asuhan keperawatan klien dengan bell palsy
Post on 28-Nov-2015
76 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BELL’S PALSY
A. DESKRIPSI
Nervus fasialis atau saraf kranial VII sebenarnya adalah saraf motorik, tetapi dalam
perjalanannya ke tepi, nervus intermedius menggabungkan diri pada nervus ini. Nervus
intemedius itu tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut
sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan dari 2/3 bagian depan lidahke
nukleus traktus solitarius
Walaupun nervus fasialis hanya memiliki inti motorik, berkas serabut saraf yang
dikenal sebagai nervus fasialis diikuti oleh serabut aferen somatosensorik, serabut aferen
viserosensorik, dan serabut eferen viseromotorik. Oleh karena itu, manifestasi lesi yang
merusak nervus fasialis bersifat motorik dan sensorik khusus. Kawasan motorik nervus
fasialis adalah wajah. Bagian tubuh ini merupakan bagian penting dan menonjol sekalipada
wajah. Asimetri yang timbul akibat kelumpuhan salah satu otot wajah mencolok sekali,
sehingga pada observasiselayang pandang saja sudah dapat diketahui. Namun demikian,
kesan yang diperoleh dengan inspeksi saja bukan merupakan tanda pasti, terutama jika
asimetri wajah sebagai gejala sisa hemiparalisis fasialis lama ialah infeksi streptokokus
mukosus oleh karena kuman tersebut mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-
tulang yang berada di kavum timpani. Pada otitis media akut membran timpani
memperlihatkan tanda-tanda imflamasi tanpa perforasi dan karena itu sekresi tertimbun di
kavum timpani. Dalam keadaan itu, proses infeksi dapat melibatkan perios dan kemudian
menimbulkan pengrusakan tulang. Bila dilakukan paresentesis, cairan berdarah encer yang
meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan
Otitis media akut yang disebabkan kuman-kuman non-streptokokus mukosus pada
umumnya jarang menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun demikian, otitis media
akut dapat berkembang menjadi otitis media kronis atau mastoiditis. Jika setelah diadakan
evakuasi sekresi dari kavum timpani masih terdapat demam dan nyeri tekan di tulang
mastoideus, kendatipun antibiotik diberikan, maka mastoiditis harus dicurigai. Melalui atrum,
proses radang berpindah dari kavum timpani ke mastoid yang mempunyai banyak
pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding kanalis
1
fasialis yang ikut rusak oleh proses mastoiditis, nervus fasialis mengalami gangguan dan
timbullah paresis fasialis
Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf fasialis dan olfaktorius
dapat terlibat dalam infeksi tersebut. Gambaran penyakit dikuasai diseluruhnya oleh adanya
gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul,
tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi
ipsilateral juga.
Saraf otak yang paling sering jejas atau putus karena trauma kapitis ialah saraf
olfaktorius. Nomor dua dalm urutan ialah saraf fasialis. Lesi traumatik tersebut hampir
selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur os temporal, yang tidak selalu dapat
diperlihatkan oleh foto rongent. Perdarahan dan liquor mengiringi paresis fasialis perifer
treumatik. Dengan jalan auroskopi dapat disaksikan adanya hematotimpani dengan/tanpa
tersobeknya membran timpani.
Pada leukimia, paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit megeluh tentang
lesu-letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama
beberapa minggu. Gejala-gejala awal tersebut sering berlangsung lama sebelum leukimia
diketahui. Baru setelah pemeriksaan darah dilakukan leukimia akan dikenal. Gajela-gejala
yang mempercepat dilakukan pemeriksaan darah ialah perdarahan, pembengkakan kelenjar-
kelenjar limfa dan splenohepatomegalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi susunan saraf
dan tulang tengkorak.
Pada karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal karena
lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli
konduktif sebagai keluhan, peluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya
membangkitkanperdarah dan penuymbatan jalanlintasan nafas melalui hidung. Stelah itu,
pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar
(paralisis okular)
Tumor intrakranial yang paling sering menimbulkan paresis fasialis ialah tumor
disudut serebelopontin, yaitu neurinoma akustikus. Gejala awal tumor tersebut ialah tuli
sesisi yang bersifat tuli perseptif yang hampir selalu disertai tinitus dan gangguan vestibular.
Kemudian timbul getaran akibat gangguan terhadap traktus desendens saraf trigeminus yang
2
dapat berupa hemihipestesia ipsilateral atau neuralgia trigeminus. Paresis fasialis yang dapat
timbul pada tahap berikutnya jarang bersifat berat. Yang paling sering dijumpai ialah
kombinasi parelis fasialis yang ringan sekali dengan ‘kedutan’ fasialis.
B. ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy. Faktor-
faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,
hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetic.
2. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3. Didapat
a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang
erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah berupa :
a. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmos).
b. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke
atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
3
c. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh
dan mencong ke sisi yang sehat.
D. PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu
atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau
di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal
awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin
seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga
sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa
sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa
penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1
dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster
4
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan
bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara
wajar sehingga tertimbun disitu.
E. PATHWAY
F. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatn klien dengan Bell’s Palsy meliputi anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
5
G. ANAMNESIS
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
H. RIWAYAT PENYAKIT SAAT INI
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan
utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s Palsy biasanya
didapat keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan,
lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan
kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola
mata dan berputarnya bola mata ke ats dapat disaksikan . fenomena tersebut dikenal sebagai
tanda bell
I. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisis keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami
penyakit iskemia vaskular, otitis media, tumor intrakranial, trauma kapitis, penyakit virus
(herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien
sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
J. PENGKAJIAN PSIKO-SOSIO-SPIRITUAL
Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas menganai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah seisi dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul
6
pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuanuntuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan
klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan
saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu . perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah , yaitu keterbatasan yang di akibatkan
oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.
K. PEMERIKSAAN FISIK
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien
Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
a. B1 (BREATHING)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak
batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi pernapasan
dalam batas normal. Palapasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi
didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi napas
tambahan.
b. B2 (BLOOD)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama
yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
7
c. B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sisitem lainnya.
d. Tingkat Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
e. Fungsi Serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai bicara klien, obsevasi
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya status mental
klien mengalami perubahan.
f. Pemeriksaan Saraf Kranial
Saraf I : Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan
Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI : Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
Saraf V : Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi,lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan
mendatar, adanya gerakan sinkinetik
Saraf VII : Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di
tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, di mana khorda
timpani menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf XI dan X : Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara,mengunyah, dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi
leher baik.
8
Saraf XII : Lideh simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang
tajam.
g. Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan
dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
h. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
refleks pada respon normal.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering
ditemukan Tic fasialis
Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri,dan suhu tidak ada kelainan.
i. B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penuruna curah jantung ke ginjal.
j. B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah
serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
k. B6 (BONE)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
9
L. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan medis adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan
untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang
terjadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.
Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan
edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vascular dan memungkinkan perbaikan
sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi
penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau meminimalkan
denervasi.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgesic. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit
dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampe ke otot tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun
banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf
wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi
saraf wajah melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis
wajah.
Pendidikan klien. Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang
mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan reflex berkedip
terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecildan benda-benda asing. Iritasi kornea
dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini
mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang disebabkan
oleh kornea kering dan tidak ada reflex berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah
akibat pengeluaran airmata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan
melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea,
meskipun hal ini dapat disebabkan beberapa kerusakan dalam mempertahankan mata tertutup
akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunakan pada mata pada saat tidur dapat
diletakkan di atas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap
tertutup selama tidur.
Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual
sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan
normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah dapat dimasase beberapa kali sehari
untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk masase wajah adalah dengan gerakan
10
lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, mengembangkan pipi keluar dan
bersiul dapat dilakukan dengan mengunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah
atrofi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.
M. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2. Cemas yang berhubungan dengan prognosisi penyakit dan perubahan kesehatan.
3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi
yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
N. RENCANA INTERVENSI
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang :
Ds : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah yang terjadi pada satu sisi
Ds : dahi di kerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja
Tujuan : konsep diri klien meningkat
Criteria hasil: klien mampu menggunakan koping yang positif
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji dan jelaskan kepada klien
tentang keedaan paralisis wajahnya
.
Intervensi awal bisa mencegah distress
psikologi pada klien
2. Bantu klien menggunakan koping
yang positif .
Nekanisme koping yang positif dapat
membantu klien lebih percaya diri , lebih
kooperatif terhadap tindakan yang akan
di lakukan dan mencegah terjadinya
kecemasan tambahan
3. Orientasi klien terhadap prosedur
rutin dan aktifitas yang di
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
11
harapkan
4. libatkan system pendukung dalam
perawatan klien
Kehadiran system pendukung
meningkatkan percaya diri kien
Cemas yang berhubungan dengan prognosisi penyakit dan perubahan kesehatan.
Tujuan: kecemasan hilang atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasanya , dapt mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhinya,dan menyatakan ansietas berkurang atau hilang
Intervensi rasionalisasi
1. kaji tanda verbal dan non verbal
kecemasan, damping klien , dan
lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak
Reaksi verbal atau non verbal dapat
menunjukkan rasa agitasi, marah, dan
gelisah.
2. Mulai melakukan tindakan untuk
mengurangi kecemasan . beri
lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat
Mengurangi rangsangan eksternal yang
tidak perlu
3. Tingkatkan control sensasi klien Control sensasi klien (dan dalam
menurunkan ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan
klien, menekankan pada penghargaan
terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri), yang positif,
membantu klien latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan dan
memberikan respon balik yang positif
4. Beri kesempatan pada klien untuk
menggungkapkan kecemasannya .
Dapat menghilangkan keteganngan
terhadap kekhawatiran yang tidak di
ekspresikan.
5. Berikan privasi untuk klien dan
orang terdekat
Member waktu untuk mengekspresikan
perasaan , menghilangkan cemas , dan
12
perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan
teman-teman yang di pilih klien
melayani aktivitas dan pengalihan
(misalnya membaca) akan menurunka
perasaan terisolosi.
Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi
yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan : dalam jangka waktu 1 x 30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan
pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya .
Criteria hasil : klien mampu secara subyektif menjelaskan ulang secara sederhana
terhadap apa yang telah di diskusikan
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar , tingkat
kecemasan , partisipasi, media yang
sesuai untuk belajar
Indikasi progresif atau reaktifasi panyakit
atau efeksampibng pengobatan , serta
untuk evaluasi lebih lanjud.
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu di
laporkan ke perawat
Meningkatkan kesadaran kebutuhan
tentang perawatan diri untuk
meinimalkan kelemahan
Jelaskan instruksi dan informasi misalnya
pengobatan .
Meningkatkan kerja sama / partisipasi
terapuetik dan mencegah putus obat
Kaji ulang resiko efek samping
pengobatan
Dapat mengurangi rasa kurang nyaman
dari pengobatan untuk perbaikan kondisi
klien
Dorong klien mengekspresikan
ketidaktahuan / kecemasan dan beri
informasi yang di butuhkan.
Member kesempatan untuk mengoreksi
persepsi yang salah dan mengurangi
kecemasan
13
TUGAS KELOMPOK DISKUSI / SEMINAR
Seorang wanita usia 30 tahun hamil trimester 3 tiba-tiba saat bercermin menemukan wajah
yang tidak simetris dan kelemahan otot sebelah kanan. Ia sangat cemas sehingga datang ke
klinik dan oleh dokter didiagnosa Bell’s Palsy.
1. Pasien bertanya apa penyakit Bell’s Palsy dan adakah kaitannya antara Bell’s Palsy
dengan kehamilannya serta siapa saja yang bisa terkena Bell’s Palsy?
2. Apakah penyakit tersebut bersifat permanen atau bisa disembuhkan?
3. Bagaimana manajemen medis pasien dengan Bell’s Palsy
4. Masalah keperawatan apakah yang dapat terjadi pada pasien dengan Bell’s Palsy?
Jawaban :
1. Ya, ibu hamil berpotensi 3 kali terkena Bell’s Palsy. Biasanya pada kehamilan
trimester ketiga atau menjelang kelahiran. Salah satu teori penyebab ibu hamil terkena
Bell’s Palsy adalah peningkatan cairan Ekstra stisial pada pada ibu hamil dapat
menyebabkan pembengkakan pada saraf wajah dimana mengarah pada saraf ketujuh.
Serta semua orang bisa terkena Bell’s Palsy
2. Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis
yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85%
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit.
15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bell’s
palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh
tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini
tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
3. Tujuan penatalaksanaan medis adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan
untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa
keadaan yang terjadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada
kebanyakan klien.
Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang
dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vascular dan memungkinkan
perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal kortikosteroid ditujukan
untuk mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu
mencegah atau meminimalkan denervasi.
14
Nyeri wajah dikontrol dengan analgesic. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit
dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampe ke otot
tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi.
Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi
pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai
tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan dan pembedahan
untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.
Pendidikan klien. Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat
menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan
reflex berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecildan benda-
benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini.
Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan
(epifora) karena keratitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak ada reflex
berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran airmata.
Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya
silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini dapat
disebabkan beberapa kerusakan dalam mempertahankan mata tertutup akibat paralisis
parsial. Benda-benda yang dapat digunakan pada mata pada saat tidur dapat
diletakkan di atas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan
tetap tertutup selama tidur.
Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara
manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk
menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah
dapat dimasase beberapa kali sehari untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk
masase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti
mengerutkan dahi, mengembangkan pipi keluar dan bersiul dapat dilakukan dengan
mengunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot. Hindari wajah
terkena udara dingin.
15
4. a.Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk
wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
b.Cemas yang berhubungan dengan prognosisi penyakit dan perubahan kesehatan.
c.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi
yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
16
top related