myiasis hidung fix

Upload: dhinialfiandari

Post on 17-Oct-2015

212 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

myiasis

TRANSCRIPT

MYIASIS HIDUNG

I. PENDAHULUANMyiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia atau vertebrae hidup dan memakan jaringan mati atau hidup serta cairan tubuh atau makanan yang ditelan oleh hospesnya.1 Myiasis ini banyak ditemukan pada negara negara tropis dan subtropis seperti Afrika dan Amerika. Diantara lalat penyebab myiasis di dunia, lalat Chrysomya bezziana mempunyai nilai medis yang penting karena larvanya bersifat obligat parasit.1,2 Infestasi myasis pada jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala tergantung pada lokasi yang dikenai. Larva yang menyebabkan myasis dapat hidup sebagai parasit di kulit, jaringan subkutan, soft tissue, mulut, traktus gastrointestinal, sistem urogenital, hidung, telinga dan mata. Higiene yang buruk dan bekerja pada daerah yang terkontaminasi, melatarbelakangi infestasi parasit ini.3,4 Myiasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur baik secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat sedang tidur. Penyakit ini sering ditemukan pada negara-negara masyarakat golongan sosial ekonomi rendah. Manifestasi klinik termasuk pruritus, nyeri, adanya tanda-tanda inflamasi, demam, dan infeksi sekunder. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian. Myasis hidung merupakan kasus yang jarang ditemukan.1,3

II. EPIDEMIOLOGIMyiasis pada hidung endemik terutama di Negara Afrika dan Amerika di daerah tropis maupun subtropik, terutama pada musim panas. Di Indonesia Sulawesi, Sumba Timur, Pulau Lombok, Sumbawa, Papua dan Jawa telah dilaporkan sebagai daerah endemik. Sebagian besar pasien adalah berusia di atas 60 tahun dengan rasio perempuan laki-laki adalah 1 : 1.4,5,6

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG IV.1 Anatomi Hidung 10,11,12

Gambar 1. Anatomi Hidung ( dikutip dari kepustakaan 10 )

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril. (Lubang hidung) kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

IV.1.a. Perdarahan hidung 11,12

Gambar 2.Suplai darah dinding lateral hidung ( dikutip dari kepustakaan 12 )

Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

IV.2.b. Persyarafan hidung 11,12Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila. Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

IV.2 Fisiologi Hidung 11,12Hidung berfungsi sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85% - 90% disaring didalam hidung. Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1) Sebagai jalan nafas untuk mengatur keluar masuknya udara, (2) Alat pengatur kondisi udara (Air Conditioning) fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembapan udara dan mengatur suhu, (3) Penyaring udara dan pelindung, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara, (7) Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan.

IV. ETIOLOGI 1,5,7,8 Myiasis adalah infestasi larva lalat pada jaringan tubuh hewan yang masih hidup, disebabkan oleh larva lalat fakultatif dan atau obligat. Kejadian Myiasis di Indonesia teridentifikasi disebabkan oleh larva lalat : Chrysomia benziana, Booponus intonsus, Lucillia, Calliphora, Musca dan Sarcophaga. Genus Chrysomia yang memegang peranan penting dalam kasus myasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia bezziana. Berdasarkan sifatnya maka larva tersebut dibedakan menjadi : - Fakultatif Parasit yaitu larva secara normal hidup bebas dan mampu berkembang pada bahan bahan organik yang busuk, tetapi larva tersebut dapat dijumpai pada hewan hidup dimana mampu berkembang dan selanjutnya dapat bertindak sebagai parasit untuk kelangsungan hidupnya. Terdiri dari Blowflies, misalnya: Larva dari Lucilia, Phormia, Calliphora dan Chrysomyia.- Obligat Parasit yaitu larva secara normal membutuhkan jaringan induk semangnya sebagai makanan dalam perkembang biakannya terdiri dari: Bot flies,misalnya, Larva dari genus Gasterophilus, Oestrus. Warble fliesmisalnya, Larva dari Hipoderma bovis dan H. lineatum. Screw worm misalnya, Larva dari Callitroga hominivorax, C. macellaria dan Chrysomyia bezziana lalat yang paling umum bertanggung jawab menyebabkan myiasis hidung.

Gambar 3. Morfologi Tubuh lalat Chrysomyia bezziana dewasa (dikutip dari kepustakaan 5)Lalat dewasa C. bezziana berwarna metalik hijau atau biru. Wajah lalat ini biasanya berwarna kuning dengan lembut bulu-bulu kuning halus, Panjang lalat dewasa berkisar antara 8 dan 12 mm. Tidak ada tanda-tanda makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata sehingga identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik.5,9 Telur C.bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm dan berdiameter 0,26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada kedua ujungnya. Larva C. bezziana terbagi menjadi tiga instar, yaitu L1, L2, dan L3. Larva ini mempunyai 12 segmen, yaitu satu segmen kepala, tiga segmen torak, dan delapan segmen abdominal. Ketiga instar tersebut dapat di bedakan dari panjang tubuh dan warnanya. Panjang L1 adalah 1,6 mm dengan diameter 0,25 mm dan berwarna putih, sedangkan L2 mempunyai panjang 3,5-5,5 mm dengan diameter 0,5-0,75 mm dan berwarna putih samapi krem. Adapun panjang L3 mencapai 6,1-15,7 mm dengan diameter 1,1-3,6 mm. L3 muda berwarna krem namun jika telah dewasa berwarna merah muda.5Larva mempunyai kait-kait dibagian mulutnya berwarna coklat tua atau coklat orange. Larva menyerupai cacing yang mempunyai 11 segmen dengan kait-kait anterior berlokasi pada segmen kedua dan kait-kait posterior berlokasi pada segmen terakhir. Larva juga memiliki tanduk yang dapat mengelilingi setiap segmen tubuhnya. Kait-kait anterior memiliki 4-6 bibir. 5,9

Gambar 4. Morfologi dari larva chrysomyia bezziana ( dikutip dari kepustakaan 9)Siklus hidup C.bezziana berkisar 9-15 hari dan lalat betina bertelur 150-200 telur sekaligus. Telur diletakkan di luka dan selaput lendir dari mamalia hidup dan akan menetas setelah 24 jam pada suhu 30C. Setelah 12-18 jam, larva stadium I muncul dari dalam telur dan bergerak dipermukaan luka atau pada jaringan yang basah. Larva ini berubah menjadi larva stadium II setelah 30 jam dan larva stadium III setelah 4 hari. Larva stadium I berwarna putih dan memiliki ukuran panjang 1,5 mm, larva stadium II berukuran 4-9 mm dan larva stadium III berukuran 18 mm. Larva stadium II dan III menembus jaringan hidup dari host dan hidup dari jaringannya. Pada saat makan hanya kait-kait posterior yang tampak. Larva stadium III meninggalkan luka setelah makan dan berubah menjadi pupa dan kemudian lalat dewasa. Tahap pupa sangat tergantung dengan faktor suhu, cuaca yang hangat akan menguntungkan pertumbuhan. Tergantung pada suhu, tahap pupa dapat berlangsung dari 1 minggu sampai 2 bulan. Lalat jantan menjadi seksual dewasa setelah 24 jam meninggalkan puparium mereka, sementara lalat betina memakan waktu sekitar 6-7 hari untuk menjadi sepenuhnya seksual dewasa. Jika cuaca tropis (29C atau 84,2F), seluruh siklus hidup akan berlangsung sekitar 24 hari, namun, pada suhu dingin (di bawah 22C atau 71,6F), siklus hidup dapat berlangsung selama 2-3 bulan.5,7,9

Gambar 5. Siklus Hidup Chrysomyia bezziana Gambar 6. Siklus hidup lalat screw-(dikutip dari kepustakaan 5)worm, Chrysomyia bezziana (dikutip dari kepustakaan 9)

V. PATOGENESISPada usia tua biasanya telah terjadi kurangnya derajat penciuman yang dapat memfasilitasi lalat untuk bertelur pada hidung. Faktor predisposisinya adalah rhinitis atrofi dan keganasan. Myiasis pada hidung lebih sering terjadi pada orang yang menderita rhinitis atrofi, yaitu penyakit hidung kronis dengan etiologi tidak diketahui, ditandai dengan progresif atrofi mukosa hidung dan tulang yang mendasari dan adanya sekresi kental yang cepat mengering dan membentuk krusta yang memberikan karakteristik bau busuk disebut ozaena. Pada rhinitis atrofi, sensasi sensorik berkurang sehingga pasien dapat tidak menyadari lalat hinggap pada krusta atau cairan hidung.1,8,13 Lalat betina tertarik pada lesi bernanah atau cairan yang berbau, dan meletakkan telurnya kurang lebih 200 butir, yang kemudian dalam waktu 24 jam menetas menjadi larva. Lalat dewasa tidak dapat bertelur dalam dua lubang hidung, namun, migrasi larva dalam lubang hidung lain melalui koana dapat terjadi. Telur ini dapat pula berpindah ke tempat lainnya pada tubuh manusia dengan jari pasien sendiri terlebih lagi dengan higienitas yang buruk ataupun hilang dengan bersin atau saat menggaruk.8,13 Setelah telur lalat menetas, larva akan masuk lebih dalam dengan kait tajam pada mulut dan duri halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai pembuluh darah sekitar serta membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan memperparah kerusakan. Larva menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan hostnya. Sekresi enzim proteolitik oleh bakteri di sekitarnya akan menguraikan jaringan menjadi jaringan nekrotik termasuk allantoin, amonia, dan kalsium karbonat yang kemudian akan dimakan oleh larva. Interaksi dari enzim dan toksin bakteri-larva dapat pula menyebabkan erosi pada tulang. Efektivitas dari aktivitas larva tampak dari hasil stimulasi jaringan granulasi oleh aktivitas fisik larva yang selalu bergerak untuk mendapatkan makanan dari jaringan nekrotik. Terdapat peningkatan eksudat serosa, yang juga didorong oleh efek iritan dari aktivitas larva. Nekrosis jaringan terus berlangsung diikuti dengan invasi dan pertumbuhan larva hingga membentuk lesi berbentuk gua yang besar. Dapat timbul tanda klinis 2 hari setelah infestasi seperti pendarahan dari lesi, jaringan sekitarnya menjadi tegang , edema dan bau busuk yang menyengat. 8,14,8,13

VI. DIAGNOSISVI.1. Anamanesis1,8,12,13Tanda-tanda myiasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan dan pergerakan larva, yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan atau tanpa sensasi gerakan, hidung dan wajah menjadi edema dan eritem yang dapat meluas ke dahi dan bibir, adanya noda darah atau cairan hidung mukopurulen, berbau busuk, dan anosmia. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas melalui mulut dan suara sengau. Dapat menjadi epistaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari hidung. Jika belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat bermanifestasi sebagai batuk, laringospasme, dispnea, dan stridor.

VI.2. Pemeriksaan Fisis1. Rhinoskopi Anterior 5,8,12Pemeriksaan Rhinoskopi tampak edema, ulserasi membran mukosa yang berisi material nekrotik dan belatung. Dapat pula tampak perforasi septum, palatal, ataupun keduanya pada pasien. Sekret mukopurulen berbau busuk. Pada kasus yang lanjut dapat menyebabkan sumbatan duktus nasolakrimalis. Ulat dapat merayap ke dalam sinus atau menembus ke intrakranial. Pemeriksaan Rhinoskopi mungkin tidak hanya mengkonfirmasi diagnosis tetapi juga dapat digunakan untuk mengobati pasien, membantu dalam mengeluarkan belatung dengan forsep.

Gambar 7. Larva yang menggelinding keluar dari hidung ( dikutip dari kepustakaan 13)

VI.3. Pemeiksaan penunjang 1. Nasoendoskopi 2,8,12Dapat memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas. Tampak jaringan nekrotik luas berisi kelompok belatung. Kadang-kadang, larva tidak dapat terlihat karena mereka fotofobik dan cenderung bersembunyi di bagian terdalam dari rongga hidung hingga ke tuba eustachius.

Gambar 8. Larva pada kavitas nasal ( dikutip dari kepustakaan 14 )

2. CT-Scan 7,12,13Pada pemeriksaan CT-Scan berguna untuk mengevaluasi tingkat kerusakan tulang dan invasi jaringan. CT-Scan kepala potongan aksial dapat terlihat bayangan bulat yang bersegmen-segmen di dalam sinus paranasal.

Gambar 9. CT-Scan paranasal-potonganGambar 10. CT sinus paranasal potonganaksial :obstruksi pada fosa nasalisaksial: penutupan komprehensifpada dengan pergeseran septum nasi sinus maksilaris kiri dengan implikasi ( dikutip dari kepustakaan 14 )dari anterior kiri dan ethmoid posterior dan sinus sfenoid. (dikutip dari kepustakaan 14 )

VII. PENATALAKSANAAN Pengobatan ini sebagian besar konservatif yang bertujuan mengeluarkan parasit dan membatasi kerusakan jaringan. Untuk mengobati infeksi sekunder yang menyertai myiasis (bakteri), yaitu dengan pemberian antibiotik spektrum luas atau antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur bakteri yang berasal dari luka myiasis dan resistensi kuman. Belatung muda lebih sulit untuk dikeluarkan karena perlekatan yang lebih kuat dibandingkan belatung dewasa. Minyak terpentin dan parafin cair digunakan dalam semua kasus pada hari pertama. Terpentin mengiritasi belatung dan kemudian akan keluar dari sarangnya sementara parafin cair mencegah akses oksigen pada belatung dan kemudian akan mati lemas akibat kekurangan oksigen yang dilanjutkan dengan ekstraksi larva secara manual menggunakan forcep. Larva yang terletak di dalam dan tidak dapat dijangkau dapat dikeluarkan lebih mudah dengan menggunakan nasal endoskopi dengan pembiusan. Pengobatan lokal dilakukan dengan menggunakan kloroform dan minyak turpentin (1 : 4).1,2,12 Rongga hidung diolesi nasal antiozaena digunakan dua kali sehari yang mengandung kloramfenikol 90 mg%, estradiol dipropionat 0.64 mg%, vitamin D2 900 I.U dan propilena gliserol . Kloramfenikol bertindak khususnya pada flora bakteri proteodik, dimana estrogen telah merangsang mukosa hidung yang atropi untuk mempromosikan peningkatan produksi kelenjar dan meningkatkan turgur dari mukosa, vitamin D2 terutama aktif pada trophism mukosa hidung yang dipengaruhi oleh proses organik. Pasien juga diberikan campuran 25% glukosa dan gliserin sebagai tetes hidung dan digunakan 2-3 kali sehari. 2,13 Glukosa berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri proteolitik sementara gliserin membuat mukosa tetap lembab. Penderita akan bersih dari larva dalam waktu dua hingga tiga hari dan diijinkan meninggalkan rumah sakit dalam waktu lima sampai tujuh hari. Bila terjadi komplikasi lebih berat, tindakan pembedahan harus dilakukan.1,13

Gambar 11. Setelah penyedotan cairan Gambar 12. Larva yang telah diekstraksi pada hidung tampak larva pada kavitasdari hidung pasien. Larva terpanjang nasal ( dikutip dari kepustakaan 1)10 mm ( dikutip dari kepustakaan 1 )

VIII. KOMPLIKASI Beberapa komplikasi dapat terjadi selama infestasi pada rongga hidung. Apabila tidak diobati maka larva dapat bergerak ke atas dan masuk ke saluran air mata, selanjutnya merusak tulang rawan dan tulang septum, menghancurkan os nasal dan os frontal. Komplikasi ini dapat berupa selulit pada wajah, ulserasi dinding faring posterior, perforasi septum nasi dengan gambaran hidung pelana, perforasi palatal, perforasi periorbital dengan edema ringan tanpa adanya diplopia. Selain itu, larva dapat masuk ke dalam paranasal bahkan dalam kasus yang ekstrim dapat menyebabkan penetrasi ke dalam sistem saraf pusat, menembus dasar tengkorak dan menyebabkan meningitis sampai kematian, dengan tingkat kematian hingga 1,19%. Setelah belatung telah dikeluarkan, semua pasien disarankan untuk operasi korektif untuk perforasi palatal, perforasi septum nasi, maupun perforasi periorbital. Namun sebagian besar pasien tidak setuju untuk dilakukan tindakan. 1,2,5,13

Gambar 13. Pasien dengan perforasi septal (dikutip dari kepustakaan 6)

IX. PROGNOSIS Prognosis myiasis hidung baik jika perawatan dilakukan dengan benar. Dua bulan setelah operasi endoskopi, tidak ada tanda-tanda kekambuhan pada pasien. Dalam sebuah penelitian, 80% pasien yang menolak pengobatan memiliki myiasis hidung berulang. 3,5,13X. PENCEGAHAN Pencegahan myiasis hidung memerlukan pengendalikan populasi lalat dan perlindungan terhadap pasien dengan hambatan fisik. Efisiensi dalam pembuangan limbah dilengkapi dengan insektisida dapat meminimalkan populasi lalat. Menutup jendela dan pintu dengan rapat serta meningkatkan hygienitas juga akan mengurangi kontak antara lalat dengan pasien. Metode Sterile Insect Technique (SIT) yaitu pelepasan lalat jantan yang disterilisasi dengan teknik radiasi dan pengembangan pemikat lalat (attraktan) juga masih dilakukan dan menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. 2,5,8

DAFTAR PUSTAKA

1. Wu C J.Nasal Myiasis in a Bedridden Patient and Literature Review. Journal Medical Science. Taiwan.2012.p.39-412. Widyaningsih I, Supriyono B. Miasis. Surabaya; Universitas Wijaya Kusuma..p.1-53. Lee T Y, et al. Nosocomial Nasal Myiasis in an Intubated Patient. Journal of the Chinese Medical Association. A Case Report..2011.p.369-714. Francesconi F, Lupi O. Myiasis. Clinical Microbiology Reviews. 2012.p.79-985. Wardhana A H. Chrysomya Bezziana; Penyebab Myiasis pada Hewan dan Manusia : Permasalahan dan Penanggulangannya. Bogor; Balai Penelitian Veteriner.2006.p.146-596. Arora S, et al.Clinical Etiology of Myiasis in ENT: a Retrogade Period-Interval Study. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. An Original Article.2009.p.356-617. Burgess I F. Myiasis : Maggots Infestasion. Cambridge.2003.p.51-38. Rangan R K, et al. Endoscopic Management of Nasal Myiasia : A 10 Years Experience. A Case series.2013.p.58-60 9. Spradbery J C.Life Cycle. In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm Fly. Australia ; Commonwealth of Australia. 2002.p.4-810. Netter F H, Machado C A G. Netters Atlas of Human Anatomy. Acces on : March 14th 2014.Available at : www.netterart.com. 11. D S Dhillon, C A East.Ear,Nose and Paranasal Sinuses. In Ear,Nose,and Throat,and Head and Neck surgery. Second Edition. Toronto : Harcourt Publishers Limited.2000. p.30-112. Soepardi F A,et al. Sumbatan Hidung. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi keenam. Jakarta; FKUI.2006. p.118-22,14313. S Vikash et al.Nasal Myasis. Journal Rhinol.An Original Article. India; 2006. p. 120-3 14. Manfirm A M, et.al. Nasal Myiasis : Case Report and Literature Review. Acces on : March 14th 2014. Available at : http://www.internationalarchivesent.org/conteudo/acervo_eng.asp?id=409

16