biofar p4
TRANSCRIPT
LAPORAN RESMIPRAKTIKUM BIOFARMASETIKAPENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKASETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL PADA TIKUS
Disusun Oleh :Diah Ayu Setiowati1040812042Nailin Nimah1041111102Novelia Citra R.A1041111107Pradika Nudya R.R1041111117
Kelompol J/4
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASIYAYASAN PHARMASISEMARANG2013
PERCOBAAN 4
PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKASETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL PADA TIKUS
1. TUJUANMampu menetapkan dan menghitung parameter farmakokinetika sulfametoxazol setelah pemberian dosis tunggal pada tikus berdasarkan data kadar obat dalam darah terhadap waktu.1. DASAR TEORISecara praktis, makna klinik dari parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:1. Tetapan kecepatan absorpsi (Ka)Tetapan kecepatan absorpsi menggambarkan kecepatan absorpsi, yakni masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari absorpsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskuler, dsb). Nilai ini merupakan resultante dari kecepatan disolusi obat dari bentuk sediaannya dari pelarutannya dalam lingkungan tempat absorpsi, proses absorpsi itu sendiri, dan proses lebih jauh yang mungkin telah berlangsung, yakni distribusi dan eliminasi. Bila terjadi hambatan dalam proses absorpsi, akan didapatkan nilai Ka yang lebih kecil. Satuan dari parameter ini adalah fraksi persatuan waktu (jam-1 atau menit-1). Selain Ka, gambaran kecepatan disolusi juga bisa diperoleh dari nilai Tlag (lag-time), yakni tenggang waktu antara saat pemberian obat dengan munculnya kadar obat di sirkulasi sistemik (darah/serum/plasma). Satuan untuk Tlag adalah jam atau menit.1. Waktu mencapai kadar puncak (Tmax)Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Di samping Ka, Tmax ini juga digunakan sebagai parameter untuk menunjukkan kecepatan absorpsi, dan parameter ini lebih mudah diamati/dikalkulasi dari pada Ka. Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah dilihat dari mundurnya/memanjangnya T max. Satuan: jam atau menit.1. Kadar puncak (Cmax)Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah/serum/plasma. Nilai ini merupakan resultante dari proses absorpsi, distribusi dan eliminasi, dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak, proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi berada dalam keadaan seimbang. Selain menggambarkan derajad absorpsi, nilai Cmax ini umumnya juga digunakan sebagai tolok ukur, apakah dosis yang diberikan cenderung memberikan efek toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal (KTM). Satuan parameter ini adalah berat/volume (ug/ml atau ng/ml) dalam darah/serum/plasma.1. Tetapan kecepatan eliminasi (Kel)Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses-proses kinetik mencapai keseimbangan. Satuannya adalah fraksi per waktu (jam-1 atau menit-1). Nilai ini menggambarkan proses eliminasi, walaupun perlu diingat bahwa pada waktu itu mungkin proses absorpsi dan distribusi masih berlangsung. Secara praktis, nilai ini kemudian diterjemahkan kedalam parameter lain, yakni T 1/2. Tetapan ini dapat ditentukan dengan rumus:Kel= 0,693/ T 1. Waktu paro eliminasi (T1/2)Secara definitif, waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi separonya. Nilai parameter ini merupakan terjemahan praktis dari nilai Kel. Nilai T 1/2 ini banyak digunakan untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat akan habis dari dalam tubuh, kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang (interval pemberian), kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai keadaan tunak (steady state) pada pemberian berulang, dsb. Nilai T 1/2 ini dapat dihitung dengan rumus 0,693/Kel.1. Luas daerah di bawah kurva (AUC)Kadar obat dalam sirkulasi sistemik (darah/serum/ plasma) vs. waktu (AUC) Nilai AUC (Area Under Curve) dapat dihitung pada berbagai periode pengamatan, sesuai kebutuhan, misalnya AUC0-12, AUC0-24 atau AUC0-~. Nilai ini menggambarkan derajat absorpsi, yakni berapa banyak obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Dengan membandingkan nilai AUC pemberian ekstravaskuler terhadap AUC intravena suatu obat dengan dosis yang sama, akan didapatkan nilai ketersediaan hayati absolut (= F), yakni fraksi obat yang dapat diabsorpsi dari pemberian ekstravaskuler. lamanya kadar obat berada di atas kadar efektif minimal (KEM), dan intensitas efek dapat digambarkan kadar obat terhadap KEM.1. Klirens (Clearance)Di atas telah diuraikan, bahwa parameter-parameter yang lazim digunakan untuk menggambarkan proses eliminasi adalah nilai T1/2 atau Kel (T 1/2 lebih disukai). Sebenarnya Kel dan T1/2 tersebut merupakan hasil dari suatu proses yang dinamakan klirens (CL = Clearance), yakni kemampuan tubuh untuk membersihkan darah dari obat yang termuat di dalam tubuh (= Vd). Bila diformulasikan hubungan antara CL dengan Kel atau T1/2, akan didapatkan persamaan berikut:CL = Vd x Kel (http://ichan-rizkan.com/category/farmasi-dan-ilmu-kefarmasian/)
Table perhitungan parmeter farmakokinetik obat model satu kompartemen terbukaKinetikaParameterRumus matematikaSatuan
IntravenaOral
AbsorbsiKaAUC0-infF-trapezoid-residualtrapezoidAUCpo / AUCivJam-1g.jam/ml-
DistribusiVd Do / Cp0 atauDo/K.AUCo-infDo.F/Cp0 atauDo.F/K.AUCo-infml atau liter
EliminasiClKtDo/AUCo-infRegresi linier logCp Vs t0,693/KDo.F/AUCo-infRegresi linier log Cp vs t0,693/K liter/jamJam-1Jam
( Shargel dan Yu, 1993)Pada hakikatnya terdapat tiga jenis parameter farmakokinetika ( primer, sekunder dan besaran turunan lain ) yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri.Parameter farmakokinetika primer adalah parameter yang harganya dapat dipengaruhi secara langsung oleh perubahan salah satu atau lebih ubahan fisiologi terkait. Termasuk parameter primer antara lain:Tetapan kecepatan penyerapan (Ka), fraksi obat yang diserap (Fa), Volume penyebaran (Vz), Bersih tubuh (clearance) total (Cl), Bersih hati (CLH),Bersih ginjal (CLR).Parameter farmakokinetika sekunder adalah parameter farmakokinetika yang harganya bergantung pada harga parameter farmakokinetika primer. Artinya perubahan suatu harga parameter farmakokinetika sekunder, sepenuhnya disebabkan oleh terubahnya parameter farmakokinetika primer tertentu sebagai cerminan adanya pergeseran kekuatan suatu ubahan fisiologi. Contoh parameter sekunder:Tetapan kecepatan pengurangan obat (Ke), Waktu paruh pengurangan obat (t1/2), Fraksi obat utuh yang dikeluarkan ke dalam air kencing (fe). Parameter-parameter tersebut bermanfaat sekali untuk memperkirakan nasib obat di dalam tubuh dengan derajat tanggapan farmakologi atau toksikologinya.Besaran turunan lain harganya tidak semata-mata bergantung pada harga parameter farmakokinetika primer, tetapi juga pada dosis atau kecepatan pemberian obat terkait. Contohnya adalah kadar obat keadaan tunak dalam plasma (Css) dan luas daerah dibawah liku kadar obat utuh dalam plasma lawan waktu (AUC), juga bermanfaat guna memperkirakan hubungan nasib obat di dalam tubuh dengan derajat tanggapan farmakologi atau toksikologinya. (Dr.Imono Argo Donatus ,2005 )Sulfamethoxazolum
BM = 253,28Sulfamettoksazol mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C10H11N2O3S dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hamper putih, praktis tidak berbau.Kelarutan : tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam aseton dan dalam larutan NaOH, agak sukar larut dalam etanol.( DepKes RI.1995. hal:769)
Sulfametoksazol merupakan turunan senyawa sulfonamida yang merupakan kelompok zat antibakteri. Resorbsinya dari lambung dan usus baik (kecuali sulfa-usus), Pengikatan proteinyanya berkisar antara rata-rata 40% (sulfadiazine), 70% (sulfametazin dan sulfamerazin) dan 85%-97% untuk derivate long-acting sulfametoksipiridazin dan sulfadimetoksin. Kecuali untuk obat-obat dengan pengikatan protein tinggi, difusinya ke dalam jaringan agak baik. Di dalam hati sebagian diinaktifkan lewat perombakan menjadi senyawa asetilnya yang bersamaan dengan bentuk utuhnya diekskresi melalui ginjal. Kadar sulfa aktif dalam urin adalah 10 kali lebih tinggi daripada kadarnya dalam plasma, maka layak sekali digunakan sebagai desinfektan saluran kemih.Sulfametoksazol ini adalah juga derivate-isoksazol dengan Pengikatan protein 65%. Plasma t 10 jam dan ekskresinya via kemih, 25% dalam keadaan utuh dan 60% sebagai metabolit-asetilnya. Zat ini terutama digunakan terkombinasi dengan trimetoprim. (Tan Hoan Tjay dkk. 2007. )
I. ALAT DAN BAHAN
ALAT :1. Labu Takar2. Mikropipet3. Tabung reaksi4. Tabung penampung darah5. Vortex Mixer6. Sentrifuge7. Spektrofotometer
Hewan Uji: TikusBAHAN :1. Paracetamol2. Sulfametoxazol (SMZ)3. Asam Trikloroasetat (TCA) 5%4. Asam Trikloroasetat (TCA) 20%5. Natrium Nitrit 0,1%6. Natrium Nitrit 10 %7. Natrium Hidroksida 0,1 N8. Natrium Hidroksida 10%9. Ammonium Sulfamat 0,5%10. Asam Sulfamat 15%11. N(1-naftil)etilendiamin 0,1%12. HCl 6N13. Heparin
II. SKEMA KERJA1. Sulfametoxazol0. Pembuatan larutan stok Sulfametoksazol
Timbang 50 mg sulfametoksazolLabu takar 50 ml
Larutkan dengan NaOH 0,1%Encerkan dengan aquadest 50,0 ml
Larutan SMZ 1 mg / ml atau 1000 g / ml
0. Stok dibuatStok untuk pemberian pada subyek uji
Dibuat perhitungan dosis obat yang akan digunakan
0. Pembuatan kurva baku
500 L darah yang mengandung heparin
Tambahkan 500 L larutan standar SMZ
Kadar SMZ 10,20,40,60,80,100, dan 120 g / ml g/ml
Dicampur homogeny
Campuran IDitambah 2,0 ml TCA 5% dengan Vortexing
0. Pemprosesan Sampel In Vivo (sebagai blanko)
500L darah yang mengandung heparin
Ditambah TCA 5% 2 ml dengan vortexing
Campuran 2
Masing masing campuran 1 dan 2Disentrifuge (5-10 menit ,2500 rpm)
Diambil 1,5 ml beningan Diencerkan dengan 2,0 ml aquadest Masing-masing ditambah NaNO2 0,1% (0,2 ml)Didiamkan 3 menitDitambah asam sulfamat 0,5% (0,2 ml)Didiamkan 2 menitDitambah larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1% (0,2ml)Didiamkan 5 menit ditempat gelapDitambah 4 ml air suling
Larutkan
Kuvet
Diukur intensitas warna dengan spektrofotometer menggunakan blanko darah dengan memperhitungkan OT
Data0. Uji pendahuluan untuk farmakokinetika SMZ
Tikus ditimbang, diberi SMZ p.o dengan dosis yang telah ditetapkan.
Dilakukan pencuplikan darah lewat vena ekor pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120, 150, 180, 240, 300 menit
Ditambah TCA 2 ml 5% dengan vortexingDisentrifuge (5-10 menit ,2500 rpm)1,5 ml beninganDiencerkan dengan 2,0 ml aquadest Di tambah masing-masing larutan NaNO 0,1%Didiamkan 3menitDitambahkan asam sulfamat 0,5% (0,2 ml ) diamkan 2 menitDitambahkan laritan N(1-naftil) etilendiamin 0,1% (0,2 ml)Diamkan 5 menit ditempat gelap
LarutkanDitambahkan 4 ml aquadest
Kuvet
Diukur intensitas warna dengan spektrofotometer , menggunakan blanko darah dengan memperhitungkan OT
Data1. Parasetamol1. Pembuatan larutan stok Parasetamol
Timbang 50 mg parasetamolLabu takar 50 ml
Encerkan dengan aquadest ad 50 ml
Larutan PCT 1 mg / ml atau 1000 g / ml
1. Stok dibuatStok untuk pemberian pada subyek uji
Dibuat perhitungan dosis PCT yang akan digunakan
1. Pembuatan kurva baku
500 L darah yang mengandung heparinTambahkan 500 L larutan standar PCT
Kadar PCT 0,100, 200, 300, 400, 500, 600, dan 700 g/ml
Dicampur homogen
Campuran 1Ditambah 2,0 ml TCA 20% dengan Vortexing
1. Pemprosesan Sampel In Vivo (sebagai blanko)
500L darah yang mengandung heparin
Ditambah TCA 20% 2 ml dengan vortexing
Campuran 2
Masing masing campuran 1 dan 2Disentrifuge (5-10 menit ,2500 rpm
Diambil 1,5 ml beninganDimasukkan dalam labu takar 10,0mlMasing-masing ditambah 0,5 ml HCl 6NDitambahkan 1,0 ml NaNO2 10% (0,2ml)Dicampur baik-baikDidiamkan 15 menit (suhu