chapter iichapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2...

Upload: rayen1212

Post on 21-Mar-2016

302 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

chapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah ituchapter 2 apakah itu

TRANSCRIPT

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Survei dan Pemetaan Tanah

    Rossiter (2000) mendefinisikan survei tanah sebagai proses menentukan

    pola tutupan tanah, menentukan karakteristik tanah dan menyajikannya dalam

    bentuk yang dapat dipahami dan diinterpretasi oleh berbagai kalangan pengguna.

    Sedangkan menurut Rayes (2007), survei tanah adalah penelitian tanah di

    lapangan dan di laboratorium, yang dilakukan secara sistematis dengan metode-

    metode tertentu terhadap suatu daerah (areal) tertentu, yang ditunjang oleh

    informasi dari sumber-sumber lain yang relevan.

    Menurut Soil Suvey Division Staff (1993), survei tanah mendeskripsikan

    karakteristik tanah-tanah di suatu daerah , mengklasifikasikannya menurut sistem

    klasifikasi baku, membuat alur batas tanah pada peta dan membuat prediksi

    tentang sifat tanah. Perbedaaan penggunaan tanah dan bagaimana tanggapan

    pengelolaan mempegaruhi tanah itulah yang terutama perlu diperhatikan (dalam

    merencanakan dan melakukan survei tanah). Informasi yang dikumpulkan dalam

    survei tanah membantu pengembangan rencana penggunaan lahan dan sekaligus

    mengevaluasi dan memprediksi pengaruh penggunaan lahan terhadap lingkungan.

    Rayes (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga metode yang digunakan

    dalam survei tanah, yakni metode Grid Kaku, Fisiografi (Interpretasi Foto

    Udara/IFU), dan Grid Bebas.

    1. Metode Grid Kaku, dilakukan dengan pengambilan contoh tanah yang secara

    sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi

    yang diharapkan. Jarak pengamatan teratur dengan pola persegi (rectangular

    Universitas Sumatera Utara

  • grid) dengan interval titik pengamtan berjarak sama pada arah horizontal dan

    vertikal.

    2. Metode Fisiografi (IFU), dilakukan dengan interpretasi foto udara untuk

    mendelienasi landform pada darah yang disurvei, diikuti dengan peninjauan

    lapangan terhadap komposisi satuan peta hanya pada daerah pewakil, sehingga

    tidak semua delineasi dikunjungi.

    3. Metode Grid Bebas, merupakan perpaduan metode grid Kaku dan fisiografi

    yang umumnya diterapkan pada survei tingkat semidetail hingga detail.

    Pengamatan di lapangan dilakukan seperti Grid Kaku, tetapi jarak pengamatan

    tidak perlu sama dalam dua arah tergantung pada fisiografi daerah survei. Jika

    terjadi perubahan fisiografi yang menyolok dalam jarak dekat, perlu

    pengamatan lebih rapat, sedangkan jika landform cenderung seragam maka

    jarak pengamatan dapat berjauhan. Sehingga, kerapatan pengamatan

    disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat

    kerumitan pola tanah di lapangan

    Peta tanah semidetail merupakan peta yang umumnya dibuat dengan skala

    1 : 50.000 dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 ha, tergantung

    dari kerumitan bentang lahan. Pengamatan lapangan bisasanya dilakukan dengan

    sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Pada

    jenis skala ini, luas tiap 1 cm2 pada peta adalah sekitar 25 ha di lapangan. Peta

    semidetail memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih rinci dan dapat

    menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Peta ini umum digunakan

    untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, perencanaan mikro dan

    Universitas Sumatera Utara

  • operasional untuk proyek-proyek pertanian, perkebunan, transmigrasi,

    perencanaan dan perluasan jaringan irigasi (Rayes, 2007).

    Analisis Geostatistik

    Geostatistika merupakan cabang ilmu statistik untuk menganalisis dan

    memprediksi variabel (nilai) yang berkaitan dengan karakteristik ruang dan waktu

    suatu fenomena. Geostatistika mengintegrasikan dimensi atau koordinat spasial

    (dan kadang juga temporal) dengan data yang dianalisis, sehingga dapat

    memprediksi fenomena yang sama pada lokasi yang tidak diambil sampel.

    Geostatistika dapat digunakan dalam bidang ilmu tanah (soil science) untuk

    memetakan tingkat polusi tanah oleh Nitrogen, Fosfor, dan Kalium, memodelkan

    distribusi spasial variabel seperti konduktivitas hidrolik tanah, serta mempelajari

    hubungan antara variabel tersebut dan hasil panen secara keseluruhan

    (Indarto, 2013).

    Geostatistika menyediakan perangkat untuk memperbaiki perancangan

    pengambilan contoh dengan menggunakan tingkat autokorelasi spasial di wilayah

    pengambilan sampel dan sangat bermanfaat untuk menggambarkan hubungan

    antardata serta mengurangi kesalahan, penyimpangan, dan meningkatkan

    ketelitian data (Myers, 1997, dalam Eltaib et al., 2002). Geostatistika telah banyak

    digunakan untuk mengestimasi sejumlah karakteristik tanah yang penting, di

    antaranya beberapa sifat kimia tanah (Aisyah et al. 2010), Kalium tanah sawah

    (Masjkur, 2005), dan hara-hara mikro tanah sawah (Liu et al., 2004).

    Di antara beberapa teknik dalam geostatistika, Kriging merupakan bentuk

    prosedur interpolasi yang memberikan estimasi terbaik dengan bias kecil untuk

    nilai-nilai yang beragam dalam ruang. Prosedur ini dapat digunakan untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • mengestimasi nilai-nilai pada wilayah yang tidak diambil sampel. Estimasi

    menggunakan Kriging dikalkulasi sebagai nilai-nilai yang dibobotkan pada

    konsentrasi sampel-sampel yang saling berdekatan. Oleh karena itu, apabila data

    terlihat sangat kontinu pada ruang, titik-titik yang berjarak lebih dekat pada

    wilayah yang terestimasi akan menerima pembobotan yang lebih tinggi daripada

    yang berjarak lebih jauh (Cressie, 1990, dalam Liu et al., 2004).

    Menurut Indarto (2013), Kriging adalah sekumpulan metode interpolasi

    yang didasarkan pada model semivariogram untuk memprediksi nilai autokorelasi

    spasial, error, dan arah korelasi spasial. Semivariogram merupakan suatu fungsi

    yang menyatakan keragaman (variance) di antara sampel-sampel yang dipisahkan

    oleh jarak yang berbeda-beda. Umumnya, semivariogram akan menunjukkan yang

    kecil untuk perbedaan jarak yang relatif pendek. Semakin panjang perbedaan

    jarak, maka keragaman akan semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa data

    memiliki auokorelasi spasial (spatial auto-correlation).

    Autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut suatu variabel

    pada daerah tertentu terkait atau saling berhubungan dengan nilai atribut apda

    daerah lain yang letaknya berdekatan atau bertetangga. Menurut

    Johnston et al. (2001), semivariogram menggambarkan autokorelasi spasial pada

    titik-titik sampel yang diukur. Apabila setiap pasangan lokasi diplotkan, maka

    terdapat suatu model yang disesuaikan. Ada beberapa karakteristik yang umum

    digunakan untuk menggambarkan model tersebut, yaitu range, sill, dan nugget

    (Johnston et al., 2001), sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1 berikut.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 1. Model Semivariogram (Bohling, 2005)

    Bohling (2005) mendefinisikan Sill sebagai nilai semivariance pada saat

    variogram mulai mendatar, yang juga dapat mengacu pada amplitudo komponen

    tertentu dari semivariogram. Pada gambar di atas, sill bisa mengacu baik pada

    keseluruhan sill (1,0) maupun partial sill yakni selisih (0,8) antara sill dan nugget

    (0,2). Dalam hal ini, makna dapat tergantung pada konteks. Sedangkan range

    merupakan jarak di mana semivariogram mencapai nilai sill, atau jarak saat model

    pertama kali mulai mendatar. Johnston et al. (2001) menyatakan bahwa letak titik

    sampel yang dipisahkan pada jarak lebih dekat daripada range secara spasial

    berautokorelasi, sementara jarak yang lebih jauh tidak ada autokorelasi.

    Masih menurut Johnston et al. (2001), secara teoritis, pada jarak

    pemisahan sama dengan nol (misal, lag = 0), nilai semivariogram seharusnya juga

    nol. Namun, pada jarak pemisaan yang sangat kecil, perbedaan antar pengukuran

    sering cenderung tidak sama dengan nol. Hal ini disebut dengan efek nugget. Efek

    Universitas Sumatera Utara

  • nugget dapat dianggap sebagai error pengukuran atau sumber keragaman spasial

    pada jarak yang lebih kecil dari interval (range). Error pengukuran terjadi karena

    kesalahan inheren pada alat pengukuran. Fenomena alam dapat beragam secara

    spasial melalui suatu rentang skala. Keragaman pada skala yang lebih kecil

    daripada jarak pengambilan contoh dapat muncul sebagai nilai nugget.

    Dalam analisis geostatistik, rasio nugget/sill menentukan tingkat

    autokorelasi spasial pada masing-masing variabel tanah seperti yang dinyatakan

    oleh Cambardella et al. (1994) bahwa variabel memiliki tingkat autokorelasi

    spasial yang kuat jika nilai rasio > 25 %, moderat jika nilai rasio 25 %75 %,

    dan kuat jika nilai rasio > 75 %. Autokorelasi spasial yang kuat pada variabel

    tanah mengacu pada faktor-faktor intrinsik seperti pembentukan tanah, tekstur,

    dan mineralogi yang umumnya dipengaruhi oleh bahan induk tanah. Sedangkan

    tingkat autokorelasi spasial yang lemah lebih mengacu pada faktor-faktor

    ekstrinsik seperti pemupukan dan pengolahan tanah.

    Unsur Hara Fosfor (P)

    Fosfor (P) merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar (hara

    makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen

    dan kalium. Akan tetapi, fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life).

    Unsur hara P dalam tanah dapat digolongkan menjadi P organik dan P anorganik.

    Menurut Nyakpa et al. (1988), bentuk P pada tanah masam yaitu H2PO4- lebih

    dominan dijumpai dan terus ke bentuk HPO42- dan PO42- sedangkan P yang dapat

    diserap tanaman dalam bentuk orthophospat yaitu H2PO4- dan HPO42- pada

    umumnya dapat tersedia bagi tanaman.

    Universitas Sumatera Utara

  • Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman terutama sangat dipengaruhi oleh

    sifat dan ciri tanahnya sendiri. Pada Ultisol, tidak tersedia dan tidak larutnya P

    disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al, Fe yang membentuk

    senyawa kompleks yang tidak larut. Ada beberapa faktor yang turut

    mempengaruhi ketersediaan P tanah yaitu tipe liat, pH tanah, waktu reaksi,

    temperatur, dan bahan organik tanah (Nyakpa et al., 1988).

    Hanya sebagian kecil dari P total dalam tanah berada pada larutan tanah

    pada satu waktu, biasanya kurang dari 4 pon per acre. Rentang konsentrasi dalam

    larutan tanah mulai kurang dari 0,1 hingga sekitar 5 ppm. Kebanyakan tanaman

    merespon terhadap penambahan P saat tingkat larutan tanah kurang dari 0,1 0,2

    ppm. Tingkat larutan P pasti secara konstan berubah, lebih sering dua kali sehari

    selama masa penyerapan puncak saat musim tanam. proses-proses kesetimbangan

    (pertukaran dan pelarutan) sebagaimana penurunan bahan organik dan jumlah

    penambahan pupuk untuk pergerakan P dari cadangan melimpah tanah ke bentuk

    terlarut (Hodges, 2011).

    Tanaman-tanaman yang cepat tumbuh dapat mengangkut hara P sebanyak

    1 kg/ha/hari (2,3 kg P2O5/ha/hari). Total jumlah P yang diangkut tanaman dari

    lahan bervariasi sesuai tanaman. Besar pengangkutan hara fosfat dari lahan pada

    tanaman yang dipanen kebanyakan berada pada 1030 kg P/ha per panen

    (2369 kg P2O5/ha). Tanaman padi yang menghasilkan panen 28 ton/ha

    mengangkut sekitar 416 kg P/ha (937 kg P2O5/ha) per panen jika jerami

    tetap berada di lahan, atau 622 kg P/ha (1450 kg P2O5/ha) per panen jika

    jerami juga diangkut. Untuk gandum (panen 8 ton/ha) dan kentang (panen 40

    ton/ha), sebanyak 28 kg P/ha (64 kg P2O5/ha) per panen terangkut jika sisa

    Universitas Sumatera Utara

  • tanaman tetap tinggal di lahan, dan akan lebih banyak jika sisa tanaman juga

    terangkut. Dalam jangka panjang, aplikasi P harus sama dengan jumah yang

    terangkut pada panen tanaman. Pada tanah-tanah dengan kapasitas pengikatan

    yang tinggi (seperti yang terdapat pada tanah-tanah tropis), aplikasi P hingga

    200 kg P/ha (460 kg P2O5/ha) atau lebih sebagai aplikasi pada satu waktu, diikuti

    dengan laju tahunan yang normal, bisa jadi dibutuhkan untuk mempertahankan

    kandungan P di dalam larutan tanah di atas batas kritis (Lgreid et.al., 1999).

    Tidak seperti nitrogen, pengelolaan P memerlukan strategi jangka panjang.

    Hal ini disebabkan terutama karena sifat P yang tidak mobil, sehingga P tidak

    mudah tersedia bagi tanaman dan tidak mudah hilang dari tanah. Dengan

    demikian cara pengelolaan hara P menjadi lebih kompleks dan perlu

    mempertimbangkan hal-hal berikut:

    1. Perubahan ketersediaan hara P alami di tanah. Hal ini terkait dengan penentuan

    takaran pupuk P yang perlu ditambahkan untuk mencapai keseimbangan hara

    dalam tanah.

    2. Pengaruh penimbunan hara P di tanah sebagai akibat dari pemberian pupuk P

    secara intensif dan terus-menerus.

    3. Pemeliharaan tingkat kesuburan dan status hara P tanah pada level optimal,

    sehinggamampumencukupi kebutuhan dan tidakmenimbulkan kahat hara lain

    seperti Zn dan N pada tanaman padi.

    (Abdulrachman dan Sembiring, 2006)

    Universitas Sumatera Utara

  • Unsur Hara Seng (Zn)

    Unsur hara mikro esensial adalah unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman

    pada kadar < 50 mg/kg bahan (kriteria lain < 0,1 %). Semua unsur hara, termasuk

    hara mikro, akan mempunyai efek yang sama-sama merugikan pertumbuhan

    apabila kurang atau tidak tersedia bagi tanaman (defisiensi), tetapi mempunyai

    pola efek yang tidak sama apabila tersedia berlebihan. Kelebihan unsur hara

    mikro akan langsung bersifat toksik bagi tanaman, tetapi sebelum meracuni

    tanaman, terdapat area luxury consumption (konsumsi berlebihan) yang tidak

    berefek negatif tetapi tidak efektif karena peningkatan serapan hara tidak diikuti

    dengan perbaikan tanaman. Timbulnya permasalahan hara mikro umumnya dipicu

    oleh kebiasaan petani yang lebih memprioritaskan pemupukan hara-hara makro,

    yang memacu penyerapan hara-hara mikro akibat membaiknya pertumbuhan dan

    produksi tanaman (Hanafiah, 2005).

    Praktik pertanian intensif dengan aplikasi pemupukan dapat

    meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Hal ini juga dapat menambah kebutuhan

    hara-hara mikro ke tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat disediakan

    tanah. Pada beberapa tahun terakhir, defisiensi dari satu atau lebih hara mikro

    telah terjadi dengan meningkatnya frekuensi pemupukan. Defisiensi hara mikro

    dapat menghambat perkembangan dan hasil tanaman, serta menyebabkan

    inefisiensi penyediaan hara mikro pada pemupukan dan pengapuran

    (Lgreid et.al., 1999).

    Mousavi (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang

    menyebabkan terjadinya defisiensi Zn, antara lain : 1) Keasaman tanah yang

    tinggi akibat pencucian yang intensif; 2) Kadar hara P yang terlalu tinggi dalam

    Universitas Sumatera Utara

  • tanah; dan 3) Terhalangnya penyerapan Zn karena adanya kation-kation logam

    seperti Cu2+ dan Fe2+. Rehm and Schmitt (1997) menyatakan bahwa aplikasi

    pupuk fosfat berlebihan telah menyebabkan defisiensi hara Zn dan penurunan

    produksi pada tanaman jagung. Sedangkan menurut Hanafiah (2005), serapan P

    yang tinggi pada tanaman dapat menghambat metabolisme dan penyerapan Zn

    oleh akar. Sementara itu Sofyan et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian

    pupuk hara makro terus-menerus seperti Urea, Amonium Sulfat, TSP/SP-36 dan

    KCl pada lahan sawah intensifikasi dapat mengakibatkan terkurasnya unsur hara

    mikro di antaranya Zn. Kahat Zn dapat terjadi karena terbentuknya persenyawaan

    Zn-P, ZnCO3, Zn(OH)2, atau karena drainase buruk pada lahan sawah yang dapat

    membentuk senyawa ZnS yang tidak larut.

    Reduksi akan mengakibatkan ketersediaan Zn dan Cu dalam larutan tanah

    menurun. Penurunan kadar Zn dalam larutan tanah dapat disebabkan oleh

    berbagai faktor, antara lain (1) terbentuknya endapat Zn(OH)2 sebagai akibat

    meningkatnya pH setelah penggenangan; (2) terbentuknya endapan ZnCO3 karena

    adanya akumulasi CO2 hasil dekomposisi bahan organik; dan (3) terjadinya

    endapan ZnS karena adanya H2S sebagai akibat reduksi berlebihan atau adanya

    endapan Zn3(PO4)2 karena adanya fosfat berlebihan. Oleh sebab itu kekahatan Zn

    pada tanah sawah tidak dapat diukur melalui kelarutan Zn namun perlu

    mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya (Yoshida, 1981).

    Bentuk unsur hara mikro ini yang diserap tanaman adalah bentuk kation

    Zn2+ sebagai hasil pelapukan bahan-bahan mineralnya. Kation dalam larutan hara

    berada dalam kesetimbangan dengan kationdd pada situs pertukaran koloid tanah.

    Kation ini membentuk senyawa khelat dengan senyawa organik, sehingga

    Universitas Sumatera Utara

  • ketersediaannya menurun dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah.

    Defisiensi Zn juga dijumpai pada tanah organik. Pada tanah berkapur, defisiensi

    terjadi akibat tingginya pH sehingga terjadi presipitasi Zn oleh ion-ion hidroksil.

    Sedangkan pada tanah berpasir yang masam, defisiensi terjadi akibat intensifnya

    pencucian. Pada kasus lain, defisiensi Zn juga terjadi akibat pemupukan fosfat

    takaran tinggi yang menyebabkan Zn diikat oleh senyawa fosfat terlarut

    (Hanafiah, 2005).

    Kondisi Lingkungan Tanah Sawah

    Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,

    baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.

    Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, melainkan istilah umum

    seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya.

    Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Padi

    sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam

    dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat

    tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya

    (Hardjowigeno et al., 2004).

    Tanah tergenang mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan dengan

    tanah yang tidak tergenang. Oksigen pada lapisan olah tanah yang tergenang

    dalam jangka panjang relatif terbatas. Kondisi tersebut dapat berpengaruh

    terhadap perpindahan hara melalui proses difusi maupun aliran massa. Hal ini erat

    hubungannya dengan perubahan kimia maupun elektrokimia yang terjadi dalam

    suasana kurang oksigen. Serangkaian perubahan yang terjadi dalam suasana

    oksigen terbatas akibat adanya penggantian ruang pori tanah menyebabkan gas

    Universitas Sumatera Utara

  • CO2, asam organik, gas methana, dan molekul hidrogen meningkat

    (Yoshida, 1981).

    Tanah sawah di dataran rendah, didominasi (55%) oleh subordo Aquept

    dan Aquent (Aluvial dan Tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah

    uplands didominasi (17%) oleh subordo Udept (Latosol dan Regosol). Tanah-

    tanah sawah yang termasuk ke dalam subordo Aquept dan Aquent, umumnya

    berasal dari tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau selalu tergenang air,

    khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa. Sedangkan yang termasuk

    Udept, umumnya berasal dari tanah kering yang disawahkan

    (Hardjowigeno et al., 2004).

    Akibat genangan tanah sawah terbagi atas dua lapisan. Lapisan pertama

    terbentuk dari tanah lumpur setebal beberapa milimeter yang berbatasan langsung

    dengan air yang menggenanginya disebut lapisan oksidatif. Lapisan ini masih

    mengandung oksigen yang berasal dari udara yang menembus lapisan air dan

    berasal dari asimilasi ganggang-ganggang dalam air. Dalam lapisan oksidatif

    tersebut hidup jasad renik aerob. Selain itu, terdapat pula hasil-hasil oksidasi

    seperti nitrat, sulfat, dan ferri. Oksigen tidak dapat menembus lebih dalam lagi

    sehingga lapisan tanah lumpur di bawah lapisan oksidatif ini miskin oksigen dan

    disebut lapisan reduktif. Lapisaan reduktif berrwarna lebih kelam, yang terkait

    dengan warna hasil-hasil reduksi. Potensial oksidasi-reduksi (Eh) di lapisan ini

    rendah dan jasad renik yang mampu hidup adalah jasad renik yang bersifat

    anaerob (Abdulrachman et al., 2009).

    Yoshida (1981) menyatakan bahwa proses reduksi merupakan proses yang

    mengkonsumsi elektron (sehingga terjadi penurunan Eh) dan menghasilkan ion

    Universitas Sumatera Utara

  • OH- (sehingga pH meningkat) dan terbentuk besi ferro. Kecepatan reduksi dan

    macam serta jumlah hasil reduksi ditentukan oleh: (a) macam dan kandungan

    bahan organik; (b) macam dan konsentrasi zat anorganik penerima elektron;

    (c) pH; dan (d) lamanya penggenangan. Menurut Sanchez (1993), kuatnya proses

    reduksi bergantung pada jumlah bahan organik yang mudah melapuk. Makin

    tinggi kandungan bahan organik tanahnya makin besar kekuatan reduksinya. Pada

    umumnya, kadar zat yang tereduksi mencapai puncak pada 24 minggu setelah

    penggenangan kemudian berangsur-angsur menurun sampai suatu tingkat

    keseimbangan.

    Menurut Ponnamperuma (1985), besarnya nilai Eh berpengaruh terhadap

    ketersediaan unsur-unsur hara, yang mana Eh rendah meningkatkan ketersediaan

    P, K, Fe, Mn, dan Si tetapi mengurangi ketersediaan S dan Zn.

    Sulaeman et al. (1997) telah mempelajari pengaruh perubahan potensial redoks

    terhadap sifat erapan P tanah dan kelarutan untuk tanah sawah bukaan baru

    Petroferic Hapludox di Dorowati Lampung dan dilaporkan bahwa : (1) besi sudah

    mulai tereduksi pada Eh 400 mV dan memberikan kadar besi terlarut hingga 59

    ppm pada Eh 300 mV dan (2) kebutuhan pupuk P untuk mencapai 0,02 ppm P

    terlarut pada Eh sekitar 0 mV (nilai Eh yang umum berlaku pada masa

    pertumbuhan padi sawah) sebesar 95 dan 268 mg P/kg tanah masing-masing

    untuk tanah lapisan atas dan bawah.

    Selain ketersediaan hara, produktivitas tanaman padi ditentukan kesuburan

    tanah, kondisi iklim (curah hujan dan radiasi surya), varietas tanaman, serta

    pengendalian hama penyakit tanaman. Dalam kondisi lingkungan biotik dan

    abiotik yang optimal, tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal

    Universitas Sumatera Utara

  • sesuai dengan potensi hasil atau hasil maksimum untuk varietas tertentu. Namun

    demikian kondisi ideal seperti ini tidak mudah terpenuhi karena banyaknya faktor

    penghambat pertumbuhan tanaman padi sawah (Setyorini et al., 2004).

    Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan peningkatan mutu

    intensifikasi yakni menerapkan rekayasa sosial dan teknologi maju yang efisien

    dan spesifik lokasi, serta didukung oleh penerapan alat mesin pertanian dengan

    tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Teknologi yang dikembangkan

    mencakup penyiapan lahan secara tepat waktu, pemanfaatan air secara optimal,

    penggunaan bibit unggul, perbaikan budidaya, pemupukan berimbang,

    pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penekanan kehilangan

    hasil (Wahyunto, 2009).

    Status Hara Tanah dan Rekomendasi Pemupukan

    Status hara tanah dapat dibuat apabila telah disusun kriteria klasifikasi

    berdasarkan hasil-hasil penelitian uji tanah, mulai dari penjajagan hara, studi

    korelasi, kalibrasi, sampai penyusunan rekomendasi. Hasil penelitian uji tanah

    yang telah dilaksanakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

    Agroklimat (Puslitbangtanak) menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak HCl 25 %

    untuk penetapan P dan K potensial mempunyai korelasi yang baik dengan hasil

    tanaman padi sawah (Nursyamsi, 1994 dalam Sofyan et al., 2004).

    Berdasarkan penelitian-penelitian kalibrasi di berbagai tempat diperoleh

    bahwa klasifikasi P untuk padi sawah dengan pengekstrak HCl 25 % adalah

    rendah (< 20 mg/100g), sedang (2040 mg/100 g), dan tinggi (> 40 mg/100 g)

    (Moersidi, et al., 1990). Sedangkan klasifikasi hara K dengan pengekstrak yang

    sama untuk padi sawah yaitu rendah (< 10 mg K2O/100 g), sedang (1020

    Universitas Sumatera Utara

  • K2O/100 g), dan tinggi (> 20 mg K2O/100) (Adiningsih et al., 1989 dalam Sofyan

    et al., 2004).

    Penelitian status hara tanah sawah dapat digunakan sebagai acuan efisiensi

    penggunaan pupuk. Hasil penelitian Jauhari dan Juanda (2006) untuk mengetahui

    status hara di lahan sawah seluas 1.980,062 ha di Kecamatan Maos Kabupaten

    Cilacap menunjukkan bahwa terdapat 61,97 % berstatus hara P tinggi, 36,20 %

    berstatus P sedang, dan 1,82 % berstatus hara P rendah. Dari informasi tersebut,

    kebutuhan pupuk SP-36 di Kecamatan Maos berdasarkan anjuran 118,880 ton

    SP-36 per musim pupuk SP-36 dapat dihemat sebesar 194,873 ton/musim atau

    bila harga pupuk SP-36 Rp 1.900/kg pengeluaran dapat dihemat Rp 370.259.631

    per musim.

    Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Zubair dan Ahmad (2011)

    di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa takaran

    pupuk P menurut anjuran Dinas Pertanian setempat adalah 150 kg SP-36/musim,

    sehingga lahan sawah yang diidentifikasi seluas 1.976,91 ha diperlukan pupuk

    SP-36 sebanyak 296.536,5 kg/musim. Bila penggunaan pupuk P didasarkan pada

    peta status hara P tanah, maka kebutuhan pupuk SP- 36 di daerah tersebut hanya

    206.238,17 kg. Hal ini berarti di Kabupaten Bone Bolango dalam satu musim

    dapat dihemat penggunaan pupuk SP-36 sebanyak 90.298.33 kg. Jika harga pupuk

    SP-36 Rp 2.700,-/kg maka jumlah dana yang dapat dihemat mencapai

    Rp 243.805.491 ha/musim.

    Penetapan takaran pemupukan berimbang, memerlukan data hasil analisis

    tanah, terutama analisis kadar P dan K tanah. Yang menjadi permasalahan di

    lapangan adalah: (1) Biaya analisis tanah relatif mahal bagi petani dan (2) Belum

    Universitas Sumatera Utara

  • banyak tersedia laboratorium tanah di sekitar wilayah pertanian. Peta status hara

    merupakan penyederhanaan (simplifikasi) dalam pemanfaatan hasil-hasil

    penelitian uji tanah. Peta status hara menggambarkan dan memberikan informasi

    tentang sebaran dan luasan hara dalam suatu wilayah. Dari peta tersebut dapat

    diketahui berapa luas tanah-tanah yang mempunyai status hara tanah yang rendah,

    sedang, dan tinggi dan di mana lokasinya. Peta status hara tanah skala 1 : 250.000

    dapat digunakan sebagai dasar dalam alokasi pupuk tingkat provinsi, sedangkan

    peta status hara tanah skala 1 : 50.000 dapat digunakan sebagai dasar menyusun

    rekomendasi pemupukan (Setyorini et al., 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • METODOLOGI PENELITIAN

    Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang

    Bedagai dengan dengan posisi geografis adalah 3 28' 12"3 36' 36" Lintang

    Utara dan 98 55' 48" 99 6' 36" Bujur Timur, dengan ketinggian tempat

    sekitar 065 meter dpl dengan topografi cenderung datar. Analisis Tanah di

    Laboratorium Research and Development Asian Agri Kebun Bahilang Tebing

    Tinggi. Penelitian dilakukan pada April hingga September 2014.

    Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan adalah contoh tanah sawah dari Kecamatan

    Perbaungan yang diambil berdasarkan koordinat, sedangkan alat-alat yang

    digunakan adalah peta lokasi titik sampel, perangkat Global Positioning System

    (GPS) dari aplikasi Android GPS Test. V.1.3.0 , bor tanah tipe Belgi, pH meter,

    formulir kuesioner, perangkat lunak ArcGIS 10 dari ESRI dan SPSS 16, kamera

    digital, serta peralatan dan bahan kimia laboratorium untuk analisis tanah.

    Metode Penelitian

    Penelitian ini bersifat Deskriptif dengan menggunakan Metode Survei.

    Data lapangan yang diambil berupa sampel tanah sawah yang diambil dari 44 titik

    lokasi disertai koordinat di wilayah Kecamatan Perbaungan dari kedalaman

    020 cm pada masa awal tanam dengan metode survei semidetail (1 : 60.000).

    Luas wilayah penelitian adalah 4.770 ha. Lokasi penyebaran titik pengambilan

    sampel disajikan pada gambar 2 berikut.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2. Peta Penyebaran Titik Sampel Tanah

    Universitas Sumatera Utara

  • Beberapa variabel yang diukur adalah P-potensial, P-tersedia, dan

    Zn-tersedia, menggunakan metode ekstraksi berturut-turut HCl 25 %, Bray II, dan

    HCl 25 %, Data hasil pengukuran kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif

    (menggunakan SPSS 16) dan geostatistik (ArcGIS 10), serta analisis korelasi pada

    taraf 5 %.

    Kuesioner digunakan untuk mengetahui dosis aplikasi P yang digunakan

    petani dan produksi yang dihasilkan. Jumlah responden ditentukan berdasarkan

    rumus yang disederhanakan oleh Yamane (1967) dalam Israel (1992) berikut :

    N

    1 + N(e)2

    Dengan :

    n = Jumlah Sampel

    N = Jumlah Populasi

    e = Standard error

    Sehingga, dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95 % dan presisi (e)

    10 %, dari populasi sebesar 4.703 petani, maka :

    N

    1 + N(e)2

    4.702 1 + 4.702(0,1)2

    4.702 48,02

    n =

    n =

    n =

    n =

    n = 98 sampel

    Universitas Sumatera Utara

  • Dalam hal ini, jumlah responden dibulatkan menjadi 100 yang tersebar

    secara acak proporsional pada 12 desa. Sebaran responden tiap desa disajikan

    pada tabel 1 berikut.

    Tabel 1. Jumlah Responden per Desa

    No Desa Jumlah petani Jumlah responden (Jumlah petani desa/4.702) x 100

    1 Lubuk Bayas 224 5 2 Lubuk Rotan 598 12 3 Tanah Merah 450 9 4 Kesatuan 511 10 5 Lidah Tanah 1.073 22 6 Lubuk Dendang 74 3 7 Suka Beras 98 3 8 Cinta Air 382 8 9 Pematang Sijoman 331 7

    10 Sukajadi 529 10 11 Lubuk Cemara 325 7 12 Kuta Galuh 107 4

    Jumlah 4.702 100

    Pelaksanaan Penelitian

    Persiapan awal

    Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan komisi dosen pembimbing dan

    Pengurusan izin dengan pihak berwenang terkait lokasi penelitian.

    Penyediaan Peta

    Penyediaan peta administrasi daerah, peta tata guna lahan, peta satuan

    tanah, peta lokasi penelitian serta peta kerja lapangan yang telah disertai titik-titik

    pengambilan sampel dengan sistem Grid Bebas pada skala 1 : 60.000 dan interval

    antartitik sekitar 1.000 m.

    Universitas Sumatera Utara

  • Pengambilan Contoh Tanah

    Pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian dengan sistem Grid Bebas.

    Pemboran dilakukan pada kedalaman 020 cm. Pengambilan contoh dilakukan

    secara komposit pada tiap grid kemudian dicatat koordinat lokasi dengan bantuan

    GPS. Saat pengambilan contoh, lahan sudah ditanami padi berumur sekitar 3

    minggu.

    Penanganan Contoh Tanah

    Contoh tanah diambil secara komposit sebanyak 2 kg lalu dimasukkan

    dalam kantong plastik kemudian diberi label dan nomor. Tanah dibiarkan tetap

    berada dalam kondisi lembab seperti keadaan di lapangan, kemudian diantar ke

    laboratorium untuk dianalisis.

    Analisis Kimia Tanah

    Analisis tanah di Laboratorium dilakukan untuk mengekstraksi dan

    menetapkan kadar dari masing-masing variabel tanah sesuai dengan metode

    ekstraksi sebagai berikut.

    - Analisis P-potensial (mg/kg) metode ekstraksi HCl 25 %

    - Analisis P-tersedia tanah (ppm) dengan Bray II

    - Analisis Zn-tersedia (ppm) dengan metode HCl 25 %

    - Nilai pH tanah dengan metode elektrometri menggunakan H2O (1 : 2,5)

    Pengambilan Data Kuesioner

    Kuesioner disebarkan kepada petani responden melalui wawancara sesuai

    jumlah yang telah ditentukan pada tiap desa. Kriteria petani yang ditetapkan

    menjadi responden adalah seluruh petani yang berperan dalam pengelolaan lahan

    Universitas Sumatera Utara

  • sawah, terutama pemberian pupuk, baik pada lahan yang dimiliki sendiri maupun

    mengelola lahan orang lain yang masih tercakup pada wilayah penelitian.

    Pengolahan Data

    1. Analisis Statistik Deskriptif

    Data pengukuran sampel tanah untuk setiap variabel dan data kuesioner

    diolah menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service

    Solution) versi 16 untuk memperoleh besaran nilai minimum, nilai maksimum,

    rata-rata, simpangan baku, ragam, dan koefisien keragaman (KK).

    2. Uji Normalitas Sebaran Data

    Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan dari sebaran data

    pada masing-masing variabel. Metode pengujian yang digunakan adalah uji

    Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengujian hipotesis menurut Gibbons and

    Chakraborti (2003) adalah sebagai berikut.

    H0 diterima, jika Dn < Dn, (Data berdistribusi normal)

    H0 ditolak, jika Dn > Dn, (Data tidak berdistribusi normal)

    Nilai Dn diperoleh dari pengolahan data menggunakan SPSS, sedangkan Dn,

    merupakan nilai kritis Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah contoh tanah (n) = 44

    yang diperoleh melalui pendekatan :

    Dn, = 1,36/n

    Dn, = 1,36/44 (44 sampel, = 0,05)

    Dn, = 0,205

    Kriteria pengujian juga dapat dilakukan dengan menggunakan nilai

    Kolmogorov-Smirnov Z dan nilai sigifikansi. Jika Kolmogorov-Smirnov Z < 1,96

    Universitas Sumatera Utara

  • untuk dua arah dan signifikansi > ( = 0,05), maka dapat dikatakan data

    berdistribusi normal.

    3. Analisis Korelasi

    Analisis korelasi Product Moment Pearson dilakukan untuk mengetahui

    hubungan antara P-potensial dan P-tersedia, P-potensial dan Zn-tersedia, serta

    P-tersedia dan Zn-tersedia. Hipotesis yang digunakan adalah :

    H0 : rxy = 0 (korelasi nol, tidak ada korelasi)

    H1 : rxy = 0 (korelasi tidak sama dengan nol)

    Statistik uji yang digunakan menurut (Rosari, 2006) dengan rumus :

    rxy n-2 (1r2xy)

    Kriteria penolakan H0 menggunakan statistik t (tabel t-student) pada taraf

    nyata 5 % sebagai berikut :

    Tolak H0 jika : t > t/2, v maka H1 diterima

    4. Analisis Geostatistik

    Pendugaan keragaman spasial variabel tanah dilakukan dengan

    menggunakan model semivariogram, yang menurut Goovaerts (1999) dalam

    Liu et al. (2004) didefinisikan sebagai berikut :

    Semivarians r(h), dihitung sebagai kuadrat dari setengah rata-rata selisih antara

    dua pasangan data, di mana N(h) adalah total bilangan pasangan data yang

    dipisahkan oleh jarak h, Z merepresentasikan nilai terukur dari variabel tanah,

    t =

    Universitas Sumatera Utara

  • serta x adalah posisi dari sampel tanah. Luaran analisis geostatistik diperoleh

    menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.

    Pembuatan Peta Sebaran Spasial Status Hara

    Peta status hara dihasilkan melalui interpolasi Kriging berdasarkan

    pembobotan data dari model semivariogram, sehingga diperoleh luasan dari data-

    data titik yang kemudian dikelompokkan berdasarkan kriteria dari Badan Litbang

    Pertanian (2008) untuk P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia.

    Universitas Sumatera Utara