hakim perempuan pada mahkamah tinggi syariah...
TRANSCRIPT
HAKIM PEREMPUAN PADA MAHKAMAH TINGGI
SYARIAH SELANGOR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD ZULFI AUFAR
NIM: 11150440000003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
ii
HAKIM PEREMPUAN PADA MAHKAMAH TINGGI
SYARIAH SELANGOR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD ZULFI AUFAR
NIM: 11150440000003
Di Bawah Bimbingan:
Dr. Abdul Halim, M.Ag
NIP: 19670608 199403 1 005
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 Maret 2019
Ahmad Zulfi Aufar
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “HAKIM PEREMPUAN PADA MAHKAMAH
TINGGI SYARIAH SELANGOR”. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 1 April 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) Sarjana Hukum (S.H) pada program
studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 01 April 2019
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.H, M.A.
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. H. Abdul Halim M.Ag (……………)
NIP. 19670608 199403 1 005
2. Sekretaris : Indra Rahmatullah, S.HI, M.H (…………….)
NIDN. 2021088601
3. Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim M.Ag (……………)
NIP. 19670608 199403 1 005
4. Penguji I : Dr. Hj. Mesraini, M.A (…………….)
NIP. 197602 132003 1 22001
5. Penguji II : Windy Triana, M.A (…………….)
NIDN. 9920113024
v
ABSTRAK
Ahmad Zulfi Aufar. NIM 11150440000003. HAKIM PEREMPUAN PADA
MAHKAMAH TINGGI SYARIAH SELANGOR. Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang sejarah perkembangan
pelantikan hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor juga
menjelaskan kedudukan hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor dari perspektif hukum Islam, regulasi, dan fatwa yang berlaku di Negeri
Selangor serta kewenangan dan peran hakim perempuan tersebut.
Dalam ketentuan yang diberikan mayoritas ulama baik ulama klasik
ataupun ulama kontemporer terhadap syarat yang harus dipenuhi seseorang jika
ingin menjadi hakim salah satunya adalah ia harus laki-laki. Syarat ini dipandang
ada diskriminasi gender dalam peradilan khususnya dalam menempati jabatan
hakim. Hal inilah yang membuat Malaysia terbilang cukup lambat dalam
perkembangan peran perempuan di dunia peradilan Islam terutama jabatan hakim.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
fatwa, buku-buku, kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan skripsi ini.
Hasil penelitian ini adalah hakim perempuan pada Mahkamah Syariah di
Malaysia pertama kali dilantik pada tahun 2010 dan pada Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor pertama kali dilantik pada tahun 2016. Adapun kedudukan
hakim perempuan perspektif hukum Islam yaitu dibolehkan dengan menggunakan
analisis kaidah-kaidah fikih dan analisis aspek sejarah terhadap dalil-dalil yang
melarang perempuan menjadi hakim. Sedangkan kedudukan hakim perempuan
menurut regulasi dan fatwa Negeri Selangor telah sesuai dengan Enakmen
Pentadbiran Agama Islam tahun 2003 dan Fatwa Hukum Pelantikan Hakim Syarie
Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor yang dikeluarkan pada tahun 2016. Sedangkan
kewenangan hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor yaitu
menangani perkara Jinayah (pidana) dan perkara Mal (perdata) serta peran yang diemban
hakim perempuan pada Mahkamah Syariah tersebut sama dengan hakim laki-laki.
Kata Kunci: Hakim Perempuan, Mahkamah Syariah, Kesetaraan Gender
Pembimbing : Dr. Abdul Halim, M.Ag
Daftar Pustaka : 1985 s.d. 2018
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ة
t te د
ts te dan es س
j je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
d de د
dz de dan zet ر
r er س
z zet ص
s es ط
sy es dan ye ػ
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ع
t te dengan garis bawah ؽ
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q qo ق
vii
k ka ن
l el ي
m em
n en
w we
h ha
apostrop ˋ ء
y ya
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ai a dan i
au a dan u
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
viii
Arab Latin
â a dengan topi di
atas
î i dengan topi di
atas
û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (اي),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd = اإلجزبد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = اشخظخ
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah = اشفعخ
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî‟ah شش٠عخ 1
al-syarî‟ah al-islâmiyyah اشش٠عخ اإلعال١خ 2
muqâranat al-madzâhib مبسخ ازات 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ix
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: اجخبس
= al-Bukhâri tidak ditulis Al- Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
اؼشسح رج١خ اذظساد 1al-darûrah tubîhu al-
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االلزظبد اإلعال 2
usûl al-fiqh أطي افم 3
ف األش١بء اإلثبدخ األط 4 al-„asl fî al-asyya al-
ibâhah
al-maslahah al-mursalah اظذخ اشعخ 5
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan banyak karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Salam dan cinta penulis selalu tercurahkan kepada kekasih
penulis yang telah membimbing kehidupan penulis yaitu Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu
kelancaran penyusunan skripsi ini, baik berupa dorongan moril maupun materil.
Oleh karena itu, penulis secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., selaku dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Dr. Abdul Halim, M.A., selaku ketua program studi Hukum Keluarga
juga sebagai dosen pembimbing skripsi dan Bapak Indra Rahmatullah, S.HI,
M.H., selaku sekretaris program studi Hukum Keluarga.
3. Bapak K.H. Dr. Juaini Syukri Lc, M.A., selaku dosen pembimbing akademik
yang selalu menasihati dan membimbing selama menjalani proses kuliah.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmunya.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk studi
kepustakaan.
6. Kedua orang tua penulis yaitu Drs. H. Masykur Syah dan Hj. Siti Zulekho
keluarga besar penulis yang telah mencintai penulis baik dengan doa maupun
dukungan.
7. Guru-guru penulis K.H. Mahfudz Ma‟mun, K.H. Mursyahid, Ust. H. Ahmad
Fulaih, M.A, Ust. Ahmad Fauzi, M.Pd, Ust. Dr. H. Ahmad Fudhaili, M.A,
K.H. Hisyam Burhany Hasyim yang telah membimbing dan memberikan
ilmu kepada penulis.
xi
8. Saudara Megat Ahmad Najeeb bin Amir Sharifuddin dan keluarga yang telah
memberikan seluruh fasilitas selama penelitian di Malaysia.
9. Saudara Ariyall Hikam Pratama yang telah menemani selama penelitian di
Malaysia dan penyusunan skripsi ini.
10. Puan Nenney Shushaidah binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor dan Puan Nur Hatika binti Ismail pegawai Jabatan
Kehakiman Syariah Selangor dan seluruh pegawai Jabatan Kehakiman
Syariah Selangor yang telah membantu dalam penelitian ini baik memberikan
informasi berupa data maupun wawancara.
11. Tuan Ust Khairi Amri bin Ahmad penolong Mufti unit buhuts Jabatan Mufti
Negeri Selangor beserta seluruh pegawai pada lembaga tersebut yang telah
memberikan data tentang fatwa.
12. Tuan Prof. Madya. Dr. Irwan bin Mohd Subri, Lc Ketua Institut Pengurusan
& Penyelidikan Fatwa Sedunia (INFAD) Universiti Sains Islam Malaysia
(USIM) serta saudara Husni Hamidi mahasiswa Universiti Sains Islam
Malaysia (USIM) yang telah membantu mencari data di kampus tersebut.
13. Tuan Dr. Mohd Norhusairi dosen senior di Islamic Studies Faculty Universiti
of Malaya (UM) yang membantu penulis mencari data penelitian ini.
14. Keluarga besar Hukum Keluarga angkatan 2015.
15. Sahabat-sahabat terbaik khususnya kepada Muhammad Fathurrahman,
Salman Alfarisi, Mundzir Tamam, Muhammad Syaiful Anwar, Fikri
Chusyaini Alfarobi, Muhamad Taufik, Winanda Fikri P, Muhammad Ihfal
Alifi, Reza Anis Maulidya, Putri Shifa Amelia, Fatma Hidayah Fathuri dan
Helma Suryani.
Jakarta, 25 Maret 2019
Penulis
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................................iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................................vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI..................................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah....................................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah ...................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 6
F. Kajian Studi Terdahulu .................................................................................. 7
G. Metode Penelitian ........................................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan .................................................................................. 13
BAB II HAKIM PEREMPUAN DALAM KHAZANAH FIKIH ISLAM ................ 14
A. Definisi Hakim Perempuan.......................................................................... 14
B. Hakim Perempuan Menurut Ulama Klasik.................................................. 15
C. Hakim Perempuan Menurut Ulama Kontemporer ....................................... 27
BAB III HAKIM PEREMPUAN DALAM REGULASI, MAHKAMAH SYARIAH dan
FATWA ULAMA di MALAYSIA 34
A. Sistem Pemerintahan dan Sistem Hukum Malaysia .................................... 34
B. Hakim Perempuan pada Regulasi Negeri-negeri di Malaysia ..................... 40
C. Hakim Perempuan pada Mahkamah Syariah di Malaysia ........................... 43
D. Hakim Perempuan pada Fatwa Ulama di Malaysia ..................................... 48
BAB IV HAKIM PEREMPUAN PADA MAHKAMAH TINGGI SYARIAH
SELANGOR .................................................................................................................... 55
A. Sejarah Pelantikan Hakim Perempuan pada Mahkamah Syariah Selangor. 55
B. Kedudukan Hukum Hakim Perempuan Pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor ............................................................................................................. 60
C. Kewenangan Serta Peran Hakim Perempuan pada Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor ................................................................................................ 75
xiii
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 78
A. Kesimpulan .................................................................................................. 78
B. Saran ............................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai
manusia pada umumnya tetapi tidak menganjurkan kesetaraan absolut peran
di antara mereka, terutama dalam hubungan keluarga. Sebagaimana Cairo
Declaration on Human Right in Islam States menyatakan bahwa: perempuan
setara dengan laki-laki dalam harga diri dan mempunyai hak untuk menikmati
dan tugas untuk dikerjakan, dia memiliki entitas sipil dan kemandirian
finansial sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama dan keturunannya.1
Dalam perdebatan mengenai kesetaraan perempuan dengan laki-laki,
Dr. Ramizah Wan Muhammad berpendapat bahwa Allah menyebut kata „al-
Nisa‟ 57 kali dan „al-Rijal‟ 57 kali dalam al-Quran. Ini menandakan fakta
pentingnya kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam dan kontribusi
mereka dalam pengembangan hukum Islam. Dan pada saat yang sama, itu
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara.2
Perdebatan ulama dalam menafsirkan nash baik al-Quran maupun
hadis tentang kedudukan perempuan terhadap laki-laki berimplikasi kepada
hukum yang mengatur kebolehan perempuan menjadi hakim di kalangan
ulama fikih. Mayoritas ulama melarang melantik perempuan sebagai hakim
pada Peradilan Islam atau yang lebih dikenal dengan Pengadilan Agama jika
di Indonesia dan Mahkamah Syariah jika di Malaysia.
Ulama yang hidup pada zaman awal perkembangan Islam dimana
selanjutnya penulis sebut dengan ulama klasik memberikan syarat bahwa
seorang hakim haruslah muslim, berakal, baligh, laki-laki, merdeka, adil,
1 Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, (New
York: Oxford University, 2005), h. 60. 2 Razimah Wan Muhammad, “Woman and Shari‟ah Court: A Study of Malaysia
and Indonesia”, International Journal of cross-Cultural Studies, Vol. 1, 2, (2015), h. 42
2
mendengar, melihat dan dapat berpikir (nâtiq).3 Dengan syarat tersebut jelas
secara implisit melarang perempuan menjadi hakim. Ulama-ulama yang
melarang perempuan menjadi seorang hakim tersebut beristidlal dengan
hadis:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi dan
al-Nasȃˋi).4
Ulama yang membolehkan perempuan menjadi hakim adalah ulama
yang bermazhab Hanafi, mereka berpendapat bahwa perempuan boleh
menjadi hakim dalam semua perkara kecuali hudud dan qisâs. Alasan yang
dikemukakan adalah karena dalam masalah selain hudud dan qisâs kesaksian
perempuan dibolehkan.5
Ulama yang membolehkan perempuan menjadi hakim secara mutlak
yaitu Ibnu Jarîr al-Thabarî (w. 310 H) yang berpendapat bahwa perempuan
boleh menjadi hakim secara mutlak dalam semua perkara. Alasannya karena
dia boleh menjadi mufti, dia juga boleh menjadi hakim.6 Imam Ibnu Hazm
3 Syihâbuddîn bin Ahmad al-Qarâfî, al-Dzakhîrah, (Beirut: Dâr al-Gharb al-
Islâmî, 1994), jilid 10, h. 21. Lihat Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad al-Mâwardî, al-
Ahkam al-Sultaniyah, (Kairo, Dâr al-Hadîts, 2006), h. 110. Lihat Abi Zakariyya
Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dâr al-Fikr,
2005), jilid 12, h. 10. Lihat Muwaffiq al-Dîn Abi Muhammad „Abdullah bin Ahmad, al-
Mughnî, (Riyadh: Dâr al-„Alim al-Kutub, 2005) jilid, 14, cet.5, h.12.
4 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 2008) jilid
8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1998), jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, (Kairo: Dâr al-„Ilamiyah, 2017) h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi,
Sunan al-Nasȃˋi, (Kairo: Dâr al-„Ilmiyah, 2017) h. 667.
5 Burhânuddin Abi al-Hasan „Ali bin Abi Bakr, al-Hidâyah syarh Bidâyah al-
Mubtadî, (Karachi: Idârah al-Qurân wa al-„Ulûm al-Islâmiyyah, 1995), jilid 5, h. 378.
Lihat Kamâluddin Muhammad bin „Abdu al-Wâhid al-Sîwâsî, Syarh Fath al-Qadîr,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), jilid 7, h. 279. Lihat Zainuddin bin Ibrâhim al-
Misri, Bahru al-Râiq Syarh Kanzu al-Daqâiq, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1997),
jilid 7, h. 8.
6 Wahbah al-Zuhaylî , al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Dâr al-Fikr,
1985), jilid 6, cet.2, h. 745.
3
(w. 456 H) membolehkan perempuan menjadi hakim dengan alasan bahwa
Imam Abu Hanifah (w. 150 H) meriwayatkan suatu cerita bahwa Umar bin
Khattab mengangkat seorang perempuan yang bernama al-Syifâ menjadi
wilayatul hisbah atau auditor di pasar.7
Jika dilihat di berbagai peradilan agama di dunia Islam di Kawasan
negara-negara Arab khususnya, pada tahun 2011 sedikitnya ada 6 negara
yang telah menjustifikasi keikutsertaan perempuan sebagai hakim. Keenam
negara tersebut adalah Sudan, Maroko, Syiria, Lebanon, Yaman dan Tunisia.
Maroko adalah negara yang pertama dalam memberdayakan perempuan di
ranah publik tepatnya pada tahun 1959 dengan eksistensi mereka mencapai
50%. Selanjutnya Tunisia sejak tahun 1968 dengan eksistensinya mencapai
22,5%. Selanjutnya Sudan sejak tahun 1970 dengan eksistensinya18%.
Selanjutnya Yaman sejak tahun1975 dengan eksistensi 16% dan terakhir
Syiria sejak tahun 1974 dengan eksistensi 11%.8
Malaysia sebagai salah satu negara yang berpenduduk mayoritas
muslim menyiratkan adanya kehendak untuk memberikan kesempatan kepada
perempuan terhadap hak-hak publik yang selama ini dimiliki laki-laki.
Bahkan secara normatif, Malaysia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1995. Dan
bentuk lain dari komitmen pemerintah Malaysia adalah membentuk
Departemen Perempuan dan Pembangunan Keluarga pada tahun 2001, dan
juga membentuk kabinet pemberdayaan perempuan pada tahun 2003, dan
membuat program Pengarusutamaan Gender (PUG) di instansi pemerintah.9
Perkembangan tersebut menurut penulis adalah perkembangan yang
lambat. Karena setelah meratifikasi CEDAW pada tahun 1995 peran
7 Abu Muhammad Ali bin Ahmad, al-Muhalla bi al-Hujaji wa al-Âtsar, (Riyadh:
Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 2003), h. 1581. 8 Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. xiv 9 Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim, h. 6.
4
perempuan baru ramai dibicarakan pada 10 tahun setelah itu. Bahkan dalam
peran sebagai hakim di Mahkamah Syariah pun baru pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2010 yaitu 15 tahun setelah Malaysia meratifikasi
CEDAW.10
Setelah dilantiknya hakim pada Mahkamah Rendah Syariah pada
tahun 2010 tersebut, negeri-negeri di Malaysia mulai melantik perempuan
sebagai hakim pada Mahkamah Rendah Syariah. 6 tahun setelah pelantikan
hakim perempuan tersebut barulah Negeri Selangor melantik hakim
perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah negeri tersebut dan menjadi
hakim perempuan pertama yang dilantik dalam lembaga Mahkamah Tinggi
Syariah di Malaysia.11
Mereka yang dilantik adalah Noor Huda Roslan (40 Tahun) dan
Nenney Shushaidah Shamsuddin (41 Tahun). Pelantikan ini terbilang unik
karena kewenangan Mahkamah Tinggi Syariah Selangor adalah mengadili
perkara-perkara pidana Islam hingga memberikan izin kepada suami yang
ingin berpoligami.12
Hingga Nenney Sushaidah Shamsuddin mendapatkan
anugerah menjadi 100 Women 2018 versi BBC karena ia melindungi
perempuan yang berperkara di pengadilannya dan ia ingin mengubah
perspektif negatif tentang Hukum Islam.13
Selain keunikan tersebut, Negeri Selangor adalah negeri yang
menempatkan Mazhab Syafi‟i sebagai pendapat yang diutamakan untuk
mengeluarkan fatwa bahkan regulasi negeri tersebut mengatur bahwa fatwa
10 Ajeng Rizki Pitakasari, “Malaysia Tugaskan Hakim Wanita Pertama di
Pengadilan Syariah”, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
mancanegara/10/07/10/123981-malaysia-tugaskan-hakim-wanita-pertama-di-pengadilan-
syariah yang diakses pada 05 September 2018.
11
Laman berita JAKESS, “Selangor Lantik Hakim Wanita Mahkamah Tinggi
Syariah Pertama di Malaysia” dalam http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-
jabatan/arkib/berita/450-selangor-lantik-hakim-wanita-mahkamah-tinggi-syariah-
pertama-di-malaysia diakses pada 05 September 2018.
12
Seksyen 61, Enakmen 1 Tahun 2003, Enakmen Pentadbiran Agama Islam
Negeri Selangor 2003.
13
BBC 100 Women 2018: Who is The List?, dalam
https://www.bbc.com/news/world-46225037 diakses pada 10 Desember 2018.
5
yang dikeluarkan haruslah berdasar kepada qaul mu‟tamad mazhab tersebut
jika tidak ada maka dibolehkan menggunakan pendapat mazhab lain.14
Bahkan para pengajar atau pendakwah di Negeri Selangor hanya dibolehkan
mengajarkan kitab-kitab bermazhab Syafi‟i kepada masyarakat awam.
Adapun mazhab lainnya dibolehkan mengkajinya terhadap kalangan
akademis dan di tempat yang sudah ditentukan yaitu universitas.15
Dalam pelantikan hakim perempuan pada Mahkamah Syariah di
Negeri Selangor terdapat indikasi adanya perubahan hukum dan perubahan
sosial. Hal ini dibuktikan adanya perubahan regulasi yang mengatur syarat
dilantiknya hakim pada Mahkamah Tinggi Syariah dan berubahnya fatwa
yang dikeluarkan negeri tersebut.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana ulama klasik berpendapat tentang kedudukan hakim
perempuan dalam hukum Islam?
2. Bagaimana ulama kontemporer berpendapat tentang kedudukan hakim
perempuan dalam hukum Islam?
3. Bagaimana sistem pemerintahan dan sistem hukum di Malaysia?
4. Bagaimana perundang-undangan Malaysia mengatur hakim perempuan
di Mahkamah Syariah?
5. Bagaimana perkembangan perempuan menjadi hakim di Mahkamah
Syariah negeri-negeri di Malaysia?
6. Bagaimana fatwa negeri-negeri di Malaysia mengatur perempuan
menjadi hakim?
7. Apa yang melatarbelakangi Selangor menjadi negeri pertama yang
melantik hakim perempuan di Mahkamah Tinggi Syariah?
8. Bagaimana kedudukan hukum pelantikan hakim perempuan pada
Mahkamah Tinggi Syariah Selangor?
14 Seksyen 54, Enakmen 1 Tahun 2003, Enakmen Pentadbiran Agama Islam
Negeri Selangor 2003.
15
Khairi Amri bin Ahmad, Penolong Mufti Unit Buhuts Jabatan Mufti Negeri
Selangor, Wawancara Pribadi, 25 Oktober 2018.
6
9. Bagaimana peraturan perundang-undangan dan fatwa Negeri Selangor
mengatur perempuan menjadi hakim di Mahkamah Syariah?
10. Bagaimana kewenangan dan peran hakim perempuan pada Mahkamah
Tinggi Syariah Selangor?
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membahas tentang hukum perempuan menjadi hakim
baik perspektif fikih klasik maupun kontemporer dan kemudian diaplikasikan
terhadap kedudukan serta peran hakim perempuan di Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor. Penelitian ini menggunakan tiga analisis yaitu analisis
yuridis, historis, dan sosiologis. Analisis yuridis, penulis batasi pada analisis
hukum Islam, regulasi dan fatwa yang berlaku. Analisis historis penulis batasi
kepada sejarah perkembangan hakim perempuan di Malaysia. Sedangkan
analisis sosiologis penulis batasi kepada kewenangan dan peran hakim
perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor.
D. Rumusan Masalah
Setelah mengidentifikasi dan membatasi masalah, penulis
merumuskan masalah pada penelitian ini dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah pelantikan hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor?
2. Bagaimana kedudukan hukum serta kewenangan dan peran hakim
perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan
sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai
adalah sebagai berikut:
a. Untuk menginformasikan kedudukan hukum perempuan menjadi
hakim.
7
b. Untuk menginformasikan sejarah hakim perempuan pada Mahkamah
Syariah di Malaysia.
c. Untuk mendeskripsikan kewenangan serta peran hakim perempuan
di Mahkamah Tinggi Syariah Selangor.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Memberikan informasi tentang kedudukan hukum perempuan
menjadi hakim.
b. Memberikan informasi tentang sejarah hakim perempuan pada
Mahkamah Syariah di Malaysia.
c. Memberikan deskripsi tentang kewenangan serta peran hakim
perempuan di Mahkamah Tinggi Syariah Selangor.
d. Memberikan kontribusi secara ilmiah dan pengembangan kajian
keilmuan dalam bidang studi Islam.
F. Kajian Studi Terdahulu
Kajian tentang hakim perempuan bukanlah hal yang baru, banyak
penelitian sebelum penelitian ini yang membahas tentang hakim perempuan.
Penelitian tersebut dipublikasikan dengan berupa buku, jurnal, maupun
skripsi.
Penelitian yang dibukukan dengan judul “Kontroversi Hakim
Perempuan pada Peradilan Islam di Negara-negara Muslim” ditulis oleh
Djazimah Muqoddas dimana penelitian tersebut menjelaskan kedudukan
hakim perempuan di Indonesia, Malaysia, Pakistan dan Sudan. Penelitian ini
terfokus kepada analisis yuridis tentang hakim perempuan dan analisis
empiris pada Peradilan Agama di Indonesia.16
Jurnal yang berjudul: “Woman and Shari‟ah Court: A Study of
Malaysia and Indonesia” yang ditulis oleh Ramizah Wan Muhammad.
16 Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim.
8
Penelitian ini membahas tentang status perempuan dalam masyarakat Islam di
Negara Muslim dan juga membandingkan syarat menjadi hakim peradilan
Islam di Malaysia dan Indonesia.17
Jurnal yang berjudul “To Judge or Not to Judge: A Comparative
Analysis of Islamic Jurisprudential Approaches to Female Judges in the
Muslim World (Indonesia, Egypt and Iran)” yang ditulis oleh Engy
Abdelkader. Penelitian ini membahas tentang hakim perempuan perspektif
Hukum Islam secara umum dan membandingkan keberadaan hakim
perempuan di Indonesia, Mesir dan Iran dari segi hukum dan status sosial
perempuan pada ketiga negara tersebut.18
Jurnal yang ditulis oleh Euis Nurlaelawati dan Arskal Salim yang
berjudul “Gendering the Islamic Judiciary: Female Judges in the Religious
Courts of Indonesia”. Penelitian ini membahas tentang hakim perempuan
pada Pengadilan Agama di Indonesia mulai dari inisiatif merekrut menjadi
hakim perempuan, latar belakang pendidikan hakim perempuan, posisi hakim
perempuan di Pengadilan Agama, serta hukum yang berlaku bagi hakim
perempuan yang berkaitan dengan isu gender.19
Tesis yang berjudul “Hakim Perempuan Dalam Prespektif Hukum
Islam (Posisi Hakim Perempuan Dalam Memutuskan Kasus Pidana Menurut
Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama)” yang
disusun oleh Nuruzzaman MS. Dalam tesis tersebut dijelaskan tentang
17 Ramizah Wan Muhammad, “Woman and Shari‟ah Court: A Study of Malaysia
and Indonesia”, International Journal of Cross-Cultural Studies, Vol. 1, 2 (Desember,
2015).
18
Engy Abdelkader, “To Judge or Not to Judge: A Comparative Analysis of
Islamic Jurisprudential Approaches to Female Judges in The Muslim World (Indonesia,
Egypt and Iran)”, Fordham International Law Journal, Vol. 37, 2 (2014).
19
Euis Nurlaelawati dan Arskal Salim, “Gendering the Islamic Judiciary: Female
Judges in the Religious Courts of Indonesia”, Al-Jami‟ah, Vol. 51, 2, (2013).
9
hukum seorang hakim perempuan memutuskan perkara pidana dimana
hukum tersebut menurut MUI, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.20
Skripsi yang disusun oleh Siti Maszuriyati binti Aziz yang berjudul
“Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap Pengendalian Kes oleh
Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan”. Dalam
penelitian ini dibahas masalah hakim perempuan di Malaysia secara umum
dan dibahas juga mengenai fatwa negeri-negeri di Malaysia juga hasil
penelitian tersebut dimana menginformasikan tentang persepsi klien dan
pegawai mahkamah yang ditulis dengan informasi statistik.21
Skripsi Fakultas Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia
yang berjudul Prospek Hakim Wanita di Mahkamah-mahkamah Syariah di
Malaysia yang disusun oleh Fatimah binti Majemi. Penelitian ini membahas
tentang hukum perempuan menjadi hakim pada Peradilan Islam menurut
ulama klasik dan kontemporer. Penelitian ini juga membahas tentang
kedudukan hakim perempuan dalam regulasi negeri-negeri di Malaysia dan
juga fatwa negeri-negeri di Malaysia. Pada akhir penelitian ini, dibahas
masalah prospek pelantikan hakim perempuan pada Mahkamah Syariah di
Malaysia.22
Skripsi dengan judul “Hakim Perempuan (Studi Komparatif Abu
Hanifah dan Ibnu Hazm)” yang disusun oleh Puthut Syafahruddin. Skripsi ini
menjelaskan perbedaan, persamaan, serta faktor yang melatarbelakangi
20 Nuruzzaman MS, “Hakim Perempuan Dalam Prespektif Hukum Islam (Posisi
Hakim Perempuan Dalam Memutuskan Kasus Pidana Menurut Majelis Ulama Indonesia,
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama)” (Tesis S-2 Program Pascasarjana Ilmu Hukum,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014).
21
Siti Maszuriyat binti Aziz, “Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap
Pengendalian Kes oleh Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan”, (Skripsi S-1 Fakultas Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia,
2017).
22
Fatimah binti Majemi, “Prospek Pelantikan Hakim Wanita di Mahkamah-
mahkamah Syariah di Malaysia” (Skripsi S-1 Fakultas Pengajian Islam, Universitas
Kebangsaan Malaysia, 2016).
10
pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm tentang kedudukan hukum hakim
perempuan.23
Skripsi dengan judul “Hakim Wanita (Studi Komparatif Hanafi dan
Mazhab Syafi‟i)” yang disusun oleh Luqman bin Abdul Hamid. Penelitian ini
menjelaskan perbedaan, persamaan, serta faktor yang melatarbelakangi
pendapat Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i tentang kedudukan hakim
perempuan.24
Perbedaan antara sembilan penelitian tersebut dengan skripsi ini adalah
objek penelitian ini kepada hakim perempuan di Negeri Selangor juga
menggunakan analisis yuridis Hukum Islam dari semua perspektif mazhab
dan dianalisis dengan perspektif kaidah ushul fiqh. Dalam analisis yuridis
regulasi dan fatwa penulis menuliskan secara umum yaitu regulasi dan fatwa
di Malaysia kemudian dikhususkan dengan regulasi dan fatwa di Negeri
Selangor.
G. Metode Penelitian
Penelitian menurut Woody adalah suatu penyelidikan atau suatu
upaya penemuan (inquiry) yang dilakukan secara hati-hati dan/atau secara
kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip atau suatu penyidikan yang
sangat cerdik untuk menetapkan sesuatu.25
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah:
a. Penelitian yuridis empiris yaitu penelitian yang difokuskan untuk
23 Puthut Syahfaruddin, “Kedudukan Hakim Perempuan (Studi Komparatif Imam
Abu Hanifah dan Ibnu Hazm)” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016).
24
Luqman bin Abdul Hamid, “Hakim Wanita (Studi Komparatif Hanafi dan
Mazhab Syafi‟i)” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam
Negeri Sultan Islam Syarif Kasim Riau, 2013). 25
Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta: Prenamedia, 2016), cet.3, h. 25.
11
mengkaji hukum tidak tertulis, efektifitas hukum, perbandingan
hukum, dan sejarah hukum.26
b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang
kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur atau
penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka. Sumber-
sumber data diperoleh dari berbagai karya tulis seperti buku,
artikel, jurnal, yang secara langsung maupun tidak langsung
membicarakan persoalan yang diteliti, dan juga dengan wawancara
terhadap subyek yang diteliti.
2. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penulis menyusun
berdasarkan sumber data yang terbagi ke dalam dua kriteria, yaitu
sumber data utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) ialah:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif).27
Adapun data primer yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah melalui wawancara langsung dengan seorang
hakim perempuan di Mahkamah Tinggi Syariah Selangor, lembaga
fatwa Negeri Selangor dan juga akademisi di Malaysia.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah buku teks.28
Sumber data sekunder
yang penulis gunakan ialah menukil dari kitab-kitab fiqh, masail
fiqhiyah, qawaid fiqhiyah serta tulisan-tulisan berupa jurnal, artikel
yang membahas tentang hakim perempuan atau hukum yang dapat
dijadikan rujukan pembahasan hakim perempuan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah proses diperolehnya data dari
26 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), cet.6,
h. 30-44. 27
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet.6, h. 47. 28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet.12,
h.182.
12
sumber data, adapun sumber data adalah subyek dari penelitian yang
dimaksud. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan
menggunakan teknik, diantaranya:
a. Wawancara (Interview)
Wawancara yaitu metode untuk mendapatkan keterangan dan
data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi. Dalam
skripsi ini penulis mengumpulkan data melalui wawancara dengan
hakim perempuan di Mahkamah Syariah Selangor yang bernama
Nenney Sushaidah binti Syamsuddin. Dan wawancara langsung
dengan akademisi dari Universiti of Malaya (UM) dan Universiti
Sains Islam Malaysia (USIM) untuk mengetahui perihal sejarah dan
perkembangan hakim perempuan di Malaysia. Juga wawancara
dengan penolong mufti unit buhuts Jabatan Mufti Negeri Selangor
untuk mencari data dan alasan perihal fatwa di Negeri Selangor yang
berkaitan dengan hakim perempuan.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan
yang berhubungan dengan hakim perempuan baik dari segi hukum,
sejarah, maupun kewenangan.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu metode
yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum dan memiliki
unsur kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus.
Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu mengenai hukum perempuan
menjadi hakim dalam hukum Islam dan kedudukan perempuan di
Malaysia secara umum lalu dikhususkan pembahasannya kepada hakim
perempuan di Mahkamah Tinggi Syariah Selangor.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas
13
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi
atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang meliputi latar
belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian studi
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Kemudian bab kedua, membahas secara umum tentang hukum
perempuan menjadi hakim baik dalam khazanah fikih Islam baik dari
pendapat ulama klasik maupun kontemporer.
Selanjutnya bab ketiga, dalam bab ini penulis menguraikan pembahasan
tentang hakim perempuan pada Mahkamah Syariah di Malaysia baik dari segi
regulasi, keberadaan, dan fatwa.
Selanjutnya adalah bab empat, pada bab ini penulis akan menguraikan
hasil analisis mengenai hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor.
Adapun bab lima menjelaskan hasil dari penelitian yang dilakukan dan
saran-saran yang diberikan untuk penulis selanjutnya yang akan mengkaji
tentang penelitian ini.
14
BAB II
HAKIM PEREMPUAN DALAM KHAZANAH FIKIH ISLAM
A. Definisi Hakim Perempuan
Secara etimologi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
hakim adalah orang yang mengadili perkara baik di peradilan atau
mahkamah.1 Dalam Bahasa Inggris, kata hakim dikenal dengan judge yang
diartikan dengan seorang pejabat negara dengan kekuasaan untuk mengadili
perselisihan dan hal-hal lain yang dibawa ke hadapan pengadilan untuk
diputuskan.2
Dalam kajian Bahasa Arab kata hakim adalah isim fa‟il dari kata دى
yang berarti menetapkan.3 Kata اذبو yang bermakna امبػ yang artinya
orang yang memutuskan perkara dari orang yang meminta hukum
kepadanya.4 Imam al-Jauharî berkata: “Jika kata لؼ dengan makna أ فشغ
maka hakim diartikan sebagai ٠ األش ٠فشغ artinya orang yang dapat
menyelesaikan masalah.5
Definisi hakim menurut Muhammad Salâm Madkur, hakim adalah
orang yang diangkat pemerintah sebagai hakim untuk menyelesaikan gugatan,
persengketaan dalam bidang hukum karena pemerintah tidak bisa
menyelesaikan tugas peradilan.6
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 475. 2 Oxford, Dictionary of Law, (Great Bitain: Oxford University Press, 2009), cet.
7, h. 304. 3 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), cet.14, h. 286. 4 Ibnu Mandur, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dar al-Hadîts, 2003), jilid 7, h. 405.
5 Taqiy al-Dîn Abi Bakr bin Muhammad al-Husni, Kifâyah al-Akhyâr fi Halli
Ghayah al-Ikhtisâr, (Mansoura: Syuruq li al-Tarjamah wa al-Nasyr, 2013), h.703.
6 Muhammad Salâm Madkur, al-Qada fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-
„Arabiyyah, t.t), h. 16.
15
Jadi, definisi hakim perempuan7 adalah seorang perempuan yang
ditugaskan oleh pemerintah untuk memeriksa gugatan, dan persengketaan
dengan hukum Allah atau Hukum Islam.
B. Hakim Perempuan Menurut Ulama Klasik
Dalam khazanah keislaman, persoalan hakim perempuan menjadi
salah satu tema diskusi tentang boleh atau tidaknya perempuan menjadi
hakim. Para ulama klasik memandang masalah perempuan sebagai hakim di
pengadilan berbeda-beda. Beberapa golongan ulama melarang perempuan
menjadi hakim, ada beberapa golongan yang membolehkan dengan syarat
selain perkara hudud dan qisâs, dan ada juga yang membolehkan secara
mutlak. Dalam hal tersebut penulis uraikan sebagai berikut:
1. Ulama Yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim Selain Perkara
Hudud dan Qisâs
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama-ulama yang menganut
mazhab Hanafi. Ulama Hanafiyah seperti Imam al-Kâsânî (w. 587 H)
menjelaskan tentang syarat menjadi hakim dan ia mengatakan bahwa jenis
kelamin laki-laki bukanlah syarat menjadi hakim karena perempuan
termasuk dari golongan yang boleh menjadi saksi, dan mazhab Hanafi
memberikan syarat untuk menjadi hakim sama dengan syarat untuk
menjadi saksi. Oleh karena itu, perempuan boleh menjadi hakim dalam
semua perkara kecuali hudud dan qisâs sebagaimana perkara yang boleh
menjadikan perempuan sebagai saksi.8
7 Alasan penulis memilih kata perempuan dibanding wanita karena kata
perempuan lebih tinggi derajatnya. Kata wanita yang jika dilihat dari bahasa sansekerta
berasal dari kata “wan” yang artinya nafsu, dalam hal ini kata wanita diartikan sebagai
yang dinafsui atau objek seks. Sedangkan perempuan berasal dari kata “empu” yang
bermakna dipertuan atau dihormati. Hal inilah yang menjadi anggapan para pegiat gender
atas kebijakan pemerintah mengubah kata Menteri Urusan Wanita (UPW) menjadi
Menteri Pemberdayaan Perempuan. Lihat Indah Ahdiah, “Peran-peran Perempuan dalam
Masyarakat”, Jurnal Academica Fisip Untad, Vol. 05, 02, (Oktober 2013), h.1090. 8 „Alâuddin Abi Bakr bin Mas‟ûd al-Kâsânî, Badâi‟ al-Sanâiˋ fi Tartîbi al-
Syarâiˋ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 2003), jilid 9, cet. 2, h. 86.
16
Senada dengan Imam al-Kâsânî (w. 587 H), Imam al-Marghînâni
(w. 593 H) juga membolehkan perempuan menjadi hakim dalam semua
perkara kecuali hudud dan qisâs sebagaimana bolehnya perempuan dalam
memberikan kesaksian pada perkara selain kedua perkara tersebut.9
Pendapat ini dikomentari oleh Imam Ibnu al-Humâm (w. 861 H) dengan
mengemukakan pendapat Imam Mazhab yang tiga (Maliki, Syafi‟i, dan
Ahmad bin Hanbal) yang melarang perempuan menjadi hakim dengan
alasan perempuan kurang akalnya dan bukanlah termasuk golongan yang
boleh bersengketa bersama laki-laki pada tempat yang penuh dengan
persengketaan. Selanjutnya Imam Ibnu al-Humâm (w. 861 H) menjelaskan
bahwa ketika seorang perempuan memutuskan perkara untuk agama
Allah, apakah itu sah atau tidak? Sedangkan tidak ada larangan dalam nash
pada hal tersebut kecuali yang telah ditetapkan syara‟ bahwa telah tercabut
otoritas perempuan dalam menjadi hakim perkara hudud dan qisâs. Dan
juga tidak ada dalil syara‟ yang menjelaskan bahwa perempuan kurang
akalnya. Imam Ibnu al-Humâm (w. 861 H) melanjutkan dengan
perkataannya bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan pada sebagian
keadaan, begitu juga perempuan lebih baik dari laki-laki pada sebagian
keadaan.10
Selanjutnya Imam al-Nasafî (w. 710 H) membolehkan perempuan
menjadi hakim dalam perkara selain hudud dan qisâs.11
Dan pendapat ini
dikomentari oleh Imam Ibnu Nujaim (w. 970 H) yang menulis bahwa
kebolehan itu sebagaimana perempuan menjadi saksi pada perkara selain
keduanya yaitu hudud dan qisâs akan tetapi berdosa orang yang
mengampu perempuan tersebut karena hadis Nabi SAW:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
9 Burhânuddin Abi al-Hasan „Ali bin Abi Bakr, al-Hidâyah syarh Bidâyah al-
Mubtadî, (Karachi: Idârah al-Qurân wa al-„Ulûm al-Islâmiyyah, 1995), jilid 5, h. 378.
10
Kamâluddin Muhammad bin „Abdu al-Wâhid al-Sîwâsî, Syarh Fath al-Qadîr,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 2003), jilid 7, h. 279. 11
Abu al-Barâkât Abdilah bin Ahmad al-Nasafiy, Kanzu al-Daqâiq, (Madinah:
Dâr al-Sirâj, 2011), h.463.
17
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃˋi).12
Lalu beliau menulis bahwa hakim berjenis kelamin ganda atau
tidak mempunyai kelamin (al-Khuntsa) lebih diprioritaskan dari hakim
perempuan dan sah jika menjadi hakim pada perkara hudud dan qisâs
karena feminisnya hanya menyerupai.13
2. Ulama Yang Melarang Perempuan Menjadi Hakim
Mayoritas ulama melarang perempuan menjadi hakim dalam kasus
apapun. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama yaitu ulama
golongan Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah.
Ulama Malikiyah mensyaratkan seorang hakim haruslah laki-laki.
Imam al-Rajrâji (w. 633 H) mengatakan bahwa Imam Malik dan Imam
Syafi‟i tidak membolehkan perempuan memimpin sesuatu yang berkaitan
dengan perkara orang-orang muslim. Dia melanjutkan bahwa Imam Abu
Hanifah membolehkan perempuan menjadi hakim selain perkara qisâs.
Selanjutnya ia menukil pendapat Muhammad bin al-Hasan dan
Muhammad bin Jarîr al-Tabari (w. 310 H) yang membolehkan perempuan
menjadi hakim dalam semua perkara. Imam al-Rajrâji mengutip perkataan
al-Qadi Abu al-Walîd yang mengatakan “Cukup bagiku masalah hakim
perempuan, melihat kepada orang-orang muslim sejak zaman Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang (ketika perkataan itu ditulis) di era
12
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 2008) jilid
8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Alamiyah, 1998), jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, (Kairo: Dâr al-„Alamiyah, 2017) h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃ´i,
Sunan al-Nasȃˋi, (Kairo: Dâr al-„Alamiyah, 2017) h. 667. 13
Zainuddin bin Ibrâhim al-Misri, Bahru al-Râiq Syarh Kanzu al-Daqâiq,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1997), jilid 7, h. 8.
18
kapan pun dan di negara mana pun tidak pernah menjadikan perempuan
sebagai hakim ataupun pemimpin suatu daerah”.14
Imam al-Qarâfî (w. 684 H) menjelaskan lebih lanjut mengenai
pendapat ulama Hanafiyah sebagaimana telah dibahas pada pembahasan
sebelumnya. Lebih lanjut Imam al-Qarâfî (w. 684 H) mengutarakan
beberapa alasan tidak membolehkan perempuan menjadi hakim. Yaitu:
a. Hadis Nabi SAW tentang kekurangan perempuan terhadap laki-laki
dalam hal kepemimpinan
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-
Tirmîdzi dan al-Nasȃˋi).15
b. Perbedaan posisi salat dan cara menegur imam antara laki-laki dan
perempuan.
Imam al-Qarâfî (w. 684 H) menjelaskan bahwa perempuan
dilarang berdiri di samping laki-laki dalam salat karena khawatir
terjadi fitnah maka peradilan (al-Qada) lebih utama dari salat.
Kemudian beliau beristinbat kepada hadis Nabi Muhammad SAW
yang berbunyi:
ف١غجخ ازغج١خ ء ف طالر ش ازظف١ك غبء إرا بة أدذو جبي ش
Artinya: “Bila terjadi kesalahan saat salat, bertasbihlah, tasbih
untuk kaum lelaki sedangkan tepuk tangan untuk kaum wanita.”
(H.R. Ahmad).16
Dalam hadis tersebut perempuan dilarang mengucapkan tasbih
dikarenakan suaranya adalah aurat, maka perempuan dilarang menjadi
14
Abi al Hasan „Ali bin Sa‟îd al-Rajrâji, Manâhij al-Tahsil wa Natâˋiju Latâˋif
al-Taˋwîl, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2007), jilid 8, h. 61.
15 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
16
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 9, h.378
19
hakim karena peradilan (al-Qada) lebih utama dibanding pemimpin
jika diqiyaskan.
c. Perbedaan pendapat dengan ulama Hanafiyah
Imam al-Qarâfî (w. 684 H) berbeda pendapat dengan Ulama
Hanafiyah yang membolehkan perempuan menjadi hakim karena
dapat diterima persaksiannya karena syarat menjadi saksi sama
dengan syarat menjadi wali sebagaimana adil yang menjadi syarat
keduanya. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa persaksian (al-
syahâdah) derajatnya lebih rendah dari peradilan (al-Qada) karena itu
perempuan diterima kesaksiannya, berbeda dengan adil dimana adil
itu memang mutlak menjadi syarat pada keduanya. Dan Imam al-
Qarâfî (w. 684 H) belum pernah mendengar pada zamannya
perempuan menjadi hakim karena itu bukan jalan orang-orang yang
beriman.17
Imam al-Nafrâwî (w. 1126 H) yang mensyaratkan seorang hakim
haruslah adil, laki-laki, cerdas, dan mampu berijtihad. Selain itu ia
menambahkan seorang hakim haruslah bisa melihat mendengar dan
berbicara dengan baik.18
Imam al-Syanqîtî (w. 1302 H) juga memberikan
syarat untuk menjadi hakim sebagaimana Imam al-Nafrâwî (w. 1126 H),
Imam al-Syanqîtî (w. 1302 H) menjelaskan lebih jauh dengan
menambahkan bahwa syaratnya itu tidak diragukan lagi dan tidak
dibolehkan perempuan menjadi hakim.19
Alasan tersebut dilandasi oleh
hadis dimana Nabi Muhammad SAW bersabda:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
17 Syihâbuddîn bin Ahmad al-Qarâfî, al-Dzakhîrah , (Beirut: Dâr al-Gharb al-
Islâmî, 1994), jilid 10, h. 21.
18
Ahmad bin Ghanîm al-Nafrâwî, al-Fawâkih al-Dawânî „ala Risâlah Ibnu Abi
Zaid al-Qayrawânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilimiyyah, 1997), jilid 2, h. 358.
19 Muhammad bin Muhammad Sâlim al-Syanqîtî, Lawâmi‟ al-Durari fi Hatki
Astâri al-Mukhtasar, (Nouakhchout: Dâr al-Ridwân, 2015), jilid 12, h.3.
20
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃˋi).20
Ulama Syafi‟iyah juga mensyaratkan bahwa seorang hakim
haruslah laki-laki. Imam al-Mâwardî (w. 450 H) menjelaskan bahwa
seorang hakim haruslah laki-laki dan laki-laki tersebut haruslah baligh dan
bersifat layaknya laki-laki. Adapun hakim perempuan Imam al-Mâwardî
(w. 450 H) tidak membolehkannya karena beristidlal dengan firman Allah:
جبي ثعغ ٱش ع ثعؼ ٱلل ب فؼ ع ٱغبء ث ل
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan
dengan apa yang Allah berikan kelebihan sebagian mereka atas
sebagian”. (Q.S. al-Nisâ (04):34).
Imam al-Mâwardî (w. 450 H) menjelaskan bahwa ayat ini dapat
dipahami dengan Allah melebihkan akal dan logika laki-laki dari
perempuan, oleh karena itu perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atas
laki-laki.21
Lebih lanjut Imam al-Mâwardî (w. 450 H) menjelaskan pendapat
pendapat Imam Abu Hanifah (w. 150 H) yang membolehkan perempuan
menjadi hakim sebagaimana bolehnya perempuan menjadi saksi. Dan juga
ia menjelaskan pendapat Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w. 310 H) yang
membolehkan perempuan menjadi hakim sebagaimana bolehnya
perempuan menjadi mufti.22
Dalam menjawab kedua pendapat tersebut, Imam al-Mâwardî (w.
450 H) beristidlal dengan Q.S. al-Nisâ (04): 34 dan hadis Nabi SAW yang
berbunyi:
20
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
21
Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkam al-Sultâniyyah,
(Kairo, Dâr al-Hadîts, 2006), h. 110.
22
Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1994), jilid 16, h, 156.
21
ب أفخ شأح إ ش ٠ أ ل
Artinya: “Tidak akan kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan” (H.R. Ahmad).23
Dan juga ia berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi
hakim sebagaimana perempuan tidak dibolehkan menjadi imam salat dan
juga sebagaimana perempuan tidak boleh menjadi pemimpin suatu umat.24
Imam al-Mâwardî (w. 450 H) berpendapat bahwa jika seseorang
tidak melaksanakan hukum hudud, maka ia tidak melaksanakan juga
hukumnya pada selain hudud, ia mencontohkan seperti orang buta. Dan
adapun kebolehan perempuan memberikan fatwa dan kesaksian karena
memang keduanya tidak melarang perempuan memberikan fatwa maupun
kesaksian.25
Ulama Syafi‟iyah yang lain yaitu Imam al-Syîrâzî (w. 476 H)
melarang perempuan menjadi hakim karena sabda Nabi Muhammad SAW:
شأح إ ش ٠ أ ب أفخ ل
Artinya: “Tidak akan kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan” (H.R. Ahmad).26
Imam al-Syîrâzî (w. 476 H) menjelaskan bahwa hakim haruslah
diduduki oleh seorang laki-laki dari ahli fikih, ahli persaksian, dan ahli
dalam bidang persengketaan. Oleh karena itu perempuan tidak boleh
menjadi hakim khawatir terkena fitnah atas mereka.27
Pendapat ini
dikomentari oleh Imam al-Nawawî (w. 676 H) yang menjelaskan bahwa
ulama bersepakat bahwa perempuan tidak dibolehkan menjadi imam dan
hakim, karena imam dibutuhkan untuk keluar menegakkan jihad dan
23 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h.290.
24
Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, jilid 16, h,
156.
25
Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, jilid 16, h,
156.
26
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h.290.
27
Abu Ishâq al-Syîrâzî, al-Muhadzab, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996), jilid 5,
h. 471.
22
menegakkan perkara orang-orang muslim dan hakim dibutuhkan kepada
nampaknya (wajahnya) untuk menyelesaikan perkara, sedangkan
perempuan adalah aurat yang tidak sah untuk menampakkannya (dalam
beberapa hal) dan ini menjadi kelemahan perempuan dari menghakimi
lebih banyak perkara. Lebih lanjut Imam al-Nawawî (w. 676 H)
menjelaskan bahwa kepemimpinan dan kehakiman adalah sesuatu yang
sempurna, maka hanya sah diduduki oleh yang sempurna yaitu laki-laki.28
Imam al-Ghazâlî (w. 505 H) mensyaratkan hakim haruslah laki-
laki dan melarang perempuan menjadi hakim.29
Pendapat ini di komentari
oleh Imam al-Râfi‟i (w. 623 H) juga mensyaratkan seorang hakim haruslah
merdeka, laki-laki, baligh, Islam, dan adil.30
Ia menjelaskan bahwa Imam
Abu Hanifah (w. 150 H) yang membolehkan perempuan menjadi hakim
pada perkara yang dibolehkan menjadi saksi. Lalu ia melanjutkan dengan
pendapatnya bahwa ada hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃ´i).31
Karena perempuan tidak pantas duduk di tempat laki-laki,
mengeraskan suara diantara laki-laki, maka tidak boleh perempuan
menjadi hakim.32
Imam al-Nawawî (w. 676 H) mensyaratkan seorang hakim
haruslah Islam, baligh, merdeka, laki-laki, adil, bisa mendengar, bisa
28 Abi Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmu‟ Syarh al-
Muhadzab, (Beirut: Dâr al Fikr, 2005), jilid 12, h. 10.
29
Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, al-Wajîz, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‟Ilmiyyah, 2004), h. 479.
30
Abi al-Qâsim „Abdu al-Karîm bin Muhammad al-Râfi‟i, al-Muharrar, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 2005), h. 484. 31
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
32
Abi al-Qâsim „Abdu al-Karîm bin Muhammad al-Râfi‟i, al-„Azîz Syarh al-
Wajîz, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1997), jilid 12, h. 415.
23
melihat, cerdas, sempurna (tidak cacat), dan bisa berijtihad.33
Pendapat ini
di komentari oleh Imam al-Syarbainî (w. 977 H) yang beristidlal dengan
hadis:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃˋi).34
Dari hadis ini Imam al-Syarbainî (w. 977 H) berpendapat bahwa
perempuan kurang akal dan agamanya. Dan dari hadis ini juga ia menolak
pendapat Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w.
310 H).35
Selanjutnya Imam al-Ramlî (w. 1004 H) juga berkomentar
tentang pendapat Imam al-Nawawî (w. 676 H) dengan menjelaskan bahwa
perempuan karena kekurangannya tidak boleh menjadi hakim karena
bercampur dengan laki-laki dan perempuan itu diperintahkan untuk
tertutup (tidak bercampur dengan laki-laki).36
Ulama Hanabilah juga melarang perempuan menjadi hakim. Imam
al-Khiraqî (w. 334 H) mensyaratkan seorang hakim harus baligh, muslim,
merdeka, adil, „alim, faqih (ahli hukum), wara‟, dan berakal (cerdas).37
Pendapat ini di komentari oleh Imam Ibnu Qudâmah (w. 620 H) yang
menjelaskan bahwa syarat seorang menjadi hakim ada 3, yaitu: Sempurna,
adil, dan mampu berijtihad. Adapun sempurna terbagi menjadi 2, yaitu:
Sempurna hukum (kamâl al-ahkâm) dan sempurna fisik (kamâl al-
khilqah). Adapun sempurna hukum ada 4 syarat yaitu hakim harus baligh,
33 Abi Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawî, Minhâj al-Thâlibîn wa
„Umdah al-Muftîn, (Beirut: Dâr al-Minhâj, 2005), h. 557. 34
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
35
Syamsuddîn Muhammad bin al-Khatîb al-Syarbainî, Mughni al-Muhtâj ila
Ma‟rifah Ma‟âni al-Minhâj, (Kairo: al-Quds, 2012), jilid 7, h. 4.
36
Syamsuddin Muhammad bin Abi al-„Abbâs al-Ramli, Nihâyah al-Muhtâj ila
Syarh al-Minhâj, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), jilid 8, cet.3 h. 238.
37
Abi al-Qâsim „Umar bin al-Husain al-Khirâqî, Matan al-Khîraqî, (Tanta: Dâr
al-Sahâbah, 1993), h. 154.
24
berakal (cerdas), merdeka, dan laki-laki. Sedangkan sempurna fisik yaitu
seorang hakim harus bisa berbicara, bisa mendengar, dan bisa melihat.38
Imam Ibnu Qudâmah (w. 620 H) menjelaskan lebih lanjut tentang
pelarangan perempuan menjadi hakim dengan beristidlal pada hadis Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃˋi).39
Dan juga ia berpendapat bahwa seorang hakim haruslah hadir pada
tempat yang banyak persengketaan dan banyak laki-laki, dan hakim juga
dibutuhkan kepada sempurna logika, akal, dan kecerdasan. Dan
perempuan kurang akalnya, sedikit logikanya, dan tidak boleh hadir atau
bercampur pada tempat yang banyak laki-laki, dan tidak juga diterima
persaksiannya jika tidak bersama laki-laki walaupun ada 1000 perempuan.
Sungguh Allah telah memberitahukan tentang kesalahan dan lupa pada
perempuan, sebagaimana firman Allah SWT:
شأرب ٱ فشج ٠ىب سج١ فئ جبى س ١ذ٠ ذا ش ٱعزش ذاء ٱش رشػ
ب ٱألخش ش إدذى ب فززو إدذى أ رؼ
Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di
antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh)
seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang
yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika seorang lupa
maka yang seorang lagi mengingatkannya. (Q.S. al-Baqarah (02): 282).
Imam Ibnu Qudâmah (w. 620 H) melanjutkan dengan argumen
bahwa tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW,
38 Muwaffiq al-Dîn Abi Muhammad „Abdullah bin Ahmad, al-Mughnî, (Riyadh:
Dâr al-„Alim al-Kutub, 2005), jilid 14, cet.5, h.12. 39
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
25
khalifah, dan pemerintahan Islam setelahnya yang mengangkat perempuan
menjadi hakim.40
Imam al-Zarkasyî (w. 772 H) berkomentar tentang syarat menjadi
hakim yang di syaratkan oleh Imam al-Khiraqî (w. 334 H) bahwa tidak ada
syarat laki-laki dalam kategori tersebut. Imam al-Zarkasyî (w. 772 H)
memungkinkan bahwa Imam al-Khiraqî (w. 334 H) menganggap bahwa
hakim haruslah laki-laki dengan beristidlal kepada kata dalam hadis سج
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
أث١ ثش٠ذح ع اث جخ ع ادذ ف ا مؼبح ثالثخ لبي ا ع ع١ ط للا اج ع اثب
ذ ذك فجبس ف ا عشف ا سج ذك فمؼ ث عشف ا جخ فشج ب از ف ا ف ابس فأ ى
ف ابس ف لؼ بط ع ج سج ف ابس ف
Artinya: “Hakim itu ada tiga; satu orang di Surga dan dua orang
berada di Neraka. Yang berada di surga adalah seorang laki-laki yang
mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengannya, seorang laki-laki
yang mengetahui kebenaran lalu berlaku lalim dalam berhukum maka
ia berada di Neraka, dan orang yang memberikan keputusan untuk
manusia di atas kebodohan maka ia berada di Neraka.” (H.R. Abu
Dâwud, al-Tirmidzi, dan Ibnu Mâjah).41
Imam al-Zarkasyî (w. 772 H) melanjutkan dengan penjelasan yang
sama dengan Imam Ibnu Qudâmah (w. 620 H) sebagaimana yang telah
penulis uraikan.42
Imam Ibnu Qudâmah (w. 620 H) dalam tulisannya yang lain
mensyaratkan seorang hakim haruslah baligh, berakal, laki-laki, merdeka,
muslim, adil, bisa mendengar, bisa melihat, bisa berbicara, dan bisa
40 Muwaffiq al-Dîn Abi Muhammad „Abdullah bin Ahmad, al-Mughnî, jilid 14,
cet.5, h.13.
41
Abi Dâwud Sulaiman bin al-Asy‟ats, Sunan Abî Dâwud, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 2011), jilid2, cet.3, h. 506. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟ al-
Sahih, h. 267. Lihat Abi „Abdillah Muhammad bin Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah, (Kairo: Dâr
al-„Alamiyyah, 2017), h. 256.
42
Syamsu al-Dîn Abu „Abdillah Muhammad al-Zarkasyî, Syarh al-Zarkasyî „ala
Matan al-Khiraqî, (Makkah: Maktabah al-Asadî, 2009), jilid 4, Cet.3, h. 439.
26
berijtihad.43
Pendapat ini di komentari oleh Ibnu Muflih (w. 884 H) yang
menjelaskan bahwa Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w. 310 H) membolehkan
perempuan menjadi hakim dan ia menjawab dengan beristidlal dengan
hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃˋi).44
Dan ia menambahkan dengan bahwa perempuan kurang akalnya,
sedikit logikanya, dan tidak boleh hadir (bercampur) bersama laki-laki.45
3. Ulama Yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim Secara Mutlak
Dalam hal ini Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w. 310 H) dan Imam Ibnu
Hazm (w. 456 H) yang membolehkan perempuan menjadi hakim secara
mutlak.
Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w. 310 H) berpendapat bahwa
perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam semua perkara.
Alasannya karena dia boleh menjadi mufti, maka dia juga boleh menjadi
hakim.46
Mufti menjelaskan ilmu, pendapat, ketetapan, dan masalah -
masalah kehidupan berdasarkan kepada hukum syara‟ dan hakim
menjelaskan itu semua dengan kekuasaan kehakiman.47
Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) membolehkan perempuan menjadi
hakim dengan alasan bahwa Imam Abu Hanifah (w. 150 H) meriwayatkan
43 Muwaffiq al-Dîn Abi Muhammad „Abdullah bin Ahmad, al-Muqni', (Jeddah:
Maktabah al-Siwâdî, 2000), h. 477. 44
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
45
Abi Ishâq Burhân al-Dîn Ibrâhim, al-Mubdi‟ Syarh al-Muqni‟, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilimiyyah, 1997), jilid 8, h. 153. 46
Wahbah al-Zuhaylî , al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Dâr al-Fikr,
1985), jilid 6, cet.2, h. 745.
47
Muhammad al-Zuhaylî , Fiqh al-Qada wa al-Da‟wa wa al-Itsbât, (Dubai:
University of Sharjah, 2008), cet.2, h. 72.
27
suatu cerita bahwa Umar bin Khattab mengangkat seorang perempuan
yang bernama al-Syifâ menjadi wilayatul hisbah atau auditor di pasar.48
Selanjutnya Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) menjelaskan bahwa yang di
maksud oleh hadis:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi
dan al-Nasȃˋi).49
Hadis ini adalah masalah yang umum yaitu khilafah atau
kepemimpinan. Dan ia juga membolehkan perempuan menjadi pemimpin
dengan beristidlal dengan hadis:
غئخ ع ذ شأح ساع١خ ع ث١ذ ثعب ا
Artinya: “dan perempuan adalah pemimpin atas rumah suaminya
dan anak-anaknya dan ia akan di minta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya” (H.R. Ahmad, al-Bukhâri, Muslim, Abu Dawud
dan al-Tirmidzi).50
C. Hakim Perempuan Menurut Ulama Kontemporer
Dalam khazanah fikih Islam kontemporer tidak berbeda jauh pendapat
dengan ulama klasik, karena pada dasarnya ulama kontemporer bermazhab
sama dengan ulama klasik, maka hukum yang dihasilkannya juga sama.
Namun, perbedaan zaman akan mempengaruhi hasil ijtihad seorang ulama.
Hukum perempuan menurut ulama kontemporer terbagi menjadi dua
pendapat, yaitu:
48 Abu Muhammad Ali bin Ahmad, al-Muhalla bi al-Hujaji wa al-Âtsar,
(Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 2003), h. 1581. 49
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667. 50
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 3, h. 188. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 2, h. 237. Lihat Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjâj,
Sahih Muslim, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008), jilid 3, cet.2, h. 225. Abi
Dâwud Sulaiman bin al-Asy‟ats, Sunan Abî Dâwud, jilid 2, cet.3, h. 506. Lihat Abi „Isa
Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟ al-Sahih, h. 340.
28
1. Ulama Yang Melarang Perempuan Menjadi Hakim
Dalam hal ini golongan ulama kontemporer yang melarang
perempuan menjadi hakim adalah Ulama Malikiyah, Ulama Syafi‟iyah
dan Imam Sayyid Sâbiq (w. 1420 H).
Muhammad Sukhâl al-Majjâjî seorang ulama bermazhab Maliki
dari Damaskus, ia mensyaratkan tiga sifat yang wajib dimiliki oleh
seorang hakim, yaitu: Sempurna; Adil; dan Berilmu. Adapun sempurna
yaitu terdapat pada badan dan akal artinya seorang hakim haruslah
baligh, merdeka, laki-laki, dapat mendengar, melihat dan berbicara.
Sedangkan adil menunjukkan bahwa seorang hakim haruslah Islam
bukan orang fasik ataupun kafir. Dan berilmu artinya seorang hakim
haruslah seorang ahli fikih atau yang memenuhi kriteria menjadi seorang
mujtahid.51
Sejalan dengan Muhammad Sukhâl al-Majjâjî, al-Habîb bin Tâhir
seorang ulama bermazhab Maliki dari Tunisia, ia berpendapat bahwa
perempuan dan banci (khuntsa) tidak sah menjadi hakim. Hukum ini
berlandaskan pada beberapa dalil, yaitu:
a. Hadis yang menjelaskan kurangnya akal dan agama perempuan
لبي خذس أث عع١ذ ا فطش إ ع ف أػذ أ ع ع١ ط للا خشج سعي للا
ش ع ظ ف ا ث ابس فم أوثش أ فئ أس٠زى ل عشش اغبء رظذ غبء فمبي ٠ب
لبي ٠ب سعي للا اع أرت ت رىثش د٠ بلظبد عم ب سأ٠ذ عش١ش ا رىفش
لبي أ١ظ شبد عمب ٠ب سعي للا د٠ب ب مظب ل إدذاو ذبص ا ج شأح اش ح ا
ث رظ عمب أ١ظ إرا دبػذ مظب ث لبي فزه ل ج ظف شبدح اش
د٠ب مظب ث لبي فزه ل رظ
Artinya: “dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pada hari raya 'Idul Adha atau Fitri keluar menuju
tempat salat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai
para wanita! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan
kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni
neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya wahai Rasulullah?" beliau
menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari
51 Muhammad Sakhâl al-Majjâjî, al-Muhadzab min al-Fiqh al-Mâlikî wa
Adillatihi, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2010), jilid 3, h. 94-96.
29
pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki
yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian."
Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya
akal dan lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian
seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab,
"Benar." Beliau berkata lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan
bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan
puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau bersabda: “Itulah kekurangan
agamanya”.” (H.R. al-Bukhâri).52
b. Hadis yang menjelaskan tidak akan berbahagia jika dipimpin oleh
perempuan
أث ثىشح لبي ع ج ا أ٠ب ع ع١ ط للا سعي للا عزب خ ع ثى مذ فع للا
ط للا ب ثػ سعي للا لبي ع فألبر ذك ثأطذبة اج أ ب وذد أ ثعذ ع١ ع
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل ذ وغش لبي ث ىا ع١ فبسط لذ أ أ
Artinya: “dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah
memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah
aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala
aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin
berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia
telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau
bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh
seorang wanita."” (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi dan al-
Nasȃˋi).53
c. Qiyas dari hukum tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin
negeri (al-Imâmah al-Kubra) karena hakim sama dengan pemimpin
negeri dalam melaksanakan hukum.
d. Qiyas dari hukum hudud dan qisâs dimana dalam kedua perkara
tersebut perempuan tidak boleh menjadi hakim dan hukum tersebut
diqiyaskan dari hukum budak (tidak boleh menjadi saksi dalam kedua
perkara tersebut). Jika keadaan qiyas ini dibolehkan maka sama saja
membolehkan seorang budak untuk menjadi hakim.54
52 Muhammad bin Ismail al-Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 1, h. 123.
53 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
54
Al-Habib bin Tâhir, al-Fiqh al-Mâlikî wa Adillatuhu, (Beirut: al-Ma‟ârif,
2009), jilid 7, h.67-68.
30
Mustafâ Dib al-Bugha seorang ulama Mazhab Syafi‟i di Suriah
mensyaratkan seorang hakim haruslah laki-laki karena beristidlal dengan
hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R, Ahmad, al-Bukhȃri, al-
Tirmîdzi dan al-Nasȃˋi).55
Ia menambahkan alasan melarang perempuan menjadi hakim
karena pengadilan dituntut untuk berkumpulnya laki-laki dan perempuan
dan dalam perkumpulan ini perempuan dikhawatirkan tidak aman
fitnah.56
Muhammad Mustafa al-Zuhaylî mensyaratkan seorang hakim
haruslah laki-laki dengan alasan yang sama dengan Mustafâ Dib al-
Bugha akan tetapi ia menambahkan bahwa larangan tersebut diqiyas dari
larangan perempuan menjadi imam salat karena menjadi hakim lebih
utama dari imam salat. Dan juga karena pengadilan mengandung
persaksian jarimah-jarimah dan pembunuhan, juga akan berinteraksi
dengan para penuntut dan orang-orang yang bersengketa maka
perempuan dikawatirkan terkena fitnah dari yang demikian itu. Dan juga
ia menambahkan firman Allah SWT:
ثعغ ع ثعؼ ٱلل ب فؼ ع ٱغبء ث جبي ل ٱش
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan”. (Q.S. al-Nisâ (04):34).
55
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
56
Mustafa Dib al-Bugha dkk, al-Fiqh al-Manhajî „ala Madzhab al-Imâm al-
Syafi‟i, (Damaskus: Dâr al-Qalam. 1996), jilid 8, h. 178.
31
Dan ia menambahkan bahwa perempuan boleh menjadi mufti dan
saksi di pengadilan karena memang itu adalah wilayah hukumnya dan
tidak berdosa ataupun syubhat pada keduanya.57
Sayyid Sâbiq (w. 1420 H) seorang ulama Mesir mensyaratkan
seorang hakim haruslah sama dengan derajat mujtahid, mengetahui ayat-
ayat dan hadis tentang hukum, mengetahui pendapat ulama terdahulu
mulai dari ijma‟ dan juga ikhtilaf, menguasai bahasa dan mengetahui
qiyas. Ia melanjutkan bahwa seorang hakim harus mukallaf (dewasa),
laki-laki, adil, dapat mendengar, dapat melihat dan berakal. Ia juga
melarang bahwa seorang hakim tidak boleh taklid, kafir, anak kecil,
orang gila, orang fasik, dan perempuan.58
„Abdul Karîm Zaydân (w. 1435 H) seorang ulama ahli sunnah dari
Irak berpendapat bahwa seorang hakim haruslah laki-laki sebagaimana
disyaratkan oleh jumhur ulama. Ia beralasan karena perempuan tidak sah
menjadi pemimpin negara (al-Imâmah al-„Uzma) atau pemimpin daerah
di suatu negeri. Karena alasan inilah tidak ditemukan pelantikan
perempuan menjadi hakim atau pemimpin daerah suatu negeri pada
zaman Nabi Muhammad SAW, Khalifah al-Râsyidîn, dan para pemimpin
setelahnya. Jikalau mereka membolehkan perempuan menjadi hakim,
pasti akan mereka lantik walau hanya sekali saja. Selain alasan tersebut,
dilarangnya perempuan menjadi hakim yaitu karena seorang hakim
haruslah bertemu dengan laki-laki, ahli fikih, para saksi, dan pihak yang
berperkara sedangkan perempuan pada hukum asalnya dilarang bertemu
dengan pihak-pihak tersebut karena khawatir terkena fitnah dari
pertemuan tersebut.59
2. Ulama Yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim Secara Mutlak
57 Muhammad al-Zuhaylî, al-Mu‟tamad fi al-Fiqh al-Syafi‟i, (Damaskus: Dâr al-
Qalam, 2011), jilid 5, cet. 3, h.383-384.
58
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Fath li al-I‟lâm al-„Arabi, 2009),
jilid 3, cet. 21, h. 217.
59
„Abdul Karîm Zaydân, Nizâm al-Qadha fi al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah, (Amman:
Maktabah al-Batsâir, 1989), h. 30-31.
32
Ulama yang termasuk dalam kategori ini adalah pendapat dari
Yûsuf al-Qardâwî yang berpendapat bahwa perempuan harus dilantik
menjadi hakim karena tidak adanya nash yang melarang pelantikan
tersebut.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hadis riwayat Abu Bakrah
yang menjadi dasar larangan melantik perempuan menjadi hakim dapat
dipahami dengan tiga pemahaman, yaitu:
a. Memahami dengan asbab al-wurud hadis tersebut dimana hadis
tersebut muncul dari komentar Nabi Muhammad SAW kepada
bangsa Persia yang mengangkat seorang perempuan menjadi raja
bukan pelarangan Nabi terhadap memberikan urusan kepada
perempuan.
b. Jika hadis tersebut dipahami dengan melarang perempuan
memegang kekuasaan tertinggi maka jika perempuan ikut serta
dalam peran jabatan publik yang bukan kekuasaan tertinggi
dibolehkan.
c. Masyarakat modern dibawah sistem demokrasi tidak memberikan
posisi pemimpin kepada perempuan dengan cara membebankan
sepenuhnya tanggung jawab kepada perempuan, akan tetapi
tanggung jawab tersebut pada kenyataannya dijalankan bersama-
sama oleh sejumlah orang.60
Selain Yûsuf al-Qardâwî, ulama kontemporer Indonesia yaitu
M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa dalil-dalil yang sering
digunakan untuk melarang perempuan menjadi hakim dapat dipahami
dengan cara yang lain.
Salah satu dalilnya yaitu Q.S. al-Nisâ (04): 34, ia memahami
bahwa ayat ini bukanlah ayat yang mengisyaratkan kepemimpinan
hanyalah untuk laki-laki. Akan tetapi kata “al-rijâl” dalam ayat tersebut
bermakna “suami” karena konsideran ayat tersebut ditegaskan dalam
60 Yûsuf al-Qardawî, Hadyu al-Islâm Fatâwi Mu‟âsirah, Penerjemah: As‟ad
Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 1995), jilid 2, h. 543-545.
33
lanjutan ayat yang artinya: “karena mereka (suami) menafkahkan
sebagian harta untuk istri-istri mereka”. Seandainya yang dimaksud
dengan kata “laki-laki” secara umum tentu konsiderannya tidak
demikian.61
61 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2014), h. 415.
34
BAB III
HAKIM PEREMPUAN DALAM REGULASI, MAHKAMAH
SYARIAH dan FATWA ULAMA di MALAYSIA
A. Sistem Pemerintahan dan Sistem Hukum Malaysia
Malaysia merupakan negara federal di utara khatulistiwa dengan luas
329.758 KM mulai dari Semenanjung Malaysia dan utara Pulau Kalimantan.
Semenanjung Malaysia terdiri dari beberapa negeri, diantaranya: Negeri
Johor, Negeri Kedah, Negeri Sembilan, Negeri Kelantan, Negeri Melaka,
Negeri Perak, Negeri Perlis, Negeri Selangor, Negeri Terengganu, Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur, Wilayah Persekutuan Putra Jaya, dan Negeri
Pulau Pinang. Sedangkan di utara Pulau Kalimantan terdiri dari Negeri
Sabah, Negeri Sarawak, dan Wilayah Persekutuan Labuan.1
Untuk lebih mengetahui mengenai Malaysia dari segi sistem
pemerintahan dan sistem hukumnya, penulis menguraikan sebagai berikut:
1. Sistem Pemerintahan Malaysia
Sistem pemerintahan jika didefinisikan secara etimologi terdiri dari
dua kata, sistem dan pemerintahan. Sistem menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) yaitu susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas,
dan sebagainya.2 Sedangkan pemerintahan diartikan dengan proses, cara,
perbuatan memerintah atau dapat diartikan juga dengan segala urusan yang
dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat
dan kepentingan negara.3 Dapat disimpulkan bahwa definisi sistem
pemerintahan secara etimologi adalah susunan yang teratur untuk
menjalankan urusan yang dilakukan negara untuk kesejahteraan
masyarakat dan kepentingan negara.
Sedangkan jika didefinisikan secara terminologi, sistem
pemerintahan dapat dibagi kedalam tiga pengertian, yaitu:
1 Jabatan Perkhidmatan Penerangan Malaysia, MALAYSIA: Buku Rasmi Tahunan
2001, (Ipoh: Percetakan Zainon Kasim, 2001), h. 3.
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2008), h. 1320.
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1057.
35
1. Tatanan berupa struktur suatu negara yang menitikberatkan hubungan
antara negara dengan rakyat. Pengertian ini menimbulkan sistem
pemerintahan monarki, aristrokasi, dan demokrasi.
2. Tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan
antara semua organ negara termasuk hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah atau negara bagian.
3. Tatanan atau struktur pemerintah yang bertitik tolak dari hubungan
sebagai organ negara di tingkat pusat, khususnya antara eksekutif dan
legislatif.4
Sistem pemerintahan Malaysia sebelum datangnya Inggris adalah
berbeda-beda pada masing-masing negeri. Kesultanan Melayu Melaka
menggunakan Undang-undang Laut Melaka dan Hukum Kanun Melaka.
Sedangkan negeri-negeri lain menggunakan adat yaitu Adat Temenggung
dan Adat Pepatih.5
Pada tahun 1896 Malaysia bebentuk negara federal yaitu beberapa
negara dengan derajat yang sama bersatu untuk mencapai tujuan bersama.6
Pada saat ini negeri-negeri bersatu dalam Perjanjian Persekutuan 1895.
Setelah merdeka pada tahun 1957, Malaysia menggunakan sistem
pemerintahan parlementer westminster atau dikenal dengan sebutan
“Demokrasi Berparlimen” dalam bahasa Melayu. Dalam hal ini raja hanya
menjadi lambang kesetiaan rakyat dan rakyat menjadi wakil dalam
pemerintahan negara tersebut.7 Akan tetapi dalam praktiknya kekuasaan
lebih terpusat di eksekutif dibanding legislatif, dan yudikatif diperlemah
oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah. Pada pemerintahan Mahathir
4 Beni Ahmad Saebani dan Ali Wati, Perbandingan Hukum Tata Negara,
(Bandung: Pustaka Setia, 2016), h.148.
5 Mardiana Nordin dan Hasnah Hussin, Pengajian Malaysia, (Shah Alam: Oxford
Fajar, 2018), cet. 6, h. 113.
6 C.F Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Exiting Form, Penerjemah SPA Teamwork, Konstitusi-
konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk
Konstitusi Dunia, (Bandung: Nusa Media, 2008), cet. 2, h. 87.
7 Mardiana Nordin dan Hasnah Hussin, Pengajian Malaysia, cet. 6, h. 160-161.
36
yang pertama, kekuasaan yudikatif dibagikan antara pemerintah
persekutuan (pemerintah pusat) dengan negara bagian.8
Dalam menjalankan pemerintahannya, Malaysia menggunakan
sistem kekuasaan trias politika yaitu pemisahan kekuasaan antara
Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam pemisahan kekuasaan tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:9
2. S
i
s
t
e
m
Hukum Malaysia
Istilah sistem hukum secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu
sistem dan hukum. Sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan
sebagainya.10
Sedangkan hukum yaitu peraturan atau adat yang secara
resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah.11
Dari arti kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa
sistem hukum adalah susunan yang teratur yang berasal dari teori hukum.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan legal system, dalam bahasa Belanda
dikenal dengan het juridische, dan dalam bahasa Jerman dikenal dengan
das rechtssystem.12
8 Beni Ahmad Saebani dan Ali Wati, Perbandingan Hukum Tata Negara, h.148.
9 Mardiana Nordin dan Hasnah Hussin, Pengajian Malaysia, Cet. 6, h. 167. Lihat
juga International Law Book Services, Malaysia Kita: Panduan dan Rujukan Untuk
Peperiksaan Am Kerajaan, (Petaling Jaya: ILBS, 2004), cet.5, h.183.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1320.
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 510.
12
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 25.
Yang di-Pertuan Agong (YDPA)
Badan Pentadbiran (Eksekutif)
Kabinet
Badan Perundangan (Legislatif)
Parlimen
Badan Kehakiman (Yudikatif)
Mahkamah
37
Secara terminologi, sistem hukum didefinisikan oleh Meuwissen
yang mengartikan sistem hukum sebagai konstruksi teoritis yang terdapat
di dalamnya berbagai norma dan kaidah hukum dipikirkan dalam suatu
hubungan logis-konsisten menjadi satu kesatuan tertentu.13
Bruggink menjelaskan bahwa sistem hukum yaitu aturan-aturan
hukum dan putusan-putusan hukum yang berlaku dalam masyarakat dan
mempunyai hubungan yang saling berkaitan.14
Di dunia ini ada banyak sistem hukum, para ahli berbeda pedapat
dalam menggolongkan sistem hukum. Ada yang berpendapat sistem
hukum ada tiga macam, namun ada juga yang berpendapat empat macam
bahkan enam macam.
Peter de Cruz mengemukakan bahwa sistem hukum yang berlaku
di dunia ini dapat dibedakan menjadi tiga macam keluarga hukum atau
tradisi hukum, yaitu: Civil law; Common Law; dan Socialist Law.15
Civil Law jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia yaitu
hukum sipil. Hukum sipil yaitu istilah yang diambil dari sumber hukum
sipil pada zaman Kaisar Justinianus yang bernama Corpus Juris Civilis
yang didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum
Roma yang dibukukan dalam Corpus Juris Civilis Justinian yang tersebar
ke seluruh Eropa dan dunia.16
Sistem hukum ini juga dikenal dengan
Sistem Hukum Eropa Kontinental, ciri utama sistem hukum ini adalah
hukum dikodifikasi menjadi undang-undang dan undang-undang tersebut
menjadi sumber hukum yang menjadi rujukan hakim dalam memutuskan
perkara.17
13 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni,
2009), h. 11.
14
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, h. 11.
15
Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, Penerjemah Narulita
Yusron, Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law, dan Socialist Law,
(Bandung: Nusa Media, 2010), h. 46.
16
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), h. 55-57.
17
Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2016), h. 26-27.
38
Common Law pada awalnya istilah ini digunakan untuk
menunjukkan bahwa hukum yang umum (common) bagi seluruh wilayah
kerajaan karena diterapkan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan dan juga
untuk membedakan dengan hukum yang diterapkan oleh pengadilan
khusus seperti pengadilan gereja dan pengadilan oleh bangsawan.18
Sistem
hukum ini dikenal dengan Sistem Hukum Anglo Saxon yang mempunyai
ciri utama adalah sumber hukumnya yaitu putusan-putusan hakim.19
Socialist Law atau Hukum Sosialis adalah hukum yang diterapkan
negara-negara yang pemerintahannya melihat negara sebagai salah satu
sosialis (bergerak dari kapitalisme ke sosialisme) dan memegang teguh
komunistik sebagai tujuan akhir. Ciri pada sistem hukum ini adalah pokok
ajarannya dijiwai ajaran Marxist-Leninist yang dianut oleh pakar hukum
Uni Soviet, sistem hukum ini hanya mengenal konsep hukum publik, dan
sumber hukum berasal dari keputusan penguasa baik pemerintah atau
negara.20
Sejalan dengan Peter de Cruz, John Henry Merrman dan Regelio
Perez Perdomo mengelompokkan keluarga hukum menjadi empat
kelompok yaitu: Common Law System; Civil Law System; Socialist Law
System; Islam Law System.21
Islam Law System atau Sistem Hukum Islam
adalah sistem hukum yang berasal dari suatu agama yaitu Islam, sistem
hukum ini bersumber pada ajaran Islam yaitu: al-Quran; Sunnah; Ijma; dan
Qiyas.22
Chrurch dan Edwards menggolongkan sistem hukum dengan nama
yang berbeda dan menggolongkan sistem hukum kepada enam golongan
keluarga, yaitu: Romano-germanic Family; Common Law Family;
Socialist Legal System; Religio-philosophical Laws; African Costumary
Law; Mixed Legal System. Religio-philosophical adalah sistem hukum
18 Donald albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2017), cet.4, h. 75.
19
Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, h. 26-27.
20
Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, h. 32-34.
21
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 30.
22
Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, h. 30-31.
39
yang didasarkan pada hukum agama seperti hukum Islam, Hindu dan teori
hukum tradisional China. African Costumary Law merupakan hukum
kebiasaan negara-negara di Afrika, hukum ini sama dengan hukum adat
yang tidak dikodifikasi. Mixed Legal System merupakan percampuran
sistem hukum antara Civil Law dan Common Law.23
Sebelum datangnya Inggris ke Malaysia, negara itu menganut
sistem hukum adat yaitu adat Perpatih di sebagian besar wilayah Negeri
Sembilan dan beberapa bagian di Melaka, serta adat Temenggong di
bagian-bagian Semenanjung Melayu itu.24
Setelah datangnya Inggris, Malaysia dikenalkan pada Common Law
System pada tahun 1878 M melalui undang-undang hukum perdata. Selain
undang-undang hukum perdata Inggris juga mendatangkan hukum pidana,
hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum kontrak dari India
yang pada intinya merupakan prinsip Common Law yang sudah
dikodifikasikan.25
Pada tahun 1937, hukum Inggris secara legislatif diperkenalkan ke
Federal Malay State (FMS) melalui Civil Law Enactment No. 3 Tahun
1937 dan diperluas ke Unfederated Malay State (UMS) melalui Civil Law
Ordinance Tahun 1951. Peraturan ini berlaku hanya rekognisi legislatif
terhadap praktik yudisial de jure. Masing-masing yuridiksi negara bagian
dapat mengajukan preseden yudisial tetapi hanya bisa dilakukan sesuai
amandemen legislatif setempat.26
Karena pengaruh Inggris tersebut, Hukum Islam dan Hukum Adat
yang tidak tertulis mulai terpinggirkan. Sebagai reaksi terhadap
kelancangan Inggris tersebut, para sultan memperkuat lembaga-lembaga
23 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 30-
31.
24
Asim Riyanto, “Sistem Hukum Negara-negara Asia Tenggara”, Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Vol. 37, 2 (April-Juni 2007), h. 278.
25
Basar Dikuraisyin, “Sistem Hukum dan Peradilan Islam di Malaysia”, Jurnal
Terateks, Vol. 01, 3, (September, 2017), h. 3.
26
Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, Penerjemah Narulita
Yusron, Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law, dan Socialist Law, h.
178.
40
yang masih berada dalam wewenangnya yaitu lembaga yang terkait Islam
dan Adat Melayu seperti Majelis Agama Islam, Mufti dan Mahkamah
Syariah.27
Hal inilah yang menjadi alasan Malaysia mempunyai 2 sistem
dalam peradilannya (dual system justice) dimana Mahkamah Syariah
menggunakan sistem Hukum Islam sedangkan selainnya mengikut
pengadilan federal menggunakan hukum warisan Inggris.
B. Hakim Perempuan pada Regulasi Negeri-negeri di Malaysia
Berbeda dengan Indonesia yang mempunyai satu undang-undang
untuk seluruh provinsi. Malaysia mempunyai regulasi yang berbeda di setiap
negerinya dikarenakan Malaysia adalah negara yang menganut sistem
pemerintahan federal.
Jika di Indonesia, regulasi tersebut dinamakan Undang-undang
sedangkan di Malaysia disebut Enakmen. Undag-undang tersusun dari
rangkaian pasal sedangkan Enakmen tersusun dari beberapa seksyen.
Kebolehan melantik perempuan sebagai hakim dalam regulasi negeri-
negeri di Malaysia tidak disebutkan secara eksplisit melainkan dengan
menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dilantik
menjadi hakim. Dalam hal ini, penulis mengklasifikasikan kepada tiga
golongan regulasi negeri-negeri di Malaysia, yaitu:
1. Regulasi yang Mensyaratkan Laki-laki Menjadi Hakim di Mahkamah
Syariah
Negeri yang termasuk golongan ini adalah Negeri Pahang. Negeri
Pahang mewajibkan Ketua Hakim Syariah dan Hakim Mahkamah Tinggi
Syariah adalah seorang laki-laki. Sebagaimana diatur dalam Seksyen 43
Enakmen 3 Tahun 1991, Enakmen Pentadbiran Undang-undang Islam
1991 dimana pada ayat (1) disebutkan “Ketua Hakim Syarie dan Hakim
Mahkamah Tinggi Syariah hendaklah dilantik oleh Kebawah Duli Yang
27 Basar Dikuraisyin, “Sistem Hukum dan Peradilan Islam di Malaysia”, h. 4.
41
Maha Mulia Sultan atas nasihat Majlis”. Dan dilanjutkan pada ayat (3)
yang berbunyi:
(3) “Seseorang adalah layak dilantik di bawah subseksyen (1) jika:
a) Dia seorang lelaki Islam;
b) Dia seorang warganegara; dan
c) Selama tempoh tidak kurang daripada sepuluh tahun sebelum
perlantikannya, dia telah beramali sebagai Peguam Syarie di
mana-mana Mahkamah Syariah atau sebagai anggota Mahkamah
Syariah atau mempunyai kepakaran dalam perundangan Islam”.
Walaupun regulasi tersebut mengharuskan laki-laki sebagai Ketua
Hakim Syariah dan hakim pada Mahkamah Tinggi Syariah, regulasi
tersebut secara eksplisit tidak melarang perempuan menjadi hakim pada
Mahkamah Rendah Syariah. Hal ini dapat dilihat pada Seksyen 45
Enakmen 3 Tahun 1991, Enakmen Pentadbiran Undang-undang Islam
1991 dimana ayat (1) berbunyi sama dengan yang tersebut diatas akan
tetapi pada ayat (2) yang berbunyi: “Tiada seorangpun boleh dilantik
menjadi Hakim Mahkamah Rendah Syariah kecuali dia adalah seorang
anggota Perkhidmatan Pegawai Syariah Negeri Pahang atau
Perkhidmatan Awam”. Karena regulasi inilah Negeri Pahang sudah
melantik dua orang perempuan di Mahkamah Rendah Syariah di dua kota
negeri tersebut sebagaimana yang akan penulis jelaskan pada sub-bab
selanjutnya.
2. Regulasi yang Tidak Mensyaratkan Laki-laki Menjadi Hakim di
Mahkamah Syariah dan Melantik Perempuan Sebagai Hakim
Pada kelompok ini terdapat 6 negeri, yaitu Wilayah Persekutuan
(Kuala Lumpur, Putra Jaya, dan Labuan), Negeri Terengganu, Negeri
Malaka, Negeri Selangor, Negeri Sabah dan Negeri Kedah.
Dalam Seksyen 41, 42, 43, 44, 45 Akta 505, Akta Pentadbiran
Undang-undang Islam Wilayah Persekutuan 1993 dan Seksyen 44, 45,
46, 47 Enakmen 7 Tahun 2002, Enakmen Pentadbiran Agama Islam
Negeri Melaka 2002 diatur bahwa pelantikan Ketua Hakim Syariah,
Hakim Mahkamah Rayuan Syariah. Hakim Mahkamah Tinggi Syariah,
Hakim Mahkamah Rendah Syariah dilakukan oleh Yang di-Pertuan
42
Agong (Raja Malaysia) atas nasihat menteri dan dilakukan setelah
berdiskusi dengan majelis. Dalam akta ini juga tidak ada yang
disyaratkan bahwa seorang hakim harus laki-laki.28
Sejalan dengan Wilayah Persekutuan dan Negeri Melaka, Negeri
Terengganu, Negeri Selangor, Negeri Sabah dan Negeri Kedah juga
mengatur dalam Enakmen masing-masing negeri sama dengan Wilayah
Persekutuan akan tetapi perbedaannya terletak pada yang melantik. Jika
hakim di Wilayah Persekutuan dan Negeri Melaka dilantik oleh Yang di-
Pertuan Agong (Raja Malaysia), hakim pada negeri-negeri tersebut
dilantik oleh sultan atau raja negeri tersebut.29
3. Regulasi yang Tidak Mensyaratkan Laki-laki Menjadi Hakim di
Mahkamah Syariah dan Tidak Melantik Perempuan Menjadi Hakim
Pada kelompok ini terdapat 7 negeri yaitu Negeri Kelantan, Negeri
Sarawak, Negeri Johor, Negeri Sembilan, Negeri Pulau Pinang, Negeri
Perak, dan Negeri Perlis.
Dalam regulasi negeri-negeri tersebut selain Negeri Pulau Pinang
mengatur bahwa seorang Ketua Hakim Syariah, Hakim Mahkamah
Rayuan Syariah, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah, Hakim Mahkamah
Rendah Syariah dilantik oleh sultan atau raja negeri tersebut dan dalam
regulasi negeri-negeri tidak disebutkan bahwa seorang hakim haruslah
laki-laki.30
Adapun Negeri Pulau Pinang hakim dilantik oleh Yang di-
28 Seksyen 41, 42, 43, 44, 45 Akta 505, Akta Pentadbiran Undang-undang Islam
Wilayah Persekutuan. Lihat juga Seksyen 44, 45, 46, 47 Enakmen 7 Tahun 2002,
Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Melaka 2002.
29
Seksyen 6, 7, 8, 9 Enakmen 3 Tahun 2001, Enakmen Mahkamah Syariah
Terengganu 2001. Lihat juga Seksyen 56, 57, 58, 59 Enakmen 1 Tahun 2003, Enakmen
Pentadbiran Agama Islam Negeri Selangor 2003. Lihat juga Seksyen 5, 6, 7, 9 Enakmen
6 Tahun 2004, Enakmen Mahkamah Syariah 2004 (Negeri Sabah). Lihat juga Seksyen 4,
5, 12, 17 Enakmen 8 Tahun 2008, Enakmen Mahkamah Syariah Kedah Darul Aman
2008.
30
Seksyen 7 Enakmen 3 Tahun 1982, Enakmen Pentadbiran Mahkamah Syariah
Kelantan 1982. Lihat juga Seksyen 4, 5, 6, 8 Ordinan 42 Tahun 2001, Ordinan
Mahkamah Syariah Sarawak 2001. Lihat juga Seksyen 56, 57, 58, 59 Enakmen 16 Tahun
2003, Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Johor 2003. Lihat juga Seksyen 56, 57,
58, 59 Enakmen 10 Tahun 2003, Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Sembilan
2003. Lihat juga Seksyen 45, 46, 47, 48 Enakmen 4 Tahun 2004, Enakmen Pentadbiran
43
Pertuan Agong (Raja Malaysia) dan regulasi negeri tersebut juga tidak
mensyaratkan hakim pada Mahkamah Sariah haruslah laki-laki.31
Jika
tidak disebutkan secara implisit bahwa hakim haruslah seorang laki-laki,
maka dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan negeri-negeri tersebut
akan melantik perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah
walaupun hingga kini negeri-negeri tersebut belum melakukannya.
C. Hakim Perempuan pada Mahkamah Syariah di Malaysia
Mahkamah Syariah merupakan lembaga kehakiman yang sah dan
setara dengan Mahkamah Sivil (pengadilan sipil) dan sah secara
konstitusional yang diatur dalam pasal 121 (1A) Perlembagaan Persekutuan
Malaysia (Konstitusi Malaysia).32
Mahkamah Syariah negeri-negeri di Malaysia didirikan dengan tujuan
untuk menyelesaikan perselisihan, gugatan dan permohonan yang dibuat oleh
pihak yang membutuhkan. Selain itu Mahkamah Syariah adalah tempat bagi
kerajaan menentukan seorang tertuduh membuat kesalahan yang berhubungan
dengan jinayah syariah. Mahkamah Syariah ini dikhususkan untuk mengurus
perkara-perkara orang Islam saja.33
Pada tahun 1987, kerajaan Malaysia menyusun kembali struktur
organisasi dan fungsi Mahkamah Syariah. Oleh karena itu seluruh negeri-
negeri membuat regulasi yang mengatur tiga tingkat Mahkamah Syariah,
yaitu:
1. Mahkamah Rendah Syariah.
2. Mahkamah Tinggi Syariah.
Agama Islam Negeri Perak 2004. Lihat juga Seksyen 56, 57, 58, 59 Enakmen 4 Tahun
2006, Enakmen Pentadbiran Agama Isam Negeri Perlis 2006.
31
Seksyen 56, 57, 58, 59 Enakmen 4 Tahun 2004, Enakmen Pentadbiran Agama
Islam Negeri Pulau Pinang 2004.
32
Pasal 121 (1A), Perlembagaan Persekutuan Malaysia.
33
Ghazali bin Haji Abdul Rahman, “Isu dan Permasalahan Terkini Mahkamah
Syariah” dalam Zulkifli bin Hasan et al. Amalan Kehakiman dan Guaman Syarie di
Malaysia, (Nilai: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007), h. 2.
44
3. Mahkamah Rayuan Syariah.34
Kewenangan ketiga Mahkamah Syariah tersebut berbeda di setiap
negerinya. Adapun secara umum kewenangan Mahkamah Rendah Syariah
yaitu:
1. Membicarakan kasus-kasus yang diatur pada regulasi negeri yang berupa
jinayah (pidana) maupun mal (perdata).
2. Memeriksa dan memutuskan kasus tersebut.
3. Menyediakan laporan pengadilan.
4. Membicarakan kasus di tingkat daerah atau kota.35
Kewenangan Mahkamah Tinggi Syariah secara umum terdiri dari:
1. Membicarakan kasus-kasus yang diatur pada regulasi negeri yang berupa
jinayah (pidana) maupun mal (perdata).
2. Mengelola kasus banding.
3. Memeriksa dan memutuskan perkara waris.
4. Menyediakan jurnal pengadilan untuk diterbitkan (hanya beberapa
negeri).36
Kewenangan Mahkamah Rayuan Syariah secara umum yaitu:
1. Memeriksa kasus banding.
2. Mempunyai kuasa untuk membatalkan hukuman cambuk yang ditetapkan
Mahkamah Syariah.
3. Mempunyai kuasa untuk mengurangi hukuman.
4. Menerima banding terdakwa ang dihukum penjara atau denda yang tidak
kurang daru RM. 25.00. 37
Ketiga Mahkamah Syariah tersebut di setiap negeri di Malaysia
tergabung dalam suatu lembaga yang bernama Jabatan Kehakiman seperti
34 Abdul Monir Yaacob, Kehakiman Islam dan Mahkamah Syariah, (Selangor:
Univision Press, 2015), h.190.
35
Yusrizal, “Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia
dan Saudi Arabia”, De Lega Lata, Vol. 2, 2 (Juli-Desember 2017), h. 459.
36
Yusrizal, “Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia
dan Saudi Arabia”, De Lega Lata, h. 460.
37
Yusrizal, “Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia
dan Saudi Arabia”, De Lega Lata, h. 460.
45
Jabatan Kehakiman Syariah Selangor. Sebelum tahun 2009, hakim pada
semua Mahkamah Syariah di seluruh negeri-negeri adalah laki-laki. Hal ini
menjadi sebuah kesenjangan karena di Mahkamah Sivil sudah banyak
perempuan dilantik menjadi hakim. Setelah dilantiknya dua hakim
perempuan pertama di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan sekaligus
hakim perempuan pertama pada Mahkamah Syariah di Malaysia yang dilantik
pada tahun 2009.38
Setelah pelantikan tersebut banyak perempuan dilantik
sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di Malaysia.
Sekarang hakim perempuan pada Mahkamah Syariah Negeri-negeri di
Malaysia terus bertambah, 7 dari 14 negeri di Malaysia sudah melantik
perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah, baik Mahkamah Rayuan,
Mahkamah Tinggi, ataupun Mahkamah Rendah. Keberadaan hakim
perempuan di Malaysia dapat digambarkan sebagai berikut:
No Negeri
Mahkamah
Rayuan
Syariah
Mahkamah
Tinggi
Syariah
Mahkamah
Rendah
Syariah
1 Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur
2 Selangor
3 Pahang
4 Kedah
5 Sabah
6 Terengganu
7 Melaka
38 Ajeng Rizki Pitakasar, “Malaysia Tugaskan Hakim Wanita Pertama di
Pengadilan Syariah” dalam https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
mancanegara/10/07/10/123981-malaysia-tugaskan-hakim-wanita-pertama-di-pengadilan-
syariah, diakses pada 14 Februari 2019.
46
Pada Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur terdapat satu orang hakim
perempuan pada Mahkamah Rendah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala
Lumpur yang bernama Noorbyety binti M. Nasir.39
Selanjutnya Negeri Selangor, dalam Jabatan Kehakiman Syariah
Selangor terdapat banyak hakim perempuan dan merupakan negeri yang
paling banyak melantik perempuan sebagai hakim. Dua hakim perempuan
pada Mahkamah Tinggi Syariah dimana kedua orang ini adalah hakim
perempuan pertama yang dilantik pada Mahkamah Tinggi Syariah di
Malaysia, keduanya bernama Noor Huda binti Roslan dan Nenney Shuhaidah
binti Shamsuddin.40
Selain melantik perempuan sebagai hakim pada Mahkamah Tinggi
Syariah, Negeri Selangor juga melantik perempuan sebagai hakim pada
Mahkamah Rendah Syariah dengan uraian berikut: Satu orang pada
Mahkamah Rendah Syariah Shah Alam yang bernama Shanizah binti
Ngatiman.41
Tiga orang pada Mahkamah Rendah Syariah Petaling Jaya yang
bernama Masroha binti Duki, Nurul Hidayah binti Jani, dan Siti Aminah binti
Kamal.42
Satu orang pada Mahkamah Rendah Syariah Gombak Barat yang
bernama Noralwani binti Waimin.43
Satu orang pada Mahkamah Rendah
Syariah Gombak Timur yang bernama Noranizan binti Sufian.44
Dan satu
39 Struktur Organisasi Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
dalam:http://www.mswp.gov.my/images/files/CartaOrganisasi/Carta%20Organisasi%20
MSWP%20KL%20-%20sehingga%2031072018.pdf, diakses pada 04 Februari 2019.
40
Selangor Lantik Hakim Wanita Mahkamah Tinggi Syariah Pertama di
Malaysia, Buletin JAKESS, (Shah Alam), 2016, h.5.
41
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Shah Alam, dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-syariah/shah-
alam, diakses pada 04 Februari 2019.
42
Struktut Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Petaling Jaya, dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-syariah/petaling-
jaya, diakses pada 04 Februari 2019.
43
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Gombak Barat, dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-syariah/gombak-
barat, diakses pada 04 Februari 2019.
44
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Gombak Timur, dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-syariah/gombak-
timur, diakses pada 04 Februari 2019.
47
orang pada Mahkamah Rendah Syariah Ampang yang bernama Maryam
Jameelah binti Ali Sabri.45
Pada Negeri Pahang terdapat dua hakim perempuan di Mahkamah
Rendah Syariah. Satu orang hakim perempuan pada Mahkamah Rendah
Syariah Pekan yang bernama Norhidayah binti Mat Darus.46
Dan satu orang
pada Mahkamah Rendah Syariah Jerantut yang bernama Sarah Fawzia binti
Ahmad Fuzi.47
Sama dengan Negeri Pahang, pada Negeri Kedah terdapat dua hakim
perempuan pada Mahkamah Rendah Syariah. Satu orang pada Mahkamah
Rendah Syariah Yan yang bernama Redwana binti Mat Radzuan.48
Dan satu
orang pada Mahkamah Rendah Padang Terap yang bernama Norlida binti
Zakaria.49
Pada Negeri Sabah terdapat satu hakim perempuan. Tepatnya pada
Mahkamah Rendah Syariah Papar yang bernama Nooryasmen Sharini binti
Abasr.50
Negeri Terengganu adalah negeri pertama yang melantik perempuan
sebagai hakim pada Mahkamah Rayuan Syariah. Prof. Datuk Seri Dr. Zaleha
Kamarudin seorang rektor Universitas Islam Antarbangsa Malaysia (UIAM)
45 Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Ampang, dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-syariah/ampang,
diakses pada 04 Februari 2019.
46
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Pekan, dalam
http://pahang.jksm.gov.my/images/korporat/cartaorganisasi/mrs/3%20carta%20mrs%20p
ekan.pdf, diakses pada 04 Februari 2019.
47
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Jerantut, dalam
http://pahang.jksm.gov.my/images/korporat/cartaorganisasi/mrs/11%20carta%20mrs%20j
erantut.pdf, diakses pada 04 Februari 2019,
48
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Yan, dalam
http://kedah.jksm.gov.my/userfiles/files/Direktori/Yan/FORMAT%20CARTA%20UPDA
TE%201.pdf, diakses pada 04 Februari 2019.
49
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Padang Terap, dalam
http://kedah.jksm.gov.my/userfiles/files/Daerah/Padang%20Terap/CARTA%20ORGANI
SASI%20MRSPT%202019.pdf, diakses pada 04 Februari 2019.
50
Struktur Organisasi Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Sabah, dalam
http://sabah.jksm.gov.my/wp-content/uploads/CARTA-ORGANISASI-2017-WARAN-
11.12.2017.png, diakses pada 04 Februari 2019.
48
adalah perempuan pertama di Malaysia yang dilantik sebagai hakim pada
Mahkamah Rayuan Syariah. Selain pada Mahkamah Rayuan Syariah, Negeri
Terengganu juga melantik tiga orang perempuan untuk ditugaskan menjadi
hakim pada Mahkamah Rendah Syariah, mereka adalah Noor Afzan binti
Adam, Nurul Huda binti Abd Rahman dan Siti Salwa binti Mustapa.51
Selanjutnya pada Negeri Melaka ada dua hakim perempuan pada
Mahkamah Rendah Syariah. Satu orang pernah bertugas menjadi hakim pada
Mahkamah Rendah Syariah Melaka Tengah yang bernama Jamiah binti
Husin.52
Dan satu orang yang masih bertugas menjadi hakim pada Mahkamah
Rendah Syariah Jasin yang bernama Aisah binti Saleh.53
D. Hakim Perempuan pada Fatwa Ulama di Malaysia
Fatwa secara etimologi dapat diartikan dengan petuah, nasihat,
jawaban yang diberikan seorang mufti yang berkaitan dengan Hukum Islam.54
Secara terminologi fatwa dapat diartikan dengan penjelasan berkaitan dengan
Hukum Allah tentang sesuatu berdasarkan dalil syarak bagi orang yang
ditanya akan hal tersebut.55
Wahbah al-Zuhaylî mendefinisikan fatwa dengan
penjelasan hukum syarak yang terjadi pada kejadian-kejadian terkini dan
fatwa itu lebih khusus daripada ijtihad.56
51 Tauliah Hakim Rayuan Syarie Wanita Pertama Di Malaysia & Negeri
Terengganu, Buletin JKST, (Kuala Terengganu), 2016-2017, h.5.
52
Profil Mahkamah Rendah Syariah Melaka Tengah, dalam
http://www.mahsyariahmelaka.gov.my/index.php/ms/profil-korporat/info-
bahagian/mahkamah/mrs-daerah-melaka-tengah, diakses pada 04 Februari 2019.
53
Profil Mahkamah Rendah Syariah Jasin, dalam
http://mahsyariahmelaka.gov.my/index.php/ms/profil-korporat/info-
bahagian/mahkamah/mrs-daerah-jasin, diakses pada 04 Februari 2019.
54
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 475.
Lihat juga Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 105.
55
Mohd Farid bin Mohd Shahran, “Fatwa dalam Usul fiqah seta Kepentingannya
dalam Lingkungan Semasa” dalam Mohd Farid bin Mohd Shahran dan Mohamad A‟sim
bin Ismail, Fatwa dan Perbezaan Pandangan: Cabaran dan Penyelesaian, (Kuala Lumpur:
IKIM Press, 2018), h.40.
56
Wahbah al-Zuhaylî, Qadhayâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu‟âsir, (Damaskus: Dâr
al-Fikr, 2012), jilid 2, h. 140.
49
Di Malaysia fatwa dijadikan sebagai pandangan resmi negara yang
berkaitan dengan Hukum Islam. Institusi fatwa di Malaysia terbagi menjadi
dua jenis yaitu Jawatankuasa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama
Islam Malaysia (Jawatankuasa Fatwa MKI) dan Jawatankuasa Fatwa Negeri
(JFN). Sebagaimana sistem pemerintahan Malaysia adalah federal maka
kewenangan mengeluarkan fatwa adalah kewenangan masing-masing negeri
kecuali Wilayah Persekutuan. Sedangkan Jawatankuasa Fatwa MKI berperan
sebagai penyelaras dalam hal kefatwaan khususnya membahas isu yang
mempunyai kepentingan nasional.57
Isu pelantikan perempuan sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di
Malaysia sudah menjadi kontroversi. Dikarenakan perbedaan pendapat di
kalangan ulama klasik dan kontemporer menjadi alasan kontroversi tersebut.
Berkembangnya kajian-kajian tentang kesetaraan gender dan juga banyaknya
perempuan yang menjadi akademisi bahkan politisi membuat masyarakat
Malaysia mempertanyakan keberadaan perempuan dalam lembaga kehakiman
syariah di Malaysia karena dalam lembaga kehakiman sivil (umum) sudah
banyak perempuan yang menjadi hakim. Oleh karena itu, banyak institusi
fatwa baik institusi kebangsaan maupun negeri-negeri mengeluarkan fatwa
tentang hukum perempuan dilantik sebagai hakim pada Mahkamah Syariah.
Fatwa yang pertama tentang hukum melantik perempuan menjadi
hakim Mahkamah Syariah adalah fatwa kebangsaan yang di keluarkan oleh
Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam
Malaysia yang bersidang pada 4-6 April 2006 yang memutuskan bahwa
perempuan harus dilantik sebagai hakim di Mahkamah Syariah dalam kasus
57 Abdul Shukor bin Husin, “Institusi Kefatwaan di Malaysia Cabaran
Pemerkasaan” dalam Mohd Farid bin Mohd Shahran dan Mohamad A‟sim bin Ismail,
Fatwa dan Perbezaan Pandangan: Cabaran dan Penyelesaian, h.6-8.
50
selain hudud dan qisâs. Untuk pemilihan dan pelantikan hakim tersebut
hendaklah dibuat dengan penuh teliti dan teratur.58
Selain fatwa kebangsaan tersebut, lembaga fatwa di negeri-negeri
yang berada dalam Federasi Malaysia juga mengeluarkan fatwa tentang
hukum melantik perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah. Negeri-
negeri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Negeri Kedah
Persidangan Jawatankuasa Fatwa Negeri Kedah yang bersidang
pada 11 November 1989 menghasilkan fatwa bahwa perempuan tidak
boleh dilantik menjadi hakim dan juga tidak boleh diangkat menjadi
pemimpin di bidang apapun.59
Fatwa tersebut telah dihapus dengan fatwa yang diputuskan atas
sidang Jawatankuasa Fatwa Negeri Kedah yang bersidang pada 26
September 2010 dimana hasil pada sidang itu mengeluarkan fatwa bahwa
perempuan harus dilantik sebagai hakim di Mahkamah Syariah dan hanya
boleh menjadi hakim pada perkara mal (perdata) saja. Fatwa ini
berlandaskan pada kebutuhan saat ini dan juga pendapat dari Muhammad
Said Ramadhan al-Buthy dan Dr. Yusuf al-Qaradhawi.60
2. Negeri Selangor
Persidangan Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor yang bersidang
pada 26-27 Juni 2006 mengeluarkan fatwa bahwa perempuan tidak harus
memegang jabatan sebagai hakim di Mahkamah Syariah. Keputusan ini
merujuk kepada Q.S. al-Nisâ (04): 34 dan Hadis Nabi Muhammad SAW
58 Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Kompilasi Pandangan Hukum
Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam
Malaysia, (Selangor: JAKIM, 2015), h. 212.
59
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/10635,
diakses pada 01 Februari 2019.
60
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/12201, diakses pada 01
Februari 2019
51
yang artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan” (H.R. al-Bukhâri, al-Tirmidzi, al-Nasâi).61
Fatwa tersebut sudah tidak berlaku karena fatwa terbaru dari hasil
sidang Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor yang bersidang pada 12 April
2016 yang memutuskan bahwa perempuan yang menjabat sebagai hakim
di Mahkamah Syariah hanya boleh mengadili perkara mal (perdata) saja
tidak dibolehkan mengadili perkara jinayah berat (al-Dima‟).62
3. Negeri Sarawak
Lembaga fatwa Negeri Sarawak bersidang pada sidang yang ke-10
pada 18 September 2006 dan mengeluarkan fatwa bahwa Lembaga Fatwa
Negeri Sarawak setuju kepada fatwa kebangsaan hasil Muzakarah
Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam
yang ke 74 bahwa perempuan harus dilantik menjadi hakim di Mahkamah
Syariah dalam perkara selain hudud dan qisâs dan untuk pemilihan dan
pelantikan hakim tersebut hendaklah dibuat dengan penuh teliti dan
teratur.63
4. Wilayah Persekutuan
Fatwa Wilayah Persekutuan pada tahun 2006 mengeluarkan fatwa
bahwa perempuan harus dilantik menjadi hakim di Mahkamah Syariah
dalam perkara selain hudud dan qisâs. Untuk pemilihan dan pelantikan
hakim tersebut dibuat dengan penuh teliti dan teratur. Fatwa ini
61 Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor dalam
http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-tahunan/keputusan-fatwa-
xwarta/2006/725-hukum-pelantikan-hakim-syar-ie-wanita, diakses pada 01 Februari
2019.
62
Fatwa Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor
dalam http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-tahunan/keputusan-
fatwa-xwarta/2016/664-fatwa-hukum-pelantikan-hakim-syar-ie-wanita, diakses pada 01
Februari 2019.
63
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/11409, diakses pada 01
Februari 2019.
52
diwartakan (disahkan) pada 03 Januari 2007 dalam Warta Kerajaan Seri
Paduka Baginda.64
5. Negeri Kelantan
Fatwa yang dihasilkan dari sidang Mesyuarat Jemaah Ulama
Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan yang diadakan
pada 30 April 2008 yaitu perempuan harus menjadi hakim dalam perkara
tertentu selain hudud dan qisâs.65
6. Negeri Pahang
Jabatan Mufti Negeri Pahang yang bersidang pada 09 Oktober
2012 dimana sidang tersebut dinamakan Mesyuarat Jawatankuasa
Perunding Hukum Syarak Negeri Pahang Kali ke-7 menghasilkan fatwa
bahwa hukum pelantikan perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah
adalah harus tetapi hanya untuk perkara mal (perdata) saja.
Fatwa ini merujuk kepada Q.S. al-Nisâ (04): 34 yang menyatakan
kepemimpinan laki-laki diatas perempuan. Menurut fatwa ini hal tersebut
bukanlah nash yang qath‟i jika dihukumi untuk melantik perempuan
sebagai hakim karena selanjutnya Allah berfirman dalam ayat itu bahwa
laki-laki memberikan nafkah sebagian harta mereka. Hal tersebut juga
didukung oleh ayat lain yaitu Q.S. al-Baqarah (02): 228.
Selain merujuk pada ayat tersebut, fatwa ini juga merujuk kepada
pendapat Imam al-Tabari yang berpendapat bahwa Q.S. al-Nisâ (04): 34
menunjukkan kepada kepemimpinan laki-laki dalam hal kekeluargaan,
tidak sampai kelayakan perempuan menjadi hakim. Menurut beliau
perempuan harus dilantik menjadi hakim karena tidak ada larangan
perempuan untuk berijtihad dan mengeluarkan fatwa.66
64 E-Fatwa Mufti Wilayah Persekutuan, dalam
http://efatwa.muftiwp.gov.my/fatwa/58f12a7f42a9ee0593b5f81b1bb017c9?, diakses pada
01 Februari 2019.
65
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/10807, diakses pada 01
Februari 2019.
66
Bahagian Fatwa Jabatan Mufti Negeri Pahang, dalam
http://mufti.pahang.gov.my/index.php/perkhidmatan/bahagian-fatwa/keputusan-fatwa/22-
53
7. Negeri Sabah
Fatwa yang dihasilkan dari sidang Muzakarah Majlis Fatwa Negeri
Sabah dimana telah bersidang di Hotel Promenade, Kota Kinabalu, Sabah
pada tanggal 02-04 Desember 2013. Pada sidang tersebut, majlis setuju
bahwa perempuan tidak harus dilantik menjadi hakim di Mahkamah
Syariah karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Jumhur
Fuqaha. Dan juga setuju bahwa ada beberapa ulama yang berpandangan
bahwa perempuan harus dilantik sebagai hakim di Mahkamah Syariah
dalam perkara selain hudud dan qisâs.
Oleh karena itu, muzakarah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan
harus dilantik menjadi hakim di Mahkamah Syariah hanya pada perkara
mal (perdata) saja, kecuali yang berkaitan dengan Wali Hakim.67
8. Negeri Pulau Pinang
Berbeda dengan negeri-negeri yang lain, Mesyuarat Jawatankuasa
Fatwa Negeri Pulau Pinang yang bersidang pada 22-23 April 2016
memfatwakan bahwa:
a. Tidak setuju dengan saran melantik perempuan sebagai hakim di
Mahkamah Syariah dan tetap memelihara keputusan Mesyuarat
Jawatankuasa Fatwa Negeri Pulau Pinang Bil. 4/2012 tanggal 17 Juli
2012.
b. Melantik perempuan sebagai hakim bukanlah penyelesaian untuk
menangani isu-isu yang ada dan pelantikan tersebut belum menjadi
kebutuhan pada saat ini.
c. Menyarankan kepada Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia agar
menambahkan jumlah hakim dan mengutamakan laki-laki sebagai
hakim di Mahkamah Syariah dan juga memaksimalkan waktu tugas
keputusan-fatwa-2012/67-hukum-perlantikan-hakim-syarie-wanita-kmjphs, diakses pada
01 Februari 2019.
67
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/16036,
diakses pada 01 Februari 2019.
54
para hakim seperti percobaan pada waktu malam yang pernah
dilaksanakan di Mahkamah Syariah di Negeri Selangor.68
Selain negeri-negeri yang disebutkan yaitu Negeri Perak, Negeri
Perlis, Negeri Sembilan, Negeri Melaka, Negeri Terengganu dan Negeri
Johor penulis tidak mendapatkan tentang data tersebut akan tetapi Negeri
Melaka dan Negeri Terengganu sudah melantik perempuan sebagai hakim
pada Mahkamah Syariah di negeri tersebut.
68 E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/10526,
diakses pada 01 Februari 2019.
55
BAB IV
HAKIM PEREMPUAN PADA MAHKAMAH TINGGI
SYARIAH SELANGOR
A. Sejarah Pelantikan Hakim Perempuan pada Mahkamah Syariah
Selangor
Isu pelantikan perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah
Negeri-negeri di Malaysia telah lama diperbincangkan. Sejak Malaysia
meratifikasi Convention on the Elimination all Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW) pada tahun 1995, Malaysia mulai terbuka akan
pentingnya peran perempuan dalam suatu negara dan mulai merubah regulasi-
regulasi yang mendiskriminasi perempuan.1
Perdebatan dan pembahasan isu hakim perempuan di Mahkamah
Syariah ini telah berkembang di Malaysia sejak tahun 2000. Diantaranya
yaitu sesi percambahan fikiran (Brain Storming) yang dianjurkan oleh
Yayasan Pembangunan Wanita yang menyediakan masukan pada diskusi
Bengkel Wanita 2000 yang diadakan pada 17-18 Agustus 2000. Diantara
salah satu hasil diskusinya yaitu memberikan saran agar melantik hakim
perempuan pada Mahkamah Syariah di Malaysia.2
Selanjutnya yang menjadi cikal bakal banyak pegiat kesetaraan gender
di Malaysia menyarankan agar perempuan dilantik di Mahkamah Syariah
adalah kasus Aida Melly Tan Mutalib pada tahun 2003 dimana kasus tersebut
diselesaikan Mahkamah Syariah pada waktu 8 tahun padahal kasus tersebut
hanya masalah perceraian dan nusyuz. Hal ini membuktikan bahwa
kurangnya hakim pada Mahkamah Syariah terutama perempuan.3
1 Fadilla Shaharom, “Ratifikasi CEDAW di Malaysia: Kesan Menurut Undang-
undang dan Hukum Syarak”, Journal of Shariah Law Research, 2, 2, (2017), h. 208-213.
2 Zaini Nasohah dkk, “Analisis Literatur Isu Pelantikan Hakim Syarie di
Malaysia”, International Journal of Islamic and Civilizational Studies, 03, 01 (2016), h.
64.
3 Zaini Nasohah dkk, “Analisis Literatur Isu Pelantikan Hakim Syarie di
Malaysia”, h. 64.
56
Sebelum dikeluarkannya fatwa oleh Jawatankuasa Majlis Kebangsaan
Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia yang mengharuskan perempuan
dilantik di Mahkamah Syariah pada tahun 2006. Penulis mendapatkan
beberapa penelitian yang membahas tentang hakim perempuan di Mahkamah
Syariah Malaysia, dimana penulisan ini berisi tentang prospek dilantiknya
perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah di Malaysia. Penelitian
tersebut diantaranya:
1. Tahun 2004, tesis yang ditulis oleh Norizan Awang yang berjudul
Perlantikan Wanita Sebagai Hakim Menurut Islam: Suatu Kajian
Berasaskan Kepada Realiti Semata.4 Dan jurnal yang ditulis oleh Siti
Zalikhah binti Mohd Nor yang berjudul Hakim Wanita: Satu Paradoks.
2. Tahun 2006, jurnal yang ditulis oleh Sheikh Ghazali bin Haji Abdul
Rahman yang berjudul Kriteria Pelantikan Hakim Syarie Wanita.5
Pada tanggal 28-30 November 2005, sidang Ahli Jawatankuasa Panel
Kajian Syariah ke 53 menghasilkan keputusan bahwa perempuan harus
dilantik menjadi hakim pada Mahkamah Syariah selain perkara hudud dan
qisâs karena perubahan taraf hidup seperti pendidikan yang membuat
perempuan layak dilantik menjadi hakim.6
Pada tanggal 4-6 April 2006 keputusan tersebut dibahas dalam sidang
Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan dan menjadikan keputusan tersebut menjadi
fatwa nomor 1/73/2006 dimana fatwa tersebut menyebutkan perempuan harus
dilantik sebagai hakim di Mahkamah Syariah dalam kasus selain hudud dan
4 Norizan Awang, “Perlantikan Wanita Sebagai Hakim Menurut Islam: Suatu
Kajian Berasaskan Kepada Realiti Semata”, (Skripsi S-1 Akademi Pengajian Islam,
Universitas Malaya, 2004)
5 Zaini Nasohah dkk, “Analisis Literatur Isu Pelantikan Hakim Syarie di
Malaysia”, h. 69-70.
6 Siti Maszuriyat binti Aziz, “Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap
Pengendalian Kes oleh Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan”, (Skripsi S-1 Fakultas Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia,
2017), h. 59.
57
qisâs. Untuk pemilihan dan pelantikan hakim tersebut hendaklah dibuat dengan
penuh teliti dan teratur.7
Setelah fatwa tersebut dikeluarkan, tidak ada satu perempuan pun
yang dilantik menjadi hakim pada Mahkamah Syariah di Malaysia. Hingga
pada tanggal 19-21 Februari 2009 makalah yang berjudul “Perlantikan Hakim
Syarie Wanita: Suatu Keperluan Semasa” yang disediakan BDP pada Rapat
Ketua Hakim Syarie ke-48. Pada Rapat Ketua Hakim Syarie Seluruh
Malaysia ke-49 pada tanggal 14-16 Juni 2009 menyetujui pelantikan
perempuan sebagai hakim dan pelantikan tersebut dimulai dari Mahkamah
Syariah Wilayah Persekutuan. Selanjutnya pada Rapat Ketua Hakim Syarie
Seluruh Malaysia ke-50 yang diadakan pada tanggal 2-4 Desember 2009
memutuskan bahwa Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan akan melantik
hakim perempuan pada Mahkamah Rendah Syariah dengan melantik pegawai
syariah Gred LS 44.8
Pada tahun 2010, Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan pada
tanggal 25 Januari 2010 menyetujui saran pelantikan 2 orang perempuan
untuk dilantik pada Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan dan
menyarankan kepada Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia (JKSM) agar
membuat rapat dengan Jabatan Peguam Negara mengenai hal tersebut dan hal
ini tertulis dalam notulen rapat khusus MAIWP nomor 1/2010.9
Pada tanggal 29-31 Maret diadakan Rapat Ketua Hakim Syarie
Seluruh Malaysia ke-51 yang menghasilkan keputusan bahwa pegawai
syariah telah diberikan tugas menjadi Pendaftar Tinggi Syariah di Mahkamah
Syariah Wilayah Persekutuan yang selanjutnya akan dilantik menjadi hakim.
7 Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Kompilasi Pandangan Hukum
Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam
Malaysia, (Selangor: JAKIM, 2015), h. 212.
8 Siti Maszuriyat binti Aziz, “Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap
Pengendalian Kes oleh Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan”, h. 59.
9 Siti Maszuriyat binti Aziz, “Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap
Pengendalian Kes oleh Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan”, h. 60.
58
Dan pelantikan tersebut disetujui oleh Yang di-Pertuan Agong (Raja
Malaysia) pada tanggal 4 Mei 2010.10
Dan dua orang perempuan bernama
Suraya Ramli menjadi hakim Mahkamah Rendah Syariah Putra Jaya dan
Rafidah Abdul Razak dilantik menjadi hakim Mahkamah Rendah Syariah
Kuala Lumpur pada tanggal 4 Juli 2010.11
Setelah pelantikan tersebut banyak negeri-negeri mulai mengeluarkan
fatwa tentang pelantikan perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah.
Diantaranya Negeri Kedah pada tanggal 26 September 2010 yang
mengeluarkan fatwa bahwa perempuan harus dilantik sebagai hakim di
Mahkamah Syariah dan hanya boleh menjadi hakim pada perkara mal
(perdata) saja. 12
Setelah Negeri Kedah, Negeri Pahang mengeluarkan fatwa pada
tanggal 09 Oktober 2012 dimana fatwa tersebut mengatur bahwa hukum
pelantikan perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah adalah harus
tetapi hanya untuk perkara mal (perdata) saja.13
Pada tahun 2013 Negeri Sabah dalam sidang Muzakarah Majlis Fatwa
Negeri Sabah yang bersidang pada tanggal 02-04 Desember 2013
menghasilkan fatwa bahwa perempuan tidak harus dilantik menjadi hakim di
Mahkamah Syariah karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
oleh Jumhur Fuqaha. Dan juga setuju bahwa ada beberapa ulama yang
berpandangan bahwa perempuan harus dilantik sebagai hakim di Mahkamah
Syariah dalam perkara selain hudud dan qisâs. Oleh karena itu, muzakarah
10 Siti Maszuriyat binti Aziz, “Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap
Pengendalian Kes oleh Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan”, h. 60.
11
Vaudine England, Malaysian groups welcome first Islamic women judges
dalam https://www.bbc.com/news/10567857 diakses pada 18 Februari 2019.
12
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/12201, diakses pada 01
Februari 2019
13
Bahagian Fatwa Jabatan Mufti Negeri Pahang, dalam
http://mufti.pahang.gov.my/index.php/perkhidmatan/bahagian-fatwa/keputusan-fatwa/22-
keputusan-fatwa-2012/67-hukum-perlantikan-hakim-syarie-wanita-kmjphs, diakses pada
01 Februari 2019.
59
mengeluarkan fatwa bahwa perempuan harus dilantik menjadi hakim di
Mahkamah Syariah hanya pada perkara mal (perdata) saja, kecuali yang
berkaitan dengan Wali Hakim.14
Pada Mei tahun 2015, Negeri Selangor mengubah atau
mengamandemen Enakmen Pentadbiran Agama Islam 2003. Diantara pasal-
pasal yang diubah yaitu pasal yang mengatur tentang Mahkamah Tinggi
Syariah yaitu seksyen 58 dan sekyen 66 sebagaimana sudah penulis uraikan
perubahannya pada sub-bab sebelum ini.15
Dan perubahan tersebut beralasan
karena Sultan Selangor dan Ketua Jabatan Kehakiman bercita-cita ingin
melantik perempuan menjadi hakim di Mahkamah Tinggi Syariah Selangor.
Jika Enakmen tersebut tidak diubah, maka tidak ada yang memenuhi syarat
untuk dilantik menjadi hakim di Mahkamah Tinggi Syariah karena harus
memangku jabatan menjadi hakim pada Mahkamah Rendah Syariah selama
10 tahun.16
Pada 12 April 2016, Negeri Selangor juga mengubah fatwanya yang
tidak mengharuskan perempuan dilantik menjadi hakim pada Mahkamah
Syariah (Fatwa tahun 2006).17
Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor
mengubah fatwa tersebut dengan memutuskan bahwa dibolehkannya
perempuan dilantik sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di Negeri
Selangor dengan hanya boleh mengadili perkara mal (perdata) saja tidak
14 E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM),
dalam http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/16036,
diakses pada 01 Februari 2019.
15
Musa Awang, Perkemas Enakmen Islam Negeri dalam
https://www.bharian.com.my/rencana/komentar/2018/02/384652/perkemas-enakmen-
islam-negeri diakses pada 18 Februari 2019.
16
Nenney Sushaidah binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Wawancara Pribadi, Shah Alam, 7 Desember 2018.
17
Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor dalam
http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-tahunan/keputusan-fatwa-
xwarta/2006/725-hukum-pelantikan-hakim-syar-ie-wanita, diakses pada 01 Februari
2019.
60
dibolehkan mengadili perkara jinayah berat (al-Dima‟).18
Alasan perubahan
fatwa ini telah penulis uraikan pada sub-bab sebelumnya.
Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya pada tanggal 27
Juni 2016 Sultan Selangor yaitu Sultan Sharafuddin Idris Shah melalntik dua
orang perempuan yaitu Nenney Shushaidah binti Shamsuddin dan Noor Huda
binti Roslan sebagai hakim Mahkamah Tinggi Syariah Selangor. Kedua
hakim tersebut adalah hakim perempuan pertama pada Mahkamah Tinggi
Syariah di Malaysia.19
B. Kedudukan Hukum Hakim Perempuan Pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor
Kedudukan hukum atau keabsahan perempuan menjadi hakim pada
Mahkamah Tinggi Syariah Selangor jika diklasifikasikan menjadi beberapa
perspektif maka dapat diuraikan kedalam tiga perspektif, yaitu:
1. Hukum Islam
Sebagaimana telah diuraikan pada BAB II tentang hukum
melantik perempuan menjadi hakim dalam khazanah fikih Islam bahwa
mayoritas ulama baik klasik maupun kontemporer melarangnya.
Beberapa alasan ulama tersebut melarang perempuan menjadi hakim
yaitu:
a. Berdalil dengan Q.S. al-Nisâ (04): 34 yang berbunyi:
أ ب أفما ث ثعغ ع ثعؼ ٱلل ب فؼ ع ٱغبء ث جبي ل ٱش
Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dengan apa
yang Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (Perempuan).”
b. Hadis tentang kepemimpinan perempuan, yaitu:
18 Fatwa Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor
dalam http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-tahunan/keputusan-
fatwa-xwarta/2016/664-fatwa-hukum-pelantikan-hakim-syar-ie-wanita, diakses pada 01
Februari 2019.
19
Selangor Lantik Hakim Wanita Mahkamah Tinggi Syriah Pertama di Malaysia
dalam http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/arkib/berita/450-selangor-
lantik-hakim-wanita-mahkamah-tinggi-syariah-pertama-di-malaysia diakses pada 18
Februari 2019.
61
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R. Ahmad, al-Bukhȃri, al-
Tirmîdzi dan al-Nasȃˋi).20
c. Qiyas dari larangan perempuan menjadi imam salat.
Dalam hal ini, perlu untuk mendeskripsikan hasil analisis penulis
terhadap hukum melantik perempuan menjadi hakim dalam perspektif
hukum Islam karena hukum bisa saja berubah sebagaimana kaidah yang
dipopulerkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) yang artinya:
“Berubahnya fatwa disebabkan berubahnya waktu, tempat, keadaan, niat,
dan kebiasaan (adat)”.21
Dalam memahami Q.S. al-Nisâ (04):34 beberapa ulama tafsir
menafsirkan ayat tersebut secara umum. Mereka berpendapat bahwa ayat
tersebut menjelaskan bahwa laki-laki harus menjadi pemimpin untuk
perempuan pada semua bidang kehidupan.
Sebab turun ayat tersebut adalah ketika datang seorang
perempuan kepada Nabi Muhammad SAW mengadu bahwa suaminya
menampar ia di wajahnya dan perempuan tersebut ingin meminta Nabi
Muhammad SAW untuk menerapkan qisâs terhadap suaminya. Maka
Nabi SAW menyetujuinya untuk melaksanakan hukuman qisâs terhadap
suami perempuan tersebut. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini dan
Nabi SAW tidak melaksanakan hukuman qisâs terhadap suami
perempuan tersebut.22
20
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008) jilid
8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Alamiyah, 1998), jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, (Kairo: Dâr al-„Alamiyah, 2017) h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi,
Sunan al-Nasȃˋi, (Kairo: Dâr al-„Alamiyah, 2017) h. 667.
21
Syamsu al-Dîn Abi „Abdillah Muhammad bin Qayyim al-Jauziyyah, I‟lâm al-
Muwaqi‟in „an Rabb al-„Alamȋn, (Damaskus: Maktabah Dâr al-Bayân, 2000), jilid 2, h.
13.
22
Wahbah al-Zuhaylȋ, al-Tafsȋr al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-
Minhaj, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), jilid 3, cet. 2, h. 57.
62
Jika melihat kepada sebab turunnya ayat ini, maka dapat dipahami
ayat tersebut turun perihal masalah keluarga dan pemimpin yang
dimaksud pada kata qawwâmûn adalah pemimpin keluarga. Penulis
berpendapat bahwa ulama yang menafsirkan ayat tersebut secara umum
karena berdasar kepada kaidah fikih yang berbunyi:
اعجبسح ثع افع ال ثخظص اغجت
Artinya: “Tolak ukur suatu hukum adalah keumuman lafaznya
bukan kekhususan sebabnya”.23
Diantara ulama tafsir yang berpendapat demikian yaitu: Imam
Ibnu Katsȋr (w. 774 H) berpendapat bahwa laki-laki lebih baik dari
perempuan, oleh sebab itu kenabian hanya khusus untuk laki-laki
termasuk kekuasaan tertinggi negara dan hakim.24
Imam al-Syaukanȋ (w. 1255 H) berpendapat ayat ini sebagai tanda
kelebihan laki-laki dibanding perempuan dimana Allah memberikan
kepada laki-laki kelebihan untuk menjadi khalifah, raja, hakim,
pemimpin dan berperang.25
Imam Wahbah al-Zuhaylȋ menjelaskan bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan, juga pembesarnya, dan hakim atas adab
perempuan jika melenceng. Ia melanjutkan bahwa laki-laki menjadi
pemimpin atas perempuan dengan menjaga perempuan maka wajib bagi
laki-laki untuk berjihad sedangkan perempuan tidak. Dan bagian waris
laki-laki dua kali lipat dari perempuan karena laki-laki menanggung
beban mengeluarkan nafkah atas perempuan.26
23 Tâj al-Dȋn „Abdul Wahâb bin „Ali al-Subki, al-Asybah wa al-Nadâir, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991), jilid 2, h.134.
24
„Imad al-Dȋn Abi al-Fadâ‟ Ismail bin „Umar, Tafsȋr al-Quran al-„Adȋm,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 2012), jilid 1, cet. 3, h. 446.
25
Muhammad bin „Ali al-Syaukânî, Fath al-Qâdir, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2007),
jilid 1, h. 215.
26
Wahbah al-Zuhaylȋ, al-Tafsȋr al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-
Minhaj, jilid 3, cet. 2, h. 57.
63
Kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut yaitu hanya laki-laki
yang dapat dilantik menjadi hakim karena kelebihan yang telah Allah
SWT berikan kepadanya.
Selain daripada pendapat diatas, terdapat ulama tafsir yang
menafsirkan ayat tersebut secara khusus atau menjadikan sebab turun
ayat sebagai pertimbangan menetapkan hukum. Penulis berpendapat
bahwa ulama yang menafsirkan ayat tersebut secara khusus berlandaskan
kepada kaidah fikih yang berbunyi:
اع ٠خض ثبمشائ
Artinya: “Nash yang bersifat umum dapat dikhususkan dengan
petunjuk (qarinah) yang lain”.27
Dalam menerapkan kaidah ini kepada Q.S. al-Nisâ (04):34 maka
banyak sekali indikasi (qarinah) yang menjelaskan ayat tersebut adalah
ayat yang mengatur tentang kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Hal
ini sejalan dengan pendapat beberapa ulama, diantaranya:
Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w. 310 H) menafsirkan ayat tersebut
dengan menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas istri mereka
dalam mendidik istri mereka dan wajib memberikan hak-hak istri
mereka. Ia melanjutkan bahwa kelebihan yang diberikan Allah kepada
laki-laki adalah karena laki-laki memberikan mahar kepada perempuan
dan menafkahi kehidupan perempuan.28
Imam Ibnu al-„Arabȋ (w. 543 H) berpendapat bahwa Allah
melebihkan laki-laki karena kepemimpinan laki-laki untuk memberikan
mahar dan nafkah untuk istri, membaguskan kehidupan dan pakaian istri,
memerintahkan istri untuk taat kepada Allah, dan menyempurnakan
syi‟âr Islam seperti salat dan puasa.29
27 Badr al-Dȋn bin Bahâdir al-Zarkasyi, Bahr al-Muhit fi Ushul al-Fiqh, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2013), jilid 3, cet.3, h. 511.
28
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarȋr al-Tabarȋ, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-
Quran, (Kairo: Hijr, 2001), jilid 6, h. 687.
29
Abi Bakr Muhammad bin „Abdullah al-„Arabȋ, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), jilid 1, cet. 3, h.530.
64
Imam al-Qurtubȋ menafsirkan ayat tersebut sebagai kewajiban
laki-laki terhadap istri mereka, sehingga ketika istri sudah menjaga hak-
hak suami maka diperbolehkan kepada seorang laki-laki untuk berbuat
buruk kepadanya sebagaimana yang diatur pada akhir ayat tersebut. Ia
melanjutkan bahwa kepemimpinan laki-laki pada ayat tersebut adalah
kepada keluarganya dimana laki-laki mendidik istrinya, menahannya
dalam rumah dan mencegahnya dari perbuatan buruk. Dan kelebihan
yang Allah berikan untuk laki-laki dengan kelebihan nafkah, akal,
kekuatan dalam urusan jihad, kelebihan dalam pembagian harta waris,
dan memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan.30
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan berpendapat
bahwa kata al-rijâl dalam al-Quran tidak selalu diterjemahkan dengan
arti laki-laki. Banyak ulama yang memahami kata al-rijâl dengan arti
para suami. Jika kata tersebut diterjemahkan dengan arti laki-laki tentu
saja konsiderannya tidak demikian karena lanjutan ayat tersebut jelas
berbicara tentang kehidupan rumah tangga. Dan kelebihan laki-laki yang
dberikan Allah kepadanya adalah kelebihan fisik dan psikis.31
Jika merujuk kepada penafsiran yang kedua terhadap Q.S. al-Nisâ
(04):34 maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil terhadap
pelarangan perempuan menjadi hakim karena ayat tersebut mengatur
tentang keluarga.
Selain berdalil kepada Q.S. al-Nisâ (04):34, ulama yang melarang
perempuan menjadi hakim berhujjah dengan hadis yang berbunyi:
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل
30 Abi „Abdillah bin Muhammad al-Qurtubȋ, al-Jâmi‟ li Ahkam al-Quran, (Kairo:
Dâr al-Hadits, 2010), jilid 5, h. 152.
31
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2012), jilid 2, cet.5, h. 513.
65
Artinya: “Tidaklah akan berbahagia kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”. (H.R. Ahmad, al-Bukhȃri, al-
Tirmîdzi dan al-Nasȃˋi).32
Jika dilihat secara tekstual, hadis ini tergolong hadis misogini
yaitu hadis yang mengandung pemahaman kebencian terhadap
perempuan.33
Ulama yang memahami hadis tersebut secara tekstual
menghukumi bahwa segala urusan yang masuk dalam ranah publik tidak
boleh diserahkan kepada perempuan. Dan urusan pada kata amrahum
berarti segala bidang kehidupan termasuk menjadi pemimpin dan hakim.
Dalam memahami hadis tersebut menjadi dasar pelarangan
perempuan dilantik menjadi hakim, penulis mengklasifikasikan menjadi
dua pemahaman yaitu memahami dari tekstual hadis dan memahami
kontekstual hadis.
Memahami hadis tersebut secara tekstual, penulis menganggap
pendapat ulama-ulama yang melarang perempuan menjadi hakim
sebagaimana penulis uraikan pada BAB II adalah pemahaman tekstual
terhadap hadis tersebut.
Untuk memahami hadis tersebut secara kontekstual, penulis
memahami hadis tersebut dengan mempertimbangkan aspek sejarah dan
aspek kaidah fikih.
Dalam memahami hadis tersebut dari aspek sejarah dapat dilihat
dari hadis lengkap tersebut yang berbunyi:
أث ثىشح لبي ع ج ا أ٠ب ع ع١ ط للا سعي للا عزب خ ع ثى مذ فع للا
ب لبي ع فألبر ذك ثأطذبة اج أ ب وذد أ ثعذ ع ع١ ط للا ثػ سعي للا
شأح ا ش ا أ ٠فخ ل ذ وغش لبي ث ىا ع١ فبسط لذ أ أ
Artinya: “dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah
memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah
aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala
32
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃˋi, h. 667.
33
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih,
(Jakarta: Trans Pustaka, 2013), h. 138.
66
aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin
berperang bersama mereka.- Dia berkata; Tatkala sampai kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia
telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau
bersabda: Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh
seorang wanita.” (H.R. Ahmad, al-Bukhȃri, al-Tirmîdzi dan al-
Nasȃˋi).34
Hadis tersebut disampaikan oleh Abu Bakrah ketika perang jamal
(perang unta) karena konflik antara „Ali bin Abi Tâlib dan „Aisyah
mengenai penyelesaian kasus pembunuhan Utsman bin „Affan. Karena
konflik tersebut terjadi antara dua orang yang dekat dengan Rasulullah
SAW membuat sahabat dilema untuk mendukung siapa. Abu Bakrah
awalnya berada pada kubu „Aisyah akan tetapi ia teringat peristiwa
pengangkatan putri Kisra sebagai raja yang dikomentari oleh Nabi
Muhammad SAW dengan sabda “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika
dipimpin oleh seorang wanita.” Dan karena hadis ini Abu Bakrah
menarik dukungannya dari „Aisyah karena menganggap „Aisyah akan
kalah karena kemenangan (al-falah) adalah abadi.35
Sebab munculnya hadis (asbab al-wurud) tersebut adalah ketika
diangkatnya seorang perempuan yang bernama Buran sebagai raja Persia
dan kejadian tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah. Sebab diangkatnya
Buran menjadi raja adalah karena meninggalnya kakeknya Kisra dan
ayahnya Syairuwiyah. Kisra telah mengetahui ia akan dibunuh oleh
anaknya Syairuwiyah maka ia menyuruh pembantu setianya untuk
membunuh Syairuwiyah setelah ia meninggal. Setelah enam bulan dari
meninggalnya Kisra, Syairuwiyah pun meninggal karena diracun. Setelah
membunuh ayahnya, Syairuwiyah juga membunuh semua saudaranya
karena ambisi menjadi raja, maka yang menggantikannya pun adalah
34
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 8, h. 263. Lihat Muhammad bin Ismail al-
Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 3, h. 151. Lihat Abi „Isa Muhammad bin „Isa, al-Jâmi‟
al-Sahih, h. 431. Lihat Ahmad bin Syu'aib al-Nasȃˋi, Sunan al-Nasȃ´i, h. 667.
35
Ahmad bin „Ali al-Asqalânȋ, Fath al-Bârȋ Syarh Sahih al-Bukhȃri, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2012), jilid 14, cet.4, h. 46.
67
anak perempuannya yang bernama Buran. Hal inilah yang menyebabkan
Nabi SAW mengomentari kepemimpinan Buran dengan hadis tersebut.36
Dalam melihat aspek sejarah hadis, Prof. Madya. Dr. Irwan
Subeni, Lc, P.hD, ketua Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa
Sedunia (INFAD) Universitas Sains Islam Malaysia (USIM) berpendapat
bahwa ada tiga kriteria menilai hadis yaitu apakah hadis tersebut hadis
tabligh (hadis sekedar penyampaian), hadis Imâmah (hadis tentang
kepemimpinan), atau hadis al-Qada (hadis tentang peradilan).
Menurutnya hadis tersebut adalah hadis tabligh dimana sebab muncul
hadis itu Nabi Muhammad SAW hanya memberikan komentar terhadap
raja perempuan Persia yang bernama Buran.37
Sejalan dengan pendapat
Iwan Subeni, penulis melihat klasifikasi yang diberikan ulama hadis
berbeda-beda dan hanya Imam al-Nasâ‟i yang menulis hadis tersebut
pada pembahasan peradilan (Kitab al-Qada), sedangkan Imam al-
Bukhârî menulis hadis tersebut pada pembahasan peperangan (Kitab al-
Maghâzi) dan pembahasan fitnah (Kitab al-Fitan) dan Imam al-Tirmidzi
menulis hadis tersebut dalam pembahasan fitnah (Kitab al-Fitan).
Aspek sejarah yang membuktikan bahwa hadis tersebut hanyalah
hadis tabligh adalah ketika Umar bin Khattab mengangkat seorang
perempuan yang bernama al-Syifâ menjadi wilayatul hisbah atau auditor
di pasar.38
Jika hadis tersebut adalah hadis yang melarang menyerahkan
urusan kepada perempuan tentu Abu Bakrah akan menyampaikan hadis
tersebut ketika itu. Dan juga dalam hadis, Nabi Muhammad SAW
mendoakan Ummu Harâm binti Milhân agar meninggal dalam
36 Abi al-„Ulâ Muhammad „Abdu al-Rahmân bin „Abdu al-Rahîm al-
Mubârakfurî, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh al-Jâmi‟ al-Tirmidzi, (Kairo: Dâr al-Hadîts,
2001), jilid 6, h.135. Lihat Syamsu al-Dȋn Muhammad bin Yûsuf al-Kirmânȋ, Syarh al-
Kirmânȋ „ala Sahih al-Bukhârî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2010), jilid 23, h. 173.
37
Irwan Subeni, Ketua Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa Sedunia
(INFAD) Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), Wawancara Pribadi, 23 Oktober
2018.
38
Abu Muhammad Ali bin Ahmad, al-Muhalla bi al-Hujaji wa al-âtsar, (Riyadh:
Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 2003), h. 1581.
68
peperangan di jalan Allah yang terjadi di Laut.39
Jika hadis yang
diriwayatkan Abu Bakrah tersebut adalah larangan Nabi Muhammad
SAW memberikan urusan kepada perempuan, maka Nabi Muhammad
SAW tidak akan mendoakan Ummu Harâm binti Milhân ikut
peperangan.
Selanjutnya aspek kaidah fikih dalam memahami hadis tersebut
secara konstektual adalah dengan memahami kaidah ta‟arudh al-adillah
(kontradiksi diantara dalil).40
Dalam hal hukum menyerahkan urusan
kepada perempuan dalam hadis tersebut yang berimplikasi pada larangan
perempuan menjadi pemimpin dan hakim bertentangan dengan
pemahaman terhadap Q.S. al-Taubah (09): 71 yang berbunyi:
٠ ىش ٱ ع ٠ عشف ثٱ ش ١بء ثعغ ٠أ أ ذ ثعؼ ؤ ٱ ؤ ٱ م١
سع ٱلل ٠ط١ع ح و ٱض ٠ؤر ح ٱظ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang
munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya”.
Secara umum, ayat tersebut dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam
segala urusan yang dilukiskan dalam kalimat menyuruh mengerjakan
yang ma‟ruf dan mencegah mengerjakan yang munkar.41
Pemahaman terhadap dua dalil (Q.S. al-Taubah (09): 71 dengan
hadis riwayat Abu Bakrah) menjadi kontradiksi. Wahbah al-Zuhaylî
memungkinkan terjadi kontradiksi antara ayat al-Quran dengan hadis.42
39 Muhammad bin Ismail al-Bukhȃri, Sahih al-Bukhȃri, jilid 2, h. 250. Lihat
Mâlik bin Anas, Muwatta‟, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2009), h. 237.
40
Abdul Wahab Khallaf, al-Ijtihâd fi al-Syarȋ‟ah al-Islâmiyyah, Penerjemah:
Rohidin Wahid, Ijtihad Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), h. 117.
41
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih,
h.138.
42
Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajȋz fi Usul al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr, 2014), cet.
12, h. 244.
69
Karena kontradiksi tersebut, penulis mengaplikasikan kaidah fikih yang
berbunyi:
ب ثجذ ثبض أ ب ثجذ ثبألخجبس
Artinya: “Apa yang sudah ditetapkan oleh nash lebih utama
dengan apa yang sudah ditetapkan dengan hadis”.43
Berdasarkan kaidah fikih tersebut, penulis memahami hadis
riwayat Abu Bakrah bahwa hadis tersebut tidak untuk diaplikasikan
terhadap hukum melantik perempuan sebagai hakim.
Adapun kaidah fikih lain yang dapat dijadikan bahan analisis
memahami hadis riwayat Abu Bakrah secara konteksual adalah kaidah:
رظشف اإلب ع اشع١ز ؽ ثبظذخ
Artinya: “Kebijakan penguasa atas rakyatnya harus didasarkan
atas kemaslahatan mereka”.44
Menurut penulis, kaidah tersebutlah sebagai dasar dikeluarkan
fatwa yang membolehkan melantik perempuan sebagai hakim pada
Mahkamah Syariah di Malaysia karena melihat kemaslahatan yang
terjadi di negara tersebut. Irwan Subeni menjelaskan bahwa pelantikan
perempuan sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di Malaysia
beralasan kepada keadilan dimana demi mencapai keadilan di semua
golongan Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia perlu untuk melantik
perempuan sebagai hakim, karena sebelum adanya fatwa membolehkan
perempuan dilantik sebagai hakim pada Mahkamah Syariah, hakim pada
lembaga tersebut hanya laki-laki.45
Alasan yang ketiga ulama-ulama melarang perempuan menjadi
hakim adalah karena qiyas dari larangan perempuan menjadi imam salat
sebagaimana telah diuraikan pada BAB II. Menurut Djazimah Muqoddas
qiyas seperti itu tidak dapat diterapkan dalam menghukumi perempuan
43 Tâj al-Dȋn „Abdul Wahâb bin „Ali al-Subki, al-Asybah wa al-Nadâir, jilid 2, h.
197.
44
Jalâl al-Dȋn al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadâir fi Qawâid wa Furû‟ Fiqh al-
Syâfi‟i, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2015), cet.3, h. 185.
45
Irwan Subeni, Ketua Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa Sedunia
(INFAD) Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), Wawancara Pribadi, 23 Oktober
2018.
70
sebagai hakim karena qiyas tersebut termasuk qiyas ma‟a al-Fâriq
(Menganalogikan sesuatu dengan hal yang lain yang tidak layak
dianalogikan dengannya) atau menggunakan illat yang sama secara jelas
dari segi wujud hukumnya (qiyas jali). Karena perkara salat adalah
perkara ibadah sedangkan perkara pelantikan hakim adalah perkara
muamalah.46
Selain ulama-ulama yang melarang perempuan dilantik menjadi
hakim, ulama golongan Hanafiyah membolehkan perempuan menjadi
hakim dalam semua perkara kecuali hudud dan qisâs sebagaimana yang
telah penulis uraikan pada BAB II. Hal inilah yang mendasari pelantikan
perempuan sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di Malaysia. Perkara
yang boleh diadili orang seorang hakim perempuan pada Mahkamah
Syariah adalah seluruh perkara pada Mahkamah Syariah sekalipun
perkara tersebut jinayah (pidana Islam) karena jinayah yang diterapkan di
Malaysia tidak mencapai batas hudud hanya mencapai ta‟zir seperti
penjara, denda, atau cambuk akan tetapi jumlah hukumannya berbeda
dengan yang ditetapkan nash.47
2. Regulasi Negeri Selangor
Dalam regulasi Negeri Selangor pelantikan perempuan sebagai
hakim diatur dalam Seksyen 58, Enakmen 1 Tahun 2003, Enakmen
Pentadbiran Agama Islam Selangor 2003 yang berbunyi:
“(1) Duli Yang Maha Mulia Sultan, selepas berunding dengan, atas
nasihat Majlis, dan Ketua Hakim Syarie, boleh melantik Hakim-Hakim
Mahkamah Tinggi Syariah.
(2) Seseorang adalah layak dilantik di bawah subseksyen (1) jika—
(a) dia seorang warganegara; dan
(b) dia—
(i) selama tidak kurang daripada sepuluh tahun sebelum
pelantikannya, telah memegang jawatan Hakim Mahkamah
Rendah Syariah atau Kadhi atau Pendaftar atau Pendakwa
Syarie sesuatu Negeri atau pada suatu masa memegang mana-
46 Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 217.
47
Mohd Norhusairi, Dosen Senior Fakulti Syariah dan Undang-undang Akademi
Pengajian Islam Universiti Malaya, Wawancara Pribadi, 25 Oktober 2018.
71
mana satu daripada jawatan itu dan pada masa yang lain
memegang mana-mana yang lain pula; atau
(ii) selama tidak kurang dari sepuluh tahun sebelum
pelantikannya telah menjadi Peguam Syarie sesuatu Negeri atau
pada suatu masa sebelum itu di manamana Negeri.
(3) Orang yang, sebelum sahaja seksyen ini mula berkuat kuasa,
memegang jawatan Hakim Mahkamah Tinggi Syariah di bawah
Enakmen terdahulu dan melaksanakan fungsi-fungsi kehakiman
hendaklah, apabila seksyen ini mula berkuat kuasa, terus memegang
jawatan sebagai Hakim Mahkamah Tinggi Syariah seolah-olah dia telah
dilantik di bawah subseksyen (1).
(4) Tiap-tiap pelantikan di bawah subseksyen (1) hendaklah disiarkan
dalam Warta.”
Jika merujuk kepada kepada regulasi ini, maka tidak akan ada
perempuan yang dilantik menjadi hakim karena tidak ada yang
memenuhi syarat terutama pada ayat (2) poin (b) karena belum ada
perempuan yang memangku jabatan Hakim Mahkamah Rendah Syariah,
Pendaftar, maupun Pendakwa Syariah selama 10 tahun. Melihat keadaan
tersebut, pada 13 Mei 2015 dilakukan amandemen kepada beberapa
Enakmen termasuk Seksyen 58 ayat (2) poin (b)(i) sehingga seksyen
tersebut berbunyi:
(2) Seseorang adalah layak dilantik di bawah subseksyen (1) jika—
(a) dia seorang warganegara; dan
(b) dia—
(i) selama tidak kurang daripada sepuluh tahun sebelum
pelantikannya, telah memegang jawatan Hakim Mahkamah
Rendah Syariah atau Kadhi atau Pendaftar atau Pendakwa
Syarie sesuatu Negeri atau Pegawai Syariah dalam Skim
Perkhidmatan Awam Am Persekutuan atau Negeri pada suatu
masa memegang mana-mana satu daripada jawatan itu dan pada
masa yang lain memegang mana-mana yang lain pula; atau
(ii) selama tidak kurang dari sepuluh tahun sebelum
pelantikannya telah menjadi Peguam Syarie sesuatu Negeri atau
pada suatu masa sebelum itu di manamana Negeri.
Jika seseorang memenuhi syarat pada Seksyen 58, Enakmen
Pentadbiran Agama Islam Selangor 2003 Pindaan 2015 tersebut dan lulus
pada seleksi pencalonan menjadi hakim pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, maka boleh dilantik menjadi hakim pada badan peradilan
tersebut. Dan pada regulasi tersebut tidak ada syarat khusus untuk jenis
kelamin apa saja yang dapat memenuhi syarat.
72
Jika merujuk kepada regulasi tersebut, maka kedua hakim
perempuan Mahkamah Tinggi Syariah Selangor yang dilantik pada
tanggal 27 Juni 2016 memenuhi persyaratan. Adapun syarat yang
terpenuhi yaitu keduanya adalah warga negara Malaysia sebagaimana
yang diatur pada ayat (2)(a). Sedangkan syarat yang diatur pada ayat
(2)(b) dapat dianalisis dari pengalaman kerja kedua hakim tersebut, yaitu:
a. Nenney Shuhaidah binti Shamsuddin, lahir pada tanggal 26
November 1975 di Kota Banting Negeri Selangor memulai karirnya
pada 2 Juli 2001 sebagai Pegawai Syariah Gred LS41 di Biro
Bantuan Guaman Syariah Selangor. Kemudian pada 3 Oktober 2005
ia naik pangkat ke Gred LS44 sebagai Penolong Pengarah Bahagian
Latihan, Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia, Putrajaya. Kemudian
pada 18 Agustus 2008 naik pangkat menjadi Gred LS48 sebagai
Ketua Penolong Pengarah Bahagian Pentadbiran Keurusetiaan dan
Rekod, Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia, Putrajaya. Kemudian
pada 16 Desember 2012 pindah ke Jabatan Peguam Negara sebagai
Pegawai Kanan Syarie Persekutuan. Terakhir pada 27 Juni 2016
dilantik menjadi hakim pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor.48
b. Noor Huda binti Roslan, lahir pada 30 Agustus 1976 di Kota Banting
Negeri Selangor memulai karirnya sebagai guru di Sekolah Rendah
Agama Jenjarom, Selangor pada tahun 1999 selanjutnya pada tahun
2000-2002 ia menjadi Peguam Syarie (Pengacara di Mahkamah
Syariah) di kantor hukum Tuan Zuri & Co. yang melayani wilayah
Negeri Selangor, Wilayah Persekutuan, Negeri Sembilan, dan
Melaka. Pada tahun 2002 ia dilantik menjadi Penolong Pengarah
Penyelidikan (Gred L3/LS41) Cawangan Penyelidikan Jabatan
Kehakiman Syariah Malaysia. Pada tanggal 16 Juli 2003 ia menjadi
Peguam Syarie Persekutuan (Gred LS41) Jabatan Peguam Negara
dan naik pangkat menjadi Gred LS44 pada tanggal 1 Maret 2007.
48 Nenney Sushaidah binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Wawancara Pribadi, Shah Alam, 7 Desember 2018.
73
Selanjutnya pada tanggal 15 Juli 2010 ia dilantik menjadi Ketua
Penolong Pengarah Bahagian Pendaftaran, Keurusetiaan dan Rekod
Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia. Pada tanggal 15 Oktober 2010
ia dilantik sebagai Ketua Pendaftar Jabatan Kehakiman Syariah
Negeri Selangor dengan Gred LS48 hingga dilantiknya ia menjadi
Hakim Mahkamah Tinggi Syariah Selangor pada 27 Juni 2016.49
3. Fatwa Negeri Selangor
Sebagaimana sudah dijelaskan pada BAB III bahwa negeri
selangor pada tahun 2006 Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor tidak
mengharuskan perempuan dilantik menjadi hakim pada Mahkamah
Syariah.50
Kemudian pada 12 April 2016 Jawatankuasa Fatwa Negeri
Selangor mengeluarkan fatwa bahwa dibolehkannya perempuan dilantik
sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di Negeri Selangor dengan hanya
boleh mengadili perkara mal (perdata) saja tidak dibolehkan mengadili
perkara jinayah berat (al-Dima‟).51
Pada fatwa yang dikeluarkan Jawatankuasa Fatwa Negeri
Selangor tahun 2006 dikeluarkan atas beberapa alasan yang menjadi latar
belakang keluarnya fatwa tersebut, yaitu:
a. Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal
Ugama Islam Malaysia ke-73 yang memutuskan bahwa perempuan
harus dilantik sebagai hakim di Mahkamah Syariah dalam kasus
selain hudud dan qisâs.
b. Hakim perempuan di Mahkamah Sivil sudah banyak.
49 Selangor Lantik Hakim Wanita Mahkamah Tinggi Syariah Pertama di
Malaysia, Buletin JAKESS, (Shah Alam), 2016, h. 6.
50
Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor dalam
http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-tahunan/keputusan-fatwa-
xwarta/2006/725-hukum-pelantikan-hakim-syar-ie-wanita, diakses pada 01 Februari
2019.
51
Fatwa Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita, Jabatan Mufti Negeri Selangor
dalam http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-tahunan/keputusan-
fatwa-xwarta/2016/664-fatwa-hukum-pelantikan-hakim-syar-ie-wanita, diakses pada 01
Februari 2019.
74
c. Malaysia belum pernah melantik perempuan sebagai hakim pada
Mahkamah Syariah.
d. Ada pihak yang mendesak pelantikan perempuan sebagai hakim
pada Mahkamah Syariah.52
Alasan fatwa tersebut tidak membolehkan perempuan dilantik
menjadi hakim pada Mahkamah Syariah yaitu:
a. Fatwa tersebut berhujjah kepada pendapat ulama klasik sebagaimana
penulis jelaskan pada BAB II.
b. Fatwa tersebut beristidlal kepada Q.S. al-Nisâ (04): 34 dan hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah seabagaimana yang telah
dibahas sebelumnya.
c. Dalil aqli yang digunakan fatwa tersebut yaitu menganggap larangan
melantik perempuan sebagai hakim di Mahkamah Syariah adalah
bentuk Sadd al-Zari‟ah (upaya untuk menetapkan larangan terhadap
suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah).53
Juga menganggap
bahwa hakim bertugas dengan memerlukan komitmen, kekuatan
pendirian, ketabahan, tidak mudah dipengaruhi oleh orag lain
sedangkan perempuan adalah manusia yang emosional.
d. Menggunakan metode qiyas bahwa jabatan hakim lebih besar
daripada Imam Salat.
e. Survei Online Berita Harian yang menghasilkan bahwa 34.02% dari
28.718 responden menyetujui untuk melantik perempuan sebagai
hakim di Mahkamah Syariah sedangkan 65.98% tidak
menyetujuinya.54
Selain daripada alasan-alasan tersebut, penulis mengira fatwa
tersebut dikeluarkan karena regulasi atau Enakmen Negeri Selangor
52 Khairi Amri bin Ahmad, Penolong Mufti Unit Buhuts Jabatan Mufti Negeri
Selangor, Wawancara Pribadi, 25 Oktober 2018.
53
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2013), cet.2, h.142.
54
Khairi Amri bin Ahmad, Penolong Mufti Unit Buhuts Jabatan Mufti Negeri
Selangor, Wawancara Pribadi, 25 Oktober 2018.
75
mengatur bahwa fatwa yang dikeluarkan haruslah mengutamakan
pendapat yang dapat diterima (Qoul Mu‟tamad) Mazhab Syafi‟i.55
Adapun fatwa yang dikeluarkan Jawatankuasa Fatwa Negeri
Selangor pada tahun 2016 beralasan dengan latar belakang dan dalil yang
sama dengan fatwa tahun 2006, hanya saja perbedaannya terletak pada
dalil aqli yang digunakan serta kepentingan yang mendesak dan
berubahnya keadaan hukum dan sosial pada Masyarakat Negeri Selangor.
Maka diputuskan dalam fatwa tersebut bahwa perempuan boleh dilantik
menjadi hakim di Mahkamah Syariah hanya perkara mal (perdata) saja
tidak dibolehkan mengadili perkara jinayah berat (al-Dima‟).56
C. Kewenangan Serta Peran Hakim Perempuan pada Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor
Kewenangan Mahkamah Tinggi Syariah dibagi menjadi dua jenis
perkara yaitu perkara Jinayah (Pidana Islam) dan perkara Mal (Perdata).
Dalam perkara Jinayah, Mahkamah Tinggi Syariah Selangor mempunyai
wewenang memeriksa dan memutuskan Perkara Jinayah yang diatur dalam
Enakmen Jenayah Syariah (Selangor) 1995 [En. No. 9/1995] atau regulasi
lain yang mengatur tentang itu. Perkara Jinayah yang menjadi kewenangan
Mahkamah Tinggi Syariah Selangor yaitu:
1. Perkara banding
2. Pengawasan dan pemeriksaan perkara mahkamah rendah syariah
3. Perzinahan
4. Perbuatan yang mendekati zina
5. Hubungan seksual sesama jenis
6. Hubungan seksual yang bertentangan dengan Hukum Islam.
55 Seksyen 54 ayat (1), Enakmen 1 Tahun 2003, Enakmen Pentadbiran Agama
Islam Negeri Selangor 2003.
56
Khairi Amri bin Ahmad, Penolong Mufti Unit Buhuts Jabatan Mufti Negeri
Selangor, Wawancara Pribadi, 25 Oktober 2018.
76
Dalam perkara Mal (Perdata), Mahkamah Tinggi Syariah Selangor
mempunyai wewenang mendengar dan memutuskan pada perkara sebagai
berikut:
1. Pertunangan, perkawinan, rujuk, perceraian, fasakh, nusyuz, dan perkara
yang berkaitan dengan suami istri.
2. Penghapusan atau gugatan harta yang muncul dari perkara yang
disebutkan pada nomor 1.
3. Nafkah dan hadanah.
4. Pembagian atau gugatan harta bersama.
5. Wasiat.
6. Sengketa harta ketika hidup.
7. Wakaf atau nazar.
8. Waris
9. Penentuan ahli waris dan bagiannya.
10. Penetapan orang yang murtad.
11. Penetapan orang yang sudah mati.
12. Pengurusan masjid-masjid.
13. Perkara lain yang diatur oleh regulasi lainnya.57
Dalam menangani perkara, hakim perempuan mempunyai peran dan
wewenang yang sama dengan hakim laki-laki di Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor. Kasus-kasus jinayah (pidana Islam) yang ditangani oleh hakim
tersebut tidak sampai kepada hudud karena regulasi mengaturnya tidak sama
seperti yang diatur dalam al-Quran. 58
Contoh perkara jinayah (pidana Islam) yang diputuskan oleh hakim
perempuan yaitu perkara persediaan persetubuhan luar nikah (zina) dalam
putusan nomor 110400-114-0015-2017 dengan terpidana laki-laki yang
berinisial ASB dan 10300-114-0016-2017 dengan terpidana perempuan yang
berinisial DL yang dihukumi denda sebesar R.M. 4000 jika tidak
57 Seksyen 61, Enakmen 1 Tahun 2003, Enakmen Pentadbiran Agama Islam
Negeri Selangor 2003.
58
Nenney Sushaidah binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Wawancara Pribadi, Shah Alam, 7 Desember 2018.
77
dilaksanakan maka dihukumi dengan penjara 90 hari, jika penjara tidak
sanggup maka dicambuk sebanyak 6 kali. Hal tersebut membuktikan bahwa
pelaksanaan jinayah (pidana Islam) di Negeri Selangor adalah ta‟zir bukan
hudud karena hukuman yang diterapkan berbeda.
Pada perkara mal (perdata), Nenney Sushaidah seorang hakim
perempuan di Mahkamah Tinggi Syariah Selangor memberikan contoh
perkara poligami. Semenjak ia dilantik pada tahun 2016, ia sudah menangani
kurang lebih 200 perkara tentang poligami baik perkara izin poligami maupun
menjatuhkan hukuman kepada orang yang berpoligami tanpa izin Mahkamah
Syariah.59
Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Nenney Sushaidah
menjunjung tinggi keadilan karena seorang hakim mempunyai
pertanggungjawaban kepada Allah SWT dan jika salah dalam memutuskan
maka akan dihukum dengan masuk neraka. Jika banyak yang menganggap
bahwa perempuan mempunyai emosional yang tak terkendali dibandingkan
laki-laki, ia hanya menjawab: “Ketika saya duduk sebagai hakim, saya
bukanlah laki-laki dan saya bukan perempuan. Saya adalah seorang hakim”.
Sebagai contoh ia tidak larut dalam emosional yang tidak terkendali adalah
selama ia menjadi hakim pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor ia telah
mengizinkan 90% perkara izin poligami jika yang mengajukan memenuhi
syarat yang diatur oleh regulasi di Negeri Selangor. Jika ia mengikuti
emosinya sebagai perempuan, tentu ia tidak berikan izin kepada perkara-
perkara izin poligami tersebut karena tidak tega melihat perempuan dimadu.60
59 Nenney Sushaidah binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Wawancara Pribadi, Shah Alam, 7 Desember 2018.
60
Nenney Sushaidah binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Wawancara Pribadi, Shah Alam, 7 Desember 2018.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mulai dari BAB I sampai dengan BAB IV,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa awal perkembangan kesetaraan
gender di Malaysia yang berimplikasi kepada pelantikan perempuan menjadi
hakim pada Mahkamah Syariah adalah pada tahun 1995 Malaysia
meratifikasi CEDAW menjadi regulasi negara tersebut. Setelah itu, mulai
bermunculan gerakan-gerakan untuk menghapus diskriminasi terhadap
perempuan terutama dalam menempati jabatan publik. Kemajuan tersebut
sudah terlihat dari banyaknya hakim perempuan pada Mahkamah Sivil di
Malaysia. Hal ini menyebabkan banyaknya protes secara langsung maupun
tidak langsung dan mendesak pemerintah untuk membuat regulasi atau fatwa
yang membolehkan perempuan menjadi hakim pada Mahkamah Syariah.
Setelah pemerintah federasi (pemerintah pusat) membolehkan bahkan
melantik perempuan sebagai hakim pada Mahkamah Syariah, banyak negeri-
negeri yang turut melantik perempuan sebagai hakim pada Mahkamah
Syariah di negeri-negeri di Malaysia.
Melihat sejarah perkembangan pelantikan hakim perempuan pada
Mahkamah Syariah di Malaysia dan khususnya di Selangor terlihat adanya
terjadi perubahan hukum dan sosial. Malaysia dan Negeri Selangor menganut
mazhab syafi‟i dimana mazhab tersebut melarang melantiknya perempuan
menjadi hakim. Adanya fatwa yang mengharuskan perempuan dilantik
menjadi hakim pada Mahkamah Syariah merupakan bukti berubahnya hukum
dan sosial yang terjadi disana.
Kedudukan hukum hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor didasarkan pada hukum Islam dimana dengan memahami perbedaan
pendapat antara ulama dan dapat menghasilkan kesimpulan hukum akan
kebolehan melantik perempuan menjadi hakim pada Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor. Selain hukum Islam, kedudukan hukum tersebut juga
mendapatkan legitimasi dari regulasi maupun fatwa negeri tersebut. Hakim
79
perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah Selangor telah memenuhi syarat
yang disyaratkan Seksyen 58, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Selangor)
2003. Adapun legitimasi dari fatwa dapat dilihat dalam fatwa yang
dikeluarkan Jabatan Mufti Negeri Selangor yang difatwakan tahun 2016
tentang pelantikan hakim perempuan pada Mahkamah Syariah.
Kewenangan hakim perempuan pada Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor terbagi menjadi dua yaitu mengadili perkara jinayah dan mal.
Perkara jinayah yang diperiksa dan diadili adalah perkara zina, hubungan
sesama jenis, hubungan seksual yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Adapun perkara mal atau perdata hakim perempuan tersebut mengadili
perkara-perkara rumah tangga atau hukum privat.
B. Saran
Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan penulisan ini.
Maka penulis perlu untuk memberikan saran-saran sebagai bahan
pertimbangan di kemudian hari. Saran-saran tersebut penulis tuju kepada:
1. Pemerintah Federasi Malaysia maupun Raja atau Sultan negeri-negeri di
Malaysia agar memberikan peluang lebih luas lagi kepada perempuan
untuk menempati jabatan publik di Malaysia demi terjalinnya kedamaian
karena tidak ada diskriminasi antar gender.
2. Seluruh ketua hakim syarie negeri-negeri di Malaysia agar melantik
hakim perempuan pada lembaga peradilan yang dipimpinnya demi
menegakkan keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.
3. Hakim perempuan yang bertugas di Peradilan Islam negara mana pun
penulis sarankan agar membaca penelitian ini sebagai bahan referensi
kedudukan hukum perempuan menjadi hakim.
4. Akademisi, hasil penelitian ini dapat menjadi landasan untuk melakukan
penelitian selanjutnya. Penulis melihat hal-hal yang dapat diteliti dari
tema ini untuk dibahas lebih lanjut adalah meneliti perkembangan hakim
perempuan pada peradilan Islam di dunia Islam.
80
DAFTAR PUSTAKA
„Isa, Abi „Isa Muhammad bin. al-Jâmi‟ al-Sahih. Kairo: Dâr al-„Alamiyah, 2017.
„Umar, „Imad al-Dȋn Abi al-Fadâ‟ Ismail bin. Tafsȋr al-Quran al-„Adȋm. cet. 3.
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2012.
Ahmad, Abu Muhammad Ali bin. al-Muhalla bi al-Hujaji wa al-âtsar. Riyadh:
Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 2003.
Ahmad, Muwaffiq al-Dîn Abi Muhammad „Abdullah bin. al-Mughnî. cet.5.
Riyadh: Dâr al-„Alim al-Kutub, 2005.
--------------. al-Muqni'. Jeddah: Maktabah al-Siwâdî, 2000.
al-„Arabȋ, Abi Bakr Muhammad bin „Abdullah. Ahkam al-Quran. cet. 3. Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003.
al-Asqalânȋ, Ahmad bin „Ali. Fath al-Bârȋ Syarh Sahîh al-Bukhârȋ. cet.4. Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2012.
al-Asy‟ats, Abi Dâwud Sulaiman bin. Sunan Abî Dâwud. cet. 3. Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 2011.
al-Bugha, Mustafa Dib. Dkk. al-Fiqh al-Manhajî „ala Madzhab al-Imâm al-
Syafi‟i. Damaskus: Dâr al-Qalam. 1996.
al-Bukhȃri, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhȃri. Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1998.
al-Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad. al-Wajîz. Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 2004.
al-Hajjâj, Abi al-Husain Muslim bin. Sahih Muslim. cet. 3. Beirut: Dâr al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 2008. al-Husni, Taqiy al-Dîn Abi Bakr bin Muhammad. Kifâyah al-Akhyâr fi Halli
Ghayah al-Ikhtisâr. Mansoura: Syuruq li al-Tarjamah wa al-Nasyr, 2013.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. cet.6. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
al-Jauziyyah, Syamsu al-Dîn Abi „Abdillah Muhammad bin Qayyim. I‟lâm al-
Muwaqi‟in „an Rabb al-„Alamȋn. Damaskus: Maktabah Dâr al-Bayân,
2000.
al-Kâsânî, „Alâuddin Abi Bakr bin Mas‟ûd. Badâiˋ al-Sanâiˋ fi Tartîbi al-Syarâiˋ.
cet.2. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003.
al-Khirâqî Abi al-Qâsim „Umar bin al-Husain. Matan al-Khîraqî. Tanta: Dâr al-
Sahâbah, 1993.
al-Kirmânȋ, Syamsu al-Dȋn Muhammad bin Yûsuf. Syarh al-Kirmânȋ „ala Sahih
al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Fikr, 2010.
al-Majjâjî, Muhammad Sakhâl. al-Muhadzab min al-Fiqh al-Mâlikî wa Adillatihi.
Damaskus: Dâr al-Qalam, 2010.
al-Mâwardî, Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad. al-Ahkâm al-Sultâniyah. Kairo,
Dâr al-Hadîts, 2006.
--------------. al-Hâwi al-Kabîr Jilid 16. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994.
al-Misri, Zainuddin bin Ibrâhim. Bahru al-Râiq Syarh Kanzu al-Daqâiq. Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1997.
81
al-Mubârakfurî, Abi al-„Ulâ Muhammad „Abdu al-Rahmân bin „Abdu al-Rahîm.
Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh al-Jâmi‟ al-Tirmidzi. Kairo: Dâr al-Hadîts,
2001.
al-Nafrâwî, Ahmad bin Ghanîm. al-Fawâkih al-Dawânî „ala Risâlah Ibnu Abi
Zaid al-Qayrawânî. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1997.
al-Nasȃˋi, Ahmad bin Syu'aib. Sunan al-Nasȃˋi. Kairo: Dâr al-„Alamiyah, 2017.
al-Nasafiy, Abu al-Barâkât Abdilah bin Ahmad. Kanzu al-Daqâiq. Madinah: Dâr
al-Sirâj, 2011.
al-Nawawî, Abi Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf. al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab.
Beirut: Dâr al Fikr, 2005.
--------------. Minhâj al-Thâlibîn wa „Umdah al-Muftîn. Beirut: Dâr al-Minhâj,
2005.
al-Qarâfî, Syihâbuddîn bin Ahmad. al-Dzakhîrah. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî,
1994.
al-Qardawî, Yûsuf. Hadyu al-Islâm Fatâwi Mu‟âsirah, Penerjemah: As‟ad Yasin,
Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani, 1995.
al-Qurtubȋ, Abi „Abdillah bin Muhammad. al-Jâmi‟ li Ahkam al-Quran. Kairo:
Dâr al-Hadits, 2010.
al-Râfi‟i, Abi al-Qâsim „Abdu al-Karîm bin Muhammad. al-„Azîz Syarh al-Wajîz.
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1997.
--------------. al-Muharrar. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005.
al-Rajrâji, Abi al Hasan „Ali bin Sa‟îd. Manâhij al-Tahsil wa Natâˋiju Latâˋif al-
Taˋwîl. Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2007.
al-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Abi al-„Abbâs. Nihâyah al-Muhtâj ila
Syarh al-Minhâj. cet.3. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003.
al-Sîwâsî, Kamâluddin Muhammad bin „Abdu al-Wâhid. Syarh Fath al-Qadîr.
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003.
al-Subki, Tâj al-Dȋn „Abdul Wahâb bin „Ali. al-Asybah wa al-Nadâir. Beirut: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991.
al-Suyuti, Jalâl al-Dȋn. al-Asybah wa al-Nadâir fi Qawâid wa Furû‟ Fiqh al-
Syâfi‟i. cet.3. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2015.
al-Syanqîtî, Muhammad bin Muhammad Sâlim Lawâmi‟. al-Durari fi Hatki
Astâri al-Mukhtasar. Nouakhchout: Dâr al-Ridwân, 2015.
al-Syarbaini, Syamsuddin Muhammad al-Khatib. Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifah
Ma‟ani al-Minhaj. Kairo: al-Quds, 2012.
al-Syaukânî, Muhammad bin „Ali. Fath al-Qâdir. Kairo: Dâr al-Hadits, 2007.
al-Syîrâzî, Abu Ishâq. al-Muhadzab. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996.
al-Tabarȋ, Abi Ja‟far Muhammad bin Jarȋr. Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-
Quran. Kairo: Hijr, 2001.
al-Zarkasyi, Badr al-Dȋn bin Bahâdir. Bahr al-Muhit fi Ushul al-Fiqh. cet. 3.
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2013.
al-Zarkasyî, Syamsu al-Dîn Abu „Abdillah Muhammad. Syarh al-Zarkasyî „ala
Matan al-Khiraqî. cet.3. Makkah: Maktabah al-Asadî, 2009.
al-Zuhaylî, Muhammad. al-Mu‟tamad fi al-Fiqh al-Syafi‟i. cet.3. Damaskus: Dâr
al-Qalam, 2011.
82
--------------. Fiqh al-Qada wa al-Da‟wa wa al-Itsbât. cet.2. Dubai: University of
Sharjah, 2008.
al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh. cet.2. Damaskus: Dâr al-Fikr,
1985.
--------------. al-Tafsȋr al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Minhaj. cet. 2.
Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003.
--------------. al-Wajȋz fi Usul al-Fiqh. cet.12. Kairo: Dâr al-Fikr, 2014.
--------------. Qadhayâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu‟âsir. Damaskus: Dâr al-Fikr,
2012.
Anas, Mâlik bin. Muwatta‟. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2009.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Cet.2. Jakarta: AMZAH, 2013.
Baderin, Mashood A. International Human Rights and Islamic Law. New York:
Oxford University, 2005.
Bakr, Burhânuddin Abi al-Hasan „Ali bin Abi. al-Hidâyah syarh Bidâyah al-
Mubtadî. Karachi: Idârah al-Qurân wa al-„Ulûm al-Islâmiyyah, 1995.
Cruz, Peter de. Comparative Law in a Changing World. Penerjemah Narulita
Yusron. Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law, dan
Socialist Law. Bandung: Nusa Media, 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Djalil, Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah, 2012.
Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Shahih.
Jakarta: Trans Pustaka, 2013.
Hanbal, Ahmad bin. al-Musnad. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Ibrâhim, Abi Ishâq Burhân al-Dîn. al-Mubdi‟ Syarh al-Muqni‟. Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1997.
Ismail, Mohd Farid bin Mohd Shahran dan Mohamad A‟sim bin. “Fatwa dan
Perbezaan Pandangan: Cabaran dan Penyelesaian”. Kuala Lumpur: IKIM
Press, 2018.
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Kompilasi Pandangan Hukum
Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal
Ugama Islam Malaysia. Selangor: JAKIM, 2015.
Jabatan Perkhidmatan Penerangan Malaysia. MALAYSIA: Buku Rasmi Tahunan
2001. Ipoh: Percetakan Zainon Kasim, 2001.
Khallaf, Abdul Wahab. al-Ijtihâd fi al-Syarȋ‟ah al-Islâmiyyah, Penerjemah:
Rohidin Wahid, Ijtihad Dalam Syariat Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2015.
Kurnia, Titon Slamet. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Alumni,
2009.
Madkur, Muhammad Salâm. al-Qada fi al-Islâm. Kairo: Dâr al-Nahdah al-
„Arabiyyah, t.t.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. cet.3. Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-„Arab. Kairo: Dar al-Hadits, 2003.
83
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cet.12. Jakarta: Kencana, 2016.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. cet.14.
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Muqoddas, Djazimah. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim. Yogyakarta: LKiS, 2011.
Nordin, Mardiana dan Hasnah Hussin. Pengajian Malaysia. cet.6. Shah Alam:
Oxford Fajar, 2018.
Oxford. Dictionary of Law. cet.7. Great Bitain: Oxford University Press, 2009.
Raharjo, Handri. Sistem Hukum Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016.
Rahman, Ghazali bin Haji Abdul. “Isu dan Permasalahan Terkini Mahkamah
Syariah” dalam Zulkifli bin Hasan et al. Amalan Kehakiman dan Guaman
Syarie di Malaysia, (Nilai: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007), h. 2.
Rumokoy, Donald albert dan Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum. cet.4.
Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Sâbiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. cet.21. Kairo: Dâr al-Fath li al-I‟lâm al-„Arabi,
2009.
Saebani, Beni Ahmad dan Ali Wati. Perbandingan Hukum Tata Negara.
Bandung: Pustaka Setia, 2016.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran.
cet. 5. Jakarta: Lentera Hati, 2012.
--------------. Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan, 2014.
Strong, C.F. Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Exiting Form, Penerjemah SPA Teamwork,
Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Tentang Sejarah
dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia. cet.2. Bandung: Nusa Media, 2008.
Suherman, Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers, 2004.
Tâhir, Al-Habib bin. al-Fiqh al-Mâlikî wa Adillatuhu. Beirut: al-Ma‟ârif, 2009.
Yaacob, Abdul Monir. Kehakiman Islam dan Mahkamah Syariah. Selangor:
Univision Press, 2015.
Yazîd, Abi „Abdillah Muhammad bin. Sunan Ibnu Mâjah. Kairo: Dâr al-
„Alamiyyah, 2017.
Yusuf, Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan. cet.3. Jakarta: Prenamedia, 2016.
Zaydân, „Abdul Karîm. Nizâm al-Qadha fi al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah. Amman:
Maktabah al-Batsâir, 1989.
Jurnal dan Buletin
Abdelkader, Engy. “To Judge or Not to Judge: A Comparative Analysis of Islamic
Jurisprudential Approaches to Female Judges in The Muslim World
(Indonesia, Egypt and Iran)”. Fordham International Law Journal. Vol.
37, 2, (2014).
Ahdiah, Indah. “Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat”, Jurnal Academica
Fisip Untad, Vol. 05, 02, (2013).
84
Dikuraisyin, Basar. “Sistem Hukum dan Peradilan Islam di Malaysia”, Jurnal
Terateks, Vol. 01, 3, (2017). Muhammad, Razimah Wan. “Woman and Shari‟ah Court: A Study of Malaysia
and Indonesia”. International Journal of cross-Cultural Studies. Vol. 1, 2,
(2015).
Nasohah, Zaini dkk. “Analisis Literatur Isu Pelantikan Hakim Syarie di
Malaysia”. International Journal of Islamic and Civilizational Studies.
Vol. 03, 01, (2016).
Nurlaelawati, Euis dan Arskal Salim. “Gendering the Islamic Judiciary: Female
Judges in the Religious Courts of Indonesia”. Al-Jami‟ah. Vol. 51, 2,
(2013).
Riyanto, Asim. “Sistem Hukum Negara-negara Asia Tenggara”, Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Vol. 37, 2 (2007). Selangor Lantik Hakim Wanita Mahkamah Tinggi Syariah Pertama di Malaysia.
Buletin JAKESS. Shah Alam. 2016.
Shaharom, Fadilla. “Ratifikasi CEDAW di Malaysia: Kesan Menurut Undang-
undang dan Hukum Syarak”. Journal of Shariah Law Research. Vol. 2, 2,
(2017).
Tauliah Hakim Rayuan Syarie Wanita Pertama di Malaysia & Negeri Terengganu.
Buletin JKST. Kuala Terengganu. 2016-2017.
Yusrizal. “Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia dan
Saudi Arabia”. De Lega Lata. Vol. 2, 2, (2017).
Skripsi dan Tesis
Awang, Norizan. “Perlantikan Wanita Sebagai Hakim Menurut Islam: Suatu
Kajian Berasaskan Kepada Realiti Semata”. Skripsi S-1 Akademi
Pengajian Islam, Universitas Malaya, 2004.
Aziz, Siti Maszuriyat binti. “Persepsi Klien dan Pegawai Mahkamah Terhadap
Pengendalian Kes oleh Hakim Syarie Wanita di Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan”. Skripsi S-1 Fakultas Pengajian Islam, Universitas
Kebangsaan Malaysia, 2017.
Hamid, Luqman bin Abdul. “Hakim Wanita (Studi Komparatif Hanafi dan
Mazhab Syafi‟i)”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum,
Universitas Islam Negeri Sultan Islam Syarif Kasim Riau, 2013.
Majemi, Fatimah binti. “Prospek Pelantikan Hakim Wanita di Mahkamah-
mahkamah Syariah di Malaysia”. Skripsi S-1 Fakultas Pengajian Islam,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 2016.
MS, Nuruzzaman. “Hakim Perempuan Dalam Prespektif Hukum Islam (Posisi
Hakim Perempuan Dalam Memutuskan Kasus Pidana Menurut Majelis
Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama)”. Tesis S-2
Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2014.
Syahfaruddin, Puthut. “Kedudukan Hakim Perempuan (Studi Komparatif Imam
Abu Hanifah dan Ibnu Hazm)”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
85
Internet
Awang, Musa. Perkemas Enakmen Islam Negeri. Dalam
https://www.bharian.com.my/rencana/komentar/2018/02/384652/perkema
s-enakmen-islam-negeri. diakses pada 18 Februari 2019.
Bahagian Fatwa Jabatan Mufti Negeri Pahang. Dalam
http://mufti.pahang.gov.my/index.php/perkhidmatan/bahagian-
fatwa/keputusan-fatwa/22-keputusan-fatwa-2012/67-hukum-perlantikan-
hakim-syarie-wanita-kmjphs. diakses pada 01 Februari 2019.
BBC 100 Women 2018: Who is The List?, dalam
https://www.bbc.com/news/world-46225037 diakses pada 10 Desember
2018.
E-Fatwa Mufti Wilayah Persekutuan. Dalam
http://efatwa.muftiwp.gov.my/fatwa/58f12a7f42a9ee0593b5f81b1bb017c9
?. diakses pada 01 Februari 2019.
England, Vaudine. Malaysian groups welcome first Islamic women judges. Dalam
https://www.bbc.com/news/10567857. diakses pada 18 Februari 2019.
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Dalam
http://e-smaf.islam.gov.my/e-
smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/10635. diakses pada 01 Februari
2019.
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). dalam
http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/11409. diakses
pada 01 Februari 2019.
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Dalam
http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/10807. diakses
pada 01 Februari 2019.
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Dalam
http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/fatwa/fatwa/find/pr/12201. diakses
pada 01 Februari 2019
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Dalam
http://e-smaf.islam.gov.my/e-
smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/16036. diakses pada 01 Februari
2019.
E-Sumber Maklumat Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Dalam
http://e-smaf.islam.gov.my/e-
smaf/index.php/main/mainv1/fatwa/pr/10526. diakses pada 01 Februari
2019.
Fatwa Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita. Jabatan Mufti Negeri Selangor.
dalam http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-
tahunan/keputusan-fatwa-xwarta/2016/664-fatwa-hukum-pelantikan-
hakim-syar-ie-wanita. diakses pada 01 Februari 2019.
Hukum Pelantikan Hakim Syarie Wanita. Jabatan Mufti Negeri Selangor. Dalam
http://www.muftiselangor.gov.my/fatwa-personalisation/fatwa-
86
tahunan/keputusan-fatwa-xwarta/2006/725-hukum-pelantikan-hakim-syar-
ie-wanita. diakses pada 01 Februari 2019.
Laman berita JAKESS. “Selangor Lantik Hakim Wanita Mahkamah Tinggi
Syariah Pertama di Malaysia”. dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/arkib/berita/450-
selangor-lantik-hakim-wanita-mahkamah-tinggi-syariah-pertama-di-
malaysia. diakses pada 05 September 2018.
Pitakasar, Ajeng Rizki. “Malaysia Tugaskan Hakim Wanita Pertama di
Pengadilan Syariah”. dalam https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-
islam/islam-mancanegara/10/07/10/123981-malaysia-tugaskan-hakim-
wanita-pertama-di-pengadilan-syariah. diakses pada 14 Februari 2019.
Profil Mahkamah Rendah Syariah Jasin. Dalam
http://mahsyariahmelaka.gov.my/index.php/ms/profil-korporat/info-
bahagian/mahkamah/mrs-daerah-jasin. diakses pada 04 Februari 2019.
Profil Mahkamah Rendah Syariah Melaka Tengah. Dalam
http://www.mahsyariahmelaka.gov.my/index.php/ms/profil-korporat/info-
bahagian/mahkamah/mrs-daerah-melaka-tengah. diakses pada 04 Februari
2019.
Struktur Organisasi Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Sabah. Dalam
http://sabah.jksm.gov.my/wp-content/uploads/CARTA-ORGANISASI-
2017-WARAN-11.12.2017.png. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Ampang. Dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-
syariah/ampang. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Gombak Barat. Dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-
syariah/gombak-barat. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Gombak Timur. Dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-
syariah/gombak-timur. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Jerantut. Dalam
http://pahang.jksm.gov.my/images/korporat/cartaorganisasi/mrs/11%20car
ta%20mrs%20jerantut.pdf. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Padang Terap. Dalam
http://kedah.jksm.gov.my/userfiles/files/Daerah/Padang%20Terap/CART
A%20ORGANISASI%20MRSPT%202019.pdf. diakses pada 04 Februari
2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Pekan. Dalam
http://pahang.jksm.gov.my/images/korporat/cartaorganisasi/mrs/3%20cart
a%20mrs%20pekan.pdf. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Petaling Jaya. Dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-
syariah/petaling-jaya. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Shah Alam. Dalam
http://www.jakess.gov.my/v4/index.php/info-jabatan/mahkamah-rendah-
syariah/shah-alam. diakses pada 04 Februari 2019.
87
Struktur Organisasi Mahkamah Rendah Syariah Yan. Dalam
http://kedah.jksm.gov.my/userfiles/files/Direktori/Yan/FORMAT%20CA
RTA%20UPDATE%201.pdf. diakses pada 04 Februari 2019.
Struktur Organisasi Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.
Dalam
http://www.mswp.gov.my/images/files/CartaOrganisasi/Carta%20Organis
asi%20MSWP%20KL%20-%20sehingga%2031072018.pdf. diakses pada
04 Februari 2019.
Undang-undang
Akta 505. Akta Pentadbiran Undang-undang Islam Wilayah Persekutuan.
Enakmen 1 Tahun 2003. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Selangor
2003.
Enakmen 1 Tahun 2003. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Selangor
2003.
Enakmen 10 Tahun 2003. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Sembilan
2003.
Enakmen 16 Tahun 2003. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Johor 2003.
Enakmen 3 Tahun 1982. Enakmen Pentadbiran Mahkamah Syariah Kelantan
1982.
Enakmen 3 Tahun 1991. Enakmen Pentadbiran Undang-undang Islam 1991
Negeri Pahang.
Enakmen 3 Tahun 1991. Enakmen Pentadbiran Undang-undang Islam 1991
Negeri Pahang.
Enakmen 3 Tahun 2001. Enakmen Mahkamah Syariah Terengganu 2001.
Enakmen 4 Tahun 2004. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Perak 2004.
Enakmen 4 Tahun 2004. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Pulau Pinang
2004.
Enakmen 4 Tahun 2006. Enakmen Pentadbiran Agama Isam Negeri Perlis 2006.
Enakmen 6 Tahun 2004. Enakmen Mahkamah Syariah 2004 (Negeri Sabah).
Enakmen 7 Tahun 2002. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Melaka
2002.
Enakmen 8 Tahun 2008. Enakmen Mahkamah Syariah Kedah Darul Aman 2008.
Ordinan 42 Tahun 2001. Ordinan Mahkamah Syariah Sarawak 2001.
Perlembagaan Persekutuan Malaysia.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Khairi Amri bin Ahmad, Penolong Mufti Unit
Buhuts Jabatan Mufti Negeri Selangor, Shah Alam, 25 Oktober 2018.
Wawancara Pribadi dengan Irwan Subeni, Ketua Institut Pengurusan dan
Penyelidikan Fatwa Sedunia (INFAD) Universitas Sains Islam Malaysia
(USIM), Nilai, 23 Oktober 2018. Wawancara Pribadi dengan Mohd Norhusairi, Dosen Senior Fakulti Syariah dan
Undang-undang Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, Kuala
Lumpur, 25 Oktober 2018.
88
Wawancara Pribadi dengan Nenney Sushaidah binti Shamsuddin, Hakim
Mahkamah Tinggi Syariah Selangor, Shah Alam. 7 Desember 2018.