bab iv ancaman dari perempuan asing dalam ezra...

19
1 BAB IV ANCAMAN DARI PEREMPUAN ASING DALAM EZRA 9-10 Diskusi teori dalam bab dua telah memaparkan beberapa konsep, seperti identitas sosial, isu-isu tentang the other, kedudukan perempuan di Israel Kuno; terkhususnya dalam hubungan dengan ikatan pekawinan dan perceraian, serta kajian feminisme. Sedangkan dalam bab tiga telah menyajikan latar belakang kitab Ezra dengan memperhatikan pengaruh Persia bagi masyarakat Israel selama pembuangan di Babilonia. Dalam bab ini penulis akan meninjau bahaya yang ditimbulkan oleh perempuan asing hingga timbulnya perceraian dengan perempuan asing dan menggunakan teori-teori dalam bab dua juga digabungkan dengan penemuan dalam bab tiga. Point penting yang harus dilakukan dalam bab ini adalah pertama-tama melihat berbagai aspek yang menghubungkan perempuan asing dan larangan perkawinan campur; diiukuti oleh penafsiran teks Ezra 9-10 dan kemudian penulis akan melakukan analisa yang menggabungan teori dan penemuan-penemuan dalam bab sebelumnya. Dan pada akhirnya dengan kontribusi dari penelitian ini bagi kehidupan kekinian. A. Perempuan Asing dan Larangan Kawin Campur Dalam Ezra 9-10 Identitas perempuan asing menjadi sulit untuk dipahami karena dalam teks Ezra 9-10 suara perempuan tidak nampak. Seperti halnya, mereka dituduh sebagai yang asing dan berdampak pada pencemaran, tidak terlihat adanya pembelaan dari perempuan terhadap statusnya di saat itu. Namun, „tuduhan‟ itu juga dapat menyiratkan ada sesuatu yang ditakuti dari dalam diri perempuan., sehingga berdampak pada larangan perkawinan campur antara orang-orang Yehud (orang-orang Israel di Yehuda) dengan perempuan asing. Untuk lebih

Upload: dinhkhanh

Post on 19-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB IV

ANCAMAN DARI PEREMPUAN ASING

DALAM EZRA 9-10

Diskusi teori dalam bab dua telah memaparkan beberapa konsep, seperti identitas

sosial, isu-isu tentang the other, kedudukan perempuan di Israel Kuno; terkhususnya dalam

hubungan dengan ikatan pekawinan dan perceraian, serta kajian feminisme. Sedangkan dalam

bab tiga telah menyajikan latar belakang kitab Ezra dengan memperhatikan pengaruh Persia

bagi masyarakat Israel selama pembuangan di Babilonia. Dalam bab ini penulis akan

meninjau bahaya yang ditimbulkan oleh perempuan asing hingga timbulnya perceraian

dengan perempuan asing dan menggunakan teori-teori dalam bab dua juga digabungkan

dengan penemuan dalam bab tiga.

Point penting yang harus dilakukan dalam bab ini adalah pertama-tama melihat

berbagai aspek yang menghubungkan perempuan asing dan larangan perkawinan campur;

diiukuti oleh penafsiran teks Ezra 9-10 dan kemudian penulis akan melakukan analisa yang

menggabungan teori dan penemuan-penemuan dalam bab sebelumnya. Dan pada akhirnya

dengan kontribusi dari penelitian ini bagi kehidupan kekinian.

A. Perempuan Asing dan Larangan Kawin Campur Dalam Ezra 9-10

Identitas perempuan asing menjadi sulit untuk dipahami karena dalam teks Ezra 9-10

suara perempuan tidak nampak. Seperti halnya, mereka dituduh sebagai yang asing dan

berdampak pada pencemaran, tidak terlihat adanya pembelaan dari perempuan terhadap

statusnya di saat itu. Namun, „tuduhan‟ itu juga dapat menyiratkan ada sesuatu yang ditakuti

dari dalam diri perempuan., sehingga berdampak pada larangan perkawinan campur antara

orang-orang Yehud (orang-orang Israel di Yehuda) dengan perempuan asing. Untuk lebih

2

memahami mengapa perempuan dalam teks Ezra 9-10 disebut sebagai orang-orang asing/

perempuaan asing, penulis menyajikan pendapat-pendapat para ahli yang nantinya berguna

untuk merekosntruksi teks tersebut.

Menurut Gunneweg „orang asing/foreigners‟ merupakan pelabelan bagi penduduk

yang sudah ada di negeri itu; yang mengklaim dirinya sebagai penduduk yang diimpor oleh

Esarhadon, tetapi „orang asing‟ juga disebut dengan istilah “orang-orang tanah/peoples of the

land”. Orang-orang tanah merupakan frase yang sering digunakan dalam perjanjian lama dan

literatur rabi dan di kemudian hari yang merujuk kepada orang-orang yang diperhitungkan

sebagai bukan Israel.1 Claudia Camp mengatakan bahwa, orang asing atau dengan istilah zar

dan nokri memilliki arti yang beragam; secara umum dapat diartikan sebagai seseorang yang

berkebangsaan asing tetapi juga mengacu kepada orang-orang yang berada di luar ikatan

wilayah kekerabatan, serta merupakan orang-orang yang bukan berasal dari kelompok para

imam; sehingga orang-orang asing ini dalam kitab perjanjian lama tidak diperhitungkan

dalam perjanjian dengan Yahweh.2

Berdasarkan komposisi demografis Yehuda pada periode Persia, Eskenazi dan Judd

mengusulkan bahwa perempuan-perempuan yang dikatakan asing ini kemungkinan berasal

dari antara kelompok ini. Pertama, perempuan-perempuan ini bisa merupakan orang Yehuda

atau orang Israel yang tidak ikut dalam pembungan ke Babilonia, atau mereka yang memiliki

status sosisl-ekonomi yang berbeda dengan kelompok yang kembali dari pembuangan.

Kedua, perempuan-perempuan ini bisa saja berasal dari bangsa-bangsa asing; yaitu bangsa-

bangsa tetangga seperti Amon, Moab dan sejenisnya atau mereka yang berasal dari bangsa

yang lebih jauh seperti Mesir. Ketiga, perempuan-perempuan ini bisa saja merupakan orang-

orang yang berasal dari Yehuda dan Israel, namun dalam praktek dan keyakinan agamanya

1 Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiahi, 144-145.

2 Claudia Camp. “What‟s So Strange about the Strange Woman?” dalam The Bible and the Politics of

Exegesis. (Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991), 17-38

3

berbeda dengan orang-orang yang baru kembali dari pembuangan.3 Dari ketiga kemungkinan

ini dapat disimpulkan bahwa, seseorang dikatakann Yahudi; ketika turut serta dalam

peristiwa pembuangan dan adanya kesamaan dalam keyakinan agamanya.

Dalam Alkitab Ibrani sering menampilkan sosok perempuan asing dengan bentuk

yang bereda-beda. Dalam bingkai ideologis, keasingan perempuan terkait dengan ritual dalam

penyembahan dewa-dewa asing; yang berpotensi mempengaruhi laki-laki Israel. Perempuan

asing juga merupakan bentuk kiasan yang merujuk pada perempuan dengan keanehan

seksualitas (perzinahan, pelacuran, dan perempuan yang mengontrol seksualitas mereka

sendiri). Dalam Alkitab Ibrani, perempuan asing dideskripsikan sebagai orang-orang penipu

atau mereka yang mengucapkan saksi dusta, sehingga tidak dapat di percaya. Perempuan

asing juga digunakan sebagai lambang kejahatan dan kematian; perempuan asing dianggap

sebagai penyebab laki-laki Israel kehilangan hak waris dan garis keturunan.4

Pada mulanya kritik feminis menyoroti perempuan asing sebagai bentuk kecaman dan

stigmatisasi di luar Israel, seperti istri Potifar, Delilah, dan Izabel yang berhubungan secara

langsung maupun tidak langsung dengan sistem patriarki dan ideologi etnosentris.5

Pencitraan negatif terhadap perempuan asing juga terdapat pada pandangan Esther Fuch,

yang menyatakan bahwa adanya penggambaran ambigu terhadap sosok perempuan. Ada

kalanya perempuan asing hanya dipandang sebagai batas simbolik antara Israel dan diluar

3 Tamara C. Eskenazi and Eleanora P. Judd, “Marriage to a Stranger in Ezra 9-10.” Dalam Tamara C.

Ezkenazi dan Kent Richards (peny) Second Temple 2: Temple and Community in the Persian Period. (Sheffield:

Sheffield Academic Press, 1994), 269-270. 4 Claudia Camp, Wise, Strange, and Holy: The Strange Woman and the Making of the Bible (Sheffield,

U.K.: Sheffield Academi Press, 2000), 28-29. 5 J. Cheryl Exum, Fragmented Women: Feminist (Sub)versionsof Biblical Narratives (Vallery Forgw,

Pa: Trimity Press Internasional, 1993), 68.

4

Israel, atau pada tingkatan tertentu mereka dilihat sebagai yang asing namun bagian dari

orang Israel; sebagai bentuk kontruksi haybrid/campuran.6

Namun berbeda dengan pendapat ahli sebelumnya, dengan memfokuskan pada

dinamika internal yang terjadi di provinsi Yehud dengan hubungan eksternalnya terhadap

apparatus birokrasi kekaisaran maka kehadiran “the strange and foreign woman” (Amsal

7:5) dapat dipahami sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat Yehud. Statusnya

sendiri tidak dapat dipungkiri menjadi ancaman bagi pemeliharaan kultus Bait Allah kedua.

Marbury berpendapat bahwa istilah issah zarah tidak serta merta mengacu kepada pelacur

atau perempuan sundal seperti yang diusulkan oleh para penafsir sebelumnya. Dengan

menggunakan kritik ideology, istilah ini menurutnya berhubungan dengan arti “perempuan

asing yang belum menikah”.7

Dalam periode pasca pembuangan, peran perempuan dalam Bait Allah kedua berada

dalam kepemilikan dari bet abbot (rumah bapa), serta akses perempuan terhadap dunia publik

lebih dibatasi dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Hal ini belum tentu berlaku bagi

perempuan di luar dari konteks bait Allah yang kedua. Perempuan yang tidak berada di dalam

lingkaran bait Allah kedua yang dikenal dengan sebutan perempuan “asing” kemungkinan

memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan dengan perempuan yang berasal dari kalangan

“golah” / kelompok pembuangan di mana ia bebas mengendalikan kehidupan seksualitasnya

baik untuk kepuasaan pribadi maupun untuk alasan mempertahankan kehidupan.8 Dengan

adanya pencitraan perempuan asing menurut otoritas Bait Allah Kedua ini maka seksualitas

perempuan dikontrol dan suaranya didiamkan. Narasi golah dibangun sebagai penanda

masyarakat Bait Suci kedua. Narasi ini memberikan dasar untuk membangun makna disemua

6 Esther Fuchs, “Itermarriage, Gender, and Nation in the Hebrew Bible” dalam Danya Rutternberg,

ed., The Passionate Torah: Sex and Judaism. Ed by Danya Rutternberg (New York and London: Ney York

University Press, 2009), 76. 7 Herbert R. Marbury, “The Strange Woman In Persian Yehud: A reading Proverbs 7”, dalam, ed., Jon

L. Berquist, Approaching Yehud: New Approaches to the Study of the Persian Period (Atlanta: Society of

Biblical Literature, 2007) 178-180 8 Marbury, The Strange, 174-176

5

simbol, narasi juga memberikan pentujuk ekplisit bahwa masyarakat golah (orang-orang dari

pembuangan) sedang menegosiasikan posisi sulit karena mereka berada dibawah kekuasan

kekaisaran Persia dan bagaimana mempertahankan kekompakan kelompok di tanah/wilayah

di mana mereka dipaksa untuk bersaing dengan masyarakat asli dalam kekuasan budaya dan

politik.

Gambaran negatif yang di alamatkan oleh perempuan asing, mengakibatkan

keberadaannya dijauhkan dari komunitas Israel sejati dengan diberlakukannya larang

perkawinan seperti yang dicatat dalam Ezra 1-5.

Dalam penafsirannya terhadap Ezra, Smith Christopher melihat bahwa mereka yang

dianggap bersalah dalam perkawinan campur adalah mereka yang berusaha untuk „menikah

ke atas‟ atau “marry up”, sebagai cara untuk mengubah status rendah mereka sebagai

masyarakat yang dibuang untuk berpartisipasi dalam kehidupan mayarakat kelas atas.9 Teks

dalam kitab Ezra mengungkapkan adanya kesadaran akan “kita” dan “mereka” yang

berhubungan dengan kelompok minoritas terancam (mereka yang kembali daripembunagan)

dan menaruh perhatian terhadap persoalan-persolan internal dan pada usaha untuk bertahan

hidup dalam mengahadapi kelompok mayoritas (orang-orang asing; orang-orang yang tidak

kembali dari pembuangan).10

Dalam tulisannya, Smith-Chirstoper juga mempertanyakan

tentang siapa yang menganggap perkawinan yang telah dilakuan oleh orang-orang sebagai

kawin campur. Ia berpendapat bahwa kemungkinan hanya Ezra dan pengikutnya sajalah yang

beranggapan bahwa perkawinan tersebut adalah perkawinan campur, sebaliknya tidak

demikian dengan mereka yang terlibat dalam pernikahan itu.11

Camp melihat adanya dua isu utama bagi orang-orang yang kembali dari pembuangan

dalam mempengaruhi adanya larangan untuk menikah dengan perempuan asing: 1) adanya

9 Smith-Christopher, The Mixed, 252.

10 Smith-Christopher, The Mixed, 257

11 Smith-Christopher, The Mixed, 247

6

sebuah kebutuhan bagi stabilitas keluarga sebagai bentuk mekanisme pertahanan dan untuk

membangun klaim atas wilayah kekuasaan politik; dan 2) adanya kebutuhan untuk

mempromosikan bentuk ibadah yang murni dan tepat bagi Yahweh.12

Menurut Camp kedua

isu tersebut berhubungan satu dengan lainnya dan krisis mulai terjadi ketika beberapa laki-

laki mulai menikah ke dalam keluarga-keluarga bangsa asing. Pernikahan-pernikahan

tersebut mengancam stabilitas struktur kekuasaan terutama karena pernikahan lintas etnis

dapat membawa tantangan-tantangan dari luar untuk menantang kekuasaan kepemimpinan

kelompok (Ezra 10). Washington berargument bahwa, larangan menikah dengan perempuan

asing pada pasca-pembuanagan disebebkan cara memandang Yudaisme sebagai agama bukan

sebagai kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memelihara keaslian Yahwist

terhadap pengaruh sikretis dari „penduduk negreri‟.13

Dalam pengamatan sosiologis, masyarakat Yehuda ditempatkan dalam konteks yang

lebih besar dari sekedar komunitas imigran, yang berusaha untuk menyesuaikan diri dalam

situasi baru. Hal ini menutut mereka untuk mengevaluasi aturan-aturan yang telah hilang dan

yang sebelumnya dianut dalam terang situasi baru dan sebagai bagian dalam proses

menetapkan aturan-aturan yang baru. Oleh sebab itu konflik perkawinan di Ezra 9-10 harus

diperbaharui berkaitan dengan jaringan kompleks dari variabel yang rumit bahwa masyarakat

terbentuk di masa transisi.14

Selaras dengan pendapat Smith-Christopher, Washington menilai tindakan perceraian

dan pengusiran terhadap perempuan asing sebagai upaya pengontrolan hak tanah oleh

komunitas Yahudi. Kepemilikan tanah adalah masalah penting bagi masyarakat awal pasca-

pembuangan, setelah peristiwa pembuangan di Babel, orang-orang yang tersisa (orang asing:

12

Claudia Camp, “What‟s So Strange about the Strange Woman ?” dalam The Bible and the Politicis of

Exegesis (Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991), 17-18. 13

Harold C. Washington, “The Strange Woman (issa zara/nokriyya) Of Proverbs 1-9 and Post –Exilic

Judean Society”. dalam Tamara C. Eskenzi and Kent H.Richards, ed., Second Temple Studies2: In The Persian

Period (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994), 231. 14

Eskenazi and Judd, Marriage, 275

7

mereka yang tidak memiliki hubungan dengan mereka yang kembali dari pembuangan),

telah mengklaim tanah yang telah ditinggalkan. Kemudian dalam terang Yehehezkel :11-15,

tanah Israel akan diberikan kembali kepada orang-orang dari pembuanagan. Ada indikasi

janji tersebut yang di gunakan Ezra dan kelompoknya untuk mendapatkan kembali hak tanah

tersebut, secara tidak langsung orang-orang dari pembuangan diklasifikasikan sebagai

saingan dengan orang-orang negeri atau orang-orang asing.15

Lebih lanjut Washington

berpendapat bahwa pernikahan dengan perempuan asing juga menimbulkan masalah karena

perempuan di Israel Kuno berhak mewarisi tanah. Dengan demikian larangan dan pengusiran

perempuan asing merupakan bentuk pencegahan terhadap perempuan asing untuk

mendaptakan akses ke dalam kelompok.16

Pemahaman yang sama juga terlihat dari pandangan Berquist, namuan baginya

kepentingan yang sebenarnya dari bangsa Israel bukanlah semata-mata persoalan hak

kepemilikan tanah, melainkan keseluruhan aspek ekonomi. Menikah dengan dengan

seseorang yang berasal dari kelas sosial-ekonomi yang sama akan memastikan adanya

kontrol elite tanah dan kekayaan. Menenggapi penjelasan tersebut, munurut Berquist

masyarakat tidak benar-benar menyutujui aturan yang dikeluarkan Ezra untuk membubarkan

perkawinan dengan bangsa asing, melainkan hanya untuk memastikan bahwa orang kaya

menikah dengan orang kaya (status sosial-ekonomi yang sama).17

Larangan kawin campur

dapat dilihat sebagai upaya menetapkan batas-batas dan untuk mempertahankan identitas

Yahudi dalam pemerintahan Persia, serta menghindari asimilasi agama dan budaya.18

Persia juga mendukung larangan kawin campur. Persia sebagai pihak yang memiliki

kekuasan diduga terdorong untuk menawinkan perempuan-perempuan Persia denganlaki-laki

15

Washington, The Strange, 232-233 16

Washington, The Strange, 236-238 17

Jhon L. Berquist, Judaism in Persia‟s Shadow: A Social and Historical Approach (Minneapolis:

Fortress, 1995), 118-119. 18

Bruce C. Birch., Walter Brueggemann, and David L. Petersen, A Theological Introduction to the Old

Testament (Nashville: Abingdon, 2005), 437

8

dari keluarga komunitas golah sebagai cara untuk memperkuat kesetian kelompok kepada

Persia. Karena pernikahan dengan anggota kelompok etnis lokal lainnya akan memperluas

kekayaan dan pengarug masyarakat golah di luar perbatasan Yehud dan diluar kendali Persia.

Larangan kawin campur dengan orang-orang asing secara tidak langsung telah melayani

kepentinagan Persia.19

B. Tafsiran Teks

Beragamnya pandangan terhadap orang-orang negeri dan status keasaingan yang

dilekatkan terhadap diri perempuan, dalam kisah Ezra 9-10 memperlihatkan adanya

kesenjangan antara kelompok istimewa (mereka yang termasuk dalam komunitas) dan

kelompok non istimewa (orang-orang diluar komunitas). Sebagai bagian dari orang-orang

diluar komunitas, status perempuan semakin terperuk dalam berbagai aspek kehidupan, ia

tidak lagi diperhitungkan dan terkadang kehadirannya dikaburkan oleh kekuasaan laki-laki.

Melihat kembali kisah yang disajikan oleh Ezra 9-10, keasingan perempuan membuat mereka

diceraikan bahkan terjadi pengusiran perempuan asing dan anak-anaknya. Muncul pertanyaan

dari teks ini adalah tentang mengapa perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menjadi

bagian dalam masyarakat. Selain itu penulis juga mempertanyakan motivasi perceraian dan

pengusiran perempuan asing. Apakah pengusiran itu bermotif untuk menjahuhkan laki-laki

Israel dari kemurtadan, tujuan ekonomi politik, atau untuk menjaga identitas mereka.

Ezra 9-10 membentuk unit yang berkiatan dengan perkawinan rakyat Israel dan

orang-orang negeri serta pengusiran perempuan asing, dengan demikian setengah dari cerita

Ezra berpusat pada kedua kisah ini. Sosok Ezra yang tampil dalam kedua pasal ini

tampaknya berbeda dengan sosok Ezra yang diberikan kekuasan oleh raja (Ezra 7). Menurut

Kitab Ezra 9:1, keberadaan Ezra dengan kelompoknya yang baru saja tiba di Yehuda,

19

Lisbeth Freid, The Priest and the Great King: Temple-Palace Relations in the Persian Empire

(Winona Lake, Ind: Eisenbarauns, 2004), 211.

9

memastikan bahwa masalah yang terjadi tidak bisa menjadi milik mereka. Hal ini

menunjukan bahwa sekelompok besar orang-orang Israel, para imam, dan orang-orang Lewi

sudah menetap terlebih dahulu di sekitar Yerusalem.20

Kelompok tersebut yang dituduh tidak

memisahkan diri dengan bangsa-bangsa asing (Ezra:9); Smith-Christopher mencatat teks

Perjanjian Lama yang menyajikan pandangan yang lebih menguntungkan dari orang asing.

Dia juga menegaskan bahwa istilah dimana asing diidentifikasi merupakan "istilah lama yang

hampir pasti telah menjadi penghinaan stereotip merendahkan yang mengacu kepada

kelompok-kelompok etnis yang sudah lama hilang atau berasimilasi.21

Melihat kemarahan pemimpin dalam Ezra 9:1-2 dan juga dari langkah-langah yang

diambil oleh Ezra, menonjol peringatan yang diberikan oleh Musa; agar tidak menikah

dengan penduduk asli Kanaan karena perkawinan campur hampir dipastikan akan

menyebabkan sinkrestisme dan kemurtadan. Namun ada perbedaan larangan yang

dikeluarkan Ezra dan Musa, menurut Blenkinsopp teks-teks Alkitab seperti Kel 34:15-16 dan

Ul 7:5-6, hanya memperingatkan dan melarang perkawinan campur, tetapi tidak memberikan

ketentuan atau kewajiban untuk membubarkan dan mengirim perempuan dan anak-anak dari

penduduk Kanaan. Oleh sebab itu aturan-aturan yang dipakai oleh Ezra hanya terjadi dalam

periode pasca-pembuangan, dengan kata lain kepercayaan dalam gagasan „benih suci‟

sepertinya mengabaikan aturan moral dari Musa.22

Menggunakankan kerangka analisis dari Julia Kristeva, Washington berpendapat

bahwa motivasi pengusiran perempuan-perempuan asing dari komunitas Israel disebabkan

karena perempuan tersebut dapat mengacam kekudusan komunitas Israel dan membuat

mereka menjadi tercemar. Penggunaan istilah „zera haqqodes‟ atau „benih suci‟ merujuk pada

20

Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiah (London and New York: Routledge, 1998), 30. 21

Smith-Christopher, The Mixed, 257 22

Joseph Blenkinsopp, “Temple and Society in Achaemenid Judah” In Second Temple Studies. Ed. By

Philip R. Davies (Sheffiield Academic Press 1991), 50-53

10

penggambaran Israel sebagai umat kudus (Ezra 9:2) dan istilah „nidda‟ atau

„menstruasi/ketidakmurnian‟.23

Benih beruhubungan dengan lambang kemurnian laki-laki

dan kenajisan menstruasi adalah lambang dari pencamaran perempuan, sehingga menandakan

perempuan sebagai orang asing dalam komunitas yang harus dikeluarkan. Dalam sudut

pandang yang luas, Washington menguhubungkan kata nidda untuk mendiskripsikan tanah

yehuda sebagai „eres nidda atau tanah haram‟ (Ezra 9:11), sehingga secara tidak langsung

orang-orang yang mendiami tanah Yehuda merupakan bagian dari bangsa-bangsa asing yang

harus dikeluarkan.24

Menurut Becking, penggunaan istilah „benih suci‟ dalam Ezra 9:2 harus dilihat

sebagai gabungan dua gambaran dari Israel tradisional. Dalam kitab Ulangan, Israel sering

disebut sebuah bangsa yang kudus atau “holly seed”; dan ditempat lainnya Israel disebut

sebagai keturunan Abraham atau „holly nation‟. Kedua penggambaran ini berkaitan dengan

pemahaaman diri sebagai bangsa pilihan Allah menyiratkan bahwa kelompok tersebut tidak

dapat dikotori oleh unsur-unsur asing.25

Selaras dengan pemikiran Becking, Louis Epstein melihat penggunaan kalimat „benih

suci‟ mencerminkan mentalitas rasial dari mereka yang kembali dari pembuangan.

Perkawinan eksogami atau menikah dengan orang lain selain orang Yahudi merupakan

bentuk pencemaran bangsa. Menurtnya, pandangan Ezra terhadap kemurnian darah

berhubungan erat dengan kemurnian agama monotestik Ibrani, dengan kata lain percampuran

darah Ibrani dengan yang orang-orang asing sama artinya dengan memalsukan agama

leluhur.26

Dengan membandingkan kitab Ulangan dan Ezra, ia menyimpulkan bahwa; Kitab

23

Harold Washington, Israel‟s Holly Seed and the Foreign Women of Ezra –Nehemiah: A Kristevan

Reading (Saint Paul: Saint Paul Of Theology, 2003), 431. 24

Washington, Israel‟s Holly, 431-434 25

Becking, Continuity, 270-271 26

Louis M. Epstein, Marriage Laws in the Bible and the Talmud (New York: Johnson Reprint

Corporation, 1968), 162

11

Ulangan berusaha mempertahankan kemurnian komunitas agama dan disisi lain Ezra ada

dalam pemikiran kemurnian agama leluhur.27

Hayes dan Bossman, berpendapat bahwa Ezra melihat perkawinan dengan perempuan

asing akan mencemarkan status suci Allah yang dianugerahkan kepada Israel di Sinai. Oleh

karena itu, berbeda dengan larangan Musa terhadap perkawinan dengan perempuan asing

yang dimaksudkan untuk menjaga Israel dari penyembahan berhala, sebaliknya Ezra

melarang pernikahan dengan bangsa-bangsa lain karena mereka tidak suci 28

Menurut Christine Hayes, impuirtas/ketidakmurnian terdiri dari dua jenis yakni,

ketidakmurnian ritual (Im 12-15) dan moral (Im 18-20) yang memungkinkan yang „asing‟

untuk menyatu dengan komunitas. Ketidakmurnian ritual dan moral dapat hapuskan dengan

menggunakan tata cara pemurnian ritual atau pembaharuan moral. Untuk ketidakmurnian

silsilah atau “genealogical impurity” bersifat tertutup dari mereka yang asing. Lebih lanjut

Hayes menambahkan bahwa, Ezra adalah orang pertama yang medefenisikan istilah silsilah

secara khusus bahwa semua orang Israel bukan hanya kelas imam adalah „benih suci‟ yang

berbeda dengan „benih tidak suci‟ dari bangsa-bangsa lain. Kemurnian silsilah diwajibkan

untuk semua orang Israel untuk mencegah „pecemaran‟ dari benih suci, bahkan penodaan

suatu aset yang kudus dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap Allah.29

Kemurnian silsilah yang diperkenalkan oleh Ezra mengacu pada keturunan biologis

dari orang tua Israel sebagai benih suci. Maka kemurnian silsiah tidak berdasarkan ras tetapi

berdasarkan agama, karna itu hasil dari pemisahan Allah terhadap keturunan Abraham.30

Melengkapi pendapat Wolak, Edward Dobson menyatakan bahwa perhatian utama Ezra

27

Epstein, Marriage Laws, 162 28

David Bossman, Ezra‟s Marriage Reform: Israel Redefined (Loudonville N.Y: Siean Collage,

1979), 32-38 29

Christine E. Hayes, Gentile Impurities and Jewish Identities: Intermarriage and Conversion from the

Bible to the Talmud (Oxford: Oxford University, 2002), 10-11. 30

Arthur J. Wolak, “Ezra Radical Solution To Judean Assimilation”, dalam bq.jewishbible.org/40-2-

april-june-201/, diakses Selasa, 1 September 2015 pukul 22.00WIB

12

adalah pelestarian garis mesianis. garis Mesias, didirikan ketika Allah berjanji kepada

Abraham bahwa melalui benihnya semua bangsa di bumi akan diberkati.31

C. Analisa Teks Ezra 9-10

Berdasarkan narasi Ezra 9-10 serta gambaran-gambaran teori maka penulis

menyimpulkan bahwa, Ezra sebagai seorang imam yang diutus oleh pemerintahan Persia

untuk menegaskan kembali aturan keagamaan terhadap orang-orang dari pembuangan ketika

berada di Yehuda. Dengan demikian tatanan kehidupan dan aturan-aturan selama

dipembuangan tetap terbawa dalam penerapannya di Yehuda. Seperti: tema eskatologi bahwa

bangsa Yahudi harus hidup kudus seperti Tuhan, serta membangkitkan melastarikan cerita-

cerita dalam sumber P. Dunia dalam sumber P di tandai dengan wujud dunia yang penuh

dengan keteraturan terlihat dari hukum-hukum dan pemisahan terhadap yang najis dan tidak

najis, yang murni dan tidak murni serta yang kudus dengan tidak kudus. Sumber P yang

digunakan oleh para imam juga berhubungan dengan realitas orang-orang yang berada

dipembuangan.

Melihat latar belakang yang disajikan oleh Ezra ketika Israel dibuang di Babylonia

memposisikan bangsa Israel sebagai komunitas diaspora. Suatu komunitas yang „terintegrasi‟

tetapi tidak „terasimilasi‟ dengan penduduk lokal, yang disebabkan oleh adanya kesadaran

mempertahankan identitas yang kuat karena masih memelihara memori tentang daerah asal

dan sejarahnya, atau dikenal dengan istilah „komunitas imajiner. Hal ini juga berhubungan

erat dengan surat Yerimia yang ditujukan bagi mereka yang berada di pembuangan, untuk

melakukan pertahanan lewat strategi-strategi dalam menciptakan rumah baru dalam situasi

yang baru, dengan cara mempertahankan identitas mereka yang unik di tengah konteks

diaspora.

31

Edward Dobson, “Divorce in the Old Testament,” Fundamentalist Journal 10” dalam

http://digitalcommons.liberty.edu/fun_85/9/, Kamis, 19 September 2015 pukul 02.05WIB.

13

Mereka yang kembali dapat dianggap sebagai yang pasif karena semuanya telah

dikontrol dari pembuangan. Pembuangan belum berakhir mengingat mereka yang berada

dipembuangan tetap memiliki otoritas terhadap mereka yang telah kembali (pemerintahan

dikendalikan dari pembuangan). Yerusalem/Yudea akhirnya menjadi seperti diaspora karena

didiami oleh sekelompok asing yang mengancam kelangsungan identitas keyahudian mereka.

Mereka yang kembali akhirnya membutuhkan pertolongan dari mereka yang tetap tinggal di

pembuangan untuk membuat strategi dalam melawan kelompok asing ini guna

mempertahankan integritas kelompok. Tujuan dari Ezra-Nehemiah menunjukkan bahwa

mereka yang kembali tidak boleh bertindak tanpa sepengetahuan atau di bawah kontrol

komunitas diaspora yang berada di Babilonia, mereka adalah ahli waris yang sah dari

monarki Yehuda. Tujuannya adalah untuk meninggikan pengalaman pembuangan sebagai

sesuatu yang signifikan dan bukan marginal. Hal ini tentu saja akan terancam ketika mereka

mengijinkan orang asing yang tinggal di Yerusalem untuk mengklaim kekuasaan yang ada.

Di sini adanya upaya agar kelompok yang pulang dari pembuangan tetap mempertahankan

statusnya sebagai „pemenang.‟

Di sisi lain ketika teks-teks, ritus dan persentasi ikon dari yang Ilahi, dilihat sebagai

ekspresi dari sebuah kepercayaan dari suatu masyarakat atau dari suatu kelompok yang paling

berkuasa dari masyarakat tersebut. Maka ide tentang „kepercayaan” lebih berhubungan

dengan “world view” dan “ideology” dari pada dengan iman di dalam suatu pengertian

keagamaan yang dibatasi. Kitab Ezra merupakan hasil interpretasi penulis terhadap peristiwa

paska-pembuangan dan dengan implikasi merupakan bagian dari sistem kepercayaannya.

Kitab Ezra ditulis pada periode Yudaism di mana muncul beragam bentuk Yudaism yang

bersaing satu dengan yang lainnya. Kitab Ezra merupakan bentuk pelegitimasian terhadap

salah satu bentuk Yudaism. Jadi Kitab Ezra ditulis untuk menyakinkan kelompok-kelompok

dan orang-orang pada periode Persia Yahudi tentang suatu sudut pandang/world view.

14

Teks Ezra 9-10 telah memperlihatkan berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat Israel pada periode pembuangan, masing-masing dengan peranya mencoba untuk

membentuk identitas yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Mengutip teori yang

diusung oleh Steanly Aronowitz dan Stuart Hall, bahwa identitas merupakan pengalaman

seseorang untuk mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain, dimana keaslian

dianggap sebagai jaminan untuk mengamankan kelangsungan hidup. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa identitas berhubungan dengan jati diri, karena identitas seseorang akan

dihubungkan dengan pencarian keaslian dari pengalaman diri. Inilah yang diperjuangkan oleh

ezra dan para pengkutnya bagaimana mereka merumuskan jati diri, sebagai Israel sejati

bangsa pilihan Allah, sehingga lewat narasi kemurnian Ezra ingin memastikan bahwa garis

keturunan „benih suci‟ tidak dicemari oleh keturunan dari perempuan asing, karena bagi

mereka keturunan Israel ialah garis keturunan yang menghubungan orang Israel dengan

Mesias, didirikan ketika Allah benrjanji kepada Abraham bahwa melaui benihnya semua

dibumi akan diberkati.

Ketika ide tentang „divine election‟ yang diformulasikan di dalam kategori biological

(larangan untuk menikah dengan perempuan dari bagi sekitar) merupakan bentuk tindakan

diskontinuitas. Tindakan menikah dengan perempuan asing merujuk kepada apostasy dan

sinkretism. Kepercayaan tentang “holy seed” merupakan ide yang sentral Ezra yang

disiapkannya dengan mengabaikan unsur yang lain dari moral (perlindungan terhadap orang

miskin dan yang membutuhkan yang muncul di kitab-kitab yang hadir sebelum itu mis.

Keluaran). Menurut Wolak, keputusan Ezra untuk mengusir istri-istri dari bangsa asing

beserta dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ini mendemonstrasikan perpindahan

signifikan dari “keturunan patrilineal” kepada “keturunan matrilineal” sebagai “penanda

penting bagi identitas Yahudi.”

15

Fokus teks Ezra 9-10 terhadap kemurnian etnis merupakan issu yang signifikan baik

bagi kelangsungan keagamaan maupun bagi tuntutan politik. Tindakan Ezra untuk

“memaksakan” ide tentang the “holy seed” merupakan bagian dari upaya untuk

menyenangkan pemerintahan Persia yang telah mengijinkan bangsa Yahudi untuk kembali ke

Zion. Tanpa persetujuan Persia, orang-orang di pembuangan Babilonia tidak akan diijinkan

untuk kembali, pembangunan baik Allah yang kedua tidak akan terjadi, dan kultus

keagamaan tidak akan dapat dipulihkan kembali di Yerusalem. oleh sebab itu larangan untuk

menikah dengan perempuan asing bertujuan untuk memelihara batasan-batasan etnisitas.

Oleh sebab itu pelarangan terhadap perkawinan dengan perempuan asing lebih

berhubungan pada bahaya yang dibawa oleh perempuan asing tersebut bahwa mereka dapat

membuat polusi tanah yang mereka diami dengan ketidakmurnian/ketidaksucian mereka

(kondisi mereka yang kotor/ tidak bersih) gambaran perempuan yang membuat tempatnya

berdiam tidak suci dengan darah menstruasinya yang kotor (Imamat 15:19-24). Jadi di sini

penulis Ezra bermasalah dengan kehadiran perempuan asing bukan karena ia melihat mereka

sebagai sumber dosa apostasy melainkan karena ia melihat kondisi mereka yang adalah

sumber polusi.

Fungsi perempuan di dalam proses reproduksi mempertajam bentuk penjajahan

terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat kolonial ini mempertajam dominasi

patriarkal terhadap tubuh perempuan. Perempuan bertanggung jawab terhadap proses

reproduksi bangsa (Perjanjian Allah dengan Abraham). Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet

ab” menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk

melakukan perlawanan. Di sini perempuan berfungsi sebaga korban dari sistem kembar dari

kolonial dan patriarki. Mereka membantu menjatuhkan satu sistem dan meninggikan sistem

yang lainnya, perempuan berfungsi sebagai pembatas dari identitas etnik dan subjektifitas,

dan juga sebagai penanda dari kekuatan nasional. Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab”

16

menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk

melakukan perlawanan.

Perempuan secara sosial dipandang sebelah mata, sehingga peran perempuan tidak

tampak dalam berbagai aspek kehidupan Israel. Mengapa demikian, karena laki-laki

memegang alih aturan dalam semua sitem hukum di Israel. Dengan demikian laki-laki

berkuasa atas perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan menyiratkan hubungan yang

politis dimana adanya suatu sikap dan praktik yang mendikriminasi perempuan. Sehingga,

hubungan diantara kedua jenis kelamin ini menempatkan perempuan pada tempat

subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Dalam tradisi bangsa Israel perempuan tidak

berhak untuk bersuara karena perempuan pada masa tersebut menjadi yang kedua atau budak

terhadap laki-laki bahkan perempuan menjadi harta milik bagi laki-laki, hal ini dipengaruhi

oleh sistem kekeluargaan yang patrilinear yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis

keturunan pihak nenek moyang laki-laki, perempuan tidak mempunyai peran sedikitpun

apalagi untuk mengambil keputusan dan bertindak.

Dengan menegaskan identitas kelompok seperti yang dilakukan bangsa Israel, maka

dengan sendirinya menciptakan ruang bagi orang yang dianggap sebagai ancaman yakni

perempuan asing sebagai sang liyan. Dengan menggunakan teori Mariane Katoppo bahwa

sang liyan terbentuk dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh

tidak boleh terancam oleh keberadaan perempuan, yang berdampak pada reaksi

emosionalnya. Sangat jelas keterkaitan teori dengan kehidupan orang-orang dari

pembuangan, yang memiliki kecenderungan memandang perempuan sebagai yang lain dari

komunitas Israel, reaksi ini muncul dikarenakan rasa takut kehilangan status.

Dari analisa diatas timbul pertanyaan, apakah yang membedakan keberadaan

perempuan bagi aturan Muza dan Ezra ? hal utama yang terlihat jelas bahwa hukum yang

17

digunakan Musa berbeda dengan hukum/aturan yang digunakan Ezra bagi bangsa Israel

paska-pembuangan. Hal ini terjadi karena perbedaan konteks dimana perempuan itu berada.

Dalam konteks Musa, perempuan yang dimaksud merupakan bagian dari komunitas Israel,

sehingga jelas keberadaan perempuan disaat itu sangat diperhatikan; hal ini juga terkandung

dalam Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian. Ketika perceraian terjadi,

maka perempuan berhak mendapatkkan bagian dari harta laki-lai; aturan itu diberikan agar

orang-orang tidak mudah untuk bercerai .Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur

perceraian dapat terjadi ketika perempuan melakukan tindakan „senonoh‟, dan apabila

perceraian terjadi maka aturan yang digunakan Musa mewajibkan adanya surat perjajian yang

semata-mata untuk melindungi perempuan. Sendangkan dalam konteks Ezra, perempuan

disaat itu dipandang sebagai orang dari luar komunitas, sehingga aturan untuk menceraikan

dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Oleh sebab itu, timbul suatu wacana dimana Ezra melihat harga diri suatu bangsa

tidak lebih penting dari keberadaan nasionalitas bangsa Israel yang terakui, dan disisi lain

aturan Musa menampilkan wacana dimana setiap orang entah laki-laki dan perempuan

memiliki harkat, dan martabat yang sama; artinya bahwa harga diri dari setiap manusia lebih

tinggi dari pada nasionalitas suatu bangsa. Karena nasionalitas hanya sebagai salah satu dari

aspek-aspek yang penting namun bukan yang terutama. Inilah yang juga menjadi fokus para

teolog feminis, untuk membebaskan dan mendamaikan laki-laki dan perempuan dari

ketertindasan.

Terlepas dari berbagai perdebatan laki-laki yang mengasampingkan perempuan,

kehadiran perempuan asing dalam ambigiusitasnya untuk memberikan perenungan bagi kita

bahwa apakah identitas itu dapat kaku seperti yang Ezra katakan atau seperti yang dilakukan

oleh orang-orang Israel ketika kembali dari pembungan ?. Identitas tidak bisa kaku, karena

dalam sebuah perjumpaan identitas akan menjadi cair, karena sekuat apapun kita berusaha

18

namun ketika kita berjumpa dengan budaya lain atau sang liyan, yang akan menjadikan kita

sebagai seseorang yang berbeda. Karena realitas perjumpaan akan terjadinya percampuran

interkultural yang tak terelakan. Timbul pertanyaan, sampai kapan Ezra dapat

mempertahankan identitas yang eksklusif atau identitas kaku tersebut ?

D. Kontribusi pada Konteks Masa Kini

Melihat konteks kehidupan bangsa Israel dalam periode pra-pembuangan hingga

pasca-pembuangan, menjadi sulit untuk mensejajarkan pengalaman bangsa Israel dengan

konteks indonesia sekarang ini. Pengalamannya selama pembuangan dan pembentukan diri

sebagai masyarakat diaspora membentuk jati diri yang eksklusif.

Dengan pengalaman yang berbeda namun realitas yang dihadapi oleh bangsa Israel

juga menjadi realita kita sebagai bangsa yang plural. Bangsa Indonesia mengakui pelbagai

keberagaman budaya maupun agama. Namun yang menjadi pertanyaannya apakah yang

harus kita lakukan dengan kenyataan ini, apakah kita harus mencotohi Ezra atau mencari

solusi lain?. Bagi penulis dalam mengahadapi pluralitas dan keberagaman di Indonesia,

ketika harus hadir sebagai orang yang terbuka serta mampu berdialog dalam pelbagai

perjumpaan. Hal ini bisa kita lakukan ketika setiap orang mampu membawa diri dengan

identitas pribadi yang jelas, agar nantinya dalam setiap perjumpaan dengan yang lain, kita

terhindar dari kecenderungan untuk merubah orang lain seperti diri kita melainkan mampu

menerima mereka dengan perbedaan yang ada.

Mencontohi realitas kehidupan masyarakat di Ambon ketika konflik mulai redah,

setiap orang terkhususnya membedakan diri dengan mengatasnamakan agama, dan

kehadirannya semata-mata untuk membenarkan dirinya dan kepercayaannya bagi orang lain.

Contohnya bahwaterjadi pemisahahan sekolah berdasarkan kepercayaan masing-masing,

namun lambat laun konsep ini mulai hilang, terlihat dari tidak ada lagi pembenaran atas nama

19

agama, semua orang dalam perjumpaan hadir dengan perbedaan namun tidak membuat orang

tersebut tersisihkan. Berdasarkan analisa ini, penulis mengusulkan konsep identitas baru yang

dapat dikembangkan dan menjadi pegangan dalam konteks Indonesia, yaitu konsep identitas

terbuka. Identitas model ini tidak harus cair tetapi juga tidak harus dikorbankan untuk sama

dengan yang lain. Suatu identitas yang tetap meiliki kekhasan dan keunikan namun tidak

harus menjadikannya eksklusif atau menutup diri dari perbedaan dengan yang lain.

Model inilah yang harus digunakan kita yang beridentitas sebagai orang Kristen,

identitas yang mengatasnamakan penghormatan dan penghargaan bagi yang lain. Identitas

sebagai orang Kristen ialah identitas yang mampu membangun persaudaraan dengan yang

lain. Jauh sebelum kita, Yesus telah memberikan contoh bagaimana hidup dengan segala

perbedaan namun kasih digunakan Yesus sebagai bahasa universal dalam mengikat setiap

perbedaan ras, etnis, budaya dan sosial ekonomi. Setiap orang hadir dengan perbedaanya

namun kasih yang menyatukan perbedaan tersebut. Ketika setiap orang mampu

memberlakukan model identitas terbuka, maka dengan sendirinya akan menciptakan tatanan

kehidupan yang damai dan aman, suatu kehidupan yang tentram dan saling berdampingan.