studi perbandingan prinsip hukum acara di mahkamah...
TRANSCRIPT
STUDI PERBANDINGAN PRINSIP HUKUM ACARA DI MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM SIDANG JUDICIAL
REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Meperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Sylvia Amanda
1113048000029
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017M
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah
dan nikmat dari-Nya skripsi peneliti “STUDI PERBANDINGAN PRINSIP
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH
AGUNG DALAM SIDANG JUDICIAL REVIEW PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dengan kemuliaan
akhlaknya menuntun kita padda agama yang diridhoi Allah.
Tentunya masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Namun demikian
peneliti tetap berusaha menyelesaikannya dengan kesungguhan dan kerja keras.
Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan peneliti dapatkan
dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti
sampaikan setulus hati ucapan terima kasih dengan sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Syarifuddin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H. dan Abu Thamrin, S.H,
M.H. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Nur Rohim Yunus, LL.M, Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan bimbingan
dalam menyusun skripsi ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat
bermanfaat bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah dari
Allah SWT.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen-dosen
Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmunya selama penulis
menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat
bermanfaat bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah dari
Allah SWT.
ii
5. Kedua orang tua tercinta Bapak Drs. Ilham Faturahman dan ibu Dahlia
Herawati yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, memberikan
dukungan baik materiil maupun moril, dan tiada henti mendoakan
penulis hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada yang tercinta adik Savira Fadilah dan Radja Ahmad Maghribi
yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis hingga
penulis menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada yang terkasih Muhammad yang selalu membantu penulis dan
memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman seperjuangan di Ilmu Hukum Putri Firmanda,
Elia Feby, Tary Rahma, Vina Tri, Rhomi Prayoga, Ahmad Kandiaz,
Khaidir Musa dan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu namanya
terima kasih selalu memberikan semangat ke penulis serta
wawasannya sehingga penulis bisa mencapai tahap ini semoga kita
semua bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama,
dan terima kasih kepada kakak tercinta Azhar, Sandi, Kiki, Anshor dan
Sella dan semua pihak yang selalu membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih dan maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam
penulisan yang kurang berkenan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pengembagan ilmu pengetahuan di Indonesia khususnya untuk penulis.
Ciputat, 3 Juli 2017
Sylvia Amanda
iii
ABSTRAK
SYLVIA AMANDA. NIM 1113048000029. STUDI PERBANDINGAN
PRINSIP HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH
AGUNG DALAM SIDANG JUDICIAL REVIEW PERATURAN
PERRUNDANG-UNDANGAN. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438H/2017M. Penelitian ini
menganalisis tentang perbandingan hukum acara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung dalam sidang Judicial Review peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni
dalam studi ilmu hukum dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai
masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk
menganalisis tentang prinsip hukum acara Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang
bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma
hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli,
makalah-makalah dan lainnya. Dalam studi kepustakaan penulis menganalisis
permasalahan prinsip hukum acara Judicial Review. Dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi persidangan Judicial Review di lakukan dengan terbuka untuk umum,
namun dalam Peraturan Mahkamah Agung persidangan hanya bersifat
administratif.
Kata Kunci :Prinsip Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung dalam sidang Judicial Review
Pembimbing :Nur Rohim Yunus, LL.M
Daftar Pustaka : Dari Tahun 1960 sampai 2016
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR………………………………………………………...i
ABSTRAK………………………………………..………………………….iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………...iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………..8
C. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………….8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..9
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………………………..10
F. Kerangka Teori………………………………………………12
G. Metode Penelitian……………………………………………16
BAB II LANDASAN TEORITIS JUDICIAL REVIEW PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Konsep Negara Hukum dan Negara Kesejahteraan………….19
v
B. Konsep Historisasi Perkembangan Uji Materil Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia dan Beberapa Negara;…..24
C. Asas-Asas Peradilan yang Adil (Fair Trial) Dalam
Perkembangan Negara Hukum;……………………………...28
D. Judicial Review sebagai Wujud Check and Balances………..33
BAB III HUKUM ACARA JUDICIAL REVIEW DI MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Acara Pada Ranah Judicial
Review………………………………………………………..38
B. Karakteristik Hukum Acara Pada Ranah Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung……………….42
C. Landasan Hukum Acara Tentang Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung……………….58
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN BERACARA PERSIDANGAN
JUDICIAL REVIEW DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN
MAHKAMAH AGUNG
A. Perbandingan Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Dan
Mahkamah Agung……………………………………………62
B. Sidang Tertutup Untuk Umum Dalam Persidangan Judicial
Review di Mahkamah Agung………………………………...70
vi
C. Urgensi Penerapan Prinsip Terbuka Untuk Umum Dalam
Judicial Review Di Mahkamah Agung……………………….74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………...................76
B. Saran………………………………………………………….78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan sejarah hukum dan kelembagaan di Indonesia diketahui
bahwa fungsi judicial review telah lebih dahulu melekat pada kewenangan
Mahkamah Agung sebelum lahirnya Mahkamah Konstitusi. Perdebatan
konsep review by the judicial bodies terhadap keabsahan suatu undang-
undang telah berlangsung lama ketika para ahli hukum Indonesia
menkonsepkan dasar-dasar negara dan konstitusi negara di sidang
BPUPKI. Perbedaan konsep jelas terlihat kental dimana Soepomo
berpendapat bahwa Indonesia sebagai Negara yang masih muda belum
waktunya memikirkan perihal judicial revew dan Yamin yang berpendapat
bahwa Indonesia sudah membutuhkan Mahkamah yang dapat menguji dan
membanding-bandingkan apakah undang-undang tersebut sejalan dengan
hukum adat, syariah dan UUD. 1
Hingga pada bulan Juli 2000 dalam Pembahasan Amandemen
Kedua UUD 1945 oleh PAH I BP MPR Tim ahli mengusulkan untuk
segera dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat pleno ke-26. Pada
bulan September 2001 dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD
1945, seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR setuju untuk memasukkan
aturan tentang MK dalam Amandemen Ketiga UUD 45. Pada akhirnya
1 Alrasid,Harun, Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek: Dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No.1,
Juli 2004 (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi RI), h. 94.
2
dalam perubahan terhadap rumusan Pasal 24 UUD 1945 hasil Perubahan
Ketiga yang disahkan pada bulan November 2001, kewenangan uji materil
oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya sampai tingkat undang-undang,
sedangkan peraturan di bawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD
1945 dinyatakan :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan
oleh undang-undang”.
Mahkamah Agung adalah pengawal undang-undang (the Guardian
of the Law) dimana memiliki wewenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, berbeda halnya dengan
Mahkamah Konstitusi yang dikenal dengan istilah pengawal konstitusi (the
Guardian of the Constitusion).2 Dengan demikian objek pengujian materiil
di Mahkamah Agung adalah segala bentuk peraturan perundang-undangan
yang berada di bawah undang baik produk regulatif atau executive act dan
produk legislatif atau legislative act. Dalam hierarki peraturan perundang-
undangan terdapat beberapa produk hukum yang berada di bawah undang-
undang diantaranya Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan Kabupaten/ Kota, dan
juga segala bentuk peraturan yang merupakan produk regulatif cabang
kekuasaan eksekutif (executive act) seperti Peraturan Menteri (Permen),
2 Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Cetakan ketiga (Jakarta:
Konpress, 2006) h. 46
3
Surat Edaran Menteri, dan segala peraturan yang dibentuk atas perintah
Undang-Undang.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya. Sebagai sebuah lembaga peradilan,
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran strategis dalam mengawal dan
menjamin terlaksananya prinsip-prinsip dan norma yang terkandung dalam
konstitusi sebagai norma tertinggi penyelenggaraan hidup bernegara (the
supreme law of the land). Karena itu, Mahkamah Konstitusi disebut juga
sebagai the guardian of the constitution. Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia memiliki 4 (empat) kewenangan dan satu kewajiban. Adapun
kewenangan tersebut yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan latar
belakang sejarah pembentukannya. Keberadaan MK sendiri pada awalnya
adalah untuk menjalankan wewenang pengujian undang-undang.
Munculnya kewenangan ini sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan
hukum dan politik ketatanegaraan modern. Mekanisme pengujian undang-
undang ini sendiri dimaksudkan untuk melakukan pengujian suatu produk
4
perundang-undangan terhadap undang-undang yang lebih tinggi oleh
lembaga peradilan tertentu.
Hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang memang sangat sederhana dan sumir. Tidak seperti hukum
acara pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang begitu lengkap
dan cukup detail bahkan perihal administratif persidangan Mahkamah
Konstitusi cenderung lebih efektif dan efesien dari pada proses
administratif persidangan di Mahkamah Agung. Bahkan beberapa
Peraturan Mahkamah Agung yang dikeluarkan sebagai tata cara hak uji
materil belum begitu penuh mengatur dan menerapkan standar prinsip dan
asas umum peradilan yang baik. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 5 Perma
No. 1 Tahun 2011 yang hanya mengatur tata cara pemeriksaan dalam
persidangan yang begitu sederhana dan sumir, bahwa Majelis Hakim
Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji
Materil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pemeriksaan permohonan judicial review ini terlihat semakin buruk
ketika asas peradilan terbuka untuk umum tidak diterapkan dalam
pemeriksaan hingga putusan dalam artian Majelis Hakim dalam
memeriksa Permohoanan judicial review tidak menggelar sidang. Hal ini
jelas mencederai prinsip fairness dan public accountability untuk
mengawas berjalannya transparansi dalam memperolah keadilan. Prinsip
5
ini seakan begitu mudah dilanggar oleh Mahkamah Agung dengan alasan
pemeriksaan perkara hak uji materiil yang sederhana seperti layaknya
pemeriksaan pada tingkat kasasi adalah pilihan yang realistis melihat
jumlah perkara yang masuk dan diperiksa oleh MA. Berbeda dari MA
proses judicial review di MK dilakukan secara terbuka untuk umum,
dimana para pemohon dihadirkan didalam persidangan, lalu didengarkan
permohonannya, dan diberikan kesempatan menghadirkan para saksi. Dari
tahun ke tahun perkara yang masuk ke MA cenderung meningkat. Dengan
pemeriksaan seperti sekarang ini saja MA dituntut ekstra keras untuk
menyelesaikan pemutusan dan minutasi perkara. Apalagi MA sedang
mencanangkan “tahun prestasi” penanganan perkara. Dengan demikian
dengan mudahnya prosedur dan rasa keadilan para pencari keadilan
ditabrak hanya demi pencapaian kuantitatif penanganan perkara tanpa
memeperhatikan keadilan yang substantif.
Sebagaimana diketahui bahwa asas transparansi dan peradilan
terbuka untuk umum adalah prasyarat hadirnya akuntabilitas seorang
hakim atau lembaga peradilan dalam memeriksa perkara yang menyangkut
kepentingan publik yang begitu dominan. Asas ini adalah asas yang
terpenting untuk mendorong lahirnya kepercayaan publik (public trust)
terhadap suatu lembaga peradilan. Disamping itu juga terdapat beberapa
asas yang harus diterapkan yaitu berupa asas supremasi hukum, asas bebas
dan imparsial, asas partisipasi dan kontrol publik asas peradilan yang
6
sederhana, cepat dan biaya ringan dan asas-asas umum lainnya dalam
beacara di peradilan.
Asas peradilan terbuka untuk umum serta transparansi dan kontrol
publik ini mengisyaratkan bahwa sidang pemeriksaan di pengadilan
bersifat terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang
diperbolehkan hadir dan mengikuti jalannya pemeriksaan perkara di
persidangan. Sebelum mulai disidangkan, hakim harus menyatakan bahwa
sidang perkara tersebut „dibuka‟ dan dinyatakan „terbuka untuk umum‟,
sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. Bila kaedah formal ini
tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan putusan itu tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum danbatal demi hukum. Secara formil, asas ini
memberikan kesempatan bagi kontrol sosial dan memberikan perlindungan
hak asasi manusia dalam bidang peradilan. Disamping itu, asas ini
bertujuan untuk menjamin proses peradilan yang fair dan obyektif, tidak
memihak, serta terwujudnya putusan hakim yang adil.3
Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “sidang pemeriksaan
pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang
menentukan lain”. Tujuannya yaitu untuk mencegah penjatuhan putusan-
putusan berat sebelah atau semena-mena, sidang-sidang harus berlangsung
di muka umum. Hakim dapat memerintahkan dilakukannya pemeriksaan
sepenuhnya atau sebagiannya dengan pintu tertutup yaitu:
3Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Naskah Akademik RUU Tentang Hukum Acara
Perdata, diakses pada 6 Januari 2016, hlm. 58
7
1) Untuk perkara kesopanan atau kesusilaan;
2) Untuk kepentingan anak-anak dibawah umur;
3) Untuk persidangan rahasia dalam perkara paten.
Akan halnya persidangan Judicial Review Peraturan Perundang-
undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung
dengan proses tertutup, padahal ketentuan dalam pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa persidangan seharusnya dilakukan terbuka kecuali
ada ketentuan lain, sedangkan persidangan dapat dilakukan secara
tertutup untuk kategori tiga hal sebagaimana dijabarkan diatas. Selain itu
persidangan Judicial Review yang juga dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi dilakukan secara terbuka. Oleh karenanya perlu dilakukan
analisis secara mendalam landasan hukum yang menjadi acuan terhadap
tertutupnya Persidangan Judicial Review di Mahkamah Agung.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitan untuk mengetahui hukum acara Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dan selanjutnya
dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “STUDI
PERBANDINGAN PRINSIP HUKUM ACARA DI MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PERSIDANGAN
JUDICIAL REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.”
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik hukum acara Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi?
2. Bagaimana karakteristik hukum acara Judicial Review di Mahkamah
Agung?
3. Apa landasan hukum acara Judicial Review di Mahkamah Konstitusi?
4. Apa landasan hukum acara Judicial Review di Mahkamah Agung?
5. Bagaimana perbandingan hukum acara Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait judicial
review. Penelitian ini difokuskan mengkaji tentang Perbandingan
judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi
masalah dan pembatasan masalah di atas, dapat ditarik rumusan
masalah yang selanjutnya menjadi bahasan dalam skripsi ini, yaitu:
9
a. Apa landasan hukum acara Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung?
b. Bagaimana perbandingan prinsip hukum acara dalam proses
judicial review di Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi?
c. Apa yang mendasari Mahkamah Konstitusi memberlakukan
peradilan terbuka dan Mahkamah Agung memberlakukan
peradilan tertutup dalam proses judicial review?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam kaitan poin-poin pembahasan
skripsi ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui landasan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung.
b. Untuk mengetahui perbandingan prinsip hukum beracara judicial
review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung .
c. Untuk mengetahui yang mendasari Mahkamah Konstitusi
memberlakukan peradilan terbuka dan Mahkamah Agung
memberlakukan peradilan tertutup dalam proses judicial review.
10
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka manfaat penelitian
ini adalah :
a. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam
hal landasan hukum acara judicial review di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta perbandingan prinsip
hukum acara judicial review di mahkamah konstitusi dan
mahkamah agung dan mengapa judicial review di Mahkamah
Konstitusi menggunakan peradilan terbuka dan Mahkamah Agung
menggunakan peradilan tertutup.
b. Bagi Akademisi, sebagai tambahan referensi guna mempermudah
bagi pihak yang berkepentingan yang ingin melakukan penelitian
dengan objek yang sama.
c. Bagi Pembaca, agar dapat memahami landasan hukum acara
judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
serta perbandingan prinsip hukum acara judicial review di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta mengapa
judicial review di Mahkamah Konstitusi menggunakan peradilan
terbuka Mahkamah Agung menggunakan peradilan tertutup.
11
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul peneliti ajukan dalam skripsi ini
perlu kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi
bahan pertimbangan, antara lain :
a. Dalam skripsi yang ditulis oleh Afidatussolihat, Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “KEWENANGAN MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM MENGUJI UNDANG-UNDANG
RATIFIKASI PERJANJIAN ASEAN CHARTER” dalam skripsi
tersebut membahas mengenai tentang kewenangan mahkamah
konstitusi dalam menguji undang-undang ratifikasi perjanjian
internasional jelas berbeda dengan peneliti, peneliti membahas
mengenai Keterkaitan hukum beracara judicial review di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung dan alasan mengapa judicial review
oleh mahkamah agung dilakukan secara tertutup untuk umum.
b. Dalam skripsi yang ditulis oleh Inggrit Ifani, Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “LEGAL STANDING PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI ” dalam skripsi
tersebut membahas mengenai apakah wewenang Mahkamah Konstitusi
menguji peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan UUD
1945, yang jelas berbeda dengan skripsi peneliti, peneliti membahas
mengenai Keterkaitan hukum beracara judicial review di Mahkamah
12
Konstitusi dan Mahkamah Agung dan alasan mengapa judicial review
oleh mahkamah agung dilakukan secara tertutup untuk umum.
c. Buku Zainal Arifin Hoesein “ Judicial Review Di Mahkamah Agung RI
Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan” . Buku ini
membahas tentang analisis pengujian peraturan perundang-undangan
dan keterkaitannya dengan sistem hukum dan ketatanegaraan yang
dianut,serta praktik pelaksanaannya di Mahkamah Agung sedangkan
dalam pembahasan skripsi peneliti membahas tentang perbandigan
hukum acara judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung.
d. Dalam jurnal yang ditulis oleh Ja‟far Baehaqi yang berjudul “
PESPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF DALAM
JUDICIAL REVIEW DI MAHKAMAH KONSTITUSI “ jurnal hukum
konstitusi Vol. 10 No. 3 September jelas berbeda dengan skripsi
peneliti yang membahas mengenai perbandingan hukum acara judicial
review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif atau yuridis normative. Penelitian normatif
yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangun
system norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-
13
asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, perjanjian, serta doketrin (ajaran).4
2. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang bersifat yuridis
normative, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah :
a. Pendekatan Sejarah;
b. Pendekatan Perundang-undangan.
c. Pendekatan Comparatif (Perbandingan)
3. Sumber Penelitian
Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas peraturan
perundang-undangan,catatan – catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan putusan
hakim.5 Sehubungan dengan topik yang akan ditulis mengenai
tertutupnya persidangan judicial review di Mahkamah Agung, maka
penulis akan meninjaunya dari Kitab Undang-Undang Hukum
4 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010,Cet Pertama),h. 31.
5 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:SInar Grafika,2010).cet.9, h.47.
14
Pidana (KUHP) mengenai judicial review juga undang-undang yang
berkaitan dengan judicial review.
1) Perundang-undangan terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
c) Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah
Agung
d) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
e) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011
f) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2005
b. Bahan Hukum Sekunder
Badan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang
hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi
tersebut terdiri atas skripsi, tesis, disertasi hukum. Kamus-kamus
hukum jurnal-jurnal hukum, serta dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan.6 Penulisan penelitian ini menggunakan artikel-
artikel dari media massa cetak dan online tentang judicial review
serta menggunakan buku teks tentang judicial review .
c. Bahan Non Hukum
6 Peterr Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011),cet 7,h.155.
15
Bahan non-hukum dimaksudkan unruk memperluas sudut
pandang dan pengetahuan penulis tentang aspek non-hukum yang
berkaitan dengan judicial review.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang
digunakan adalah pedekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu
juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas
analisis ilmiah dalam penelitian normatif,7 yakni pendekatan kasus
(case approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dalam penelitian ini untuk
meneliti peraturan yang berkaitan dengan hukum acara judicial review
di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian, baik
aturan perundang-undangan bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
7 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ,. (Malang:
Bayumedia Publishing, Cet-II 2006), h. 295
16
Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.8
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti
dalam skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang
terdapat dalam “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012”
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi
kedalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna
lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang di
teliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok
pembahasannya adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, identifikasi masalah rumusan masalah,dan
berisikan tujuan dan manfaat dari penelitian, tinjauan
kajian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab II : Merupakan bagian kedua yang memuat beberapa teori
yang menjadi lanasan berfikir dalam permasalahan yang
dibahas yang saling memiliki keterkaitan diantaranya
8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 393
17
Konsep Negara Hukum(Rechstaat) dan Negara
Kesejahteraan (Walfare State);, Konsep, Historisasi
Perkembangan Uji Materil Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dan Beberapa Negara; , Asas-Asas
Peradilan yang Adil (Fair Trial) Dalam Perkembangan
Negara Hukum;, Judicial Review sebagai Wujud Check
and Balances
.
Bab III : Merupakan bagian ketiga yang akan membahas tinjauan
umum mengenai Prinsip-Prinsip Umum Hukum Acara
Judicial Review, Karakteristik Hukum Acara Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,
Landasan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung.
Bab IV : Pada bab ini akan membahas analisis hasil penelitian
mengenai Perbandingan Judicial Review Di Mahkamah
Konstitusi Dan Mahkamah Agung, sidang tertutup untuk
umum dalam sidang Judicial Review di Mahkamah
Agung, Urgensi Penerapan Prinsip Terbuka Untuk Umum
Dalam Judicial Review Di Mahkamah Agung
Bab V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang dapat
diberikan oleh penulis.
18
BAB II
LANDASAN TEORITIS JUDICIAL REVIEW PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Konsep Negara Hukum dan Negara Kesejahteraan
1. Konsep Negara Hukum
Pada zaman modern, Konsep negara hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Ficte
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechstaat. Juga dikenal
istilah Monocracy yang artinya sama dengan negara hukum. Intinya bahwa,
hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum haruslah terumus secara
demokratis, yakni yang dikehendaki oleh rakyat.1 Adapun dalam tradisi Angglo-
Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan
sebutan The Rule of law, menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang
disebutnya dengan istilah Rechstaat itu mencakup empat elemen penting.2 yaitu:
a. Perlindungan hak asasi manusia
b. Pembagian kekuasaan
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
d. Peradilan Tata Usaha Negara
1 A. Salman Manggalatung, “Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara
Kekuasaan Otoriter, salam,Jurnal Sosial dan Budaya syar‟i, Vol.2 No 2 , (Desember 2015), h.213 2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h.125
19
Adapun menurut A.V Dicey ada tiga ciri penting dalam setiap negara
hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, 3 yaitu:
a) Supremacy of law
b) Equality before the law
c) Due Process of law
Keempat prinsip Rechstaat yang dikembangkan Julius Stahl diatas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip The rule of law A.V Dicey
untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Adapun
persamaan yang terdapat pada kedua-duanya adalah bahwa baik Rule of Law
maupun Rechtsstaat pada hakikatnya sama-sama hendak melindungi masyarakat
terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan memungkinkan untuk
menikmati hak-hak sipil dan politik sebagai manusia.4 Konsep negara hukum
(rechstaat) di Indonesia sudah dimasukan di dalam konstitusi, seperti yang tertera
dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan “Negara Indonesia adalah
negara hukum”.
Konsep negara hukum berawal dari paham kedaulatan hukum yang pada
hakikatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah
berdasarkan atas hukum. Negara hukum merupakan substansi dasar dari kontrak
sosial setiap negara hukum.5 Utrecht membedakan antara Negara hukum formil
atau Negara hukum klasik, dan Negara hukum materil atau Negara hukum
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h.126 4Jumiati,”Materi Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Dalam Pembelajaran Di
Sekolah Menengah, dalam Jurnal Demokrasi Vol-5 No.2,2006, h.178 5 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia,
(Malang:Alumni,2009), h.9
20
modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat
formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis.
Adapun yang kedua, yaitu Negara Hukum Materil yang lebih mutakhir mencakup
pula pengertian keadilan di dalamnya.
Menurut Jimly Asshidiqie jika hukum dipahami secara kaku dan sempit
dalam arti hanya peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian
negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum
tentu menjamin keadilan yang substantif. Oleh karena itu Jimly merumuskan 12
prinsip pokok negara hukum yang berlaku pada zaman sekarang, yang merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern, sehingga
dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti sebenarnya.6 Kedua belas prinsip
pokok tersebut yaitu:
a. Supremasi Hukum
b. Persamaan Dalam Hukum
c. Asas Legalitas
d. Pembatasan Kekuasaan
e. Organ-Organ Eksekutif Independen
f. Peradilan Bebas Tidak Memihak
g. Peradilan Tata Usaha
h. Peradilan Tata Negara
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia
j. Bersifat Demokratis
6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h.127
21
k. Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara
l. Transparansi dan Kontrol Sosial.
Kehadiran hukum dan negara hukum sepatutnya dapat membuat rakyat
bahagia, keresahan Satjipto Rahardjo ini sesungguhnya menjadi suatu peringatan
bagi proses pembentukan hukum di negara ini. Sudah sepatutnya negara hukum
itu hadir untuk suatu kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia, bukan
sebaliknya. Hukum tidaklah boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Hal inilah
yang sepatutnya menjadi ukuran penampilan dan keberhasilan (Standard of
performance and result) negara hukum Indonesia.7
2. Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum dikenal dua
kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil.
Negara hukum materiil ini dikenal juga istilah welfare state atau negara
kesejahteraan. Ide negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari paham
sosialis yang berkembang pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai
simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-Liberalis. Negara
dituntut untuk mampu menjalani kesejahteraan warga negaranya, artinya adanya
negara bukan untuk berlaku semena-mena, tetapi untuk menciptakan
kesejahteraan yang optimal. Segala kebutuhan yang menjadi hajat hidup warga
negara harus dapat dipenuhi oleh negara, selain tidak membedakan antar
warganya.8
7 Ibnu Sina Chandranegara, “Fungsi Falsafah Negara Dalam Penerapan Konsep Negara
Hukum, dalam Jurnal Cita Hukum Vol. 2 No. 1, (Juni 2014) h.66 8 Nur Rohim Yunus, Teori Dasar Penelitian Hukum Tata Negara, (Jakarta: Poskolegnas,
2017), h.61-70
22
Konsepsi negara hukum untuk mencapai negara kesejahteraan secara
implisit terkandung di dalam UUD 1945 terutama bab XIV tentang kesejahteraan
sosial dan pembukaan UUD 1945.9 Dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4
tercermin tujuan dari negara Indonesia, yaitu Negara melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Guna mencapai tujuan dari negara kesejahteraan, perlu dilakukan
pemerintahan yang baik. Untuk itu diperlukan legalitas dalam setiap tindakan-
tindakan yang dijalankan. Legalitas dalam segala bentuk tindakan pemerintah ini
sangat diperlukan, karena berarti segala tindakan pemerintah harus mendapatkan
pembenaran dari norma hukum. Oleh karenanya pemerintah tidak boleh bertindak
di luar hukum.10
Konsep negara kesejahteraan merupakan perwujudan dari negara hukum
yang mempunyai ciri antara lain: asas legalitas, asas persamaan dalam hukum,
peradilan yang bebas.11
Sjachran Basah mengatakan bahwa tugas pemerintah
tidaklah mengurusi bidang kesejahteraan sosial dalam rangka mewujudkan tujuan
negara yang dijalankan melalui pembangunan nasional. Pembangunan nasional
yang bersifat multi komplek membawa akibat bahwa pemerintah harus ikut
campur dalam kehidupan rakyat yang mendalam di semua sektor.
9 Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Graha Ilmu , 2012), h. 40
10
Salman Manggalatung, Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,
(Bandung; Fajar Media, 2013), h.135 11
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Graha Ilmu , 2012), h. 41
23
Negara dalam campur tangan ini harus tetap dalam kerangka negara
hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam sistem pemerintahan negara yang
tercantum dalam penjelasan UUD 1945 bahwa, negara Indonesia berdasarkan
hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka.
B. Konsep Historisasi Perkembangan Uji Materil Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia dan Beberapa Negara
Pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subyek
yang melakukan pengujian, obyek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian.
Dilihat dari segi subyek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan
oleh hakim (Toetsingsrecht van de rechter atau Judicial review), pengujian oleh
lembaga legislatif (Legislative Review), maupun pengujian oleh lembaga
eksekutif (Executive Review).
1. Legislative Review
Legislative Review adalah pengujian konstitusionalitas (constitutional
review) yang dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan terkait degan
cabang kekuasaan legislatif.12
Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu
undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang tertentu.13
Dalam legislative review, setiap orang dapat meminta agar lembaga
legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan
12
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.71 13 Ali Samand , Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia, 2012.
Diakses pada tanggal 08 Januari 2017 dari situs:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-
di-indonesia.
24
alasan, misalnya peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau sederajat dengannya.14
Dengan demikian,
produk hukum yang lama tidak berlaku lagi apabila telah dikeluarkannya produk
hukum yang baru melalui revisi yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Adapun
Legislatif Review di Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebelum menetapkan rancangan undang-undang sebagai undang-undang.
2. Executive Review
Selain itu, pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dapat juga
dilakukan oleh lembaga eksekutif (pemerintah) dikenal dengan istilah eksekutif
review. Executive review adalah segala bentuk produk hukum pihak executif
diuji oleh baik kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hirarkis. Dalam
konteks ini yang diperkenalkan istilah “control internal” yang dilakukan oleh
pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk
regeling maupun beschikking.
Sasaran objek “executive review” adalah peraturan yang bersifat regeling
melalui proses pencabutan atau pembatalan. Pengujian yang disebut “executive
review” ini dilakukan untuk menjaga peraturan yang diciptakan oleh
14
Ali Samand , Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia, 2012.
Diakses pada tanggal 08 Januari 2017 dari situs:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-
di-indonesia.
25
pemerintah (eksekutif) tetap sinkron atau searah, dan juga konsisten serta
adanya kepastian hukum untuk keadilan bagi masyarakat.15
Pemberlakuan executive review ini telah diatur dalam Pasal 251 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Proses
executive review Peraturan Daerah dilakukan dalam bentuk pengawasan oleh
pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri.
Executive review dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian
Dalam Negeri terhadap peraturan daerah ditingkat provinsi dan tingkat
Kabupaten. Pemerintah pusat berhak membatalkan peraturan-peraturan di
daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah atau kabupaten untuk disahkan
apabila dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya atau sederajat
dengannya. Namun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas uji
materiil Nomor 137/PUU-XII/2015 Kementerian Dalam Negeri sudah tidak
dapat membatalkan peraturan daerah kota atau kabupaten, pembatalan
peraturan daerah kota atau kabupaten merupakan kewenangan Mahkamah
Agung, namun kementrian dalam negeri masih mempunyai wewenang
membatalkan Peraturan Daerah Provinsi.
3. Judicial review
Judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah
legislative acts, executive acts, dan administrative action bertentangan atau
tidak dengan UUD.16
Definisi judicial review di sini digunakan oleh negara
15
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undang, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2009), h. 63. 16
Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 8.
26
yang menganut common law system seperti Amerika Serikat dan Inggris.17
Sedangkan definisi judicial review menurut negara yang menganut civil law
system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yaitu upaya
pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh
cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka
penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan
kekuasaan negara (separation of power). Adapun negara yang menganut civil
law system seperti, Prancis dan Jerman.
Definisi judicial review sama seperti yang dianut oleh negara Prancis dan
Jerman, karena sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law system).
Praktek Judicial review bertujuan agar peraturan perundang-undangan
tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain, antara peraturan yang
lebih rendah dengan peraturan yang di atasnya (peraturan yang lebih tinggi
darinya) atau yang sederajat dengannya. Bertujuan sebagai upaya untuk
mengurangi bahkan untuk mengoreksi prinsip mayoritas dalam setiap
pembuatan suatu peraturan perundang-undangan di lembaga pembuatnya,
karena mayoritas belum tentu menyuarakan kebenaran dan keadilan.18
Kewenangan judicial review ini dimiliki oleh dua lembaga tinggi Indonesia
yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
17
Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum
Indonesia, h. 38 18
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, (Jakarta: Rajawali
Pres, 2009), h.43
27
Mahkamah Konstitusi berkewenangan menguji undang-undang terhadap
UUD, sedangkan Mahkamah Agung berkewenangan menguji Peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang (PP, Perpres, Perda provinsi/qanun
provinsi, perda Kabupaten/perda kabupaten) apabila terindikasi bertentangan
dengan peraturan diatasnya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan di
Indonesia tersusun dengan sistematis dan tidak saling tumpah tindih.
C. Asas–Asas Peradilan Yang Adil (Fair Trial) Dalam Perkembangan Negara
Hukum
Peradilan dalam istilah Inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam
bahasa Belanda maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas
Negara dalam menegakan hukum dan keadilan. Menurut R.Subekti dan
R.Tjitrosoedibio, pengertian peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan tugas negara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan istilah
Peradilan (rechtspraak/judiciary) menunjuk kepada proses untuk memberikan
keadilan dalam rangka penegakan hukum (het rechtspreken), sedangkan
pengadilan ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan. Jadi
pengadilan bukanlah merupakan satu satunya wadah yang menyelenggarakan
peradilan. Pengertian peradilan menurut Sjachran Basah, adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan tugas dalam memutus perkara dengan menerapkan hukum,
menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya
hukum materil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh
hukum formal.
28
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai
perkara peradilan.19
Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian
keadilan disuatu lembaga.20
Peradilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya. Peradilan umum meliputi:
1. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah
hukum meliputi wilayah provinsi.
2. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan
daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus
lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan Hubungan Industrial (PHI),
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Ekonomi,
Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan dan Pengadilan anak.
Pada dasarnya terdapat kolerasi antara tujuan, sifat dan asas-asas hukum
acara. Asas-asas yang terdapat dalam kekuasaan kehakiman yakni:
a. Asas peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 29 UUD 1945 yakni:
“Negara Indonesia Tahun 1945, yang menentukan, bahwa negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tugas pengadilan luhur sifatnya,
oleh karena itu tidak hanya bertanggungjawab kepada hukum, sesama
manusia dan dirinya, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Oleh karenanya setiap orang wajib menghormati martabat lembaga
pengadilan, bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan
19
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h.2 20
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), h. 278.
29
berlangsung bersikap hormat secara wajar dan sopan serta tingkah laku
yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya pengadilan.21
Irah-
irah “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebagai kekuatam
eksekutorial. Dengan adanya irah-irah ini maka setiap keputusan dan/atau
penetapan pengadilan mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan
(eksekusi).
b. Asas Kebebasan Hakim
Asas kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada Pasal 24
ayat (1), berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan.” dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009,
berbunyi kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dengan adanya jaminan konstitusi tesebut, sudah seharusnya
hakim menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan
bebas dari segala tekanan dari pihak mana pun juga, sehingga dapat
memberikan putusan yang seadil-adilnya. 22
c. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
21
Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori,
dan Praktik Peradilan.(Yogyakarta Pustaka Pelajar, Desember 2014), h 67 22
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Prenada Media Group 2012), h.50
30
Asas ini disebut juga sebagai Contante Justice. Sebagaimana
ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Hal ini
dimaksudkan sebagai bentuk penegasan bahwa peradilan adalah tempat
bagi rakyat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum, sehingga
haruslah dilakukan dengan sesederhana mungkin dan biaya yang
terjangkau dan waktu proses persidangan tidak berlarut-larut.
d. Asas Persiangan Terbuka Untuk Umum
Dasar hukum asas ini adalah Pasal 13 ayat (1),(2),(3) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009, selengkapnya sebagai berikut:
(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat
(1) dan ayat (2) mengakibatkan batal demi hukum.
Sidang pemeriksaan pengadilan pada dasarnya adalah terbuka untuk
umum, yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya adalah tidak lain
untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam
bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan,
31
dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak
serta putusan yang adil kepada masyarakat.23
e. Asas Susunan Persidangan Majelis
Susunan persidangan untuk semua pengadilan pada asasnya
merupakan majelis, yang sekurang-kurangnya terdiri tuga orang hakim.
Akan tetapi untuk perkara-perkara tertentu hakim dapat dibentuk untuk
sebanyak lima orang atau lebih. Asas ini bertujuan untuk menjamin
pemeriksaan yang subjektif mungkin guna memberikan perlindungan hak-
hak warga negara di pengadilan.
f. Asas Objektivitas
Setiap konflik haruslah mendapatan penyelesaian dengan baik oleh
hakim yang dapat diterima oleh semua pihak yang terkait. Karena jika
tidak mendapatkan keadilan yang dapat diterima semua pihak akan dapat
menimbulkan kekacauan dan akan mendorong orang main hakim sendiri.24
Asas yang penting di dalam negara hukum adalah asas
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas peradilan bebas dan
merdeka. Asas negara hukum ini dianut dan dikembangkan untuk pada
suatu sisi melindungi hak-hak asasi manusia dari kemungkinan ancaman
atau pelanggaran oleh penguasa, dan di sisi lain untuk mencegah atau
melakukan kontrol terhadap pemegang kekuasaan negara supaya tidak
melanggar hak-hak asasi manusia.
23
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Prenada Media Group 2012), h.55
24 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Prenada
Media Group 2012), h.58
32
Dalam melaksanakan pelindungan hak-hak asasi manusia dari
kemungkinan ancaman dan pelanggaran oleh penguasa, DUHAM PBB
menekankan tentang pentingnya kelembagaan peradilan yang bebas dan
merdeka. Lembaga peradilan yang bebas itu diharapkan mampu
melakukan pemeriksaan dan penilaian yang obyektif atas kasus-kasus
sengketa hak yang dihadapkan kepadanya. Dalam Pasal 9 – 15 Konvensi
Hak Sipil dan Politik secara khusus yang menjadi prinsip-prinsip
pelaksanaan peradilan yang adil dan tidak memihak (Fair trial). Adapun
peradilan yang tidak memihak berkaitan erat dengan hukum materil-
substansif maupun hukum acara. Itu sebabnya, pelanggaran yang
menyebabkan peradilan menjadi memihak, bukan hanya dikualifikasi
sebagai pelanggaran prosedural, tetapi merupakan tindakan yang bersifat
melawan hukum. Hak atas fair trial sebagai sebuah norma dalam hukum
HAM internasional, dibuat untuk melindungi individu dari pembatasan
yang tidak sah dan sewenang-wenang atau perampasan atas hak-hak dasar
dan kebebasan-kebebasan lainnya. Dalam pemenuhan hak ini perlu
diperhatikan bahwa sistem peradilan yang dimaksud tidak hanya melihat
dan menilai, bagaimana proses pemeriksaan atas suatu kasus di muka
persidangan saja, tapi juga harus dilihat bagaimana proses awal yang
mendahului suatu peradilan atau pra persidangan dan juga pasca
persidangan. Adapun asas peradilan yang sebagaimana disebutkan diatas
merupakan asas-asas untuk memenuhi suatu peradilan yang adil (Fair
Trial).
33
D. Judicial Review Sebagai Wujud Check And Balances
1. Judicial Review
“Judicial Review” (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga
peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang
dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang
berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif
(legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah
konsekuensi dari dianutnya prinsip „checks and balances‟ berdasarkan doktrin
pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan untuk
melakukan „judicial review‟ itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya,
bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh
lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai
„judicial review‟, melainkan „legislative review‟.
Praktek Judicial review bertujuan agar peraturan perundang-undangan
tidak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, antara peraturan yang
lebih rendah dengan peraturan yang di atasnya (peraturan yang lebih tinggi
darinya) atau yang sederajat dengannya. Seperti yang dikemukakan Jimly
Asshiddiqie, yaitu: „Judicial Review‟ merupakan upaya pengujian oleh lembaga
judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip „checks and
balances‟ berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of
34
power).25
Kewenangan judicial review ini dimiliki oleh dua lembaga tinggi
Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kompetensi Mahkamah Konstitusi Indonesia di bidang Judicial Review
ditujukan terhadap pengujian UU terhadap UUD baik dari segi formil maupun
dari segi materil, yang biasa diistilahkan dengan pengujian konstitusionalisme.
Dasar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, ditemukan
pada Pasal 24C UUD NRI 1945 dan diatur lebih lanjut pada Pasal 10 UU. No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dengan UU. No. 8
Tahun 2011 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2005. Sedangkan
Pengujian di bawah undang-undang seperti Peraturan Presiden, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah dan Norma Hukum lainnya diuji di Mahkamah
Agung dengan berpedoman pada Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2011 tentang
Hak Uji Materil.
2. Check And Balances
Sejarah ketatanegaran Indonesia di masa Orde Baru hampir tidak
mengenal adanya checks and balances di antara lembaga negara karena realitas
kekuasaan terpusat pada Presiden.26
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
melahirkan satu kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam
bentuk kelembagaan yang setara. Perubahan terhadap Konstitusi tersebut dari
25
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”,
(Jakarta: Juli 2010) 26
Sekretariat Jenderal MPR R.I., Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR R.I. 2003), h. 14
35
amandemen pertama hingga keempat telah melahirkan Hukum Tata Negara yang
baru, yakni adanya Lembaga-Lembaga Negara yang baru bernama Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi
(MK), serta Dewan Pertimbangan Agung dihapus (DPA). Selain adanya
Lembaga-Lembaga Negara baru yang dilahirkan, ada juga suatu Sistem Tata
Negara yang baru bernama checks and balances karena dengan adanya
amandemen yang memisahkan fungsi, tugas dan wewenang Lembaga-Lembaga
Negara yang ada. Jika dihadapkan dengan doktrin klasik separation of powers,
kekuasaan negara yang diberikan kepada lembaga-lembaga yang terpisah satu
dengan lainnya dalam rangka menghindarkan terjadinya campur tangan yang satu
terhadap yang lain, maka mekanisme checks and balances pasca perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tampaknya dapat juga
dianggap satu pelunakan terhadap doktrin separation of powers atau pembagian
kekuasaan negara dengan menghubungkan cabang kekuasaan yang saling
terpisah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat
mutlak tanpa pengawasan.
Sistem check and balances pertama kali muncul dalam ajaran trias politica
yang dikemukakan oleh Montesquieu. Ajaran trias politica identik dengan negara-
negara yang menganut sistem demokrasi dalam praktek penyelenggaraan
negaranya. Ajaran trias politica yaitu menjelaskan perihal pembagian kekuasaan
yang didasarkan pada tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Sebagai akibat dari pembagiann kekuasaan kenegaraan ini, maka
muncul lembaga-lembaga kenegaraan yang masing-masing diberi kekuasaan
36
sesuai dengan bidang kekuasaannya.27
Masing-masing lembaga tersebut memiliki
kekuasaan yang terpisah dengan lembaga lain dan mampu berjalan sendiri tanpa
saling mempengaruhi dan terpengaruhi, serta tidak salinng mencampuri satu sama
lain, baik mengenai tugas maupun mengenai perlengkapan yang melakukannya.
Akan tetapi dalam ajaran trias politica itu sendiri terdapat suasana check and
balances, dimana dalam hubungan antar lembaga negara, lembaga negara tersebut
saling menguji namun tetap sesuai dalam batas kekuasaan yang sudah ditentukan
sehingga antar lembaga negara tersebut terdapat suatu perimbangan.
Adanya sistem ini diharapkan mampu mengatur mekanisme checks and
balances antar satu lembaga dan lembaga negara lainnya agar terciptanya suatu
tatatanan dan kehidupan kenegaran dan pemerintahan yang konstitusional serta
dapat mengurangi adanya praktik yang tidak sehat dan atau melanggar hukum.
Sistem yang baru ini secara tidak langusng membuat sebuah kepastian hukum
terhadap jalannya pemerintahan dan negara secara konstitusional.
Adapun yang menjadi sorotan dari bahasan diatas adalah Judicial Review
sebagai wujud Check and Balances, Judicial Review melukapan upaya dari
lembaga yudisial untuk menguji norma atau produk hukum tertulis yang
ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Dengan
Judicial Review inilah dijamin adanya perlindungan hukum terhadap rakyat dari
tindakan sewenang-wenang atau kekeliruan pemerintah di bidang hukum. 28
27
Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Sedikit tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, cet III,
(Jakarta-Bandung: PT Eresco, 1960), h. 29 28
Ni‟matul Huda, Negara hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta:UII
Press, 2005), h.78
37
Pengujian konstitusional scara material ini mendapat dasar yang kuat
dalam negara yang mempunyai Undang-Undang Dasar sebagai salah satu
kumpulan kaidah fundamental yang dianggap supreme dibanding dengan kaidah-
kaidah lainnya. Dalam konsep trias politica dengan sistem check and balances
pengujian konstitusional mempunyai arti lebih memperkuat lagi kedudukan
lembaga peradilan sebagai jabatan yang bebas dari pengaruh jabatan eksekutif dan
legislatif. Secara umum dengan pengujian konstitusional ini jabatan pengadilan
dapat membatasi atau mengendalikan tinkah laku jabatan legislative dan eksekutif
atas dasar konstitusi.29
29
Ni‟matul Huda ,Negara hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta:UII Press,
2005), h.85
38
BAB III
HUKUM ACARA JUDICIAL REVIEW
DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Prinsip–Prinsip Umum Hukum Acara Dalam Ranah Judicial Review
Prinsip merupakan pokok pikiran umum yang menjadi latar belakang dari
peraturan hukum yang kongkret (hukum positif).1 Prinsip hukum merupakan
jantung yang menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita pandangan
masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum objektif).2
Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, dalam peradilan Judicial
Review terdapat prinsip-prinsip baik yang bersifat umum, yaitu:
1. Prinsip Ius Curia Novit
Prinsip Ius curia novit diartikan secara harfiah mengandung arti
“pengadilan tahu hukum”. Prinsip tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya. Berdasarkan pada pasal tersebut berakibat hakim
dianggap tahu akan hukumnya. Jika seorang hakim dalam menangani suatu
perkara tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka hakim diwajibkan unttuk
menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.3
1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta,1985), h. 32
2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), h. 85 – 86
3 Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.168
39
2. Prinsip Independen dan Imparsial
Adanya peradilan yang mandiri dan tidak memihak (Independence and
Impartiality) merupakan prinsip universal yang dijamin oleh instrumen
internasional.4 Sebagai Kekuasaan yang merdeka, maka kekuasaan extra judicial
dilarang ikut campur tangan atau intervensi.5 Seorang hakim dan pengadilan untuk
dapat memutus, mengadili pengadilan harus independen dan tidak memihak.
Independensi dan kemandirian hakim juga diatur dalam Undang-Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 3 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa:
(1) Dalam Menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan han hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
3. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan
Suatu proses pengadilan yang baik adalah proses pengadilan yang
dijalankan mulai dari pendaftaran sampai keluar putusan tidak berbelit-belit,
efisien, dan ringan, hakim pun dalam memutus perkara harus melakukannya
4 Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.166
5 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi, (Bandung,PT Citra Aditya Bakti, 2006),
h.39
40
dengan efisien dan efektif yang termsuk memutus dengan cepat dan juga
transparan.6
Prinsip peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan biaya ringan
dilaksanakan bertujuan agar proses dalam peradilan dan keadilan dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan
kompleks dan biaya yang mahal maka hanya kelompok orang tertentu yang dapat
berperkara dipengadilan dan hanya orang inilah yang dapat merasakan keadilan.
4. Prinsip Audi et Alteram Partem
Prinsip Audi et Alteram Partem berasa dari bahasa Latin, yang berarti
adalah “dengarkan sisi lain”7, kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam
bidang hukum demi menjaga keadilan. Bertujuan agar sebuah persidangan
berjalan dengan seimbang oleh karena itu dikenal prinsip Audi et Alteram Partem
yang artinya “mendengarkan kedua belah pihak” atau hakim harus mendengarkan
kedua belah pihak yang lainnya sebelum hakim menjatuhkan suatu putusan agar
terciptanya peradilan yang adil atau seimbang.8
Didalam pengadilan biasa para pihak diberikan hak untuk didengar secara
seimbang. Untuk perkara pengujian undang-undang hanya terdapat para pemohon,
pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai
termohon.
6 M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif,
(Bandung:P.T Alumni Bandung, 2012), h.229 7 Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.166
8 Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.168
41
5. Hakim aktif dalam persidangan
Prinsip ini merupakan prinsip yang universal lembaga peradilan. Pada saat
proses pengadilan hakim dapat aktif dan pasif berdasarkan hal yang diperkarakan.
Hakim bersifat pasif dalam arti mencari-cari perkara. Hakim tidak dapat
memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon
disampaikan oleh pemohon ke pengadilan.
Hakekatnya pengujian peraturan perundang–undangan adalah
menitik beratkan pada kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan
meskipun permohonannya adalah perorangan. Oleh karena itu, hakim dalam
menguji peraturan perunang-undangan di bawah undang-undang harus bersifat
aktif dan mengadili. Prinsip hakim aktif dalam persidangan juga tercermin dalam
kewenangan hakim konstitusi memerintahkan para pihak yang berperkara.9
6. Prinsip Praduga Keabsahan
Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah
sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Berdasarkan pada prinsip ini
semua tindakan yang dilakukan oleh penguasa baik produk hukum atau kegiatan
kongkret harus dianggap sah sebelum ada yang membatalkannya. Jika Majelis
Hakim Agung yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara menyatakan
materi muatan peraturan perundang-undang yang menjadi objek perkara
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, maka Majelis Hakim
Agung menyatakan peraturan perudang-undangan tersebut tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
9 A. Fickar Hadjar dkk., Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan , 2003), h. 34
42
B. Karekteristik Hukum Acara Judicial review di Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
Hukum ketatanegaaraan sudah banyak berubah berkembang sangat pesat
semenjak reformasi hukum dan konstitusi sejak tahun 1998, oleh Karena itu,
seiring dengan pekembangan tersebut perlu adanya perubahan terhadap
konstitusi,UUD 1945 sebagai keniscayaan dan reformasi. Perubahan ini
memperlihatkan bahwa Indonesia mengadopsi prinsip “pemisahan kekuasaan”
dan check and balances.
Salah satu dampak dari pengadopsian prinsip tersebut, diperlukan lembaga
yang memungkinkan peranan hukum dan hakim untuk bisa mengontrol proses dan
produk keputusan-keputusan politik yang hanya berdasarkan pada prinsip “the
rule of majority”. Dalam hal ini terlihat fungsi judicial review atas undang-
undang sudah tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan
Indonesia. Tekait dengan judicial review inilah dibentuk lembaga Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping mahkamah
agung yang lebih dulu ada.
Secara sturuktur kelembagaan keduanya sejajar yang diartikan masing-
masing berdiri secara terpisah tanpa ada yang mengatasi atau membawahi. Salah
satu kewenangan keduanya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman adalah menguji
peraturan perundang-undangan dengan batu uji peraturan perundang-undangan
yang derajatnya lebih tingggi. Kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan
judicial review, namun didalam proses beracaranya mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda, karakteristiknya bisa dilihat dari beberapa aspek.
43
1. Karakteristik Hukum Acara Judicial Review di Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi pada UUD 1945 diberikan wewenang untuk menguji
peraturan perundang-undangan, namun seperti yang sudah dijelaskan diatas
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung mempunyai karakteristik hukum
acara Judicial Review yang berbeda-beda. Berikut Karakteristik hukum acara
Judicial review di Mahkamah Konstitusi:
a. Ruang Lingkup Pengertian Undang-Undang yang Diuji
Pasal 24C UUD 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia1945”
Berdasarkan Pasal diatas Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, kewenangan untuk menguji
secara teoritik dan praktek. Pasal 50 Undang-Undang No 24 Tahun 2003
Mahkamah Konstitusi memberikan batasan terhadap pengujian Undang-Undang
yang dapat diuji terhadap UUD 1945, yang batasannya adalah Undang-Undang
yang dapat diujikan hanya Undang-Undang sebelum perubahan UUD 1945.
Namun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 12 April 2005
pasal tersebut sudah tidak lagi mempunyai lagi kekuatan hukum yang mengikat.10
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan
10
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” ,
(Jakarta:Juli 2010) h. 85
44
tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.
Dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 mengandung dua
pengertian yaitu menguji secara formil dan menguji secara materiil.11
menurut Sri
Soemantri pengujian secara formal adalah wewenang Mahkamah Konstitusi
apakah undang-undang yang merupakan produk legislaif sudah dibuat
berdasarkan tata cara atau prosedur yang telah diatur atau ditentukan dalam
UUD.12
Jadi pengujian formil yang diuji adalah tata cara pembentukan undang-
undang, apakah telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang sudah diatur dalam
UUD yang mengatur hal tersebut. Sedangkan menguji secara Materriil Pasal 51
ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Berbeda dengan formiil yang diuji adalah tata cara pembuatan undang-undang,
jika pengujian materiil memeriksa dan menilai apakan isi dari undang-undang
yang dibuat oleh legislatif bertentangan atau tidak dengan ketentua yang ada
dalam UUD.13
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian materiil berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain
11
Benny k. Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia), h. 29 12
Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, ( Bandung: Alumni, 1997) h.7 13
Benny k. Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:Kepustakaan
Populer Gramedia), h. 29
45
yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki
suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.14
b. Kedudukan Hukum Pemohon (Legal Standing)
Perkara pengujian undang-undamg terhadap konstitusi berkaitan erat dengan
kepentingan umum yang terkait dengan undang-undang yang sedang diuji. Oleh
karena itu untuk mengetahui siapa yang dapat mengajukan perrmohonan itu
sangatlah penting. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi disebutkan bahwa:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Permohoan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi merupakan diajukan
secara “legal standing” yaitu apabila menganggap hak dan atau kewenangan
konstitusinya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.15
Dari uraian yang diatas dapat disimpulkan setiap pemohon haruslah (i) salah
satu dari ke empat subjek hukum tersebut, (ii) bahwa subjek hukum dimaksud
14
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press
2006), h.59 15
Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi, (Bandung,PT Citra Adutya Bakti, 2006),
h. 49
46
memang mempunyai hak – hak yang sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945,
(iii) bahwa hak konstitusionl yang bersangkutan memang telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dipersoalan, (iv) bahwa adanya kerugian yang
dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat dengan
berlakunya undang-undang yang dimaksud, (v) bahwa apabila permohonannya
dikabulkan maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat
dipulihkan kembali dengan dibatalkannya undang-undang tersebut.16
c. Posisi Pembentuk Undang-Undang Dalam Pesidangan
Dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur bahwa:
(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta
alat bukti yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara
untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta
keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan
permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.
Dalam Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur bahwa;
”Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/ atau risalah
rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.”
16
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press
2006), h.70
47
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut Mahkamah Konstitusi dapat meminta
keterangan kepada pembuat undang-undang berkaitan dengan undang-undang
yang akan diuji.17
Yang dimana pembuat Undang-undang yang dimaksud adalah
pembuat undang-undang yang diatur dalam UUD 1945 yaitu: Dewan perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden/pemerintah.18
Mahkamah Konstitusi harus memita dan mendengarkan keterangan dari para
pihak. Keterangan tersebut diperlukan agar Mahkamah Konstitusi mendapatkan
keterangan lebih mendalam mengenai latar belakang serta maksud dari materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji, atau pun hubungan
antara ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tersebut dengan
ayat, pasal, dan/atau bagian lainnya sehingga didapatkan makna yang utuh.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan pelaku utama kekuasaan
legislatif karena yang diberikan wewenag oleh UUD 1945 sebagai pembuat
undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Pemerintah/presiden berperan sebagai co-legislator tetapi dengan
kedudukannya yang khusus dalam proses perancangan, pembahasan, pengesahan,
dan pengundangan. Disebut dengan kedudukan yang khusus dikarenakan
pemerintah merupakan lembaga yang akan menjalankan undang-undang itu
sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga yang juga terlibat
dalam kegiatan pembuatan perundang-undangan sehingga dapat disebut co-
17
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” ,
(Jakarta:Juli 2010) h. 120 18
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press
2006), h.172
48
Legislator, meskipun posisinya hanya sebagai penunjang atau auxiliary organ
terhadap fungsi-fungsi legislative pengawasan dan penganggaran oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
d. Proses Persidangan
Dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian UU, mengenai proses persidangan dan pembuktian diatur dalam BAB
V tentang Pemeriksaan, di mana pemeriksaan terdiri dari Pemeriksaan
Pendahuluan (Pasal 10 dan Pasal 11) dan Pemeriksaan Persidangan (Pasal 12 -
Pasal 17). Pembuktian diatur dalam Bagian Ketiga dalam Pasal 18 sampai dengan
Pasal 28. Rapat Permusyawaratan Hakim diatur dalam Bab VI tentang Rapat
Permusyawaratan Hakim pada Pasal 29 dan Pasal 30, sedangkan Putusan diatur
dalam Bab VII tentang Putusan dari Pasal 31 sampai dengan Pasal 43.19
Seperti yang sudah dijelaskan diatas proses persidangan judicial review terdiri
dari 4 (empat) jenis sidang yaitu :
a. Pemeriksaan pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan dilaksanakan dengan terbuka untuk umum dengan 9
(Sembilan) hakim konstitusi. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan hakim
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi
kewenangan hakim,kedudukan hukum pemohon dan pokok pemohonan.
Pemeriksaan pendahuluan wajib dilakukan pada setiap mengadakan siang pertama
dan sebeum mengadakan pemeriksaan dalam pokok perkara. Jika panel hakim
yang telah melakukan pmeriksaan pendahuluan melaporkan hasil pemeriksaannya
19
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” ,
(Jakarta:Juli 2010) h. 124
49
dan membeikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim untuk
proses selanjutnya.
b. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan oleh panel hakim yang sekurang-kurangnya terrdiri dar 3 (tiga)
hakim konstitusi adalah salah satu bentuk dari persidangan Mahkamah Konstitusi
dan juga dilakukan dengan terbuka untuk umum. Adapun cakupan
pemeriksaannya adalah:20
1. pemeriksaan pokok permohonan;
2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
3. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
4. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
5. mendengarkan keterangan saksi;
6. mendengarkan keterangan ahli;
7. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan,
dan/atau
9. peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat
dijadikan petunjuk;
10. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.
c. Rapat Permusyawaratan Hakim
20
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” ,
(Jakarta:Juli 2010) h. 126
50
Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup dan dipimpin
oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. RPH mendengar, membahas, dan/atau
mengambil keputusan mengenai:
1. laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan;
2. laporan panel tentang pemeriksaan persidangan;
3. Rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan
permohonan, dapat berupa:
a. Pembahasan mengenai rancangan putusan yang akan diambil
menyangkut kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon;
b. Perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan atau dapat segera
diambil putusan;
c. Pelaksanaan pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh pleno atau
panel.
4. Pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi;
5. Hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para
Hakim Konstitusi;
6. Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan;
7. Rancangan putusan akhir;
8. Penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca
terakhir rancangan putusan;
9. Pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno.
51
Pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa :
“Mahkamah Konstitusi memeriksa,mengadili dan memutus dalam sidang
pleno Mahkamah Konstitusi dengan Sembilan orang hakim konstitusi,
kecuali dalam keadaan luar biasa dengan tujuh orang hakim konstitusi
yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi”.
Dari Pasal di atas dinyatakan bahwa sidang pleno harus dihadiri oleh
Sembilan orang hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa cukup dihadiri oleh
tujuh orang hakim.
e. Pengucapan Putusan
Berdasarkan UUD 1945 Mahkamah Konstitusi memutuskan suatu perkara
sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Pembacaan putusan dapat
dibacakan pada hari itu juga dan dapat juga ditunda pada hari lain dengan
keharusan memberitahukan kepada para pihak. Putusan harus dihadiri dengan
sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi dan dibacakan didalam
persidangan terbuka untuk umum.
2. Karakteristik Hukum Acara Judicial Review di Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan
peradilan militer. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal undang-
undang (the guardian of Indonesian law).21
Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, ditentukan bahwa
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
21
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h.157.
52
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang.”
Dengan perkataan lain, oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas
hanya diamanati dengan dua kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada
tingkat kasasi, dan (ii) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang. Yang dijadikan batu penguji oleh Mahkamah
Agung adalah undang-undang, bukan UUD. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pengujian norma hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah
pengujian legalitas peraturan (judicial review on the legality of regulation).
Secara umum, proses peradilan dikenal ada dua macam tuntutan hak di
pengadilan, yakni: pertama: Tuntutan hak karena ada sengketa para pihak
(sekurang-kurangnya terdapat dua pihak). Tuntutan hak ini dikenal dengan
gugatan yang juga dikenal dengan peradilan contensieus atau peradilan yang
sesungguhnya. Kedua, tuntutan hak yang tidak ditimbulkan oleh sengketa antara
dua pihak melainkan hanya terdapat satu pihak saja. Tuntutan hak ini biasanya
dikenal dengan permohonan (volunteer).
Dalam hal pemeriksaan perkara permohonan hak uji materiil, para pihak
(pemohon) tidak berhadap-hadapan langsung secara pribadi. Pemohon tidak pada
posisi dirugikan hak-haknya pada Termohon (Badan/Pejabat tata usaha negara
yang membuat peraturan perundang-undangan). Pengujian peraturan perundang-
undangan tidak menempatkan Termohon sebagai pihak yang bertanggung jawab
secara personal melainkan sebagai pejabat tata usaha negara yang dapat
53
memberikan keterangan karena objek pengujian adalah peraturan perundang-
undangan.22
a. Ruang Lingkup Undang-Undang Yang Di Uji
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan Perma No. 1
Tahun 2011 maka peraturan perundang-undangan yang menjadi objek pengujian
adalah :
1) Peraturan Tertulis
2) Peraturan di bawah undang-undang
3) Yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;
4) Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang;
5) Melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
maka peraturan perundang-undangan yang dapat diuji di Mahkamah Agung
adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berbeda dengan pengujian peundang-
undangan di Mahkamah Konstitusi.
b. Kedudukan Hukum Pemohon
Di dalam pengujian perundang-undangan di bawah undang-undang di
Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur para pihak
yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan uji materiil di Mahkamah
22
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.173
54
Agung. Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyatakan
bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan
oleh berlakunya peraturan tersebut, yaitu:
a) Perorangan warga negara Indonesia
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c) Badan hukum public atau badan hukum privat.
Berbeda dengan kedudukan hukum pemohon di Pengujian Peraturan
perrundang-undangan di Mahkamah Konstitusi yang mencantumkan lembaga
negara sebagai pihak yang dapat mengajukan pengujian perundang-undangan.
Jika di dalam Undang-Undang Mahkamah Agung tidak mencantumkan lembaga
negara sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan keberatan Hak Uji
Materiil. 23
Berkaitan dengan kedudukan hukum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
untk mempersoalkan permohonan a quo, Maka setiap pemohon harus memenuhi
syarat sebgai berikut:24
(i) Pemohon merupakan salah satu dari tiga kelompok subyek hukum
tersebut di atas.
(ii) Subjek hukum tersebut memang mempunyai hak;
23
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.183 24
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.184
55
(iii) Hak yang bersangkutan dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang dipersoalkan.
(iv) Terdapat persoalan hubungan sebab akibat atara kerugian dimaksud dan
berlakunya objek permohonan yang dimohonkan pengujian , dan
(v) Apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka
kerugian yang bersangkutan tidak lagi, atau tidak terjadi dengan
dibatalkannya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
c. Permohonan
1. Muatan Permohonan
Pasal 31 A ayat (3) UU No 3/2009 tentang Mahkamah Agung Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat:
a) Nama dan alamat pemohon;
b) Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan
menguraikan dengan jelas bahwa: materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
dianggap bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi; dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
c) Hal-hal yang diminta untuk diputus.
56
d. Pengajuan Permohonan
Berbeda dengan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi, Hak Uji Materiil pada Mahkamah Agung permohonan keberatan dapat
diajukan dengan cara:25
a) Langsung ke MA; atau
b) Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat
kedudukan Pemohon.
c) Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
d) Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan
permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.
e) Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah
Agung:
i. Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung;
ii. Dibukukan dalam buku register permohonan;
iii.Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan
apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada
Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah;
f) Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri:
i. Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri;
25
Diana Kusumasari, Hukumonline.com “Syarat dan Tata Cara Pengajuan Judicial
Review ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi” diakses pada tanggal 8 Maret 2017 dari
situs: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4944/syarat-dan-tata-cara-pengajuan-judicial-
review-ke-ma-dan-mk
57
ii. Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan
dan diberikan tanda terima;
iii. Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan;
iv. Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan
keberatan yang telah didatarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang
sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung
kepada pemohon atau kuasanya yang sah.
e. Pemeriksaan
Ketentuan yang mengatur tentang cara pemeriksaan atas permohonan
pengujian peraturan dibawwah undang-undang terhadap undang-undang secara
eksplisit adalah:26
1. Ketua Mahkamah Agung RI menetapkan majelis yang akan memeriksa dan
memutus permohonan pengujian peraturan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang.
2. Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan pengujian
peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
3. Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus keberatan tentang hak uji
materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perkara permohonan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
26
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2009), h. 199
58
Secara eksplisit Pasal tersebut menegaskan jika persidangan Judicial
Review di Mahkamah Agung hanya bersifat administratif saja, adapun
hakim yang memeriksa berjumlah 3(tiga) sampai 5 (lima) hakim agung.
f. Putusan dan Model Putusan
Dalam perkara pengujian peraturan perundang-undangan, setelah memeriksa
permohonan,jawaban,bukti-bukti dan atau keterangan ahli, Majelis Hakim Agung
dapat memutuskan perrmohonan. Terhadap putusan terrsebut tidak dapat diajukan
peninjauan kembali yang dalam arti besifat final.27
Berdasarkan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung dan Perma No. 1
Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil terdapat tiga bentuk putusan yaitu:
a) Amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat permohonan tidak
memenuhi Syarat.
b) Amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan
beralasan
c) Amar putusan menyatakan ditolak.
Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
27
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016), h.220
59
C. Landasan Hukum Acara Tentang Judicial review di Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung
1. Landasan Hukum Acara Tentang Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi
Di dalam konsideran menimbang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
terdapat beberapa pemahaman yang akan dijad\dikan sebagai landasan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara pengujian perundang-undangan baik dari segi filosofis,
sosiologis, yuridis.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan penting dalam usaha melembagakan sistem pengujian
Undang-undang erat hubungannya dengan cita-cita untuk membangun ideology
negara hukum dan konstitusionalisme yaitu paham pembatan kekuasaan negara.
Adapun pembatasan kekuasaan negara itu diperlukan agar mereka yang
memegang kekuasaan tidak menyalahgunakan kekuasaan sehingga merugikan
hak-hak warga negara, meskipun kekuasaan membuat UU merupakan kekuasaan
negara tertinggi lantaran berdasarkan mandate rakyat namun tidak berarti
kekuasaan membuat undang-undang dapat bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan fungsinya. 28
Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi dilakukan
untuk melindungi setiap warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin
dalam konstitusi.
28
Benny K. Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Kepustakaanopuler Gramedia, 2013),h.95
60
Beberapa peraturan yang menjadi landasan yuridis hukum acara Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut adalah :
a. Pasal 24C ayat (1) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389).
2. Landasan Hukum Acara Tentang Judicial Review di Mahkamah Agung
Melihat landasan pada konsideran menimbang dalam Peraturan Mahkamah
Agung dapat ditarik beberapa pemahaman yang menjadi landasan Mahkamah
Agung dalam hakim menerima, memproses, mengadili dan memutus Hak Uji
Materiil baik dalam segi filosofis, sosiologis dan yuridis.
Mahkamah Agung di berikan wewenang untuk menguji peraturan di bawah
undang-undang29
guna untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dan peradilan yang adil dan bersih karena objek yang diujikan merupakan suatu
perkara yang tidak bisa diujikan di peradilan lainnya.
Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung bertujuan untuk memberikan suatu
kepastian hukum terhadap masyarakat yang dimana diketahui bahwa sifat hukum
yang dinamis di dalam sosial masyarakat, dan juga untuk mencegah terjadinya
29
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016), h.139
61
kesewenang-wenangan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang
dapat merugikan masyarakat padda umumnya.
Landasan yuridis yang dielaborasi dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang
Hak Uji Materiil adalah melalui penyelarasan baik harmonisasi dan sinkronisasi
vertikal-horizontal untuk memformulasikan prosedur acara hak uji matriil yang
merupakan penjabaran teknis dari pasal-pasal yang mengatur mengenai hak uji
materiil di dalam perturan perundang-undangan Beberapa peraturan perundang-
undangan yang terkait dan menjadi acuan adalah sebagai berikut:30
a. Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan-perubahannya
b. Pasal 20 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
c. Pasal 79 Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
d. Pasal 31 Undang-Undang No 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang No 14 Tahun 1985.
30
Zainal Arifin Hoesein , Judicial Review Di Mahkamah Agung, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2009),h.103
62
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN BERACARA PERSIDANGAN JUDICIAL
REVIEW DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Perbandingan Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Dan Mahkamah
Agung
Pembagian kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menurut
studi hukum ketatanegaraan perihal kekuasaan yudikatif mengenal dua lembaga
peradilan yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).31
Kedua lembaga ini, memiliki kewenangan untuk menguji peraturan perundang-
undangan yang pada proses hukum acaranya diatur dalam peraturan perundang-
undangan masing-masing. Berdasarkan uraian BAB 3 tentang karakteristik
hukum acara judicial review terdapat persamaan dan perbedaan pada proses
hukum beracara baik di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi perihal
Judicial Review.
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga negara
pelaku kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan sebagai lembaga yudikatif
yaitu menguji peraturan perundang-undangan, keduanya menguji dalam secara
formiil dan materiil, menuru Sri Soemantri pengujian secara formil adalah
wewenang Mahkamah Konstitusi apakah undang-undang yang merupakan
produk legislaif sudah dibuat berdasarkan tata cara atau prosedur yang telah
diatur atau ditentukan, jika pengujian bersifat materiil menilai dan memeriksa
31
Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”. (Sinar Grafika; Jakarta Timur 2010) h. 191
63
apakah isi dari suatu produk hukum bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Persamaan kedua lembaga ini juga terlihat dalam beberapa prinsip hukum acara
yang melekat, pertama, Prinsip Ius curia Novit, Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung tidak dapat menolak memeriksa suatu perkara dengan dalih
hukum tidak ada/ kurang jelas, kedua, Prinsip Independen dan Imparsial,
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai sebagai lembaga yudikatif
harus memeriksa dan memutus secara independen dan tidak memihak, ketiga,
Prinsip Praduga Keabsahan, sebelum adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung bahwa suatu produk hukum bertentangan dengan
peraturan di atasnya suatu produk hukum itu masih berlaku dan masih megikat
untuk umum, adapaun putusan yang dikeluarkan dalam kedua lembaga ini dalam
kewenanganya Judicial Review bersifat mengikat untuk umum.32
adapun
berikut perbedaan dari hukum acara Judicial review di Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung:
1. Ruang Lingkup Peraturan Yang di Uji
Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”
Berdasarkan pada Pasal yang disebutkan di atas Mahkamah Konstitusi
mempunyai wewenang pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, secara
32
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016), h.228
64
teroritik dan praktek.33
Berbeda dengan Mahkamah Agung yang pada pasal
24A ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-
undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang”
Pada pasal tersebut Mahkamah Agung juga diberikan wewenang menguji
peraturan perundang-undangan, namun jika Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan dibwah undang-undang terhaddap
undang-undang.
2. Proses Persidangan
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya dalam
menguji undang-undang dengan UUD 1945 hukum acara diatur dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi No 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, berdasarkan pada peraturan
tersebut membagi proses persidangan dalam pengujian undang-undang menjadi
4 sidang seperti yag telah dijelaskan pada BAB sebelumnya yaitu:
1. Pemeriksaan Pendahuluan
2. Pemeriksaan Persidangan
3. Rapat Permusyawaratan Hakim
4. Pengucapan Putusan
33
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta:Juli 2010) h. 85
65
Proses persidangan dalam pengujian undang-undang dilakukan dengan
terbuka untuk umum kecuali pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)34
,
para pihak dihadirkan di dalam persidangann selayaknya persidangan tingkat
pertama dan terakhir, namun hal ini berbeda dengan proses persidangan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dalam
prosesnya diatur pada Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2011 tentang
Hak Uji Materiil yang pada peraturan tersebut menyatakan bahwa:
1. Ketua bidang tata usaha negara atas nama ketua MA menetapkan
majelis hakim agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan
keberatan tentang hak uji materiil tersebut;
2. Majelis hakim agung memeriksa dan memutus permohonan hak uji
materiil dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dalam waktu
sesingat-singkatnya sesuai asas peradilan yang sederhana cepat dan biaya
ringan.
Berdasarkan pada Pasal tersebut secara eksplisit proses persidangan
dilakukan secara tertutup, para pihak tidak dihadirkan di dalam persidangan,
dan persidangan hanya bersifat administratif saja seperti layaknya pemeriksaan
pada tingkat kasasi,35
para pemohon dan termohon hanya berhubungan secara
tertulis atau surat dengan Mahkamah Agung pada saat pengajuan permohonan
oleh pemohon dan penyampaian oleh termohon, Majelis hakim hanya
memeriksa dan memutus berdasakan pada dokumen yang disampaikan oleh
para pihak.
34
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta:Juli 2010) h. 124
35Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.128
66
3. Legal Standing (Kedudukan Pemohon)
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Berdasarkan pada pasal tersebut dijelaskan bahwa Legal Standing pada
permohonan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi apabila menganggap hak
dan atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Bebeda dengan kedudukan hukum dalam lingkungan Mahkamah Agung
berdasakan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang No 3 Tahun 2009 menyatakan
bahwa peraturan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan
oleh berlakunya perturan tersebut, yaitu:36
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;
36
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.182
67
Mahkamah Agung dalam kedudukan hukum pemohonnya tidak
memasukan lembaga negara sebagai pihak yang dapat mengajukan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, namun yang
diartikan lembaga negara tersebut ialah lembaga negara yang memperoleh
kewenangan dari UUD 1945, tetapi juga lembaga negara sebagai auxiliary
institution yang dalam praktik banyak dibentuk oleh undang-undang.
4. Jenis Amar Putusan
Pasal 56 Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur tiga jenis amar putusan yaitu:37
a. Permohonan tidak dapat diterima
b. Permohonan dikabulkan
c. Permohonan ditolak.
Berbeda dengan jenis amar putusan dalam pengujian peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang yang dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah
Agung No 1 Tahun 2011 yang menyatakan38
:
(1) Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon keberatan
itu beralasan karena Peraturan Perundang-undangan tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang atau Peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut;
(2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan
peundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak
sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi
yang bersangkutan untuk mencabutnya.
(3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan
itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan
tersebut.
37
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta:Juli 2010) h. 134
38Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.220
68
Berdasaran pada apa yang dijelaskan di atas dapat diambil
kesimpulan secara garis besar perbedaan proses judicial review di
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstusi yang akan dipaparkan
didalam tabel:
Perbedaan Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah
Agung
Ruang Lingkup
Undang-Undang
yang diuji
Berdasarkan Pasal
24C UUD 1945,
Mahkamah Kostitusi
diberikan
kewenangan
menguji Undang-
Undang terhadap
UUD 1945
Berdasarkan Pasal 24A
ayat (1) UUD 1945,
Mahkamah Agung
diberikan kewenangan
menguji peraturan
perundang-undangan
dibawah undang-
undang.
Proses
Persidangan
Berdasarkan PMK
No 6 Tahun 2005
Proses persidangan
dalam pengujian
undang-undang
terhadap UUD
1945, Mahkamah
Konstitusi
membagi
persidangan
1. Ketua bidang tata
usaha negara atas nama
ketua MA menetapkan
majelis hakim agung
yang akan memeriksa
dan memutus
permohonan keberatan
tentang hak uji materiil
tersebut;
2. Majelis hakim agung
69
menjadi 4 sidang
yaitu:
Pemeriksaan
Pendahuluan
Pemeriksaan
Persidangan
Rapat
Permusyawarat
anHakim
Pengucapan
Putusan
Setiap proses
persidangan
dilakukan secara
terbuka untuk umum
kecuali pada Rapat
Permusyawaratan
Hakim. Adapun
hakim yang
memeriksa pada
Mahkamah Knstitusi
berjumlah 9
(Sembilan) Hakim
Konstitusi.
memeriksa dan memutus
permohonan hak uji
materiil dengan
menerapkan ketentuan
hukum yang berlaku
dalam waktu sesingat-
singkatnya sesuai asas
peradilan yang
sederhana cepat dan
biaya ringan.
Berdasarkan pasal
tersebut secara
eksplisit
persidangan
hanya bersifat
adminstratif saja.
Hakim yang
memeriksa
persidangan
Judicial Review di
Mahkamah
Agung berjumlah
3 (tiga) sampai 9
(Sembilan) hakim
agung.
70
Legal Standing /
Kedudukan
Hukum
Pemohon
Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang No
24 Tahun 2003
tentang Mahkamah
Konstitusi
menyatakan:
“Pemohon adalah
pihak yang
menganggap hak
dan/atau
kewenangan
konstitutionalnya
dirugikan oleh
berlakunya
undang-undang,
yaitu:
a. perorangan
warga negara
Indonesia;
b.kesatuan
masyarakat hukum
adat sepanjang
masih hidup dan
sesuai dengan
perkembangan
masyarakat dan
prinsip Negara
Kesatuan Republik
Indonesia yang
diatur dalam
undang-undang;
Pasal 31A ayat (2)
Undang-Undang No 3
Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung
menyatakan bahwa
peraturan pengujian
peraturan perundang-
undangan di bawah
undang-undang hanya
dapat dilakukan oleh
pihak yang
menganggap haknya
dirugikan oleh
berlakunya perturan
tersebut, yaitu:
a.Perorangan warga
negara Indonesia;
b.Kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-
71
c. badan hukum
publik atau privat;
atau
d.lembaga
negara.”
undang;
c.Badan hukum publik
atau privat;
Jenis Amar
Putusan
Pasal 56
Undang-Undang
24 Tahun 2003
tentang
Mahkamah
Konstitusi
mengatur tiga
jenis amar
putusan yaitu:
Permohonan
tidak dapat
diterima
Permohonan
dikabulkan
Permohonan
ditolak.
Pasal 6 Peraturan
Mahkamah Agung No 1
Tahun 2011 yang
menyatakan:
Permohonan di
kabulkan
Permohonan yang
dimohonkan tidak
sah atau tidak
berlaku untuk umum
serta
memerintahkan
kepada instansi yang
bersangkutan untuk
mencabut.
Permohonan ditolak.
72
B. Sidang Tertutup Untuk Umum Dalam Persidangan Judicial Review di
Mahkamah Agung
Berdasarkan pada karakteristik judicial Review di Mahkamah Agung
diatas hukum acara Judicial Review di Mahkamah Agung dilakukan dengan
tertutup untuk umum, hakim dalam pemeriksaannya tidak menghadirkan kedua
belah pihak, sedangkan pihak Mahkamah Agung menegaskan tidak pernah
menutup-nutupi proses pesidangan Judicial Review peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang untuk publik, hanya saja selama ini proses
Judicial Review di Mahkamah Agung lebih bersifat administratif, sehingga
tidak memerlukan keterangan atau pemeriksaan dari para pihak yang terlibat. 39
Hal ini juga diselaraskan dengan pendapat Abdul Gani Abdullah mantan
hakim agung40
yang menyatakan Judicial Review di Mahkamah Agung berbeda
dengan Mahkamah Konstitusi dikarenakan Mahkamah Agung bukan merupakan
peradilan Judex facti seperti halnya di Mahkamah Konstitusi, hakim memeriksa
berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi/ kebenaran materiil, Mahkamah
Agung merupakan peradilan Judex Juris, hakim memeriksa hanya berdasarkan
kebenaran formil, seperti halnya persidangan Kasasi yang hakim pada
pemeriksaannya memeriksa hasil putusan pada persidangan sebelumnya apakah
sudah seseuai dengan hukum yang berlaku, bagaimana dengan persidangan
39
Agus Sabhani, Sidang HUM Terbuka atau Tertutup? Ini Argumentasi MA, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5506614c57843/sidang-hum-terbuka-atau-tertutup-ini-argumentsi-MA, diakses 06 Juni 2017 jam 22.12 WIB
40Hasil wawancara dengan Narasumber: Prof. Abdul Gani Abdullah S.H MH (Mantan Hakim
Agung), tanggal 29 Mei 2017
73
Judicial Review yang dimana merupakan persidangan tingkat pertama dan
terakhir kebenaran formil apakah yang akan diperiksa didalamnya.
Berbeda dengan pendapat dan alasan sebelumnya, penulis berpendapat
berlandaskan pada Pasal 13 Undang-Undang kekuasaan kehakiman yang
menyatakan bahwa “sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum
kecuali undang-undang menentukan lain”Hakim dapat memerintahkan
dilakukannya pemeriksaan sepenuhnya atau sebagiannya dengan pintu tertutup
yaitu:
1) Untuk perkara kesopanan atau kesusilaan;
2) Untuk kepentingan anak-anak dibawah umur;
3) Untuk persidangan rahasia dalam perkara paten.
Hal ini juga selaras denganPasal 5 ayat (3) dan (4) Peraturan Mahkamah
Agung No 2 tahun 2002 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan kewenangan
Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung, Pada ayat (3) disebutkan bahwa
sidang Mahkamah Agung terbuka untuk umum kecuali untuk hal-hal tertentu
yang diatur oleh undang-undang dan/ atau hal-hal lain, yang dianggap perlu oleh
Majelis, dan pada ayat (4) dijelaskan bahwa Majelis berwenang memanggil para
pihak yang terkait dan saksi ahli untuk didengarkan keterangannya pada
persidangan, maka Mahkamah Agung dalam melaksanakan Judicial Review
hanya besifat administratif saja tidak selaras dengan undang-undang dan
peraturan yang telah disebutkan di atas. Judicial Review merupakan suatu
sengketa yang berada didalam persidangan tingkat pertama dan terakhir berbeda
dengan sengketa kasasi , dalam persidangannya bukan merupakan persidangan
74
tingkat pertama, karena tujuan diadakannya kasasi untuk mengoreksi terhadap
kesalahan putusan pengadilan dibawahnya, maka tidak bisa jika persidangan
Judicial Review dilakukan secara tertutup untuk umum seperti halnya
persidangan pada kasasi.
Berlandaskan pada teori negara hukum, yang salah satu prinsip adalah
keadilan, Indonesia sebagai negara hukum harus menjungjung tinggi rasa
keadilan untuk masyarakatnya, namun sarana untuk mencapai suatu keadilan
adalah peradilan yan adil, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan
kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka diharapkan mampu melakukan
pemeriksaan dan penilaian yang obyektif atas sengketa yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu agar terciptanya peradilan yang adil dan merdeka
Mahkamah Agung dalam melakukan persidangan Judicial review sebagai
peradilan tingkat pertama, pada hakikatnya bertugas memeriksa fakta dalam
suatu peristiwa yang konkret dan menetapkan apa hukumnya yang berlaku
terhadap fakta tersebut,41
jika disamakan dengan kasasi jelas berbeda didalam
proses persidangan kasasi hal yang diperiksa adalah kebenaran formilnya karena
kebenaran materilnya sudah ditemukan didalam persidangan tingkat pertama,
maka tidak bisa jika proses persidangan Judicial Review di Mahkamah Agung
hanya bersifat administratif yang dimana pemohon maupun termohon hanya
berhubungan secara tertulis atau surat dengan Mahkamah Agung pada saat
41
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika,
2016),h.228
75
pengajuan permohonan oleh pemohon dan jawaban oleh termohon.42
Perlu
adanya persidangan terbuka untuk umum dan menghadirkan para pihak terkait
agar dapat mendengarkan keterangan-keterangan dari para pihak dan saksi, di
karenakan masyarakat yang mengajukan suatu permohonan keberatan Judicial
Review ingin mendapatan suatu keadilan untuk melindungi hak-haknya yang
terciderai oleh peraturan perundang-undangan yang dimohonkan.
Berbeda dengan mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dalam
melaksanakan kewenangannya pengujian undang – undang terhadap UUD 1945
melakukan persidanganya secara terbuka untuk umum yang dimana para pihak
dihadirkan didalam persidangan untuk memberikan keterangan sesuai dengan
perintah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang –Undang
Mahkamah Konstitusi pada Pasal 40 ayat (1) bahwa sidang Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim, dan
karena marwahnya suatu putusan jika dibacakan dengan terbuka untuk umum
akan mempunyai nilai sehinga membuat Mahkamah Konstitusi melakukan
persidangan terbuka untuk umum.43
42
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, RISALAH
SIDANG PERKARA NOMOR 30/PUU-XIII/2015 PERRIHAL Pengujian
Undang-Undang No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung [Pasal 31A ayat (4)]
terhadap Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945. 43
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi “Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi”, (Jakarta:Juli 2010) h. 125
76
C. Urgensi Penerapan Prinsip Terbuka Untuk Umum Dalam Judicial Review
Di Mahkamah Agung
Berdasarkan pada penjelasan diatas persidangan Judicial Review di
Mahkamah Agung haruslah bersifat terbuka untuk umum, yang dimana para
pihak yang terkait dan saksi di hadirkan di dalam persidangan, seperti halnya
persidangan Judicial Review di Mahkamah Kontitusi.
Menurut Beverlu McLachin terdapat dua nilai dari prinsip keterbukaan di
dalam persidangan. Pertama, suatu pengadilan yang terbuka memberikan
kebebasan bagi setiap masyarakat untuk berpendapat dan mengekspresikn
pikiran dan sikapnya, Kedua, Prinsip keterbukaan mendukung akuntabiltas
pengadilan, suatu sistem pengadilan yang akuntabel akan menuntut hakim
bertanggung jawab kepada public atas putusan yang di ambilnya, termasuk
pertimbangan hakim dalam putusan tersebut.44
Menurut penulis, berlandaskan pada teori tesebut sangatlah penting
diadakannya peradilan terbuka untuk umum pada proses Judicial Review di
Mahkamah Agung guna untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak
untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam persidangan perkara yang mereka
jalani, hal ini selaras dengan hakim yang harus mendengarkan kedua belah pihak
untuk menjaga transparansi dalam proses pemeriksaan perkara hingga
pengambilan putusan hakim, dikarenakan proses “diawasi” secara tidak
langsung oleh masyarakat melalui sidangyang terbuka untuk umum, sehingga
pada akhirnya hakim akan memutus perkara dengan seadil-adilnya. Hal ini
44
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016),h.227
77
sesuai dengan prinsip independensi peradilan, yang diketahui prinsip ini berbasis
kepercayaan yang berfungsi sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang
pemegang kekuasaan yudikatif sebagai penegak keadilan dari kemungkinan
intervensi atau pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini agar
peradilan dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar. Urgensi
Peradilan Judicial Review di Mahkamah Agung juga dikarenakan peradilan
tingkat pertama dan terakhir yang dimana dalam persidangannya harus
menghadirkan para pihak dan saksi untuk mencari kebenaran materiil dan di
karenakan objek yang disengketakan merupakan peraturan perundang-undangan
yang dimana putusannya berdampak untuk untuk umum, maka perlu adanya
proses persidangan terbuka untuk umum.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab rumusan masalah dan berdasarkan pembahasan pada
bab-bab sebelumnya, maka penulis mengemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Landasan hukum Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan proses
Judicial Review itu berlandaskan Pasal 24C ayat (1) dan (6) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, namun jika dalam ranah prosedural hukum acara Judicial
Review Mahkamah Konstitusi diatur dalam PMK No 6 Tahun 2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,
sedangkan Landasan hukum Mahkamah Agung dalam melaksanakan
proses Judicial Review berlandaskan pada Pasal 24A Undang-Undang
Dasar 1945 dan perubahan-perubahannya, Pasal 20 Undang-Undang No
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 79 Undang-Undang
No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 31 Undang-Undang
No 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No 14
Tahun 1985, dalam ranah proeduralnya diatur dalam Perma No 1 Tahun
2011 tentang Hak Uji Materiil.
79
2. Perbandingan dari proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung jika perbedaannya terdapat dalam proses beracaranya
Mahkamah Konstitusi dalam proses persidangannya dibagi menjadi 4
(empat) jenis sidang yaitu sidang pendahuluan, pemeriksaan persidangan,
rapat permusyawaratan hakim, pengucapan putusan, setiap persidangan
terbuka untuk umum kecuali rapat permusyawaratan hakim, sedangkan
Mahkamah Agung dalam beracara pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang diatur dalam Perma No 1 Tahun 2011,
akan tetapi dalam Perma ini tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses
persidangan, secara eksplisit pada Pasal 5 Perma No 1 Tahun 2011
dijelaskan persidangan Judicial Review oleh Mahkamah Agung tertutup
hakim hanya memeriksa berdasarkan dokumen yang masuk. Persamaan
dari kedua lembaga ini adalah Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung merupakan lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman diberikan
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan, keduanya menguji
dalam secara formiil dan materiil, persamaan kedua lembaga ini juga
terlihat dalam beberapa prinsip hukum acara yang melekat yaitu Prinsip
Ius curia Novit, kedua, Prinsip Independen dan Imparsial, Prinsip Praduga
Keabsahan, adapaun putusan yang dikeluarkan dalam kedua lembaga ini
dalam kewenanganya Judicial Review bersifat mengikat untuk umum.
3. Sidang Judicial Review di Mahkamah Agung melaksanakan persidangan
tertutup dikarenakan Mahkamah Agung merupakan peradilan Judex Juris,
dalam hal ini hanya memeriksa kebenaran formil seperti halnya
80
pemeriksaan pada tingkat kasasi. Karena itu Mahkamah Agung proses
Judicial Review hanya bersifat administratif saja, sedangkan Sidang
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan proses Judicial Review secara
terbuka dikarenakan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-
Undang, seperti halnya persidangan tingkat pertama dan terakhir.
B. Saran
Dalam Pembahasan pada bab di atas, penulis memiliki saran sebagai
berikut:
1. Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2011 tidak mengatur secara
rinci bagaimana beracara Judicial Review di Mahkamah Agung,
berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung yang menjelaskan secara
rinci bagaimana beracara Judicial Review di Mahkamah Agung dari
mulai pemeriksaan sampai putusan, oleh karena itu perlu adanya revisi
muatan materi Peraturan Mahkamah Agung agar lebih rinci dan
mengikuti norma hukum untuk menciptakan kepastian hukum terhadap
masyarakat yang bercita kepada keadilan.
2. Berdasarkan pada perbandingan di atas sudah seharusnya Mahkamah
Agung melakukan proses persidangan seperti halnya di Mahkamah
Konstitusi dengan menerapkan persidangan yang terbuka untuk umum
dari mulai pemeriksaan pendahuluan sampai dengan pembacaan
putusan kecuali rapat permusyawaratan hakim.
81
3. Berdasarkan pada Perma No 1 Tahun 2011 secara eksplisit Mahkamah
Agung melakukan persidangan secara tertutup untuk umum. Alasannya
karena hanya bersifat administratif perlu adanya perubahan sifat
persidangan yang semula hanya bersifat administratif menjadi terbuka
untuk umum dan menghadirkan kedua belah pihak selayaknya
persidangan pada tingkat pertama seperti halnya di Mahkamah
Konstitusi, dikarenakan Judicial Review adalah persidangan tingkat
pertama dan terakhir.
82
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Ahmad Jayus, Jaja,” Transparansi Pengadilan” (Medan,UII Press, 2011)
Daud Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005
Ali Hatta Muhammad, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju
Keadilan Restoratif, Bandung:P.T Alumni Bandung, 2012
Ali, Zainuddin , Metode Penelitian Hukum Jakarta:Sinar Grafika,2010 .cet.9
Anggriani, Jum, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Graha Ilmu , 2012
Asshiddiqqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Cetakan ketiga
Jakarta: Konpress, 2006
Asshiddiqqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika 2010
Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Bakhri, Syaiful, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan. Yogyakarta Pustaka Pelajar,
Desember 2014
Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem
Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Hadjar, Fickar dkk., Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, Jakarta: KRHN dan Kemitraan , 2003
Harman, Benny k , Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia
Hoesein Zainal Arifin, Judicial Review Di Mahkamah Agung Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-Undang, Jakarta: PT Rajawali Pers,
2009
Huda, Ni’matul, Negara hukum Demokrasi dan Judicial Review,
Yogyakarta:UII Press, 2005
83
Johnny, Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang:
Bayumedia Publishing, Cet-II 2006
Lutfi, Mustafa, Jazim Hamidi Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia,
Malang:Alumni,2009
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta,1985
Muri, Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Peneltian Gabungan,
Jakarta: Kencana, cet-1 2014
Purbopranoto, Kuntjoro, Sedikit tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, cet
III, Jakarta-Bandung: PT Eresco, 1960
Marzuki Peter Mahmud ,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta:Kencana cet-3 2009
Rahardjo, Sajtipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1982
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta:
Prenada Media Group 2012
Soebechi, Imam, Hak Uji Materiil, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016
Soemantri, Sri, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: Alumni, 1997
Suadi, Amran, Sistem pengawasan badan peradilan diindonesia, Jakarta; PT.
Grafindo Persada, 2014
Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi, Bandung,PT Citra
Adutya Bakti, 2006
Yunus Nur Rohim, Teori Dasar Penelitian Hukum Tata Negara,
Jakarta:Poskolegnas,2007
Manggalatung Salman, Nur Rohim Yunus Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,
Bandung; Fajar Media, 2013
Konstitusi Mahkamah Jendral Sekretaris “Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi”, Jakarta: Juli 2010
MPR R.I Jenderal Sekretariat, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-
Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR R.I.
2003
84
Jurnal :
Alrasid Harun, Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek: Dalam Jurnal
Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004 Jakarta: Penerbit Mahkamah
Konstitusi RI
Baehaqi Ja’far “Perspektif Penegakan Hukum Progresif dalam Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi” ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id
Volume 10, Nomor 3, September 2013
Chandranegara Sina Ibnu, “Fungsi Falsafah Negara Dalam Penerapan
Konsep Negara Hukum, dalam Jurnal Cita Hukum Volume. 2 No. 1,
Juni 2014
Jumiati,”Materi Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Dalam Pembelajaran
Di Sekolah Menengah, Jurnal Demokrasi Volume. 5 No.2,2006
Manggalatung Salman, “ Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara
Kekuasaan Otoriter, Salam,Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i”,Volume.
2, No 2, Desember 2015
Media “Syarat dan Tata Cara Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi” Lebih lengkap baca :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4944/syarat-dan-tata-cara-
pengajuan-judicial-review-ke-ma-dan-mk diakses pada tanggal 8 Maret
2017.
“Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia”,
Lebih lengkap baca:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-
review-dan-judicial-review-di-indonesia. diakses pada 08 Januari 2017.
“Sidang HUM Terbuka atau Tertutup? Ini Argumentasi MA”, Lebih
lengkap baca:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5506614c57843/sidang-hum-
terbuka-atau-tertutup-ini-argumentsi-MA, diakses 06 Juni 2017.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
85
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung