road map pengembangan pupuk -...

45
VI -167 ROAD MAP PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA Oleh. Wayan Rusastra, Saptana dan Adimesra Djulin RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Salah satu masalah utama dalam pembangunan pertanian adalah terus berlangsungnya proses degradasi lahan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penterapan usahatani konservasi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan-bahan organik. 2. Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah tropis berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah sub tropis, sehingga kandungan bahan organik umumnya rendah. Kandungan C-organik tanah sawah Indonesia umumnya <0,5%, kandungan yang di anggap baik adalah >1 %, serta ideal > 2,5-4 %. Bahan atau pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produktivitas pertanian, mengkonservasi hara, mengurangi pencemaran lingkungan, serta meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. 3. Pengembangan baik pada aspek produksi, distribusi, serta pemanfaatan pupuk organik baik berupa kompos, pupuk kandang atau bentuk lainnya perlu didukung dan dipromosikan lebih intensif ke arah keberimbangan penggunaan pupuk anorganik dan organik. Diperlukan kebijakan pendukung untuk pengembangan pupuk organik. Perlu dirumuskan strategi pengembangan atau Road Map Pupuk Organik baik dari aspek produksi, distribusi dan pemanfaatan pupuk organik. 4. Tujuan analisis kebijakan pengembangan pupuk organik, adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis status dan dampak penggunaan pupuk terhadap produksi pertanian dan kualitas lahan pertanian; (2) Menganalisis kinerja dan dampak penggunaan pupuk organik terhadap produksi, dan pendapatan petani, dan kualitas lahan pertanian; (3) Menganalisis kinerja dan kendala pengembangan produksi dan pemanfaatan pupuk organik untuk usaha pertanian; dan (4) Merumuskan model pengembangan pupuk organik dalam rangka peningkatan produksi pertanian.

Upload: trinhtuyen

Post on 18-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-167

ROAD MAP PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN

DI INDONESIA

Oleh.

Wayan Rusastra, Saptana dan Adimesra Djulin

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1. Salah satu masalah utama dalam pembangunan pertanian adalah terus berlangsungnya proses degradasi lahan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penterapan usahatani konservasi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan-bahan organik.

2. Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah tropis

berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah sub tropis, sehingga kandungan bahan organik umumnya rendah. Kandungan C-organik tanah sawah Indonesia umumnya <0,5%, kandungan yang di anggap baik adalah >1 %, serta ideal > 2,5-4 %. Bahan atau pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produktivitas pertanian, mengkonservasi hara, mengurangi pencemaran lingkungan, serta meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.

3. Pengembangan baik pada aspek produksi, distribusi, serta pemanfaatan

pupuk organik baik berupa kompos, pupuk kandang atau bentuk lainnya perlu didukung dan dipromosikan lebih intensif ke arah keberimbangan penggunaan pupuk anorganik dan organik. Diperlukan kebijakan pendukung untuk pengembangan pupuk organik. Perlu dirumuskan strategi pengembangan atau Road Map Pupuk Organik baik dari aspek produksi, distribusi dan pemanfaatan pupuk organik.

4. Tujuan analisis kebijakan pengembangan pupuk organik, adalah sebagai

berikut: (1) Menganalisis status dan dampak penggunaan pupuk terhadap produksi pertanian dan kualitas lahan pertanian; (2) Menganalisis kinerja dan dampak penggunaan pupuk organik terhadap produksi, dan pendapatan petani, dan kualitas lahan pertanian; (3) Menganalisis kinerja dan kendala pengembangan produksi dan pemanfaatan pupuk organik untuk usaha pertanian; dan (4) Merumuskan model pengembangan pupuk organik dalam rangka peningkatan produksi pertanian.

Page 2: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-168

Dampak Penggunaan Pupuk Terhadap Produktivitas Pertanian dan Kualitas Lahan

5. Program intensifikasi pertanian khususnya pada komoditas padi (1970-an) telah mendorong penggunaan pupuk anorganik secara meluas dan pada daerah tertentu menunjukkan gejala pemupukan berlebih. Total konsumsi pupuk anorganik nasional meningkat dari 0,63 juta ton (1975) menjadi 5,69 juta ton (2003). Peningkatan terutama terjadi pada jenis pupuk Urea, sedangkan pada jenis pupuk anorganik lainnya (TSP/SP36, KCl dan AS/ZA) cenderung fluktuatif.

6. Komoditas padi yang mengkonsumsi pupuk anorganik terbanyak, mengalami perkembangan produktivitas yang relatif lambat, yang mengindikasikan bahwa peningkatan konsumsi pupuk sudah tidak memberikan peningkatan produktivitas padi yang seimbang (disefisiensi). Pada komoditas palawija penambahan pupuk an-organik masih meningkatkan produktivitas, sementara itu pada komoditas hortikultura (high value comodity) keberhasilannya sangat tergantung keberimbangan penggunaan pupuk anorganik dan organik.

7. Pengembalian jerami ke tanah lahan sawah dapat memperlambat pemiskinan

K dan Si tanah. Hasil penelitian Puslitanak mengungkapkan bahwa dengan membenamkan jerami 5 ton/ha/musim selama 4 musim pada tanah kahat K menunjukkan bahwa disamping dapat mensubstitusi keperluan pupuk K, jerami dapat meningkatkan produksi melalui perbaikan sifat fisk dan kimia tanah. Jerami dapat meningkatkan kadar C-organik, K-dapat ditukar, Mg-dapat ditukar, KTK tanah, Si tersedia dan stabilitas agregat tanah. Apabila dihitung dalam hektar, sumbangan hara dari jerami setara dengan 170 kg K, 160 kg Mg, 200 kg Si dan 1,7 ton C-organik/ha yang sangat diperlukan bagi aktivitas jasad renik tanah.

8. Dalam rangka penggunaan pupuk organik di lahan kering diperlukan

teknologi pengelolaan bahan organik tanah. Penyediaan bahan organik pada lahan kering dapat bersumber dari sisa tanaman, tanaman penutup tanah, pagar hidup dan tanaman pelindung, alley croping, dan strip cropping dan pupuk hijau yang berperan juga sebagai sumber pupuk organik. Penggunaan pupuk organik pada lahan kering dapat mempertahankan kesuburan tanah dan menahan laju erosi tanah.

Dampak Penggunaan Pupuk Organik Terhadap Kinerja Usahatani 9. Hasil-hasil penelitian pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (Crops

Livestock System, CLS) dengan pemanfaatan kotoran ternak telah menunjukkan dampak positif. Pengembangan CLS di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik 25-35 % dan meningkatkan produktivitas padi 20-29 %, di NTB mampu meningkatkan pendapatan sekitar 8,4 %, dan di Bali terjadi penghematan biaya untuk pupuk sebesar 25,2 % dan meningkatkan pendapatan sebesar 41,4 %. Keunggulan CLS terlihat juga dari efisiensi penggunaan input atau biaya produksi yang ditunjukkan oleh nilai B/C Ratio yang lebih besar pada semua lokasi pengembangan.

10. Mengacu hasil penelitian pengembangan CLS diperkirakan dapat

menghemat penggunaan pupuk Urea, SP-36 dan KCl berturut-turut 83 kg, 34

Page 3: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-169

kg dan 36 kg per hektar. Sehingga secara nasional dengan luas tanam padi 11,4 juta hektar diperkirakan potensi penghematan penggunaan Urea 950 ribu ton, SP-36 285 ribu ton dan KCl 411 ribu ton. Total subsidi dan devisa potensial yang bisa dihemat diperkirakan mencapai Rp 1,56 triliun.

Potensi Pengembangan dan Teknologi Produksi 11. Bahan dasar pupuk organik non komersial dapat berasal dari berbagai

sumber limbah pertanian insitu seperti sisa tanaman, sisa panen, pangkasan tanaman pagar, budidaya alley cropping, sisa media tanam jamur, pupuk hijau seperti orok-orok, turi, sesbania, azolla, serta kotoran hewan. Bahan-bahan tersebut dapat dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan penambahan mikroba perombak bahan organik serta pengkayaan dengan hara lain.

12. Potensi jerami segar yang tersedia di lapang adalah sebesar 52,4 juta ton.

Apabila diasumsikan semua jerami segar yang ada dapat dipakai untuk memupuk lahan sawah, maka lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha seluas 10,4 juta hektar, sedangkan apabila menggunakan jerami yang dikomposkan maka lahan sawah yang dapat dipupuk seluas 15,7 juta hektar. Potensi bahan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak unggas, sapi, kuda, kerbau, kambing dan domba sebanyak 64,8 juta ton. Bila lahan pertanian memerlukan pupuk kndang 5-10 ton/ha, maka kotoran ternak tersebut dapat digunakan untuk memupuk 6,2-12,4 juta ton.

13. Terdapat beberapa teknik pengomposan yaitu pengomposan dengan

teknologi sederhana, teknologi sedang, dan teknologi tinggi. Teknik pengomposan dengan window composting tergolong dalam teknologi sederhana, teknik ini memerlukan waktu 3-6 bulan. Pada pengomposan teknologi sedang terdapat dua sistem yaitu aerated static pile di mana gundukan kompos di aerasi secara statis. Teknik yang kedua adalah dengan aerated compos bins. Lama pengomposan kurang lebih 2 - 5 minggu dan kompos matang diperoleh setelah 2 bulan. Sistem pengomposan dengan teknologi tinggi dilakukan dengan menggunakan peralatan yang dirancang secara khusus untuk mempercepat proses pengomposan. Melalui teknik ini pengomposan dapat dipercepat lagi dan dapat diproduksi dalam skala pabrikan.

Kelayakan Teknis dan Ekonomi 14. Proses produksi pupuk organik bokashi adalah sebagai berikut : (1) Bahan

material dicacah dengan chopper lalu dicampur dengan pupuk kandang dan bahan lainnya secara merata; (2) Bahan campuran tersebut kemudian disiram lagi dengan cairan aktivator yaitu bakteri fermentasi dengan perbandingan tertentu, difermentasi selama 2 - 3 minggu; (3) Selanjutnya bahan yang telah terfermentasi tersebut diayak dan dikemas dalam karung dan siap digunakan sebagai pupuk organik; (4) Pupuk yang dihasilkan dengan proses di atas terfermentasi dengan sempurna bila kandungan C/N ratio <15 dan hal ini sesuai dengan persyaratan mutu pupuk untuk pertanian organik. Berdasarkan proses dan kebutuhan bahan tersebut maka biaya produksi untuk menghasilkan produksi yang memenuhi kebutuhan model

Page 4: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-170

corporate farming berkisar antara Rp 39,6 juta – Rp 57,9 juta per bulan. Komponen biaya yang paling tinggi ialah biaya pengadaan bahan bahan yang mencapai sekitar 75 - 85 persen.

15. Berdasarkan volume produksi dan harga penjualan rata-rata sebesar Rp 750

per kg, penerimaan dari penjualan pada bulan pertama produksi komersial adalah Rp 547,50 juta. Pada bulan-bulan berikutnya mengalami peningkatan sejalan dengan kenaikan volume produksi yaitu berkisar antara Rp 600,00 - 900,00 juta per bulan. Dengan cash flow seperti tersebut maka diperkirakan dalam waktu 2 tahun pengusahaan pupuk organik akan kembali modal.

Pengembangan Produksi dan Distribusi Pupuk Organik 16. Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang di hadapi dalam

pembangunan pertanian di Indonesia maka pengelolaan hara terpadu (Integrated Plant Nutrient Management) yang bersifat ramah lingkungan dipandang paling tepat. Pengembangan pupuk organik ke depan haruslah bersifat spesifik agroekosistem dan komoditas utama yang dikembangkan, serta skala pengembangannya.

17. Sistem pengembangan pupuk organik dibedakan sesuai dengan sasaran

penggunaannya, yaitu: (1) non komersial, dan (2) komersial. Pengadaan pupuk non komersial dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat petani melalui kelembagaan kelompok tani untuk memproduksi pupuk organik sendiri. Target pengguna yang dituju adalah petani lahan kering dan lahan sawah dengan memanfaatkan bahan organik insitu seperti sisa tanaman, sisa panenan, dan kotoran ternak. Sebaliknya pengadaan pupuk organik skala komersial baik untuk usaha menengah maupun besar ditujukan untuk pengguna yang mengusahakan komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti sayuran, bunga-bungaan, buah-buahan, dan tanaman perkebunan. Bahan dasar pupuk yang digunakan dapat berasal antara lain dari kotoran hewan, limbah industri, dan sampah organik pasar yang diproduksi secara pabrikasi.

18. Pengembangan produksi pupuk organik di suatu daerah memerlukan

berbagai persyaratan baik fisik maupun non fisik. Persyaratan fisik seperti ketersediaan bahan baku pupuk organik serta tingkat teknologi yang telah dikuasai. Sedangkan yang bersifat non fisik dapat mencakup: (1) Pelaku swasta atau produsen pupuk organik, serta kelompok tani dan petani secara individu; (2) Lembaga sertifikasi dan standarisasi produk pupuk organik; (3) Sistem distribusi pupuk organik; dan (4) Kebijakan pendukung dari pemerintah.

19. Hingga kini belum ada pengaturan sistem distribusi pupuk organik, dengan

demikian sistem distribusi pupuk organik mengikuti mekanisme pasar bebas. Kebijakan sistem distribusi pupuk organik yang di produksi secara pabrikan yang juga dilakukan oleh industri pupuk an-organik skala komersial dapat dipadukan dengan kebijakan distribusi pupuk an-organik dengan tujuan utama mendorong penggunaan pupuk berimbang antara pupuk organik dan pupuk an-organik secara masal dengan harga yang terjangkau.

Page 5: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-171

Kebijakan Pendukung 20. Kebijakan pendukung dapat difokuskan pada kebijakan penelitian dan

pengembangan pupuk organik yang bersifat spesifik lokasi (karakteristik sumberdaya lahan: lahan kering dan lahan sawah), spesifik komoditas (padi, palawija, hortikultura, dan perkebunan), serta skala ekonomi pengusahaannya (skala kecil, menengah, dan besar). Pengembangan pupuk organik skala komersial dengan managemen mutu dan standar kualitas yang terjamin akan mendorong penggunaan pupuk organik secara masal dengan tingkat harga yang terjangkau. Pupuk organik komersial umumnya diproduksi oleh industri pupuk anorganik, sehingga perlu dirumuskan format subsidi untuk mendorong produksi dan pemanfaatan pupuk organik.

21. Kebijakan standardisasi atas pupuk organik sangat diperlukan demi

menghindarkan petani dari penipuan atas pupuk berlabel organik. Terdapat 53 perusahaan yang memproduksi pupuk organik dengan merek dagang. Sejak tahun 2003, Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian bersama Tim Teknis dari Badan Litbang Pertanian dan Perguruan Tinggi, Kementerian Lingkungan Hidup, Depperindag, serta Asosiasi Pengusaha Pupuk dan Pengguna telah mulai menyusun peraturan tentang persyaratan minimal mutu pupuk organik dan pembenah tanah di Indonesia yang akan dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen). Draft Kepmen tersebut sedang dalam proses pembahasan intensif di bawah koordinasi Direktorat Sarana Produksi Ditjen Tanaman Pangan, Deptan.

22. Di samping itu diperlukan kebijakan subsidi pupuk organik dengan prinsip

dasar kebijakan pemberian subsidi pupuk organik, antara lain adalah: (1) terpenuhinya azas enam tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu; (2) Karena subsidi tersebut ditujukan untuk petani, maka seharusnya subsidi tersebut betul-betul dapat diterima oleh petani; (3) Kebijakan pemberian subsidi pupuk tersebut tidak merugikan pabrikan pupuk organik, sehingga bagi pabrikan pupuk dapat menerima keuntungan yang wajar; dan (4) Supaya kebijakan pemberian subsidi pupuk organik yang ditetapkan pemerintah dapat diamankan di tingkat pengecer atau petani, maka harus didukung oleh pola produksi dan distribusi yang efektif dan efisien.

23. Berdasarkan prinsip dasar pemberian pupuk organik bersubsidi dan

kenyataan bahwa harga pupuk organik (kandungan hara) relatif mahal, maka terdapat beberapa skenario pemberian subsidi pupuk organik, antara lain adalah: (1) Memberikan secara gratis benih tanaman yang berfungsi sebagai pupuk hijau; (2) Karena pupuk organik bersifat volumnous maka subsidi dapat diberikan dalam bentuk subsidi biaya angkut; dan (3) Subsidi pupuk organik diberikan secara langsung dengan penetapan HET, indikasi keberhasilan apabila pengecer menjual dan petani membayar harga pupuk tersebut sebesar HET; serta (4) Pemberian subsidi langsung dengan sistem kupon, bagi petani yang berhak menerima subsidi diberikan kupon atau kartu penebusan dengan harga pupuk organik bersubsidi.

Page 6: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-172

Peta dan Arah Pengembangan Pupuk Organik

24. Justifikasi, urgensi, dan pertimbangan yang perlu diperhitungkan dalam penterapan sistem insentif dan pemberian subsidi pengembangan pupuk organik adalah sebagai berikut: (1) Pemanfaatan pupuk organik dinilai mendesak mengingat semakin menurunnya nilai marginal produktivitas pemanfaatan pupuk kimia; (2) Pemanfaatan pupuk organik secara berimbang dengan pupuk kimia diyakini mampu meningkatkan efisiensi pemupukan, produktivitas, pendapatan, dan keberlanjutan usahatani; (3) Pemberian subsidi pupuk organik komersial perlu mempertimbangkan struktur industri, tanpa mengganggu kinerja produksi dan usaha pupuk organik skala kecil dan menengah; (4) Mengingat pupuk organik komersial diproduksi oleh produsen pupuk kimia skala besar, maka perlu dipertimbankan subsidi silang untuk mendorong percepatan pemanfaatan pupuk organik; (5) Pengembangan pupuk organik baru pada tingkat inisiasi, sehingga pengembangannya perlu dilindungi dengan penetapan sertifikasi dan tarif impor yang tepat dan rasional; (6) Pengembangan pupuk organik non-komersial perlu mendapatkan dukungan insentif yang intensif mencakup pengembangan teknologi, penyuluhan, pendampingan, dan lain-lain.

25. Peta dan arah (road map) pengembangan pupuk organik perlu mempertimbangkan beberapa aspek, sebagai berikut: (1) Pupuk organik sebagai komplemen pupuk anorganik secara berimbang; (2) Kelembagaan pemupukan berimbang dengan sistem konvensional (endogenous technology) dapat dijadikan pintu masuk (entry point) dalam memperkuat dan memperluas pemanfaatan pupuk organik; (3) Produksi, pengadaan, dan pemanfaatan pupuk organik non-komersial dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat petani; (4) Pengadaan pupuk organik skala komersial oleh usaha menengah dan besar diarahkan pemanfaatannya untuk pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi; (5) Pengembangan industri pupuk organik komersial secara masal dan meluas sebaiknya berada pada wilayah regional kabupaten; (6) Perlu dipertimbangkan eksistensi pupuk organik non-sertifikasi (dengan label warna berbeda), mengingat kondisi lapangan yang belum memungkinkan penterapan persyaratan sistem sertifikasi secara penuh; (7) Alternatif pemberian subsidi pupuk organik komersial yang dinilai moderat adalah pengalihan sebagian subsidi pupuk kimia kepada pupuk organik, tanpa harus menyediakan mata anggaran baru dalam pendanaannya.

Page 7: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-173

I. PENDAHULUAN

Secara umum masalah pertanahan di Indonesia sangat terkait dengan

implikasi dari faktor-faktor berikut (Latief, 1996; Nasution dan Winoto, 1996;

Sumaryanto, et. al., 1996; Sumaryanto, et. al., 2002): (1) Konfigurasi daratan dan

sebaran penduduk; (2) Pola investasi dan pengembangan wilayah; (3) Rata-rata

luas penguasaan tanah petani sangat kecil dan semakin mengecil; (4) Konversi

lahan pertanian produktif kurang terkendali; (5) Terus berlangsungnya proses

degradasi lahan pertanian, dan (6) Sistem administrasi pertanahan lemah dan

implementasi Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR 24/92) tidak terlaksana

secara konsisten.

Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah

menurunnya kesuburan fisik dan kimia tanah sebagai akibat dari penggunaan

tanah yang over intensive, tingginya penggunaan pupuk kimiawi, kurangnya

penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penterapan usahatani konservasi.

Degradasi lahan akibat penggunaan tanah terlalu intensif tercermin dari

kecenderungan terjadinya tanah “lapar pupuk”. Hasil kajian empiris di lapang

menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir untuk mempertahankan

produktivitas yang dicapai, petani harus mengaplikasikan dosis pemupukan yang

lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dan

menurunnya kesuburan fisik tanah akibat semakin habisnya bahan-bahan organik

yang terkandung dalam tanah akibat intensitas tanam yang tinggi dan terlalu

mengandalkan pupuk an-organik (N,P, dan K).

Karama (2000) mengemukakan bahwa perombakan bahan organik pada

lahan atau tanah di daerah tropis jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah

sub tropis. Kandungan bahan organik tanah di daerah tropis umumnya rendah.

Kandungan C-organik tanah sawah Indonesia umumnya <0,5%. Sedangkan

kandungan C-organik yang di anggap baik adalah >1 %. Tanah dianggap ideal

bila kandungan C-organiknya 2,5-4 %. Makin berat tekstur tanah, makin tinggi

kebutuhan bahan organik. Stagnasi dan ketidakstabilan beberapa produksi

komoditas pertanian sangat erat kaitannya dengan kondisi tersebut.

Sebagian besar lahan pertanian intensif telah mengalami degradasi dan

menyebabkan penurunan produktivitas lahan. Penyebabnya adalah sangat

rendahnya kandungan C organik dalam tanah, yaitu (<2%), dan sebagian besar

lahan sawah intensif di Jawa kandungannya <1%. Padahal untuk memperoleh

produktivitas optimal dibutuhkan C organik lebih dari 2,0%. Di lain pihak, Indonesia

Page 8: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-174

sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan dan pupuk organik

yang melimpah belum dimanfaatkan secara optimal. Bahan atau pupuk organik

sangat bermanfaat bagi peningkatan produktivitas pertanian, mengkonservasi

hara, mengurangi pencemaran lingkungan, serta meningkatkan kualitas lahan

secara berkelanjutan.

Sumber bahan untuk pupuk organik sangat bervariasi seperti dari limbah

pertanian dan non pertanian dengan karakteristik sifat fisik dan kandungan

kimia/hara yang sangat beragam sehingga kualitas pupuk organik yang dihasilkan

juga bervariasi mutunya. Oleh karena itu pengaruhnya terhadap produktivitas

tanah pada lahan kering dan lahan sawah juga bervariasi dan respon antar

tanaman (padi, palawija, hortikultura, dan perkebunan) juga berbeda-beda.

Pengembangan baik pada aspek produksi, distribusi, serta pemanfaatan

pupuk organik baik berupa kompos, pupuk kandang atau bentuk lainnya perlu

didukung dan dipromosikan lebih intensif baik dilihat dari sisi positif maupun

negatifnya. Sangat diperlukan regulasi dan peraturan mengenai persyaratan

pupuk organik agar memberi manfaat maksimal bagi petani, mengurangi dampak

negatif bagi kesehatan dan pencemaran lingkungan. Pengembangan dan

pemanfaatan pupuk organik memiliki nilai strategis. Pengusahaannya umumnya

dilakukan oleh usaha kecil dan mikro. Pada tahap inisiasi pengembangannya

dewasa ini, usaha ini perlu mendapatkan perlindungan dan sistem insentif yang

memadai dari pemerintah. Perlu dirumuskan strategi pengembangan atau Road

Map Pupuk Organik baik dari aspek produksi, distribusi dan pemanfaatan pupuk

organik.

Tujuan dari tulisan ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis status dan

dampak penggunaan pupuk terhadap produksi pertanian dan kualitas lahan

pertanian; (2) Menganalisis kinerja dan dampak penggunaan pupuk organik

terhadap produksi, dan pendapatan petani, dan kualitas lahan pertanian; (3)

Menganalisis kinerja dan kendala pengembangan produksi dan pemanfaatan

pupuk organik untuk usaha pertanian; dan (4) Merumuskan model pengembangan

pupuk organik dalam rangka peningkatan produksi pertanian.

Page 9: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-175

II. KONDISI PRODUKSI DAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK

2.1. Dinamika Penggunaan Pupuk dan Produktivitas Pertanian

Sejak diterapkannya program intensifikasi pertanian pada tahun

tujuhpuluhan terutama untuk komoditas padi, konsumsi pupuk anorganik

berkembang pesat. Berbagai program intensifikasi yang disertai dengan paket

kredit seperti Bimas, Insus, Opsus, Supra Insus dan dilepasnya varietas-varietas

unggul baru yang responsif terhadap pupuk mengharuskan petani menggunakan

pupuk anorganik. Program penyuluhan yang merupakan bagian dari paket

program intensifikasi sangat berperanan dalam mendorong petani atau mengubah

persepsi petani dalam penggunaan pupuk. Demikian juga kebijakan subsidi harga

pupuk dan kebijakan harga komoditas pertanian merupakan faktor dominan

lainnya yang ikut berperan dalam meningkatkan konsumsi pupuk anorganik.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa total konsumsi pupuk anorganik nasional

meningkat dari 0,63 juta ton pada tahun 1975 menjadi 5,69 juta ton pada tahun

2003. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan pupuk Urea yang

merupakan jenis terbanyak digunakan petani. Untuk pupuk anorganik lainnya,

yakni TSP/SP36, KCl dan AS/ZA selama kurun waktu 1975-2003 tersebut

fluktuatif dengan kecenderungan konsumsinya menurun.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Pupuk di Indonesia, 1975-2003 (juta ton)

Tahun Urea TSP/SP36 KCl AS/ZA Total

1975 1985 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

386 2.607 2.983 3.710 3.918 3.324 4.290 3.140 3.960 3.896 4.273 4.460

129 1.048 1.261 1.070

900 663 869 395 623 651 601 588

34 290 510 404 375 350 172 380 400 425 450 95

86 475 605 653 588 351 408 244 507 480 607 630

635 4.420 53.59 5.837 5.781 4.688 5.739 4.159 5.490 5.452 5.931 5.693

Sumber: Fertilizer Hand Book (2003).

Page 10: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-176

Komoditas padi yang mengkonsumsi pupuk anorganik terbanyak,

mengalami perkembangan produktivitas yang relatif lambat, yang mengindikasikan

bahwa peningkatan konsumsi pupuk sudah tidak memberikan peningkatan

produktivitas padi yang seimbang (disefisiensi). Para pakar sependapat bahwa

peningkatan produksi padi nasional lebih banyak ditentukan oleh peningkatan luas

panen ketimbang peningkatan produktivitas. Sementara itu IFA (International

Fertilizer Industry Association) meramalkan bahwa dalam lima tahun ke depan

permintaan seluruh jenis pupuk anorganik di dunia akan meningkat sekitar 1,6

persen per tahunnya, yakni dari 154,2 juta ton pada tahun 2005 menjadi 167,1 juta

ton pada tahun 2010 (Kompas, 28 Juni 2005). Diperkirakan ramalan peningkatan

permintaan pupuk anorganik ini juga masih akan terjadi di Indonesia.

Berbeda kondisinya dengan pupuk anorganik, pengembangan pupuk

organik sejak diterapkannya program intensifikasi pertanian mengalami

penurunan, terabaikan dan tertinggal. Padahal di sisi lain pupuk organik juga

memiliki beberapa keunggulan, misalnya mengandung unsur makro (N, P, K) dan

unsur mikro esensial lainnya walaupun dalam kadar rendah dan sangat bervariasi.

Disamping itu pupuk organik dapat berfungsi sebagai pembenah tanah. Hingga

saat ini tidak tersedia data seberapa banyak sebenarnya produksi dan konsumsi

pupuk organik nasional.

Pada Tabel 2 dikemukakan perkembangan pangsa (share factor) biaya

pupuk anorganik dan pupuk organik terhadap penerimaan (revenue) di tingkat

usahatani. Pada periode 1990-1999 pangsa biaya pupuk anorganik terhadap

penerimaan usahatani padi adalah 6,16 persen dengan laju pertumbuhan 3,15

persen/tahun. Sedangkan pangsa biaya pupuk organik sangat kecil yakni 0,10

persen dengan laju pertumbuhan menurun sebesar 7,68 persen/tahun. Sementara

itu produktivitas padi cenderung menurun, walaupun angkanya sangat kecil yakni

0,09 persen/tahun. Nampak bahwa penambahan pangsa biaya pupuk anorganik

yang disertai oleh pengurangan pangsa biaya pupuk organik berdampak tidak

menguntungkan terhadap produktivitas usahatani padi.

Pada usahatani jagung pangsa biaya pupuk anorganik dan pupuk organik

lebih tinggi dari pada usahatani padi yakni rata-rata 7,34 persen/tahun dan 0,78

persen/tahun. Pertumbuhan biaya pupuk anorganik juga lebih tinggi yakni 3,49

persen/tahun, sedangkan pertumbuhan biaya pupuk organik juga negatif.

Produktivitas jagung pada periode 1990-99 rata-rata 2.327 kg/ha dengan

pertumbuhan 3,19 persen/tahun. Diduga penambahan pupuk/biaya pupuk

Page 11: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-177

anorganik belum sampai pada titik jenuh terhadap pertumbuhan produktivitas

jagung.

Tabel 2. Perkembangan Pangsa Biaya Pupuk Terhadap Penerimaan Usahatani Padi dan Palawija di Indonesia, 1990-1999 (%)

Padi Jagung Kedelai

Tahun PA1) PO2) Prod3)

(kg/ha) PA1) PO2) Prod3) (kg/ha) PA1) PO2) Prod3)

(kg/ha) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1999

5,85 5,66 6,27 6,77 6,05 5,79 5,82 7,08

0,18 0,12 0,16 0,15 0,11 0,01 0,01 0,08

4.262 4.382 4.337 4.383 4.352 4.357 4.424 4.204

6,62 7,20 7,17 7,55 7,46 6,86 6,99 8,87

1,06 0,83 1,14 1,11 0,97 0,11 0,14 0,95

2.153 2.175 2.221 2.427 2.220 2.271 2.500 2.652

2,51 2,65 3,79 2,99 2,60 3,53 3,26 4,63

0,29 0,47 0,36 0,30 0,34 0,30 0,26 0,46

1.115 1.138 1.123 1.163 1.113 1.138 1.186 1.193

Rata-rata 6,16 0,10 4.338 7,34 0,78 2.327 3,24 0,34 1.146 Pertum- buhan

(%) 3,15 (7,68) (0,09) 3,49 (0,17) 3,19 12,08 12,45 1,07

Keterangan : 1) PA = Pupuk Anorganik; 2) PO = Pupuk Organik; 3) Prod = Produktivitas ( ) Angka dalam kurung berarti negatif Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija (BPS, Jakarta).

Pada usahatani kedelai pangsa biaya pupuk anorganik relatif jauh di

bawah padi dan jagung yakni rata-rata 3,24 persen, tetapi laju pertumbuhan relatif

jauh lebih tinggi yakni 12,08 persen/tahun. Sedangkan pangsa biaya pupuk

organik masih relatif rendah tetapi pertumbuhannya cukup tinggi yaitu 12,45

persen/tahun. Produktivitas kedelai rata-rata 1.146 kg/ha dengan laju

pertumbuhan 1,07 persen/tahun. Cukup banyak hasil penelitian yang

mengungkapkan bahwa respon tanaman kedelai terhadap pupuk bersifat tidak

stabil walaupun lingkungan tumbuhnya relatif sama.

Informasi pada Tabel 2 meyakinkan kita bahwa sejak sekarang semakin

perlu mengubah orientasi petani yang telah terbiasa menggunakan pupuk

anorganik (kimia) kembali membiasakan penggunaan pupuk organik. Pengertian

yang harus diberikan bahwa bahan organik mengandung lebih banyak unsur

dalam bentuk tersedia yang diperlukan tanaman. Unsur hara yang terkandung

dalam pupuk organik dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga ketersediaan

hara sesuai dengan pertumbuhan tanaman dan mempercepat penyerapan unsur

hara tertentu. Pupuk organik memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah.

Reorientasi penggunaan pupuk ini harus mencapai keseimbangan atau titik

optimal antara pupuk anorganik dan pupuk organik.

Page 12: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-178

Pada usahatani sayuran utama yakni bawang merah, bawang putih, cabe

merah, kubis dan kentang penggunaan pupuk anorganik berkisar 148 - 276 kg/ha

dengan pangsa biaya terhadap penerimaan usahatani 0,75 – 2,60 persen.

Sedangkan penggunaan pupuk organik pada kisaran 2 – 10 ton/ha. Pangsa biaya

pupuk organik mencapai 2,01 – 6,01 persen atau sekitar tiga kali lipat bila

dibandingkan pangsa biaya pupuk anorganik (Tabel 3).

Tabel 3. Penggunaan Pupuk dan Pangsa Biaya Pupuk terhadap Penerimaan Usahatani Sayuran di Indonesia, 1997

Pupuk anorganik Pupuk organik

Komoditas Volume (kg/ha)

Pangsa (%)

Volume (kg/ha)

Pangsa (%)

Produktivitas (kg/ha)

Bawang merah Bawang putih Cabe merah Kubis Kentang

203 239 148 276 247

0,75 1,65 1.53 2,60 1,16

1.908 10.144 3.263 2.267 6.056

2,01 3,60 2,38 6,01 3,72

7.082 4.915 2.885

10.344 15.552

Sumber: Struktur Ongkos Usaha Hortikultura 1997 (BPS, Jakarta).

Hasil penelitian PATANAS (2004) pada usahatani kentang di Pangalengan

Jawa Barat dan di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, penggunaan pupuk

kandang berksiar 5 – 15 ton/ha dengan kecenderungan meningkat. Berdasarkan

pengalaman petani pengurangan pupuk kandang dapat dipastikan akan

menurunkan produktivitas kentang, walaupun penggunaan pupuk anorganik

sesuai rekomendasi. Harga pupuk kandang di tingkat desa berkisar Rp 175 -

200/kg tergantung tingkat kelembabannya. Ongkos angkut ke lahan usahatani

sekitar Rp 30 - 50/kg. Biaya pupuk kandang yang dikeluarkan petani berkisar Rp

1,3 - 3,75 juta/ha. Petani bersedia membayar jumlah tersebut untuk

mempertahankan produktivitas usahataninya.

Untuk komoditas perkebunan data dan informasi tentang penggunaan

pupuk organik sangat terbatas. Sebagai kasus hanya dapat ditampilkan pada

komoditas kopi. Sejak tahun 1990 pada komoditas kopi telah mulai diterapkan

sistem pertanian organik yang menggunakan masukan non kimia. Kegiatan ini

dapat berjalan dengan baik, sehingga pada semester II tahun 1992 telah dilakukan

ekspor perdana kopi arabika organik dari Aceh Tengah dengan nama ”Gayo

Mountain Coffee (GMC) Organik”. GMC mendapatkan sertifikat organik dari Skal,

sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Negeri Belanda. Ekspor

perdana biji kopi arabika organik ini ternyata dapat berlanjut sampai sekarang.

Page 13: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-179

Produk kopi organik ini mendapatkan harga premium dari pembeli, sehingga

komoditas ini memiliki masa depan yang baik untuk dikembangkan (Karim, 1995).

Hasil survai yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di

Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1993 menunjukkan, bahwa

sebanyak 83 persen petani tidak melakukan pemupukan kimiawi, 99 persen tidak

mengendalikan hama dan penyakit secara kimiawi, 94 persen tidak

mengendalikan gulma secara kimiawi, dan 58 persen tidak ditumpangsarikan

dengan tanaman semusim. Jika para petani tersebut dipilah berdasarkan kategori

kebun kopi organik, maka 62 persen termasuk kebun kopi organik penuh dan 38

persen kebun kopi organik konversi (Balai Penelitian Kopi Gayo, 1994).

Pada tahun 1994, penelitian yang sama dilakukan di Kabupaten Aceh

Tengah yang mempunyai areal kopi arabika rakyat terluas di Indonesia. Hasil

survai menunjukkan bahwa petani yang belum ikut dalam program kopi organik

sebanyak 88 persen tidak melakukan pemupukan kimiawi dan 85 persen tidak

mengendalikan hama dan penyakit secara kimiawi, 61 persen tidak

mengendalikan gulma secara kimiawi, 90 persen tidak ditumpangsarikan dengan

tanaman semusim. Jika para petani tersebut dipilah berdasarkan kategori kebun

kopi organik, maka 44 persen termasuk kebun kopi organik dan 56 persen kebun

kopi organik konversi (Winaryo et al., 1995).

2.2. Dinamika Penggunan Pupuk dan Kualitas Lahan

Eksploitasi terhadap sumberdaya lahan yang ciri utamanya adalah

penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dalam upaya meningkatkan

produksi pertanian nasional telah menyebabkan banyak lahan di Indonesia berada

pada kondisi “sakit” (Kariyasa dan Pasandaran, 2004).

1. Lahan Sawah

Hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat melaporkan bahwa

akibat penanaman terus menerus dan semua hasil panen diangkut keluar, maka

sebagian besar lahan sawah berkadar bahan organik sangat rendah (C-organik

<2%). Terdapat korelasi positif antara kadar bahan organik dan produktivitas

tanaman padi sawah dimana makin rendah kadar bahan organik makin rendah

produktivitas lahan. Bahan organik berperan sebagai penyangga biologi sehingga

tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang untuk tanaman. Tanah

miskin bahan organik akan berkurang kemampuan daya sangga terhadap pupuk,

sehingga efisiensi pupuk anorganik berkurang karena sebagian besar pupuk akan

Page 14: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-180

hilang dari lingkungan perakaran. Mengingat pentingnya peranan bahan organik

terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah, maka pengelolaan hara harus

dilakukan secara terpadu dimana pemberian pupuk anorganik berdasarkan uji

tanah dikombinasikan dengan pemupukan organik.

Pengembalian jerami ke tanah dapat memperlambat pemiskinan K dan Si

tanah. Hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mengungkapkan

bahwa dengan membenamkan jerami 5 ton/ha/musim selama 4 musim pada

tanah kahat K menunjukkan bahwa disamping dapat mensubstitusi keperluan

pupuk K, jerami dapat meningkatkan produksi melalui perbaikan sifat kimia

maupun fisika tanah. Setelah 4 musim tanam, jerami dapat meningkatkan kadar

C-organik, K-dapat ditukar, Mg-dapat ditukar, kapasitas tukar kation (KTK) tanah,

Si tersedia dan stabilitas agregat tanah. Apabila dihitung dalam hektar,

sumbangan hara dari jerami setara dengan 170 kg K, 160 kg Mg, 200 kg Si dan

1,7 ton C-organik/ha yang sangat diperlukan bagi aktivitas jasad renik tanah.

Peningkatan stabilitas agregat tanah dapat memperbaiki struktur tanah sawah

yang memadat akibat penggenangan dan pelumpuran terus menerus. Tanah

menjadi lebih mudah diolah dan sangat baik bagi pertumbuhan akar tanaman

palawija yang ditanam setelah padi.

2. Lahan Kering

Dalam rangka penggunaan pupuk organik di lahan kering diperlukan

teknologi pengelolaan bahan organik tanah. Pengelolaan bahan organik daerah

tropis sangat diperlukan mengingat cepatnya proses dekomposisi sehingga

kandungan bahan organik tanah rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi

proses dekomposisi bahan organik yaitu temperatur rata-rata harian yang tinggi,

pengolahan tanah yang intensif, kemiringan lahan, curah hujan yang tinggi serta

sisa tanaman tidak dikembalikan ke lahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan

produktivitas lahan, pengelolaan bahan organik pada lahan kering sangat

diperlukan karena fungsi dan peranannya sangat besar terhadap kesuburan kimia,

fisik dan biologi tanah, serta bersifat ramah lingkungan. Kandungan bahan organik

yang cukup di dalam tanah akan menyebabkan tanah menjadi sehat.

Pengelolaan usaha tani di lahan kering sangat dipengaruhi ketersediaan

dan kandungan bahan organik tanah. Hal ini berarti penggunaan pupuk organik

merupakan salah satu cara meningkatkan bahan organik tanah. Untuk

meningkatkan produktivitas lahan, pengelolaan bahan organik sangat diperlukan

karena (a) bahan organik berperan dalam memperbaiki sifat kimia dan fisika

Page 15: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-181

tanah, (b) meningkatkan kemampuan tanah, menahan air dan mencegah erosi, (c)

berperan dalam penyediaan unsur hara dan sumber energi bagi mikroorganisme

dalam tanah.

Penyediaan bahan organik pada lahan kering dari sisa tanaman saja

umumnya tidak cukup karena relatif sedikit. Oleh karena itu perlu ditambahkan

dari sumber lain berupa bahan organik berkualtias in situ yang diperoleh melalui

teknologi tanaman penutup tanah, pagar hidup dan tanaman pelindung, alley

croping, dan strip cropping dan pupuk hijau yang berperan juga sebagai sumber

pupuk organik di lahan kering.

2.3. Kinerja dan Dampak Penggunaan Pupuk Organik

Hasil-hasil penelitian pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak

(Crops Livestock System, CLS) telah menunjukkan dampak positif. Sistem CLS

yang dikembangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi

penggunaan pupuk anorganik 25-35 persen dan meningkatkan produktivitas padi

20-29 persen. Di Provinsi NTB sistem CLS yang diterapkan petani mampu

meningkatkan pendapatan sekitar 8,4 persen. Sedangkan di Provinsi Bali terjadi

penghematan pengeluaran biaya untuk pupuk sebesar 25,2 persen dan

meningkatkan pendapatan sebesar 41,4 persen. Keunggulan CLS terlihat juga

dari efisiensi penggunaan input atau biaya produksi yang ditunjukkan oleh nilai

Benefit Cost Ratio yang lebih besar pada semua lokasi pengembangan.

Mengacu hasil penelitian pengembangan CLS seperti disebut di atas,

Kariyasa (2005) menyebutkan penggunaan pupuk Urea, SP-36 dan KCl yang

dapat dihemat berturut-turut 83 kg, 34 kg dan 36 kg per hektar. Sehingga secara

nasional dengan luas tanam padi 11,4 juta hektar pada tahun 2003, maka

diperkirakan potensi penghematan penggunaan Urea 950 ribu ton, SP-36 285 ribu

ton dan KCl 411 ribu ton. Total subsidi dan devisa potensial yang bisa dihemat

pada tahun 2003 mencapai Rp 1,56 triliun. Potensi penghematan subsidi dan

penghematan devisa negara baru pada CLS usahatani padi sawah dan ternak

sapi. Potensi yang ada jauh lebih besar jika dikaitkan dengan semua peluang

sistem CLS yang ada. Mengingat sistem CLS tidak hanya sebatas usahatani padi

dan ternak sapi saja. Berdasarkan fenomena ini, maka kebijakan subsidi pupuk

anorganik yang ditetapkan selama ini sebaiknya seluruh atau sebagian dialihkan

pada kebijakan subsidi pupuk organik.

BPTP Bali sejak tahun 2001 telah melakukan penelitian pengembangan

pupuk Kascing (bekas cacing) pada usahatani sayuran di lahan kering dataran

Page 16: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-182

tinggi, sebagai salah satu alternatif untuk memperbaiki kesuburan lahan dan

produktivitas tanaman. Kascing merupakan pupuk organik yang mengandung

unsur hara makro dan mikro lengkap yang dapat langsung tersedia bagi tanaman.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa petani yang mengadopsi inovasi pupuk

Kascing terus meningkat karena produktivitas dan kualitas komoditas yang

dihasilkan menjadi lebih baik.

Catatan lapang penelitian Patanas (2005) Puslitbang Sosial Ekonomi

Pertanian pada usahatani ubikayu di Pati Jawa Tengah, menyebutkan bahwa

produktivitas ubikayu tanpa pemberian pupuk kandang hanya sekitar 18 ton/ha,

sendangkan dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 10 - 15 ton/ha

produktivitas dapat dinaikkan hingga sekitar 25 ton/ha. Namun demikian ada

masalah yang timbul, pengusaha pabrik tepung tapioka menetapkan harga rafaksi

yang lebih rendah terhadap ubikayu basah yang banyak menggunakan pupuk

kandang. Alasannya adalah semakin tinggi penggunaan pupuk kandang, kadar aci

ubikayu sebagai bahan dasar tepung tapioka semakin rendah. Dari kasus ini dapat

ditarik dua kesimpulan (1) Peningkatan produktivitas usahatani tidak selalu diikuti

oleh peningkatan pendapatan yang signifikan; (2) Perilaku penggunaan pupuk

juga harus memperhatikan bentuk produk akhir dari suatu produksi komoditas

2.4. Potensi Pengembangan Produksi Pupuk Organik

Bahan dasar pupuk organik non komersial dapat berasal dari berbagai

sumber limbah pertanian insitu seperti sisa tanaman, sisa panen, pangkasan

tanaman pagar atau tanaman lorong dalam budidaya alley cropping, sisa media

tanam jamur, pupuk hijau seperti orok-orok, turi, sesbania, azolla, serta kotoran

hewan yang dikelola bersama komoditas utama semisal CLS (Crop Livestock

System) antara ternak ruminnsia dan tanaman padi. Bahan-bahan tersebut dapat

dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun

dengan penambahan mikroba perombak bahan organik serta pengkayaan dengan

hara lain.

Khusus untuk pupuk organik komersial, berdasarkan perhitungan bahan

dasar pupuk organik yang tersedia di lapang dan berpotensi untuk dimanfaatkan

sebagai pupuk organik, maka dibuat suatu estimasi produksi pupuk organik yang

berasal dari jerami sisa panen dan kotoran ternak. Data produksi jerami serta

populasi ternak didasarkan pada data BPS tahun 2002 serta data hasil penelitian

tentang teknik produksi pembuatan pupuk organik dari jerami dan pupuk kandang.

Page 17: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-183

Hasil penelitian jangka panjang yang telah dilakukan Puslitbangtanak

menunjukkan bahwa dosis jerami 5 ton/ha secara nyata dapat meningkatkan

produksi padi dan di sisi lain dapat mensubsitusi pupuk KCl sebesar 50 kg/ha.

Apabila jerami dikomposkan terlebih dahulu maka dosis anjuran kompos jerami

adalah 2 ton/ha. Penyusutan dari jerami segar menjadi kompos jerami

diperhitungkan sekitar 40 – 50 persen. Berdasarkan data luas panen lahan sawah

pada tahun 2002 sebesr 0,4 juta ha dengan produksi jerami sekitar 5 ton/ha, maka

jerami segar yang tersedia di lapang adalah sebesar 52,360 juta ton. Namun

demikian kenyataan di lapang menunjukkan bahwa tidak semua jerami dapat

dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik, tetapi juga digunakan sebagai

pakan ternak, media jamur, bahan baku kertas, dan sebagainya.

Dalam Tabel 4 disajikan beberapa skenario ketersediaan jerami dan

penggunaannya. Apabila diasumsikan semua jerami segar yang ada dapat dipakai

untuk memupuk lahan sawah, maka lahan sawah yang dapat dipupuk jerami

segar dengan dosis 5 ton/ha seluas 10,4 juta hektar, sedangkan apabila

menggunakan jerami yang dikomposkan maka lahan sawah yang dapat dipupuk

seluas 15,7 juta hektar. Penggunaan sekitar 50 persen jerami ke luar lahan akan

menurunkan luas lahan sawah yang dipupuk hingga setengahnya.

Tabel 4. Luas Sawah yang dapat Dipupuk Jerami Segar dan Kompos Jerami pada

Berbagai Asumsi Ketersediaan Jerami di Indonesia

Produksi jerami (juta ton)

Luas sawah yang dipupuk Dengan jerami (juta ha)

Jerami yang dikembalikan

ke lahan Segar Kompos Segar Kompos

30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

100%

15,708 20,994 26,180 31,416 36,652 41,888 47,124 52,360

9,424 12,566 15,708 18,849 21,991 25,133 28,274 31,416

3,141 4,189 5,236 6,283 7,330 8,378 9,425

10,472

4,712 6,832 7,854 9,425

10,995 12,566 14,137 15,708

Catatan: - Luas panen padi sawah 10,4 juta ha (BPS, 2002) - Rata-rata produksi jerami 5 ton/ha - Dosis rekomendasi jerami segar 5 ton/ha, kompos jerami 2 ton/ha.

Kondisi di lapang saat ini menunjukkan bahwa diantara kotoran ternak

yang dihasilkan, sebagian besar petani lebih menyukai kotoran unggas.

Sedangkan kotoran sapi banyak digunakan sebagai bahan utama pembuatan

kompos komersial dengan campuran bahan lain. Pada Tabel 5 disajikan populasi

ternak di Indonesia dan estimasi produksi kotorannya. Ternak sapi dewasa, kuda,

Page 18: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-184

dan kerbau dapat memproduksi kotoran lembab rata-rata seberat 9 kg/ekor/hari,

sedangkan kambing dan domba rata-rata 1 kg/ekor/hari. Berdasarkan data ini

maka dalam waktu satu tahun akan diproduksi kotoran ternak unggas, sapi, kuda,

kerbau, kambing dan domba sebanyak 64,83 juta ton. Bila lahan pertanian

memerlukan pupuk kandang 5-10 ton/ha, maka kotoran ternak tersebut dapat

digunakan untuk memupuk 6,18 - 12,37 juta ton.

Tabel 5. Populasi Ternak dan Potensi Kotorannya Untuk Pupuk Organik di Indonesia

Jenis ternak Populasi (juta ekor)

Kotoran (juta ton/th) Keterangan

Unggas Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba

1.200,00 10,79

2,44 0,45

13,04 7,66

17,28 34,45

8,00 1,47 4,76 2,79

Kering Lembab Lembab Lembab Lembab Lembab

Jumlah 61,83 Sumber: Untuk populasi ternak, BPS 2002.

Salah satu sumber bahan pupuk organik yang sampai saat ini belum

dimanfaatkan secara optimal adalah sampah kota. Bahan tersebut selama ini

hanya dijadikan sebagai bahan penimbun (sanitary land fill) dan sering menjadi

masalah dalam pengelolaannya. Konsep waste by product dapat digunakan

sebagai dasar penggunaan sampah kota menjadi bahan kompos atau sumber

pupuk organik. Konsep tersebut diimplementasikan melalui usaha pengembalian

keseimbangan neraca C-organik tanah dengan mengumpulkan kembali sisa

biomass hasil tanaman dan mengembalikannya ke pertanaman sebagai pupuk

organik. Volume sampah organik setiap tahun di setiap kota di Indonesia terus

bertambah. Tahun 1993 mencapai 4,5 juta ton dan pada tahun 2000 telah

mencapai 7,3 juta ton. Dari hasil wawancara diketahui bahwa di DKI Jakarta saja

pada tahun 2002 telah mencapai 25.000 m3 setiap hari yang terdiri dari 65 persen

bahan organik dan 35 persen bahan anorganik. Sampah tersebut hingga saat ini

masih dikelola dengan metoda sanitari land fill. Penyumbang sampah terbesar

adalah kota Jakarta, kemudian Surabaya, Bandung, Semarang dan Medan.

Page 19: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-185

III. KINERJA PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK

3.1. Pengembangan Teknologi Produksi

Pupuk organik adalah pupuk yang diproduksi dengan menggunakan bahan

organik sebagai bahan baku penyusunnya. Pada proses pembuatannya pada

umumnya dilakukan pengomposan terlebih dahulu. Terdapat beberapa teknik

pengomposan yaitu pengomposan dengan teknologi sederhana, teknologi sedang,

dan teknologi tinggi. Teknik pengomposan dengan window composting tergolong

dalam teknologi sederhana. Kompos ditumpuk dalam barisan tumpukan yang

disusun secara sejajar. Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk

meningkatkan aerasi, menurunkan suhu yang terlalu tinggi, serta menurunkan

kelembaban kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala besar. Lama

pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan bergantung pada karakteristik

bahan yang dikomposkan.

Pada pengomposan teknologi sedang terdapat dua sistem yaitu aerated

static pile di mana gundukan kompos di aerasi secara statis. Sistem ini hampir

sama dengan sistem yang pertama namun dilakukan pemberian aerasi dengan

menggunakan blower mekanik. Selanjutnya tumpukan kompos ditutup dengan

terpal plastik. Keunggulan teknik ini maka waktu pengomposan dapat dipersingkat

yaitu hanya membutuhkan waktu 3 - 5 minggu. Teknik yang kedua adalah dengan

aerated compos bins. Pengomposan dilakukan dalam bak yang bagian bawahnya

diberi aerasi. Aerasi dapat juga dilakukan dengan menggunakan blower. Lama

pengomposan kurang lebih 2 - 3 minggu dan kompos matang diperoleh setelah 2

bulan.

Sistem pengomposan dengan teknologi tinggi dilakukan dengan

menggunakan peralatan yang dirancang secara khusus untuk mempercepat

proses pengomposan. Pengaturan dilakukan secara mekanis. Sistem ini dapat

dilakukan di dalam drum yang berputar atau pengomposan dapat pula dilakukan

dalam kotak skala besar. Pada sistem ini bahan bahan kompos dicampur secara

mekanik. Proses pengomposan dilakukan dalam beberapa bak dan pengontrolan

dilakukan dengan menggunakan komputer. Bak pengomposan dibagi menjadi

dua yaitu zona untuk bahan yang masih mentah dan selanjutnya diaduk secara

merata dengan peralatan mekanik dan diberi aerasi. Kompos selanjutnya akan

masuk pada bak zona kedua dan dilakukan proses pematangan kompos. Secara

umum pengomposan menurut Crawford (1990) adalah proses dekomposisi

parsial, dipercepat secara artifisial dari campuran bahan organik oleh populasi

Page 20: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-186

berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan

aerobik.

3.2. Kelayakan Teknis dan Ekonomi

(1) Kelayakan Teknik

Terdapat cukup banyak bahan organik yang dapat digunakan sebagai

pupuk organik antara lain adalah kompos, pupuk kandang, azola, pupuk hijau,

limbah industri, limbah rumah tangga atau limbah perkotaan. Karakteristik umum

yang dimilki pupuk organik adalah kandungan unsur hara rendah dan sangat

bervariasi, penyediaan hara terjadi secara lambat, dan menyediakan unsur hara

dalam jumlah terbatas.

Selain itu penggunaan pupuk organik mempunyai kelemahan antara lain

yaitu: (1) diperlukan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur

hara dari suatu pertanaman; (2) unsur hara yang dikandung sangat beragam; (3)

bersifat volumeneous; dan (4) kemungkinan dapat menimbulkan kekahatan hara

jika diaplikasikan belum cukup matang; dan (5) dapat bersifat sebagai pembawa

bibit penyakit yang mempengaruhi tanaman, ternak, dan manusia.

CYMMIT dalam Adnyana (2005) mengartikan pertanian berkelanjutan

sebagai sistem pertanian yang memanfaatkan input secara efisien pada tingkat

produktivitas tinggi tetapi tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pada sisi lain di

kalangan pengamat lingkungan pertanian organik sering dikaitkan dengan Low

External Input Sustainable Agriculture (LEISA) atau IPNMS (Integrated Plant

Nutrients Management System) yang diartikan sebagai pertanian berkelanjutan.

Meskipun dalam implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi Indonesia

yang menghadapi kebutuhan pangan yang terus meningkat karena meningkatnya

jumlah penduduk serta adanya fenomena leveling off produksi pangan utama padi.

Pada prinsipnya para pakar setuju tentang keberimbangan dalam penggunaan

pupuk organik dan pupuk an-organik yang diyakini dapat meningkatkan

produktivitas lahan dan keberlanjutannya.

(2) Kelayakan Ekonomi

Biaya Investasi Pengolahan Pupuk Bokashi

Kebutuhan fasilitas dan jadwal pengadaan/pembangunan unit pengolahan

pupuk organik-bokashi berdasarkan kajian BPTP Sumatera Utara dapat disimak

pada Tabel 6. Kegiatan pembangunan meliputi persiapan, perancangan,

Page 21: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-187

pembuatan bangunan pengolahan, gudang, kantor serta pengadaan mesin-mesin

pengolahan, pelatihan dan lain-lain membutuhkan waktu 7 bulan.

Tabel 6. Jadwal dan Kebutuhan Modal Pembangunan Fasilitas Pengolahan Pupuk

Organik-Bokashi (Rp.juta)

B u l a n Uraian 2 3 4 5 6 7 8

Total

1. Persiapan/desain 100 100 - - - - - 200 2. Bangunan/gudang 300 300 500 500 400 - - 2.000 3. Mesin-mesin - 500 600 500 500 430 - 2.430 4. Kendaraan - - - - - 500 500 1.000 5. Pelatihan - - - - 250 250 - 500

Total 400 900 1.100 1.000 1.150 1.180 500 6.130 Sumber: BPTP Sumatera Utara, Medan

Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya modal yang dibutuhkan satu

unit pengolahan skala komersial sebesar Rp 6,13 milyar. Jenis mesin dan alat

yang dibutuhkan, jumlah kebutuhan dan harga pengadaan adalah seperti terlihat

dalam Tabel 7. Pembiayaan investasi tersebut, sepenuhnya diharapkan dari kredit

modal dari sumber-sumber yang layak.

Tabel 7. Jenis dan Jumlah Mesin/Alat Pengolahan Pupuk Bokashi (Rp Juta)

Uraian Jumlah (unit) Unit Harga Total Harga

1. Chopper 15 20 300 2. Mixer 5 40 200 3. Drum Aktivator 100 0,5 50 4. Double Scopel 2 400 800 5. Fork Lift 3 90 270 6. Mesin Penyaring 5 40 200 7. Mesin Aktivator 2 150 300 8. Alat Pengukur Suhu 20 0,5 10 9. Mesin Penjahit 10 5 50 10. Perlengkapan Kerja - - 250

Jumlah - - 2.430 Sumber: BPTP Sumatera Utara, Medan.

(3) Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Bokashi

Kapasitas produksi Unit Pengolahan Pupuk Bokashi yang akan dibangun

disesuaikan dengan kebutuhan unit budidaya, yaitu 1.200 ton per bulan. Pada

tahap awal, kapasitas yang disediakan dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan

model corporate farming dan sebagian kebutuhan masyarakat. Secara bertahap

volume produksi ditingkatkan sehingga mencapai kapasitas optimum.

Page 22: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-188

Sebagian besar bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan pupuk

organik ini dapat dipenuhi dari sumber lokal kecuali bakteri fermentasi, batu

pospat, zeolite dan molase. Banyaknya kebutuhan masing-masing bahan untuk

menghasilkan 1 ton pupuk organik ialah 1,2 ton bahan baku seperti pada Tabel 8

berikut. Kebutuhan bakteri fermentasi dan molase untuk menghasilkan 1 ton

pupuk organik masing-masing 2 liter.

Tabel 8. Komponen Bahan Baku untuk Pembuatan Pupuk Bokashi

Komponen Persentase Produksi (Ton)

Kotoran hewan (sapi) 40 0,48 Batang jagung/jerami 20 0,24 Limbah sayuran 10 0,12 Zeolite 5 0,06 Sekam Padi/Serbuk Gergaji 10 0,12 Dedak 5 0,06 Batu pospat 5 0,06 Abu 5 0,06

Sumber: BPTP Sumatera Utara, Medan.

(4) Proses Produksi dan Pembiayaan

Proses produksi untuk membuat pupuk organik bokashi relatif sederhana,

yaitu sebagai berikut: (1) Bahan material dicacah dengan chopper lalu dicampur

dengan pupuk kandang dan bahan lainnya secara merata; (2) Bahan campuran

tersebut kemudian disiram lagi dengan cairan aktivator yaitu bakteri fermentasi

dengan perbandingan tertentu, difermentasi selama 2 - 3 minggu; (3) Selanjutnya

bahan yang telah terfermentasi tersebut diayak dan dikemas dalam karung dan

siap digunakan sebagai pupuk organik; (4) Pupuk yang dihasilkan dengan proses

di atas terfermentasi dengan sempurna bila kandungan C/N ratio <15 dan hal ini

sesuai dengan persyaratan mutu pupuk untuk pertanian organik. Berdasarkan

proses dan kebutuhan bahan tersebut maka biaya produksi untuk menghasilkan

produksi yang memenuhi kebutuhan model corporate farming adalah seperti

terlihat pada Tabel 9. Komponen biaya yang paling tinggi ialah biaya pengadaan

bahan bahan yang mencapai sekitar 75 - 85 persen.

Page 23: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-189

Tabel 9. Kebutuhan Biaya Produksi Untuk Pengolahan Pupuk Bokashi (Rp Juta)

Bulan No. Pembiayaan 9 10 11 12 13 14 15 16

1 Pengadaan Bahan 284,70 273,00 319,80 378,30 456,30 456,30 464,10 452,40

2 Upah dan Gaji 45,00 45,00 45,00 45,00 45,00 45,00 45,00 45,00

3 Peralatan Alat 2,45 2,45 2,45 2,45 2,45 2,45 2,45 2,45

4 Bahan Bakar 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50

5 Adm. dan Komunikasi 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00

6 Depresiasi per bulan 66 66 66 66 66 66 66 66

Jumlah 407,65 395,95 442,75 501,25 579,25 579,25 587,05 575,35 (5) Perkiraan dan Proyeksi Penjualan

Berdasarkan volume produksi dan harga penjualan rata-rata sebesar Rp

750 per kg, penerimaan dari penjualan pada bulan pertama produksi komersial

adalah Rp 547,50 juta. Pada bulan-bulan berikutnya mengalami peningkatan

sejalan dengan kenaikan volume produksi yaitu berkisar antara Rp 600,00 -

900,00 juta per bulan. Dengan cash flow seperti tersebut maka diperkirakan dalam

waktu 2 tahun pengusahaan pupuk organik akan kembali modal.

3.3. Standarisasi Mutu dan Manajemen Produksi

Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai temperatur harian

tinggi, sehingga dekomposisi bahan organik sangat cepat dan menyebabkan

rendahnya kandungan bahan organik tanah. Hal ini diperparah dengan tidak

dikembalikannya sisa tanaman habis panen kedalam tanah. Pupuk organik sangat

berperan dalam peningkatan produktivitas komoditas pertanian serta menjaga

keberlanjutannya. Rendahnya bahan organik bukan hanya di lahan kering tetapi

juga di lahan sawah intensifikasi. Oleh karena itu saat ini diduga penggunaan

pupuk organik di lahan kering untuk komoditas sayuran sudah cukup tinggi dan

ketergantungan terhadap pupuk organik semakin meningkat.

Hasil kajian empirik dilapang menunjukkan bahwa tingkat penggunaan

pupuk organik untuk padi pada lahan sawah di Kabupaten Klaten (Jateng) dan

Kediri (Jatim) berkisar antara 0,9 – 1,3 ton/ha, sedangkan untuk palawija berkisar

antara 1,0-1,5 ton/ha (Rachman et al., 2004). Hasil kajian Saptana dkk. (2001)

penggunaan pupuk organik untuk komoditas sayuran di Jawa Tengah dan

Sumatera Utara masing-masing bervariasi antara 1,4 - 15,4 ton/ha. Hasil kajian

Puslitbangnak pada komoditas bawang merah yang ditanam di lahan sawah di

Jawa Tengah menggunakan pupuk organik antara 20 – 30 t/ha. Sementara itu

Page 24: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-190

penggunaan pada tanaman tebu dan tembakau di Jawa Tengah dan Jawa Timur

sebesar 2,5 - 4,7 ton/ha (Saptana, et al., 2004). Secara umum penggunaan pupuk

organik untuk usaha pertanian relatif rendah dan makin berkurang, kecuali pada

pengusahaan sayuran yang bernilai ekonomi tinggi (kentang, bawang merah, cabe

merah, dan tomat).

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pupuk organik adalah pupuk yang

sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari sisa tanaman atau hewan yang telah

melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk

mensuplai hara tanaman, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sampai

saat ini pemerintah baru mengeluarkan PP no.8 tahun 2001 tentang pupuk

budidaya tanaman, yang didalamnya hanya dibahas pupuk anorganik. Kemudian

ditindak lanjuti oleh Departemen Pertanian dengan Kepmentan

no.09/Kpts/PP.260/1/2003, tentang syarat dan tata cara pendaftaran pupuk

organik.

Untuk menangani masalah pupuk organik sebetulnya Departemen

Pertanian melalui Direktorat Pupuk dan Pestisida Direktorat Jendral Bina Sarana

Pertanian pada tahun 2003-2004 telah menyusun draft Kepmentan tentang pupuk

organik dan pembenah tanah, namun karena adanya pergantian pemerintahan

draft SK ini belum sempat disyahkan sampai sekarang. Peraturan mengenai

pupuk organik ini sangat diperlukan untuk melindungi konsumen dan juga para

pengusaha pupuk terutama para pengusaha kecil menemgah (UKM) dalam

proses produksinya. Dalam standarisasi mutu pupuk organik yang menjadi

parameter utama adalah kandungan C organik, C/N ratio, kadar air, kadar logam

berat, dan bahan ikutan.

3.4. Kebijakan Pemanfaatan dan Distribusi Pupuk Organik

(1) Fungsi dan Manfaat Pupuk Organik

Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen

tanah yang utama, di samping itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan

sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, serta berperan dalam menjaga keseimbangan

lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami

beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus

atau bahan organik tanah.

Fungsi fisika bahan organik adalah “pengikat” butiran primer menjadi

butiran sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini

besar pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi

Page 25: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-191

tanah dan temperatur tanah. Bahan organik dengan C/N tinggi seperti jerami atau

sekam lebih besar pengaruhnya pada perubahan sifat-sifat fisik tanah dibanding

bahan organik yang terdekomposisi seperti kompos dan pupuk kandang.

Meskipun secara kuantitatif bahan organik sedikit mengandung unsur hara,

namun fungsi kimia yang penting antara lain adalah: (1) penyedia hara makro (N,

P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Zn, Cu, Mo, Co, Mn, dan Fe), penggunaan bahan

organik dapat mencegah kahat unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang

telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang berimbang; (2)

meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah; (3) dapat membentuk

senyawa kompleks dengan ion logam (Al, Fe, dan Mn) yang meracuni tanaman

serta menurunkan penyediaan hara.

Fungsi Biologis bahan organik adalah sebagai sumber energi dan

makanan mikroorganisme tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas

mikroorganisme tanah yang sangat bermanfaat dalam penyediaan hara dan siklus

hara dalam tanah. Dengan demikian pemberian pupuk organik pada akhirnya

akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Sosialisasi tentang manfaat penggunaan pupuk organik sangat diperlukan

baik melalui program-program pelatihan dalam kerangka pelaksanaan

pembangunan pertanian, desiminasi melalui demplot-demplot, serta melalui

penyuluhan, bimbingan, advokasi dan pendampingan melalui berbagai

kelembagaan kelompok tani. Bahkan harapan penggunaan pupuk organik secara

masal oleh masyarakat petani hanya akan dapat terwujud kalau pengembangan

pupuk organik dilakukan melalui pendekatan industri dalam skala besar seperti

halnya pengembangan pupuk kimiawi atau an-organik.

(2) Kinerja Distribusi Pupuk Organik

Hingga kini belum ada pengaturan sistem distribusi pupuk organik seperti

halnya pada distribusi pupuk an-organik. Dengan demikian sistem distribusi

pupuk organik mengikuti mekanisme pasar bebas. Dampak positif dari mekanisme

pasar bebas adalah adanya persaingan antar produsen pupuk dan

berkembangnya kios-kios yang juga menjual pupuk organik, serta dapat

menciptakan iklim kondusif terhadap pasar pupuk organik, sehingga harga pupuk

ditentukan oleh mekanisme pasar. Namun kelemahan sistem ini adalah rawannya

terhadap pemalsuan atau penipuan terhadap standar kualitas produk pupuk

organik.

Page 26: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-192

Kebijakan sistem distribusi pupuk organik yang di produksi secara

pabrikan yang juga dilakukan oleh industri pupuk an-organik skala komersial dapat

dipadukan dengan kebijakan distribusi pupuk an-organik dengan tujuan utama

mendorong penggunaan pupuk berimbang antara pupuk organik dan pupuk an-

organik. Kebijakan ini diharapkan memberikan dampak positif bagi petani antara

lain: (1) pupuk organik dapat diproduksi secara masal, terutama ditujukan untuk

komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi (hortikultura dan perkebunan); (2)

pupuk organik tersedia dalam jumlah yang cukup di tingkat petani; (3) harga pupuk

organik dapat ditekan pada tingkat harga yang wajar dan bersifat stabil, dan (4)

berkembangnya kios-kios pengecer pupuk organik hingga pelosok-pelosok desa.

3.5. Kebijakan Pendukung Pengembangan Pupuk Organik

(1) Kebijakan Penelitian dan Pengembangan

Di bidang inovasi teknologi, dampak negatif revolusi hijau pertama perlu

dikoreksi dalam revolusi hijau lestari (Adnyana, 2005). Dalam implementasinya,

revolusi hijau lestari perlu didukung oleh: (1) ilmu pengetahuan dan teknologi

sebagai instrumen utama; (2) sistem irigasi yang efisien; dan (3) sistem produksi

yang ramah terhadap lingkungan; serta (4) pengembangan infrastruktur

pemasaran, agroindustri, serta infrastruktur pedesaan.

Kebijakan penelitian dan pengembangan teknologi pupuk organik selama

ini belum memberikan dampak yang nyata terhadap pembangunan pertanian

secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, antara lain adalah

masalah teknologi, dukungan kelembagaan, kurangnya perhatian pengambil

kebijakan, serta kesalahan perilaku petani sendiri.

Kebijakan penelitian dan pengembangan pupuk organik ke depan harus di

dasarkan pada spesifik lokasi (karakteristik sumberdaya lahan: lahan kering dan

lahan sawah), spesifik komoditas (padi, palawija, hortikultura, dan perkebunan),

serta skala ekonomi pengusahaannya (skala kecil, menengah, dan besar).

Pengembangan pupuk organik skala komersial dengan managemen mutu dan

standar kualitas yang terjamin akan mendorong penggunaan pupuk organik

secara masal dengan tingkat harga yang terjangkau. Pupuk organik komersial

umumnya diproduksi oleh industri pupuk anorganik, sehingga perlu dirumuskan

format subsidi untuk mendorong produksi dan pemanfaatan pupuk organik.

Page 27: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-193

(2) Kebijakan Investasi dan Pelayanan

Terdapat dua kebijakan publik yang perlu dipertimbangkan yaitu kebijakan

investasi publik dan pelayanan publik. Kebijakan investasi publik mencakup: (1)

Pengembangan sarana dan prasaranan jalan pada daerah yang akan digunakan

sebagai pengembangan industri pupuk organik, untuk menekan biaya angkut

pupuk organik yang bersifat volumenous; (2) Pengembangan fasilitas pendukung

pengembangan industri pupuk organik; (3) Pengembangan infrastruktur industri

pupuk organik di daerah sentra produksi ternak maupun di daerah sentra produksi

pertanian; (4) Penyediaan mikroorganisme yang sesuai dalam mempercepat

proses pematangan bahan organik; dan (6) Pengembangan pusat konsultasi dan

pelayanan pengembangan pupuk organik di daerah sentra produksi pertanian.

Kebijakan pelayanan publik meliputi: (1) Tersedianya beberapa komponen

teknologi baik teknologi pengembangan mikroorganisme, budidaya hijauan ternak

dan ternak, serta sistem panen dan penanganan pasca panen; (2) Terbangunnya

sistem inovasi, diseminasi, dan adopsi teknologi secara cepat dan tepat sasaran;

(3) Terbangunnya sistem informasi baik informasi potensi produksi pupuk organik,

sistem distribusi, dan potensi permintaan di daerah-daerah sentra produksi

pertanian; dan (4) Mediasi terbangunnya pengembangan produksi dan distribusi

pupuk organik pada berbagai pelaku (kelompok tani, usaha skala kecil-menengah,

dan skala besar-komersial).

(3) Kebijakan Diseminasi dan Pendampingan

Pemerintah perlu melakukan diseminasi hasil-hasil penelitian khususnya

berbagai teknologi pembuatan pupuk organik kepada para pengguna (petani,

kelompok tani, dan pelaku swasta); meningkatkan kualitas sumberdaya pelaku

melalui advokasi, pelatihan dan pendampingan pengembangan pupuk organik,

memfasilitasi para pelaku baik kelompok tani maupun pelaku swasta dan

membantu kemudahan yang diperlukan (regulasi), serta mengawasi baik dalam

produksi maupun distribusinya.

Peran lain pemerintah yang tidak kalah pentingnya adalah mengalokasikan

dana pembinaan dan peningkatan kualitas SDM pelaku baik kelompok tani

maupun swasta, serta alokasi subsidi pupuk organik. Kegiatan ini bisa dilakukan

melalui advokasi, pelatihan, magang, demplot dan sebagainya. Peningkatan

kualitas sumberdaya ini akan sangat berperan bagi keberlanjutan kegiatan usaha

pelaku pengembangan pupuk organik. Kegiatan harus diarahkan pada pelatihan

dan pemahaman pola usaha dan pola pikir yang mengarah pada perubahan

Page 28: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-194

perilaku petani, kelompok tani dan usaha swasta baik dalam produksi, distribusi

maupun dalam penggunaannya. Dengan demikian secara perlahan tapi pasti

diharapkan produsen pupuk organik akan menjadi profesional.

Pemerintah juga harus mengalokasikan dana untuk pengadaan sarana

yang dibutuhkan sebagai penunjang jalannya proses produksi, distribusi, dan

diseminasi pupuk organik. Disamping dana pembinaan dan subsidi, juga

diperlukan pembangunan fasilitas pendukung yang dibutuhkan. Kemudahan yang

diperlukan oleh para pelaku usaha pupuk organik seperti persyaratan administrasi

pengurusan ijin usaha, standarisasi mutu produk dan sertifikasi, aksessibilitas

terhadap sumber pembiayaan, pengangkutan dan lain-lain, agar proses

pemasaran produk pupuk organik berjalan lancar.

(4) Kebijakan Standarisasi dan Mutu Produk

Di tengah gencarnya gerakan menuju pertanian organik, Indonesia sampai

sekarang ternyata belum mempunyai standar nasional pupuk organik. Pusat

Standardisasi dan Akreditasi Departemen Pertanian memang sudah berencana

merancang dan merumuskan standardisasi pupuk organik, namun hingga kini

belum juga terwujud.

Pusat Standardisasi dan Akreditasi Departemen Pertanian mengakui

beragamnya jenis pupuk organik yang beredar di masyarakat menjadi kendala

utama dalam menetapkan standardisasi produk pupuk organik, karena dari pupuk

yang beredar umumnya sudah menggunakan zat-zat kimia alami yang bahan

bakunya tercantum dalam daftar nasional bahan pupuk organik.

Mutu adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau derajad

keunggulan suatu produk, dalam hal ini adalah produk pupuk organik (Kader, 1996

dalam Poerwanto, 2003). Indonesia telah memiliki satu lembaga sertifikasi jaminan

mutu pertanian organik yang sudah lolos Verifikasi Pusat Standardisasi dan

Akreditasi Departemen Pertanian. Terdapat 17 lembaga lainnya yang sedang

berstatus calon lembaga

sertifikasi, termasuk diantaranya 2 lembaga dalam proses penilaian Pusat

Standardisasi dan Akreditasi Pertanian.

Standardisasi atas pupuk organik ini sangat diperlukan demi

menghindarkan petani dari penipuan atas pupuk berlabel organik. Menurut

catatan, setidaknya terdapat 53 perusahaan yang memproduksi pupuk organik

dengan merek dagang. Bahkan beberapa pakar menengarai adanya pupuk

organik yang mempunyai kandungan timbel (Pb) masih tinggi. Petani harus

Page 29: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-195

memperoleh jaminan kualitas pupuk organik khususnya yang diproduksi secara

pabrikasi atau petani dapat menggunakan pupuk organik yang diproduksi

produsen setempat. Selain lebih hemat, paling tidak mereka sudah mengenal

produsennya.

Sejak tahun 2003, Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen Bina Sarana

Pertanian, Departemen Pertanian bersama Tim Teknis dari Badan Litbang

Pertanian dan Perguruan Tinggi, Kementerian Lingkungan Hidup, Depperindag,

serta Asosiasi Pengusaha Pupuk dan Pengguna telah mulai menyusun peraturan

tentang persyaratan minimal mutu pupuk organik dan pembenah tanah di

Indonesia yang akan dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen). Draft

Kepmen tersebut sedang dalam proses pembahasan intensif di bawah koordinasi

Direktorat Sarana Produksi Ditjen Tanaman Pangan, Deptan. Kriteria yang

diusulkan untuk persyaratan teknis minimal pupuk organik dan pembenah tanah

(soil conditioner) tercantum dalam Tabel 10 dan 11.

Tabel 10. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik di Indonesia

Kandungan No. Parameter Padat Cair

1. 2. 3. 4. 5.

6. 7. 8. 9.

C-organik (%) C/N ratio Bahan ikutan (%)(kerikil, beling, plastik) Kadar air (%) Kadar logam berat: - As (ppm) - Hg (ppm) - Pb (ppm) - Cd (ppm) pH Kadar total (N+P2O5+K2O) (%) Mikroba patogen (E Coli, Salmonella) Kadar unsure mikro (ppm) (Zn, Cu, Mn, Co, Fe)

Min 16 12 – 25

< 2 min 20, maks 35

< 10 < 1 < 50 < 10

> 4 - < 8 Dicantumkan Dicantumkan Dicantumkan

> 6 - - -

< 10 < 1 < 50 < 10

> 4 - < 8 Dicantumkan Dicantumkan Dicantumkan

Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2005

Untuk mengetahui kesesuaian komposisi pupuk organik dan pembenah

tanah dengan persyaratan teknis minimal, perlu dilakukan pengujian mutu pupuk

organik dilaboratorium yang terakreditasi dan atau yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian melalui SK Mentan.

Page 30: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-196

Tabel 11. Persyaratan Teknis Minimal Pembenah Tanah di Indonesia

No Parameter Kandungan

1.

2. 3. 4.

5. 6.

7.

Bahan aktif* (%)(sintetis) KTK** pH Kadar air (%) untuk bahan pembenah tanah) Bahan ikutan (%) Kadar logam berat: - As (ppm) - Hg (ppm) - Pb (ppm) - Cd (ppm) Mikro patogen (cell/cc) (E.Coli, Salmonella)

0,02 - 5 (terhadap berat kering tanah)

> 80 4 – 8 < 35

< 2

< 10 < 1 < 50 < 10

dicantumkan

Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2005

(5) Kebijakan Subsidi Pupuk Organik

Prinsip dasar kebijakan pemberian subsidi pupuk organik, antara lain

adalah: (1) terpenuhinya azas enam tepat dalam distribusi pupuk organik, yaitu

tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu, dengan demikian petani dapat

didorong menggunakan pupuk organik dalam keberimbangan dengan pupuk an-

organik sesuai teknologi pemupukan yang dianjurkan di masing-masing wilayah;

(2) Karena subsidi tersebut ditujukan untuk petani, maka seharusnya subsidi

tersebut betul-betul dapat diterima oleh petani; (3) Kebijakan pemberian subsidi

pupuk tersebut tidak merugikan pabrikan pupuk organik, sehingga bagi pabrikan

pupuk dapat menerima keuntungan yang wajar; (4) Supaya kebijakan pemberian

subsidi pupuk organik yang ditetapkan pemerintah dapat diamankan di tingkat

pengecer atau petani, maka harus didukung oleh pola produksi dan distribusi yang

efektif dan efisien; dan (5) Perlunya seperangkat sistem dan mekanisme

pengawasan yang baik dengan instrumen penerapan sanksi atau hukum yang

tegas bagi yang melakukan pelanggaran.

Harga pupuk organik/kompos secara relatif lebih mahal dibandingkan

pupuk an-organik (N, P, dan K). Meskipun petani tertarik dan mau menggunakan

kompos, namun mereka tetap mencari kompos yang harganya murah meskipun

kualitasnya rendah. Sementara itu penggunaan dalam jumlah yang cukup masih

terbatas pada komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan prinsip dasar pemberian pupuk organik bersubsidi dan

kenyataan bahwa harga pupuk organik (kandungan hara) relatif mahal, maka

Page 31: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-197

terdapat beberapa skenario pemberian subsidi pupuk organik, antara lain adalah:

(1) Memberikan secara gratis benih tanaman yang berfungsi sebagai pupuk hijau

yang ditanam sebagai tanaman penyelang, seperti orok-orok dan tanaman

leguminosa lainnya; (2) Karena pupuk organik bersifat volumnous maka subsidi

dapat diberikan dalam bentuk subsidi biaya angkut; dan (3) Subsidi pupuk organik

diberikan secara langsung dengan penetapan HET seperti halnya pada subsidi

pupuk an-organik, dengan indikasi keberhasilan apabila pengecer menjual dan

petani membayar harga pupuk tersebut sebesar HET; serta (4) Pemberian subsidi

langsung dengan sistem kupon, bagi petani yang berhak menerima subsidi

diberikan kupon atau kartu penebusan dengan harga pupuk organik bersubsidi.

IV. KINERJA DAN PROSPEK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK

4.1. Revitalisasi Produksi dan Pemanfaatan

Pupuk organik dapat diaplikasikan dalam bentuk bahan segar atau

kompos. Pemakaian pupuk organik segar memerlukan jumlah yang besar, sulit

dalam penampungannya, serta memerlukan waktu dekomposisi lama karena

belum matang. Sisi negatif penggunaan pupuk organik yang belum matang

adalah mikroba perombak bahan organik akan berkompetisi dengan tanaman

utama dalam memperebutkan unsur hara seperti N (imobilisasi N). Namun dalam

beberapa hal, aplikasi ini justru sangat bermanfaat untuk mengkonservasi tanah

dan air, seperti penggunaan bahan organik sebagai mulsa atau penutup tanah.

Penggunaan pupuk organik yang telah dikomposkan memiliki beberapa

kelebihan antara lain volume bahan lebih sedikit dan telah memiliki tingkat

kematangan tertentu sehingga unsur hara mudah tersedia bagi tanaman. Di

samping itu, memungkinkan untuk diproduksi dengan skala komersial pabrikasi.

Tujuan pengomposan antara lain untuk merombak komponen bahan dasar yang

sulit didekomposisi menjadi bahan-bahan sederhana yang mempunyai porositas,

kepadatan serta kandungan air tertentu, membunuh patogen seperti E. Coli dan

Salmonella, serta memineralisasi hara untuk pertumbuhan tanaman.

Pupuk organik yang dikomposkan dan digunakan secara insitu di lahan

pertanian tidak memerlukan pengawasan dan peraturan tertentu. Sebaliknya,

dalam sistem produksi pupuk organik skala komersial dalam hal teknik pembuatan

serta kualitas mutunya perlu mendapatkan pengawasan melalui lembaga

Page 32: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-198

sertifikasi terutama kandungan minimal C organik, kandungan logam berat, serta

unsur berbahaya lainnya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Sejalan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan

dan pelestarian lingkungan, maka teknologi peningkatan produktivitas tanah dan

tanaman harus diupayakan secara ramah lingkungan. Penerapan teknologi

pemupukan dengan memperhatikan keberimbangan pupuk organik dan an-

organik diyakini dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan menjaga

keberlanjutannya.

Fenomena penurunan produktivitas lahan-lahan pertanian tidak saja terjadi

di Indonesia, namun juga berlangsung di beberapa negara lain di kawasan Asia.

Dilaporkan telah terjadi penurunan hasil padi di beberapa negara Asia dari lahan

sawah yang ditanami padi dua hingga tiga kali per tahun, meskipun dengan tingkat

pengelolaan optimal sesuai rekomendasi. Faktor utama yang menyebabkan

penurunan hasil ini diduga adalah karena menurunnya bahan organik tanah dan

hara P, K, S dan Zn, serta akumulasi bahan beracun yang berasal dari pupuk,

pestisida dan polutan lain.

Keberadaan bahan organik tanah sangat berpengaruh dalam

mempertahankan kelestarian dan produktivitas tanah melalui aktivitas mikroba

tanah dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sehingga dapat

dikatakan bahwa penggunaan pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk

an-organik akan meningkatkan dayasangga tanah terhadap segala aktivitas fisik,

kimia, dan biologi tanahnya.

Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang di hadapi dalam

pembangunan pertanian di Indonesia maka pengelolaan hara terpadu (Integrated

Plant Nutrient Management) yang bersifat ramah lingkungan dipandang paling

tepat. Pengelolaan hara terpadu mensyaratkan dioptimalkannya penggunaan

pupuk organik dan pupuk hayati disamping pupuk anorganik dalam proses

produksi usaha pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan hara

terpadu dapat meningkatkan produksi tanaman secara berkelanjutan (Adimihardja

dan Sri Adiningsih, 2000).

4.2. Peran Swasta dan Fasilitasi Pemerintah

Unsur swasta yang dapat dilibatkan dalam memproduksi pupuk organik

diantaranya meliputi: BUMD/BUMN, perbankan, koperasi, dan pelaku usaha

(swasta). Peran swasta diantaranya adalah pada penanaman modal atau investasi

pembuatan sarana dan prasarana fisik pabrik pupuk organik; proses produksi atau

Page 33: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-199

pembuatan pupuk organik, serta dalam distribusi dan pemasaran pupuk organik;

serta partisipasinya dalam penyusunan dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang

dapat mendukung pengembangan pupuk organik.

Pemerintah adalah Departemen Teknis Pusat dan Dinas Teknis Daerah

yang berperan dalam membuat berbagai kebijakan dan program yang mendorong

peningkatan produksi, distribusi, serta penggunaan pupuk organik melalui

berbagai kebijakan (peningkatan teknologi pembuatan pupuk organik, subsidi

pupuk organik yang efektif), regulasi (pengaturan produksi, distribusi, dan

pengawasannya), serta program-program pembangunan pertanian yang dilakukan

dengan pendekatan agribisnis berkelanjutan. Menjadi mediasi yang

menghubungan antara kepentingan swasta dengan kepentingan masyarakat

petani dalam rangka mendukung pengembangan produksi, distribusi, dan

perluasan penggunaan pupuk organik secara masal.

4.3. Pengembangan Pupuk Organik Spesifik Agroekosistem dan Komoditas

Indonesia tergolong daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi, tingkat

perombakan bahan organik berjalan relatif cepat, sehingga pupuk organik

diperlukan dalam jumlah besar. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam produksi dan

distribusi, serta dalam penggunaannya, terlebih bila pupuk organik harus

didatangkan dari tempat yang cukup jauh dari lahan usahanya.

Komposisi fisik, kimia dan biologi pupuk organik sangat bervariasi dan

umumnya manfaat bagi tanaman tidak secara langsung. Oleh karena itu

penggunaan pupuk organik tetap harus dikombinasikan keberimbangannya

dengan pupuk anorganik. Apabila hanya menggunakan pupuk organik saja

dikhawatirkan produktivitas tanah dan tanaman akan terus merosot karena

tanaman menguras hara dalam tanah tanpa pengembalian unsur hara yang

memadai. Disisi lain penggunaan pupuk an-organik yang sama terus menerus

dapat menimbulkan ketidak seimbangan hara dalam tanah.

(1) Pupuk Organik pada Lahan Sawah dengan Basis Komoditas Padi

Mikroba tanah berasama-sama dengan bahan organik tanah merupakan

komponen penting dalam tanah dan berperan sebagai penyangga biologi tanah

yang menjaga keseimbangan hara dan menyediakan hara dalam jumlah yang

berimbang bagi tanaman. Beberapa mikroba penting antara lain adalah mikroba

penambat nitrogen dari udara, mikroba pelarut P dan mikroba yang dapat

merubah belerang elemen (S) menjadi Sulfat (SO4) yang tersedia bagi tanaman

Page 34: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-200

serta mikroba dekomposer yang dapat mempercepat dekomposisi bahan organik

sehingga hara cepat tersedia.

Penelitian di bidang mikrobiologi tanah telah menghasilkan inokulan-

inokulan unggulan dari mikroba-mikroba tersebut dan telah dikemas sebagai

pupuk hayati (biofertilizer). Telah dihasilkan inokulan mikroba pelarut P yang terdiri

atas psedomonas spp; basillus spp; dan aspergillus spp., yang dapat

meningkatkan ketersediaan P pada tanah sawah (Prihatini et al., 1996). Inokulan

dalam waktu dekat akan dikemas sebagai pupuk hayati pelarut P.

Tanah merupakan sistem hidup yang dapat mengolah pupuk anorganik

yang diberikan menjadi bentuk tersedia atau tidak tersedia bagi tanaman. Kunci

proses tersebut adalah bahan organik tanah yang berperan sebagai penyangga

biologi, sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang untuk

tanaman. Tanah miskin bahan organik akan berkurang kemampuanya menyangga

pupuk, sehingga efisiensi pupuk berkurang karena sebagaian besar pupuk hilang

dari lingkungan perakaran.

Pada waktu pupuk an-organik masih langka yaitu sekitar tahun 1960-an

petani biasa menggunakan jerami dan pupuk hijau seperti Crotalaria yang

dirotasikan dengan padi sawah sebagai sumber pupuk. Dengan meningkatnya

intensitas tanam terutama di daerah-daerah pengairan cukup sehingga tidak ada

kemungkinan rotasi tanaman dengan tanaman pupuk hijau serta pengangkutan

jerami untuk keperluan lain (kertas, media tumbuh jamur, pakan ternak), maka

peranan bahan organik makin diabaikan. Petani hanya bersandar pada pupuk an

organik yang pemaikannya terus meningkat, tetapi efisiensinya menurun.

Hasil penelitian jangka panjang pengelolaan bahan organik untuk padi

menunjukkan bahwa :

1. Pengembalian jerami dalam tanah sawah tiap musim dapat memperbaiki

kesuburan tanah, baik fisik maupun kimia serta meningkatkan efisiensi pupuk

N dan P.

2. Pada tanah Kahat K, pemberian 5 ton jerami memberikan tangggap lebih baik

daripada pemupukan KCl, kenaikan hasil yang dicapai selama 7 musim tanam

rata-rata 1 ton tiap musim dan dapat menghemat pemakaian 80-120 KCl per

Ha.

3. Pengembalian jerami selain dapat mensubtitusi pupuk K juga memperbaiki

lingkungan tumbuh tanaman sehingga efisiensi serapan hara meningkat.

Page 35: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-201

4. Jerami padi dan sisa panen palawija merupakan sumber bahan organik yang

mudah didapat dan bermanfaat untuk memperbaiki produktivitas tanah sawah

dan mengurangi gejala pelandaian produksi.

Mengingat pentingnya peranan bahan organik terhadap kesuburan fisik,

kimia dan biologi tanah, maka pengelolaan kesuburan tanah harus dilakukan

secara terpadu dimana pupuk an-organik dengan takaran berdasarkan uji tanah

dikombinasikan dengan pemupukan organik. Hasil penelitian menunjukkan

pengelolaan hara terpadu dapat meningkatkan produksi secara berkelanjutan

(Abdurrachman et. al., 2000). Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan

produktivitas padi sawah secara berkelanjutan dan akrab lingkungan, selain

pengelolaan hara terpadu, perlu dilakukan pula perbaikan pola tanam berbasis

padi, dimana tanaman palawija harus dimasukkan dalam pola tanam meskipun

ketersediaan air tersedia secara terus-menerus.

(2) Pupuk Organik pada Lahan Kering

Komoditas Palawija

Bahan organik adalah bahan pembaik (amendment) tanah yang berfungsi

memperbaiki sifat-sifat tanah. Tetapi umumnya pengaruh yang nyata dari

pemberian bahan organik hanya dapat diperoleh dengan takaran yang tinggi.

Alterntif pola tanam yang dapat menghasilkan bahan organik dengan kualitas

tinggi dan dalam jumlah yang cukup perlu terus dipelajari untuk mengembangkan

pupuk organik yang lebih baik. Ada satu varietas legum yang memberikan

harapan untuk dikembangkan pada lahan kering masam untuk tanaman palawija.

Penanaman stylo yang tumbuh tegak dan cepat, stylosanthes guyanensis cultivar

CIAT 184, sebagai tanaman sela dalam pola tanam jagung di lahan kering masam

menunjukkan adanya kesempatan yang baik untuk memperbaiki kesuburan tanah

masam. Hasil boimassanya tinggi, berkisar antara 0,8 - 4,9 t/ha setiap kali

pangkas atau sekitar 4,5 - 10,0 t/ha/tahun.

Biomassa stylo dapat dikembalikan ke tanah sebagai mulsa, diberikan

langsung sebagai hijauan makanan ternak untuk sapi, atau dikeringkan kemudian

digiling dan dicampur dengan bahan-bahan lain untuk meningkatkan mutu

konsentrat pakan ternak. Penanaman legum ini secara luas akan mendorong

pengembangan ternak sehingga produksi pupuk kandang akan meningkat. Petani

yang sudah mengenal pentingnya peranan pupuk kandang dan menerapkannya

dalam sistem usahataninya akan dapat mempertahankan kesuburan tanah.

Page 36: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-202

Abdurrachman dan Agus (2000) melaporkan bahwa teknologi konservasi

tanah pada lahan kering untuk penanaman palawija yang telah dikenal dan

diadopsi petani antara lain: (1) Teknik olah tanah konservasi, terdiri atas olah

tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT) yang dapat menghemat biaya

pengolahan, menekan erosi, dan memperbaiki sifat fisik tanah; (2) Pemberian

mulsa, berupa sisa-sisa tanaman, untuk mempertahankan kelembaban tanah,

mengurangi aliran permukaan/erosi, dan menambah bahan organik; (3)

Penanaman pohon-pohon produktif, yang menghasilkan buah, getah dan produk

lainnya, yang dapat melindungi permukaan tanah dari terpaan air hujan dan aliran

permukaan; (4) Penanaman rumput pakan ternak sebagai tanaman strip

(hedgerow crops) pada tampingan dan bibir teras, seperti rumput gajah, rumput

raja, dan rumput benggala; (5) Sistem pertanaman lorong (alley croping), dapat

mengurangi erosi secara nyata; dan (6) Penterasan, seperti teras gulud dan teras

bangku. Teras bangku cocok untuk tanah yang solumnya tebal, strukturnya labil

dan tidak mengandung besi dan Al tinggi di lapisan bawahnya.

Komoditas Perkebunan dan Hortikultura

Peranan komoditas pertanian dataran tinggi terutama tanaman perkebunan

(teh, kina, kopi) dan hortikultura (buah-buahan dan sayuran) sangat penting dalam

perekonomian nasional secara keseluruhan. Pengelolaan lahan kering dataran

tinggi harus dilaksanakan dengan memperhatikan fungsinya sebagai sumber

plasma nutfah, daerah tangkapan air dan mempertahankan keanekaragaman

hayati (biodiversity).

Pengaruh pupuk kandang terhadap sifat-sifat fisik tanah antara lain adalah:

(1) Menurunkan berat isi dari 0,91 g/cm3 menjadi 0,89 g/cm3 (2) Meningkatkan

pori aerasi tanah dari 17 persen vol menjadi 21 persen vol; dan (3) Meningkatkan

stabilitas agregat tanah dari 47 menjadi 48.

Pengaruh penggunaan pupuk kandang terhadap sifat-sifat kimia tanah

antara lain adalah (Undang Kurnia, 2000): (1) Meningkatkan C organik dari 2,2

persen menjadi 2,5 persen; (2) Meningkatkan N-total dari 0,25 persen menjadi

0,28 persen; (3) Meningkatkan P-HCL 25 persen: 30 mg/100 g menjadi 43 mg/

100 g; dan (4) Meningkatkan K-HCL 25 persen: dari 25 mg/100 g menjadi 35

mg/100 g.

Beberapa jenis sayuran yang mempunyai prospek dikembangkan dan

mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi diantaranya adalah: kentang, kubis,

wortel, tomat, cabe, bawang merah dan buncis (Badan Litbang Pertanian, 1998).

Page 37: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-203

Pengusahaan komoditas sayuran di daerah sentra produksi memberikan tingkat

produktivitas yang tinggi jika dilakukan pemupukan yang tinggi baik pupuk organik

maupun an-organik. Untuk komoditas sayuran telah tersedia beberapa hasil

penelitian, diantaranya pengolahan tanah sempurna sedalam 20 - 30 cm,

pemupukan berimbang (an organik dan organik), pengendalian hama dan penyakit

tanaman, serta panen dan penanganan pascapanen. Beberapa komoditas buah-

buahan seperti markisa, jeruk dan apel merupakan komoditas yang mempunyai

prospek baik untuk dikembangkan. Tanaman-tanaman tersebut sangat sesuai

untuk ditanam pada daerah-daerah dengan ketinggian 800 - 1.500 m.dpl dengan

curah hujan 1.500- 2.000 mm/th dan harus mendapatkan sinar matahari langsung.

Produktivitas tanaman buah-buahan tersebut masih dapat ditingkatkan dengan

penggunaan pupuk organik dan an-organik secara berimbang (Badan Penelitian

dan Pengembangan Penelitian, 1998).

Tanaman perkebunan yang dapat diikembangkan di dataran tinggi adalah

kopi arabika dan teh. Di pasaran dunia, kopi arabika mempunyai harga lebih tinggi

diatas kopi robusta. Kondisi lahan yang sesuai untuk jenis kopi arabika adalah

ketinggian tempat harus >1.000 m dpl, rata-rata curah hujan 1.500 - 2.000 mm/th

dengan bulan kering 1 - 3 bulan/th dan tanah terbentuk dari bahan volkan dengan

kesuburan tanah cukup tinggi. Komoditas teh berasal dari daerah subtropis,

sehingga di Indonesia tanaman teh lebih cocok ditanam di daerah pegunungan

yang berhawa sejuk dengan curah hujan <2.000 mm/th pada tanah Andisols atau

Inceptisols dari bahan volkan pada ketinggian 400-1.800 m dpl. Tanaman lainnya

yang dapat dikembangkan di dataran tinggi adalah kemiri, kayumanis dan

makadamia yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Pengusahaan tanaman

perkebunan tersebut akan mencapai produktivitas tinggi dan berlanjut jika

dilakukan pemupukan secara berimbang dan dengan menggunakan teknologi

konservasi.

Komoditas peternakan yang diintegrasikan dengan tanaman perkebunan,

sayuran dan tanaman konservasi, terutama dari jenis domba, sapi potong dan sapi

perah dapat meningkatkan nilai tambah pengembangan komoditas. Pakan ternak

dapat diperoleh dari tanaman konservasi, seperti tanaman srip atau budidaya

lorong yang menanam tanaman pakan sebagai teknis konservasi tanah. Kotoran

ternak yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk organik, terutama pada

budidaya sayuran dan beberapa jenis buah-buahan seperti apel dan jeruk.

Page 38: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-204

4.4. Peta dan Arah Pengembangan Pupuk Organik

Pada hakekatnya arah yang ditempuh ditunjukkan oleh suatu proses yang

memungkinkan terwujudnya suatu sistem usahatani yang menggunakan pupuk

anorganik dan organik secara berimbang pada berbagai jenis usahatani pada

suatu kawasan tertentu. Keberimbangan penggunaan pupuk diperlukan

mengingat semakin terbatasnya sumberdaya lahan dan air serta terjadinya

degradasi sumberdaya lahan dan air. Dengan pendekatan keberimbangan

diharapkan efisisiensi penggunaan pupuk dapat ditingkatkan.

Agenda kebijakan apa yang diperlukan untuk mewujudkan tercapainya

pendekatan tersebut? Perlu diciptakan suatu lingkungan kebijakan yang

mendorong terwujudnya proses yang dimaksud (enabling environment) baik yang

menyangkut perundang-undangan maupun peraturan daerah, maupun kebijakan

insentif yang menyangkut pendanaan baik untuk infrastruktur maupun insentif

produksi.

Mengingat bahwa keberimbangan pemupukan pada hakekatnya telah

dilakukan sejak lama oleh masyarakat petani yang sekaligus mengusahakan

ternak. Dengan demikian kelembagaan yang telah dirintis oleh masyarakat

hendaknya dijadikan pintu masuk (entry point) dalam upaya memperkuat dan

memperluas sistem usahatani yang menggunakan pupuk secara berimbang.

Terdapat beberapa skenario pengembangan pupuk organik berdasarkan skala

dan sasarannya, yaitu skala komersial, skala kecil-menengah, dan skala kelompok

tani.

Sistem pengembangan pupuk organik dibedakan sesuai dengan sasaran

penggunaannya, yaitu: (1) non komersial, dan (2) komersial. Pengadaan pupuk

non komeresial dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat petani melalui

kelembagaan kelompok tani untuk memproduksi pupuk organik sendiri. Target

pengguna yang dituju adalah petani lahan kering dan lahan sawah dengan

memanfaatkan bahan organik insitu seperti sisa tanaman, sisa panenan, dan

kotoran ternak. Sebaliknya pengadaan pupuk organik skala komersial baik untuk

usaha menengah maupun besar ditujukan untuk pengguna yang mengusahakan

komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti sayuran, bunga-bungaan, buah-buahan,

dan tanaman perkebunan. Bahan dasar pupuk yang digunakan dapat berasal

antara lain dari kotoran hewan, limbah industri, dan sampah organik pasar yang

diproduksi secara pabrikasi.

Pengembangan produksi pupuk organik secara masal dan meluas

memerlukan berbagai persyaratan baik fisik maupun non fisik. Persyaratan fisik

Page 39: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-205

misalnya ketersediaan bahan baku pupuk organik, ketersediaan teknologi dan

tingkat adopsi teknologi sesuai kebutuhan. Sedangkan yang bersifat non fisik

dapat mencakup: (1) Pelaku swasta atau produsen pupuk organik, serta kelompok

tani dan petani secara individu; (2) Lembaga sertifikasi dan standarisasi produk

pupuk organik; (3) Sistem distribusi pupuk organik; dan (4) Kebijakan pemerintah

baik yang bersifat regulasi, pengawasan, maupun fasilitatif.

Pengembangan industri pupuk organik komersial secara masal dan meluas

sebaiknya berada pada wilayah regional kabupaten. Semakin tersebar industri

pupuk organik di suatu kabupaten sesuai potensinya semakin baik, karena industri

akan lebih dekat dengan sumber bahan baku dan petani sebagai pengguna.

Dapat dipastikan hal ini akan memperkecil biaya produksi dan biaya distribusi.

Kelemahan yang mungkin terjadi antara lain adalah sulitnya pengawasan atau

diperlukan tenaga pengawas (inspektur lapang) lebih banyak untuk mengawasi

kegiatan sejak pra produksi (bahan baku) proses produksi dan pasca produksi

(peredaran) pupuk organik.

Sertifikasi pupuk organik komersial yang akan diterbitkan Menteri

Pertanian sangat diperlukan, baik untuk melindungi petani dari segi keabsahan

mutu produk maupun melindungi produsen dari reputasi buruk. Namun demikian

di sisi lain patut dipertimbangkan dalam jangka pendek ke depan, disamping

peredaran pupuk organik bersertifikat, juga masih dibenarkan peredaran pupuk

organik non sertifikasi. Non sertifikasi yang dimaksud adalah syarat utama sebagai

pupuk organik dipenuhi tetapi syarat keharusan diperlonggar. Dalam

peredarannya kedua jenis mutu ini diberi label dengan warna berbeda. Melalui

pembinaan berkesinambungan pupuk organik non sertifikasi akan menuju kepada

sistem sertifikasi yang utuh. Hal ini didasari oleh kondisi lapangan saat ini yang

belum kondusif benar untuk menerapkan syarat-syarat sertifikasi secara kaku.

Revitalisasi pengembangan pupuk organik sejak dini harus sudah

mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan pemberian subsidi. Apabila tidak ada

subsidi, kemungkinan upaya pengembangan pupuk organik akan berjalan lambat

atau malahan stagnan. Mengingat penggunaan pupuk organik secara umum terus

merosot, kecuali untuk beberapa kasus komoditas hortikultura bernilai ekonomi

tinggi. Apabila subsidi dipandang perlu diberikan, ada beberapa alternatif yang

dapat dicermati yakni, (1) Seluruh subsidi pupuk anorganik dialihkan kepada

pupuk organik dengan konsekuensi kinerja pupuk anorganik terganggu,

sedangkan pupuk anorganik tetap penting, (2) Sebagian subsidi pupuk anorganik

dialihkan kepada pupuk organik, alternatif ini adalah alternatif moderat dan, (3)

Page 40: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-206

Jika anggaran negara memungkinkan, subsidi untuk pupuk organik dibuat mata

anggaran baru dalam pendanaannya tanpa mengurangi subsidi pupuk anorganik.

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Perencanaan pengembangan produksi pupuk organik untuk mendukung

pembangunan pertanian secara berkelanjutan di kawasan sentra produksi

didasarkan atas ketersediaan bahan baku organik baik yang menyangkut

jenis, kuantitas, dan kualitas; ketersediaan dan tingkat adopsi teknologi oleh

pelaku usaha (petani, kelompok tani, perusahaan swasta), dan spesifikasi

penggunaan (lahan kering, lahan sawah) atau (padi, palawija, hortikultura dan

perkebunan), serta di dasarkan atas dinamika permintaan pasarnya.

2. Pengembangan produksi pupuk organik di suatu daerah memerlukan

berbagai persyaratan baik fisik maupun non fisik. Persyaratan fisik seperti

ketersediaan bahan baku pupuk organik serta tingkat teknologi yang telah

dikuasai. Sedangkan yang bersifat non fisik dapat mencakup: (1) Pelaku

swasta atau produsen pupuk organik, serta kelompok tani dan petani secara

individu; (2) Lembaga sertifikasi dan standarisasi produk pupuk organik; (3)

Sistem distribusi pupuk organik; dan (4) Kebijakan pendukung dari

pemerintah.

3. Pemanfaatan pupuk organik dan pupuk hayati bersama pupuk anorganik

dalam sistem pengelolaam hara terpadu (Integrated Plant Nutrient

Management) untuk meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman perlu

dipromosikan dan digalakkan kembali disertai dengan informasi yang lengkap

mengenai sisi positif dan negatifnya serta melalui sistem penyuluhan secara

partisipatif. Program-program pengembangan pertanian mandiri yang

mengintegrasikan ternak dan tanaman atau CLS (Crop Livestock System),

penggunaan tanaman legum baik berupa tanaman lorong (alley cropping)

maupun tanaman penutup (cover crop) serta bahan organik insitu perlu

diintensifkan untuk mendukung pengembangan pupuk organik non komersial.

4. Mengantisipasi semakin banyaknya peredaran pupuk organik dalam

berbagai jenis, bentuk, merek dagang, kualitas yang belum terjamin dan

teruji, serta dikhawatirkan berbahaya bagi kesehatan dan kelestarian

lingkungan maka diperlukan adanya managemen produk dan standarisasi

produk pupuk organik. Diperlukan Keputusan Menteri Pertanian tentang

Page 41: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-207

persyaratan minimal mutu pupuk organik dan pembenah tanah, tatacara

pengujian, serta pengawasan peredarannya.

5. Pemberdayaan masyarakat petani melalui kelembagaan kelompok tani dalam

pengadaan pupuk organik dapat dilakukan melalui: (1) memberikan pelatihan

kepada petani dalam membuat pupuk organik insitu yang berasal dari kotoran

ternak dan sisa tanaman yang dikomposkan; (2) mendorong petani

melakukan diversifikasi usahapertanian berbasis ternak; dan (3) mendorong

petani melakukan pengelolaan bahan organik insitu terutama lahan kering.

6. Untuk mendapatkan pupuk organik yang memiliki standar kualitas dan dapat

diproduksi dalam skala ekonomi atau pabrikasi diperlukan fasilitas atau

insentif dari pemerintah berupa: (1) mikroba dekomposer yang efektif dalam

pengomposan; (2) dukungan teknolologi produksi dan penanganan pasca

produksi; (3) dukungan dan kemudahan dalam investasi; serta (4) adanya

managemen mutu dan standarisasi produk pupuk organik. Kebutuhan

mendesak lainnya bagi pelaku usaha pupuk organik adalah data dan

informasi tentang spesifikasi, karakteristik, persyaratan dan standarisasi mutu

produk pupuk organik. Persyaratan dan standarisasi mutu agar dapat

difasilitasi secara mudah, cepat, dan murah.

7. Justifikasi, urgensi, dan pertimbangan yang perlu diperhitungkan dalam

penterapan sistem insentif dan pemberian subsidi pengembangan pupuk

organik adalah sebagai berikut:

(a) Pemanfaatan pupuk organik dinilai mendesak mengingat semakin

menurunnya nilai marginal produktivitas pemanfaatan pupuk kimia.

(b) Pemanfaatan pupuk organik secara berimbang dengan pupuk kimia

diyakini mampu meningkatkan efisiensi pemupukan, produktivitas,

pendapatn, dan keberlanjutan usahatani.

(c) Pemberian subsidi pupuk organik komersial perlu mempertimbangkan

struktur industri, tanpa mengganggu kinerja produksi dan usaha pupuk

organik skala kecil dan menengah.

(d) Mengingat pupuk organik komersial diproduksi oleh produsen pupuk

kimia skala besar, maka perlu dipertimbankan subsidi silang untuk

mendorong percepatan pemanfaatan pupuk organik.

Page 42: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-208

(e) Pengembangan pupuk organik baru pada tingkat inisiasi, sehingga

pengembangannya perlu dilindungi dengan penetapan sertifikasi dan

tarif impor yang tepat dan rasional.

(f) Pengembangan pupuk organik non-komersial perlu mendapatkan

dukungan insentif yang intensif mencakup pengembangan teknologi,

penyuluhan, pendampingan, dan lain-lain.

8. Peta dan arah (road map) pengembangan pupuk organik perlu

mempertimbangkan beberapa aspek, sebagai berikut:

(a) Pupuk organik yang dimaksud adalah sebagai komplemen pupuk

anorganik secara berimbang, dengan sasaran peningkatan efisiensi

pemupukan dan ketahanan pangan nasional.

(b) Kelembagaan pemupukan berimbang dengan sistem konvensional

(endogenous technology) yang telah berkembang dalam masyarakat

perlu dijadikan pintu masuk (entry point) dalam memperkuat dan

memperluas pemanfaatan pupuk organik.

(c) Produksi, pengadaan, dan pemanfaatan pupuk organik non-komersial

dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat petani melalui

kelembagaan kelompok tani untuk memproduksi pupuk organik secara

swadaya.

(d) Pengadaan pupuk organik skala komersial oleh usaha menengah dan

besar diarahkan pemanfaatannya untuk pengembangan komoditas

bernilai ekonomi tinggi seperti sayuran, bunga-bungaan, buah-buahan,

dan tanaman perkebunan.

(e) Pengembangan industri pupuk organik komersial secara masal dan

meluas sebaiknya berada pada wilayah regional kabupaten, dengan

sasaran efisiensi produksi, pemasaran, dan pemanfaatannya.

(f) Perlu dipertimbangkan eksistensi pupuk organik non-sertifikasi (dengan

label warna berbeda), mengingat kondisi lapangan yang belum

memungkinkan penterapan persyaratan sistem sertifikasi secara penuh.

Melalui pembinaan berkesinambungan pupuk organik non-sertifikasi

akan menuju kepada sistem sertifikasi secara penuh dalam jangka

menengah ke depan.

(g) Alternatif pemberian subsidi pupuk organik komersial yang dinilai

moderat adalah pengalihan sebagiansubsidi pupuk kimia kepada pupuk

Page 43: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-209

organik, tanpa harus menyediakan mata anggaran baru dalam

pendanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., dan F. Agus. 2000. Pengembangan Teknologi Konservasi Tanah Pasca-NWMCP. Hlm. 25-38 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengeloaan Daerah Aliran Sungai. Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Bogor, 2-3 September 1999.

Abdurachman, A., J. S, Adiningsih, dan D. Nursyamsi. 2000. Konsep Pengendalian Mutu Pupuk Untuk Pertanian. Prosiding: Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Adnyana, M. O., Lintasan dan Marka Jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan Dalam Era Perdagangan Bebas. 2005. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor 31 Agustus 2005.

Balai Penelitian Tanah. 2005. Prospek Pengembangan dan Pemanfaatan Pupuk Organik di Indonesia. Balai Peneltian Tanah. Bogor.

Balai Penelitian Kopi Gayu. 1994. Laporan Hasil Penelitian Bagian Proyek Teknik Budidaya dan Pasca Panen Kopi Arabika Aceh. BPK Gayo.

Badan Litbang Pertanian. 1998. Dukungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dalam Pengembangan Kawasan Sentra Agribisnis Hortikultura. Jakarta.

BPTP Sumatera Utara. 2003. Karo Agro Ekosistem. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara bekerja sama BAPPEDA Kabupaten Karo. Medan.

Crawford, J. H. 1999. Composting of Agricultural Wastes. Dalam Biotechnology Aplication and Research. PN Cheremisionoff & P Oulette.

Karama, A. S. Pendayagunaan Lahan Untuk Produksi Tanaman Pangan. Prosiding: Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Karim, T.A. 1995. Prospek Pemasaran Kopi Arabika Organik. Proseding Gelar Teknologi Kopi Arabika Organik. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jembar.

Kariyasa K. Dan E. Pasandaran. 2004. Dinamika Struktur Usaha dan Pendapatan Tanaman – Ternak Terpadu. Makalah disampaikan dalam Seminar Kelembagaan Tanaman Ternak. 30 November – 2 Desember 204. Denpasar, Bali. Proyek PAATP Jakarta.

Page 44: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-210

Kariyasa K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman – Ternak dalam Perspektif Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor, 2005.

Kompas, 28 Juni 2005. Konsumsi Pupuk Dunia Meningkat. Produsen Bahan Baku Mengurangi Pasokan ke Pasar Ekspor.

Kurnia, U., Y. Sulaeman, dan A. Muti K. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Tinggi. Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.

Latief, D. 1996. Kebijaksanaan Penataan Ruang Dalam Pembangunan Daerah. Dalam Hermanto et al. (Penyunting) :Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air; Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Food Foundation.

Nasoetion, L. dan J. Winoto. 1994. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terghadap Keberlanjutan Swa Sembada Pangan. Dalam Hermanto et al. (Penyunting) Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air; Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Food Foundation.

Patanas. 2004. Analisis Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor, 2004.

Poerwanto, R. 2003. Peran Managemen Budidaya Tanaman Dalam Peningkatan Ketersediaan dan Mutu Buah-Buahan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Hortikultura Fakultas Pertanian. Instutut Pertanian Bogor, 13 September 2003.

Prihatini, T., A. Kentjanasari, dan Subowo. 1996. Pemanfaatan Biofertilizers Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan Pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (1) :22-26.

Puslittanag. 2004. Standarisasi Mutu dan Managemen Pupuk Organik. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Rachman, B., P. Simatupang, dan T. Sudaryanto. 2004. Efisiensi dan Dayasaing Sistem Usahatani Padi. Prosiding: Efisiensi dan Dayasaing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Rusastra, I. W., B. Rachman, dan S. Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur Proteksi Komoditas Palawija. Prosiding: Efisiensi dan Dayasaing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Rachman, H. P. S., B., Supriyati, Saptana, dan B. Rachman. Efisiensi dan Dayasaing Usahatani Hortikultura. Prosiding: Efisiensi dan Dayasaing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Page 45: Road Map Pengembangan Pupuk - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf · Perombakan bahan organik pada lahan atau tanah di daerah

VI-211

Sumaryanto, I. Amien dan M. Husein Sawit. 1996. Beberapa Permasalahan Sosial Ekonomi Pertanahan di Indonesia. Dalam Handoko, I. (Penyunting): Sistem Evaluasi Lahan Otomatis. Prosiding Seminar ‘Automated Land Evaluation System’. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Bekerjasama dengan Jurusan Geofisika dan Metereologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, dan A. M. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia: Implikasinya Terhadap Pembaharuan Agraria. Makalah disampaikan Dalam Rangka Ekspose BadanLitbang Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Saptana, Sumaryanto, M. Siregar, H. Mayrowani, I. Sadikin, dan S. Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Saptana, S. Friyatno, dan T. B. Purwantini. 2004. Efisiensi dan Dayasaing Usahatani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Prosiding: Efisiensi dan Dayasaing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Winaryo et.al. 1995. Kendala Budidaya Kopi Arabika Organik di Aceh Tengah. Prosiding Gelar Teknologi Kopi Arabika Organik. Takengon, 1995.

D:\data\data\Anjak-2005\Road Map Pengembangan Pupuk