sapuan dani, sh.m.hum fungsi sosial terhadap pemanfaatan hak atas tanah

Upload: sapuan-dani

Post on 13-Jul-2015

407 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

1 FUNGSI SOSIAL TERHADAP PEMANFAATAN HAK ATAS TANAH DALAM PERPEKTIF TERPELIHARANYA LINGKUNGAN HIDUP BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT 0leh Sapuandani A. Latar Belakang Penelitian Bertitik tolak dari alinea ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terkandung makna tujuan yang dikehendaki dari adanya Pemerintahan Negara Indonesia, yaitu meliputi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah daerah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pemenuhan tujuan sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan konsekuensi adanya usaha yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Indonesia untuk mewujudkannya. Usaha tersebut salah satunya dapat dilihat dari adanya pengaturan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini mengindikasikan palaksanaan penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang ada di Negara Indonesia ini diarahkan kepada usaha terciptanya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam ini harus dilakukan secara efektif, rasional dan terpadu merupakan dasar konsep pembangunan berkelanjutan yang telah ditentukan oleh Negara Indonesia.

2 Keterkaitan hak menguasai oleh negara dengan peruntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesungguhnya akan menimbulkan kewajiban kepada negara:1 1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air), serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi dan air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan, atau kehilangan haknya atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kewajiban dan tanggung jawab negara yang timbul sebagai akibat dari penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak hanya berlaku secara internal ke dalam wilayah negara. Pada saat yang bersamaan tanggung jawab negara timbul, apabila akibat dari aktifitas negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berpengaruh atau berdampak terhadap wilayah (masyarakat/warga) negara lain. Implementasi tanggung jawab negara terhadap perlindungan lingkungan hidup akan sangat ditentukan oleh arah dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup baik dalam kerangka nasional maupun global. Adanya situasi dan kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, menuntut adanya posisi penting dari hukum untuk mengatur setiap kepentingan yang berkaitan dengan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, sehingga dengan pengaturan tersebut diharapkan akan menjamin terjaganya keseimbangan dan

Bagir Manan, Beberapa Catatan atas Rancangan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, Makalah Diskusi Panel RUU Minyak dan Gas Bumi, Kajian Sosio Budaya, Ekonomi, Lingkungan dan Hukum Pertambangan dan Gas Bumi di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi, Fakultas Hukum UNPAD, Maret 1999. hlm.1.

1

3 keadilan, karena sesungguhnya fungsi hukum mampu memantapkan sistem untuk menjaga pelbagai keseimbangan:2 1. Keseimbangan antara kepentingan individu. 2. Keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat. 3. Keseimbangan antara pemerintah dengan yang diperintah. 4. Keseimbangan kepentingan antara generasi masa kini dengan generasi, mendatang. Empat keseimbangan di atas, idealnya akan menjadi tolok ukur dalam menentukan capaian dari realisasi pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya ketika Undang-Undang Dasar 1945 melalui ketentuan Pasal 33 ayat (3) telah menyatakan secara tegas hubungan hukum antara negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pertanyaan yang muncul adalah apakah ketentuan yang demikian ini akan dapat memenuhi tercapai empat keseimbangan sebagaimana yang dikemukakan di atas? Disadari bahwa analisis terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan menjadi kupasan analisis yang sangat luas. Oleh karenanya untuk membatasi ruang lingkup analisis maka penelitian ini membatasi hanya terhadap tanah yang merupakan bagian dari bumi. Pilihan terhadap tanah sebagai dasar analisis, sesungguhnya didasarkan atas pertimbangan bahwa persoalan tanah ini dalam tataran praktik akan secara langsung berkaitan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri dan kepentingan pemerintah dalam wujud upaya pembangunan. Pada masyarakat maka tanah diperlukan dalam rangka pengembangan hidup dan upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut, sedangkan disisi lain Pemerintah juga memerlukan tanahAteng Syafrudin. Butir-butir Kuliah Pengantar Pemerintahan Daerah, Bandung, 2002, hlm.13.2

4 tersebut dalam rangka kegiatan pembangunan serta upaya peningkatan investasi swasta yang bertujuan untuk peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Y. Wartaya Winangun, menyatakan bahwa fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki tiga aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik, dan hukum, dan aspek sosial.3 Aspek-aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh Pemerintah.4 Lebih lanjut dalam tataran praktik, diketahui bahwa tanah sebagai wujud yang bersentuhan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan pemerintah, pemanfaatan tanah kerap menimbulkan persoalan-persoalan berkaitan dengan peruntukkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah tersebut. Artinya, disatu sisi masyarakat sangat membutuhkan tanah tersebut dalam rangka pelaksanaan aktivitas kegiatan hidup dan keberlanjutan hidupnya, namun demikian di sisi lainnya, Pemerintah juga memerlukan tanah tersebut dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakannya sebagai wujud pelayanan publik. Kondisi yang demikian ini tidak jarang menjadi konflik kepentingan mana yang akan diutamakan.5 Beberapa kasus misalnya, pada tahun 1971 terjadi konflik berkaitan dengan pembangunan Taman Mini Indonesia yang disertai dengan upaya3

Y. Wartaya Winangun, SJ, Tanah Sumber Nilai Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2004,

hlm. 21 Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, 2004, hlm. 1 5 Lihat Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan umum : Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 754

5 penggusuran tanah yang ditempati oleh masyarakat dengan disertai adanya ganti rugi yang layak, pada tahun 1982 terjadi kasus tanah dalam rangka pengembangan objek wisata Borobudur di Jawa Tengah, yang berakibat terjadinya pembebasan tanah disekitarnya yang tidak sertai dengan adanya ganti rugi yang memadai, pada tahun 1983 untuk kemudian terulang kembali pada bulan April 2010, kasus tanah yang terjadi di Tanjung Priuk, yang melibatkan kepentingan ahli waris dan umat dari makam kyai priuk dengan Pemerintah sehingga berakibat terjadinya korban meninggal dunia. Tahun 1989, dikenal adanya kasus tanah Talang Sari Lampung, yang mengakibatkan 100 orang tewas dari kelompok masyarakat karena mempertahankan area tanah yang telah diolah mereka dari upaya pembebasan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah. Konflik tanah lainnya terjadi pada tahun 1996, yang dikenal dengan kasus waduk Nipah di Madura, dimana terjadi korban yang meninggal karena ditembak oleh aparat ketika masyarakat tersebut melakukan protes atas tindakan pengusuran tanah mereka.6 Konflik yang terjadi di Alas Tlogo, yaitu berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa Alas Tlogo dapat dinyatakan pelanggaran hak asasi manusia karena hak atas tanah sebagai hak milik dari rakyat telah dirampas secara paksa atau sewenang-wenang oleh TNI AL, atau dibeli dengan ancaman sehingga harga tanah yang dibeli sangatlah rendah.7 Selain konflik-konflik di atas, persoalan tentang tanah juga terjadi berkaitan dengan kegiatan investasi yang dilakukan oleh badan hukum privat,

Pertampilan S. Brahmana. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia : Pelaksanaan antara Hak dan Kewajiban tidak Seiring Sejalan. Website of Koalisi NGO HAM Aceh. 2010. 7 Kesimpulan dan Rekomendasi Komnas HAM atas Laporan Tim Pemantauan Peristiwa Alas Tlogo. Komnas HAM, Jakarta, 2008

6

6 misalnya kasus yang terjadi antara masyarakat adat Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang Bengkayang Pontianak dengan perkebunan kelapa sawit PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), sejak tahun 2005 sampai dengan akhir tahun 2009.8 Di Bengkulu persoalan tanah juga terjadi dalam tataran praktik, misalnya sengketa tanah antara masyarakat dengan PTPN Kabupaten Seluma pada tahun 2010, yang berujung pada bentrokan fisik antara masyarakat dan aparat penegak hukum dan pihak PTPN sendiri. Mencermati beberapa konflik sebagaimana dikemukakan di atas, baik yang terjadi dengan melibatkan pemerintah atau juga dilakukan antar masyarakat tersebut, maka menunjukkan bahwa dalam tataran praktik terjadi persoalan hukum berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan terhadap tanah tersebut. Lebih lanjut, apabila mengacu pada ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dinyatakan secara tegas bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.9 Ketentuan yang demikian ini jelas menghendaki adanya fungsi yang melekat terhadap semua hak atas tanah di Negara Indonesia. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul adalah apakah fungsi sosial yang dikehendaki atas tanah ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945? Apakah dengan adanya hak menguasai dari negara akan memberikan konsekuensi bahwa adanya kewenangan dari Negara untuk menentukan pemanfaatan tanah tersebut, yang diarahkan dalam rangka pelaksanaan fungsi sosial?Kalimantan Review. KOMNAS HAM : Hentikan Aktivitas PT Ledo Lestari. www.kalimantanreview.com 9 Menurut Leon Duguit, fungsi sosial ini berarti tidak ada hak subjektif (subjectief recht), yang ada hanya fungsi sosial. Lihat A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju. Bandung. 1993, hlm. 598

7 Namun demikian, perlu untuk ditentukan secara tegas, kalaupun fungsi sosial tersebut wajib diikuti dalam praktik peruntukan terhadap tanah, adanya model yang tepat untuk menentukan pemanfaatan fungsi sosial tersebut, hal ini wajib untuk dilakukan dalam rangka memenuhi nilai kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum yang dikehendaki dalam suatu tujuan hukum, sehingga pada akhirnya empat bentuk keseimbangan dalam rangka pelaksanaan hukum sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dapat terwujud.10 Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menganalisis persoalan-persoalan yang telah dikemukakan tersebut untuk kemudian disusun dalam bentuk disertasi yang berjudul: Fungsi Sosial terhadap Pemanfaatan Hak Atas Tanah dalam Perpektif Terpeliharanya Lingkungan Hidup bagi Kesejahteraan Rakyat. B. Identifikasi Masalah Bertitik tolak dari uraian yang telah disampaikan pada latar belakang penelitian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah adanya norma Fungsi Sosial terhadap pemanfaatan hak atas tanah telah sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945? 2. Bagaimanakah model pemanfaatan fungsi sosial terhadap hak atas yang dapat memenuhi nilai kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum terhadap terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat?Lihat Herawan S, Politik Hukum Agraria : Kajian atas Landreform daalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hlm. 264-26510

8

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan atas tiga permasalahan pokok sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menganalisis: 1. Kesesuaian antara norma Fungsi Sosial terhadap pemanfaatan semua hak atas tanah dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Model pemanfaatan fungsi sosial terhadap semua hak atas yang dapat memenuhi nilai kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum terhadap terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat.

D. Kegunaan Penelitian Penelitian dengan tema fungsi sosial terhadap pemanfaatan hak atas tanah ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan kerangka teori yang dapat memperkaya wawasan terhadap pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Agraria yang membahas tentang fungsi sosial terhadap pemanfaatan semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat. 2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menemukan landasan konkrit sebagai pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan dibidang hukum agraria yang sesuai dengan konsep fungsi sosial terhadap pemanfaatan semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat.

9

E. Kerangka Pemikiran 1. Prinsip Konstitusionalitas Prinsip konstitusionalitas atau prinsip supremasi konstitusi

mengisyaratkan, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan berikut materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Secara formal-institusional, prinsip ini dijamin dengan adanya lembaga pengujian peraturan perundang-undangan. konstitusionalitas dalam pembentukan peraturan Prinsip

perundang-undangan

memberikan sumber validitas bagi keberlakuan suatu peraturan perundangundangan. Ini disebabkan, karena : a. Undang-Undang Dasar sesuatu negara adalah induk dari segala peraturan perundang-undangan dalam negara yang bersangkutan. Undang-Undang Dasar atau konstitusi merupakan aturan pokok yang menentukan jenisjenis peraturan manakah yang seharusnya ada, instansi mana yang berwenang membuatnya, mengubahnya, serta memberikan landasan hukum untuk berlakunya;11 b. Kedudukan Undang-Undang Dasar atau konstitusi dalam negara bersifat fundamental, oleh sebab itu maka dalam hierarkhi peraturan perundangundangan letak Undang-Undang Dasar atau konstitusi berada di puncak piramida, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain berada di bawahnya;12 c. Oleh sebab letak Undang-Undang Dasar atau konstitusi dalam sistem hierarkhi peraturan perundang-undangan itu berada di puncak piramida, maka ia memiliki derajat tinggi.

2. Hak Menguasai dari Negara dan Hak-hak Atas TanahLihat, Kusumadi Pudjosewojo dalam Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, AsasAsas Hukumtatanegara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 50. 12 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 17.11

10 a. Hak Menguasai Dari Negara Pada masa ini Negara diharapkan untuk ikut berperan aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan

masyarakatnya dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Negara diharapkan harus mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat, gagasan ini disebut Welfare State atau Negara Kesejahteraan.13 Bertitik tolak dari konsep Negara hukum tersebut, maka Negara Indonesia dalam konstitusinya secara tegas menyatakan dirinya sebagai Negara hukum yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang menyatakan bahwa: Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini membuktikan bahwa sistem Negara hukum merupakan pilihan sadar Bangsa Indonesia, dan sebagai Negara hukum tentunya dalam kehidupan Negara kita akan berlaku apa yang dinamakan rule of law.14 Sebagai konsekuensinya, maka segala tindakan yang dilakukan oleh Negara maupun yang dilakukan oleh warga negaranya harus senantiasa tunduk pada hukum, termasuk pula dalam hal penguasaan terhadap tanah. Penguasaan atas tanah di Negara Indonesia diatur dalam UUPA. Dalam UUPA dikenal asas Penguasaan oleh Negara yang disebut Hak menguasai dari Negara.

13

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983,

hlm.33. Indroharto, Beberapa Pasal dari Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Pejabat Sebagai Calon Tergugat Dalam Peradilan TUN, Buku kesatu, CV. Sri Rahayu, Jakarta, 1989, hlm.111.14

11 Hak menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia.15 Hak menguasai dari Negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan.16 Hak menguasai dari Negara bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai dari Negara tersebut tidaklah diartikan sebagai kepemilikan Negara atas bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Apabila dihubungkan dengan hak ulayat, maka dapat dinyatakan bahwa hak menguasai tanah dari negara ini semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.17 Lebih lanjut, hak menguasai dari Negara sebagai yang

dikemukakan di atas diatur dalam Pasal 2 UUPA, yang bunyinya sebagai berikut : 1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat;Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta,1991, hlm.238 16 Ibid. hlm. 241. 17 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah oleh Negara : Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, Citra Media, Jakarta, 2007, hlm. 4715

12 2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; 4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, yang

menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara, maka mengandung makna bahwa Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat yang bertindak selaku penguasa. Oleh karena itu, kata dikuasai dalam Pasal 2 ayat (1) diartikan sebagai kewenangan Negara sebagai organisasi kekuasaan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas istilah dikuasai oleh Negara tidak berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah kepunyaan Negara. Hal ini hanya memiliki arti, bahwa Negara bila perlu dengan jalan peraturan-peraturan bisa mengatur tentang penggunaan tanah. Jadi, dengan ini dapat dikemukakan bahwa negara tidak mempunyai hak privat atas tanah, tetapi hanya mempunyai hak publik semata.

13 b. Hak-hak Atas Tanah Dalam UUPA Dalam rangka menjamin kesejahteraan bangsa Indonesia dibidang pertanahan, maka pada tanggal 24 September 1960 diundangkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2403, yang lebih dikenal dengan nama UUPA. UUPA merupakan ketentuan yang sampai dengan saat ini menjadi sumber dan acuan dari Hukum Pertanahan yang sedang berlaku di Indonesia. Sebelum berlakunya UUPA, berlaku hukum tanah yang bersifat dualistik, yaitu yang bersumber pada hukum adat yang berkonsepsi komunalistik religius dan bersumber pada hukum perdata barat yang bersifat individualistik-liberal. Setelah berlakunya UUPA, kepastian hukum dalam bidang Hukum Tanah di Indonesia yang merupakan tujuan dari UUPA menjadi terwujud yaitu dengan bersumber pada UUPA. Tujuan dari UUPA tersebut nampak dalam bagian kedua UUPA mengenai Ketentuan-ketentuan Konversi yang mengatur bahwa tanah-tanah sebelum berlakunya UUPA yaitu tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat dikonversi menjadi tanah yang tunduk pada Hukum Tanah Nasional yaitu UUPA. UUPA berlandaskan hukum adat, oleh karena itu asas-asas dalam hukum adat yang berkaitan dengan tanah tetap diberlakukan dalam UUPA. Salah satu asas tersebut adalah adanya asas pemisahan horizontal dimana

14 antara tanah dan benda-benda yang berada di atasnya terpisah. UUPA hanya mengatur mengenai ketentuan mengenai tanah dan tidak mengatur mengenai ketentuan benda-benda yang berada di atas tanah tersebut. UUPA mencabut setiap ketentuan mengenai segala bentuk hak kebendaan sebagaimana diatur dalam buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sehingga hak-hak kebendaan yang dicabut tersebut menjadi objek dari UUPA. Pasal 4 UUPA menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu antara lain: 1) Hak Milik Pengaturan mengenai tanah sebagai objek Hak Milik sebelum berlakunya UUPA diatur dalam Buku II KUHPerdata. Dalam Pasal 570 KUHPerdata disebutkan bahwa: Hak Milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi

15 kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam Pasal 570 KUHPerdata tersebut, menjelaskan bahwa Hak Milik merupakan hak yang paling utama dibandingkan hak kebendaan lainnya, dalam arti dapat dialihkan, dibebani, disewakan, dipetik hasilnya, di rusak, dipelihara.18 Hak Milik merupakan droit inviolable et sacre yaitu hak yang tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi sifat kebendaan dari hak milik demikian, dalam perkembangannya tidak dapat dipertahankan lagi karena ada pembatasan, misalnya pembatasan oleh Hukum Tata Usaha Negara. Hak milik tidak boleh menimbulkan gangguan bagi orang lain, tidak boleh melakukan penyalahgunaan hak dan pelanggaran terhadap hal-hal tersebut dapat dikenakan sanksi.19 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setelah berlakunya UUPA maka Buku II KUHPerdata yaitu sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dicabut, sehingga ketentuan yang berlaku adalah sebagaimana yang diatur dalam UUPA.

Ditegaskan dalam Pasal 20 UUPA bahwa:

18 19

Sri Soedewi Masjoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.42. Ibid., hlm. 43.

16 a) Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh

yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. b) lain. Hak milik merupakan hak atas tanah yang paling kuat dan sempurna, dan dapat dijadikan hak induk. Maksudnya hak milik dapat dijadikan alas hak dari hak atas tanah yang lainnya, misalnya Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. 2) Hak Guna Usaha Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha, dalam UUPA diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34. Selain dalam UUPA, mengenai Hak Guna Usaha ini diatur dalam peraturan lainnya, salah satunya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yaitu dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Hak Guna Usaha ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, selain itu juga dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. 3) Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanHak Milik ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

17 bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Peralihan tersebut dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan tindakan peralihan yang lainnya. Pasal 37 UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat terjadi di atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yaitu dengan suatu penetapan pemerintah ataupun di atas tanah Hak Milik yaitu dengan dibuatkan suatu perjanjian otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan tersebut. Namun selain di atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan tanah Hak Milik, Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan juga dapat terjadi di atas tanah Hak Pengelolaan yaitu diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. 4) Hak Pakai Hak Pakai sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau

18 dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang ini. Berdasarkan pengertian di atas, maka Hak Pakai dapat terjadi karena Pemberian dari Pemerintah, ataupun karena suatu perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang mendapat hak pakai tersebut. Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik. Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa jangka waktu hak pakai adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya berakhir, pemegang Hak Pakai dapat meminta pembaharuan Hak Pakai di atas tanah yang sama. 5) Hak Sewa Disebutkan dalam Pasal 44 UUPA bahwa seseorang atau badan hukum mempunyai Hak Sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Dalam UUPA mengenai Hak Sewa diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 45, namun baik dalam UUPA maupun peraturan lainnya tidak diatur secara rinci. Dalam praktek Hak Sewa ini berpedoman pada ketentuan dalam KUHPerdata.

19 6) Hak Membuka Tanah, Memungut Hasil Hutan Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, dalam UUPA diatur dalam Pasal 46. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan

mempergunakan Hak Memungut Hasil Hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh Hak Milik atas tanah itu. 7) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53. Hak-hak tersebut antara lain adalah Hak Gadai, Hak Usaha-bagi-hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA dan hak-hak tersebut diusahakan hapus di dalam waktu yang singkat. Selain dari Hak-hak atas tanah yang disebutkan di atas, terdapat hak atas tanah yang lain yang ada dan berlaku, namun tidak diatur dalam UUPA yaitu Hak Pengelolaan. 3. Fungsi Sosial Hak Atas tanah. Pasal 6 UUPA berbunyi Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Pengertian fungsi sosial tidak tercantum dengan tegas dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3), namun penafsiran fungsi

20

4. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Apalagi dikaitkan dengan karakteristik Indonesia sebagai negara agraris maka tanah memegang peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dalam kehidupan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Di suatu negara agraris, di mana mata pencaharian mayoritas masyarakatnya berasal dari pertanian, maka berlaku prinsip bahwa tanah itu oleh negara dibagikan kepada sebanyak mungkin penduduk (dengan hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan sebagainya) sehingga pemilikan atau penguasaan tanah bagi orang perorangan adalah terbatas. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang, dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Istilah pengadaan tanah sebenarnya merupakan perubahan dari istilah pencabutan hak atas tanah dan pembebasan tanah sebagaimana digunakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Istilah pengadaan tanah ini digunakan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005.

21 Pada awalnya kewenangan untuk melakukan pencabutan hak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 diberikan kepada Presiden RI dengan membuat suatu Keputusan Presiden20.

Kenyataannya, masalah yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk berbagai keperluan terutama penyelenggaraan kegiatan pembangunan

bukanlah pekerjaan yang sedikit. Untuk mengurangi beban Presiden, maka dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 masalah pelepasan hak atas tanah didelegasikan kepada Pemerintah Daerah, terutama kepada Bupati/Walikota dengan suatu perangkapan Panitia Pengadaan Tanah21. Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, istilah pembebasan tanah tidak lagi dipergunakan tetapi yang dipakai adalah pengadaan tanah dan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang menunjuk pada perbuatan hukum yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah22. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (3) Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dikemukakan pengertian pengadaan tanah yaitu setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Ketentuan tentang pengadaan tanah dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum23. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umumA.P. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah : Suatu studi Perbandingan, Bandung, Mandar Maju, 1993, hlm. 54 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Perpres No. 36 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (1)20

22 oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dilaksanakan dengan beberapa cara24, antara lain : 1) Jual-beli; 2) Tukar-menukar; 3) Cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah25. Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 3 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ini adalah bahwa dalam pengadaan tanah dilakukan melalui musyawarah dan dengan memberikan ganti rugi yang layak. Dengan demikian, jelaslah bahwa maksud utama dari pengaturan tentang pengadaan tanah ditujukan untuk menunjang pembangunan yang berorientasi pada kepentingan umum. Kepentingan umum itu boleh bersifat sosial, umum, biasa atau kolektif, dan kepentingan umum itu bisa berwujud keperluan, kepentingan, interest, fungsi, dan kegunaannya26. Dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-pedoman Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya, dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut27 :24 25 26 27

Ibid, Pasal 2 ayat (3) Ibid, Pasal 3 Parlindungan, op.cit., hlm. 13 Ibid, hlm. 14

23 1) 2) 3) 4) Kepentingan bangsa dan negara; dan/atau Kepentingan masyarakat luas; dan/atau Kepentingan rakyat banyak/bersama; dan/atau Kepentingan pembangunan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yang dimaksud dengan pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut28 : a) Jalan umum, jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah di ruang atas tanah, ataupundi ruang bawah tanah), saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b) Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c) Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d) Pelabuhan atau bandar udara, stasion kereta api dan terminal; e) Peribadatan; f) Pendidikan atau sekolahan; g) Pasar Umum h) Fasilitas pemakaman umum; i) Fasilitas keselamatan umum, j) Pos dan telekomunikasi k) Sarana olah raga; l) Stasion penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; m) Kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan Negara asing, perwakilan bangsa-bangsa, dan atau lembaga internasional dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa; n) Fasilitas Tantara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o) Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; p) Rumah susun sederhana; q) Tempat pembuangan sampah; r) Cagar alam dan cagar budaya s) Pertamanan t) Panti sosial u) Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur. Panitia ini dibentuk di setiap Kabupaten atau Kota. Sedangkan pengadaan tanah yang berkenaan28

Perpres No. 36 Tahun 2005, Pasal 5

24 dengan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kota atau lebih dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat Propinsi yang diketuai atau dibentuk oleh Gubernur yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Pasal 7 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 diuraikan mengenai tugas Panitia Pengadaan Tanah, yang meliputi29 : a) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan; b) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya; c) Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan; d) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut; e) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian; f) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah; g) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Dengan demikian, dalam prosesnya, pengadaan tanah harus didahului oleh suatu musyawarah, dalam arti suatu proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang berdasarkan atas kesukarelaan antara pihak-pihak, dan untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.30 Musyawarah di sini bukan berarti briefing, pengarahan, instruksi maupun pernyataan sepihak29 30

Ibid, Pasal 8 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 75

25 dari pihak yang akan membebaskan tanah tersebut tetapi dalam musyawarah itu, semua pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah, seperti pihak pembebas, pihak penjual, dan aparat Pemerintah setempat duduk bersama untuk mencapai kesepakatan terutama mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Dengan demikian, tersirat adanya kesetaraan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah sekaligus juga memberikan suatu jaminan adanya keadilan dalam penentuan ganti kerugian atas tanah yang dibebaskan. Ganti rugi adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah tersebut31. Bentuk ganti rugi tersebut, seperti diatur dalam Pasal 13 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, atau gabungan dari dua atau lebih untuk ganti rugi seperti tersebut dahulu dan bentuk-bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak, misalnya dalam bentuk transmigrasi. Khusus terhadap tanah hak ulayat, sebagai penghargaan dari hak-hak komunal masyarakat adat maka tentunya tidak mungkin berupa sejumlah uang, tetapi suatu recognisi yang dalam Pasal 14 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ditekankan berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat, misalnya bangunan sekolah, rumah ibadat, ruangan pertemuan ataupun jalan32.

31 32

Parlindungan, op.cit., hlm.55 Ibid, hlm. 55 56

26 F. Metode Penelitian Secara prinsipil penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif (normative law research). Penentuan terhadap jenis penelitian dikarenakan penelitian ini akan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma dan kaidah yang berlaku sebagai hukum positif, termasuk asas-asas atau doktrin hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum, yang berhubungan dengan fungsi sosial terhadap pemanfaatan semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, selain metode yuridis normatif, juga akan dilakukan pendekatan yuridis empiris, sejarah hukum, sinkronisasi hukum, dan pendekatan futuristik hukum. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dalam rangka membantu kelengkapan pengumpulan data empiris. Namun demikian data empiris yang dikumpulkan tersebut hanya merupakan data penunjang untuk melengkapi data sekunder yang telah dijadikan sebagai data utama. Pendekatan sejarah hukum diterapkan untuk mengadakan indentifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum atau perkembangan perundangundangan, berkaitan dengan pengaturan pemanfaatan semua hak atas tanah di Indonesia. Pendekatan sinkronisasi hukum diterapkan untuk menentukan kesesuaian aturan peraturan perundang-undangan baik secara eksternal maupun secara internal yang mengatur tentang fungsi sosial terhadap pemanfaatan semua hak atas tanah. Sedangkan pendekatan futuristik hukum dipergunakan dalam rangka menemukan model yang tepat untuk pemanfaatan fungsi sosial terhadap

27 semua hak atas yang dapat memenuhi nilai kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum terhadap terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat. Sumber data utama dari penelitian ini adalah data sekunder, yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder, terdiri dari berbagai macam sumber hukum yang dapat diklasifikasikan atas:33 a. Bahan hukum primer (primary sources or authorities), berupa UUD 1945, Peraturan perundang-undangan tentang agraria, pemerintahan daerah, lingkungan hidup dan yurisprudensi yang terkait dengan persoalan fungsi sosial semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat.34 b. Bahan hukum sekunder (secondary sources or authority), yakni bahan yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti. literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikelartikel berkaitan dengan pengaturan dan pelaksanaan fungsi sosial semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri; c. Bahan hukum tertier (tertiary sources or authority), yakni bahan yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder seperti berasal dari kamus, ensiklopedia, risalah sidangSoerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Kedua, Rajawali, Jakarta, 1986, hlrn.15. 34 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hlrn.19 yang menyatakan perUndang-Undangan dan yurisprudensi menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum.33

28 dan referensi lain yang terkait dengan masalah fungsi sosial semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat. Untuk memberikan bobot tertentu terhadap pengkajian atas bahan hukum primer dan sekunder tersebut maka sebagai penunjang dilakukan juga dilakukan pengumpulan data primer yang dilakukan melalui metode wawancara dengan berbagai jalur informasi yaitu dari para ahli, para petugas di bidang pertanahan, aparat pemerintah daerah, maupun masyarakat itu sendiri yang pernah memiliki ketersinggungan dengan persoalan fungsi sosial semua hak atas tanah yang dapat menjamin terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat. Data yang telah diperoleh melalui penelitian selanjutnya dideskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, data yang telah terpilah-pilah tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif35 yaitu suatu proses memilih, mengelompokkan, membandingkan, mensintesakan dan menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti. Tehnik ini diterapkan untuk mendapatkan hasil yang seobyektif mungkin berkenaan dengan

pembahasan terhadap pokok permasalahan dalam penelitian ini. Penyajian modelmodel deskripsi factual terhadap masalah yang diteliti direncanakan untuk dilakukan sebagai alat bantu analisis hukum.

G. Sistematika PenulisanM. Daud Silalahi, Metodelogi Penelian Hukum, Lawencon Copy & Binding Centre, Bandung, 2001, hlm.2135

29 Penulisan disertasi ini disusun dengan sistimatika sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN Pada bab ini berisikan uraian tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan BAB II. KERANGKA TEORITIK TENTANG PRINSIP KONSTITUSIONAL, HAK MENGUASAI DARI NEGARA, DAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Pada bab ini akan diuraikan tentang teori-teori yang menjadi landasan teoritik dalam disertasi ini, yaitu meliputi uraian terhadap Prinsip Konstitusionalitas, Hak Menguasai dari Negara, dan uraian terhadap Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum.

BAB III. PENGATURAN HAK MENGUASAI DARI NEGARA, FUNGSI SOSIAL, DAN HAK-HAK ATAS TANAH Pada bab ini akan diuraikan tentang pengaturan tentang Hak Menguasai dari Negara, pengaturan Fungsi Sosial, dan pengaturan tentang Hak-hak atas Tanah menurut Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. BAB IV. KONSEKUENSI HUKUM KETENTUAN PASAL 33 AYAT (3) UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TERHADAP PENGATURAN PERUNTUKAN TANAH DAN FUNGSI SOSIAL ATAS PEMANFAATAN SEMUA HAK ATAS TANAH Pada bab ini akan diuraikan tentang konsekuensi hukum yang timbul dengan adanya ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

30 1945 terhadap pengaturan peruntukan tanah, dan juga akan menguraikan kesesuaian antara fungsi sosial atas pemanfaatan hak atas tanah terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. BAB V. MODEL PEMANFAATAN FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH YANG MEMENUHI NILAI KEMANFAATAN, KEADILAN, DAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TERPELIHARANYA LINGKUNGAN HIDUP BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT Pada bab ini akan diuraikan tentang kriteria tentang kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum terhadap terpeliharanya lingkungan hidup bagi kesejahteraan rakyat. Kemudian juga akan diuraikan tentang model yang dijadikan rekomendasi dari peneliti berkaitan dengan pemanfaatan fungsi sosial semua hak atas tanah tersebut.

BAB VI. PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dalam disertasi ini, yaitu berisikan kesimpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan umum : Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju. Bandung. 1993

31

________, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah : Suatu studi Perbandingan, Bandung, Mandar Maju, 1993 Ateng Syafrudin. Butir-butir Kuliah Pengantar Pemerintahan Daerah, Bandung, 2002 Bagir Manan, Beberapa Catatan atas Rancangan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, Makalah Diskusi Panel RUU Minyak dan Gas Bumi, Kajian Sosio Budaya, Ekonomi, Lingkungan dan Hukum Pertambangan dan Gas Bumi di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi, Fakultas Hukum UNPAD, Maret 1999 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1991 Herawan S, Politik Hukum Agraria : Kajian atas Landreform daalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006 Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, 2004 Indroharto, Beberapa Pasal dari Undang-Undang Peradilan Tata Usaha NegaraPejabat Sebagai Calon Tergugat Dalam Peradilan TUN, Buku kesatu, CV. Sri Rahayu, Jakarta, 1989 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1978 Kalimantan Review. KOMNAS HAM : Hentikan Aktivitas PT Ledo Lestari. www.kalimantanreview.com Komnas HAM. Kesimpulan dan Rekomendasi Komnas HAM atas Laporan Tim Pemantauan Peristiwa Alas Tlogo. Komnas HAM, Jakarta, 2008 Kusumadi Pudjosewojo dalam Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukumtatanegara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983 M. Daud Silalahi, Metodelogi Penelian Hukum, Lawencon Copy & Binding Centre, Bandung, 2001 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah oleh Negara : Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, Citra Media, Jakarta, 2007

32 Pertampilan S. Brahmana. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia : Pelaksanaan antara Hak dan Kewajiban tidak Seiring Sejalan. Website of Koalisi NGO HAM Aceh. 2010. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Kedua, Rajawali, Jakarta, 1986 Sri Soedewi Masjoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Y. Wartaya Winangun, SJ, Tanah Sumber Nilai Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2004 Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-pedoman Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuanketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah .