halaqah tadabbur al quran 10 (al baqarah 62 - 69). dr saiful bahri

12
86 Halaqah Tadabbur Qur`an 10 (QS Al-Baqarah 62-69) Dr. Saiful Bahri, MA ! ﻟﺤﻤﺪ ! ﻟﺤﻤﺪ ! ﻟﺤﻤﺪ ﻟﻌﺎﻟﻤ ﻟﺬ ﻟﻨﺸﻮ ﻣﺎﺛﻨﺎ ﻣﺎ ﺑﻌﺪﺎﻧﺎ ﻟﻠ . ﻋﻠﻰ ﺑﺎ ﺳﻠﻢ ﺻﻠﻲﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻌﺪ ﻟﺪ ﻟﻰ ﺛﺒﻌ ﻣﻦ ﺻﺤﺎﺑ ﻋﻠﻰ Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Bersyukur kepada Allah, hingga saat ini di hari-hari terakhir bulan Syawwal Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan bagi kita untuk bersama di sini dan khususnya dalam halaqah tadabbur Al Qur`an kita yang kesepuluh kita lanjutkan. Dan insya Allah nanti kita akan menadabburi lanjutan yang kita tadabburi pekan lalu, yang tema besarnya adalah tentang bani Israil. Kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, berharap hal-hal negatif yang kita tadabburi kemarin bisa kita minimalisir terjadi pada diri kita. Dan nanti kita juga belajar pada kesempatan kali ini, ada nikmat lain yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala yang kurang maksimal disyukuri. Bismillahirrahmanirrahim, kita akan menadabburi insya Allah ayat 62 sampai ayat 69 Ini ayat 62 merupakan jumlah musta’nafah, jadi sesuatu yang baru, tidak ada hubungannya dari sebelumnya, tetapi dari konteksnya berhubungan. Kenapa? Di ayat ini disebut hadu yang artinya banyak. Arti yang paling dekat adalah orang-orang dari mereka yang memeluk agama Yahudi, tetapi nanti artinya di situ banyak. Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang- orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Tempo hari sudah kita bahas, takut dan sedih dua hal yang tidak bisa hilang pada manusia di dunia ini. Ketakutan akan masa datang dan kesedihan terhadap hal-hal yang kurang disukai di masa lalu. Ayat ini sering digunakan oleh orang-orang yang memiliki madzhab pluralisme bahwa semua agama itu benar. Itu di antaranya menggunakan ayat ini. “Sesungguhnya orang-orang yang

Upload: halaqahtafsir

Post on 24-Jul-2016

304 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Transcribed by Adhe Raharja

TRANSCRIPT

Page 1: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  86  

Halaqah Tadabbur Qur`an 10 (QS Al-Baqarah 62-69) Dr. Saiful Bahri, MA

سيیدنا صلي وو سلم وو بارركك على . االلهھمااحيیانا بعد ما ااماثنا وو االيیهھ االنشورر االذيي رربب االعالميین ٬، االحمد ! ٬، االحمد ! االحمد !وو على االهھ وو ااصحابهھ وو من ثبعهھ االى يیومم االديین اامم بعد محمد

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Bersyukur kepada Allah, hingga saat ini di hari-hari terakhir bulan Syawwal Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan bagi kita untuk bersama di sini dan khususnya dalam halaqah tadabbur Al Qur`an kita yang kesepuluh kita lanjutkan. Dan insya Allah nanti kita akan menadabburi lanjutan yang kita tadabburi pekan lalu, yang tema besarnya adalah tentang bani Israil. Kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, berharap hal-hal negatif yang kita tadabburi kemarin bisa kita minimalisir terjadi pada diri kita. Dan nanti kita juga belajar pada kesempatan kali ini, ada nikmat lain yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala yang kurang maksimal disyukuri. Bismillahirrahmanirrahim, kita akan menadabburi insya Allah ayat 62 sampai ayat 69 Ini ayat 62 merupakan jumlah musta’nafah, jadi sesuatu yang baru, tidak ada hubungannya dari sebelumnya, tetapi dari konteksnya berhubungan. Kenapa? Di ayat ini disebut hadu yang artinya banyak. Arti yang paling dekat adalah orang-orang dari mereka yang memeluk agama Yahudi, tetapi nanti artinya di situ banyak.

Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Tempo hari sudah kita bahas, takut dan sedih dua hal yang tidak bisa hilang pada manusia di dunia ini. Ketakutan akan masa datang dan kesedihan terhadap hal-hal yang kurang disukai di masa lalu. Ayat ini sering digunakan oleh orang-orang yang memiliki madzhab pluralisme bahwa semua agama itu benar. Itu di antaranya menggunakan ayat ini. “Sesungguhnya orang-orang yang

Page 2: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  87  

beriman, mereka mengatakan sesungguhnya orang Islam, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani, dan bahkan orang yang tidak bertuhan, ada baiknya.” Itu terjemahan yang saya kira jauh dari orbit kebenaran, karena di sini yang dimaksud itu dikunci di awal dan di akhir. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman” harusnya itu cukup. Innalladzina amanu... wa ‘amila shalihan. Harusnya seperti itu. Yang berikutnya itu penjelasan. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, apapun latar belakang dia, komuniskah, liberalkah, banyak maksiatkah. Hadu di sini adalah orang yang memeluk agama Yahudi, meskipun penafsirannya banyak. Dalam bahasa Arab, hada itu artinya taba, kembali, bertaubat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang bertaubat. Tapi karena ini adalah hubungannya dengan wan nashara, berarti yang dimaksud hadu di sini adalah yang mengikuti agama Yahudiyah. Karena sesungguhnya para anbiya itu diutus dengan satu agama. Islam. Wa ma ana minal musyrikin. Jadi nabi Ibrahim itu agamanya Islam, muslim. Tidak termasuk orang-orang yang syirik. Jadi agama Yahudi itu adalah agama yang dibuat-buat oleh pengikut nabi Musa ‘alaihissalam setelah nabi Musa meninggal. Dan Taurat kemudian di-tahrif oleh mereka. Didistorsi oleh mereka. Wan nashara, dan orang-orang Nasrani. An Nashirah yang ada di Palestina, tempat kelahiran nabi Isa ‘alaihissalam. Bahwa mereka juga orang-orang yang keluar dari orbit kebenaran agama nabi Isa ‘alaihissalam. Karena nabi Isa ‘alaihissalam agamanya tauhid. Tetapi nabi Isa zaman hidupnya juga dikejar-kejar oleh orang-orang yang tadi, hadu, orang-orang yang sudah menyempal dari agama nabi Musa. Ingin dibunuh itu nabi Isa ‘alaihissalam. Tetapi nabi Isa diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Wash shabi`in, itu sebenarnya kesimpulan dari sebelumnya. Orang-orang yang tadinya beragama Islam di zaman nabi Musa, orang-orang yang beragama Islam di zaman nabi Isa, kemudian tidak beragama lagi, itu disebut dengan ash shabi`in. Jadi diakhirkan sengaja seperti itu. Meskipun ash-shabi` itu artinya al kharij, yang keluar dari yang sebelumnya. Jadi shabi`ah itu artinya bisa menyembah bintang, kemudian ada yang bilang menyembah hewan, kemudian ada yang bilang menyembah berhala. Sesuatu yang tidak ada patokan, tidak ada agama yang dibawa oleh nabi. Jadi dia membuat agama baru. Itu yang disebut dengan ash shabi`ah. Dan sekarang agama baru banyak. Sebenarnya siapapun di antara kita, di antara manusia, punya latar belakang kesalahan apapun, begitu man amana, diclosing kesalahan itu, ditutup masa lalunya dengan iman kepada Allah dan hari akhir, hari akhir perlu disebut karena di situ adalah inti dari segalanya. Segala yang kita lakukan itu untuk nantinya di akhir. Kita beriman, itu untuk di hari akhir. Kita puasa, untuk di hari akhir. Untuk kepentingan bekal kita di hari akhir yaitu hari kiamat.

Page 3: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  88  

Hari akhir itu penamaannya banyak. Yang paling terkenal adalah hari kiamat, karena kita dibangkitkan, bukan sekadar dibangkitkan tapi dimintai pertanggungjawaban dan dibalas oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kita patut memberikan kesimpulan bahwa innalladzina amanu dan seterusnya itu bayan, bukan ashnaf. Jadi sesungguhnya orang-orang yang beriman, walladzina, meskipun di situ wau-nya wau ‘athaf, ‘dan’. Orang beriman, orang yang baik. Orang beriman yang pertama, karena dikumpulkan, itu orang-orang yang hanif. Ketika nabi Musa berdakwah, dia mengikuti agama nabi Musa. Ketika nabi Musa meninggal, dia masih berada di dalam agama nabi Musa. Itu yang dimaksud. Ketika nabi Isa berdakwah, dia ikut agama nabi Isa. Kemudian ketika nabi Isa diangkat oleh Allah, tidak ada di dekat mereka, mereka tetap mempertahankan. Itu disebut dengan orang-orang yang hanif. Maka yang beriman yang pertama itu tidak sama dengan yang kedua. Sesungguhnya orang-orang yang masih on the track agama yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para nabinya, dia pelihara, itu termasuk orang-orang yang hanif. Apapun background-nya. Orang yang seperti itu, ataupun orang yang buruk, menyempal, hadu wan nashara wash shabi`in, bahkan lebih dari itu kalau diteruskan banyak, tidak mengakui Tuhan, kemudian mencaci maki Tuhan, man amana, kemudian mereka mengakhiri masa lalunya dengan beriman kepada Allah, wa ‘amila shalihan, dan berbuat baik, fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim. Ini menandakan kita tidak bisa mengklaim. Karena fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim itu Allah yang tahu balasannya. Wa la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun, dan tidak ada ketakutan pada diri mereka. Apa yang mereka takuti dari masa depan selama mereka berpegang teguh kepada iman pada Allah dan hari akhir? Dan tidak usah sedih, masa lalu itu akan dihapus. Dihapus dengan taubat kalau dia orang yang beriman, dihapus dengan Islam kalau dia orang yang mengingkari Allah. Selingan: Kemarin yang disebut adalah nikmat-nikmat Allah. Kemarin disebut ketika disuruh masuk ke sebuah desa menolak. Ketika disuruh berbicara hiththah mereka mengganti. Ketika mereka haus nabi Musa disuruh memukul batu, keluar air, mereka tidak bersyukur lagi. Kemudian mereka dikasih manna dan salwa, mereka bosan, masa’ tiap hari makanannya itu melulu. Nikmat berikutnya, siapapun mereka, termasuk hadu, itu nantinya taubat. Kenapa? Karena mereka ketika ditinggal nabi Musa itu menyembah sapi, yang dikenal sapi itu dibuat dari logam sehingga sapi tersebut bisa berbunyi. Itu akal-akalan Samiri, salah satu pengikut nabi Musa. Sehingga mereka menyembah sapi itu dan taubatnya adalah membunuh diri mereka sendiri. Makanya nanti Allah menyuruh menyembelih sapi itu ada hikmahnya juga, yaitu adalah untuk menghinakan yang selama ini mereka agungkan. Nanti kita akan tadabburi di akhir pertemuan ini.

Page 4: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  89  

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa". Nikmat berikutnya, “Dan ketika Kami mengambil sumpah, janji, kepada kalian wahai bani Israil.” Sumpah setia, ini maksudnya adalah janji setia kepada nabi Musa dan dakwahnya, supaya mereka tidak menyempal, tidak menyelisihi nabi Musa, mereka berada dalam agama tauhid. Wa rafa’na fauqakumuth thur, kemudian gunung Thursina itu diangkat. Ath thur di sini, alim lam itu menunjukkan satu gunung tertentu. Para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan sebuah gunung di Palestina, ada yang mengatakan perbatasan Palestina dengan Mesir atau bukit Thursina tempat Allah memberikan wahyu kepada nabi Musa dan berbicara langsung, ada yang mengatakan Thur di sini dataran Yordan. Ini tidak penting bagi kita gunung itu apa namanya. Allah sumpahnya adalah memegang janji mereka. Mitsaq di sini satu, harusnya kan mawatsiq. Wa idz akhadzna mitsaqakum itu beda kalau kita bilang mawatsiq, “saya ambil janji-janji kalian.” Wa idz akhadzna mitsaqakum itu artinya setiap orang diambil janji oleh Allah. Jadi kalau ibarat sumpah setia atau sumpah jabatan, itu bukan 35 orang pegawai negeri disumpah sekali sumpah. Itu mawatsiq disebutnya. Tapi kalau mitsaqakum, ada 35 orang diambil sumpah setia, itu satu-satu. Karena di sini mitsaq itu mufrad, single. Sementara kum itu adalah plural. Wa idz akhadzna mitsaqakum itu satu-satu. Semua orang satu-satu diambil janjinya oleh Allah, setelah itu Allah angkat di atas mereka gunung Thursina. Di sini kejadiannya kapan, itu tidak ada keterangan lebih lanjut, dan buat kita juga tidak terlalu penting. Gunungnya dicabut betulan. Kata-kata Qurannya begitu. Kita lihat saja secara zhahirnya. Jadi Allah angkat itu gunung mereka. Dan ini ada yang mengatakan, “Berarti Allah mengancam mereka dong?” Di sini terjadi perdebatan. Ketika Allah membuat sumpah setia itu, Allah angkat gunung. Artinya apa? Itu bukan mengancam. Itu menunjukkan kekuasaan Allah. Sebagaimana Allah sanggup mengangkat gunung itu, Allah akan sanggup melakukan apa saja ketika mereka menyelisihi Musa. Itu bukan ancaman sebenarnya. Tapi meskipun bukan ancaman, itu menghadirkan ketakutan. Seperti kita, “kalau kamu baik dapat surga, kalau tidak, dapat neraka.” Itu

Page 5: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  90  

ancaman bukan? Ancaman. Dan diperbolehkan ancaman itu. Cuma ancaman di sini bukan paksaan. Kalau seandainya Allah paksakan menyuruh kita berbuat baik, maka tidak ada orang masuk neraka. Dan buktinya, neraka itu banyak penghuninya. Jadi ancaman itu diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan itu memaksa. Di sini ketika “Saya ambil janji kalian untuk taat kepada nabi Musa.” Dan di saat yang sama Allah angkat itu gunung. Bukan berarti ketika mereka tidak taat langsung seketika dijatuhkan itu gunung. Itu menunjukkan kekuasaan Allah sanggup mencabut gunung itu. Sebagaimana sanggup mencabut gunung itu, sanggup melakukan apa saja. Maka ini bukan paksaan tetapi menunjukkan kekuasaan Allah yang tidak ada batasnya. Itu dari rangkaian tafsir yang al faqir baca. Jadi bukan ancaman, jangan kita salah pahami. Kalau ancaman, ini bahaya. Ayat ini kalau kita pahami letterlijk dan salah memahami, bisa menghadirkan kekerasan-kekerasan sehingga kita nanti membenarkan apa yang kita lakukan. “Masuk Islam, kalau tidak saya tembak.” Itu tidak boleh. La iqraha fid din, tidak ada pemaksaan di dalam kebergamaan kita. “Kalau tidak shalat saya bunuh.” Itu tidak boleh. Pembunuhan dan lain sebagainya itu ada aturanya. Lalu kata Allah khudzu ma atainakum biquwwah. Ini kata-katanya juga luar biasa. “Karena itulah sebagaimana kalian saksikan kekuasaan-Ku, ambil yang Aku berikan kepada kalian.” Yang diberikan Allah kepada mereka itu banyak, karunia terbesar-Nya adalah Nabi Musa dan Taurat. Maka yang terbesar diberikan Allah kepada kita itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Al Qur`an. Ada banyak lagi yang diberikan Allah kepada kita. Negeri ini, kemudian lingkungan yang baik. Maka bahasanya biquwwah. Dalam bahasa haditsnya, ‘addu ‘alaiha bin nawajid, gigit dengan gigi geraham. Kenapa? Karena orang yang berpegang teguh kepada agama Allah itu bagaikan seseorang yang memegang bara. Itu di hari akhir. Haditsnya shahih. Seseorang yang berpegang teguh kepada agama Allah bagaikan memegang bara. Dia pegang tangannya terbakar, dia lepas agamanya hilang. Sekarang kalau kita berpegang teguh kepada agama, dikira teroris. Dijauhi orang. Mungkin kalau dikira teroris itu ekstrim. Dikira wahabi. Kalau tidak suka dunia, “ah ini terlalu sufi, terlalu zuhud.” Kalau sekadar dikira, dikata-katain tidak ada masalah. Dijauhi. Dihukum secara sosial. Kita tinggal memilih. Kita seperti itu sulit, kita pegang betulan itu panas, telinga kita panas, fisik kita kadang bahkan disiksa, bisa dibunuh. Atau kalau kita lepas, “Ah daripada saya dikata-katain mendingan tidak usah shalat. Daripada dikira teroris, mendingan yang perempuan buka aurat saja.” Nah itu lepas agama itu. Maka kata Allah di sini khudzhu ma atainakum biquwwah, dengan segala kekuatan. Atau dalam bahasa hadits tadi ‘addu ‘alaiha bin nawajid, gigit dengan gigi geraham. Kalau gigit dengan gigi depan, ditarik, giginya copot. Tapi kalau gigi geraham kita gigit kuat. Wadzkuru ma fihi la’allakum tattaqun. Ingat-ingat apa yang ada di dalam Taurat. Ingat-ingat apa yang ada di dalam pemberian Allah itu, supaya kalian bertaqwa.

Page 6: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  91  

Tapi apa yang terjadi? Dengan demikian dahsyatnya Allah melakukan prosesi sumpah, pengambilan janji setia kepada nabi Musa:

Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmatNya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi. Kebanyakan mereka berpaling. Dan ini bahasanya tsumma tawallaitum. Anda. Jadi seolah-olah Qur`an ini diturunkan kepada mereka, bukan kepada Nabi Muhammad. Harusnya kan Allah menceritakan ini, wa idz akhadzna mitsaqahum... tsumma tawallau, dan mereka berpaling. Tetapi ini langsung, seolah-olah Allah berbicara langsung dengan bani Israil. Itu disebut salah satu mu’jizat bahasa disini mu’jzat visualisasi. Jadi kalau kita melihat seolah-olah menghadirkan di tengah-tengah kita, seolah-olah kita menonton film. Kita visualisasikan seperti apa proses janji setianya. Fa lau la fadhlullahi ‘alaikum wa rahmatuhu lakuntum minal khasirin. Dan ini sudah dijelaskan, mereka itu salah satu kesalahannya yang paling parah adalah ketika ditinggal nabi Musa mereka menyembah ‘sapi’ itu. Benda mati dibentuk sapi dari emas, tembaga, kemudian sapi terebut sebenarnya bukan bisa bicara. Bisa mengeluarkan suara. Jadi mereka kagum. Kekaguman yang tidak didasari ilmu akan mengakibatkan orang bisa disesatkan. Tapi Allah subhanahu wa ta’ala, salah satu fadhl-Nya, rahmat-Nya, itu mengampuni mereka. Maka mereka diizinkan untuk bertaubat kembali meskipun caranya sangat dahsyat. Tempo hari sudah kita bahas, yaitu dengan membunuh diri mereka sendiri. Dan itu ada pendapatnya banyak. Ada yang bilang, yang tidak terlibat disuruh membunuh mereka. Ada yang bilang, yang melakukan kesalahan diberi senjata lalu saling membunuh, dan sebagainya. Dan yang lebih parah lagi, setelah Allah berikan janji-Nya, penyelewengan mereka disebut, dan disebut lagi:

Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina".

Page 7: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  92  

Wa laqad ‘alimtum, kalian tahu kan, alladzina’tadau minkum fis sabti, yang tidak menghiraukan hari yang disucikan Allah untuk mereka, hari Sabtu. Hari Sabtu adalah hari ibadahnya orang-orang Yahudi. Kalau kita hari Jum’at. Jadi hari Sabtu itu Allah khususkan, karena di hari-hari biasa itu orang beribadah, betul. Tetapi tidak terasa kalau tidak ada secara jamaahnya. Maka di hari Sabtu itulah beribadah secara berjamaah. Tapi di antara mereka ada yang hari Sabtu tetap memancing. Di hari Sabtu tetap bekerja. Bekerja boleh, tetapi di hari Sabtu mereka lupa beribadah. Makanya nantinya, seperti halnya orang-orang Yahudi, orang Islam sebagian juga ada, di hari Jum’at, jam dua belas kurang seperempat, kalau kita menyaksikan dia tidak berbeda dengan hari yang lainnya, hati-hati, termasuk seperti orang Yahudi itu. Harusnya di hari Jum’at itu wa dzarul bai’. Kalau sudah kita dengar panggilan mau shalat Jum’at, wa dzarul bai’, tinggalkan jual beli. Aktivitas apa saja. Yang punya handphone dimatikan. Yang punya hubungan selain Allah dimatikan. Itu kita sudah diajari, contohnya sebelum kita, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani itu sudah diberikan. Praktiknya manusia itu setiap hari beribadah tapi tidak terasa. Di bulan Ramadhan kita ‘dipaksa’ puasa. Kalau tidak puasa berdosa, karena itu wajib. Di luar bulan Ramadhan kita puasa tidak? Susah. Kalau dia mendalami kewajiban puasa di bulan Ramadhan, di luar bulan Ramadhan dia ringan berpuasa. Di bulan Ramadhan Allah kondisikan membaca Al Qur`an. Di luar bulan Ramadhan? Padahal di bulan Ramadhan itu kita tidak makan tidak minum siangnya, baca Al Qur`annya kenceng. Haus kan? Di luar bulan Ramadhan kita minum boleh sepuasnya, baca Al Qur`annya lebih banyak tidak? Maka perlu hari tertentu untuk ibadah berjamaah. Itu pentingnya. Bahwa kita sebagai manusia memang labil. Wa laqad ‘alimtum, kalian tahu, di hari Sabtu itu ada orang-orang yang tidak menghiraukan hari khusus untuk beribadah. Maka, faqulna lahum kunu qiradatan khasi`in, dan Allah ubah mereka menjadi kera-kera yang hina. Ada pendapat yang mengatakan kera ini tidak hakiki. Sifatnya menjadi kera, tidak bisa bicara, kemudian garuk-garuk misalnya, tapi fisiknya masih manusia. Tapi jumhur ulama mengatakan mereka betul-betul berubah jadi kera. Faqulna lahum kunu qiradatan khasi`in, apa artinya itu? “Dan Kami mengatakan kepada mereka, ‘Jadilah kalian kera’.” Kalau dipikir-pikir, disuruh menjadi jelek, pasti “oh tidak mau saya.” Tapi “jadilah kalian kera” itu bukan pilihan. Itu menandakan bahwa yang menjadikan kera itu perbuatan mereka. Yang menyebabkan Allah murka dan kemudian mengubah fisik mereka jadi kera itu perbuatan mereka. Itu kalau kita lihat dari susunan bahasa. Para pakar bahasa dalam sekali menguliti perkataan ini. Kenapa qulna lahum kunu, jadilah kalian kera. Bukan dikatakan “Aku jadikan kalian kera”. Pertama, karena mereka melakukan kesalahan yang fatal. Yang kedua, “Jadilah kalian kera” itu supaya tidak ada pilihan, jadi yang salah semuanya jadi kera. Yang ketiga, “Jadilah kalian kera” itu, antara yang paling bandel dengan yang ikut-ikutan sama, satu rombongan.

Page 8: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  93  

Makanya kezhaliman itu efeknya jadi satu. Kalau ada kemaksiatan di negeri kita, di kampung kita, yang melakukan maksiat kita diamkan, kemudian Allah adzab negeri kita, itu orang yang baik, diam, dengan pelaku maksiat kenanya sama. Makanya kunu qiradatan khasi`in tidak bisa dipilah-pilah, “Oh ini keranya agak cakep, berarti dosanya sedikit.” Tidak ada cerita itu. Semuanya jadi kera. Kenapa? Karena kolektif melakukan kesalahan itu. Diam terhadap kezhaliman sama dengan zhalim. Maka hati-hatilah, diam terhadap kezhaliman itu merugikan diri sendiri. Ketika ada kezhaliman sekecil apapun, kita harus bergerak. Bergeraknya itu ada patokannya, Man ra`a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi, dengan kekuasaan atau dengan tangannya langsung. Maka ini yang harus kita hati-hati. Tiga sebab itu yang menyebabkan kenapa kata-katanya kunu qiradatan khasi`in.

Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Faja’alnaha, dan Kami jadikan hukuman tadi itu, nakalan, sebagai iqab. Nakalan itu artinya yang diusir dari rahmat Allah. Supaya dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang muttaqin. Disebut lagi muttaqin. Tadi la’allakum tattaqun. Jadi ketaqwaan itu penting. Dan ketaqwaan itu proses. Kenapa kata-kata taqwa sering disebut dalam berbagai bentuknya? Di sini la’allakum tattaqun itu banyak. Innallaha yuhibbul muttaqin juga ada. Lil muttaqin juga ada. Hudan lil muttaqin juga ada. U’iddat lil muttaqin juga ada. Itu proses. Orang bertaqwa, berprestasi, tidak mungkin tidak berproses. Makanya al faqir sering sebut, lailatul qadar itu satu malam. Tetapi menuju kebaikan satu malam itu berproses. Makanya Allah sebut khairun min alfi syahrin, lebih baik dari seribu bulan. Allah tidak katakan lebih baik dari seribu malam. Tidak mungkin “saya mau jadi lebih baik di malam ke-27 Ramadhan,” tapi dari tanggal 1 sampai tanggal 26 dia tidak puasa dan sebagainya. Mustahil. Orang menjadi baik dalam satu malam itu sulit. Maka perlu proses. Ini yang disebut dengan rekayasa kebaikan yang tempo hari kita diskusikan.

Page 9: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  94  

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". Wa idz qala musa liqaumihi ini nikmat lain lagi. Allah sebutkan. Ketika nabi Musa berkata kepada kaumnya, bani Israil, innallaha ya`murukum an tadzbahu baqarah. Ini ceritanya, di zaman itu ada salah seorang dari bani Israil yang terbunuh. Yang terbunuh ini orang kaya. Ketika orang ini meninggal terjadi polemik, Siapa yang membunuh? Dan aktor utama pembunuhan ini, itu orang yang dipersepsikan sebagai orang bersih. Sementara yang menjadi korban, orang yang tidak tahu masalah dianggap membunuh. Terjadi percekcokan besar, dan akhirnya nabi Musa mengambil solusi ketika diadukan kepadanya. Innallaha ya`murukum an tadzbahu baqarah, Allah perintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi. Jadi baqarah di sini, meskipun di Quran diterjemahkan sapi betina, sesungguhnya dalam istilah bahasa Arab baqaratan, ta di situ bukan berarti nakirah. Jadi bunyinya “sembelihlah seekor sapi apa saja.” Judulnya seperti itu kalau dilihat dari struktur bahasa. Tapi di dalam Quran terjemahan kita, terjemahannya sapi betina. Itu sebagian pendapat. Tapi ada pendapat dari pakar bahasa, baqarah di sini sapi apa saja. Aslinya begitu. Mereka mengatakan qalu atattakhidzuna huzuwa, “kamu mengejek kami ya?” Kita mau mengadu masalah yang berat, kok kita disuruh menyembelih sapi? Bukan begitu. “Kamu mengejek kami” itu artinya apa? Karena sapi itu binatang yang dikultuskan oleh mereka. Sapi itu tadinya disembah. Sapi itu adalah simbol, yang tadinya mereka menyembah berhala sapi. Ini juga cobaan. Allah sengaja, itu yang dipilih adalah sapi. Supaya hal yang dikultuskan Allah rendahkan sama sekali. Itu yang pertama. Yang kedua, ketika disebut baqaratan, sapi apa saja, itu juga menguji mereka. Dan bukti nanti mengatakan, sebenarnya mereka tidak mau menyembelih. Menghindar. Ini sebagian dibahas pada pertemuan ini, nanti kita lanjutkan di pertemuan yang akan datang. Ketika mereka mengatakan seperti itu, dijawab oleh nabi Musa qala a’udzubillahi an akuna minal jahilin. Saya berlindung kepada Allah dari melakukan kebodohan. Saya sama sekali tidak menghina kalian. Ini perintah dari Allah.

Page 10: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  95  

Mereka menjawab: " Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". “Kalau begitu tolong beritahu kami, jelaskan apa yang diinginkan Allah, apa hakikat ciri-ciri sapi yang kami disuruh untuk menyembelih.” Dalam kaidahnya, kalau kita diperintahkan sesuatu, perintahnya umum, jangan bertanya yang menyulitkan kita. Misalkan, “Eh masak!” ya masak apa saja. Kalau ditanya “Masak apa?” “Masak ayam.” “Ayam kampung atau ayam negeri?” Itu makin sulit. Ketika ada perintah “Eh shalat!” Shalat apa saja. Kalau sudah shalat wajib, berarti shalat sunnah. Semakin kita tanya, taklif itu akan semakin memberatkan. Maka ketika dia tanya, dijawab, sapinya itu sapi yang tidak tua dan tidak muda. Dari mana kita tahu sapi tua atau muda? Jadi sapinya yang sedang segar-segarnya. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka tidak cukup. Bertanya lagi. Sapi yang tadi disuruh tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda itu, “Coba kamu tanya Tuhan kamu warnanya apa.” Dijawab, “Sesungguhnya Allah berkata bahwa sapi yang kalian diperintahkan untuk menyembelih itu adalah sapi yang warnanya kuning.” Dan bukan hanya kuning pucat. Faqi’un, kuning yang pekat, yang enak dilihat.

Page 11: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  96  

Susah mencari sapi kuning. Ada kita bisa cari sapi kuning? Sapi yang lecek ada, sapi yang kuning susah. Ini sebenarnya, hakikatnya nanti ada pertanyaan berikutnya. Sebenarnya mereka intinya tidak mau saja. Judulnya itu tidak mau. Kalau sudah judulnya tidak mau, pertanyaannya dibuat untuk menghindar. Maka ketika sapi kuning itu tidak ada, nanti supaya mereka mau melakukan, “Tujuan kamu ini apa? Ingin tahu kan siapa pembunuhnya? Ya sudah lakukan.” Maka di sini diulang lagi faf’alu ma tu`marun, maka lakukan yang diperintah kalau kalian ingin tahu siapa pembunuhnya. Nanti di ending-nya tetap dilakukan, tetapi setelah berusaha. Kalau kita visualisasikan, untuk mendapatkan seekor sapi yang seperti ini, warna kuningnya keemasan karena pekat, sulit sekali. Ini satu pelajaran penting bagi kita, bahwa ketika kita diperintah jangan banyak tanya. Ketika diperintah, banyak tanyanya kalau kita memang benar-benar tidak paham. Sebagian orang, banyak tanya untuk menghindarkan dari kewajiban itu. “Berpuasalah kalian!” Sudah ada dhawabith-nya kan puasa. Kalau bepergian atau sakit boleh tidak berpuasa. Ditanya lagi, “Kalau saya seperti ini... seperti ini...” Jangan-jangan ini orang karena pingin tidak berpuasa saja bertanya seperti itu, na’udzubillahi min dzalik. Maka jangan sampai kita termasuk yang demikian. Saya akan closing silsilah ini, ini melanjutkan nikmat. Kalau kemarin itu yang baik-baik, nikmat yang enak untuk didengar, sekarang itu nikmat yang bentuknya lebih kepada membuka kedok sifat aslinya. Ketika mereka dipegang janji, ini yang mengambil janji sumpah setia bukan PBB, bukan negara-negara sahabat mereka, tetapi Allah langsung. Dan lebih parahnya lagi diangkat itu gunung Thursina. Tapi mereka yang tadinya seolah-olah takut, kemudian mereka meninggalkan janji tersebut. Maka menurut saya secara pribadi, orang-orang Yahudi yang sekarang, meskipun tidak semua, tapi rata-rata yang berkonflik meskipun saya tidak sepakat istilah berkonflik, yang merampas tanah Palestina, mereka itu siapapun yang berjanji, melakukan perjanjian, ending-nya sama. Akan diingkari. Allah saja diingkari seperti itu. Yang kedua, setelah mereka melakukan maksiat, Allah kasih kesempatan untuk bertaubat. Kemudian nikmat yang ketiga, ketika terjadi pembunuhan di antara mereka, tidak ada keadilan di sana, Allah tunjukkan kekuasaan-Nya, yaitu dihidupkan kembali orang yang meninggal itu. Jadi setelah disentuhkan sebagian dari sapi, ekornya itu disentuhkan kepada mayat tersebut, orang tersebut bangun. Dan ketika ditanya siapa yang membunuh kamu? Yang membunuh aku si Fulan, orangnya begini, begini, begini. Akhirnya terbuka kedok itu. Nanti insya Allah kita bahas pada pertemuan berikutnya.

Page 12: Halaqah Tadabbur Al Quran 10 (Al Baqarah 62 - 69). Dr Saiful Bahri

  97  

Ini yang bisa al faqir sampaikan, mohon maaf jika ada kekurangan. Jazakumullahu khairan.**