urgensi izin isteri secara lisan dan tertulis dalam...
TRANSCRIPT
URGENSI IZIN ISTERI SECARA LISAN DAN TERTULIS DALAM
POLIGAMI
(Analisis Putusan Pengandilan Agama Rangkasbitung Perkara No.
0390/pdt.G/2013/PA.Rks )
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
JAJANG
1110044100060
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 /2015
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan Skripsi ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (satu) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan (plagiarisme) dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 April 2015
JAJANG
ii
URGENSI IZIN ISTRI SECARA LISAN DAN TERTULIS DALAM
PLIGAMI
(Analisis Putusan Pengandilan Agama Rangkasbitung Perkara No.
0390/pdt.G/2013/PA.Rks)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Jajang
NIM. 1110044100060
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag
NIP. 197308022003121001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015
PENGESAHAN UJIAN PANITIA SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Urgensi Izin Isteri Secara Lisan Dan Tertulis Dalam Poligami
(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Perkara No.
0390/pdt.G/2013/PA.Rks)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 07 April 2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana syariah (S.Sy)
pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.
Jakarta 07 April 2015
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua Prodi : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (...........................)
NIP. 197202241998031001
2. Sekretaris Prodi : Sri Hidayati, S.Ag., M.Ag (...........................)
NIP. 197102151997032002
3. Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (...........................)
NIP. 197308022003121001
4. Penguji I : (...........................)
NIP.
5. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (...........................)
NIP. 197202241998031001
iv
ABSTRAK
Jajag. NIM 1110044100060. Urgensi Izin Istri Secara Lisan dan Tertuis Dalam
Poligami (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Perkara Nomor:
0390/Pdt.G/2013/PA.Rks.). Skripsi, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, Konsentrasi
Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Urgensi Izin
Istri Secara Lisan dan Tertuis Dalam Poligami (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama
Rangkasbitung Perkara Nomor: 0390/Pdt.G/2013/PA.Rks.) Pada penelitian ini penulis
memilih objek penelitian di Pengadilan Agam Rangkasbitung. Penulis ingin mengetahui hal-
hal yang menyebabkan dikabulkannya izin poligami. Selain itu juga, penulis ingin
mengidentifikasi pertimbangan hukum hakim yang memberikan izin poligami kepada suami
padahal istri mendapat keturunan dan tidak terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas
sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang
berkenaan dengan urgensi izin istri secara lisan dan tertuis dalam poligami, yang terjadi di
Pengadilan Agama Rangkasbitung. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan
sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi pustaka, dan
studi dokumenter.
Hasil penelitian menunjukan bahwa urgensi izin istri secara lisan dan tertuis dalam
poligami, dikarenakan hakim berpegang pada hadits nabi : “nahnu nahkumu bi adz-dzohahir”
artinya kami menghukumi dengan yang nampak jelas. Maka keadilan seseorang dalam
berpoligami secara formal harus dibuktikan minimal dengan surat pernyataan kesanggupan
berbuat adil, sehingga apabila di kemudian ia berlaku tidak adil bisa dituntut oleh isteri-
isterinya.
Kata Kunci : Urgensi Izin Istri Secara Lisan dan Tertuis Dalam Poligami
(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung
Perkara Nomor: 0390/Pdt.G/2013/PA.Rks.)
Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
Daftar Pustaka : 1991-2012.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat
pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda H. Rusdi dan ibunda
Hj. Wasti, beserta kakak-kakak penulis dan adik-adik, yang tidak pernah berhenti
memberikan motifasi, bimbingan, kasih sayang dan doa. Semoga Allah
subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepada mereka.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan
skripsi ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikanya jika tanpa dukungan,
bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Ibu Sri Hidayati, S.Ag, M.Ag Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan., M.Ag., Dosen Pembimbing skripsi yang
tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan dan memotifasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, SH., M.Ag., sebagai dosen Pembimbing
Akademik yang mengarahkan penulis sejak awal hingga akhir
perkuliahan.
5. Ibu Yanti dan ibu Aini, terima kasih atas bantuan administrasi
pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini dan staf-staf karyawan yang membantu
proses administrasi penulis
7. Seluruh staf Pengadilan Agama Rangkasbitung, dan Panitera Muda
Hukum Mas’ud, S.Ag., serta Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung
bapak Agus Faisal Yusuf., yang merelakan waktunya untuk penulis.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan
dalam mengumpulkan refrensi kepada penulis.
9. Seluruh keluarga besar IMALA yang selalu memberikan support, Do’a
dan motifasi khususnya kang Ajuba, kang Dudek, Jaenuri dan lainya
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
10. Seluruh keluarga Ibu Kos Ita, temen-temen kos Saepul Yahya, Karma,
dan Umar yang memberikan semangat tiada lelah.
vii
11. Teman-teman keluarga Besar Peradilan Agama anggkatan 2010 kelas
A dan B yang menjadi temen seperjuangan. Khusus kepada Ibrahim
dan Anas Maulana Ibrohim, serta temen-temen yang tidak bisa
disebutin semua namanya. Terima kasih atas pinjaman buku dan
motifasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama
kalian semuanya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukunganya,
hanya do’a semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Ciputat, 07 April 2015
JAJANG
viii
Daftar Isi
LEMBAR PERNYATAAN................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING...................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................. iii
ABSTRAK............................................................................................ iv
KATA PENGANTAR.......................................................................... v
DAFTAR ISI......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................. 7
D. Review Study Terdahulu......................................... 8
E. Kerangka Teori........................................................ 9
F. Metodologi Penelitian.............................................. 11
G. Sistematika Penulisan.............................................. 13
BAB II TEORI HUKUM DALAM POLIGAMI …………….. 15
A. Teori Keadilan……………………………………. 15
B. Teori Kepastian Hukum………………………….. 19
C. Teori Maslahat…………………………………… 22
BAB II I POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM....................... 25
A. Pengertian Poligami dan Sejarah Poligami............... 25
B. Dasar Hukum dan Syarat Poligami........................... 31
C. Poligami dalam Hukum Positif di Indinesia.............. 35
a. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.. 35
b. Menurut kompilasi Hukum Islam (KHI)................ 37
ix
c. Menurut PP Nomor 9 Tahun 1975....................... 40
D. Hikmah Poligami....................................................... 42
BAB IV PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
RANGKASBITUNG TERHADAP IZIN POLIGAMI..... 44
A. Potret Pengadilan Agama Rangkasbitung…………… 44
B. Deskripsi Putusan Pengadian Agama Rangkasbitung.. 46
C. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama dan
Penetapan Pengadilan Agama ................................... 49
D. Analisis Penulis……………………………………. 53
BAB V PENUTUP....................................................................... 57
A. Kesimpulan................................................................ 57
B. Saran-Saran................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 59
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak
zaman dahulu hingga kini. Karena perkawinan merupakan masalah yang aktual
untuk dibicarakan di dalam maupun di luar percaturan hukum. Dari perkawinan
akan timbul hubungan hukum antara suami-istri dan kemudian dengan lahirnya
anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak
mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan timbulkan
hubungan hukum antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.1
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan
dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah
tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami isteri), mereka saling
berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang
berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga. Keluarga merupakan
unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan
perkawinan yang sah adalah keluarga yang sejahtera dan bahagia yang selalu
mendapat ridha dari Allah SWT.2
Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia sebagaimana
tersebut di atas, maka diperlukan perkawinan. Kuat lemahnya perkawinan yang di
1 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing. 2011). Cet ke-3 h.1 2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Perdana
Media Group, 2008). Cet ke-2 h. 1
2
tegakkan dan dibina oleh suami isteri tersebut sangat tergantung pada kehendak
dan niat suami isteri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Perkawinan yang
dibangun dengan cinta yang semu (tidak lahir batin), maka perkawinan yang
demikian itu biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian.
Apabila perkawinan sudah berakhir dengan suatu perceraian maka yang
menanggung akibatnya adalah seluruh keluarga yang biasanya sangat
memperihatinkan.3 Suatu keluarga hanya terbentuk melalui perkawinan yang sah.
Tanpa perkawinan yang sah tiada keluarga. Karena itu Perkawinanlah yang
membedakan manusia dengan hewan di dalam memenuhi seksual instingnya.
Tujuan perkawinan menurut Islam untuk membentuk suatu keluarga
bahagia dan harmonis, suatu keuarga yang hidup tenang, rukun dan damai serta
diliputi oleh rasa kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah yang akan
melanjutkan cita-cita orang tuanya.4
Di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1 tentang
perkawinan dikatakan. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.5
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang
sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih
dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat,
maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah
3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Perdana
Media Group, 2008). Cet ke-2 h. 1-2 4 Masjfuk Zuhdi, Studi islam jilid III muamalah. (Jakarrta: Pt rajaGrapindo persada,
1993). Cet ke-2 ha.16 5 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
3
tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi
tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya
terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal yang bersifat negatif itu tidak
terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka
undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan
yang demikian itu, dengan mengantisifasi lebih awal membatasi kawin lebih dari
satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertetu. Undang. Undang
perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu
betul-betul membawa manfaat kepadamereka yang melaksanakanya.6
Pandangan Islam terhadap poligami lebih banyak resiko atau madharat
daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak
cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul
dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.
Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istrinya,
maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya. Karena itu hukum asal dalam
perkawinan menurut hukum Islam adalah monogami, sebab dengan monogami
akan mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh
dalam kehidupan keluarga yang monogamis.
Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah
peka dan terangsang perasaan timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki,
6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Perdana
Media Group, 2008). Cet ke 2 hal 10
4
dan suka mengeluh dalam kadar tinggi sehingga bisa mengganggu ketenangan
keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu poligami
hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isteri ternyata mandul
sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment
yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa
amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo‟a
untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan
keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia
benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap
adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.7
Dalam pasal 4 Undang-Undang perkawinan dinyatakan: seorang suami
yang akan beristeri lebih dari satu orang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami
kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh
undang-undang perkawinan adalah asas monogami. Poligami hanya ditempatkan
pada setatus hukum darurat saja atau dalam keadaan yang luar biasa. Di samping
itu lembaga poligami tidak semata-mata sebagai kewenangan penuh suami tetapi
atas dasar izin dari hakim pengadilan.
7 Abdul Rahman Ghojali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Perdana Media Group, 2012). Cet
ke-5 hal 131
5
Adapun syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang ingin
melakukan poligami ialah seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 undang-
undang perkawinan iyalah :
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-itri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan
anak-anak mereka
Untuk membedakan persyaratan yang ada dalam pasal 4 dan 5 adalah,
pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus
ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah
persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan
melakukan poligami.8
Dari penjelasan-penjelasan di atas berbeda dengan alasan pemohon
terhadap izin poligami dan bertentangan dengan undang-undang nomor 1 tahun
1974 pasal 4 tentang perkawinan, yang dijadikan alasan pemohon poligami adalah
antara lain:
a. Pemohon merasa sanggup untuk berbuat adil terhadap istri-irtri
pemohon
b. Pemohon ingin membantu sebuah keluarga/calon istri ke-2 dari segi
ekonomi
8 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta : Perdana media, 2004). Cet ke 2 hal 162-164
6
c. Pemohon sangat kawatir apabila antara pemohon dengan calon istri
pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Dalam hal ini tidak ada penjelasan atau alasan yang signifikan dengan
pasal 4 ayat 2 undang-undang tetang perkawinan yang seharusnya salah satu harus
ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Memang isteri telah
memberikan pernyataan rela terhadap suami yang akan melangsungkan
pernikahan dengan istri ke dua dan pernyataan suami menjamin akan berlaku adil
dengan melihat penghasilan lebih yang dimilikinya. Kemudian pembuktian yang
hanya berdasarkan kesaksian kepada para saksi saja, padahal pernikahan tersebut
(pemohon dan termohon) telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan
dikaruniai dua orang anak, maka seyogyanya hakim tidak terlalu mudah
memberikan izin poligami kepada pemohon karena mungkin saja mendapat
tekanan dari suami supaya istri tersebut memberikan izin kepadanya.
Untuk menjawab hal tersebut penulis menuangkan dalam sebuah skripsi
yang berjudul “ URGENSI IZIN ISTRI SECARA LISAN DAN TERTULIS
DALAM POLIGAMI” (Analisis putusan Pengandilan Agama
Rangkasbitung Perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks )
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan menimbulkan
interpretasi yang berbeda dari tujuan penulisan skripsi, maka penulis membatasi
7
masalah dalam skripsi ini pada persoalan poligami dalam penetapan perkara No.
0390/pdt.G/2013/PA.Rks.
2. Perumusan Masalah
Menurut peraturan perundang-undangan, apabila seorang suami ingin
melakukan poligami harus mendapatkan putusan izin dari pengadilan. Namun
pada kenyataanya banyak yang melakukan poligami tidak mendapat izin dari
Pengandilan Agama. Untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini,
maka rincian rumusan masalah skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Apa urgensi izin isteri dalam poligami ?
2. Mengapa Hakim Agama Rangkasbitung mengabulkan permohonan
poligami ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana tata cara proses penetapan izin poligami
yang dilakukan oleh majlis hakim di Pengadilan Agama Rangkasbitung.
b. Untuk mengetahui pula sejauhmana peranan pembuktian dalam penetapan
izin poligami
c. Untuk mengetahui seperti apa pertimbangan hukum yang digunakan
hakim dalam menetapkan izin poligami
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan gambaran proses berjalannya sidang permohonan dari awal
diajukan pleh para pihak sampai pada tahap putusan
8
b. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan
majlis hakim pada putusan penetapan permohonan izin poligami karena
suami mampu berlaku adil
c. Menambah khazanah keilmuan yang secara spesifik membahas tentang
proses berjalannya suatu perkara perceraian di pengadilan agama dengan
harapan akan menunjang kemampuan mahasiswa mengenai hukum formil
dan pengetahuan beracara di lingkungan peradilan agama
D. Studi Review Terdahulu
Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian
yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:
1. Ratri Rahayu, izin poligami bagi PNS. Skripsi ini menjelaskan tentang izin
poligami bagi PNS, dalam skripsi yang penulis bahas menitik beratkan pada
ketentuan berpoligami yakni harus ada izin dari pejabat yang berwenang dan
tidak tertera untuk melakukan sebuah uji materil. Namun pada kenyataanya
dalam masyarakat di luar sana masih ada seorang pegawai negeri sipil yang
tidak sesuai dengan PP tersebut namun mengajukan uji materil. Studi terhadap
putusan Mahkamah Agung, Fakultas Syariah dan Hukum 2012.
2. Aihmad Nafi‟i, skripsi ini menjelaskan tentang konsep adil dalam izin
poligami. Skripsi ini fokus kepada dasar hukum dan pertimbangan-
pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam
mengabulkan permohonan izin piligami. Analisin yurisprudensi putusan
pengadilan agama bekasi perkara nomor 205/pdt.G/2008 PA. Bks fakultas
syariah dan hukum. 2011
9
3. Ahmad Sufiyan, Skripsi ini menjelaskan tentang adil sebagai syarat
permohonan poligami. Skripsi ini fokus kepada pemahaman Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur tentang adil dalam poligami dam membahas mengenai
mampu berlaku adil yang menjadi salah satu syarat izin poligami dalam pasal 5
ayat 1 poin c undang-undang No. 1 tahun 1974 tetntang perkawinan. Studi atas
persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta timur fakultas syariah dan 2011
E. Kerangka Teori
Kata-kata poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimilogi,
poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri
banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih
dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tapi dibatasi
paling banyak empat orang” 9
Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum datangnya Islam,
kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami itu
merupakan sistem yang sangat kuat di dalam kehidupan masyarakat Arab, yang
merupakan konsekuensi dari tabiat biologis dan realita sosial mereka. Islam yang
lurus tidak melarang poligami tetapi juga tidak membiarkan bebas tanpa aturan,
akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat imaniah yang jelas
disebutkan dalam hukum-hukum al-Qur‟an.10
Allah SWT membolehkan
berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu
adil dalam arti melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, giliran dan
9 Abdul Rahman Ghojali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Perdana Media Group, 2012). Cet
ke-5 hal 129 10
Kamal Hilmi farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, (Jakarta :
Darul haq, 2007). Cet ke 1 hal 20
10
segala hal yang bersifat lahiriah. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah an-Nisa
ayat 3 :
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ada beberapa alasan dan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami
yang berniat untuk melakukan poligami, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4
dan 5 UU perkawinan. Alasan yang diperbolehkan seorang suami melakukan
poligami adalah istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah
persetujuan dari istri atau istri-istri, kalau ada harus diucapkan di muka majelis
hakim, kemampuan dari material suami yang bermaksud untuk melakukan
poligami dan jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah
menikah.11
Apabila perkawinan poligami itu tidak dilaksanakan sebagaimana
ketentuan undang-undang perkawinan, maka perkawinan poligami itu harus
dinyatakan tidak sah, dinyatakan batal demi hukum dan dianggap tidak terjadi.
Bahkan pelakunya harus dikenakan sanksi yang diatur dalam pasal 44 dan 45
undang-undang perkawinan. Poligami bagi sebagian masyakatat kita khususnya
11
Yayan sopyan, Islam Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta PT. Wahana Semesta Intermedia. 2012). Cet ke II hal 111-112
11
bagi perempuan merupakan hal yang ditakuti. Adanya pembatasan poligami
bertujuan untuk menghindari ekses negatif dalam menegakkan rumah tangga.
Percekcokan rumah tangga kerap terjadi dalam keluarga yang melakukan
poligami. Pertengkaran antara suami istri, intri tua dan istri muda, anak dan bapak,
dan anak dari istri tua dan istri muda bukan hal yang baru, bahkan membahayakan
dan mengancam kelangsungan hidup. Pembatasan poligami dalam undang-
undang ini merupakan langkah antisipasi terhadap perpecahan rumah tangga.12
F. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan
beberapa metode, yaitu:
1. Pendekata masalah
Pendekatan masalah di sini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan
menggunakan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari
putusan yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang
diajukan sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten
dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.
2. Data Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu:
a. Data Primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang
memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan
dengan penelitian, yaitu:
12
Yayan sopyan, Islam Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta PT. Wahana Semesta Intermedia. 2012). Cet ke II hal. 112
12
1) Salinan putusan atau berkas perkara poligami Pengadilan
Agama rangkasbitung Nomor Perkara
0390/pdt.G/2013/PA.Rks.
2) Informasi dari hakim dan atau panitera yang menangani
perkara poligami perkara Pengadilan Agama Rangkasbitung
perkara nomor 0390/pdt.G/2013/PA.Rks.
Kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara mengadakan studi
pustaka atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Al-Hadis, Undang-
undang, Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan-peraturan lainnya, buku-
buku karangan ilmiah serta buku-buku lainnya yang berkaitan dengan
masalah ini.
3. Metode pengumpulan data
Interview/wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk
menjawab semua penelitian. Data yang diperoleh dari wawancara ini akan
disinerjikan dengan data-data yang diperoleh dari studi dokumentasi
13
4. Teknik pengolahan data
Data yang telah terkumpul akan diolah, dianalisis dan diinterpretasikan
untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Seleksi data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik
melalui obsevasi, studi dokumentasi maupun waawancara, lalu diperiksa
kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan
b. Klasifikasi data: setelah data dan bahan diperiksa lalu diklasifikasikan dalam
bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan.
5. Analisis data
Teknis analisis yang digunakan adalah content analiysist dan analisis
wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa sudut pandang.
Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari sumber data, baik yang
didapat melalui wawancara, observasi ataupun studi dokumenter.
6. Pedonam Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “buku pedoman penulisan
skripsi tahun 2012” yang diterbitkan oleh fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
G. Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah BAB
perbab, di mana antara BAB yang satu dengan BAB yang yang lainnya
mempunyai keterkaitan. Sistematika yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
14
BAB I merupakan bab pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi ini, dengan
uraian bahasan meliputi : latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, studi review terdahulu, kerangka teori, metode dan teknik
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II bab ini berkenaan dengan teori hukum dalam poligami meliputi teori
keadilan, teori kepastian hukum dan teori maslahat.
BAB III bab ini menjelaskan tentang pengertian poligami dan sejarah poligami,
dasar hukum dan sejarah, poligami dalam hukum positif di Indonesia, undang-
undang Nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meurut PP nomor 9
tahun 1975 dan hikmah poligami.
BAB IV bab ini menjelaskan putusan Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung
terhadap izin poligami meliputi potret Pengadilan Agama Rangkasbitung,
deskripsi putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung, landasan yuridis Putusan
Pengadilan Agama dan penetapan Pengadilan Agama dan analisis penulis.
BAB V bab ini adalah penutup yang merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab
terdahulu yang mana didalamnya juga dikemukakan saran-saran sebagai jalan
pemikiran penulis dalam rangka membantu mengemukakan jalan keluar dari
permasalahan yang ditemukan dalam penulisan skripsi.
15
BAB II
TEORI HUKUM DALAM POLIGAMI
A. Teori Keadilan
Berbicara tentang keadilan pastinya tidak ada pendefinisian yang dapat
dikatakan sama, konsep keadilan selalu diartikan dengan berbagai definisi dan
selalu dilatarbelakangi dari sisi orang yang mendefinisikan. Keadilan telah
menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani.
Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik,
filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari
bahasa latin “justitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda
yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya
justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan
(3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum
suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).13
Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran teori yang
berbeda.14
Disini penulis akan menguraikan salah satu teori keadilan yang berasal
dari pemikiran John Rawls. John Rawls merupakan salah satu filsuf berpengaruh
yang mendobrak kebuntuan filsafat politik di paruh kedua abad ke-20. Dalam
13
http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html . 14
Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang
berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku W. Friedmann, Teori dan
Filasafat Hukum; diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
16
teorinya, Rawls menjelaskan ada dua langkah penting yang harus diperhatikan
demi terciptanya keadilan yang ia sebut fairness. Pertama, ditekankan pentingnya
posisi asali. Posisi asali ini tidak dianggap sebagai kondisi historis, apalagi
sebagai kondisi primitif kebudayaan. Diantara bentuk esensial dari situasi ini
adalah bahwa tak seorangpun tahu tempatnya, posisi atau status sosialnya dalam
masyarakat, tidak ada pula yang tahu kekayaannya, kecerdasannya, kekuatannya,
dan semacamnya dalam distribusi aset serta kekuatan alam. Rawls
mengasumsikan bahwa pihak-pihak dalam posisi asali tidak mengetahui konsepsi
tentang kebaikan atau kecenderungan psikologis. Posisi asali menjadi kondisi
awal dimana rasionalitas, kebebasan (freedom) dan kesamaan hak (equality)
merupakan prinsip-prinsip pokok yang diandaikan dianut dan sekaligus menjadi
sikap dasar dari semua pihak yang terkait dalam proses pemilihan prinsip-prinsip
keadilan.
Kedua, adanya konstitusi, undang-undang, atau sistem aturan yang sesuai
dengan prinsip keadilan yang disepakati. John Rawls percaya bahwa keadilan
yang berbasiskan peraturan tetaplah penting karena pada dasarnya ia memberikan
suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus
diperlakukan secara sama, dengan kata lain keadilan formal menuntut kesamaan
minimum bagi segenap masyarakat. Oleh karena itu maka eksistensi suatu
masyarakat sangat tergantung pada pengaturan formal melalui hukum serta
lembaga-lembaga pendukungnya. Namun Rawls menambahkan, walaupun
diperlukan, keadilan formal tidak bisa sepenuhnya mendorong terciptanya suatu
masyarakat yang tertata secara baik (well ordered society). Menurutnya keadilan
17
formal cenderung dipaksakan secara sepihak oleh penguasa. Oleh karena itu,
betapapun pentingnya keadilan formal, Rawls tidak ingin berhenti pada taraf ini.
Ia menyeberangi formalisme ini dengan merumuskan sebuah teori keadilan yang
lebih memberi tempat kepada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan
publik tertentu. Untuk itu Rawls percaya bahwa sebuah teori keadilan yang baik
adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua
pihak secara fair.15
Adapun keadilan dalam ajaran Islam merupakan ajaran sentral dalam
Islam dan bersifat universal. Sifat universal itu dapat dilihat dari keberadaan
manusia di mana pun dan kapan pun yang selalu mendambakan hadirnya
keadilan. Dalam diri manusia, terdapat potensi ruhaniah yang membisikkan
perasaan keadilan sebagai sesuatu yang benar dan harus ditegakkan.
Penyimpangan terhadap keadilan menodai esensi kemanusiaan. Karena itu, Islam
yang bermisi utama rahmatan li al-alamin, pembawa rahmat bagi seluruh alam,
menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang asasi.
Dari segi bahasa, menurut Muhammad Isma„il Ibrahim dalam
Noordjannah Djohantini dkk16
. keadilan berarti berdiri lurus (istiqam),
menyamakan (taswiyyah), netral (hiyad), insaf, tebusan (fida), pertengahan
(wasth), dan seimbang atau sebanding (mitsal). Dalam hal ini terdapat dua bentuk
keseimbangan, dalam bahasa Arab, dibedakan antara al-„adlu yang berarti
15
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 17 16
Noordjannah Djohantini dkk, Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon Muhammadiyah), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), h. 28.
18
keseimbangan abstrak dan al-„idlu yang berarti keseimbangan konkret dalam
wujud benda. Misalnya, al-„idlu menunjuk pada keseimbangan pikulan antara
bagian depan dan belakang, seda ngkan al-„adlu menunjuk pada keseimbangan
abstrak, tidak konkret, yang muncul karena adanya persamaan manusia.
Al-Qur‟an sebagai kitab suci umat Islam menunjukkan praktik penegakan
keadilan, menghargai dan mengangkat derajat orang-orang yang berbuat adil,
serta melarang dan mencela tindak ketidakadilan. Al-Qur‟an juga menempatkan
keadilan sebagai asas yang harus dipegang oleh setiap manusia dalam seluruh
aktivitas kehidupannya. Adil merupakan kebajikan yang paling dekat dengan
takwa karena keadilan merupakan refleksi dari ketakwaan. Hal ini dapat dilihat
dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 8:
Artinya: . Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk Berlaku tidak adil Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Ma‟idah: 8).
Keadilan adalah hak yang sangat asasi dan merupakan prinsip yang harus
ditegakkan di muka bumi ini. Pelaksanaan ajaran Islam yang benar akan
mewujudkan rasa keadilan. Sebaliknya, penyelewengan dari ajaran Islam akan
membuahkan kerusakan atau penindasan. Penegakan keadilan.
19
B. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma, norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma
adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam masyarakat, aturan-aturan itu menjadi batasan dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan dan pelaksanaan aturan
tersebut menimbulkan kepastian hukum.17
Kepastian hukum yang biasanya di pertentangkan dengan keadilan,
sesungguhnya mengandung unsur keadilan itu sendiri. Untuk menghukum suatu
perbuatan pihak yang berkuasa menghukum, sebelumnya harus memastikan
kepada objek hukumanya terlebih dahulubahwa perbuatan dapat dihukum. Tanpa
adanya pemberitahuan atau kepastian semacam itu, akan terbuka ruang bagi
timbulnya kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa menghukum. Bukankah
tidak mungkin dalam hal tersebut terjadi perbedaan nilai antara penegak hukum
dan obyek hukumnya, tidak adanya kepastian akan membuat tindakan penegak
hukum kehilangan legitimasinya sehingga system hukumtidak akan berjalan.
Namun demikian, lingkup kepastian hukum sebenarnya tidak cukup sampai di
situ. Ketentuan-ketentuan pidana yang kemudian dianggap berlaku pun pada
dasarnya masih bersifat abstrak sedang bagaimana ketentuan tersebut diterapkan
akan sangat bergantung pada bagaimana penilaian hakim.
17
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana. 2008). H.158
20
Aturan yang masih berbentuk abstrak itu, pada prakteknya masih harus di
terjemahkan oleh hakimke dalam suatu aturan yang konkkrituntuk menjawab
pertanyaanapakah dalam kasus bersangkutan pihak yang akan dihukum benar-
benar melakukan perbuatan itu, hal ini terjadi karena dalam menilai suatu
perbuatan berdasarkan aturan yang sudah ada sekalipun, terbuka adanya
perbedaan tafsir antara penegak hokum dan pihak yang akan dihukum.
Dengan demikian, kepastian hokum bukan saja penting karena terkait
pengaturan dalam bentuk abstrak (sebelumnya harus ada kepastian aturan
tertentu), tapi penting juga terkait penerapannya dalam suatu perkara konkrit
(dalam penerapan aturan itu harus ada kepastian perlakuan yang sama). Sehingga
meskipun hakim pada dasarnya bebas untuk memutuskan dan menilai apakah
suatu perkara konkrit memenuhi atau tidak unsur-unsur suatu aturan, namun
dirinya juga terikat bahwa penilaianya harus berlaku umum. Atau dengan kata
lain, untuk suatu kasus serupa yang harus diberlakukan pula ketentuan yang
serupa serta untuk suatu kasus yang berbeda maka hakim harus berbeda pula
penilaiannya.
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan
makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap
orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum, apabila
dilihat secara historis perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan
21
perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan
dari Montesquieu.18
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum
karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan
menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan
kegiatan-kegiatanyang diperlukan dalam kehidupan masyarakat guna memahami
secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendir.
Menurut Gustav Radbruch ada 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum, yaitu:19
Pertana, bahwa hukum itu positif, artinya hokum positif itu adalah
perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta artinya
didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah
dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh diubah.
Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian
dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam
masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna
atau suatu ketentuan hukum dan hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh
kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.
18
www. Ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/. Diakses
pada tanggal 08-04-2015. Jam. 13.39
19
www.Ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/. Diakses
pada tanggal 08-04-2015. Jam. 13.39
22
C. Teori Maslahat
Islam sebagai agama universal memiliki sumber-sumber yang tidak lekang
oleh zaman dan tidak surut oleh waktu, hukum-hukum Islam senantiasa di up to
date di segala tempat dan masa. Kekekalan hukum islam tercermin dari sifat-sifat
hukumnyayang elastis dan fleksibel dalam menerima perubahan zaman. Dalam
hal ini bukan berarti hukum Islam mengikuti perkembangan zaman dalam makna
negatif namun perubahan zaman akan selalu dicounter oleh hokum Islam selama
perubahan tersebut bukan berkaitan drngan hal-hal yang prinsip maka Islam dapat
menerimanya20
Maslahat adalah satu term yang populer dalam kajian mengenai hukum
Islam. Hal tersebut disebabkan maslahat merupakan tujuan syara‟(maqashid as-
syari‟ah) dari ditetapkannya hukum Islam. Maslahat di siniberarti jalb al-
manfa‟ah wa daf‟ almafsadah (menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan).
Meski demikian, keberadaan maslahat sebagai bagian tak terpisahkan dalam
hukum Islam tetap menghadirkan banyak polemik dan perbedaan pendapat di
kalangan ulama, baik sejak Ushul Fiqh masih beradapada masa sahabat, masa
Imam madzhab, maupun pada masa ulama kontemporer saat ini.
Perbedaan penentuan pola, kriteria, dan prioritas maslahat tidak jarang justru
melahirkan sebuah mafsadat berupa pertikaian antara sesama kaum muslim.
Perang Jamal, pada masa khalifah Ali RA, yang telah mengorbankan beribu-ribu
putra terbaik Islam misalnya, hanyalah bermula dari perbedaan pandangan di
dalam menentukan skala prioritas maslahat, apakah harus mencari para pelaku
20
AM Bambang Prawiro, Majelis Ukhuwah Penulis Bersyariah dari
http://majelispenulis.blogspot.com
23
kerusuhan dan pembunuhan terhadap khalifah Utsman RA, ataukah harus
ditertibkan dahulu negara dengan membai‟at seluruh rakyat baru kemudian
melacak para perusuh.
Perdebatan semacam ini akan berujung pada perdebatan peran akal dan
wahyu. Oleh karena itu, perlu dikemukakan bahwa sejauh mengenai hubungan
maslahat dengan nash syara, para fuqaha sendiri terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan yang hanya berpegang pada nash saja dan mengambil
zahir nash serta tidak melihat pada suatu kemaslahatan yang tersirat dalam nash
itu. Demikianlah kehadiran golongan Zahiriyah, golongan yang menolak qiyas.
Mereka mengatakan “tak ada kemaslahatan melainkan yang didatangkan syara.
Kedua, golongan yang berusaha mencari maslahat dari nash untuk
mengetahui illat-illat nash, maksud dan tujuan-tujuannya. Golongan ini
mengqiyaskan segala yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang
mengandung maslahat itu. Hanya saja mereka tidak menghargai mashlahat
terkecuali ada syahid (persaksian). Jadi maslahat yang mereka i'tibarkan hanyalah
maslahat yang disaksikan oleh suatu nash atau dalil. Hal inilah yang mereka
jadikan illat qiyas.
Ketiga, golongan yang menetapkan setiap mashlahat yang masuk kedalam
jenis maslahat yang ditetapkan oleh syara.Walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu
dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang
berdiri sendiri dan mereka namakan mashlahat mursalah
Maslahat Menurut al-Ghazali adalah menarik kemanfaatan atau menolak
madharat, (sesuatu yang menimbulkan kerugian) namun, tidaklah demikian yang
24
dikehendaki karena sebab mencapai kemanfaatan dan menafikan kemadharatan
adalah merupakan tujuan atau maksud dari makhluk, adapun kebaikan atau
kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka, akan tetapi yang
dimaksudkan dengan maslahat adalah menjaga atau memelihara tujuan syara,
adapun tujuan syara yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yakni:
pemeliharaan atas mereka (makhluk) terhadap agama mereka, jiwa mereka, akal
mereka, nasab atau keturunan mereka, dan harta mereka, maka setiap sesuatu
yang mengandung atau mencakup pemeliharaan atas lima pokok dasar tersebut
adalah maslahat dan setiap sesuatu yang menafikan lima pokok dasar tersebut
adalah mafsadat, sedangkan jika menolaknya (sesuatu yang menafikan lima pokok
dasar) adalah maslahat. Semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syara yang
lima ini, merupakan maslahat dan semua yang mengabaikan tujuan ini merupakan
mafsadat. Sedangkan menolak yang mengabaikannya itu justru merupakan
maslahat.21
.
.
21
Al-Ghazâli, Abu Hamid Muhammad, al-Mustashfa, (Beirut: Mu‟assasah ar-Risalah,
1997).Juz I, h. 416
25
BAB III
POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami dan Sejarah Poligami
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan serang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.22
Oleh karena itu,
perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga dalam
pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad
yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan
melaksanakannya adalah ibadah.
Dalam diskursus fiqih Islam, perkawinan termasuk dalam kategori
mu‟amalah, yakni aturan yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Kaidah
yang secara umum dipakai dalam masalah mu‟amalah adalah “al-ashl fi al-
mu‟amalah al-ibadah”, namun dalam masalah-masalah yang terkait dengan detil
pengaturan perkawinan berlaku kaidah yang lex-spesialis, yakni “al-ashl fi al-
abdla at-tahrim”, mengingat dimensi ibadahnya begitu kuat dan disertai dengan
aturan-aturan normatif yang relatif cinci23
Sedangkan Poligami ialah ikatan perkawinan dalam hal mana suami
mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan
bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami,
dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri,
22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 23
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta :
Graha Paramuda. 2008) Cet Ke- 2 h. 187
26
dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam
waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak
banyak dipraktekkan. Praktik poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku
tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.24
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari
dua kata yakni “poli” atau”polus” yang artinya banyak dan kata “gamein” atau
“gamos” yang artinya kawin atau perkawinan. Jika digabungkan akan berarti
suatu perkawinan yang banyak.25
Secara etimilogi, poli artinya “banyak”, dan
gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi,
poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau “seorang
laki-laki beristri lebih dari seorang, tapi dibatasi paling banyak empat orang”.26
Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta‟adduduz zaujaat, sedangkan dalam
bahasa Indonesia disebut madu.27
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling
banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan
24
Siti Muhdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
2004) h. 43 25
Yayan sopyan, Islam - Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta PT. Wahana Semesta Intermedia. 2012). Cet ke-2 h. 139 26
Abdul Rahman Ghojali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Perdana Media Group, 2012). Cet
ke-5. 129
27 Islah Gusmain, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Warna,
2007) Cet Ke -1 h. 29
27
berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan
selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.28
Poligami dalam kehidupan orang-orang barat adalah realita yang tidak
punya aturan, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu terjadi di hadapan
penglihatan dan pemberlakuan undang-undang. Praktik gonta ganti teman kencan
ala Barat ini adalah suatu yang sah dalam undang-undang mereka akan tetapi
tidak dinamakan poligami, dan semua itu tanpa didasari moral, hati dan jiwa
mereka sedikit pun tidak tergerak dan tanpa rasa kemanusiaan. Semua itu hanya
semata demi melampiaskan nafsu syahwat dan egoisme.29
Poligami merupakan salah satu “amunisi” yang biasa dipakai oleh para
orientalis dan pembenci Islam untuk menggayang agama ini dan pemeluknya.
Sampai-sampai, orang-orang seperti Salman Rushdi atau Pat Robertson
menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw kurang lebih adalah seorang “sex-
maniac.” Memang jika di bidang aqidah Allah swt menguji keislaman manusia
dengan peristiwa isra‟ miraj maka di bidang syariat Allah menguji hambanya
antara lain lewat ajaran poligami.30
Sebelum Islam datang, di Jazirah masyarakat Arab sudah mempraktikkan
poligami tanpa adanya batasan. Dalam beberapa sumber sejarah dapat ditemukan
28
Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Perdana Media
Group. 2006) Cet Ke-3 h. 155
29 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, (Jakarta
: Darul Haq, 2007) Cet ke- h. 85 30
Nurbowo, Apiko JM, Indahnya Poligami, pengalaman Sakinah Puspo Wardono,
(Jakarta : Khaairul Bayan. 2003) Cet ke-1 h. 16
28
bahwa banyak laki-laki khususnya para pemimpin suku memiliki puluhan istri,
bahkan tidak sedikit kepada suku yang mempunyai ratusan istri.
Memang tradisi Arab pada masa itu, seperti yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari melalui Siti Aisyah, pada masa jahiliyah Arab dikenal empat macam
pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini memulai dengan
pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar, dan menikah. Kedua,
adalah seorang suami yang memerintahkan kepada isrinya apabila telah suci dari
haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang. Bila ia hamil, ia
kembali untuk digauli suaminya, ini dilakukan guna untuk mendapatkan
keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang,
kesemuanya menggauli seorang wanita dan bila ia hamil kemudian ia melahirkan
ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut kemudian ia menunjukkan salah
seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu dan
yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang
dilakukan oleh wanita tuna susila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-
pintu kediaman mereka dan bercampur dengan siapa pun yang suka kepadanya.31
Dengan demikian, setelah Islam datang yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. Islam melarang cara pernikahan terebut kecuali cara yang
pertama, dalam hal kaitanya dengan poligami Islam hanya membatasi dengan
empat isrti dengan syarat berlaku adil.
31
Nurbowo, Apiko JM, Indahnya Poligami, pengalaman Sakinah Puspo Wardono,
(Jakarta : Khaairul Bayan. 2003) Cet ke-1 h. 19
29
Sejarah poligami
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang
Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia,
Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang
berpoligami. Arab, mereka juga berpoligami, karena itu tidak benar apabila ada
tuduhan bahwa islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami sebab nyatanya
aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negri-
negeri yang tidak menganut Islam seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidak
lah benar kalau poligami hanya terdapat di negri-negri Islam.32
Maka tidak benar jika agama Islamlah yang pertama kali membawa sistem
poligami. Karena, sebenarnya pada saat ini, sistem poligami tetap tersebar di
beberapa Negara atau bangsa yang tidak memeluk agama Islam, seperti Afrika,
Cina dan Jepang. Jadi tidak benar jika poligami hanya ada dalam peradaban Islam.
Dalam agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami,
karena tidak ada satu pun ayat dalam kitab Injil yang secara tugas melarang
poligami. Berbeda dengan orang-orang Kristen di Eropa mereka hanya
menjalankan monogami yang tidak lain karena kebanyakan Kristen pada mulanya
seperti orang-orang Yunani dan Romawi yang pada saat itu sudah melarang
poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap
berpegang pada kebiasaan agama nenek moyang mereka yang telah melarang
poligami pada waktu sebelumnya. Dengan demikian peraturan tentang monogami
adalah peaturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala.
32
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Alkatsar. 2007) Cet Ke-1 h. 117
30
Di mana gereja hanya meneruskan larangan akan poligami dan menganggapnya
sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembara dari kitab Injil sendiri
tidak menyebutkan larangan melakukan poligami.33
Kalau kita mengkaji sejarah poligami maka akan terbuka bahwa masalah
poligami itu sudah sejak lama sebelum Islam datang. Bahkan poligami itu
merupakan warisan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai pada masa
Martin Luther, seorang penganjur besar protestan, tidak nampak adanya larangan
poligami. Tujuan tersebut bisa dijawab dengan beberapa bukti sejarah bahwa
poligami suah berjalan lama sebelum Islam datang, sebagai berikut Westernak
berkata: “poligami dengan sepengetahuan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17
M”. pada tahun 1650 M Majelis Tinggi Prancis mengeluarkan surat edaran
tentang diperbolehkannya seorang laki-laki mengumpulkan dua orang istri. Surat
edaran itu dikeluarkan karena kurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun
terus menerus. Agama Yahudi memperbolehkan poligami yang tidak terbatas.
Kenyataannya Nabi Yakub, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman mempunyai banyak
istri, serta Nabi Ibrahim juga mempunyai dua orang istri yaitu Hajar dan Sarah.34
Penduduk asli Australia, amerikla, Cina, Jerman dan Silia. Terkenal
sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama Masehi.
Poligami yang mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat
keadilan terhaap beberapa istrinya. Ahli pikir Inggris Harbert Sebenser dalam
bukunya „ilmu menjelaskan bahwa sebelum Islam datang, wania diperjual belikan
atau digadaikan bahkan dipinjamkan”. Hal terbut dilakukan sesuai dengan
33
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Alkatsar. 2007) Cet Ke-1 h. 56 34
Gadis Arivia, Menggalang Perubahan Perlunya Persfektif Jender, YJP, Jakarta, 2004
31
peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan
abad 11 M.35
Dengan ini jelas bahwa poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa
sebelum Islam datang. Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat
kaum wanita itu, maka Islam melalui Nabi Muhammad saw sebagai Rasulnya,
membenai dan mengadakan penataan terhadap adat istiadat yang benar-benar
tidak mendatangkan kemaslahatan dan menruskan adat kebiasaan yang
menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk masalah poligami
yang tidak terbatas Islam membolehkan poligami dengan syarat adil, hal ini demi
menjaga hak dan martabat wanita.36
Dengan demikian jelaslah bahwa praktik poligami di masa Islam sangatlah
berbeda dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua
hal. Pertama, pada bilangan itri, dari yang tidak terbatas hingga hanya terbatas
sampai empat saja. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil.
B. Dasar Hukum dan Syarat Poligami
Allah SWT membolehkan poligami sampai 4 (empat) orang istri dengan
syarat berlaku adil kepada mereka. Adapun adil dalam melayani istri, seperti
urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat
lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu orang istri saja
35
Gadis Arivia, Menggalang Perubahan Perlunya Persfektif Jender, YJP, Jakarta, 2004
h. 57 36
Musdah Mulia, Muslimah Reformis, (Jakarta : Mian, 2004)
32
(monogami).37
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 3
yang berbunyi;
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
Menurut Jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut
mengisyaratkan untuk kebolehan (ibadah), bukan wajib. Hal serupa juga ditemui
dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti kuluu
wasyrabuu.38
Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat
dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah
laki-laki lebih sedikit daripada jumlah permpuan, dan ini beraspek sosial spiritual
atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkanya dari
penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids atau untuk kepentingan dakwah
dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit, suami
membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki besar daripada
perempuan.39
37
Abd. Rahman Ghajali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Prenada Media. 2003), Cet. Ke-1 h.
129-130 38
Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur‟an, juz 1, h. 194 39
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 162-167
33
Syarat Poligami
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat
orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan,
pakaian, tempat tinggal, serta lainya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan
antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi
dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan
tidak mampu memenuhi hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila
yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menika dengan empat
orang. Jika ia sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya
menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan
mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.40
Sebagaimana firman Allah SWT.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
Dalam sebuah hadis Nabi saw. Juga disebutkan:
“Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya nabi saw bersabda, “barang siapa yang
mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia
akan datang hari kiamat nanti dengan punggung miring.” (HR Abu Daud,
Tirmizi, Nasa‟i dan Hiban)”
40
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
PT. RajaGrapindo Persada, 2009), h. 361-362
34
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat di atas, tidaklah
bertentangan dengan firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa: 129 :
“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah berlaku adil, pada
ayat 3 surat An-nisa, diwajibkan berlaku adil sedangkan ayat 129 meniadakan
berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena
yang dituntut di sini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan
manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat di atas adalah adil dalam
masalah cinta dan kasih sayang.
Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan
dalam cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya
dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak baliknya menurut
kehendakNya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri
yang satu tetapi tidak begiu dengan itri yang lainya.41
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Bab 1 pasal 4 dijelaskan
pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang yang ingin melakukan
poligami apabila terpenuhinya alsan-alasan sebagai berikut, yaitu;
41
Tihami dan sohari sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
PT. RajaGrapindo Persada, 2009), h. 363
35
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan
poligami yang berlaku dalam Islam, di mana, Islam hanya mensyaratkan adil
sebagai syarat untuk melakukan poligami.
Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di
antara para istrinya sesuai dengan kemampuanya yaitu dalam hal bermalam atau
memberi makan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain. Bukan dalam masalah
cinta dan kasih sayang yang memang berada dalam kemampuan manusia.
Bersikap adil sebagai syrat utama dalam poligami tidak mudah, karena
dalam perkawinan poligami terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah
terpenuhi apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap yang cukup layak untuk
melakukan poligami.
C. Poligami Dalam Hukum Positif di Indonesia
a. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Dalam Undang-unang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan aturan
tentang kebolehan beristri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3, 4 dan 5 yang
berisikan alasan serta syarat beristri lebih dari sorang (poligami). Pasal 3 ayat 2
menerangkan bahwa pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Ayat ini jelas sekali bahwa undang-undang perkawinan telah
36
melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting untuk
mengabsahkan kebolehan poligami untuk seseorang.42
Kemudian dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa apabila seorang suami
yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan
alasan-alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami, apabila: (1)
istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri (2) istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapa disembuhkan dan (3) istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan yang
ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal artinnya istri
tidak mendaptkan keturunan, maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5
undang-undang No. 1 tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang.43
Di antaranya adalah: (a)
adanya perjanjian dari istri atau istri-istri (b) adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
dan (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka. Namun, apabila istri atau istrinya tidak mungkin dimintai
dalam perjanjianya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar
dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun dan sebab-sebab lain yang
42
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
156 43
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indoneia, (Jakarta: PT. sinar Grafika, 2006), Cet
Ke-1 h. 47
37
perlu mendapat penilaian dari pengadilan, maka suami tidak memerlukan
persetujuan dari istri atau istri-istrinya.44
Pada pasal 5 dan 2 di atas adalah persyaratan tentang poligami. Perlu kita
ketahui bahwa pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada
untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah
persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan
melakukan poligami.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI lahir dari keinginan untuk menyatukan hukum Islam yang tersebar di
seluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain mempositifkan syari‟at Islam
dalam bidang keperdataan (ahwalusyakhsiyah), juga ingin mengkodifikasi dan
menyamakan kitab fiqih yang akan dipakai di pengadilan. Karena pada saat itu
terjadi keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Dengan
tujuan tersebut maka timbullah keinginan penyeragaman dan kebonafitan hukum
untuk umat Islam.45
Kompilasi hukum Islam hadir pada tata hukum Nasional Indonesia melalui
instrumen hukum dalam bentuk isntruksi presiden (inpres) No. 1 tahun 1991
tanggal 2 juli 1991. Terpilihnya instrumen inpres ini menimbulkan dua
pandangan. Pandangan pertama melihat inpres tersebut mempunyai kemampuan
mandiri untuk berlaku efektif di samping isntrumen lainnya, dan karenanya
memiliki daya atur tersendiri dalam sistem hukum Nasional, sedangkan
44
Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan 45
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu. 1999) Cet kKe-2 h. 1-2
38
pandangan lain melihat bahwa inpres yang dimaksud dalam tata hukum Indonesia
tidak terlihat dalam tata urutan peraturan perundangan nasional.
Materi pokok poligami dalam kompilasi hukum Islam terdapat dalam buku
I tentang perkawinan bab IX pasal 55-59 yang menerangkan cakupan untuk
beristri lebih dari seorang.
Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur KHI dalam bidang hukum
perkawinan pada intinya merupaka penegasan ulang tentang hal-hal yang telah
diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.46
Mengenai perihal poligami hal itu bisa dilihat pasal 57, 58 dan 59. Namun esensi
yang dibangun KHI mengenai poligami terdapat pada pasal 55 lebih
mengedepankan nilai keadilan suami bagi para istri. Berikut poligami dalam KHI
tersebut:
Pasal 55 menerangkan bahwa beristri lebih dari seorang pada satu waktu
bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama dari
seorang suami harus mempu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Dan apabila syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristri lebih dari seorang.
Pasal 56 bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari pengadilan Agama dengan melakukan menurut tatacara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975.
Berikut juga menerangkan perkawinan yang dilakukan dengan istri kdua, ketiga,
46
Yahya Harahap, Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi
Hukum Islam, Dalam Brbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 1991), h.
81
39
atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Dalam pasal 57 pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beritri lebih dari satu orang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melairkan keturunan
Pasal 58 menerangkan bahwa untuk memperoleh izin pengadilan agama,
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-
istri dan anak-anak mereka.
Kemudian mengatur mengenai persetujuan istri atau istri-istri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan
tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
pengadilan agama dan perstujuan dimaksud tidak diperlukan bagi suami apabila
istri atau itri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuanya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila istri tidak ada kabar dari istri atau
istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian hakim.
Pasal 59 menerangkan dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan,
dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah
40
satu alas an yang diatur, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
pengadilan agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.
Permasalahan keadilan berpoligami dalam KHI merupakan concern KHI
sendiri melihat permasalahn hukum Islam dalam pandangan fiqh yang ada.
Manusia memang terbatas mengenai keadilan, akan tetapi tetap bias dinilai
dengan pola berfikir positif dan realistis dalam kasus poligami.
Hakim yang dipercaya sebagai orang yang dianggap penengah dalam
masalah apapun tak luput dari kekurangan mengenai keadilan. Keadilan seorang
hanya bisa dinilai oleh orang lain selain dirinya, maka timbul siapa orang
dipercaya dalam hal ini. Jawaban yang kongkrit adalah hakim itu sendirilah yang
disepakati publik menilai keadilan seseorang karena mempunyai keahlian yang
telah dipelajari secara khusus mengenai masalah-masalah apapun.
Penjabaran tersebut dimaksudkan untuk membawa ketentuan-ketentuan
undang-undang No 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan
bernilai syari‟at Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam undang-
undang no 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang
bersifat khusus dan sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus bagi
mereka yang beragama Islam.
c. Menurut PP Nomor 9 Tahun 1975
Dalam penjelasan PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 menerangkan dalam pasal 40, 41, 42, 43 dan pasal 44. Dalam pasal
41
40 berbicara mengenai “apabila sorang suami bermaksud untuk beristri lebih
dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan scara tertulis kepada
pengadilan” dan pada pasal 41 pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan
itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak ,mereka dengan persyaratan atau janji dari suami
yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42 menerangkan dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal
pada pasal 40 dan 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang
bersangkutan dan pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lamiranya.
Pasal 43 menerangkan apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup
alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang dan
pasal 44 menerangkan bahwa pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.
42
Undang-undang poligami di atas membolehkan untuk beristri lebih dari
satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan. Akan
tetapi terbatas hanya sampai empat orang. Adapun syarat yang harus dipenuhi di
antaranya suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam
hal nafkah dan keadilan. Apabila suami tidak bisa memanuhi, maka suami
dilarang beristri lebih dari satu. Di samping itu suami harus terlebih dahulu
mendapat izin dari pengadilan agama. Jika tanpa izin pengadilan agama maka
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
D. Hikmah Poligami
Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT, pasti terdapat hikmah yang
dapat diambil oleh manusia, demikian juga ketika Allah menurunkan ayat tentang
poligami. Hikmah dari poligami di antaranya:
1. Umat manusia sering kali mengalami krisis yang menyebabkan surplusnya
kaum wanita, seperti yang biasa terjadi pasca reformasi, wabah atau
bencana alam. Banyak kaum wanita yang akan hidup tanpa suami dan itu
akan menghasilkan resiko semakin berkurangnya angka kelahiran, dan itu
tidak mustahil. Jika dalam kondisi seperti ini poligami tidak dibolehkan
sebagaimana yang dilakukan Islam, maka kemesuman, pergaulan bebas,
penyelewengan dan pelacuran akan tersebar di masyarakat dan semakin
meningkatkan jumlah anak-anak haram.47
2. Kesanggupan seorang laki-laki untuk berketurunan lebih kuat daripada
perempuan. Laki-laki sanggup melaksanakan tugas biologisnya sejak ia
47
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahdi, (Jakarta:
Darul Haq, 2007), h. 67
43
baligh sampai akhir usianya. Sedang kaum perempuan tidak mampu
melaksanakanya di waktu sedang haid, nifas, hamil dan waktu menyusui.
Kesanggupan perempuan untuk berketurunan terbatas sampai usia antara
40 sampai 50 tahun, sedang kaum laki-laki sanggup sampai usia 60 tahun
lebih.48
Apabila perempuan dalam keadaan seperti tersebut di atas tidak dapat
melaksanakan sebagai fungsinya sebagai seorang istri lalu apa yang harus
dilakukan oleh seorang suami, apakah ia harus menyalurkannya kepada istrinya
yang halal untuk menjaga kehormatanya ataukah ia harus mencari penyaluran
seperti yang dilakukan oleh binatang tanpa perkawinan yang sah. Padahal Islam
secara tegas melarang pelacuran.
Dengan keterangan-keterangan di atas poliami yang dipebolehkan
dalam Islam bukanlah untuk memenuhi nafsu seks belaka bagi kalangan kaum
laki-laki tetapi mempunyai maksud dan tujuan untuk kemalahatan umat Islam
seluruhnya.
48
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perslingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Alkatsar. 2007) Cet Ke-1 h.123
44
BAB IV
PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA RANGKABITUNG
TERHADAP IZIN POLIGAMI
A. Potret Pengadilan Agama Rangkasbitung
Pengadilan Agama Rangkasbitung dibentuk berdasarkan Staatsblad 1882
Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura tanggal
19 Januari dengan nama Raad Agama atau Penghulu Landraad.49
Dasar Hukum dan Pembentukan Pengadilan Agama Rangkasbitung
Pengadilan Agama Rangkasbitung terletak di wilayah Kabupaten Lebak,
berdiri sekitar + 48 tahun lalu. Dengan menempati gedung yang disewa di
kampung sawah Rangkasbitung, Pengadilan Agama Rangkasbitung secara
operasional menjalankan tugasnya.
Pada tahun 1976 lokasi kantor pindah ke Jl. Raya Leuwidamar No. 40
dengan status tanah hibah atau pelepasan hak dari K. Moh. Ujer seluas 640 M2.
Gedung Pengadilan Agama Rangkasbitung dibangun di atas tanah seluas 640 M2
luas bangunan + 350 M2.
Pada tahun 1983 dilakukan rehabilitasi atau perluasan bangunan 100 M2
dengan biaya Rp. 12.405.000,00. pada tahun anggaran 2007 Pengadilan Agama
Rangkasbitung telah membeli tanah untuk gedung kantor selaus 5.000 M2 yang
terletak di jalan Sudirman, Narimbang Rangkasbitung, yang anggarannya
dititipkan pada PTA Banten, dan saat ini Kantor Pengadilan Agama
49
Pengadilan Agama Rangkasbitung, Artikel diakses pada 06 mei 2014 dari http://pa-
rangkasbitung.net/index.php/profil/sejarah.
45
Rangkasbitung telah berpindah lokasi yaitu di Jalan Jendral Sudirman KM 3
Narimbang Mulya, Rangkasbitung - Lebak Banten, sejak bulan November Tahun
2011.
Pengadilan Agama Rangkasbitung mempunyai wilayah hukum sebanyak
kurang lebih 23 kecamatan yang terbagi menjadi 104 kelurahan. Peranan
Pengadilan Agama Rangkasbitung pada awal keberadaannya dapat dianggap
tidak optimal. Apresiasi masyarakat terhadap kewenangan yang dimiliki
Pengadilan Agama ini sangat minim. Perkara-perkara yang ditangani oleh
Pengadilan Agama Rangkasbitung setiap tahunnya tidak lebih dari 150 perkara
atau rata-rata perbulan hanya sekitar 15 atau kurang, padahal jika dilihat segi
kuantitas penduduk mencapai 1 (satu) juta lebih penduduk, Namun setap tahunnya
perkara yang diterima semakin meningkat, pada Tahun 2011 Pengadilan Agama
Rangkasbitung menerima sejumlah kurang lebih 502 perkara. Jenis perkara
yang diajukan oleh pihak pencari keadilan lebih cenderung perkara yang
erat kaitannya dengan perceraian. Perkara lainnya seperti gugatan waris,
atau permohonan lainnya sangat jarang diterima Pengadilan Agama.
Dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Rangkasbitung secara
tertulis tidak diketahui hanya disebutkan bahwa kompetensi relatif Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura antara lain dalam pasa 1 Staatblaad 1882 No. 152 Jo.
Staatblaad 1937 No. 116, 610, bahwa di tempat-tempat yang ada Pengadilan
Negeri ada sebuah Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya sama dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri.
46
Nama Pengadilan Agama digunakan sebagaimana istilah yang ditentukan
oleh pemerintah dengan beberapa kali perubahan seperti Raad Agama atau
Penghulu Landraad sampai dibakukannya nama Pengadilan Agama. Sedangkan
nama “Rangkasbitung” diambil dari nama ibukota kabupaten lebak yang semula
pada masa Kesultanan Banten tahun 1813 disebut wilayah Banten Kidul dengan
ibukota Cilangkahan.50
B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung
Pengaturan poligami di Indonesia telah diatur oleh pemerintah dalam
rangka melindungi warga negara khususnya perempuan dari ketidakadilan melalui
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3, 4 dan 5. Sejak
diundangkanya telah diatur beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki
yang hendak berpoligami harus seizin istri pertama. Meskipun kalimat ini tidak
tercantum secara eksplisit, akan tetapi banyak sumber agama Islam yang
mengarah ke sana.
Mengenai kasus yang dijadikan obyek penelitian, penulis meneliti satu
putusan poligami di Pengadilan Agama Rangkasbitung. Berikut deskripsi putusan
izin poligami dengan nomor perkara: 0390/pdt.G/2013/PA.Rks, yang penulis
kemukakan sebagai berikut:
1. Duduk Perkara
Satibi bin Mohamad Yunus, umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan
Wiraswasta, berstatus menikah dengan Eka Agustiana binti Endang Jaelani Kawi,
umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan mengurus rumah tangga, berstatus
50
Pengadilan Agama Rangkasbitung, Artikel diakses pada 06 mei 2014 dari http://pa-
rangkasbitung.net/index.php/profil/sejarah
47
menikah dengan Satibi bin Mohamad Yunus, dengan kutipan akta nikah Nomor
39/34/II/2004 tanggal 09 Februari 2004 yang diterbitkan oleh kantor Urusan
Agama Rangkasbitung. Bahwa setelah menikah pemohon dan termohon
mengambil tempat di kediaman pemohon di Kampung Empang Muara Ciujung
Barat dan selanjutnya tinggal di alamat tersebut di atas sebagai tempat kediaman
bersama terakhir dan selama pernikahan tersebut pemohon dengan termohon telah
hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai dua orang anak
yang bernama: Siti Fatihatul Mutia Kawi, perempuan lahir tanggal 4 Februari
2005 dan Muhammad Zaidan Mauludin, laki-laki lahir tanggal 16 Maret 2008.
Pada suatu saat Satibi bin Mohamad Yunus berkenalan dengan perempuan yang
bermana Ai Nuraeni binti Afif, umur 23 tahun, agama Islam, pekerjaan
wiraswasta tempat kediaman di Kampung kadulimus RT. 002 RW. 005 Desa
Kadulimus Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeglang, sebagai “calon istri kedua
pemohon”, yang akan dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan pegawai pencatat
nikah kantor urusan agama Banjar Pandeglang, dengan status perawan dan tidak
terikat pertunangan dengan laki-laki lain. Mereka sepakat untuk membina
hubungan mereka ke jenjang pernikahan meskipun tahu bahwa Satibi bin
Mohamad Yunus telah mempunyai istri dan anak, dan calon istri kedua juga
menyatakan tidak akan menganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini,
melainkan tetap utuh sebagai harta bersama antara pemohon dengan termohon.
Tersebutkan bahwa Satibi bin Mohamad Yunus serta Ai Nuraeni binti Afif
sebagai calon istri kedua pemohon. Pemohon meminta izin kepada Pengadilan
48
Agama untuk menikah kedua kali dengan cara poligami dengan alasan pemohon
bahwa yang dijadikan alasan pemohon poligami adalah:
d. Pemohon merasa sanggup untuk berbuat adil terhadap istri-irti
pemohon
e. Pemohon ingin membantu sebuah keluarga/calon istri ke-2 dari segi
ekonomi
f. Pemohon sangat kawatir apabila antara pemohon dengan calon istri
pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
2. Pertimbangan
Pertimbangan-pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung
dalam perkara poligami yakni, mengabulkan permohonan pemohon dan
menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan
seorang perempuan bernama Ai Nuraeni binti Afif. Didasari atas pertimbangan
pemohon merasa sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya dan mendapat
persetujuan dari istri pertamanya. Dan pemohon telah menyatakan kesediaan atas
tanggung jawab dalam membina rumah tangganya di masa yang akan datang.
Pertimbangan selanjutnya yaitu Majlis Hakim menimbang keterangan
saksi-saksi yaitu dari tetangga pemohon dan termohon yang sekaligus guru agama
pemohon dan termohon menyatakan sesuai sebagaimana pemohon nyatakan.
Setahu saksi, pemohon adalah orang yang bertanggung jawab dan perhatian
terhadap termohon dan anak-anaknya karena sampai sekarang pemohon masih
lancar memberi nafkah dan juga telah membuatkan rumah untuk termohon dan
49
anak-anaknya. Kemudian saksi ke dua dan ke tiga sebagai kakak ipar dan kakak
kandung dari termohon dan tetangga dekat pemohon juga menyatakan sesuai
sebagaimana saksi pertama pemohon uraikan. Pertimbangan poligami sendiri
dikuatkan dengan jawaban lisan yang pada pokoknya disimpulkan bahwa
termohon membenarkan dalil-dalil pemohon serta tidak keberatan atau memberi
izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan perempuan yang bernama Ai
Nuraeni binti Afif demi membahagiakan kehidupan pemohon, serta untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan pemohon tetap dengan
permohonanya, setelah Majelis Hakim mendengar pernyataan saksi agar lebih
baik jika pemohon diizinkan, Majelis Hakim juga melihat tidak adanya larangan
secara syar‟i maupun peraturan perudang-undangan, maka Majlis Hakim
mengabulkan permohonan tersebut.
Dalam pertimbangan ini, Hakim mengambil istinbat bahwa pemohom,
termohon, calon isteri, dan bukti-bukti telah nyambung semua, artinya apabila
salah satu dari bukti di atas tidak ada dalam persidangan maka besar kemungkinan
permohonan izin poligami tidak akan dikabulkan karena untuk keyakinan Hakim
antara pemohon, termohon, calon isteri, dan bukti-bukti harus nyambung semua.51
C. Landasan Yuridis Putusan Izin Poligami dan Penetapan Pengadilan
Agama Rangkasbitung
Izin berpoligami itu tidak akan diberikan melainkan dengan pertimbangan-
pertimbangan yang sangat matang melalui prosedur undang-undang yang berlaku.
Proses pertimbangan izin tersebut merupakan langkah Hakim Pengadilan Agama
51
Wawancara pribadi dengan Agus Faisal Yusuf. Rangkasbitung, 9 Juni 2014
50
dalan rangka menjalankan sistem perundang-undangan yang formal dan juga
sebagai upaya memperlihatkan eksistensi absolut Hakim sebagai penengah atau
pemberi solusi hukum.
Adapun persyaratan perkawinan yang dalam hukum Islam yaitu beragama
Islam, baligh (bagi laki-laki yang ditandai dengan keluarnya air mani dan bagi
perempuan ditandai dengan keluarnya haidh), berakal, (dewasa pikiran) dan
seksual, tidak terdapat halangan perkawinan atau perwalian. Syarat yang paling
penting dalam perkawinan adalah adanya mahar (mas kawin).52
Lain halnya dengan persyaratan perkawinan yang dimaksud dalam hukum
positif yaitu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
memenuhi persyaratan materil dan persyaratan formil. Permohonan izin poligami
melakukan poligami dalam ilmu hukum tersebut dengan istilah voluntaire
jurisdiktie yaitu suatu perkara yang berisi tuntutan hak dan tidak mengandung
sengketa.53
Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam pemberian izin poligami
di Pengadilan Agama Rangkasbitung dalam menjatuhkan putusan tersebut yaitu:
a. Untuk bisa mengajukan izin poligami, pemohon telah menyerahkan alat-alat
bukti berupa:
1. Asli dan Foto copy Kutipan Akta Nikah pemohon dengan termohon
nomor 39/34/II/2004 tanggal 09 Februari 2004 yang diterbitkan oleh
Kantor Urusan Agama Rangkasbitung (bukti P. 1) ;
52
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata. (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), Cet Ke-1 h. 6 53
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 4
51
2. Surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu (model A.3) tanggal 15
Agustus 2013 (bukti P.2) ;
3. Surat pernyataan berlaku adil (model A.4) tertanggal 28 Agustus 2013
(bukti P. 3) ;
4. Surat keterangan beda nama yang dilakukan oleh kepala kelurahan Maura
Ciujung Barat tanggal 28 Agustus 2013 Nomor : 148.4/72-Kel/VIII/2013
– (bukti P. 4) ;
5. Surat keterangan usaha pemohon, yang dikeluarkan oleh Kepala
Keluraham Maura Ciujung Barat tanggal 28 Agustus 2013 Nomor :
148.4/73-Kel/VIII/2013 – (bukti P. 5) ;
6. Surat keterangan laba usaha/penghasilan setiap bulan pemohon; (bukti P.
6)
b. Pertimbangan Majlis Hakim merujuk pada ketentuan undang-undang Nomor
1 tahun 1974, undang-undang ini merupakan bentuk hasil usaha dalam mengatur
permasalahan perkawinan atau sejenisnya dalam kerangka hukum baku, yang bisa
menjadi pedoman atau acuan menyelesesaikan permasalahan perkawinan. Dalam
undang-undang ini poligami diatur dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4 ayat (1) dan (2),
dan pasal 5 ayat (1) dan (2)
c. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada peraturan pemerintah Nomor 9
tahun 1975, peraturan pemerintah ini adalah penjelasan atau lebih tepatnya
pelaksanaan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 berikut ketentuan pidana jikalau
terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya.
52
d. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI),
KHI lahir dari gejolak para ulama yang tersebar diseluruh Nusantara. Tujuan
utamanya adalah selain mempositifkan syari‟at Islam dalam bidang keperdataan,
juga mengkodifikasikan dan menyeragamkan kitab fiqih yang digunakan di
Pengadilan Agama
e. Al-Qur‟an surat an-Nisa‟ (4) ayat 3 sering dijadikan dalil oleh sebagian umat
Islam dalam melakukan poligami. Hal ini juga telah diakui oleh Pengadilan
Agama Rangkasbitung sehingga Majelis Hakim Pengadilan Agama dalam setiap
pemberian izin poligami mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat di atas.
Penetapan perkara izin poligami dalam perkara perdata umumnya
mengandung amar penetapan tunggal, yaitu penetapan yang berupa pengabulan
atau penolakan permohonan pemohon untuk melakukan perubahan hukum.
1. Mengabulkan atau menolak permohonan pemohon untuk menikah lagi
2. Mengabulkan atau menolak permohonan izin poligami yang diajukan oleh
pemohon.
Selanjutnya terhadap putusan poligami di atas dengan Nomor
0390/pdt.G/2013/PA.Rks, mutlak dikabulkan melalui pertimbangan-pertimbangan
yang panjang, karena semua prosedur yang harus dijalankan pemohon sudah
terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penetapan Majelis Hakim dalam putusan
yang berbunyi:
1. Mengabulkan permohonan pemohon
2. Memberi izin kepada pemohon (Satibi bin Muhamad Yunus) untuk menikah
lagi (poligami) dengan calon isteri kedua bernama Ai Nur Aeni binti Afif
53
3. Menghukum pemohon untuk berlaku adil kepada isteri-isteri dan anak-
anaknya
4. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 191.000,- (seratus sembilan puluh
satu rupiah)
D. Analisis Penulis
Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah,
tidak dilarang namun tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang pria
beristri hingga empat orang istri dengan syarat suami harus dapat berbuat adil
terhadap seluruh istrinya, hal ini sebagaimana tertulis dalam Al-Qur‟an pada
surat An-nisa ayat 3.
dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut penulis, kasus permohonan izin poligami di mana suami meminta
izin poligami karena pemohon sangat khawatir apabila antara pemohon dengan
calon istri pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam dan ingin membantu sebuah
keluarga atau calon istri ke dua dari segi ekonomi.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka suami ingin
poligami dan isteripun memberikan izinya. Dalam hal ini sepertinya isteri
mendapat tekanan untuk memberikan izin poligami karena isteri pertama sudah
54
mempunyai keturunan dua orang anak dan isteripun tidak cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Putusan hakim agama Rangkasbitung tentang putusan sesuai masalah pada
keadilan, adapun keadilan dalam ajaran Islam merupakan ajaran sentral dalam
Islam dan bersifat universal. Sifat universal itu dapat dilihat dari keberadaan
manusia di mana pun dan kapan pun yang selalu mendambakan hadirnya
keadilan. Dalam diri manusia, terdapat potensi ruhaniah yang membisikkan
perasaan keadilan sebagai sesuatu yang benar dan harus ditegakkan.
Penyimpangan terhadap keadilan menodai esensi kemanusiaan. Karena itu, Islam
yang bermisi utama rahmatan li al-alamin, pembawa rahmat bagi seluruh alam,
menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang asasi.
Walaupun secara hakekat tidak ada yang bisa menilai atau menentukan
dalam berpoligami apalagi dalam al-Qur‟an di tegaskan bahwa akan sangat sulit
untuk berbuat adil meskipun kita sangat ingin melakukanya sehingga dalam Islam
lebih ditekankan untuk beristeri satu orang saja (monogami) supaya keadilan lebih
terjamin dan terwujud. Namun, saya melihat hakim dalam memutus perkara izin
poligami perpengang pada hadis nabi “nahnu nakhumu bi adz-dzohahir” artinya
kami menghukumi dengan yang Nampak jelas. Maka keadilan dalam berpoligami
secara formal sudah terpenuhi dengan adanya bukti surat pernyataan kesanggupan
berbuat adil.
Padalah syarat alteratif dalam poligami adalah isteri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri, isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat melahirkan
55
keturunan, nyatanya itu semua tidak terpenuhi. Tetapi hakim melihat kepada
kemaslahatan rumah tangga dengan isteri pertama supaya tidak jadi perceraian
karena perceraian merupakan perbuatan mubah yang sangat dibenci Allah.
Putusan hakim tentang permohonan sudah memenuhi unsur kepastian
hokum sehubungan dengan putusan untuk memberikan izin pada suami untuk
menikah lagi (poligami) pada setatus perkawinan dengan isteri ke dua terjadi
kepastian hukum berdasarkan alasan termohon dalam jawabanya secara tegas
mengaku dan membenarkan dalil pemohon shinggan dalil pemohon harus
dinyatakan terbukti karena pengakuan yang bulat dan murni tanpa disertai dengan
klausula menurut hukum mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,
mengingat dan menentukan merupakan persangkaan undang-undang yang tidak
dapat dibuktikan lebih lanjut dengan bukti yang lainya.
Bahwa alasan dukabulkan poligami sudah memenuhi unsur kemaslahatan
atau kemanfaatan atau menolak madharat, (sesuatu yang menimbulkan kerugian)
namun, tidaklah demikian yang dikehendaki karena sebab mencapai kemanfaatan
dan menafikan kemadharatan adalah merupakan tujuan atau maksud dari
makhluk, adapun kebaikan atau kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya
tujuan mereka, akan tetapi yang dimaksudkan dengan maslahat adalah menjaga
atau memelihara tujuan syara. Walaupun syarat alternati dalam izin poligami tidak
terpenuhi sesuai undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 4 ayat 2 yakni,
isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri, isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat
melahirkan keturunan. Tetapi hakim melihat kepada faktor keadilan yang sudah di
56
buktikan dengan surat-surat pernyataan yang salah satunya adalah surat
pernyataan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Jikalau melihat sifat hukum dari penetapan tersebut, dapat dikategorikan
penetapan tersebut berupa penetapan konstitutif yang berarti menciptakan
keadaan hukum baru bagi pemohon yaitu adanya izin kepada pemohon untuk
menikah lagi dengan cara poligami dengan perempuan yang tercantum dalam
surat pemohon. Meskipun, pemohon masih terikat dalam perkawinan yang sah
dengan isteri terdahulunya.
Akan tetapi penulis juga tidak gegabah dalam menganalisa suatu putusan
berdasarkan fisiknya saja, hal lain perlu dilihat dengan melihat dari asas yang
berlaku dalam hukum perdata yang harus dijunjung tinggi oleh perundang-
undangan dan beberapa pernyataan pertimbangan Majelis Hakim.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis mengemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Urgensi izin isteri dalam poligami adalah memberikan izin kepada
pemohon untuk menikah lagi dengan calon isteri ke dua dengan alasan
bahwa termohon dalam jawabanya secara lisan di muka persidangan
mengemukakan bahwa termohon membenarkan seluruh dalil-dalil yang
dikemukakan oleh pemohon dan termohon tidak keberatan apabila
pemohon bermaksud hendak beristeri lagi (poligami).
2. Hakim Agama Rangkasbitung sudah mengabulkan permohonan poligami
karena sudah memenuhi syarat alternatif dan kumulatif sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu berdasarkan pasal 4 undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang lebih ditekankan
pada adanya izin dari isteri pertama dan adanya kekawatiran suami berbuat
zina. Dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan keterangan
penghasilan baik melalui surat maupun saksi-saksi.
B. Saran-saran
1. Dalam masalah poligami sebaiknyan suami lebih mempertimbangkan
masalah perasaan dan kepentingan isteri dan anak-anaknya meskipun isteri
rela dimadu.
58
2. Perlu disosialisasikan kepada mayarakat bahwa poligami tidak dapat
dilakukan tanpa mendapat izin dari isteri dan pengadilan setempat.
Poligami harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 4 ayat 2
3. Untuk Majelis Hakim Pengadilan Agama agar lebih teliti dan berhati-hati
dalam memutuskan suatu perkara, khususnya poligami sehingga poligami
yang dimaksud tidak merusak norma-norma perkawinan yang sudah ada.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Muhammad, Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Beirut: Mu‟assasah ar-
Risalah, 1997.Juz I
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indoneia, Jakarta: PT. Sinar Grafika,
2006, Cet Ke-1
Al-Shabui, Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur‟an, juz 1.
Arifin, jaenal dan Kamarusdiana. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007. Cet Ke-1
Arivia, Gadis. Menggalang Perubahan Perlunya Persfektif Jender. YJP. Jakarta.
2004.
Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang
berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku W.
Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; diterjemahkan oleh Muhamad
Arifin, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu. 1999) Cet- Ke-2
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2006.
Farhat, Kamal Hilmi. Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi,
Jakarta: Darul Haq, 2007.
Ghojali, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Perdana Media Group, 2012.
Cet. ke-5.
Gusmain, Islah. Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami. Yogyakarta : Pustaka
Warna, 2007. Cet. Ke -1.
Harahap, Yahya. Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam, Dalam Brbagai Pandangan Terhadap Kompilasi
Hukum Islam, Jakarta: 1991.
http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html.
Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan.
Jakarta : Pustaka Alkatsar, 2007. Cet. Ke-1.
60
Laporan tahunan Pengadilan Agama Rangaksbitung 2013.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta :
Perdana Media Group, 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Prenada Media Group. 2005.
Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Mulia, Siti Muhdah. Isalam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
Nurbowo, Apiko JM. Indahnya Poligami, pengalaman Sakinah Puspo Wardono.
Jakarta : Khaairul Bayan, 2003. Cet. ke-1.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Perdana Media, 2004.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974
sampai KHI. Jakarta: Perdana Media Group, 2006. Cet. Ke-3.
Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pengadilan Agama Rangkasbitung, Artikel diakses pada 06 mei 2014 dari
http://pa-rangkasbitung.net/index.php/profil/sejarah.
Prawiro, Bambang AM. Majelis Ukhuwah Penulis Bersyariah dari
http://majelispenulis.blogspot.com
Prodjohamidjojo, Matriman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing. 2011. Cet ke-3
Sholeh, Asrorun Ni‟am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga.
Jakarta : Graha Paramuda. 2008. Cet. Ke-2.
Sopyan, Yayan. Islam - Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012. Cet-2
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Wawancara Pribadi Dengan Agus Faisal Yusuf. Rangukasbitung, 9 Juni 2014
61
www. Ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/. Di
akses pada tanggal 08-04-2015. Jam. 13.39
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid III: Muamalah. Jakarrta: Pt. Raja Grapindo
Persada, 1993.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indoneia, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006, Cet Ke-1
Al-Shabui, Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur’an, juz 1.
Arifin, jaenal dan Kamarusdiana. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007. Cet Ke-1
Arivia, Gadis. Menggalang Perubahan Perlunya Persfektif Jender. YJP. Jakarta. 2004.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu. 1999) Cet- Ke-2
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.
Farhat, Kamal Hilmi. Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, Jakarta: Darul
Haq, 2007.
Ghojali, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Perdana Media Group, 2012. Cet. ke-5.
Gusmain, Islah. Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami. Yogyakarta : Pustaka Warna, 2007.
Cet. Ke -1.
Harahap, Yahya. Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam, Dalam Brbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: 1991.
Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta :
Pustaka Alkatsar, 2007. Cet. Ke-1.
Laporan tahunan Pengadilan Agama Rangaksbitung 2013.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Perdana Media
Group, 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta:
Prenada Media Group. 2005.
Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Mulia, Siti Muhdah. Isalam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Nurbowo, Apiko JM. Indahnya Poligami, pengalaman Sakinah Puspo Wardono. Jakarta :
Khaairul Bayan, 2003. Cet. ke-1.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Perdana Media, 2004.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Perdana
Media Group, 2006. Cet. Ke-3.
Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pengadilan Agama Rangkasbitung, Artikel diakses pada 06 mei 2014 dari http://pa-
rangkasbitung.net/index.php/profil/sejarah.
Prodjohamidjojo, Matriman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center
Publishing. 2011. Cet ke-3
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta : Graha
Paramuda. 2008). Cet. Ke- 2.
Sopyan, Yayan. Islam - Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT.
RajaGrapindo Persada, 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Wawancara pribadi dengan Agus Faisal Yusuf. Rangukasbitung, 9 Juni 2014
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid III: Muamalah. Jakarrta: Pt. Raja Grapindo Persada, 1993.