hidung luar
DESCRIPTION
shTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.1,2
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.2,34
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca
Dahulu rhinitis alergi dibedakan berdasarkan sipat berlangsungnya, namun
pada saat ini digunakan klasifikasiinitis alergi berdasarkan ARIA (Allergic
Rhinitis and it’s impact on asthma).12987
Gejala rhinitis alergi berciri khas bersin berulang, hidung gatal, hidung
tersumbat, ingus yang encer dan banyak.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih banyak tentang rhinitis alergi
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1 Anatomi hidung
A. Hidung bagian luar
Bentuk hidung luar seperti piramid. Bagian puncak hidung
disebut apeks atau hip. Agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang
hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke belakang ke pangkal
hidung atau bridge dan menyatu ke dahi. Yang disebut kolumela membranosa
mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah
distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal
sebagai dasar hidung.
Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari
atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kanan dan kiri kolumela
adalah nares anterior (lubang hidung) atau nostril kanan dan kiri, sebelah
laterosuperior dibatasi oleh ala nasi (cuping hidung) dan di sebelah inferior
oleh dasar hidung. 4,5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung.4,5
2
Kerangka tulang terdiri dari :
Sepasang os nasalis
Prosesus frontalis os maksila
Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari :
Sepasang kartilago nasalis lateral superior
Sepasang kartilago nasalis lateral inferior (kartilago ala mayor)
Beberapa pasang kartilago ala minor
Kartilago septum nasi
Kerangka tulang dan kartilago dari hidung ditutupi oleh otot-otot yang
dapat menggerakkan ala nasi, otot-otot tersebut antara lain:
M. depressor septii nasi
M. dilator nares
M. levator labii superior
M. Nasalis
M. Procerus4,5
3
B. Hidung bagian dalam
Hidung dalam dibagi menjadi kavum nasi (rongga hidung) kanan dan kiri
oleh septum nasi. Setiap kavum nasi tersebut dihubungkan dengan dunia luar
melalui nares anterior dan dihubungkan dengan nasofaring melalui nares posterior
(koana).
Hidung bagian dalam terdiri dari :
Vestibulum
Merupakan bagian dari cavum nasi yang Terletak tepat di belakang nares
anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut yang disebut vibrissae.
Septum nasi
Dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yang membagi kavum nasi
menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Bagian tulang terdiri dari:
Lamina perpendikularis os etmoid
Os vomer
Krista nasalis os. Maksila
Krista nasalis os. Palatine
Bagian tulang rawan terdiri dari:
Kartilago septum (lamina kuadraangularis)
kolumela
Kavum Nasi (rongga Hidung)
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os. Maksila dan prosesus
horizontal os. Palatum
2. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inverior, os nasal prosesus
nasalis os. Maksila, korpus os. Etmoid dan korpus os. Sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang didahului oleh
filament-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
4
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
cranial konka superior.
3. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os.
Maksila, os. Lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,
lamina perpendikularis os. Palatum dan lamina pterigodeus medial.
4. Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Dari bawah ke atas
yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os. Maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media dan superior merupakan bagian dari labirin etmoid
5. Meatus nasi
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Ada tiga Meatus, Yaitu:
o Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung, dimana pada meatus ini
terdapat muara duktus nasolakrimalis.
o Meatus media terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung, di meatus ini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior.
o Meatus superior merupakan ruang antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid.
6. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.`
5
C. Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan
a.oftalmikus berasal dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksila
interna.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoidalisanterior, a.labialis superior dan a.palatina
mayor, yang disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena ophtalmika superior yang berhubungan dengan
sinus kavernosus.
6
D. Persarafan Hidung
Saraf motorik
Untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar mendapat persarafan
dari cabang nervus fasialis.
Saraf sensoris
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus ophtalmika (N. V-I). rongga hidung lainnya sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina
Saraf otonom
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
7
Nervus olfaktorius (penciuman)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribriformis dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
regio olfactorius
2.1.2 Fisiologi Hidung
Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat
penghidu dan rongga-suara untuk berbicara.
Dalam sistem pernapasan :
o Inspirasi :
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat
kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar
sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang
masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut
pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang
masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai
8
banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang
masuk.
o Ekspirasi :
udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di
depan memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali
ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring
Resonansi suara
Dimana Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau) dan
Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara
Refleks nasal
Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal
cerna, kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung
menyebabkan bersin dan nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi
kel liur, lambung dan pankreas.
Mekanisme Penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel
pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf
kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk
serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus
olfaktorius). Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara
inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung,
sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit. Kemudian
timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson bergabung
menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf otak ke I ini
menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian
bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke
daerah pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.678
9
2.2 RHINITIS ALERGI
2.2.1 Devinisi Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE. 1,2,3
2.2.3 Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.7,8,10,11
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau
yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca
10
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan 1,11,12
2.2.4 Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 20017,11 :
11
2.2.5 imunopatogenesis
Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu
Reaksi alergi fase cepat (RAFC) Berlangsung sampai satu jam kontak
dengan alergen dan mencapai puncaknya pada 15,20 menit pasca paparan
alergen.
Reaksi alergen fase lambat (RAFL) berlangsung 24-48 jam kemudian
dengan puncak reaksi pada 4-8 jam pertama.
Alergen yang menempel pada mukosa hidung pada pertama kali,
terhirup bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh
makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji
antigen (antigen presenting cell) diproses membentuk fragmen pendek
peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji
akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan
Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.6,11
12
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.6,11
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF),
berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin pada secret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
13
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Gambar 2.1. Patogenesis rinitis alergi
2.2.6 Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah :
Terdapatnya serangan bersin berulang. bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin
patologis
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak
hidung tersumbat
hidung dan mata gatal
14
Kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
o Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute)
pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid
atau cair.
o Tanda di mata
Edema kelopak mata
kongesti konjungtiva
lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
o Tanda pada telinga
retraksi membran timpani
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii.
o Tanda faringeal
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid.
o Tanda laringeal
suara serak
Edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas:
batuk,
sakit kepala,
masalah penciuman,
mengi
penekanan pada sinus
15
nyeri wajah
post nasal drip.
Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur.1
2.2.7 Diagnosis Rinitis Alergi
A. Anamnesa
Bersin berulang
Hidung tersumbat
Rinore banyak bening dan encer.
Hidung dan mata gatal kadang disertai lakrimasi (konjungtivitis)
Tanyakan penggunaan obat sebelumnya.
Tanyakan bagaimana lingkungan rumah dan sekolah / tempat kerja
Tanyakan riwayat keluarga, apakah ada penyakit atopic
B. Pemeriksaan Fisik
Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, warna pucat atau livid
disertai secret encer yang banyak
Bila gejala persisten mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
16
C. Pemeriksaan penunjang In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radioimunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
In vivoAlergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.Pada diet eliminasi, jenis
17
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang denganmeniadakan suatu jenis makanan.1,2,3
Skin Prick Test
2.2.7 Penatalaksanaan Rinitis Alergi Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Simptomatis
a. MedikamentosaAntihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
18
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor .
b. Operatif Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.
c. Imunoterapi Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
2.2.8 Komplikasi rinitis alergi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih
sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah .7,8,9,10
BAB IIIKESIMPULAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan
pada dewasa dan ingestan pada anak- anak.1,2,3
Gejala rinitis alergi yang khas ialah Terdapatnya serangan bersin
berulang. bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah
19
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal,Kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-
tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.1,7,8
Diagnosa rhinitis alergi dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik danpemeriksaan penunjang. Dari anamneses dapat ditemukan Bersin
berulang,Hidung tersumbat, Rinore banyak bening dan encer, Hidung dan mata
gatal kadang disertai lakrimasi (konjungtivitis), Tanyakan penggunaan obat
sebelumnya,Tanyakan bagaimana lingkungan rumah dan sekolah / tempat kerja,
Tanyakan riwayat keluarga, apakah ada penyakit atopic. Dari Pemeriksaan Fisik,
Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, warna pucat atau livid disertai secret
encer yang banyak, Bila gejala persisten mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.1,8,10
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen penyebabnya (avoidance), medikamentosa, operatif dan
imunoterapi.1,7,8,9,10
DAFTAR ISI
1. Soepardi, Efiati dkk. 2003. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Jakarta : FKUI. P. 122-128
2. Lee, J.K. rhinitis & neurophaty, essential otolaryngology,2008 edisi 9.
newyork : yele hospital. P. 378-383
3. Soepardi, Efiati dkk. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Jakarta : FKUI. P. 128-134
4. Adam, G. Boies. 1997. Buku ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC
20
5. Huriyati, effy. Diagnosis dan penatalaksanaan rhinitis alergi yamg disertai
asma bronchial. FK UNAND – RSUP Dr. M. Djamil Padang
6. Pawankar, ruby. Dkk. 2012. Allergic Rhinitis and its impact on asthma i
asia pacific and ARIA update 2008 Dalam : symposium Repor
Supplement.
7. Snow, J B. Ballenger. 2003. Allergic Rhinitis. Dalam : bellenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ED, new York : BC
Decker
8. ARIA. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st edition. 2007
9. Seikh J. Allergic Rhinitis. http://emedicine.medscape.com/article/134825
diakses 12 maret 2015
10. Sudiro, madiadiapoera. 2010. Eusinophil kerokan mukosa hidung sebagai
rhinitis alergi. MKB volume 42 No.1
11. Karya, Aziz. 2008. Pegaruh rhinitis alergi terhadap gangguan tuba
eustachius. Cermin dunia kedokteran 166 Volume 37
12. Plaut valentine. 2005. Allergic Rhinitis : the new England journal of
medicine 353 volume 18
21