bab ii tinjauan umum tentang hubungan teori … ii.pdf · 39 bab ii tinjauan umum tentang hubungan...

67
39 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN TEORI KEADILAN DENGAN ASAS PROPORSIONALITAS SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN KONTRAKTUAL 2.1. Kajian Mengenai Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Berbicara mengenai hubungan yang terjadi antara kedua belah pihak maka tidak akan terlepas dari suatu sebab yang mendorong keinginan seseorang untuk mengikatkan dirinya dengan orang lain, yang dilandasi dengan aturan yang jelas, memerintah kedua belah pihak tersebut untuk melakukan suatu klausul yang disepakati untuk mencapai keuntungan yang diinginkan. Kerap kali proses tersebut tidak berjalan mulus dimana salah satu pihak dinilai memberikan suatu prestasi yang dianggap tidak setara dengan kontraprestasi yang didapat sehingga pendapat bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara baku tidak dianggap seimbang. Maka dari itu, sangat penting untuk mengetahui apakah perjanjian itu, bagaimana prosesnya dan bagaimana menilai suatu perjanjian yang baik melalui asas asas yang relevan sehingga menjadi perjanjian yang baik menurut Undang undang. Perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPER didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.

Upload: vuonghuong

Post on 29-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

39

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN TEORI KEADILAN DENGAN

ASAS PROPORSIONALITAS SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN

KONTRAKTUAL

2.1. Kajian Mengenai Perjanjian

2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

Berbicara mengenai hubungan yang terjadi antara kedua belah pihak maka tidak

akan terlepas dari suatu sebab yang mendorong keinginan seseorang untuk

mengikatkan dirinya dengan orang lain, yang dilandasi dengan aturan yang jelas,

memerintah kedua belah pihak tersebut untuk melakukan suatu klausul yang

disepakati untuk mencapai keuntungan yang diinginkan. Kerap kali proses tersebut

tidak berjalan mulus dimana salah satu pihak dinilai memberikan suatu prestasi yang

dianggap tidak setara dengan kontraprestasi yang didapat sehingga pendapat bahwa

suatu perjanjian yang dibuat secara baku tidak dianggap seimbang. Maka dari itu,

sangat penting untuk mengetahui apakah perjanjian itu, bagaimana prosesnya dan

bagaimana menilai suatu perjanjian yang baik melalui asas – asas yang relevan

sehingga menjadi perjanjian yang baik menurut Undang – undang.

Perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPER didefinisikan sebagai suatu perbuatan

yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.

40

Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian

merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak / kata sepakat).

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya

sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan

yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut

hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan

sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut

(communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan

katasepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan

Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang

berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu,1 menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum

di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa

perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap seorang lain atau lebih.

1 Subekti, 2006, Hukum Perjanjian (cetakan 16), Intermasa, Jakarta, hal 9

41

Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian

adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu

penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga

tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua

belah pihak.

Pengertian perjanjian yang dijabarkan dalam KUHPER tersebut menurut para

sarjana masih terlalu luas dan memiliki beberapa kelemahan. Sehingga dalam

prakteknya menimbulkan berbagai keberatan dimana tetap ada satu pihak akan wajib

berprestasi dan pihak lainnya menerima prestasi sedangkan cita – cita yang akan

dicapai dengan berbagai asas perjanjian yaitu adanya suatu keseimbangan antara hak

dan kewajiban dimana keduanya saling menguntungkan sehingga terlahir kata

sepakat antara kedua belah pihak.

Menurut Suryodiningrat, definisi Pasal 1313 KUHPER ditentang karena adanya

argumentasi berikut :2

1) Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas maka dapat

menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan ( contoh : perbuatan

yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar

hukum )

2R.M Suryodiningrat, 2009, Asas – Asas Hukum Perikatan cetakan ke - III, Tarsito, Bandung, HAL 72

42

2) Definisi Pasal 1313 KUHPER hanya mengenai persetujuan sepihak (

unilateral ) , satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya

tidak berprestasi, seharusnya perjanjian itu berdimensi dua pihak yang

saling berprestasi.

3) Pasal 1313 KUHPER hanya mengenai persetujuan obligatoir(

melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak ) dan tidak berlaku bagi

persetujuan lainnya misalnya perjanjian membebaskan ; perjanjian

dilapangan ; hukum keluarga ; perjanjian kebendaan dan perjanjian

pembuktian.

Pengerian perjanjian secara otentik yang dirumuskan olehpembentuk Undang-

undang sebagaimana terdapat dalam Pasal1313 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang ataulebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.Terhadap

rumusan tersebut Prof. Subekti berpendapat bahwa walaupun definisi perjanjian

tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena

hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luaskarena

dapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai

perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga.3

Atas dasar alasan-alasan tersebut maka perlu dirumuskan kembali apa yang

dimaksud dengan perjanjian itu adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang

atau lebih saling mengikatkandiri untuk melaksanakan suatu hal dalam harta

3Subekti, 2009, Aneka Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, hal. 1

43

kekayaan”. Prof. Subekti yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada oranglain atau dimana seseorang berjanji

kepada orang lain atau dimanadua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.4

Dasar hukum pengaturan tentang perjanjian diatur dalam KUH Perdata buku

ketiga mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456.Pasal 1233 menerangkan

tentang pengertian dari perikatan yang merupakan awal dari suatu ketentuan hukum

yang mengatur tentang perikatan dimana jika dilihat dari sumber, maka terdapat dua

sumber lahirnya perikatan yaitu Undang – undang dan perjanjian.5 Pasal – pasal

tersebut telah mengatur mengenai perikatan, munculnya perikatan, syarat sahnya

perjanjian, hapusnya perikatan dan pembatalan perikatan. Dari ketentuan – ketentuan

tersebut maka dapat dianalisa berbagai macam norma dasar ataupun asas – asas yang

menjadi fondasi dari suatu hukum perjanjian, bentuk – bentuk perjanjian serta aturan

– aturan khusus yang mengatur mengenai berbagai macam perjanjian yang

diperbolehkan hukumnya di Indonesia.

2.1.2. Asas – Asas Dalam Perjanjian

4Ibid, hal.3

5 Ahmadi Miru, 2012, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3

44

Asas hukum berperan penting sebagai meta kaidah berkenaan dengan kaidah

hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Suatu asas dapat dibilang kuat jika suatu asas

hukum itu dapat dipandang sebagai suatu bentuk argumentasi berkenaan dengan

penerapan kaidah perilaku, dalam hal ini asas hanya akan memberikan argumen –

argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan, asas hukum juga

memeberikan arah pada perilaku yang dikehendaki.6Maka dalam ilmu hukum asas

berperan sebagai sebuah pedoman pemikiran aturan atas prinsip prinsip hukum yang

masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan

dasar yang melatar belakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana

hukum itu dapat dilaksanakan. Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting,

yaituasas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas

kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan

berikut ini :7

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Merupakan asas yang paling terkenal karena didekatkan dengan Pasal

1338 KUHPER namun jika dicermati ayat dan alineanya maka terdapat

beberapa asas yang terkandung didalamnya. Asas kebebasan berkontrak

dapat dianalisis dari ketentuanPasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang

6 JJ. Bruggink, Op Cit, hal. 120

7Abdul. R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana,

Jakarta, hal 46

45

berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk :8

a) Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian

b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c) Menentukan isi dari perjanjian, pelaksaan, persyaratan dan

d) Menentukan bentuk dari perjanjian apakah itu tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak menurut Mariam

Badrulzaman adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam

zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam

zaman renaissancemelalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes,

Jhon Locke dan Rosseau dan menurut paham individualisme, setiap orang bebas

untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.9

2) Asas Konsensualisme

Dalam hukum perjanjian, dikenal asas konsensualisme yang sering diartikan

bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya perjanjian.Pengertian ini

sebenarnya tidak tepat mengingat bahwa lahirnya suatu perjanjian yaitu

setelah terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai

kesepakatan antara kedua belah pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu

8Salim H.S, 2010, Hukum Kontrak :Teori Dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9

9Ibid, hal. 9

46

belum dilaksanakan pada waktu itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya

kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau

biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni

melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.Asas

konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini

hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak

formal dan kontrak riil tidak berlaku.

3) Asas Itikad Baik

Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPER

bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara itu,

Arrest H.R di Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik

dalam tahap pra perjanjian bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad

baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya asas itikad baik itu

sehingga dalam perundingan – perundingan atau perjanjian para pihak, kedua

belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum yang dikuasai

oleh itikad baik dan hubungan ini akan membawa akibat lebih lanjut bahwa

kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan –

kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing – masing calon pihak

dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan

dalam batas – batas wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani

kontrak atau masing – masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup

dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.

47

Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad

baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku

yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal

sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian

tidak memihak) menurut norma - norma objektif.10

4) Asas Pact Sund Servanda ( Mengikatnya Kontrak )

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak

tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji – janji yang harus

dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya

undang – undang. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang

menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku dan

mengikat sebagai undang – undang bagi mereka yang menyepakatinya.

5) Asas Kepribadian ( Personalitas )

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang

melakukan dan atau membuat perjanjian hanyauntuk kepentingan perseorangan saja.

Hal ini dapat dilihat dalampasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pada pasal 1315

KUH Perdata berbunyi : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas

nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”.

Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk

kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340KUH Perdata berbunyi : “ suatu perjanjian

10

Ibid, hal. 21

48

hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian

yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Diatas merupakan kelima asas penting yang dikenal dalam hukum perjanjian.

Namun akibat luasnya makna perjanjian dalam KUHPER seperti yang dijelaskan

diatas maka suatu norma akan kembali bergerak dinamis tanpa suatu asas yang

menjadi pijakan konkret suatu norma hukum. Dalam dunia bisnis, perjanjian

sangatlah dibutuhkan untuk menjaga suatu atmosfir kegiatan pertukaran hak ,

kewajiban serta menyangkut harta benda agar dilakukan secara baik dan adil dan

menghindari suatu keadaan “saling makan”. Dalam hal ini perlu adanya suatu asas

yang dapat menjamin suatu keadaan kesetaraan dalam dunia bisnis.

2.1.3. Bentuk Bentuk Perjanjian

Dalam KUH Perdata, tidak dijelaskan secara konkrit mengenai perjanjian –

perjanjian yang boleh dibuat di Indonesia melainkan sedikit tersirat bahwa KUH

Perdata membolehkan segala bentuk perjanjian yang dimasa depan akan mengikuti

perkembangan masyarakat. Namun, terdapat aturan yang menjelaskan bahwa setiap

perjanjian yang timbul harus selalu tunduk terhadap semua ketentuan – ketentuan

dasar yang terdapat dalam KUH Perdata seperti dalam ketentuan Pasal 1319 yaitu : “

semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak

terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan – peraturan umum, yang

termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Melihat ketentuan Pasal tersebut maka

dapat diambil kesimpulan bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh seseorang, baik

49

yang telah diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun yang belum diatur, tetap

tunduk terhadap ketentuan umum perikatan dalam KUH Perdata.

Dalam hukum Indonesia terdapat banyak jenis perjanjian yang dapat dilihat dari

berbagai segi. Namun dari segi perikatan yang muncul maka perjanjian dapat dibagi

menjadi :11

1. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian atau persetujuandimana terhadap

prestasi yang satu selalu ada kontra prestasipihak lain, dimana kontra

prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi

yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri.

2. Perjanjian Cuma – Cuma

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian atau persetujuan dengan mana

pihak yang satu memberikan suatu keuntungan atau prestasi kepada

pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Contohnya adalah hibah

3. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang dibuat dengan

meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak yang membuat

perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUH Perdata dan

11

J. Satrio, 2009, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku I), PT. Citra

Aditya bakti, Bandung, hal. 37

50

perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUH Perdata. Dalam perjanjian

jual beli, hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual

berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat

pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan menerima

barangnya

4. Perjanjian Bernama atau Perjanjian Tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan

khusus dalam KUH Perdata Buku Ketiga Bab V sampai dengan bab

XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain –

lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara

khusus dalam Undang – undang.Misalnya perjanjian leasing, Perjanjian

keagenan dan distributor serta perjanjian kredit.

5. Perjanjian Nominat dan Inominat

Perjanjian Nominat adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata

dimana termasuk didalamnya adalah perjanjian jual beli, tukar menukar,

sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam

pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,

perdamaian. Sedangkan perjanjian inominat adalah perjanjian yang

timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini

belum dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjian

inominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint

venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain lain

51

Sedangkan Achmad Busro dalam bukunya Hukum Perikatan menyatakan

bahwa perjanjian dapat dibagi menjadi :12

1. Perjanjian Atas Beban ( Onder Bezwareden )

Perjanjian atas beban adalah perjanjian atau persetujuan dimana

terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana

kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas

prestasi yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya

sendiri.

2. Perjanjian timbal balik tak sempurna

Perjanjian ini pada dasarnya adalah perjanjian sepihak, karena

kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, tetapi dalam

hal – hal tertentu, dapat timbul kewajiban – kewajiban pada pihak lain,

misalnya perjanjian pemberian kuasa ( Lastgeving) tanpa upah

3. Perjanjian Konsensuil

Perjanjian konsensuil adalah dimana adanya kata sepakat antara para

pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan

4. Perjanjian riil

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang

menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Contohnya perjanjian utang

piutang, perjanjian pinjam pakai, dan perjanjian penitipan barang.

Apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya

12

Achmad Busro, 2010, Hukum Perikatan, Octama, Semarang, hal 4

52

terdapat suatu perjanjian pendahuluan ( Pactum de contrahendo

voorovereenkomst )

2.1.4. Syarat sahnya Perjanjian

Walaupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan

mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus

diperhatikan yaitu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPER, yaitu :

1) Kesepakatan Kedua Belah Pihak

Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau

konsensus para pihak. Kesepakatan ini diaturdalam Pasal 1320 ayat (1) KUH

Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan

kehendak antara satuorang atau lebih dengan pihak lainnya.

2) Kecakapan Dalam Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan

menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian

haruslah orang-orang yangcakap dan mempunyai wewenang untuk

melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan oleh

undang-undang.13

Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa menurut undang – undang

13

Subekti, Op Cit, hal. 19

53

seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1320 ayat (1) sedangkan orang yang

dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 adalah :

a. Orang – orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

c. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh

Undang – undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang – undang telah melarang membuat perjanjian tertentu

3) Adanya Objek Perjanjian

Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian

adalah prestasi ( pokok perjanjian). Artinya apa yang telah diperjanjikan hak

– hak dan kewajiban – kewajiban kedua belah pihak. Prestasi ini terdiri dari

perbuatan positif dan negatif, yaitu :

a. Memberikan sesuatu

b. Berbuat sesuatu

c. Tidak berbuat sesuatu ( Pasal 1234 KUHPER)

4) Sebab Yang Halal

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal.

Maksudnya disini adalah isi dari perjanjian tersebut. Suatu sebab

akandilarang jika bertentangan dengan Undang – undang, kesusilaan atau

ketertiban umum sesuai Pasal 1337 KUHPER

54

2.1.5. Berakhirnya Perikatan

Dalam undang – undang tidak ada yang mengatur tentang hapus atau

berakhirnya suatu perjanjian melainkan berakhirnya suatu perikatan, perikatan dan

perjanjian bukanlah suatu hal yang sama seperti yang sudah dijelaskan diatas. Berikut

merupakan sebab – sebab berkahirnya suatu perikatan sesuai dengan pasal 1381

KUHPER :

a. Karena pembayaran

b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan

c. Karena pembaharuan utang

d. Karena perjumpaan utang

e. Karena perjumpaan utang dan kompensasi

f. Karena percampuran utang

g. Karena pembebasan utang

h. Karena musnahnya barang yang terutang

i. Karena pembatalan atau kebatalan

j. Karena berlakunya suatu syarat batal

k. Karena lewatnya waktu

55

Hapusnya suatu perikatan tidak hanya dijelaskan dalam KUHPER, namun

Terdapat beberapa pendapat lain yang berbicara mengenai berakhirnya suatu

perikatan menurut R. Setiawan14

yaitu :

a. Ditentukan dalam Klausul para pihak, contohnya perjanjian tersebut

berakhir pada waktu tertentu

b. Undang – undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan,

misalnya pasal 1066 KUHPER, yang menyebutkan bahwa ahli waris

tertentuuntuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Waktu

persetujuan dalam pasal 1066 ayat (4) KUHPER dibatasi hanya 5 tahun

c. Para pihak atau undang – undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan hapus,

misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka persetujuan akan

hapus seperti yang tercantum pada persetujuan :

1) Persetujuan Perseroan ( Pasal 1646 ayat (4) KUHPER )

2) Persetujuan pemberian kuasa ( Pasal 1813 KUHPER )

3) Persetujuan kerja ( Pasal 1603 KUHPER )

d. Pernyataan penghentian persetujuan ( Opzegging ). Penghentian

persetujuan ini dapat dilakukan baik oleh salah satu ataupun kedua belah

pihak dan ini hanya ada persetujuan – persetujuan yang bersifat

sementara, misalnya persetujuan kerja dan persetujuan sewa – menyewa.

e. Persetujuan hapus karena putusan hakim

14

Setiawan, R. 2005, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Cetakan ke II, Bumi Cipta, Bandung, hal. 49

56

f. Tujuan dari persetujuan telah tercapai

g. Dengan persetujuan para pihak

Beberapa faktor tersebut dapat menjadi suatu penyebab berakhirnya suatu

perikatan di Indonesia, namun kita dapat melihat pperbandingan faktor lain dalam

pandangan asing yaitu dari Erwan MacINTYRE dalam bukunya menyebutkan bahwa

:

“A party’s contractual liability is discharged or ceases to

exist in a matter of four ways :

1. By performance;

2. By agreement;

3. By frustration; or

4. By Breach15

Tiga faktor diatas yaitu performance, agreement dan breach adalah faktor yang sudah

kita kenal yaitu performance merupakan tindakan dalam arti kedua belah pihak telah

mencapai tujuan dari kontrak sesuai dengan yang disepakati, agreement yaitu

persetujuan dari para pihak dan yang ketiga adalah breach merupakan penolakan

terhadap hal yang disepakati sehingga dapat terjadinya wanprestasi yang berakhir

pada putusan hakim. Yang menarik disini adalah frustration dimana jika diartikan

secara literal mempunyai sinonim dengan kata desperation tapi dalam bahasa inggris

hukum dikenal sebagai frustation yaitu suatu keadaan dimana :

“A contract may become frustrated if it becomes

impossible to perform, illegal to perform or radically

different from what the parties contemplated. If a

15

Erwan Macintyre, 2007, Essentials of Bussiness Law, Pearson Education Limited, England, pg. 125

57

contract is impossible to perform when it is made then it

may be void for mistake”.16

Melihat pernyataan diatas maka dapat dipahami bahwa suatu kontrak dapat batal

demi hukum jika klausulnya sangat sulit untuk dilakukan, bertentangan dengan

hukum dan berbeda dengan apa yang diinginkan para pihak sehingga dapat menjadi

celah untuk suatu tindakan wanprestasi jika kontrak telah dibuat. Jika kita melihat

perbandingan dalam hukum Indonesia, seperti yang disebutkan diatas maka terlihat

kesamaan dalam syarat berakhirnya suatu perikatan namun belum disebutkan

mengenai kontrak dengan klausula yang mustahil untuk dipenuhi oleh para pihak.

Dalam hal ini tergantung dari bentuk kontraknya, dalam kontrak kerjasama dalam

prinsipnya maka para pihak dapat bernegosiasi untuk mengurangi beban dalam

klausul tersebut, menggantinya dengan klausul lain atau menghapus klausul tersebut

2.2. Pemahaman Asas Proporsionalitas

2.2.1. Pemahaman Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Baku

Terdapat beberapa asas – asas umum yang mendukung suatu perancangan

kontrak yang baik. Namun diluar dari asas – asas tersebut, dibutuhkan suatu asas

yang berorientasi kepada keadilan karena suatu produk hukum mencita – citakan

suatu bentuk keadilan yang diharapkan akan dipatuhi oleh para penggunanya. Suatu

perjanjian dibuat dengan kesepakatan para pihak, tapi didalam dunia bisnis suatu

bentuk dan norma hukum yang efisien diperlukan sebagai suatu acuan dasar dalam

16

Erwan Macintyre, Ibid, hal. 129

58

berkontrak. Seperti contohnya perjanjian baku, melalui suatu proses perkembangan

kehidupan manusia kita menuntut agar suatu perjanjian atau bentuk kontrak dapat

dipahami dan disepakati secara cepat dan praktis.

Perjanjian baku menandai suatu perkembangan perikatan bisnis yang

didalamnya terdapat suatu kepentingan antara kedua belah pihak yang dapat

dilaksanakan segera dengan cepat. Kontrak baku ini memang mengakomodasi suatu

kegiatan bisnis namun masih banyak ahli yang menilai bahwa kontrak baku telah

memberikan ketidak seimbangan para pihak. Disini penulis akan memberikan uraian

tentang penting asas proporsionalitas ditinjau dari prinsip keadilan untuk mengubah

cara pandang kontrak baku yang dikatakan tidak seimbang menjadi “ proporsional “.

Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas tampak lebih dominan

dalam kontrak komersial. Dengan asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak

komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan sehingga tujuan para pihak

yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran

hak dan kewajiban yang proporsional ( fair ). Asas keseimbangan tidak dilihat

sebagaimana asas keseimbangan yang berkonteks keseimbangan – matematis (

equilibrium) namun lebih kepada proses dan mekaanisme pertukaran hak dan

kewajiban yang berlangsung secara fair.

59

Untuk mencari makna asas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari

makna filosofi keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai pendapat filsuf dan

sarjana :17

1. Aristoteles menyatakan bahwa prinsip yang sama diperlakukan sama

dan prinsip yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

2. Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang terus

menerus dan tetap memberikan kepada masing – masing apa yang

menjadi haknya. Artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang

diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia

terima.. Pada hakikatnya, gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi

pemaknaan asas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para

pihak.

3. Hegel mengatakan bahwa sentuhan proporsionalitas dalam pertukaran

prestasi para pihak yang berkontrak melalui pengakuan akan adanya hak

milik. Hak milik menurut Hegel merupakan landasan bagi hak – hak

lainnya. Pemegang hak milik harus menghormati orang lain yang juga

pemegang hak milik. Adanya saling menghormati hak milik sekaligus

mempertahankan eksistensi masing – masing pihak merupakan landasan

terjadinya hubungan kontraktual yang bersubstansikan asas

proporsionalitas.

17

Agus Yudha Hernoko, Op Cit, hal 84

60

4. Lyons berpendapat bahwa suatu iklim kontrak yang sesungguhnya pada

hakikatnya memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar menawar,

atau bahkan perbedaan – perbedaan yang relevan antara para pihak.

Argumen kontrak menuntut pertukaran gagasan secara bebas dan

melalui proses meminjam, yang pada akhirnya ssemua pihak akan

sampai pada kesepakatan bersama mengenai prinsip – prinsip keadilan

yang tepat bagi mereka. Hanya dalam proses seperti ini hasil dari suatu

kesepakatan sungguh – sungguh merefleksikan kepentingan semua

pihak.

5. Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas dengan istilah

“equitability contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna

“equitability” menunjukkan suatu hubungan yang setara ( kesetaraan )

tidak berat sebelah dan fair. Artinya hubungan kontraktual tersebut pada

dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Dengan merujuk

pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan

keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut

hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah

ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk kedalam kontrak berada dalam

keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidak samaan tersebut tidak

boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan

kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Dalam situasi

semacam inilah asas proporsionalitas bermakna equitability.

61

Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan

berkontrak” yanng mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam

beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Pemikiran seperti ini mengingatkan

kita pada awamnya dan para ahli atau sarjana pada khusunya untuk tidak lagi

berpatutan oleh kebebasan berkontrak namun mengfokuskan pembelajaran mengenai

kriteria serta prosedur bagi perkembangan doktrin “ keadilan kontraktual “.

Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendeekatan.Pertama

adalah pendekatan prosedurraal dimana pendekatan ini mengfokuskan kepada

permasalahan kebebasan kehendak dalam pembuatan suatu kontrak.Pendekatan yang

kedua yaitu pendekatan substantif dimana pendekatan ini bertujuan untuk

memberikan dorongan kandungan atau substansi serta pelaksaan kontrak.

Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asas

proporsionalitas memiliki arti “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak

dan kewajiban para pihak sesuai dengan porsi atau proporsi dan bagiannya dalam

seluruh kegiatan kontraktual”. Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak

dan kewajiban diwujudkan dalam sebuah proses hubungan mengikat baik pada fase

prakontrakktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas

proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para

pihak agar lahirlah suatu hubungan yang kondusif dan fair.

62

Berdasarkan kajian diatas maka terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan

dasar untuk menemukan apabila suatu kontrak mengandung asas proporsionalitas

atau tiidak yaitu sebagai berikut :18

1. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang

memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang

sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil

bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil’ melainkan

pada posisi para pihak yang mengandaikan “ kesetaraan kedudukan dan

hak (equitability)”.

2. Berlandaskan pada kesamaan dan kesetaraan hak tersebut, maka kontrak

yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh

kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil

dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan)

3. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang

mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan

kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi

bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu

mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini

dimungkinkan adanya hasil yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip

distribusi – proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus

mengacu pertukaran yang fair (distribusi proporsional)

18

Ibid, hal 88

63

4. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, apakah

kadarnya ringan atau berat atau sebab dari hal – hal lain harus diukur

berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian

yang elegan dan win – win solution

Kontrak yang berperan sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus

dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para

pihak yang berkontrak. Pengakuan terhadap eksistensi hak para kontraktan tersebut

terwujud dalam pemberian kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan

(hak dan kewajiban). Namun demikian pengakuan terhadap hak, kebebasan dan

kesamaan dalam pertukaran hak dan kewajiban tersebut tetap harus konsisten berada

dalam koridor aturan main yang mempertimbangakan prinsip distribusi yang

proporsional.

2.2.2. Konsep Perjanjian Baku Dalam Hukum Kontrak

Pada dewasa ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwabanyak

perjanjian di dalam transaksi bisnis, yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang

seimbang diantara pihak, akan tetapi perjanjian itu dibuat oleh salah satu pihak

dengan cara menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang

sudah dicetak kemudian disodorkan kepada pihak lain yang sudah disetujui, dengan

hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk melakukan

64

negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan itu.19

Perjanjian yang demikian inilah

yang dinamakan perjanjian baku atau perjanjian standar.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul – klausulnya

sudah dibakukan oleh pemakainya (dalam transaksi perbankan adalah bank yang

bersangkutan) dan pihak lain (dalam transaksi perbankan adalah nasabah dari bank

tersebut) pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta

perubahan.20

Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut

standard contract, atau standard agreement. Kata baku atau standar artinya bahwa

tolak ukur yang dipakai sebagai patokan. Dalam arti lain, perjanjian baku ini adalah

perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi

setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan penguasa.21

Rumusan perjanjian baku diatas pada prinsipnya mempunyai arti yang sama.

Perjanjian baku dapat dirumuskan dalam pengertian bahwa perjanjian baku

merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.

Perjanjian baku kadang tidak memperhatikan isinya, tetapi hanya menekankan pada

19

Munir Fuady, 2022, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal

22 20

Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,

Jakarta, hal 66. 21

Abdul Kadir Mohammad, 2010, Hukum Perikatan( Cetakan ke III ), Citra Aditya Bhakti, Bandung ,

hal 78.

65

bagian pentingnya dengan janji-janji atau klausula yang harus dipenuhi oleh para

pihak yang menggunakan perjanjian baku.22

Perjanjian baku yang dibuat dalam jumlah banyak diberlakukan secara sama

terhadap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dalam keadaan

kreditur telah menentukan isi dan bentuk perjanjian pada saat pembuatannya, maka

dapat dikatakan debitur tidak mempunyai kedudukan seimbang dengan kreditur. Jika

debitur menyetujui salah satu syarat, maka mungkin debitur bersikap menerima atau

tidak menerima sama sekali kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi tidak ada

sama sekali.23

Perjanjian baku lahir sebagai akibat dari perubahan masyarakat. Latar belakang

timbulnya perjanjian baku adalah adanya kesenjangan sosial ekonomi. Perusahaan

yang besar, perusahaan pemerintah, mengadakan kerja sama dengan debitur danuntuk

kepentingannya mereka menentukan syarat sepihak. Pihak lawannya yang ada pada

umumnya mempunyai kedudukan yang lemah, baik karena posisinya atau karena

ketidaktahuannya, hanya menerima syarat yang disodorkan itu.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara

sepihak oleh penguasa akan menguntungkan pengusaha berupa24

:

22

Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahnnya,

alumni, Jakarta, hal. 58. 23

Ibid, hal. 59 24

Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 8

66

1. Efisiensi waktu, biaya dan tenaga

2. Praktis karena sudah tersedia suatu bentuk naskah yang dicetak berupa

formulir atau blangko yang siap ditanda tangani

3. Penyelesaian cepat, karena kreditur hanya menyetujui dan atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya.

4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak

2.2.3. Penjabaran Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Baku

Hubungan kontraktual yang lahir dari perikatan antar para pihak pada

hakikatnya memang tidak dapat dilepaskan dari masalah keadilan. Kontrak atau

perjanjian sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak

yang lain menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Maka akan sangat tepat

jika dilakukan suatu analisis demi menarik benang merah antara asas proporsionalitas

dalam perjanjian yang justru dimulai dari aspek filosofis keadilan dalam berkontrak.

Sampai sekarang ini keadilan merupakan suatu kata yang sangat rumit untuk

dijelaskan secaraa konkrit terlebih jika dikaitkan dengan kepentingan yang demikian

kompleks. Menurut Rawls, suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan

pendekatan kontrak, dimana asas – asas keadilan yang dipilih bersama benar – benar

merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan

sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin

67

pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua

orang.25

Dalam perkembangannya, Rawls merumuskan berbagi prinsip keadilan

distributif yang dapat mengedepankan asas hak daripada asas manfaat sebagai berikut

:26

1. Prinsip pertama yaitu bahwa semua orang harus memiliki hak yang

sama atas kebebasan atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas

kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang palling

mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki setiap orang.

2. Prinsip kedua bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur

sedemikian rupa sehingga diharapkan memberikan keuntungan terbesar

bagi orang – orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan

bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan

jabatan harus te rbuka bagi semua orang

Melihat penjelasan diatas dapat dipahami bahwa menurut Rawls, konsep

kesamaan dipahami sebagai kesetaraan kedudukan dan hak dan bukan dalam arti

kesamaan hasil yang dapat diperoleh semua orang dan ditentukan oleh berbagai

kondisi, keadaan – keadaan dan dan kualitas masing – masing. Tentunya pandangan

ini semakin membuka mata mereka yang senantiasa menuntut hasil yang sama tanpa

memandang proses (prosedur) dari awal hingga akhir.

25

Andre Ata Ujan, 2004, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius,

Jakarta, hal. 21 26

Ibid, hal. 129

68

Menurut Rawls, kesamaan hasil bukanlah alasan untuk membenarkan suatu

prosedur. Keadilan sebagai fairness atau pure procedure justice tidak menuntut setiap

orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapat hasil

yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga

jika setiap orang tidak mendapat hasil yang sama. Dengan demikian, konsep keadilan

yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima

sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum.27

Oleh karena itu, harus dipahami

bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu

dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan – perbedaan yang secara

obyektif ada pada setiap individu.

Analisis komprehensif tentang keadilan tidak lengkap apabila tidak mengupas

soal equity (kepatutan).Kepatutan merupakan penjaga dari pelaksanaan undang –

undang, karena equity terletak diluar undang – undang (hukum) yang menuntut

keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.Equity merupakan gagasan fairness

dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian memberi peluang untuk penilaian yang

melengkapi sifat umum dari undang – undang.

Duynstee menyatakan bahwa definisi equity sebagai kebajikan yang mendorong

manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional

(menurut akal sehatnya). Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mereduksi

keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan

27

Ibid, hal. 131

69

individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu.28

Melalui penerapan equity dalam

praktik akan memberlakukan nilai keadilan dalam hubungan individu dikembalikan

pada proporsi sewajarnya karena equity sangat mempertimbangkan aspek penting

yang melingkupi itikad baik, maksud para pihak dan situasi atau keadaan – keadaan.

Segala penjelasan mengenai equity (kepatutan) dengan segala aspeknya

memang bukan barang baru lagi dalam ranah hukum Indonesia. Dalam lingkup KUH

Perdata, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam rumusan Pasal 1339

KUH Perdata yaitu : “Perjanjian – perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal

yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang –

undang”.

Substansi Pasal 1339 KUH Perdata ini menekankan kepada pentingnya

kepatutan (equity) dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual para pihak,

disamping dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak. Contoh yang lain, dalam

Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dimana “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik”, ayat ini pun mengandung unsur kepatutan dimana terdapat kalimat itikad baik

didalamnya.

2.2.4. Ciri dan Bentuk Perjanjian Baku

Mengingat bahwa kegiatan bisnis bergerak secara dinamis tanpa menunggu

aturan, maka mau tidak mau hukum juga harus dapat menyesuaikan diri dengan

28

E. Sumaryono, 2005, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius,

Yogyakarta, hal. 90

70

perkembangan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, etos kerja dunia bisnis

yang mengedepankan efisiensi waktu dan menggunakan sedikit mungkin sumber

daya demi mendapat profit yang tinggi telah mengubah cara pandang kebutuhan

masyarakat.

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri – ciri perjanjian

baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Ciri-

ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian

baku dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan dari kepentingan konsumen. Dengan

pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin,

karena konsumen hanya menyetujui syarat syaratyang disodorkan oleh pengusaha.

Mengutip pernyataan dari Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku

mempunyai ciri – ciri berikut29

:

1. Isinya dibuat dan ditetapkan sepihak oleh pihak yang lebih kuat

2. Debitur tidak ikut serta dalam penentuan isi perjanjian

3. Terdorong oleh kebutuhan, maka debitur menyetujui perjanjian tersebut

4. Sudah dipersiapkan secara masal dan kolektif

Perjanjian baku memiliki beragam bentuk yang dikenal dalam dunia bisnis

ataupun yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan bisnis itu sendiri

antara lain30

:

1. Perjanjian baku sepihak

29

Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal. 69 30

Ibid, hal. 6

71

Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya dibuat oleh pihak

yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah

Perjanjian baku ini merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan

oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu

3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh advokat dan notaris

Perjanjian baku disini berkaitan dengan perjanjian yang konsepnya sejak

semulasudah disiapkan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat

yang meminta bantuan notaris atau advokat.

Jika suatu perjanjian baku memang sudah disiapkan oleh pihak kreditur, maka

dalam pelaksanaannya perjanjian – perjanjian dengan syarat – syarat baku tersebut

juga memiliki bentuk permanen yang biasanya digunakan oleh pihak kreditur antara

lain31

:

1. Dokumen

Merupakan perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu

oleh salah satu pihak. Biasanya memuat persyaratan khusus baik

berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal – hal tertentu

dan atau tidak berakhirnya perjanjian itu

2. Dalam bentuk persyaratan dalam perjanjian

31

Az Nasution, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen (suatu pengantar), Diadit Media,

Jakarta, hal. 95

72

Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk lain seperti yangtermuat dalam

berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tandapenjualan, kartu-kartu

tertentu, pada papan pengumuman yangdiletakkan dalam di ruang

penerimaan tamu atau dilapangansecarik kertas tertentu yang termuat

dalam kemasan atau padawadah produk yang bersangkutan.

2.2.5. Perjanjian Baku Dalam Hukum Kontrak

Sebelum membahas kredibilitas perjanjian baku dalam hukum, akan dijelaskan

terlebih dahulu tentang berlakunya perjanjian dengan syarat – syarat baku32

:

1. Memuatnya dalam butir – butir perjanjian yang konsepnya telah

dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya dikalangan

pengusaha, baik itu produsen, distributor maupun pedagang eceran

produk yang bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia barang

atau jasa ditawarkan pada orang banyak ( kontrak jual beli, sewa beli

kendaraan bermotor, perumahan, alat – alat elektronik dll )

2. Dengan memuatnya dalam carik – carik kertas baik berupa tabel,

kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain – lain bentuk penjualan dan

atau penyerahan barang dari toko, kedai, supermarket dan lainnya

3. Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat – syarat baku

ditempat tertentu, seperti ditempat parkir atau dipenginapan dengan

meletakkan pengumuman itu di meja / ruang dimana tempat itu

32

Ibid hal. 16

73

disewakan. Contohnya : kalimat “ barang berharga yang hilang bukan

tanggung jawab kami”.

Melihat sifat dari perjanjian baku ini kesannya seperti dipaksakan maka akan

ditinjau lebih jauh dengan memakai beberapa pendapat ahli tentang keabsahannya

dimata hukum, bagaimana perjanjian ini bisa bertahan sampai saat ini dan apa

landasan yang menjadikannya sebagai suatu kebutuhan standar dalam menjalankan

kegiatan bisnis. Dalam menganalisa keabsahan ini, akan dijabarkan beberapa

pendapat sebagai berikut33

:

1. Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian karena

kedudukan pengusaha adaah seperti pembentuk undang – undang

2. Pitlo berpendapat bahwaperjanjian baku adalah perjanjian paksa

3. Stein berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai

perjanjian fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak

mengikatkan diri pada perjanjian

4. Asser Rutten berpendapat bahwa setiap orang yang menandatangani

perjanjian bertanggung jawab atas dirinya. Tanda tangan pada formulir

perjanjian baku membangkitkan kepercayaan bahwa yang

menandatangani mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian

Namun ada yang berpendapat berbeda, Hondius mengatakan bahwa perjanjian

baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan “kebiasaan” ( Gebruik ) yang

33

Sutan Remi Sjahdeini, Op Cit, hal. 70

74

berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Sutan Remi Sjahdeini

sepakat dengan pendapat Hondius, menurutnya :34

“Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan

oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan

yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam

dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk

karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri.

Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian

baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat”.

Melihat uraian diatas maka keabsahan berlakunya perjanjian baku memang tidak

perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu dibahas apakah perjanjian itu tidak bersifat

sangat berat sebelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat

memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang

menindas dan tidak adil. Maksud dari sangat berat sebelah ialah bahwa perjanjian itu

hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang

mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi

kewajiban-kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak

lainnya itu tidak disebutkan. Keabsahan dari berlakunya perjanjian tersebut tidak

perlu dipersoalkan karena secara praktek sudah diterima namun perlu diatur secara

tegas mengenai klausul – klausul atau ketentuan – ketentuan dalam perjanjian baku

baik sebagian atau seluruhnya agar mengikat pihak lainnya.

34

www.majalahhawk.com, diakses tanggal 15 Februari 2014 pukul 22.00 wita

75

2.3. Pengertian Franchise

Istilah Franchise merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang jika

diterjemahkan dalam bahawa Indonesia akan menjadi waralaba. Istilah waralaba

pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh LPPM ( lembaga pendidikan dan

pembinaan manajemen ). Waralaba berasal dari kata wara yang berarti besar atau

istimewa dan laba yang berarti keuntungan.35

Dan jika digabungkan akan memiliki

arti kegiatan bisnis yang bertujuan untuk mengambil keuntungan yang besar dimana

istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan istilah franchiseitu sendiri.

Disamping pengertian tersebut, terdapat beberapa pengertian tentang franchise/

waralaba yaitu :

1. Pengertian waralaba sesuai dengan yang tertuang di Peraturan

Pemerintah nomor 42 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Perdagangan

nomor 53 tahun 2012 yaitu Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki

oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan

ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang

telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh

pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

2. Pengertian waralaba ditinjau dari sisi ekonomi yang dibagi menurut

kegiatannya yaitu :

a. Franchise produk dan merk dagang adalah bentuk franchise

yang palingsederhana. Dalam franchise produk dan merek

35

Barly Haliem, 2010, Mengembangkan Bisnis Tanpa Modal, Kontan, Tgl 10 januari, hal 14 kolom 3

76

dagang ini pemberi waralabaatau franchisor memberikan hak

kepada penerima waralaba atau franchisee untuk menjual produk

yang dikembangkan oleh franchisor yang disertaidengan

pemberian izin untuk menggunakan merek dagang atau nama

dagang franchisor. Pemberian izin atau lisensi penggunaan

merek dagang atau nama dagangtersebut diberikan dalam rangka

penjualan produk yang diwaralabakan ataspemberian izin

penggunaan merek dagang dan nama dagang

Pada era tahun 1980an, Franchise menjadi suatu masa depan bagi dunia bisnis di

Indonesia. Kerja sama waralaba ini berkembang sangat pesat yang pada saat itu

dipelopori oleh perusahaan multinasional. Pilihan atau padanan kata untuk franchise

adalah “waralaba” atau keuntungan istimewa. Istilah ini diperkenalkan pertam kali

oleh lembaga pendidikan dan pengembangan manajemen ( LPPM ),36

namun untuk

lebih jelasnya akan dijabarkan beberapa pengertian tentang Franchise menurut para

ahli dan beberapa kamus :

1. Martin Mendelsohn37

Pemberian sebuah lisensi ( Franchisor) kepada pihak lain ( Franchisee),

lisensi tersebutmemberikan hak kepada Franchiseeuntuk berusaha

dengan menggunakan merk dagang Franchisor, dan untuk menggunakan

seluruh paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk

36

Adrian Suteji, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 7 37

http://www.franchise-id.com pada tanggal 10 Februari 2014 pukul 20.15

77

membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan

bisnis dan untuk menjalankan dengan terus menerus atas dasar – dasar

yang ditentukannya.

2. Rooseno Harjowidigno38

Franchise adalah suatu sistem usaha dalam bidang perdagangan atau jasa,

mempunyai ciri khas bisnis tersendiri, baik mengenai jenis dan bentuk

produk yang diusahakan, identitas perusahaan (merek dagang, logo,

desain bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan),

rencana pemasaran dan bantuan operasional.

3. V. Winarto39

Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang relatif baru

atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan

khususnya dalam bidang usaha menyediakan produk dan jasa langsung

kepada konsumen.

4. Janet Housden40

Franchise adalah suatu ikatan kontraktual terhadap suatu kepentingan

dalam mana, suatu organisasi yaitu pihak franchisor, yang telah

mengembangkan suatu formula untuk menghasilkan dan / atau menjual

produk atau servis, diperlukan haknya untuk menjalankan bisnis kepada

38

Munir Fuady, 2010, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 16 39

IbId, hal 18 40

Munir Fuady, 2009, Pembiayaan Perusahaan masa kini ( Tinjauan Hukum Bisnis ), PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal 136

78

perusahaan lain, yaitu pihak Franchisee, dengan batasan – batasan dan

pengawasan tertentu. Dalam hampir semua franchise yang penting, dalam

menjalankan bisnisnya secara franchise, pihak franchisee selalu

menggunakan nama pihak franchisor sebagai nama dagangannya.

5. Dalam literatur asing terdapat pendapat mengenai pengertian franchise

yang dikemukakan dalam British Franchise Association yaitu :

”A contractual license granted by one person ( thefranchisor ) to

another ( the franchisee ) which :

1. Permits or requires the franchisee to carry on, during the period

of the franchise, a particular bussiness under or using a specific

name belonging to or associated with the franchisor;

2. Entitles the franchisor to exercise continuing control during the

period of the franchise over the manner in which the franchisee

carry on the business which is the subject of the franchise;

3. Obliges the franchisor to provide the franchisee with assistance in

carrying on the businesswhich is the subject of the franchise ( in

relation to the organization of the franchisee’s business, the

training of staff, merchandising, management, or otherwise );

4. Requires the franchisee periodically, during the period of

franchise, to pay the franchisor sums of money in conideration for

the franchise, or for goods or services provided by the franchisor

to the franchisee;

5. Which is not transaction between a holding company andits

subsidiary ( as defined in section 736 of the companies ACT

1985 ) or between subsidiaries of the same holding company,

or between an individual and a company controlled by him.

Sesuai dengan uraian mengenai franchisediatas maka franchiseadalah suatu kegiatan

bisnis yang membolehkan sang franchiseeuntuk menjalankan bisnis dengan cara

mengakomodir suatu brand atau nama milik sang franchisor serta tunduk kepada

perjanjian yang telah disetujui oleh keduanya dengan terikat kepada ketentuan dalam

isi perjanjian tersebut dimana sang franchiseeberkewajiban untuk membayar

79

sejumlah dana kepada franchisor yang sudah membantunya dalam menjalankan

bisnis tersebut.

6. Dalam Black’s law Dictionary franchise didefinisikan sebagai41

:

“A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell

products or services. In its simple terms, a franchise is a license from

owner of a trademark or trade name permiting another to sell product or

service under that name or mark. More broadly stated, a franchise has

evolved into an elaborate agreement under which the franchise undertakes

to conduct a business or sell a product or service in accordance with

methods and procedures prescribed by the franchisor, and the franchisor

undertakes to assist the franchiseethorugh advertising, promotion and

other advisory services.

Meskipun terdapat perbedaan – perbedaan antara beberapa pengertian mengenai

franchise seperti yang yang dipaparkan diatas namun disini dapat diambil kesimpulan

bahwa franchise itu adalah suatu kegiatan bisnis modern yang membolehkan pemilik

franchise ( franchisor ) untuk menunjuk penerima franchise ( franchisee ) untuk

menjalankan bisnis dengan menggunakan serta mendistribusikan nama perusahaan,

simbol – simbol komersial serta barang – barang yang dimiliki oleh franchisor

dengan syarat memberikan sejumlah dana starting point mengingat usaha yang

dijalankan oleh pihak franchisor adalah usaha yang sudah memiliki nama di

masyarakat serta bersedia untuk mengikuti metode dan aturan – aturan bisnis yang

ditetapkan oleh pihak franchisor.

2.3.1. Perkembangan Franchise di Negara Common Law

Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari

ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-

41

Bryan A. Gamer, Op Cit, hal. 34

80

keputusan yang telah diambilnya (judge made law). Umumnya di negara dengan

sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal

tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of

precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan

pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya.

The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti

sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang / berpatokan pada putusan-

putusan sebelumnya).42

Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa

Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat,

Kanada dan Australia.Kecuali negara bagianLousiana di Amerika Serikat dan

provinsi Quebec di Kanada yangmenganut sistem hukum civil law. Sekilas mengenai

perbedaan antara civil law (Eropa Continental) dengan common law (Anglosaxon)

dapat dilihat dari segi perkembangan keduanya. Perkembangan sistem civil law

diilhami oleh para ahli hukum yang terdapat pada universitas - universitas, yang

menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan

perkembangan sistem common law terletak pada putusan-putusan hakim, yang bukan

hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.43

Kelahiran peraturan mengenai waralaba di Amerika Serikat terjadi di tahun

1956 yaitu dengan diterima dan diundangkannya the Automobile Dealer Franchise

42

Hardijan Rusli, 2009, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law ( Cetakan ke – III ), Pusaka

Sinar Harapan, Jakarta, hal 16 43

Ibid, hal 17

81

Act.44

Tujuan luhur dari lahirnya peraturan itu adalah untuk memelihara keseimbangan

kekuasaan antara pembuat mobil dan dealer penerima waralaba. Untuk tujuan itu,

hukum memperbolehkan dealer mengajukan tuntutan di Pengadilan Distrik Amerika

Serikat guna mendapatkan ganti rugi dari para pembuat mobil yang tidak memenuhi

persyaratan perjanjian waralaba, atau secara tidak adil membatalkan atau menolak

memperbaharui perjanjian waralaba. Walaupun pada awalnya peraturan tersebut

hanya ditujukan dalam hubungan dealer penerima waralaba dengan para pembuat

mobil, pengadilan ternyata memberlakukan undang-undang itu sebagai bentuk

“kodififkasi” dari janji untuk memberikan perlakuan adil dan pelaksanaan itikad baik

yang dapat diterapkan pada semua kontrak komersial yang berkaitan dengan

pemberian waralaba. Seperti diperkenankan oleh undang-undang 1956, 49 dari 50

negara bagian menyetujui legislasi ini dengan perbaikan disana-sini untuk menutup

kekurangan yang ada.Undang-undang yang berlaku dihampir seluruh negara bagian

ini menangani dan mengatur setiap aspek dari hubungan antara dealer dan pembuat

mobil, termasuk juga didalamnya ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan

ataupun pengakhiran lebih awal dari perjanjian waralaba. Hasilnya, para dealermobil

secara umum dapat menikmati hubungan yang cukup adildengan para pembuat mobil

yang merupakan pemberi waralaba.45

Undang - undang yang berlaku di California tersebut menyatakan tidak sah

setiap orang yang menawarkan atau menjual waralaba,dengan nama apapun di negara

44

Robert Purwin Jr, 2004, The Franchise Fraud, John Willet and Sons Inc., New York, hal 32 45

Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 14

82

bagian California kecuali jika waralaba tersebut terdaftar pada Commissioner of

Corporations negara bagian California atau kegiatan waralaba tersebut secara tegas

dibebaskan dari kewajiban atau persyaratan untuk melakukan pendaftaran. Selain itu

ditentukan juga bahwa kegiatan menjual waralaba yang seharusnya didaftarkan

dengan, dengan nama apapun di negara bagian California adalah suatu hal yang

melanggar hukum, jika salinan prospektus dan perjanjian yang diusulkan sehubungan

dengan penjualan waralaba kepada calon penerima waralaba paling sedikit sepuluh

hari kerja sebelum pelaksanaan perjanjian atau pembayaran yang dilakukan oleh

penerima waralaba kepada pemberi waralaba dilakukan.46

Karena itu California

adalah negara bagian pertama yang mengharuskan pendaftaran dan pemberian

penjelasan atas penjualan suatu usaha waralaba.

Sebagai catatan, perlu disampaikan juga tentang perkecualian dari persyaratan

California mengenai pemberi waralaba yang :47

1. Memiliki kekayaan berisi $5 juta atau lebih (atau kekayaan bersih$1 juta

atau lebih, dan paling sedikit 80 persen dan kekayaan bersih itu dimiliki

oleh perusahaan dengan kekayaan bersih tidak kurang dari $5 juta)

2. Mempunyai paling sedikit 25 penerima waralaba yang sudah melakukan

bisnis secara terus menerus selama lima tahun berturut-turut sebelum

penawaran atau penjualan dilakukan, atau sudah melakukan bisnis yang

46

Hardijan Rusli, 2008“Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law (cetakan ke – ii), Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta, hal 16. 47

Hardijan Rusli, Op Cit, hal 44

83

menjadi subyek waralaba secara terus menerus paling sedikit lima tahun

sebelum penawaran atau penjualan dilakukan.

Walaupun pemberi waralaba ini tidak perlu mendaftar, namun pemberi

waralaba yang dibebaskan dari pendaftaran inipun harus menjelaskan secara

tertulis kepada calon penerima waralaba kategori informasi yang

dispesifikasikan dalam undang-undang. Penyerahan penjelasan tertulis ini

harus dilakukan paling sedikit sepuluh hari kerja sebelum dibuatnya suatu

perjanjian waralaba yang mengikat atau diterimanya suatu pembayaran oleh

penerima waralaba. Selain itu para pemberi waralaba ini diwajibkan untuk

melaporkan tentang pengecualian pendaftaran tersebut kepada the

Commissioner. Selanjutnya walaupun pemberi waralaba itu bebas dari

pendaftaran, perubahan penting apa pun pada suatu waralaba yang sudah ada

harus dijelaskan secara tertulis kepada setiap penerima waralaba.

Undang-undang yang berlaku di California itu juga mengharuskan untuk

melakukan pendaftaran dan penjelasan atas suatu modifikasi yang signifikan pada

waralaba yang telah diberikan, dengan tidak memperhatikan apakah kewajiban

pendaftaran telah disyaratkan padasaat waralaba tersebut diberikan pertama kali.

Bentuk pendaftaran danpenjelasan yang harus disampaikan ditentukan oleh the

Commissioner.48

48

Martin Mandelshon,2008, Franchising : Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, Pustak

Binaman Pressindo, Jakarta, hal 13

84

Selain hal tersebut diatas, undang-undang tersebut juga mengatur mengenai

masalah penanganan biaya waralaba, pemeliharaan catatan dan pembukuan, serta

promosi dan iklan waralaba. Undang-undang yang berlaku di California ini tidak saja

mewajibkan pemberi waralaba bertanggung jawab atas kerusakan / kerugian yang

diderita oleh penerima waralaba atas penyampaian informasi yang tidak benar,tetapi

penerima waralaba juga diberikan hak untuk dapat menuntut pemberi waralaba

apabila waralaba itu dibatalkan atau diakhiri secara sepihak oleh pemberi waralaba.

Penerima waralaba yang merasa tertipu dapat menuntut ganti rugi dari individu (baik

orang perseorangan ataupun badan usaha) yang berasosiasi dengan pemberi waralaba

dalam hal ternyata pemberi waralaba berada dalam posisi judgement proof (yaitu

tanpa cukup aset yang dapat dipertimbangkan untuk memberikan ganti rugi), atau

pemberi waralaba sudah dinyatakan pailit.49

Menyusul diberlakukannya undang-undang yang mengatur tentang waralaba di

negara bagian California, sebanyak 14 negara bagian lain telah juga memberlakukan

undang - undang pendaftaran dan pemberian penjelasan atas kegiatan usaha yang

melibatkan penawaran dan penjualan waralaba. Negara-negara bagian itu adalah

Hawaii (kewajiban memberikan penjelasan saja), illinois, Indiana,Marylan, Michigan

(kewajiban memberikan penjelasan danpembuatan dokumen pemberitahuan),

Minnesota, New York, NorthDakota, Oregon (kewajiban memberikan penjelasan

saja), Rhode Island, South Dakota, Virginia, Washington dan Wisconsin (keduanya).

Perlu diketahui bahwa pada mulanya Hawaii dan Michigan memberlakukan undang-

49

Ibid, hal 22

85

undang pendaftaran dan jugakewajiban memberikan penjelasan, tetapi kemudian

undang-undang pendaftaran tersebut dicabut kembali.50

Pada prinsipnya negara bagian yang mewajibkan pendaftaran waralaba dalam

peraturannya tersebut menyatakan bahwa hanya waralaba yang telah terdaftar secara

benar saja, yang dapat memulai melakukan penawaran, dan selanjutnya menjual

waralaba di dalam negara bagian tersebut. Meskipun seluruh dokumen yang

berhubungan dengan pendaftaran diserahkan kepada the Commissioner, dan bahwa

para pejabat negara bagian (dalam the Commissioner) tersebut pada beberapa negara

bagian tertentu seperti California dan New York akan membaca dan mengevaluasi

bahan dan edaran penawaran yang diserahkan, untuk menentukan cukup tidaknya

bahan-bahan tersebut mengandung penjelasan tentang fakta-fakta terpenting,

peninjauan tersebut sama sekali tidak mengindikasikan bahwa penawaran itusudah

“disetujui” oleh negara bagian tersebut. Pendaftaran memang sangat diperlukan dan

penting untuk mencegah penipuan, khususnya bagi yang mensyaratkan adanya

pembayaran biaya waralaba tertentu dan jumlah-jumlah uang atau biaya lain yang

dibayar. Dalam hal inimaka nilai biaya atau uang pembayaran yang dilakukan

tersebut akan ditempatkan dalam penguasaan pihak ketiga sampai kewajiban pemberi

waralaba terhadap penerima waralaba sudah dipenuhi.

2.3.2. Perkembangan dan Pengaturan Franchise Di Negara Civil Law

Sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum

Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (EropaKontinental) oleh negara-

50

Ibid, hal 25

86

negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis danlain-lain. Berkembangnya sistem hukum

Romawi Jerman adalah berkatusaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha

menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum

Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau

private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota

masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan

nama sistem hukum civil law.51

Sehubungan dengan belum terdapatnya perundang-undangan khusus yang

mengatur mengenai waralaba, Komisi Uni Eropa mengadakan penelitian

untukmeneliti sejauh mana permasalahan yang berhubungandengan perjanjian

waralaba. Hal selanjutnya dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan

hukum persaingan Eropa. Komisi Uni Eropa mengadakan pula kerjasama dengan

European Franchise Federation dan organisasi-organisasi lain untuk mendapatkan

satu kesatuan pandangan mengenai kepastian hukum dalam perjanjian waralaba. Pada

bulan Februari 1980 ditetapkan dasar-dasar pembentukan perjanjian waralaba yang

selaras dengan European Code Of Ethics for Franchising.

European Code Of Ethics for Franchising pada dasarnya masih belum dapat

memberikan kepastian hukum, karena kode etik tersebut bersifat pedoman umum

dalam menyelaraskan perjanjian waralaba negara negara di Eropa. Hingga saat ini

tidak semua negara-negara dieropa memiliki peraturan di bidang waralaba.

Pengaturan hukum mengenai waralaba seringkali disandarkan pada hukum umum

51

Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hal 27

87

seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum sosial masing-masing negara. Pihak

dewan Uni-Eropa (European Council) mempunyai peranan penting dalam membuat

pelaksanaan - pelaksanaan keputusan yang dijalankan oleh Komisi Eropa (European

Council), juga peraturan-peraturan waralaba.52

Keputusan Mahkamah Eropa tentang kasus Pronuptia (Pronuptia deParis

Pronuptia de Paris Irmgard Schiligalis-Hamburg Case 161/84 of28 Jaunuary 1986)

merupakan suatu keputusan penting yang dijadikan pedoman dalam persaingan di

bidang waralaba. Hal tersebut kemudian melahirkan pranata hukum yang berkaitan

dengan The Franchising Block Exemption Regulation and The Vertical Restraints

Block Excemotion Regulation. Setelah itu Komisi Eropa menghasilkan kembali 5

(lima) keputusan di bidang waralaba, dan menyusun rancangan peraturan untuk

perjanjian waralaba yang disebut The Franchising Block Exemption Regulation,

diundangkan pada tanggal 28 Desember 1988 dan mulai berlaku sejak 1 Februari

1989.53

Uni Eropa merupakan salah satu pelaku bisnis terbesar di dunia.Negara – negara

yang tergabung dalam Uni Eropa telah mengharmonisasikan beberapa segi kehidupan

mereka, seperti bidang ekonomi, standar kehidupan, juga aturan pranata hukum

termasuk didalamnya adalah pranata waralaba.

Hampir semua negara-negara anggota Uni Eropa telah melakukanupaya

harmonisasi di bidang pranata hukum waralaba melalui EuropeanCode of Ethics for

52

Douglas, J. Queen, 2007, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise ( Cetakan ke – II ), Pt.

Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 6 53

M. L. Barron,2010, Fundamentals of Bussiness Law, McGraw Hill Book Co., Sydney, hal. 33

88

Franchising(selanjutnya disebut European Code).European Code merupakan kode

etik yang menjadi pedoman umum agarterdapat standardisasi perjanjian yang

mengatur ketentuan-ketentuan bagi para pihak dalam perjanjian waralaba.European

Code ini tidak berupa aturan yang mengikat namun dipakai sebagai acuan namun

dalampraktek sehari-hari. Kode etik ini sangat efektif dan ditaati oleh masyarakat

negara-negara Uni Eropa. Di dalam European Code ini terdapat beberapa kode etik

yang harus ditaati dan disesuaikan dengan kondisi masing – masing negara yaitu :54

a) Definiton of Franchising

b) Guiding Principles

c) Recrutment, advertising and disclosure

d) Selection of individual franchisee

e) The kontrak franchise

f) The Code OF ethics and master franchise system

Dalam pasal 2 yakni mengenai guiding principles mengatur mengenai

kewajiban kedua belah pihak. Dalam pasal 2.2 menyatakan bahwa pemberi waralaba

(franchisor) wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :

a) Telah menjalankan konsep bisnisnya dengan sukses, untuk jangka waktu

yang masuk akal dan sekurang – kurangnya telah mempunyai satu unit

sebelum memulai jaringan bisnis melalui pola waralaba ini

54

Susan Blake, 2008, A Practical Approach To Legal Advice & Drafting, Inns Of Court School Of

Law, London, hal 24

89

b) Menjadi pemilik, atau mempunyai hak yang sah atas nama dagang,

merek dagang, atau identitas pembeda lainnya

c) Memberikan latihan awal dan bantuan teknik selama perjanjian

berlangsung

Ketentuan dalam pasal 2.2 huruf (a) diatas mengenai kewajiban dari pemberi

waralaba (franchisor) untuk memiliki pengalaman dalam menjalankan konsep bisnis

membuat posisi berimbang dapat terpenuhi. Posisi berimbang antara para pihak dapat

terpenuhi karena diharapkan konsep bisnis yang ditawarkan memang telah memiliki

nilai ekonomis yang cukup memadai untuk meraih kesuksesan. Dalam hal ini,

penerima waralaba (franchisee) dilindungi kepentingannya karena dengan syarat ini

diharapkan konsep bisnis yang dibeli oleh penerima waralaba (franchisee) telah

mapan dan resiko gagal dapat dieliminasi serendah mungkin. Selain itu, disyaratkan

pula pemberi waralaba (franchisor) telah mengelola minimal 1 (satu) unit bisnis

sebelum memasarkan konsep bisnisnya melalui konsep waralaba. Syarat ini dianggap

melindungi posisi penerima waralaba (franchisee) karena pemberi waralaba

(franchisor) yang menjual konsep waralaba diharapkan telah berpengalaman

mengelola bisnis sendiri. Hal ini sangat diperlukan guna meminimalisasikan risiko

yang kemungkinan ditanggung penerima waralaba ( franchisee ) akibat gagalnya

konsep bisnis yang dibelinya.

Selanjutnya pasal 2.2 huruf (b) yang pada intinya mengatur bahwa pemberi

waralaba (franchisor) harus dapat membuktikan bahwa pihaknya merupakan pemilik

hak yang sah atas hak kekayaan intelektual dari konsep bisnis waralaba bersangkutan.

90

Hal ini tentu saja memberikan posisi berimbang bagi penerima waralaba (franchisee)

karena kepemilikan yang sah atas hak kekayaani ntelektual sangat bernilai, dimana

salah satu dasar kesuksesan daribisnis waralaba adalah adanya merek yang sudah

dikenal oleh masyarakat.

Sedangkan pasal 2.2 huruf (c) yang mengatur mengenai kewajiban dari pemberi

waralaba (franchisor) untuk memberikan bantuan kepada penerima waralaba

(franchisee) berupa pelatihan wala, bantuan teknis, bantuan berkesinambungan

selama perjanjian tertentu saja akan memberikan perlindungan bagi penerima

waralaba (franchisee).

Pasal 2.3.memuat tentang kewajiban penerima waralaba ( franchisee ) yaitu :

a) Memberikan upaya terbaik dalam menjalankan / mengembangkan

bisnis waralaba dan menjaga identitas dan reputasi jaringan

waralaba

b) Mendukung pemberi waralaba ( franchisor ) dengan data

operasional dan laporan keuangan yang benar untuk memudahkan

penentuan pekerjaan, juga sebagai pedoman manajemen yang

efektif, serta mengijinkan agen waralaba ( franchise of agent )

untuk memeriksa pembukuan dengan wajar

c) Tidak membocorkan know how uang diberikan pemberi waralaba (

franchisor ), baik selama perjanjian berlangsung dan setelah

perjanjian berakhir

91

Pasal 2.4 memuat mengenai kewajiban yang secara terus menerus bagi kedua

belah pihak adalah melakukan transaksi yang adil satu sama lain. Franchisor harus

memberikan pemberitahuan (notice) tertulis kepada penerima waralaba (franchisee)

dalam setiap pembatalan kontrak (breach of contract), dan memberikan waktu yang

wajar untuk memberi ganti rugi (remedy default). Pasal ini mengakomodir pula

kewajiban para pihak untuk menyelesaikan protes, konflik dan perselisihan dengan

berlandaskan itikad baik dan goodwill secara wajar dan adil dengan cara menjalin

komunikasi dan negosiasi.

Yang diatur dalam pasal 1 hingga pasal 2.4 diatas merupakan kewajiban yang

sejalan dengan kepastian hukum bagi para pihak. Hal tersebut dapat dijadikan acuan

dalam menyusun hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba.

Kewajiban - kewajiban yang diatur dalam kode etik hanya merupakan kewajiban

yang umum atau pokok saja. Selain itu, masih terdapat beberapa kewajiban lain yang

dapat diperinci dan dapat dinegosiasikan dalam perjanjian waralaba, misalnya

kewajiban waralaba untuk membayar upah (fee), seperti initial fee, anual fee,

royalties, advertising fee, juga kewajiban pemberi waralaba (franchisee) untuk

menutup asuransi, kewajiban pemberi waralaba (franchisor) untuk meminjamkan

manual guide.55

Ketentuan dalam pasal 3 secara umum mengenai penerimaan (recruitment),

periklanan (advertising), pengungkapan (disclosure), dan perjanjian awal (pre-

55

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu,2009,Hukum Bisnis dalam persepsi Dunia Modern, Refika

Aditama, Bandung, hal 15

92

contract) dapat memberikan perlindungan hukum kepada pemegang waralaba

(franchisee) sebelum menutup perjanjian maupun perjanjian awal. Perlunya

keterbukaan, informasi yang tidak menyesatkan dan tidak bermakna ganda serta

adanya waktu yang cukup bagi calon penerima waralaba (franchisee) sebelum

memasuki bisnis waralaba adalah untuk memberikan gambaran mengenai bisnis yang

akan dimasuki oleh calon penerima waralaba (franchisee) dapat menilai bonafiditas

dari penerima waralaba (franchisor), sehingga calon pemegang waralaba (franchisee)

dapat terhindar dari kegagalan usaha waralaba, dan dapat terhindar pula dari pemberi

waralaba (franchisor) yang beritikad kurang baik. Hal ini tentu saja akan memberikan

perlindungan bagi pihak penerima waralaba (franchisee) sehingga posisi berimbang

dapat tercapai.

Pasal 4 memuat mengenai kewajiban dari pemberi waralaba (franchisor) untuk

mengadakan seleksi dan menerima calon penerima waralaba (franchisee) berdasarkan

hasil pencarian mengenai kemampuan dasar, pendidikan, kualitas pribadi, dan sumber

daya keuangan untuk menjalankan bisnis waralaba. Hal ini penting dilakukan dalam

rangka menilai bonafiditas, minat dan keseriusan calon penerima waralaba

(franchisee) agar lebih menjamin keberhasilan bisnis penerima waralaba (franchisee)

yang pada akhirnya menjaga kelangsungan kegiatan bisnis waralaba. Hal ini

memberikan posisi berimbang bagi pihak pemberi waralaba (franchisor) karena

memiliki kebebasan untuk menilai calon penerima waralaba (franchisee) yang

potensial dan serius.

93

Pasal 5 mencantumkan mengenai syarat minimum yang harus dicantumkan

dalam suatu perjanjian waralaba, antara lain :

a) The rights granted to the franchisor, yaitu hak – hak yang diberikan

kepada pemberi waralaba

b) The rights granted to the individual franchisee, yaitu hak – hak yang

diberikan kepada penerima waralaba

c) The goods and / or services to be provided to the individual franchisee,

yaitu barang / dan jasa yang disediakan bagi penerima waralaba

d) The obligations of the franchisor, yaitu kewajiban pemberi waralaba

e) The obligations of individual franchisee, yaitu kewajiban penerima

waralaba

f) The terms of payment by the individual franchisee, yaitu jangka waktu

pembayaran yang harus dilakukan oleh penerima waralaba

g) The duration of agreement whisch should be long enough to allow

individual franchisee to amortize their initial investments specific to the

franchise, yaitu jangka waktu perjanjian yang cukup agar penerima

waralaba dapat mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan dalam

rangka memasuki bisnis waralaba

h) The basis for any renewal of the agreement the terms upon which the

individual franchisee may sell or transfer the franchised business and

the franchisor’s possible pre - emption rights in this respect, yaitu dasar

untuk pembaharuan perjanjian dan klausula yang menyatakan penerima

94

waralaba dapat menjual atau mengalihkan bisnis waralaba, dan

kemungkinan mendapatkan penawaran terlebih dahulu bagi pemberi

waralaba atas bisnis waralaba tersebut

i) The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or changed

methods, yaitu hak dari pemberi waralaba untuk melakukan penyesuaian

atau memperbaharui, atau merubah metode

j) Provisions for termination of the agreement provisions for surrendering

promptly upon termination of the kontrak franchise any tangible and

intangible property belonging to the franchisor or other owner thereof,

yaitu ketentuan mengenai pengakhiran perjanjian, untuk penyerahan

dengan segera baik benda berwujud maupun tidak berwujud milik

pemberi waralaba atau pemilik yang berhak setelah perjanjian berakhir

Ketentuan mengenai syarat minimum yang harus tercantum dalam perjanjian

waralaba sangat relevan guna memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang

terlibat dalam waralaba, terutama bagi pihak penerima waralaba (franchisee) agar

terdapat posisi yang berimbang bagi para pihak. Selain itu, hal ini dapat digunakan

pula sebagai pedoman didalam penyusunan perjanjian waralaba yang baik dengan

memperhatikan kedudukan kontraktual yang berimbang bagi para pihak.

Pasal terakhir yakni Pasal 6 mengatur mengenai hubungan pemberi waralaba

(franchisor), penerima waralaba (franchisee), dan (masterfranchisee), yang pada

intina bahwa European Code dapat diterapkan untuk mengatur hubungan antara

95

pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee), juga dapat

diterapkan antara (masterfranchisee) dengan penerima waralaba (franchisee).

Kode etik mengenai waralaba di negara Eropa yang tergabung dalam European

Franchise Commision bersifat sangat umum, singkat, akan tetapi telah memuat hal-

hal mendasar dalam mengatur hubungan parapihak yang berupa hak dan kewajban

secara berimbang sehingga posisi berimbang dalam hubungan kontraktual para pihak

dapat tercapai.

Posisi berimbang dapat tercapai sejak saat perjanjian awal, karena dengan

disyaratkannya pengungkapan oleh pemberi waralaba (franchisor) yang jelas,

terperinci, dan tidak mengandung kesesatan akan membuat posisi penerima waralaba

(franchisee) mempunyai akses mendapatkan informasi yang jelas dan berimbang

untuk dapat memasuki bisnis waralaba dengan tanpa keraguan apapun. Hal ini

berimbang pula dengan posisi pemberi waralaba (franchisor) untuk dapat menilai

kelayakan penerima waralaba (franchisee) yang ditawarkan oleh pemberi waralaba

(franchisor).

Posisi berimbang di dalam kontrak diharapkan dapat berlangsung dengan baik,

hal ini diakomodir dalam ketentuan yang mengatur perlindungan bagi pemberi

waralaba (franchisee), khususnya dari pemberi waralaba (franchisor) yang beritikad

buruk, memberikan kesesatan informasi, hak dan kewajiban yang tidak berimbang,

namun dipihak lain perlindungan secara berimbang diberikan pula terhadap pihak

pemberi waralaba (franchisor). Jadi posisi berimbang antara para pihak dalam hal ini

dapat tercapai saat penerima waraba (franchisee) mendapatkan suatu

96

pengungkapanyang berisikan informasi yang jelas mengenai bisnis waralaba, namun

disisi lain pemberi waralaba (franchisor) dapat menilai kelayakan penerima waralaba

(franchisee) untuk dapat terlibat dalam bisnis waralaba.

2.3.3. Perkembangan Franchise di Indonesia

Di Indonesia waralaba dikenal sejak era 1970-an ketika masuknya Shakey Pisa,

KFC, Swensen, dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai

sekira 1995. Setelah itu, usaha waralaba mengalami kemerosotan karena terjadi krisis

moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai

rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga tahun 2000, waralaba asing masih

menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik

yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elite.56

Pemerintah mengizinkan kegiatan usaha franchise ini dengan harapan untuk

meningkatkan kegiatan perekonomian di Indonesia. Sejalan dengan berkembangnya

usaha franchise asing, maka beberapa pengusahaI ndonesia juga mulai

mengembangkan usaha franchise lokal, seperti Es Teler 77, Califonia Fried Chicken,

Kursus bahas Inggris Oxford, Kursus Komputer Widyaloka, Ny.Tansil Fried Chicken

and Steak, Kurumaya, Laundrette (Laundry), Ristra Salon &Centre, Rudi

Hadisuwarno (Salon Kecantikan), SS Foto (cuci cetak film) dan Toys City (toko

mainan anak anak). Kalangan bisnis Indonesia umumnya memberikan nilai yang

lebih tinggi pada identitas Internasional (Franchise asing) dan yakin akan

memperoleh keuntungan lebih banyak dengan mengoperasikan bisnis franchise asing

56

Iman Sjahputra Tunggal, 2005, Franchising : Konsep dan Kasus,Harvarindo, Jakarta, hal 5

97

tersebut.57

Padahal dengan mengoperasikan bisnis franchise lokal mereka akan

memperoleh beberapa kemudahan, antara lain biayanya lebih rendah, perbedaan

waktu dan jarak tidak menghambat komunikasi, tidak ada perbedaan bahasa dan

budaya, serta lebih sedikit kesulitan yang dihadapi dibanding dengan franchise asing,

disamping itu modal yang di pergunakan juga tidak begitu besar.

Pesatnya pertumbuhan franchise di Indonesia kini ternyata mempunyai sejarah

yang cukup panjang dan berliku berawal dari sebuah pemikiran bahwa sistem

waralaba terbukti sukses memacu perekonomian di banyak negara maju seperti

Amerika dan beberapa negara maju lainnya.58

Tidak hanya itu franchise juga mampu

menyediakan lapangan pekerjaan bagi cukup banyak tenaga kerja. Franchise di

Indonesia berawal dari upaya pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan

Republik Indonesia yang melihat sistem franchise sebagai suatu cara, usaha untuk

menggiatkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan. Di Indonesia juga

terdapat Organisasi Perusahaan Franchise yakni disebut dengan Asosiasi Franchise

Indonesia (AFI). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1990 atas dorongan

daripemerintah Indonesia dan ILO (Internasional Labour Organisation)adapun latar

belakang pendirian organisasi ini yaitu adanya keinginan untuk mempersatukan diri

dalam suatu wadah organisasi pada tingkat nasional serta merupakan forum

kerjasama demi meningkatkan dan mengembangkan potensi dalam menjadikan

dirinya sebagai mitra pemerintahan, maupun sektor swasta lainnya. Franchisor yang

57

J. Queen, Op Cit, hal 15 58

Rooseno Harjowidigno, 2007, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah

Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, Jakarta hal 3

98

menjadi pendirinya yaitu : PT. Trims Mustika Citra, ES Teler 77, Widyaloka,

NilaSari, Homes 21. Maka dimulailah sebuah usaha untuk mendata usaha franchise

yang ada di Indonesia dengan menggandeng International Labour Organization

(ILO).59

Secara umum perkembangan bisnis dengan menggunakan sistem franchise di

Amerika telah dimulai pada tahun 1863 yaitu dengan munculnya Singer Sewing

Machine Company.60

Perkembangan selanjutnya metode franchise tidak hanya masuk

dalam lapangan automobile dan minuman ringan (soft drink) saja. Franchising

menjadi bagian integral dalam sistem distribusi. Diperkirakan pada tahun 1985 lebih

dari 30 persen penjualan retail dilakukan melalui outlet-outlet franchise.61

Masuknya bisnis dengan menggunakan sistem franchise di Indonesia bermula

dari kebijakan atau political will pemerintah terhadap maraknya perdagangan eceran

(retail) maupun investasi asing yang ada. Perdagangan retail yang merambah

Indonesia berasal dari luar negeri masuk melalui penamaman modal asing, sedangkan

saat itu perusahaan retail lokal cukup banyak, antara lain seperti Matahari, Hero, dan

Golden Truly.62

Tampaknya pemerintah memandang perlu melakukan proteksi

terhadap perusahaan – perusahaan retail lokal dalam menghadapi persaingan bisnis

dengan perusahaan asing.

59

Pietra Saragosa, 2005, Kiat Praktis Membuka Usaha – Mewaralabakan Usaha Anda, Pt. Elex Media

Komputindo, Jakarta, hal 4 60

www.franchise-id.com pada tanggal 28 April 2015 pukul 21.00 61

www.franchise-id.com pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 21.00 62

V. Winarto, 2010, Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia Aspek Hukum

dan Non Hukum, dalam Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum tentang Franchise dan

Perusahaan Transnasional, PT Citra Aditya Bakti , Bandung , hal 9

99

Kebijakan atau political will melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing

nomor 1 Tahun 1967 serta Peraturan Pemerintah Nomor20 Tahun 1994 tentang

Daftar Negatif Investasi (list of sectors closedfor investment) telah membatasi atau

merestriksi perdagangan retailyang masuk 100 persen di Indonesia. Demikian pula

dengan Keputusan Presiden nomor 31 tahun 1995 tentang daftar sektor-sektoryang

tertutup bagi modal asing masuk di dalamnya, karena mengingat adanya sektor-sektor

tertentu yang masih dipandang perlu diproteksi ataupun pertimbangan lain

diantaranya segi ekonomi, sosial, politik,dan kultur. Strategi bisnis kemudian

dijalankan oleh pengusaha – pengusaha retail asing untuk melakukan penerobosan

atas restriksi yang dilakukan pemerintah melalui Undang-Undang.

2.3.4. Bentuk Dan Struktur Kontrak Franchise

Perlu diketahui bahwa istilah franchise atau yang dengan istilah Indonesianya

dikenal sebagai franchise tersebut memiliki batasan dan definisi yang sangat

bervariasi. Namun pada dasarnya variasi batasandan definisi tentang franchise

tersebut paling tidak memiliki elemen–elemendasar yang sama, baik dari aspek

perjanjian atau kontraknya,maupun dari segi hak milik intelektual yang melekat di

dalamnya.

Dari sudut franchisor (pengwaralaba), franchise dapat dianggap sebagai

sekelompok hak milik intelektual; dari sudut franchisee (pewaralaba), waralaba dapat

dianggap sebagai paket bisnis, sedangkan dari sudut hukum, franchise adalah suatu

100

kontrak atau perjanjian kerja sama standar dan dari sudut pemerintah dan masyarakat

umum dianggap sebagai hubungan kemitraan usaha.63

Seperti yang dikemukakan oleh Douglas. J. Queen, terdapat macam – macam

bentuk franchise seperti :64

1. Franchise format bisnis

Disini franchisee memperoleh hak dan kewajiban untuk memasarkan

dan menjual produk pelayanan di wilayah tertentu dengan standar

operasional dan pemasaran. Adapun jenis format bisnis franchise terdiri

atas :

a. Franchise Pekerjaan;

b. Franchise usaha dan;

c. Franchise investasi

2. Franchise Distribusi Produk

Dalam bentuk ini, franchisee memperoleh lisensi eksklusif untuk

memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang

spesifik. Disamping itu, franchisor juga memberikan franchiseewilayah,

dimana franchisee ataupun sub pemilik franchise membeli hak untuk

mengoperasikan / menjual franchise di wilayah geografi tertentu. Sub

pemilik franchise bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh

63

Martin Mendelsohn, Op Cit , hal 4. 64

Douglas J. Queen, Op Cit, hal. 5

101

pemasaran franchise, melatih dan membantu pemegang franchisebaru,

dan melakukan pengendalian dukungan operasi serta penagihan royalti.

Franchise wilayah memberikan kesempatan kepada pemegang

franchiseinduk untuk mengembangkan rantai usaha agar

perkembangannya lebih cepat, dimana keahlian manajemen dan resiko

terhadap financial merupakan tanggung renteng antara pemegang

franchise induk dengan sub pemegangnya.Namun demikian tentu saja

pemegang induk menarik royalti dan penjualan produk.

Adapun Lieberman, membagi operasi bisnis franchise kedalam tiga kategori,

yaitu :65

1. Distributorship or product Franchise

Melalui lisensi manufaktur seorang distributor menjual produk –

produknya, misalkan automobile dealership dan gasoline station

operation.

2. Bussiness format franchise

Franchisee menjadi bagian ( anggota kelompok ) dari usaha yang

dimiliki oleh franchisor, misalkan fast food chains, real estate

brokerages, dan beberapa firma akunting yang dijalankan dengan sistem

ini.

3. Manufacturing Plants

65

Juajir Sumardi, 2007, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 18

102

Franchisor memberi ijin kepada franchisee untuk menjual produknya

dibawah standar yang dipersyaratkan oleh franchisor. Bentuk semacam

ini biasanya untuk barang – barang elektronik.

Begitu pula dengan Bryce Webster mengemukakan bentuk – bentuk

franchisekedalam 4 kategori, yaitu :66

1. Product Franchise

Pada bentuk ini, franchisee berdasarkan lisensi yang diperoleh dari

franchisor menjual barang-barang hasil produksi franchisor, sehingga

membawa merek dagang franchise. Hubungan yang muncul adalah

hubungan distributorship antara franchisee dengan franchisor. Franchise

bentuk ini, dewasa ini masih digunakan antara lain pada industri

automotif.

2. Manufacturing Franchises

Pada bentuk ini, franchisor memberikan bahan-bahan rahasia(secret

ingredients atau know how) yang menjadi dasar bagiproduksi

franchisor. Franchisee hanya tinggal menjual produksi barang-barang

tersebut sesuai dengan standar produksi dan merek yang telah ditetapkan

oleh franchisor. Contoh dari bentuk ini adalah pada industri soft drink,

antara lain coca cola, pepsi, dan lain-lain.

3. Bussiness Format Franchises

66

Ibid, hal. 25

103

Sebagaimana pengertian sebelumnya, bentuk ini sangat populer dewasa

ini. Franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk

menggunakan nama franchisor. Namun dalam mengikuti metode

standar pengoperasian dan berada di bawah pengawasan franchisor. Di

samping itu, franchisee harus membayar fee atau royalti kepada

franchisor. Sebagaimana contohnya adalah fast food chain seperti

California Fried Chicken, McDonald’s, Texas Fried Chicken.

4. Bussiness Opportunity Ventures

Franchisee di sini menggunakan sistem yang dimiliki franchisor dalam

menjalankan dan menjual produknya. Bentuk franchise yang semacam

ini dapat dicontohkan antara lain seperti vending machine (penjualan

mesin).

Dari berbagai pengertian franchise diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kesamaan

yang dapat dilihat adalah bahwa penggunaan sistem kerja dengan sistem bisnis yang

telah distandarkan oleh franchisor untuk mekanisme bisnis yang akan dijalankan oleh

franchisee. Ini merupakan suatu dasar patokan bentuk – bentuk franchise yang

berbeda dimana yang menjadikannya sedikit berbeda adalah isi dari klausul kontrak

franchiseitu sendiri.

Dalam penyusunan suatu kontrak sudah sebaiknya memperhatikan struktur

kontrak itu sendiri. Kontrak seringkali tidak mudah untuk dirancang, kedua belah

pihak harus menentukan secara benar antara hak dan kewajiban sedangkan harus

tepat dimata hukum sehingga lahirlah suatu kontrak yang baik. Tidak ada bentuk

104

kontrak yang selalu cocok dalam setiap transaksi umat manusia karena dalam dunia

bisnis, kepentingan haklah yang akan selalu diutamakan ditambah lagi dengan

kaburnya aturan – aturan hukum dalam suatu langkah – langkah perancangan kontrak

sehingga terdapat banyak sekali bentuk kontrak yang dibuat sesuai dengan selera para

pihak. Dalam praktek terdapat kecenderungan untuk mengusahakan suatu bentuk

kontrak yang relattif baik dan sistematis, penyusunan kontrak secara sistematis

berguna bagi para pihak untuk dapat melihat hukum, kepentingan serta hak dan

kewajibannya secara jelas. Secara singkat, Prof. Erman Rajagukguk mengatakan

bahwa suatu kontrak mempunyai suatu struktur sebagai berikut :67

Bagian I :

“Yang isinya harus diterapkan dalam semua kontrak yaitu antara lain:

judul, tanggal, para pihak, kata sepakat menggunankan latar belakang

(recitle), mengenai sesuatu untuk apa perjanjian diadakan, tidak

melangar hukum (sesuatu sebab yang halal) dan pasal 1 yang isinya

tentang definisi”

Bagian II :

“Merupakan bagian dari kontrak berisi tentang isi kontrak yang khas.

Bagian inilah yang membedakan isi kontrak yang satu dengan kontrak

67

www.majalahwk.com/artikel-artikel/info-usaha/187-edisi-majalah.html, pada tanggal

20 Maret 2015 pukul 10.00

105

yang lain. Yang dapat dilakukan adalah mengkoleksi contoh-contoh

kontrak atau literatur-literatur tentang kontrak dalam suatu check list”

Bagian III :

“Merupakan suatu bagian kontrak yang berisi pasal-pasal yang harus

ada di semua kontrak yang dibuat meliputi isi kontrak yang prinsip antara

lain yaitu: wanprestasi (even of default), peringatan (notice) atau somasi,

ganti rugi atau denda, force majeure atau keadaan darurat, choice of

law/governing law/applicable law, Penyelesaian sengketa (settlement of

dispute), bahasa yang dipakai, ketentuan amandemen untuk kontrak

jangka panjang, the entire agreement (kalimat dari keseluruhan

perjanjian), penutup dan tanda tangan”