laporan praktikum teknik optik p4
DESCRIPTION
optikTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK–P4 PENGOLAHAN CITRA PADA FOTOGRAFI PRAKTIKAN: Karina Anggraeni (2414105021) Nufiqurakhmah (2414105026) Angkik Pandu Rizky (2414105052) Devic Oktora (2413106007) Sirojulaili (2413106009) ASISTEN: Fitri Rahmah (2413201003) Program Studi S-1 Teknik Fisika Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK–P4 PENGOLAHAN CITRA PADA FOTOGRAFI PRAKTIKAN: Karina Anggraeni (2414105021) Nufiqurakhmah (2414105026) Angkik Pandu Rizky (2414105052) Devic Oktora (2413106007) Sirojulaili (2413106009) ASISTEN: Fitri Rahmah (2413201003) Program Studi S-1 Teknik Fisika Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014
i
ABSTRAK
Pada saat ini zaman semakin maju seiring dengan
perkembangan teknologi fotografi yang semakin modern.
Namun, banyak orang yang kurang memahami tentang cara kerja
kamera digital, komponen yang ada dalam kamera digital dan parameter yang mempengaruhi hasil citra. Citra yang dihasilkan
dari fotografi dapat diolah lebih lanjut. Pengolahan citra digital
dapat dilakukan dengan konversi citra RGB ke citra grayscale.
Grayscale pada histogram dapat digunakan untuk melihat secara
kuantitatif apakah citra dari kamera gelap atau terang. Ada tiga
variabel yang dapat mempengaruhi citra yang dihasilkan kamera,
yaitu Apperture, ISO, dan Shutter Speed. Semakin besar nilai
Apperture dan Shutter Speed maka semakin gelap citra yang
dihasilkan. Semakin besar ISO maka semakin terang citra yang
dihasilkan.
Kata kunci : fotografi, pengolahan citra, grayscale, histogram
ii
ABSTRACT
In the current era of increasingly advanced with the development
of an increasingly modern photographic technology. However,
many people do not understand about the workings of digital
camera, components found in a digital camera and the parameters that affect the image. The resulting image of
photography can be processed further. Digital image processing
can be done by converting the RGB image to grayscale image.
Grayscale histogram can be used to quantitatively see whether
the image of the dark or light. There are three variables that can
affect the resulting image of the camera, ie Apperture, ISO, and
shutter speed. The larger the value of Apperture and Shutter
Speed make the darker of the image produced. The greater the
value of ISO make the more light of the image produced.
Keywords: photography, image processing, grayscale, histogram
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan praktikum
Teknik Optik yang berjudul “Pengolahan Citra Pada Fotografi” dapat diselesaikan. Penyusunan laporan
praktikum ini tidak terlepas dari bimbingan berbagai pihak.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Agus M. Hatta, Ph.D., selaku dosen mata kuliah
Teknik Optik.
2. Detak Yan Pratama, S.T., M. Sc., selaku dosen mata kuliah Teknik Optik.
3. Fitri Rahmah, selaku asisten praktikum.
4. Seluruh civitas akademik Teknik Fisika ITS
Penulis menyadari dalam penulisan laporan ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima
saran dan kritik sebagai perbaikan.
Surabaya, November 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
1.4 Sistematika Laporan 2
BAB II DASAR TEORI 3 2.1 Fotografi 3
2.1.1 Fotografi Analog 3
2.1.2 Fotografi Digital 3 2.2 Kamera Digital 4
2.3 Pengolahan Citra 7
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 11
3.1 Alat-alat Percobaan 11 3.2 Prosedur Percobaan 11
BAB IVANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 12
4.1 Analisa Data 12
4.2 Pembahasan 16
BAB V PENUTUP 22
5.1 Kesimpulan 22
5.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 24
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kamera Analog 3 Gambar 2.2 Proses Pengambilan Citra pada
Kamera DSLR 4
Gambar 2.3 Prinsip Kerja Kamera DSLR 5
Gambar 2.4 Prinsip Kerja Focal Length 5 Gambar 2.5 Sistem koordinat citra berukuran
M x N (M baris dan N kolom) 8
Gambar 2.6 Citra dan Nilai Penyusun Piksel 9 Gambar 2.7 Notasi Piksel Dalam Citra 9
Gambar 2.8 Frekuensi Tingkat Keabuan 10
Gambar 4.1 Grafik perubahan Apperture
terhadap nilai pixel terbanyak 15 Gambar 4.2 Grafik perubahan ISO terhadap nilai
pixel terbanyak 16
Gambar 4.3 Grafik perubahan Shutter Speed terhadap nilai pixel terbanyak 16
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Grafik perubahan Shutter Speed terhadap nilai pixel terbanyak 12
Tabel 4.2 Histogram dari citra kamera yang telah diberi
filter grayscale 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini zaman semakin maju seiring dengan
perkembangan teknologi yang semakin modern. Semakin banyak orang yang berlomba – lomba untuk meningkatkan
teknologi, seperti adanya teknologi kamera DSLR yang
menggunakan lensa tunggal dalam penggunannya. Namun,
banyak orang yang kurang memahami tentang cara kerja kamera digital, komponen yang ada dalam kamera digital dan
parameter yang mempengaruhi hasil citra.
Selain itu penggunaan citra digital semakin meningkat karena kelebihan yang dimiliki oleh citra digital tersebut,
diantaranya adalah kemudahan dalam mendapatkan gambar,
memperbanyak gambar, pengolahan gambar dan lain – lain.
Akan tetapi, tidak semua citra digital memiliki tampilan visual yang memuaskan mata manusia. Ketidakpuasan tersebut dapat
timbul karena adanya gangguan atau noise, seperti muncul
bintik – bintik yang disebabkan oleh proses penangkapan gambar yang tidak sempurna, pencahayaan yang tidak merata
mengakibatkan intensitas tidak seragam, kontras citra terlalu
rendah sehingga objek sulit dipisahkan dari latar belakangnya, atau gangguan yang disebabkan oleh kotoran yang menempel
pada citra sehingga diperlukan metode untuk dapat
memperbaiki kualitas citra digital tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang mucul pada percobaan modul 4
mengenai pemrosesan citra fotografi, yaitu:
1. Apa dasar – dasar teori untuk dapat pemrosesan citra fotografi?
2. Bagaimana cara kerja dan prinsip dasar dari parameter –
parameter kamera digital (ISO, aperture, shutter speed)?
2
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam percobaan modul 4
mengenai pemrosesan citra fotografi, yaitu : 1. Mampu melakukan dan menjelaskan dasar – dasar
pengolahan citra digital seperti konversi citra RGB kecitra
grayscale serta menampilkan histogram citra grayscale untuk dianalisa.
2. Memahami cara kerja dan prinsip dasar dari parameter –
parameter kamera digital (ISO, aperture, shutter speed).
1.4 Sistematika Laporan
Dalam laporan ini terdiri dari beberapa bab, sebagai
berikut : BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan sistematika laporan.
BAB II : Dasar Teori Bab ini menjelaskan tentang teori penunjang yang digunakan
dalam percobaan ini.
BAB III : Metodologi Bab ini menjelaskan secara detail mengenai langkah-langkah
yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan untuk
mendapatkan data keluaran yang dibutuhkan. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Pada bab ini merupakan tindak lanjut dari bab III, setelah
melakukan percobaan dan mendapatkan data maka dilakukan
analisa dan pembahasan. BAB V : Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran dalam percobaan
ini.
3
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Fotografi
Fotografi adalah suatu proses pengambilan gambar
atau citra melalui bantuan cahaya yang dipantulkan objek ke lensa kamera dan kemudian difokuskan kedalam film/sensor
kamera. Fotografi sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam
yang terdiri dari fotografi analog dan fotografi digital.
2.1.1 Fotografi Analog
Fotografi analog adalah proses pengambilan sebuah
citra dimana pada proses pengambilan citra tersebut menggunakan penyimpanan data pada film. Adapun proses
yang diperlukan dalam mencetak hasil foto meliputi
pemotretan, mencuci film, mencetak foto, dan membesarkan
cetakan.
Gambar 2.1 Kamera Analog[1]
2.1.2 Fotografi Digital
Fotografi digital adalah salah satu cabang fotografi yang menggunakan sensor cahaya untuk menangkap citra yang
difokuskan oleh lensa serta menggunakan file digital untuk
penyimpan gambar. Citra yang ditangkap kemudian disimpan
4
dalam bentuk file digital kemudian diproses melalui
pengolahan citra atau color correction, sizing, cropping,
preview, atau dicetak.[1]
Keunggulan menggunakan fotografi digital, adalah citra gambar yang diperoleh dapat ditampilkan, dicetak,
disimpan, dan dimanipulasi menggunakan komputer sesuai
dengan keinginan tanpa melalui proses kimia. Pada dasarnya,
kamera digital adalah divais fotografi biasanya menggunakan kamera DSLR yang terdiri dari lightproof box dengan lensa
diujungnya, dan sensor citra digital.[1]
Gambar 2.2 Proses Pengambilan Citra pada Kamera DSLR[1]
2.2 Kamera Digital
Kamera digital menggunakan sensor CCD atau CMOS untuk menangkap gambar dan sebuah lensa tunggal untuk
melihat hasil gambar serta merekam gambar. Untuk melihat
hasil kira-kira gambar yang akan difoto, kita dapat melihat di
jendela bitik atau view finder. Setelah melihat kasil kira-kira yang diinginkan. Tekan tombol shutter, maka mirror akan
terangkat dan jendela terbuka. Sehingga cahaya dari lensa
akan diteruskan menuju sensor. Maka hasil proyeksi gambar
ini yang nantinya diolah oleh kamera dan menjadi sebuah foto.
5
Gambar 2.3 Prinsip Kerja Kamera DSLR[2]
Adapun komponen penting yang terdapat pada kamera
digital yang meliputi :
a. Focal Length
Focal length merupakan jarak antara lensa dan bidang
focal atau sensor kamera dimana foto akan terbentuk. Jarak focal length dinyatakan dalam satuan milimeter. Dari sudut
pandang praktis, focal length merupakan nilai dari perbesaran
lensa. Semakin panjang focal lenght, maka semakin besar perbesaran objeknya.[2]
Gambar 2.4 Prinsip Kerja Focal Length[2]
6
b. Shutter Speed
Shutter speed merupakan waktu yang dibutuhkan oleh
shutter kamera untuk membuka dan menutup kembali dalam mengambil gambar objek. Expossure citra ditentukan dari
kombinasi shutter speed dan bukaan apperture. Pada user
interface kamera, shutter speed ditampilkan dalam fraksi satu detik. yaitu: 1 ; 2 ; 4 ; 8 ; 15 ; 30 ; 60 ; 125 ; 250 ; 500 ; 1000 ;
2000 ; dan B. .Angka 1 berarti shutter membuka dengan
kecepatan 1/1 detik. Angka 2000 berarti shutter membuka
dengan kecepatan 1/2000 detik, dan seterusnya. B atau bulb berarti kecepatan tanpa batas waktu (shutter membuka selama
shutter release ditekan). Fotografer menggunakan shutter
speed untuk menangkap objek bergerak. Misalnya objek mobil yang difoto akan menghasilkan citra blur ketika menggunakan
shutter speed rendah misalnya 1/8. Di sisi lain, shutter speed
yang besar misalnya 1/1000 mampu menangkap citra baling -
baling helikopter yang berputar dengan jelas[3].
c. Apperture
Apperture adalah bukaan lensa yang diatur dengan
melakukan setingan iris atau diafragma yang memungkinkan pengaturan jumlah cahaya masuk ke dalam sensor. Semakin
besar apperture, maka semakin banyak cahaya yang masuk ke
dalam lensa. Ukuran apperture dinyatakan dalam satuan f stops. Angka -angka ini tertera pada lensa yang terdiri dari 1.4
; 2 ; 2.8 ; 4 ; 5.6 ; 8 ; 11 ; 16 ; 22 dan seterusnya. Angka -
angka tersebut menunjukkan besar kecilnya bukaan diafragma
pada lensa. Aperture 12 digunakan untuk menentukan intensitas cahaya yang masuk. Semakin besar f-stops, semakin
kecil bukaan aperture, sehingga cahaya yang masuk semakin
sedikit. Sebaliknya, semakin kecil f/angka semakin lebar bukaan diafragmanya sehingga cahaya yang masuk semakin
banyak[4].
d. International Standarts Organization (ISO)
ISO (International Standarts Organization) pada
kamera merupakan benchmark rating yang menunjukkan nilai
kuantitatif sensitivitas dari film kamera. Semakin tinggi rating
ISO, semakin sensitif film terhadap cahaya, sehingga semakin
7
sedikit cahaya yang diperlukan untuk mengambil objek.
Hampir semua kamera DSLR memiliki setting ISO dari 100
sampai 3200. Pada setting ISO 400 keatas, beberapa kamera mengalami kesulitan untuk mempertahankan konsistensi
expossure tiap satuan piksel pada citra. Untuk meningkatkan
sensitivitas sensor pada kondisi tersebut, kamera meningkatkan tegangan input dari tiap elemen sensor sebelum
dikonversi menjadi sinyal digital. Pada saat sinyal elektrik dari
tiap elemen diamplifikasi, terjadi anomali pada piksel dengan
warna gelap. Hasil dari piksel sporadis dengan nilai kecerahan yang tidak sesuai disebut sebagai digital noise[5].
2.3 Pengolahan Citra Secara umum, istilah pengolahan citra digital
menyatakan “pemrosesan gambar berdimensi-dua melalui
komputer digital” (Jain, 1989). Menurut Efford (2000),
pengolahan citra adalah istilah umum untuk berbagai teknik yang keberadaannya untuk memanipulasi dan memodifikasi
citra dengan berbagai cara. Foto adalah contoh gambar
berdimensi dua yang bisa diolah dengan mudah. Setiap foto dalam bentuk citra digital (misalnya berasal dari kamera
digital) dapat diolah melalui perangkat-lunak tertentu. Sebagai
contoh, apabila hasil bidikan kamera terlihat agak gelap, citra dapat diolah agar menjadi lebih terang. Dimungkinkan pula
untuk memisahkan foto orang dari latar belakangnya.
Gambaran tersebut menunjukkan hal sederhana yang dapat
dilakukan melalui pengolahan citra digital. Tentu saja, banyak hal lain yang lebih pelik yang dapat dilakukan melalui
pengolahan citra digital.
a. Representasi Citra Warna
Citra digital dibentuk oleh kumpulan titik yang dinamakan piksel (pixel atau “picture element”). Setiap piksel
digambarkan sebagai satu kotak kecil. Setiap piksel
mempunyai koordinat posisi. Sistem koordinat yang dipakai
untuk menyatakan citra digital ditunjukkan pada Gambar 2.4.
8
Gambar 2.5 Sistem koordinat citra berukuran M x N
(M baris dan N kolom)
Dengan sistem koordinat yang mengikuti asas
pemindaian pada layar TV standar itu, sebuah piksel
mempunyai koordinat berupa (x, y). Dalam hal ini,
x menyatakan posisi kolom;
y menyatakan posisi baris;
piksel pojok kiri-atas mempunyai koordinat (0, 0) dan
piksel pada pojok kanan-bawah mempunyai koordinat (N-
1, M-1).
Sebagai contoh, citra yang berukuran 12x12 yang
terdapat pada Gambar 4.5(a) memiliki susunan data seperti
terlihat pada Gambar 4.5(b). Adapun Gambar 2.3 menunjukkan contoh penotasian f(y,x). Berdasarkan gambar
tersebut maka:
f(2,1) bernilai 6
f(4,7) bernilai 237
Pada citra berskala keabuan, nilai seperti 6 atau 237 dinamakan sebagai intensitas.[7]
9
(a) Citra berukuran 12 x 12 (b) Data penyusun citra 12 x 12
Gambar 2.6 Citra dan Nilai Penyusun Piksel
Gambar 2.7 Notasi Piksel Dalam Citra
[4]
b. Mengubah Citra Warna Menjadi Citra Gray-Scale
Proses awal yang banyak dilakukan dalam image
processing adalah mengubah citra berwarna menjadi citra gray-scale, hal ini digunakan untuk menyederhanakan model
citra. Seperti telah dijelaskan di depan, citra berwarna terdiri
dari 3 layer matrik yaitu R-layer, G-layer dan Blayer. Sehingga untuk melakukan proses-proses selanjutnya tetap
diperhatikan tiga layer di atas. Bila setiap proses perhitungan
dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama. Sehingga konsep itu diubah dengan
mengubah 3
10
layer di atas menjadi 1 layer matrik gray-scale dan hasilnya
adalah citra grayscale. Dalam citra ini tidak ada lagi warna,
yang ada adalah derajat keabuan[8]. Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing R, G
dan B menjadi citra grayscale dengan nilai S, maka konversi
dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai R, G dan B sehingga dapat dituliskan menjadi:
(2.1)
c. Histogram
Histogram citra merupakan tool yang digunakan untuk
mengetahui sebaran tingkat keabuan suatu citra. Informasi sebaran tingkat keabuan tersebut sangat bermanfaat untuk
memisahkan objek dengan latar belakang dari suatu citra[9].
Misalnya suatu citra dengan ukuran matrik 8 x 8, dengan tingkat keabuan antara 0 sampai dengan 7.
Gambar 2.8 Frekuensi Tingkat Keabuan
[5]
11
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat-alat Percobaan Adapun alat – alat yang digunakan dalam melakukan
percobaan antara lain:
1. Kamera Digital SLR 2.Tripot
3. PC/notebook terinstal MATLAB
4. Objekfotografi
3.2 Prosedur Percobaan
Langkah – langkah percobaan modul 4 mengenai
pemrosesan citra fotografi, yaitu : 1. Kamera digital disiapkan beserta objek fotografi yang steady.
2. Setiap pengambilan gambar dilakukan variasi pengaturan ISO,
shutter speed dan aperture , sedangkan resolusi dan focal length dikondisikan sama. (minimal 7 kali pengambilan
gambar, setiap pengambilan gambar dicatat ISO, shutter speed
dan aperture-nya yang digunakan). 3. Berdasarkan hasil gambar yang diperoleh, dipilih sebuah hasil
gambar terbaik dimana nilai ISO dan aperture-nya digunakan
sebagai acuan untuk pengambilan gambar selanjutnya.
4. Langkah selanjutnya dilakukan pengolahan citra dari hasil
citra gambar fotografi yang didapatkan diubah kedalam warna
grayscale menggunakan software MATLAB.
5. Setalah warna gambar diubah ke dalam grayscale, citra gambar dianalisa ke dalam histogram grayscale .
6. Hasil histogram grayscale pada citra dengan kombinasi AF,
ISO, SS dianalisa dan dibandingkan dengan teori.
12
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisa Data Pada percobaan P4 ini dilakukan percobaan mengenai
pengolahan citra dan fotografi. Pada percobaan ini akan dilihat
apa fungsi dari parameter-parameter pada kamera selaras dengan teori yang telah diketahui selama ini. Parameter yang dimaksud
adalah Apperture, ISO, dan Shutter Speed. Dari percobaan yang
dilakukan di dapatkan 21 data gambar untuk 21 kombinasi yang berbeda.
Tabel 4.1 Citra kamera dengan 21 kombinasi parameter
Perubahan
Apperture
Perubahan ISO Perubahan Shutter
Speed
AF 10; ISO 800;
SS 1/25
AF 10; ISO 100; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/25
AF 9; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 200; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/20
AF 8; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 400; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/15
13
AF 7.1; ISO 800;
SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/13
AF 6.3; ISO 800;
SS 1/25
AF 10; ISO 1600;
SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/10
AF 5.6; ISO 800;
SS 1/25
AF 10; ISO 3200;
SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/8
AF 5; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 6400;
SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/6
14
Tabel 4.2 Histogram dari citra kamera yang telah diberi filter
grayscale
Perubahan Apperture
Perubahan ISO Perubahan Shutter Speed
AF 10; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 100; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/25
AF 9; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 200; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/20
AF 8; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 400; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/15
AF 7.1; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/13
15
AF 6.3; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 1600;
SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/10
AF 5.6; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 3200; SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS
1/8
AF 5; ISO 800; SS
1/25
AF 10; ISO 6400;
SS 1/25
AF 10; ISO 800; SS 1/6
Gambar 4.1 Grafik perubahan Apperture terhadap nilai pixel
terbanyak
93 114
152 166 177 189
203
Nilai pixel terbanyak
Perubahan Apperture
16
Gambar 4.2 Grafik perubahan ISO terhadap nilai pixel terbanyak
Gambar 4.3 Grafik perubahan Shutter Speed terhadap nilai pixel
terbanyak
4.2 Pembahasan 4.2.1 Karina Anggraeni (2414105021)
Praktikum dilakukan dengan perubahan ISO, Shutter
speed dan Apperture. Ukuran satuan Apperture dinyatakan dalam satuan f–stops. Dalam teorinya semakin besar nilai f-stops,
semakin kecil bukaan diafragma, sehingga cahaya yang masuk
semakin sedikit. Ketika cahaya yang masuk sedikit maka citra yang dihasilkan gelap. Sebaliknya, jika nilai f-stops semakin
kecil,maka citra yang dihasilkan terang. Hasil praktikum
perubahan Apperture sudah sesuai dengan teorinya bahwa dari
13 25 46
93
158
197 229
Nilai pixel terbanyak
Perubahan ISO
93 122
154 164 181 192
209
Nilai pixel terbanyak
Perubahan Shutter Speed
17
apperture yang besar diubah semakin kecil maka citra yang
dihasilkan semakin terang. Apperture paling besar yaitu 10
menghasilkan citra paling gelap, sedangkan apperture paling
kecil yaitu 5 menghasilkan citra paling terang. Hasil histogram menunjukkan tingkat keabuan dari sebuah citra. Nilai histogram
dari 0 – 255. Semakin mendekati 255 maka tingkat keabuannya
tinggi berarti citranya terang. Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semakin kecil nilai apperture maka frekuensi tingkat
keabuan tinggi (mendekati 255) semakin banyak. Hal ini
menunjukkan gambar yang dihasilkan terang pada nilai apperture kecil. Tingkat keabuan berbanding terbalik dengan perubahan
apperture.
ISO merupakan benchmark rating yang menunjukkan
nilai kuantitatif sensitivitas dari film kamera. Semakin tinggi nilai ISO, semakin sensitif film terhadap cahaya, sehingga semakin
terang citra yang dihasilkan. Hasil praktikum yang dilakukan
menunjukkan bahwa semakin besar nilai ISO, citra yang dihasilkan semakin terang. Hal ini sudah sesuai dengan teorinya.
Dari Gambar 4.2 menunjukkan bahwa perubahan ISO semakin
tinggi maka tingkat keabuannya juga tinggi dan frekuensi tingkat keabuan tinggi semakin banyak. Hal ini menunjukkan citra yang
terang dihasilkan pada ISO tinggi. Tingkat keabuan berbanding
lurus dengan perubahan ISO.
Shutter speed merupakan waktu yang dibutuhkan oleh shutter kamera untuk membuka dan menutup kembali dalam
mengambil gambar objek. Nilai shutter speed yang besar maka
shutter akan membuka terus selama shutter release ditekan. Dalam teorinya semakin besar nilai shutter speed maka citra yang
dihasilkan semakin gelap dan sebaliknya. Hasil praktikum
menunjukkan bahwa semakin kecil nilai shutter speed maka citra
yang dihasilkan semakin terang. Hal ini sudah sesuai dengan teorinya. Dari Gambar 4.3 menunjukkan bahwa perubahan
shutter speed semakin kecil maka frekuensi tingkat keabuan
tinggi makin banyak. Hal ini menunjukkan citra yang terang dihasilkan pada shutter speed kecil. Tingkat keabuan berbanding
terbalik dengan perubahan shutter speed.
18
4.2.2 Nufiqurakhmah (2414105026)
Hasil eksperimen yang dilakukan sudah sesuai dengan
teori. Pada pengambilan foto dengan pengaturan pada apperture.
Semakin besar angka apperture, maka semakin sempit bukaan lensa sehingga semakin sedikit cahaya yang masuk. Hal ini
berpengaruh pada hasil gambar yang semakin gelap. Begitu pun
sebaliknya. Nilai apperture juga berpengaruh pada pada depth of field / area tajam. Semakin besar angka apperture maka luas area
ketajaman / fokus semakin sempit, begitu pun sebaliknya. Hal ini
dibuktikan dalam praktikum. Semakin kecil nilai apperture, gambar semakin terang dan semakin banyak area tajam / fokus
serta semakin sedikit area blur. Hasil histogram grayscale juga
menunjukkan bahwa semakin terang gambar (angka apperture
kecil) maka skala pada histogram semakin mendekati angka 255. Grafik pada Gambar 4.1 menunjukkan angka apperture
berbanding terbalik dengan nilai pixel terbanyak.
Pada pengambilan foto kedua dilakukan pengaturan pada rating ISO dimana rating ISO berbanding lurus dengan tingkat
kecerahan gambar. Hasil eksperimen telah sesuai dengan teori.
Semakin tinggi rating ISO maka gambar semakin cerah. Hasil histogram grayscale juga menunjukkan bahwa daerah terang
semakin mendekati skala 255 seiring bertambah tingginya rating
ISO. Gambar 4.2 menunjukkan rating ISO berbanding lurus
dengan nilai pixel terbanyak. Pengambilan gambar ketiga dilakukan pengaturan shutter
speed atau lamanya shutter terbuka untuk merekam cahaya yang
masuk melalui lensa. Nilai shutter speed dinyatakan dalam 1/x detik. Semakin kecil nilai x maka shutter speed semakin besar.
Hal ini menyebabkan semakin lama shutter terbuka, semakin
banyak cahaya yang masuk sehingga gambar semakin cerah.
Begitu pun sebaliknya. Eksperimen yang dilakukan sesuai dengan teori. Hasil histogram menunjukkan semakin besar nilai shutter
speed (1/x) maka semakin banyak area cerah (mendekati 255).
Grafik pada Gambar 4.3 menunjukkan angka shutter speed (dalam pembahasan ini adalah x) berbanding terbalik dengan
jumlah pixel terbanyak.
19
4.2.3 Angkik Pandu Rizky (2414105052)
Dari data yang telah didapatkan dengan merubah tiga
variabel yang terdiri dari ISO, Apperture dan Shutter Speed dapat
mempengaruhi hasil citra yang didapatkan. Pada Tabel 4.1
didapatkan hasil perubahan pada apperture jika nilai apperture
naik maka akan semakin gelap. Perubahan pada ISO jika semakin
tinggi nilai tersebut maka akan menyababkan cahaya akan masuk semakin banyak, sehingga akan menyebabkan hasil dari citra
tersebut akan semakin cerah dan perubahan kenaikkan nilai pada
SS akan meyebabkan hasil dari citra akan semakin gelap. Hasil citra yang dijelaskan pada Tabel 4.1 tersebut tidak lepas dari hasil
histogram yang dijelaskan pada Tabel 4.2, dimana hasil tersebut
merupakan histogram dari hasil cintra yang telah diberikan filter
grayscale, sehingga akan menunjukkan hasil grafik histogram pada citra tersebut. Jika hasil percobaan tersebut dibandingkan
dengan teori maka hasilnya dari percobaan yang telah dilakukan
sudah sesuai dengan teori yang ada. Apabila nilai apperture tersebut naik maka hasil citra akan semakin gelap, saat perubahan
pada nilai ISO naik maka citra yang dihasilkan akan semakin
terang, dan nilai shutter speed dinaikkan maka hasil citra tersebut
akan semakin gelap.
4.2.4 Devic Oktora (24131060007)
Dari data yang didapatkan bahwa perubahan Apperture,
ISO, dan Shutter Speed juga mempengaruhi perubahan kegelapan dari citra kamera. Kegelapan dari citra kamera yang diukur
berdasarkan nilai pixle grayscale. Nilai dari grayscale dari 0
sampai 255,dimana 0 mewakili hitam total dan 255 putih total. Dari Perubahan Apperture dari 10-5 memiliki perubahan dari
gelap ke terang. Secara kualitatif semakin kecil nilai dari
Apperture atau AF maka semakin putih/terang. Secara kuantitatif
dapat diperlihatkan dengan hasil histogram dari tiap gambar yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 dan dapat dilihat dengan sederhana
pada Gambar 4.1. Dari histogram dapat dilihat bahwa semakin
kecil nilai AF bentuk dari histogram tidak jauh berubah hanya bergeser ke arah yang lebih terang. ISO merupakan nilai dari
20
sensitivitas dari sensor yang dipakai, kamera yang digunakan
memiliki ISO dari 100-6400. Perubahan nilai ISO dari kecil ke
besar memberikan perubahan citra dari gelap ke terang. Dilihat
dari hasil citra bahwa pada saat setting ISO 100 memiliki citra yang gelap dan semakin naik nilai ISO semakin terang hasil citra
kameranya ditunjukkan oleh Tabel 4.1. Hasil histogram yang
ditunjukkan oleh Tabel 4.2 juga memiliki hasil yang selaras, dari pembacaan histogram ditunjukkan bahwa semakin besar nilai ISO
maka citra memiliki nilai grayscale yang tinggi dimana juga
ditunukkan pada Gambar 4.2. Bentuk dari histogram pada perubahan ISO memiliki bentuk yang menyempit pada ISO kecil
dan semakin lebar pada ISO besar dan memiliki nilai besar.
Shutter Speed merupakan nilai kecepatan shutter yang
ditunjukkan dengan nilai 1/detik. Dimana pada saat nilai shutter speed 1/25 maka memliki citra yang gelap dibanding dengan
shutter speed 1/6. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil histogram
dan juga gambar 4.3. Dari ketiga hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa teori tentang fotografi dapat dibuktikan dengan
percobaan yang telah dilakukan. Dimana saat nilai AF naik maka
citra semakin gelap, saat nilai ISO naik citra semakin terang, dan saat SS naik maka citra semakin gelap.
4.2.5 Sirojulaili (2413106009)
Dari hasil data pada table 4.1 menujukan bahwa
perubahan Apperture, ISO, dan Shutter Speed. Nilai apperture ini diafragma yang memungkinkan pengaturan jumlah cahaya masuk
ke dalam sensor (intensitas cahaya yang masuk). Semakin besar
apperture, maka semakin banyak cahaya yang masuk ke dalam lensa. Ukuran apperture ini dinyatakan dalam satuan f-stops. ISO
(International Standarts Organization) pada kamera
menunjukkan nilai kuantitatif sensitivitas dari film kamera.
Semakin tinggi nilai ISO, maka semakin sedikit cahaya yang diperlukan untuk mengambil objek. Shutter speed merupakan
waktu yang dibutuhkan oleh shutter kamera untuk membuka dan
menutup kembali dalam mengambil gambar objek. Semakin tinggi nilai shutter speed maka semakin jelas obyek gambar yang
dihasilkan. Dan ini biasa di buktikan dengan melihat data
21
praktikum pada gambar 4.3. ini menunjukan bahwa nilai Shutter
speed semakin kecil maka nilai keabuan semakin tinggi. Dari
table 4.2 menujukan bahwa pembacaan histogram yang di dapat
adalah semakin tinggi nilai dari suatu grayscel maka nilai ISO yang di peroleh akan semakin besar. grafik histogram yang di
tunjukan dapat dilihat bahwa pada konsentrasi foto, maka range
nilai tingkat keabuan kecil. Sedangkan apabila konsentrasi foto semakin tinggi, maka range nilai tingkat keabuan semakin besar.
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa: 1. Dasar pengolahan citra digital dilakukan dengan konversi
citra RGB ke citra grayscale. Grayscale dapat digunakan
untuk melihat secara kuantitatif apakah citra dari kamera
gelap atau terang dengan bantuan dari histogram.
2. Ada tiga variabel yang dapat mempengaruhi citra kamera,
yaitu Apperture, ISO, dan Shutter Speed. Semakin besar nilai Apperture dan Shutter Speed maka semakin gelap citra
yang dihasilkan. Semakin besar ISO maka semakin terang
citra yang dihasilkan.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk pengolahan citra
pada fotografi ini adalah: 1. Sebaiknya dilakukan pengaturan fokus pada kamera
sebelum dilakukan pengambilan gambar.
2. Pengambilan gambar dilakukan di lokasi yang berbeda sehingga diketahui perbedaan dari beberapa citra oleh
parameter tertentu pada kamera.
3. Sebaiknya dilakukan pengambilan gambar yang bergerak sehingga mengetahui pengaruh parameter shutter speed
pada kamera.
23
DAFTAR PUSTAKA
[1] Apple. Aperture Digital Photography Fundamentals. Apple
Computer Inc. 2005 : 7-12
[2] Imaging Source. Calculating the Focal Length-The Parameter You Need. The Imaging Source Technology
based on Standarts. Germany. 2006 :5
[3] Moloney Kevin. Shutter Speed. University of Colorado.
2008[pdf](URL:http://www.colorado.edu/Journalism/photojournalism/tech.pdf accessed on October 27 2011)
[4] W Piston David. Choosing Objective Lenses:The
Importance of Numerical Aperture and Magnification in Digital Optical Microscopy. Department of Physiology and
Biophysics. Vandrbilt University. 1998:2-3
[5] SLR Digital Photography. What is ISO setting on your digital SLR (DSLR) camera and how do you use it?. 2011
(html)
(http://www.slrphotographyguide.com/camera/settings/iso.s
html accessed on October 27 2011) [6] Purnomo Mauridhi Hery dan Arif Muntasa. 2010. Konsep
Pengolahan Citra Digital dan Ekstraksi Fitur. Graha Ilmu.
Halaman 29-31 (citra warna) dan 148 – 161 (deteksi tepi) [7] Kadir, Abdul. Susanto, Adhi. 2012. Pengolahan Citra Teori
dan Aplikasi. Penerbit Andi. Halaman 12-14
[8] Ramadijanti Nana, Achmad Basuki dan Riyanto Sigit.
2008. Modul Ajar D4 Teknologi Informasi Praktikum Pengolahan Citra. PENS-ITS. Halaman 35-36.
[9] Dwayne Phillips, (2000), “Image Processing In”, C R & D
Publications, Second Edition.17
24
LAMPIRAN A
KONTRIBUSI ANGGOTA KELOMPOK
No Nama NRP Kontribusi
1 Karina Anggraeni 2414105021 Abstrak,Abstract,
Editor
2 Nufiqurakhmah 2414105026 Paper
3 Angkik Pandu Rizky 2414105052 Bab 2
4 Devic Oktora 2413105007 Bab 4 Hasil
Percobaan
5 Sirojulaili 2413105009 Bab 1,Bab 3