tetanus neonatorum

27
BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Konsep teori Definisi Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dapat larut(tetanuspasmin) dari clostridium tetani. Tetanus neonatorum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985

Upload: vindy-miliknya-nyun-nyun

Post on 08-Aug-2015

228 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tetanum neonatorum

TRANSCRIPT

BAB IITinjauan Pustaka

2.1. Konsep teori

2.1.1.. Definisi

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan

spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan

menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.

Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium

tetani.

Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh

eksotoksin yang dapat larut(tetanuspasmin) dari clostridium tetani.

Tetanus neonatorum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru

lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering

dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia,

tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi

akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan

Anak, 1985

Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang

khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara

normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang

ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan

kejang–kejang (WHO, 1989).

Macam- macam tetanus menurut tanda dan gejala:

Tetanus lokal (lokalited Tetanus)

Pada local tetanus dijumpai adanya kontrasi otot yang persisten,

pada daerah dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).

Hal inilah yang merupakan tanda dari tetanus local. Kontraksi otot

ini biasanya ringan,bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa

progesif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus local

ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk

yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus

ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau djumpai

secara terpisah.hal ini biasanya dijumpai setelah pemberian

profilaksis antitoksin.

Cephalic Tetanus

Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari Tetanus. Masa

inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik

(seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala,

termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.

Generalized Tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan

komplikasi yang tidak dikenal, beberapa Tetanus lokal oleh karena

gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama

yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-

otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang

menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala

lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yaitu spasme otot-otot

muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut.

Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan

sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan

retensi urin, kompressi fraktur dan perdarahan didalam otot.

Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa juga

mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,

tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita

biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan

gejala klinis.

Neonatal Tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali

pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk

disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril,

baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani,

maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah

terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan

persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor

yang utama dalam terjadinya neonatorum Tetanus. Menurut

penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS

Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982

ada 40 kasus Tetanus Biasanya ditolong melalui tenaga persalinan

tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29

% ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui

dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ).

2.1.2. Etiologi

Penyebabnya adalah hasil Clostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000)

bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat

mengeluarkan toksin yang dapat mengghancurkan sel darah merah,

merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat

neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu

Kesehatan Anak, 1985)

2.1.3. Gejala klinis

Masa inkubasi biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa

minggu jika infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak

dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan

leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu

Kesehatan Anak, 1985).

Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan

berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu :

1. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak

dapat menghisap).

2. Mulut mencucu seperti mulut ikan.

3. Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis

4. Kaku kuduk sampai opistotonus

5. Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang

terjadi kejang.

6. Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik

kebawah, muka thisus sardonikus

7. Ekstermitas biasanya terulur dan kaku

8. Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan

kadang-kadang menangis lemah.

2.1.4. Epidemiologi

   Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul,

gram positip. Dapat bergerak dan membentuk spora - spora, terminal yang

menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora - spora

tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan

termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan

otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan

tidak terpapar sinar matahari, selain itu dapat ditemukan pula dalam debu,

tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus, manusia serta hewan.

2.1.5. Patogenesis

Kontaminasi luka dengan spora mungkin sering. Biasanya penyakit

ini terjadi setelah luka tusuk yang dalam, misalnya luka yang disebabkan

tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak, dimana luka

tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi

yang kotor, luka bakar dan patah tulang terbuka juga akan menimbulkan

keadaan anaerob.

Sedangkan pada tetanus neonatorum luka yang terjadi akibat

pemotongan tali pusat dengan alat-alat yang tidak steril atau perawatan tali

pusat yang salah. Dimana clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui

luka. Pada neonatus/bayi baru lahir clostridium tetani dapat masuk melalui

umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsik

antisepsik.

Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila

lingkungannya memungkinkan untuk berubah bentuk dan kemudian

mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus sendiri tetap tinggal di daerah

luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu

tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh organ saraf di

ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan

susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat

dinetralkan lagi.

2.1.6. Patologi

Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak yaitu sumsum

tulang belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan

oleh asfiksia akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu

kematian dapat disebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan

dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah pneumonia aspirasi

dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan

sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.

2.1.7. Patofisiologi

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerob berubah

menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam

jaringan yang anaerob ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi

jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah,

nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra

axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu

sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat

perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul

dalam sel. Dalam sumsum tulang belakang toksin menjalar dari sel saraf

lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari

spinal inhibitor neuron. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan

pada inhibitor transmitter dan menimbulkan kekakuan.

Efek Toxin pada :

1) Ganglion pra sumsum tulang belakang :

Memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan

koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot

menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran

dari neuron yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila

jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan

dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan

hambatan pengeluaran inhibitor transmitter dan menekan

pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.

2)      Otak :

Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga

menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada

tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal

menurun.

3)       Saraf otonom :

Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala

keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,

arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang

terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan

penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus otot polos juga

ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti

disebutkan diatas.

2.1.8. Faktor resiko terjadinya tetanus neonatorum:

Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 - 28

hari, terutama pada saat luka potong tali pusat belum kering, sehingga

spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.

Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989)

terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu : (a) faktor resiko

pencemaran lingkungan fisik dan biologik, (b) faktor cara pemotongan tali

pusat, (c) faktor cara perawatan tali pusat, (d) faktor kebersihan pelayanan

persalinan (e) faktor kekebalan ibu hamil.

a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik

Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan

tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya.

Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan

diubah penggunaannya.

b.   Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat

Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk

memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat

akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul

erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan

biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran”

plasenta dan perdarahan ibu.

c.   Faktor Cara Perawatan Tali Pusat

Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan

hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi

masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan

sekitarnya. Masyarakat di daerah masih banyak

menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi

untuk pengobatan luka puntung tali pusat. Kebiasaan ini

tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun

bayi saja.

d.   Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan

Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan

tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah

tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan

kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum

terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun

daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau

oleh masyarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak)

maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun

bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak

berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.

Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya

(25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya

tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko

tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.

e.     Faktor Kekebalan Ibu Hamil

Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus

dalam darah ibu hamil yang dapat disalurkan pada bayinya

dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan kuman C.

tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kali pun

dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78

per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran

hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).

2.1.9. Komplikasi

Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air

liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan

terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.

Aspiksia.

Atelektasis karena obstruksi oleh sekret.

Fraktur kompresi.

Laringospasme yaitu spasme dari laring dan otot

pernapasan menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan

penyebab utama kematian pada kasus tetanus neonatorum.

Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat

kontraksi otot berlebihan yang terus menerus. Terutama pada

neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan tulang masih belum

sempurna.

Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf

otonom yang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang

pada akhirnya dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest ).

Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah distabilkan

jalan napasnya.

Sepsis akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)

Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi

makanan ataupun minuman yang diberikan secara oral pada saat

kejang berlangsung)

2.1.10. Pencegahan dan Penatalaksanaan

1. Pencegahan

Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada

tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko.

Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui

cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya

lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus

neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik

tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan

peternakan untuk produksi pangan mereka. Pendekatan

pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan

kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi

pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan

perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih

ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan,

alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan,

1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam

kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attak rate tak dapat

diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta perawatan

tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil

merupakan salah satu jalan pintas

yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian tokoid tetanus

kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester 3 dikatakan

sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum.

Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan

perawatan tali pusat selanjutnya.

2. Penatalaksanaan

a) Medik

Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian

antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif,

yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan

NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam

selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika

pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering

kejang atau apneua, diberikan larutan glukosa 10% dan

natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika

fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu).

Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum

peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein

dan kalium.

Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan

selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10

mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke

dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang

masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg

secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam

berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5

mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya

menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis

membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan

secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia

berat atau makin berat, diazepam diberikan per oral dan

setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.

ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut

dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.

Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis,

intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis

pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak

dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada

pasien meningitis bakterialis.

Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol

70%/Betadine 10%.

Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir

sering dihisap.

b) Keperawatan

Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan

cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas,

mempertahankan oksigenasi yang adekuat, dan mencegah

hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk

membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah

keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah

dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat.

Setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan pehydrol,

dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan

puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.

2.1.11. Pemeriksaan penunjang

Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,

pemeriksaannya meliputi

Darah

Glukosa Darah:Hipoglikemia merupakan predisposisi

kejang (N < 200

mq/dl) BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang

dan

merupakan indikasi neprotoksik akibat dari pemberian obat.

Elektrolit:

K, Na .Ketidakseimbangan elektrolit merupakan

predisposisi kejang

Kalium ( N 3,80– 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144

meq/dl )

Skull Ray:Untuk mengidentifikasi adanya proses desak

ruang dan adanya lesi

EEG:Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui

tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas

kejang, hasil biasanya normal.

2.2. Konsep Askep 2.2.1. PENGKAJIAN

1. Identitas

2.   Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.

Riwayat kehamilan prenatal.

Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT.

Riwayat natal ditanyakan.

Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu

membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak.

Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan.

Riwayat postnatal.

Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi

tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama

selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan

gejala kejang yang pertama (period of onset).

3.      Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang

Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut,

mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.

Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti

mulut ikan.

Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada,

otot punggung.

Abdomen : Dinding perut seperti papan.

  Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.

Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai,

hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong

kayu.

4.     Pemeriksaan Persistem

Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori,

bunyi nafas, batuk-pikel.

Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut

jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat,

hiperpirexia.

Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena

rangsangan.

  Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi

Perkemihan : Produksi urine

Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

2.2.2. Diagnose1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi

2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks

menghisap pada bayi tidak adekuat.

3. Risiko cedera fisik berhubungan dengan serangan kejang

berulang.

4. Risiko ketidak efektifan jalan nafas berhubungan dengan

sekunder dari depresi pernafasan

5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan

produksi sekret yang berlebihan pada jalan nafas.

2.2.3. Intervensi

Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi

Intervensi :

1. Kaji frekuensi dan pola nafas

2. Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung,

tonus otot dan warna kulit.

3. Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara

kontinue.

4. Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.

5. Beri rangsang taktil segera setelah apnea.

6. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.

7. Beri O2 sesuai indikasi.

8. Beri obat-obatan sesuai indikasi.

Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks

menghisap pada bayi tidak adekuat.

Intervensi :

1. Kaji maturitas refleks berkenaan dengan pemberian makan,

menghisap, menelan dan batuk.

2. Auskultasi bising usus.

3. Kaji tanda-tanda hipoglikemia.

4. Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.

5. Beri nutrisi parenteral.

6.   Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.

7.  Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.

2.2.4. Implementasi

Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana

tindakan meliputi beberapa bagian yaitu validasi, secara keperawatan

memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data (Lumidar 1990).

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang matematis dari rencana

tindakan dari masalah kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan

dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan

kesehatan lainnya (Ependi, 1995).

BAB III

Penutup

3.1. Kesimpulan

Tenanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh

Clostridium tetani (Mansjoer, 2000).

Menurut Surasmi (2003), tetanus neonatorum adalah penyaki

tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-1 bulan). Penyebab

tetanus adalah Clostridium tetani,yang  infeksinya biasa terjadi melalui

luka dari tali pusat.

Dapat juga karena perawatan tali pusat yang menggunakan obat

tradisional seperti abu dan kapur sirih, daun-daunan dan sebagainya.Masa

inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa berkurang atau lebih. Gejala

klinis infeksi tetanus neonatorum umumnya muncul pada hari ke 3 sampai

ke 10 (Surasmi, 2003)

Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah melakukan

imunisasi dengan tetanus toksoid (TT) pada wanita calon pengantin dan

ibu hamil. Selain itu, tindakan memotong dan merawat tali pusat harus

secara steril.Pemberian asuhan keperawatan pada bayi berisiko tinggi:

tetanus neonatorum difokuskan pada upaya penanganan dari tanda dan

gejala penyakit yang diderita untuk tindakan pemulihan fisik klien.

Penentuan diagnosa harus akurat agar pelaksanaan asuhan keperawatan

dapat diberikan secara maksimal dan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Pemberian asuhan keperawatan bayi berisiko tinggi: tetanus neonatorum

secara umum bertujuan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi yang

bisa terjadi.Oleh karena itu, dibutuhkan kreativitas dan keahlian dalam

pemberian asuhan keperawatan dan kolaborasikan dengan tim medis

lainnya yang bersangkutan.

3.2. Saran

Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada

bayi dengan penyakit tetanus neonatorum harus lebih memperhatikan dan

tahu pada bagian- bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada bayi

yang perlu ditekankan. Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan

kepada bapak dan ibu atau keluarga dari anak tentang bahaya tetanus dan

penyuluhan untuk melakukan persalinan di rumah sakit,

puskesmas, klinik bersalin, atau pelayanan kesehatan lainnya agar

terhindar dari infeksi tetanus pada anaknya akibat penggunaan alat.

DAFTAR PUSTAKA

http://creasoft.wordpress.com/2012/12/12/keperawatan-bayi-baru-lahir/

www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=073…

http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/Tetanus_Neonatorum.pdf/diakses

tgl:03/12/12

Hidayat, Azis Alimul. 2005. PENGANTAR ILMU KEPERAWATAN ANAK I.

Salemba Medika : Jakarta.

Fakultas Kedokteran UI, 2000, Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid 2, Jakarta: Medi Aesculapius.

http://ASKEB TETANUS NEONATORUM « Cyntaa's Blog.htm