referat sumbatan hidung - uti

50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang terdiri atas pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) 1 . Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung dan kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri 1 . Sumbatan hidung merupakan salah satu keluhan utama pada penyakit atau kelainan hidung 1 . Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip hidung, rinitis alergi, rinitis vasomotor, tumor hidung dan sinonasal, serta dapat disebabkan oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum nasi 1,2 . Di Brazil pada tahun 2004pernah dilaporkan insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3 % dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9% 2 . Di RSUP M. Djamil Padang, dari 40 orang pasien yang berobat ke poliklinik THT-KL pada bulan Oktober 2011 hingga September 2012, ditemukan keluhan utama terbanyak adalah 1

Upload: putriyuriandiniyulsam

Post on 19-Jan-2016

130 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Sumbatan Hidung - Uti

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang terdiri atas pangkal hidung

(bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan

lubang hidung (nares anterior)1. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang

rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung dan kavum nasi

berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian

tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri1.

Sumbatan hidung merupakan salah satu keluhan utama pada penyakit atau kelainan

hidung1. Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi

dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung

dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip hidung, rinitis alergi, rinitis

vasomotor, tumor hidung dan sinonasal, serta dapat disebabkan oleh kelainan anatomi

seperti deviasi septum nasi1,2. Di Brazil pada tahun 2004pernah dilaporkan insiden deviasi

septum nasi mencapai 60,3 % dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9%2.

Di RSUP M. Djamil Padang, dari 40 orang pasien yang berobat ke poliklinik THT-

KL pada bulan Oktober 2011 hingga September 2012, ditemukan keluhan utama

terbanyak adalah hidung tersumbat 24 orang (68%), begitu juga pada pasien rinosinusitis

akut, dari 23 pasien ditemukan keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat dan

ingus ditenggorok sebanyak 7 orang (47%). Pada pasien rinosinusitis dengan polip, dari

19 pasien didapatkan keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat 17 orang (89%)3.

Sumbatan hidung dapat terjadi oleh beberapa faktor, oleh karena itu diperlukan

anamnesis yang teliti untuk mengetahui penyakit yang menyebabkan keluhan sumbatan

pada hidung ini1. Referat ini bertujuan untuk membahas penyebab-penyebab tersering

hidung tersumbat sampai ke penatalaksanaan hidung tersumbat seusai dengan

penyebabnya.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai sumbatan hidung dan penyakit-penyakit yang dapat

menimbulkan gejala sumbatan hidung.

1

Page 2: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui sumbatan hidung dan penyakit-

penyakit yang dapat menimbulkan gejala sumbatan hidung.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk

kepada berbagai literatur.

2

Page 3: Referat Sumbatan Hidung - Uti

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:1

1. pangkal hidung (bridge),

2. batang hidung (dorsum nasi),

3. puncak hidung (hip),

4. ala nasi,

5. kolumela dan

6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Bagian Luar4

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1

1. tulang hidung (os nasalis),

2. prosesus frontalis os maksila dan

3. prosesus nasalis os frontal

3

Page 4: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Gambar 2.2. Anatomi Kerangka Hidung5

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring1.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares

anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise1.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista

nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago

septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela1.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada

bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan

dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan dibelakangnya terdapat konka-

konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung1.

4

Page 5: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah

ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi

ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema

disebut juga rudimenter1.

Gambar 2.3 Anatomi Dinding Lateral Rongga Hidung5

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin

etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,

medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar

hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)

duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral

rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus

semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit

melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid

anterior1.

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka

media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior

merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding

superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang

memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung1.

5

Page 6: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis

interna1.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,

di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

posterior konka media1.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada

bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid

anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach.

Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering

menjadi sumber epistaksis terutama pada anak1.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,

sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial1.

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus.

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila

melalui ganglion sfenopalatina1.

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-

serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor

dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di

belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media1.

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa

dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor

penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung1.

6

Page 7: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya

dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang

mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet1.

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-

kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa

berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)

pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet1.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah

nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung1.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah

epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar

mukosa dan jaringan limfoid1.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol

terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan

longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler

dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid

vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada

bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan

mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan

demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang

mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini

dipengaruhi oleh saraf otonom1.

7

Page 8: Referat Sumbatan Hidung - Uti

2.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah: 1

1. Fungsi respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran

tekanan dan mekanisme imunologik local.

Udara inpirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu

naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,

sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus1.

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara

inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya1.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi

pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan

adanya permukaan konka dan septum yang luas1.

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring

dihidung oleh: 1

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar

akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

2. Fungsi penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir

atau bila menarik napas dengan kuat1.

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa

manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis

strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal

dari cuka dan asam jawa1.

3. Fungsi fonetik

Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah

hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

8

Page 9: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga

terdengar suara sengau (rinolalia)1.

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga

terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan

nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun

untuk aliran udara1.

4. Fungsi statik dan mekanik

Untuk meringankan beban kepala1.

5. Reflex nasal.

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks

bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi

kelenjar liur, lambung dan pankreas1.

2.3 Sistem Transpor Mukosilier

Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung

terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya yang terhirup bersama udara.

Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.

Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa

submukosa1.

Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa, sedangkan pada bagian

permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan lebih banyak mengandung

protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan

serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA

sekretorik (s-IgA)1.

Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus berfungsi untuk pertahanan lokal yang

bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan

dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di

dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri1.

Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang

dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk

gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret

9

Page 10: Referat Sumbatan Hidung - Uti

akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan

berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan melewati mukosa

yang rusak tersebut. Tetapi, jika sekret lebih kental maka sekret akan terhenti pada

mukosa yang mengalami defek1.

Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.

Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, lalu ke atap, dinding lateral, dan bagian

inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral

menuju ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi

gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika

ostiumnya terdapat pada salah satu dindingnya1.

Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama

merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini

biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid yang selanjutnya akan berjalan

menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior

menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba eustachius. Transpor

aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya

jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan1.

Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang

bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior

orifisium tuba eustachius1.

Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret

rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan

vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian

inferior tuba eustachius1.

2.4 Penyakit yang dapat Menyebabkan Sumbatan Hidung

Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip

hidung, rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinosinusitis, tumor hidung dan sinonasal, serta

dapat disebabkan oleh kelainan anatomis seperti deviasi septum nasi1,2.

1.1.1. Polip Hidung

1.1.1.1. Definisi

Polip hidung adalah massa lunak yang bertangkai, yang mengandung banyak

cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, permukaannya licin,

yang terjadi akibat inflamasi mukosa1,6.

10

Page 11: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.1.1.2. Etiologi dan Patogenesis

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi

saraf otonom serta predisposisi genetik. Berdasarkan teori Bernstein, polip nasi

disebabkan oleh terjadinya peribahan mukosa hidung akibat peradangan atau

aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit kompleks ostio-

meatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan

pembentukan kelenjar baru, juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh

permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip1.

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor, terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan dilepaskannya sitokin-

sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema. Apabila proses terus

berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian

akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai1.

1.1.1.3. Gejala Klinis

Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat, dari yang

ringan hingga berat. Selain itu terdapat rinore mulai dari yang jernih hingga

purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin dapat disertai bersin-bersin, rasa nyeri

pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Apabila disertai infeksi

sekunder, mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder

yang dapat timbul berupa bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis,

gangguan tidur, dan penurunan kualitas hidup1.

Polip nasi juga dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah berupa

batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.

1.1.1.4. Klasifikasi

Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):1

1. Stadium 1

Polip masih terbatas di meatus medius.

2. Stadium 2

Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum

memenuhi rongga hidung.

3. Stadium 3

Polip yang masif.

11

Page 12: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.1.1.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

1. Anamnesis

Pada anamnesis dapat ditanyakan gejala-gejala yang terjadi pada pasien

polip nasi. Selain itu juga harus ditanyakan adanya riwayat rinitis alergi, asma,

intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan1.

2. Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar

sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada

pemeriksaan rinoskopi anterior, polip akan terlihat sebagai massa yang

berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan1.

Pada polip dengan stadium 1 dan 2 terkadang polip nasi tidak terlihat

dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, namun akan tampak dengan

menggunakan nasoendoskopi1.

Makroskopis

Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan

permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,

agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (tidak

terasa sakit bila ditekan/ditusuk). Warna polip yang pucat dikarenakan

mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Apabila

terjadi iritasi kronis atau proses peradangan, maka warna polip dapat berubah

menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat

menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat1.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di

meatus medius dan sinus etmoid. Apabila diperiksa dengan endoskop,

mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Terdapat polip yang tumbuh

ke arah belakang dan membesar di nasofaring yang disebut polip koana. Polip

koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip

antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus

etmoid1.

12

Page 13: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Mikroskopis

Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa

hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang

lembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eusinofil, neutrofil dan

makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan

kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia

epitel karena sering terkena aaliran udara, menjadi epitel transisional, kubik

atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi1.

Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2,

yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik1.

3. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat

memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam

sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT Scan sangat

bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal

apakah ada kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.

CT Scan terutama diindikasikan pada pasien dengan polip yang gagal diobati

dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada

perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi1.

1.1.1.6. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan

keluhan-keluhan, mencegah komplikasi, dan mencegah rekurensi polip1.

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi, disebut juga

dengan polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Pada

polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan

kortikosteroid intranasal dibandingkan tipe neutrofilik1.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip

yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi

polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal,

emoidektomi intranasal atau emoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi

Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Namun, apabila tersedia fasilitas endoskop,

maka penatalaksanaan yang terbaik adalah dengan melakukan tindakan BSEF

(Bedah Sinus Endoskopi Fungsional)1.

13

Page 14: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.1.2. Rinitis Alergi

1.1.1.1. Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang

sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan

dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986)1.

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh

IgE1.

1.1.1.2. Etiologi

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien

yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara

jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15%

anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4

kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi

yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang

respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi1.

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk

bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu

binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain1.

1.1.1.3. Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase

allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam1.

14

Page 15: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Gambar 2.4 Reaksi Alergi1

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung1.

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan

bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC

kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan

pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti

interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi

Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5,

dan IL 131.

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E

(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE

di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain

histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2

(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet

Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)1.

15

Page 16: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1)1.

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan

mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada

sekret hidung1.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic

Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP),

dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),

iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi1.

1.1.1.4. Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,

yaitu: 1

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang

mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen)

dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino

konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan

mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi

musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering

16

Page 17: Referat Sumbatan Hidung - Uti

adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar

rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.

Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya

disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.

Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan

golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih

sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1

1. Intermiten (kadang-kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap

Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi

menjadi : 1

1. Ringan

Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat

Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

1.1.1.5. Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala

rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat

kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,

yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap

patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama

17

Page 18: Referat Sumbatan Hidung - Uti

merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat

dilepaskannya histamin1.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis

alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-

kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya

gejala yang diutarakan oleh pasien1.

Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan

gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner1.

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena

gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.

Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis

melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic

crease1.

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding

posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta

dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic

tongue)1.

1.1.1.6. Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal dan utama pada rinitis alergi adalah dengan

menghindari kontak (avoidance) dengan allergen penyebabnya (seperti tungau

debu, bulu binatang) dan bahan iritan (seperti asap tembakau)1,7. Tujuan

tatalaksana pada rinitis alergi adalah untuk menghilangkan gejala yang timbul7.

18

Page 19: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Medikamentosa

1. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini

pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau

tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral1.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai

efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk

kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,

siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar

darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak

mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP

minimal (non-sedatif)1.

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta

efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut

keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang

mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan

repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,

henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).

Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan

levosetirisin1.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk

beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa1.

2. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,

bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor1.

19

Page 20: Referat Sumbatan Hidung - Uti

3. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal

bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas

limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung

tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat

dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan

mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator

dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses

inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.

Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis1.

4. Lainnya

Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan1.

Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat1.

Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan

hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG

blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum

dilakukan yaitu intradermal dan sublingual1.

\

20

Page 21: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Gambar 2.5 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO

Initiative ARIA 2001 (dewasa)1

21

Page 22: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.1.3. Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya

infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan

obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-blocker, aspirin, klorpromazin, dan obat

topikal hidung dekongestan1.

Kelainan ini memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala yang

dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi

pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai

dengan gejala mata1. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran edema

mukos hidung, konka merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini

perlu dibedakan dari rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol- benjol

(hipertrofi). Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan

rhinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofilia pada sekret hidung, namun dalam

jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif, kadar IgE spesifik tidak meningkat1.

Gejala hidung tersumbat pada rhinitis umumnya memberikan respon yang baik

dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.

1.1.4. Sinusitis

1.1.4.1. Definisi

Inflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya disertai atau dipicu oleh

rinitis, sehingga sering disebut rinosinusitis1. Umumnya sinusitis dipicu oleh

rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis1. Rinosinsitis didefinisikan sebagai

inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang dikarakteristikkan dengan dua

atau lebih gejala, dimana salah satunya haruslah berupa sumbatan hidung/

obstruksi/ keluarnya sekret hidung (anterior/ posterior nasal drip), selain itu

adanya nyeri wajah atau nyeri tekan pada wajah, penurunan ketajaman penghidu8.

1.1.4.2. Etiologi

Etiologi dan predisposisi pada sinusitis antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita haamil,

polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,

sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan

imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener1.

22

Page 23: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin

dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama kelamaan menyebabkan

perubahan mukosa dan merusak silia1.

1.1.4.3. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya

klirens mukosilier di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi

antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan1.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjdi

edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat

bergerak dan ostium tersumbat, sehingga terjadi tekanan negatif di dalam rongga

sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini

bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya dapat sembuh

dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Namun, bila kondisi ini menetap, sekret

yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya dan

multiplikasi bakteri. Pada kondisi ini sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut

rinosinusitis akut bakterial dan membutuhkan terapi antibiotik1.

Apabila terapi tidak berhasil dan inflamasi berlanjut,akan terjadi hipoksia dan

bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan

rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi

kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan

ini mungkin dibutuhkan tindakan operasi1.

1.1.4.4. Gejala Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat yang disertai nyeri/

rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok

(post nasal drip). Dapat juga disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan

lesu1. Menurut kriteria EPOS, rinosinusitis dikarakteristikkan dengan dua atau

lebih gejala, salah satunya haruslah sumbataan hidung/ obstruksi/ sekret hidung

(anterior/ posterior nasal drip), selain itu nyeri wajah/ nyeri tekan pada wajah,

penurunan atau kehilangan penghidu. Dan berdasarkan temuan endoskopik dapat

juga ditandai dengan polip hidung, sekret yang mukopurulen secara primer dari

meatus media dan atau udem/ obstruksi mukosa secara primer pada meatus media

23

Page 24: Referat Sumbatan Hidung - Uti

dan atau perubahan pada CT Scan yaitu perubahan mukosa pada KOM dan atau

sinus8.

1.1.4.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis akan didapatkan gejala-gejala yang

dikeluhkan penderita1.

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior,

pemeriksaan naso-endoskopi. Pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan

untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya adalah adanya pus di

meatus media (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di

meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid)1.

Pada rinosinusitis akut, mukosa akan edem dan hiperemis. Pada anak sering

terdapat pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius1.

Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto

polos posisi Waters, PA, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi

sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Pada kelainan akan terlihat

perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT

scan sinus merupakan gold standard pada diagnosis sinusitis karena mampu

menilai anatomi hidung dan sinus1.

1.1.4.6. Penatalaksanaan

Tujuan terapi sinusitis adalah:

1. Mempercepat penyembuhan

2. Mencegah komplikasi

3. Mencegah perubahan menjadi kronik.

Medikamentosa

Prinsip pengobaatan adalah dengan membuka sumbatan pada KOM sehingga

drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami1.

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan

penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman telah resisten atau memproduksi beta-

laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin

generasi ke-2. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun

24

Page 25: Referat Sumbatan Hidung - Uti

gejala klinis sudah hilang1. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai

dengan kuman gram dan anaerob.

Selain dekingestan oral dan topikal, jika perlu juga dapat diberikan analgetik,

mukolitik, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau

pemanasan(diatermi). Bila ada alergi berat, diberikan antihistamin generasi ke-2.

Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan yang berat1.

Tindakan Operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini

untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya untuk dilakukan

operasi adalah sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;

sinusitis kronik disertai disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip

ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur1.

1.1.5. Deviasi Septum Nasi

1.1.1.1. Definisi

Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di

tengah sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua

rongga hidung yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung2.

Bentuk septum nasi normal ialah lurus di tengah rongga hidung, namun pada

orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garus tengah. Deviasi

septum nasi yang ringan tidak akan mengganggu, namun pada septum deviasi

yang cukup berar dalap menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung1.

1.1.1.2. Etiologi

Penyebab deviasi septum nasi yang tersering adalah trauma. Trauma yang

terjadi dapat berupa fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum, atau akibat

trauma saat lahir1,2. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan.

Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, sedangkan batas superior dan inferior

telah menetap, sehingga terjadilah deviasi pada septum nasi1.

25

Page 26: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.1.1.3. Klasifikasi

Deviasi septum nasi dibagi Mladina atas beberapa klasifikasi berdasarkan

letak deviasi (Gambar 2), yaitu2,9,10:

1. Tipe I. Benjolan unilateral, tidak meluas sepanjang kavum nasi, tidak kontak

dengan dinding lateral hidung yang belum mengganggu aliran udara.

2. Tipe II. Deviasi vertikal anterior. Deviasi kontak dengan katup hidung,

menyebabkan gangguan fungsi.

3. Tipe III. Deviasi vertikal, posterior. Deviasi dekat kepala konka media / area

osteomeatal.

4. Tipe IV. Disebut juga tipe S dimana septum bagian posterior dan anterior

berada pada sisi yang berbeda. Tipe ini merupakan kombinasi dari tipe II dan

III.

5. Tipe V. Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain

masih normal.

6. Tipe VI. Tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga

menunjukkan rongga yang asimetri.

7. Tipe VII. Kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Gambar 2.6 Klasifikasi Septum Nasi menurut Mladina10

26

Page 27: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya

keluhan yaitu10:

1. Ringan : deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada

bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.

2. Sedang : deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit

bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.

3. Berat : deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral

hidung

1.1.1.4. Pemeriksaan Fisik Deviasi Septum Nasi

Deviasi septum nasi dapat terlihat dengan mudah pada pemeriksaan rinoskopi

anterior. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk

menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa2.

1.1.1.5. Gejala Klinis

Keluhan yang paling sering dikeluhkan pada pasien dengan deviasi septum

nasi adalah sumbatan hidung, baik unilateral maupun bilateral, hal ini

dikarenakan pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi

sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi1,2.

Keluhan lainnya dapat berupa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu

penciuman dapat terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.

Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor

predisposisi terjadinya sinusitis1,2.

1.1.1.6. Penatalaksanaan

Bila tidak ada gejala atau keluhan yang sangat ringan, tidak perlu dilakukan

tindakan koreksi septum. Sedangkan pada pasien dengan keluhan yang nyat,

terdapat 2 jenis tindakan operatif yaitu reseksi submukosa dan septoplasti1.

1. Reseksi Submukosa

Pada operasi ini muko-perikondrium dan mukoperiostium kedua sisi

dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang

rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan

mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah1.

27

Page 28: Referat Sumbatan Hidung - Uti

Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya

hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung oleh karena

bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat1.

2. Septoplasti

Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian

yang berlebihan yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah

komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti

terjadinya perforasi septum dan hidung pelana1.

1.1.6. Hematoma Septum

Sebagai akibat trauma, pembuluh darah submukosa akan pecah dan darah

akan berkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan septum1. Apabila terjadi

fraktur tulang rawan, maka darah akan masuk ke sisi lain, sehingga dapat terbentuk

hematoma septum bilateral. Adanya kumpulan darah di sub-perikondrium akan

mengancam vitalitas tulang rawan yang hidupnya tergantung dari nutris

perikondrium1.

Gejala klinik

Gejala yang menonjol pada hematoma septum adalah sumbatan hidung dan

rasa nyeri1.

Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral pada

septum bagian depan, berbentuk bulat, licin, dan berwarna merah. Pembengkakan

dapat meluas sampai ke dinding lateral hidung, sehingga mengakibatkan obstruksi

total1.

Terapi

Drenase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang

rawan. Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian

hematomayang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh, dilakukan insisi

bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah tulang

rawan di bawahnya1.

Antibiotika harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder1.

Komplikasi

Komplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi adalah abses septum dan

deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose)1.

28

Page 29: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1.1.7. Abses Septum

Definisi

Abses septum nasi adalah pus yang terkumpul di antaraa tulang rawan dengan

mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang melapisinya11.

Abses septum kebanyakan disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak

disadari oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian

terinfeksi kuman dan menjadi abses1.

Gejala

Gejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif yang disertain dengan rasa

nyeri berat terutama terasa di puncak hidung1.

Pemeriksaan

Pemeriksaan lebih baik tanpa menggunakan spekulum hidung. Tampak

pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan permukaan licin1.

Penatalaksanaan

Abses septum harus segera diobati sebagai kasus gawat darurat, karena dapat

terjadi komplikasi yang berat, yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan

nekrosis tulang rawan septum1.

Terapinya dengan melakukan insisi dan drenase nanah serta diberikan

antibiotika dosis tinggi. Untuk gejala demam, dapat diberikan analgetik1.

Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung, bila sudah ada destruksi tulang

rawan perlu dilakukan rekonstruksi septum1.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi berupa destruksi tulang rawan septum yang

dapaat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (saddle nose). Juga dapat

menyebabkan komplikasi ke intrakranial atau septikemia1. Infeksi intrakranial dapat

berupa meningitis, abses otak, dan empiema subaraknoid11.

2.5 Pemeriksaan pada Jalan Napas

1. Spatula lidah

Spatula lidah merupakan pemeriksaan sederhana dan dapat dilakukan apabila

tidak ada alat lain yang tersedia, yaitu dengan cara meletakkan spatula di depan

hidung dan meminta pasien untuk bernapas biasa sambil menutup mulut.

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan apakah terdapat sumbatan hidung.

29

Page 30: Referat Sumbatan Hidung - Uti

2. Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)

NIPF merupakan alat untuk mengukur aliran udara hidung saat inspirasi. NIPF

terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor, dan tabung silinder yang berisi

diafragma yang bergerak apabila terdapat aliran udara. Alat ini memiliki skala 30-

370 l/ menit. Sebelum melakukan pemeriksaan, pasien terlebih dahulu melakukan

adaptasi terhadap suhu ruangan selama 20 menit2.

Alat ini digunakan dengan meletakkan “face mask” menutupi hidung dan

mulut. Udara inspirasi dihirup melalui hidung dengan memastikan bahwa mulut

tertutup. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dengan hasil tertinggi yang

didapat akan dipakai2.

Tabel 2.1. Nilai Sumbatan Hidung pada NIPF2

Derajat Sumbatan Hasil NIPF Hidung

Obstruksi hidung berat < 50

Obstruksi hidung sedang 50-80

Obstruksi hidung ringan 80-120

Tidak ada obstruksi >120

DAFTAR PUSTAKA

30

Page 31: Referat Sumbatan Hidung - Uti

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.

2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

2. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012

3. Budiman BJ, Asyari A, Rosalinda R, Azani S. Profil Rinosinusitis di Poliklinik THT

RSUP DR. M. Djamil Padang. 2013. Diakses dari

http://bestaribudiman.blogspot.com/2013_03_01_archive.html pada tanggal 12

Agustus 2014.

4. Hani N. Bagian-bagian Hidung (Indera Pencium). 2013. Diunduh dari

http://hanysundara88.blogspot.com/2013/09/hidungindera-pencium-anatomi-

hidung.html pada tanggal 14 Agustus 2014.

5. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jilid 1 Edisi 22 hlm. 086, 088.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

6. Mudasir, Azis A, Punagi AQ. Analisis Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma

Penderita Polip Hidung Berdasarkan Dominasi Sel Inflamasi pada Pemeriksaan

Histopatologi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2011.

7. Small P, Kim H. Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011, 7

(Suppl 1) 53.

8. Fokkens WJ, Lurd VJ, Mullol J, Bachert C., et al. European Position Paper on

Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology Official Journal of the Europeah

and International Societies.

9. Budiman BJ, Azami S. Rinosinusitis Kronis dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi.

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2012

10. Jin RH, Lee YJ. New description method and calssification system for septal

deviation. J Rhinol 2007; 14(1): 27-31

11. Budiman BJ, Prijadi J. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Septum Nasi. Jurnal

Kesehatan Andalas. 2013; 2 (1)

31