sekuritisasi isu cyberthreat pada pemerintahan clinton-bush

21
1 SEKURITISASI ISU CYBERTHREAT PADA PEMERINTAHAN CLINTON-BUSH Disusun sebagai makalah akhir mata kuliah Kajian Jaringan Informasi Global Disusun oleh: Teguh Prayogo Sudarmanto (0706291432) Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2010

Upload: teguh-prayogo-sudarmanto

Post on 19-Jun-2015

302 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tulisan ini bercerita mengenai proses sekuritisasi isu cyberthreat sebagai sebuah kebijakan yang dihasilkan pada pemerintahan clinton dan bush awal. tulisan disusun untuk mengetahui salah satu fenomena bagaimana jaringan informasi global mempengaruhi proses pembuatan kebijakan suatu negara yang dalam tulisan ini difokuskan pada studi kasus singkat di Amerika Serikat.

TRANSCRIPT

Page 1: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

1

SEKURITISASI ISU CYBERTHREAT PADA PEMERINTAHAN CLINTON-BUSH

Disusun sebagai makalah akhir mata kuliah Kajian Jaringan Informasi Global

Disusun oleh:

Teguh Prayogo Sudarmanto (0706291432)

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

2010

Page 2: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

2

ABSTRAK

Salah satu tanda terjadinya globalisasi adalah hadir dan termanfaatkannya perkembangan

teknologi informasi dalam proses tersebut. Globalisasi menghasilkan interaksi yang lebih dinamis dan

kompleks dalam hubungan internasional dimana para aktor kini dapat melakukan dan menciptakan

jaringan komunikasi di luar batas-batas yang dahulu ditentukan secara kaku dalam tatanan penciptaan

negara-bangsa. Interaksi yang dihasilkan kini lebih meluas dan go beyond tidak terbatasi oleh kotak-

kotak yang ada. Namun di lain sisi, penciptaan negara-bangsa tetaplah penting dan tidak

mengindikasikan akan hilang dalam globalisasi ini. Negara masih menjadi institusi yang penting dan

vital dalam mengurusi kepentingan bangsa yang diurusnya, bangsa yang semakin berinteraksi dengan

bebas karena kemudahannya. Dalam hal ini, penekanan yang harusnya diajukan untuk dipikirkan

bersama adalah bagaimana negara dapat mengelola kepentingan yang ada di dalamnya—terutama

dalam menciptakan keputusan yang adil dan bertanggungjawab—dalam fenomena yang semakin

memunculkan keadaan tersebut.

Cyberthreat adalah salah satu potensi ancaman yang sudah dipikirkan oleh masyarakat pemikir

semenjak kehadiran perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat. Potensi ancaman ini lahir

di Amerika Serikat sebagai sumber peradaban teknologi informasi awal umat manusia. Cyberthreat

sendiri dapat dianggap sebagai bentuk globalisasi dimana interaksi individu-individu sudah tidak lagi

dibatasi oleh kotak-kotak tradisional. Dalam hal ini pemerintah sebagai sebuah institusi pengelola

negara harus menangani permasalahan ini karena sangat berkaitan dengan konsistensi negara sebagai

pengelola kepentingan bersama tertinggi yang masih sangat terlegitimasi keberadaannya dalam

hubungan internasional. Pengelolaan yang baik terhadap permasalahan ini oleh negara justru akan

menghasilkan arahan yang logis bagi terciptanya globalisasi yang lebih baik. Dalam tulisan ini penulis

akan mengkaji bagaimana proses pengelolaan ini dilakukan dalam masa pemerintahan Clinton dan

Bush.

Kata kunci: globalisasi, teknologi informasi, Amerika Serikat, negara-bangsa, cyberthreat, pengelolaan

permasalahan.

Page 3: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehadiran globalisasi ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat dari industri teknologi

informasi yang menyebabkan manusia secara individu mampu mencari dan mengupayakan

pengetahuan dan pemikirannya secara lebih mandiri. Ini menandakan bahwa manusia dapat mengelola

kehidupannya dengan lebih individual. Permasalahan akan semakin menganga ketika fenomena ini

terjadi dalam kehidupan sosial karena komunikasi antaraktor yang semakin terberdayakan ini tidaklah

mudah untuk dilakukan. Bentuk komunikasi mereka sendiri juga menjadi salah satu bentuk upaya

pemberdayaan tersebut. Kehidupan sosial ini merupakan salah satu upaya manusia mewujudkan

pengelolaan bersama terhadap individualitasnya. Beruntung, manusia masih memiliki institusi negara

yang dianggap sebagai institusi legitimatif tertinggi pengelola berbagai kepentingan individu ini secara

bersama-sama.

Tentunya, perkembangan teknologi informasi ini menimbulkan permasalahan baru yang

sebelumnya belum pernah ada. Perkembangan ini menyebabkan hubungan internasional misalnya tidak

hanya dikuasai oleh negara dalam hal ini pemerintah. Manusia baik dalam bentuk individu ataupun

kelompok dapat membentuk jaringan secara internasional (lintas batas negara) untuk juga mencampuri

hubungan internasional yang pada akhirnya interaksi ini juga mempengaruhi kehidupan mereka. Salah

satu permasalahan yang timbul yang dibahas dalam makalah ini adalah potensi munculnya cyberthreat

dari perkembangan teknologi informatika. Amerika Serikat sebagai sebuah negara pusat peradaban

teknologi informasi dunia telah jauh meramalkan keberadaan potensi tersebut, terutama ketika negara

tersebut sedang benar-benar didera perkembangan pesat industri teknologi informatikanya. Inovasi

yang dihasilkan pada akhirnya membuat wacana potensi cyberthreat benar-benar hadir dalam ramalan

mereka. Bentuk ramalan itu misalnya, Seseorang dapat memberikan ancaman ketakutan yang

menyusahkan pemerintah hanya dengan memberitakan informasi yang belum tentu kebenarannya

melalui telepon genggam. Seseorang dengan kepenguasaan di bidang transfer uang elektronik dapat

melakukan pembajakan dan perampokan dalam jumlah besar yang menyusahkan pemerintah dan pada

akhirnya masyarakat luas.

1.2. Permasalahan

Interaksi dunia cyberspace dan pengelolaannya amat menarik untuk dikaji dalam tulisan ini dalam

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana interaksi antaraktor ini khususnya hubungan antara

Page 4: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

4

masyarakat sipil dengan pemerintah dielaborasi dalam sebuah kerangka perumusan kebijakan

konvensional melalui sistem politik negara tersebut: studi kasus sekuritisasi cyberthreat era Clinton-

Bush?

1.3. Kerangka Konsep

Sekuritisasi sebuah isu akan menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini. Namun, sekuritisasi

sebuah isu yang kemudian menjadi sebuah realita yang hidup di masyarakat dalam tulisan ini

pembahasannya tidak akan terlepas dari pengamatan proses komunikasi antaraktor yang difokuskan

diakibatkan dari hadirnya pengembangan teknologi informatika. Pertama-tama penulis akan

mengemukakan sebuah konsep mengenai sekuritisasi sebuah isu yang prosesnya melibatkan dinamika

interaksi antara pengambil kebijakan di dalam negara, yaitu antara pemerintah dan masyarakatnya.

Konsep tersebut dikemukakan oleh Kingdon yang pembahasannya dikutip oleh Michael J.

Mazzar dalam tulisannya mengenai Perang Irak dan proses agenda setting-nya.1 Kingdon

mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi suatu ide baru dapat menjadi suatu kebijakan

(aksi) riil; (1) adanya permasalahan, (2) adanya solusi dari permasalahan, dan (3) implementasi solusi

menjadi aksi oleh kebijakan politik. Suatu isu tidak akan menjadi aksi jika tidak ada permasalahan

beserta solusinya yang menjadi ide baru yang dapat dilanjutkan oleh pemerintah dalam perumusan

kerangka kebijakan yang tentunya amat membawa nasib bagi realisasi ide baru tersebut menjadi suatu

aksi nyata. Ada tiga faktor yang turut mempengaruhi timbulnya masalah, solusi, dan implementasi riil

aksi.

(1) Adanya komunitas yang mempengaruhi pembuatan kebijakan atau disebut sebagai policy

communities (PC). Oleh Kingdon PC dianalisis sebagai komunitas yang bekerja di bagian pertama dan

kedua dalam menjelaskan mengapa suatu ide baru dapat dirumuskan menjadi aksi nyata yaitu sebagai

identifikator masalah dan perumus beberapa nominasi solusi masalah. Kalangan yang terlibat dalam PC

adalah para pembuat kebijakan pemerintah, lembaga think tank, komisi-komisi yang ditunjuk, anggota

parlemen, universitas, pemikir individu, dan sebagainya. Kalangan ini berasal dari berbagai disiplin

ilmu, memiliki kekayaan akan sumber ide, pandangan, dan perspektif. PC berkumpul dan disatukan

dengan tujuan untuk merumuskan ide permasalahan baru dan mendiskusikan solusi yang dapat

ditawarkan kepada pemerintah sebagai strategi mereka untuk mempengaruhi pengambilan keputusan

yang sebenarnya implikasi dari keputusan itu juga kalangan ini rasakan. Permasalahan dan solusi yang

mereka tawarkan adalah bagian dari ide mereka, dan mereka harus membuat para pengambil keputusan

yakin bahwa permasalahan ini bagian dari permasalahan pengambil keputusan yang pada akhirnya

1 Michael J. Mazaar, “the Iraq War and Agenda Setting”, dalam Foreign Policy Analysis Vol 3, hlm. 1-23.

Page 5: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

5

menerapkan solusi yang mereka inginkan. Beberapa kegiatan yang mereka lakukan untuk meyakinkan

pengambil keputusan adalah secara kognitif (penilaian), pendekatan psikologis, dan memaparkan

dinamika permasalahan serta solusi yang berhasil ditemukan dari pemikiran akan dinamika itu.

Sehingga, jika memakai sudut pandang pembuatan kerangka agenda kebijakan, ide-ide inilah yang

menjadi sumber penyusunan kerangka agenda, bukanlah sebaliknya. Perumusan ide permasalahan dan

solusi adalah sesuatu yang sulit dilakukan karena mempertemukan berbagai macam sumber yang ada.

Perumusan ini dilakukan secara deliberatif dengan memperkuat keyakinan masing-masing pihak untuk

membuat suatu titik temu yang merupakan hasil keyakinan dan kecocokan yang dinikmati bersama.

Walaupun setiap pihak merasa bersikukuh dengan keinginan untuk menyetujui keyakinan masing-

masing, dalam perundingan yang deliberatif, karena sudah ada mekanisme saling berbagi. Rodger A.

Payne juga mengatakan bahwa kerjasama deliberatif akan mengantarkan kerjasama ke arah yang lebih

baik karena;2 (a) deliberasi akan menunjukan adanya property of collective dengan intersubjectivity

knowledge-nya masing-masing dimana masing-masing pihak akan berusaha mempengaruhi dan

dipengaruhi yang pencapaiannya akan memuaskan secara bersama-sama, (b) deliberasi akan

menghasilkan generalizable interest yang diharapkan mampu menjadi titik temu untuk menyelesaikan

masalah dan menghasilkan solusi yang konkrit dan memuaskan semua pihak, (c) deliberasi akan

meningkatkan komunikasi yang lebih baik yang semakin meningkatkan pemahaman masing-masing

pihak ke arah yang lebih baik, dan (d) deliberasi akan merangsang inovasi baru akibat adanya

permasalahan yang terus digali dan dianalisis. Semakin meyakinkan suatu permasalahan dan solusi

akan semakin memperbesar daya tawar suatu isu untuk lebih diperhatikan dan direalisasikan dalam aksi

nyata.

(2) Adanya kejadian khusus yang fokus yang merangsang suatu isu untuk lebih diperhatikan oleh

semua pihak. Ini dikarenakan selama ini suatu isu hanya berkembang terbatas pada pihak yang merasa

dan menganggap isu itu penting. Untuk merealisasikan sebuah ide dalam aksi nyata diperlukan urgensi

yang mampu menghadirkan awareness tingkat yang lebih tinggi yang pada akhirnya mampu

mempengaruhi pembesaran tingkat kesempatan suatu isu menjadi diperhatikan oleh pengambil

keputusan atau disebut sebagai policy window. Urgensi akan semakin memperlihatkan bahwa masalah

yang disuarakan selama ini adalah masalah yang nyata. Semakin banyak pihak yang menganggap

bahwa masalah ini adalah nyata, maka akan semakin besar pula kesempatan suatu isu yang sudah

ditentukan masalah dan solusinya dapat direalisasikan dalam bentuk aksi.

2 Rodger A. Payne, “Deliberating Global Environmental Politics”, dalam Journal of Peace Research, Vol. 33, No. 2. (Mei,

1996), hlm. 129-136.

Page 6: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

6

(3) Para pengambil keputusan atau policy entrepreneurs (PE) memiliki posisi cukup penting

dalam perwujudan suatu ide menjadi riil. Ini dikarenakan mereka adalah bagian dari masyarakat yang

mendapatkan legitimasi untuk membuat suatu kebijakan yang pada akhirnya akan mengubah

konstruksi sosial masyarakat yang mengartikan bahwa ide tersebut pada akhirnya memang benar-benar

ada dan terealisasi. Pengambilan keputusan ini di AS adalah eksekutif yang diwakili pemerintahan

yang bersifat presidencial-centered dan legislatif yang diwakili oleh parlemen. Para pengambil

keputusan ini melakukan kegiatannya secara checks and balances yang mengartikan adanya kontrol

dan pengawasan antara eksekutif dan legislatif dalam menjalankan pemerintahan. Suatu kebijakan akan

disetujui di sini dan berawal implementasinya dari sini.

Penulis akan menganalisis kerangka konsep yang ditawarkan oleh Kingdon ini berdasarkan

asumsi pemahaman penulis terhadap konsep tersebut. Ketiga proses ini tidak hadir secara bersamaan

namun dalam sebuah dinamika interaksi yang pada akhirnya mampu menjadikan sebuah wacana

menjadi realita nyata dalam kehidupan sehari-hari para pengambil keputusannya. Dalam proses

pengambilan keputusan, terutama di Amerika Serikat, masyarakat memiliki posisi andil yang cukup

penting. Suara-suara yang hadir di dalam masyarakat apabila terberdayakan dapat disalurkan untuk

menjadi wacana di tingkat pemerintahan (terutama melalui senat dan dapat juga melalui pemerintah).

Suara-suara yang hadir dalam masyarakat ini juga dapat dikelompokkan berdasarkan posisi status dan

peran lapisan masyarakat tersebut dalam lingkar kekuasaan. Masyarakat yang berada dalam posisi

kelas menengah ke atas dalam pengambilan keputusan biasanya dapat menyuarakan isunya dengan

lebih mudah karena dekat dengan lapisan kekuasaan. Orang-orang yang terdapat dalam golongan ini

adalah birokrat pemerintah misalnya think tank di setiap departemen pemerintahan atau juga yang

berasal dari masyarakat nonpemerintahan misalnya para akademisi dengan analisis keilmiahannya,

pejabat usaha yang memiliki modal besar untuk menyokong dominasi kekuasaan, ataupun tokoh

masyarakat yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat secara luas. Isu yang diwacanakan oleh

orang-orang ini pada mulanya mungkin hanya dirasakan oleh para penyuara isu. Untuk menggerakan

isu ini menjadi sesuatu yang benar-benar hidup di masyarakat diperlukan suatu kondisi tertentu yang

pada akhirnya mampu mentransformasi dan menyebarkan isu ini secara lebih luas dan merata ke

masyarakat umum yang potensial bagi proses pengambilan keputusan realisasi wacana sebuah isu

menjadi kebijakan. Pada akhirnya memang wacana akan menjadi sebuah realita kenyataan yang

ditandai dengan adanya pengelolaan bersama terhadap keberadaan realita tersebut. Namun patut dicatat

pula, proses ini bukanlah sebuah proses statis. Dalam kenyataannya, proses ini akan berjalan secara

Page 7: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

7

dinamis dimana sebuah wacana akan terus-menerus disuarakan terhadap isu yang telah terealisasi

tersebut.

Perkembangan teknologi informatika telah menciptakan fenomena baru dalam hubungan

internasional terutama terkait dengan pengelolaan bersama sebuah waacana untuk menjadi sebuah

realita yang dibahas dalam konsep sebelumnya. Teknologi informatika telah melahirkan kemudahan

bagi manusia untuk berinteraksi dalam proses yang sebelumnya tidak mudah untuk dilakukan.

Fenomena ini dapat terlihat dalam pembahasan yang dikemukakan oleh Robert O. Koohare dan Joseph

S. Nye, Jr.3 mengenai analisisnya terhadap pemikiran para modernis, disebutkan bahwa akibat adanya

perkembangan sedemikian cepat di bidang teknologi informatika dan transportasi menyebabkan

manusia-manusia yang ada di seluruh dunia secara individu mampu menjadi lebih transferrable

dibandingkan keadaan sebelumnya. Manusia menjadi lebih mengetahui keadaan dunia dibandingkan

sebelumnya. Fenomena ini disebut sebagai sebuah fenomena global village.

Jika mengamati hubungan internasional tradisional terutama pada saat sebelum selesainya Perang

Dingin, interaksi hubungan internasional hanya didominasi oleh hubungan yang diciptakan

antarpemerintahan. Di dalam negara sendiri yang mayoritas pada saat itu adalah negara-negara

berkembang, interaksi pada proses pengambilan keputusan terjadi dengan adanya dominasi kekuasaan

oleh pemerintah sehingga menyebabkan proses pengambilan keputusan lebih terjadi secara satu arah

dengan arah secara top-down. Ketakutan dan interaksi kuat dua dominion pada Perang Dingin

ditengarai menjadi penyebab utama mengapa pada proses pengambilan keputusan di negara-negara

mayoritas pada saat itu terjadi demikian. Lihat saja pembahasan dari tulisan Nana K. Poku, Neil

Renwick, dan John Glenn.4 Jika berkaca dengan keadaan masa itu, tulisan tersebut membahas

mengenai penggunaan perspektif yang mulai terbuka dan meluas dalam memandang hubungan

internasional di masa paska-Perang Dingin. Selama Perang Dingin, interaksi dua raksasa besar yang

mendominasi telah menyebabkan hubungan internasional diisi oleh interaksi yang bersifat state-

centric. Cara pandang ini terutama banyak menghinggapi pola pikir negara-negara dunia ketiga yang

banyak berdiri semenjak berakhirnya Perang Dunia II. Dalam proses state making dan nation building

ditambah dengan interaksi internasional yang bersifat mengkubukan dunia menjadi dua kutub

menyebabkan negara dunia ketiga lebih memilih untuk menjadikan negara sebagai satu kesatuan yang

utuh. Dibawah satu komando seorang pemimpin-lah, dan biasanya dalam periode kepemimpinan yang

3 Robert O. Koohare dan Joseph S. Nye, Jr., “Power and Interdependence in the Information Age”, dalam Charles W.

Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf, The Global Agenda: Issues and Perspectives, 6th

ed., (New York: Mc. Graw-Hill,

2005), hlm. 27-28. 4 Nana K. Poku, Neil Renwick dan John Glenn, “Human Security in a Globalising World”, dalam David T. Graham dan

Nana K. Poku (ed.), Migration, Globalization and Human Security, (London: Routledge, 2005), hlm. 9-14.

Page 8: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

8

cukup lama, negara dikelola. Security atau keamanan dikonstruksikan dalam bentuk national interest

(kepentingan nasional) dimana dalam hal ini negara—yang proses pengelolaannya secara legitimasi

diserahkan kepada pemerintah—menentukan poin-poin penting darinya. Akibatnya, secara metodologis

dan ontologis, perspektif yang digunakan untuk memandang dan menganalisis interaksi dalam

hubungan internasional tidak lain lebih banyak difokuskan pada penggunaan perspektif realisme

dimana pemerintah sebagai sentralisme pengambilan keputusan dan difokuskan bagi negara untuk

Dinamika interaksi di dalam hubungan internasional sangat menarik untuk dikaji dalam kaidah

pembahasan relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan sendiri menurut Manuel Castells merupakan proses

yang fundamental dalam masyarakat karena masyarakat berada dalam sebuah sistem kompleks yang

didefinisikan oleh nilai dan institusi, sedangkan apa yang dinilai dan diinstitusikan merupakan hasil

dari sistem kompleks tersebut merumuskannya yang tidak lain dihasilkan dari proses dalam relasi

kekuasaan.5 Relasi kekuasaan sendiri tidak lebih merupakan proses untuk menciptakan dominasi dari

pihak pendominasi kepada pihak yang didominasi. Pihak-pihak yang melakukan relasi kekuasaan ini

beragam bentuknya dimulai dari seorang individu hingga sekumpulan individu yang direpresentasikan

dalam bentuk kelompok-kelompok. Proses relasi kekuasaan ini bersifat: (a) relational capacity dalam

artian bahwa proses ini dalam melahirkan kekuasaan (dominasi) tidaklah dipandang secara atributif

namun lebih dipandang secara relasi yang memperlihatkan penekanan pada proses relasi kekuasaan itu

sendiri daripada melihat kekuasaan sebagai sebuah akhir atau pencapaian, dan (b) asymmetrical

dikarenakan dalam relasi kekuasaan sendiri aktor-aktor yang berelasi memang tidak pada tataran

memiliki pengaruh yang sama dalam memperebutkan dominasi namun pada ketidakseimbangan

pengaruh yang dimiliki yang pada akhirnya memperlihatkan hasil adanya pencapaian berupa dominasi

itu sendiri.6 Dalam kenyataannya sendiri, relasi kekuasaan ini dapat terjadi dengan melumpuhkan dua

sifat tersebut misalnya ketika relasi kekuasaan ini bersifat nonsosial misalnya ketika kekuasaan

diperoleh dengan menggunakan kekerasan.7 Ini dikarenakan dengan adanya dukungan kekuatan

kekerasan dibalik relasi kekuasaan menunjukan bahwa interaksi tersebut lebih terfokuskan pada

sesuatu yang bersifat memaksa daripada interaksi dalam relasi itu sendiri. Akibatnya, di dalam

pembahasan selanjutnya, akan tercipta suatu relasi kekuasaan yang secara sosial bersifat tidak stabil

sebagaimana kutipan Castells pada analisis teori politik Habermas mengenai politik legitimasi dimana

dengan adanya relasi kekuasaan yang memperhatikan dua sifat sosialnya akan menghantarkan relasi

5 Manuel Castells, Communication Power, (New York: Oxford University Press, 2009), hlm. 10.

6 Ibid., hlm. 11.

7 Ibid.

Page 9: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

9

tersebut menghasilkan dominasi yang stabil, dominasi yang terlegitimasi.8 Keadaan ini sangat penting

misalnya untuk mengkritisi demokrasi sebagai sebuah prosedur dan tata laksana dalam suatu

pengambilan keputusan dimana dalam sistem demokrasi sendiri dapat terjadi krisis legitimasi karena

demokrasi yang dirancang untuk menghormati adanya nilai-nilai representasi justru dilukai

kecenderungan demokrasi sebagai sebuah sistem.9 Ketika keputusan yang diambil melalui demokrasi

pada kenyataannya tidak lagi merepresentasikan keinginan aktor-aktor yang berada di dalamnya. Oleh

karenanya, dalam sistem demokrasi yang Castells perbincangkan, diperlukan wadah interaksi yang

lebih peka dari masyarakat sipil sebagai pihak yang direpresentasikan mengargumentasi dan

mengkontestasi keputusan yang dihasilkan dari demokrasi sebagai sebuah sistem. Pada akhirnya,

stabilitas institusional dalam relasi kekuasaan memang pada akhirnya harus melibatkan partisipasi ini,

terutama ketika berkaca pada dua sifat yang secara ideal harus mengikat padanya, dimana hanya

dengan itulah relasi kekuaaan akan dapat diprediksikan dalam kapasitas untuk mengartikulasikan

kepentingan-kepentingan dan nilai yang berbeda dalam proses demokrasi.10

Melalui apa yang disebut

sebagai jaringan komunikasi (communication network).11

Dalam jaringan komunikasi inilah setidaknya

diperoleh sebuah terobosan baru tentang bagaimana mengarahkan relasi kekuasaan untuk dekat dengan

kedua sifatnya secara ideal. Jaringan komunikasi ini sangat sarat dengan keberadaan proses penciptaan

lebih besar pengetahuan dan pemikiran yang menjadi sumber utama dari kekuasaan, untuk membuat

atau meniadakan kepercayaan.12

Di dalam jaringan komunikasi setidaknya akan ditemui usaha untuk

memberdayakan diri akibat adanya dinamika interaksi yang lebih besar dalam penggalian pengetahuan

dan pemikiran. Perkembangan teknologi informasi telah meningkatkan proses terbentuknya jaringan

komunikasi ini yang menandakan proses globalisasi sedang berjalan.

8 Ibid., hlm. 12.

9 Ibid.

10 Ibid.

11 Ibid.

12 Ibid., hlm. 16.

Page 10: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Amerika Serikat dan Pusat Perkembangan Teknologi Informasi

Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai negara pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.13

Dari negara tersebut dikenal berbagai film imajiner mengenai cyberspace dan

pengelolaannya, sebut saja film James Bond yang dibuat pada tahun 1997. Novel enkripsi dan

password karya Dan Brown yang berjudul the Digital Fortress juga berasal dari negara tersebut.

Namun disadari atau tidak, film imajiner ataupun juga buku-buku yang terlihat fiksi tersebut ternyata

ternyata dibuat berdasarkan analisis riil dari para ilmuan dan agen intel profesional mengenai prediksi

mereka akan kenyataan yang tidak terbantahkan dari perkembangan pesat teknologi informasi.14

Badan-badan yang mengeluarkan analisis tersebut misalnya the National Academy of Sciences atau the

National Inteligence Council. Selain itu, penggambaran ancaman yang akan didatangkan dari

perkembangan teknologi informasi di AS ini juga datang dari media massa, komunitas perumus

kebijakan keamanan, konsultan risiko dan industri informasi dan telematika (IT).

Amerika Serikat memiliki industri teknologi informatika yang sangat berkembang dengan baik.

Perkembangan ini tidak dapat dipungkiri diakibatkan oleh langkah strategis bisnis dan politik Amerika

Serikat untuk menjadi pemain utama dalam arus globalisasi.15

Bisnis dan politik Amerika Serikat

memandang bahwa pengembangan tekonologi informasi akan membantu perusahaan-perusahaan

Amerika Serikat lebih beradaptasi dengan perkembangan globalisasi dunia. Perlu dicatat bahwa, pasar

luar negeri menjadi lebih penting baik sebagai produser maupun pembeli dari produk-produk

informatika dari Amerika Serikat yang menandakan bahwa globalisasi dipandang dari sudut

informatika sedang berkembang di seluruh dunia.16

Di dalam negeri Amerika Serikat sendiri, proses

globalisasi ekonomi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berusaha untuk

meningkatkan keunggulan komparatifnya yang juga dilakukan dengan efektifitas pengelolaan dunia

usaha. Pengelolaan efektifitas dunia usaha ini juga banyak memanfaatkan produk-produk hasil

pengembangan teknologi informatika yang pada akhirnya permintaan dari pasar luar negeri dan pasar

dalam negeri telah menyebabkan industri teknologi informatika Amerika Serikat berkembang dengan

13

Ralf Bendrath, Johan Eriksson dan Giampierro Giacomello, “From ‘Cyberterrorism’ to ‘Cyberwar’, back and forth: How

the United States Securitized Cyberspace”, dalam Johan Eriksson dan Giampierro Giacomello, International Relations and

Security in the Digital Age, (New York: Routledge, 2007), hlm. 57. 14

Ibid. 15

Catherine L. Mann dan Jacob Funk Kirkegaard, Accelerating the Globalization of America: The Role for Information of

Technology, (Washington D.C.: Institute for International Economics, 2006), hlm. xi. 16

Ibid.

Page 11: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

11

pesat.17

Perkembangan ini dapat dilihat dari indikator pertumbuhan tingkat produktivitas perusahaan-

perusahaan di dalam negeri Amerika Serikat yang semakin meningkat selama ini, termasuk juga

perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang kemudian berusaha mengintegrasikan diri dalam proses

globalisasi ekonomi dengan membuka cabang usahanya di luar Amerika Serikat.18

Beberapa data dari tulisan Catherine L. Mann dan Jacob Funk Kirkegaard menunjukan beberapa

indikator penting dari penggunan produk pengembangan teknologi informatika:19

(a) adaptasi produk-

produk hasil pengembangan teknologi informatika yang di dalamnya adalah penggunaan software dan

hardware mampu meningkatkan produktivitas satu banding satu terhadap penurunan harga produk dari

industri yang menggunakan produk hasil pengembangan teknologi informatika dimana penurunan

harga produk industri tersebut di pasar salah satu variabel utamanya disebabkan adanya peningkatan

produktivitas yang dihasilkan dari penggunaan produk hasil pengembangan teknologi informatika, (b)

data dari pasar luar negeri (di luar Amerika Serikat, dari sudut pandang Amerika Serikat) menunjukan

bahwa di pasar dengan pertumbuhan pada pendapatan diikuti dengan pengeluaran yang semakin

meningkat pula dalam belanja produk-produk teknologi informasi seperti pertumbuhan di negara-

negara seperti Cina, Singapura, Polandia, Malaysia, Korea, dan India (walaupun dengan perbandingan

yang berbeda-beda) dengan kenaikan pendapatan per kapita sebanyak empat persen misalnya diikuti

dengan kenaikan pengeluaran di bidang teknologi informasi sebesar dua kali lipatnya, (c) di dalam

industri teknologi informasi Amerika Serikat sendiri, adanya kebutuhan pasar yang melonjak pesat di

bidang teknologi informasi telah mendorong adanya peningkatan produktivitas pengembangan industri

teknologi informatika Amerika Serikat dalam menghasilkan produk-produk teknologi informasi

dimana beberapa variabel utamanya adalah akibat seiring semakin meningkatnya produktivitas barang

dan jasa dari negara-negara yang melakukan perdagangan dengan Amerika Serikat yang menggunakan

produk pengembangan teknologi informasi Amerika Serikat sehingga menyebabkan harga komponen

untuk pengembangan industri teknologi informatika di Amerika Serikat yang diimpor dari pasar-pasar

luar negeri tersebut juga menurun, (d) data terkini justru menunjukan bahwa pengembangan teknologi

informatika di bidang software berkembangan dengan sangat pesat dan berhasil menyamai

perkembangan di bidang hardware, (e) pasar Amerika Serikat dengan industri teknologi informasinya

pada tahun 2003 masih menguasai sebanyak 40 persen pasar teknologi informatika dunia walaupun

pergeseran pasar telah banyak dilakukan oleh pasar-pasar negara industri baru dimana beberapa

penyebab mengapa pengembangan software di Amerika Serikat berkembang lebih pesat karena pasar

17

Ibid. 18

Ibid. 19

Ibid., hlm. xviii-xx.

Page 12: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

12

pengembangan hardware telah banyak diadopsi dan diciptakan di pasar-pasar negara industri baru, (f)

peningkatan tren industri teknologi informatika Amerika Serikat ke pengembangan software yang

kemudian dimasukan dalam bagian pengembangan teknologi informasi di bagian pelayanan

(informatics technology services atau IT services) dapat dilihat dari peningkatan di tahun 1989 yang

hanya menguasai 10 persen dari keseluruhan aktivitas industri ini ke penguasaan di 42 persen di bagian

penjualan dan 57 persen di bagian lapangan pekerjaan pada tahun 2003, (g) walaupun demikian, akibat

orientasi perusahaan Amerika Serikat yang bersifat multinasional, ternyata pengembangan industri

yang berbasiskan hardware dilakukan juga oleh Amerika Serikat melalui perusahaan multinasionalnya

di negara-negara industri baru yang memiliki keunggulan komparatif lebih besar dalam memproduksi

produk-produk teknologi informatika di bidang hardware dibandingkan dengan apabila

memproduksinya di Amerika Serikat, sedangkan untuk produk-produk IT service, Amerika Serikat

masih cukup memiliki keunggulan komparatif karena produksi IT service membutuhkan tenaga kerja

dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi yang dapat dipenuhi dari tenaga kerja Amerika Serikat,

(h) dampak langsungnya, seperti telah dikemukakan di awal, bahwa kemudian industri teknologi

informatika yang dikembangkan oleh Amerika Serikat lebih berfokus kepada pengembangan IT service

yang seperti lingkaran setan pengembangan ini akan meningkatkan produktivitas pengembangan

produk yang memanfaatkan IT service di luar negeri yang semakin merendahkan biaya produksi

barang yang diimpor oleh Amerika Serikat sehingga secara keseluruhan walaupun pasar hardware di

Amerika Serikat mengalami defisit namun jika melihatnya secara keseluruhan terhadap pertumbuhan

ekonomi, Amerika Serikat mengalami kemajuan yang pesat.

Secara keseluruhan, pada bagian selanjutnya di dalam buku yang ditulis oleh Mann dan

Kirkegaard, lekatnya inovasi dalam pengembangan teknologi informatika di Amerika Serikat yang

telah menghantarkan Amerika Serikat untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan teknologi

informatika dunia karena dengan adanya globalisasi dalam produksi produk teknologi informatika

mempunyai efek yang besar, spesifik, dan dapat dikuantifikasikan bagi ekonomi Amerika Serikat

dimana harga yang lebih rendah akan kembali meningkatkan investasi di pengembangan teknologi

informatika dan mendukung transformasi yang lebih luas bagi pengembangan kegiatan usaha yang

menghasilkan harga yang lebih rendah kembali.20

Inilah yang kemudian secara keseluruhan membuat

Amerika Serikat menjadi basis pengembangan teknologi informatika dunia. Seperti yang dibahas di

dalam argumen awal di sub bagian ini, Amerika Serikat kemudian menjadi pusat pengembangan

teknologi informatika dunia. Dari poin inilah kemudian Amerika Serikat akan menjadi titik awal

20

Ibid., hlm. Xx.

Page 13: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

13

perkembangan kehidupan lainnya yang terpengaruh oleh pengembangan teknologi informatika seperti

kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

2.2. Perkembangan Teknologi Informatika sebagai Sebuah Ancaman21

Perdebatan mengenai pro dan kontra hadirnya ancaman terhadap perkembangan teknologi

informasi ini juga merebak di AS, terutama diakibatkan efek negatif perkembangan teknologi

informasi. Pandangan pro misalnya didatangkan dari beberapa analis optimis misalnya dengan

mengemukakan bahwa teroris di masa depan tidak lagi menggunakan bom dalam melancarkan aksi

mereka tetapi justru akan melancarkan aksinya hanya dengan menggunakan keyboard. Bahkan ada

beberapa analis yang berasal dari politik menggambarkan ancaman dari dunia cyber (cyberthreat) ini

akan sama dengan ancaman yang dihasilkan dari weapon of mass destruction dalam menghadirkan

ketakutan publik. Dari kalangan kontra sendiri lebih dihasilkan dari keadaan analisis yang tidak

memunafikan hadirya ancaman namun lebih disebabkan analisisnya mengenai proses dialektika yang

akan dihasilkan untuk mengatasi ancaman ini. George Smith misalnya mengatakan bahwa akan publik

juga akan menghasilkan cara bagaimana misalnya mengatasi cyberthreat. Negara dalam hal ini

pemerintah sebagai otoritas resmi pengelola kegiatan dan dinamika masyarakat akan mencari segala

cara (jika negara tersebut responsif terhadap ancaman ini) dengan misalnya semakin meningkatkan

tindakan pengamanan publik dalam interaksi yang berhubungan dengan IT atau membuat kebijakan

secara politik untuk mencegah ancaman tersebut menjadi suatu kenyataan.

Pembahasan mengenai ancaman ini di tingkat politik Amerika Serikat sudah dimulai semenjak

periode pemerintahan Clinton. Pembahasan tingkat politik pada saat itu hanya membahas isu yang

masih berada di tataran abstraksi dimana pada saat itu memang kondisi ancaman tersebut belumlah

menjadi sebuah kenyataan. Desakan para analisis yang kemudian disuarakan di tingkat pemerintahan,

baik eksekutif maupun legislatif, membuat pemerintahan Clinton memasukan wacana ini dalam

kebijakan keamanan yang dijalankannya. Pertama-tama, pemerintahan ini merumuskan sampai sejauh

mana ancaman keamanan tersebut dapat benar-benar terealisasikan dalam periode kepemimpinannya,

bentuk ancaman cyber yang ada kemudian—apakah cyberterrorism, cyberwar, cybercrime? Selain itu,

pendesakan pembahasan isu ini juga diinisiasi oleh prediksi dari the National Infrastructure Protection

Center pada Desember 1999 yang mempereingatkan bahwa Osama bin Laden akan melakukan

serangan teroris peledakannya menggunakan mekanisme cyber dari pengeboman Oklahoma dalam

bentuk tertentu melalui sistem komputer. Jacques Gansler yang menjadi Asisten Menteri Pertahanan

bagian Kemahiran dan Teknologi pada 1998 menyebut remaja sebagai „real threat environment‟ pada

21

Dihasilkan dari rangkuman Ralf Bendrath, Johan Eriksson dan Giampierro Giacomello, “From ‘Cyberterrorism’ to

‘Cyberwar’, back and forth: How the United States Securitized Cyberspace”, op.cit., hlm. 57-82.

Page 14: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

14

keamanan nasional. Keadaan ini juga mengubah persepsi keamanan AS untuk tidak berfokus pada tipe-

tipe atau bentuk ancaman keamanan saja, namun lebih dari itu, bagaimana bentuk ancaman ini

disalurkan yang tidak lain adalah media dalam menyalurkan ancaman.

Ketakutan akan cyberthreat ini juga hadir dari dimensi bahwa cyberthreat dapat dipandang

secara transnasional dimana jika memandangnya dari sisi ini maka siapapun dapat menggunakan media

cyber untuk melakukan serangan. Ini akan memperbesar peluang teracak dan menyebarnya prediksi

siapa pelaku di balik penyerangan. Pengalaman ini didapatkan sangat berharga walaupun masih belum

menyentuh dunia cyber dari kasus pemboman pertama gedung World Trade Center pada tahun 2003

dan pemboman Oklahoma pada tahun 2005 yang ditengarai penyebabnya pada kelemaham manajemen

AS di bidang pengamanan jaringan infrastruktur. Seketika itu setelah penyelidikan selama dua bulan,

Clinton dan Mahkamah Agung Janet Reno pada 1995 memutuskan untuk dibentuknya the Inter-agency

Critical Infrastructure Working Group untuk menyelidiki kemungkinan risiko pada pengelolaan

jaringan infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh teroris di masa mendatang. Hasil penyelidikan ini

kemudian menyebabkan dibentuknya the President’s Commission on Critical Infrastructure Protection

pada 1997 yang hasil laporannya kemudian menjadi dasar dibentuknya the National Plan for

Information System Protection pada Januari 2000. Terlihat dalam tata pengelolaan terhadap ancaman

ini kemudian adalah proses dialektika sebagaimana disampaikan oleh Smith bahwa tanggapan

responsif pemerintah adalah kemudian justru mencari cara untuk menutupi celah-celah keamanan dari

dunia cyber agar di masa mendatang tidak digunakan kembali oleh teroris.

Kalangan pemikir AS yang perhatian pada isu ini yang tergabung dalam AS think tank

sebenarnya pada tahun 1990-an awal telah memunculkan ide agar AS membentuk Departemen

Keamanan Wilayah Induk (the Department of Homeland Security atau DHS). Kalangan ini berpikir

bahwa ternyata ancaman yang akan menyerang AS di masa depan tidaklah berasal dari ancaman yang

selama ini dibahas berdasarkan kerangka pemikiran konvensional mengenai posisi geografis (terkait

dengan strategi geostrategis AS yang berbasiskan pada lokasi). Ancaman teroris dapat saja berasal dari

dalam negara AS sendiri atau berasal dari aktor lain yang bersifat transnasional (borderless). Namun,

realisasi mengenai DHS ini baru terjadi pada masa pemerintahan George W. Bush pada Mei 2001.

Pembahasan mengenai wacana cyberthreat kemudian memuka di media dengan dibahasnya

wacana ini di CNN pada April 1999 dengan topik “guerrilla warfare in cyberspace”. Koran

USAToday juga mungkin menjadi media nasional yang paling gencar mengemukakan wacana ini di

kalangan publik AS. Dengan mengemukanya wacana ini di publik, tidak pelak wacana ini menjadi isu

hangat di publik. USAToday juga memaparkan informasi bahwa Al Qaeda tengah mempersiapkan

Page 15: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

15

serangan teroris dengan menggunakan teknologi enkripsi (kata sandi) yang disebut sebagai

steganografi untuk menyampaikan pesan yang yang berhubungan dengan kegiatan teroris pada gambar,

audio, atau video elektronik. Mengingat ancaman teror juga tidak datang dari pengeboman saja, namun

dari kegiatan yang berhubungan dengan sesuatu yang dapat memberikan ancaman secara kegiatan

sosial misalnya dalam kegiatan pornografi sebagai sebuah ancaman terhadap kehidupan sosial AS yang

pada saat itu tengah menjadi tren, wacana ini menjadi semakin hangat diperbincangkan publik. Seolah

mendapatkan gambaran riil mengenai cyberthreat terutama tanggapan publik yang ditimbulkan dari

meningkatnya penggunaan media elektronik, wacana ini kemudian disalurkan secara politik dengan

mengemuka di kalangan parlemen AS dengan misalnya seorang Kongres dari partai konservatif,

Saxton dan Chambliss mengemukakan suara di parlemen yang kemudian membuat Parlemen AS

menyatakan cyberterrorism „as an emerging threat to the national security of the United States‟. Satu

hal yang patut dicatat di sini, bahwa ternyata Al Qaeda dengan steganografinya yang diinformasikan di

USAToday ternyata hanyalah rumor.

Pada pemerintahan Bush, pembahasan mengenai cyberterrorist pada awalnya menciut karena

Bush lebih berpikiran untuk melihat ancaman dari pemerintahan negara gagal atau disebut sebagai

„rogue state‟. Namun anggapan ini seketika berubah ketika Advisor National Security, Condoleeza

Rice setelah menghadiri dan memberikan pidato pada Internet Security Policy Forum kedua

menyatakan bahwa Cina dapat berpotensi menjadi tidak hanya strategic rivalry AS namun juga

menjadi cyberterrorist. Pernyataan ini diperoleh semenjak perusahaan Spacecom yang berbasis di Cina

bertanggungjawab atas koordinasi penyerangan terhadap sistem keamanan dan jaringan militer AS.

Ditambah lagi dengan adanya laporan mengenai kegiatan hacker di Cina oleh mata-mata AS menjadi

pemicu bagi hacker AS dan Cina berperang. Hasilnya, terjadi peledakan pada perayaan pertama

hadirnya Kedutaan Cina di Beograd oleh AS. Para analisis menyebut bahwa keadaan ini sebagai the

first AS-Cina cyberwar. Akibat perang antara hacker di kedua negara ini, bahkan the National

Infrastructure Protection Center mengeluarkan informasi ancaman bahaya terhadap interaksi yang

menghasilkan cyberthreat ini. Bahkan akibat informasi ini, Pentagon meningkatkan ancaman bahaya

dari level „alpha‟ ke „beta‟ yang mana ketika level sudah menyentuh „charlie‟ maka seluruh sistem

komputerisasi jaringan (menjadi offline) di Pentagon akan dimatikan untuk menimalisir dampak negatif

dari cyberthreat ini. Jelas terlihat pada kegiatan Pentagon ini bahwa kegiatan ini merupakan bentuk

sekuritisasi terhadap permasalahan cyberthreat karena wacana ternyata sudah bergerak ke arah

implementasi riil di lapangan. Lebih jauh lagi dalam bentuk sekuritisasi cyberthreat, ditemukan

fenomena ternyata pada akhir 2001 Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld memberikan pidato pada

Page 16: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

16

Dewan NATO di Brussel mengenai bahwa ancaman cyberthreat tidak hanya mengganggu AS namun

dapat secara mungkin menggangu negara yang beraliansi dengan AS di NATO dan bahkan

mengganggu aliansi NATO sendiri.

Serangan 11 September 2001 membuat segala fokus terhadap cyberthreat menjadi semakin besar.

Serangan ini terjadi akibat, walaupun masih diperdebatkan, kesalahan pada infrastruktur jaringan

keamanan penerbangan yang dapat menyebabkan para teroris membajak pesawat dan menggunakannya

untuk meledakan gedung WTC. Seketika setelah serangan, wacana cyberthreat menjadi semakin

memuka. Majalah Federal Computer Week menekankan agar segera dibentuknya cyberthreat defense

dalam Departemen Pertahanan AS misalnya dengan membentuk the Joint Task Force-Computer

Network Defense dalam tubuh Departemen Pertahanan AS. Sekuritisasi segala hal yang berhubungan

dengan cyberthreat juga semakin meluas. Media massa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

usaha untuk semakin merealisasikan wacana sekuritisasi AS pada cyberhtreat dengan meminta

Pemerintah AS untuk segera bertindak cepat dan tanggap dengan segala pengukuran yang dibuatnya.

Masyarakat industri IT sendiri juga mulai banyak membicarakan penggunaan media cyber sebagai

sarana bagi pelaksanaan kegiatan teror terutama dari teroris Timur Tengah dan Islam.

Hingga pada akhirnya pada akhir September 2001 berbagai desakan yang muncul di level

masyarakat memberikan tekanan luar biasa bagi Pemerintah AS untuk bergerak. Pada Oktober 2001,

Presiden Bush membentuk Office of Cyberdefense di White House sebagai salah satu bagian

penyangga bagi perumusan pembentukan DHS yang masih berada di bawah the National Security

Council. Departemen Keadilan AS juga mengemukakan untuk merancang draf Undang-Undang

Antiterorisme baru yang berisikan elemen-elemen penting mengenai cyberthreat dimana kemudian di

dalam UU ini disebutkan bahwa kriminal komputer dapat diperlakukan sebagai teroris di depan hukum.

Pada Desember 2001, Kongres AS juga menyetujui dibentuknya Cyber Division pada the Federal

Bureau of Investigation (FBI) yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikan, mengawasi, dan

memfasilitasi FBI terkait dengan kejahatan kriminal komputer dan intelijen asing. Komunitas Intelijen

AS juga kemudian banyak menyuarakan cyberthreat dekat dengan kegiatan teroris sehingga

menyebabkan perdebatan sekuritisasi cyberthreat terutama terkait dengan usaha untuk mengkaitkan

cyberthreat dengan teroris (dikenal dengan istilah cyberterrorism) menjadi lebih mencuat. Hingga pada

akhirnya terbentuklah DHS pada pemerintahan Bush.

2.3. Analisis Penulis

Perkembangan teknologi informasi telah menghasilkan dukungan terhadap terbentuknya jaringan

komunikasi yang lebih baik dalam artian masyarakat sipil lebih terberdayakan. Beberapa indikasi

Page 17: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

17

munculnya pemberdayaan yang sebelumnya mungkin belum ada dalam periode sebelumnya atau ketika

perkembangan teknologi informasi belum begitu mempengaruhi terbentuknya jaringan komunikasi

yang lebih baik adalah: (a) munculnya wacana di kalangan think tank Amerika Serikat untuk

menyuarakan isu cyberthreat, (b) media massa mulai terlibat melanjutkan aliran komunikasi sebagai

bentuk proses sekuritisasi wacana, dan (c) jaringan komunikasi pada akhirnya membantu masyarakat

sipil lebih sadar akan proses penghadiran wacana sebagai sebuah isu yang mungkin hidup dalam

masyarakat Amerika Serikat. Pada akhirnya, terjadi proses dialektika yang dihasilkan dari jaringan

komunikasi ini yang membantu melahirkan rumusan-rumusan penting bagi proses pengambilan

keputusan di Amerika Serikat mengenai cyberthreat. Proses dialektika ini menghasilkan keadaan

legitimasi bagi Pemerintah Amerika Serikat untuk mewujudkan wacana isu menjadi realita. Suara-

suara di senat Amerika Serikat untuk memaksa pemerintahan eksekutif Amerika Serikat menyetujui

tindakan yang lebih tanggap terhadap sekuritisasi cyberthreat pada pemerintahan Bush dibandingkan

dengan pemerintahan Clinton menunjukan adanya proses dialektika yang lebih dinamis dan kompleks

tentang bagaimana kemudian Pemerintah Amerika Serikat harus menanggapi permasalahan ini.

Dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan di masa Clinton. Pada masa itu wacana ini

baru disuarakan oleh segelintir masyarakat sipil di pemerintahan dan di masyarakat sendiri melalui

think tank dan para pemikir. Mereka memikirkan potensi-potensi ancaman yang dapat dihasilkan dari

keberadaan perkembangan pesat teknologi informatika yang sedang terjadi di negaranya. Dapat dilihat,

pada masa-masa itulah industri teknologi informatika Amerika Serikat sedang bangkit dengan

kemunculan inovasi di berbagai bidang yang menghantarkan semakin sempurnanya manusia untuk

dapat mewujudkan jaringan komunikasi. Interaksi yang ditimbulkan di dalam masyarakat sendiri

adalah bahwa kemudian melalui pengembangan teknologi ini masyarakat dapat melakukan komunikasi

di luar batas-batas imajiner negara. Interaksi ini sangat mempengaruhi bagaimana kemudian

pengelolaan suatu permasalahan yang berkaitan dengan negara-bangsa Amerika Serikat. Para pemikir

ini menganalisis kemungkinan hadirnya ancaman keamanan dari interaksi masyarakat sipilnya dan

kemungkinan masyarakat sipil global yang mungkin akan menghadirkan permasalahan di masa

mendatang. Justru, masyarakat sipil ini dapat sangat mungkin memanfaatkan media ini untuk

melakukan serangan-serangan kekerasan sebagai bentuk ekspresi mereka terhadap apa yang sedang

terjadi dalam hubungan negara-bangsa Amerika Serikat dan Amerika Serikat dalam hubungan

internasionalnya. Dengan dihadirkannya wacana ini diharapkan akan terjadi proses dialektika yang

lebih baik. Jaringan komunikasi yang ada diharapkan akan lebih terbentuk dengan baik. Dengan adanya

pengelolaan tegas dari Pemerintah Amerika Serikat, diharapkan terdapat kesadaran pemerintah sendiri

Page 18: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

18

untuk lebih mengurusi permasalahan ini. Diharapkan juga, dengan adanya wacana ini, masyarakat sipil

juga lebih tergugah untuk membentuk jaringan komunikasi yang lebih baik dalam menangani

permasalahan ini. Masyarakat dapat lebih tersadarkan melalui jaringan komunikasinya untuk membuat

pengelolaan yang dihasilkan oleh pemerintah terhadap cyberthreat juga memperhatikan kepentingan-

kepentingan dibalik hadirnya cyberthreat. Harapan ini penting untuk membuat kembalinya relasi

kekuasaan pada dua sifat utamanya secara ideal sebagaimana telah dibahas dalam konsepnya Castells.

Masyarakat sipil yang lebih terjaring komunikasi secara baik akan mampu mengarahkan terciptanya

pemerintahan yang lebih bertanggung jawab. Ini juga merupakan bagian dari proses pemberdayaan

masyarakat sipil sendiri. Pada masa Clinton, proses sekuritisasi wacana untuk menjadi kebijakan

belumlah terlalu terjadi karena dalam pengkondisian Kingdon, belum terdapat kondisi tertentu yang

secara masif memaksa masyarakat memang mengganggap wacana tersebut hadir di dalam kehidupan

riilnya. Akibatnya mungkin, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan pada saat itu belumlah

banyak memberikan efek yang jera terhadap penghasilan pengelolaan yang baik terhadap permasalahan

cyberthreat.

Pada masa pemerintahan Bush, terdapat kondisi tertentu tersebut. Dibantu dengan semakin

pesatnya perkembangan teknologi informasi dengan media massa yang semakin besar

menyerbarluaskan informasi terjadinya kondisi tertentu tersebut, semakin luas pula jangkauan proses

dialektika mampu hadir karena masyarakat luas menjadi lebih tersadarkan akan potensi ancaman

tersebut yang selama ini masih menjadi wacana. Proses dialektika ini menghasilkan adanya desakan

yang lebih besar untuk menekan pemerintah merealisasikan sekuritisasi wacana ini dalam sebuah

kebijakan pengelolaan cyberthreat. Jaringan media massa yang ada pada saat itu juga mungkin sangat

membantu proses ini. Dengan dikeluarkannya realisasi pembentukan DHS misalnya, Amerika Serikat

secara keseluruhan menunjukan keinginan untuk benar-benar menganggap permasalahan ini ada.

Walaupun kemudian beberapa kebijakan pemerintah juga banyak yang dikaji ulang seiring dengan

semakin terjadinya proses dialektika yang lebih baik.

Page 19: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

19

BAB III

KESIMPULAN

Dalam pembahasan isu ini, terlihat bahwa kekuatan jaringan informasi yang semakin dirasakan

kehadirannya akibat perkembangan pesat teknologi informasi pada studi kasus sekuritisasi cyberthreat

dalam pemerintahan Clinton-Bush memperlihatkan pengaruhnya dalam mempengaruhi interaksi

antaraktor (masyarakat sipil dan Pemerintah AS) dalam merumuskan kebijakan riil dalam bentuk

peraturan dan pengelolaan pada isu cyberthreat. Bentuk pengaruh ini dapat terlihat dalam dua poin: (a)

pada isu cyberthreat sendiri yaitu ternyata perkembangan teknologi informasi terkini menunjukan

kemampuannya untuk mengacak-acak model pengelolaan informasi konvensional dimana masyarakat

sipil secara lebih luas dalam hal ini teroris (dan mungkin juga individu-individu) dapat menggunakan

media cyber sebagai sarana untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan suatu negara—

mempengaruhi interaksi suatu negara dalam mensekuritisasi sebuah isu yang berbeda dengan fenomena

konvensional dimana hanya pemerintah yang lebih cenderung memainkan pembentukan suatu

kebijakan ketika misalnya perkembangan teknologi informasi belum hadir sepesat seperti sekarang ini,

dan (b) pada proses pengambilan keputusan sekuritisasi sendiri dimana kekuatan jaringan informasi

dalam kasus ini membantu meluaskan kesempatan wacana untuk menjadi sebuah kebijakan riil

misalnya dengan bantuan pemberitaan media massa sebagaimana terlihat dalam pemerintahan Clinton

mengenai rumor steganografi Al Qaeda oleh USAToday telah membantu publik AS menyuarakan

suara untuk mengenalkan cyberthreat di Parlemen AS dengan pernyataan Parlemen AS pada saat itu,

dan pada saat pemerintahan Bush dimana pemberitaan gencar oleh media massa sesaat semenjak

tragedi WTC kedua semakin meningkatkan kesadaran publik akan keberadaan wacana ini—walaupun

mungkin terkesan agak berlebihan karena belum tentu wacana cyberterrorism hadir secara riil di

mayoritas publik AS—yang membantu meningkatkan tekanan bagi pemerintahan Bush pada saat itu

untuk semakin melakukan sekuritisasi isu cyberthreat.

Proses dialektika ini hadir dikarenakan adanya proses yang terjadi secara top-down dan terutama

bottom-up pada masyarakat sipil Amerika Serikat terkait fenomena cyberthreat yang dihasilkan secara

dinamika internasional. Adanya proses penyadaran publik baik di pemerintahan dan masyarakat sendiri

menunjukan adanya pengarahan relasi kekuasaan pada dua sifatnya secara ideal. Kontestasi gagasan

mengenai proses pengelolaan permasalahan ini menjadi poin penting hadirnya pengarahan relasi

kekuasaan tersebut. Jaringan komunikasi yang tercipta pada individu-individu di pemerintahan,

masyarakat sipil, atau antarkeduanya yang sedang berproses menghasilkan keadaan adanya

Page 20: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

20

pemberdayaan pemikiran dan pengetahuan yang sangat penting bagi penghadiran dialektika terhadap

bagaimana Amerika Serikat menangani kasus cyberthreat ini. Dialektika yang terjadi pada

pemerintahan Clinton-Bush adalah demikian adanya, dan apa yang terjadi di masa mendatang mungkin

akan berbeda tergantung pada kondisi pemberdayaan dan proses itu sendiri.

Page 21: Sekuritisasi Isu Cyberthreat pada Pemerintahan Clinton-Bush

21

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bendrath, Ralf, Johan Eriksson dan Giampierro Giacomello. 2007. “From ‘Cyberterrorism’ to

‘Cyberwar’, back and forth: How the United States Securitized Cyberspace”. Dalam Johan

Eriksson dan Giampierro Giacomello, International Relations and Security in the Digital Age.

(New York: Routledge).

Castells, Manuel. 2009. Communication Power. (New York: Oxford University Press).

Koohare, Robert O. dan Joseph S. Nye, Jr. 2005. “Power and Interdependence in the Information Age”.

Dalam Charles W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf. The Global Agenda: Issues and

Perspectives, 6th

ed.. (New York: Mc. Graw-Hill).

Mann, Catherine L. dan Jacob Funk Kirkegaard. 2006. Accelerating the Globalization of America: The

Role for Information of Technology. (Washington D.C.: Institute for International Economics).

Mazaar, Michael J. “the Iraq War and Agenda Setting”. Dalam Foreign Policy Analysis Vol 3.

Payne, Rodger A. 1996. “Deliberating Global Environmental Politics”. Dalam Journal of Peace

Research Vol. 33, No. 2. (Mei, 1996).

Poku, Nana K., Neil Renwick dan John Glenn. 2005. “Human Security in a Globalising World”. Dalam

David T. Graham dan Nana K. Poku (ed.). Migration, Globalization and Human Security.

(London: Routledge).