bab ii tinjauan pustaka a. 1. asuhan keperawatan …
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Asuhan Keperawatan Perioperatif
Keperawatan perioperatif adalah proses keperawatan untuk
mengembangkan rencana asuhan secara individual dan mengoordinasikan
serta memberikan asuhan pada pasien yang mengalami pembedahan atau
prosedur invasif (AORN, 2013). Keperawatan perioperatif adalah istilah
dalam fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan.
Kata perioperatif adalah gabungan dari tiga fase pembedahan: pre operatif,
intra operatif, dan post operatif (HIPKABI, 2014).
2. Tahap –Tahap Keperawatan Perioperatif
a. Fase Preoperatif
Fase preoperatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif
yang dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan
berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan
tindakan operasi atau pembedahan (Brunner & Suddarth, 2010).
Asuhan keperawatan pre operatif dilakukan secara berkesinambungan,
baik asuhan keperawatan pre operatif di bagian rawat inap, poliklinik,
bagian bedah sehari (one day care), atau diunit gawat darurat yang
kemudian dilanjutkan di kamar operasi oleh perawat kamar bedah
(Muttaqin & Sari, 2009). Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
selama waktu tersebut dapat mencakup pengkajian dasar pasien di
tatanan klinik ataupun rumah, wawancara pre operatif dan menyiapkan
pasien untuk anestesi yang diberikan pada saat operasi.
Persiapan operasi dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi
persiapan psikologi baik pasien maupun keluarga dan persiapan
fisiologi (khusus pasien).
6
1) Persiapan psikologi
Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi
emosinya tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan karena takut akan
perasaan sakit, narcosa atau hasilnya dan keadaan sosial ekonomi
dari keluarga. Maka hal ini dapat diatasi dengan memberikan
penyuluhan untuk mengurangi kecemasan pasien. Penyuluhan
tersebut dapat meliputi penjelasan tentang peristiwa operasi,
pemeriksaan sebelum operasi (alasan persiapan), alat khusus yang
diperlukan, pengiriman ke ruang bedah, ruang pemulihan,
kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi, bernafas
dalam dan latihan batuk, latihan kaki, mobilitas, dan membantu
kenyamanan.
2) Persiapan fisiologi, meliputi :
• Diet (puasa)
Pada operasi dengan anastesi umum, 8 jam menjelang operasi
pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi
pasien tidak diperbolehkan minum. Pada operasai dengan
anastesi lokal dan anastesi spinal, pasien diperbolehkan untuk
makan makanan ringan. Tujuannya agar tidak terjadi aspirasi
pada saat pembedahan, mengotori meja operasi, dan
mengganggu jalannya operasi.
• Persiapan perut
Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan pada
bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah periferal.
Tujuannya mencegah cedera kolon, mencegah konstipasi, dan
mencegah infeksi.
• Persiapan kulit
Persiapan kulit yaitu daerah yang akan dioperasi harus bebas
dari rambut.
• Hasil pemeriksaan yaitu hasil laboratorium, foto rontgen, ECG,
USG, dan lain-lain.
7
• Persetujuan operasi/informed consent, yaitu izin tertulis tanda
setuju tindakan operasi dari pasien/keluarga harus tersedia.
b. Fase Intraoperatif
Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke
instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan (Brunner & Suddarth, 2010). Pada fase ini, lingkup aktivitas
keperawatan mencakup pemasangan IV cath, pemberian medikasi
intaravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh
sepanjang prosedur pembedahan, dan menjaga keselamatan pasien.
Contohnya yaitu memberikan dukungan psikologis selama induksi
anestesi, bertindak sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur
posisi pasien di atas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip
dasar kesimetrisan tubuh.
Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi yaitu
pengaturan posisi karena posisi yang diberikan perawat akan
mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis pasien.
Faktor yang harus diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien :
1) Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.
2) Umur dan ukuran tubuh pasien.
3) Tipe anaesthesia yang digunakan.
4) Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan
(arthritis).
Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien : atur posisi pasien
dalam posisi yang nyaman dan sedapat mungkin jaga privasi pasien,
buka area yang akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk.
Anggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya dibagi dalam dua
bagian:
1) Anggota steril, terdiri dari: ahli bedah utama / operator, asisten ahli
bedah, Scrub Nurse / Perawat Instrumen.
8
2) Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari: ahli atau pelaksana
anaesthesi, perawat sirkulasi dan anggota lain (teknisi yang
mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit).
c. Fase Postoperatif
Tahapan keperawatan post operatif meliputi pemindahan pasien dari
kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi (recovery room),
perawatan post anastesi di ruang pemulihan (recovery room), transportasi
pasien keruang rawat, perawatan di ruang rawat (HIPKABI, 2014).
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas
yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi
efek agen anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah
komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak
lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan, rehabilitasi, dan
pemulangan. Fase post operatif meliputi beberapa tahapan:
1) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca
anastesi (recovery room)
Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus diantaranya
adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler, dan pemajanan.
Pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang
menyumbat drain dan selang drainase. Selama perjalanan
transportasi dari kamar operasi ke ruang pemulihan pasien
diselimuti, jaga keamanan dan kenyamanan pasien dengan
diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus
dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury. Proses transportasi
ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat
anastesi dengan koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung
jawab.
2) Perawatan post anastesi di ruang pemulihan atau unit perawatan
pasca anastesi
9
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat
sementara di ruang pulih sadar atau RR (recovery room) atau unit
perawatan pasca anastesi/PACU (Post Anasthesia Care Unit)
sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi,
dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan.
PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi.
Hal ini untuk mempermudah akses bagi pasien, diantaranya yaitu :
• Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat
anastesi).
• Ahli anastesi dan ahli bedah.
• Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
3. Pengkajian Asuhan Keperawatan Perioperatif
a. Fase preoperatif
Pengkajian preoperatif secara meliputi pengkajian umum, riwayat
kesehatan, pengkajian psikososiospiritual, pemeriksaan fisik, dan
pengkajian diagnostik (Mutaqqin, 2009).
1) Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, nomer register, tanggal masuk rumah
sakit, dan diagnosis medis (Padila, 2012).
2) Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien fraktur adalah rasa nyeri akut atau
kronik. Selain itu pasien juga akan kesulitan beraktivitas (Padila,
2012). Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri pasien digunakan :
• Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
10
• Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
• Region : Radiation. Relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
• Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi kemampuan fungsinya.
• Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
4) Riwayat Penyakit Dahulu
5) Riwayat Penyakit Keluarga
6) Pemeriksaan Fisik
• Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, composmentis
tergantung pada keadaan pasien.
• Tanda-tanda vital : kaji dan pantau potensial masalah yang
berkaitan dengan pembedahan : tanda vital, derajat kesadaran,
cairan yang keluar dari luka, suara nafas, pernafasan infeksi
kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
b. Fase intraoperatif
Pengkajian intra operatif secara ringkas untuk mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan pembedahan. Pengkajian menurut Muttaqin
(2009):
1) Data laboratorium dan laporan temuan yang abnormal.
2) Radiologis area fraktur klavikula yang akan dilakukan ORIF.
3) Transfusi darah.
4) Kaji kelengkapan arana pembedahan (benang, cairan intravena, obat
antibiotik profilaksis) sesuai dengan kebijakan institusi.
5) Pastikan bahwa sistem fiksasi internal, instrumentasi, dan peranti
keras (seperti skrup kompresi, metal, dan pen bersonde multipel),
11
dan alat seperti bor dan mata bor telah tersedia dan berfungsi dengan
baik.
c. Fase Pascaoperatif
Pengkajian yang dilakukan saat pascaoperatif meliputi keadaan umum,
tanda-tanda vital, airway, breathing, circulation, kesadaran, brome
score, aldrete score, nyeri, kondisi luka dan drainase, cairan dan
elektrolit, keamanan peralatan dan keluhan (Mutaqqin, 2009).
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Tujuannya
untuk mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Manfaat diagnosa
keperawatan sebagai pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan dan
gambaran suatu masalah kesehatan dan penyebab adanya masalah. Masalah
keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan masalah fraktur adalah
(SDKI, 2016) :
a. Preoperatif
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan
integritas dan struktur tulang.
2) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, kurang terapapar
informasi, terpapar bahaya lingkungan.
b. Intraoperatif
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, dan sekrub).
2) Hipotermia berhubungan dengan prosedur pembedahan, kombinasi
anestesi umum dan regional, suhu praoperasi < 36,0oC, suhu
lingkungan yang rendah.
12
b. Pascaoperatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedara fisik, pencedara
kimiawi, pencedera fisik.
2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, hambatan
lingkungan, tidak familiar dengan peralatan tidur
5. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.1
Intervensi Keperawatan Pre Operatif Pada Fraktur
Diagnosa Intervensi Utama
Hambatan
mobilitas fisik b.d
nyeri
1. Dukungan ambulasi
Observasi:
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
- Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi teraupetik:
- Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu ( mis. tongkat, dan kruk)
- Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik.
- Libatkan keluarga dalam membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
- Anjurkan untuk melakukan ambulasi dini. - Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis.berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda dan sebaliknya).
2. Dukungan mobilisasi
Observasi:
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan lainnya.
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan. - Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi.
- Monitor frekuensi umum selama melakukan mobilisasi.
Terapeutik:
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar tempat tidur).
- Fasilitasi melakukan pergerakan
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan.
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk ditempat tidur, duduk
disisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi).
Ansietas b.d krisis
situasional, kurang
terapapar informasi,
terpapar bahaya
lingkungan.
Reduksi Ansietas
Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis kondisi waktu, stresor)
- identhasi kemampuan mengambii keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
Tempeutik
- Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
13
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh pematian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Tempatkan barang pribdi yang memberikan kenyamanan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang
Edukasi
- Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin dialami
- lnfomasikan secara faktual mengenai diagnosis pengobatan dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien. jlka perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesual kebutuhan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
Sumber : Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 2018
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan Intra Operatif Pada Fraktur
Diagnosa Intervensi Utama
Gangguan integritas
kulit b.d fraktur
terbuka,
pemasangan traksi
(pen, kawat, dan
sekrub).
Perawatan Integritas Kulit
Observasi
- Identifikasi penyebab gangguan integritas kullt (mis perubahan sirkulasi, perubahan
status nutrisi penurunan kelembaban, suhu Iingkungan ekstrem penurunan mobilitas)
Terapeutik
- Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baiing
- Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang. jika pedu
- Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
- Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitif
- Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
Edukasi
- Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion. serum)
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
- Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 seat berada di luar rumah
- Anjurkan mandi dan menggunakan sabun sacukupnya
Hipotermia
perioperatif b.d
prosedur
pembedahan,
kombinasi anestesi
umum dan regional,
suhu praoperasi <
36,0oC, suhu
lingkungan yang
rendah.
Manajemen Hipotermia
Observesi
- Monitor suhu tubuh
- Identifikasi penyebab hipotermia (mis. terpapar suhu lngkungan yang rendah, pakaian
tipis, kerusakan hipotalamus, penurunan lain metabolisme, kekurangan lemak subkutan)
- Monitor tanda dan gejaia akibai hipotermia
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang hangat (mis. atur suhu lingkungan, sediakan selimut )
- Ganti pakaian dan/atau linen yang basah
- Lakukan penghangatan pasif (mis. selimut manutup kapala. pakaian tebal)
- Lakukan penghangatan aktif ekstemai (mis. kompres hangat, selimut hangat)
- Lakukan penghangatan aktif internal (mis. infus cairan hangat)
Edukasi
14
- Anjurkan makan/minum hangat
Sumber : Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 2018
Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan Post Operatif Pada Fraktur
Nyeri akut b.d agen pencedara fisik, pencedara kimiawi, pencedera fisik.
Manajemen nyeri
Observasi:
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri.
- Identifikasi skala nyeri.
- Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas nyeri. - Monitor keberhasilaan terapi komplomenter yang sudah diberikan.
- Monitor efek samping penggunaan analgetik.
Terapeutik:
- Berikan terapi nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri. - Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( mis. suhu ruangan, pencahayaan,
dan kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri.
Edukasi:
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
- Jelaskan strategi meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu. - Pemberian analgesic
Gangguan pola tidur b.d nyeri, hambatan
lingkungan, tidak
familiar dengan
peralatan tidur.
Dukungan tidur
Observasi :
- Identifikasi pola aktivitas dan tidur
- Identifikasi paktor pengganggu tidur fisik atau psikologis
- Identifikasi makanan dan minuman mengganggu tidur (mis.teh, kopi, alkohol, dan
minum banyak air sebelum tidur
- Identifikasi obat tidur yang di konsumsi
Teraupetik :
- Modifikasi lingkungan (mis. pencahayaan, lingkungan, bising, suhu)
- Batasi waktu tidur siang
- Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur - Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis.pijat, pengaturan posisi,
terapi akupresur
- Sesuaikan jadwal pemberian obat atau tindakan untuk menunjang siklus
tidur
Edukasi :
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
- Anjurkan menepati waktu tiduryang tidaak mengandung supresor terhadap
15
tidur REM
- Anjurkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur (mis. gaya
hidup, atau psikologis)
- Anjurkaan relaksasi otot autogenic atau cara nonfarmakologi lainnya.
Edukasi aktivitas/istirahat
Observasi :
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi Teraupetik :
- Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat
- Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan kepada pasien dan keuarga untu bertanya Edukasi :
- Jelaskan pentingnya melakukaan aktivitas fisik atau olahraga secara rutin
- Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain, dll
- Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
- Anjurkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat (mis. Kelelahan, sesak napas saat
aktivitas.
- Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai.
Sumber : Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 2018
16
6. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh
perawat. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan implementasi
intervensi dilaksanakan sesuai rencana setelah dilakukan validasi,
penguasaan kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal, intervensi
harus dilakukan dengan cermat dan ifisien pada situasi yang tepat,
keamanan fisik dan fisiologi dilindungi dan didokumentasi keperawatan
berupa pencatatan dan pelaporan (Muttaqin, 2009).
7. Evaluasi
Menurut Muttaqin (2009), fase akhir dari proses keperawatan adalah
evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan hal-hal yang
dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan dan kualitas data, teratasi atu
tidak masalah pasien, mencapai tujuan serta ketepatan intervensi
keperawatan. menentukan evaluasi hasil dibagi 5 komponen yaitu:
a. Menentukan kritera, standar dan pertanyaan evaluasi.
b. Mengumpulkan data mengenai keadaan pasien terbaru.
c. Menganalisa dan membandingkan data terhadap kriteria dari standar.
d. Merangkum hasil dan membuat kesimpulan.
e. Melaksanakan tindakan sesuai berdasarkan kesimpulan.
B. Konsep Fraktur
1. Pengertian fraktur
Fraktur merupakan suatu patahan pada kontinuitas struktur jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma,baik trauama
langsung ataupun tidak langsung. Akibat dari suatu trauma pada tulang
dapat bervariasi tergantung pada jenis,kekuatan dan arahnya trauma.
Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau
perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang
bergeser. Kalau kulit atasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur
tertutup (fraktur sederhana), kalau kulit atau salah satu dari rongga tulang
17
tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka (fraktur Compound) yang
cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi. (Manurung, Nixson 2018).
Fraktur adalah gangguan komplek atau tidak komplek pada struktur
tulang dan didefenisikan sesuai dengan jenis dan keluasannya. Fraktur
terjadi ketika tulang menjadi subjek tekanan yang lebih besar dari yang
dapat diserapnya (Smeltzer, 2016). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang yang umunya disebabkan oleh rudapaksa atau tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap oleh tulang. (Nugraha,
dkk 2016).
Fraktur phalank merupakan terputusnya hubungan tulang jari-jari yang
diakibatkan trauma lansung maupun tidak langsung (Aprilia, 2014). Fraktur
phalank meliputi fraktur phalank proksimal, medial, dan distal serta
diklasifikasikan menjadi intraartikular dan ekstrakulikular dan stabil atau
tidak stabil. Fraktur phalank stabil merupakan fraktur impaksi dengan
sedikit atau tanpa dislokasi seperti fraktur transversal. Fraktur phalank tidak
stabil biasanya kominutif dengan dislokasi, oblique, atau spiral (Thomas,
2011).
2. Penyebab
Menurut Nixson Manurung (2018) penyebab dari fraktur yaitu :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Fraktur yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
18
Fraktur phalank biasanya disebabkan karena trauma langsung pada
jari dengan posisi jari hiperfleksi pada bagian persendian. Fraktur
phalank biasanya mengalami fraktur melintang, sering ditandai dengan
angulasi kedepan sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tendon
fleksor. Fraktur pada salah satu ujung phalank dapat memasuki sendi
dan terjadi kekakuan sendi, jika fraktur mengalami pergeseran juga
dapat mengalami deformitas. Beberapa fraktur disebabkan oleh akibat
adanya tekanan yang berlebihan dibandingkan kemampuan tulang
dalam menahan tekanan. Tekanan yang terjadi pada tulang dapat berupa
tekanan membengkok, memutar, dan tarikan (Helmi, 2012).
3. Tipe Fraktur
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara
lain:
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur ini, segmen-segmen
tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula,
maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan
bidai gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri
dari dua fragmen tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur
jenis ini biasanya sulit ditangani.
19
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi.
Sedangkan fraktur phalank meliputi fraktur phalank proximal,
medial dan distal serta diklasifikasikan menjadi intrartikular dan
ekstraartikular dan stabil atau tidak stabil. Fraktur artikular dibagi
menjadi beberapa jenis yaitu fraktur avulsi dengan perlekatan, fraktur
shaft (corpus) yang meluas sampai sendi, dan fraktur akibat beban
kompresi. Fraktur ekstraartikular terjadi pada diafiseal colbum phalank.
Fraktur phalank stabil merupakan fraktur impaksi dengan sedikit atau
tanpa dislokasi seperti fraktur transversal. Fraktur phalank tidak stabil
biasanya kominutif dengan dislokasi, oblique, atau spiral (Thomas,
2011).
4. Tanda dan gejala
Menurut Nugraha,dkk (2016) tanda dan gejala dari fraktur yaitu :
a. Deformitas, yaitu fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
b. Bengkak, yaitu edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi
darah terjadi dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
c. Ekimosis, krepitasi.
d. Spasme otot, yaitu spasme involunter dekat fraktur.
e. Nyeri tekan.
f. Nyeri.
g. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi akibat kerusakan
saraf/perdarahan).
h. Pergerakan abnormal.
20
5. Patofisiologis
Fraktur adalah gangguan pada tulang yang disebabkan oleh trauma,
stres, gangguan fisik, gangguan metabolik, dan proses patologis. Kerusakan
pembuluh darah pada fraktur mengakibatkan perdarahan sehingga volume
darah menurun dan terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma yang
terjadi mengeksudasi plasma dan berpoliferasi menjadi edema lokal
sehingga terjadi penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup
mengenai serabut saraf yang menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, sumsum, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuk hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respons inflamasi yang di tandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian ini merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya. (Nugraha,dkk. 2016).
Pada kasus ini dilakukan tindakan pemasangan kawat dengan operasi
pada digiti v dextra dan dilakukan insisi. Dengan dilakukannya insisi
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak di bawah kulit maupun
pembuluh darah. Terpotongnya pembuluh darah maka cairan dalam sel akan
keluar jaringan dan dapat menyebabkan pembengkakan. Dengan adanya ini
akan menekan ujung syaraf sensoris yang akan menyebabkan nyeri. Nyeri
juga disebabkan karena adanya luka sayatan pada saat operasi yang dapat
menyebabkan ujung-ujung syaraf sensoris teriritasi. Akibatnya gerakan
pada area tersebut akan terbatas oleh karena nyeri itu sendiri. Keadaan ini
jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan spasme otot dan terjadi
penurunan Lingkup Gerak Sendi (LGS) yang lama kelamaan akan
mengakibatkan penurunan kekuatan otot diikuti dengan penurunan aktivitas
fungsional (Utomo, 2011).
21
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk menentukan keparahan
kerusakan tulang dan jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat
energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan
petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan
debridement. Bila bayangan udara tersebut tidak berhubungan dengan
daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut adalah fraktur
tertutup (Manurung Nixson, 2018).
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
Foto rontgen menunjukkan adanya fraktur phalank digiti pedis v.
b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
7. Komplikasi
Menurut Nugraha, dkk (2016) komplikasi yang dapat timbul dari
fraktur ialah :
a. Komplikasi awal, yaitu kerusakan arteri, sindrom kompartemen, fat
embolism syndrome, infeksi, syok, dan nekrosis avaskular.
1) Infeksi : trauma pada jaringan dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh. Pada trauma ortopedik, infeksi dimulai pada
kulit dan masuk kedalam tubuh bisa juga karena penggunaan bahan
asing dalam pembedahan seperti pin dan plat .
2) Syok : terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi.
22
b. Komplikasi dalam waktu lama.
1) Delayed union (kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan utuk untuk menyambung).
2) Nonunion (kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan).
3) Malunion (penyembuhan tulang yang di tandai dengan
peningkatan kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion diperbaiki dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
8. Penatalaksanaan
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
a. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang
sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
b. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis
untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk
mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal
atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi
terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk
mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid.
Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat.
Alat-alat tersebut dimasukkan kedalam fraktur melalui pembedahan
ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini
23
akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
c. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
Menurut Smeltzer (2016) penatalaksanaan keperawatan fraktur yaitu :
a. Penatalaksanaan fraktur tertutup
1) Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan
nyeri yang tepat (misalkan, meninggikan ekstremitas setinggi
jantung, menggunakan analgesik sesuai resep)
2) Ajarkan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang tidak
terganggu dan memperkuat otot yang diperlukan untuk berpindah
tempat dan untuk menggunakan alat bantu.
3) Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu dengan aman.
4) Bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah mereka sesuai
kebutuhan dan mencari bantuan personal jika diperlukan.
5) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai perawatan
diri, informasi medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi,
dan perlunya supervisi layanan kesehatan yang berkelanjutan.
b. Penatalaksanaan traktur terbuka
1) Sasaran penatalaksanaan adalah untuk mencegah infeksi luka,
jaringan lunak, dan tulang serta untuk meningkatkan pemulihan
tulang dan jaringan lunak. Pada kasus fraktur terbuka, terdapat
risiko osteomielitis, tetanus, dan gangren.
2) Kolaborasi pemberian antibiotik dengan segera saat pasien tiba di
rumah sakit bersama dengan tetanus toksoid jika diperlukan.
24
3) Lakukan irigasi luka dan debridemen.
4) Tinggikan ekstremitas untuk meminilkan edema.
5) Kaji status neurovaskular dengan sering.
6) Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau tanda –
tanda vital.
C. Konsep Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
1. Definisi ORIF
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur
bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk
mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang,
fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan
atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner & Suddart, 2003).
2. Tujuan ORIF
a. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan
stabilitas.
b. Mengurangi nyeri.
c. Pasien dapat melakukan ADL atau kegiatan sehari-hari dengan
bantuan minimal.
d. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang
terkena.
e. Tidak ada kerusakan kulit.
3. Tindakan pembedahan ORIF
Tindakan pembedahan pada ORIF dibagi menjadi 2 jenis metode yaitu
meliputi :
a. Reduksi terbuka
Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomi menuju tempat yang mengalami fraktur.
Fraktur diperiksa dan diteliti. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi
dari luka. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal
25
kembali. Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan
dengan alat ortopedik berupa: pin, skrup, plate, dan paku (Wim de Jong,
2000).
Pada kasus ini dilakukan tindakan pemasangan kawat dengan operasi
pada digiti v pedis dextra dan dilakukan insisi. Dengan dilakukannya
insisi menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak di bawah kulit
maupun pembuluh darah. Terpotongnya pembuluh darah maka cairan
dalam sel akan keluar jaringan dan dapat menyebabkan pembengkakan.
Dengan adanya ini akan menekan ujung syaraf sensoris yang akan
menyebabkan nyeri.
b. Fiksasi internal
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi internal, biasanya
pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama post eksternal fiksasi,
dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan
untuk implantasi pen ke tulang. Lubang kecil dibuat dari pen metal
melewati tulang dan dikuatkan pennya. Perawatan 1-2 kali sehari secara
khusus, antara lain : observasi letak pen dan area, observasi kemerahan,
basah dan rembes, observasi status neurovaskuler. Fiksasi internal
dilaksanakan dalam teknik aseptis yang sangat ketat dan pasien untuk
beberapa saat mendapatkan antibiotik untuk pencegahan setelah
pembedahan.
D. Jurnal Terkait
1. Penelitian Sri Utami (2016) dengan judul “Efektifitas relaksasi napas
dalam dan distraksi dengan latihan 5 jari terhadap nyeri post Laparatomi”
disimpulkan bahwa efektifitas relaksasi napas dalam dan distraksi dengan
latihan 5 jari efektif untuk menurunkan intensitas nyeri.
2. Penelitian Dessy Suswitha (2018) yang berjudul “Efektifitas penggunaan
Electricblanket pada pasien yang mengalami hipotermi post operasi di
Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Palembang Bari”. Hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang signifikan mean waktu yang
26
diperlukan untuk mencapai suhu pada rentang normal pada electricblanket
dan selimut biasa, dimana nilai pvalue yang diperoleh sangat jauh dibawah
0,05 (nilai signifikai output 0,000) berdasarkan hasil uji statistik
independen t-test dengan equal variances assumed.
3. Penelitian Putri Prastiti Mubarokah (2017) yang berjudul “Faktor-faktor
yang berhubungan dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS RSUD
Kota Yogyakarta” dengan kesimpulan terdapat hubungan antara faktor
usia, IMT, jenis kelamin dan lama operasi dengan hipotermia pasca
general anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.
4. Penelitian Rio Verdiansyah (2013), berjudul ”Komunikasi terapeutik
terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan anestesi
regional” dengan hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan dan penurunan
yang signifikan rerata tingkat kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan
komunikasi terapeutik di kamar operasi RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
(P=0,000).
5. Penelitian Inayati (2017) berjudul “Hubungan tingkat kecemasan Dengan
peningkatan tekanan darah pada pasien pre operasi elektif di ruang bedah”
dengan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat kecemasan dengan peningkatan tekanan darah
(P=0,023).