pterygium 2
TRANSCRIPT
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 1/14
Pterygium
I. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkuspermukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.(4,5)
Pterygium
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat keposterior (pada fornices
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.(4)
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-
kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali di
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.(4,5)
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris)
terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam
plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran
mukosa.(4)
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas karunkula,
dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 2/14
skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel
superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat
dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan
Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian
besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring
terletak di tepi atas tarsus atas.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri pelpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang
kaya. Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V, saraf ini
hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(4)
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
(5)
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 3/14
Gambar: Skema konjuntiva beserta tempat kelenjar
II. DEFINISI
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan infasif.pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan
puncak di bagian sentral atau tengah kornea.2
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan, berupa
lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya
di kornea, kaya akan pembuluh darah yang menuju ke puncak pterigium. Pada kornea
penjalaran ini mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan membran bowman.3
Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk segitiga berdaging ke
kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis bowman kornea diganti oleh jaringan hialin dan
elastis.1
Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea dan , biasanya
diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak lurus dengan sumbunya
terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada konjuntiva memanjang pada sumbunya.
Kadang konjuntiva bulbi digunakan untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium,
tetapi tak ada perlekatan kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.6
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 4/14
Pterygium
1
2
3
1. Pterigium awal yang mulai menutup mata
2. Pterigium yang semakin bertambah dan menutupi media penglihatan
3. Pterigium yang tumbuh pada dua sisi
III. EPIDEMIOLOGI
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 5/14
Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas
400
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 280-36
0. Hubungan ini terjadi untuk tempat-
tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk
daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional hubungan antara menurunnya insidensi pada
daerah atas lintang utara dan relative terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.7
Mortalitas/Morbiditas
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan
bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata
merah.
Jenis Kelamin
Pterygia dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.
Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien
umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur
20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
IV. ETIOLOGI
Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat
debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab paling umum adalah exposure atau
sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun
UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti
zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.2
Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut :
1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim
subtropics dan tropis.
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 6/14
2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta orang yang hidup di daerah
dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah berangin. Petani, nelayan dan orang-
orang yang hidup di sekitar garis khatulistiwa sering terpengaruh.
Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu.
Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan,
meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya paparan sinar ultraviolet
dalam kelompok populasi tertentu.7
Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya disebabkan
oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal) dan Neoplasma (misalnya
karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke
kornea).
V. PATOFISIOLOGI
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan
mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan berlebih
dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini biasanya progresif
dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat
termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya
bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel.
Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap
respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak
mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar
oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim
yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan
menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan
terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang
mengenainya.8
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormalpada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 7/14
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.7
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel gepeng
berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini membran Bowman
menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang
penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran
Bowman dan stroma kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi
stroma konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku. Fibroblas
aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan diganti dengan jaringan hialin
dan elastis. Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler
yang berasal dari daerah eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi
sinar ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi pterygium
akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam
beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye
syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini
didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.9
VI. GEJALA KLINIS
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang mulai dari tidak
ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan
pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang
penyakit ini.7
Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya untuk pemeriksaan kacamata
dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya, namun terkadang penderita merasa
penglihatannya terganggu misalnya astigmat, dan dapat pula disertai keratitis pungtata dan dellen
(penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung
pterigium.7
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
o Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan
pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelahdilakukan eksisi.
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 8/14
o Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat
komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygia dalam group ini mempunyai
perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk
setelah dilakukan eksisi.
VII. KLASIFIKASI
Klasifikasi Pterygium:
1. Pterygium Simpleks ; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks ; jika terjadi di nasal dan temporal.
Grade pada Pterygium :
● Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat
dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
● Grade 2: pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
● Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis akan kita dapatkan keluhan-keluhan pasien seperti
adanya ganjalan pada mata yang semula dirasakan didekat kelopak namun lama-kelamaan
semakin ke tengah (kornea), mata merah dan tidak disertai belek(sekret). Dari anamnesis ini kita
juga akan dapatkan informasi mengenai pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan kebiasaan
hidupnya karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang
mengenainya.
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan
berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 9/14
ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian pterigium
ini akan berwarna merah.
Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak harus dilakukan,
karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium
yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler
dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.3
IX. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit –
penyakit yang menyerupai pterigium atau diagnosis banding dari pterigium antara
lain pseudopterigium, pannus dan kista dermoid. Pseudopterigium adalah perlengkatan konjungtiva dengan
kornea yang cacat, biasanya hal ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva
menutupi kornea, dimana letaknya berdekatan dengan proses tukak kornea sebelumnya. Perbedaannya
dengan pterigium adalah letaknya yang tidak harus dimulai dari celah kelopak atau fissura palpebra, selalu
didahului oleh riwayat tukak kornea sebelumnya, dan pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde di
bawahnya.2
Pannus merupakan salah satu penyebab kekeruhan didaerah kornea yang ditandai
dengan terdapatnya sel radang disertai pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea.
Pembuluh darah ini berasal dari limbus yang memasuki kornea diantara epitel dan membran
bowman.3
Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal dan
ektodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat berada pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh
jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.
3
X. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana pada keadaan dini tidak
perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses inflamasi dapat diberikan steroid topikal untuk
menekan proses peradangan, dan pada keadaan lanjut misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif),
pterigium telah menutupi media penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea) maupun untuk
alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa ekstirpasi pterigium.
3
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 10/14
Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :
- Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) – untuk membasahi permukaan
okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat ini merupakan obat tetes mata topikal atau air
mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC) —
air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada
permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata
yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.
- Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular . alepuntuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kentaluntuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini akan cenderung menyebabkan kaburnyapenglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hariterkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.
- Obat tetes mata anti –
inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaanpterygia yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi padapermukaan okular di dekat jejasnya. Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensikortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat iniharus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkandengan pelumas topikal lain.
Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan
dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan
pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau
salep mata antibiotika atau antiinflamasi.
Pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain :5
1. Teknik Bare sclera
a. Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga menggunakan kokain 4% yang diteteskan maupun
dioles dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva dengan lidokain 1-2 % .
b. Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi.
c. Siapkan lid spekulum
d. Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan pterigium.
e. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan jam 12.
f. Posisi mata pada jahitan korset.
g. Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery.
h. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang dilakukan pengikisan
pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan.
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 11/14
i. Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea mata dengan menggunakan
scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan pengangkatan pterigium.
j. Bebaskan sklera dari pterigium.
- Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda cautery.
- Kikislah pterigium dengan gunting.
- Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan sharp sehingga tampak jaringan
sklera yang telanjang.
- Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu sangkutan otot untuk menghindari kerusakan
jaringan yang akan membentuk sikatrik.
k. Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting.
l. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.
m. Menghaluskan sekeliling tepi limbus.
- Dengan menggunakan burr intan
- Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.
n. Berikan antibiotik dan steroid topikal.]
o. Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.
2. Teknik Mc. Reynolds
Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva dilakukan dengan cara ;
a. Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan di bawah konjungtiva dengan gunting, antara
kornea dan sklera, yang lebarnya disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang semula,
sehingga diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke kornea.
b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah di bawah konjungtiva yang
terletak di antara kornea dan sklera.
c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea dan sklera, kemudian
lakukan fiksasi.
Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds. Yaitu:
1. Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di fiksasi pada episklera.
2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari pterigium di
transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut, kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepikornea sehingga bentuknya seperti sayap.
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 12/14
3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan jaringan pterigium. Dua
goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea
yang terbuka. Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru.
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas. Pertumbuhannya di pisah dengan goresan
horizontal, masing-masig dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.
5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva kurang lebih 5-10 mm sepanjang
garis tepi yang menyangkut pada pterigium. Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas
konjungtiva sebagai penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau membiarkan
area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan cara konjungtiva dilipat ke
bawah kemudian dijahit.
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi dari pterygia meliputi sebagai berikut:7
o Penyimpangan atau penurunan tajam penglihatan
o Kemerahan.
o Iritasi.
o Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.
o Astigmatisme
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi
kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya
menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan
tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium meliputi : Infeksi, diplopia, perforasi bola
mata, perdarahan vitreous dan yang sering adalah kambuhnya pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%,
namun kejadian ini akan berkurang sekitar 5-15% apabila menggunakan autograf konjungtiva pada saat
proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara
perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan
intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan pemberian Mitomicin Cintraoperatif.10
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 13/14
XII. PENCEGAHAN
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan
untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet
sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini
bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien
yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya,
memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium,
sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.11
XIII. PROGNOSIS
Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya prognosisnya
baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga tergantung dari ada tidaknya
infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %)
sebaiknya dilakukan penyinaran dengan Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila
residif maka dapat dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat
berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14, Widya Medika, Jakarta
2. Ilyas S, 2008, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
3. Ilyas S, Mailangkay H.B., Taim H, 2002, Ilmu Penyakit Mata, Edisi ke-2, Sagung Seto, Jakarta
4. Anonim, 2008, Conjungtivitis with Pseudomembrane, www. Revoptom.com/handbook/SEC14.HTM
5. Wijaya N, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Edisi rev, cet ke-16, Abadi Tegal, Jakarta
6. Al-Ghozi M, 2002, Handbook of Ophtalmology ; a Guide to Medical Examination. FK UMY.
Yogyakarta.7. Fisher J.P., Trattler W, 2001, Pterygium, www. Emedicine.com [Medline]
7/28/2019 Pterygium 2
http://slidepdf.com/reader/full/pterygium-2 14/14
8. Anonim, 2006, A guide to Pterygium and Pterygium Surgery,
9. /article
10. Coroneo M.T., Digerolamo N, Wakefield D,1999, The Pathogenesis of Pterygium, curr Opin
Ophthalmol; 10(4): 282-8 [Medline]