penyakit hati pada kehamilan
TRANSCRIPT
PENYAKIT HATI PADA KEHAMILAN
Ada beberapa kelainan hati spesifik pada kehamilan seperti cholestasis of pregnancy
dan acute fatty liver of pregnancy. Penyebab penyakit hati akut seperti hepatitis virus A, B
dan C, drug induced liver injury, serta penyakit hati menahun seperti hepatitis C kronik,
hepatitis B kronik, hepatitis autoimun, steatohepatitis dan yang paling banyak disebut yaitu
acute fatty liver of pregnancy dan kolestasis juga dapat terjadi pada kehamilan.
Beberapa keadaan fisiologis yang dapat berubah pada kelainan hati tetap dalam batas
normal, selama kehamilan sebagian besar tes laboratorium termasuk tes fungsi hati. Terdapat
beberapa pengecualian seperti:
- Albumin serum ↓
- Blood urea nitrogen (BUN) ↓
- Hemoglobin ↓
- Alfa feto protein serum ↑
- Sel darah putih ↑
- Alkali fosfatase ↑
Hal ini dapat membingungkan pada kondisi tertentu dan memerlukan penjelasan lebih
jauh, dan biasanya tidak >4x dan bermanifestasi klinik pada trimester ketiga, dan
dapat kembali normal pada minggu ketiga setelah persalinan. Mungkin dapat
dijumpai perningkatan ringan bilirubin. Tes konsentrasi 5’ nukleotidase dan gamma
glutamil transpeptidase bermanfaat karena tetap normal nilainya apabila tanpa adanya
penyakit hati.
- Trigliserida ↑
- Kolesterol ↑
Meningkatnya kolesterol oleh hati dan ekskresinya ke dalam empedu yang dapat
mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam empedu, yang akan
berperan dalam pembentukan batu empedu pada perempuan multipara.
Nilai laboratorium tersebut akan kembali normal setelah melahirkan. Perubahan fisiologis
tertentu selama kehamilan dapat mengakibatkan efek negatif jangka panjang.
Pada perempuan hamil yang sebelumnya sehat, pendekatan klasifikasi dari Knox dan Kaplan
menunjukkan hubungan penyakit hati dengan waktu munculnya.
Waktu terjadinya penyakit hati pada kehamilan (Knox dan Kaplan)
Trimester pertama dan kedua Trimester ketiga
- Jaundice dengan hiperemesis
gravidarum
- Cholestasis of pregnancy
- Sindrom Dubin Johnson
- Cholestasis of pregnancy
- Sindrom Dubin Johnson
- Acute fatty liver of pregnancy
- Toksemia gravidarum dengan
keterlibatan hati
- Ruptur hati akut
- Sindrom Budd-Chiari
Perempuan yang sebelumnya sehat tidak disingkirkan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Kelainan hati dengan abnormalitas alkali fosfatase sebagai kelainan yang dominan
ALP ALT/AST Bilirubin Komentar
+
+
++/+++
++/+++
nl
nl/nl
+/+
+/++
+/nl
nl
+/nl
+/nl
+/++
+
+
Kehamilan normal (trimester 3)
Hiperemesis gravidarum
Inytrahepatic cholestasis of pregnancy (trimester 3)
Batu empedu (semua trimester)
Sindrom Dubin-Johnson (trimester kedua dan ketiga)
nl = normal
+ = peningkatan ringan (<4x lipat)
++ = peningkatan sedang (4-6x lipat)
+++ = peningkatan bermakna (>6x lipat)
Aminotransferase sebagai kelainan yang dominan
ALP ALT/AST Bilirubin Komentar
+/++
+
+/++
+/++
+/++
+/nl
Fatty liver of pregnancy, hepatitis virus, toksemia
dengan infark hati, drug-induced hepatitis
Toksemia gravidarum, HELLP, penyakit hati kronik
Beberapa keadaan tertentu sering menyertai kehamilan:
1. Hiperemesis gravidarum (jarang)
Suatu sindrom yang terjadi pada trimester pertama. Bilirubin dan alkali fosfatase
dapat menigkat secara ringan, aminotransferase dapat abnormal secara ringan, dan
biasanya berulang pada kehamilan berikutnya.
2. Intrahepatic cholestasis of pregnancy (cholestasis of pregnancy/benign recurrent
cholestasis of pregnancy/pruritus gravidarum)
Penyebab ICP masih belum diketahui, secara khas terjadi pada trimester 3 tapi
beberapa dijumpai pada kehamilan 13 minggu. Gambaran klinis dari pruritus hingga
kolestasis berat dengan defisiensi vitamin K dan perdarahan post partum yang
bermakna. Dapat menyebabkan insiden prematuritas, distres fetus dan lahir mati. ICP
akan berulang pada kehamilan berikutnya dan bersifat familial. Terapi dengan
kolestiramin 10-12 g/hari untuk menghilangkan pruritus dan vitamin K parenteral
untuk mengatasi perdarahan uterus post partum yang terjadi sekunder akibat
kolestasis.
3. Acute fatty liver of pregnancy
Diskripsi klinis yang jelas dari sindrom ini pertama kali digambarkan oleh Sheehan
pada tahun 1940. Pada beberapa kasus, dosis tinggi tetrasiklin intravena dan infeksi
pernapasan akut digambarkan mendahului sindrom ini. Sebagai tambahan beberapa
keterkaitan dengan kondisi di bawah ini pemah ditemukan yaitu kehamilan kembar
atau lebih, fetus laki-laki, kehamilan pertama, hipenensi arterial, edema perifer, dan
proteinuria. Awitan gejala biasanya antara minggu 30 dan 38 kehamilan. Gejala yang
menonjol adalah nausea, muntah, dan nyeri abdomen. Jaundice biasanya terjadi antara
l minggu sampai l0 hari dari awitan gejala. Bisa terjadi gejala pertama adalah koma,
gagal ginjal atau perdarahan walaupun jarang. Asites dapat terjadi pada 50% pasien.
Sherlock melaporkan dua gambaran laboratoris yang khas pada sindrom ini yaitu
peningkatan konsentrasi asam urat (mungkin berkaitan dengan kerusakan jaringan)
dan giant platelet dengan basophilic slippling. Kondisi ini tidak ditumpai pada
hepatitis virus akut dan mungkin berguna dalam diagnosis banding. Pasien dengan
acute fatty liver of pregnancy dapat menunjukkan hipoglikemia berat, serum amonia
yang tinggi, dan hiperaminoasidemi general isata. Biopsi hati mungkin diperlukan
untuk membedakan sindrom ini dari hepatitis virus akut. Hati pucat dan kecil
dengan hepatosit pucat dan membengkak terutama pada daerah perisentral. Area
periportal biasanya tidak terlibat. Dengan pewamaan lemak khusus, liver yang
bengkak diisi droplet lemak mikrovesikular. Nukleus tetap berada di tengah-tengah
sel berlawanan dengan suatu sindrom di mana terdapat droplei deposit lemak yang
besar dan vakuola lemak mendorong nukleus ke tepi. Sherlock dan Riely
menunjukkan adanya tumpang tindih antara toksemia kehamilan dan acute fatty liver
pregnancy.
Perbandingan antara acute fatty liver of pregnancy dan toksemia
Acute fatty liver Toksemia
Nyeri abdomenJaundiceTransaminase serum (kali normal)Scan Biopsi hatiGagal hati
50%100%<10
Perubahan difusLemak mikrovesikularTerjadi
100%40%>10
Abnormalitas fokalFibrin (sinusoid)Tidak terjadi
Pasien yang selamat dari acute fatty liver of pregnancy ditemukan mengalami gejala
sisa jangka panjang. Terapi terdiri atas pengenalan dini penyakit dan persalinan dini.
Seksio sesaria dapat meningkatkan survival dari ibu maupun fetus. Fresh frozen
plasma dan albumin intravena merupakan terapi adjuvan yang penting. Hemodialisis
dapat membantu. Jika pasien tidak mengalami jaundice atau perpanjangan waktu
protrombin, persalinan hendaknya dilakukan dengan prosedur obstetri standar,
dilahirkan tanpa ditunda lagi. Terapi dengan heparin atau antitrombin III tidak
memuaskan. Transplantasi hati merupakan pilihan dan hendaknya dipertimbangkan.
4. Toksemia gravidarum
Suatu sindrom yang penyebabnya belum diketahui dan terjadi setelah kehamilan
20 minggu. Derajat keparahannya bervariasi dari kasus yang tidak menampakkan
gejala klinis sampai preeklamsia dengan edema, proteinuria, hipertensi arterial sampai
eklamsia dengan kejang. Toksemia dilaporkan terjadi pada 5% kehamilan. Faktor
risikonya meliputi kehamilan pada usia yang sangat muda atau usia tua, kehamilan
pertama, kehamilan kembar atau lebih, diabetes melitus, hipertensi yang telah diderita
sebelum hamil, dan riwayat toksemia maternal.
maternal. Preeklamsia adalah problem klinis yang umum dan diperkirakan 50% dari
pasien dengan sindrom ini menunjukkan abnormalitas ringan aminotransferase dan
alkali fosfatase. Sampel biopsi hati dari pasien-pasien ini biasanya menunjukkan
abnormalitas histologis yang ringan. Pembahan yang karakteristik adalah perdarahan
peripartum, deposisi fibrin yang tersebar dan perdarahan subkapsular. Deposit fibrin
menyumbat sinusoid hepatika diikuti dengan nekrosis sel hati pada tempat yang sama.
Apabila nekrosisnya berat, daerah-daerah perdarahan hati dapat dijumpai. Diagnosis
banding utamanya adalah sindrom koagulasi intravaskular difus. Pada kasus yang
sangat berat ruptur hati dengan perdarahan intraperitonial masif mungkin terjadi.
Terapi terhadap keterlibatan liver dalam sindrom ini adalah terapi terhadap
preeklamsia/eklamsia itu sendin. Apabila gejala-gejala sindrom preeklamsi/eklamsi
tersebut tidak terkendali evakuasi uterus hendaknya dipertimbangkan secara serius,
dan akan beresolusi sempurna baik keterlibatan hati maupun preeklamsia/eklamsia itu
sendiri.
5. Ruptur hati
Terdapat hubungan yang jelas antara keterlibatan hati dengan ruptur hati spontan yang
berakibat fatal. Diperkirakan 75% sampai 85% pasien hamil yang mengalami ruptur
hati menderita preeklamsia. Apabila hal ini terjadi, mortalitas ibu dan anak
diperkirakan 50%. Diagnosis dibuat berdasarkan kecurigaan klinis yang dibantu
dengan CT scan dan liver spleen scan. Scan ini menunjukkan filling defect multipel
berkaitan dengan nekrosis iskemik. Filling defect ini terutama dijumpai dekat
permukaan hati. Apabila hasil scan ekuifokal, arteriografi hati adalah metode terbaik
untuk menegakkan diagnosis. Ruptur lobus kanan hati terjadi pada kira-kira 90%
kasus yang dilaporkan. Pasien biasanya mengalami nyeri abdomen mendadak dan
distensi, hipotensi dan syok tidak jarang terjadi. Fungsi peritonial menunjukkan darah.
Diagnosis banding utamanya adalah mptur utems. Terapinya adalah pembedahan,
namun pendekatan bedah spesifik dalam penatalaksanaan ruptur hati masih bersifat
kontroversial. Seringkali reseksi hati atau lobektomi mempakan pilihan terapi.
6. Sindrom Budd-Chiari
Budd-Chiari tidak berkaitan secara eksklusif kehamilan. Sesungguhnya sindrom ini
tcrjadi frekuensi yang sama pada pria dan perempuan. Pada kehamilan, sindrom
Budd-Chiari biasanya terjadi pada periode intermediet post partum, walaupun
beberapa kasus dapat terjadi pada trimester kedua kehamilan atau selama abortus
septik. Manifestasi klinisnya adalah nyeri abdomen dan asites dengan onset
mendadak. Terjadi trombosis pada vena hepatika diikuti hipertensi portal. Hati
biasanya membesar dan nyeri tekan. Tes fungsi liver menunjukkan peningkatan
ringan aminotransferase dan alkali fosfatase. Cairan asites biasanya suatu eksudat,
namun beberapa kasus menunjukkan konsentrasi protein yang rendah. Liver spleen
scan dapat membantu diagnosis apabila lobus caudatus menunjukkan uptake yang
intens (berkaitan dengan tidak adanya blokade aliran vena) dikelilingi oleh uptake
yang kurang pada jaringan hati sisanya. Venogram hepatik menunjukkan sisi oklusi
vaskular baik vena cava inferior maupun vena hepatika. Apabila tersedia, spesimen
biopsi hati menunjukkan pembengkakan taraf berat terutama di sekitar vena hepatika.
Prognosis buruk dan pasien dengan sindrom Budd-Chiari selalu menunjukkan kondisi
klinis yang semakin memburuk sampai terjadi kematian. Mortalitas pada tahun
pertama 30 sampai 40%, sedangkan mortalitas pada tahun keempat mencapai 85%.
Terapi dengan antikoagulan tidak bermanfaat pada sindrom Budd-Chiari yang telah
tegak, namun demikian terapi trombolitik dengan streptokinase atau alteplase (TPA)
selama trombosis vena hepatika akut diperlukan. Terapi bedah merupakan pilihan dan
tujuan utama terapi bedah adalah untuk mendekompresi hati yang bengkak biasanya
dengan membuat shunt portosistemik (porto caval atau meso caval). Beberapa pasien
dengan sindrom Budd-Chiari menjalani transplantasi hati. Telah dilaporkan empat
kasus kehamilan tanpa komplikasi pada pasien dengan sindrom Budd-Chiari
sebelumnya.
7. Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet (Hellp Syndrome)
Pertama kali dideskripsikan oleh Weinstein pada tahun 1982 sebagai singkatan dari
hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom ini menunjukkan
subgrup perempuan dengan toksemia gravidarum yang juga menderita koagulasi
intravaskular diseminata (KID) dan gangguan hati. Kurang lebih 10% perempuan
dengan preeklamsia/eklamsia menderita sindrom HELLP.
8. Hepatitis virus
Hepatitis virus adalah penyakit nekroinflamatori yang umumnya disebabkan oleh
virus hepatitis A,B,C,D atau E. Sebagai tambahan sitomegalovirus atau virus Epstein-
Barr dapat menyebabkan hepatitis virus akut. Manifestasi hepatitis virus sama baik
pada individu yang hamil maupun yang tidak dengan beberapa perkecualian. Data
gabungan menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah di dunia seperti di benua
sub-Indian, di timur tengah dan di Afrika di mana frekuensi dan derajat keparahan
hepatitis pada perempuan hamil lebih berat apabila dibandingan dengan perempuan
tidak hamil atau pasien pria.
- Hepatitis B
Pengamh hepatitis vims pada bayi barn lahir dapat terjadi akibat transmisi agen
penyebab penyakit tersebut. Hepatitis B (HB V) ditransmisikan ke bayi baru lahir
selama periode perinatal. Transmisi dari ibu ke anak dilaporkan antara 0% sampai
70%. Dua penelitian mencoba menjelaskan rentang angka transmisi yang lebar
ini. Penelitian yang pertama menunjukkan bahwa tidak terdapat infeksi pada bayi
ketika ibunya menderita hepatitis akut pada trimester pertama kehamilan, 25%
bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis akut pada trimester 2
tehnfeksi HB V, dan angka terjadinya infeksi meningkat mencapai 70% pada bayi
yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis akut pada trimester ketiga.
Insidensinya meningkat mencapai 84% apabila si ibu menderita hepatitis akut
pada dua bulan pertama setelah persalinan. Insidensi yang meningkat ini
disebabkan karena si ibu telah terinfeksi virus selama kehamilan dan setelah suatu
periode inkubasi tertentu infektifitasnya mencapai puncak pada saat persalinan.
Penelitian menunjukkan hasil yang serupa: infektifitas 0% pada trimester
pertama, 6% selama trimester kedua, 67% selama trimester ketiga, dan 100%
selama periode awal postpartum. Gambaran statistik ini mengejutkan apabila
kita mempertimbangkan bahwa lebih dari 90% neonatus yang terinfeksi menjadi
karier HB V. Vaksin Hepatitis B Beasley dan rekan-rekan menunjukkan bahwa
infeksi HBV kronis pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HBV dapat
dicegah pada 90% kasus dengan menggunakan kombinasi imunoglobulin
hepatitis B (HBIG) dan vaksinasi HBV secara teratur. Penelitian Beasley dan
penelitian-penelitian lain menghasilkan suatu pedoman untuk pencegahan
transmisi HBV fetal-matemal. Semua bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terinfeksi HBV hendaknya menerima profilaksis terhadap HB V.
Rekomendasi regimen sebagai profilaksis bayi baru lahir dari ibu dengan HbsAg positif
HBIGVaksin HBV
0,5 ml im pada saat lahir10 ug (0,5 ml) im dalam 7 hari setelah persalinan dan 1 dan 6 bulan sesudahnya
-
- Hepatitis virus C
Pada kurang lebih 50% individu yang terinfeksi hepatitis C tidak didapatkan
adanya faktor risiko terinfeksi hepatitis C. Hal ini mendorong penelitian tentang
transmisi infeksi HCV non perkutaneus. Sebelum assay HCV tersedia, kadang-
kadang ditemukan transmisi non-A non-B (sekarang diketahui sebagai hepatitis
C) vertikal melalui darah. Dua penelitian terbaru mengarah ke pendapat adanya
transmisi HCV neonatal. Walaupun kedua penelitian ini mempunyai desain yang
baik dan menggunakan petanda serologi yang dapat dipercaya, keduanya
mempunyai keterbatasan. Keterbatasan itu adalah jumlah bayi yang diamati
terlalu sedikit dan jangka waktu pengamatan yang pendek. Reinus dan rekan-
rekannya melaporkan 23 ibu yang terinfeksi HCV dan 23 bayi yang dilahirkannya
dari rumah sakit di daerah Westchester, New York. Penting diketahui bahwa pada
serum 16 dari 23 perempuan itu dapat dideteksi HCV RNA dan diperkirakan
berpotensi tinggi untuk mentransmisikan HCV ke bayi yang dilahirkannya.
Semua bayi menunjukkan antibodi terhadap HCV (anti HCV) pada sampel darah
tali pusat, tapi antibodi menghilang pada sampel yang diambil berikutnya Hanya
pada l sampel darah'tali pusat dapat dideteksi adanya HCV RNA yang kemudian
menghilang selama periode pengamatan. Penelitian yang kedua menunjukkan
hasil yang sama. Wejstal dan rekan-rekannya melaporkan 14 perempuan Swedia
dan 21 bayi yang dilahirkannya. Pada serum semua perempuan tersebut HCV
RNA dapat dideteksi dan 2 dari 21 bayi yang dilahirkannya menunjukkan
peningkattan ALT secara menetap, namun demikian hanya satu dari mereka yang
menjadi HCV-RNA positif selama periode pengamatan. Biopsi hati pada anak-
anak tersebut menggambarkan hepatitis kronis. Dari kedua penelitian itu dapat
disimpulkan bahwa transmisi HCV fetal-matemal tampaknya jarang. Kesimpulan
ini valid bahkan dengan adanyam H I V tipe l karena pada serum beberapa ibu
pada kedua penelitian tersebut dapat dieteksi adanya HIV-1.
- Hepatitis delta (jarang)
Hepatitis delta jarang dijumpai pada perempuan hamil. Suatu survei terhadap
6111 perempuan hamil di Italia menunjukkan bahwa 164 (2,6%) HBsAg positif
dan 7(4,2%) menunjukkan antibodi terhadap vims delta dalam serum. Tidak
satupun bayi yang dilahirkan dari perempuan ini terinfeksi hepatitis delta.
- Hepatitis E
Kemungkinan angka mortalitas hepatitis akut lebih tinggi pada perempuan hamil
dilaporkan pada beberapa daerah di atas berkaitan dengan epidemi hepatitis non-
A, non-B (sekarang dikenal sebagai hepatitis E atau HE V). Virus hepatitis E
telah berhasil diisolasi dan digambarkan mempunyai ciri-ciri tertentu. Hepatitis E
biasanya sembuh dengan sendirinya dan kondisi akut tidak diikuti dengan
hepatitis kronis. Histologi spesimen hati pada kasus terinfeksi HEV digambarkan
oleh Gupta dan Smetena pada spesimen biopsi dari 78 pasien termasuk
perempuan hamil. Lima puluh delapan persen spesimen menunjukkan satu atau
lebih gambaran patologis khas yaitu l) kolestasis terutama pada daerah periportal,
2) stasis empedu kanalikular dan intraselular pada struktur pseudoglandular
dan 3) peningkatan jumlah komponen asidofilik. Wabah HEV besar pertama kali
terjadi di Delhi, India pada tahun 1955 sampai tahun 1956. Gambaran
epidemiologis dan gambaran klinis utama wabah ini adalah hubungan dengan
konsumsi air yang terkontaminasi, serangan sering terjadi pada dewasa muda, dan
angka fatalitas tinggi pada perempuan hamil juga telah dilaporkan pada beberapa
wabah. Pada tahun 1978 wabah hepatitis non-A,non-B dilaporkan di Kashmir,
India. Angka 2,8% pada pria, 2,1% pada perempuan tidak hamil, dan 22% pada
perempuan hamil. Hepatitis fiilminan terjadi pada 2,8% dari pria, 0% dari
perempuan yang tidak hamil, dan 2% dari perempuan hamil. Dari perempuan
hamil dengan hepatitis fulminan, 75% meninggal. Pada tahun 1980 sampai 1981
epidemi hepatitis yang ditularkan melalui air terjadi di Algeria di mana 788 kasus
hepatitis dilaporkan dengan mortalitas mencapai 100% di antara 9 perempuan
hamil. Sebaliknya laporan dari Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
perempuan hamil dan fetusnya tidak terpengaruh oleh hepatitis virus selain
peningkatan insidensi terjadinya kelahiran prematur.
Efek kehamilan pada pasien dengan penyakit hati kronik:
Sirosis jarang terjadi pada perempuan usia subur. Insidensi terjadinya kehamilan pada
perempuan pasien sirosis belum diketahui, walaupun angka fertilitas yang rendah dilaporkan
pada perempuan-perempuan ini. Schreyer dan rekan-rekan melaporkan 60 perempuan hamil
dengan sirosis dengan 69 persalinan. Usianya bervariasi antara 18 sampai 44 tahun dengan
usia rata-rata 40,5 tahun. Sepuluh dari 60 perempuan itu meninggal selama kehamilan, 7
berkaitan dengan perdarahan gastrointestinal masif. Hanya 45 dari 69 (65%) bayi yang
dilahirkan dapat melewati periode neonatalnya. Hasil yang sempa dilaporkan pada penelitian
yang lain. Perhatian utama pada perempuan hamil dengan sirosis adalah adanya varises
esofagus. Dahulu, terminasi kehamilan disarankan berdasarkan pendapat bahwa ruptur
varises dan perdarahan fatal sering terjadi pada varises esofagus. Selanjutnya seksio caesaria
dianjurkan sebagai tindakan agar pasien tidak mengejan sehingga tidak memicu mptur
varises. Pada tahun 1982, Britton meneliti 53 pasien sirosis dengan 73 kehamilan dan 38
pasien bukan sirosis dengan 77 kehamilan berkaitan dengan risiko terjadinya perdarahan
varises. Ia menemukan bahwa sebagian besar perdarahan gestasional terjadi pada trimester
kedua dan risiko terjadinya perdarahan varises tidak meningkat selama persalinan per
vaginam. Varises transien terjadi pada perempuan dengan penyakit hati pada trimester kedua
sebagai akibat meningkatnya volume darah selama minggu ke-28 sampai ke-32. Pada
kelompok sirosis terdapat 7 kematian maternal, 3 berkaitan dengan perdarahan varises. Pada
kelompok non sirosis terdapat 2 kematian maternal, satu akibat perdarahan varises. Penelitian
ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara perempuan hamil sirosis
dan non sirosis dalam hal terjadinya perdarahan varises.
Laporan penelitian terhadap perempuan dengan sirosis bilier primer (PBC) atau
hepatitis kronis aktif autoimun menunjukkan bahwa kondisi klinis dari penyakit dasarnya
semakin membumk selama kehamilan. Empat dari lima perempuan dengan PBC
menunjukkan peningkatan derajat jaundice selama kehamilan dan bilirubin tetap meningkat
setelah persalinan. Dari 6 kehamilan pada pasien PBC, hanya 2 yang berhasil melahirkan
bayi hidup dan 3 dari 5 perempuan tersebut meninggal beberapa tahun setelah kehamilan.
Pada penelitian terhadap 30 perempuan hamil dengan hepatitis kronis aktif autoimun tidak
terdapat kematian maternal dan hanya 4 kematian perinatal. Perempuan-perempuan ini
diterapi dengan prednisolon selama kehamilan dengan tanpa efek samping pada fetus.
Kesimpulannya, jarang terjadi kehamilan pada pasien sirosis dan penatalaksanaan penyakit
hati pada pasien-pasien ini tidak berbeda dibandingkan pasien yang tidak hamil. Terdapat
peningkatan kematian fetus pada perempuan hamil dengan sirosis berkaitan dengan lahir
mati, prematuritas, dan abortus spontan.
TUBERKULOSIS PERITONEAL
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau viseral
yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai
seluruh peritoneum dan alat-alat sistem gastrointestinal, rnesenterium, serta organ genitalia
intema. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, biasanya merupakan kelanjutan proses
tuberkulosis di tempat lain terutama dari paru, namun seringkali ditemukan pada waktu
diagnosis ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. Tuberkulosis
peritoneal masih sering dijumpai di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia,
sedangkan di Amerika dan negara Barat lainnya walaupun jarang, ada kecenderungan
meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien AIDS dan imigran. Karena perjalanan
penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan manifestasi klinisnya tidak khas,
tuberkulosis peritoneal sering tidak terdiagnosis atau terlambat ditegakkan, sehingga
meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Tidak jarang penyakit ini mempunyai
keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites
yang tidak terlalu menonjol.
Secara umum tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada perempuan
dibandingkan pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering pada dekade ke 3 dan 4.
Tuberkulosis peritoneal dijumpai pada 2% dari seluruh tuberkulosis paru dan 59,8% dari
tuberkulosis abdominal. Peneliti lain melaporkan dari 91 pasien tuberkulosis peritoneal,
hanya 2 pasien (2,1%) yang dideteksi ada TBC parunya. Pada saat ini dilaporkan bahwa
kasus tuberkulosis peritoneal di negara maju semakin meningkat. Di Kanada dilaporkan pada
tahun 1988 ditemukan 81 kasus tuberkulosis abdominal, 41 kasus diantaranya merupakan
tuberkulosis peritoneal. Penyakit ini meningkat sesuai dengan meningkatnya insidens AIDS
di negara maju. Di Asia dan Afrika dimana tuberkulosis masih banyak dijumpai, tuberkulosis
peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di RS King
Edward II Durban Afrika Selatan ditemukan 145 kasus tuberkulosis peritoneal selama
periode 5 tahun (l 984 - 1988) dengan cara peritoneoskopi. Daldiyono, menemukan sebanyak
15 kasus di mmah sakit Dr. Cipta Mangunkusumo Jakarta, selama periode 1968 -1972 dan
Sulaiman di rumah sakit yang sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus
tuberkulosis peritoneal. Di Medan, Zain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 1993-
1995. Sandicki dkk di Turki melaporkan 135 kasus tuberkulosis peritoneal dengan
pemeriksaan peritoneoskopi.
PATOGENESIS
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberkulosis melalui beberapa cara:
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari pam-t
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi.
3. Dari kelenjar limfe mesenterium.
4. Melalui tuba fallopii yang terinfeksi.
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat
penyebaran perkontinuitatum, tetapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada
peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu.
PATOLOGI
Dikenal tiga bentuk tuberkulosis peritoneal yaitu:
- Bentuk eksudatif. Dikenal juga dalam bentuk yang basah atau bentuk dengan asites
yang banyak. Gejala yang menonjol adalah perut yang membesar dan berisi cairan
asites. Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai
kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan nampak tersebar di peritoneum atau pada
alat-alat tubuh yang berada di rongga pentoneum. Bentuk ini paling dijumpai (95,5%).
- Bentuk adesif. Dikenal juga dengan bentuk kering atau palastik. Cairan asites tidak
banyak dibentuk. Usus dibungkus oleh peritoneum dan omentum yang mengalami
reaksi fibrosis. Pada bentuk ini terdapat perlengketan-perlengketan antara peritoneum
dan omentum. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan
gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fisitel.
- Bentuk campuran. Bentuk ini kadang-kadang disebut bentuk kista. Pembentukan kista
terjadi melalui proses eksudasi dan adesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-
kantong perlengketan tersebut. Pada kedua bentuk di atas peritoneum penuh dengan
nodul-nodul yang mengandung jaringan granuloma dan tuberkel.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis bervariasi, umunya keluhan dan gejala timbul periahan-lahan, sering pasien
tidak menyadan keadaan ini. penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr Cipta
Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu sampai 2 tahun dengan rata-rata lebih
dari 16 minggu. Keluhan yang paling sering ialah; tidak ada nafsu makan, batuk dan demam.
Variasi keluhan-keluhan pasien tuberkulosis peritoneal menurut beberapa penulis adalah :
Keluhan-keluhan pasien tuberkulosis peritoneal menurut beberapa penulis
Keluhan Sulaiman A Sandikci dkk Manohar dkk
1975-1979 (30 ps)% (135 ps)% 1984-1988 (45 ps)%
Sakit perutPembengkakan perutBatukDemamKeringat malamAnoreksiaKelelahanBerat badan turunMencret
5750400630232320
8296-69-737680-
35,973,1-53,9-46,9-44,1-
Pada pemeriksaan fisis gejala yang saring dijumpai ialah: asites. demam,
pembengkakan perut dan nyeri, pucat dan kelelahan. Tergantung lamanya keluhan, keadaan
umum pasien bisa masih cukup baik, sampai kedaan yang kurus dan kahektik. Pada
perempuan sering dijumpai tuberkulosis peritoneal disenai oleh proses tuberkulosis pada
ovarium atau tuba, sehingga pada pemeriksaan alat genitalia bisa ditemukan tanda-tanda
peradangan yang sering sukar dibedakan dari kista ovarii.
DIAGNOSIS
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah sering ditemui anemia penyakit kronik, leukositosis ringan
atau leukopenia, trombositosis dan sering dijumpai laju endapan darah (LED) yang
meningkat. Sebagmn besar pasien mungkin negatif uji tuberkulinnya. Uji faal hati terganggu
dan sirosis hati tidak jmng ditemui bersama-sama dengan tuberkulosis peritoneal.
Pemeriksaan cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein >3g/dl.
Jumlah sel di antara 100-3000 sel/ml, biasanya lebih dari 90% limfosit. LDH biasanya
meningkat. Cairan asites yang purulen dapat ditemukan, begitu juga cairan asites yang
bercampur darah (serosanguineus). Basil tahan asam didapati hasilnya
kurang dari 5% yang positip dan kultur cairan ditemukan kurang dari 20 % yang positip. Ada
beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66 % kultur BTA positip yang akan meningkat
sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disentrifuge dengan jumlah
cairan lebih dari l liter. Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.
Perbandingan albumin serum asites pada tuberkulosis peritoneal ditemukan rasionya < l, l
gr/dl namun hal ini dapat juga dijumpai pada keadaan keganasan, sindrom nefrotik, penyakit
pankreas, kandung empedu atau jaringan ikat. Bila ditemukan rasionya > l, l gr/dl merupakan
cairan asites akibat portal hipertensi.
Perbandingan glukosa asites dan darah pada tuberkulosis peritoneal tersebut <0,96,
sedangkan pasien asites dengan penyebab lain rasionya > 0,96. Pemeriksaan cairan asites lain
yang sangat membantu diagnosis tuberkulosis peritoneal, cepat dan non invasif adalah
pemeriksaan adenosin deaminase activity (ADA), interferon gamma (IFNy), dan PCR.
Menurut Gimene dkk nilai ADA lebih dari 0,40 uKat/l mempunyai sensitivitas 100% dan
spesifisitas 99% untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Menurut Gupta dkk nilai ADA
30 u/1 mempunyai sensitivitas 100% dan pesifisitas 94,1%, serta mengurangi positip palsu
dari sirosis hati atau keganasan karena nilai ADA nya 14 ± l 0,6 u/l. HaftaA dkk melahikan
penelitian untuk membandingkan konsentrasi ADA pada pasien tuberkulosis peritoneal,
tuberkulosis peritoneal dan sirosis hati. Didapatkan hasilnya 131,1 ± 38,1 u/1,29 ± 18,6 u/1,
dan 12,9 ± 7 u/1. Pada asites yang konsentrasi proteinnya rendah nilai ADA nya akan rendah
sehingga dapat menyebabkan negatif palsu. Oleh sebab itu pada kasus seperti ini dapat
dilakukan pemeriksaan IFNy.
Fathy ME melaporkan angka sensitivitas IFNy90,9%, ADA 81,8% dan PCR 36,3%
dengan masing-masing spesivisitas 100% untuk mendiagnosis tuberkulosis
peritoneal. Bhargava dkk melakukan penelitian terhadap konsentrasi ADA pada cairan asites
dan serum pasien faiberkulosis peritoneal. Konsentrasi ADA 36 u/l pada cairan askes dan 54
u/1 pada semm dan perbandingan konsentrasi ADA pada asites dan serum > 0,984
mendukung diagnosis tuberkulosis peritoneal.
Pemeriksaan yang lain adalah mengukur konsentrasi CA-125 (cancer antigen 125).
CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukaa
pada ovarium orang dewasa normal namun dilaporkan juga meningkat pada kista ovarium,
gagal ginjal kronis, penyakit autoimun, pankreas, sirosis hati dan tuberkulosis peritoneal.
Zain LH di medan menemukan pada 8 kasus tuberkulosis peritoneal dijumpai
konsentrasi CA-125 meninggi dengan konsentrasi rata-rata 370,7 u/ml (66,2- 907 u/ml).
Dengan demikian disimpulkan bahwa bila dijumpai peninggian semm CA-125 disertai
dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit dominan
maka tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa.
Beberapa peneliti menggunakan CA-125 untuk melihat respon pengobatan seperti
yang dilakukan Mas MR dkk menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium
475,80 ± 106,19 u/ml dan setelah pemberian obat antituberkulosis konsentrasi semm CA 125
menjadi 20,80 ± 5,18 u/ml (normal < 35 u/ml) setelah 4 bulan pengobatan antituberkulosis.
Temya dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan konsentrasi CA 19-9
pada serum dan cairan asites pasien tuberkulosis peritoneal, setelah diobati
selama 6 minggu dijumpai penurunan menjadi normal.
Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum
yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Ramaiya dan Walter
gambaran sonografi tuberkulosis peritoneal yang sering antara lain, cairan yang bebas atau
terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam abdomen, massa di daerah ileosekal dan
pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal. Adanya penebalan mesenterium. Perlengketan
lumen usus dan penebalan omentum, dapat dilihat dan hams diperiksa dengan seksama.
CT Scan
Pemeriksaan CT Scan untuk tuberkulosis peritoneal tidak ada suatu gambaran yang khas,
secara umum ditemukan gambaran peritoneum yang berpasir. Rodriguez dkk melakukan
suatu penelitian yang membandingkan tuberkulosis peritoneal dengan karsinoma peritoneal.
Didapatkan penemuan yang paling baik untuk membedakannya dengan melihat gambaran CT
scan terhadap peritoneum parietalis. Bila peritoneumnya licin dengan penebalan yang
minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan gambaran tuberkulosis peritoneal,
sedangkan karsinoma peritoneal terlihat adanya nodul yang tertanam dan penebalan
peritoneum yang tak teratur.
Peritoneoskopi
Peritoneoskopi cara yang terbaik untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Tuberkel pada
peritoneum yang khas akan terlihat pada lebih dari 90% pasien dan biopsi dapat dilakukan
dengan terarah, selanjutnya dilakukan pemeriksaan histologi. Pada tuberkel peritoneal ini
dapat ditemui BTA hampir 75% pasien tuberkulosis peritoneal. Hasil histologi yang penting
adalah didapatnya granuloma. Yang lebih spesifik lagi adalah jika didapati granuloma dengan
perkejuan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberkulosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar pada dinding peritoneum atau pada organ lain dalam
rongga peritoneum seperti hati, omentum, ligamentum atau usus
2. Perlengketan di antara usus, omentum, hati, kandung empedu dan peritoneum
3. Penabalan peritoneum
4. Adanya cairan eksudat atau purulen, mungkin cairan bercampur darah
Walaupun dengan cara peritoneoskopi tuberkulosis peritoneal dapat dikenal dengan mudah
namun gambarannya dapat menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis.
Karena itu pengobatan baru diberikan bila hasil pemeriksaan histologi menyokong suatu
tuberkulosis peritoneal. Kadang-kadang peritoneoskopi tidak dapat dilakukan pada kasus
dengan perlengketan jaringan yang luas. sehingga trokar sulit dimasukkan. Pada keadaan
seperti itu sebaiknya dilakukan laparatomi diagnostik
Laparatomi
Dahulu laparatomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosis yang sering dilakukan, namun
saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika cara lain yang lebih
sederhana tidak memberikan kepastian diagnosis atau jika dijumpai indikasi yang mendesak
seperti obstruksi usus.
PENGOBATAN
Pengobatannya sama dengan tuberkulosis paru. Obat-obatan seperti streptomisin, BSTH,
etambutol, rifampisin, pirazinamid memberikan hasil yang baik, perbaikan akan terlihat dalan
waktu 2 bulan. Lama pengobatan biasanya mencapai 9 bulan sampai l 8 bulan atau lebih.
Beberapa penulis berpendapat kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan
mengurangi terjadinya asites. Terbukti juga kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan
dan kematian, namun pemberian kortikosteroid hams dicegah pada daerah endemis dimana
terjadi resistensi terhadap mikobakterium tuberkulosis.
PROGNOSIS
Prognosis tuberkulosis peritoneal cukup baik bila diagnosis dapat ditegakkan dan biasanya
akan sembuh dengan pengobatan anti tuberkulosis yang adekuat.