bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id · meningen, terbukti dari pemeriksaan kultur css, pcr...

77
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Fisiologi Cairan Serebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) terdapat dalam ruang ventrikel otak dan ruang subarachnoid. Cairan serebrospinal penting sebagai lapisan pelindung sistem saraf pusat dan mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu sebagai medium fisiologis untuk otak, menyediakan dukungan mekanik untuk otak, dimana otak mengambang dalam CSS. Beberapa data terbaru menyebutkan bahwa CSS mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan cairan interstitial dalam parenkim otak dan mengatur fungsi sistem saraf (Oreskovic dan Klarica, 2010; Sakka dkk., 2011). Secara anatomi CSS pada otak terbagi atas 2 bagian yang saling berhubungan, yaitu: internal unit yang terdiri dari sistem ventrikel (2 ventrikel lateralis, ventrikel ketiga, dan ventrikel keempat) dan eksternal unit berupa central spinal canal yang terdiri dari ruang subarachnoid dengan sisterna (Oreskovic dan Klarica, 2010). Rata rata volume CSS 150 ml dalam ventrikel dan 125 ml di dalam ruang subarachnoid. CSS terutama disekresi oleh plexus choroidalis, walaupun demikian cairan interstitiil otak, ependima dan kapiler juga berperan dalam sekresi CSS. Villi arachnoidalis dalam otak dan spinal merupakan tempat utama penyerapan CSS ke dalam aliran sistem vena. Cairan serebrospinal diperbaharui sekitar 4 kali dalam 24 jam. Ruang CSS merupakan suatu sistem tekanan yang dinamis. Tekanan CSS ditentukan oleh tekanan intrakranial, yang secara fisiologis antara 3-4 mmHg sebelum usia 1 tahun dan antara 10-15 mmHg pada orang dewasa. Fungsi CSS 10

Upload: others

Post on 13-Oct-2019

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologi Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) terdapat dalam ruang ventrikel otak dan ruang

subarachnoid. Cairan serebrospinal penting sebagai lapisan pelindung sistem saraf

pusat dan mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu sebagai medium fisiologis

untuk otak, menyediakan dukungan mekanik untuk otak, dimana otak mengambang

dalam CSS. Beberapa data terbaru menyebutkan bahwa CSS mempunyai peranan

penting untuk menjaga keseimbangan cairan interstitial dalam parenkim otak dan

mengatur fungsi sistem saraf (Oreskovic dan Klarica, 2010; Sakka dkk., 2011).

Secara anatomi CSS pada otak terbagi atas 2 bagian yang saling

berhubungan, yaitu: internal unit yang terdiri dari sistem ventrikel (2 ventrikel

lateralis, ventrikel ketiga, dan ventrikel keempat) dan eksternal unit berupa central

spinal canal yang terdiri dari ruang subarachnoid dengan sisterna (Oreskovic dan

Klarica, 2010).

Rata rata volume CSS 150 ml dalam ventrikel dan 125 ml di dalam ruang

subarachnoid. CSS terutama disekresi oleh plexus choroidalis, walaupun demikian

cairan interstitiil otak, ependima dan kapiler juga berperan dalam sekresi CSS. Villi

arachnoidalis dalam otak dan spinal merupakan tempat utama penyerapan CSS ke

dalam aliran sistem vena. Cairan serebrospinal diperbaharui sekitar 4 kali dalam 24

jam. Ruang CSS merupakan suatu sistem tekanan yang dinamis. Tekanan CSS

ditentukan oleh tekanan intrakranial, yang secara fisiologis antara 3-4 mmHg

sebelum usia 1 tahun dan antara 10-15 mmHg pada orang dewasa. Fungsi CSS

10

11

adalah sebagai proteksi hidromekanik dari SSP, berperan dalam perkembangan

otak dan regulasi homeostasis cairan interstitiil dalam jaringan otak yang

mempengaruhi fungsi neuron (Sakka dkk., 2011).

Komposisi CSS tidak sesederhana ultrafiltrat plasma. Konsentrasi Na, Cl

dan Mg lebih rendah dibandingkan dalam plasma. Jumlah sel dalam CSS biasanya

tidak melebihi 5 sel/mm. Variasi dalam komposisi CSS yang teregulasi secara

tertutup dapat digunakan untuk tujuan diagnosis (Sakka dkk., 2011).

Sirkulasi CSS merupakan fenomena dinamis dan regulasi sirkulasi CSS

berespon terhadap homeostasis serebral. CSS bersirkulasi dari tempat sekresi ke

tempat absorpsi. Aliran berjalan satu arah yaitu rostrocaudal pada rongga ventrikel

dan ke berbagai arah pada rongga subarachnoid. Aliran CSS bersifat pulsatil,

berperan pada denyut sistolik pada arteri choroidalis. CSS diproduksi oleh pleksus

choroideus pada ventrikel lateralis kemudian berjalan melalui foramen

interventrikular ke ventrikel ketiga, kemudian menuju ke ventrikel keempat melalui

aqua duktus serebri dan akhirnya memasuki rongga subarachnoid melalui median

aperture (foramen Magendie) pada ventrikel keempat. Pada rongga subarachnoid

cranial, CSS bersirkulasi secara rostral ke villi-villi tempat absorpsi, atau secara

caudal ke rongga subarachnoid spinal. CSS sebagian diabsorpsi oleh villi arachnoid

spinal, bersirkulasi secara rostral ke rongga subarachnoid cranial (Oreskovic dan

Klarica, 2010; Sakka dkk., 2011).

12

Definisi Meningitis bakterialis

Meningitis merupakan suatu terminologi yang menggambarkan adanya

inflamasi pada membran meningen dan/atau cairan serebrospinal (CSS) yang

membungkus dan melindungi otak dan korda spinalis. Meningitis dapat disebabkan

oleh berbagai kondisi baik infeksi maupun non infeksi. Meningitis akibat infeksi

dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit (Van de Beek, 2012).

Meningitis bakterialis khas ditandai oleh adanya sindrom infeksi dan pada

pemeriksaan CSS (cairan serebrospinal) dibuktikan adanya bakteri dan/atau terjadi

gambaran analisis yang abnormal secara bermakna. Adanya infeksi bakteri pada

meningen, terbukti dari pemeriksaan kultur CSS, PCR dari CSS, pengecatan gram

atau tes antigen. Secara klinis, suspek meningitis ditandai adanya gejala klinis

dan/atau secara klinis terdapat marker inflamasi pada CSS yaitu hitung leukosit,

kadar protein dan glukosa dalam CSS (SWAB, 2012).

Epidemiologi dan Etiologi Meningitis bakterialis

Insiden dan angka kematian bervariasi di berbagai negara. Angka kejadian

meningitis bakterialis di Amerika Serikat selama tahun 1998-2007 sebanyak 17,4

juta orang dan pada tahun 2006-2007 mencapai 1,38 per 100.000 orang/tahun

dengan angka kematian 14,3% (Thigpen dkk., 2011). Centers for Disease Control

and Prevention (CDC) pada tahun 2012 melaporkan angka kejadian meningitis di

negara Amerika Serikat sekitar 4100 kasus/tahun dan angka kematian akibat

meningitis mencapai 500 orang/tahun. Data WHO menyatakan kasus meningitis

diperkirakan mencapai kurang lebih 1,2 juta jiwa setiap tahunnya dan angka

13

kematian mencapai kurang lebih 135.000 jiwa. Meningitis menjadi salah satu dari

10 penyakit infeksi yang menyebabkan kematian di dunia serta 30-50% akan

mengalami sequele neurologis. Angka kematian mencapai 25% di negara maju dan

lebih tinggi di negara berkembang. Meningitis bakterialis terutama menyerang anak

usia dibawah 2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan. Secara

keseluruhan tingkat kematian pasien meningitis bakterialis antara 2-30%

tergantung dari bakteri penyebab meningitis (Maimaiti dkk., 2012).

Angka insiden meningitis di Negara Amerika Serikat sekitar 4100

kasus/tahun dan meninggal akibat meningitis 500 orang/tahun (CDC, 2012). Di

Indonesia pada tahun 2010 jumlah kasus meningitis terjadi pada laki-laki kurang

lebih 12.010 jiwa, pada perempuan kurang lebih 7.371 jiwa, dan dilaporkan yang

meninggal dunia kurang lebih 1.025 jiwa (Menkes RI, 2012).

Meningitis disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, mycobacteria maupun

parasit, organisme tersebut merupakan patogen fatal yang dapat menyebabkan

kematian. Tiga patogen utama yang menyebabkan meningitis bakterialis antara lain

Streptococcus pneumoniae (IPD= invasive pneumococcal diseases), Haemophilus

influenza type B (Hib), dan Neisseria meningitides (Houri dkk., 2017).

Meningitis bakterialis merupakan penyakit infeksi yang sangat merusak

dengan angka mortalitas di seluruh dunia mencapai 20-30% walaupun telah

mendapat terapi antibiotika. Mortalitas pada fase akut mencapai 10-20% dengan

sekuele 30%. Sebesar 50% dari pasien yang bertahan hidup mengalami gejala sisa

berupa gangguan pendengaran, kejang dan mengalami gangguan belajar dan

prilaku (Brouwer dkk., 2012; Jusot dkk., 2013).

14

Patogenesis Meningitis bakterialis

Secara umum meningitis bakterialis dapat terjadi ketika bakteri masuk ke

dalam sirkulasi sistemik dan selanjutnya invasif ke dalam SSP atau secara langsung

menyebar selama infeksi di sekitar SSP seperti infeksi telinga tengah atau

mastoiditis. Multiplikasi bakteri di dalam SSP merupakan trigger respon imun lokal

yang ditandai oleh masuknya leukosit. Pada kondisi normal atau sehat SSP terbebas

dari leukosit, namun pada keadaan patologi leukosit masuk ke dalam otak sebagai

respon terhadap berbagai stimulus (Chavez-Bueneo, 2005).

Meningitis disebabkan oleh bakteri pathogen yang memiliki virulensi poten,

selain itu faktor host yang rentan dan lingkungan yang mendukung memiliki

peranan besar dalam patogenesis infeksi. Infeksi dapat mencapai selaput otak

melalui beberapa cara: (Liechti dkk., 2015; Barichello dkk., 2013).

a. Aliran darah (hematogen) karena adanya infeksi di tempat lain seperti

faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Meningitis

bakterialis sebagian besar terjadi akibat penyebaran hematogen, dimana

bakteri melekat pada sel epitel mukosa sebagai port the entry kemudian

memperbanyak diri dalam aliran darah serta menimbulkan bakterimia.

Bakterimia dapat berlanjut masuk ke dalam cairan serebrospinal (melewati

sawar darah otak) dan memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal

sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

b. Perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus

paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus kavernosus.

15

c. Implantasi langsung dapat terjadi pada trauma kepala terbuka, tindakan

bedah otak atau pungsi lumbal.

d. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena aspirasi cairan amnion

yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman yang normal

ada pada jalan lahir.

Meningitis bakterialis dimulai dari masuknya bakteri ke dalam susunan

saraf pusat melalui makrovaskular otak atau pleksus koroid. Sawar darah otak

normal terdiri atas sel endotel dari kapiler darah otak. Astrosit akan membentuk

tight junction yang padat yang menghalangi lewatnya zat terlarut dalam darah

(elektrolit dan protein) atau sel sehingga lingkungan ekstrasel otak akan terpisah

dari darah dan mencegah terpajannya sel saraf terhadap perubahan elektrolit,

transmiter, hormon, faktor pertumbuhan dan reaksi imun (Srinivasan dkk., 2016).

Pada bayi dan anak dengan meningitis, tight junction terbuka sehingga

bakteri masuk dalam cairan serebrospinal, terjadi reaksi radang dan menyebabkan

permeabilitas sawar darah otak semakin meningkat. Bakteri yang masuk akan

bereplikasi, tersebar secara pasif mengikuti aliran cairan serebrospinal melalui

sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid (Srinivasan dkk., 2016).

Bakteri yang berkembang biak atau lisis melepaskan dinding sel/komponen

membran sel menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan

peradangan di selaput meningen. Komponen membran sel dari bakteri merangsang

sel endotel dan makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan mikroglia)

memproduksi mediator inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis

factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa

16

mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, yang

selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Toksin dari bakteri

awalnya menimbulkan hiperemi pembuluh darah selaput otak disertai migrasi

neutrofil ke ruang subaraknoid, selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mempermudah adhesi sel fagosit

dan sel polimorfonuklear untuk menembus pembuluh darah melalui tight junction

dan memfagosit bakteri. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan

penurunan aliran darah otak. Penurunan autoregulasi (penurunan tekanan darah

<60 mmHg sistole) dan kejang akan menurunkan tekanan perfusi serebral

menyebabkan iskemi dan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala

sisa. Gangguan aliran darah otak dan peningkatan tekanan intrakranial akan

menyebabkan peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan

serebrospinal yang disebabkan metabolisme anaerobik. Keadaan ini menyebabkan

penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya glukosa CSS rendah

(Prasad dkk., 2014; Aggrawal dkk., (2017).

Bakteri mencapai SSP bisa secara hematogen atau melalui penyebaran

secara langsung dari regio yang berdekatan. Pada bayi dan anak berbagai organisme

yang menyebabkan meningitis berkolonisasi pada saluran pernafasan bagian atas,

kemudian terjadi bakterimia dan selanjutnya patogen berpenetrasi ke sawar darah

otak untuk masuk ke dalam ruang sub-arachnoid. Inokulasi langsung organisme ke

dalam SSP dapat terjadi pada kondisi trauma kepala, adanya defek seperti

meningomyelocele atau adanya perluasan dari fokal infeksi supuratif di

parameningeal. Protein pada permukaan bakteri yang telah diketahui dapat

17

memfasilitasi invasinya ke dalam sawar darah otak adalah protein E. Coli IbeA,

IbeB dan ompA; protein S.pneumoniae CbpA; dan protein N. Meningitidis Opc,

Opa, dan PilC, yang merupakan villi protein (Chavez-Bueno, 2005).

Inflamasi yang intensif terjadi akibat produk produk bakteri seperti

lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif atau peptidoglikan dari bakteri

gram positif yang menetap setelah bakteri dihancurkan oleh respon host dan terapi

antibiotika. Substansi ini menginduksi produksi berbagai mediator inflamasi oleh

astrositosit, sel glia, sel ependymal, dan sel endotel. Mediator inflamasi yang

terlibat diantaranya: tumor necrosis factor α (TNF-α); interleukin (IL)-1, IL-6, IL-

8 dan IL-10; makrofag menginduksi protein 1 dan 2 dan mediator lain seperti nitric

oxide, matrix metalloproteinase-2 dan prostaglandin (Chavez-Bueno, 2005).

Meningitis bakterialis khas ditandai oleh pleositosis dalam CSS dengan

predominan polimorfonuklear (PMN). Rekruitmen leukosit merupakan kunci

proteksi respon imun melawan invasi mikroorganisme, tetapi bukti bukti penelitian

men unjukkan bahwa akumulasi leukosit juga berkontribusi penting dalam

terjadinya kerusakan jaringan otak pada infeksi meningitis bakterialis (Zwijnenburg

dkk., 2006).

18

Gambar 2.1 Patofisiologi meningitis bakterialis (sumber: Saez-Llorens dan McCracken. The Lancet, 2003; 361:213 9-48)

19

Manifestasi Klinis Meningitis

Tanda dan gejala meningitis dapat bervariasi. Trias klasik meningitis adalah

demam, kaku kuduk dan penurunan kesadaran, namun tidak selalu tampak. Sebuah

penelitian prospektif menunjukkan trias meningitis yang klasik hanya ditemukan

44% dari 696 kasus dengan proven community-acquired bacterial meningitis

dewasa. Pada 95% pasien meningitis paling tidak ditandai 2 gejala dari 4 gejala:

sakit kepala, demam, kaku kuduk dan penurunan kesadaran. Beberapa gejala yang

sering pada meningitis adalah: sakit kepala (87%), kaku kuduk (83%), demam

(77%), dan penurunan kesadaran (69%). Trias klasik juga lebih sering muncul pada

pasien dengan meningitis pneumococcal (58%) dibandingkan dari meningitis

meningococcal (27%). Adanya rash terjadi pada 26% pasien dan lebih sering

dihubungkan dengan infeksi meningococcal. Rash juga dapat terjadi pada pasien

dengan hasil kultur positif untuk S pneumoniae, Staphylococcus aureus, H

influenzae, Listeria monocytogenes, dan group B streptococcus. Tanda Kernig and

Brudzinski, bersama sama dengan kaku kuduk merupakan tanda klasik “meningeal

signs” namun dapat tidak terjadi pada sebagian besar meningitis bakterialis

(Brouwer, dkk., 2012).

Faktor faktor yang dapat menjadi predisposisi meningitis bakterialis adalah

infeksi paru, telinga dan sinusitis, terjadi pada sekitar 40% pasien. Endokarditis

dapat juga merupakan faktor risiko tetapi sering terjadi bersama-sama. Pasien

dengan meningitis bakterialis juga sering menunjukkan gejala syok septik pada

sekitar 10-25% kasus (Brouwer dkk., 2012).

20

Tidak semua pasien meningitis bakterialis akut menunjukkan gejala

demam, kaku kuduk dan penurunan kesadaran. Demam diatas 38oC terjadi pada

sekitar 77% kasus. Gejala klinis dapat berupa infeksi akut dalam beberapa jam

sampai selama 1-2 hari dan bahkan beberapa hari. Sekitar 75% didahului oleh

infeksi saluran pernafasan akut, sekitar 20-30% disertai kejang. Kaku kuduk dapat

dijumpai pada anak yang lebih besar (>12-18 bulan) sekitar 80% kasus. Defisit

neurologis fokal dapat terjadi pada 33% kasus. Dengan demikian pada pasien yang

menunjukkan gejala suspek meningitis memerlukan pemeriksaan penunjang

diagnosis (Tunkel, dkk., 2004; NSW, 2014; Le Saux, 2014).

Pemeriksaan Analisis Cairan Serebrospinal pada Meningitis bakterialis

Punksi Lumbal harus dilakukan pada pasien dengan suspek meningitis.

Analisis CSS dapat menunjukkan warna keruh tergantung pada jumlah leukosit,

eritrosit, bakteri dan protein. Pada meningitis bakterialis yang belum mendapat

terapi antibiotika sel leukosit meningkat antara 1000-5000 sel/mm3, meskipun

dapat berkisar antara 100 sampai lebih dari 10.000 sel/mm3. Lebih dari 90% kasus

meningitis bakterialis akut menunjukkan hasil hitung leukosit dalam CSS >100

sel/µL. Walaupun demikian, beberapa laporan kasus menunjukkan adanya

meningitis bakterialis dengan hitung leukosit dalam CSS masih normal. Sekitar 80-

90% pasien menunjukkan PMN predominan dan hanya 10% pasien dengan limfosit

predominan. Beberapa penelitian menunjukkan 19% meningitis bakterialis yang

terdiagnosis melalui kultur menunjukkan hitung leukosit dibawah 100 sel/mm3

Tunkel dkk., 2004; Brouwer dkk., 2012; Agueda dkk., 2013).

21

Pada pasien meningitis bakterialis kadar glukosa CSS menurun

(hypoglycorrhachia) sedangkan kadar protein CSS meningkat. Kadar glukosa CSS

<40 mg/dL terjadi paling banyak pada 50-60% pasien. Rasio kadar glukosa

CSS/serum < 0,4 memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 98% untuk diagnosis

meningitis bakterialis pada anak diatas 2 bulan. Pada neonatus rasio glukosa

CSS/serum <0,6 dapat digunakan sebagai acuan abnormal.

Kadar protein dalam CSS meningkat pada 90% pasien meningitis bakterialis

akut. Peningkatan kadar protein >50 mg/ dL dan penurunan kadar glukosa CSS

<40% dibandingkan kadar glukosa serum dianggap abnormal (Brouwer dkk., 2012;

Agueda dkk., 2013).

Pemeriksaan Mikrobiologi

Ada beberapa metode mikrobiologi untuk membuktikan adanya infeksi

bakteri pada meningitis, yaitu pemeriksaan kultur CSS, kultur darah, pewarnaan

gram CSS, aglutinasi lateks, dan PCR. Di Negara Negara berkembang, untuk

mendeteksi dan mengetahui karakteristik bakteri penyebab meningitis adalah

dengan melakukan pemeriksaan kultur, pengecatan gram dan latex aglutinasi.

Pemeriksaan kultur darah sampai saat ini merupakan metode baku emas

dalam mengidentifikasi adanya patogen bakteri penyebab infeksi. Pemeriksaan

kultur memerlukan waktu beberapa hari bahkan dalam hitungan minggu untuk

mendapatkan hasilnya, dimana dapat terjadi false-positive dan false negative

sebesar 2-3%. Faktor yang dapat mempengaruhi hasil antara lain jumlah sampel

22

darah yang kurang, sudah mendapat antibiotik sebelumnya, atau patogen penyebab

merupakan organisme yang khusus atau spesifik (Matsuda dkk., 2011).

Kultur merupakan standar baku emas untuk konfirmasi klinis, namun angka

positif-nya relatif rendah akibat penyimpanan dan transport specimen yang kurang

adekuat, metode kultur, atau pemberian terapi antibiotika sebelum pengambilan

specimen. Pengecatan gram merupakan pemeriksaan yang penting, tidak mahal dan

harus dilakukan jika memungkinkan, hanya saja pengecatan gram hanya

memberikan clue genus dan spesies dari bakteri penyebab. Latex aglutinasi bersifat

subyektif dan sulit untuk interpretasi, terutama jika bacterial load rendah (CDC,

2014).

2.7.1 Kultur dan tes sensitivitas bakteri

Cairan serebrospinal sangat diperlukan untuk mengidentifikasi organisme

penyebab dan pemeriksaan sensitivitas terhadap antibiotik secara in vitro. Kultur

harus tetap digunakan sebagai standar baku emas untuk diagnosis meningitis

bakterialis, karena merupakan sumber data untuk suseptibilitas antibiotika,

penentuan subtipe secara lengkap, ekspresi antigen termasuk untuk mengetahui

patofisiologi isolat serta penelitian vaksin di masa yang akan datang (Brouwer dkk.,

2010; 2012; CDC, 2014a).

Kultur CSS positif pada 80-90% pasien meningitis bakterialis yang didapat

dari komunitas, jika belum mendapat terapi antibiotika tetapi hasil kultur baru

diketahui setelah 5-7 hari (Brouwer dkk., 2010; 2012).

Jika pasien diduga meningitis, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan

secara rutin sebelum pemberian antibiotika. Kultur darah harus selalu dilakukan

23

pada saat pasien masuk rumah sakit karena sangat membantu pada pasien yang

telah mendapat antibiotika sebelum dikerjakan punksi lumbal. Kultur darah dapat

membantu isolasi organisme jika pengambilan CSS dilakukan beberapa jam

sebelum pemberian antibiotika dan pada kasus dimana tidak didapatkan sampel

CSS untuk pemeriksaan analisis maupun kultur CSS. Kultur darah mengidentifikasi

organisme penyebab sekitar 50-80%. Sensitivitas kultur darah menurun 20% pada

pasien yang telah mendapat antibiotika sebelumnya (Brouwer dkk., 2012).

2.7.2 Pengecatan Gram

Pemeriksaan pengecatan Gram CSS merupakan pemeriksaan penting yang

dapat dilakukan dengan cepat, tidak mahal dan cukup valid untuk menilai adanya

bakteri dalam CSS. Pengecatan gram juga dapat memberikan gambaran genus dan

spesies bakteri penyebab. Pengecatan gram memiliki sensitivitas 90% dan

spesifisitas 97% dalam diagnosis meningitis bakterialis. Kelemahan pengecatan

gram adalah memerlukan jumlah sampel yang lebih banyak untuk memperoleh

hasil yang baik dan manfaat pengecatan gram dapat menurun 20% pada pasien yang

sebelumnya telah mendapatkan terapi antibiotika (Brouwer dkk., 2012)

2.7.3 Latex aglutinasi

Latex aglutinasi merupakan tes diagnosis yang cepat dengan sensitivitas 50-

100% tergantung pada bakteri patogen. Tes ini sangat sensitif terhadap infeksi oleh

H. influenza dan paling sensitif terhadap infeksi oleh N. meningitides. Tes ini tidak

dapat mengubah keputusan terapi jika positif sehingga sangat membantu untuk

diagnosis pada pasien yang telah mendapat terapi antibiotika dimana pengecatan

gram dan kultur menunjukkan hasil yang negatif (Brouwer dkk., 2012).

24

2.7.4 Identifikasi bakteri dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)

Pada penegakan diagnosis meningitis bakterialis, metode pengecatan gram

adalah metode yang cepat dan spesifik dalam mendeteksi adanya bakteri di cairan

serebrospinal namun memiliki sensitivitas yang rendah. Pemeriksaan kultur dinilai

lebih sensitif, dimana dapat mengidentifikasi >80% patogen pada pasien dengan

meningitis bakterialis sebelum mendapat terapi, akan tetapi hasil pemeriksaan ini

bergantung pada jumlah bakteri yang dapat dibiakkan atau tumbuh dalam media

kultur. Pemeriksaan PCR yaitu suatu metode penjamakan asam nukleat sehingga

dapat mengidentifikasi DNA patogen walaupun dalam jumlah sedikit.

Tes PCR didasarkan pada penguatan konservasi gen rRNA mampu

mendeteksi dan membedakan barbagai bakteri dan jamur. Bakteri patogen dideteksi

dengan PCR 16s rRNA pada cairan serebrospinal pasien dengan meningitis

bakterialis dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik, selain itu 30%

kasus kecurigaan meningitis bakterialis memiliki hasil tidak ada pertumbuhan

kuman pada pemeriksaan kultur cairan serebrospinal namun memiliki hasil PCR

yang positif, hal ini menunjukan sensitifitas PCR lebih tinggi dibandingkan

pemeriksaan kultur (Meyer, 2014).

Teknologi PCR telah digunakan untuk mengamplifikasi jumlah DNA dari

pasien yang menderita meningitis yang disebabkan oleh patogen meningeal yang

umum, seperti N. meningitidis, S. pneumoniae , H. influenzae tipe B, S. agalactiae,

dan L. monocytogenes.

Pemeriksaan PCR digunakan secara luas dalam diagnosis dan surveilens

bakteri patogen karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. PCR dapat

25

menjadi pelengkap metode klasik yang berdasarkan fenotip seperti kultur,

pengecatan gram dan latex aglutinasi. Sensitivitas dan spesifisitas dari PCR

dilaporkan berkisar 91% pada penelitian yang menggunakan sampel CSS (Matsuda,

dkk., 2011).

Pada PCR, target DNA secara eksponensial diamplifikasi melalui 3 tahap

yaitu: (1) Denaturasi double stranded DNA (DNA utas ganda) menjadi single

stranded DNA (DNA utas tunggal); (2) annealing dari primers terhadap

complementary single stranded target sekuensing ; (3) Ekstensi primers dalam

urutan 5’ ke 3’ oleh heat-stable DNA polymerase sehingga menghasilkan molekul

DNA utas ganda. Metode PCR tidak memerlukan sel yang intak atau sel hidup

sehingga PCR merupakan metode yang bernilai untuk deteksi bakteri penyebab dari

spesimen dimana bakterinya sudah mati atau lisis akibat penyimpanan yang kurang

sesuai atau akibat pemberian antibiotika sebelumnya (CDC, 2014b).

Untuk pemeriksaan PCR metode konvensional membutuhkan waktu yang

sangat banyak, kurang sensitif dan kurang spesifik dibandingkan real time-PCR

(RT-PCR) (Wu dkk., 2013).

Teknik PCR memiliki potensi yang menjanjikan untuk mengidentifikasi

bakteri penyebab meningitis. Pengembangan lebih lanjut dari teknik yang ada dapat

menghasilkan kegunaan PCR lebih banyak lagi untuk mengidentifikasi pasien

penderita meningitis yang menunjukkan hasil negatif pada pemeriksaan dengan

pewarnaan gram maupun kultur (CDC, 2014b).

26

2.7.5 PCR dengan universal primers

Sebuah penelitian klinis menggunakan PCR untuk diagnosis meningitis

telah dilakukan pada tahun 2003, menggunakan broad-range bacterial primers.

Primers dikonservasi dari bakteri region gen 16S rRNA. Teknik ini dapat digunakan

untuk mengidentifikasi organism S. pneumoniae, Nisseria meningitides, Listeria

monocytogenes dan Mycobacterium tuberculosis dengan menggunakan species-

specific primers. Broad range bacterial PCR ini menunjukkan sensitivitas 100%,

spesifitas 98,2%, nilai prediktif positif (NPP) 98,2% dan nilai prediktif negatif

(NPN) 100%. Oleh karena itu, broad-based PCR dapat berguna untuk

mengidentifikasi bakteri, sehingga dapat menentukan diagnosis dan terapi yang

tepat (Saravolatz dkk., 2003).

Penerapan strategi universal primers telah menjadi teknik konvensional

yang unggul dalam mendeteksi bakteri pada cairan tubuh yang steril. Namun risiko

relatif kontaminasi menjadi masalah utama dalam penggunaan PCR universal

tunggal sebagai uji spesifik dalam menegakkan diagnosis. Spesifisitas dari broad

range universal PCR telah dikembangkan dengan analisis lebih lanjut terhadap

produk PCR dengan berbagai metode seperti restriction fragment length

polymorphism (RFLP), probing atau sequenzing (Chakrabarti dkk., 2009).

Metode pemeriksaan dengan menggunakan primers 16S rDNA berbasis

PCR merupakan temuan yang menjanjikan sebagai sebuah uji skrining untuk

diagnosis meningitis bakterialis akut, khususnya di rumah sakit dimana hampir

setiap pasien telah mendapatkan antibiotik. Metode 16S rDNA berbasis PCR

27

mengunakan primers bakteri universal yang berguna mendeteksi bakteri patogen

dalam sampel cairan serebrospinal.

Gen RNA ribosom yang penting dari bakteri yaitu 23 rRNA region

menunjukkan variasi yang lebar antar berbagai spesies bakteri jika dibandingkan

dengan 16S rRNA region. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif (NPP) dan

nilai prediktif negatif (NPN) secara keseluruhan dari PCR 16S rDNA masing-

masing adalah 79.24%, 97.6%, 89.36% dan 94.88%, dimana kultur digunakan

sebagai baku emas (Chakrabarti dkk., 2009).

2.7.6 Identifikasi bakteri dengan PCR gene 16S rRNA

Gen 16S ribosomal RNA (16S rRNA) memiliki daerah yang conserved

(lestari) sehingga tepat digunakan dalam Polymerase Chain Reaction dan analisis

sekuensing untuk menentukan taksonomi, filogeni dan keanekaragaman antar

spesies. Gen ini juga memiliki hypervariable region yang merupakan ciri khas tiap

mikroorganisme. Metode berbasis molekuler ini dinilai cepat dan akurat dalam

mengidentifikasi bakteri pathogen serta memiliki sejumlah keunggulan

dibandingkan metode mikrobiologi konvensional.

Analisis sekuensing gen 16S rRNA (16S ribosomal Ribonucleic acid/ asam

ribonukleat pengkode ribosum 16S) merupakan metode identifikasi berbasis

molekuler yang lebih cepat dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Huruf S menyatakan “Svedberg” yaitu satuan ukuran ribosum. Gen 16S rRNA juga

sering disebut 16S rDNA (16S ribosomal deoxyribose nucleic acid). Namun istilah

16S rRNA lebih tepat menurut konsensus American Society for Microbiology

(ASM) (Rinanda, 2011).

28

Gen pengkode RNA ribosomal (rRNA) adalah gen yang paling lestari

(conserved). Porsi sekuens rRNA dari tiap organisme yang secara genetik

berkolerasi umumnya adalah sama. Daerah yang lestari ini juga yang menyebabkan

gen ini dapat digunakan sebagai primer universal yang digunakan dalam

Polymerase Chain Reaction (PCR) serta dapat ditentukan urutan nukleotidanya

melalui sekuensing. Penggunaan sekuens 16S rRNA dipelopori oleh Carl Woese,

yang juga menemukan klasifikasi 3 domain terbesar makhluk hidup, yaitu bakteri,

archaea dan eukaria (Rinanda, 2011).

Gen 16S dan 23S rRNA memiliki ukuran yang cukup untuk dianalisis. Gen

16S rRNA berukuran sekitar 1550 pasang basa dan sekitar 500 basa di bagian ujung

sekuens merupakan daerah yang disebut dengan hypervariable region. Daerah ini

merupakan bagian yang membedakan antar organisme. Primer yang digunakan

dalam Gen 16S rRNA adalah salah satu gen yang telah dikarakterisasi dengan baik

sehingga digunakan dalam identifikasi mikroorganisme. Sebagian besar prokariot

memiliki 3 jenis rRNA, yaitu 5S, 16S dan 23S. Sejak ditemukan pertama kali oleh

Woose sekuens 16S rDNA semakin banyak digunakan (Rinanda, 2011).

Primer yang digunakan dalam PCR adalah primer 16S rRNA yang bersifat

universal berukuran sekitar 1500pb, sehingga dapat mengamplifikasi daerah 16S

rRNA dari seluruh bakteri. Sekuens DNA terbentuk dari hasil pensejajaran

pembacaan primer reverse dan forward dan umumnya digunakan sebagai sekuens

consensus (consensus sequence). El Aila, dkk (2010) melakukan identifikasi S.

pneumonia dengan analisis sekuensing gen 16S rRNA dan memberikan hasil yang

29

lebih akurat (Rinanda, 2011). Aplikasi 16S rRNA pada mikrobiologi adalah sebagai

berikut:

1. Penandaan gen 16S rRNA dinyatakan sebagai baku standar identifikasi dan

klasifikasi spesies bakteri.

2. Rangkaian gen 16s rRNA memiliki variabel luas sehingga dapat memberikan

urutan tanda khas suatu spesies yang berguna untuk identifikasi suatu spesies

bakteri.

3. Pada mikrobiologi medis penandaan 16S rRNA merupakan alternatif metode

yang cepat dan murah untuk mengetahui fenotif suatu bakteri.

4. Proses penandaan ini juga mampu mengklasifikasikan suatu spesies bakteri

baru atau setidaknya mengetahui genus dari bakteri tersebut.

5. Teknik penandaan gen ini dapat digunakan untuk mendiskripsikan suatu spesies

baru yang tidak berhasil diidentifikasi pada metode kultur di laboratorium.

2.7.7. Penggunaan primer 16S rRNA pada meningitis bakterialis.

PCR berbasis 16S rRNA mengunakan universal bacterial primers yang

berguna mendeteksi bakteri pathogen dalam sampel cairan serebrospinal.

Penggunaan primer 3-spesies secara simultan dalam format PCR multiplex dan

seminested telah berhasil mengidentifikasi keberadaan Streptococcus pneumonia,

Haemophilus influenza dan Neisseria Meningitidis dalam 4 jam.

Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif (NPP) dan nilai prediktif

negatif (NPN) secara keseluruhan dari PCR 16S rRNA, dimana kultur digunakan

sebagai baku emas adalah masing-masing 79,24%; 97,6%; 89,36% dan 94,88%

30

Keterbatasan kemampuan deteksi dari PCR 16S rRNA ditentukan oleh 1000 cfu/ml

E. coli dan 4000 cfu/ml S. pneumoniae.

Spesifisitas jangkauan PCR universal yang luas didapatkan meningkat

dengan analisa lebih lanjut terhadap produk PCR dengan metode yang berbeda

seperti restriction fragment length polymorphism (RFLP), penyelidikan atau

mengurutkan. Secara keseluruhan, PCR 16S rDNA merupakan temuan yang

menjanjikan sebagai sebuah uji skrining untuk diagnosis meningitis bakterialis

akut, khususnya di rumah sakit dimana hampir setiap pasien telah mendapatkan

antibiotik.

2.7.8. Strategi PCR

Universal primers (u3, ru8) memperkuat area 1000 bp spesifik dari 16S

rRNA hampir seluruh bakteri. Primers spesifik dapat digunakan untuk S.

penumoniae (STREP), H. influenzae (HI), dan N.meningitidis (NM), yang

merupakan 3 agen penyebab tersering meningitis bakterialis pada anak. Primers

diperkuat pada area spesifik yaitu dengan panjang area 1000 bp 16S rRNA yang

telah kuat dengan universal primers (tabel 2.1).

Streptococcus pneumoniae ATCC 49619, Haemophilus influenzae ATX

33391, dan Neisseria meningitidis ATCC 13077 rantai grup B digunakan sebagai

persiapan DNA standar. Kurang lebih 106cfu/ml dari masing-masing rantai DNA

bakteri telah diambil dan diekstraksi dan dipurifikasi dan telah dilakukan dengan

metode phenol-chloroform yang konvensional sebagaimana dijelaskan pada

Sambrook dkk.

31

Tabel 2.1 Oligonukleotida primers yang digunakan untuk identifikasi bakteri

pada meningitis dengan 16S rRNA

Kode Primer Urutan Primer

Ukuran

Produk

u3 5’ GTG CCT GCA GCC GCG GTA AT3’ 1000 bp

ru8 5’ AAG GAG GGG TGT GTA C 3’

STREP

(S.pneumoniae)

5’ GTA CAA CGA GTC GCA AGC 293 bp

HI

(H.influenzae)

5’ CCT AAG AAG AGC TCG AG 3’ 543 bp

NM

(N. meningitides)

5’ TGT TGG GCA ACC TGA TTG 3’ 710 bp

2.8 Pemeriksaan Pencitraan pada Meningitis

CT scan sering dilakukan sebelum punksi lumbal dalam diagnosis

meningitis. Hal ini untuk menyingkirkan adanya peningkatan tekanan intrakranial

yang dapat menimbulkan herniasi jika dilakukan punksi lumbal (Brouwer dkk.,

2012). Pencitraan pada meningitis (CT scan kepala atau MRI kepala) bukan

merupakan pemeriksaan rutin. Pencitraan hanya diindikasikan pada kondisi tertentu

atau kondisi spesifik dan hanya dilakukan jika pasien dalam kondisi stabil.

Pemeriksaan CT scan kepala bukan untuk diagnosis meningitis bakterialis tetapi

untuk menentukan adanya komplikasi meningitis bakterialis bila pengobatan tidak

memberikan respon yang adekuat atau untuk menyingkirkan kemungkinan

diagnosis yang lain seperti perdarahan intracranial (NICE, 2010; NSW, 2014).

Pada pasien dengan suspek meningitis, CT scan kepala hanya dilakukan jika

terdapat gejala neurologis fokal, penurunan kesadaran, adanya kejang yang terus

32

menerus, kejang parsial atau umum. Punksi lumbal merupakan indikasi kontra pada

pasien yang menunjukkan tanda-tanda efek massa atau herniasi pada pemeriksaan

CT scan kepala (Duval dkk., 2008).

2.9 Skor Meningitis dan Diagnosis Meningitis

Diagnosis yang cepat dan terapi yang tepat dapat menurunkan morbiditas

dan mortalitas akibat meningitis bakterialis. Namun diagnosis dapat terlambat

karena presentasi klinis yang tidak khas. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Berbagai sumber pustaka berusaha

menjelaskan bagaimana membedakan antara meningitis bakterialis dari aseptik

meningitis (NSW, 2014).

Untuk menegakkan diagnosis pasti meningitis dan untuk menyingkirkan

meningitis, dokter harus melakukan punksi lumbal pada pasien yang diduga

meningitis atau yang menunjukkan gejala rangsang meningen (meningeal sign).

Punksi lumbal merupakan baku emas dalam diagnosis meningitis. Namun

seringkali hasil analisis CSS menunjukkan hasil yang tidak khas sehingga

menyulitkan dalam menegakkan diagnosis. Demikian juga hasil pemeriksaan

mikrobiologi, dimana pengecatan gram seringkali menunjukkan hasil yang negatif

dan pemeriksaan kultur kuman memiliki sensitivitas yang sangat rendah.

Pada pasien dengan hasil pengecatan gram atau kultur yang negatif,

diagnosis meningitis bakterialis akut seringkali sulit ditegakkan maupun

disingkirkan. Kombinasi gejala klinis dengan maupun tanpa hasil pemeriksaan

laboratorium telah dikembangkan menjadi suatu model yang memiliki akurasi

33

prediksi untuk membedakan meningitis bakterialis akut dan kemungkinan

penyebab lain terutama meningitis virus/aseptik. Namun sampai saat ini tidak ada

metode yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk mengidentifikasi

meningitis bakterialis dan meningitis aseptik. Untuk menentukan diagnosis

meningitis pada anak seringkali digunakan kombinasi beberapa kriteria (Brouwer

dkk., 2012).

Dilema dalam diagnosis meningitis menjadi lebih sulit jika penderita sudah

mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya sehingga menunjukkan hasil analisis

CSS lebih tidak spesifik dan hasil mikrobilogi tidak menemukan adanya

pertumbuhan kuman (Brouwer dkk., 2012).

Model prediksi diagnosis yang menggunakan kombinasi gejala klinis

dengan atau tanpa pemeriksaan laboratorium penunjang dapat digunakan

membedakan meningitis bakterialis akut dari penyebab non bakteri, namun model

ini tidak sepenuhnya dapat digunakan. Tabel 2.2. berikut ini adalah model prediksi

klinis untuk meningitis bakterialis (Brouwer dkk., 2012).

34

Tabel 2.2

Beberapa Model Prediksi Klinis untuk meningitis bakterialis

Studi& design Populasi aturan prediksi item skor Oostenbrink meningitis score

Original /prospektif, (n=286; v=74) Original/retrospektif (n=227) validasi/Prospektif (n=226)

Children aged 1 month–15 years anak usia 1 bln - 15 th

tidak ada menigitis bakteri bila nilai <8-5 pada 44 skala nilai (kisaran 0-44)

Durasi keluhan=1 poin per hari (maksimal 10), muntah=2, iritasi meningeal =7·5, cyanosis=6·5, petechiae or ecchymosis=4, teganggu kesadaran=8, CRP=0·5 points setiap peningkatan 10 mg/L, hitung PMN CSS =0–4*†, rasio glukosa CSS terhad darah=0·5 poin setiap penurunan 0·1*

Bacterial meningitis score

Nigrovic (o/r, n=456, v=240),56 Nigrovic (v/r, n=3295) 20 Dubos (v/r, n=198)57

anak dan dewasa muda usia 29 hari - 19 th (16th pada studi Dubos)

kemungkinan tidak meningitis bakterialis bila nilai 0 pada 6 skala nilai (kisaran 0-6)

Positif pada pewarnaan gram CSS=2, protein CSS 0·8 g/L =1, nilai absolut neutrofil perifer 10 000 cells per μL=1, kejang sebelum atau pada saat masuk rumah sakit =1, nilai absolut neutrofil CSS>1000 cells per μL=1

Spanos CSF prediction model

Spanos (o/r, n=422),43 McKinney (v/r, n=160),58 Hoen (v/r, n=500),59 Leblebicioglu (v/r, n=30)60

anak usia >1bln dan dewasa (pada studi McKinney, didefinisikan sebagai>17th

kemungkinan menigitis bila terdapat 1 karakteristik CSS

Kadar glukosa CSS <1·9 mmol/L,rasioglukosa CSS terhadap darah <0·23, CSF, kadar protein>2·2 g/L, leukosit CSS>2000/μL, neutrofil CSS>1180/μL

Hoen CSF prediction model

Hoen (o/r, n=500),59 Leblebicioglu (v/r, n=30),60 Baty (v/p, n=109)61

anak usia >1bl dan dewasa

kemungkinan tidak meningitis bakterialis bila skor <0·1

Formula risiko meningitis bakterialis =1/(1+e"L), dimana L=32·13×10"4×CSF hitung PMN (106/L)+2·365× protein CSS (g/L)+0·6143× glukosa darah (mmol/L)+0·2086×hitung seldarahputih (109/L)–11

Sumber: Brouwer dkk. Lancet. 2012; 380:1684-92.

2.9.1 Skor meningitis menurut “Oostenbrink”

Oostenbrink dkk. (2004) telah mengembangkan suatu model prediksi klinis

untuk menuntun dalam mengambil keputusan klinis berupa punksi lumbal dan

pemberian antibiotika empiris pada anak usia 29 hari sampai 15 tahun dengan

suspek meningitis bakterialis akut. Model ini dikenal dengan “Oostenbrink clinical

35

decision rule” dan merupakan salah satu cara untuk memprediksi risiko meningitis

bakterialis pada anak dengan tanda rangsang meningeal. Model Oostenbrink

melibatkan berbagai variabel dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan

pengukuran kadar CRP serum. Lumbal punksi harus dilakukan pada anak yang

memiliki gejala gejala sesuai kriterianya dan memiliki total skor 8,5 atau lebih.

Pada uji validasi tidak seorangpun anak yang memiliki skor <9,5 menderita

meningitis bakterialis akut dan punksi lumbal dilakukan pada sekitar 35% anak

dengan tanda rangsang meningen, namun tidak ada satupun kasus meningitis

bakterialis yang diagnosisnya terlewatkan. Dengan nilai batas skor 9,5 atau lebih

dapat digunakan menentukan secara klinis meningitis bakterialis akut atau bukan.

Kriteria yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini (Oostenbrink, 2002;

Dubos dkk., 2006; 2010).

Tabel 2.3

Kriteria klinis meningitis menurut Oostenbrink

Faktor risiko Skor/nilai Riwayat lamanya keluhan utama 1/ hari (maksimal 10) Riwayat muntah 2 Pemeriksaan fisik:

Sianosis 6,5 Kesadaran menurun 8,0 Iritasi meningen 7,5 Petechie 4,0

Kadar serum CRP (mg/dL) atau mg/L <5.0 (50) 0 5,0-9,9 (50-99) 0,5 10,0-14,9 (100-149) 1 15,0-19,9 (150-199) 1,5 >20 (200) 2

Total skor = *Apabila total skor >8 harus dilakukan tindakan punksi lumbal

Sumber: Oostenbrink dkk.Arch Pediatr Adolesc Med. 2002; 156:1189-94.

36

2.9.2 Bacterial Meningitis Score (BMS)

Model prediksi lain telah dikembangkan oleh Nigrovic dkk. Kriteria

meningitis yang dikembangkan oleh Nigrovic ini dikenal dengan Nigrovic

Bacterial Meningitis Score (Nigrovic BMS). Komponen dalam kriteria Nigrovic

BMS meliputi: pengecatan gram CSS yang positif, adanya kejang yang

berhubungan dengan gejala klinis, hitung neutrophil pada darah tepi ≥10,000

sel/μL, hitung neutrophil pada CSS ≥1,000 sel/μL, dan kadar protein CSS ≥80

mg/dL. Apabila tidak ada satupun kriteria terpenuhi, maka diduga pasien memiliki

risiko rendah menderita meningitis bakterialis. Kriteria skor meningitis bakterialis

oleh Nigrovic ini telah dilakukan validasi dan hasilnya menunjukkan sensitivitas

98.3% (95% IK: 94,2-99,8), spesifisitas 61,5% (95% IK:59,7-63,3) dengan

negative predictive value (NPV) sebesar 99,9% (95%IK: 99,6-100); Nilai rasio

LLH positif 2,56 dan rasio LLH negatif 0,03 (Nigrovic dkk., 2007; 2012)

Meskipun studi lain telah memberikan konfirmasi bahwa Nigrovic BMS

sangat berguna dibandingkan model lain, namun untuk aplikasi sistim scoring ini

tidak selalu sesuai. Sebuah studi retrospektif yang menggunakan skoring Nigrovic

pada 21 anak usia 0-15 tahun dengan suspek meningitis bakterialis, mendapatkan 5

orang yang tidak memenuhi kriteria dan dinyatakan berisiko rendah dan akhirnya

tidak mendapatkan terapi antibiotika. Peneliti ini akhirnya mengembangkan scoring

baru dengan menambahkan kadar CRP serum < 20 mg/L, kadar glukosa CSS> 2,89

mmol/L dan kadar protein CSS < 1 g/L. Nilai skor 0 dapat membedakan meningitis

virus dari meningitis bakterialis akut pada 54 dari 70 anak dengan akurasi 100%

dan spesifisitas 100% (Brouwer dkk., 2012)

37

Walaupun Nigrovic BMS dapat mengidentifikasi meningitis bakterialis

dengan sensitivitas yang sangat tinggi (99,6%), masih ada kasus yang tidak

terdeteksi sehingga seorang klinisi harus tetap menyadari bahwa tidak ada cara yang

dapat secara tepat menyingkirkan meningitis bakterialis. Demikian juga bahwa

meningitis bakterialis dapat terjadi tanpa adanya pleositosis dalam CSS walaupun

sangat jarang. Dengan demikian sampai saat ini diagnosis meningitis masih cukup

sulit ditegakkan sedangkan perlu tatalaksana yang segera dan tepat.

Sebuah penelitian menggunakan skor meningitis yang modifikasi dari

Nigrovic telah dilakukan di Gangnam Severance Hospital oleh Kwon dkk. Kriteria

skor meningitis yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.4. Kesimpulan penelitian

ini adalah bahwa BMS dapat digunakan untuk mengambil keputusan klinis pada

anak dengan pleositosis CSS dan masih perlu dilakukan evaluasi apakah BMS dapat

digunakan dengan aman untuk menurunkan angka rawat inap dan penggunaan

antibiotika pada anak dengan meningitis aseptik. Sangat berbeda dengan jika BMS

>2 sangat mendukung kecurigaan meningitis bakterialis dengan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi. Meningitis bakterialis dapat terjadi pada pasien tanpa CSS

pleositosis dan BMS menunjukkan risiko rendah, oleh karena itu seharusnya BMS

digunakan secara berhati hati terutama pada bayi usia di bawah 2 bulan karena BMS

kurang akurat. Masih diperlukan penilaian klinis, epidemiologi dan pemeriksaan

laboratorium yang lain (Kwon dkk., 2013).

38

Tabel 2.4

Komponen Bacterial Meningitis Score (BMS)

Prediktor BMS Poin

Ada Tidak

Pengecatan gram CSS positif 2 0

Hitung netrofil absolute > 1000 sel/mm3 1 0

Protein CSS > 80 mg/Dl 1 0

Hitung netrofil absolut dalam darah tepi>10.000 sel/mm3 1 0

Kejang saat/sebelum timbul gejala 1 0

Kriteria:

• Total poin 0 = sangat mendukung diagnosis meningitis aseptic

• Total poin 1 = cendrung meningitis aseptik

• Total poin 2-6 = lebih mendekati diagnosis meningitis bakterialis

Sumber : Kwon dkk. J Korean Child Neurol Soc. 2012; 21(2): 46-520

2.9.3 Meningitest

Metode untuk mengambil keputusan klinis untuk pasien anak yang

berdasarkan pada BMS telah dievaluasi dan kemudian dimodifikasi dan disebut

Meningitest. Komponen yang digunakan untuk menilai berbeda dengan BMS,

dimana hitung jenis netrofil dalam serum dan CSS dikeluarkan dari sistem skoring

dan biomarker procalcitonin (PCT) dimasukkan dalam kriteria. Metode ini

digunakan untuk merekomendasi penggunaan terapi antibiotik dan rawat inap untuk

anak yang menunjukkan gejala meningitis dengan gejala minimal salah satu dari

komponen kriteria. Tabel 2.5 menunjukkan komponen kriteria Meningitest.

39

Tabel 2.5

Komponen kriteria Meningitest

Kejang

Penampakan klinis toksik

Purpura

Pengecatan gram CSS positif

Kadar procalcitonin serum ≥0.5 ng/mL

Kadar protein CSS ≥50 mg/dL

Sumber: Quenot dkk. Annal of Intensive care. 2013,3:21

Meningitest menunjukkan hasil validasi eksternal yang baik dengan sensitivitas

100% dan spesifisitas 37-62%. Namun saat ini, pemeriksaan procalcitonin tidak

selalu tersedia di sebagian besar rumah sakit, tetapi dapat bermanfaat di kemudian

hari untuk menghindari rawat inap yang tidak perlu dan mengurangi penggunaan

terapi antibiotika yang tidak perlu (Quenot dkk., 2013).

2.10 Biomarker Diagnostik

Berbagai penelitian tentang penggunaan marker diagnostik pada meningitis

bakterialis akut telah banyak dilakukan. Penelitian penelitian sebelumnya terutama

terfokus terhadap bagaimana membedakan meningitis bakterialis dari meningitis

virus. Beberapa biomarker yang telah diteliti sebagai marker untuk meningitis

bakterialis adalah HBP, kadar kortisol, soluble triggering receptor expressed on

myeloid 1, interleukin 6 (IL-6), interleukin 12 (IL-12), interleukin 1β (IL-1β), tumor

necrosis factor α (TNF-α). Sebagian besar studi ini hanya melibatkan pasien dalam

40

jumlah sedikit (<40 pasien) sehingga hasilnya kurang dapat digeneralisasi (Quenot

dkk., 2013).

Suatu biomarker idealnya memiliki sensitivitas 100% dan juga memiliki

spesifisitas yang dapat diterima, walaupun jika digunakan tersendiri. Biomarker

yang telah ada seperti procalcitonin (PCT), C-reactive protein (CRP), interferon

gamma (IFN-γ) dan sebagainya, nampaknya tidak memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang cukup tinggi jika digunakan sebagai dasar memutuskan terapi

karena risiko hasil test yang negatif palsu (Quenot dkk., 2013).

2.10.1 Laktat Dehidrogenase

Laktat dalam CSS diproduksi oleh bakteri anaerob sebagai hasil

metabolismenya dan tidak dipengaruhi oleh kadar laktat dalam darah. Kadar laktat

di dalam CSS merupakan potensial biomarker untuk meningitis bakterialis pada

anak (Sakushima dkk., 2011).

Anak dengan meningitis bakterialis memiliki kadar laktat CSS lebih tinggi

dibandingkan dengan anak dengan meningitis aseptik. Pada nilai titik potong 3,0

mmol/L memiliki sensitivitas 95% pada 95% interval kepercayaan (IK) 83-99%

dan spesifisitas 94% (IK 90-96%); NPV 99,3% (IK 97,7-99,9%) untuk meningitis

bakterialis (Filho dkk., 2014).

Peningkatan kadar laktat dalam CSS dapat digunakan untuk membedakan

meningitis bakterialis dari non meningitis bakterialis pada pasien yang belum

mendapatkan terapi antibiotika. Salah satu penelitian mendapatkan bahwa kadar

laktat dalam CSS lebih dari 4.2 mmol/L memiliki korelasi yang positif dengan

41

meningitis bakterialis dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 100% (Devlin dan

Byars, 2011).

Sebuah meta-analisis yang melibatkan 32 penelitian telah dilakukan.

Hasilnya adalah kadar laktat CSS memiliki sensitivitas 93% (95%IK: 0,89-0.96);

spesifisitas 96% ( 95%IK: 0,93-0,98); rasio LLH positif 22,9 (95%IK:12,6-41,9);

dan rasio LLH negatif 0,07 (95%IK:0,05-0,12); rasio odds diagnosis 313

(95%IK:141-698). Pada pasien yang telah mendapat antibiotika sebelum punksi

lumbal, kadar laktat CSS memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan

dengan yang belum mendapat antibiotika yaitu 49% dan 98% secara berurutan.

Kadar laktat yang tinggi sekitar 35 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar sekitar 27 mg/dL (Sakushima dkk.,

2011).

Peningkatan kadar laktat CSS dinyatakan spesifik untuk meningitis, namun

peningkatan kadar laktat CSS juga dapat disebabkan oleh iskemia serebri dan

metabolism anaerob akibat inflamasi sehingga kadar laktat tidak ditambahkan

untuk mendiagnosis meningitis bakterialis. Kadar laktat CSS juga meningkat pada

pasien dengan penyakit saraf yang berat seperti stroke dan trauma kepala sehingga

hal ini merupakan keterbatasannya. Karena rendahnya spesifisitas peningkatan

kadar laktat maka saat ini pengukuran kadar laktat tidak direkomendasikan dalam

manajemen meningitis yang khas (Devlin dan Byars, 2011).

2.10.2 Komponen komplemen B (CB) dan komplemen 3 (C3)

Dalam membedakan antara meningitis bakterialis dan meningitis virus,

kadar complement component B dalam CSS memiliki sensitifitas dan spesifisitas

42

100% pada orang dewasa, kadar complement component 3 memiliki sensitivitas

100% dan spesifisitas 95% dan kadar HBP memiliki sensitivitas 100% dan

spesifisitas 99,2% (Brouwer dkk., 2012).

2.10.3 C-Reactive Protein (CRP)

C-Reactive Protein merupakan reaktan fase akut yang dibuat dalam hepar

dan disekresi dalam 6 jam setelah reaksi inflamasi akut. Konsentrasi CRP >40mg/L

memiliki spesifisitas 100% dan sensitivitas 93% untuk mengidentifikasi meningitis

bakterialis (Brouwer dkk., 2012). Pengukuran kadar CRP serum pada meningitis

bakterialis memiliki sensitivitas 69%-99% dan spesifisitas 28%-99% dan nilai OR

untuk meningitis bakterialis adalah 150 (95%CI, 44-509). CRP serum bermanfaat

untuk membedakan meningitis bakterialis jika hasil pengecatan gram negatif,

dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 93% dan NPV 99%. Nilai CRP yang

normal memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi dalam diagnosis meningitis

bakterialis (Tunkel dkk., 2004).

2.10.4 Procalcitonin (PCT)

Procalcitonin merupakan suatu potent partial agonist (50-60% dari efikasi

CGRP) dari reseptor CGRP1 dan inhibited CGRP-dependent cAMP responses dan

weak partial agonist activity pada reseptor AMY1 (Gude, 2012).

Penelitian dari Alkholi, dkk (2011) menunjukkan kadar PCT lebih tinggi

secara bermakna pada pasien anak dengan meningitis bakterialis (rerata 24,8 ng/ml)

dibandingkan dengan non meningitis bakterialis (rerata 0,3 ng/ml) dengan nilai p

<0,001. Kadar PCT pada kelompok meningitis bakterialis menurun setelah 3 hari

post terapi antibiotika, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan kelompok non

43

meningitis bakterialis (rerata 10,5 ng/ml). Kadar PCT serum >2 ng/ml memiliki

sensitivitas 100%, spesifisitas 66%, PPV 68% dan NPV100% untuk diagnosis

meningitis bakterialis (Alkholi dkk., 2011).

Untuk anak dengan suspek meningitis, kadar procalcitonin (PCT) >0,5

ng/mL dapat digunakan untuk membantu dalam menentukan diagnosis meningitis

bakterialis tetapi dapat terjadi negatif palsu sehingga lebih dianjurkan

menggunakan Bacterial Meningitis Score (BMS) atau Meningitest® dibandingkan

menggunakan PCT secara tunggal. Sebaiknya menggunakan PCT dalam suatu

“clinical role” untuk membantu dalam menentukan keputusan. Procalcitonin (PCT)

dapat membantu memprediksi infeksi, walaupun data data yang ada tidak

mencukupi untuk mengambil keputusan memulai pemberian antibiotika (Quenot

dkk., 2013).

Skor Meningitest® (European patent EP1977244) memasukkan PCT dalam

kriteria untuk mendiagnosis suspek meningitis. Meningitest® merekomendasikan

memulai terapi antibiotika apabila minimal memenuhi 1 dari kriteria berikut:

kejang, penampakan toksik, purpura, PCT >0,5ng/mL, pengecatan gram positif atau

kadar protein dalam CSS >0,5 g/L. Kadar serum PCT>0,5 ng/mL secara tunggal

memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir sama dengan BMS, sedangkan

kombinasi CRP dengan kadar protein CSS memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih rendah (Quenot dkk., 2013).

Meta-analisis dari enam studi retrospektif yang melibatkan 198 anak

meningitis bakterialis menunjukkan bahwa peningkatan kadar PCT serum >0,5

µg/L dan kadar CRP>20 mg/L dapat diasosiasikan dengan meningitis bakterialis

44

akut dengan rasio odds 434 terhadap peningkatan PCT dan 9,9 terhadap

peningkatan CRP. Walaupun demikian apakah pemeriksaan tambahan PCT dan

CRP serum memberi nilai tambah masih belum jelas (Brouwer dkk., 2012). Kadar

PCT serum pada meningitis telah diteliti pada anak anak. Pada sebuah penelitian,

kadar PCT lebih dari 0,5 μg/L memiliki sensitivitas 94% untuk meningitis

bakterialis pada anak, dengan spesifisitas 100% (Quenot dkk., 2013).

2.11 Peranan Sitokin Pada Meningitis bakterialis

Sitokin merupakan molekul molekul yang terlibat dalam modulasi proses

imun dan inflamasi. Tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) merupakan suatu

aktivator netrofil dan mediator yang berperan pada kemotaksis dan degranulasi.

Interleukin-6 menstimulasi proliferasi limfosit B yang telah berdiferensiasi menjadi

sel yang menghasilkan antibodi. Interleukin-8 (IL-8) bekerja sebagai kemoatraktan

terhadap netrofil di tempat inflamasi. Kadar TNF-α dan IL-8 pada pasien meningitis

bakterialis telah dilaporkan pada berbagai penelitian. Rerata kadar TNF-α, IL-6, IL-

8 dalam CSS secara bermakna lebih tinggi pada meningitis bakterialis

dibandingkan dengan meningitis virus. Peningkatan kadar TNF-α, IL-6 dan IL-8

dalam CSS anak dengan meningitis bakterialis, menunjukkan bahwa sitokin

tersebut berperan pada patogenesis meningitis bakterialis (Prasad dkk., 2014).

Interleukin-12 (terminologi dari IL-12p70 dan biasa disebut IL-12)

merupakan suatu sitokin imunoregulator yang penting yang terutama dihasilkan

oleh Antigen Precenting Cells (APC). Ekspresi IL-12 selama terjadi infeksi adalah

mengatur respon alamiah dan menentukan tipe respon imun adaptif. Interleukin-12

45

menginduksi produksi interferon gamma (INF-γ) dan sebagai trigger CD4+ sel T

untuk berdiferensiasi menjadi sel T-helper tipe-1 (Th1). Interleukin-12 dapat

memainkan peranan yang vital dalam proses penyembuhan penyakit seperti infeksi

virus, bakteri dan kanker. Struktur heterodimerik yang unik dari IL-12 dimana IL-

12 bersama sama dengan anggota familinya yaitu IL-23, IL-27 dan IL-35 akhir

akhir ini lebih menarik perhatian untuk dipahami mekanisme yang mengatur fungsi

IL-12 (Hamza dkk., 2010).

Interleukin-12 merupakan suatu sitokin yang heterodimeric yang

diproduksi oleh sebagian besar sel fagositik sebagai respon terhadap bakteri, produk

bakteri dan parasit intraseluler dan beberapa sel limfosit B. Pada infeksi bakteri IL-

12 berperan sebagai penginduksi yang kuat terhadap respon imun Th-1 dan

mediator penting antara imunitas alamiah dan didapat (Hamza dkk., 2010).

2.12 Respon imun terhadap infeksi

Selama infeksi atau akibat inflamasi yang berat, molekul mikroba atau

molekul yang memberikan sinyal bahaya (endogenous danger signal) dan mediator

dari host mampu memodulasi homeostasis dari host. Respon inflamasi lokal

maupun sistemik dapat bermanfaat atau merugikan. Respon yang bermanfaat

menghasilkan terkendalinya proses infeksi. Respon inflamasi yang merugikan

dapat terjadi dengan mekanisme sebagai berikut (Conquy dan Cavaillon, 2009):

a. Perjuangan melawan agen infeksi dapat terlalu berlebihan dan

menyebabkan disfungsi organ.

b. Respon anti-inflamasi yang bertujuan untuk mengurangi proses inflamasi

dapat mengubah status imun.

46

c. Terjadi perubahan keseimbangan antara status prokoagulan dan

antikoagulan dari host.

Bone dkk. (1996) pertama kali memperkenalkan konsep systemic inflamatory

response syndrome (SIRS). Berdasarkan teorinya dijelaskan bahwa, respon imun

terhadap infeksi atau trauma mulai pada lokasi infeksi dan berhubungan dengan

produksi mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi, yang terutama dihasilkan oleh

sel sel respon imun alamiah (innate) seperti netrofil. Respon imun ini bertujuan

untuk menjaga homeostasis dan sebagai respon awal reaksi inflamasi yang

fisiologis. Telah diketahui pada infeksi yang persisten atau adanya infeksi tambahan

dari lokasi lain seperti pada saluran pernafasan dapat meningkatkan kelainan respon

imun sistemik yang dapat memicu sepsis dan kegagalan multiorgan. Berdasarkan

konsep tersebut dapat terjadi kelainan sistem imun yang dapat menimbulkan

sindrom imun paralisis (kekacauan respon imun), yang dapat meningkatkan

komplikasi dan mortalitas (Binkowska dkk., 2015).

Apoptosis dari sel sel sistem imun (makrofag, netrofil, limfosit) memainkan

peranan yang sangat penting yang dapat membangkitkan imunosupresi dan

merupakan elemen penting dalam respon terhadap infeksi. Respon patologi dari

SIRS dan CARS (compensatory anti-inflammatory response syndrome) pada

proses terjadinya kegagalan multiorgan (MODS) adalah akibat kurangnya

mekanisme koordinasi atau kerjasama antar sel sistem imun yang terlibat dalam

merusak organ. Telah ditunjukkan hubungan antara beratnya SIRS/CARS/MODS

dan sel yang mengalami apoptosis, melibatkan respon pro-inflamasi dan anti-

inflamasi terutama netrofil, yang meningkatkan produksi sitokin dan radikal bebas.

47

Respon imun yang tidak terkontrol terhadap infeksi dapat memicu self

destruction jaringan dan disfungsi organ yang jauh dari lokasi infeksi. Konsep baru

dikembangkan oleh Murphy dkk. (2004) bahwa CARS terjadi secara paralel

(bersamaan) dengan respon kompensasi SIRS, terutama diasosiasikan dengan

peningkatan produksi sitokin antiinflamasi IL-4 dan IL-10 sehingga berkembang

menjadi imunosupresi (Binkowska dkk., 2015).

2.13 Mekanisme brain-mediated systemic anti-inflamatory syndrome yang

mengakibatkan depresi sistem imun.

Untuk mencegah aksi sitokin proinflamasi yang berlebihan dan merusak

setelah efek awal yang bermanfaat, sistem imun dapat mengeluarkan beberapa

mediator anti-inflamasi, diantaranya interleukin 10 (IL-10), interleukin-1 receptor

antagonist (IL-1ra) dan tumor necrosis factor receptors, yang selanjutnya

mengawali suatu compensatory anti-inflammatory response syndrome (CARS).

Secara in vivo terdapat keseimbangan antara respon pro-inflamasi dan anti-

inflamasi yang juga dikontrol oleh sistem saraf pusat (SSP). Sitokin pro-inflamasi

menstimulasi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) dan memicu aktivitas

sistem saraf simpatik. Mediator dari jalur neuroimun ini dapat juga menekan fungsi

sel imun untuk mengontrol inflamasi sistemik.

Jalur inhibisi sistem imun SSP dapat diaktivasi di luar inflamasi sistemik.

Hal ini dapat dihasilkan dari produksi sitokin di dalam otak setelah infeksi, trauma,

atau iskemia atau dalam respon terhadap berbagai stress atau jika terjadi iritasi pada

batang otak. Teori brain mediated immunodepression dapat menjelaskan hal ini.

48

Inaktivasi monosit dengan menurunkan kemampuan presentasi antigen dan

menekan sekresi sitokin pro-inflamasi meningkatkan risiko komplikasi infeksi.

Sitokin pada otak dan stres dapat membangun imuno-depresi sistemik pada tingkat

monosit. Dalam hal ini katekolamin terinduksi untuk mengeluarkan sitokin anti-

inflamasi yang kuat (IL-10) yang merupakan penemuan baru dalam mekanisme

brain mediated monocyte deactivation, disamping aksi imunosupresif oleh

glukokortikoid yang telah diketahui dengan baik sebelumnya. Neuropeptida yang

lain seperti α-melanocyte-stimulating hormone dan β-endorphin yang dapat

dihasilkan dalam situasi stres juga dapat menghambat efek pada sel sel imun.

Infeksi lokal maupun trauma steril menginduksi respon inflamasi lokal.

Pengeluaran mediator pro-inflamasi seperti TNF- α, IL -1β, IL-6 mengaktifasi

kaskade inflamasi yang memperbaiki penyembuhan pada luka dan pertahanan anti

mikroba. Aktivasi sistem imun yang luar biasa dapat menimbulkan sindrom respon

inflamasi sistemik (SIRS) dan syok septik. Untuk mengontrol potensi respon

inflamasi yang berbahaya, sebaliknya sistem imun mengeluarkan beberapa

mediator anti inflamasi diantaranya IL-10, IL-1ra dan soluble TNF receptors, yang

menghambat produksi (IL-10) menetralisasi soluble TNF receptors 1 dan 2 atau

berkompetisi secara antagonis dengan mediator pro inflamasi (IL-1ra). TNF- α, IL

-1β dan prostaglandin merupakan induser kuat dari CARS.

Keseimbangan antara respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi dikontrol oleh

brain-dependent central mechanisms. Komunikasi dua arah antara sistem imun

dengan SSP dibuktikan dengan peningkatan sekresi berbagai mediator oleh kelenjar

pituitary dan adrenal yang dinduksi oleh inflamasi sistemik atau infeksi. TNF-α, IL-

49

1β, IL-6 merupakan imun aktivator dari hypothalamic pituitary adrenal axis (HPA)

yang menghasilkan sekresi glukokortikoid. Peranan penting aksis HPA adalah

mencegah inflamasi yang berlebihan. Mekanisme umpan balik negatif diperkuat

oleh induksi berlebihan dari IL-10 yang dicetuskan oleh glukokortikoid sebagai

respon terhadap inflamasi trauma. Aktivasi aksis HPA, sitokin pro inflamasi dapat

mempengaruhi aktivitas sistem saraf simpatetik (SNS).

Katekolamin meningkatkan pengeluaran sitokin anti inflamasi IL-10 setelah

stimulasi endotoksin pada sel mononuclear darah perifer dan sebaliknya produksi

TNF-α akan menurun. Mekanisme ini merupakan jalur alternatif dimana SSP

bekerja sama dengan fungsi sistem imun dalam menjaga keseimbangan antara SIRS

dan CARS untuk mempertahankan homeostasis.

Neuropeptide lain seperti α melanocyte stimulating hormone (MSH) dan β

endorphin dapat menghambat efek inhibisi sel imun dan dapat mengeluarkan situasi

stress. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sitokin otak dapat menjadi

pencetus respon anti inflamatori sistemik tanpa didahului inflamasi sistemik.

Akibatnya terjadi depresi inflamasi dan sistem imun seluler yang tidak adekuat dan

meningkatkan resiko infeksi.

Jalur neuro imun yang paling signifikan adalah aksis HPA dan sympathetic

nervous system (SNS), yang sangat penting dalam mengontrol respon imun

sistemik, yang memiliki peran protektif melawan inflamasi sistemik yang

berlebihan. Interleukin (IL-10) merupakan kunci mediator yang disebut sentral

CARS.

50

Gambar 2.2. Mekanisme CARS sentral yang diinduksi oleh inflamasi sistemik.

Woiciechowsky, dkk (1999).

Gambar 2.2 menjelaskan mekanisme sentral-CARS yang diinduksi oleh

inflamasi sistemik. Setelah infeksi/trauma/iskemia lokal, terjadilah respon primer

inflamasi lokal. Jika sistem imun mampu mengatasi stimulus primer maka

homeostasis dapat dipertahankan. Sebaliknya, jika terjadi perpindahan sitokin

proinflamasi ke dalam sirkulasi, maka dapat terjadi induksi SIRS. Sitokin pro-

inflamasi dalam sirkulasi terutama IL-1β, IL-6, dan TNF-α dapat mencetuskan

51

pengeluaran corticotropin –releasing factor (CRF) pada area preoptic, jika terjadi

kerusakan sawar darah otak. Hal ini dapat menstimulasi adenohipofisis/korteks

adrenal dan sympathetic nervous system (SNS) untuk menghasilkan ACTH/kortisol

dan katekolamin yng mencetuskan sekresi IL-10. Kedua mediator dapat mengawali

suatu CARS untuk meredam inflamasi sistem imun dan mempertahankan

homeostasis.

Gambar 2.3 Model hipotesis pro-inflammatory (SIRS) dan anti-inflammatory

response (CARS) terhadap trauma dan infeksi, yang dapat

mencetuskan kegagalan multiorgan dikutip dari: Binkowska, dkk

(2015).

52

2.14 Reflek inflamasi pada infeksi SSP

Inflamasi adalah respon lokal, protektif terhadap invasi mikroba atau

cedera. Apabila inflamasi menyebar ke dalam aliran darah, seperti yang terjadi

dalam sindrom syok septik, sepsis, meningitis dan trauma berat, respon inflamasi

dapat menjadi lebih berbahaya daripada stimulus pencetus aslinya. Homeostasis

dapat dikembalikan ketika proses inflamasi dibatasi oleh respon anti inflamasi

yang berlebihan, cepat, reversibel, terlokalisir, adaptif terhadap perubahan dalam

sistem saraf.

Pengetahuan terkini telah mengidentifikasi jalur saraf dasar yang secara

reflek memonitor dan menyesuaikan respon inflamasi. Stimulus inflamasi

mengaktifkan jalur sensoris, yang meneruskan informasi ke hipotalamus. Stimulus

inflamasi mengaktifkan respons anti inflamasi yang cepat dan otomatis untuk

mencegah kebocoran produk inflamasi ke dalam sirkulasi. Kontrol neural dari

inflamasi akut bersifat refleksif, saling berhubungan secara langsung dan

terkendali, terutama pada mekanisme anti inflamasi kolinergik yang menghambat

aktivasi makrofag dan pelepasan sitokin.

Mekanisme kontra-regulasi yang sangat terjaga pada kondisi normal, dapat

membatasi respon inflamasi akut dan mencegah penyebaran mediator inflamasi

ke dalam aliran darah. Sel imun yang kompeten teraktivasi melepaskan fragmen

reseptor yang mengikat TNF-α dan menetralkan aksi inflamasi yang berpotensi

toksik. Sitokin anti inflamasi, seperti IL-10 dan transforming growth factor β

53

(TGF-β), secara spesifik menghambat pelepasan TNF-α dan mediator

proinflamasi lainnya.

Glukokortikoid adrenal, adrenalin, α-melanocyte stimulating hormone (α-

MSH) dan hormon stres klasik lainnya menghambat sintesis sitokin dan transduksi

sinyal intraselular. Hilangnya mekanisme anti inflamasi endogen mengubah

respon inflamasi yang biasanya protektif dan mampu membatasi diri sendiri

menjadi respon berlebihan yang berpotensi merusak. Sebagai contoh, neuron di

SSP dapat mensintesis dan mengekspresikan TNF-α dan IL-1. Sitokin ini dapat

berpartisipasi dalam komunikasi neuronal. Komunikasi ini bersifat dua arah,

karena sitokin dapat mengaktifkan pelepasan glukokortikoid dari hipotalamus-

pituitari dan selanjutnya glukokortikoid menekan sintesis sitokin lebih lanjut.

Selain itu, sel sistem imun tubuh dapat memproduksi neuropeptida termasuk

endorfin, asetilkolin dan neurotransmiter lainnya.

Jalur anti inflamasi kolinergik merupakan mekanisme dasar yang

meregulasi inflamasi. Mekanisme saraf yang menghambat aktivasi makrofag

melalui arus keluar/outflow parasimpatis disebut jalur anti inflamasi kolinergik.

Asetilkolin (Ach) adalah neurotransmitter parasimpatik utama. Makrofag yang

terpapar pada asetilkolin dinonaktifkan secara efektif. Jalur anti inflamasi

kolinergik dapat menghambat inflamasi lokal secara spesifik.

Aktivitas saraf eferen pada nervus vagus berhubungan dengan pengeluaran

asetilkolin dalam sistem organ retikuloendotelial, yaitu hati, jantung, lien dan

traktus gastrointestinal. Asetilkolin berinteraksi dengan α-bungarotoksin-sensitive

54

nicotinic receptors (ACh receptor) pada jaringan makrofag yang menghambat

pengeluaran TNF, IL-1, high mobility group box 1 (HMGB1) dan sitokin lain.

2.15 Granul Protein dalam Netrofil sebagai Modulator Respon Imun.

Sel polimorfonuklear (PMN) merupakan tipe utama dari sel leukosit di

dalam darah tepi, sekitar 40-70% leukosit terdapat dalam kondisi normal. PMN

mempunyai peranan penting dalam pertahanan awal host melawan masuknya

mikroorganisme. Perekrutan sel PMN dari aliran darah ke tempat infeksi

melibatkan mediator mediator inflamasi, ikatan adhesi molekul pada endotel

pembuluh darah dan migrasinya melewati pertahanan endotel (Soehnlein, 2008).

Ketika sel PMN mencapai fokus infeksi, sel tersebut teraktivasi penuh dan

dapat melawan infeksi melalui perantara sekresi oksigen reaktif, peptida

antimikroba dan enzim degradatif (Soehnlein, 2008).

Netrofil merupakan keluarga granulosit dari leukosit termasuk juga

eosinofil dan basofil. Diberikan terminologi granulosit karena adanya sekelompok

kecil preformed protein yang menghiasi sitoplasma (granula) yang dapat

membantu dalam mendefinisikan morfologinya secara histologi. Beberapa tipe

granula yang berperan dalam netrofil adalah: granula sekretorik, granula primer,

granula sekunder dan granula tertier (Fox dkk., 2010).

Granula protein dari PMN merupakan kunci respon imun yang diinisiasi

oleh PMN (Chertov dkk., 1997). Subset PMN diklasifikasikan menjadi granula

primer, sekunder dan tersier sesuai dengan vesikel sekretorik. Hubungan di antara

kelompok granula dapat digunakan sebagai analisis marker protein (Sohnlein,

55

2008). Sekitar 300 protein yang berbeda tersimpan di dalam granula PMN

(Lominadze dkk., 2005), yang akan dikeluarkan ke sekitarnya, bekerjasama

dengan membran sel atau masih melekat pada membran sel selama mobilisasi

granula. Selama perjalanannya dari aliran darah ke lokasi inflamasi, PMN

mengeluarkan granulanya sesuai dengan hirarkinya. Hal ini dapat dilihat pada

gambar 2.5 (Soehnlein, 2008).

Ciri khas dari vesikel sekretorik adalah pengeluaran granulanya yang

sangat cepat jika terjadi kontak antara PMN dan sel endotel. Granula tersier

dimobilisasi jika PMN bertransmigrasi dan granula sekunder dan primer bebas

keluar pada tempat atau lokasi inflamasi. Protein di dalam granula merupakan

suatu yang bebas jika diperlukan PMN untuk membunuh organisme. Selanjutnya

protein-protein ini mengendap/terdeposit di dalam ruang ekstravaskuler dan

secara fungsional berperan sebagai sel inflamasi.

Gambar 2.4 Hirarki organisasi granul PMN yang dikeluarkan (Soehnlein, 2008)

56

Lebih dari 300 protein terkandung dalam granula yang terlibat dalam

proses netrofil meliputi aktivitas adhesi, migrasi dan antibakteri (Fox dkk., 2010).

Netrofil minimal memiliki 4 granula yang berbeda atau tipe vesikel yang berbeda

yaitu:

a. Secretory granule atau vesikel sekretorik merupakan suatu easily mobilizable

compartment, yang mengandung alkalin fosfatase dan protein plasma seperti

albumin serum. Vesikel sekretorik pada dasarnya merupakan vesikel endositik

yang pertama kali dimobilisasi untuk memfasilitasi rekruitmen dan migrasi

netrofil. Vesikel sekretorik mengandung reservoir dari protein membran yang

dimasukkan ke dalam protein membran luar dari netrofil mengikuti

pengeluaran vesikel untuk memulai respon inflamasi. β-integrin, complement

receptors I (CR1), CD14, CD16 dan formyl peptide receptors semuanya

diregulasi pada membran netrofil mengikuti aktivasi vesikel sekretorik.

Konsentrasi HBP yang bermakna dapat ditemukan mengikuti aktivasi vesikel

sekretorik dan diduga bekerja sebagai chemoattractant yang berimplikasi

penting dalam resolusi respon inflamasi (Fox dkk., 2010).

b. Primary atau azurophilic granule yang mengandung myeloperoxidase (MPO),

protein bakterisidal, dan proteinase. Primary atau azurophilic granule

terutama berespon terhadap sebagian besar dari efektor antimikroba, yang

mengandung alpha-defensin dan serine protease, elastase (Sohnlein, 2008;

Fox dkk., 2010).

c. Secondary atau specific granule yang menyimpan lactoferrin dan enzim-

enzim seperti kolagenase dan gelatinase (Sohnlein, 2008).

57

d. Tertiary atau gelatinase granule, menyerupai granula spesifik, yang

mengandung tissue degrading enzymes (Sohnlein, 2008; Fox dkk., 2010).

Keempat tipe granula dimobilisasi pada berbagai tahap proses inflamasi.

Secondary granule dan tertiary granule merupakan granul granul berikutnya yang

dimobilisasi, yang akhirnya diikuti oleh primary granule. Koordinasi dan waktu

dikeluarkannya dari berbagai subset granule yang berbeda memungkinkan respon

yang sesuai pada saat yang tepat dan meminimalkan potensi penghancuran netrofil

(Tapper dkk., 2002). Diantara protein protein yang tersimpan dalam granula

netrofil adalah HBP yang juga disebut azurocidin atau cationic antimicrobial

protein of 37 kDa (CAP37). Protein netrofil yang lain dalam famili ini adalah

capthesin G dan proteinase 3.

2.16 Heparin-Binding Protein (HBP)

Heparin Binding Protein (HBP) pertama kali diidentifikasi oleh Shafer

dkk., pada tahun 1984. HBP pada awal ditemukan sangat menarik karena HBP

memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri gram positif (enterococcus

faecalis), bakteri gram negative (Escherichia coli) dan Candida albicans.

Akhirnya diketahui bahwa HBP memiliki peranan kuat dalam aktivitas

memodulasi respon imun. Kedua aktivitas HBP (antimikroba dan imunomodulasi)

juga dibantu oleh granula protein yang lain seperti α-defensin atau LL-37 yang

secara bersama sama disebut alarmins (Linder dkk., 2012).

2.16.1 Struktur dan fungsi HBP

Berdasarkan berat dan ukuran molekulnya Heparin-Binding Protein (HBP)

disebut juga dengan cationic antimicrobial protein of 37 kDa atau CAP37. Gabay

58

dkk., mengidentifikasi suatu PMN-derived bactericidal protein dari azurophilic

granule PMN manusia yang diberi nama azurocidin. Flodgard dkk., mengisolasi

suatu protein yang sama dari sel PMN manusia dan porcine yang mempunyai

kemampuan berikatan kuat pada heparin dan memberi nama Heparin-Binding

Protein. Sekuensing gen yang lengkap menunjukkan bahwa CAP37, azurocidin

dan HBP merupakan protein yang sama (Soehnlein, 2008).

HBP merupakan glikoprotein yang disintesis oleh netrofil. Secara

struktural HBP termasuk superfamili serine protease, walaupun sebanyak 45%

sekuen HBP identik dengan human neutrophil elastase, namun HBP merupakan

homolog inactive serine-protease yang memiliki berbagai fungsi (Tapper dkk.,

2002; Watorek, 2003).

Azurocidin atau HBP dihasilkan dari vesikel sekretorik atau granula

primer PMN. HBP disimpan dalam vesikel sekretorik bersama dengan granula

primer. Azurocidin atau HBP merupakan suatu protein yang dapat bergerak

dengan cepat dari leukosit polimorfonuklear (PMN) yang teraktivasi (Tapper dkk.,

2002).

Azurocidin/HBP memiliki aktivitas antimikroba yang sangat luas terutama

melawan bakteri gram negatif. Azurocidin juga dikenal sebagai mediator

inflamasi yang memiliki multifungsi, diantaranya berperan dalam meningkatkan

efek kontraksi pada sel endotel yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, meningkatkan kemampuan ikatan terhadap endotoksin dan

kemampuan menarik monosit ke tempat inflamasi (Watorek, 2003).

59

Pada awalnya HBP teridentifikasi memiliki aktivitas antimikroba, namun

saat ini HBP diduga juga berperan dalam beberapa proses inflamasi. HBP

dikeluarkan dari vesikel sekretorik netrofil yang teraktivasi pada saat kontak

dengan endotel. Ketika dikeluarkan, HBP menginduksi calcium–dependent

rearrangement dari sitosekeleton sel endotel. Hal ini mengakibatkan kontraksi sel

dan meningkatkan permeabilitas endotel. HBP juga diinternalisasi oleh sel endotel

untuk melindungi sel endotel dari apoptosis (Soehnlein, 2008).

HBP juga dihasilkan dari vesikel sekretorik ketika M-protein atau komplek

fibrinogen yang dibentuk oleh M-protein dikeluarkan dari permukaan sel bakteri,

yang berinteraksi dengan β2-integrin pada permukaan sel netrofil (Chertov dkk.,

1997; Lee dkk., 2002; Soehnlein, 2008).

Pada tempat infeksi, HBP juga disekresi oleh granula azurophilic selama

fagositosis. Hal ini menunjukkan aktivitas antimikroba HBP dan

responsibilitasnya terhadap rekrutmen dan aktivivasi monosit dan mediator

inflamasi yang lain. HBP juga diinternalisasi oleh monosit untuk pertahanan

jangka panjang dan meningkatkan produksi sitokin. Selanjutnya, HBP secara

langsung berperan dalam memelihara dan melanjutkan proses inflamasi

(Soehnlein, 2008; Soehnlein dan Lindbom, 2009; Linder dkk., 2010).

HBP berlokasi sangat dekat dengan membran plasma. HBP disimpan

dalam granula azurophilic dan vesikel sekretorik dan terdeteksi dalam jumlah

kecil sampai ke membran plasma. Adanya HBP dalam vesikel sekretorik

tergantung pada tahap diferensiasi sel. HBP lebih banyak terkandung dalam

netrofil matur dibandingkan dengan pada sel promielositik. HBP dapat dengan

60

mudah disintesis atau ditarget menjadi mobilized compartment pada stadium akhir

dari maturasi netrofil (Lindmark dkk., 1999; Tapper dkk., 2002).

Kemampuan netrofil untuk mensekresi HBP dari vesikel sekretorik

menjadi penting dalam fungsi proinflamasi seperti misalnya menimbulkan

perubahan permeabilitas pembuluh darah (Lindmark dkk., 1999; Tapper dkk.,

2002).

Diantara protein protein yang tersimpan dalam granula netrofil, HBP lebih

cendrung berperan dalam penyakit infeksi. Protein netrofil yang lain dalam

kelompok famili ini adalah capthesin G dan proteinase 3 (Tapper dkk., 2002).

Perbedaan HBP dengan proteinase 3 ini adalah HBP tidak memiliki aktivitas

enzimatik karena penggantian 2 asam amino esensial dalam trias katalisis. HBP

merupakan protein yang memiliki multifungsi, walaupun tidak mempunyai

aktivitas enzimatik (Tapper dkk., 2002).

Azurocidin atau HBP dapat berperan sebagai alarm dalam sistem imun

berbagai jalur yang berbeda dan kemudian membantu mediator penting selama

inisiasi respon imun. HBP berperan sebagai kemoatraktan dan aktivator monosit

dan makrofag. Secara fungsional berakibat meningkatkan pengeluaran sitokin dan

fagositosis bakteri, yang mendasari bacterial clearance yang efisien (Soehnlein

dkk., 2009).

Aktivasi leukosit oleh HBP/azurocidin dimediasi melalui β2 integrins dan

azurocidin-induced chemotaxis tergantung pada formyl-peptide receptors.

Sebagai tambahan, azurocidin mengaktivasi sel endotel yang menimbulkan

perembesan plasma (vascular leakage) dan pembentukan edema. Karena alasan

61

ini target pengeluaran azurocidin dan aksinya mungkin mempunyai potensi efek

terapi dalam kondisi inflamasi (Soehnlein dan Lindbom, 2009).

Sebagai rangkuman, beberapa fungsi HBP adalah (Lindmark dkk., 1999;

Watorek, 2003):

1. Memiliki aktivitas antimikroba yang kuat karena sifat kationisitasnya dan

sifat hidrofobisitasnya sehingga disebut sebagai komponen oxygen

independent host defense.

2. Dapat merekrut dan mengaktivasi monosit untuk memobilisasi sel T.

3. Menginduksi detachment dan agregasi homotipik dari sel endotel dan

fibroblast.

4. Endositosis HBP oleh monosit memacu produksi lipopolysaccharide-

induced tumor necrosis factor-α .

5. Internalisasi HBP mencegah apoptosis sel endotel.

6. HBP berperan dalam mediasi mengubah permeabilitas dinding pembuluh

darah yang dibangkitkan oleh aktivasi chemoattractant-induced PMN.

Beberapa fungsi ini menyiratkan bahwa HBP harus dimobilisasi lebih awal

dibandingkan dengan kandungan granula azurophilic yang lain dan mungkin

sebelum netrofil keluar dari pembuluh darah (Tapper dkk., 2002).

2.16.2 HBP sebagai pencetus peningkatan permeabilitas pembuluh darah

Sel endotel merupakan target pertama polymorphonuclear leucocyte-

derived HBP yang dilepaskan dari vesikel sekretori. Beberapa interaksi

menimbulkan aktivasi endotel dan sintesis de novo subsekuen dari cell adhesion

molekul (CAM) yang akhirnya meningkatkan penangkapan sel inflamasi.

62

Gangguan pada fungsi barier endotel menimbulkan perembesan plasma dan

pembentukan edema yang merupakan gambaran khas reaksi inflamasi (Linder,

dkk.,2009; 2012).

Studi sebelumnya menunjukkan bahwa emigrasi netrofil bersamaan

dengan efflux plasma dari dalam pembuluh darah dan sel netrofil ini berperan

sebagai pencetus perubahan permeabilitas sel pembuluh darah. Adesi netrofil dan

aktivasi melalui β2-integrin sangat penting pada netrofil dalam membangkitkan

peningkatan permeabilitas. Adesi netrofil pada sel endotel segera menginduksi

mobilisasi Ca2+ intraseluler dalam kedua tipe sel tersebut, yang memerintah granul

eksositosis dalam netrofil dan mengatur kembali sitoskeleton sel sel endotel. Blok

terhadap fungsi β2-integrin secara lengkap dapat membatalkan respon ini (Gautam

dkk., 2001; Sohnlein dan Lindbom, 2009).

Beberapa granul protein yang dikeluarkan diduga penting terlibat dalam

perubahan permeabilitas yang dimediasi neutrofil. Beberapa protein yang

merupakan anggota serprocidin, famili cathepsin G, elastase, proteinase-3 dan

inactive serine protease HBP. HBP memprovokasi dengan cepat peningkatan Ca2+

bebas sitosolik dalam sel endotel yang berdekatan, formasi actin stress fibers dan

peningkatan permeabilitas paraseluler. Respon stimulasi HBP identik dengan

yang dicapai oleh stimulasi kemoatraktan oleh netrofil dan imuno-netralisasi HBP

dalam neutrophil-derived secretion yang secara lengkap menghambat aktivitas

tersebut. Hal ini memperkuat peranan penting HBP dalam neutrophil-evoked

alteration dalam permeabilitas pembuluh darah. Walaupun demikian mekanisme

pasti aktivitas jalur sinyal HBP dalam sel endotel dan reorganisasi stimulasi

63

sitoskeletal dan kompleks junction masih sukar dipahami. Gambar 2.5. adalah

skema efek HBP pada infeksi bakteri (Linder dkk.,2010).

Gambar 2.5. Skema tentang efek HBP pada infeksi bakteri (Linder dkk., 2010).

2.16.3 Peran HBP dalam infeksi bakteri sistemik (sepsis)

Sepsis merupakan infeksi sistemik yang berat. Patofisiologi sepsis

merupakan suatu dinamika sindrom yang kompleks akibat ketidakseimbangan

antara mekanisme proinflamasi dan anti-inflamasi. Invasi mikroorganisme atau

kerusakan komponen jaringan dapat menstimulasi sel sel imun, yang

menimbulkan pelepasan sitokin proinflamasi, rective oxygen species (ROS) dan

enzim enzim. Sepsis didiagnosis berdasarkan tanda-tanda/gejala klinis dan tanda

laboratorium yang menunjukkan adanya inflamasi sistemik. Beberapa marker

64

yang diyakini sebagai biomarker awal sepsis adalah procalcitonin, interleukin-6,

laktat dan C-reactive protein (CRP). Walaupun demikian keakuratan diagnosis

maupun prognostik dari marker marker tersebut masih tidak konsisten dan

hasilnya bervariasi tergantung pada beratnya penyakit (Linder dkk., 2009; 2012).

Heparin binding protein (HBP) memiliki aktivitas imunomodulasi yang

kuat. Aktivitas antimikroba maupun aktivitas imunomodulasi HBP juga dimiliki

oleh protein netrofil granul yang lain diantaranya α-defensin atau LL-37 yang

secara bersama sama disebut dengan nama alarmins. HBP menunjukkan

mekanisme kerja yang unik diantara protein protein yang lain. Berbeda dengan

defensin atau LL-37 yang hanya keluar melalui eksositosis mengikuti aktivasi

netrofil, maka HBP dikeluarkan hampir secara lengkap ke lingkungan

ekstraseluler. HBP disimpan dalam 2 subset granul yang berbeda yaitu dalam

azurophilic/granul primer dan vesikel sekretorik. Hal ini membedakan HBP dari

granul protein yang lain. Granul protein HBP disintesis dalam netrofil. HBP

menginduksi rearrangement sel endotel sitoskeleton pada saat dikeluarkan dari

netrofil yang teraktivasi sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas sel

endotelium. Pada tempat infeksi HBP berespon terhadap rekruitmen dan aktivasi

monosit dan mediator inflamasi lainnya. HBP juga diinternalisasi oleh monosit

sehingga bertahan lama dan memicu produksi sitokin. HBP selanjutnya berperan

dalam memelihara dan mengembangkan inflamasi (Lee dkk., 2002; Sohnlein,

2008; Linder dkk., 2012).

Pada penderita febris dengan suspek sepsis, HBP telah terbukti merupakan

prediktor terbaik dari sepsis yang berat dengan kurve ROC (Receiver-Operating

65

Characteristic) menunjukkan AUC (Area Under Curve) 0,95 yang lebih baik

dibandingkan dengan procalcitonin, IL-6 dan laktat (Linder dkk., 2009; 2012).

Telah dibuktikan bahwa pengukuran HBP dapat digunakan untuk

mengidentifikasi pasien yang berisiko berkembang menjadi sepsis dengan

kegagalan sirkulasi. HBP menunjukkan sensitivitas 87,1% dalam mendiagnosis

sepsis berat dengan atau tanpa syok dan memiliki spesifisitas 95,1%, Positive

Predictive Value (PPV) 88,4% dan Negative Predictive Value (NPV) 94,5%

dimana nilai nilai tersebut melebihi dari nilai untuk marker marker lain yang telah

diuji. Kurve receiver-operating characteristic (ROC) juga menunjukkan bahwa

HBP merupakan prediktor terbaik dari sepsis berat dengan nilai area under curve

(AUC) 0,949 (IK 0,917; 0,982) (Linder, 2012).

HBP merupakan induser kuat terjadinya perembesan plasma, yang

merupakan tanda khas pada sepsis yang berat mengakibatkan ekstravasasi cairan

plasma dan hipotensi. Median kadar HBP plasma lebih tinggi pada pasien yang

mengalami atau berkembang menjadi sepsis berat daripada pasien sepsis, infeksi

ringan atau SIRS tanpa infeksi. Hubungan yang kuat antara konsentrasi HBP yang

tinggi dan berkembangnya sepsis dengan kegagalan sirkulasi mendukung peranan

HBP sebagai mediator perembesan (leakage) kapiler pada infeksi. Untuk

perkiraan kadar HBP sebagai marker sepsis, pada studi sebelumnya dibandingkan

dengan biomarker lain seperti prokalsitonin, interleukin-6, CRP dan laktat. Semua

marker lain menunjukkan pola yang hampir sama dengan kadar yang lebih tinggi

pada pasien dengan sepsis yang berat. Kadar plasma HBP tampaknya menjadi

parameter paling kuat untuk membedakan pasien dengan sepsis berat dengan

66

kegagalan sirkulasi dibandingkan dengan infeksi yang kurang berat. Pada batas

kadar 15 ng/ml, sensitivitas HBP dalam mendiagnosis sepsis berat 87% dan

spesifisitasnya 95%. Kadar HBP pada pasien dengan sepsis berat meningkat

sebelum hipotensi yang bermakna terdeteksi. Pada pasien pasien tersebut kadar

plasma HBP meningkat 12 jam sebelum onset hipotensi. Jadi HBP merupakan

neutrophil-derived protein yang bekerja sebagai amplifier/penguat respon

inflamasi dan menginduksi kebocoran (leakage) kapiler. Selama sepsis terdapat

peningkatan kadar HBP dalam plasma, dan kadarnya berkorelasi dengan

terjadinya hipotensi dan kegagalan sirkulasi (Linder dkk., 2012).

2.16.4 Ekspresi HBP pada berbagai penyakit infeksi bakteri

HBP juga meningkat pada kulit selama terjadi infeksi jaringan lunak dan

mungkin berkontribusi terhadap berkembangnya komplikasi seperti edema. Telah

ditunjukkan juga bahwa M1/kompleks fibrinogen mengaktivasi netrofil untuk

degranulasi dan keluarnya HBP. Pada studi lain, biopsi jaringan dari penderita

dengan necrotizing fasciitis atau selulitis berat yang disebabkan oleh S. pyogenes

menunjukkan bahwa rekruitmen netrofil dan monosit/makrofag pada fokus lokasi

infeksi disertai keluarnya HBP. Studi ini mendukung bahwa vasoaktif HBP

memainkan peranan penting dalam terbentuknya edema pada infeksi kulit oleh

streptokokus (Linder dkk., 2010a).

HBP ditemukan lebih tinggi pada luka ulkus kronis dibandingkan dengan

luka ulkus yang akut. Pada kultur supernatan luka ditemukan kuman Proteus

mirabilis, E. faecalis dan Pseudomonas aeruginosa yang menginduksi

pengeluaran HBP yang bermakna dari total HBP dalam netrofil. HBP tidak

67

didegradasi oleh elastase P. aeruginosa. Elastase merupakan metalloproteinase

yang kuat yang mendegradasi peptida antimikroba seperti LL-37. Hasil temuan

ini menunjukkan bahwa HBP stabil dalam lingkungan proteolitik dan efek HBP

terhadap permeabilitas endotel dan rekruitmen netrofil mungkin mewakili tahap

patogenik awal dalam berkembangnya ulkus pada kulit (Lundqvist dkk., 2004).

Kadar plasma HBP berkorelasi dengan berkembangnya ARDS (acute

respiratory distress syndrome) pada pasien trauma dibandingkan dengan pasien

yang tidak mengalami ARDS. HBP berpotensi sebagai biomarker untuk

mendeteksi berkembangnya ARDS setelah trauma (Johansson dkk., 2013).

Penelitian mengenai kadar HBP dalam urin pada penderita infeksi saluran

kencing juga menunjukkan bahwa kadar Urine-HBP diatas 32 ng/ml memiliki

sensitivitas 93,3% dan spesifisitas 90,3% dalam mendeteksi infeksi saluran

kencing. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa analisis U-HBP dapat

membantu dalam tatalaksana infeksi saluran kencing (Kjolvmark dkk., 2012).

2.16.5 Ekspresi HBP pada meningitis bakterialis

Gambaran klinis pasien meningitis bakterialis dan infeksi SSP oleh virus

dapat sangat mirip dan terkadang hasil analisis CSS tidak dapat digunakan untuk

mengambil kesimpulan diagnosis yang pasti. Penelitian pertama yang mencari

adanya neutrophil-derived HBP dalam CSS menunjukkan bahwa HBP dapat

membedakan antara infeksi bakteri dan virus pada SSP. Secara konvensional,

adanya pleositosis dalam CSS dapat digunakan sebagai dasar yang bermanfaat

dalam membedakan antara penyebab bakteri dan virus, dimana pleositosis ringan

atau limfositosis mengindikasikan penyebab non bakterial. Walaupun demikian

68

terdapat juga kasus infeksi meningitis bakterialis yang pada pemeriksaan analisis

CSS tidak ditemukan adanya pleositosis. Sensitivitas CSS dengan pleositosis >

1000 x106 sel/L hanya 61% dan spesifisitasnya hanya 68% sebagai marker infeksi

CSS pada pasien paska bedah saraf (Ross dkk., 1998). Sebesar 61% pasien dengan

meningitis bakterialis akut dan 3% pasien dengan infeksi virus pada SSP

menunjukkan pleositosis CSS> 1000 x 106 sel/L. Predominan neftrofil ditemukan

pada 73% pasien dengan meningitis bakterialis akut dan 7% pasien dengan infeksi

virus pada SSP (Linder dkk., 2011).

Pada pasien yang secara klinis suspek meningitis bakterialis, seringkali

antibiotika diberikan sebelum dilakukan punksi lumbal. Hal ini menurunkan

diagnosis secara mikrobiologi dan memperpanjang terapi antibiotika pada

beberapa kasus. Sekitar 63% pasien telah mendapat terapi antibiotika 48 jam

sebelum dilakukan punksi lumbal. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil 24 dari

26 pasien yang telah mendapat antibiotika masih menunjukkan peningkatan kadar

HBP. Standar baku emas diagnosis meningitis bakterialis adalah kultur CSS yang

positif dan risiko kesalahan diagnosis sangat besar apabila hasil kultur negatif.

Ditemukan fakta semua pasien meningitis bakterialis yang hasil kulturnya positif

menunjukkan hasil kadar HBP >20 ng/ml. Hal inilah yang mendukung dugaan

bahwa HBP berpotensi sebagai biomarker untuk mendukung diagnosis meningitis

bakterialis terutama bila hasil kultur menunjukkan hasil negatif (Linder dkk.,

2011).

HBP menginduksi kebocoran plasma dan pembentukan edema. Edema

pada otak merupakan suatu kondisi yang serius dan seringkali dapat menimbulkan

69

komplikasi yang bersifat fatal pada meningitis bakterialis. Semua pasien

meningitis bakterialis yang meninggal memiliki kadar HBP sangat tinggi (diatas

385 ng/mL). Sesuai dengan efek HBP pada sel endotel yang mengakibatkan

kebocoran plasma, maka hal ini mengindikasikan bahwa HBP memegang peranan

dalam berkembangnya edema serebri pada meningitis bakterialis (Linder dkk.,

2011).

Masalah pada penelitian tersebut adalah pada metodologinya, mereka

menggunakan 2 kelompok sampel yang berbeda, dimana sebagian kelompok

sampel merupakan data prospektif dan sebagian kelompok merupakan data

retrospektif yang diambil 10 tahun sebelumnya. Mereka juga menggunakan HBP

untuk mendiagnosis meningitis bakterialis pada pasien yang tidak dapat

didiagnosis dengan pasti. Sensitivitas dan spesifisitas kadar HBP dalam CSS

dibandingkan dengan jumlah sel polimorfonuklear dan hitung leukosit dalam CSS

yang secara statistik identik (Koenig, 2011).

2.16.6 Pengukuran kadar HBP

Terdapat beberapa Assay Kit untuk pemeriksaan human Heparin Binding

Protein yang telah ada, diantaranya: Human Heparin Binding Protein (HBP)

ELISA kit dari My.Biosource.com; Heparin Binding Protein (AZU/HBP)

BioAssay ELISA Kit (human); Axis-Shield Heparin Binding Protein (HBP) ELISA

kit. Cusabio -Human Azurocidin/Heparin Binding Protein (AZU/HBP) ELISA Kit.

Kit Elisa untuk HBP yang dapat diperoleh di Indonesia adalah Heparin

Binding Protein (AZU/HBP) BioAssay ELISA Kit (human), merupakan teknik

Sandwich Enzyme Immunoassays kuantitatif. BioAssay-ELISA Kit merupakan 1,5

70

jam solid-phase Sandwich ELISA yang dirancang untuk menentukan HBP/AZU

secara kuantitatif dengan metode deteksi colorimetric.

2.17 Protein S100B

Protein S100 adalah salah satu calcium binding peptide yang digunakan

sebagai parameter aktivasi glia dan atau kematian pada sebagian besar gangguan

susunan saraf pusat (SSP). Marker otak ini memainkan peranan penting pada

perkembangan SSP secara fisiologis dan pemulihan otak setelah mengalami

cedera (Yardan dkk., 2011).

Protein S100B terutama diekspresikan oleh sel sel pada sistem saraf pusat

terutama astroglia dan sel neuron. Protein S100B terutama ditemukan pada

astroglia dan sel Schwann, namun juga dapat dihasilkan dari sumber-sumber

ekstra serebral. S100B memiliki peran parakrin dan autokrin terhadap neuron dan

glia. Sebagai salah satu marker neurokimia otak, S100B juga dapat digunakan

sebagai marker adanya kerusakan pada proses kegagalan sirkulasi, stroke, dan

cedera kepala (Bouvier dkk., 2011;Yardan dkk., 2011).

Protein S100B sering digunakan sebagai parameter dari aktivasi sel glia

dan atau parameter kematian sel dari beberapa kelainan SSP. Protein S100B

memiliki peran penting dalam perkembangan normal SSP dan pemulihan setelah

cedera. Protein S100B juga diduga memiliki hubungan dengan adanya kerusakan

neuronal dan stress oksidatif yang dihubungkan dengan ensefalopati sepsis atau

meningitis bakterialis pada anak-anak. Peningkatan kadar S100B berhubungan

71

dengan cedera patologis atau tingkat keparahan klinis pada berbagai kelainan SSP

(Hamed dkk., 2009; Yardan dkk., 2011).

Protein S100B dapat ditemukan dalam darah tepi, urin, tali pusat, cairan

serebrospinal (CSS), cairan amnion dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi

ditemukan pada air susu. Konsentrasi S100B dalam serum lebih rendah

dibandingkan dengan dalam cairan serebrospinal (Yardan dkk., 2011).

2.17.1 Struktur famili protein S100B

Konsep brain-specific proteins pertama kali disebutkan oleh Moore, pada

tahun 1965. Ditemukan 3 jenis asam protein dengan berat molekul rendah, dengan

konsentrasi yang tinggi pada fraksi otak. Tetapi konsentrasinya rendah pada fraksi

hepar. Ketiga protein tersebut diberi nama: protein 14-3-2, protein 14-3-3 dan

protein S100. Diberi nama S100 karena protein tersebut larut 100% dalam

ammonium sulphate pada pH netral. Banyak protein yang disebut “brain-specific

protein” yang sesungguhnya tidak spesifik terhadap otak tetapi konsentrasinya

pada otak jauh lebih tinggi daripada jaringan lain, sehingga dapat digunakan

sebagai marker kerusakan otak (Sen dan Belli, 2007).

Sejak pertama ditemukan S100 disebut sebagai brain-specific proteins

secara berlebihan. Saat ini diketahui bahwa S100 merupakan superfamili dari low

molecular weight acidic calcium binding proteins. Pada awalnya protein ini

dianggap spesifik terhadap otak, namun penelitian selanjutnya menunjukkan

bahwa protein S100 ditemukan pada jaringan lain tetapi dalam konsentrasi yang

sangat rendah dibandingkan yang ditemukan dalam SSP (Sen dan Belli, 2007).

72

S100 merupakan protein unik yang berukuran 10-12 kDa berlokasi di

dalam kromosom 1q21. Protein S100 terdiri atas 2 kelompok protein yang mirip

dan berhubungan yaitu S100B dan S100A1. Berdasarkan analisis sekuen, protein

S100B dan S100A1 merupakan calcium-binding protein dari EF hand type (EF

hand merupakan rantai asam amino yang terlibat dalam ikatan), secara struktural

sangat berhubungan dengan EF hand calcium binding protein seperti troponin C,

calmodulin dan parvalbumin (Yardan dkk., 2011; Park dkk., 2013).

Protein S100 merupakan famili multigenik dari protein berukuran kecil,

khas ditandai oleh 2 ikatan kalsium dengan bentuk helix E-loop-helix F (“EF-hand

type”). Sampai saat ini telah ditemukan 25 anggota protein S100 yang hanya

diekspresikan dalam vertebrata. Protein S100 terdiri atas anggota sebagai berikut

(Steiner dkk., 2011):

a. Sebanyak 21 anggota yang ditemukan pada vertebrata yang

mempunyai kluster gen pada lokus kromosom 1q21 yaitu S100A1-

S100A18, trichohyalin, filaggrin dan repetin.

b. Anggota yang lain ditemukan pada manusia pada lokus kromosom

4p16 (S100P), 5q14 (S100Z), 21q22 (S100B) dan Xp22 (S100G).

Bagian utama dari anggota famili S100 adalah Ca2+ sensor proteins, yang salah

satunya diaktivasi oleh second messenger Ca2+, berinteraksi dengan target

protein intraseluler, selanjutnya mengatur aktivitasnya. Calcium merupakan

universal second messenger yang berperan dalam proses pengaturan konduksi dan

transmisi impuls saraf, kontraksi otot, motilitas sel, pertumbuhan dan diferensiasi

sel, ekspesi gen, komunikasi antara berbagai sistem enzim, apoptosis dan nekrosis.

73

Sel memiliki sekelompok protein intraseluler yang berikatan dengan kalsium yang

bekerja mengatur kadar kalsium sitosolik atau tranduksi sinyal kalsium

intraseluler.

Ekspresi protein S100 tampaknya konsisten antar ras, tidak berbeda antara

laki dan perempuan, tidak menunjukkan variasi sirkadian serta tidak tergantung

pada usia stabil dalam serum sampai minimal 7 bulan dan berbagai perannya

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu aktivitas intraseluler dan ekstraseluler (Sen dan

Belli, 2007; Steiner dkk., 2011).

Protein S100B merupakan bagian dari suatu superfamili protein yang

memiliki efek sebagai calcium dependent-regulatory proteins yang memodulasi

aktivitas efektor protein atau sel (Sen dan Belli, 2007). Tidak seperti famili S100

yang lain, S100B terletak pada kromosom yang berbeda yaitu 21q22. Struktur

S100B homodimer dan tiap beta monomer memiliki berat 10,5 kDa stabil dalam

serum sampai minimal 7 bulan dan berbagai perannya dibagi menjadi 2 kelompok

yaitu aktivitas intraseluler dan ekstraseluler (Heizmann, 2004; Park dkk., 2013).

Protein S100B dihasilkan dalam SSP, terutama di dalam astroglia,

oligodendrosit dan sel Schwann yaitu pada sitosol yang melekat pada membran

sel. Sintesa dan sekresi terutama oleh astrosit pada otak (Yardan dkk., 2011; Kepa

dan Grzesik, 2013).

Beberapa sel di luar otak juga dapat menghasilkan protein ini, seperti sel

epitel ginjal, ependimosit, kondrosit, adiposit, limfosit, sumsum tulang dan

melanosit. Eliminasi S100B terutama terjadi melalui ginjal (Sun dkk., 2013).

2.17.2 Fungsi dan peranan protein S100B

74

Famili protein S100 terdiri atas 24 anggota yang secara fungsional dibagi

menjadi 3 subkelompok utama yaitu:

a. Hanya berperan dalam regulasi intraseluler.

b. Berperan dalam regulasi intraseluler dan ekstraseluler.

c. Berperan terutama dalam regulasi ekstraseluler.

Protein S100 di dalam sel terlibat dalam regulasi proliferasi, diferensiasi dan

apoptosis, Ca2+ homeostasis, metabolisme energi, inflamasi dan migrasi/invasi

melalui interaksi dengan berbagai target protein seperti enzim, subunit

sitoskeletal, reseptor, faktor transkripsi, dan asam nukleat. Beberapa protein S100

disekresi/dikeluarkan dan mengatur fungsi sel dalam suatu autokrin dan parakrin

melalui aktivasi surface receptors, G-protein couple receptors, scavenger

receptor, atau heparan sulfat proteoglicans dan N-glycan.

a. Fungsi intraseluler

Efek dari protein S100B tergantung dari konsentrasinya baik di dalam

maupun di luar sel. Pada konsentrasi nanomolar, S100B in vitro menstimulasi

pertumbuhan neurit pada neuron korteks serebri dan meningkatkan daya tahan

neuron dalam berbagai sistem selama tahap perkembangan. S100B secara in vitro

memiliki aktivitas neurotropik untuk sel saraf selama proses maturasi neuronal

dan proliferasi sel glia. S100B mengurangi kematian sel dan kehilangan fungsi

mitokondria dari kekurangan glukosa. S100B juga diduga memiliki peran dalam

perkembangan SSP dan pemulihan pasca cedera dengan efek neurotropik dan

gliotropik yang dimilikinya (Yardan dkk., 2011).

75

Protein S100B intraseluler berfungsi sebagai stimulasi proliferasi sel,

migrasi dan inhibitor apoptosis dan diferensiasi, yang memiliki peranan penting

dalam perkembangan dan perbaikan sel otak yang cedera, kartilago dan otot lurik,

aktivasi astrosit pada cedera otak dan proses neurodegenerasi dan remodeling

kardiomiosit setelah infark.

Protein S100B terekspresi dalam astrosit, sekelompok sel neuronal

tertentu, sel Schwann, melanosit, kondrosit, adiposit, myofiber otot skeletal dan

sel satelit yang berhubungan, sel dendritik tertentu dan limfosit dan beberapa tipe

sel lain. Aktivitasnya sebagai stimulator proliferasi sel dan migrasi sel dan

inhibitor apoptosis dan diferensiasi, yang menimbulkan implikasi penting selama

perkembangan dan regenerasi otak, kartilago, otot skeletal, aktivasi astrosit pada

kerusakan tertentu pada otak, proses neurodegeneratif dan remodeling

kardiomiosit setelah infark, demikian juga melanomagenesis, dan gliomagenesis

(Donato dkk., 2013).

Protein S100B memiliki beberapa peran penting dalam sistem saraf, salah

satunya adalah memodulasi proliferasi dan diferensiasi sel neuron dan glia.

Protein ini juga berperan dalam transduksi sinyal melalui proses inhibisi

fosforilasi protein dan juga regulasi aktivitas enzim dan homeostasis kalsium.

S100B juga berperan dalam regulasi morfologi sel dengan berinteraksi dengan

sitoskeleton sitoplasma (Aleksovska dkk., 2014).

b. Fungsi ekstraseluler

S100B diekskresikan oleh sel sel ekstraseluler terutama melalui aktivitas

cytokine-like dengan efek parakrin pada neuron. Informasi mengenai implikasi

76

fungsional sekresi S100B oleh astrosit ke dalam ruang ekstraseluler masih belum

jelas, tetapi terdapat bukti mendasar bahwa sekresi S100B oleh sel glia

mengekspresikan efek toksik atau tropik tergantung pada konsentrasinya.

Implikasi protein S100B yang luas ini menimbulkan para peneliti

menggambarkannya sebagai CRP dari otak (Sen dan Belli, 2007).

Konsentrasi S100B ekstraseluler dapat berefek tropik pada sel, tetapi

dalam konsentrasi patologis menyebabkan aktivasi glia dan apoptosis. Secara in

vitro, S100B ekstraseluler menstimulasi ekspresi sitokin proinflamasi dan

menghasilkan efek neurotoksik yang menginduksi apoptosis. Pada konsentrasi

mikromolar, S100B memiliki efek yang merugikan. Penelitian terkini

menunjukkan bahwa S100B pada konsentrasi mikromolar dapat menyebabkan

apoptosis dengan cara berinteraksi dengan Receptor for Advance Glycation End

Products (RAGE), yang dapat menyebabkan peningkatan Reactive Oxygen

Species (ROS), pelepasan sitokrom C dan aktivasi kaskade caspase (Donato,

2009; Yardan dkk., 2011).

S100B diduga dapat berkontribusi terhadap perubahan patologik dalam

proses neurodegenerasi maupun penyakit inflamasi otak dengan aktivasi

mikroglia. Saat terjadi cedera metabolik, misalnya keterbatasan oksigen dan

glukosa, proses yang paling dini terjadi sebelum adanya respon glia adalah

pelepasan S100B (Sen dan Belli, 2007; Yardan dkk., 2011).

Konsentrasi S100B yang tinggi akan menyebabkan kerusakan neuronal

melalui pelepasan nitrit oksida (NO) oleh astrosit. Waktu paruh biologis S100B

adalah sekitar 30 menit. Hal ini memungkinkan terjadinya kenaikan persisten

77

konsentrasi S100B dalam serum yang merefleksikan pelepasan S100B secara

kontinyu dari jaringan yang mengalami cedera tersebut (Yardan dkk., 2011).

Protein S100B sebagian besar diekspresi oleh astrosit, namun tidak semua

astrosit dapat mengekspresikan protein S100B ini. Protein S100B hanya

diekspresikan oleh subtipe astrosit yang matur yang melapisi pembuluh darah dan

memiliki sel ekspresi NG-2. Penelitian terkini menunjukkan informasi yang lebih

lengkap mengenai mekanisme S100B sebagai regulator intrasel dan sinyal

ekstrasel.

Fungsi S100B ekstraselular terlibat dalam mekanisme receptor for

advanced glycation end products (RAGE) dalam berbagai tipe sel yang berbeda,

baik yang memberikan efek yang menguntungkan atau merugikan, pro-proliferasi

atau pro-diferensiasi tergantung dari konsetrasi S100B yang dibentuk oleh tipe sel

dan lingkungan mikro (Donato dkk., 2009; Sun dkk., 2013).

Waktu paruh biologis dari S100B adalah 30 menit. Hal ini menunjukkan

bahwa peningkatan persisten dari kadar protein ini mencerminkan pengeluaran

yang terus menerus dari jaringan yang berkaitan. S100B dapat ditemukan di darah,

plasenta, urin, LCS, cairan amnion. Kadar S100B di serum lebih rendah daripada

di LCS (Yardan dkk., 2011).

S100B disekresi secara teratur oleh astrosit dan sekresinya diatur oleh

beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi faktor yang dapat

meningkatkan sekresi dari protein S100B dan faktor yang dapat menurunkan

sekresi S100B. Sel yang rusak atau nekrosis juga dapat melepaskan protein ini.

Keberadaan protein ini dalam cairan serebrospinal (CSS), serum dan cairan

78

amnion diatas ambang rata-rata dapat digunakan dalam kepentingan diagnostik

dan prognostik (Sorci dkk., 2010).

Gambar 2.6. menunjukkan skema representasi efek ekstraseluler protein

S100B pada neuron microglia, astrosit, myoblast, VSCM, kardiomyosit, dan saraf

perifer. (A) pada kondisi normal, secara fisiologis S100B yang disekresi oleh

astrosit menunjukkan efek tropik pada neuron dan memodulasi akivitas microglia

bersama dengan RAGE. (B) Jika S100B berada di ekstraseluler (di luar sel otak)

dalam konsentrasi tinggi, S100B mengaktivasi microglia dan astrosit sehingga

ikut berpartisipasi dalam respon inflamasi dan bersifat toksik terhadap neuron

dengan menstimulasi RAGE secara berlebihan. (C). Pada injuri saraf perifer akut,

S100B keluar daru sel Schwann, membantu makrofag dan sel Schwann bermigrasi

dan mengeluarkan trophic factor melalui RAGE. Dengan demikian berpartisipasi

dalam regenarasi saraf perifer.(D) Dalam konsentrasi sub-nanomolar sampai

nanomolar, S100B menstimulasi proliferasi myoblast dan menginhibisi

diferensiasi myoblast dengan cara meningkatkan sinyal bFGF/FGFR1. (E) Pada

dosis tinggi S100B menstimulasi proliferasi VSCM dan sekresi IL-6 dan MCP-1

dari VSCM melalui aktivitas RAGE sehingga potensial berpartisipasi dalam

atherogenesis. (F) Pada dosis tinggi S100B menyebabkan apoptosis kardiomiosit

melalui aktivitas RAGE (Donato dkk., 2013).

79

Gambar 2. 6. Skema representasi efek ekstraseluler protein S100B pada neuron microglia dan astrosit (Donato dkk., 2013)

2.17.3 Protein S100B sebagai marker pada penyakit neurologi

Sebagai suatu biomarker, S100B secara primer diproduksi oleh astrositosit

sehingga dapat mempresentasikan aktivasi astrosit. Sel sel penghasil S100B

terbanyak terdapat pada substansia grisea, sedangkan oligodendrogliosit

memproduksi S100B terbanyak di substatia alba (Yardan dkk., 2011)

80

S100B mRNA intraseluler maupun ekstraseluler dan kadar S100B tersebut

digunakan sebagai parameter aktivasi astrosit dan kematian sel pada beberapa

situasi cedera otak. Peningkatan konsentrasi pada serum atau CSS berhubungan

dengan berbagai gangguan SSP (Yardan dkk., 2011).

S100B merupakan biomarker untuk prediksi dini perkembangan tekanan

intrakranial yang meningkat. Sejak diketahui adanya peningkatan S100B dalam

serum dan CSS pasien cedera kepala, penelitian selanjutnya diarahkan pada

berbagai proses patologis intrakranial selain cedera kepala, misalnya pada kasus

kasus stroke iskemik, disfungsi otak karena hipoksia, proses degeneratif maupun

inflamasi (Yardan dkk., 2011).

Sebuah penelitian tentang hubungan protein S100B dan stress oksidatif

pada anak dengan meningitis sudah dilakukan oleh Hamed, dkk. Mekanisme

kerusakan SSP karena meningitis belum diidentifikasi secara jelas. Sepanjang

infeksi bakteri, netrofil dan makrofag bersama-sama bekerja pada daerah infeksi

untuk melawan mikroorganisme. Sel sel sistem imun dari darah dan parenkim otak

melepaskan spesies oksigen reaktif (ROS=reactive oxygen species) sebagai

bagian dari mekanisme pertahanan diri host melawan invasi bakteri. Pada proses

ini, sel sel mengkonsumsi molekul oksigen yang berubah menjadi anion

superoksida toksik, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Dalam kondisi

normal, ROS dieliminasi oleh pertahanan enzim enzim seluler misalnya

superoksida dismutase dan katalase dan non enzimatik misalnya glutation dan

asam urat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan antioksidan. Bila ROS

tidak dapat disingkirkan karena kelelahan kapasitas antioksidan, maka terjadi

81

ketidakseimbangan antara aktivitas oksidan dan antioksidan yang menghasilkan

stress oksidatif dan menyebabkan terjadinya peroksidasi membrane lipid,

kerusakan protein dan DNA. Proses ini memiliki peranan besar dalam berbagai

proses patologis pada meningitis bakterialis (Hamed dkk., 2009).

Protein S100B secara fisiologis diproduksi oleh astrosit dan berpengaruh

pada perkembangan dan pemeliharaan SSP. Walaupun mekanisme sekresi S100B

belum diketahui secara pasti, diperkirakan sekresinya berkaitan dengan stress

oksidatif. Kadar S100B yang tinggi (mikromolar) merupakan hasil kerusakan sel

sel glia atau reaksi astrositik terhadap cedera neuronal (reaktif astrogliosis) yang

selanjutnya meningkatkan kerusakan neuronal. S100B dengan kadar tinggi dapat

mengindikasikan kerusakan atau disfungsi SSP. S100B dalam konsentrasi yang

normal menjaga hipokampus dari toksisitas glutamate, namun pada konsentrasi

yang tinggi justru mengeksaserbasi neuroinflamasi, stress oksidatif dan apoptosis

neuronal. Peningkatan S100B menggambarkan kerusakan glia atau reaksi astrosit

terhadap adanya cedera neuronal. Hubungan antara S100B dengan stress oksidatif

atau mekanisme antioksidan pada pasien dengan meningitis bakterialis belum

banyak diteliti. Penelitian yang telah dilakukan oleh Hamed, dkk. (2009), menilai

kadar S100B pada serum dan CSS dari 40 anak dengan meningitis bakterialis

dibandingkan dengan 20 anak sehat tanpa meningitis. Pada penelitian tersebut

didapatkan bahwa kadar serum S100B pada anak dengan meningitis lebih tinggi

daripada anak sehat tanpa meningitis. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh

asumsi sebagai berikut:

82

a. Terjadi disfungsi sawar darah otak pada pasien dengan meningitis

bakterialis.

b. Stress oksidatif memegang peranan penting pada pathogenesis

meningitis bakterialis.

c. Kerusakan otak yang terjadi pada meningitis ditandai dengan adanya

peningkatan sintesis S100B intratekal.

d. Terdapat hubungan antara kadar mediator stress oksidatif,

antiokasidan dan S100B yang kemungkinan berkorelasi dengan tingkat

keparahan penyakit dan timbulnya komplikasi neurologis.

Pada penelitian yang membandingkan antara meningitis bakterialis dan viral,

menunjukkan bahwa S100B lebih memiliki manfaat pada pasien dengan

meningitis bakterialis (Jung dkk., 2011).

2.17.4 Peran protein S100B pada infeksi SSP

Sebuah penelitian tentang hubungan protein S100B dan stress oksidatif

pada anak dengan meningitis sudah dilakukan oleh Hamed, dkk. Mekanisme

kerusakan SSP karena meningitis belum diidentifikasi secara jelas. Sepanjang

infeksi bakteri, netrofil dan makrofag bersama sama bekerja pada daerah infeksi

untuk melawan mikroorganisme. Sel sel sistem imun dari darah dan parenkim otak

melepaskan spesies oksigen reaktif (ROS=reactive oxygen species) sebagai

bagian dari mekanisme pertahanan diri host melawan invasi bakteri. Pada proses

ini, sel sel mengkonsumsi molekul oksigen yang berubah menjadi anion

superoksida toksik, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Dalam kondisi

normal, ROS dieliminasi oleh pertahanan enzim enzim seluler misalnya

83

superoksida dismutase dan katalase dan non enzimatik misalnya glutation dan

asam urat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan antioksidan. Bila ROS

tidak dapat disingkirkan karena kelelahan kapasitas antioksidan, maka terjadi

ketidakseimbangan antara aktivitas oksidan dan antioksidan yang menghasilkan

stress oksidatif dan menyebabkan terjadinya peroksidasi membrane lipid,

kerusakan protein dan DNA. Proses ini memiliki peranan besar dalam berbagai

proses patologis pada meningitis bakterialis (Hamed dkk., 2009).

Protein S100B secara fisiologis diproduksi oleh astrosit dan berpengaruh

pada perkembangan dan pemeliharaan SSP. Walaupun mekanisme sekresi S100B

belum diketahui secara pasti, diperkirakan sekresinya berkaitan dengan stress

oksidatif. Kadar S100B yang tinggi (mikromolar) merupakan hasil kerusakan sel

sel glia atau reaksi astrositik terhadap cedera neuronal (reaktif astrogliosis) yang

selanjutnya meningkatkan kerusakan neuronal. S100B dengan kadar tinggi dapat

mengindikasikan kerusakan atau disfungsi SSP. S100B dalam konsentrasi yang

normal menjaga hipokampus dari toksisitas glutamate, namun pada konsentrasi

yang tinggi justru mengeksaserbasi neuroinflamasi, stress oksidatif dan apoptosis

neuronal. Peningkatan S100B menggambarkan kerusakan glia atau reaksi astrosit

terhadap adanya cedera neuronal.

Hubungan antara S100B dengan stress oksidatif atau mekanisme

antioksidan pada pasien dengan meningitis bakterialis belum banyak diteliti.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Hamed, menilai kadar S100B pada serum

dan CSS dari 40 anak dengan meningitis bakterialis dibandingkan dengan 20 anak

sehat tanpa meningitis. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa kadar serum

84

S100B pada anak dengan meningitis lebih tinggi daripada anak sehat tanpa

meningitis. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh asumsi sebagai berikut (Hamed

dkk., 2009):

a. Terjadi disfungsi sawar darah otak pada pasien dengan meningitis

bakterialis.

b. Stress oksidatif memegang peranan penting pada pathogenesis

meningitis bakterialis

c. Kerusakan otak yang terjadi pada meningitis ditandai dengan adanya

peningkatan sintesis S100B intratekal.

d. Terdapat hubungan antara kadar mediator stress oksidatif,

antiokasidan dan S100B yang kemungkinan berkorelasi dengan tingkat

keparahan penyakit dan timbulnya komplikasi neurologis.

Pada penelitian yang membandingkan antara meningitis bakterialis dan viral,

menunjukkan bahwa S100B lebih memiliki manfaat pada pasien dengan

meningitis bakterialis (Jung dkk., 2011).

2.17.5 Pengukuran kadar protein S100B

S100B dapat diukur dengan beberapa metode antara lain:

Immunoradiometric Assay (IRMA), Immunoluminometric Assay (LIA), mass

spectroscopy, Western blot, Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA),

electrochemiluminescene dan Polymerase Chain Reaction (PCR) kuantitatif.

Masing masing metode berbeda dalam hal spesifisitas dan sensitivitas, aplikasi

sampel dan biaya.

85

Bouvier dkk. (2011), melaporkan kadar protein S100B serum selama 3

tahun pertama kehidupan. Pada anak usia 0-16 tahun, rerata kadar protein S100B

adalah 0,17 µg/L (SD 0,11; rentang 0,07-0,83) dan tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara lelaki dan perempuan. Rerata kadar S100B pada anak usia di atas

36 bulan 0,11 µg/L dan pada anak usia 0-3 tahun rerata kadar S100B adalah 0,18

µg/L. Terdapat 4 kelompok usia yang memiliki kadar S100B tidak berbeda

bermakna secara statistik. Rerata kadar S100B secara berurutan sebagai berikut:

usia 0-3 bulan 0,38 µg/L; 4-9 bulan 0,23 µg/L; pada usia 10-24 bulan 0,16 µg/L

dan usia 25-36 bulan 0,11 µg/L. Kadar S100B serum ditemukan menurun seiring

dengan meningkatnya usia dengan rasio korelasi r-=-0,60. Kadar S100Bcss juga

ditemukan berkorelasi dengan lingkar kepala (Bouvier dkk., 2011). Pada studi

studi sebelumnya, dilaporkan bahwa kadar protein S100Bcss meningkat seiring

umur pada individu yang sehat dan diduga tergantung juga pada jenis kelamin

karena peningkatannya lebih bermakna pada anak laki dibanding perempuan.

Portela dkk., 2002), melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna

pada kadar S100Bserum pada laki dan perempuan baik pada neonatus cukup bulan

(median 1,79 µg/L); anak usia 4-9 tahun (median 0,31 µg/L); anak usia 10-15

tahun (0,31 µg/L) dan dewasa (median 0,10 µg/L) (Wiesman dkk., 1998)

menunjukkan bahwa kadar S100B dalam plasma pada usia dewasa (18-65 tahun)

tidak tergantung pada jenis kelamin dan usia.

Kepa dan Grzesik (2013), melakukan studi evaluasi terhadap kadar protein

S100Bcss pada pasien dewasa dengan meningitis bakterialis (purulen). Rerata

kadar protein S100B selama 24 jam pertama dirawat pada pasien dengan kondisi

86

klinis sangat berat adalah 1215,63 pg/mL, sedangkan rerata kadarnya pada pasien

dengan kondisi klinis ringan-sedang adalah 419,56 pg/mL. Tidak terdapat korelasi

antara kadar S100B dengan parameter antiinflamasi yang lain. Hal ini

menunjukkan bahwa protein S100Bcss mungkin berguna untuk memperkirakan

beratnya kondisi klinis pasien (Kepa dan Grzesik, 2013).