(perbandingan qunut)

Upload: ucoman

Post on 19-Jul-2015

514 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hukum Qunut Subuh Menurut 4 (empat) Madzhab.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. 1. Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat witir yang dilakukan sebelum ruku'. Sedangkan pada shalat subuh, beliau tidak menganggapnya sebagai sunnah. Sehingga bila seorang makmum shalat subuh di belakang imam yang melakukan qunut, hendaknya dia diam saja dan tidak mengikuti atau mengamini imam. Namun Abu Yusuf, salah seorang tokoh dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa bila imamnya melakukan qunut, maka makmumnya harus mengikutinya, karena imam itu harus diikuti. 2. Imam Malik Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu merupakan ibadah sunnah pada shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum ruku'. Meskipun bila dilakukan sesudahnya tetap dibolehkan. Menurut beliau, melakukan Qunut secara zhahir dibenci untuk dilakukan kecuali hanya pada shalat subuh saja. Dan qunut itu dilakukan dengan sirr, yaitu tidak mengeraskan suara bacaan. Sehingga baik imam maupun makmum melakukannya masing-masing atau sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan qunut. 3. Imam As-Syafi'i ra Imam As-Syafi'i ra mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat subuh dan dilakukan sesudah ruku' pada rakaat kedua. Imam hendaknya berqunut dengan lafaz jama' dengan menjaharkan (mengeraskan) suaranya dengan diamini oleh makmum hingga lafaz (wa qini syarra maa qadhaita). Setelah itu dibaca secara sirr (tidak dikeraskan) mulai lafaz (Fa innaka taqdhi ...), dengan alasan bahwa lafaz itu bukan doa tapi pujian (tsana`). Disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangan namun tidak disunnahkan untuk mengusap wajah sesudahnya. Menurut mazhab ini, bila qunut pada shalat shubuh tidak dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud sahwi, termasuk bila menjadi makmum dan imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang meyakini tidak ada kesunnahan qunut pada shalat subuh. Maka secara sendiri, makmum melakukan sujud sahwi. 4. Imam Ahmad bin Hanbal Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa qunut itu merupakan amaliyah sunnah yang

dikerjakan pada shalat witir yaitu dikerjakan setelah ruku. Sedangkan qunut pada shalat subuh tidak dianggap sunnah oleh beliau. NB: Dalil - Dalil : 1. Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, Ini adalah pendapat Imam Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy. 2. Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah. 3. Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini : "Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia". Dikeluarkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, AthThoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba'in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-'Ilal AlMutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463. Semuanya dari jalan Abu Ja'far Ar-Rozy dari Ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik. Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin 'Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : "Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i' bin Anas adalah Abu Ja'far 'Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)". Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : "Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)". Berkata Abu Zur'ah : " Yahimu katsiran (Banyak salahnya)". Berkata Al-Fallas : "Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)". Dan berkata Ibnu Hibban : "Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar"." Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma'ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh

Abu Ja'far Ar-Rozy, beliau berkata : "Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja'far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya". Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja'far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja'far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : "Shoduqun sayi`ul hifzh khususon 'anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah). Maka Abu Ja'far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar. Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab : Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik : "Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo'a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo'a (kejelekan atas suatu kaum)" . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639. Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja'far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh : "Sesungguhnya Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh". Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129. emudian sebagian para 'ulama syafi'iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut : Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata : "Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" sampai saya berpisah denga mereka". Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :

Pertama : 'Amru bin 'Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan 'Amru bin 'Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu'tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya). Kedua : Isma'il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma'il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib. Catatan : Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja'far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami 'Abdul Warits bin Sa'id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata : "Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terusmenerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau". Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja'far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I'tidal 1/418. Karena 'Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari 'Amru bin 'Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu 'Umar Al Haudhy dan Abu Ma'mar dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari 'Abdul Warits-. Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin M alik : "Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut". Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja'far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : "Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma'in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma' in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk. Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya "Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia", itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah "beliau (nabi) 'alaihis Salam qunut", dan ini adalah perkara yang ma'ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)".

Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin 'Abdillah dari Anas bin Malik : "Terus-menerus Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal". Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695. Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin 'Abdillah, kata Ibnu 'Ady : "Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)". Dan berkata Ibnu Hibba n : "Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya". Kesimpulan pendapat pertama: Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan. Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh AlHafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi. 1) Doa 2) Khusyu' 3) Ibadah 4) Taat 5) Menjalankan ketaatan. 6) Penetapan ibadah kepada Allah 7) Diam 8) Shalat 9) Berdiri 10) Lamanya berdiri 11) Terus menerus dalam ketaatan Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022,

Mufradat Al-Qur'an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain. Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah. Dalil Pendapat Kedua Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim : )) (( : "Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahuntahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HSR.Bukhary-Muslim) Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal : Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib. Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata : . Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir". Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah . Dalil Pendapat Ketiga

Satu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i " : ." " : " "Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam AlKubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, AlMaqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan AlMizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain. Dua : Hadits Ibnu 'Umar " : ," " : ." " : ." " Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' AzZawa'id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :"rawi-rawinya tsiqoh". Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus. Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah". Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua : 1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut. 2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait.sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah

sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah. Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma'ad. Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu' 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi' : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u' Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma'ad 1/271-285. Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa: 59)

Nu MuhammadiyahA. Pendahuluan Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?. Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya Hambatan Teologis di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan hambatan teologis dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.11 Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya

Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaanperbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan. Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan

Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan.

B. Pembahasan a. Latar Belakang eksistensi Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren dan pelopor utamanya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus pengasuh Pon Pes. Tebuireng Jmbang pada tahun itu. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara konstitusional membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.2 Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jamiyah Diniyah wal Ijtimaiyah), NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebihdiketahui masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sukidi,. Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001. 2 Th. Sumartana, dkk. Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia ( Yokyakarta:Dian Interfiedi 2001), 81-83.

jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama Haramain (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan Aswaja. Selama ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik).3 Keadaan agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992.4 Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Syahrastani dan Al-Razi. Sementara itu, Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA.Dahlan di Yogyakarta (1912), dalam perjalanan sejarahnya selama lebih dari 85 tahun telah menunjukkan kemampuannya menghadapi berbagai perubahan sosial tanpa kehilangan identitasnya sebagai gerakan Islam amar-makruf nahi-munkar. Setidak-tidaknya ada lima era

3 Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU. Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia. U. Tanthowi, Pramono, Muhammadiyah dan NU dalam Kompetisi Makna Civil Society. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.

4 Moh Ali Aziz, Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, (Surabaya, 2001), 6.

perubahan sosial dan proses pembangunan bangsa yang telah dilalui oleh Muhammadiyah dengan relatif mulus.5 Muhammadiyah sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan pembaharu Islam dengan jargon-jargon ijtihad dan tajdidnya yang direalisasikan dalam bidang-bidang sosio-kultural dengan amal usaha di bidang pendidikan , sosial- kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan. Karena sepanjang sejarahnya Muhammadiah lebih menonjol gerakannya di bidang amal usaha sosial dibandingkan dengan produk pemikiran keagamaannya, maka Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan amal (praksis) bukan sebagai gerakan pemikiran. Walaupun demikian karena apa yang telah dilakukan Muhammadiyah dengan dampak sosialnya yang begitu besar itu merupakan implementasi dari hasil ijtihadnya, maka dapat diasumsikan bahwa ada mekanisme kerja pembaharuan pemikiran keagamaan yang dilaksanakan Muhammadiyah dalam menjalankan misinya sehingga ia disebut gerakan pembaharuan dalam Islam.6 tetapi metode yang digunakan Muhammadiyah dalam merumuskan konsep pembaharuan pemikirannya. Dengan mengkaji metodologi pemikiran ini diharapkan dapat diketahui bagaimana cara Muhammadiyah merespons masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana metode berfikirnya.

b. Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah 1. Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU)5 yaitu era perjuangan melawan kolonialisme, era kemerdekaan, era transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, era pembangunan bangsa dengan pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal berbangsa dan bernegara, dan ke lima masa peralihan dari Orde Baru ke era reformasi. Faisal Ismail, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 185-186. 6 Dimaksud mekanisme kerja pembaharuan pemikiran tersebut dalam makalah ini ialah metodologi berfikir yang telah dilakukan Muhammadiyah dan yang telah menghasilkan produk pemikiran, baik berupa keputusan resmi organisasi melalui muktamar atau majlis-majlisnya, maupun pemikiran tidak resmi namun cukup populer di kalangan Muhammadiyah, misalnya anjuran KHA.Dahlan dadiyo kiyai sing kemajuan (jadilah kiyai/ ulama yang berpandangan maju). Dimaksud metodologi di sini berbeda dengan metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah dalam masalah fikih sebagaimana ditulis oleh Fatkhurrahman Djamil dalam disertasinya yang dalam analisanya berdasarkan kerangka ilmu ushul fikih. Lihat Fatkhurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, ( Jakarta, Logos, 1995 ) hlm.10.

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode AlGhazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Basis pendukung Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga

sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliku sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islaman baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimamfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU. NU di kabupaten temanggung bermula dari para pengikut Toriqoh Naqshobandoyah yang berpusat di sokaraja banyumas kebetulan wilayah temanggung termasuk konsul banyumas yang diketuai oleh raden muhtar.kota parakan mulanya dijadikan cabang mengingat badal toriqoh sukaraja berpusat di parakan. a. Usaha Organisasi Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. b. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa. c. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. d. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat. e. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat..77 K.H. sholahudin Wahid, Intervew di Ponpes Tebu Ireng Jombang-Jawa Timur, 6 Maret 2010

-

Prospektif Aswaja NU Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh. Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-rayu). Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial. Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai. Lebih menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim Asyari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arbaah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu

8 yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap moderat Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. M. Fajrul Falah, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 170

bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak taasub.9 Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teksteks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Aswaja sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.10 Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiaiulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif. Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jamiyah NU yang selalu berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.

2. Dinamika Pemikiran Muhammadiyah Dinamika Pemikiran Muhammadiyah Ditinjau dari perspektif sejarah menurut Kuntowijoyo, dinamika Muhammadiyah dapat dipilah menjadi dua periode. Pertama; periode awal perkembangannya yang merupakan dinamika kualitatif yaitu fase pembentukan doktrin yang sarat dengan kegiatan ijtihad dan tajdid, kedua; periode berikutnya yang berjalan sampai sekarang merupakan dinamika

9 Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: Sekjen PBNU, 1002), hal. 3-4 10 Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras (Beirut: Dar alFikr, tt.), Juz I, hal. 10 dan Juz II, hal. 2.

kuantitatif yaitu fase pelaksanaan doktrin atau tahap mewujudkan cita-cita awalnya, sehingga seakan-akan tugas sejarah Muhammadiyah di bidang tajdid sudah selesai.11 Terlepas dari sejauh mana kebenaran kritik tersebut, namun kenyataan bahwa selama periode kedua yaitu masa pelaksanaan doktrin banyak produk-produk pemikiran Muhammadiyah yang dapat mengantarkan perkembangan Muhammadiyah sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode kedua juga terjadi dinamika pemikiran Muhammadiyah. Pemikiran tersebut tentu tidak terlepas dari tantangan dan perubahan sosial yang dihadapi pada masanya, sebagaimana dikatakan Emile Durkheim bahwa pemikiran agama dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi yang mencerminkan tipe struktur sosial di mana pemikiran-pemikiran itu muncul.12 Bertolak dari pemilahan periode dinamika Muhammadiyah menurut Kuntowijoyo, makalah ini hanya akan mengkaji metodologi pemikiran Muhammadiyah dalam kedua periode tersebut melalui pemikiran resmi yang berupa keputusan-keputusan organisasi, kecuali pemikiran KHA. Dahlan akan dilihat pemikiran individualnya karena beliau sebagai pendirinya dan peletak doktrin pembaharuannya. Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Peletakan Doktrin Untuk membicarakan pemikiran yang melandasi sebuah gerakan seperti

Muhammadiyah, tidak mungkin tanpa membahas pemikiran pendirinya yaitu KHA. Dahlan. Dari berbagai penelitian tentang KHA. Dahlan hampir semuanya sepakat bahwa pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide pembaharuan yang berkembang pada akhir abad 19, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Namun di bidang teologi, menurut Arbiyah Lubis, teologi Muhammadiyah tidak ada persamaannya

11 Itulah barangkali yang mendorong munculnya kritik terhadap muhammadiyah baik kritik internal dari warga Muhammadiyah sendiri maupun eksternal. Di antara kritik yang cukup mendasar adalah hilangnya elan organisasi besar ini karena terjebak ke dalam rutinisme. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, ( Bandung : Mizan,1993 ) hlm.192-193. 12 Perbedaan tantangan dan struktur sosial yang dihadapi antara periode awal dan periode kedua dimungkinkan terjadinya perbedaan pemikiran, termasuk metode berfikirnya, yang menurut Kuntowijoyo periode kedua lebih berorientasi ke pelaksanaan doktrin, sehingga bobot ketajdidannya mungkin menjadi kurang. Emile Durkheim, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah (Chicago University Press, 1973 ) p. 91.

dengan teologi Muhammad Abduh.13 Sedang Muhammad Abduh qodariyah. Dalam memahami akidah Muhammadiyah menerapkan metode salaf, yang menolak campur tangan akal, sedang Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan Muktazilah yang banyak menggunakan akal.14 Dikaitkan dengan teologi konvensional seperti kajian Arbiyah Lubis di atas, tampak Muhammadiyah kurang memiliki bobot pembaharuan pemikiran Islam karena ciri pemikiran modern ialah rasional dan tidak fatalistis sebagaimana faham jabariyah. Kalau demikian di mana letak pembaharuan pemikiran Muhammadiyah, hal ini perlu dilacak dari orientasi pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Muhammadiyah pada masa peletakan doktrin memang tidak banyak menonjolkan pembicaraan tentang masalah teologi, dan mencukupkan diri dengan pemikiran yang sudah lazim pada masanya, yaitu pemikiran Ahlu al- sunnah wa al-jamaah atau lebih spesifik teologi Asyariyah. Pemikirannya banyak ditujukan pada masalah-masalah fungsi agama dalam konteks sosio-kultural, sedang masalah ketuhanan yang tidak berakibat langsung dan praktis bagi amaliyah dan kesejahteraan sosial kurang mendapatkan perhatian. Pemikiran agama menurut Muhammadiyah yang memiliki implikasi sosial cukup besar ialah pemurnian agama (purifikasi) di bidang akidah dan amaliah. Hal ini tercermin dalam pengajaran KHA. Dahlan tentang tafsir Al-Quran yang dirangkum oleh K.R.H. Hadjid dalam Ajaran KHA. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran. 17 ayat Al-Quran tersebut menurut K.R.H. Hadjid sangat menjadi perhatian KHA. Dahlan, terbukti dalam mengajarkannya selalu diulang-ulang sampai para santri faham benar, meyakini, dan bersedia mengamalkannya. Esensi dari ajaran ke 17 ayat tersebut dapat disimpulkan meliputi ; (1). Pemurnian akidah dengan membersihkan pribadi dari hawa nafsu yang hanya mengikuti kebiasaan yang ada pada diri sendiri, dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Karena kebiasaan itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, maka harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Quran dan Sunnah, (2). Kepedulian sosial sebagai inti implementasi akidah

13 Perbedaan yang pokok terletak pada dua hal: paham dasar yang dianut dan metode dalam memahami akidah. Muhammadiyah menganut Jabbariyah, Periksa Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah bab Qada dan Qadar. 14 Arbiyah Lubis, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993)hlm. 183

yang benar, (3). Dakwah amar makruf nahi munkar, dan (4). Jihad fi sabilillah dengan jiwa, raga dan harta. Contoh lain tentang metode berfikir KHA.Dahlan ialah pelajaran tafsir surat al-Maun dan surat al-Taubah ayat 34. Dengan metode berfikir yang sama dengan waktu mengajarkan surat al-Jatsiyah 23 di atas akhirnya KHA.Dahlan menekankan makna beragama Islam tidak cukup hanya melakukan ibadah ritual tetapi harus diwujudkan dalam amal nyata dengan orientasi sikap peduli sosial.15 Dengan cara pengajaran demikian menunjukkan bahwa orientasi pemikiran keagamaannya ialah orientasi fungsional artinya ajaran Islam hanya akan berarti apabila dapat berfungsi membawa kesejahteraan sosial atau lebih luas rahmatan li al- alamin. Orientasi pemikiran keagamaan semacam ini menunjukkan bahwa KHA. Dahlan telah melakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan dari simbolik- spiritualistik dan mistis ke substantif (agama yang syariatnya dilaksanakan secara konsekuen).16 Sesuai dengan risalah Islam yakni terwujudnya rahmatan li al-alamin, dan kalau dikaitkan dengan teori van Peursen , pemikiran keagamaan KHA.Dahlan dalam konteks budaya sudah meninggalkan pemikiran mitis dan sudah memasuki tahap pemikiran fungsional, sebagai ciri pemikiran masyarakat modern.17 Namun sementara pengamat lebih cenderung memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan amal (praktis) dari pada gerakan pemikiran karena langkanya produk tertulis dari KHA. Dahlan. Dalam hal ini Alfian tidak menyebut sebagai gerakan amal atau gerakan pemikiran, tetapi Ijtihad KHA. Dahlan dalam masalah-masalah keagamaan memang cenderung pragmatis. Menurutnya, dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan, tindakan yang langsung dan kongkret harus dinomorsatukan di atas pemikiran teoritis atau

15 Dalam mengajarkan tafsir Al-quran beliau menerangkan bagaimana cara mempelajari AlQuran yaitu: (1) Bagaimana artinya, (2) Bagaimana tafsirnya, (3) Bagaimana maksudnya, (4) Apakah ini larangan dan kamu sudah meninggalkan, (5) Apakah ini perintah yang wajib dikerjakan?, sudahkan kita menjalankan?, bilamana belum dapat menjalankan dengan sesungguhnya, maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainnya. K.R.H.Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok AyatAyat Al-Quran, (Semarang : PWM. Jawa Tengah , tt) hlm. 21 dan 24. 16 Kuntowijoyo , Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/19952000, Nopember 1996, hlm. 47 17 Menurut van Peursen ada tiga tahapan pemikiran yaitu tahap mitis, ontologis , dan fungsional . Periksa Ca. van Peursen , Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, ( Yogyakarta : Kanisius, 1988 ) hlm. 18

filosofis. Oleh karena itu, langkanya karya tulis Dahlan adalah konsekuensi logis dari pragmatismenya.18 Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Pelaksanaan Doktrin Untuk membahas metodologi pemikiran Muhammadiyah masa pelaksanaan doktrin hanya akan menggunakan satu contoh produk pemikiran Muhammadiyah yaitu tentang Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah , yang merupakan hasil rumusan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1945 dan baru disahkan dan ditetapkan dalam muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950. Sejak pendirian Muhammadiyah (KHA.Dahlan) sampai tahun 1945 pokok-pokok pikiran Muhammadiyah yang melandasi gerakan pembaharuannya belum tersusun secara sistematis. Ki Bagus Hadikusumo, yang waktu itu menjabat sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1942-1953) menghadapi situsi perubahan sosial yang sangat mendasar berkenaan dengan masa transisi menuju kemerdekaan RI tahun 1945, terpanggil untuk menyusun rumusan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah sebagai pedoman persyarikatan. Situasi yang dihadapi Muhammadiyah pada masa pendudukan Jepang, menjelang kemerdekaan, yang sangat menjadi kerihatinan Muhammadiyah ialah intervensi penguasa Jepang dalam masalah kehidupan beragama umat Islam, yakni peraturan yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia memberi penghormatan kepada Tenno Haika dengan melakukan Seinkerei (semacam ruku dalam salat).19 Usaha kultural semacam itu berhasil menyelamatkan akidah umat Islam, terbukti akhirnya peraturan Seinkerei itu tidak jadi diberlakukan . Namun Muhammadiyah memandang bahwa mulai saat itu ada gejala pergeseran nilai di kalangan warga Muhammadiyah sendiri . Menurut analisa Djindar Tamimi kemungkinan karena dipengaruhi oleh dorongan sikap materialistis dan kuatnya pengaruh luar yang tidak sesuai dengan jiwa Muhammadiyah.20

18 Alfian , Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, ( Yogyakarta : Gajahmada Press, 1969) hlm. 150 19 Muhammadiyah dibawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo memutuskan bahwa melakukan Seinkerei hukumnya haram karena mendekati syirk, Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan ,( Yogyakarta : Persatuan, tt ) hlm. 96 20 Djindar Tamimy, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ,( Yogyakarta : Sekretariat P. Muhammadiyah , 1970 ) hlm. 2

Di samping itu kemungkinan juga karena wilayah Muhammadiyah semakin luas dan banyak anggota dan simpatisan yang semakin jauh mereka dari sumber gagasan dan spirit Muhammadiyah, sehingga wajar apabila terjadi kekaburan penghayatan terhadap dasar-dasar pokok yang mendorong KHA.Dahlan dalam menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah.

c. Konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 19731984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.21 Motivasi kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2) Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan penting dalam seluruh sektor kehidupan. Pendekatan Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi negara21 Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno), membuat kalangan modernis mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam develomentalisme Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang, Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak dasawarsa 1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan aspek substansial. Misrawi, Zuhairi, Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.

dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasiorganisasi independen di masyarakat dan pencangkokkan civic culture untuk membangun budaya demokratis. Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP. Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere, tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal dasawarsa 1990-an.22

22 Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur mendirikan forum demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk menciptakan ruang publik diluar state dengan banyak bergerak dalam LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis--vis negara. Mereka ini pada awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai lahan kritik (Hikam:1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme itu sendiri terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka. Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 30.

d. Salah Satu Contoh Konflik Hukum Syari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Permasalahan yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat. Qunut menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat.23 Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada Allah SWT.24 Qunut dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-qur'an dan berdo'a sekehendak hati. Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau membaca ayat al-Qur'an. Persamaan yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali oleh seorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah.

Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya. Kedua, Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu, sedangkan menurut

23 Muhammad Idris As Syafii, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hal. 20 24 Abi Ishaq as-Syatibi, ..Juz II, hal.

Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.25 NU dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama berdasarkan Al-qur'an dan Hadist. Persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum Al-qur'an dan Hadist itu. Semisal; Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada dalilnya.. kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an atau Hadist, tetapi kalau di bukubuku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang tidak terus mencari Al-quran dan Hadist.26 Kalau secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah, NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern, secara organisatoris. Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak membuat Amal Usaha27 seperti: 1. Pendidikan diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. 2. Kesehatan: Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan lainya. 3. Keuangan dan Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi, Koperasi. 4. Sosial diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya

25 Dengan demikian permasalahan qunut dari keduanya ternyata dalam pengambilan hukumnya adalah berangkat dari al-qur'an dan Hadits, dan hasil dari takhrij hadits menunjukkan bahwa hadits yang digunakan dalam penetapan qunut adalah shahih, sehingga kesemuanya diserahkan kepada umat untuk menilai dan meyakini, mana yang dilakukan dan inilah rahmat. 26 Misrawi, Zuhairi, Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001. 27 Amir Hamzah Wiryosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH , 1985, hlm. 65.

Sedangkan NU lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha Pendidikan seperti Pondok pesantren, Sekolah MI, Asrama-asrama santri, Koperasi Santri dan Usaha amal Usaha lain.28

e. Table Ritualisasi Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam kehidupan yang bersifat Ubudiyah sehari-hari No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. Ritualisasi Nahdlatul Ulama Muhammadiyah Tidak menggunakan Tidak Menggunakan 8 Rokaat Tidak Hamz Tidak Tidak

Qunut pada Sholat Subuh Menggunakan Pujian pada adzanaini Rokaat Sholat Tarawih Tahlilan Dzikir bada sholat Selamatan (Kenduri) Dibaiyah/al-barjanji Menggunakan 21 Rokaat Melaksanakan Jaher Melaksanakan Melaksanakan

C. Kesimpulan Sesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka, atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya, tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan. Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar.

28 Ibid., 74.

Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan. Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bidah. Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan membedakan jati dirinya.

D. Daftar Pustaka Alfian, Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gajahmada Press, 1969. As Syafii, Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H. As-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Aziz, Moh Ali, Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, Surabaya, 2001. Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994. Benda, Herry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980. Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980. Ca. Van Peursen, Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988. Durkheim, Emile, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah, Chicago University Press, 1973. Falah, M. Fajrul, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994. Hamzah Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH, 1985. Hidayat, Kamarudin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996. Hadikusumo, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan, Yogyakarta: Persatuan, tt. Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt. Ismail, Faisal, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah,Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan,1993. ---------------, Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996. Lubis, Arbiyah, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Misrawi, Zuhairi, Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001. Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: Sekjen PBNU, 1002). Qodir, Zuly,. Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.

Sukidi,. Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001. Sumartana, dkk., Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yokyakarta: Dian Interfiedi, 2001. Tamimy, Djindar, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Yogyakarta: Sekretariat P. Muhammadiyah, 1970. Van, Peursen, Strategi Kebudayaan, Terjemahan Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Qunut Menurut NU Dan Muhammadiyah (Studi Komparatif) Undergraduate Theses from JTPTIAIN / 2006-08-01 11:20:54 Oleh : Mailani Fika Sari (4198082), Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Dibuat : 2004-30-30, dengan 9 file Keyword : Qunut, NU, Muhammadiyah Url : http:// Permasalahan yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat. Qunut menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat. Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada Allah SWT. Qunut dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur'an dan berdo'a sekehendak hati. Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau membaca ayat al-Qur'an. Persamaan yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali oleh sorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya. Kedua, Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu, sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.

Dengan demikian permasalahan qunut dari keduanya ternyata dalam pengambilan hukumnya adalah berangkat dari al-Qur'an dan Hadits, dan hasil dari takhrij hadits menunjukkan bahwa hadits yang digunakan dalam penetapan qunut adalah shahih, sehingga kesemuanya diserahkan kepada umat untuk menilai dan meyakini, mana yang dilakukan dan inilah rahmat. Deskripsi Alternatif : Permasalahan yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat. Qunut menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat. Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada Allah SWT. Qunut dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur'an dan berdo'a sekehendak hati. Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau membaca ayat al-Qur'an. Persamaan yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali oleh sorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya. Kedua, Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu, sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits. Dengan demikian permasalahan qunut dari keduanya ternyata dalam pengambilan hukumnya adalah berangkat dari al-Qur'an dan Hadits, dan hasil dari takhrij hadits menunjukkan bahwa hadits yang digunakan dalam penetapan qunut adalah shahih, sehingga kesemuanya diserahkan kepada umat untuk menilai dan meyakini, mana yang dilakukan dan inilah rahmat.