referat angifibroma drindah

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Massa dalam nasofaring seringkali tenang sampai massa ini mencapai ukuran yang cukup mengganggu struktur sekitarnya. Gejala-gejala terdiri dari epistaksis posterior, keluarnya cairan postnasal, sumbatan hidung, dan tuli. Paralisis saraf kranial III, VI, IX, X dan XI dapat terjadi tapi biasanya merupakan gejala terakhir. Otitis media serosa timbul karena obstruksi tuba eustakius. Pada setiap orang dewasa yang timbul otitis media serosa unilateral, massa nasofaring sebaiknya diduga dan nasofaring di periksa. 1 Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM, namun Friedberg pertama kali menggunakan istilah angiofibroma pada tahun 1940. Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Biasanya terjadi selama pubertas, paling sering pada anak laki-laki. Tumor ini ditandai oleh 1

Upload: monica-lauretta-sembiring-ii

Post on 11-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

.m,nbvcx

TRANSCRIPT

Page 1: referat angifibroma drIndah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Massa dalam nasofaring seringkali tenang sampai massa ini mencapai ukuran

yang cukup mengganggu struktur sekitarnya. Gejala-gejala terdiri dari epistaksis

posterior, keluarnya cairan postnasal, sumbatan hidung, dan tuli. Paralisis saraf

kranial III, VI, IX, X dan XI dapat terjadi tapi biasanya merupakan gejala terakhir.

Otitis media serosa timbul karena obstruksi tuba eustakius. Pada setiap orang

dewasa yang timbul otitis media serosa unilateral, massa nasofaring sebaiknya

diduga dan nasofaring di periksa.1

Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad ke-5

SM, namun Friedberg pertama kali menggunakan istilah angiofibroma pada tahun

1940. Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring

yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai

kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke

sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang

sulit dihentikan. Biasanya terjadi selama pubertas, paling sering pada anak laki-

laki. Tumor ini ditandai oleh obstruksi hidung yang dapat menjadi total,

hyponasality, rasa tidak enak sewaktu menelan, obstruksi tuba auditiva dan

epistaksis masif.1,2,3

Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma

adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat

laun membesar. Angiofibroma nasofaring belia juga dikenal dengan beberapa

nama, antara lain: nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of aolescence,

fibroangioma. Tumor ini dapat menekan jaringan otak sekitarnya dan terjadi

perdarahan intraserebral atau ke dalam ruang subaraknoid sedangkan fibroma

merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan fibrosa atau jaringan

penyambung yang berkembang secara sempurna. Sehingga angiofibroma dapat

1

Page 2: referat angifibroma drIndah

diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang ditandai oleh proliferasi jaringan

fibrosa dan vaskuler.2,3

1.2. Batasan Masalah

Refrat ini membahas tentang anatomi nasofaring, definisi, etiologi, patofisiologi,

diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis dari

angiofibroma nasofaring belia

1.3. Tujuan Penulisan

Refrat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai

angiofibroma nasofaring belia serta gambaran radiologi yang akan ditemui.

1.4. Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan refrat ini berupa tinjauan pustaka yang

merujuk kepada berbagai literature dan makalah ilmiah.

2

Page 3: referat angifibroma drIndah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti

corong, merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang

dewasa panjangnya ± 10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis

sphenoid sampai ke vertebra servikal VI pada batas bawah dari kartilago krikoid.1

Faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu sepertiga bagian proksimal,

dibatasi oleh palatum mole disebut nasofaring dan dua per tiga bagian distal

dibagi secara imaginer menjadi orofaring (mesofaring) dan laringofaring

(hipofaring). Nasofaring merupakan saluran yang berfungsi untuk respirasi,

berupa rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral, tidak dapat

bergerak kecuali palatum mole bagian bawah.7

3

Page 4: referat angifibroma drIndah

Gambar 1. Anatomi faring

Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur yang secara klinis

mempunyai arti penting, yaitu :7

1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah yaitu jaringan adenoid

2. Pada dinding faringeal lateral dan resesus faringeus terdapat jaringan limfoid

yang dikenal dengan fossa Rosenmuller

3. Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas kartilago saluran

tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang, tampak tonjolan seperti

ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan palatum mole.

4. Koana posterior rongga hidung

5. Foramen kranial yang letaknya berdekatan dan foramen jugularis yang dilalui

oleh saraf kranial glosofaringeus, vagus dan assesorius spinalis

6. Pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus

petrosus inferior, vena jugularis interna, arteri faringeal asenden dan foramen

hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus

7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat

bagian lateral atap nasofaring

8. Ostium dari sinus – sinus sphenoid

2.2. Definisi

Angiofibroma nasofaring belia adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring

yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena

mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,

seperti ke sinus paranasal, pipi, mata  dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah

yang sulit dihentikan.1

2.3. Insiden

Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,

diperkirakan hanya merupakan 0,05% dari tumor leher dan kepala. Tumor ini

4

Page 5: referat angifibroma drIndah

umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada

usia di atas 25 tahun.1,2

2.4. Etiologi

Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti.

Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang

pasti. Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

teori jaringan asal dan teori ketidakseimbangan hormonal. 1

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi

karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum

di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum

tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan

gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis

dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga

dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding

posterolateral atap rongga hidung. 1,16

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa

terjadinya angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal

ini menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon

androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya

hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya

hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Diduga

tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan

pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya

hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.1,16

2.5. Patofisiologi

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh

darah. Tumor ini diperkirakan berasal dari tempat perlekatan spesifik

angiofibroma yang terletak di dinding posterolateral atas rongga hidung. Tumor

pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana

5

Page 6: referat angifibroma drIndah

di atas nasofaring, dekat dengan margin utama foramen sphenopalatina. Tumor

akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang tepi atas nasofaring,

mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan

massa di atas rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari

bagian bawah selaput lendir nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior ruang

postnasal. Akhirnya, rongga hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan

menyimpang ke sisi lain. Pertumbuhan superior diarahkan melalui sinus sphenoid,

yang mungkin juga akan terkikis. Sinus cavernosus dapat diserang jika terjadi

penyebaran tumor yang lebih lanjut.1,2,4

Gambar 2. Lokasi tumor nasofaring

Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen

sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding

posterior sinus maksila. Bila meluas terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu

menyusuri rahang atas bagian belakang masuk ke jaringan lunak antara otot

maseter dan businator yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh”

di wajah. Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor akan

mendorong salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya

proptosis (tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”) dan

atrofi N. optikus.1,2

6

Page 7: referat angifibroma drIndah

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.1

Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan otitis

media. Bila tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan penyumbatan

pada ostium sinus sehingga terjadi sinusitis. Perluasan tumor ke arah orofaring

dapat menekan palatum molle sehingga menimbulkan disfagia yang lambat laun

juga akan menyebabkan sumbatan jalan napas.5,6

2.6. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat

bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan

penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat

yang progresif dilanjutkan dengan adanya epistaksis masif yang berulang. Adanya

obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul

rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan

menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang lanjut datang dengan keadaan

umum yang lemah, anemia, gangguan menelan, sefalgia hebat yang menunjukkan

bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, dan gangguan pernapasan karena

tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan

deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis sehingga

wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal

dengan “wajah kodok”.1,7

Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:1,7,8,9,10

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala

yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi

hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga

timbul rinorea kronis.

2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal

discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang

(recurrent).

7

Page 8: referat angifibroma drIndah

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat

biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.

6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke

rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan

sekret saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas

septum nasi.

8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)

9. Nyeri telinga (otalgia)

10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),

11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke

lateral.

8

Page 9: referat angifibroma drIndah

Gambar 3. “Muka kodok” pada penderita angiofibroma nasofaring.

2.7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan

operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan

yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja

operasi dengan persiapan untuk operasi pengangkatan tumor.10,11

Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif

yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu

perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat

badan dan kelelahan.11,12

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa

tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai

merah muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang

terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan,

sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu.

Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua

warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya

mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1

2.8. Radioanatomi

9

Page 10: referat angifibroma drIndah

Gambar 4. Gambaran normal nasofaring, sinus maksilaris dan fossa

infratemporal.

A. CT scan aksial melalui porsi tengah dari sinus maksilaris (M) dan bagian atas

dari prosesus odontoid (13) menunjukan septum nasal, turbinate inferior (1),

nasofaring (NP), otot temporalis (2), prosesus coronoid (3), zigoma (4), otot

masseter (5), glandula parotis (6), prosesus styloid (7), otot longus kapitis (8),

tonus tubarius (9), otot tensor veli palatini (10), plate pterygoid lateral (11), dan

otot pterygoid lateral (12). Densitas yang terlihat di belakang torus sebagian besar

disebabkan oleh otot levator veli palatini. Tensor veli palatini jarang terlihat

sebagai muscle bundle yang berbeda. Sebagian dari densitas yang terlihat dari

medial ke lateral pterygoid plate disebabkan oleh otot tensor veli palatini. (10).

Dari medial ke lobus dalam glandula parotid (6), ruang simetris densitas rendah

parafaring terlihat. Pada posterior prosesus styloid terlihat densitas stuktur

neurovascular petrostyloid.

B. Scan axial proton-weighed magnetic resonance menunjukan otot quadratus

labii superior (open arrow), otot orbicularis oculi dan zigomatikus (white and

black arrows), vena angularis (white arrows), tulang zigomatikum (Z), antrum

maksilaris (*), turbinasi nasal (N), otot masseter (M), otot pterygoid (P),

mandibular (curved arrow), vena retromadibular (arrowhead), arteri veterbra

(white and black arrows), otot longus colli (L), eksterna(e) and interna (I), arteri

carotis, vena jugularis (J) dan otot temporalis (T).10

2.9. Pemeriksaan Penunjang

10

Page 11: referat angifibroma drIndah

1. Foto Polos

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-posterior,

lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai

tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang

sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa

jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus

zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.1

Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa

jaringan lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding

orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang

menunjukkan gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring belia.12

Gambar 5. Foto polos lateral menunjukkan adanya massa besar di nasofaring yang

menggeser diding antral posterior ke anterior (tanda panah). Massa tersebut juga

meluas ke sinus sphenoid.22

2. CT Scan

Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina.

Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior

rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang

foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat kontras akan tampak secara

tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. 1,12

11

Page 12: referat angifibroma drIndah

Gambar 6. CT scan non kontras angiofibroma nasofaring belia. A. CT scan axial

non kontras memperlihatkan suatu massa jaringan lunak homogen yang membesar

di aperture nasal kanan. Suatu komponen yang besar dari tumor terproyeksi secara

posterior ke nasofaring dan orofaring. C. CT scan koronal non kontras juga

memperlihatkan opasifikasi yang sempurna dan perluasan massa jaringan lunak di

aperture nasal kanan. Tumor meluas ke dalam dan memperlebar celah infraorbital

kanan (tanda panah). Tumor tersebut (tanda asterisk) telah mendestruksi dasar

tulang, terlihat di sinus sphenoid.16

Gambar 7. CT scan axial dengan kontras memperlihatkan massa di nasofaring kiri

dan fossa nasal yang telah meluas ke antrum kiri, melebar ke fossa pterigopalatina

kiri, dan meluas ke fossa infratemporal kiri (tanda panah). Pasien ini menderita

angiofibroma.22

12

Page 13: referat angifibroma drIndah

Gambar 8. Angiofibroma nasofaring belia meluas ke fossa pterigopalatina. CT

scan memperlihatkan pembesaran dari fossa pterigopalatina (small black

arrowheads) oleh massa yang meluas. Terdapat perubahan bentuk yang

mendorong dinding posterior sinus maksilaris ke anterior. Plat pterigoid terdorong

sedikit ke posterior.22

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah

menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih

baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan

struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna, dan sinus

kavernosus).12

Magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan

dan menentukan luasnya tumor, terutama dalam kasus keterlibatan intrakranial.

Koronal MRI scan menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosus terlihat pada

gambar di bawah.2

13

Page 14: referat angifibroma drIndah

Gambar 9. Foto koronal MRI angiofibroma nasofaring belia menunjukkan perluasan dari lesi ke sinus kavernosus2

14

Page 15: referat angifibroma drIndah

Gambar 10. Gambaran MRI dari seorang laki-laki dengan angofibroma nasofaring

belia. Metalic dental braces menyebabkan struktur facial anterior mengalami

distorsi pada gambaran T1-weighted yang mengisi kavum nasi (tanda panah) dan

nasofaring. Maksilaris anterior dan sebagian dari hidung telah terdistorsi.14

Gambar 11. Angiofibroma. Proton-weighted (A) dan T2-weighted (B) axial scans.

Tumor tersebut tidak jelas dengan area sinyal yang rendah, mewakili pembuluh

darah (tanda panah). C. GRASS (gradient-recalled acquisition in the steady state)

gambaran sagital menunjukkan area dengan hiperintensitas (tanda panah)

15

Page 16: referat angifibroma drIndah

mengindikasikan massa vaskular yang tinggi. Tampak perubahan inflamasi yang

nyata pada sinus maksilaris.10

MRI dapat menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik

dibandingkan CT scan dan sangat membantu dalam mendeteksi kekambuhan

setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan terjadi karena reseksi lengkap dari

tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena kekambuhan mungkin

terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan tindak lanjut

awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan

pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis sisa

tetapi tidak ada gejala atau massa klinis jelas.

4. Angiografi

Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah pemasok

utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor.

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi

tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna homolateral.

Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan

tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa pterigomaksila.1

Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah

dari arteri bilateral yang berdekatan. Oleh karena itu, arteriografi bilateral arteri

karotis interna dan externa diindikasikan pada kebanyakan pasien.20

Kadang dapat dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravascular

sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.

Embolisasi pre-operatif bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor,

tapi mengurangi tejadinya komplikasi perdarahan massif. Seringkali angiografi

dan embolisasi dilakukan bersamaan kurang dari 24 jam sebelum operasi karena

pada angiofibroma nasofaring dapat terjadi revaskularisasi.20

16

Page 17: referat angifibroma drIndah

Gambar 12. A. Angiografi arteri karotis dextra memperlihatkan tumor

blush yang mensupplai darah ke tumor (feeding artery). B. Gambaran

angiografi post-embolisasi.21

Gambar 13. A. Angiografi pada arteri maksilaris interna memperlihatkan

tumor blush. B. Gambaran angiografi post-embolisasi.21

2.10. Stadium

17

Page 18: referat angifibroma drIndah

Sistem staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada dua sistem yang

paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut: 1,13

Stage IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult

Stage IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult

dengan meluas

sedikitnya 1 sinus paranasal.

Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

Stage IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang

orbita.

Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke

intrakranial

Stage IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa

meluas ke sinus

kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch: 1,13

Stage I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi

tulang.

Stage II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal

dengan destruksi

tulang.

Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau regio

parasellar.

Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan

atau fossa

pituitari.

2.11. Diagnosis Banding15

1. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

18

Page 19: referat angifibroma drIndah

Gambar 14. CT scan axial menunjukkan suatu massa polipoid pada kavum nasi

kanan yang meluas ke dalam nasofaring. Massa tersebut tidak meluas ke dalam

fossa pterigopalatina atau sinus sphenoid.22

2. Polip koanal (choanal polyp).

Gambar 15. CT scan axial memperlihatkan massa densitas soft tissue di sinus

maksilaris kiri yang meluas ke dalam kavum nasi kiri.22

3. Kordoma (chordoma).

19

Page 20: referat angifibroma drIndah

Gambar 16. Gambaran aksial T2 –weighted menunjukkan sinyal tinggi dari

kordoma.22

4. Karsinoma nasofaring.

Gambar 17. CT Scan axial karsinoma nasofaring, terlihat massa jaringan lunak

(T) di nasofaring sinistra dan meluas hingga ke cavum nasi sinistra.10

20

Page 21: referat angifibroma drIndah

Gambar 18. Gambaran karsinoma nasofaring pada MRI memperlihatkan lesi

infiltratif di fossa Rosenmuller kiri.10

2.12. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien angiofibroma nasofaring dapat berupa tindakan

operasi, terapi hormonal dan radioterapi

1. Operasi

Operasi merupakan tindakan utama untuk menentukan secara pasti dimana lokasi

tumor, perluasannya dan cara pembedahannya. Teknik operasi yang digunakan

harus memperhitungkan secara matang efek dari operasi tersebut terutama pada

rangka kraniofasial dewasa muda, dimana pertumbuhan tulang tersebut berlanjut

hingga usia 20 tahun. Selain itu, operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan

fasilitas cukup, karena risiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi

dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui

transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan

kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu operasi

melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT scan

3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser.1,7,14

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor, selain embolisasi untuk

mengurangi perdarahan yang banyak, dapat juga dilakukan ligasi arteri karotis

eksterna dan anastesi dengan teknik hipotensi.1

2. Radioterapi

21

Page 22: referat angifibroma drIndah

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi angiofibroma nasofaring yang

rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan

pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan

sekitar apabila dilakukan pembedahan.

Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk

mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor

tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi

sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi

melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.

Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan

Angiofibroma nasofaring yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27

pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat

pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi

komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu

gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak,

dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan

leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap angiofibroma

nasofaring.17

3. Hormonal

Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat

testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan dalam

pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil. Berdasarkan hasil penelitian Gates

et al anti-androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-

3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide) dapat mengurangi pertumbuhan

angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor hingga 44 %.2,18

Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor,

namun memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler.

Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama

sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran

tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula

22

Page 23: referat angifibroma drIndah

diberikan preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari

selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek

samping pemberian dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma

dan dapat terjadi atropi testis. Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai

regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari selama sebulan. Menurut hasil

penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan stilbestrol.18

2.13. Prognosis

Prognosis angiofibroma pada penderita dimana angka kekambuhan setelah terapi

dilaporkan bervariasi antara 6 % hingga 57%.Salah satu penelitian menyebutkan

angka rekuren 2,5% dari 19-40 penderita yang dirawat, dan satu dari penderita

yang ada mengalami kekambuhan sampai 12 kali. Angka mortalitas penyakit ini

sekitar 3%.11,19

23

Page 24: referat angifibroma drIndah

BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring

yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai

kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke

sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang

sulit dihentikan. Tumor ini paling sering terjadi pada anak laki-laki sehingga

tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia. Untuk menentukan derajat

atau stadium angiofibroma nasofaring saat ini menggunakan klasifikasi Session

dan Fisch.

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari

pembuluh darah. Etiologi dari penyakit ini belum jelas, tapi ada beberapa teori

yang diajukan. Teori tersebut antara lain: teori ketidak-seimbangan hormonal,

teori genetik ataupun akibat dari jaringan asal.

Pemeriksaan penunjang pada angiofibroma nasofaring dapat dilakukan

secara konvensional, CT scan, MRI, maupun angiografi.

Cara pengobatan termasuk radiasi, operasi, dan terapi hormonal. Sekarang

ini pengobatan yang disukai, jika dapat dilakukan, adalah reseksi bedah. Operasi

merupakan terapi utama untuk angiofibroma nasofaring juvenil. Selain tindakan

operasi, ada juga pilihan terapi lain seperti terapi hormonal dan radioterapi.

24

Page 25: referat angifibroma drIndah

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2007. Hal. 188-90.

2. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Journal [serial on the

Internet]. 2011 Date [cited 2015 Agustus 07th]: Available from:

http://www.emedicine.medscape.com/article/872580-overview.

3. Anderson D. Kamus Kedokteran Dorland. 29 ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 100-

1, 829.

4. Dhingra, PL. Tumours of Nasopharynx. In: Disease of Ear, Nose, and Throat,

Edisi 4. Elsevier. p230-2

5. Tandon, Kackeer. Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of Laryngology and

Otology. 1988.

6. Antonelli, Capiello. Diagnosis, Staging and Treatment of Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope, 1987.

7. Adams GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku

Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997. Hal. 324.

8. Sjahril, Munir. Angiofibroma Nasofaring dalam Penatalaksanaan Penyakit dan

Kelainan Telinga, Hidung Tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1992.

9. Toomey, JM. Cysts and Tumors of the Pharynx in Paparella Otolaryngology.

Philadelphia: Saunders, 1973.

25

Page 26: referat angifibroma drIndah

10. RH, Miller. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinus. In Disease of the

Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Ed. Ballenger, 14th ed, 1993.

11. PS, Pandi. Angifibroma Nasofaring Juvenil dengan Pertumbuhan ke Pipi.

Bandung: Konas Perhati I, 1969.

12. Nicolai P, Berlucci M, Tomenzoli D, et al. Endoscopic Surgery for Juvenille

Angiofibroma: When and How. Laryngoscope. 2003.

13. Gleeson M, Scott-Brown WG. Juvenille Angiofibroma. Head and Neck

Tumours. 6th Edition. 1997. p 2437 – 44.

14. Cummings CW. Angiofibroma. In: Phelps T, editor. Cummings:

Otolaryngology: Head & Neck Surgery. 4th ed: Elsavier Mosby; 2005.

15. Sillers M,.Lay K. Endoscopic Management of Benign Sinonasal Tumors. In:

Kountakis S, Önerci M, editors. Rhinologic and Sleep Apnea Surgical

Techniques. Berlin: Springer-Verlag; 2007. p. 125-37.

16. Bull, Kerr. Shacheen Rhinology Scott-Brown’s Otolaryngology.. London:

Butterworth, 1987

17. Green, Mierrau. Tumors of the Head and Neck in Children. New York: 1983.

18. Nongrum HB, Thakar A, Gupta G, Gupta SD. Current Concepts in Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck Surgery. Journal of Ent

Master Class. Year Book 2009. Vol 2 Num 1. p 88 – 95

19. Scholtz AW, Apperonth E, Kammen-Jolly K, et al. Juvenile Nasopharyngeal

Angiofibroma: Management and Therapy. Laryngoscope: 2001.

20. Atalar. Mehmet. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma : Radiologic

Evaluation and Pre-Operative Embolization. Turkey : 2006

21. Carrau, Ricardo. Juvenile Angiofibroma [serial on the Internet]. 2009 Date

[cited 2012 November 15th]: Available from

http://www.expertconsultbook.com/expertconsult/b/book.do?method=g.

22. Imaging consult. 2009. Date [cited 2012 November 13th] Available from

http://www.imaging.consult.com/image/topic/dx/Head and Neck?

title=Angiofibroma (Head and Neck)&image

26

Page 27: referat angifibroma drIndah

27