cr oka metro

42
ANASTESI SPINAL PADA OPERASI SECTIO SECAREA DENGAN RIWAYAT PREEKLAMPSI BERAT (Case Report OK) Oleh: Tetra Arya Saputra Ahmad Farizan R. Lovensia Rinavi Adrin Pembimbing: dr. Hartawan, Sp.An dr. Yusnita Debora, Sp.An KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 1

Upload: lovensia-tia

Post on 11-Jul-2016

34 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

dxcd

TRANSCRIPT

Page 1: Cr Oka Metro

ANASTESI SPINAL PADA OPERASI SECTIO SECAREA DENGAN

RIWAYAT PREEKLAMPSI BERAT

(Case Report OK)

Oleh:

Tetra Arya Saputra

Ahmad Farizan R.

Lovensia

Rinavi Adrin

Pembimbing:

dr. Hartawan, Sp.An

dr. Yusnita Debora, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

RSUD AHMAD YANI

2014

1

Page 2: Cr Oka Metro

I. STATUS ANESTESI PASIEN

A. IDENTITAS

Nama : Ny. J

Umur : 40 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Bangun Rejo

Diagnosa : G4P2A1

Operasi : Sectio Caesaria + MOW

Operator : dr. Wahdi, Sp.OG

Ahlianestesi : dr. YusnitaDebora,Sp.An

No. RM : 237199

Anamnesis : autoanamnesa

 

A. Anamnesis:

Keluhan Utama: mau melahirkan dengan hipertensi dan glaukoma

Riwayat:

Pasien datang ke RSAY Metro dengan keluhan mau melahirkan dengan

hipertensi dan glaukoma.Keluhan disertai dengan pusing, kaki bengkak.

Pasein hamil 35 minggu. Pasien sebelumnya periksa ke RS permata Hati,

kemudian dokter menyarankan untuk di rawat. Akhirnya pasien dibawa ke

RSAY Metro. Setelah dirawat dokter menyarankan untuk terminasi

kehamilan dengan SC. Kemudian pasien diminta untuk puasa.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat Hipertensi tidak ada

Riwayat Alergi tidak ada

2

Page 3: Cr Oka Metro

Riwayat Operasi sebelumnya ada, operasi glaukoma 9 tahun yang lalu

Riwayat asma tidak ada

Riwayat DM tidak ada

Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat hipertensi ada

Riwayat Asma tidak ada

Riwayat Alergi tidak ada

B. Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 190/110 mmhg

Nadi : 90 x/menit

RR : 25x/menit

Suhu : 36,50C

Berat Badan : 50kg

Tinggi badan : 150 cm

Kepala

Mata : Konjungtiva ananemis

Sclera : Ikterik (-)

Mallampati score : 4

Tiromental distance : 6 cm

Leher

Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)

KGB : Pembesaran (-)

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Kesan redup

3

Page 4: Cr Oka Metro

Auskultasi : BJ1-BJ2 reguler, gallop (-). Murmur (-)

Paru

Inspeksi : Pergerakan kedua hemithorax simetris

Palpasi : Fremitus normal

Perkusi : Sonor/sonor

Auskulasi : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : cembung, simetris

Palpasi : hepar dan lien tidak bisa dinilai

Perkusi : tidak dilakukan

Auskulasi : BU (+)

Ekstremitas

Atas : Hangat +/+, edem -/-

Bawah : Hangat +/+, edem -/-, deformitas-/-

Status obstetri

TFU 21cm

Memanjang, puka

G4P2A1 (35 minggu)

C. Pemeriksaan Penunjang:

1. Hematologi

Darah Rutin Hasil Normal

Haemoglobin 10,9 g/dl 12 – 16 g/dl

Hematokrit 29,4 % 35 – 47%

Leukosit 11.600/μl 3.800 – 10.600 /μl

Trombosit 150.000/μl 150.000- 450.000 /μl

Eritrosit 3,9juta/μl 3,6- 5,8 juta/μl

MasaPerdarahan 2’ 1’-6’

MasaPembekuan 12’ 9’-15’

Kimia Darah Hasil Normal

4

Page 5: Cr Oka Metro

AST (SGOT) 15 <25 U/L

ALT (SGPT) 16 < 30 U/L

Ureum 23 mg/dl 15-50 mg/dl

Kreatinin 0,88 mg/dl 0,8 - 1,3 mg/dl

2. Urine lengkap

Urine lengkap Hasil Normal

Warna Kuning jernih

pH 6,5 5 – 8

Protein Negatif Negatif

Leukosit Negatif Negatif

D. Diagnosa

G4P2A1 hamil 35 minggu belum inpartu JTH preskep + PEB + glaukoma

(ASA II)

E. Informed Consent

Tindakan anestesi dan operasi telah diterangkan dan dimengerti, disetujui,

kemudian ditandatangani oleh keluarga pasien.

F. ProsedurAnestesi

Status Fisik : ASA II

Kesadaran : Compos mentis

Airway : bernafas spontan

Tekanan Darah : 190/110 mmhg

Nadi : 90 x/menit

RR : 25x/menit

Suhu : 36,50C

SpO2 : 99%

Premedikasi : nifedipin 10 mg

Tindakan Operasi : sectio caesaria + MOW

5

Page 6: Cr Oka Metro

Jenis Anestesi : Spinal Anestesi

Teknik Anestesi : spinal

pasien dalam posisi duduk tegak dan kepala menunduk

Dilakukan desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu regio vertebra lumbal

4-5

Dilakukan subarachnoid blok dengan jarm spinal no 27 pada regio lumbal

4-5

Approach median

Barbotage (+)

LCS keluar jernih

Respirasi spontan

Medikasi

Anestesi spinal : Bupivacain 20 mg (1 ampul)

Posisi : telentang

Durante operasi : O2 2 liter

Cairan

Total Asupan Cairan

1. Kristaloid : RL 2 colf

2. Produk Darah : -

Cairan yang Keluar

1. Perdarahan : 400 ml

2. Urin : 100 ml

G. Monitoring

Monitoring selama operasi ( 1 jam )

Nadi

Saat mulai anastesi : 95 x/ menit

Saat operasi : Nadi tertinggi : 100 x/menit

Nadi terendah : 80 x/menit

6

Page 7: Cr Oka Metro

Saturasi oksigen : 98-100 %

H. Instruksi Post Operasi

Posisi pasien bedrest, jaga jalan nafas

Infus RL 30 tetes / menit mikro

Monitoring jalan nafas

Analgetik ketoprofen sup 3 dd 2

Taximax 2dd1g

Amlodipin 1x10 mg

Puasa4 jam

Awasi perdarahan

I. Keadaan Pasca Bedah

Pasien masuk ICU dengan keadaan

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanandarah : 179/99 mmHg

Nadi : 83x / menit, bernapas spontan

Respirasi : 18 x / menit

Suhu ; 36,5 celcius

J. Resume ProsedurAnestesi

Ny J, usia 40 tahun dengan diagnosis G4P2A1 hamil 35 minggu dengan

PEB dan glaukoma status ASA II. Pada pasien ini dilakukan tindakan

operasi SC + MOW, dilakukan premedikasi dengan nifedipin 10 mg,

kemudian pembiusan spinal anestesi dengan bupivacaine 20 mg. Nadi saat

mulai anastesi 95x/menit, saat operasi nadi tertinggi 100x/menit dan nadi

terendah 80x/menit, dengan saturasi oksigen 98-100%. Pada saat operasi

berlangsung total cairan yang masuk (RL) 1000cc dan total cairan yang

keluar (darah dan urin) 500cc

B. TINJAUAN PUSTAKA

7

Page 8: Cr Oka Metro

Anestesi

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi

lokal. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan

atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar

pembedahan.

Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi lokal yaitu teknik

untuk menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu.

Persiapan pra anestesi

Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan

pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada

bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada

bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan kunjungan

pra anestesi adalah:

- Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

- Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang sesuai

dengan fisik dan kehendak pasien.

- Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American

Society of Anesthesiology).

ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan

faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA IIPasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas

16%.

ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian / live style terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ,

angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA VPasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir

tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa

operasi. Angka mortalitas 98%.

8

Page 9: Cr Oka Metro

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.1

Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi:

1. Anamnesis

a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.

b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi

penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis

(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,

dan penyakit ginjal.

d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan

obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan

obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,

antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.

e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,

jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif

pasca bedah.

f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan

anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik,

dan muntah.

g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,

pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,

neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

i. Makanan yang terakhir dimakan.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi

cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah

pembedahan.

b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta

suhu tubuh.

9

Page 10: Cr Oka Metro

c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya

trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi

ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula

pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan

mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati

sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam

melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:

1) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,

tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal

2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior

3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula

4) Mallampati IV: palatum durum saja

d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.

e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.

f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau

tanda regurgitasi.

g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,

adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi

vena atau daerah blok saraf regional.

Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan

dari premedikasi antara lain:

a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. Memberikan analgesia, misal pethidin

e. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid

f. Memperlancar induksi, misal : pethidin

g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan

10

Page 11: Cr Oka Metro

hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang

ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka

pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan

mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,

riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi

sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap

jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana

anestesi yang akan digunakan.

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat

premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:

a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.

b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan

midazolam

c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.

d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.

e. Antihistamin, misal prometazine.

f. Antasida, misal gelusil

g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine

Dalam kondisi ibu dan fetus normal, dapat dilakukan 2 pilihan teknik

anestesi yaitu General Anestesia dan Regional Anestesia. GA dan RA yang

dilakukan dengan terampil, hampir sama pengaruhnya terhadap bayi baru lahir.

Namun demikian, karena risiko untuk ibu dan kaitannya dengan Apgar skor yang

lebih rendah dengan GA, maka RA untuk bedah Cesar lebih disukai. RA akan

memberikan hasil neonatal terpapar lebih sedikit obat anestesi (terutama saat

digunakan teknik spinal), memungkinkan ibu dan pasangannya juga dapat

mengikuti proses kelahiran bayi mereka.

Penggolongan anestesi lokal:

11

Anestesi Lokal

Struktur Kimia obat

Cara Pemberian

Potensi Obat

Ester

Amide

Blok Saraf Sentral

Blok Saraf Tepi

Short Acting

Medium Acting

Kokain , Klorprokain, Benzokain, Prokain, Tetrakain

Lidokain, Prilokain, Etidokain, Bupivakain, Mepivakain, Ropivakain

Long acting

Topical

infiltrasi

Blok nerv

Regional iv

ganglion

pleksus

spinal

epidural

servikal

torakal

lumbal

Sacral/

kaudal

Page 12: Cr Oka Metro

ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan

tindakan bedah, obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas

bawah. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan larutan anestesi lokal kedalam

ruang subarakhnoid paralisis temporer saraf

12

Page 13: Cr Oka Metro

Lokasi : L2 – S1

Keuntunganteknikanestesispinal :

• Biaya relatif murah

• Perdarahan lebih berkurang

• Mengurangi respon terhadap stress (perubahan fisiologis tubuh terhadap

kerusakan jaringan)

• Kontrol nyeri yang lebihsempurna

• Menurunkan mortalitas pasca operasi

Indikasi

a. bedah abdomen bagian bawah, misal: op hernia, apendiksitis

b. bedah urologi

c. bedah anggota gerak bagian bawah

13

Page 14: Cr Oka Metro

d. bedah obstetri ginekologi

e. bedahanorectal& perianal, misal: ophemoroid

Kontraindikasi

Absolut

1. Kelainan pembekuan darah (koagulopati)

2. Infeksi daerah insersi

3. Hipovolemia berat

4. Penyakit neurologis aktif

5. Pasien menolak

Relative

1. R. pembedahanutamatulangbelakang

2. nyeripunggung

3. aspirin sebelumoperasi

4. Heparin preoperasi

5. Pasien tidak kooperatif atau emosi tidak stabil

Komplikasi

Akut

1. hipotensidikarenakandilatasipembuluh darahmax

2. bradikardi dikarenakan blok terlalu tinggi, berikan SA

14

Page 15: Cr Oka Metro

3. Hipoventilasi berikan O2

4. Mual muntah dikarenakan hipotensi terlalu tajam, berikan

epedril

5. total spinal obat anestesi naik ke atas, berikan GA

Pasca tindakan

1. nyeritempatsuntikan

2. nyeripunggung

3. nyerikepala

4. retensi urin dikarenakan sakral terblok pasang

kateter

Prosedur

a. Persiapan

1. Persiapanpasien

- Informed consent

- Pasangmonitorukurtanda vital

- Pre load RL/NS 15 ml/kgBB

2. Alatdanobat

- Spinal nedle G 25-29

- Spuit 3 cc/5cc/10cc

- Lidokain 5% hiperbarik, Bupivacaine

- Efedrin, SA

- Petidin, katapres, adrenalin

15

Page 16: Cr Oka Metro

- Obat emergency

b. Posisi pasien

- Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi

termudah. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah

lagi,karena perubahan posisi berlebihan dalam waktu 30 menit pertama

akan menyebabkan penyebaran obat. Jika posisi duduk, pasien disuruh

memeluk bantal, agar posisi tulang belakang stabil, dan pasien

membungkuk agar prosesus spinosus mudah teraba. Jika posisi dekubitus

lateral, maka beri bantal kepala, agar pasien merasa enak dan

menstabilkan tulang belakang.

- Tentukan tempat tususkan. Perpotongan antara garis yang menghubungkan

kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Untuk

Tusukan pada L1-2 atau diaatasnya berisiko trauma terhadap medulla

spinalis.

- Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol

- Beri anestetik lokal pada tempat tusukan.

- Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang

medial dengan sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal kearah

cranial. Jarum lumbal akan menembus kulit-subkutis-lig.supraspinosum-

16

Page 17: Cr Oka Metro

lig. interspinosum-lig. flavum-ruang epidural-duramater-ruang sub

arakhnoid. Kira-kira jarak kulit-lig.flavumdewasa ±6cm.

- Cabut stilet maka cairan serebro spinal akan menetes keluar.

- Pasang spuit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)

diselingi aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarumt etap baik.

Posisiduduk

Keuntungan: lebih nyata, processus spinosum lebih mudah diraba, garis

tengah lebih teridentifikasi (gemuk)

BUPIVACAINE

- Farmakodinamik :

Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat di

dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini

memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi. Absorpsi

sistemik anestetik ini dapat mengakibatkan perangsangan dan atau penekanan

sistem saraf pusat. Rangsangan pusat biasanya berupa gelisah, tremor dan

menggigil, kejang, diikuti depresi dan koma, akhirnya terjadi henti napas. Fase

depresi dapat terjadi tanpa fase eksitasi sebelumnya.

-   Farmakokinetik :

Kecepatan absorpsi anestetik ini tergantung dari dosis total dan konsentrasi

obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat pemberian, serta

ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik. Bupivacaine mempunyai awitan

lambat (sampai dengan 30 menit) tetapi mempunyai durasi kerja yang sangat

panjang,sampai dengan 8 jam bila digunakan untuk blok syaraf. Lama kerja

bupivacaine lebih panjang secara nyata daripada anestetik lokal yang biasa

digunakan. Juga terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya

sensasi.

17

Page 18: Cr Oka Metro

-   Efek samping :

Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin berhubungan

dengan kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh overdosis,

injeksi intravaskuler yang tidak disengaja atau degradasi metabolik yang

lambat.

Sistemik : Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan

kardiovaskular seperti hipoventilasi atau apneu, hipotensi dan henti jantung.

SSP : Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur

atau tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat dengan cepat

diikuti rasa mengantuk sampai tidak sadar dan henti napas. Efek SSP lain yang

mungkin timbul adalah mual, muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.

Kardiovaskuler  : Depresi  miokardium,  penurunan  curah jantung,

hambatan jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi

takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikuler, serta henti jantung.

Alergi : Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi edema

laring), bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid (meliputi

hipotensiberat).

Neurologik : Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis pernapasan

dan bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok spinal, retensi

urin,inkontinensia fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal dan fungsi

seksual;anestesia  persisten,  parestesia, kelemahan,  paralisis  ekstremitas

bawah  dan hilangnya kontrol sfingter, sakit kepala,  sakit punggung,

meningitis septik, meningismus, lambatnya persalinan, meningkatnya kejadian

persalinan dengan forcep, atau kelumpuhan saraf kranial karena traksi saraf

pada kehilangan cairan serebrospinal.

18

Page 19: Cr Oka Metro

Preeklampsia Berat (PEB)

Pengertian

Perkataan “eklampsia” berasal dari Yunani yang berarti “halilintar” karena gejala

eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam

kebidanan.

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi

(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam

urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi

dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua

kehamilan. Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang

bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat

bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan

atau koma. Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar antara 0,3%

sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan pre-eklampsia

berat dan eklampsia

Etiologi

Apa yang menjadi penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum

diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab

penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang

memuaskan.

Teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab pre-eklampsia adalah ischemia

placenta. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang bertalian

dengan penyakit ini. Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat

peningkatan angiotesin, renin dal aldosteron sebagai kompensasi sehingga

peredaran darah dan metabolisme dapat berlangsung. Pada preeklampsia dan

eklampsia terjadi penurunan angiotesin, renin, dan aldosteron, tetapi juga

dijumpai edema, hipertensi dan proteinurin. Berdasarkan teori ischemia implantasi

placenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi yang dapat

meningkatkan sensitifitas terhadap angiotesin II, renin dan aldosteron, spasme

19

Page 20: Cr Oka Metro

pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air. Teori ischemia daerah

implantasi plasenta didukung kenyataan sebagai berikut:

a. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil

ganda dan molahidatiosa

b. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan

c. Gejala penyakit berkurang bila terjadi kematian janin

Patofisiologi

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis

pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme

dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami

peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,

tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.

Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat

yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis

ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.

Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan

peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi

penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan

tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan

anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan

pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.

Faktor Risiko

Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklampsia bila mempunyai

faktor-faktor predisposi sebagai berikut:

1. Nulipara

2. Kehamilan ganda

3. Usia < 20 atau > 35 th

4. Riwayat preeklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya

20

Page 21: Cr Oka Metro

5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita preeklampsia

6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum

kehamilan

Klasifikasi

a. Preeklamsi Ringan, bila disertai keadaan

berikut:

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih diukur pada posisi berbaring

terlentang atau kenaikan diastole 15 mmHg atau lebih kenaikan sistole 30

mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali

dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.

2) Edema secara umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat

badan 1 kg atau lebih per minggu. Penambahan berat badan ini disebabkan

oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian baru edema nampak, edema

ini tidak hilang dengan istirahat.

3) 3) Proteinurina pada pemeriksaan urin midstream atau kateter menunjukan

+1 atau +2 atau 1 gr/liter.

b. Preeklamsi Berat

1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih pada posisi tirah baring

2) Protein uria ≥5 gr dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada pemeriksaan

diagnostik setidaknya pada dua kali pemeriksaan yang berjarak setidaknya

4 jam.

3) Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 400 cc per 24 jam.

4) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan nyeri epigastrium.

5) Terdapat oedem paru dan sianosis.

c. Eklampsi

Pada umumnya kejangan didahului oleh memburuknya preeklampsia.

Serangan Eklampsi dibagi menjadi 4 tingkat:

1) Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata

penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula

tangannya.

21

Page 22: Cr Oka Metro

2) Kemudian timbul tingkatan kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih

30 detik. Dalam tingkatan ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya

kelihatan kaku tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam.

Pernafasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.

3) Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang

berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot

berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut

membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol.

Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongestian

sianosis. Penderita menjadi tidak sadar.

4) Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu

sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadai sadar lagi, akan tetapi

dapat terjadi pula bahwa sebelum timbul serangan baru dan yang berulang,

sehingga ia tetap dalam koma.

Sectio Caesaria

Pengertian

Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban melalui

irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim, dengan membuka dinding

perut dan dinding uterus. Menurut Wiknjosastro (2002), terdapat beberapa

jenis sectio caesaria yang dikenal saat ini, yaitu:

1. Sectio caesaria transperitonealis profunda

2. Sectio caesaria klasik/corporal

3. Sectio caesaria ekstraperitoneal

4. Sectio caesaria dengan teknik histerektomi

Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio caesarea

transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan

teknik ini antara lain perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak,

bahaya peritonitis tidak terlalu besar, dan perut pada umumnya kuat

sehingga bahaya rupture uteri di masa mendatang tidak besar karena dalam

masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat

seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh sempurna.

22

Page 23: Cr Oka Metro

Indikasi Sectio Caesaria

a. Indikasi ibu

1) Disproporsi janin dan panggul

2) Stenosis serviks uteri

3) Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi

4) Preeklamsi/hipertensi

5) Bakat rupture uteri

6) Panggul sempit

7) Perdarahan ante partum

b. Indikasi janin

1) Kelainan letak

Letak lintang, letak sungsang, letak dahi dan letak muka dengan

dagu dibelakang, dan presentasi ganda.

2) Gawat janin

c. Indikasi waktu/profilaksis

1) Partus lama

2) Partus macet/tidak maju

Kontraindikasi

a. Infeksi intra uterin

b. Janin mati

c. Syok/anemik berat yang belum diatasi

d. Kelainan kongenital berat

Komplikasi sectio caesaria

Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan antara

lain kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan

pembedahan, dan lama persalinan berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat

timbul antara lain sebagai berikut:

a. Infeksi puerperal

Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu

selama beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa

23

Page 24: Cr Oka Metro

bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca

operatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-gejala

infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi

terhadap kelainan tersebut. Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan

pemberian antibiotka, namun tidak dapat dihilangkan sama sekali.

b. Perdarahan

Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabang-cabang arteria

uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.

c. Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari

Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya rupture uteri pada masa

kehamilan yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya perut

pada dinding uterus.

d. Komplikasi pada anak

Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra

natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4%

dan 7%

24

Page 25: Cr Oka Metro

C. ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang

dilakukan terhadap Ny. J, 40 tahun, didapatkan bahwa pasien dengan G4P2A1

hamil 35 minggu dengan PEB dan glaukoma riwayat asma (-), riwayat alergi (-),

riwayat operasi glaukoma 9 tahun yang lalu, riwayat hipertensi (-),riwayat DM (-).

Dalam hal ini, kami menganalisis penentuan ASA, pemedikasi. Pemilihan jenis

anestesi, pemberian terapi cairan durante operasi, manajemen pasca operatif.

1. Penentuan ASA

Pada pasien ini, penentuan ASA sudah tepat, yaitu ASA 2, karena pasien

menderita penyakit sistemik yang ringan yaitu riwayat hipertensi. Hal ini

sesuai dengan landasan teori sebagai berikut :

Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu

klasifikasi status fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk

menilai kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of

Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status enam kategori

fisik;

Kelas Status Fisik

ASA IPasien tidak memiliki kelainan organik maupun

sistemik selain penyakit yang akan dioperasi

ASA IISeorang pasien dengan penyakit sistemik ringan

sampai sedang.

ASA IIISeorang pasien dengan penyakit sistemik berat

yang belum mengancam jiwa.

ASA IVSeorang pasien dengan penyakit sistemik berat

yang mengancam jiwa.

ASA V Penderita sekarat yang mungkin tidak bertahan

dalam waktu 24 jam dengan atau tanpa

pembedahan, kategori ini meliputi penderita yang

25

Page 26: Cr Oka Metro

sebelumnya sehat, disertai dengan perdarahan yang

tidak terkontrol, begitu juga penderita usia

lanjut dengan penyakit terminal.

ASA VI

Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya

yang mana organnya akan diangkat untuk

kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang

membutuhkan

Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency).

2. Visit pre operasi dan premedikasi

Pada pasien ini, sebelum operasi, telah dilakukan visit terlebih dahulu, visit

pre operasi bertujuan mengetahui kondisi pasien meliputi airway, breathing,

circulasi, dissability, membina sambung rasa pada keluargapasien,

danmenentukan teknik anestesi yang akan dilakukan. Hal-hal tersebut sudah

dilakukan dengan baik pada Ny. J

Pada pasien ini dilakukan premedikasi dengan nifedipin 10 mg bertujuan

untuk menurunkan tekanan darah karena pada pasien ini tekanan darahnya

tergolong tinggi. Pemberian nifedipin aman terhadap ibu hamil, selain untuk

menurunkan tekanan darah juga berfungsi sebagai tokolitik. Nifedipine ini

tidak memiliki efek teratogenik.

3. Pemilihan Jenis Anestesi

Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional

sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa

pasien akan menjalani operasi section secarea sehingga pasien memerlukan

blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam

melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan

mudah digunakan. Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dimana

onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10

menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)

26

Page 27: Cr Oka Metro

dibandingkan lidocain (1-2 jam). Kecepatan absorpsi anestetik ini tergantung

dari dosis total dan konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, dan

vaskularisasi tempat pemberian, serta ada tidaknya epinefrin dalam larutan

anestetik. Selain itu terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya

sensasi.

4. Manajemen Cairan Durante Operatif

Pertimbangan pemberian cairan sangat penting untuk pasien durante operasi.

Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah

biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu

dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan

diberikan maka akan menyebabkan edema paru.

Perhitungan Rencana Pemberian Cairan

BB : 50 kg

Puasa : 6 jam

Lama operasi : 1 jam

Perdarahan : 400 cc

Cairan yang diberikan : RL 1000cc

a. Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan

9 kg

2cc x 50kg = 100cc/jam

b. Pengganti Puasa

Lama puasa x maintenance = 6 jam x 100 cc = 600 cc

c. Jumlah cairan selama operasi berat (stress operasi)

6cc x 50 = 300 cc/ jam

Jam I : M+SO+1/2PP= 100+300+300= 700 cc

Jam II : M+SO+1/4PP= 100+300+150= 550 cc

27

Page 28: Cr Oka Metro

Jam III : M+SO+1/4PP= 100+300+150= 550 cc

Cairan yang diberikan pada pasien ini selama operasi :

Jam I : RL 1000 cc

Perdarahan selama operasi

Darah yang disuccion = 550 cc

Cuci NaCl = 3 00 cc –

250 cc

Kassa kecil 15 kassa x 10cc = 150 cc

Jumlah perdarahan = 400 cc

Perdarahan = 400 cc

EBV (70 x BB) = 70 x 50 = 3500 cc

Grade Perdarahan

400 x 100% = 11,4%

3500

Jika perdarahan 10% : diganti dengan larutan fisiologis (RL) 3 kali lipat

Jika perdarahan 15-20% : diganti dengan koloid sejumlah perdarahan

Jika perdarahan >20% : diganti dengan wb sejumlah perdarahan

Pada pasien ini terjadi perdarahan sebanyak 11,4% atau 400 cc, sehingga

diberikan pemberian larutan fisiologis (RL) 3 kali lipat.

5. Manajemen Pasca Operatif

Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang ICU. Indikasi pasien

masuk ICU adalah kegagalan atau krisis pada sistem pernafasan, sistem

hemodinamik, sistem saraf usat, sistem endokrin dan metabolik, sistem

pembekuan darah, overdosis obat, reaksi obat dan keracunan, infeksi berat

atau sepsis, dan pasien post operasi besar yang memerlukan pemantauan

28

Page 29: Cr Oka Metro

intensif untuk mencegah komplikasi berat. Pada pasien ini indikasi masuk

ICU adalah post operasi sedang dengan glaukoma yang memerlukan

pemantauan intensif untuk pain management.

Pasien berbaring dengan tetap menjaga dan memantau jalan nafas agar tidak

tersumbat, dengan pemberian oksigen menggunakan nasal canul sebanyak 3

Liter/menit, monitoring pedarahan dan dipuasakan hingga bising usus positif.

29

Page 30: Cr Oka Metro

D. KESIMPULAN

Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis

tertentu agar tindakan anestesi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi.

Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya penggunaan

obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri, sehingga anestesi dalam persalinan

perlu mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Pemeriksaan pra anestesi yang

baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan

masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat

menentukan teknik anestesi yang akan dipakai.

Anestesi spinal memungkinkan ibu untuk tetap sadar pada saat

kelahiran dan mendengar suara tangisan dari bayinya, sehingga teknik

anestesi tersebut menjadi pilihan para ibu hamil dan dokter.

Pada makalah ini disajikan kasus anestesi spinal pada operasi sectio

caesarea pada wanita, usia 40 tahun, status fisik ASA II dengan diagnosis

preeklamsia berat gravida hamil preterm.

Prosedur anestesi spinal pada sectio casarea dalam kasus ini tidak mengalami

hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.

Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak

terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

30

Page 31: Cr Oka Metro

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, Edward Jr, dkk. Clinical Anesthesiology. 2005.Lange. Mc Graw

Hill

2. Longnecker E David, dkk. Anesthesiology. 2008. Mc Graw Hill

3. Stoelting K Robert, dkk. Anesthesia and Co-Existing Disease. 2002.

Churchill Livingstone

4. Latief A Said, dkk. Anestesiologi. 2010. Bagian Anestesiologi dan Terapi

intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5. William, dkk. Obstetric. Edisi 23. 2010. Cuninghan FG, dkk

6. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia.The Mountsinai Journal

of Medicine.Jan-Mar 2002.

7. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia.J

Bone Joint Surg Am.2010; 62:1219-1222.

31