
137
Ibid., h. 264-267. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 97-99. Lihat Muhammad ibn Sa`ad ibn Manî` al-Hâsyimî al-Bashrî atau yang
terkenal dengan nama Ibnu Sa`ad, Al-Thabaqat al-Kubra, j. 4, (Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah,
1990), h. 325. Abû `Umar Yûsuf ibn `Abdullâh ibn Muhammad ibn `Abd al-Barr al-Qurthubî, Al-
Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, h. 332.
87
tahun 57 H., sedangkan Ummu Salamahlah yang sempat menshalati
`Âisyah karena meninggal pada tahun 61 H.
Pendapat para kritikus tentang jarh dari Abû Hurairah:
- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang pribadi
Abû Hurairah.
b) Abû Salamah
Nama lengkap beliau adalah Abû Salamah ibn `Abd al-Rahman
ibn `Auf ibn `Auf al-Zuhrî al-Madanî. Ada yang berkata nama beliau
adalah `Abdullâh, ada juga yang berkata `Ismâ`îl.138
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
ayahnya sendiri, `Utsmân ibn `Affân, Thalhah, `Ubâdah ibn al-Shâmit
(akan tetapi ada yang berkata tidak pernah didengar nama `Ubâdah ibn
al-Shâmit sebagai guru beliau), Abû Qatadah, Abû al-Dardâ‟, Ibnu
Abû Usaid, Usâmah ibn Zaid, Hasan ibn Tsâbit, Râfi` ibn Khâdij,
Tsaubân, Nâfi‟ ibn `Abd al-Hârits, `Abdullâh ibn Salam, Abû
Hurairah, `Âisyah, Ummu Salamah, Fathîmah ibn Qais, Rabî`ah ibn
Ka`ab al-Aslamî, Mu`âwiyah, Mu`aiqib al-Dusî, `Abdullâh ibn `Adî
ibn al-Hamrâ‟, Mu`âwiyah ibn Hikam al-Salamî, al-Mughîrah, Ibnu
138
Ibid., j. 12, h. 115. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 21, h. 269. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, j. 1, (Bairut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 425.
88
`Amrû, Ibnu al-`Âshî, Ibnu `Abbâs, dan banyak sekali yang lainnya
baik dari golongan sahabat ataupun dari golongan tabi`in.139
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
`Umar, anak dari saudara perempuan beliau yakni Sa`ad ibn Ibrâhîm
ibn `Abd al-Rahman, `Abd al-Majîd ibn Suhail ibn `Abd al-Rahman,
Zararah ibn Mush`ab ibn `Abd al-Rahman, al-A`raj, `Amrû ibn al-
Hikam ibn Tsaubân, `Urwah ibn al-Zubair, al-Zuhrî, Muhammad ibn
Ibrâhîm al-Taimî, Yahya ibn Abû Katsîr, Bukair ibn `Abdullâh ibn al-
Asyaj, al-Aswad ibn al-`Ala‟ ibn Jarîyah, Abû Shakhra Humaid ibn
Ziyâd, Salîm Abû al-Nadhar, Sa`îd al-Maqburî, Abû Hâzim ibn Dînâr,
Salamah ibn Kuhail, Sulaimân al-Ahwal, al-Sya`bi, `Abdullâh ibn Abû
Lubaid, `Abdullâh ibn Yazîd yang merupakan budak dari al-Aswâd ibn
Sufyân, Yahya ibn Sa`îd al-Anshârî, `Abd al-Mâlik ibn `Umair, Abû
al-Zinâd, `Abdullâh ibn Fairuz al-Danâj, `Irâq ibn Mâlik, `Amrû ibn
Dînâr, dan banyak sekali yang lainnya baik dari golongan sahabat
ataupun dari golongan tabi`in.140
Pendapat para kritikus tentang ke-`adil-an Abû Salamah:
- Disebutkan oleh Ibnu Sa`ad dalam kitab “Thabaqah al-Tsaniyah"
dari golongan orang-orang Madinah bahwa Abû Salamah adalah
orang yang tsiqah, faqih, banyak hadis yang diriwayatkannya,
ibunya adalah Tamadhar binti al-Ashbagh al-Kalbiyah yang
139
Ibid., h. 115. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 269-270. 140
Ibid., h. 115-116. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 270-271.
89
dikatakan bahwa ibunya pernah berjumpa dengan Nabi. Ada yang
berkata bahwa Abû Salamah meninggal tahun 94 H.
- Al-Waqidî berkata: bahwa beliau meninggal pada tahun 104 H.
dalam usia 72 tahun.
- Berkata Mâlik ibn Anas bahwa sesungguhnya kita memiliki
seorang ahli ilmu yang nama julukannya adalah Abû Salamah ibn
`Abd al-Rahman.
- Ma`mar dari al-Zuhrî berkata: ada empat orang dari suku Quraisy
yang saya dapatkan di antaranya al-Haura‟ ibn al-Musayyab,
`Urwah, `Ubaidillâh ibn `Abdullâh ibn `Utbah, Abû Salamah ibn
`Abd al-Rahman.
- `Uqail dari al-Zuhrî berkata: berkata kepada saya Ibrâhîm ibn
`Abdullâh ibn Qâridz ketika itu saya berada di Mesir, kamu telah
meninggalkan dua orang laki-laki dari kaum kamu yang tidak ada
yang lebih alim tentang hadis Nabi dari mereka berdua yakni
`Urwah ibn al-Zubair dan Abû Salamah.
- Auza`î berkata: bahwa Abû Salamah adalah seorang imam yang
tsiqah.
- Ibnu Hibbân berkata: dalam kitab al-Tsiqât bahwa Abû Salamah
adalah salah satu dari pemuka kaum Quraisy yang meninggal pada
tahun 94 H., akan tetapi ada yang berkata bahwa beliau meninggal
pada tahun 104 H.
90
- Ibnu `Abd al-Birr berkata: bahwa Abû Salamah adalah seorang
yang paling shahih dari golongan ahli nasab.
- `Alî ibn al-Madînî, Ahmad Ibnu Ma`în, Abû Hâtim, Ya`qûb ibn
Syaibah, Abû Dâwud berkata: bahwa hadis Abû Salamah yang
diriwayatkan dari ayahnya adalah hadis yang mursal.
- Abû Zar`ah berkata: bahwa riwayat Abû Salamah dari Abû Bakar
adalah riwayat yang mursal.
- Ibnu Hajar al-`Asqolânî berkata: bahwa ketika ada yang
mengatakan bahwa Abû Salamah tidak pernah mendengar dari
Thalhah dan juga `Ubadah ibn al-Shâmit, maka ketika Abû
Salamah tidak pernah mendengar dari Thalhah tidaklah benar
karena diriwayatkan oleh Ibnu Abû Khaitsamah dan al-Duri dari
Ibnu Ma`in.
Pendapat para kritikus tentang jarh Abû Salamah:
- Ahmad berkata: bahwa Abû Salamah meninggal dunia dalam
keadaan masih kecil.
- Abû Hâtim berkata: bahwa tidak shahih untuk kita (dalam
periwayatan hadis), begitu juga kebanyakan yang lain yang belum
pernah mendengarkan dia meriwayatkan hadis.
- Ibnu `Abd al-Birr berkata: bahwa Abû Salamah tidak pernah
meriwayatkan hadis dengan sima`ah dari ayahnya, adapun hadis
yang diriwayatkan al-Nadhar ibn Syaibân yang meriwayatkan
91
hadis dari Abû Salamah yang meriwayatkan dari ayahnya tidak
shahih menurut kebanyakan orang.
- Ahmad berkata: bahwa Abû Salamah tidak pernah meriwayatkan
dengan sima`ah dari Abû Musa al-Asy`ari.
- Abû Hâtim berkata: bahwa beliau tidak pernah mendengar dari
Ummu Habîbah.
- Al-Azdî berkata: bahwa beliau belum begitu kuat pendengarannya
ketika meriwayatkan dari Salamah ibn Shakhr al-Bayâdh.
- Al-Bukhârî berkata: bahwa riwayat Abû Salamah dari `Umar
adalah riwayat yang munqathi`.
- Ibnu Bathal berkata: bahwa Abû Salamah tidak pernah mendengar
riwayat dari `Amrû ibn Umayyah.141
c) Ibnu Syihâb al-Zuhrî
Nama lengkap beliau adalah Muslim ibn `Ubaidillâh ibn
`Abdullâh ibn Syihâb ibn `Abdullâh ibn al-Hârits ibn Zahrah ibn Kilâb
ibn Marrah al-Qurasyiyyi al-Zuhrî. Beliau merupakan seorang yang
faqih. Julukannya adalah Abû Bakar al-Hâfizh al-Madanî. Beliau juga
merupakan salah satu imam yang alim yang berada di Hijaz dan Syam.
Ibunya berasal dari Bani al-Dîl. Nama ibunya adalah Binti Ahbân ibn
Afdhâ ibn `Urwah ibn Shakhr ibn Ya`mar ibn Nafâtsah ibn `Adî ibn al-
141
Ibid., h. 116-118. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 271-273. Lihat Muhammad ibn Sa`ad ibn Manî` al-Hasyimî al-Bashrî atau yang
terkenal dengan nama Ibnu Sa`ad, Al-Thabaqat al-Kubra, j. 5, h. 155. Abû al-Hasan `Alî ibn
`Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-Tabi`în wa Man Ba`dahu, h. 425.
92
Dîl ibn Bakar. Al-Zuhrî Bertempat tinggal di Syam. Dalam kitab-kitab
hadis beliau ini sering disebut al-Zuhrî dan sering pula ia disebut Ibnu
Syihâb. Al-Zuhrî tergolong sebagai tabi`in kecil.142
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
`Abdullâh ibn `Umar ibn al-Khaththâb, `Abdullâh ibn Ja`far, Rabî`ah
ibn `Ibâd, al-Maswar ibn Makhramah, `Abd al-Rahmân ibn Azhar,
`Abdullâh ibn `Âmir ibn Rabî`ah, Sahal ibn Sa`ad, Anas, Jâbir, Abû al-
Thufail, al-Sâib ibn Yazîd, Mahmûd ibn al-Rabî`, Muhammad ibn
Lubaid, Tsa`labah ibn Abû Mâlik, Sinîn ibn Abû Jamîlah, Abû
Amâmah ibn Sahal ibn Hanîf, Qabîshah ibn Dzuwaib, Mâlik ibn Aus
ibn al-Hadatsân, Abû Idris al-Khûlâni, `Abdullâh ibn al-Hârits ibn
Naufal, Ibrâhîm ibn `Abdullâh ibn Hunain, `Âmir ibn Sa`ad ibn Abû
Waqâsh, Isma`îl ibn Muhammad ibn Sa`ad, Ja`far ibn `Amrû ibn
Umayyah al-Hasan, `Abdullâh ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah,
Hashîn ibn Muhammad al-Sâlamî, Harmalah budak dari Usâmah,
Hamzah, `Abdullâh, `Ubaidillâh, Sâlim ibn `Abdullâh ibn `Amrû,
Khârijah ibn Zaid ibn Tsâbit, dan lain sebagainya.143
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
`Atha‟ ibn Abû Rabbâh, Abû al-Zubair al-Makki, `Umar ibn `Abd al-
`Azîz, `Amrû ibn Dînâr, Shâlih ibn Kaisân, Abân ibn Shâlih, Yahya
ibn Sa`îd al-Anshârî, Ibrâhîm ibn Abû `Ablah, Yazîd ibn Abû Habîb,
142
Ibid., j. 9, h. 445. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 17, h. 220. Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 158. 143
Ibid., h. 446. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 220-223.
93
Ja`far ibn Rabî`ah, Muhammad ibn `Alî ibn al-Husain, Yazîd ibn al-
Hâd, Muhammad ibn al-Munkadar, Manshûr ibn al-Mu`tamar, Mûsa
ibn `Uqbah Hisyâm ibn `Urwah, Mâlik, Ma`mar al-Zubaidî, `Uqail,
Syu`aib ibn Abû Hamzah, Ibnu Abû Dzi‟bi, Yûnus ibn Yazîd, Abû
Uwais, Ishâq ibn Rasyîd, al-Laits, Ishâq ibn Yahya al-Kalbî, Bakar ibn
Wâil, Ziyâd ibn Sa`ad, Rabî`ah ibn Shâlih, dan lain sebagainya.144
Pendapat para kritikus tentang ta`dil tentang `Ibnu Syihâb:
- Al-Bukhârî dari `Alî ibn al-Madînî berkata: bahwa Ibnu Syihâb
mempunyai lebih dari 1000 hadis Nabi.
- Al-Dzahalî dari `Abd al-Razâq berkata: saya berkata kepada
Ma`mar: apakah al-Zuhrî mendengar (hadis) dari Ibnu `Umar ?
jawabnya: ya dia (al-Zuhrî) mendengar darinya dua hadis.
- Al-`Ajalî berkata: al-Zuhrî meriwayatkan dari Ibnu `Umar sekitar 3
hadis.
- Ibnu Sa`ad berkata: al-Zuhrî merupakan orang yang tsiqah, banyak
meriwayatkan hadis, seorang yang alim, faqih dalam agama.
- Abû al-Zinâd berkata: kita semua menulis sesuatu tentang halal dan
haram, adapun Ibnu Syihâb menulis sesuai yang dia dengar, maka
ketika dia (Ibnu Syihâb) diminta memberikan dalil, saya melihat
bahwa dia merupakan orang yang paling alim.
- Al-Nasâ‟i berkata: sebaik-baik sanad yang diriwayatkan dari Nabi
sebanyak 4 buah yakni:
144
Ibid., h. 447. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 223-225.
94
Al-Zuhrî dari `Alî ibn al-Husain dari ayahnya dari kakeknya.
Al-Zuhrî dari `Ubaidillâh dari Ibnu `Abbâs.
Al-Zuhrî dari Ayyûb dari Muhammad dari `Ubaidah dari `Alî.
Al-Zuhrî dari Manshûr dari Ibrâhîm dari `Alqamah dari
`Abdullâh.
- Ibnu `Uyaynah berkata: saya tidak pernah melihat seseorang yang
meriwayatkan hadis lebih sesuai dengan nash hadis selain al-Zuhrî.
- `Umar dan Abû Salamah dari Sa`îd ibn `Abd al-`Azîz dari Makhûl
berkata: tidak ada yang tertinggal di zaman sekarang yang paling
mengetahui tentang sunnah yang terdahulu selain al-Zuhrî.
- Abû Shalih dari al-Laits berkata: saya tidak pernah melihat orang
yang lebih sempurna ilmunya selain Ibnu Syihâb dan tidak ada
yang lebih banyak ilmunya dari dia (Ibnu Syihâb). Kalau saya
mendengar dia meriwayatkan hadis saya mengatakan tidak ada
yang lebih bagus dari ini, kalau saya mendengar dia meriwayatkan
hadis kepada yang lain, saya mengatakan bahwa tidak saya ketahui
selain hadisnya, kalau saya mendengar dia meriwayatkan hadis
yang berhubungan dengan al-Qur'an dan sunnah maka hadisnya
merupakan salah satu hadis yang sempurna.
- Abû Dâwud dari Ahmad ibn Shâlih berkata: orang-orang
mengatakan bahwa dia lahir pada tahun 50 H.
- Khalîfah berkata: dia lahir pada tahun 51 H.
- Yahya ibn Bukair berkata: lahir pada tahun ke 6 H.
95
- Al-Wâqidî berkata: lahir pada tahun 8 H.
- Menurut Dhamrah: adapun wafatnya beliau pada tahun 23 H.
- Al-Zubair ibn Bakar berkata: meninggal pada bulan Ramadhan
dalam usia 72 tahun.
- Ibnu Yûnus dan yang lainnya berkata: beliau wafat pada bulan
Ramadhan tahun 125 H.
- Ahmad ibn Shâlih berkata: al-Zuhrî belum pernah mendengar hadis
dari `Abd al-Rahman ibn Ka`ab ibn Mâlik, akan tetapi beliau
meriwayatkan hadis dari `Abd al-Rahman ibn `Abdullâh ibn
Ka`ab.
Pendapat para kritikus tentang jarh `Ibnu Syihâb:
- Ahmad berkata: al-Zuhrî belum pernah mendengar dari `Abdullâh
ibn `Umar.
- Ibnu Ma`în berkata: bukanlah kepunyaan al-Zuhrî riwayat apapun
dari Ibnu `Umar.
- Al-Dzahilî berkata: beliau tidak pernah mendengar dari Mas`ûd ibn
al-Hakam.
- Abû Hâtim berkata: beliau belum pernah mendengar dari Hashîn
ibn Muhammad al-Sâlimî.
- Al-Dâruquthnî berkata: tidak shahih pendengaran riwayat beliau
dari Ummu `Abdullâh al-Dausiyah.
- Ibnu al-Madînî berkata: hadis beliau dari Abû Rahm menurut saya
tidak sampai kepada Nabi.
96
- Ahmad ibn Sinân berkata: Yahya ibn Sa`îd tidak meriwayatkan
hadis secara mursal dari al-Zuhrî dan Qatadah apapun.
- Al-Âjirî dari Abû Dâwud berkata: hadis al-Zuhrî semuanya 1200
hadis, semuanya merupakan hadis yang bersanad, 200 di antaranya
merupakan diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah.145
d) `Uqail
Nama lengkap beliau adalah `Uqail ibn Khâlid ibn `Uqail al-
Ailî, nama julukannya Abû Khâlid al-Umawî yang merupakan seorang
budak dari `Utsmân.146
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
bapaknya, pamannya, Ziyâd, Nafi` budak dari Ibnu `Umar, `Ikrimah,
al-Hasan, Sa`îd ibn Sa`îd al-Khudrî, Sa`îd ibn Sulaimân ibn Zaid ibn
Tsâbit, Salamah ibn Kuhail, al-Zuhrî dan lain sebagainya.147
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
anak beliu yakni Ibrâhîm, anak saudara beliau Salamah ibn Rûh, al-
Mufadhal ibn Fadhalah, al-Laits ibn Sa`ad, Ibnu Luhai`ah, Jâbir ibn
Sulaimân, Abd al-Rahman ibn Salman al-Hajarî, Sa`îd ibn Abû Ayyûb,
145
Ibid., h. 447-451. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 225-232. Lihat Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 382.
Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 159. 146
Ibid., j. 7, (Dâr al-Kutub al-Ilmiyah), h. 221. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-
Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, j. 13, h. 150. 147
Ibid., h. 221. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 150.
97
Nâfi` ibn Yazîd, Yahya ibn Ayyûb, al-Hajjâj ibn Farâfashah dan lain
sebagainya.148
Pendapat para kritikus tentang ta`dil tentang `Uqail:
- Ahmad, Muhammad ibn Sa`ad dan al-Nasâ'i berkata:`Uqail tsiqah.
- Ibnu Ma`în berkata: atsbat dari riwayat al-Zuhrî, Malik, Ma`mar,
`Uqail. Dan dari riwayat Ibnu Ma`în dalam riwayat al-Daurî atsbat
dalam riwayat al-Zuhrî, Mâlik, Ma`mar, Yûnus, `Uqail, Syu`aib
dan Sufyân.
- Abû Zar`ah dari al-Laits berkata: shaduq, tsiqah.
- Ibnu Abû Hâtim berkata: saya bertanya kepada ayah saya: apakah
`Uqail termasuk yang ayah paling suka (dalam periwayatan hadis)
atau Yûnus? jawab beliau: `Uqail lebih saya suka dan dia termasuk
tidak ada cacat padanya (lâ ba’sa bihi). Kemudian saya bertanya
(lagi) kepada ayah saya: manakah yang lebih kokoh ingatannya
(atsbat), `Uqail atau Ma`mar? jawab beliau: `Uqail atsbat.
- Ibnu Hâtim berkata: `Uqail meninggal dunia di Mesir pada tahun
141 H. Muhammad ibn `Aziz al-Ailî berkata: `Uqail meninggal
dunia pada tahun 2 H. Ibnu al-Sirah dari Khalah berkata: `Uqail
meninggal dunia pada tahun 44 H.
- Ibnu Hajar berkata: nama kakek `Uqail adalah `Aqil.
- Dalam riwayat Ibnu Abû Maryam dari Ibnu Ma`în: `Uqail adalah
orang yang tsiqah, hujjah.
148
Ibid., h. 222. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 150.
98
- `Abdullâh ibn Ahmad berkata: disebutkan oleh ayah saya bahwa
sesungguhnya Yahya ibn Sa`îd berkata: `Uqail dan Ibrahim ibn
Sa`ad sepertinya mendha`ifkan keduanya.
- Al-`Ajalî berkata: tsiqah.
- Al-Bukhârî berkata: berkata `Alî dari Ibnu `Uyaynah dari Ziyâd ibn
Sa`ad: `Uqail merupakan orang yang hafal (hâfizh).
- Disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.
Pendapat para kritikus tentang jarh tentang `Uqail:
- Al-`Aqilî: `Uqail shaduq, beliau meriwayatkan secara sendirian
dari al-Zuhrî hadis-hadis Nabi. Ada yang mengatakan bahwa beliau
(`Uqail) belum mendengar dari al-Sirrî apapun, akan tetapi beliau
(`Uqail) mendapatkan hadis dengan munawalah.149
e) Al-Laits ibn Sa`ad
Nama lengkap beliau adalah al-Laits ibn Sa`ad ibn `Abd al-
Rahman al-Fahmi atau yang biasa dikenal sebagai Abû al-Harits al-
Ima‟ al-Mishrî. Yahya ibn Bukair berkata: bahwa Sa`ad Abû al-Laits
merupakan budak dari Quraisy. Al-Laits ibn Sa`ad merupakan salah
seorang dari Imam besar dan hafidz hadis dari golongan tabiut-
tabi`in.150
149
Ibid., h. 222. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 151-152. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-
Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 288. 150
Ibid., j. 8, h. 401. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 15, h. 436. Lihat Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 392-
393. Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 180.
99
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Nâfi`, Ibnu Abû Malikah, Yazîd ibn Abû Habîb, Yahya ibn Sa`îd al-
Anshârî, saudara beliau sendiri `Abd Rabbâh ibn Sa`îd, Ibnu `Ijlân, al-
Zuhrî, Hisyâm ibn `Urwah, `Atha‟ ibn Abû Rabbâh, Bukair ibn al-
Asyaj atau Abû `Uqail Zahrah ibn Ma`bad, Sa`îd al-Maqburi, Abû al-
Zinâd, `Abd al-Rahman ibn al-Qâshim, Qatadah, Khâlid ibn Abû
`Imrân, Khair ibn Na`îm, Abû Suja` Sa`îd ibn Yazîd, Katsîr ibn
Farqad, Yahya ibn `Abd al-Rahman ibn Ghanam, Mu`âwiyah ibn
Shâlih, Shafwân ibn Sâlim, Yahya ibn Ayyûb, `Uqail, Yûnus ibn
Yazîd, Yazîd ibn Muhammad al-Qurasyiyyi, `Amirah ibn Najiyah,
`Abû al-`Azîz al-Majisyûn, dan lain sebagainya.151
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Syu`aib, Muhammad ibn `Ajlan dan Hisyâm ibn Sa`ad (keduanya
merupakan dari orang tua al-Laits), Luhai`ah, Hâsyim ibn Basyir dan
Qais ibn al-Râbi`, `Athaf ibn Khâlid (mereka bertiga ini merupakan
sahabat dekat al-Laits), Ibnu al-Mubarak, Ibnu Wahab, `Alî ibn Nashar
al-Jahdhami al-Kabîr, Abû Salamah al-Khazâ`i, Adâm ibn Abû `Ibâs,
Sa`îd ibn Abû Maryam, Sa`îd ibn Syarhabil, Sa`îd ibn Katsîr ibn
`Ufair, sekretarisnya Abû Shâlih `Abdullâh ibn Shâlih, `Abdullâh ibn
Yusuf al-Tanisi, `Abdûllâh ibn Yazîd al-Maqburi, `Alî ibn `Iyasy al-
Hamshi, `Amrû ibn Khâlid al-Harâni, `Amrû ibn al-Râbi` ibn Thâriq,
Abû al-Walîd al-Thayâlisî, Yahya ibn `Abdullâh ibn Bukair, Qâsim
151
Ibid., h. 401. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 437-438.
100
ibn Katsîr al-Iskandaranî, Ahmad ibn `Abdullâh ibn Yûnus, Qutaibah
ibn Sa`îd, Muhammad ibn Ramh ibn al-Muhâjir, Muhammad ibn al-
Hârits ibn Rasyîd al-Mishrî, Abû al-Jahm al-`Ala‟ ibn Mûsa, `Îsa ibn
Hamad ibn Zaghbah dan lain sebagainya.152
Pendapat para kritikus tentang ta`dil dari al-Laits ibn Sa`ad:
- Ibnu Sa`ad berkata: bahwa al-Laits ibn Sa`ad telah bekerja dengan
sungguh-sungguh dalam bidang fatwa pada zamannya, beliau
termasuk orang yang terpercaya atau tsiqah juga orang yang
banyak meriwayatkan hadis yang shahih, dan beliau juga orang
yang sering begadang malam hari (untuk menuntut ilmu), orang
yang mulia lagi baik hati.
- Ahmad ibn Sa`ad berkata: al-Zuhrî dari al-Laits tsiqah, tsabat.
- Hanbal dari Ahmad berkata: bahwa al-Laits lebih saya cintai
tentang apa yang diriwayatkan dari al-Maqburi.
- `Abdullâh ibn Ahmad dari Anas berkata: bahwa orang paling
shahih hadisnya dari riwayat al-Maqburi adalah al-Laits yang
menyambung sampai riwayat Abû Hurairah dan apa yang
diriwayatkan ayahnya dari Abû Hurairah.
- Abû Dawud berkata: saya mendengar Ahmad mengatakan:
bukanlah mereka yakni ahli Mesir yang lebih shahih hadisnya dari
al-Laits dan `Amrû ibn al-Harits yang didekati.
152
Ibid., h. 401-402. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 438-439.
101
- Al-Atsra‟ dari Ahmad berkata: tidak ada dalam golongan kaum
Mesir atsbat dari al-Laits begitu juga `Amrû ibn al-Hârits, adapun
`Amrû menurut saya tsiqah akan tetapi kemudian saya melihat
bahwa dia banyak kemungkaran-kemungkarannya, kemudian al-
Laits ibn Sa`ad berkata: tidak ada seorangpun yang lebih shahih
hadisnya (`Amrû ibn al-Harits) maka dengan ini menjadikan orang
memuji dia (`Amrû ibn al-Harits).
- Abû Thâlib dari Ahmad berkata: al-Laits merupakan seorang yang
banyak ilmunya, dan meriwayatkan banyak hadis shahih.
- Ibnu Abû Khaitsamah dan Ishâq ibn Manshûr dari Ibnu Ma`în
berkata: tsiqah.
- Al-Daurî berkata: saya bertanya kepada Ibnu Ma`în: manakah yang
atsbat al-Laits atau Ibnu Abû Dzi‟bî dari Sa`îd al-Maqbûrî? Ibnu
Ma`în berkata: keduanya. Kemudian dia juga berkata: al-Laits
atsbat dalam (riwayat) Yazîd ibn Abû Habîb dari Muhammad ibn
Ishâq.
- `Utsmân al-Dârimî berkata: saya berkata kepada Ibnu Ma`în:
apakah al-Laits lebih kamu suka dari Yahya ibn Ayyûb? Ibnu
Ma`în berkata: al-Laits lebih saya suka akan tetapi Yahya juga
orang yang tsiqah. Kemudian saya (`Utsmân al-Dârimî) bertanya
(kembali): kalau Ibrâhîm ibn Sa`ad dengan al-Laits? dia (Yahya
ibn Ayyûb) berkata: keduanya tsiqah. Saya (`Utsmân al-Dârimî)
102
bertanya lagi: bagaimana hadis riwayat al-Laits dari Nâfi`? dia
(`Utsmân al-Dârimî) berkata: shâlih, tsiqah.
- Ibnu al-Madînî berkata: al-Laits tsiqah, tsabat.
- Al-`Ajalî berkata: al-Laits merupakan orang Mesir tsiqah.
- Al-Nasâ‟i berkata: al-Laits tsiqah.
- Abû Zar`ah berkata: al-Laits shadûq.
- Ibnu Kharasy berkata: al-Laits shadûq juga meriwayatkan hadis
yang shahih.
- Yahya ibn Bukair dari Ibnu Wahab berkata: saya ditanya Mâlik
tentang al-Laits, bagaimana kejujurannya? Maka saya menjawab:
sesungguhnya al-Laits sangat jujur sekali.
- `Amrû ibn `Alî berkata: al-Laits ibn Sa`ad shadûq, saya pernah
mendengar Ibnu al-Mahdî mengucapkan hadis dari Ibnu al-
Mubârak dari al-Laits dan al-Laits (sendiri) mendengarkan dengan
qira`ah dari al-Zuhrî.
- Ibnu Bukair berkata: saya tidak pernah melihat orang yang
sempurna seperti al-Laits, dia (al-Laits) merupakan orang yang
faqih, mempunyai logat Arab, baik dalam bacaan al-Qur'an dan
ilmu Nahwu, seorang hafidz hadis Nabi dan syair, baik dalam
mengingat hafalan dan saya tidak pernah melihat seperti dia (al-
Laits).
103
- Ya`qûb ibn Sufyân dari Ibnu Bukair berkata: al-Laits lahir pada
tahun 94 H. dan meninggal pada hari jum`at pertengahan bulan
Sya`ban pada tahun 175 H.
Pendapat para kritikus tentang jarh dari al-Laits ibn Sa`ad:
- Abû Dâwud dari Muhammad ibn al-Husain berkata: bahwa saya
mendengar Ahmad berkata: bahwa al-Laits tsiqah akan tetapi
beliau dalam mengambil hadis sangat mudah.153
f) Yahya ibn Bukair
Nama lengkap beliau adalah Yahya ibn `Abdullâh ibn Bukair
al-Qurasyiyyi al-Makhzumiyyi seorang budak dari Abû Zakariyyâ al-
Mishriyyi. Nama beliau dinisbahkan kepada nama kakeknya.154
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Mâlik, al-Laits, Bakar ibn Madhar, Hammâd ibn Zaid, `Abdullâh ibn
Suwaid al-Mishrî, `Abdullâh ibn Luhai`ah, Mughîrah ibn `Abd al-
Rahman ibn al-Hazamî, Ya`qûb ibn `Abd al-Rahman al-Qâri', `Abd al-
`Azîz al-Darawardî, `Auf ibn Sulaimân al-Qâdhî, Mufdhal ibn
Fadhâlah, Dhamrah ibn Rabî`ah dan lain sebagainya.155
153
Ibid., h. 402-405. Lihat Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, 439-449. Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 181. Abû
al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h.
307. 154
Ibid., j. 11, h. 207. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 20, h. 136. 155
Ibid., h. 207. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 136.
104
Nama-nama muridnya dalam periwayatan hadis antara lain: al-
Bukhârî, Muslim dan Ibnu Mâjah dengan perantaraan Muhammad ibn
`Abdullâh atau yang dikenal dengan nama al-Dzahilî, Muhammad ibn
`Abdullâh ibn Namîr, Muhammad ibn Ishâq al-Shaghânî, Sahal ibn
Zanjalah Harmalah ibn Yahya, Abû Zar`ah al-Râzî, Abû `Ubaid al-
Qâsim ibn Salam yang meninggal sebelum Yahya ibn Bukair, anaknya
sendiri yakni `Abd al-Mâlik ibn Yahya ibn Bukair, Yahya ibn Ma`în,
Dahîm, Yûnus ibn `Abd al-A`la al-Shadafî, Baqâ‟ ibn Makhlad,
Ismâ`îl Samawaih, Yahya ibn Ayyûb ibn Badî` al-`Alaf, Muhammad
ibn Ibrâhîm al-Busyanjî, Abû `Alî al-Busyanjî, Abû `Alî al-Hasan ibn
al-Faraj al-Ghâzî dan lain sebagainya.156
Pendapat kritikus tentang ta`dil dari Yahya ibn Bukair:
- Bahwa beliau disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.
Berkata Abû Dâwud bahwa saya mendengar Yahya ibn Ma`în
mengatakan Abû Shâlih mempunyai banyak sekali kitab, akan
tetapi Yahya ibn Bukair lebih hafal atau ahfadz dari Abû Shâlih.
- Al-Sâji berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah shadûq yang
meriwayatkan hadis dari al-Laits sangat banyak sekali.
- Ibnu `Adî berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah murid al-Laits
ibn Sa`ad dan beliau adalah atsbat al-nâs.
- Al-Khalîlî berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah tsiqah dan
beliau sendiri meriwayatkan banyak hadis dari Mâlik.
156
Ibid., h. 207. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 136-137.
105
- Ibnu Hibbân berkata: bahwa Yahya ibn Bukair meninggal dunia
pada pertengahan bulan Shafar tahun 231 H.
- Ibnu Yûnus berkata: bahwa Yahya ibn Bukair lahir tahun 154 H.
Pendapat kritikus tentang jarh dari Yahya ibn Bukair:
- Abû Hâtim berkata: bahwa tidak mengapa hadis dari Yahya ibn
Bukair ditulis, akan tetapi tidak boleh dijadikan hujjah karena
keadaan ini sudah dapat kita pahami.
- Al-Nasâ‟i berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah dho‟if. Al-
Nasâ‟i juga berkata: dalam kesempatan lain bahwa Yahya ibn
Bukair adalah laisa bi tsiqah.157
g) Al-Bukhârî
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm
ibn al-Mughîrah ibn Bardizabah. Ada juga yang mengatakan
Bandizabah. Ada juga yang mengatakan Ibnu al-Ahnaf al-Ju‟afi, Abû
`Abdullâh al-Bukhârî.158
Nama-nama gurunya dalam periwayatan hadis antara lain :
`Ubaidillâh ibn Mûsa, Muhammad ibn `Abdullâh al-Anshârî, „Affân,
Abû „Âshim al-Nabîl, Makkî ibn Ibrâhîm, Abû al-Mughîrah, Abû
Mashar, `Abdullâh ibn Yûsuf, Ahmad ibn Khâlid al-Wahabî, dan lain
sebagainya selain mereka dari golongan tabi‟in yang mendapatkan
157
Ibid., h. 207-208. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 137-138. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 406. 158
Ibid., j. 9, (Dâr al-Shâdir), h. 47. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb
al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, j. 16, h. 84.
106
hadis secara sima’ dari Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm dan juga
generasi sesudah tabi‟in yang meriwayatkan hadis secara kitabah.159
Nama-nama muridnya dalam periwayatan hadis: al-Tirmidzî
dalam kitab al-Jâmi’ yang banyak sekali, Muslim dalam kitab selain
al-Jâmi’, al-Nasâ‟i dalam bab puasa dari Muhammad ibn Ismâ`îl dari
Hafsh ibn „Umar ibn al-Hârits dari Hammâd sebuah hadis, al-Nasâ‟i,
Abû Zar‟ah, Abû Hâtim, Ibrâhîm al-Harbî, Ibnu Abû al-Dunyâ, Shâlih
ibn Muhammad al-Asadi, Abû Basyar al-Daulabî, Muhammad ibn
„Abdullâh al-Hadhramî, al-Qâsim ibn Zakariyâ, Ibnu Abû „Âshim,
Ibnu Huzaimah, „Umair ibn Muhammad ibn Bujair, Husain ibn
Muhammad al-Qabbânî, Abû „Amrû al-Khaffâf al-Naisâbûrî, dan
banyak sekali yang lainnya.160
Pendapat para ulama tentang ta`dil dari Imam al-Bukhârî:
- Bukair ibn Numair berkata: saya mendengar al-Hasan ibn al-
Husain al-Bazar di negeri Bukhara : saya melihat Muhammad ibn
Ismâ`îl ibn Ibrâhîm sebagai seorang syekh sedang badannya tidak
tinggi dan juga tidak pendek. Lahirnya pada bulan Syawwal tahun
194 H. Meninggalnya pada hari sabtu pada bulan Syawwal tahun
256 H. Hidup selama 62 tahun kurang 13 hari.
- Ahmad ibn Yasar al-Marûzî berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl ibn
Ibrâhîm adalah seorang pencari ilmu, orang yang pandai bergaul
159
Ibid., j. 9, h. 47. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 84-85. 160
Ibid., j. 9, h. 47-48. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 86-87.
107
bepergian dalam mencari hadis dan pandai dalam hadis serta lebih
teliti dalam hadis, dan dia merupakan orang yang baik dalam
brpikir dan baik juga dalam menghafal hadis serta paham betul
hadis tersebut.
- Abû al-`Abbas ibn Sa`îd berkata: kalau ada seorang laki-laki yang
menulis sebanyak 30.000 hadis belum cukup dari pada kitab
Târîkh-nya Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.
- Al-Kisymihânî berkata: saya mendengar al-Farbarî mengatakan :
Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm berkata kepada saya: saya
tidak pernah menulis dalam kitab saya sebuah hadis kecuali saya
bersuci sebelumnya dan kemudian shalat sunnah dua rakaat (baru
saya menuliskannya).
- Ja‟far ibn Muhammad al-Qathan (imam masjid Jâmi' di Karmenia)
berkata: saya pernah mendengar Muhammad ibn Ismâ`îl ibn
Ibrâhîm berkata: saya telah menulis dari 1000 syekh dan saya yang
lebih dari itu adalah hadis-hadis saya yang saya tuliskan bersama
sanad-sanadnya.
- Hâsyid ibn Ismâ`îl berkata: saya pernah di Bashrah maka datang
Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm berkata Muhammad ibn
Basyar: telah datang hari ini pemimpin orang-orang yang faqih.
- Al-Busyanjî berkata: saya pernah mendengar Bundar berkata: tidak
ada seorang yang seperti Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.
108
- Yusuf ibn Raihan berkata: saya mendengar Muhammad ibn Ismâ`îl
mengatakan: suatu ketika `Alî ibn al-Madînî bertanya kepada saya
tentang syekh yang berasal dari Khurasan, saya berkata: setiap
orang yang saya puji kepadanya dia adalah al-Râdhî.
- Al-Farbarî berkata: saya pernah mendengar Muhammad ibn Ismâ`îl
ibn Ibrâhîm mengatakan: saya tidak pernah merendahkan diri saya
kepada seseorang kecuali kepada `Alî kemungkinan saya yang
tidak akrab atau asing sekali bagi dia.
- Abû Quraisy Muhammad ibn Jum`ah berkata: saya mendengar
Bundar Muhammad ibn Basyar berkata: orang-orang yang hafal di
dunia ini ada empat orang. Maka dia menyebutkan Muhammad ibn
Ismâ`îl ibn Ibrâhîm sebagai salah satunya.
- Abû Mush`ab berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm adalah
orang yang paling faqih diantara kita dan lebih teliti daripada Ibnu
Hanbal.
- `Âmir ibn al-Mutaji‟ dari Ahmad ibn al-Dhau‟ berkata: saya
mendengar Abû Bakar ibn Abû Syaibah dan Muhammad ibn
`Abdullâh ibn Numair mereka berdua mengatakan: kami tidak
pernah melihat orang seperti Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.
- Mahmûd ibn al-Nadhar al-Syâfi`î berkata: saya masuk ke kota
Bashrah, Syam, Hijaz, Kufah dan saya melihat ulama-ulama yang
berada di daerah tersebut, maka setiap saya berada di suatu daerah
109
disebutkan Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm merekapun
memuliakannya dari diri mereka sendiri.
- `Abdullâh ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: saya mendengar ayah
saya mengatakan: habislah sudah para penghafal kecuali tinggal
empat dari ahli Khurasan, maka disebutkanlah nama Muhammad
ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm diantaranya.
- `Abdullâh ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: saya mendengar ayah
saya mengatakan: tidak ada seorangpun dari Khurasan selain
Muhammad ibn Ismâ`îl.
- Shâlih ibn Muhammad al-Asadî berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl
merupakan orang yang paling mengetahui tentang hadis.
- Ya`qûb ibn Ibrâhîm ad-Dauruqî berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl
ibn Ibrâhîm adalah seorang yang faqih di umat ini.
- Al-Fadhâl ibn `Abbâs al-Râzî berkata: saya pulang bersama
Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm dalam satu perjalanan, maka
saya bersungguh-sungguh mengajukan suatu hadis yang mana
tidak diketahuinya maka saya tidak bisa untuk memungkinkannya.
- Ishâq ibn Ahmad ibn Zairâk berkata: saya mendengar Muhammad
ibn Idrîs al-Râzî Abû Hâtim mengatakan: Muhammad ibn Ismâ`îl
ibn Ibrâhîm lebih mengetahui orang yang masuk ke kota `Irâq.
- `Abdân ibn `Utsmân berkata: saya tidak pernah melihat dengan
mata kepala saya sendiri seorang laki-laki yang lebih tajam
penglihatannya dari Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.
110
- Shâlih ibn Yasar berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm
merupakan seorang yang faqih di zaman ini.
- Yahya ibn Ja`far berkata: kalau seandainya saya mampu untuk
menambah umurnya niscaya saya akan lakukan.
- Al-Hâkim berkata: saya mendengar Abû Thayiib mengatakan: saya
mendengar Ibnu Khuzaimah mengatakan: saya tidak pernah
melihat di bawah penghuni langit yang lebih mengetahui hadis dari
Rasulullah dan yang lebih hafal dari hadis Rasul tersebut kecuali
al-Bukhârî.
- Ada yang menanyakan kepada Abû `Abdullâh yakni Ibnu al-
Akhram tentang suatu hadis, maka diapun berkata: sesungguhnya
al-Bukhârî tidak mengemukakan hadis tersebut. Maka dikatakan
kepada Ibnu al-Akhram hadis tersebut telah disebutkan oleh
Muslim. Kemudian berkatalah Abû `Abdullâh: sesungguhnya al-
Bukhârî adalah orang yang lebih mengetahui dari Muslim dan dari
kamu (Ibnu al-Akhram) dan dari saya.
- `Abdullâh ibn `Abd al-Rahman al-Dârimî berkata: saya telah
melihat ulama-ulama diantara negeri Haram dan Iraq, maka saya
tidak melihat ulama di mereka yang lebih kompeten dari dia (al-
Bukhârî).
- Ghanjar dalam kitab Târikh karya al-Bukhârî berkata: Abû `Îsa al-
Tirmidzî berkata kepadanya: Allah telah menjadikanmu sebagai
penghias dalam umat ini wahai Abû `Abdullâh. Abû `Îsa al-
111
Tirmidzî berkata dalam Jâmi’: saya tidak melihat di dalam makna
kecacatan dan perawi-perawi dari orang selain al-Bukhârî.
- Ishâq ibn Rahwiyah berkata: wahai orang-orang sahabat hadis
tulislah dari pemuda ini. Maka sesungguhnya kalau seandainya dia
hidup di zaman al-Hasan ibn Abû al-Hasan maka orang-orang akan
meminta darinya untuk dijadikan hujjah untuk mengetahui darinya
hadis dan fiqih yang dimilikinya.
- Muhammad ibn Nashar al-Marûsyî berkata: saya mendengar
Muhammad ibn Ismâ`îl mengatakan: barang siapa yang
mengatakan dari saya yang mengatakan secara perkataan bahwa al-
Qur'an itu makhluk, maka dia telah berbohong dan sesungguhnya
saya mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah tercipta atau
makhluk.
Pendapat kritikus tentang jarh Imam al-Bukhârî:
- Abû Bakar Muhammad ibn Harb berkata: saya bertanya kepada
Abû Zar`ah tentang Muhammad ibn Humaid, maka dia menjawab:
ditinggalkan oleh Abû `Abdullâh yakni al-Bukhârî.
- Muhammad ibn al-`Abbâs al-Dhâbî berkata: saya mendengar Abû
Bakar ibn Abû `Amrû al-Hâfizh mengatakan: adapun sebab yang
memisahkan Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Balad yaitu
al-Bukhârî yaitu sesungguhnya Khâlid ibn Ahmad al-Amîr
memintanya untuk menghadiri atau datang ke tempatnya untuk
membacakan kitab al-Jâmi’ dan al-Târikh kepada anak-anaknya
112
maka tidak dibolehkan. Kemudian memintanya kembali untuk
mengadakan sebuah majelis ilmu yang tidak dihadiri oleh yang lain
kecuali anak-anaknya dilarangnya juga. Maka kemudian meminta
bantuan kepada Hârits ibn Abû al-Warqâ‟ dan yang lainnya
sehingga para ulama tersebut berkata kepadanya dan memintanya
keluar dari negaranya, maka dia memenuhi panggilan dari para
ulama tersebut.
- Maslamah dalam kitab al-Shilâh berkata: adapun al-Bukhârî adalah
orang yang terpercaya, tinggi kemampuannya, seorang yang `Alîm
tentang hadis dan dia mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk
maka diingkarilah pendapat tersebut dari ulama-ulama Khurasan,
maka diapun kAbûr dan meninggal dalam keadaan ketakutan. 161
2. Biografi periwayat dalam hadis riwayat Muslim
a. Abû Hurairah
b. Abû Salamah
c. Ibnu Syihâb
d. Yûnus al-Ailî
Nama lengkap beliau adalah Yûnus ibn Yazîd ibn Abû al-
Najâd, ada juga yang berkata Yûnus ibn Yazîd ibn Misykân ibn Abû
al-Najâd al-Ailî Abû Yazîd al-Qurasyiyyi seorang budak dari
161
Ibid., j. 9, h. 55. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 87-108.
113
Mu`âwiyah ibn Abû Sufyân. Beliau merupakan saudara dari Abû `Alî
ibn Yazîd dan paman dari `Anbasah ibn Khâlid ibn Yazîd.162
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Ibrâhîm ibn Abû `Ablah al-Muqaddasî, Hakam ibn `Abdullâh ibn
Sa`ad al-Ailî, `Ikrimah budak dari Ibnu `Abbâs, Imârah ibn Ghazyah,
`Amrû ibn `Abdullâh budak dari Ghafrah, `Imrân ibn Abû Anas, al-
Qâsim ibn Muhammad ibn Abû Bakar al-Shiddîq, Muhammad ibn
Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, Nâfi` budak dari `Umar, Hisyâm ibn
`Urwah dan saudaranya Abû `Alî ibn Yazîd al-Ailî.163
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Abû Dhamrah Anas ibn `Iyâdh al-Laitsi, Ayyub ibn Suwaid al-Ramlî,
Baqiyah ibn al-Walîd, Bahlûl ibn Râsyid, Jarîr ibn Hâzim, Hisân ibn
Ibrâhîm al-Kirmânî, Hafsh ibn `Umar al-Damsyiqî, Rasyidîn ibn Sa`ad
Sulaimân ibn Bilâl Syabîb ibn Sa`îd al-Habthi, Abû Syu`bah Shadaqah
ibn al-Muntashar al-Sya`banî, Thalhah ibn Yahya al-Zarqî, `Abdullâh
ibn al-Hârits al-Makhzûmî, `Abdullâh ibn Rajâ‟ al-Makkî, Abû
Shafwân `Abdullâh ibn Sa`îd al-Umawiyyi, `Abdullâh ibn al-Mubârak,
`Abdullâh ibn Wahab, `Abd al-Rahman ibn Amru al-Auza`î, `Utsmân
ibn al-Hakam, `Utsmân ibn `Umar ibn Fâris, `Alî ibn `Urwah al-
Dimasyqî, dan lain sebagainya.164
162
Ibid., j. 11, h. 450. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 20, h. 565. 163
Ibid., h. 450. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 565. 164
Ibid., h. 450. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 565-566.
114
Pendapat ulama tentang ta`dil Yûnus al-Ailî:
- Berteman dengan al-Zuhrî selama 12 tahun, ada juga yang berkata
14 tahun.
- Disebutkan oleh Khalîfah ibn Khiyâth seorang ahli Mesir dalam
Thabaqat ketiga. `Alî ibn al-Madînî berkata: saya bertanya kepada
`Abd al-Rahman ibn al-Mahdî dari Yûnus ibn Yazîd berkata: Ibnu
al-Mubârak pernah berkata bahwa kitabnya shahîh, Ibnu Mahdî
dan saya berkata kitabnya shahîh.
- `Abd al-Râzaq dari Ibnu al-Mubârak berkata: saya tidak pernah
melihat seseorang yang lebih periwayatannya untuk al-Zuhrî dari
Ma`mar kecuali Yûnus yang sangat hafal untuk Musnad, dan
dalam riwayat lain karena sesungguhnya Yûnus menuliskan
banyak kitab dalam satu bentuk.
- Ahmad berkata: Wakî` mendengar hadis secara sima` dari Yûnus
sebanyak tiga hadis.
- Hanbal ibn Ishâq berkata: saya tidak mendengar Abû `Abdullâh al-
Zuhrî dari Ma`mar kecuali Yûnus al-Ailî, karena dia menuliskan
semua hadisnya.
- Abû Bakar al-Atsrâm, Abû `Abdullâh, dan `Abd al-Razâq dari
Ibnu al-Mubârak berkata: saya tidak pernah melihat seorang yang
lebih periwayatannya dari al-Zuhrî dari Ma`mar kecuali Yûnus,
karena sesungguhnya dia menulis semua hadisnya.
115
- Al-Fadhâl ibn Ziyâd Ahmad berkata: Yûnus meriwayatkan banyak
hadis dari al-Zuhrî dari `Uqail, dan mereka berdua adalah orang
yang tsiqah.
- `Abbâs al-Daurî dari Yahya ibn Ma`în berkata: orang-orang yang
atsbat dari riwayat al-Zuhrî yaitu Mâlik, Ma`mar, Yûnus, `Uqail,
Syu`aib ibn Abû Hamzah dari Ibnu `Uyaynah.
- `Utsmân Ibnu Sa`îd al-Dârimî berkata: saya berkata kepada Yahya
ibn Ma`în apakah Yûnus atau `Uqail yang kamu sukai, dia berkata:
Yûnus tsiqah, `Uqail tsiqah. Keduanya mendapatkan hadis dari al-
Zuhrî.
- Ya`qûb ibn Syaibah dari Ahmad ibn al-`Abbâs berkata: saya
berkata kepada Yahya ibn Ma`în: siapakah yang lebih atsbat,
Ma`mar atau Yûnus, dia berkata: Yûnus lebih ketat sanadnya dari
keduanya, mereka berdua adalah orang yang tsiqah, adapun
Ma`mar adalah lebih mudah sanadnya.
- Abû Bakar ibn Abû Khaitsamah dari Yahya ibn Ma`în berkata:
Ma`mar dan Yûnus merupakan orang yang `Alîm dengan riwayat
al-Zuhrî.
- Al-`Ajalî dan al-Nasâ'i berkata: tsiqah.
- Ya`qûb ibn Syaibah berkata: shâlih al-hadits, `Alîm dengan hadis
al-Zuhrî.
- Abû Zar`ah berkata: lâ ba’sa bihi.
- Berkata Ibn Kharâsy: shadûq.
116
- Abû Sa`îd ibn Yûnus berkata: orang-orang menasabkan dia kepada
Bani Umayyah.
- Al-Qâsim ibn Muhammad dan Sâlim ibn `Abdullâh berkata: orang-
orang memperkirakan bahwa Yûnus meninggal di Sha`îd Mesir
tahun 152 H.
- Yahya ibn Bukair berkata: meninggal tahun 150-an.
- Al-Bukhârî dan al-Mufdhal ibn Ghassân al-Ghalâbî dan Ibnu
Hibbân berkata: meninggal pada tahun 159 H.
- Muhammad ibn `Azîz al-Ailî berkata: meninggal pada tahun 160
H.
Pendapat ulama tentang jarh dari Yûnus ibn Yazîd:
- Abû Zar`ah al-Dimasyqî berkata: saya mendengar Abû `Abdullâh
Ahmad ibn Hanbal mengatakan: di dalam hadis Yûnus ibn Yazîd
banyak yang mungkar berasal dari al-Zuhrî di antaranya dari Sâlim
dari bapaknya dari Rasulullah tentang hadis pengairan air dari air
hujan maka zakatnya 10 %.
- Muhammad ibn Sa`ad berkata: dia mempermudah dalam hadis,
tidak dijadikan hujjah hadisnya apabila ada hadisnya yang
mungkar.
- Abû al-Hasan al-Maimûni ditanyakan kepada Ahmad berkata:
siapakah yang atsbat di dalam riwayat al-Zuhrî, dia berkata:
Ma`mar, kemudian ditanyakan kepadanya: bagaimana dengan
Yûnus, dia berkata: dia meriwayatkan banyak hadis yang mungkar.
117
- Muhammad ibn `Auf dari `Ahmad ibn Hanbal berkata: Wakî`
berkata: saya melihat Yûnus ibn Yazîd al-Ailî hafalannya tidak
begitu bagus.165
e. `Abdullâh Ibn Wahab
Nama lengkap beliau adalah `Abdullâh ibn Wahab ibn Muslim
al-Qurasyiyi al-Fihrî Abû Muhammad al-Mishrî. Seorang yang faqih
budak dari Yazîd ibn Zamânah yang merupakan budak dari Yazîd ibn
Unais Abû `Abd al-Rahman al-Fihrî.166
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis: Ibrâhîm ibn
Sa`ad al-Zuhrî, Ibrâhîm ibn Nasyîd al-Wa`lânî, Usâmah ibn Zaid ibn
Aslam, Usâmah ibn Zaid al-Laitsî, Aflah, ibn Humaid, Abû Dhamrah
Anas ibn Iyâdh, Bakar ibn Mudhar, Tsawâbah ibn Mas`ûd al-
Tannaukhî, Jâbir ibn Ismâ`îl al-Hadhramî, Jarîr ibn Hazim al-Bashrî,
Harmalah ibn `Imrân al-Tujîbî, Hafsh ibn Maisarah al-Shan`ânî, Abû
Sakhr Humaid ibn Ziyâd al-Madanî, Abû Hâni` Humaid ibn Hâni` al-
Khaulânî, Wâqid ibn Salamah, Wâlid ibn al-Mughîrah, Yahya ibn
Ayyûb al-Mishrî, Ya`qûb ibn `Abd al-Rahman al-Qâri‟, Yûnus ibn
Yazîd al-Ailî dan lain sebagainya.167
165
Ibid., h. 450-452. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 566-568. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 411. 166
Ibid., j. 6, h. 71. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 10, h. 619. 167
Ibid., h. 71. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 619-620.
118
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Ibrâhîm ibn Mundzir al-Hisyâmî, Ahmad ibn Sa`îd al-Hamdânî,
Ahmad ibn Shâlih al-Mishrî, anak saudaranya Ahmad ibn `Abd al-
Rahman ibn Wahab, Abû al-Thâhir Ahmad ibn `Amrû ibn al-Sarh,
Ahmad ibn `Îsa al-Mishrî, Ahmad ibn Yahya ibn al-Wazîr ibn
Sulaimân, Ishâq ibn Mûsa al-Anshârî, Ashbagh ibn al-Faraj, Bahri ibn
Nashar ibn Sâbiq al-Khaulânî, al-Hârits ibn Miskîn, Abû Humaid
Habrah ibn Lakhm ibn al-Muhâjir al-Iskandarânî, Hajâj ibn Ibrâhîm al-
Azraq, Harmalah ibn Yahya, Zakaria ibn Yahya, Suraij ibn Nu`mân al-
Jauharî dan lain sebagainya.168
Pendapat ulama tentang ta`dil `Abdullâh ibn Wahab:
- Abû al-Hasan al-Maimunî berkata: saya mendengar Abû `Abdullâh
kemudian menyebutkan Ibnu Wahab maka berkata: dia (Ibnu
Wahab) merupakan seorang pemuda yang berakal, beragama bagus
dan mempunyai badan yang sehat.
- Abû Thâlib dari Ahmad ibn Hanbal berkata: `Abdullâh ibn Wahab
meriwayatkan hadis yang shahih yang melebihkan metode sima`
dari pada bertentangan, dan dari berbagai hadis lebih banyak yang
shahih dan diriwayatkan oleh yang atsbat. Dikatakan kepadanya
(Ahmad ibn Hanbal): bukankah dia (`Abdullâh ibn Wahab) berbuat
tidak baik dalam mengambil hadis? akan tetapi apabila kamu
168
Ibid., h. 71-72. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 621-622.
119
melihat hadisnya dan dari guru-gurunya, maka kamu akan
mendapati bahwa hadisnya adalah shahih.
- Abû Bakar ibn Abû Khaitsamah dari Yahya ibn Ma`în berkata:
tsiqah.
- Ahmad ibn Shâlih al-Mishrî berkata: Ibnu Wahab meriwayatkan
hadis sebanyak 100.000 hadis, saya tidak pernah melihat orang
Hijaz, Syam, dan Mesir lebih banyak hadisnya dari dia (`Abdullâh
ibn Wahab) dan yang sampai kepada kami sebanyak 70.000 hadis.
- Ahmad ibn Mûsa al-Hadhramî berkata: hadis `Abdullâh ibn Wahab
semuanya diriwayatkan oleh Harmalah kecuali 2 hadis.
- Yûnus `Abd al-A`la dari Hârun ibn `Abdullâh al-Zuhrî berkata:
orang-orang berbeda pendapat tentang hadisnya Mâlik, maka
mereka mendahulukan untuk melihat kepada `Abdullâh ibn Wahab
sampai mereka bertanya kepadanya.
- Abû Zar`ah berkata: saya mendengar Ibnu Bukair berkata:
`Abdullâh ibn Wahab lebih faqih dari Ibnu al-Qâsim.
- Abû Hâtim ibn Hibbân berkata: Ibnu Wahab mengumpulkan dan
membukukan hadis. Dia (Ibnu Wahab) merupakan orang yang
hafizh di antara ahli Hijaz dan Mesir dari hadis mereka dan hadis
saya, apa yang mereka telah meriwayatkan dari kitab-kitab
Musnad.
- Abû Sa`îd ibn Yûnus berkata: menceritakan kepada saya bapak
saya dari kakek saya: saya mendengar `Abdullâh ibn Wahab
120
berkata: saya lahir pada tahun 125 H dan pada umur 17 tahun saya
menuntut ilmu.
- Abû al-Zanbagh dari Yahya ibn Bukair berkata: berkata kepada
saya `Abdullâh ibn Wahab: saya lahir pada bulan Dzulqa`dah pada
tahun 125 H.
- Abû Sa`îd ibn Yûnus berkata: beliau meninggal pada hari Ahad
akhir minggu ke-4 dari bulan Sya`ban tahun 197 H.
- Abû Bakar al-Khathîb berkata: meriwayatkan darinya al-Laits ibn
Sa`ad al-Fahmî dan Rabî` ibn Sulaimân al-Marâd dan di antara
wafat keduanya 95 tahun dan meriwayatkan darinya `Abd al-
Rahman ibn Mahdî dan di antara wafatnya dan wafat al-
Rabî`berselisih 72 tahun.169
Pendapat ulama tentang jarh `Abdullâh ibn Wahab:
- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang
pribadi`Abdullâh ibn Wahab.
f. Abû Sufwân Al-Umawiyyi
Nama lengkap beliau adalah `Abdullâh ibn Sa`îd ibn `Abd al-
Mâlik ibn Marwân ibn al-Hakam ibn Abû al-`Âsh ibn Umayyah al-
Qurasyiyyi Abû Sufwân al-Dimasyqî. Ibunya bernama Ummu Jamîl
binti `Amrû ibn `Abdullâh ibn Sufwan ibn Umayyah, ibunya pergi
bersama dia ke Mekkah ketika ayahnya terbunuh di sungai Abû
169
Ibid., h. 72-74. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 622-625. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 202.
121
Fathras ketika itu terjadi pada tahun 132 H. beliau meninggal dalam
usia sekitar 200 tahun.170
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
`Utsmân ibn Zaid al-Laitsî, Tsaur ibn Yazîd al-Rahbî, bapaknya Sa`îd
ibn `Abd al-Mâlik ibn Marwân, Salîm ibn Naufal ibn Masâhiq, `Abd
al-Mâlik ibn Juraij, Mâlik ibn Anas, Majâlid ibn Sa`îd, Muhammad ibn
`Abd al-Rahman ibn Abû Dzi‟bî, Mûsa ibn Yasar al-Ardânî guru dari
Makhûl, Yûnus ibn Yazîd al-Ailî.171
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Ahmad ibn Hanbal, Abû Haitsamah, Zuhair ibn Harb, Sulaimân ibn
Dâwud al-Syâdzahûnî, `Abdullâh Rajâ‟ al-Ghadâni, `Abdullâh al-
Zubair al-Humaidî, Abû Muslim `Abd al-Rahman ibn Yûnus al-
Mustamlî, `Alî ibn al-Madînî, Qutaibah ibn Sa`îd, Muhammad ibn
Idrîs al-Syâfi`î, Abû Ya`la Muhammad ibn al-Shilat, Muhammad `Ibâd
al-Makkî, Nu`aim ibn Hamâd al-Marûzî.172
Pendapat ulama tentang ta`dil Abû Sufwân al-Umawiyyi:
- Al-Mufadhal ibn Ghasâh al-Ghalâbî dari Yahya ibn Ma`în: tsiqah.
Hal ini seperti perkataan Ismâ`îl ibn Ishâq al-Qâdhî dari `Alî ibn al-
Madîni dan Abû Muslim al-Mustamlî.
- Abû Za`ah berkata: la ba’sa bihi, shadûq.
170
Ibid., j. 5, h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 10, h. 183. 171
Ibid., h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 183. 172
Ibid., h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 183.
122
- Disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.
- `Alî ibn al-Madîni `Alî ibn al-Madîni berkata: berkata kepada saya
Abû Sufwân: yang menjadi teladan saya adalah Yahya ibn Yahya
al-Ghasâni.173
Pendapat ulama tentang jarh Abû Sufwân al-Umawiyyi:
- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang pribadi
Abû Sufwân al-Umawiyyi.
g. Harmalah Ibn Yahya
Nama lengkap beliau adalah Harmalah ibn Yahya ibn
`Abdullâh ibn Harmalah ibn `Imrân ibn Qirâd al-Tujîbî Abû Hafsh al-
Mishrî, seorang murid dari Imam al-Syâfi`î.174
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Idrîs ibn Yahya al-Khûlânî, Ayyûb ibn Suwaid al-Ramlî, Basyar ibn
Bakar al-Tanîsî, Sa`î ibn Hakam ibn Abû Maryam, Abû Shâlih
`Abdullâh ibn Shâlih yang merupakan sekretarisnya, al-Laits ibn
Sa`ad, `Abdullâh ibn Muhammad ibn Ishaq al-Fahmî yang dikenal
dengan al-Baithârî, `Abdullâh ibn Wahab, `Abdullâh ibn Yûsuf al-
Tânisî, `Abd al-Rahman ibn Ibrâhîm al-Dimasyqî yang merupakan
173
Ibid., h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 183-184. 174
Ibid., j. 2, h. 229. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 4, h. 220.
123
tetangganya, Yahya ibn `Abdullâh ibn Bukair, bapaknya Yahya ibn
`Abdullâh ibn Harmalah ibn `Imrân al-Tujîbî, dan lain sebagainya.175
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:
Muslim, Ibnu Mâjah, Ibrâhîm ibn Ahmad ibn Yahya ibn al-Aslam al-
Mishri, Ibrâhîm ibn `Abdullâh ibn al-Junaid al-Khatlî, Abû Dajânah
Ahmad ibn Ibrâhîm ibn al-Hakam ibn Shâlih al-Mishrî, Ahmad ibn
Dâwud ibn Abû Shâlih `Abd al-Ghaffâr ibn Dâwud al-Kharânî, anak
dari anak-anaknya Ahmad ibn Thâhir ibn Harmalah ibn Yahya, Abû
`Abd al-Rahman Ahmad ibn `Utsmân al-Nasâ'i al-Kabîr Rafîq Abû
Hatim al-Râzî dalam perjalanan ke Mesir, Ahmad ibn Muhammad ibn
al-Hajâj ibn Rasyidîn ibn Sa`ad, Ahmad ibn al-Haitsam ibn Hafsh al-
Tsaghrî Qâdhî Tharsûs, Ahmad ibn Yahya ibn Zakîr al-Mishrî, dan
lain sebagainya.176
Pendapat ulama tentang ta`dil dari Harmalah ibn Yahya:
- Abû Ahmad ibn `Adî berkata: menceritakan kepada kami Ibnu
Hamâd yakni Abû Basyar al-Daulabî berkata: saya mendengar
Yahya berkata: dia (Harmalah) merupakan seorang syekh di Mesir.
Dikatakan kepada (Harmalah) bahwa beliau orang yang paling
mengetahui hadis dari Ibnu Wahab.
- Ibnu `Adî berkata: saya mendengar Muhammad ibn Mûsa al-
Hadhramî menyebutkan nama-nama dari sebagian guru-gurunya,
175
Ibid., j. 2, h. 229. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h.220-221. 176
Ibid., h. 229-230. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 220-221.
124
kemudian berkata: saya mendengar `Ahmad ibn Shâlih berkata:
Ibnu Wahab menuliskan hadis sebanyak 100.000 hadis. 20.000
hadis ditulis oleh sebagian orang akan tetapi cuma setengahnya,
dan sebagian lagi ditulis dengan sempurna oleh Harmalah.
- Ibnu `Adî berkata: berkata kepada kami Muhammad ibn Mûsa al-
Hadhramî: hadis Ibnu Wahab semuanya ada pada Harmalah
kecuali 2 hadis yang disendirikan olehnya.
- Ibnu `Adî berkata: sesungguhnya Ahmad ibn Shâlih mendengar
hadis dari kitab Harmalah dari Ibnu Wahab, maka di ambillah
setengahnya, kemudian mencegah yang setengahnya lagi. Maka
muncullah permusuhan antara mereka berdua. Ketika Harmalah
memasuki Mesir, Ibnu Shâlih tidak mau meriwayatkan hadis dari
Harmalah. Harmalah meninggal pada tahun 244 H., sedangkan
Ibnu Shâlih meninggal pada tahun 248 H.
- Abû Sa`îd ibn Yunus berkata: Harmalah lahir pada tahun 156 H.,
dan meninggal pada malam kamis malam ke-9 bulan Syawal tahun
243 H. seperti yang diriwayatkan al-Nasâ'i.
Pendapat ulama tentang jarh dari Harmalah:
- Abû Hâtim berkata: hadis dari Harmalah boleh ditulis akan tetapi
tidak boleh dijadikan hujjah.
- Ibnu `Adi berkata: saya bertanya kepada Abdullâh ibn Muhammad
ibn Ibrâhîm al-Farhâdzânî untuk menuliskan kepada saya suatu
hadis dari Harmalah, maka beliau berkata: wahai anakku, apa yang
125
kamu perbuat dengan hadis Harmalah? Harmalah itu dho`if, maka
kemudian beliau menuliskan hadis dari Harmalah kepada saya 3
buah hadis tidak lebih.177
h. Zuhair Ibn Harb (Abû Khaitsamah)
Nama lengkap beliau adalah Zuhair ibn Harb ibn Syadâd al-
Harsyi Abû Khaitsamah al-Nasâ'i Nazîl Baghdâd budak dari Bani
al-Harîsy ibn Ka`ab ibn `Âmir ibn Sha`sha`ah.178
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara
lain: Ahmad ibn Ishâq al-Hadrâmi, Abû al-Jawâb al-Ahwash ibn
Jawâb, Ishâq ibn `Îsa ibn al-Thabâ‟, Ishâq ibn Yûsuf al-Azraq,
Ismâ`îl ibn Abû Uwaisy, Ismâ`îl ibn `Alîyah, Basyar ibn al-Sari,
Jarîr ibn `Abd al-Humaid, Hibbân ibn Hilâl, Hajâj ibn Muhammad
al-Mishrî, Hajîn al-Matsanî, al-Hasan ibn Mûsa al-`Asyîb, al-
Husain ibn Muhammad al-Mahrûdzî, Hafsh ibn Ghiyâts, Humaidî
`Abd al-Rahman al-Ruâsi, Rûh ibn `Ubadah, Zaid ibn al-Hubâb,
Sufyân ibn `Uyaynah, Syabâbah ibn Suwâr, Abû `Ashîm al-Dhahâk
ibn Makhlad, `Abdullâh ibn Sa`îd al-Umawiyyi, `Abdullâh ibn
Yazîd al-Maqrâ'i, dan lain sebagainya.179
177
Ibid., h. 230-231. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 221-222. 178
Ibid., j. 3, h. 342-343. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, j. 6, h. 335. 179
Ibid., h. 343. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 335-336.
126
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara
lain: al-Bukhârî, Muslim, Abû Dawud, Ibnu Mâjah, Ibrâhîm ibn
Ishâq al-Harbî, anaknya Abû Bakar Ahmad ibn Abû Khaitsamah,
Abû Ibrâhîm Ahmad ibn Sa`ad al-Zuhrî, Abû Bakar Ahmad ibn
`Alî ibn Sa`îd al-Marûzî al-Qâdhî, Abû Ya`la Ahmad ibn `Alî ibn
al-Matsnâ al-Muwashalî, Baqi‟ ibn Makhlad al-Andalûsî, Ja`far ibn
Abû `Utsmân al-Thayâlisî, Hârits ibn Muhammad ibn Abû Usâmah
al-Tamîmî, `Abbâs ibn Muhammad al-Daurî, Abû Bakar `Abdullâh
ibn Muhammad ibn Abû al-Dunyâ, Abû Zar`ah, `Ubaidillâh ibn
`Abd al-Karîm al-Râzî, `Utsmân ibn Khardzâdz al-Anthâki, Abû
Hâtim Muhammad ibn Idrîs al-Râzî.180
Pendapat ulama tentang ta`dil Zuhair ibn Harb:
- Hâtim berkata: shadûq.
- Ya`qub ibn Syaibah berkata: Zuhair atsbat dari `Abdullâh ibn
Muhammad ibn Abû Syaibah. `Abdullâh itu orang yang
mempermudah dalam hadis.
- Ja`far ibn Muhammad al-Faryâbi berkata: saya bertanya kepada
Muhammad ibn `Abdullâh ibn Namîr: manakah yang lebih
kamu sukai (dalam periwayatan hadis) antara Abû Khaitsamah
atau Abû Bakar ibn Syaibah? beliau menjawab: Abû
Khaitsamah.
180
Ibid., h. 343. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 336.
127
- Abû `Ubaid al-Âjiri berkata: saya bertanya kepada Abû Dâwud:
apakah Abû Khaitsamah hujjah dalam periwayatan hadis?
beliau berkata: begitu indah pengetahuan ilmunya (Abû
Khaitsamah).
- Al-Nasâ'i berkata: tsiqah, ma’mûn.
- Al-Husain ibn Fahm berkata: tsiqah, tsabat.
- Abû Bakar al-Khathîb berkata: dia orang yang tsiqah, tsabat,
hâfidz, dan mutqîn.
- Muhammad ibn `Abdullâh al-Hadhramî dan `Ubaid ibn
Muhammad ibn Khalaf al-Bazzâr dan Husain ibn Fahm
berkata: beliau meninggal pada tahun 234 H. Ibnu Fahm
menambahkan bahwa beliau meninggal di Baghdâd dan
dihadiri oleh banyak orang.
- Anaknya Abû Bakar ibn Abû Khaitsamah berkata: beliau lahir
pada tahun 160 H., dan meninggal pada malam kamis tanggal 7
Sya`bân tahun 234 pada masa Khalifah Ja`far dan umur beliau
adalah 74 tahun.181
Pendapat ulama tentang jarh Zuhair ibn Harb:
- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang
pribadi Zuhair ibn Harb.
181
Ibid., h. 343-344. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, 336-337. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-
Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 143.
128
i. Muslim ibn al-Hajjâj
Nama lengkapnya adalah Muslim ibn al-Hajjâj ibn Muslim
al-Qusyairî. Julukannya adalah Abû al-Hasan al-Naisâbûrî,
pengarang kitab Shahîh Muslim.182
Nama gurunya dalam periwayatan hadis antara lain:
Ibrâhîm ibn Khâlid al-Yasykurî, Ibrâhîm ibn Dînâr al-Tamar,
Ibrâhîm ibn Ziyâd Sabalan, Ibrâhîm ibn Sa‟ad al-Jauharî, Ibrâhîm
ibn Muhammad ibn `Ar`arah, Ismâ`îl ibn Abû Uwais, Ismâ`îl ibn
al-Khalîl al-Khazzaz, Ismâ`îl ibn Sâlim al-Shâigh, Umayyah ibn
Bistham, Bisyri ibn al-Hakam al-`Abdî, Bisyri ibn Khâlid al-
`Askarî, Bisyri ibn Hilâl al-Shawaf, Ja`far ibn Humaid al-Kûfî,
Hâjib ibn al-Walîd al-Manbijî, Hamîd ibn `Umar al-Bakrawî,
Hibbân Mûsa al-Marwazî, Hajjâj ibn al-Syâ`ir, Harmalah ibn
Yahya al-Tujîbî, al-Hasan ibn Ahmad ibn Abû Syu`aib al-Harranî,
al-Hasan ibn al-Râbi` al-Buranî, Khalaf ibn Hisyâm al-Basysyar,
Dâwud ibn Rusyaid, Dâwud ibn `Amrû al-Dhâbî, dan lain
sebagainya.183
Nama muridnya dalam periwayatan hadis: al-Tirmidzî satu
hadis, Ibrâhîm ibn Ishâq al-Shairafî, Ibrâhîm ibn Abû Thâlib,
Ibrâhîm ibn Muhammad ibn Hamzah, Ibrâhîm ibn Muhammad
Sufyân al-Faqîh, Abû Hâmid Ahmad ibn Hamdun ibn Rustûm al-
182
Ibid., j. 10, h. 126. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 18, h. 68. 183
Ibid., h. 126. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h.69-71.
129
A`masyî, Abû al-Fadhal Ahmad ibn Salamah al-Hâfizh, Abû
Hâmid Ahmad ibn `Alî al-Hasan ibn Hasnuwiyah al-Maqbûrî, Abû
`Amrû Ahmad ibn al-Mubârak al-Mustamilî, Abû Hâmid Ahmad
ibn Muhammad al-Husain Ibn al-Syarqî, dan lain sebagainya.184
Pendapat ulama tentang ta`dil Imam Muslim:
- Al-Hâkim Abû `Abdullâh al-Hâfizh berkata: telah diceritakan
kepada kami Abû al-Fadhal Muhammad ibn Ibrâhîm berkata :
saya mendengar Ahmad ibn Salamah mengatakan: saya telah
melihat Abû Zar`ah dan Abû Hâtim menghadap kepada Muslim
ibn al-Hajjâj untuk mengetahui orang-orang yang sahih atas
imam-imam pada zaman mereka berdua. Berkata juga al-
Hâkim: saya mendengar `Umar ibn Ahmad al-Zâhid
mengatakan: saya mendengar bahwa dia adalah orang yang
tsiqah dari sahabat-sahabat kami dan kebanyakan orangpun
sama pendapatnya dengan saya.
- Abû Sa‟îd ibn Ya`qûb mengatakan: saya mendengar Abû
`Abdullâh Muhammad ibn Ya`qûb mengatakan: saya
mendengar Ahmad ibn Salamah mengatakan: dilaksanakan
untuk Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj sebuah majelis
untuk belajar, maka disebutkan kepadanya sebuah hadis yang
dia belum mengetahuinya, maka diapun meninggalkan
rumahnya menuju ke rumah al-Sirâj, kemudian berkata:
184
Ibid., h. 126. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 72.
130
siapakah yang ada di rumah. Tidak boleh satu orangpun yang
memasuki rumah ini. Maka dikatakan kepadanya: dihadiahkan
kepada kita satu keranjang yang berisi buah kurma. Berkatalah
dia: berikanlah kurma itu kepada saya, maka dikasihkanlah
kurma itu kepadanya, maka diapun meminta hadis sambil
mengambil kurma itu satu per satu sampai kenyang, setelah
kurma itu habis dia juga mendapatkan hadisnya.
- Al-Hâkim berkata: saya mendapatkan kabar bahwa Muslim
adalah orang yang tsiqah dari sahabat-sahabat kami sampai dia
meninggal.
- Al-Hâkim berkata: saya mendengar Muhammad ibn Ya`qûb
dari Abû `Abdullâh al-Hâfizh mengatakan: meninggalnya
Muslim pada waktu malam hari pada hari ahad, dan
dimakamkan pada hari senin tanggal 5 bulan Rajab tahun 261
H. Berkata yang lainnya: dia dilahirkan pada tahun 204 H. 185
Pendapat para ulama tentang jarh Imam Muslim:
- Tidak seorangpun dari para ulama yang mengkritik tentang
pribadi Muslim ibn al-Hajjaj.
A. Biografi periwayat dalam hadis riwayat al-Tirmidzî
a. Abû Hurairah
b. Abû Salamah
185
Ibid., h. 127-128. Jamâluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal fi
Asma’ ar-Rijal, J. 18, h. 72-73.
131
c. Ibnu Syihâb
d. `Uqail
e. Al-Laits ibn Sa`ad
f. `Abdullâh ibn Shâlih
Nama lengkap beliau adalah `Abdullâh ibn Shâlih ibn
Muhammad ibn Muslim al-Jahnî budak dari Abû Shâlih al-Mishrî.
Beliau adalah sekretaris al-Laits.186
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara
lain: Mu`âwiyah ibn Shâlih al-Hadhramî Mûsa ibn `Alî ibn
Rabbah, Harmalah ibn `Imrân al-Tujîbî, Sa`îd ibn `Abd al-`Azîz al-
Tanûkhî, al-Laits ibn Sa`ad, al-Mufadhal ibn Fadhâlah, Ibnu
Luhai`ah, Ibnu Wahab, Basyar ibn al-Sarî, Yahya ibn Ayyûb, Abû
Syarîh, `Abd al-`Azîz ibn `Abdullâh ibn Abû Salamah al-Majisûn
dan lain sebagainya.187
Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara
lain: Abû Dâwud, al-Tirmidzî, Ibnu Mâjah dengan perantara al-
Hasan ibn `Alî al-Khilâl, `Abdullâh al-Dârimi, Muhammad ibn
Yahya al-Dzahalî, `Alî ibn Dâwud al-Qanthârî, Maktûm ibn al-
`Abbâs al-Marûzi, Muhammad ibn Abû al-Hasan al-Samnâni, Abû
186
Ibid., j. 5, h. 256. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 10, h. 218. 187
Ibid., h. 256. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 218-219.
132
Hatim al-Râzî, Abû al-Azhar al-Naisabûrî, Abû `Ubaid al-Qâsim
ibn Salam dan lain sebagainya.188
Pendapat ulama tentang ta`dil dari `Abdullâh ibn Shâlih:
- Abû Hatim al-Râzî berkata: saya mendengar Abû al-Aswad al-
Nadhar ibn `Abd al-Jabbâr, Sa`îd ibn `Ufair memuji kepada
sekretaris al-Laits.
- Abû Hâtim berkata: saya mendengar `Abd al-Mâlik ibn Syu`aib
ibn al-Laits berkata: Abû Shâlih tsiqah, ma’mun. Beliau (Abû
Shâlih) telah mendengar dari kakek saya hadisnya, ayah saya
juga mengkhususkannya dalam periwayatan hadis, dan beliau
pula meriwayatkan hadis di depan ayah saya.
- Ahmad berkata: saya tidak pernah mengetahui orang yang lebih
mengetahui hadis riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih.
- Sa`ad ibn Manshûr dari Abû Shâlih berkata: saya tidak pernah
mendengar riwayat al-Laits dari segi lafazhnya kecuali dari
kitab Yahya ibn Sa`îd.
- Sa`îd al-Burdaî berkata: saya berkata kepada Abû Zar`ah: Abû
Shâlih adalah sekretaris al-Laits, maka beliau tersenyum dan
berkata: beliau merupakan orang yang baik hadisnya.
- Ismâ`îl al-Samawaih dari Abû Shâlih berkata: saya berteman
dengan al-Laits selama 20 tahun.
188
Ibid., h. 256. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 219-220.
133
- Abû Hatim berkata: hadis-hadis yang diriwayatkan Abû Shâlih
di akhir hidupnya banyak yang mengatakan mungkar. Saya
melihat ini adalah perbuatan dari Khâlid ibn Najîh, bahwa Abû
Shâlih bersahabat dengan Najîh. Abû Shâlih merupakan orang
terbebas dari celaan dan Khâlid pembohong dan dianggap
dho`if oleh orang-orang. Abû Shâlih bukanlah orang yang
berbuat bohong melainkan beliau adalah orang yang shalih.
- Ya`qûb ibn Sufyân berkata: Abû Shâlih adalah orang yang
shalih.
- `Alî ibn `Abd al-Rahman ibn al-Mughîrah dari Abû Shâlih
berkata: saya lahir pada tahun 173 H., begitu juga Ya`qûb ibn
Sufyân dari Abû Shâlih menambahkan bahwa beliau (Abû
Shâlih) meninggal pada tahun 222 H.
- Abû Hârûn al-Khanîbî berkata: saya pernah melihat yang lebih
atsbat dari Abû Shâlih.
Pendapat ulama tentang jarh dari `Abdullâh ibn Shâlih:
- Ibnu Hibbân berkata: beliau adalah orang yang mungkar dalam
hadisyang begitu sangat. Beliau meriwayatkan dari orang-orang
yang tsabat, akan tetapi bukan hadis yang shahih. Pribadi
beliau adalah orang yang shadûq, akan tetapi hadisnya banyak
yang mungkar.
134
- Al-Burdaî berkata: saya berkata Abû Zar`ah: saya melihat di
Mesir banyak hadis dari `Utsmân ibn Shâlih dari Ibnu Luhai`ah
adalah hadis-hadis yang mungkar.
- Shâlih ibn Muhammad berkata: bahwa Ibnu Ma`în men-tsiqah-
kan beliau (Abû Shâlih). Adapun menurut saya, Abû Shâlih
berbohong dalam hadis.
- Ibnu al-Madînî berkata: saya meninggalkan hadisnya (Abû
Shâlih) dan tidak meriwayatkan hadis darinya satupun.
- Ahmad ibn Shâlih berkata: Abû Shâlih orang yang diragukan
dan dia bukanlah siapa-siapa.
- Al-Nasâ'i berkata: bukan orang yang tsiqah.
- `Abdullâh ibn Ahmad berkata: saya bertanya kepada ayah saya
tentang Abû Shâlih, beliau menjawab: pada mulanya
merupakan orang yang biasa dijadikan pegangan dalam hadis,
akan tetapi pada masa tuanya beliau telah banyak kesalahan dan
dia bukanlah apa-apa dalam hadis (laisa bi syai’).189
g. Maktûm Ibn al-`Abbâs
Nama lengkap beliau adalah Maktûm ibn `Abbâs Abû al-
Fadhal al-Marûzî yang dikenal dengan nama al-Tirmidzî.190
189
Ibid., h. 257-261. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 220-224. 190
Ibid., j. 10, h. 289. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 18, h. 356.
135
Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara
lain: Abû Shâlih `Abdullâh ibn Shâlih al-Mishrî dan Muhammad
ibn Yûsuf al-Faryabî.191
Nama murid beliau dalam periwayatan hadis yaitu: al-
Tirmidzî.
Beliau (Maktûm ibn `Abbâs) merupakan orang yang tidak
dikenal dalam periwayatan hadis.192
h. Al-Tirmidzî
Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn `Îsa ibn Sûrah
ibn Mûsa ibn al-Dhahak. Ada yang berkata Ibnu al-Sakan al-Salmî
Abû `Îsa al-Tirmidzî.193
Beliau mengelilingi beberapa daerah dan mendengar
banyak hadis dari orang-orang Khurasân, `Irâq dan Hijaz.194
Nama-nama murid beliau antara lain: Abû Hamîd Ahmad
ibn `Abdullâh ibn Dâwud al-Marûzî al-Tâjir, al-Haitsam ibn Kalîb
al-Syâmî, Muhammad ibn Mahbûb Abû al-`Abbas al-Mahbûbi al-
191
Ibid., h. 289. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 356. 192
Ibid., h. 289. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 356. 193
Ibid., j. 9, h. 387. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 17, h. 133. 194
Ibid., j. 9, h. 387. Jamâl alî-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 134.
136
Marûzî, Ahmad ibn Yûsuf al-Nafsî, Abû al-Hârits Asad ibn
Handawiyah dan lain sebagainya.195
Pendapat ulama tentang ta`dil al-Tirmidzî:
- Al-Mustaghfirî berkata: beliau meninggal pada bulan Rajab
tahun 279 H.
- Al-Khalîlî berkata: tsiqah, muttafaq `alaih.
- Al-Idrîsî berkata: al-Tirmidzî adalah salah satu dari para imam
yang meletakkan dasar ilmu hadis dalam penulisan kitab al-
Jâmi’, al-Târîkh, dan `ilâl yang ditulis oleh seorang yang `alim
dan mutqin.
- Disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.
- Al-Khâlidi berkata: Abû `Îsa berkata: saya menulis kitab al-
Musnad al-Shahîh, maka saya memperlihatkannya kepada para
ulama di Hijâz, `Irâq dan Khurasân, maka mereka pun
meridhoinya.
- Yûsuf ibn Ahmad al-Baghdâdî berkata: Abû `Îsa adalah
seorang hafizh yang lebih berbahaya di akhir hidupnya.
- Abû al-Fadhal al-Bilmânî berkata: saya mendengar Nashar ibn
Muhammad al-Syirkûhî berkata: saya mendengar Abû `Îsa
berkata: saya tidak lebih banyak bermanfaat kepada kamu, akan
tetapi kamu lebih bermanfaat bagi saya.196
195
Ibid., j. 9, h. 387. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, 134. 196
Ibid., j. 9, h. 388-389. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, h. 134-135.
137
Pendapat para ulama tentang jarh al-Tirmidzî:
- Tidak seorangpun dari para ulama yang mengkritik tentang
pribadi al-Tirmidzî.
138
BAB IV
KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
A. Kualitas Sanad dan Matan Hadis
Setelah kita mengetahui seluruh sanad melalui al-i`tibar sanad,
kemudian perbedaan yang terdapat dalam matan dengan dan juga
mengetahui biografi dari para periwayat, maka langkah selanjutnya dalam
penelitian hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia adalah
dengan menganalisa kualitas sanad dan matan beserta pemaknaan hadis
tersebut dalam kehidupan sekarang.
1. Kualitas Keshahihan Sanad Hadis
a. Sanad hadis dalam riwayat al-Bukhârî
Untuk mempermudah dalam menganalisa kualitas
keshahihan sanad hadis yang terdapat dalam hadis riwayat al-
Bukhârî sesuai dengan kaedah keshahihan sebuah sanad hadis, maka
kami membuat sebuah tabel seluruh periwayat al-Bukhâri sebagai
berikut:
Nama
Periwa-
yat
Ada
atau
tidak-
nya
Syâhid
dan
Tâbi`
Tahun
kelahiran atau
meninggal
Hubung
-an
guru
dan
murid
Lamba-
ng
periwa-
yatan
hadis
Lafadz jarh dan
ta`dil
139
Abû
Hurai-
rah
Tidak
ada
syâhid
Lahir pada
tahun 600 M.
(20 tahun
sebelum
Hijrah) di
Yaman dan
wafat 45 tahun
kemudian
setelah Nabi
yakni pada
tahun 675 M. /
58 H. dalam
usia 78 tahun.
Ada
hubung
an guru
dan
murid
antara
Abû
Hurai-
rah
dengan
Nabi
:Lafazh ta`dil لبي
ahfazh (paling
hafal).
Lafazh jarh:
tidak ada
Abû
Sala-
mah
Tidak
ada
tâbi`
Meninggal di
Madinah pada
tahun 94 H.
yaitu pada
waktu
kekhalifahan
Walîd ibn
Mâlik dalam
usai 72 tahun
Ada
hubung
an guru
dan
murid
antara
Abû
Sala-
mah
dengan
Abû
Hurai-
rah
ع
Lafazh ta`dil:
tsiqah 2X, faqih,
banyak hadis
yang diriwayat-
kannya, dan
lebih alim
tentang hadis
(a`lam al-
hadîts).
Lafazh jarh:
meninggal dunia
dalam keadaan
masih kecil,
tidak shahih
untuk kita
(dalam
periwayatan
140
hadis)
Ibnu
Syihâb
al-
Zuhrî
Tidak
ada
tâbi`
Lahir pada
tahun 50 H.
ada juga yang
berkata tahun
51 H. dalam
usia 72 tahun.
Meninggal
pada bulan
Ramadhan
tahun 125 H.
Ada
hubung
an guru
dan
murid
antara
Ibnu
Syihâb
al-
Zuhrî
dengan
Abû
Sala-
mah
ع
اخجش
Lafazh ta`dil:
tsiqah, banyak
meriwayatkan
hadis, seorang
yang `âlim,
faqih dan orang
yang paling
alim.
Lafazh jarh:
hadis al-Zuhrî
semuanya 1200
hadis, semuanya
merupakan
hadis yang
bersanad, 200 di
antaranya
merupakan
diriwayatkan
oleh orang yang
tidak tsiqah.
`Uqail Ada
satu
tâbi`
yakni
Yûnus
al-Ailî
Meninggal
pada tahun 141
H.
Ada
hubung
an guru
dan
murid
antara
`Uqail
dengan
ع
Lafazh ta`dil:
atsbat 3X,
shadûq, tsiqah
4X, lâ ba’sa
bihi, hujjah dan
hâfizh.
Lafazh jarh:
Ada yang
141
Ibnu
Syihâb
al-
Zuhrî
mengatakan
bahwa beliau
(`Uqail) belum
mendengar dari
al-Sirî apapun,
akan tetapi
beliau (`Uqail)
mendapatkan
hadis dengan
munawalah
Al-
Laits
ibn
Sa`ad
Ada
dua
tâbi`
yaitu
`Abdull
âh ibn
Wahab
dan
Abû
Shafwâ
n al-
Umawi
yyi
Lahir pada
tahun 94 H.
dan meninggal
pada hari
jum`at
pertengah-an
bulan Sya`ban
tahun 175 H.
Ada
hubung
an guru
dan
murid
antara
al-Laits
ibn
Sa`ad
dengan
`Uqail
ع
ص دذ
Lafazh ta`dil:
tsiqah 8X,
tsabat 2X,
atsbat 2X,
shâlih, shadûq
3X, faqih, dan
hafidz.
Lafazh jarh: al-
Laits tsiqah
akan tetapi
beliau dalam
mengambil
hadis sangat
mudah
Yahya
ibn
Bukair
Ada
lima
tâbi`
yaitu
Zuhair
Meninggal
pada bulan
Shafar pada
tahun 231 H.
Ada
hubung
an guru
dan
murid
صب دذ
Lafazh ta`dil:
atsbat al-nâs,
ahfadz, tsiqah,
dan shadûq.
Lafazh jarh:
142
ibn
Harb,
Harmal
ah ibn
Yahya,
`Abdull
âh ibn
Shâlih,
Ahmad
ibn
`Umair
dan
Ibnu al-
Sarh al-
Mishrî
antara
Yahya
ibn
Bukair
dengan
al-Laits
ibn
Sa`ad
dho’if, laisa bi
tsiqah.
Al-
Bukhârî
Tidak
ada
tâbi`
karena
seorang
mukhar
rij
Lahir pada
bulan Syawal
tahun 194 H.
meninggal
pada hari
Sabtu pada
bulan Syawal
tahun 256 H.
Ada
hubung
an guru
dan
murid
antara
al-
Bukhârî
dengan
Yahya
ibn
Bukair
صب دذ
Lafazh ta`dil:
pandai dalam
hadis serta lebih
teliti dalam
hadis, baik
dalam
menghafal hadis
serta paham
betul hadis
tersebut, tidak
ada seorang
yang seperti
Muhammad bin
Ismâ`îl bin
Ibrâhîm, hâfizh,
143
orang yang
paling faqih,
orang yang
paling
mengetahui
tentang hadis.
Lafazh jarh: al-
Bukhârî
mengatakan
bahwa al-Qur'an
itu makhluk
maka
diingkarilah
pendapat
tersebut dari
ulama-ulama
Khurasan, maka
diapun kabur
dan meninggal
dalam keadaan
ketakutan.
Dari tabel di atas, ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat pertama yakni Abû Hurairah dapat dilihat dari ta`dil yang
diberikan kepada Abû Hurairah yaitu lafazh "paling hafal" (ahfazh)
yang merupakan kata "paling" (tafdhîl). Dalam tingkatan ta`dil, kata
ini merupakan tingkatan yang pertama. Pujian yang diberikan para
kritikus hadis bersifat mutawasith (pertengahan) karena mereka
144
memberikan pujian tidak terlalu keras dengan keterangan yang jelas.
Di samping itu, tidak ada para kritikus yang memberikan jarh
kepada beliau. Dengan demikian Abû Hurairah merupakan seorang
yang `âdil dan dhâbit karena telah memenuhi syarat sebagai
periwayat `âdil dan dhâbith.
Adapun mengenai ketersambungan sanad periwayat Abû
Hurairah dengan Nabi dapat dilihat dari selisih tahun kelahiran dan
meninggal antara Abû Hurairah dengan Nabi. Dalam tabel di atas
disebutkan bahwa Abû Hurairah lahir pada tahun 600 M. (20 tahun
sebelum Hijrah) di Yaman dan wafat 45 tahun kemudian setelah
Nabi yakni pada tahun 675 M. / 58 H. dalam usia 78 tahun.
Sedangkan Nabi lahir pada tahun 570 M. dan meninggal pada tahun
12 Rabi`ul Awal tahun 11 H. Antara umur kelahiran Nabi dengan
Abû Hurairah selisih 30 tahun, kemudian selisih antara wafat Abû
Hurairah dengan Nabi 47 tahun. Dengan demikian terjadi hubungan
guru dan murid dalam periwayatan hadis antara Abû Hurairah
dengan Nabi. Di samping itu, dalam lambang periwayatan sanad
hadis yang digunakan Abû Hurairah menunjukkan adanya
ketersambungan sanad dengan Nabi adalah lafazh لبي, lafazh ini
merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima`.197
Menurut
Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima` merupakan
yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara penerimaan
197
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
145
hadis Nabi.198
Dilihat pribadi Abû Hurairah yang `âdil dan dhâbith,
kemudian adanya hubungan guru dan murid dalam periwayatan
hadis, serta lambang periwayatan juga menunjukkan
ketersambungan sanad antara Abû Hurairah dengan Nabi. Dengan
demikian, Abû Hurairah benar-benar mendapat hadis tersebut dari
Nabi dan ketersambungan sanad antara Abû Hurairah dengan Nabi
benar-benar telah terjadi dalam sanad hadis tersebut.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat kedua yakni Abû Salamah dapat dilihat dari ta`dil yang
diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah 2X,
faqih, banyak hadis yang diriwayatkannya, dan lebih alim tentang
hadis (a`lam al-hadîts). Lafazh ta`dil dengan lafazh tsiqah, dan faqih
merupakan ta`dil yang berperingkat di tingkatan ketiga. Adapun
ta`dil dengan lafazh a`lam al-hadîts merupakan ta`dil yang
berperingkat pertama karena merupakan kata "paling" (tafdhîl). Dari
pendapat ta`dil di atas, ulama kritikus hadis sangatlah moderat
(mutawasith) dalam menilai pribadi Abû Salamah karena diiringi
keterangan yang jelas.
Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada dari para
kritikus yang menilai tentang jarh Abû Salamah yakni meninggal
dunia dalam keadaan masih kecil, tidak shahih untuk kita (dalam
periwayatan hadis). Pendapat Ahmad yang mengatakan bahwa
198
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
146
beliau meninggal dunia dalam keadaan masih kecil sangat keliru,
karena Abû Salamah meninggal dalam usia 72 tahun. Sedangkan
jarh yang dikatakan Abû Hâtim yakni tidak shahih untuk kita
merupakan tajrih yang berperingkat terakhir atau peringkat kelima.
Oleh karena itu, tajrih dari para kritikus hadis tersebut tidak bisa
membawa dirinya (Abû Salamah) termasuk orang yang tidak bisa
dipercaya ataupun ditolak periwayatannya. Ulama kritikus hadis
yang memberikan jarh kepada Abû Salamah sangatlah mudah
(mutasahhil) tanpa diiringi dengan keterangan yang jelas. Dengan
demikian dilihat dari ta`dil Abû Salamah yang berperingkat tinggi
yakni pertama dan ketiga serta jarh yang berperingkat terakhir atau
kelima, maka Abû Salamah merupakan periwayat yang memenuhi
kriteria sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Abû
Salamah dengan Abû Hurairah, dalam tabel di atas disebutkan
bahwa Abû Salamah meninggal di Madinah pada tahun 94 H. yaitu
pada waktu kekhalifahan Walîd ibn Mâlik dalam usai 72 tahun. Itu
berarti Abû Salamah lahir sekitar tahun 22 H. Sedangkan Abû
Hurairah lahir pada tahun 600 M. (20 tahun sebelum Hijrah) di
Yaman dan wafat pada tahun 675 M. / 58 H. dalam usia 78 tahun.
Hal ini berarti selisih antara tahun kelahiran mereka berdua adalah
42 tahun, sedangkan selisih antara tahun meninggal mereka adalah
44 tahun. Dengan demikian terjadi hubungan guru dan murid dalam
147
periwayatan hadis antara Abû Salamah dengan Abû Hurairah.
Adapun mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam
periwayatan hadis ini menggunakan ع yang menurut banyak ulama
bisa menyebabkan adanya tadlis dalam sanad.199
Akan tetapi karena
Abû Salamah merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith serta
terjadi hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadis, maka
sanad Abû Salamah dapat dikatakan bersambung dan memenuhi
syarat bersambungnya sanad dengan lambang periwayatan `an
`an.200
Dengan demikian sanad antara Abû Salamah dengan Abû
Hurairah merupakan sanad yang bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat kedua yakni Ibnu Syihâb al-Zuhrî dapat dilihat dari ta`dil
yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu
tsiqah, banyak meriwayatkan hadis, seorang yang `âlim, faqih dan
orang yang paling alim. Lafazh tsiqah, banyak meriwayatkan hadis,
seorang yang `âlim, faqih merupakan lafazh tingkatan ketiga dalam
tingkatan ta`dil. Sedangkan lafazh orang yang paling alim
merupakan tingkatan yang pertama karena mengandung kata
“paling” (tafdhîl). Ta`dil dari para kritikus hadis di atas bersifat
mutawasith (pertengahan) karena tidak begitu ketat dan dengan
keterangan yang jelas.
199
Ibid., h. 88. 200
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
148
Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada sebagian para
kritikus yang memberikan jarh kepada Ibnu Syihâb al-Zuhrî di
antaranya yaitu hadis al-Zuhrî semuanya 1200 hadis, semuanya
merupakan hadis yang bersanad, 200 di antaranya merupakan
diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah. Pendapat tajrih dari para
kritikus hadis tersebut mempunyai peringkat kelima dan bersifat
mutasahhil (mempermudah) dalam menilai jarh dari Ibnu Syihâb al-
Zuhrî karena tanpa keterangan yang jelas mengenai jarh beliau.
Sehingga tidak bisa membawa beliau termasuk orang yang tidak bisa
dipercaya ataupun ditolak periwayatannya. Dengan demikian dilihat
dari ta`dil yang berperingkat tinggi yakni pertama dan ketiga dan
jarh yang berperingkat kelima, maka Ibnu Syihâb al-Zuhrî
merupakan periwayat yang memenuhi kriteria sebagai periwayat
yang `âdil dan dhâbith.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Ibnu Syihâb
al-Zuhrî dengan Abû Salamah, dalam tabel di atas disebutkan bahwa
Ibnu Syihâb lahir pada tahun 50 H., ada juga yang berkata tahun 51
H. dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. dalam usia 72
tahun. Adapun Abû Salamah meninggal di Madinah pada tahun 94
H. yaitu pada waktu kekhalifahan Walîd ibn Mâlik dalam usai 72
tahun. Hal itu berarti Abû Salamah lahir sekitar tahun 22 H., maka
selisih antara kelahiran Ibnu Syihâb al-Zuhrî dengan Abû Salamah
yakni 28 atau 29 tahun. Dengan demikian antara mereka berdua
149
(Ibnu Syihâb al-Zuhrî dengan Abû Salamah) terjadi hubungan guru
dan murid dalam periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan
beliau dalam hadis yang kami teliti, ada dua keterangan yang
berbeda. Imam al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa beliau
menggunakan lambang periwayatan dengan اخجش, sedangkan al-
Bukhârî, Muslim dan Ibnu Mâjah meriwayatkan bahwa beliau
menggunakan lambang periwayatan ع yang menurut kebanyakan
ulama lambang ini bisa menyebabkan tidak bersambungnya suatu
sanad.201
Akan tetapi lambang periwayatan dengan lafazh ع dapat
didukung oleh lambang periwayatan dengan menggunakan lafazh
.`yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima اخجش202
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima`
merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara
penerimaan hadis Nabi.203
Dilihat dari pribadi Ibnu Syihâb al-Zuhrî
yang merupakan pribadi yang `âdil dan dhâbith, terjadi hubungan
guru dan murid serta lambang periwayatan اخجش, maka
ketersambungan sanad antara Ibnu Syihâb al-Zuhrî dengan Abû
Salamah merupakan sanad yang bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat ketiga yakni `Uqail dapat dilihat dari ta`dil yang diberikan
kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu lafazh atsbat 3X,
201
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129. 202
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 203
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
150
shadûq, tsiqah 4X, lâ ba’sa bihi, hujjah dan hâfizh. Lafazh ta`dil
yang mengatakan bahwa `Uqail adalah hâfizh merupakan tingkatan
kedua. Kemudian pendapat tentang tsiqah dan hujjah merupakan
tingkatan ketiga. Sedangkan pendapat tentang shadûq dan lâ ba’sa
bihi merupakan tingkatan keempat. Para kritikus hadis yang menilai
ta`dil di atas merupakan orang yang mutasyaddid, karena di antara
mereka ada salah seorang yang sudah dikenal sebagai orang yang
mutasyaddid dalam menilai keshahihan periwayat yakni al-Nasâ‟i.
Walaupun demikian, ada sebagian para kritikus yang
memberikan jarh kepada `Uqail di antaranya yaitu: beliau (`Uqail)
belum mendengar dari al-Sirî apapun, akan tetapi beliau (`Uqail)
mendapatkan hadis dengan munawalah. Kecatatan (Jarh) ini dalam
tingkatan jarh merupakan tingkatan yang terakhir yakni tingkatan
kelima. Ketercelaan ini tidak merusak syarat sebagai periwayat yang
`âdil dan dhâbith karena jarh atau kecacatannya berada di tingkat
kelima bukan yang pertama. Kriteria sifat kritikus dalam
memberikan jarh kepada `Uqail bersifat mutasahhil karena tanpa ada
keterangan yang jelas tentang kecacatannya. Dilihat dari ta`dil
`Uqail yang berperingkat kedua, ketiga dan keempat serta jarh yang
berperingkat terakhir atau kelima, maka dapat dikatakan bahwa
beliau (`Uqail) adalah orang yang `âdil dan dhâbith dalam
periwayatan hadis.
151
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara `Uqail
dengan Ibnu Syihâb al-Zuhrî, dalam tabel di atas disebutkan bahwa
`Uqail meninggal di Mesir pada tahun 141 H., sedangkan Ibnu
Syihâb lahir pada tahun 50 H., ada juga yang berkata tahun 51 H.
dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. dalam usia 72
tahun. Perbedaan antara meninggalnya Ibnu Syihâb dan `Uqail
sekitar 16 tahun. Dengan ini dapat dikatakan bahwa mereka berdua
sezaman dan ada hubungan guru dan murid. Adapun mengenai
lambang periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini
yaitu menggunakan lambang periwayatan ع yang menurut banyak
ulama bisa menyebabkan adanya tadlis dalam sanad.204
Dikarenakan
`Uqail merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith, serta ada
hubungan guru dan murid antara `Uqail dan Ibnu Syihâb, maka
sanad `Uqail dapat dikatakan bersambung dan memenuhi syarat
bersambungnya sanad dengan lambang periwayatan `an `an.205
Dengan demikian sanad antara `Uqail dengan Ibnu Syihâb al-Zuhrî
merupakan sanad yang bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat keempat yakni al-Laits dapat dilihat dari ta`dil yang
diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah 8X,
tsabat 2X, atsbat 2X, shâlih, shadûq 3X, faqih, dan hafidz.
Tingkatan lafazh atsbat merupakan tingkatan yang pertama karena
204
Ibid., h. 88. 205
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
152
merupakan lafazh tafdhil (kata “paling”). Lafazh hafidz merupakan
tingkatan yang kedua, kemudian lafazh faqih, tsiqah, dan tsabat
merupakan tingkatan yang ketiga. Yang terakhir yakni lafazh shadûq
merupakan tingkatan yang keempat. Dalam memberikan ta`dil dari
para kritikus hadis kepada al-Laits, mereka bersifat mutasyadid. Hal
ini dikarenakan ada salah satu di antara mereka yakni al-Nasâ‟i yang
merupakan mu`addil yang mutasyadid ada dalam kritikus hadis
tersebut.
Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada sebagian para
kritikus yang memberikan jarh kepada al-Laits di antaranya yaitu al-
Laits tsiqah akan tetapi beliau dalam mengambil hadis sangat
mudah. Jarh atau ketercelaan dari Abû Dâwud dari Muhammad ibn
al-Husain ini tidak merusak syarat sebagai periwayat yang `âdil dan
dhâbith karena di samping dia (Abû Dâwud dari Muhammad ibn al-
Husain) memberikan ta`dil, dia juga memberikan keterangan tentang
mudahnya al-Laits dalam mengambil hadis. Hal ini sebenarnya dia
menyetujui akan terpujinya pribadi al-laits, akan tetapi ada hal yang
membuatnya memberikan jarh yang tanpa keterangan. Dilihat dari
ta`dil al-Laits yang berperingkat tinggi yaitu pertama, kedua, ketiga
dan keempat serta jarh yang tidak merusak syarat sebagai periwayat
yang `âdil dan dhâbith, maka dapat dikatakan bahwa al-Laits adalah
orang yang `âdil dan dhâbith dalam periwayatan hadis.
153
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara al-Laits
dengan `Uqail, dalam tabel di atas disebutkan bahwa al-Laits lahir
pada tahun 94 H., dan meninggal pada hari jum`at pertengahan bulan
Sya`ban tahun 175 H. Sedangkan `Uqail meninggal di Mesir pada
tahun 141 H. Hal itu berarti selisih meninggal antara mereka berdua
adalah 34 tahun. Dengan demikian antara al-Laits dan `Uqail hidup
sezaman dan telah terjadi hubungan guru dan murid dalam
periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan yang digunakan
dalam periwayatan hadis ini yaitu al-Bukhârî meriwayatkan dengan
lambang ع, sedangkan al-Tirmidzî meriwayatkan dengan lambang
.`yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima دذص206
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima`
merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara
penerimaan hadis Nabi.207
Dilihat dari pribadi al-Laits yang
merupakan orang yang `âdil dan dhâbith, terjadi hubungan sanad
antara al-Laits dan `Uqail, dan juga lambang periwayatan yang
menggunakan lafazh دذص dan ع, maka sanad al-Laits dapat
dikatakan bersambung dan memenuhi syarat bersambungnya sanad
dengan lambang periwayatan `an `an.208
Dengan demikian hubungan
antara sanad al-Laits dengan `Uqail merupakan sanad yang
bersambung.
206
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 207
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88. 208
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
154
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat kelima yakni Yahya ibn Bukair dapat dilihat dari ta`dil
yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu atsbat
al-nâs, ahfadz, tsiqah, dan shadûq. Tingkatan lafazh atsbat al-nâs
dan ahfadz merupakan tingkatan yang pertama karena merupakan
lafazh tafdhil (kata “paling”). Kemudian lafazh tsiqah merupakan
tingkatan yang ketiga. Yang terakhir yakni lafazh shadûq merupakan
tingkatan yang keempat. Pada ulama kritikus hadis dalam
memberikan ta`dil kepada Yahya ibn Bukair sangat moderat
(mutawasith), karena ta`dil para kritikus tersebut disertakan dengan
keterangan yang jelas.
Walaupun demikian, dalam tabel ada sebagian para kritikus
yang memberikan ketercelaan kepada Yahya ibn Bukair, di
antaranya yaitu dho’if, dan laisa bi tsiqah. Dalam jarh tersebut, al-
Nasâ‟i yang merupakan ulama mutasyaddid untuk menilai ke-tsiqah-
an hadis mengatakan dha`if, akan tetapi di kesempatan lain
mengatakan laisa bi tsiqah. Namun demikian, lafazh dha`if yang
diberikan kepada Yahya ibn Bukair berada di tingkat terakhir yakni
tingkat kelima, sedang lafazh laisa bi tsiqah berada di tingkat ketiga.
Oleh karena itu, jarh ini tidak mencederakan ta`dil yang
berperingkat tinggi yakni peringkat pertama. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Yahya ibn Bukair termasuk periwayat `âdil dan
dhâbith.
155
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Yahya ibn
Bukair dengan al-Laits ibn Sa`ad, dalam tabel disebutkan bahwa
Yahya ibn Bukair meninggal pada bulan Shafar pada tahun 231 H.,
sedangkan al-Laits lahir pada tahun 94 H., dan meninggal pada hari
jum`at pertengahan bulan Sya`ban tahun 175 H. Selisih antara
meninggal Yahya dengan al-Laits yakni 56 tahun. Dengan demikian
antara Yahya dengan al-Laits merupakan hidup dalam waktu
sezaman dan terjadi hubungan guru dan murid antara mereka berdua
(Yahya dengan al-Laits). Adapun mengenai lambang periwayatan
yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu menggunakan
lambang periwayatan دذصب yang merupakan bagian dari lambang
periwayatan al-sima`.209
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis
dengan cara al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling
kuat dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.210
Dilihat dari pribadi
Yahya ibn Bukair yang merupakan pribadi yang `âdil dan dhâbith,
terjadi hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan دذصب,
maka ketersambungan sanad antara Yahya ibn Bukair dengan al-
Laits merupakan sanad yang bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat kelima yakni al-Bukhârî dapat dilihat dari ta`dil yang
diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu pandai
dalam hadis serta lebih teliti dalam hadis, baik dalam menghafal
209
Shubhi Shalih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 210
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
156
hadis serta paham betul hadis tersebut, tidak ada seorang yang
seperti Muhammad bin Ismâ`îl bin Ibrâhîm, hâfizh, orang yang
paling faqih, orang yang paling mengetahui tentang hadis. Lafazh
ta`dil orang yang paling mengetahui tentang hadis dan lafazh ta`dil
tidak ada seorang yang seperti Muhammad bin Ismâ`îl bin Ibrâhîm
merupakan tingkatan pertama dalam tingkatan ta`dil, lafazh hâfizh
merupakan tingkatan kedua, lafazh ta`dil baik dalam menghafal
hadis serta paham betul hadis tersebut merupakan tingkatan yang
ketiga, sedangkan lafazh ta`dil pandai dalam hadis serta lebih teliti
dalam hadis merupakan tingkatan yang keempat. Pendapat para
kritikus tersebut bersifat mutawasith, karena tidak terlalu
memudahkan dan tidak terlalu ketat serta dengan keterangan-
keterangan yang jelas.
Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada sebagian para
kritikus yang memberikan ketercelaan kepada al-Bukhârî, di
antaranya yaitu al-Bukhârî mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk
maka diingkarilah pendapat tersebut dari ulama-ulama Khurasan,
maka diapun kabur dan meninggal dalam keadaan ketakutan. Jarh
atau ketercelaan ini tidak termasuk dalam tingkatan-tingkatan jarh
yang dapat merusak syarat sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith.
Pendapat para kritikus tersebut bersifat mutasahhil, karena
memberikan jarh tanpa keterangan-keterangan yang jelas. Dilihat
dari ta`dil al-Bukhârî yang berperingkat tinggi yakni pertama, kedua,
157
ketiga dan keempat serta jarh yang tidak disertai dengan keterangan
yang jelas (tidak mufassar), maka dapat dikatakan bahwa al-Bukhârî
termasuk orang yang periwayat yang `âdil dan dhâbith dalam
periwayatan hadis.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara al-Bukhârî
dengan Yahya ibn Bukair, dalam tabel telah disebutkan bahwa al-
Bukhârî lahir pada bulan Syawal tahun 194 H., dan meninggal pada
hari Sabtu pada bulan Syawal tahun 256 H. Sedangkan Yahya ibn
Bukair meninggal pada bulan Shafar pada tahun 231 H. Selisih
antara kematian al-Bukhârî dengan Yahya ibn Bukair yaitu 25 tahun.
Dengan demikian, antara al-Bukhârî dengan Yahya ibn Bukair
merupakan sezaman dan terjadi hubungan guru dan murid dalam
periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan yang digunakan
dalam periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang
periwayatan دذصب yang merupakan bagian dari lambang periwayatan
al-sima`.211
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-
sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam
cara-cara penerimaan hadis Nabi.212
Dilihat dari pribadi al-Bukhârî
yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith, kemudian adanya
hubungan guru dan murid antara al-Bukhârî dengan Yahya ibn
Bukair, serta lambang periwayatan دذصب, maka dapat dikatakan
211
Shubhi Shalih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa Azami, Memahami Hadis, h. 37. 212
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
158
bahwa hubungan sanad antara al-Bukhâri dengan Yahya ibn
`Abdullâh ibn Bukair merupakan sanad yang bersambung.
Setelah dilakukan penelitian sanad dari periwayat pertama
Abû Hurairah sampai dengan periwayat keenam al-Bukhârî di atas,
dapat disimpulkan bahwa rangkaian sanad riwayat al-Bukhârî
merupakan sanad-sanad yang bersambung dengan adanya hubungan
guru dan murid serta dari pribadi para periwayat dari periwayat
pertama yakni Abû Hurairah hingga periwayat terakhir yakni al-
Bukhârî merupakan para periwayat yang `âdil dan dhâbith.
Selanjutnya, setelah penulis melakukan proses al-i`tibar
seluruh sanad tentang hadis akibat meninggalkan hutang di atas dan
juga dengan adanya ketersambungan rangkaian sanad riwayat al-
Bukhârî, sanad-sanad hadis tersebut juga merupakan rangkaian
sanad yang terbebas dari syâdz dan `illat. Hal ini dapat dibuktikan
dengan hal-hal berikut:
a) Para periwayat tersebut merupakan para periwayat yang `âdil
dan dhâbith dan memiliki ketersambungan sanad dari periwayat
pertama yaitu Abû Hurairah sampai dengan periwayat yang
keenam yakni al-Bukhârî.
b) Seluruh rangkaian sanad di atas merupakan rangkaian sanad
yang memiliki muttabi`, walaupun tanpa syâhid.
Dilihat dari penelitian sanad periwayat pertama sampai
dengan periwayat keenam di atas, sanad riwayat al-Bukhârî
159
merupakan rangkaian sanad yang bersambung dengan adanya
hubungan guru dan murid kemudian dari pribadi para periwayat dari
periwayat pertama yakni Abû Hurairah hingga periwayat terakhir
yakni al-Bukhârî merupakan para periwayat yang `âdil dan dhâbith
serta tidak ada `illat dan syâdz dalam rangkaian sanad tersebut, maka
rangkaian sanad dalam riwayat al-Bukhârî merupakan rangkaian
sanad yang memenuhi kaedah keshahihan sebuah sanad hadis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rangkaian sanad riwayat
al-Bukhârî merupakan rangkaian sanad yang berkualitas shahih.
b. Sanad Hadis Dalam Riwayat Muslim
Untuk mempermudah dalam menganalisa kualitas
keshahihan sanad hadis yang terdapat dalam hadis riwayat Muslim
sesuai dengan kaedah keshahihan sebuah sanad hadis, maka kami
membuat sebuah tabel seluruh periwayat Muslim sebagai berikut:
Nama
Periwayat
Ada atau
tidaknya
Syâhid
dan
Tâbi`
Tahun
kelahiran
atau
mening-
gal
Hubungan
guru dan
murid
Lamba-
ng
periwa-
yatan
hadis
Lambang
periwayatan
hadis
Abû
Hurairah
sda sda sda sda sda
Abû
Salamah
sda` sda sda sda
sda
160
Ibnu
Syihâb al-
Zuhrî
sda sda sda sda sda
Yûnus al-
Ailî
Ada satu
tâbi`
yakni
`Uqail
Mening-
gal pada
tahun
159 H.
Tidak ada
hubungan
guru dan
murid
antara
Yûnus al-
Ailî
dengan
Ibnu
Syihâb al-
Zuhrî
ع
Lafazh ta`dil:
atsbat 2X,
tsiqah 3X,
shâlih al-
hadits, `alim,
lâ ba’sa bihi,
dan shadûq.
Lafazh jarh: di
dalam hadis
Yûnus ibn
Yazîd banyak
yang mungkar
berasal dari al-
Zuhrî,
mempermudah
dalam hadis,
dan hafalannya
tidak begitu
bagus.
`Abdullâh
ibn Wahab
Ada dua
tâbi`
yakni al-
Laits ibn
Sa`ad
dan Abû
Shafwân
Lahir
pada
bulan
Dzulqa`-
dah
tahun
125 H.
Ada
hubungan
guru dan
murid
antara
`Abdullâh
ibn Wahab
:Lafazh ta`dil اخجش
tsiqah, atsbat,
hafizh, dan
lebih faqih.
Lafazh jarh:
tidak ada.
161
al-
Umawiy-
yi
dan
mening-
gal pada
hari
Ahad
minggu
ke-4
bulan
Sya`ban
tahun
197 H.
dengan
Yûnus al-
Ailî
Abû
Shafwân
al-
Umawiyyi
Ada dua
tâbi`
yakni al-
Laits ibn
Sa`ad
dan
`Abdullâ
h ibn
Wahab
Pergi
bersama
ibunya
ke
Mekkah
ketika
ayahnya
terbunuh
yaitu
pada
tahun
132 H.
dan
mening-
gal
dalam
usia
sekitar
200
Ada
hubungan
guru dan
murid
antara Abû
Shafwân
al-
Umawiyyi
dengan
Yûnus al-
Ailî
:Lafazh ta`dil ع
tsiqah, la
ba’sa bihi, dan
shadûq.
Lafazh jarh:
tidak ada.
162
tahun.
Harmalah
ibn Yahya
Ada lima
tâbi`
yakni
Yahya
ibn
Bukair,
Zuhair
ibn Harb,
Ahmad
ibn
`Umair
dan Ibnu
al-Sarh
al-Mishrî
Lahir
pada
tahun
156 H.
dan
mening-
gal pada
malam
kamis
yaitu
malam
ke-9
bulan
Syawal
tahun
243 H.
Ada
hubungan
guru dan
murid
antara
Harmalah
ibn Yahya
dengan
`Abdullâh
ibn Wahab
صد :Lafazh ta`dil ذ
orang yang
paling
mengetahui
hadis dari Ibnu
Wahab (a`lam
al-nâs),
menulis
banyak hadis.
Lafazh jarh:
boleh ditulis
akan tetapi
tidak boleh
dijadikan
hujjah, dho`if.
Zuhair ibn
Harb
Ada lima
tâbi`
yakni
Yahya
ibn
Bukair,
Harmala
h ibn
Yahya,
Ahmad
ibn
`Umair
dan Ibnu
Lahir
pada
tahun
160 H.
dan
mening-
gal pada
malam
kamis
tanggal 7
Sya`ban
tahun
234 H.
Ada
hubungan
guru dan
murid
antara
Zuhair ibn
Harb
dengan
Abû
Shafwân
al-
Umawiyyi
:Lafazh jarh صبدذ
shadûq, atsbat,
(tsiqah,
tsabat),
(tsiqah,
ma’mûn),
tsiqah, tsabat,
hâfidz, dan
mutqîn.
Lafazh jarh:
tidak ada.
163
al-Sarh
al-Mishrî
pada
masa
khalifah
Ja`far
Muslim
ibn al-
Hajjâj
Tidak
ada tâbi`
karena
seorang
mukhar-
rij
Lahir
pada
tahun
204 H.
dan
mening-
gal pada
tanggal 5
Rajab
tahun
261 H.
Ada
hubungan
guru dan
murid
antara
Muslim
ibn al-
Hajjâj
dengan
Harmalah
ibn Yahya
dan Zuhair
ibn Harb
صب :Lafazh ta`dil دذ
orang yang
tsiqah, sampai-
sampai Abû
Zar`ah dan
Abû Hâtim
menghadap
kepada
Muslim ibn al-
Hajjâj untuk
mengetahui
orang-orang
yang sahih atas
imam-imam
pada zaman
mereka berdua.
Lafazh jarh:
tidak ada.
Dari tabel di atas, penelitian tentang ketersambungan sanad
dari sanad pertama yakni Abû Hurairah hingga sanad ketiga yakni
Ibnu Syihâb al-Zuhrî telah dilakukan dalam penelitian sanad di
riwayat al-Bukhârî di atas. Hal ini karena sanad riwayat Muslim
164
dengan riwayat al-Bukhârî dari periwayat pertama hingga ketiga
sama dan tidak ada syâhid dan muttabi`.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat keempat yakni Yûnus al-Ailî dapat dilihat dari ta`dil
yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu
atsbat 2X, tsiqah 3X, shâlih al-hadits, `alim, lâ ba’sa bihi, dan
shadûq. Lafadz atsbat merupakan lafazh tingkatan pertama dalam
tingkatan ta`dil karena merupakan huruf tafdhil (kata “paling”).
Lafazh tsiqah merupakan lafazh tingkatan ketiga. Kemudian lafazh
lâ ba’sa bihi, dan shadûq merupakan lafazh tingkatan keempat.
Sedangkan lafazh shâlih al-hadits, `alim merupakan tingkatan yang
kelima. Dalam menilai pribadi para kritikus hadis bersifat
mutasyaddid, karena ada salah satu kritikus hadis yakni al-Nasâ`i
yang dikenal sebagai kritikus yang mutasyaddid dalam menilai ke-
tsiqah-an periwayat.
Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada beberapa
kritikus yang memberi ketercelaan yang diberikan kepada beliau di
antaranya yaitu lafazh di dalam hadis Yûnus ibn Yazîd banyak
yang mungkar berasal dari al-Zuhrî, mempermudah dalam hadis,
dan hafalannya tidak begitu bagus. Lafazh jarh yakni “hadis Yûnus
ibn Yazîd banyak yang mungkar berasal dari al-Zuhrî” dan
“meriwayatkan banyak hadis yang mungkar” merupakan tingkatan
yang pertama dalam tingkatan jarh karena lafazh ini sama dengan
165
lafazh seorang pemalsu hadis ضبع yang berada di tingkatan
pertama. Sedangkan lafazh “hafalannya tidak begitu bagus”
merupakan jarh yang berada dalam tingkatan kelima. Dalam
menilai jarh kepada Yûnus al-Ailî, para kritikus hadis sangat keras
(mutasyaddid), karena keterangan yang diberikan dengan alasan
yang jelas. Walaupun banyak ta`dil yang diberikan para kritikus
kepada Yûnus ibn Yazîd berperingkat tinggi yakni pertama, ketiga,
keempat dan kelima dalam tingkatan ta`dil, akan tetapi jarh yang
diberikan kepada beliau bersifat mencederakan periwayat yaitu
tingkatan pertama dalam tingkatan jarh dengan keterangan yang
jelas akan jarh tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Yûnus ibn Yazîd bukan termasuk sebagai periwayat yang `âdil dan
dhâbith.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Yûnus ibn
Yazîd dengan Ibnu Syihâb al-Zuhrî, dalam tabel di atas disebutkan
bahwa Yûnus ibn Yazîd meninggal pada tahun 159 H., sedangkan
Ibnu Syihâb lahir pada tahun 50 H., ada juga yang berkata tahun 51
H. dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. dalam usia
72 tahun. Selisih tahun kematian antara Yûnus ibn Yazîd dengan
Ibnu Syihâb al-Zuhrî yaitu 34 tahun. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keduanya merupakan hidup dalam satu zaman dan
telah terjadi hubungan guru dan murid. Mengenai lambang
periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu
166
menggunakan lambang periwayatan ع yang menurut banyak
ulama bisa menyebabkan adanya tadlis dalam sanad atau bisa
menjadi terputusnya suatu sanad hadis.213
Lambang periwayatan ini
bisa menjadikan sanad sebuah hadis bersambung kalau periwayat
hadisnya merupakan orang yang tsiqah.214
Walaupun telah terjadi
hubungan guru dan murid antara Yûnus ibn Yazîd dengan Ibnu
Syihâb al-Zuhrî, akan tetapi dikarenakan Yûnus ibn Yazîd bukan
termasuk sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith, maka dapat
dikatakan hubungan sanad antara Yûnus al-Ailî dengan Ibnu
Syihâb al-Zuhrî merupakan sanad yang terputus atau tidak
bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat kelima yakni `Abdullâh ibn Wahab dan Abû Shafwân al-
Umawiyyi. Dalam sanad riwayat Muslim, sanad periwayat kelima
bercabang menjadi dua. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam
melakukan penilaian kedua sanad tersebut (`Abdullâh ibn Wahab
dan Abû Shafwân al-Umawiyyi), maka dilakukan satu-persatu.
Dalam menilai ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi periwayat
dapat `Abdullâh ibn Wahab dilihat dari ta`dil yang diberikan
kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah, atsbat,
hafizh, dan lebih faqih. Lafazh atsbat, lebih faqih merupakan
lafazh tingkatan pertama dalam tingkatan ta`dil karena
213
Ibid., h. 88. 214
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
167
menggunakan kata “paling” (tafdhil). Sedangkan lafazh tsiqah
merupakan lafazh dalam tingkatan ketiga. Pendapat para kritikus
tetang ta`dil beliau bersifat mutawasith karena tidak terlalu
memudahkan dan juga disertai dengan keterangan yang jelas. Tidak
ada di antara para kritikus yang memberikan jarh kepada `Abdullâh
ibn Wahab. Dilihat dari ta`dil yang berperingat tinggi yakni
tingkatan pertama dan ketiga serta tidak ada jarh beliau, maka
dapat dikatakan bahwa `Abdullâh ibn Wahab merupakan seorang
periwayat yang `âdil dan dhâbit.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara `Abdullâh
ibn Wahab dengan Yûnus al-Ailî, disebutkan dalam tabel bahwa
`Abdullâh ibn Wahab lahir pada bulan Dzulqa`dah tahun 125 H.
dan meninggal pada hari Ahad minggu ke-4 bulan Sya`ban tahun
197 H., sedangkan Yûnus ibn Yazîd meninggal pada tahun 159 H.
Selisih tahun meninggal keduanya yaitu 38 tahun. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan hidup dalam
satu zaman dan telah terjadi hubungan guru dan murid dalam
periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan yang
digunakan dalam periwayatan sanad hadis ini yaitu menggunakan
lambang periwayatan اخجش yang merupakan bagian dari lambang
periwayatan al-sima`.215
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis
dengan cara al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling
215
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
168
kuat dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.216
Dilihat dari
pribadi`Abdullâh ibn Wahab yang merupakan periwayat yang `âdil
dan dhâbit, adanya hubungan guru dan murid dalam periwayatan
hadis serta lambang periwayatan dengan اخجش, maka dapat
dikatakan bahwa hubungan sanad antara `Abdullâh ibn Wahab
dengan Yûnus al-Ailî merupakan sanad yang bersambung.
Setelah meneliti sanad periwayat `Abdullâh ibn Wahab
selanjutnya sanad periwayat Abû Sufwân al-Umawiyyi. Dalam
menilai ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi periwayat dapat Abû
Sufwân al-Umawiyyi dilihat dari ta`dil yang diberikan kritikus
kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah, la ba’sa bihi, dan
shadûq. Lafazh tsiqah merupakan lafazh tingkatan ketiga.
Kemudian lafazh lâ ba’sa bihi, dan shadûq merupakan lafazh
tingkatan keempat. Penilaian para kritikus tentang ta`dil kepada
beliau bersifat mutasyaddid karena ada di antara para kritikus
tersebut yakni`Alî ibn al-Madînî yang merupakan salah satu ulama
yang dinilai mutasyaddid dalam menilai ke-tsiqah-an perawi.
Tidak ada di antara para kritikus yang memberikan celaan
kepada Abû Sufwân al-Umawiyyi. Dilihat dari tingginya tingkatan
ta`dil yang diberikan para kritikus tentang beliau dan juga dengan
tidak ada jarh kepada beliau, maka dapat dikatakan bahwa Abû
216
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
169
Sufwân al-Umawiyyi merupakan seorang periwayat yang `âdil dan
dhâbit dalam periwayatan hadis.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Abû
Sufwân al-Umawiyyi dengan Yûnus ibn Yazîd, dalam tabel
disebutkan bahwa Abû Sufwân al-Umawiyyi pergi bersama ibunya
ke Mekkah ketika ayahnya terbunuh yaitu pada tahun 132 H. dan
meninggal dalam usia sekitar 200 tahun. Sedangkan Yûnus ibn
Yazîd meninggal pada tahun 159 H. Dilihat dari data yang
demikian, dapat dikatakan bahwa keduanya hidup sezaman dan
telah terjadi hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadis.
Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam
periwayatan sanad hadis ini yaitu menggunakan lambang
periwayatan ع yang menurut banyak ulama bisa menyebabkan
adanya tadlis dalam sanad.217
Dengan demikian, dilihat dari pribadi
Abû Sufwân al-Umawiyyi yang merupakan periwayat yang `âdil
dan dhâbit dalam periwayatan hadis serta ada hubungan guru dan
murid antara beliau dengan Yûnus ibn Yazîd, maka dapat dikatakan
hubungan sanad antara Abû Sufwân al-Umawiyyi dengan Yûnus
ibn Yazîd al-Ailî merupakan sanad yang bersambung.
Dalam rangkaian sanad riwayat Muslim, sanad periwayat
keenam bercabang menjadi dua yaitu Harmalah ibn Yahya dan
Zuhair ibn Harb. Dalam melakukan penilaian ke-`âdil-an dan ke-
217
Ibid., h. 88.
170
dhâbith-an pribadi Harmalah ibn Yahya dapat dilihat dari ta`dil
yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu
orang yang paling mengetahui hadis dari Ibnu Wahab (a`lam al-
nâs), menulis banyak hadis. Lafazh “orang yang paling mengetahui
hadis dari Ibnu Wahab (a`lam al-nâs)” merupakan lafazh yang
menggunakan kata “paling” (tafdhil), dengan demikian lafazh ini
merupakan tingkatan yang pertama dalam tingkatan ta`dil.
Sedangkan lafazh “menulis banyak hadis” merupakan tingkatan
ta`dil yang kelima. Para kritikus dalam menilai ta`dil Harmalah
bersifat mutawasith karena tidak begitu keras dan disertai dengan
keterangan yang jelas.
Walaupun demikian, dalam tabel di atas disebutkan ada
sebagian para kritikus yang memberikan jarh kepada beliau di
antaranya yaitu boleh ditulis akan tetapi tidak boleh dijadikan
hujjah, dho`if. Kedua lafazh jarh tersebut merupakan jarh tingkatan
kelima, sehingga tidak dapat mencederakan ta`dil tentang
Harmalah. Pendapat kritikus hadis tentang jarh Harmalah bersifat
mutasahhil karena tanpa disertai dengan keterangan yang jelas.
Dilihat dari ta`dil para kritikus yang berperingkat tinggi yakni
tingkat pertama dan kelima serta jarh yang berperingkat kelima dan
tanpa keterangan yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa
Harmalah merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit.
171
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Harmalah
ibn Yahya dengan `Abdullâh ibn Wahab, dalam tabel di atas
disebutkan bahwa Harmalah ibn Yahya lahir pada tahun 156 H. dan
meninggal pada malam kamis yaitu malam ke-9 bulan Syawal
tahun 243 H., sedangkan `Abdullâh ibn Wahab lahir pada bulan
Dzulqa`dah tahun 125 H. dan meninggal pada hari Ahad minggu
ke-4 bulan Sya`ban tahun 197 H. Selisih tahun meninggal antar
keduanya yaitu 46 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keduanya hidup sezaman dan terjadi hubungan guru dan murid.
Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam
periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang periwayatan
-yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al دذص
sima`.218
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-
sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam
cara-cara penerimaan hadis Nabi.219
Dilihat dari pribadi Harmalah
ibn Yahya yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit,
kemudian ada hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan
maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad antara ,دذص
Harmalah ibn Yahya dengan `Abdullâh ibn Wahab merupakan
sanad yang bersambung.
Selanjutnya penilaian sanad periwayat yang keenam lainnya
yakni Zuhair ibn Harb. Dalam menilai ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-
218
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 219
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
172
an pribadi periwayat Zuhair ibn Harb dapat dilihat dari ta`dil yang
diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu shadûq,
atsbat, (tsiqah, tsabat), (tsiqah, ma’mûn), tsiqah, tsabat, hâfidz,
dan mutqîn. Lafazh atsbat merupakan lafazh tingkat pertama dalam
tingkatan ta`dil karena menggunakan kata “paling” (tafdhil).
Lafazh (tsiqah, tsabat), dan (tsiqah, ma’mûn) merupakan lafazh
kedua dalam tingkatan ta`dil karena dalam tingkatan kedua ini
menggunakan kata-kata yang diulang-ulang (ta`kîd). Lafazh tsiqah,
hâfidz, dan tsabat merupakan lafazh tingkat ketiga. Sedangkan
lafazh shadûq dan mutqîn merupakan tingkatan yang keempat
dalam tingkatan ta`dil.
Para kritikus tidak ada yang memberikan jarh kepada
Zuhair ibn Harb. Dilihat dari ta`dil para kritikus kepada Zuhair ibn
Harb yang berperingkat tinggi yakni pertama, kedua, ketiga dan
keempat serta dengan tidak ada jarh dari para kritikus, Dengan
demikian Zuhair ibn Harb dapat dikatakan sebagai periwayat yang
`âdil dan dhâbit.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Zuhair ibn
Harb dengan `Abdullâh ibn Wahab, dalam tabel di atas telah
disebutkan bahwa Zuhair ibn Harb lahir pada tahun 156 H. dan
meninggal pada malam kamis yaitu malam ke-9 bulan Syawal
tahun 243 H. Sedangkan Abû Sufwân al-Umawiyyi pergi bersama
ibunya ke Mekkah ketika ayahnya terbunuh yaitu pada tahun 132
173
H. dan meninggal dalam usia sekitar 200 tahun. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa keduanya hidup sezaman dan keduanya
terjadi hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadis.
Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam
periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang periwayatan
.`yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima دذصب220
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima`
merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara
penerimaan hadis Nabi.221
Dilihat dari pribadi Zuhair ibn Harb
yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit, kemudian ada
hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan dengan lafazh
maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad antara Zuhair ,دذصب
ibn Harb dengan Abû Sufwân al-Umawiyyi merupakan sanad yang
bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat ketujuh yakni Muslim ibn al-Hajjâj dapat dilihat dari
ta`dil yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas
yaitu orang yang tsiqah, sampai-sampai Abû Zar`ah dan Abû
Hâtim menghadap kepada Muslim ibn al-Hajjâj untuk mengetahui
orang-orang yang sahih atas imam-imam pada zaman mereka
berdua. Lafazh tsiqah merupakan tingkatan ketiga dalam tingkatan
ta`dil, sedangkan lafazh-lafazh ta`dil lainnya walaupun kebanyakan
220
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 221
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
174
tidak memakai lafazh-lafazh yang terdapat dalam tingkatan ta`dil,
namun dilihat dari keterangan para kritikus tersebut tingkatan ta`dil
para kritikus mempunyai tingkatan yang pertama. Pendapat para
kritikus tentang ta`dil Muslim ibn al-Hajjâj bersifat mutawasith
dengan keterangan yang sangat jelas.
Tidak ada di antara para ulama yang memberikan jarh
kepada Muslim ibn al-Hajjâj. Dilihat dari ta`dil para kritikus yang
berperingkat tinggi yakni pertama serta dengan tidak adanya jarh
yang diberikan, maka dapat dikatakan bahwa Muslim ibn al-Hajjâj
merupakan seorang periwayat yang `âdil dan dhâbit.
Mengenai ketersambungan sanad antara Muslim ibn al-
Hajjâj dengan Zuhair ibn Harb dan Harmalah ibn Yahya, dalam
tabel di atas disebutkan bahwa Muslim ibn al-Hajjâj lahir pada
tahun 204 H. dan meninggal pada tanggal 5 Rajab tahun 261 H.
Adapun Zuhair ibn Harb lahir pada tahun 160 H. dan meninggal
pada malam kamis tanggal 7 Sya`ban tahun 234 H. pada masa
khalifah Ja`far, sedangkan Harmalah ibn Yahya lahir pada tahun
156 H. dan meninggal pada malam kamis yaitu malam ke-9 bulan
Syawal tahun 243 H. Selisih tahun meninggal antara Muslim
dengan Zuhair yakni 27 tahun, sedangkan Muslin dengan Harmalah
yakni 18 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara
Muslim dengan Zuhair dan Harmalah hidup sezaman dan telah
terjadi hubungan guru dan murid. Mengenai lambang periwayatan
175
yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu menggunakan
lambang periwayatan دذصب yang merupakan bagian dari lambang
periwayatan al-sima`.222
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis
dengan cara al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling
kuat dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.223
Dilihat dari pribadi
Muslim yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit,
kemudian ada hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan
dengan دذصب, maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad antara
Muslim dengan Zuhair ibn Harb dan Harmalah ibn Yahya
merupakan sanad yang bersambung.
Dari hasil penelitian rangkaian sanad riwayat Muslim dari
periwayat pertama yakni Abû Hurairah sampai periwayat ketujuh
yakni Muslim ibn al-Hajjâj di atas, terdapat sanad yang riwayatnya
tidak bersambung yaitu Yûnus ibn Yazîd al-Ailî dengan jarh yang
diberikan kepada beliau yaitu “meriwayatkan banyak hadis yang
mungkar”. Jarh ini merupakan tingkatan yang pertama dalam
tingkatan jarh karena lafazh ini sama dengan lafazh seorang
pemalsu hadis ضبع yang berada di tingkatan pertama. Dengan
demikian sanad hadis riwayat Muslim ibn al-Hajjâj merupakan
sanad yang terputus.
Dengan adanya sanad yang terputus, maka dapat dikatakan
bahwa rangkaian sanad riwayat Muslim ibn al-Hajjâj merupakan
222
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa Azami, Memahami Hadis, h. 37. 223
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
176
rangkaian sanad yang terdapat `illat yakni terputusnya sanad Yûnus
ibn Yazîd al-Ailî dalam rangkaian sanad tersebut. Walaupun dari
segi syâdz, rangkaian sanad hadis Muslim ini merupakan rangkaian
yang terbebas dari syâdz karena terdapat muttabi` di dalam jalur
rangkaian sanadnya. Dengan demikian dilihat dari rangkaian sanad
periwayat pertama hingga ketujuh terdapat sanad yang terputus,
kemudian terdapat `illat di dalam rangkaian sanadnya, maka dapat
dikatakan bahwa rangkaian sanad riwayat Muslim merupakan
rangkaian sanad yang dho`if.
c. Sanad Hadis Dalam Riwayat al-Tirmidzî
Untuk mempermudah dalam menganalisa kualitas
keshahihan sanad hadis yang terdapat dalam hadis riwayat al-
Tirmidzî sesuai dengan kaedah keshahihan sebuah sanad hadis,
maka kami membuat tabel seluruh periwayat al-Tirmidzî sebagai
berikut:
Nama
Periwayat
Ada atau
tidaknya
Syâhid
dan
Tâbi`
Tahun
kelahiran
atau
meninggal
Hubunga
n guru
dan
murid
Lamba
ng
periway
atan
hadis
Lafazh jarh dan
ta`dil
Abû
Hurairah
sda sda sda sda sda
Abû sda` sda sda sda sda
177
Salamah
Ibnu
Syihâb al-
Zuhrî
sda sda sda sda sda
`Uqail sda sda sda sda
sda
Al-Laits
ibn Sa`ad
sda sda sda sda sda
`Abdullâh
ibn Shâlih
Ada lima
tâbi`
yakni
Yahya
ibn
Bukair,
Zuhair
ibn Harb,
Harmala
h ibn
Yahya,
Ahmad
ibn
`Umair
dan Ibnu
al-Sarh
al-Mishrî
Ayahnya
meninggal
pada tahun
132 H.
Ada
hubunga
n guru
dan
murid
antara
Abû
Shafwân
al-
Umawiy
yi
dengan
Yûnus
al-Ailî
ص :Lafazh ta`dil دذ
tidak pernah
diketahui orang
yang lebih
mengetahui
hadis riwayat al-
Laits kecuali
Abû Shâlih,
(tsiqah,
ma’mun), orang
yang baik
hadisnya, tidak
pernah diketahui
orang yang lebih
mengetahui
hadis riwayat al-
Laits kecuali
Abû Shâlih,
orang yang
shalih, hadis-
178
hadis yang
diriwayatkan
Abû Shâlih di
akhir hidupnya
banyak yang
mengatakan
mungkar.
Lafazh jarh:
pribadi beliau
adalah orang
yang shadûq
akan tetapi
hadisnya banyak
yang mungkar,
berbohong
dalam hadis,
orang yang
diragukan dan
dia bukanlah
siapa-siapa,
bukan orang
yang tsiqah.
Maktûm
ibn al-
`Abbâs
Tidak
ada tâbi`
Tidak ada
keterangan
Tidak
ada
hubunga
n guru
dan
murid
antara
Maktûm
ص Tidak ada دذ
keterangan yang
jelas tentang
ta`dil dan jarh
dari pribadi
Maktûm ibn al-
`Abbâs
179
ibn al-
`Abbâs
dengan
`Abdullâ
h ibn
Shâlih
Al-
Tirmidzî
Tidak
ada tâbi`
karena
seorang
mukharri
j
Meninggal
pada bulan
Rajab tahun
279 H.
Ada
hubunga
n guru
dan
murid
antara al-
Tirmidzî
dengan
Maktûm
ibn al-
`Abbâs
ص :Lafazh ta`dil دذ
seorang yang
alim, mutqin,
tsiqah, dan
seorang hafizh.
Lafazh jarh:
tidak ada.
Dari tabel di atas, penelitian tentang ketersambungan sanad
dari sanad pertama yakni Abû Hurairah hingga sanad kelima yakni
al-Laits ibn Sa`ad telah dilakukan dalam penelitian sanad di
riwayat al-Bukhârî di atas. Hal ini karena rangkaian sanad riwayat
al-Tirmidzî dari periwayat pertama hingga kelima sama dengan
rangkaian sanad riwayat al-Bukhârî.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat keenam yakni `Abdullâh ibn Shâlih dapat dilihat dari
ta`dil yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas
180
yaitu tidak pernah diketahui orang yang lebih mengetahui hadis
riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih, (tsiqah, ma’mun), orang yang
baik hadisnya, tidak pernah diketahui orang yang lebih mengetahui
hadis riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih, hadis-hadis yang
diriwayatkan Abû Shâlih di akhir hidupnya banyak yang
mengatakan mungkar. Lafazh ta`dil “tidak pernah diketahui orang
yang lebih mengetahui hadis riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih”
merupakan tingkatan pertama dalam ta`dil karena mengandung
kata paling yaitu “paling mengetahui”. Lafazh (tsiqah, ma’mun)
merupakan tingkatan kedua dalam tingkatan ta`dil. Lafazh ta`dil
“orang yang baik hadisnya” merupakan tingkatan kelima dalam
tingkatan ta`dil. Lafazh ta`dil “hadis-hadis yang diriwayatkan Abû
Shâlih di akhir hidupnya banyak yang mengatakan mungkar”
merupakan tingkatan kelima dalam tingkatan ta`dil. Penilaian para
kritikus hadis tentang ta`dil Abû Shâlih bersifat mutawasith dalam
menilai ta`dil-nya karena disertai dengan keterangan yang jelas.
Walaupun demikian, dalam tabel di atas disebutkan
sebagian para kritikus yang memberikan jarh kepada Abû Shâlih di
antaranya yaitu pribadi beliau adalah orang yang shadûq akan
tetapi hadisnya banyak yang mungkar, orang yang diragukan dan
dia bukanlah siapa-siapa, bukan orang yang tsiqah. Lafazh jarh
yakni “pribadi beliau adalah orang yang shadûq akan tetapi
hadisnya banyak yang mungkar” merupakan jarh yang kurang
181
penjelasan kapan terjadi kemungkaran hadisnya, karena Abû Hatim
berkata bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan Abû Shâlih di akhir
hidupnya banyak yang mengatakan mungkar, sedangkan lafazh
“orang yang diragukan” dan “dia bukanlah siapa-siapa” merupakan
tingkatan jarh yang keempat. Adapun lafazh “bukan orang yang
tsiqah” merupakan tingkatan ketiga dalam tingkatan tajrih.
Pendapat kritikus tentang tajrih Abû Shâlih bersifat mutasahhil
karena tanpa disertai keterangan yang jelas, walaupun ada kritikus
hadis yang dianggap mutasyaddid dalam menilai ketsiqahan yakni
al-Nasâ‟i. Dilihat tajrih tentang pribadi Abû Shâlih yang kurang
disertai keterangan yang jelas, akan tetapi hanya pada tingkatan
tiga dan empat. Dengan demikian jarh tersebut tidak mencederakan
ta`dil yang berperingkat pertama dan kedua. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa `Abdullâh ibn Shâlih merupakan periwayat yang
`âdil dan dhâbith.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara `Abdullâh
ibn Shâlih dengan al-Laits, disebutkan dalam tabel bahwa
`Abdullâh ibn Shâlih dinyatakan ayahnya meninggal pada tahun
132 H., sedangkan al-Laits lahir pada tahun 94 H., dan meninggal
pada hari jum`at pertengahan bulan Sya`ban tahun 175 H. Dari
keterangan tersebut dapat kita katakan bahwa ada hubungan guru
dan murid antara `Abdullâh ibn Shâlih dengan al-Laits. Mengenai
lambang periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini
182
yaitu دذص yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-
sima`.224
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-
sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam
cara-cara penerimaan hadis Nabi.225
Dilihat dari pribadi `Abdullâh
ibn Shâlih yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith,
kemudian ada hubungan guru dan murid, serta lambang
periwayatan دذص, maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad
antara `Abdullâh ibn Shâlih dengan al-Laits dapat dikatakan
bersambung.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat ketujuh yakni Maktûm ibn `Abbâs. Dari tabel di atas,
tidak ada keterangan yang jelas tentang pribadi Maktûm ibn `Abbâs
dari segi ta`dil dan jarh. Hal ini dimungkinkan beliau merupakan
bukan orang yang tidak dikenal. Dalam syarat `âdil dan dhâbith,
orang yang tidak dikenal dalam periwayatan hadis menjadikan
seorang periwayat tersebut menjadi cacat. Dengan demikian
Maktûm ibn `Abbâs merupakan periwayat yang tidak mempunyai
kriteria sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith, sehingga
Maktûm ibn `Abbâs merupakan bukan periwayat yang `âdil dan
dhâbith.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Maktûm
ibn `Abbâs dengan `Abdullâh ibn Shâlih disebutkan dalam tabel
224
Shubhi Shalih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa Azami, Memahami Hadis, h. 37. 225
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
183
bahwa tidak ada keterangan yang jelas tentang tanggal kelahiran
dan kematian beliau, sehingga dapat dikatakan tidak ada hubungan
guru dan murid antara Maktûm ibn `Abbâs dengan `Abdullâh ibn
Shâlih. Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam
periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang periwayatan
-yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al دذص
sima`.226
Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-
sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam
cara-cara penerimaan hadis Nabi.227
Walaupun metode itu diakui
oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, akan tetapi
karena dilihat dari pribadi beliau yang merupakan bukan periwayat
yang `âdil dan dhâbith, serta tidak ada hubungan guru dan murid,
maka dapat dikatakan bahwa ketersambungan sanad antara
Maktûm ibn `Abbâs dengan `Abdullâh ibn Shâlih merupakan sanad
yang terputus.
Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi
periwayat kedelapan yakni al-Tirmidzî dapat dilihat dari ta`dil yang
diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu seorang
yang alim, mutqin, tsiqah, seorang hafizh. Lafazh ta`dil seorang
hafizh merupakan tingkatan yang kedua dalam tingkatan ta`dil.
Lafazh ta`dil yakni mutqin, dan tsiqah merupakan tingkatan yang
ketiga. Sedangkan lafazh seorang yang `alim merupakan tingkatan
226
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 227
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
184
kelima dalam tingkatan ta`dil. Pendapat kritikus tentang ta`dil al-
Tirmidzî bersifat mutawassith dengan keterangan yang jelas.
Tidak ada di antara para ulama yang memberikan jarh
kepada al-Tirmidzî. Dilihat dari ta`dil para kritikus yang
berperingkat tinggi yakni kedua, ketiga dan kelima serta tidak jarh
yang diberikan kepada beliau, maka dapat dikatakan bahwa al-
Tirmidzî merupakan seorang periwayat yang `âdil dan dhâbit.
Adapun mengenai ketersambungan sanad antara al-
Tirmidzî dengan Maktûm ibn `Abbâs, dapat dilihat dari nama guru
dan murid. Walaupun ketika dilihat dari tahun kelahiran dan
meninggal tidak ada keterangan yang jelas. Mengenai lambang
periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu
menggunakan lambang periwayatan دذص yang merupakan bagian
dari lambang periwayatan al-sima`.228
Menurut Ibnu Shalah,
penerimaan hadis dengan cara al-sima` merupakan yang paling
tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara penerimaan hadis
Nabi.229
Dengan demikian hubungan sanad antara al-Tirmidzî
dengan Harmalah ibn Yahya dan Maktûm ibn `Abbâs merupakan
sanad yang bersambung.
Setelah dilakukan penelitian kashahihan sanad dalam
rangkaian sanad riwayat al-Tirmidzî di atas, terdapat sanad yang
riwayatnya tidak bersambung yaitu Maktûm ibn `Abbâs. Hal ini
228
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37. 229
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
185
karena merupakan periwayat yang tidak dikenal dalam periwayatan
hadis. Dengan demikian rangkaian sanad dalam riwayat al-Tirmidzî
merupakan sanad yang terputus.
Dengan adanya sanad yang terputus, maka dapat dikatakan
bahwa rangkaian sanad riwayat al-Tirmidzî merupakan rangkaian
sanad yang terdapat `illat yakni terputusnya sanad Maktûm ibn
`Abbâs dalam rangkaian sanad tersebut. Walaupun dari segi syâdz,
rangkaian sanad hadis al-Tirmidzî ini merupakan rangkaian yang
terbebas dari syâdz karena terdapat muttabi` di dalam jalur
rangkaian sanadnya. Dengan demikian dilihat dari rangkaian sanad
periwayat pertama hingga kedelapan terdapat sanad yang terputus,
kemudian terdapat `illat di dalam rangkaian sanadnya, maka dapat
dikatakan bahwa rangkaian sanad riwayat al-Tirmidzî merupakan
rangkaian sanad yang dho`if.
2. Kualitas Keshahihan Matan Hadis
Hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia ini
diriwayatkan oleh banyak mukharrarij yaitu: al-Bukhârî dalam kitab
Shahîh al-Bukhârî dalam bab nafaqah 230
dan bab hutang,231
Muslim
dalam kitab Shahîh Muslim dalam bab barang siapa yang meninggalkan
230
Lihat Abû Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 5, h.
536. 231
Ibid., j. 3, h. 84.
186
harta maka untuk ahli warisnya,232
Imam al-Tirmidzî dalam kitab Sunan
al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi pada orang
yang berhutang,233
dan Imam Ibnu Mâjah dalam kitab Sunan Ibnu
Mâjah dalam bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau barang
maka atas Allah dan Rasul-Nya.234
Dari seluruh matan tentang hadis akibat meninggalkan hutang di
dunia, terdapat perbedaan lafazh matan hadis. Di antara perbedaan
lafazh tersebut yaitu dalam riwayat al-Bukhârî dengan lafazh رشن ذ٠
لضبء ؟ dalam riwayat Muslim dengan lafazh , فضالا ؟ رشن ذ٠ ,
dalam riwayat al-Tirmidzî dengan lafazh ؟ فض رشن ذ٠ . Untuk
meneliti perbedaan lafazh matan tersebut, maka kami menggunakan
metode perbandingan (muqaranah) antar lafazh matan yang berbeda
tersebut. Perbedaan lafazh matan hadis tersebut terjadi dalam sanad
periwayat `Uqail dan Yûnus al-Ailî, karena kedua periwayat ini
merupakan periwayat yang meriwayatkan hadis dari Ibnu Syihâb al-
Zuhrî. Adapun dari periwayatan Ibnu Syihâb al-Zuhrî sampai kepada
Abû Hurairah sangat kecil kemungkinan terjadi perbedaan lafazh,
karena merupakan satu jalur periwayatan.
Bukti bahwa perbedaan lafazh matan hadis tersebut terjadi
dalam kedua periwayat (`Uqail dan Yûnus al-Ailî) yaitu apabila jika
232
Lihat Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1992), h. 58. 233
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh), j. 2, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 266. 234
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 807.
187
diamati dengan seksama, bahwa periwayat `Uqail merupakan periwayat
yang terdapat dalam sanad al-Bukhârî dan al-Tirmidzî, sedangkan
periwayat Yûnus al-Ailî merupakan periwayat yang terdapat dalam
riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhârî, lafazh matan yang terjadi
perbedaan yaitu فضالا رشن ذ٠ , begitu juga dalam riwayat al-Tirmidzî
yaitu فض رشن ذ٠ . Kedua lafazh tersebut secara spesifik
merupakan lafazh yang sama mirip. Sedangkan dalam riwayat Muslim,
lafazh yang terjadi perbedaan yaitu لضبء رشن ذ٠ . Antara lafazh
dalam riwayat Muslim dengan lafazh riwayat al-Bukhârî dan al-
Tirmidzî jelas berbeda, karena Muslim menggunakan lafazh لضبء
sedangkan al-Bukhârî dan al-Tirmidzî menggunakan lafazh .فض
Dengan demikian, perbedaan lafazh matan tersebut terjadi dalam
periwayat `Uqail dan Yûnus al-Ailî. Walaupun terjadi perbedaan lafazh
matan hadis, akan tetapi perbedaan ini tidak menimbulkan ziyadah atau
idraj dan juga matan hadis tersebut bukanlah matan yang bersifat
ta`abbudi (berupa bacaan ibadah). Dengan demikian perbedaan lafazh
dalam matan hadis tersebut dapatlah ditoleransi, karena hadis ini
memang diriwayatkan dengan makna.
Selain hadis ini diriwayatkan dengan makna yang dapat
ditoleransi, matan hadis ini adalah matan hadis yang terbebas dari syadz
dan `illat. Di antara bukti bahwa hadis ini terbebas dari syadz antara
lain:
188
- Hadis ini diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya
tidak bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak
periwayat tsiqah yang lainnya.
- Hadis ini diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang-orang
tsiqah lainnya juga ikut meriwayatkan hadis tersebut.
- Hadis ini sanadnya lebih satu buah sanad.235
Di samping terbebas dari syadz, hadis tersebut juga terbebas dari `illat.
Di antara buktinya yaitu:
- Hadis ini memiliki muttabi`, sehingga bukan merupakan hadis yang
gharîb.
- Hadis ini diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah.236
Selain terbebas dari syâd dan `illat, matan hadis ini tidak
bertentangan dengan kandungan dari ayat al-Qur‟an. Dalam ayat al-
Qur‟an disebutkan tentang mekanisme hutang-piutang seperti dalam
ayat 282 dari surat al-Baqarah. Dalam ayat ini (al-Baqarah ayat 282),
dijelaskan tentang bagaimana tata cara melakukan hutang-piutang
dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga ayat 280 dari surat al-
Baqarah, ayat ini menganjurkan kepada orang yang memberikan hutang
agar memberikan tenggang waktu kepada orang yang berhutang apabila
mengalami kesusahan dalam melunasi hutangnya, atau yang lebih baik
lagi adalah menyedekahkan hutang tersebut kepada orang yang
235
Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 85-86. Lihat Nuruddin
`Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 228. Lihat Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis,
cet. 1, (Bandung: Al-Ma`arif, 1974), h. 199. 236
Ibid., h. 88. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 258. Lihat Fathur
Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, h. 187.
189
berhutang dan memang tidak mampu untuk melunasi hutangnya.
Selanjutnya dalam surat al-Taubah ayat 60 juga menyinggung tentang
orang yang berhutang yaitu agar orang yang berhutang (ghârim) diberi
zakat dari orang yang berzakat agar bisa digunakan dalam melunasi
hutang yang melilitnya. Dengan demikian hadis ini tidaklah
bertentangan dengan hukum al-Qur‟an yang merupakan sumber
pegangan bagi orang Islam.
Dikarenakan hadis ini merupakan hadis yang terbebas dari syâd
dan `illat dan juga tidak bertentangan dengan hukum al-Qur‟an, maka
matan hadis ini memiliki persyaratan tolak ukur sebagai matan hadis
yang shahih. Dengan melihat tolak ukur tentang keshahihan matan yang
ada, matan hadis ini merupakan matan hadis yang shahih.
B. Makna Kontekstualisasi Hadis Dalam Kehidupan
Hadis Nabi tentang akibat meninggalkan hutang di dunia ini
diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, di antaranya yaitu al-Bukhârî
dalam kitab Shahih al-Bukhâri dalam bab nafaqah 237
dan bab hutang,238
Muslim dalam kitab Shahîh Muslim dalam bab barang siapa yang
meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya,239
Imam al-Tirmidzî dalam
kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi
237
Lihat Abû Abdullâh Muhammad bin `Ismail al-Bukhâri, Shahih al-Bukhari, j. 5, h.
536. 238
Ibid., j. 3, h. 84. 239
Lihat Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1992), h. 58.
190
pada orang yang berhutang,240
dan Imam Ibnu Mâjah dalam kitab Sunan
Ibnu Mâjah dalam bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau
barang maka atas Allah dan Rasul-Nya.241
Menurut al-Qurthubî, kata ثذ٠ dalam firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 282 yaitu ارا رذا٠ز ثذ٠ ا اج ض adalah untuk penekanan
seperti pada firman Allah Swt ال طبئش ٠ط١ش ثجبد١ “Dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya” (QS. Al-An‟am [6] ayat 38) dan
juga dalam firman Allah Swt فضجذ ائىخ و أجع “Lalu seluruh
malaikat itu bersujud semuanya” (QS. Shaad [38] ayat 73)242
. Hakikat
makna dari kata ثذ٠ adalah keterangan dari semua transaksi di mana salah
satu pihak membayar dengan tunai dan pihak yang lainnya dalam tempo.
Kata اع١ menurut bahasa Arab adalah semua harta yang ada dalam
genggaman, sedangkan kata اذ٠ adalah semua harta yang tidak ada dalam
genggaman. Lalu Allah menjelaskan makna tersebut dengan firman-Nya
yaitu ا اج ض “untuk waktu yang ditentukan”. Penentuan waktu
hutang-piutang hendaklah diatur, karena penentuan waktu tersebut dapat
menghindari perselisihan antara yang berhutang dengan yang memberi
hutang. 243
240
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh), j. 2, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 266. 241
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 807.
242 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk., 837.
243 Ibid., h. 837. Lihat Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad al-Syaukâni, Fath al-Qadîr, j.
1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 452-453.
191
Dalam hadis riwayat al-Bukhârî dan al-Tirmidzî, kata فضال berarti
suatu kemampuan yang lebih atas seorang muslim sebagai persiapan dia
dalam menepati janjinya untuk melunasi hutangnya. Sementara dalam
riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh لضبء (melunasi) sebagai ganti
lafazh فضال (kelebihan). Lafazh terakhir ini ( فضال ) lebih tepat
berdasarkan lafazh hadis selanjutnya yakni فبءا رشن ذ٠ jika) دذس أ
dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa menutupi hutangnya).
Kata فبء berarti apa yang telah dijanjikan dalam melunasi hutangnya, jika
dia tidak bisa menetapkan pembayaran hutangnya maka Nabi yang akan
membayarnya.244
Dalam hadis ini Nabi tidak mau menshalatkan jenazah yang masih
mempunyai hutang dan tidak ada yang menanggungnya. Nabi melakukan
hal yang demikian karena dimungkinkan agar para umatnya berhari-hati
dalam melakukan transaksi hutang-piutang. Menurut Ibnu `Arabî dalam
kitab al-`Âridhah yang dikutip oleh Imam al-Mubârakfûrî dalam kitab
Tuhfat al-Ahwadzî mengatakan bahwa larangan Nabi Muhammad untuk
menshalati jenazah atas orang yang meninggal dalam keadaan berhutang
merupakan sebuah peringatan agar tidak membuat susah payah hidupnya
dengan berhutang dengan demikian tidak akan menghilangkan harta orang
lain.245
Al-Mubârakfûrî menambahkan bahwa larangan shalat terhadap
jenazah yang masih menanggung hutang adalah untuk menjelaskan cara
244
Badar al-Dîn Abû Muhammad Mahmûd ibn Ahmad al-`Aini, `Umdat al-Qâri’ (Syarh
Shahîh al-Bukhârî), j. 11, ( Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 126. 245
Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat
al-Ahwadzî, j. 4, h.128.
192
bagi kita semua dalam membayar hutang kita, kalau seandainya dia tidak
mampu maka harus ada yang menanggungnya.246
Selain itu, terdapat berbagai macam perbedaan dalam
melaksanakan shalat jenazah bagi jenazah yang masih mempunyai hutang.
Menurut al-Nawâwî: yang pasti benar adalah bolehnya menshalati jenazah
tersebut selama ada yang menanggung hutangnya. Ibnu Bathal berkata:
merupakan penghapus untuk larangan shalat bagi jenazah yangرشن د٠ب فع
mempunyai hutang, adapun sabda Nabi فع لضبء merupakan keterangan
bahwa Allah yang akan menanggung hutangnya dari harta-harta rampasan
dan juga dari sedekah-sedekah.247
Menurut al-Hazimî bahwa tidak apa-apa
apabila menshalati jenazah tersebut, karena Nabi bersabda: رشن د٠ب فع ,
shalatnya Nabi atas jenazah yang masih berhutang disebabkan Allah
memberikan kemenangan dari berbagai peperangan. Oleh karena adanya
banyak harta rampasan perang, maka Nabi mau menanggung hutangnya
dari harta orang-orang yang shaleh, ada juga yang berkata bahwa Nabi
menanggungnya dari keikhlasan diri beliau.248
Ibnu Hajar al-Ashqolânî
mengatakan bahwa keharusan bagi seorang muslim untuk menanggung
hutang saudaranya apabila meninggal dalam keadaan berhutang, apabila
tidak ada yang menanggungnya maka bagi yang berhutang itu akan
mendapatkan dosa. Apabila ada hak yang meninggal dunia di suatu badan
246
Ibid., h.128. 247
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolânî, Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, j. 5,
(Bairut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 244. 248
Ibid., h. 244.
193
keuangan, maka dilunaskan hutangnya sesuai kadar hutang yang terdapat
dalam dirinya. Apabila tidak ada, maka diuruslah dengan cara yang adil.249
Dalam hadis tersebut Nabi tidak mau menshalati jenazah yang
masih menanggung hutang agar tidak menganggap kecil perkara hutang,
dan juga agar tidak membuat susah payah hidupnya dengan berhutang
dengan demikian tidak akan menghilangkan harta orang lain sebagai
pelajaran bagi umatnya dalam muamalah hutang-piutang. Akan tetapi
ketika umat Islam diberikan kemenangan yang besar dan memperoleh
banyak harta rampasan perang, Nabi meminta kepada umatnya untuk
memberitahukan kepada beliau apabila ada yang meninggal dan masih
mempunyai hutang agar beliau dapat melunasinya lewat harta rampasan
yang didapat oleh umat Islam.250
Dalam fakta yang terjadi di kehidupan sekarang, hubungan antara
harta dan hutang sudah merupakan masalah yang universal dalam
kehidupan manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya termasuk
pengembangan harta yang dimilikinya, manusia selalu terlibat dalam
hubungan hutang-piutang. Hubungan transaksi hutang-piutang ini selalu
saja terjadi di setiap masyarakat, tanpa membedakan tempat atau masa,
dalam keadaan senang atau susah.251
Masyarakat yang melakukan
transaksi hutang-piutang merupakan bentuk ikhtiar atau usaha mereka
dalam mengembangkan atau meningkatkan pendapatan usaha keluarga
249
Ibid., h. 244. 250
Ibid., h. 244.
251 Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, h. 203.
194
mereka atau bisa juga untuk pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan
mereka. Akan tetapi jika yang berhutang itu pada suatu saat tidak bisa
melunasi hutangnya, maka seseorang haruslah menjadi penanggungnya.
Banyak orang yang berada dalam kesulitan tidak punya harta dan tidak
mampu membayar hutangnya saat ditagih oleh orang yang
menghutanginya. Ketika ia memohon penundaan hutang kepada orang
yang memberinya pinjaman, orang yang menghutanginya sering menolak
permohonan itu. Dalam keadaan seperti itu ia memerlukan seseorang yang
mau membantu dan menjaminnya. Bantuan yang diberikan kepada orang
yang dalam keadaan terjepit ini memiliki tiga faedah di antaranya sebagai
berikut:
a. Memberikan ketenangan kepada orang yang mengutanginya.
b. Menghindari perlakuan buruk saat penarikan hutang dari orang yang
ditagihnya.
c. Dengan bantuan ini akan terciptanya sikap saling mencintai dan saling
menyanyangi di antara sesama manusia.252
Pembayaran hutang oleh yang berhutang merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan karena dia (yang berhutang)
meminjam yang bukan hak dia. Akan tetapi ketika yang meminjam tidak
mempunyai apa-apa untuk melunasi hutangnya timbul permasalahan,
apakah dia masih tetap melunasi hutangnya atau tidak. Berkata al-Thîbî
yang pendapatnya sesuai dengan pendapat para ulama di antaranya: Abû
252
`Alî Ahmad al-Jarjâwî, Indahnya Syariat Islam, terj. Faishal Shaleh, h. 446.
195
Yûsuf, Mâlik, al-Syâfi`î dan Ahmad bahwa sesungguhnya sah bagi
seseorang yang mau menanggung hutang bagi jenazah yang meninggal
dunia tetapi tidak meninggalkan harta benda, kalau seandainya tidak ada
yang menanggungnya Nabi tidak akan menshalati jenazah tersebut.
Berkata Abû Hanîfah: tidak sah penanggungan hutang bagi mayit yang
tidak punya apa-apa, karena penanggungan hutang terhadap orang yang
tidak punya apa-apa adalah penanggungan hutang yang telah jatuh, dan
penanggungan hutang seperti ini adalah batil.253
Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 280 diatur permasalahan
tentang seseorang yang tidak kuasa untuk melunasi hutangnya. Ayat ini
(al-Baqarah ayat 280) diturunkan kepada masyarakat Tsaqif, ketika
mereka meminta harta mereka yang dipinjamkan kepada Bani Mughirah,
lalu ketika Bani Mughirah mengeluh bahwa keadaan mereka pada saat itu
sedang kesusahan, dan mereka juga mengatakan pada saat itu mereka tidak
memiliki apa-apa untuk dibayarkan. Kemudian mereka meminta waktu
hingga saat panen tiba.254
Al-Nuhas mengatakan bahwa pendapat yang
paling baik mengenai ayat ini (al-Baqarah ayat 280) adalah pendapat
`Atha‟, al-Dhahâk, Râbi` dan Khaitsam yaitu setiap orang yang merasakan
kesulitan berhak untuk ditangguhkan dalam hal riba ataupun utang.255
Menurut M. Quraish Shihab, apabila seseorang yang berada dalam situasi
sulit atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar hutang, maka
253
Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat
al-Ahwadzî, h.128. 254
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk., h. 821. 255
Ibid., h. 823.
196
tangguhkanlah penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika
kamu mengetahui dia sempit, apalagi memaksa membayar dengan sesuatu
yang amat dia butuhkan. Yang lebih baik dari orang yang meminjamkan
adalah mensedekahkan hutangnya sebagian atau semua hutang itu.256
Di samping itu, dalam surat al-Taubah ayat 60 dijelaskan bahwa
orang yang berhutang (ghârim) merupakan orang yang berhak menerima
zakat, karena dia (ghârim) adalah salah satu dari delapan golongan yang
berhak mendapatkan zakat. Kata al-ghârimîn merupakan jamak dari kata
ghârim yakni yang berhutang atau yang dililit hutang sehingga tidak
mampu membayarnya walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan
untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya.257
Menurut Imam Hanafî,
kategori orang yang berhutang yang berhak mendapatkan zakat ada tiga.
Ketiga kategori tersebut yaitu:
a. Qawî yakni hutang pinjaman atau hutang dalam hal perdagangan yang
jelas (bukan maksiat).
b. Mutawasith yakni selain Qawî misalnya hutang tagihan rumah, pakaian,
makanan atau minuman.
c. Dha`îf yakni hutang yang bukan dari segi materi, misalnya hutang
mahar pernikahan, hutang wasiat.258
Dari ketiga kategori di atas, hanya hutang Qawî yang bisa
mendapatkan zakat, dan harus memenuhi nisab yang ada dalam syarat dan
256
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, volume 1, h. 560. 257
Ibid., volume 5, h. 634. 258
`Abd al-Rahman al-Jazîrî, Al-Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah, j. 1, (Bairut: Dâr al-Fikr,
1990), h. 602.
197
ketentuan zakat.259
Menurut al-Syâfi`î, hutang yang mendapatkan zakat
adalah hutang yang tetap dan berbentuk dirham atau dinar atau hutang dari
perdagangan.260
Dengan pemberian zakat kepada orang yang berhutang
(ghârim), maka akan dapat meringankan bebannya dalam melunasi hutang
yang melilitnya.
Dalam hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia, Nabi
tidak mau menshalati jenazah yang masih berhutang dan tidak ada yang
menanggungnya. Hal ini tidak berarti hadis tersebut bertentangan dengan
ayat al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 280 yang menerangkan tentang
seseorang yang tidak kuasa untuk melunasi hutangnya. Nabi melakukan
hal tersebut agar umatnya tidak menganggap kecil perkara hutang, dan
juga agar tidak membuat susah payah hidupnya dengan berhutang dengan
demikian tidak akan menghilangkan harta orang lain sebagai pelajaran
bagi umatnya dalam muamalah hutang-piutang. Ayat 280 dari surat al-
Baqarah tersebut merupakan bentuk rasa kasih sayang kepada yang
berhutang apabila ia (ghârim) merupakan orang yang benar-benar tidak
mampu melunasi hutangnya agar diberi penangguhan atas hutangnya.
Apalagi dalam surat al-Taubah ayat 60, orang yang berhutang (ghârim)
merupakan salah satu golongan yang berhak mendapatkan zakat agar dapat
melunasi hutang yang melilitnya. Dengan demikian, apabila zakat tersebut
diberikan dengan sebaik-baiknya kepada para ghârimîn (orang-orang yang
259
Ibid., h. 603. 260
Ibid., h. 604.
198
berhutang), niscaya tidak ada jenazah seorang muslim yang masih
mempunyai tanggungan hutang-piutang.
Dalam hadis Nabi tersebut bukanlah hadis yang cenderung
bertentangan dengan al-Qur‟an, akan tetapi merupakan penjelasan dari al-
Qur‟an yaitu apabila melakukan transaksi hutang-piutang agar menjadi
pelajaran bagi umatnya untuk melunasi hutangnya sebelum kematian
menjelang. Apabila orang yang berhutang tersebut meninggal sebelum
hutangnya terlunaskan, agar yang lainnya menjadi penanggung dari
hutangnya tersebut. Akan tetapi jika orang yang berhutang tersebut
merupakan orang yang benar-benar tidak mampu dan tidak mempunyai
kuasa dalam melunasi hutangnya, maka hendaklah orang yang berhutang
(ghârim) tersebut diberikan zakat agar dapat melunasi hutangnya. Hal
tersebut agar hutang dapat dilunasi sebelum kematian menjelang seperti
yang dilakukan Nabi ketika kaum muslimin telah memperoleh banyak
kemenangan dalam perang dan memperoleh banyak harta rampasan
perang, Nabi mengumumkan bahwa orang-orang yang berhutang
(ghârimîn) merupakan tanggungan baliau. Selain itu, bagi yang
memberikan hutang tersebut agar memberikan kelapangan waktu bagi
orang yang berhutang (ghârim) sampai yang berhutang tersebut bisa
melunasinya, atau dengan ketulusan hati untuk menyedekahkan hutang
yang diberikannya tersebut sehingga yang berhutang tersebut terbebas dari
hutangnya.
199
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan hadis tentang akibat meninggalkan di dunia
melalui tahap-tahap penelitian sanad dan matan hadis pada bab-bab
sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan penelitian tentang sanad hadis tersebut, sanad riwayat al-
Bukhâri merupakan sanad yang dari jalur periwayat pertama sampai
yang terakhir bersambung dan para periwayatnya memiliki kriteria
`âdil dan dhâbith. Dengan demikian kualitas sanad hadis riwayat al-
Bukhârî merupakan sanad yang shahîh. Akan tetapi dalam sanad hadis
riwayat Muslim, ada sanad yang tidak tsiqah yakni Yûnus al-Ailî yang
bukan termasuk sebagai periwayat `âdil dan dhâbith. Hal ini
disebabkan Yûnus al-Aili menurut kritikus hadis telah meriwayatkan
hadis yang mungkar dan hafalannya tidak bagus. Kedua jarh tersebut
merupakan jarh yang mencederakan ta`dil periwayat. Dengan
demikian terputuslah jalur periwayatan riwayat Muslim. Begitu juga
dengan riwayat al-Tirmidzî, ada sanad yang tidak tsiqah yakni
Maktûm ibn `Abbâs yang bukan termasuk sebagai periwayat `âdil.
Maktûm ibn `Abbâs merupakan orang yang tidak dikenal dalam
periwayatan hadis. Jarh ini merupakan jarh yang merusak pribadi
200
perawi dari segi ke-`âdil-an. Dengan demikian jalur periwayatan
riwayat al-Tirmidzî merupakan jalur yang terputus.
2. Berdasarkan penelitian tentang matan hadis tersebut, walaupun
terdapat perbedaan lafazh di antara para periwayat, namun karena
perbedaan tersebut dapat ditoleransi dan memenuhi kaedah keshahihan
matan sebuah hadis yakni terbebas dari syadz dan `illat serta tidak
bertentangan dengan ayat al-Qur'an, maka matan hadis tersebut yakni
dalam riwayat al-Bukhârî merupakan matan hadis ahad yang
berkualitas shahîh lidzâtihi. Adapun dalam riwayat Muslim dan al-
Tirmidzî yang di dalam sanad mereka berdua ada yang tidak
bersambung, maka matan hadis riwayat mereka berdua merupakan
hadis ahad yang berkualitas dho`îf. Dengan demikian, walaupun jalur
periwayatan hadis yang shahîh lidhâtihi adalah riwayat dari jalur al-
Bukhârî, akan tetapi riwayat Muslim dan al-Tirmidzî menjadi
terangkat statusnya menjadi hasan li ghairihi karena mendapat
dukungan dari riwayat al-Bukhârî yang merupakan riwayat hadis ahad
yang bekualitas shahîh lidzatihi.
3. Dalam realita zaman sekarang, masyarakat dalam melakukan transaksi
hutang-piutang merupakan sebuah ikhtiar atau usaha dalam memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Adapun dalam hadis Nabi ini, Nabi
memberikan anjuran agar masyarakat berhati-hati dalam berhutang dan
tidak meremehkan hutang dengan menunda-nunda melunasinya. Hal
ini dikarenakan agar orang yang berhutang (ghârim) tersebut agar tidak
201
membuat susah payah hidupnya dengan berhutang agar tidak
menghilangkan harta orang lain. Dalam agama Islam, orang yang
berhutang (ghârim) merupakan orang yang berhak mendapatkan zakat
karena dia merupakan salah satu bagian dari delapan golongan yang
berhak mendapatkan zakat sesuai dengan ayat ke-60 dari surat al-
Taubah. Dengan adanya zakat kepada ghârim (orang yang berhutang)
tersebut, akan membantu dia dalam melunasi hutang yang melilitnya.
Akan tetapi jika ada jenazah yang masih meninggalkan hutang, maka
bagi ahli keluarganya agar melunasi hutang tersebut. Apabila keluarga
tersebut tidak mempunyai kemampuan dalam melunasi hutangnya,
maka bagi orang yang menghutangi jenazah tersebut untuk
memberikan tenggang waktu sampai ada kemampuan untuk
melunasinya atau yang lebih baik lagi adalah menyedekahkan
hutangnya tersebut. Dengan demikian akan membuat ghârim (orang
yang berhutang) tersebut terbebaskan dari hutangnya seperti anjuran
surat al-Baqarah ayat 280.
B. Saran-Saran
1. Penulis telah berusaha secara maksimal dalam menyelesaikan
penelitian hadis Nabi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian
hadis ini masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan
kemampuan penulis dan juga penulis hanya meneliti hadis tentang
hutang-piutang dalam satu tema yakni akibat meninggalkan hutang di
202
dunia yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim
dan Sunan al-Tirmidzî. Hadis Nabi yang berkenaan tentang hutang-
piutang terdapat banyak sekali dalam berbagai kitab hadis misalnya di
kutub al-sittah (enam buah kitab hadis yang terpopuler) dan kutub al-
tis`ah (sembilan buah kitab yang terpopuler). Oleh karena itu
hendaklah para pembaca merujuk dan meneliti kembali hadis Nabi
tentang hutang-piutang di berbagai kitab hadis tersebut, sehingga dapat
menyempurnakan penelitian ini dan juga menambah hazanah
pengetahuan hadis Nabi terutama dalam hal hutang-piutang di
kehidupan masyarakat.
2. Kepada Jurusan Ushuluddin terutama program Tafsir Hadis yang
merupakan jurusan yang mengkaji keislaman, penelitian hadis Nabi ini
merupakan sebuah upaya penyelesaian solusi dari pemaknaan terhadap
hadis Nabi dalam kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat. Semoga
dengan penelitian ini akan menjadi sebuah wacana baru di Jurusan
Ushuluddin dalam penyelesaian problematika kehidupan di masyarakat
dengan melalui kajian keislaman yang telah di bangun oleh Jurusan
Ushuluddin di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta.
203
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Mamahami Hadis Nabi. Cetakan 1. Jakarta
Timur: Insan Cemerlang dan PT. Inti Media Cipta Nusantara, t.th.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Cetakan 1.
Yogyakarta: Alfath Offset, 2001.
Al-Andalusi, Ahmad ibn Rasyîd al-Qurthubi, atau yang terkenal dengan nama
Ibnu Rasyîd. Bidâyat al-Mujtahid fî Nihayat al-Muqtashid. Juz 2. Bairut:
Dâr al-Fikr, t.th.
Anwar, Muh. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya: Usana Offset Printing, 1981.
Armando, Ade dkk. Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar. Jilid 6, cetakan 4. Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
Al-`Ashqolânî, Ahmad ibn `Alî ibn Hajar. Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-
Bukhârî. Jilid 5. Bairut: Dâr al-Fikr, 1991.
________________. Tahdzîb al-Tahdzîb. Jilid 6, 7, 8, 9, 11, dan 12, cetakan 1.
Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994.
________________. Tahdzîb al-Tahdzîb. Jilid 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12,
cetakan 1. Bairut: Dâr al-Shâdir, t.th.
Al-Asmâwî, Muhammad Sa`dî. Problematika dan Penerapan Syariat Islam dalam
Undang-Undang. Terj. Saiful Ibad. Cetakan 1. Jakarta: Gaung Persada
Press, September 2005.
Al-`Aini, Badâr al-Dîn Abû Muhammad Mahmûd ibn Ahmad. `Umdat al-Qâri’:
Syarh Shahîh al-Bukhârî. Jilid 11. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
`Azamî, Muhammad Mushthafa. Metodologi Kritik hadis. Terj. A. Yamin.
Cetakan 2. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
_______________. Memahami Ilmu Hadis. Terj. Meth Kieraha. Cetakan 2.
Jakarta: Lentera, 1995.
Badrân, Badrân al-`Ainain. Al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf (Tarîkhuhu Wa
Mushthalâhuhu). Iskandaria: Muassasah Syabâb al-Jâmi`ah, 1983.
Al-Bashri, Muhammad ibn Sa`ad ibn Manî` al-Hasyimî, atau yang terkenal
dengan nama Ibnu Sa`ad. Al-Thabaqat al-Kubra. Jilid 4. Bairut: Dâr al-
Kutub al-`Ilmiyah, 1990.
204
Al-Bukhârî, Abû Abdullâh Muhammad ibn `Ismâ`îl. Shahîh al-Bukhârî. Juz 3, juz
5, cetakan 1 Kitab al-Kafalah, hadis nomor: 2298. Bairut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyah, 1992.
_______________. Al-Târîkh al-Kabîr. Jilid 8. Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.
Al-Dâruquthnî, Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad. Dzikr Asmâ’ al-Tab`în
wa Man Ba`dahu. Jilid 1. Bairut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah,
1985.
Fattah, Munawir A. dan Bishri, Adib. Kamus Indonesia- Arab, Arab-Indonesia
al-Bishri. Cetakan 1. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Fayyâd, Mahmûd `Alî. Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis. Terj. Zarkasyi
Chumaidi. Cetakan 1. Bandung: Pustaka Setia, September 1998.
Habîb, Abû Sa`di. Mausu’atul Ijma’. Terj. Ahmad Sahal Machfudz dan
Mushthafa Bishri. Cetakan 2. Jakarta: Pustaka Firdaus, Oktober 1997.
Al-Hâdî, Abu Muhammad `Abd al-Mahdî ibn `Abd al-Qâdir ibn `Abd. Thuruq
Takhrîj Hadîts. Mesir: Dâr al-I`tishâm, t.th.
Hasan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadis. Cetakan 2. Bandung: CV.
Diponegoro, 1987.
Hâsyim, Ahmad `Umar. Qawâ`id Ushûl al-Hadîts. Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya.
Cetakan 1. Jakarta: Gema Insani Press, Mei 1995.
______________. Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan
Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Cetakan 2. Jakarta: Bulan Bintang,
1995.
_______________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cetakan 1. Jakarta: Bulan
Bintang, Agustus 1992.
`Itr, Nuruddin. `Ulûm al-Hadîts 2. Terj. Mujiyo. Cetakan 1. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1994.
Al-Jarjâwî, `Alî Ahmad. Indahnya Syariat Islam. Terj. Faishal Shaleh. Cetakan 1.
Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Al-Jazîrî, `Abd al-Rahman. Al-Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah. Juz 1. Bairut: Dâr
al-Fikr, 1990.
205
Karim, Helmi. Fiqih Muamalah. cetakan 3. Jakarta: Raja Grafindo, Mei 2002.
Al-Khathîb, M. `Ajâj. Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Terj. Akrom Fahmi.
Cetakan 1. Jakarta: Gema Insani Press, Juni 1999.
Mandzûr, Ibnu. Lisân al-`Arab. Jilid 13. Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah, t.th.
Al-Maqdîsî, Muwaffiq al-Dîn `Abdullâh ibn Qudâmah. Al-Kâfî fî Fiqhi al-Imâm
Ahmad. Juz 2, cetakan 1. Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994.
Al-Mazzî, Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl.
Jilid 4, 6, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, dan 22. Bairut: Dâr al-Fikr,
1994.
Al-Mubârakfûrî, Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman.
Tuhfat al-Ahwadzi. Juz 4. Bairut: Dâr al-Fikr, 1995.
Munawar, Said Agil Husain. Al-Qur'an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki.
Cetakan 2. Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2002.
Al-Naisâbûrî, Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî. Shahîh Muslim. Jilid 2 Kitab al-
Farâidh hadis nomor: 4242. Bairut: Dâr al-Fikr, 1992.
Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i.
cetakan 1. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, November 2001.
Al-Nawâwî, Muhyî al-Dîn. Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj. Jilid 11-12.
Bairut: Dâr al-Ma‟rifah, 1995.
Penyusun, Tim IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Cetakan
2. Jakarta: Djambatan, 2002.
Al-Qardhâwî, Yûsuf. Halal dan Haram dalam Islam. Terj. Muammal Hamidy.
Edisi revisi. Surabaya: Bina Ilmu, 2003.
Al-Qazwinî, Abû Muhammad ibn Yazîd. Sunan Ibnu Mâjah. Jilid 2 Kitab al-
Janâiz hadis nomor: 2508. Indonesia: Dahlan, t.th.
Al-Qur'an, Yayasan Penterjemah. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: PT
Tanjung Emas Inti Semarang, 1992.
Al-Qurthubî, Abû `Umar Yûsuf ibn `Abdullâh ibn Muhammad ibn `Abd al-Barr.
Tafsîr al-Qurthubî. Terj. Fathurrahman dkk. Juz 3, cetakan 1. Jakarta:
Pustaka Azzam, April 2008.
206
____________. Al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb. Jilid 4. Bairut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyah, 2002.
Rahman, Fathur. Ikhtishar Mushthalah Hadis. Cetakan 1. Bandung: Al-Ma`arif,
1974.
Al-Ramlî, Abû al-`Abbâs Ahmad ibn Hamzah ibn Syihâb al-Dîn, yang terkenal
dengan nama al-Syâfi`i al-Shaghîr. Nihâyat al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj.
juz 5. Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1993.
Al-Sa`idî, Sa`dullâh. Hadis-Hadis Sekte. Cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Shâlih, Shubhi. `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu. cetakan 17. Bairut: Dâr al-
`Ilm li al-Malâyîn, t.th.
Al-Shiddieqi, Muhammad Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Cetakan 2.
Jakarta: Bulan Ibntang, 1988.
______________. Tafsir al-Qur`anul Majid al-Nur. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah. Cetakan 1. Jakarta: Lentera hati, 2006.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Cetakan 3. Raja Grafindo Persada, 2002.
Suryadi. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Cetakan 1. Yogyakarta: Madani Pustaka
Hikmah, 2003.
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Kritik Mushthafa Al-
Siba`i Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-
Islam). Cetakan 1. Jakarta Timur: Prenata Media, Agustus 2003.
Al-Syaukâni, Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad. Fath al-Qadîr. Juz 1. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1993.
Al-Thahhan, Mahmûd. Taisîr Mushthalah al-Hadîts. Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.
_______________. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, terj. Agil Husin
Munawar dan Masykur Hakim. Cetakan 1. Semarang: Dina Utama, 1995.
Al-Tirmidzî, Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah. Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh). Jilid 2 Kitab al-Janâiz hadis nomor: 1091. Semarang: Toha Putra,
t.th.
207
Wensinck, Arent Jan. Mu’jam Mufahras li al-Alfâdz al-Ahadîts al-Nabawi. Jilid 2.
Leiden: Breil, 1943.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Cetakan 2.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
208
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Amirul Bakhri.
Tempat / Tanggal Lahir : Pemalang / 16 Mei 1986.
Nama Orang tua : Bpk H. Achmad Basyari.
: Ibu Hj. Maemunah.
Alamat : Jln. Bandaran Rt. 02 Rw. 03 Ds. Rowosari Kec.
Ulujami Kab. Pemalang. Kode pos 52371.
Jurusan / Prodi / Angkatan : Ushuluddin / Tafsir Hadis / 2007.
Jenjang Pendidikan :
SD : SD N 03 Rowosari Lulus tahun 1998.
SLTP : SLTP N 01 Ulujami Lulus tahun 2001.
SLTA : Pondok Modern Gontor 1 Lulus tahun 2005.
Pengabdian di ISID Gontor Lulus tahun 2006.
Perguruan Tinggi : STAIN Surakarta Lulus tahun 2010.
Pengalaman Organisasi :
1. Pengurus Rayon Bagian Keamanan Darul Hijroh di Pondok Modern Gontor 1
periode 2004.
2. Pengurus Putra Bandaran (PURBA) di Dukuh Bandaran periode 2006.
3. Ketua Bidang Syiar di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STAIN periode
2009.
4. Pengurus BEM J Ushuluddin bagian Kajian Tafsir Hadis periode 2009 / 2010.
5. Bidang Kaderisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
STAIN periode 2009.
Surakarta, 25 Februari 2010
Penulis,
AMIRUL BAKHRI
NIM. 30.07.4.5.002