bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seno Gumira Ajidarma –disingkat SGA adalah penulis yang karyanya terlibat dalam isu-isu yang bertentangan dengan Indonesia masa kini. Aktivitasnya penting dalam membangun wacana politik masa kini dalam rangka membangkitkan dialog yang lebih kritis dan lebih sadar diri, yang mungkin berujung pada sebuah penyelesaian atas krisis politik dan budaya yang tengah melanda Indonesia (Fuller,2011:13). SGA cukup dipertimbangkan sebagai penulis yang terlibat secara sosial. Banyak di antara karyanya mengangkat tema yang pada saat itu merupakan bagian dari kehidupan orang Indonesia selama krisis sosial-politik antara 1997 dan 1998. Ia melalui karyanya sejak 1980-an sudah menjadi pengkritik pemerintahan rezim Orde baru. Banyak di antara cerpennya menentang budaya Orba muncul pada saat rezim tersebut terpuruk di titik nadirnya (sejak merebaknya krisis moneter 1997). Ia terbukti sebagai saksi penting atas sejarah kontemporer Indonesia. Tema-tema dalam karyanya dianggap berani dan tabu karena membicarakan ras, suku, korupsi, dan identitas kelas (Fuller,2011:11). Tingkat produktivitas SGA dalam kesusasteraan Indonesia khususnya cerpen telah bertahan relatif lama. Sepanjang kepenulisannya tersebut, ia mampu menunjukkan karekteristik karyanya yang sarat dengan kritik sosial. Korupsi, kebohongan, penindasan atas identitas etnis dan regional, serta keserakahan material yang memiliki hubungan langsung dengan kekerasan negara yang lazim

Upload: truongthu

Post on 07-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seno Gumira Ajidarma –disingkat SGA adalah penulis yang karyanya

terlibat dalam isu-isu yang bertentangan dengan Indonesia masa kini. Aktivitasnya

penting dalam membangun wacana politik masa kini dalam rangka

membangkitkan dialog yang lebih kritis dan lebih sadar diri, yang mungkin

berujung pada sebuah penyelesaian atas krisis politik dan budaya yang tengah

melanda Indonesia (Fuller,2011:13).

SGA cukup dipertimbangkan sebagai penulis yang terlibat secara sosial.

Banyak di antara karyanya mengangkat tema yang pada saat itu merupakan bagian

dari kehidupan orang Indonesia selama krisis sosial-politik antara 1997 dan 1998.

Ia melalui karyanya sejak 1980-an sudah menjadi pengkritik pemerintahan rezim

Orde baru. Banyak di antara cerpennya menentang budaya Orba muncul pada saat

rezim tersebut terpuruk di titik nadirnya (sejak merebaknya krisis moneter 1997).

Ia terbukti sebagai saksi penting atas sejarah kontemporer Indonesia. Tema-tema

dalam karyanya dianggap berani dan tabu karena membicarakan ras, suku,

korupsi, dan identitas kelas (Fuller,2011:11).

Tingkat produktivitas SGA dalam kesusasteraan Indonesia khususnya

cerpen telah bertahan relatif lama. Sepanjang kepenulisannya tersebut, ia mampu

menunjukkan karekteristik karyanya yang sarat dengan kritik sosial. Korupsi,

kebohongan, penindasan atas identitas etnis dan regional, serta keserakahan

material yang memiliki hubungan langsung dengan kekerasan negara yang lazim

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

2

terjadi di Orde Baru terdapat dalam karya-karyanya, di antaranya diterbitkan

dalam bentuk buku adalah Mati, Mati, Mati (1975), Penembak Misterius (1993),

Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah

Pertanyaan untuk Cinta (1996), Negri Kabut (1996), Jazz, Parfum, dan Insiden

(1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Atas Nama Malam (1999), Layar Kota

(2000), Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), Wisanggeni (2000), Jakarta,

Maret 2039 (2000), Terbunuhnya Donny Osmond (2002), Dunia Sukab (2001),

Jangan Kau Culik Anak Kami (2001), Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002),

Surat dari Palmerah (2002), dan Negri Salju (2003).

Karekteristik karya-karya SGA yang peka terhadap kondisi sosial tersebut

terus melekat sampai pada berakhirnya masa Orba dan beralih pada masa

Reformasi. Hal ini dapat dilihat melalui karyanya yang mengangkat peristiwa

tentang masalah sosial dan kemanusiaan dalam salah satu cerpennya berjudul

“Gerobak”.

Cerpen tersebut mengangkat isu lumpur yang melanda penduduk atau

masyarakat tertentu yang kemudian terpinggirkan dari kota. Gambaran fenomena

lumpur ini diduga memiliki kedekatan dengan permasalahan lumpur Lapindo di

Sidoarjo, Jawa Timur yang hingga kini belum mendapatkan penyelesaian.

Kedekatakan tersebut juga dikaitkan dengan kemunculan cerpen yang diterbitkan

pada harian Kompas pada Minggu, 15 Oktober 2006.

Fenomena lumpur terjadi pada 29 Mei 2006. Bencana lumpur tersebut

telah menenggelamkan kawasan pertanian dan industri yang berpenduduk padat.

Bencana yang diawali dengan menyemburnya lumpur dari dalam bumi itu

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

3

menjadi sejarah penting bagi warga Porong, kabupaten Sidoarjo. Semburan

lumpur akhirnya meluas hingga menggenangi beberapa desa lainnya dan

genangan tersebut terus berlangsung hingga sekarang (Batubara dan

Utomo,2012:3).

Sejak lumpur Lapindo mulai menyembur pada 29 Mei 2006 sampai

sekarang, kondisi para korban lumpur tidak kunjung membaik, terutama para

korban di area terdampak yang tercatat 11.881 keluarga. Sebagian besar dari

mereka terus terkatung-katung menunggu janji pelunasan ganti rugi. Banyak yang

mencari pekerjaan serabutan dan banyak pula yang mengalami depresi

(Derwanto,2013).

Fenomena lumpur sebagai masalah sosial dan kemanusiaan yang ternyata

tidak begitu menarik perhatian dalam dunia kesusastraan khususnya cerpen pada

kemunculan peristiwa tersebut, yaitu tahun 2006 dan sebelum kemunculan cerpen

“Gerobak”. Hal ini membuat cerpen “Gerobak” seperti sebagai pelopor karya

sastra prosa yang peka terhadap fenomena tersebut.

Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam

karyanya muncul pada tahun berikutnya, yaitu novel Lumpur ditulis oleh Yazid R

Passandre pada 2011 dan novel Diantara Lumpur mainanku Hilang ditulis oleh

Panca Javandalasta pada 2012. Kedua novel tersebut mengangkat cerita lumpur

dengan menggambarkan perjuangan hidup suatu personal atau individu dari

masyarakat korban lumpur. Penceritaan dengan sudut pandang berbeda terdapat

dalam “Gerobak”. Hal ini secara eksplisit terlihat dalam penggambaran hubungan

dua kelompok masyarakat dan tokoh Aku dari sudut pandang warga kota atau

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

4

bukan korban bencana lumpur yang rumahnya terendam. Selain karya sastra prosa

di atas terdapat pula antologi puisi bersama Bernafas dalam Lumpur pada 2010

yang memuat puisi-puisi lumpur Lapindo oleh Cobra Matoa dan kawan-kawan.

Penggambaran lumpur dalam cerpen “Gerobak” tersebut memungkinkan

adanya makna-makna tertentu yang harus diungkap. Dalam hal ini cerpen tersebut

bukanlah semata-mata sekedar sebuah reperesentasi dari kenyataan, meskipun

faktualitas peristiwa terasa di dalamnya. Dalam hal ini, SGA bukanlah sebuah

realisme yang mencoba menempatkan sastra sebagai cerminan kenyataan

melainkan telah ditafsirkan kembali ke dalam teks cerita dan menjadi metafora.

Pengungkapan terhadap metafora tersebut untuk menemukan makna tertentu

sebagai bentuk adanya tanda-tanda sebagai adanya semiotik. Tanda-tanda tersebut

tentu tidak terlepas dari kode-kode diskursif budaya yang mengikatnya dan cerpen

tersebut tidak dapat terlepas dari budaya yang menyertai kemunculannya.

Analisis terhadap tanda-tanda untuk menemukan makna-makna di dalam

teks merupakan salah satu kinerja dari semiotika. Proses pengungkapan makna-

makna adalah dengan melakukan pengolahan atau produksi terhadap cerpen atau

teks yang dilakukan oleh pembaca. Hal ini dikarenakan teks bukan lagi milik

pengarang, tetapi pembaca. Pembaca tersebut kemudian akan menemukan makna-

makna di dalam teks. Sebagaimana Roland Barthes memandang bahwa produksi

makna dari pembaca akan menghasilkan kejamakan dan menunjukkan sebanyak

mungkin makna yang mungkin dihasilkan (Kurniawan,2001:94). Penemuan

makna-makna menjadi penting dalam penelitian ini.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

5

1.2 Rumusan Masalah

Cerpen “Gerobak” menggambarkan keadaan sosial masyarakat yang

terwakili melalui simbol-simbol atau kode, sehingga menimbulkan makna yang

ada di dalamnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini pun dapat

dirinci dalam dua aspek sebagai berikut.

1. Bagaimana relasi antarleksia dalam kelompok lima kode Barthes yang

terdapat dalam cerpen “Gerobak”.

2. Apa makna cerpen “Gerobak” melalui relasi lima kode Barthes.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis

penelitian ini, yaitu mengungkapkan makna-makna yang digambarkan melalui

leksia-leksia dalam “Gerobak” dengan memanfaatkan teori semiotika Roland

Barthes. Makna ini diungkap melalui analisis yang lebih mendalam dengan

melihat relasi antarleksia dan kode-kode. Tujuan praktis penelitian, yaitu untuk

menambah pengetahuan pembaca mengenai karya-karya yang berkaitan dengan

masalah sosial lumpur Lapindo.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap cerpen “Gerobak” karya SGA belum pernah dilakukan

oleh peneliti sebelumnya dengan teori apapun dan dalam bentuk apapun.

Penelitian terhadap karya-karya SGA dan karya sastra dari pengarang lainnya

dengan pendekatan semiotika Roland Barthes telah banyak dilakukan.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

6

Penelitian dengan teori semiotika Roland Barthes ke dalam sebuah tesis

pernah dilakukan oleh Wahyu Handayani Setyaningsih (2012). Judul penelitian

tersebut adalah Keterasingan dalam Afuta Daku Karya Haruki Murakami: Kajian

Semiotika Roland Barhes. Tesis tersebut bertujuan untuk menganalisis novel

melalui simbol-simbol budaya untuk menemukan makna yang terkandung di

dalamnya. Simbol-simbol budaya yang di maksud termasuk ke dalam kerangka

budaya modern yang tampak melalui pola kehidupan tokoh-tokohnya, serta

penamaan yang banyak mengadopsi dari bahasa Inggris. Terdapat dua rumusan

masalah pada tesis tersebut, yaitu keterasingan yang tampak dalam novel Afuta

Daku. Kedua, makna yang dapat ditemukan dalam novel tersebut.

Penelitian lainnya yang menggunakan semiotika Roland Barthes sebagai

alat analisisnya, di antaranya adalah La Chute Karya Albert Camus: Tinjauan

Lima Kode Roland Barthes (2006) oleh Mariana Widya Sri Harini, dan

Individualitas Dan Absurditas Manusia Dalam Roman Le’Etranger Karya Albert

Camus: Kajian Semiotika Roland Barthes (2008) dalam bentuk tesis oleh

Sunahrowi.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, pada dasarnya penelitian ini

memiliki persamaan, yaitu mengangkat tanda-tanda dalam karya sastra untuk

ditemukan makna di dalamnya. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan yaitu

bagaimana leksia-leksia saling berkaitan dan membentuk kelompok lima kode

Barthes dan bagaimana makna melalui relasi antarlima kode Barthes. Penelitian

terhadap cerpen “Gerobak” belum pernah dilakukan, maka penelitian ini dianggap

perlu dan relevan untuk dilakukan.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

7

1.5 Teori Semiotika Roland Barthes

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika yang dikembangkan oleh

Barthes (1915-1980). Ia merupakan semiolog asal Perancis. Roland Barthes

adalah seseorang yang mempunyai andil cukup besar dalam perkembangan

semiotika. Ia adalah seorang tokoh pusat dalam kajian bahasa, sastra, budaya, dan

media baik sebagai penemu ataupun pembimbing (Allen,2003:i). Pemikiran

Barthes yang tidak berpihak pada ilmu pengetahuan (science) dan lebih

memfokuskan diri pada kesenangan (pleasure) menjadikannya sebagai

representasi dari segala hal yang radikal, tidak waras, dan kurangajar dalam kajian

sastra (Culler,2003:20),

1.5.1 Makna Konotasi dan Denotasi

Semiotika sebagai ilmu yang tidak dapat dilepaskan dari pentingnya suatu

makna. Barthes mencoba mengungkap makna-makna yang terdapat dalam teks

dan S/Z sebagai representasi atas analisis tekstualnya dalam memperdalam

semiotika. Makna terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotasi dan denotasi.

Barthes memberikan definisi tentang makna konotasi secara luas. Hal ini terlihat

dari berbagai sudut pandang pemahaman makna konotasi dan secara tidak

langsung terdapat pula pemahaman tentang makna denotasi. Adapun definisi

tersebut sebagai berikut.

Then, what is a connotation? Definitionally, it is a determination, a relation,

an anaphora, a feature which has the power to relate itself to anterior, ulterior, or

exterior mentions, to other sites of the text (or of another text)

(Barthes,1974:8).Kemudian, apa yang dimaksud dengan konotasi? secara definitif

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

8

konotasi adalah sebuah ketetapan, sebuah hubungan, sebuah anaphora, sebuah

feature yang memiliki kekuatan menghubungkan dirinya sendiri dengan anterior,

ulterior, dan eksterior tersebut, ke lain tempat dari teks (atau dari teks lain).

Kemudian, Barthes juga mengatakan bahwa:

Topically, connotations are meanings which are neither in the dictionary

nor in the grammar of the language in which a text is written (this is, of course, a

shaky definition: the dictionary can be expanded, the grammar can be modified)

(Barthes,1974:8). Artinya bahwa konotasi secara topikal merupakan makna-

makna yang tidak ada, baik dalam kamus maupun dalam tata bahasa dari bahasa

yang digunakan untuk menulis teks (ini tentu saja sebuah definisi yang goyah,

kamus dapat diperluas, tata bahasa dapat dimodifikasi), sedangkan konotasi secara

analitis diungkapkan Barthes sebagai berikut.

Analytically, connotation is determined by two spaces: a sequential space, a

series of orders, a space subject to the successivity of sentences, in which meaning

proliferates by layering; and an agglomerative space, certain areas of the text

and, with them, forming “nebulae” of signifieds (Barthes,1974:8). Artinya bahwa

makna konotasi tidak dapat dilepaskan dari bagaimana makna tersebut ditentukan.

Konotasi ditentukan oleh dua tempat, yaitu tempat yang berurutan, sebuah

rangkaian urutan, (order, tatanan) sebuah tempat yang mengarah ke rangkaian

kalimat, tempat makna terkembangkan oleh lapisan dan sebuah tempat

pengelompokkan area-area tertentu dari teks dan dengannya membentuk nebula

petanda-petanda. Kemudian secara semiologis diungkapkan Barthes selanjutnya

dalam S/Z sebagai berikut.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

9

Semilogically, each connotation is the starting point of a code (which will

never be reconstituted), the articulation of a voice which is woven into the text

(Barthes,1974:9). Artinya bahwa konotasi secara semiologi adalah makna yang

bertitik pangkal pada kode (yang tidak dapat disusun kembali), artikulasi dari

sebuah suara yang teranyam ke dalam teks. Kemudian makna konotasi secara

struktural adalah sebagai berikut.

Structurally, the existence of two supposedly different systems –denotation

and conotation –enables the text to operate like a game, each system referring to

the other according to the requirments of a certain illusion (Barthes,1974:9).

Artinya bahwa konotasi secara struktural merupakan makna yang keberadaannya

terletak pada dua sistem perbedaan yang diandaikan ada –denotasi dan konotasi –

memungkinkan teks bekerja seperti sebuah permainan. Tiap sistem menunjuk ke

yang lain menurut syarat sebuah ilusi tertentu. Pada pemahaman ini, makna

konotasi merupakan makna yang tidak dapat dilepaskan keberadaanya dari makna

secara denotasi dan konotasi. Hal ini karena teks seperti sebuah permainan atau

saling berkaitan antara makna denotasi (makna secara harfiah) dengan makna

konotasi (makna kedua atau secara kultural), makna tersebut ditentukan sesuai

dengan makna khayalan (makna kedua) yang pasti atau tetap memiliki batasan,

yaitu secara kultural (tidak dapat dilepaskan dari suatu konsep yang lahir dari

masyarakatnya). Sebagaimana Barthes (1974:7) merumuskan bahwa makna

konotasi adalah ERC. Jika E adalah ekspresi, C adalah isi, dan R adalah hubungan

antara keduanya (E-C) yang membentuk tanda. Hal ini terdapat dalam kutipan

berikut.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

10

For Hjemslev, who has defined it, connotation is a secondary meaning,

whose signification, which is denotation: If E is the expression, C the content,

and R the ralation of the two which established the sign, the formula for the

connotation is: (ERC) RC (Barthes,1974:7). Artinya menurut Hjemslev,

pendefenisian dari konotasi adalah sebuah makna sekunder, makna yang

menandai dirinya sendiri yang tersusun oleh penandanya atau sistem tanda

pertama, yakni denotasi.

Pada analisisnya terhadap Sarrasine, Barthes lebih menempatkan makna

teks secara konotasi. Menurut Barthes (1970:7-8) bahwa pada tingkat denotasi

bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial bersifat eksplisit ini adalah

kode yang makna tandanya akan segera tampak ke permukaan berdasarkan relasi

penanda dan petandanya. Sebaliknya, bahasa pada sistem konotasi akan

menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit. Makna implisit

tersebut merupakan sistem kode yang tandanya memiliki muatan makna-makna

tersembunyi. Kawasan tersembunyi inilah yang menurut Barthes merupakan

kawasan dari ideologi atau mitologi.

1.5.2 Leksia

Penerapan analisis naratif struktural Barthes dapat dilihat dalam S/Z (1974)

yang merupakan analisis terhadap cerpen Sarrasine karya Honore de Balzac. Pada

analisisnya tersebut, Barthes melakukan pemenggalan teks ke dalam satuan

leksia-leksia (lexias). Teks dalam bentuk leksia tersebut kemudian

dikelompokkannya ke dalam lima macam kode pembacaan.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

11

Lexias, since they are units of reading. This cutting up, admittedly, will

be arbitrary in the extreme. The lexia will include sometimes a few words,

sometimes several sentences. The lexia is only the wrapping of a semantic volume,

the crest line of the plural text, arranged like a berm of possible (but controlled,

attested to by a systematic reading) meanings under the flux of discourse: the

lexia and its unit will thereby form a kind of polyhedron faceted by the word, the

group of words, the sentence or the pharagraph, i.e., with the language which is

its “natural” excipient (Barthes,1974:13-14). Leksia merupakan unit-unit bacaan.

Pemenggalan ini tidak dapat disangkal akan menjadi manasuka (arbitrer) dalam

perbedaan yang ekstrim. Leksia mencakup sedikit kata atau kadang-kadang

beberapa kalimat. Leksia hanyalah pembungkus sebuah isi semantik, garis puncak

dari teks plural, tersusun seperti sebuah makna-makna kemungkinan (tetapi

terkontrol, terbukti kebenarannya oleh sebuah bacaan sistematis) di bawah arus

wacana terus menerus. Oleh karena itu leksia dan unit-unitnya akan terbentuk

seperti polyhedron yang dilapisi oleh kata, kelompok kata, kalimat atau

paragraph, yaitu dengan bahasa sebagai sebuah tempat yang natural. Artinya

bahwa analisis dengan semiotika Roland Barthes pada tahap pertama adalah

melakukan pemenggalan teks yang bersifat arbitrer (semau-maunya).

Pemenggalan teks tersebut untuk menentukan leksia-leksia, baik berupa sepatah

kata hingga sebuah paragraf.

Pemenggalan teks untuk menentukan leksia mengacu pada kriteria-

kriteria menurut Zaimar (1991:33) sebagai berikut.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

12

1) Kriteria pemusatan, yaitu suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia

bila penggalan tersebut berpusat pada satu titik perhatian. Misalnya, berpusat

pada satu peristiwa yang sama.

2) Kriteria koherensi, yaitu suatu leksia yang baik suatu pemenggalan teks yang

mampu mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren, dapat berupa

suatu hal, keadaan, peristiwa, dalam ruang dan waktu yang sama.

3) Kriteria batasan formal. Suatu leksia dapat diperoleh dengan

mempertimbangkan penanda-penanda formal yang memberi jeda atau batas

antarbagian dalam teks. Hal ini adalah ruang kosong atau nomor yang

menandai pergantian bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf, dan

tanda-tanda formal yang lain, yang menandai pergantian suatu masalah.

4) Kriteria signifikasi, yaitu leksia sebagaimana merupakan penggalan yang

benar-benar signifikan bagi sebuah narasi. Misalnya, judul yang hanya berupa

satu atau dua huruf, satu bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin

tertentu, atau hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang tinggi dalam

sebuah cerita sehingga dapat dipandang sebagai satu leksia tersendiri.

1.5.3 Lima Kode Roland Barthes

Barthes membagi cerpen “Sarrasine” ke dalam 561 leksia yang kemudian

dianalisis dan ditafsirkan ke dalam lima kode pembacaan. Setiap satuan analisis

yang telah ditafsirkan disebut dengan “devagasi” dan terdapat 93 devagasi dalam

S/Z. Adapun lima kode Barthes adalah sebagai berikut.

1) Hermeneutic code, we list the various (formal) terms by which an enigma

can be distinguished, suggested, formulated, held in suspense, and finally

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

13

disclosed (Barthes,1974:19). Kode hermenutika, kita menyusun berbagai syarat

atau istilah agar suatu teka-teki dapat dibedakan, diusulkan, diformulasikan,

ditegangnkan dan akhirnya diungkapkan. Artinya bahwa kode hermeneutik (HER)

adalah kode di mana enigma dapat dibedakan, diusulkan, diformulasikan, dan

akhirnya diungkapkan. Kode tersebut merupakan suatu penanda yang

menimbulkan ketegangan (suspense). Kode hermeneutik ini menimbulkan tanda

tanya di benak pembaca selama proses pembacaan cerita. Kode ini meliputi

penempatan suatu teka-teki (enigma), dan penyimpangan atas teka-teki itu. Kode

dalam penampilannya yang umum mencoba membangun seluruh intrik seperti

dalam novel detektif. Adapun kriteria dalam penentuan kode hermeneutik tersebut

terdapat dalam S/Z sebagai berikut.

All the units whose function it is to articulate in vorius ways a question, its

response, and the variety of chance events which can either formulate the

question or delay its answer; over constitute an enigma and lead to its solution

(Barthes,1974:17). Artinya bahwa kode semua unit yang berfungsi untuk

mengartikulasikan sebuah pertanyaan dalam berbagai cara, respon-responnya, dan

variasi peristiwa-peristiwa kemujuran yang dapat diformulasikan menjadi

pertanyaan dan sekaligus menunda jawabannya, bahkan kode yang menyusun

sebuah teka-teki dan mengarahkan kepada solusi. Adapun pada masing-masing

enigma tersebut dapat ditandai dengan istilah-istilah tertentu sebagai berikut.

a) Pentemaan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah

kode. Kode ini yang menandai suatu pokok masalah atau tema dalam

setiap enigma;

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

14

b) Pengusulan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah

kode. Kode tersebut secara eksplisit maupun implisist mengandung

pertanyaan atau teka-teki.

c) Pengacauan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah

kode yang menyebabkan enigma menjadi semakin rumit.

d) Jebakan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah

kode. Kode tersebut adalah kode yang memberikan jawaban salah.

e) Penundaan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah

kode yang menunda kemunculan jawaban.

f) Jawaban sebagian adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan

sebuah kode. Kode tersebut adalah kode yang memberikan jawaban,

tetapi tidak jawaban menyeluruh.

g) Jawaban adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah

kode yang memberikan jawaban secara menyeluruh.

The proposition of truth is a “well-made” sentences; it contains a subject

(theme of the enigma), a statement of the question (formulation of the enigma), its

question mark (proposal of the enigma), various subordinate and interpolated

clauses and catalyses (delays in the answer), all of which precede the ultimate

predicate (disclosure) (Barthes,1974:84). Proposisi kebenaran adalah kalimat

yang baik, yang tersusun dari subjek (tema enigma), pertanyaan (formula

enigma), tanda petik (usulan enigma), berbagai macam klausa subordinat dan

tambahan (menunda jawaban), semua yang terdiri dari predikat (pengungkapan).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

15

2) As for semes, we merely indicate them –with out, in other words, trying

either to link them to a character (or a place or an object) or to arrange them in

some order so that they form a single thematic grouping; we allow them the

instability, the dispersition characteristic of motes of dust, flickers of meaning

(Barthes,1974:19). Kode semik diindikasikan tanpa mencoba menghubungkannya

dengan sebuah karakter (suatu tempat atau objek) atau mengatur ke dalam

beberapa urutan agar membentuk sebuah kelompok tematik tunggal. Kita

membiarkannya dalam ketidakstabilan, dalam penyebaran, dalam karakteristik

mote of dust, kerlipan-kerlipan makna. Artinya bahwa kode semik (SEM) adalah

kode yang menunjuk kepada sebuah karakter atau sebuah tempat atau sebuah

objek tertentu. Kode ini adalah kode yang memanfaatkan petunjuk atau “kilasan

makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu yang mengacu

gambaran-gambaran kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat

atau objek tertentu. Kode semik merupakan penanda bagi dunia konotasi yang di

dalamnya terdapat kesan atau nilai rasa tertentu.

3) The symbolic grouping; this is the place for multivalence and for

responsibility; the main task always to demonstrate that this field can be entered

from any number of points, thereby making depth and secrery problematic

(Barthes,1974:19). Kode simbolik merupakan tempat multivalensi dan

pemutarbalikan. Tugas pokok kita adalah mendemonstrasikan bahwa bidang

tersebut dapat dimasuki dari berbagai titik, sehingga dapat diperdalam dan dapat

merahasiakan problematika. Kode simbolis (SIM) adalah tempat di mana kode-

kode memiliki banyak tempat dan saling bertukar tempat. Artinya bahwa kode ini

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

16

sebagai penanda teks yang mampu membawa pembaca untuk memasuki dunia

lambang-lambang atau simbol atau tanda-tanda berikut maknanya. Lambang-

lambang dalam wilayah simbolis ini mempunyai banyak makna yang dapat saling

bertukar tempat. Kode simbolik merupakan kode yang mengatur kawasan antitesis

dari tanda-tanda yang di dalamnya sebuah tanda meleburkan dirinya ke dalam

berbagai substitusi, keanekaragaman penanda, dan referensi, sehingga membawa

pembaca dari satu kemungkinan makna ke kemungkinan makna lainnya.

4) Actions (terms of the proairetic code) can fall into various sequences which

should be indicated merely by listing them, since the proairetic sequence is never

more than the result of an artifice of reading: whoever reads the text amasses

certain data under some generic titles for actions (stroll, murder, rendezvous),

and this title embodies the sequence: the sequence exists when and because it can

be given a name, it unfolds as this process of naming takes place, as title is sought

or confirmed: its basis is therefore more empirical than rational, and its only

logic is that of the already-done or already-read –whence the variety of sequences

(some trivial,some melodramatic) and the variety of term (numerous or few)

(Barthes,1974:19). Kode proaeretik dapat dimasukkan dalam beragam urutan

yang hanya dapat diindikasikan dengan cara menyusunnya karena rangkaian

proaeretik tidak pernah lebih daripada hasil kecerdasan membaca. Siapapun yang

pernah membaca teks, menumpuk data tertentu di bawah beberapa judul generik

tindakan-tindakan (berjalan, keliling, pembunuhan, pertemuan). Judul itu

mewujudkan urutan. Urutan tetap eksis ketika dapat dinamai dan oleh karennya

dapat dinamai. Urutan itu berkembang karena proses penamaan, sama halnya

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

17

dengan penentuan sebuah judul. Oleh karena itu dasarnya lebih emperikal

daripada rasional, sehingga sia-sia jika mencoba memaksakannya k edalam urutan

yang sah. Logika satu-satunya adalah mengenai ‘telah dikerjakan’ atau ‘telah

dibaca’ dari berbagai rangkaian (beberapa sepele, beberapa melodrama) dan

berbagai istilah. Kode proaeretik atau kode aksi naratif (AKS) adalah kode yang

menjamin bahwa apa yang dibaca merupakan sebuah cerita yaitu serangkaian

aksi-aksi yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Kemunculan sebuah

aksi naratif berkaitan erat dengan proses penamaan; sebuah rangkaian aksi yang

ada hanya diberi nama oleh analis. Dasar dari penamaan tersebut bersifat empiris

daripada rasional.

5) The cultural codes are references to a science or body of knowledge; in

drawing attention to them, we merely indicate the type of knowledge (physical,

phsycological, literary, historical, etc.) refered to, without going so far as to

construct (or reconstruct) the culture they express (Barthes,1974:20). Kode

kultural merupakan kode bagi suatu ilmu atau suatu keseluruhan pengetahuan.

Untuk menarik perhatiannya, kita mengindikasikan tipe pengetahuan yang diacu

(fisikal, psikologikal, kesustraan, sejarah, dan lain-lain) tanpa melangkah lebih

jauh, menyusun atau mengonstruksi kultur yang diekspresikan. Artinya bahwa

kode kultural atau kode referensial (REF) adalah penanda-penanda yang merujuk

pada seperangkat referensi atau pengetahuan umum yang mendukung teks. Analis

dalam mengungkapkan kode ini cukup mengindikasikan tipe-tipe pengetahuan

yang menjadi rujukan tersebut. Misalnya, sosiologi, psikologi, dan lain-lain tanpa

perlu merekonstruksi kultur yang menjadi rujukan tersebut.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

18

Barthes lebih memilih writerly text dalam analisis semiologinya yang

diterapkannya melalui S/Z. Hal ini dikarenakan writerly text adalah cara atau

langkah yang membawa pembaca sebagai seorang produsen teks bukan konsumen

semata. Sebagaimana Barthes (1974:4) mengungkapkannya sebagai berikut.

The writerly is to make the reader no longer a consumer, but a producer

of the text. Hal tersebut menegaskan bahwa pembaca memiliki peran besar dan

pusat perhatian tidak lagi ada pada pengarang, tetapi pembaca. Teks sendiri

menjadi terbuka terhadap berbagai kemungkinan interpretasi. Apabila Ingin

menemukan maknanya, maka harus dilakukan rekonstruksi terhadap teks tersebut

dengan cara memenggal teks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Barthes

juga melakukan langkah tersebut dalam menganalisis cerpen Sarrasine karya

Honore de Balzac. Dengan demikian, pengarang tidak lagi menjadi perhatian

karena teks sudah menjadi milik pembaca. Pembaca bebas menafsirkan makna

dari hasil analisisnya dengan cara memproduksi teks. Hal tersebut ditegaskan oleh

Barthes (1974:5), yaitu the writerly text is ourselves writing, before the infinite

play of the world (the world as function) is traversed, interesected, stopped,

plasticized by some singular system (ideology, genus, criticism) which reduces the

plurality of entrances, the opening of networks, the infinity of languages. But the

readerly texts are products (and not productions), they make up the enormous

mass our literature.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

19

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka untuk memperoleh data-data

kualitatif. Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode semiotis. Metode

ini berkaitan dengan teori, yaitu metode semiotis dengan menggunakan kajian

semiotika Roland Barthes. Adapun prosedur penelitian (urut-urutan penelitian)

dalam metode analisis ini seperti mengumpulkan leksia, memotong-motong leksia

untuk menentukan kode dalam leksia, mencari keterkaitan antarleksia,

mengumpulkan atau menyatukan kode, dan menyimpulkan makna dari tiap kode

yang berhipogram. Metode penelitian dapat dijabarkan ke dalam dua bagian, yaitu

metode pengumpulan data dan metode analisis data.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka

untuk memperoleh data-data kualitatif. Data-data yang dikumpulkan merupakan

sumber-sumber tertulis atau data-data terkait dengan cerpen “Gerobak” sebagai

objek kajian dan konsep-konsep dalam penelitian ini, yaitu melalui buku-buku

teori, jurnal, koran, dan media internet. Data tersebut meliputi kategori sosial

budaya, pola perilaku masyarakat, organisasi sosial, serta nilai dan norma. Data-

data yang relevan tersebut kemudian dicari keterkaitannya dengan objek kajian

untuk mendukung proses analisis.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

20

1.6.2 Metode Analisis Data

Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan kajian semiotika Roland

Barthes yang terdapat dalam S/Z. Data-data kualitatif akan dihubungkan dengan

objek material (cerpen “Gerobak”) untuk mendukung penelitian.

Langkah pertama yang dilakukan adalah membagi cerpen “Gerobak” ke

dalam satuan-satuan pembacaan atau leksia, kemudian melakukan

pengelompokan leksia-leksia untuk mempermudah analisis. Pada tahap tersebut

akan terlihat alasan penggalan teks tersebut ditentukan sebagai leksia berikut kode

yang menyertainya, sebagaimana kode dapat diketahui setelah menentukan leksia.

Adapun pengelompokan yang dimaksud adalah menyatukan leksia-leksia ke

dalam masing-masing kode, yaitu kode hermeneutik, kode proairetik (aksi), kode

simbolik, kode semik (semantik), kode referensial (kultural). Pada langkah ini

sekaligus diketahui bagaimana hubungan antarleksia, sehingga membentuk

kelompok kode tersebut. Pengelompokan tersebut pun dilakukan untuk

mempermudah langkah analisis data secara bertahap.

Langkah berikutnya adalah menganalisis leksia dengan menggunakan

tataran lima kode Barthes sebagaimana pada tahap sebelumnya telah dilakukan

dugaan-dugaan kode yang terdapat di dalam leksia. Pada tiap kode tersebut

ditentukan keterkaitannya dengan kode lainnya bahkan sampai melintas pada

urutan leksia berikutnya yang juga di dalamnya terdapat kode-kode. Kemudian,

keterkaitan antarkode dan antarleksia (secara tidak langsung) tersebut ditafsirkan

untuk ditemukannya makna atau devagasi. Langkah terakhir adalah menarik

kesimpulan dari penemuan makna-makna secara menyeluruh dari dalam teks.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68989/potongan/S2-2014... · Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya

21

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terbagi atas empat bab. Bab I berupa

pendahuluan yang di dalamnya berisi latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang terdiri

atas metode pengumpulan data dan analisis data, dan sistematika penulisan. Bab II

berupa relasi antarleksia dalam kelompok lima kode Barthes yang terdapat dalam

cerpen “Gerobak”. Bab III berupa makna melalui relasi lima kode Barthes dalam

cerpen “Gerobak”. Terakhir adalah Bab IV yang merupakan kesimpulan sebagai

penutup.