penerapan asas proporsionalitas dan asas …
TRANSCRIPT
PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM KONTRAK BAGI HASIL (PRODUCTION SHARING KONTRAK)
DI INDONESIA
ABDUL SAFRI TUAKIA
Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
081318406558
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan dan pelaksanaan kontrak bagi hasil (production sharing contract) pada pengaturan mengenai kontrak bagi hasil yakni Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas bumi serta naskah kontrak bagi hasil. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative, penggunaan bahan hukum meliputi bahan hukum primer dan sekunder melalui teknik pengumpulan berupa studi kepustakaan, Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, kontrak bagi hasil telah menerapkan asas proporsionalitas dan asas keseimbangan antara Pemerintah dan KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) bahwa pembagian hak dan kewajiban antara pemerintah dan KKKS dalam kontrak bagi hasil dapat di anggap proporsional dan memenuhi asas keseimbangan.
KATA KUNCI : Kontrak Bagi Hasil, Production Sharing Contract, Asas Proporsionalitas, Asas Keseimbangan.
This study aims to find out how the implementation and implementation of contracts (profit sharing contracts) at certain times. Law No. 22 of 2001 concerning Oil and gas and production sharing contract. This research is a normative legal research, the use of legal materials in the form of basic and general materials used for literature study. The method used to analyze data is qualitative analysis, which was used in this study. the principle of proportionality and the principle of balance between the Government and KKKS (contractor of employment contract) which is part of the rights and responsibilities of the government and KKKS in the context of profit sharing.
Keyword : Production Sharing Comtract, Principle Of Balance, Principle Of Proportionality .
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi,
muncullah istilah kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract atau PSC). Penggunaan istilah
Production Sharing Contract (PSC) untuk kontrak bagi hasil adalah untuk mempertegas bahwa
bentuk Kontrak Kerja Sama yang dimaksud untuk disepakati dan dilaksanakan oleh Badan
Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dan kontraktor adalah Production Sharing Contract (PSC)1,
sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 1 butir 19: “Kontrak Kerja Sama
adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain yang diakui oleh undang-undang
ini dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan bagi Negara dan hasilnya
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konsekuensi dari lahirnya Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2001 adalah Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa penguasaan atas Migas tetap berada pada
Negara, namun pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan. Kemudian dalam Pasal 1 angka 5, Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang
diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan
Eksploitasi. Sementara Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 dimana yang memegang Kuasa
Pertambangan adalah Perusahaan Negara yaitu Pertamina.
Munculnya Production Sharing Contract sebagai wujud ketidakpuasan, meruginya pihak
pemerintah, posisi tawar yang belum maksimal di kontrak-kontrak sebelumnya, seperti konsesi
dan kontrak karya yang banyak membawa kerugian bagi negara serta belum maksimalnya peran
1Ismantoro Dwi Yuwono, Mafia Migas versus Pertamina, Galang Pustaka, Cet. I, 2014, hlm.6
negara dan pemasukan dalam bidang migas 2 Alasan diterbitkannya undang-undang tentang
kontrak bagi hasil adalah sebagaimana disebutkan dalam Undang–Undang No. 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi Pasal 6 yaitu: “ Hak milik terhadap sumber daya alam tetap
ditangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian, manajemen operasi ada ditangan
Badan Pelaksana dan modal serta resiko seluruhnya ditanggung oleh badan usaha atau bentuk
usaha tetap”. Di Indonesia tambang minyak dan gas bumi masih diusahakan dalam bentuk kerja
sama dengan investor. Bentuk Kerjasama yang dilakukan adalah kerjasama kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract). Production Sharing Contract (PSC) merupakan suatu
penggabungan usaha antara Negara (pemerintah) dengan perusahaan lainnya untuk
mengeksplorasi3 dan memproduksi minyak dan gas bumi. Ciri yang menonjol dari Production
Sharing Contract adalah manajemen dan kepemilikan aset berada pada Pemerintah, serta yang
dibagi adalah hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi. Melalui kontrak bagi hasil selanjutnya
hubungan hukum antara Pertamina dan perusahaan swasta di bangun ke dalam kesepakatan-
kesepakatan keperdataan yang mengikat di antara kedua belah pihak.4 Persoalannya, pada konteks
relasional yuridis (kontrak bagi hasil) antara Pertamina dengan perusahaan swasta lain tidak jarang
mengemuka rumor yang mengungkapkan bahwa Pertamina sebagai pihak yang mewakili
pemerintah/publik, seringkali berada pada posisi yang tidak cukup kuat, bahkan bukan tidak
mungkin justru hingga menimbulkan berkurangnya pemasukan kepada negara.5
Kontrak Kerjasama migas merupakan sebuah kontrak yang bersifat perdata yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap badan usaha tetap. Menurut pendapat para sarjana, hal
2 Assat D. Sudardjat, Aspek Keuangan Dari Kontrak Production Sharing (K.P.S) Perminyakan Di Indonesia, Buletin
Ilmiah Tarumanagara TH. 9 / No. 31 / 1994, IMII-94-1141 4 Afina niken al-islami, jurnal ilmiah, legalitas kontrak kerja sama minyak dan gas bumi pada organinasi dan tata kerja
satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, univeristas brawijaya malang, 2015, hlm 9
5 Kholid S,'Di Bawah Bendera Asing" LPES, Jakarta 2009, hlm.69
yang lebih dititik beratkan adalah mengenai bentuk kontrak yang ditandatangani kedua belah
pihak.6
Kedudukan para pihak dalam kontrak menjadi tidak seimbang. Konatrak seperti ini secara
sepintas kita melihatnya menimbulkan dua subjek hukum dengan kapasitas yang tentu berbeda.
Negara merupakan subjek hukum yang sempurna dalam hal ini negara membuat regulasi,
melaksanakan regulasi serta mengubah regulasi. Negara pun dalam hal ini mengadili orang,
koorporasi maupun subjek hukum lainnya yang melanggar hukum. Sedangkan badan usaha tetap
adalah badan hukum yang kapasitasnya terbatas dan lebih banyak bertindak sebagai pelaksana
hukum yang telah dibuat oleh negara. Mengenai kedudukan para pihak yang tidak seimbang, para
sarjana telah memisahkan status negara sebagai suatu negara yang berdaulat (juri imperii) dan
negara sebagai subjek hukum perdata (juri gestiones). Suatu negara dianggap telah menanggalkan
imunitas (waiver of immunity) atau kedaulatannya yang berhubungan dengan tindakan negara
dalam bidang bisnis menurut konsep juri gestiones. Penanggalan ini diperlukan agar kedudukan
para pihak dalam suatu konrak atau transaksi komersial dapat berada dalamkedudukan yang
seimbang (prinsip Equality of the Parties)7
Fenomena pertama, pemerintah mengeluarkan aturan-aturan yang berpengaruh terhadap
komersialitas kontrak bagi hasil yang telah ditanda tangani, misalnya dengan mengeluarkan aturan
mengenai pembatasan pengantian biaya operasi seperti misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di
Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Peraturan pemerintah ini memberikan pembatasan
mengenai hal-hal yang tidak dapat diberikan pengantian biaya operasi. Sementara itu jika merujuk
pada kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bagi hasil, pada prinsipnya semua pengeluaran
6 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Badnung, Cet 2.M 2008, hlm 54 7 Ibid, hlm.15
dapat dibebankan sebagai biaya operasi dan dapat diberikan penggantian dari minyak yang
terproduksi, kecuali jika pengeluaran tersebut dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan kontrak
bagi hasil.8
Fenomena kedua, adalah masalah perijinan tumpang tindih penggunaan kawasan. Selama ini
diketahui secara luas bahwa investasi dibidang migas terhambat masalah perijinan. Pemerintah
mewajibkan KKKS untuk mendapatkan berbagai perijinan untuk melaksanakan kegiatan
operasinya, selainnya masalah perijinan. Masalah tumpang tindih pengunaan kawasan juga
menjadi penghambat investasi.9
Fenomena-fenomena diatas adalah tindakan sepihak dari pemerintah di mana pada satu sisi
menunjukan superioritas kedudukan pemerintah namun di sisi lain menunjukan ketidakberdayaan
KKKS dihadapkan dengan pemerintah. Meskipun kontrak bagi hasil telah menetapkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak, namun pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan dan
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak bagi hasil. Disisi lain
KKKS juga tidak mampu berbuat apa-apa mengingat kedudukannya yang inferior. Pada titik inilah
pembicaraan mengenai masalah ketidak seimbagan dalam kontrak bagi hasil dimulai.
Permasalahan tersebut diatas bisa dikarenakan tidak diterapkannya Asas Proporsionalitas dan
Asas Keseimbangan. Asas merupakan suatu pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian
fundamental, mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Dalam satu mata rantai sistem, asas, norma
dan tujuan hukum berfungsi sebagai pedoman dan ukuran atau kriteria bagi perilaku manusia.
Meskipun asas hukum bukan merupakan norma hukum, namun tidak ada norma hukum yang dapat
dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang terdapat di dalamnya.
8 Nugroho eko primanto, 2017, Kontrak Bagi Hasil Migas:Aspek Hukum Dan Kedudukan Para Pihak, genta
publishing, Yogyakarta, hlm 9 9 Nugroho, Op.Cit, hlm 10
Asas Proporsionalitas dalam perjanjian diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak
dan kewajiban para pihak yang sesuai dengan proporsi atau bagiannya. Asas ini tidak
mempermasalahkan keseimbangan hasil, namun lebih menekankan pada proporsi pembagian hak
dan kewajiban di antara para pihak.10 Sedangkan Asas Keseimbangan secara umum makna asas
keseimbangan sebagai keseimbagan posisi para pihak dalam berkontrak. Oleh karena itu dalam
hal terjadi ketidak seimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penulisan ini hendak dikaji isu sentral berupa
pemenuhan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan kontrak bagi hasil yakni penerapan asas
proporsionalitas dan keseimbangan dalam kontrak bagi hasil juga perspektif dalam
ketidakseimbangan kedudukan hukum para pihak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka permasalahan yang akan
dikaji dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaiamana penerapan asas proporsionalitas dalam kontrak bagi hasil di Indonesia ?
2. Bagaiamana penerapan asas keseimbangan dalam kontrak bagi hasil di Indonesia ?
II. Metode Penelitian
Dalam Penulisan Tesis ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal
research),11yaitu penelitian yang meneliti pada data sekunder bidang hukum yang ada sebagai
data kepustakaan dengan menggunakan metode berfikir deduktif untuk selanjutnya mengkaji
10Agus Yudho hernoko, hukum perjanjian: asas proporsionalitas dalam kontrak komersial, Jakarta: penerbit kencana,
hlm 31 11 Herlien Budiono, 2006, Asas keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan
Asas-Asas Wigati Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 380.
pasal-pasal perjanjian yang mengandung ketidakseimbangan bagi para pihak pada perjanjian
bagi hasil, dan selanjutnya juga mengkaji Bagaiamana penerapan asas proporsionalitas dan asas
keseimbangan dalam kontrak bagi hasil di indonesia kedudukan para pihak dalam kontrak bagi
hasil (production sharing contract) perspektif keseimbangan kedudukan dalam pelaksanaan
kontrak bagi hasil, dihubungakn dengan Undang-undang yang mengatur kontrak bagi hasil
(production sharing contract) dalam perundang diindonesia. Juga menganalisis pelaksanaan
kontrak bagi hasil (production sharing contract).
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis yaitu
menggambarkan hal-hal yang berkaitan erat dan memiliki relevansi dengan kontrak kerja sama
antara KKKS dan Pemerintah dalam hal ini SKK dihubungkan dnegan asas-asas perjanjian dan
asas proporsionalitas dan asas keseimbangan secara menyeluruh dan sistematis selanjutnya juga
terkait dengan pengaturan mengenai production sharing contract dan pelaksanaan kontrak bagi
hasil dilakukan kajian/analisa dengan menggunakaninterpretasi/penafsiran hukum.
Penelitian hukum ini penulis mengunakan Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan Hukum
Primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari : Undang-Undnag Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undnag-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang
Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil.
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan
hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat para sarjana,
makalah, artikel, jurnal ilmiah yang berhubungan dengan kontrak bagi hasil (production
sharing contract). Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikanpetunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari: 1) Kamus
Umum Bahasa Indonesia; 2)Kamus Hukum; 3) Kamus Inggris Indonesia; 4) Ensiklopedia.
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,yaitu data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnyadianalisis secara kualitatif untuk
mencapai kejelasan masalah yang akan dibahasdan hasilnya dituangkan dalam bentuk laporan
penelitian. Metode kualitatifdilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analitis,
yaitu data-datayang akan diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Bahan hukum yang
diperoleh dari penelitian diklasifikasikan dan diidentifikasi sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian. Hasil klasifikasi dan identifikasi selanjutnya di sistematisasikan, diurutkan secara
sistemtis bahan hukum yang telah di sistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar
dalam mengambil kesimpulan.
III. PEMBAHASAN
A. Penerapan Asas Proporsionalitas dan Asas Keseimbangan Dalam Kontrak Bagi Hasil
Menurut Agus Yudho Hernoko Asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi
atau mendasari pertukuran hak dan kewajiban para pihak sesua proporsi atau bagiannya dalam
seluruh proses kontraktual”. Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban
diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual,
pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak (pre-contractual, contractual, post
contractual). Asas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para
pihak (menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair).12
Menurut Agus yudho Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada
nilai-nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga tidak dapat
dilepaskan dari asas atau prinsip kecermatan (zorgvuldigheid), kelayakan (redelijkheid;
reasonableness) dan kepatutan (billijkheid; equity). Untuk menemukan asas proporsionalitas
dalam kontrak dengan menggunakan kriteria atau ukuran nilai-nilai tersebut di atas, hendaknya
tidak diartikan akan diperoleh hasil temuan berupa angka- angka matematis. Asas proporsionalitas
tidak mempermasalahkan keseimbangan (kesamaan) hasil secara matematis, namun lebih
menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak yang berlangsung secara
layak dan patut (fair and reasonable).
Contoh sederhana untuk dapat menjelaskan eksistensi dan daya kerja asas proporsoonalitas
dalam kontrak bagi hasil penulis coba menjabarkannya secara sederhana.
A. Prinsip pertama yang di adopsi dari konsep kerja sama garap sawah adalah adanya sistem
pembagian berdasarkan hasil produksi. Hal ini berarti juga apabila tidak ada produksi yang
dihasilkan, maka seluruh resiko biaya operasi ditanggung oleh pihak penggarap. Namun
apabila ada produksi maka dasar pembagiannya adalah paron, dimana masing-masing
pihak memperoleh 50 persen. Dari pembagian penggarap 50 persen sudah termasuk
pengembalian untuk biaya operasi. Selain itu penggarap biasanya masih dibebani biaya
lain sebagai sumbangan untuk membayar pajak tanah. Karena sifatnya sumbangan, maka
tidak seluruh kewajiban pajak tanah itu dibebankan kepada penggarap. Sumbangan seperti
12 Agus Yudho hernoko, hukum perjanjian: asas proporsionalitas dalam kontrak komersial, penerbit kencana,
Prenademedia group, jakarta, hal 87
itu dalalm Kontreak bagi Hasil perminyakan diwujudkan dalam bentuk kewajiban
kontraktor minyak asing untuk membantu penyediaan sebagian produksinya untuk
kebutuhan domestic market obligation (DMO).
Bagaimana cara menghitung bagi hasil migas: 85 : 15 (untuk oil) dan 70 : 30 (untuk gas)
adalah prosentase yang dihitung dari Equity to be split. Ini bagi hasil yang dijamin dalam
kontrak bagi hasil. Berapa besarnya prosentase bagi hasil antara pemerintah dengan
kontraktor migas. Secara umum, prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor
sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas).
i. Penerapannya dalam konsep Kontrak Bagi hasil, untuk mencapai pembagian atas dasar
paron tersebut, diterapkan batasan maksimum (recovery ceiling) untuk pengembalian
biaya operasi di darat (onshore) sebesar 35%, dan pembagian produksi setelah biaya
operasi adalah Pertamina 65% dan KKKS 35%. Dari bagian KKKS yang 35% masih
diwajibkan untuk menyerahkan DMO sebesar 25% x 35% dari seluruh produksi.
Apabila dihitung dengan pengembalian biaya operasi maksimum 35%, maka Indonesia
sebagai pemilik lahan yang diwakili oleh pertamina memperoleh bagian sebesar 65%
x (100%-35%) = 42,25 % ditambah dengan DMO sebesar 25% x 35% = 8,75% dan
dikurangi dengan fee DMO sebesar 10% x 8,75% = 0,875 adalah sama dengan
50,125%. Sedangkan KKKS memperoleh bagian sebesar 49,875%.
ii. Untuk operasi lepas pantai (offshore) pengembalian biaya operasi dinaikkan menjadi
40%, maka Indonesia sebagai pemilik lahan yang diwakili ole Pertamina memperoleh
65% x (100%-40%) = 39,00% ditambah dengan DMO sebesar 25% x 35% = 8,75%
sama dengan 47,75%. Sebagai kompensasi kenaikan dari pembatasan pengembalian
biaya operasi itu, KKKS wajib membayar sewa atas asset bergerak (moveable) yang
dibeli oleh investor dan digunakannya untuk operasi. Besarya biaya sewa tersebut
berkisar antara 1,50 - 2,20%. Sehingga pada akhirnya penerimaan Indonesia yang
diwakili oleh Pertamina tetap berkisar pada angka 50,00%.
iii. Angka 35% dan 65% dalam sistem Kontrak Bagi Hasil merupakan angka yang berasal
dari angka paron (50% : 50%) dalam konsep garap sawah di pedesaan. Dengan sistem
kontrak bagi hasil, sebenarnya apabila perusahaan minyak asing menganut asas konsep
keekonimian good oilfies petrolrum practices, maka maksimum 40%. Dengan
demikian Indonesia memperoleh jaminan penerimaan minimal sekitar 50% dari nilai
produksi bersih.
Dalam model Kontrak Bagi Hasil versi tahun 2015, prinsip ini dituangkan lebih lanjut
dalam Pasal 1.1.6 yang berbunyi:
“selama jangka waktu kontrak ini, seluruh produksi Minyak dan Gas Bumi yang diperoleh dalam pelaksanaan Operasi Minyak dan Gas Bumi dimaksud akan dibagi sesuai dengan ketentuan pada Bab VI Kontrak ini.” Serta pasal 6.2.3 yang berbunyi: “untuk Minyak Bumi yang tersisa setelah dikurangi FTP sesuai pasal 6.4 dan pengembalian Biaya Operasi sesuai Ayat 6.1.2, SKK MIGAS dan kontraktor berhak mengambil dan menerima setiap tahun, masing-masing sebesar 58,3333% (lima puluh delapan koma tiga tiga tiga tiga persen) untuk SKK MIGAS dan 41,6667% (empat puluh satu koma empat empat empat tujuh persen) untuk Kontrakor.”
iv. Dari hasil produksi minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja
sama (KKKS) mendapatkan 41,6667% hasil pendapatan bersih (sudah dikurangi DMO
dan cost recovery)
v. Pemerintah tidak secara serta merta mendapatkan 85% dari hasil yang diperoleh. Hasil
perolehan minyak itu harus dikurangi dulu dengan biaya yang dikeluarkan oleh
kontraktor migas sebelum dibagi ke pemerintah dan kontraktor sesuai prosentase yang
diatur dalam kontrak Sebaliknya dari hasil produksi minyak dan gas bumi pemerintah
selaku pemilik lahan mendapatkan keuntungan bersih sebesar 58,3333%
vi. Kalau kita lihat Secara matematis pembagian hasil, hasil yang diperoleh masing-
masing pihak adalah tidaklah sama (tidak seimbang-tidak adil) hal ini dikarenakan
sebagian besar pihak yang memberikan penilaian semata-mata hanya melihat dari hasil
akhir tanpa memahami proses yang berlangsung sebelumnya. Oleh karena itu mereka
hanya memaknai perbandingan matematis yaitu 85 : 15 (untuk oil) dan 70 : 30 (untuk
gas)
vii. Namun apabila ditinjau dari asas proporsionalitas pembagian tersebut adil dan
proporsional. Seharusnya penilaian adil dan tidak adil harus dianalisis secara
konprehensif pada seluruh proses, bahwa untuk mendapatkan angka ini, terdapat
perhitungan DMO, DMO fee dan Tax. Sehingga perlu dilakukan perhitungan gross up
atas prosentase di bagian ETBS ssehingga secara bottom nilai prosentasenya mencapai
85 : 15 dan 70 : 30 Q : Dengan rate tax yang berbeda-beda (sesuai dengan rejim
perpajakan sewaktu penandatangan kontrak KONTRAK BAGI HASIL ),
viii. Baik pemerintah maupun Kontraktor kontrak kerja sama keduanya sama-sama
memperoleh keuntungan ekonomi pemasukan devisa untuk keuangan negara dan bagi
perusahaan dapat balik modal dan mendapat keuntungan dari hasil investasi dan hasil
produksi minyak
Contoh lain untuk memperkuat asumsi bahwa ruang lingkup dan daya kerja asas
proporsionalitas, khususnya pada kontrak bagi hasil dapat di analisa pola hubungan para pihak
KKKS dan Pemerintah (SKK Migas). Meskipun dalam beberapa aspek mucul anggapan
seolah-olah kontrak sangat kurang memberi porsi yang seimbang dalam hubungan para pihak,
pada khususnya terkait pencantuman beberapa klausul-klausul yang dianggap memberikan
posisi kontraktor kontrak kerja sama namun melalui pengujian yang proporsionalitas
diharapkan memberikan hasil penilaian yang obyektif, beberapa klausul yang dapat dijadikan
objek pengujian asas proporsionalitas, antara lain:
1. dalam kontrak kontrak bagi hasil, semua resiko ada di kontraktor. Pasal 1.1.4
“KONTRAKTOR wajib menanggung risiko dalam melaksanakan Operasi Minyak dan Gas
Bumi dan dengan demikian memiliki kepentingan ekonomis dalam mengembangkan
cadangan Minyak dan Gas Bumi di dalam Wilayah Kerja”.
i. Dalam sistem kerjasama pengolahan sawah di pedesaan, walaupun bangunan
(gubuk) dibangun oleh penggarap, namun masyarakat menganggap bahwa
bangunan itu milik pemilik lahan. Semua bangunan disawah termasuk sarana
irigasi yang dibangun oleh penggarap untuk mengerjakan lahan pertanian adalah
menjadi milik pemilik lahan. Penggarap boleh memiliki bangunan itu untuk
kepentingan penanaman padi, namun hak pemiliknya tetap berada ditangan pemilik
lahan. Penggaap hanya mempunyai hak pakai tetapi tidak mempunyai hak milik,
sementara pemilik lahan mempunyai hak milik tetapi tidak mempunyai hak paka.
Karena tidak mungkin apabila penggarap gagal panen, harus membongkar kembali
bangunan yang sudah dibangun.
ii. Dalam kontrak bagi hasil, semua peralatan, sarana dan fasilitas yang dibeli dan
dibangun untuk operasi perminyakan, apabila mendarat di pelabuhan impor
Indonesia langsung menjadi milik atau property dari pemerintah Indonesia dalam
hal ini diwaakili oleh Pertamina selaku pemegang manajemen. Semua asset yang
dibeli dan dibangun, hak pakainya berada di pihak KKKS sedangkan hak milik
dalam hal in dimiliki oleh Pertamina. Jika KKKS gagal menemukan cadangan
komesial, maka bangsa Indonesia tidak ada kewajiban untuk mengembalikan
seluruh biaya operasi yang sudah dikeluarkan. Untuk mengamankan prinsip itu,
maka semua set yang diadakan berkenaan dengan opersi perminyakan langsung
menjadi property dari negara melalui Pertamina.
iii. Dalam model Kontrak bagi Hasil versi tahun 2014, prinsip ini dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 10.1 ysng berbunyi :13 “Peralatan yang dibeli oleh Kontraktor berkaitan dengan Rencana Kerja akan menjadi milik Negara Republik Indonesia (dalam hal impor, ketika mendarat di pelabuhan impor Indonesia) dan selanjutnya akan digunakan dalam Operasi Minyak dan Gas Bumi dalam Kontrak ini.”
2. Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak KONTRAK BAGI HASIL menjadi milik negara dalam kontrak bagi hasil pasal 10.1 “Peralatan yang dibeli oleh KONTRAKTOR berkaitan dengan Rencana Kerja akan menjadi milik Negara Republik Indonesia (dalam hal impor, ketika mendarat di pelabuhan impor Indonesia) dan selanjutnya akan digunakan dalam Operasi Minyak dan Gas Bumi dalam KONTRAK ini.” i. Dalam sistem kerjasama pengelolahan sawah di pedesaan, biaya operasi termasuk
dari pembagian paron (50%), jika terjadi puso atau tidak panen maka tidak ada
pengembalian biaya opersi. Kerugian penggarap di suatu lahan sawah tidak pernah
dibebankan biaya opersinya kepada hasil lahan sawah yang lainnya, walaupun
pemilik sawah dan pengarapnya mungkin orang yang sama. Dalam sistem
akuntansi modern ada istilah yang dikenal dengan ring fencing yaitu sistem
kerjasama pengelolahan sawah, lahan sawah yang diperjanjikan tidak mengenal
sistem konsolidasi bagi lahan sawah yang puso dan yang berhasl (panen). Ring
fencing sistem garap sawah di pedesaan adalah vertical dalam arti waktu dan
horizontal dari arti tidak dapat diperhitungkan terhadap produksi tahun berjalan.14
13 Nugroho Eko Priamoko, Op.Cit., hlm. 62 14 Nugroho Eko Priatmoko, Op.Cit., hlm. 64
ii. Kondisi kontrak bagi hasil masih lebih aik dibandingkan dengan ring fencing garap
sawah di pedesaan, karena dapat mengakumulasi biaya operasi tahun-tahun
sebelumnya menjadi biaya operasi yang dapat diperhitungkan pada nilai produksi.
Karena pertimbangannya memproduksi lapangan migas memerlukan jangka waktu
panjang. Kondisi ring fencing sistem garap sawah di pedesaan tidak
memungkinkan adanya biaya masa lalu masuk di dalam perhitungan biaya opersi
penggarapan sawah tahun berjalan.
iii. Dalam model kontrak bagi hasil versi tahun 2014, prinsip ini dituangkan dalam Pasal 1.1.4 yang berbunyi:15 “kontraktor wajib menanggung resiko dalam melaksanakan Operasi Minyak dan Gas Bumi dan dengan demikian memiliki kepentingan ekonomis dalam mengembangkan cadangan Minyak dan gas Bumi di dalam Wilayah Kerja.”
Penjelasan secera singkat dan sederhana diatas memang menunjukan Kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract )jika dilihat secara sekilas mungkin seakan-akan tidak memberikan
porsi yang seimbang dalam hubungan para pihak khususnya bagi KKKS (kontraktor Kontrak kerja
Sama). Namun perlu diketahui bersama, bahwa kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi
merupakan kegiatan bisnis yang sangat berrisiko tinggi dan padat modal. KKKS (kontraktor
kontrak kerja sama) memang mengelurakan biaya investasi yang tidak sedikit untuk melakukan
tahapan eksplorasi, namun dari resiko yang tinggi itu pula akan terbayar lunas dan berlipat apabila
kegiatan eksplorasi tersebut telah menemukan cadangan minyak atau gas yang cukup besar, dan
kemudian pemerintah Indonesia mempunyai kewajiba meberi biaya pengembalian produksi
berupa cost recovery. Oleh karena itu dalam hal ini telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban
dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) telah cukup memenuhi kriteria
proporsional, sebab jika kita melihat asas proporsionalitas bukan hanya dari konteks keseimbangan
15 Nugroho Eko Priatmoko, Op.Cit., hlm. 65
matematis belaka, akan tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang
berlangsung antara para pihak dalam hal ini pemerintah diwakili SKK Migas dan Kontraktor
secara fair. (pertukaran hak dan kewajiban kemudian akan dibahas lebih detail dalam pembahasan
berikutnya mengenai asas keseimbangan dalam kontrak bagi hasil).
Pembentukan kontrak komersial yang dilandasi pertukaran hak dan kewajiban para pihak
secara proporsional akan menghasilkan kontrak yang fair. Untuk itu proporsionalitas pertukaran
hak dan kewajiban dapat dicermati dari substransi klausul-klausul kontrak yang disepakati oleh
para pihak. Penilaian terhadap proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban seyogyianya
beranjak dari nalar yang objektif, bukan kecurigaan dan subjektifitas satu pihak terhadap lainnya.
Kadar proporsionalitas hendaknya dinilai pada seluruh proses pertukaran hak dan kewajiban para
pihak.
Adanya peran Pemerintah dalam mengatur peran negara dalam hubungannya dengan beberapa
aspek hak menguasai atas sumber daya alam, cenderung untuk mengatakan bahwa Kontrak Bagi
Hasil Migas adalah kontrak publik. Unsur regulasi dalam Kontrak Bagi Hasil Migas berasal dari
peraturan perundang-undangan, yang sebagian kecil ditetapkan oleh DPR dan hanya sebagian
kecil yang dinegosiasikan antara pemerintah dan perusahaan migas. Pendukung pandangan ini
juga mengatakan bahwa Kontrak Bagi Hasil Migas merupakan strategi yang utama dari negara
tuan rumah, dan karenanya sebagaimana dinyatakan oleh Asante Kontrak Bagi Hasil Migas harus
dipandang sebagai instrument utama kebijakan publik, jadi masuk dalam hukum publik.16
Di sisi lain, adanya elemen kontraktual dalam Kontrak Bagi Hasil Migas adalah merupakan
konsekuensi dari hubungan komersial dan perdata dari transaksi. Kontrak Bagi Hasil Migas pada
16 Zeyad A Alqurashi, 2005, International Oil and Gas Arbitration, Dissertation University of Dundee, Scotland, Alexander’s Gas & Oil Connections and Oil, Gas & Energy Law Intelligence, hlm. 60 mengutip A. Asante, 1979, The Stability of Contractual Relations in The Transnational Investment Process, hlm. 18
dasarnya adalah perjanjian antara investor dengan negara atau BUMN di mana investor hanya
mendapatkan hak untuk mencari dan memproduksikan minyak yang ditemukan dan untuk itu
perusahaan membayar kepada negara. Unsur kontraktual dalam Kontrak Bagi Hasil Migas
seharusnya tidak merupakan kendala terhadap hukum publik. Memang harus diakui bahwa negara
memiliki kekuasaan untuk mengatur yang berasal dari konstitusi, misalnya pemerintah sebagai
pihak dalam kontrak bukan harus menjadikan kontrak tersebut sebagai kontrak publik.17
Pada dasarnya KKKS menginginkan hal-hal yang pragmatis dan mendapat keuntungan
sehingga berani untuk berinvestasi didalan kontrak bagi hasil sehingga menandatangani perjanjian
baku/standar kontrak tersebut. Kontraktor berinvestasi dalam bidang pertambangan minyak dan
gas dengan tujuan mendapat keuntungan baik jangka pendek maupun jangka panjang sehingga
mengambil resiko untuk menandatangani standard kontrak tersebut sehinga timbullah hak dan
kewajiban para pihak.
Kontrak Bagi Hasil Migas dalam faktanya adalah kontrak Baku; dengan demikian para
pihak tidak lagi bebas mengatur diri secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka
satu sama lain. Persyaratan dan ketentuan-ketentuannya ditetapkan oleh pihak yang secara politis
atau ekonomis berkedudukan lebih kuat. Kandungan keadilan dan manfaat dilandasi pada
perjumpan kehendak dan ditetapkan pada saat kontrak dibuat. Namun demikian, dalam
perjalanannya kandungan atau makna dari keadilan dapat berubah. Pengertian adil mempunyai
makna ganda, yang perbedaannya satu sama lain kecil sekali atau samar-samar. Nuansa ini perlu
dipahami dan diperhatikan apabila sifat adil akan diterapkan, misalnya dalam Kontrak Bagi Hasil
17 Hikmahanto Juwana, 2001, Hukum Bisnis dan Hukum Internasional: Kontrak Bisnis Yang Berdimensi Publik, Jakarta: Lentera Hati, hlm. 41-42
Migas yang adil, yang dilekatkan pada fairness (kewajaran) dalam pembagian hasil atau
persamaan (equality) yang menyerupai kewajaran nemurut nilai moral.
Secara umum, sistem kontrak bagi hasil/production sharing contract dalam pengusahaan
minyak dan gas bumi menempatkan pemerintah yang diwakili oleh Menteri dan SKK Migas
berada di posisi tawar yang kuat dalam berkontrak. Hal ini merupakan keniscayaan, karena sebagai
pemilik yang berkuasa atas objek dari kontrak kerjasama atau production sharing contract,
Pemerintah Indonesia telah mengaktualisasikan hak menguasai negara atas sumber daya migas
sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 melalui peraturan perundang-undangan yang
mengatur kegiatan usaha pertambangan migas. Berkaitan dengan identifikasi proporsionalitas
dalam berkontrak, hak dan kewajiban serta proporsi pembagian hasil dari production sharing
contract sudah sesuai. Asas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks keseimbangan matematis,
melainkan pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara
fair.18
Di dalam sebuah perjanjian, para pihak mengungkapakan kehendak mereka dalam bentuk
janji. Fakta yang menunjuk adanya keterjalinan dengan gejala kemunculan suatu perjanjian, yang
dibentuk oleh para pihak, keterikatan atau kekuatan mengikat dan dipenuhinya perikatan.19
Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya kerja asas proporsionalitas meliputi proses pra kontrak,
pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Penerapan asas proporsionalitas dalam
kontrak migas merupakan sebuah prinsip yang tertuang dalam Pasal 2 UU Migas Tahun 2001.
Salim HS menyatakan bahwa asas keseimbangan dalam UU Migas Tahun 2001 adalah dalam
penyelenggaraan pertambangan miyak dan gas bumi, dimana para pihak mempunyai kedudukan
18 Herlien Budiono, Ibid, hlm. 70 19 Herlien Budiono, Ibid, hlm. 307
yang tidak setara dalam menentukan bentuk dan substansi kontrak kerja sama, baik kontrak bagi
hasil maupun kontrak lainnya.20
Dalam konteks kontrak bagi hasil maka kontrak bagi hasil memberi akses kepada pemerintah
dan KKKS untuk melakukan penguasaan migas. Sebagai manfaat KKKS dapat memperoleh
penerimaan dari bagi hasil atas produksinya. Dengan demikian juga pemerintah dapat memperoleh
manfaat produksi minyak yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM,
mendorong kegiatan perekonomian dan penciptaan lapangan kerja, serta memperoleh penerimaan
dari bagi hasil atas produksinya. Agar kontrak bagi hasil dianggap adil, maka ia harus membagi
hak dan kewajiban secara proporsional kepada pemerintah dan KKKS, sesuai dengan kedudukan
dan peranannya dalam kontrak bagi hasil. Selain tiu yang lebih penting adalah kontrak bagi hasil
tersebut membawa manfaat bagi seluruh bangsa Indonesia.
Asumsi kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negoisasi serta aturan main yang fair
menunjukan bekerjanya mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional.21 SKK
Migas sebagai representasi dari pemerintah telah mendapatkan porsi yang seimbang sebagi pihak
yang terlibat dalam production sharing contract, begitu pula dengan KKKS yang mendapat
keuntungan bisnis setimpal dari operasi migas yang dilaksanakan.
B. PENERAPAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM KONTRAK BAGI HASIL
Suatu kontrak bagi hasil dapat dikatakan memenuhi asas keseimbangan jika telah mengatur
pembagian hak dan kewajiban secara proporsional kepada para pihak. Tentu pembagian ini tidak
harus secara matematis sama 50:50, tetapi haru sesuai dengan peran dan kedudukan para pihak
20 Salim HS (1), Op.cit, hlm. 12 21 Agus Yudha Hernoko, Op.cit, hlm.
dalam Kontrak Bagi Hasil. Asas ini juga mengkehendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan hak serat kewajiban yang telah disepakati.
Pemerintah sebagai pihak dalam Kontrak Bagi Hasil memiliki peran untuk mencapai tujuan
negara untuk mencapai memajukan kesejahteraan umum. Peran ini diwujudkan dengan
mengupayakan agar melalui Kontrak Bagi Hasil pemerintah dapat memperoleh pendapatan bagi
negara, memaksimalkan penggunaan kapasitas dalam negeri serta meningkatkan produksi migas
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Disisi lain, kepentingan yang paling utama bagi investor adalah jaminan bahwa biaya yang
telah dikeluarkannya akan mendapat penggantian dan mendapatkan bagi hasil yang
menguntungkan. Investor akan sangat dirugikan jika dalam perjalanan pelaksanaan Kontrak Bagi
Hasil muncul ketentuan-ketentuan yang membatasi penggantian biaya operasi maupun pembagian
hasil. Terlebih lagi jika ketentuan-ketentuan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah, yang nota bene
adalah juga pihak dalam Kontrak Bagi Hasil dan harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati dalam Kontrak Bagi Hasil. Pada titik ini konsp asas keseimbangan lain, yaitu bahwa
ketidakseimbangan telah muncul manakala salah satu pihak melanggar ketentuan yang telah
disepakati dalam Kontrak Bagi Hasil yang mengakibatkan ketidakseimbangan prestasi. Dalam hal
ini, misalnya pemerintah telah mengeluarkan ketentuan yang membatasi penggantian biaya
operasi, sedangkan menurut ketentuan Kontrak Bagi Hasil ia berkewajiban memberikan
penggantian biaya operasi dari minyak mentah yang berhasil diproduksi. Tidak ditaatinya asas
keseimbangan, dalam bentuk tidak adanya pembagian hak dan kewajiban yang proporsional dan
melanggar ketentuan Kontrak Bagi Hasil yang mengakibatkan ketidakseimbangan prestasi, akan
menyebabkan investor enggan untuk menanamkan uangnya di sector hulu migas yang penuh
dengan resiko.
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan penulis, maka kontrak bagi hasil mengatur kewajiban-
kewajiabn bagi pemerintah dan KKKS. Kewajiban-kewajiban dimaksud adalah sebagaimana
diuraikan dibawah ini.
1. Kewajiban Pemerintah
Kewajiban garis, kewajiban pemerintah dalam kontrak bagi hasil terdiri dari :
a) Memegang menajemen operasi migas dalam wilayah kerja b) Membuka penggantian biaya operasi dari minyak mentah yang di produksi c) Menyediakan data-data, geologi, geophisik, pemboran dan data-data produksi lainnya. d) Manjamin adanya akses bagi KKKS untuk memasuki wilayah kerja e) Memberikan fasilitas dan ijin-ijin yang diperlukan dalam kegiatan operasi, termasuk ijin
kerja dan visa f) Menanggung dan membebaskan KKKS atas pajak-pajak penghasilan dan beas masuk dan
cukai tembakau dan alcohol.
Berikut ini penulis uraikan lebih lanjut kewajiban-kewajiban pemerintah berdasar kontrak bagi
hasil.
Secara garis besar kewajiban KKKS dalam kontrak bagi hasil:
a. Mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan operasi migas dengan standar workmanlike manner and appropriate scientific method.
b. Menyediakan dana serta melakukan pengadaan barang dan jasa c. Menanggung resiko operasi d. Membayar pajak penghasilan e. Mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia dan barang produksi Indonesia f. Melakukan pelatihan tenaga kerja dan alih teknologi g. Menyediakan bantuan teknis h. Menyerahkan sebagian minyak bagiannya untuk pasar dalam negeri i. Mematuhi ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia
Dari uraian mengenai pembagian hak dan kewajiban pemerintah repbulik Indonesia dalam
kontrak bagi hasil memegang manajemen operasi dimana didalamnya termasuk memberikan
bantuan dan konsultasi kepada kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk mendapatkan akses
ke dalam wilayah kerja serta ijin-ijin yang diperlukan. Kewajiban utama yang lain lagi dari
pemerintah adalah memberikan penggantian biaya operasi dari minyak mentah yang di produksi
dan membebaskan dari pajak-pajak dan pungutan-pungutan, selai pajak penghasilan KKKS dll.
Di sisi lain KKKS memiliki kewajiban utama menyiapkan dan melaksanakan kegiatan
operasi migas sesuai dengan prudent operator principle, menyediakan biaya, personel dan
teknologi, membayar pajak penghasilan, serta menyerahkan sebagian minyak bagiannya untuk
pasar dalam negeri. Selai itu kewajiban yang paling penting adalah menanggung resiko operasi
dalam hal tidak ditemukan minyak yang komersial untuk di produksi.22
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dirujuk kembali parameter mengenai asas
keseimbangan. Kondisi keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian terjadi, jika ada
pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional diantara kedua belah pihak. Pembagian ini tidak
harus sama persis 50:50 secara matematis, tetapi yang penting adalah pembagiannya proporsional
sesuai dengan kedudukan masing-masing pihak. Dalam konteks bangsa Indonesia, kondisi
keseimbangan juga mensyaratkan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum. Asas ini juga menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
hak serta kewajiban yang telah disepakati.
Kedudukan pemerintah dan KKKS tentu tidak sama. KKKS sebagai investor hanya
berkepentingan agar modal yang ditanamnya kembali dan mendapat keuntungan. Oleh karena itu
adanya ketentuan pengembalian biaya operasi dan pembagian minyak mentah yang diproduksi,
dipandang sudah cukup mengakomodasi kepentingan KKKS. Di lain pihak, kepentingan
pemerintah dalam kontrak bagi hasil tentu tidak sesederhana itu. Pemerintah memiliki banyak
22 Nugroho Eko Pramoko, Op.Cit, hlm. 129-131
kepentingan sesuai dengan tugas yang di amanatkan konstitusi. Daftar dibawah ini
menggambarkan betapa luasnya kepentingan pemerintah yang harus di akomodasi dalam kontrak
bagi hasil:23
1) Menjaga kedaulatan bangsa Indonesia atas kekayaan mineral 2) Menambah pendapatan negara dari produksi migas 3) Memenuhi kebutuhan energy nasional 4) Memperluas kesempatan kerja disektor migas 5) Meningkatkan penggunaan produk dalam negeri disektor migas. 6) Mendorong terjadi alih teknologi kepada putra putri Indonesia 7) Memberikan kesempatan pertisipasi daerah dalam mengelola wilayah kerja 8) Menjaga kelestarian lingkungan hidup dari dampak kegiatan operasi migas
Daftar tersebut di atas tentu dapat ditambah lagi, yang semakin menggambarkan luasnya
kepentingan yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Untuk mengakomodasi kompleksitas
tersebut, maka wajar jika daftar kepentingan yang dimaksukkan ke dalam kontrak bagi hasil
menjadi panjang juga. Dengan perspektif yang demikian, maka distribusi hak dan kewajiban tidak
bisa simetris 50:50. Jika pembagian hak dan kewajiban dibuat simetris 50:50 justru menjadi tidak
adil, sejalan dengan konsep mengenai keadilan, pembagian hak dan kewajiban haruslah
proporsional sesuai dengan kedudukan para pihak serta memperhatikan keseimbangan
kepentingan individu dan masyarakat. Berdasarkan alur pemikiran yang demikian dapat
disimpulkan bahwa pembagian hak dan kewajiban antara pemerintah dan KKKS dalam kontrak
bagi hasil dapat di anggap proporsional dan memenuhi asas keseimbangan.
Kesimpulan diatas konsisten dengan penelitian nugroho eko priomoko menyatakan bawa
pembagian hak dan kewajiban antara para pihak daam kontrak bagi hasil dipandang masih
proporsional. Alasan yang disampaikan:
23 Ibid., hlm. 132
1. Syarat dan ketentuan kontrak bagi hasil ditawarkan pemerintah melalui lelang terbuka, diaman
pemerintah melepaskan hak publiknya. Investor dapat memilih untuk mengikuti atau tidak
mengikuti lelang tersebut sekali ditunjuk sebagai pemenang dan menandatangani kontrak bagi
hasil, berarti ia telah menyetujui syarat dan ketentuan tersebut secara sadar.
2. Meskipun KKKS harus menanggung resiko operasi, namun hal tersebut di imbangi dengan
hasil yang baik jika operasi berhasil
3. Skema yang ditawarkan pemerintah adalah skema umum yang juga diberlakukan oleh negara-
negara lain
4. KKKS masih bisa mendapat manfaat secara komersiil.24
Pola hubungan kedudukan antara kontraktor KKKS dengan SKKMigas walaupun tidak
seimbang atau tidak mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang sama akan tetapi klausula-
klausula dalam perjanjian haruslah wajar, rasional dan tidak berat sebelah. Pelaksanaan prestasi
dan kontra prestasi dari para pihak harus sama-sama menguntungkan, tidak ada pihak yang merasa
dirugikan dan sesuai dengan kepatutan.
Karena adanya prinsip-prinsip kontrak bagi hasil serta ketentuan-ketentuan yang harus
diadopsi dalam kontrak bagi hasil tersebut, peripurna M. Sugardha berpendapat bahwa isi kontrak
bagi hasil telah di tentukan dan dibakukan secara sepihak oleh pemerintah sehingga investor atau
KKKS kurang mempunyai kekuatan tawar-menawar dalam menentukan isi kontrak. Dengan kata
lain kedudukan pemerintah telah kuat sehingga tidak ada keseimbangan kedudukan para pihak
dalam kontrak bagi hasil.25 Namun menurut Madjedi Hasan, kondisi ketidak seimbangan ini tidak
lain adalah karena pertimbangan kepentingan umum yang harus dilindungi. Kepentingan umum
24 Ibid., hlm. 132-133 25 Paripurna M. Sugarda, 2013, “Kajian Bioremediasi”, hasil penelitian kerja sama fakultas hukum UGM dengan
PT. chevron pasifik Indonesia, Jogjakarta, hlm 76.
yang dimaksud antara lain adalah peraturan perundang-undangan yang harus dipatuhi , seperti
pajak, kepabeanan, perlindungan lingkungan, keselamatan kerja, standardisasi dan sertifikasi.26
KESIMPULAN
1. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract )jika dilihat secara sekilas mungkin
seakan-akan tidak memberikan porsi yang seimbang dalam hubungan para pihak
khususnya bagi KKKS (kontraktor Kontrak kerja Sama). Namun perlu diketahui bersama,
bahwa kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi merupakan kegiatan bisnis yang sangat
berrisiko tinggi dan padat modal. KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) memang
mengelurakan biaya investasi yang tidak sedikit untuk melakukan tahapan eksplorasi,
namun dari resiko yang tinggi itu pula akan terbayar lunas dan berlipat apabila kegiatan
eksplorasi tersebut telah menemukan cadangan minyak atau gas yang cukup besar, dan
kemudian pemerintah Indonesia mempunyai kewajiba meberi biaya pengembalian
produksi berupa cost recovery. Oleh karena itu dalam hal ini telah terjadi pertukaran hak
dan kewajiban dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) telah cukup
memenuhi kriteria proporsional, sebab jika kita melihat asas proporsionalitas bukan hanya
dari konteks keseimbangan matematis belaka, akan tetapi pada proses dan mekanisme
pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung antara para pihak dalam hal ini pemerintah
diwakili SKK Migas dan Kontraktor secara fair.
2. distribusi hak dan kewajiban tidak bisa simetris 50:50. Jika pembagian hak dan kewajiban
dibuat simetris 50:50 justru menjadi tidak adil, sejalan dengan konsep mengenai keadilan,
pembagian hak dan kewajiban haruslah proporsional sesuai dengan kedudukan para pihak
serta memperhatikan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Berdasarkan
alur pemikiran yang demikian dapat disimpulkan bahwa pembagian hak dan kewajiban
antara pemerintah dan KKKS dalam kontrak bagi hasil dapat di anggap proporsional dan
memenuhi asas keseimbangan. Pola hubungan kedudukan antara kontraktor KKKS
dengan SKKMigas walaupun tidak seimbang atau tidak mempunyai posisi tawar
26 Madjedi Hasan, Kontrak minyak dan gas bumi berazas keadilan dan kepastian hukum, jakarta, penerbit, fikahati
aneka, 2009, hlm.49.
(bargaining position) yang sama akan tetapi klausula-klausula dalam perjanjian haruslah
wajar, rasional dan tidak berat sebelah. Pelaksanaan prestasi dan kontra prestasi dari para
pihak harus sama-sama menguntungkan, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan sesuai
dengan kepatutan.
SARAN
1. Dalam pembentukan Kontrak migas Untuk menghindari adanya kegagalan dalam
pelaksanaan kontrak bagi hasil, maka perlu para pihak SKK Migas dan Kontraktor Kontrak
Kerja Sama menerapkan asas proporsionalitas yang seharusnya dijadikan dasar untuk :
a.Menjamin pertukaran hak dan kewajiban dalam kebebasan berkontrak, b. Rambu-rambu
aturan main dalam transaksi para pihak, c. Sebagai uji atau tolok ukur eksistensi kontrak.
Asas proporsionalitas harus senantiasa membingkai pemahaman para pihak dalam seluruh
proses kontrak, baik pada tahapan pra kontraktual, pembentukan kontrak, dan pelaksanaan
kontrak.
2. Sehubungan denga konsep kontrak bagi hasil yang diharapkan lebih menjamin tercapainya
asas proporsionalitas dan asas keseimbangan kedudukan para pihak maka disarankan kepada
pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi atas undang-undang nomor 22 tahun
2001 tentang migas yang lebih kompershensif dan menjamin kepentingan kedua belah pihak
yang mempertimbangkan kedua asas ini yakni asas proporsionalitas dan asas keseimbangan
dalam perumusan undang-undang migas yang lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum
bagi kedua belah pihak dalam hal ini negara dan kontraktor.
Daftar Pustaka
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjiian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Bekerja Sama dengan Kantor Advokat Hufron& Hans Simaela, Yogyakarta.
Herlien budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia:Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indoensia, PT. citra Aditya bakti, bandung
Hikmahanto Juwana, Teknik Pembuatan dan Penelaahan Kontrak Bisnis, Pascasarjana FH-UI, Jakarta
Huala Adolf, 2008, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Cet 2.M, Rafika Aditama, Bandung.
Ismantoro Dwi Yuwono, 2014, Mafia Migas versus Pertamina, Galang Pustaka, Yogyakarta. Kholid S, 2009, 'Di Bawah Bendera Asing" LPES, Jakarta Madjedi Hasan, 2005, Pacta Sunt Servanda-Penerapan Asas Janji Itu Mengikat dalam Kontrak
Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi, Penerbit Fikahati Aneska, Jakarta Nugroho Eko Priamoko, 2017, Kontrak Bagi Hasil Migas: Aspek Hukum dan Posisi
BerimbangPara Pihak, Genta Publishing, Yogyakarta
Salim H.S., 2010, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Jurnal
Afinaniken Al-islami, Jurnal Ilmiah, Legalitas Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi pada Organisasi dan Tatakerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Universitas Brawijaya Malang, 2015
Assat D. Sudardjat, Aspek Keuangan dari Kontrak Production Sharing Perminyakan di Indonesia, Buletin Ilmiah Tarumanagara th. 9 / no. 31 / 1994, imii-94-1141.
Undang-undang
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa