referat reaksi kusta.docx

17
BAB I PENDAHULUAN Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit. 1 Kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru mengenai penyakit kusta dan deformitas yang ditimbulkan menyebabkan ketakutan bagi masyarakat. Masyarakat awam menganggap kusta sebagai penyakit keturunan dan menyebabkan kecacatan. 1 Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi, rasa nyeri pada persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu. 2 Gejala-gejala ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan dengan ditemukannya 3 tanda kardinal, yaitu : adanya lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan ditemukannya bakteri tahan asam (BTA). 2 Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan eksaserbasi yang ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba. 2 Reaksi kusta sering terjadi sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan selesai dengan obat kusta. 5 Reaksi kusta dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu reaksi kusta tipe I, reaksi kusta tipe II dan reaksi kusta tipe III (Fenomena 1

Upload: habibi

Post on 21-Nov-2015

41 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit. 1 Kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru mengenai penyakit kusta dan deformitas yang ditimbulkan menyebabkan ketakutan bagi masyarakat. Masyarakat awam menganggap kusta sebagai penyakit keturunan dan menyebabkan kecacatan.1 Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi, rasa nyeri pada persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu.2 Gejala-gejala ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan dengan ditemukannya 3 tanda kardinal, yaitu : adanya lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan ditemukannya bakteri tahan asam (BTA).2Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan eksaserbasi yang ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba.2 Reaksi kusta sering terjadi sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan selesai dengan obat kusta.5 Reaksi kusta dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu reaksi kusta tipe I, reaksi kusta tipe II dan reaksi kusta tipe III (Fenomena Lucio).2 Reaksi kusta meningkatkan morbiditas dari penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi penderitanya.5Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.3 Menurut WHO, diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun 2012 adalah sekitar 232.857 orang. Dari jumlah tersebut terbanyak terdapat di regional Asia Tenggara : 116.445 kasus (71%), diikuti regional regional Amerika : 36.178 kasus(16%), Afrika : 20.599 kasus (9%), dan sisanya berada pada regional lain di dunia (4%). Pada awal tahun 2013, di dunia terdapat 189.018 kasus dengan perincian regional Asia Tenggara 125.167 kasus, regional Amerika : 33.926 kasus, dan regional Afrika 17.540 kasus, sedangkan sisanya berada di regional lainnya.3Pada tahun 2012, di Indonesia tercatat 22.390 penderita kusta terdaftar. Jumlah kasus baru sebanyak 18.994 penderita, 15.703 penderita menderita kusta tipe multibasiler, 2.131 mengalami cacat tingkat 2 serta 194 penderita di antaranya adalah kasus relaps.3 Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita mengalami reaksi kusta.4Reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta diharapkan dapat diketahui sedini mungkin, sehingga penderita secepatnya mendapat penanganan dan kecacatan akibat reaksi dapat dihindari. Menurut Depkes (2006), faktor pencetus reaksi kusta antara lain : penderita dalam kondisi stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi, penyakit malaria, kecacingan, karies gigi, penderita stres mental dan efek pemakaian obat untuk kekebalan tubuh.6Banyaknya jumlah penderita kusta di Indonesia serta pentingnya penatalaksanaan saat reaksi kusta menjadi landasan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. Pengenalan dan penatalaksanaan reaksi kusta yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan kecacatan yang terjadi.

KLASIFIKASI REAKSI KUSTAReaksi Kusta terbagi menjadi 3 yaitu :1. Reaksi Kusta Tipe 1Menurut Jopling reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas dan basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal, apabila menuju kearah bentuk lepromatosa (terjadi penurunan sistem imun seluler).Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi dari pada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.Ciri-ciri klinis reaksi tipe 1 yang paling sering ditemukan adalah peradangan pada bercak kulit berupa pembengkakan, kemerahan dan teraba panas. Bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Adanya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi luas. Bercak biasanya tidak terasa sakit, tapi mungkin terdapat rasa tidak nyaman.Reaksi tipe 1 terbagi menjadi 2 yaitu :a. Reaksi upgrading (reversal)Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi spectrum TT. b. Reaksi downgrading Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline menjadi spectrum LL. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat pengobatan. Lesi multiple yang baru muncul dan memiliki karakteristik lesi LL yaitu lesi kecil, simetris dan ill-defined. AFB mungkin tampak pada lesi baru. Nodus limfe regional mungkin membesar dan basil tampak pada FNAC. Pasien resiko tinggi yaitu spectrum borderline dengan 10 lesi kulit dan penebalan saraf lebih dari 3.

Gambar 1. Reaksi tipe 12. Reaksi Kusta Tipe 2Reaksi tipe 2 terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatus juga tampak pada BL. Reaksi tipe 2 sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, sedikit tampak nodul atau plakat, ukuran macam-macam, pada umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis dan limfe.Penatalaksanaan ENL bertujuan untuk mengatasi peradangan akut, mengurangi nyeri, menghentikan kerusakan mata dan mencegah serangan selanjutnya. Penderita ENL harus istirahat dan mendapat terapi anti inflamasi. Prednisone merupakan obat pilihan terutama sedang dan berat dimulai dengan dosis tinggi 40 mg/hari. Prednisone akan menunjukkan reaksi cepat sehingga dosis dapat diturunkan secepat mungkin sampai 30 mg/hari, dan kemudian diturunkan dengan perlahan.

Gambar 2. Reaksi Tipe 2 atau ENL

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2No. Gejala / Tanda Tipe 1Tipe2

1Kondisi umumBaik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan febris

2Peradangan di kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baru.Timbul nodul kemerahan, lunak dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)

3Waktu terjadiAwal pengobatan MDTBiasanya setelah pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan

4Tipe KustaDapat tipe PB dan MBHanya terjadi pada MB

5Saraf Sering terjadi, umumnya berupa nyeri tekan saraf dan/atau gangguan fungsi sarafDapat terjadi

6Peradangan pada organ lainHampir tidak adaTerjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll

Tabel 2. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat Tipe 1 dan Tipe 2NoGejala / TandaTipe 1Tipe 2

RinganBeratRinganBerat

1Kulit Bercak : merah, tebal, panas, nyeriBercak : merah, tebal, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecahNodul :Merah, panas, nyeriNodul : merah, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah

2Saraf TepiNyeri pada perabaan (-)Nyeri pada perabaan (+)Nyeri pada perabaan (-)Nyeri pada perabaan (+)

3Keadaan UmumDemam (-)Demam (+)Demam (+)Demam (+)

4Gangguan pada organ lain---+Terjadi peradangan pada: Mata Iridocyclitis Testis:EpididimoorchitisGinjal : Nefritis Kelenjar limpa:Limfadenitis Gangguan pada tulang, hidung dan tenggorokan

3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstermitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan imunofluorensi tampak deposit imonoglobulin dan komplemen didalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi pada semua penderita.

PENATALAKSANAANJika terjadi reaksi kusta dapat diberikan prednison 30 60 mg/hari serta pemberian obat simtomatis, lalu diturunkan. Pedoman terapi adalah:1. Terapi standar untuk pasien PB dengan reaksi kustaTabel 3. Pemberian prednisonMingguDosis harian

1-23-45-67-89-1011-1240 mg30 mg20 mg15 mg10 mg5 mg

2. Terapi standar pasien MB dengan reaksi kusta. Pada reaksi tipe 2 dapat ditambah dengan Klofazimin 300 mg/hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada perbaikan diturunkan menjadi 100 mg/hari selama 2-3 bulan, dan selanjutnya kembali ke dosis klofazimin semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau dihentikan bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama dosis prednison diturunkan secara bertahap. Tabel 4. Pemberian prednisonMingguDosis harian

1-45-89-1213-1617-2021-2440 mg30 mg20 mg15 mg10 mg5 mg

BAB III KESIMPULAN

Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll. Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri, terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik. Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.

Daftar Pustaka

1. Burns, Tony, Stephen Breathnach, Nail Cox and Christopher Griffiths (Editor). 2010. Rooks Textbook of Dermatology, Eight Edition, Volume 2. Wiley-Blackwell, Pg. 29.1-32.192. Prasad, PVS. 2005. All About Leprosy. Jaypee Brother Medical Publisher, New Delhi.3. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record- Global Leprosy: Update on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013. (http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf, downloaded in 8 Desember 2013)4. Ditjen PPM & PL Dep.Kes. RI, Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta, 2001 ; 1-10.5. Rea, Thomas H, and Robert L. Modlin. Leprosy. In : Wolff, Klauss, Lowell A. Goldsmith, Stephen I. Katz, dan Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J. Leffell (Editor). 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seven Edition Volume 1. McGraw-Hill, United States of America. Pg. 1786-17966. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVIII, Jakarta, 2006 ; 4-138.7. Kosasih A, et al, Kusta, ( 2011 ) dalam: Juanda Adhi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI Edisi VI, 82-88 Jakarta.

1