tinjauan pustaka berat badan lahhir
DESCRIPTION
KSDSKDNSTRANSCRIPT
Tinjauan Pustaka
Berat Badan Bayi Lahir
Berat badan bayi lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama
setelah lahir ( Kosim dkk, 2009). Menurut Prawirohardjo (2002) klasifikasi berat badan bayi
baru lahir dapat dibedakan atas :
1. Bayi dengan berat badan normal, yaitu > 2500.
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu antara 1500 gram– 2500 gram.
3. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR), dimana berat lahirnya adalah <
1500 gram.
4. Bayi dengan berat badan lahir ekstrem rendah (BBLER), dimana berat lahirnya adalah <
1000 gram.
Faktor – faktor yang mempengaruhi berat badan bayi lahir
Berat badan bayi merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor melalui suatu proses
yang berlangsung selama berada dalam kandungan.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir adalah sebagai berikut :
1. Faktor lingkungan Internal
Faktor lingkungan internal ini meliputi umur ibu, jarak kehamilan/kelahiran,
paritas, kadar hemoglobin, status gizi ibu, pemeriksaan kehamilan, dan penyakit pada
saat kehamilan. Faktor yang secara langsung atau internal mempengaruhi berat bayi lahir
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Umur ibu
Semakin muda dan semakin tua umur seorang ibu yang sedang hamil, akan
berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang diperlukan. Umur muda perlu
tambahan gizi yang banyak karena selain digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan dirinya sendiri juga harus berbagi dengan janin yang sedang
dikandung. Sedangkan untuk umur yang tua perlu energi yang besar juga
karena fungsi organ yang makin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal
maka memerlukan tambahan energi yang cukup, guna mendukung kehamilan yang
sedang berlangsung (Proverawati, 2009).
Penyebab kematian maternal dari faktor reproduksi diantaranya adalah usia ibu.
Kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia dibawah 20 tahun ternyata sampai 5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal
yang terjadi pada usia 20 sampai 29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali
sesudah usia 30 sampai 35 tahun (Prawirohardjo, 2008). Mengingat bahwa faktor
umur memegang peranan penting terhadap derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu
hamil serta bayi, maka sebaiknya merencanakan kehamilan pada usia antara 20 –
30 tahun (Setianingrum, 2005).
b. Jarak kehamilan/kelahiran
Menurut Depkes RI (1999) menyatakan kehamilan yang perlu diwaspadai adalah
jarak persalinan terakhir dengan awal kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun, bila
jarak terlalu dekat , maka rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Keadaan
ini perlu diwaspadai kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan
lama atau perdarahan.
c. Paritas
Paritas ibu merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak hidup atau mati,
tetapi bukan aborsi (Salmah, et al, 2006). Menurut Solihah (2008) perempuan
yang terlalu banyak anak, tentu otomatis masuk dalam kategori terlalu sering
hamil. Selain mukosa-mukosa dalam rahimnya sudah tidak bagus, kondisi
kandungannya belum terlalu baik dan sempurna untuk “ditinggali” janin.
Klasifikasi paritas Menurut Manuaba, et al (2010) paritas dibagi menjadi 3,yaitu:
1) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak satu
kali.
2) Multipara (pleuripara) adalah wanita yang telah pernah melahirkan anak
hidup beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali.
3) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari
lima kali.
Menurut Rochjati yang dikutip oleh Manuaba, et al (2010), paritas merupakan faktor
yang sangat berpengaruh terhadap hasil konsepsi karena ibu yang pernah hamil
atau melahirkan anak 4 kali atau lebih, kemungkinan akan banyak ditemui keadaan
antara lain kesehatan terganggu, anemia, kurang gizi, kekendoran pada dinding
perut dan dinding rahim, dan tampak ibu dengan perut menggantung.
Menurut Hartanto (2004), kehamilan lebih dari 4 anak dengan jarak kurang dari 2
tahun dapat mengakibatkan antara lain berat badan lahir rendah, nutrisi kurang,
waktu/lama menyusui berkurang, kompetesi dalam sumber-sumber keluarga,
lebih sering terkena penyakit, tumbuh kembang lebih lambat, dan
pendidikan/intelegensia dan pendidikan akademis lebih rendah.
d. Kadar Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein yang kompleks, yang tersusun dari protein
globin dan senyawa bukan protein yang dinamai hem ( Sadikin, 2001).
Menurut Soebroto (2009) hemoglobin merupakan protein pernafasan (respiratory
protein) yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat
terikatnya molekul – molekul oksigen.Fungsi hemoglobin adalah mengikat dan
membawa oksigen dari paru untuk diedarkan dan dibagikan keseluruh sel di berbagai
jaringan. Ikatan hemoglobin dan oksigen disebut oksihemoglobin (HbO2), fungsi
kedua adalah membawa karbondioksida membentuk karbonmonoksi hemoglobin
(HbCO) yang berperan dalam keseimbangan ph darah. Dalam menjalankan
fungsinya membawa oksigen ke seluruh tubuh, hemoglobin didalam sel darah
merah mengikat oksigen melalui suatu ikatan kimia khusus. Hemoglobin yang tidak
atau belum mengikat oksigen dinamakan deoksihemoglobin (Hb) sedangkan
hemoglobin yang mengikat oksigen dinamakan oksihemoglobin (HbO2). Reaksi
penggabungan hemoglobin dan oksigen terjadi di alveolus paruparu, tempat
berlangsungnya pertukaran udara antara tubuh dengan lingkungan. Sebaliknya
reaksi penguraian terjadi di dalam berbagi jaringan. Hemoglobin dalam sel darah
merah mengikat oksigen di paru-paru dan melepaskanya di jaringan, untuk
diserahkan dan digunakan oleh sel. Fungsi lain dari hemoglobin dalam sel
darah merah adalah mengikat dan mempermudah transportasi CO2 yang terbentuk
diseluruh jaringan yang mampu melakukan metabolisme secara aerob (dengan
menggunakan oksigen), untuk dibawa ke jaringan pembuangan ekskreta yang
berbentuk gas yaitu paru – paru. Didalam paru- paru terjadilah pertukaran gas
dengan lingkungan, O2 diambil dari lingkungan dan CO2 dikeluarkan ke
lingkungan (Sadikin, 2001). Banyaknya O2 yang dapat diikat dan dibawa oleh
darah,berkat adanya Hb yang terkurung dalam sel darah merah, pasokan O2 ke
berbagai tempat diseluruh tubuh, bahkan yang paling terpencil dan terisolasi
sekalipun akan terjamin. Akibatnya, berbagai sel dalam tubuh dapat bekerja
melakukan fungsinya dengan energi cukup. Hasilnya, individu tersebut dapat
berfungsi dan berkembang dengan sempurna termasuk janin yang ada dalam
kandungan (Sadikin, 2001).
Hemoglobin (Hb) adalah parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan
prevalensi anemia. Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah
merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah
dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.Penilaian
status gizi dengan kadar Hb merupakan penilaian status gizi secara biokimia.
Fungsinya untuk mengetahui satu gangguan yang paling sering terjadi selama
kehamilan yaitu anemia gizi (Supariasa dkk, 2002).
Di Indonesia anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan zat besi, sehingga
lebih dikenal dengan istilah anemia gizi besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah
satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya
mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang
dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan
menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 g/dl
selama trimester III ( Adriani dkk, 2012).Kekurangan zat besi dapat menimbulkan
gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel
otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan, abortus,
cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih
tinggi. Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko
morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi
BBLR dan prematur juga lebih besar ( Adriani dkk, 2012).
Menurut Proverawati & Asfuah (2009) penyebab turunnya hemoglobin antara lain
makanan yang kurang bergizi , gangguan pencernaan dan malabsorpsi, kurangnya
zat besi dalam makanan, kebutuhan zat besi yang meningkat, kehilangan darah
banyak, dan penyakit – penyakit kronis seperti TBC, cacing usus, malaria dan lain
lain. Sedangkan faktor predisposisi terbesar terjadinya konsentrasi kadar
hemoglobin yang turun dibawah normal adalah status gizi yang buruk dengan
defisiensi multivitamin.
e. Status gizi ibu
Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Selain itu gizi ibu hamil menentukan
berat badan bayi yang dilahirkan, maka pemantauan gizi ibu hamil sangatlah
penting dilakukan. Penilaian status gizi wanita hamil meliputi evaluasi terhadap
faktor resiko, diet, pengukuran antropometri dan biokimiawi. Penilaian tentang
asupan pangan dapat diperoleh melalui recall 24 jam ( Arisman, 2007 ).
Pengukuran antropometri merupakan salah satu cara untuk menilai status gizi ibu
hamil. Ukuran antropometri ibu hamil yang paling sering digunakan adalah
kenaikan berat badan ibu hamil dan ukuran lingkar lengan atas (LLA) selama
kehamil an.Pengukuran fisik ibu hamil secara spesifik dapat dilakukan dengan
antropometri yaitu :
1) LILA
Antropometri yang dapat menggambarkan keadaan status gizi ibu hamil dan
untuk mengetahui resiko Kekurangan Energi Kalori (KEK) atau gizi kurang.
Ibu yang memiliki ukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) di bawah 23,5 cm
berisiko melahirkan bayi BBLR. Pengukuran LILA lebih praktis untuk
mengetahui status gizi ibu hamil karena alat ukurnya sederhana dan mudah di
bawa ke mana saja, dan dapat dipakai untuk ibu dengan kenaikan berat badan
yang ekstrim. (Setianingrum, 2005). Pengukuran lingkar lengan atas (LILA)
mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak
berpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan berat badan.
Untuk mengetahui status gizi ibu hamil digunakan pengukuran secara langsung
dengan menggunakan penilaian antropometri yaitu lingkar lengan atas.
Pengukuran lingkar lengan atas adalah suatu cara untuk mengetahui risiko
KEK wanita usia subur (Supariasa, 2002).Pengukuran LILA dengan
menggunakan pita LILA dengan ketelitian 0,1 cm dan ambang batas LILA
WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila kurang dari
23,5 cm, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan
akan melahirkan bayi dengan BBLR. BBLR mempunyai resiko kematian, gizi
kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak. Depkes RI
(2000) menetapkan nilai ambang batas LILA WUS dan ibu hamil dengan resiko
KEK di Indonesia adalah 23,5.
Tujuan pengukuran LILA adalah :
a) Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon
ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan
bayi berat lahir rendah (BBLR)
b) Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih
berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK.
c) Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak
d) Meningkatkan peran petugas lintas sektoral ke dalam upaya
perbaikan gizi WUS yang menderita KEK
e) Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran ibu
hamil yang menderita KEK.
2) Indeks Masa Tubuh sebelum kehamilan
Indek masa tubuh merupakan salah satu metode pengukuran antropometri
yang digunakan berdasarkan rekomendasi FAO/WHO/UNO tahun 1985 :
batasan BB normal orang dewasa ditentukan berdasarkan Body Mass
Index(BMT/IMT). Indeks masa tubuh merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa (usia 18 tahun ke atas), khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan BB. IMT tidak dapat diterapkan
pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Juga tidak dapat
diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) seperti edema, asites dan
hepatomegali. Di Indonesia, IMT dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis
dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang.Status gizi ibu hamil
sangat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan, apabila status
gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan akan
menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR). Disamping itu akan
mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru
lahir, bayi baru lahir mudah terinfeksi, abortus dan sebagainya. Kondisi anak
yang terlahir dari ibu yang kekurangan gizi dan hidup dalam lingkungan
yang miskin akan menghasilkan generasi kekurangan gizi dan mudah terkena
penyakit infeksi. Keadaan ini biasanya ditandai dengan berat dan tinggi badan
yang kurang optimal (Supariasa, 2001).
3) Pertambahan berat badan selama kehamilan
Peningkatan berat badan sangat menentukan kelangsungan hasil akhir
kehamilan. Bila ibu hamil kurus atau gemuk sebelum hamil akan menimbulkan
resiko pada janin terutama apabila peningkatan atau penurunan sangat menonjol.
Bila sangat kurus maka akan melahirkan bayi berat badan rendah (BBLR),
namun berat badan bayi dari ibu hamil dengan berat badan normal atau kurus,
lebih dipengaruhi oleh peningkatan atau penurunan berat badan selama hamil
( Salmah dkk, 2006).Adanya kehamilan maka akan terjadi penambahan berat
badan yaitu sekitar 12,5 kg. Berdasarkan Huliana peningkatan tersebut
adalah sebanyak 15 % dari sebelumnya. Proporsi pertambahan berat badan
tersebut dapat terbagi menjadi janin 25-27 %, plasenta 5%, cairan amnion
6%, ekspansi volume darah 10%, peningkatan lemak tubuh 25-27%,
peningkatan cairan ekstra seluler 13%, dan pertumbuhan uterus dan payudara
11%Ibu hamil harus memiliki berat badan yang normal karena akan
berpengaruh terhadap anak yang akan dilahirkannya. Ibu yang sedang hamil
dengan kekurangan zat gizi yang penting bagi tubuh akan menyebabkan
keguguran, anak lahir prematur, berat badan bayi rendah, gangguan rahim pada
waktu persalinan, dan pendarahan setelah persalinan.
Tabel 1. Peningkatan berat badan selama kehamilan
IMT (kg/m2) Total kenaikan berat badan yang disarankanSelama trimester 2 &3
Kurus ( IMT < 18,5 ) 12,7 – 18,1 kg 0,5 kg/minggu
Normal ( IMT 18,5-22,9 )11,3 – 15,9 kg 0,4 kg/minggu
Overweight ( IMT 23-29,9 )6,8 – 11,3 kg 0,3 kg/minggu
Obesitas ( IMT > 30 )0,2 kg/minggu
Bayi kembar 15,9 – 20,4 kg 0,7 kg/minggu
4) Pemeriksaan kehamilan
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu
selama masa kehamilannya.Walaupun pelayanan antenatal selengkapnya
mencakup banyak hal yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik ( umum
dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi
dasar khusus (sesuai resiko yang ada), namun dalam penerapan
operasionalnya dikenal standar minimal “5T” untuk pelayanan antenatal,
yang meliputi timbang berat badan ukur tinggi badan , (Ukur) Tekanan
darah, (Pemberian imunisasi) Tetanus toksoid (TT) lengkap, (Ukur) Tinggi
fundus uteri , dan (Pemberian) Tablet zat besi minimal 90 tablet selama
kehamilan.Dengan demikian maka, secara operasional, pelayanan antenatal
yang tidak memenuhi standar minimal “5T” tersebut belum dianggap
pelayanan antenatal. Selain itu, pelayanan antenatal ini hanya dapat
diberikan oleh tenaga profesional dan tidak dapat dilakukan oleh dukun
bayi.Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4
kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu : minimal 1 kali pada triwulan
pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua serta minimal 2 kali pada triwulan
ketiga.Standar waktu pelayanan antenatal tersebut ditentukan untuk menjamin
mutu pelayanan, khususnya dalam memberi kesempatan yang cukup dalam
menangani kasus resiko tinggi ditemukan (Depkes RI, 1995).
Rachmawati (2004) menyatakan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
pertimbangan ibu hamil dalam memilih tempat periksa kehamilan antara lain
adalah biaya, jarak, dan faktor kepercayaan. Jarak antara tempat tinggal
dengan pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor yang menentukan
dalam intensitas pemeriksaan ibu hamil.
5) Penyakit pada saat kehamilan
Penyakit pada saat kehamilan yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir
diantaranya adalah Diabetes Melitus Gestasional(DMG), cacar air, dan penyakit
infeksi TORCH. Penyakit DMG adalah intoleransi glukosa yang dimulai atau
baru ditemukan pada waktu hamil. Tidak dapat dikesampingkan kemungkinan
adanya intoleransi glukosa yang tidak diketahui yang muncul seiring
kehamilan, komplikasi yang mungkin sering terjadi pada kehamilan dengan
diabetes adalah bervariasi, Pada ibu akan meningkatkan risiko terjadinya
preeklamsia, secsio sesaria, dan terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di
kemudian hari, sedangkan pada janin meningkatkan risiko terjadinya
makrosomi (Prawirohardjo, 2008).
2. Faktor lingkungan eksternal
Faktor lingkungan eksternal meliputi kondisi lingkungan, pekerjaan ibu hamil, tingkat
pendidikan, pengetahuan gizi, dan sosial ekonomi.
Faktor – faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kondisi lingkungan
Faktor ketinggian tempat tinggal menurut Jitowiyono, dkk (2010) menyebutkan
salah satu faktor penyebab berat bayi lahir tidak normal adalah tempat tinggal
yaitu tinggi
b. Pekerjaan ibu hamil
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan atau aktivitas bagi ibu hamil
adalah apakah aktivitasnya beresiko bagi kehamilan. Pekerjaan pada ibu hamil
dengan beban atau aktivitas yang terlalu berat dan beresiko akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim karena adanya hubungan
aksis fetoplasenta dan sirkulasi retroplasenta yang merupakan satu kesatuan. Bila
terjadi gangguan atau kegagalan salah satu akan menimbulkan resiko pada ibu (
gizi kurang atau KEK dan anemia) atau pada janin (BBLR). Contoh aktivitas yang
beresiko bagi ibu hamil adalah aktivitas yang meningkatkan stress, mengangkat
sesuatu yang berat, berdiri lama sepanjang hari. Nasehat yang perlu
disampaikan adalah bahwa ibu hamil tetap boleh melakukan aktivitas atau
pekerjaan tetapi cermati apakah pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan beresiko
atau tidak untuk kehamilan (Kusmiyati, et al, 2009).
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap
sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan
berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari
gagasan tersebut. Suami yang berpendidikan tentu akan lebih banyak
memberikan respon emosi, karena ada tanggapan bahwa hal yang baru akan
memberikan perubahan terhadap apa yang mereka lakukan di masa lalu.
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan
orang lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu. Pendidikan dapat mempengaruhi
seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam
memotivasi sikap berperan serta dalam perkembangan kesehatan. Semakin tinggi
tingkat kesehatan seseorang makin menerima informasi sehingga makin banyak
pula pengetahuan yang dimilik i( Notoatmodjo, 2003)
d. Pengetahuan gizi
Pengetahuan adalah suatu proses yang terjadi melalui pancaindra manusia, yakni
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengukuran pengetahuan
dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi
materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkat-tingkat tersebut di atas ( Notoatmodjo, 2003 ).Pengetahuan yang dimiliki
seorang ibu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan juga akan
berpengaruh pada perilakunya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik, kemungkinan
akan memberikan gizi yang cukup bagi bayinya. Hal ini terlebih lagi kalau
seorang ibu tersebut memasuki masa ngidam, dimana perut rasanya tidak mau
diisi, mual dan rasa yang tidak karuan. Walaupun dalam kondisi yang demikian
jika seseorang memiliki pengetahuan yang baik maka ia akan berupaya untuk
memenuhi kebutuhan gizinya dan juga bayinya (Proverawati, 2009).
e. Sosial ekonomi
Menurut Kristyanasari (2010) menyatakan bahwa keadaan ekonomi keluarga
akan mempengaruhi pemilihan ragam dan kualitas bahan makanan, ekonomi
seseorang mempengaruhi dalam pemilihan makanan yang akan dikonsumsi sehari
– harinya. Seseorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian hamil maka
kemungkinan besar sekali gizi yang dibutuhkan tercukupi ditambah lagi adanya
pemeriksaan membuat gizi ibu semakin terpantau.
Hubungan Paritas dengan Berat Bayi Lahir
Umumnya kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan kematian perinatal meningkat
seiring dengan meningkatnya paritas ibu, terutama bila paritas lebih dari 3. Paritas yang
terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya uterus terutama dalam hal fungsi pembuluh
darah. Kehamilan yang berulang-ulang akan menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh
darah uterus. Hal ini akan mempengaruhi makanan ke janin pada kehamilan selanjutnya,
selain itu dapat menyebabkan atoni uteri (perdarahan pasca melahirkan karena tidak
adanya kontraksi otot rahim ). Hal ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan yang
selanjutnya akan melahirkan bayi dengan BBLR (Winkjosastro, 2008).
Selain itu dapat dijelaskan bahwa setiap kehamilan akan menyebabkan kelainan-kelainan
pada uterus, dalam hal ini kehamilan yang berulang-ulang menyebabkan rahim ibu tidak
lagi sehat untuk kehamilan berikutnya. Hal ini dapat dimengerti karena pada waktu
melahirkan tidak dapat dihindari adanya kerusakan pada daerah dinding uterus yang
mempengaruhi sirkulasi nutrisi di janin dimana jumlah nutrisi akan berkurang dibandingkan
pada kehamilan berikutnya. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada bayi.
(Winkjosastro, 2008).
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada ibu golongan paritas tinggi akan mempengaruhi
perkembangan janin yang dikandungnya. Hal ini disebabkan adanya gangguan plasenta dan
sirkulasi darah ke janin, sehingga pertumbuhan terhambat. Jika keadaan ini berlangsung lama
akan mempengaruhi berat badan lahir bayi dan kemungkinan besar terjadinya BBLR
(Wibowo, 1992)
Menurut Winkjosastro (2008), paritas yang paling aman adalah paritas 2 – 3. Paritas 1 dan
paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh
kematangan dan penurunan fungsi organ – organ persalinan.Hasil penelitian Budiman dkk,
(2010) terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan berat badan bayi lahir.
Demikian pula pada hasil penelitian Rahmawati dan Nur Jaya (2010) terdapat hubungan antara
paritas dengan berat badan bayi lahir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan paritas ≥
4 mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu dengan paritas < 4.
Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Berat Bayi Lahir
Kadar Hemoglobin (Hb) ibu sangat mempengaruhi berat bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil
yang anemia karena Hbnya rendah bukan hanya membahayakan jiwa ibu tetapi juga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan serta membahayakan jiwa janin. Hal ini
disebabkan karena kurangnya suplai gizi dan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh
pada fungsi placenta terhadap janin. Turunya kadar hemoglobin pada ibu hamil akan
menambah risiko mendapatkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), risiko perdarahan
sebelum dan pada saat persalinan, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya,
jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat (Dinkes Prov, 2009).Pertumbuhan plasenta
dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya penurunan Hb yang diakibatkan karena
selama hamil volume darah 50 % meningkat dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat
sedikit yang menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini
akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan untuk penyediaan cadangan
saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama kehamilan rahim, plasenta dan janin
memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Smitht et al.,
2010 ).Anemia pada ibu hamil akan menambah resiko mendapatkan BeratBayi Lahir Rendah
(BBLR), resiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, dan bahkan dapat
menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat
(Depkes, 2002).
Pengaruh Anemia pada Kehamilan dan Janin :
Pengaruh anemia pada kehamilan
Bahaya selama kehamilan
Bahaya anemia selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya abortus, persalinan
prematuritas, hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim, ketuban pecah dini (KPD),
mudah terjadi infeksi dan sepsispuer peralis, lemah dan anoreksia, serta perdarahan dan
pre eklamsi dan eklamsi.
Bahaya saat persalinan
Bahaya anemia pada saat persalinan dapat menyebabkan gangguan his- kekuatan
mengejan, kala pertama dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, kala
kedua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan
operasi kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta, kala empat dapat terjadi
perdarahan postpartum sekunder dan atoni uteri.
Pengaruh anemia terhadap janin
Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya, tetapi
dengan adanya anemia maka akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh
sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Akibat
adanya anemia pada ibu, maka dapat terjadi gangguan pada janin dalam bentuk
abortus, terjadi kematian intrauterine, persalinan prematuritastinggi, berat badan lahir
rendah (BBLR), kelahiran dengan anemia, dapat terjadi cacat bawaan, bayi mudah
terserang infeksi sampai kematian perinatal, intelegensia rendah (cacat otak), kematian
neonatal, asfiksia intrapartum (Manuaba, 2010).Hasil penelitian Jumirah dkk, (1999) yang
dikutip oleh Adriani, dkk (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara kadar Hb ibu
hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi
berat badan bayi yang dilahirkan. Adapun penelitian Edwi Saraswati dkk, (1998) yang
dikutip oleh Adriani dkk, (2012) menemukan bahwa anemia pada batas 11 g/dl bukan
merupakan resiko untuk melahirkan BBLR. Hal ini mungkin karena belum berpengaruh
terhadap fungsi hormon maupun fungsi fisiologis ibu. Selanjutnya pada analisis bivariat
anemia batas 9 g/dl atau anemia berat ditemukan secara statistik tidaknyata melahirkan
BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mati mempunyai resiko 3,081 kali. Hasil analisa
multivariat dengan memperhatikan masalah riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan
bahwa ibu hamil penderita anemia berat mempunyai resiko untuk melahirkan BBLR
4,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita anemia berat
(Adriani dkk, 2012).
Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir
Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan, apabila
status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan akan menyebabkan
berat badan l ahir rendah (BBLR). Mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan otak janin,
anemia pada bayi baru lahir, bayi baru lahir mudah terinfeksi, abortus dan sebagainya.
Kondisi anak yang terlahir dari ibu yang kekurangan gizi dan hidup dalam lingkungan yang
miskin akan menghasilkan generasi kekurangan gizi dan mudah terkena penyakit infeksi.
Keadaan ini biasanya ditandai dengan berat dan tinggi badan yang kurang optimal
(Supariasa, 2001).Hubungan antara LILA dengan BBLR tersebut dapat dijelaskan karena
kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori
selama masa kurang lebih 280 hari. Energi dalam protein ditaksir sebanyak 5180 kkal, dan
lemak 36.337 Kkal. Agar energi ini bisa ditabung masih dibutuhkan tambahan energi
sebanyak 26.244 Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan
menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Jumlah total energi yang harus tersedia selama
kehamilan adalah 74.537 Kkal, dibulatkan menjadi 80.000 Kkal. Hal ini berarti perlu
tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama hamil. Kebutuhan
energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang trimester II dan
III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan. Energi tambahan selama
trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu seperti penambahan volume darah,
pertumbuhan uterus, dan payudara, serta penumpukan lemak. Selama trimester III energi
tambahan digunakan untuk pertumbuhan janin dan plasenta (Lubis, 2003) .Ibu yang mengalami
risiko KEK selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin. KEK
pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia,
pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi.
Pengaruh KEK terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama,
persalinan sebelum waktunya (prematur), pendarahan setelah persalinan, serta persalinan
dengan operasi cenderung meningkat. KEK ibu hamil dapat mempengaruhi proses
pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian
neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan),
lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Bila BBLR bayi mempunyai resiko
kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk
mencegah resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus
mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila
LILA ibu sebelum hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga
tidak beresiko melahirkan BBLR (Lubis, 2003) .
Menurut Saimin (2005), bila LILA < 23,5 cm berarti ibu tersebut mengalami KEK atau status
gizi kurang, demikian pula pada ibu dengan anemia. Ibu dengan LILA < 23,5 cm adalah
ibu yang beresiko positif melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan ibu dengan
LILA > 23,5 cm adalah ibu yang beresiko negative melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah.