pengantar pembangunan dr. mohammad bukhori, se., s.ag., mm
DESCRIPTION
Buku ajar Pengantar Pembangunan Dr. Mohammad Bukhori, SE., S.Ag., MM sebagai prasyarat pengajuan Sertifikasi Dosen tahun 2015TRANSCRIPT
-
BAB I
PENGANTAR MENGENAI PEMBANGUNAN
Beberapa orang di Utara menggambarkan konsepsi kemiskinan di Dunia
Ketiga beratus-ratus dari berjuta-juta orang di negara-negara yang lebih
miskin tersibukkan dengan kebutuhan survival (sekadar untuk mempertahankan
hidup) atau kebutuhan mendasar saja.. kegelisahan yang terus menerus
menyelimuti mereka adalah kondisi miskin banjir, kekeringan atau penyakit
yang mempengaruhi manusia atau ternak dapat merusak mata pencaharian ..
kombinasi malnitrisi (kekuarangab gizi), buta huruf, penyakit, angka kelahiran
yang tinggi, pengangguran dan pendapatan rendah sungguh menyulitkan
mereka untuk bisa keluar dari kemiskinan; sementara banyak kelompok lain
semakin vokal, orang miskin dan buta huruf biasanya diam atau membisu
(Brandt Commission, 1980, hal 49).
Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, media, komunikasi dan sistem
perdagangan, bersatunya sentimen perhatian dan tanggung jawab menyebabkan
mereka yang hidup di perekonomian maju negara Utara semakin menyadari
perbedaan-perbedaan antara kondisi hidup mereka dan kondisi hidup yang
berhubungan dengan bangsa-bangsa Selatan. Citra masalah dan kemiskinan penduduk
negara-negara miskin telah menjadi begian dari pengalaman keseharian orang Utara
melalui televisi, surat kabar, pendidikan, dan kegiatan organisasi voluntar (sukarela)
yang menghasilkan banyak dukungan bagi program-program mereka untuk membantu
kaum miskin. Hal senada, di negara-negara Selatan, citra kemakmuran hidup di
negara-negara industri (maju) juga tertanam kuat di benak mereka dalam kehidupan
sehari-harinya.
Membaiknya kesadaran masyarakat mengenai perbedaan (disparitas) kondisi
hidup di banyak belahan dunia terjadi di saat hubungan ekonomi, sosial, dan budaya
diantara negara jaya dan miskin menjadi lebih jelas, berkembang kesadaran bahwa
kondisi di negara-negara kaya tidak saja berbeda dengan kondisi di negara miskin
tetapi kedua kondisi ini tak mungkin bisa dihubungkan, warga negara dari bangsa-
-
bangsa maju memakai kemeja yang dibuat di Bangladesh, minum kopi dari Kenya,
makan burger yang diproduksi dari daging sapi Brazil, makan malam di restoran yang
dikelola oleh pengungsi Vietnam, membeli radio yang dirakit di Taiwan, berlibur di
Gambia atau Indonesia, mempunyai pekerjaan yang bergantung pada penjualan alat-
alat militer ke India, mengoperasikan (membuka) rekening pribadi dengan bank-bank
yang secara finansial terancam oleh default (kegagalan membayar) pinjaman yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa Dunia Ketiga dan menonton pertunjukan musik rakyat
untuk membantu memberi makan bagi orang miskin Afrika. Mereka di negara-negara
lebih miskin bekerja dengan peralatan yang diimpor dari negara industri kaya, minum
Coca Cola atau Guinness (Bir), menonton Dallas di televisi, bergantung pada harga
tanaman pagan yang mereka tumbuhkan di London dan New York (mungkin orang
miskin bertanam di negara maju), menerima beasiswa untuk belajar di Manchester atau
Canberra, mengambil komuni dari pendeta Irlandia dan mengalami penurunan tingkat
penyediaan layanan masyarakat ketika pemerintah mereka berusaha keras untuk
memenuhi kondisi paket bantuan asing.
Bagi banyak orang di Utara, citra rakyat telah menimbulkan masalah yang
dihadapi oleh negara-negara lebih miskinkemiskinan, kesakitan, kelaparan,
pertumbuhan penduduk, kekeringan, hutang dan instabilitas politik. Dunia Ketiga
bukanlah tempat kekacauan besar karena kemiskinan, eksploitasi dan degradasi
belaka. Terdapat keragaman karakteristik dan masalah yang luar biasa di antara
negara berkembang (coba bandingkan Brazil dengan Bhutan), dan didalam negara
berkembang (bedakan gaya hidup dan persoalan pengembala Fulani dengan gaya
hidup pengusaha wanita Nigeria yang sukses). Walaupun ada keragaman ini, jeritan
untuk menyelesaikan masalah Dunia Ketiga telah muncul baik di negara kaya maupun
negara miskin dan dari birokrat perkotaan hingga pekerja pertanian, yaitu:
pembangunan.
ISTILAH DAN DEFINISI
Pembangunan
Pembangunan adalah tujuan utama dari banyak pemerintahan. Birokrasi negara
diorientasikan untuk mencapai tujuan pembangunan. Banyak lembaga multilateral
-
menghabiskan banyak sekali uang untuk mencapai tujuan pembangunan. Banyak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) didirikan untuk membantu tercapainya tujuan
tersebut. Berjuta-juta orang menunggu terealisasinya tujuan tadi. Banyak orang
mengkhawatirkan akibat buruknya. Banyak kebijakan pembangunan dirumuskan dan
rencana pembangunan dibuat. Terdapat banyak program pembangunan dan proyek
pembangunan. Pembangunan industri, pembangunan pedesaan, pembangunan
perkotaan, pembangunan lembaga, pembangunan sosial dan berbagai pembangunan
lainnya merupakan buktinya. Ada negara (sedang) berkembang, negara kurang maju,
negara paling tidak maju dan negara terbelakang. Banyak sarjana menulis tentang
pembangunan, memberikan kuliah tentang pembangunan dan memberi nasehat
pemerintah tentang pembangunan. Buku ini berfokus pada pembangunan semacam ini.
Sejumlah besar tenaga dan sumber daya diabdikan untuk pembangunan. Tetapi apa
pembangunan itu? Apakah pembangunan mempunyai makna yang berbeda bagi
banyak orang yang berbeda? Sialnya, pembangunan merupakan kosep yang paling
fundamental dan sukar ditangkap maknanya. Welch mengatakan Orang gila
menangkap semua istilah. Tetapi Seer menyarankan agar kita menyingkirkan jaring
fantasi yang telah kita tenun mengenai pembangunan dan mencari makna
pembangunan yang lebih tepat. Hal demikian sungguh sulit dilakukan.
Sejak Perang Dunia II, pembangunan bersinonim dengan perubahan ekonomi,
sosial dan politik di negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Caribia dan Pasifik
Selatan (lihat gambar 1.1 untuk klasifikasi dan distribusi geografi negara-negara
berkembang). Pertama, definisi pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi
dan replika tatanan ekonomi, sosial dan politik yang dijumpai di begara industri Barat.
Telah menjadi bukti kalau negara-negara berkembang tidak melakukan modernisasi
ketika memikirkan kembali makna pembangunan. Para ilmuwan sosial mendefinisikan
kembali pembangunan dalam artian perkembangan ke arah tujuan kesejahteraan yang
kompleks. Misalnya, Seer (1977, hal 2) melihat pembangunan sebagai realisasi
kemampuan potensial manusia yang tersatukan pada tiga tujuan spesifikmenjamin
tersedianya kebutuhan dasar, penciptaan lapangan kerja (pemekerjaan) secara penuh
dan mengurangi ketidakadilan. Definisi pembangunan dalam arti pengejaran berbagai
kebutuhan dasar telah mendominasi literatur akademik dan literatur pemerintah pada
-
tahun 1980-an (Streeten dkk, 1981). Pada mulanya, definisi demikian didasarkan pada
tersedianya kebutuhan minimum untuk kesejahteraan fisiologi (makanan, tempat
tinggal, pakaian) dan pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, air bersih). Selanjutnya,
definisi tersebut diperluas untuk mencakup akses pada kesempatan pekerjaan, jaminan
pribadi dan hak-hak sipil.
Variasi diantara spesifikasi paket kebutuhan dasar berfungsi untuk menyoroti
fakta kalau definisi pembangunan dan tujuan pembangunan tertanamkan dalam nilai-
nilai personal dari mereka yang terlibatkan dalam aktivitas dan akhir-akhir ini hal
demikian menyebabkan pemikiran tentang siapa yang seharusnya menentukan
pembangunan daripada biasanya. Sebuah argumen kuat menyatakan kalau
pembangunan harus didefinisikan oleh mereka yang kehidupannya harus diperbaiki
(misalnya, kelompok miskin), daripada oleh ahli teknik atau politisil dan harus
memasukkan (mencakup) pengenalan kebutuhan secara eksplisit untuk pemberdayaan
orang miskin. Misalnya:
Pembangunan pedesaan merupakan sebuah strategi untuk memungkinkan
sekelompok orang, wanita dan pria desa yang miskin, untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan dan perlukan bagi dirinya sendiri dan untuk anak-anaknya.
Pembangunan pedesaan membantu orang-orang termiskin diantara mereka
yang mencari matapencaharian di daerah pedesaan untuk lebih banyak
menuntut dan mengontrol manfaat pembangunan (Chambers, 1983 hal 147).
Namun, definisi tersebut sering melahirkan sedikit kemiripan pada persepsi
definisi dalam kekuasaan dan praktek pembangunan. Gagasan pembangunan berasal
dari gagasan kemajuan abad ke-19 tetapi tidak seperti pendahulu evolusionernya,
pembangunan menekankan pada tindakan sadar untuk menghasilkan transformasi
yang diinginkan di masyarakat. Kebijakan pembangunan, rencana dan program
dirancang untuk menghentikan permainan sosial yang bebas, kekuatan ekonomi dan
politik. Pembangunan kemudian diinduksi atau ditimbulkan. Ini merupakan tugas maha
berat yang dilihat pemerintah sebagai kemampuan untuk mengorganisir dan
mengkoordinasikan tugas itu (pembangunan). Pembangunan kemudian menjadi
tanggungjawab pemerintah. Pembangunan ekonomi yang direncanakan secara sentral
dan modernisasi Uni Soviet telah memberikan sebuah model baik untuk negara
-
komunis maupun untuk kapitalis. Agar bisa mendukung tuntutan mereka untuk
menentukan dan memimpin proses pembangunan, pemerintah telah mempromosikan
ideologi developmentalism (pembangunanisme). Kesenjangan antara retorika yang
berkaitan dengan ideologi tersebut dan realitas kondisi aktual tak berarti apa-apa untuk
menangani (menentang) produksi dan perkembangan ideologi. Namun, penduduk
mungkin lebih sinis mengenai pembangunananisme daripada tahun-tahun sebelumnya.
Semakin disadari dengan baik kalau pembangunanisme merupakan ideologi kaum elit
karena pemerintah menerapkan tujuan pembangunan dan bertekad mencapai tujuan itu
demi yang diatur (rakyat). Rakyat jarang menyusun tujuan-tujuan untuk dicapai
pemerintah.
Jadi, kesimpulan apa yang dapat dicapai tentang makna pembangunan? Bagi
kebanyak penulis, pembangunan otentik dipahami sebagai yang memperhatikan
perbaikan kondisi keberadaan mayoritas penduduk dan khususnya kaum termiskin. Hal
demikian menjadi proses yang bermanfaat yang tidak saja melahirkan gagasan
perbaikan ekonomi, tetapi juga melahirkan martabat manusia, keamanan, keadilan dan
persamaan yang lebih baik (Brandt Commission, 1980 hal 48) . Upaya yang lebih tepat
dari ini , dalam artian manentukan dan memprioritaskan kondisi-kondisi yang di perbaiki
dan menunjukan sarana pencapaian, harus dilihat sebagai pengutamaan personal yang
mencerminkan nilai-nilai andividual, dan tak mungkin untuk memenuhi persetujuan
umum (maksudnya mendapatkan persetujuan semua pihak ). Pengetahuan bahwa
pembangunan mempunyai banyak makna dan aplikasi adalah penting tetapi hal ini
tidak menjadikan subjek ini mudah dipelajarai. Di bab 3 kami akan menyelidiki makna
dan penggunaan pembangunan bila melihat cara bagaimana banyak ahli teori
menggunakannya.
Dunia Ketiga
Istilah Dunia Ketiga sekarang banyak digunakan sebagai sinonim untuk negara-
negara berkembang. Ini banyak ditulis dalam judul jurnal dan berbagai buku akademik,
media massa sering menggunakan istilah Dunia Ketiga, bahwa Kamus Inggris Oxford
menerima istilah itu. Meskipun ketepatannya jelas, terjadi kebingungan mengenai
makna ungkapan ini. Secara khusus, apakah istilah Dunia Ketiga menunjuk pada tipe
-
sistem politik yang berbeda atau menunjuk pada tingkat produksi ekonomi yang
berbeda, atau menunjuk keduanya? Ketika istilah Dunia Ketiga pertama digulirkan di
Perancis tahun 1950-an, aspek-aspek politik ditekankan. Perlu adanya kekuatan ketiga
antara blok kekuatan perang dingin yang saling berlawanan dari barat dan timur .
Kekuasaan ketiga yang dimaksud adalah Dunia Ketiga dari bangsa-bangsa yang
berkomitmen, bangsa non-nuklir dan non aliansi, terutama tersusun dari bangsa-
bangsa yang baru merdeka seperti Nigeria, Ghana, India dan Indonesia. Dengan
berkurangnya tekanan perang Dingin dan perkembangan negara kedaulatan baru dan
merdeka, istilah ini menjadi lebih terkait erat dengan pengabaian, eksploitasi dan
potensi revolusioner (Wolf philips,1987,1313). Dunia pertama menunjuk pada ekonomi
pasar yang maju (misalnya, Amerika Serikat dan Perancis ), Dunia kedua menunjuk
pada perekonomian yang direncanakan secara sentral (misalnya , Uni Soviet dan
Hongaria ) dan Dunia ketiga menunjuk pada semua negara lain (diluar dunia pertama
dan kedua). Apakah perekonomian miskin yang direncanakan secara sentral -- China,
Vietnam, Cuba, Etiopiamasuk golongan dunia kedua atau dunia ketiga atau tidak
merupakan sumber kebingungan. Worsely (1984, hal 311) telah menunjukkan bahwa
meskipun isu demikian mungkin murni persoalan akademik, label dan penggunaan
istilah itu jelas mempengaruhi banyak peristiwa. Dalam buku ini kami menggunakan
istilah Dunia Ketiga sebagai stenografi untuk menunjuk pada semua negara
berpendapatan rendah dan menengah, apapun sistem politiknya. Pembaca harus sadar
bahwa ada suatu bahaya dalam menggunakan istilah ini, bahaya itu kebanyakan
menciptakan citra bangsa Dunia Ketiga sebagai kelompok yang homogen dengan
kondisi dan masalah yang sama. Meskipun negara Dunia Ketiga dapat dipandang
sebagai yang menunjukkan ciri-ciri umum seperti tingkat pertumbuhan penduduk yang
relatif tinggi dan kebanyakan proporsi penduduk mereka mempunyai pendapatan
rendah, tetapi Dunia Ketiga juga mempunyai keragaman ekonomi, politik dan sosial
yang eksis diantara dan didalam negara Dunia Ketiga. Sebuah kritik pedas (Naipaul,
1985) menekankan keragaman ini untuk menunjukkan konsep Dunia Ketiga sebagai
mitos [yang] meskipun kesederhanaan bawaannya terlalu sulit untuk diterapkan.
Yang lainnya mengomentari ketidakteraturan mengenai istilah itu (CARTW, 1979, hal
196). Yang lainnya lagi menyarankan kalau persoalan keragaman dapat diselesaikan
-
dengan membagi lagi bangsa-bangsa yang terdiri atas Dunia Ketiga kedalam lebih dari
satu kategori. Misalnya, Wolf-Philip (1987, hal 1320) usul untuk membatasi Dunia
Ketiga pada negara-negara berkembang dan mengklasifikasikan negara-negara
paling tidak maju sebagai Dunia Keempat.
Utara-utara
Istilah Utara-utara menjadi klasifikasi yang terkenal karena istilah ini
dipopulerkan dalam laporan Komisi Independen mengenai Persoalan Pembangunan
Internasional (biasanya menunjuk pada Komisi Brandt 1980). Ungkapan ini dipilih oleh
Komisi itu untuk menekankan pembagian ekonomi antara Utara (negara kaya) dan
Selatan (negara miskin) dan untuk menyoroti keinginan dialog Utara-Selatan yang
tertanamkan dalam perhatian umum untuk masalah global dan dibebaskan dari
komplikasi kepentingan politik Timur-Barat. Meskipun pembagian ini tidak akurat dalam
istilah perpetaan (karena mayoritas penduduk negara-negara yang lebih miskin hidup di
Belahan Utara dan lokasi Australia dan New Zealand terletak di Belahan Selatan),
maka adalah penting untuk mengusulkan pengelompokan berdasarkan geopolitik.
Komisi tadi menganggap berbagai bangsa Selatan sebagai yang mempunyai
kesadaran yang sangat tinggi tentang konsidi sulit umumbergantung pada Utara,
menjadi tidak sebanfing dengan Utara dan sering menjadi bekas jajahan Utara.
Kesadaran diri ini jelas menyebabkan solidaritas Selatan dalam negosiasi global
dengan Utara. Sebagaimana dengan bayak tulisan tentang pembangunan , adalah
perlu untuk membedakan antara desirability (sifat yang diinginkan) dan feasibility
(kemungkinan). Tingkat solidaritas Selatan yang tinggi sering bersifat ilusi (dibuat-buat),
sementara dialog yang digambarkan antara Utara dan Selatan harus berlangsung/
perubahan, kemajuan dan pembangunan telah menjadi tema tetap dari banyak ilmu
sosial sejak abad lampau. Hingga Perang Dunia II, fokus geografi dari karya tersebut
adalah Eropa dan Amerika Serikat. Banyak sekali studi teori dan empirik membahas
industrialisasi dan timbulnya manusia modern di Eropa Utara. Amerika Serikat sedang
dianalisa dengan seksama karena perekonomian dan kekuatannya tumbuh cukup tinggi
yang belum terjadi sebelumnya. Bangunan fondasi yang diletakkan oleh bapak ilmu
sosial modernMark, Weber dan Durkeimpara penulis mengidentifikasi dan
-
menganalisa proses modernisasi yang berlangsung di wilayah geografi ini. Ini
mempunyai reaksi penting untuk karya selanjutnya mengenai pembangunan di Dunia
Ketiga, karena konsep teori utama yang digunakan dalam studi pembangunan dalam
periode paska-perang berakar dari karya Marx, Weber, dan Durkeim. Untuk mensifati
sesuatu secara agak kasar, seseorang bisa menyatakan kalau pemikiran mengenai
negara-negara berkembang dalam dekade akhir-akhir ini merupakan reinterpretasi dari
elemen-elemen teori terdahulu tentang perubahan ekonomi dan sosial di Eropa. Ini
akan terlihat jika kita meneliti teori-teori pembangunan di Bab 3.
Sebelum Perang Dunia II, satu-satunya kelompok ilmuwan sosial yang
mendemonstrasikan kepentingan secara berkesinambungan di negara-negara yang
sekarang diacukan sebagai Dunia Ketiga adalah antropolog sosial. Banyak dari karya
akademik ini menguji teori-teori primitif dari persprektif evolusi sosial, tetapi paradigma
itu digantikan oleh pendekatan fungsionalis dalam dekade awal abad ini. Kerangka
kerja fungsionalis (functionalist) tidak langsung berhubungan dengan subjek perubahan.
Tetapi, mereka berusaha menganalisa masyarakat non-Eropa dalam istilahnya sendiri
sebagai formasi sosial dan budaya yang hidup dan konsisten secara internal yang
memungkinkan anggota mereka memenuhi kebutuhan fisik dan spiritualnya.
Kebanyakan antropolog sosial yang bekerja selama era ini berusaha dengan giat untuk
mempelajari apa yang oleh Margaret Mead diistilahkan dengan untouched sosieties
(masyarakat yang tak tersentuh); yaitu, kelompok-kelompok yang belum dimodifikasi
oleh kontak dengan dunia Barat dan gangguan misionaris, pengusaha perkebunan,
penyelidik (tambang emas misalnya) dan pengatur kolonial. Ini tidak selalu mungkin dan
banyak antropolog sosial mempelajari masyarakat yang telah tersentuh. Mereka sering
menerima reputasi karena menjadi troubelmaker (pengacau) dan kaum merah dari
orang-orang Eropa dan warga sipil sementara di tahun akhir-akhir ini mereka dituduh
sebagai pemaaf terjadinya kolonialisme dan sebagai alat imperilisme.
Situasi berubah dengan dramatis setelah tahun 1945 ketika era kolonial telah
berhenti dan banyak negara merdeka baru. Ketika kelompok pengatur (penguasa)
kolonial kembali ke Eropa mereka (antropolog sosial) digeser oleh musuh baru
sarjana Barat, diserang oleh peneliti yang menganalisa apa yang sedang terjadi di
bangsa-bangsa baru ini, dan umumnya dipekerjakan di berbagai universitas dan
-
lembaga pendidikan yang didirikan setelah kemerdekaan. Banyak sosiolog mulai
melihat struktur kelas yang muncul, sistem nilai yang merubah dan pengaruh faktor
sosial dan budaya terhadap pembangunan ekonomi. Ilmuwan politik, yang menemukan
sedikit kepentingan dalam administrasi kolonial, membawa kepentingan yang kuat
dalam struktur politik, proses, partai, dan politisi dari negara-negara baru ini. Antropolog
sosial terus menekankan studi pada kelompok yang lebih terpencil, meskipun banyak
antropolog sosial mulai mengamati perubahan yang diinduksi di masyarakat pedesaan
dan mulai melaporkan dan menganalisa konsekuansi sosial dari strategi pembangunan.
Namun, diantara ilmuwan sosial, ilmu ekonomi mengambil (dan telah
memperoleh) posisi yang dominan sehubungan dengan pengaruhnya pada praktek
pembangunan. Kemerdekaan di Asia dan Afrika terkait erat dengan perencanaan
ekonomi nasional yang komprehensif dan persiapan rencana lima tahun (Pelita) yang
dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya yang langka ke sektor-sektor yang
diyakini menjadi prioritas tertinggi jika pertumbuhan ekonomi yang cepat ingin dicapai.
Banyak lembaga pasar di negara baru ini berkembang sangat buruk sehingga lembaga
pasar itu tidak dapat menjadi mekanisme yang efisien untuk alokasi sumber daya. Pada
tahun-tahun yang efisien untuk alokasi sumber daya. Pada tahun-tahun awal, ada
optimisme mengenai kemampuan perencanaan ekonomi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang cepat, untuk memodernisasikan lembaga ekonomi, sosial
dan politik dan memperbaiki standar hidup. Rencana-rencana ini memerlukan
penciptaan atau perluasan departemen keuangan dan perencanaan, yang sering
disetafi oleh ekonom asing sementara ekonomi pribumi sedang dilatih. Kembali di
Eropa dan Amerika Serikat, banyak ekonomi pembangunan teori menasehatkan
beberapa model untuk memahami dan meramalkan pertumbuhan ekonomi (ini
termasuk Lewis Model, Harrod-Domar Model, Rostows Stage Theory, Model Big Push
[Dorongan Besar] milik Rodan-Rodenstein, karya Scitovsky mengenai eksternalitas,
dan banyak model lain). Kawan-kawan mereka di lapangan dan di lembaga
pembangunan internasional menggunakan konsep yang sering berkonflik ini untuk
menentukan prioritas sektoral, merekomendasikan kebijakan ekonomi makro dengan
tepat dan menilai dan memilih proyek pembangunan sektor publik yang akan
membantu mencapai tingkat pertumbuhan yang diproyeksikan. Meskipun banyak
-
perhatian dari dalam disiplin tentang ketepatan model teoritis, khususnya tentang batas-
batas pada perencanaan, dan diluar disiplin dari ilmuwan politik, sosiolog dan
antropolog sosial (Hill, 1987; Robertson, 1984; Hall dan Midgley, 1988), ilmu ekonomi
tetap menjadi disiplin yang paling berpengaruh. Namun demikian, tongkat komando
telah lolos dari ekonom pembangunan intervensionis tahun 1960 dan 1970-an ke
penganut ortodoks liberalissasi, deregulasi baru dan berputar kembali ke negara.
Dalam teks ini, kami membuat referensi pada karya dan sumbangan para ekonom
karena mereka ini telah mendominasi aspek-aspek teori dan praktek pembangunan.
Namun, perhatian utama kami adalah ilmu sosial nonekonomi dan sumbangan ilmu
sosial pada pemahaman dan praktek pembangunan.
Meskipun banyak menghabiskan waktu dan upaya dalam studi pembangunan,
sosiologi (dan sebagian besar ilmu sosial nonekonomi) mempunyai dampak minimal
pada praktek pembangunan. Beberapa faktor menjelaskan paradoks ini (Hall dan
Midgley, 1988). Banyak sosiolog mewariskan pukulan hebat dalam rekayasa sosial.
Mereka menyatakan kalau integritas profesional mereka dalam kondisi membahayakan
dan mereka hanya akan dimanfaatkan untuk menghapus suatu kebiasaan demi
lembaga, elit dan golongan yang kuat. Banyak sarjana berpendapat kalau peranan
praktis sosiologi adalah untuk menyebarkan temuan-temuannya dengan cara umum
kepada pembuat kebijakan dan perencana, yang kemudian tercerahkan dan
menjelaskan urusan yang akan dilakukannya. Meskipun ada justifikasi atas pandangan
ini, ada kesempatan dan asumsi kalau apa yang dihasilkan sosiolog adalah penting
bagi praktek pembangunan. Ini sering tidak benar. Kegamangan dan keabstrakan
banyak mensifati output sosiologi dan sangat membatasi relevansi praktisnya. Bahkan
sosiolog yang mempunyai keahlian yang bergunapun tidak memperhatikan lembaga
bantuan (aid agencies) dan departemen pemerintahan dimana sebenarnya mereka
punya kemampuan teknis yang bisa disumbangkannya. Tetapi pelatihan sosiologi level-
tersier baik di dunia maju maupun di dunia berkembang tidak menyebabkan para
lulusan mampu memberikan sumbangan secara signifikan dan berpengaruh pada
pembangunan. Peremehan untuk persoalan praktis menyebabkan sosiolog tanpa
badan teori normatif yang mereka bisa terapkan dan tanpa gagasan tugas praktis yang
jelas.
-
Posisi periferi (pinggiran) sosiologi tidak seluruhnya ditimbulkan sendiri. Banyak
sosiolog telah dikeluarkan dari pembuatan kebijakan dan perencanaan karena mereka
diduga mempunyai edeologi sayap-kiri. Meskipun dugaan ini keliru, banyak sosiolog
dan antropolog lebih mungkin mengungkapkan kritik dan ketidaksepakatan pendapat
pada pembangunan daripada perwakilan disiplin lainnya. Ekonom, ahli pertanian, ahli
teknik dan banyak personil teknik lain yang mendiami kantor-kantor perencanaan
bersikap skeptis (ragu-ragu) dan kurang sekali memanipulasi parameter pembangunan
sosial. Bahkan sosiolog bisa dipandang sebagai halangan bagi implementasi
pembangunan, dan ketika personil proyek harus dikorbankan karena kendala
keuangan, sosiolog dipandang sebagai orang yang paling terbuang. Akhirnya
hambatan-hambatan institusional dilihat menghambat kemajuan sosiolog dalam dunia
pembangunan. Misalnya, lembaga bantuan kurang mempunyai mekanisme yang
memadai untuk merekrut sosiolog atau sosiolog dianggap sebagai ancaman bagi
keseimbangan kekuasaan diantara departemen.
Meskipun ada kecacatan dan masalah ini, sedang tumbuh badan pendapat kalau
salah satu tugas pokok dari sosiologi pembangunan seharusnya dilibatkan dalam
praktek pembangunan. Seorang sosiolog Bank Dunia menyatakan hal berikut:
Sosiologi dan antropologi terutama diupayakan untuk menjelaskan dan
menggambarkan struktur sosial lampau atau struktur sosial yang ada sekarang,
daripada melihat perubahan mendatang dan perubahan proyek.. [mereka] harus
menhadapi berbagai tantangan kegiatan pembangunan, menyingsingkan lengan
baju dan terlibatkan dalam keduniaan, menerjemahkan rencana-rencana menjadi
realitas dalam pola sosiologis. Mereka perlu mengkaitkan pengumpulan data,
penelitian berorientasi-tindakan, analisa sosial, dan rancangan untuk tindakan
dan evaluasi sosial kedalam suatu kontinum (rangkaian kesatuan), dan
kemudian menggambarkan sumbangan sosiologi pada pernyataan yang luar
biasa (Cernea, 1985, hal 9-10).
Hal dan Midgley (1988, hal 5) menggemahkan sentimen ini dan berpendapat
kalau para sosiolog mempunyai sumbangan praktis yang penting bagi pembangunan.
Ada dukungan yang sama-sama persuasif yang mempromosikan jalur yang sama
diantara antropolog (Grillo dan Rew, 1985). Chambers (1983) mengajukan pertanyaan
-
apakah sosiolog (dan ilmuwan sosial nonekonomi lainnya) mempunyai hak untuk
mengkritik rencana dan kebijakan pembangunan jika mereka tidak dilibatkan secara
praktek dalam perumusan rencana dan kebijakan itu. Dia membedakan akademikus
negatif ini dengan para praktisi positif. Tetapi sosiolog sah-sah saja untuk bertanya
apakah apa yang mereka lakukan harus (selalu) bermanfaat. Jawaban atas pertanyaan
ini jelas tidak, dan siapa yang menentukan apa yang bermanfaat tadi? Namun, jika
seorang sosiolog memilih untuk tidak terlibatkan, maka dia harus siap memainkan
peranan memberikan kritik pada pembangunan secara tidak efektif meskipun peranan
ini permanen. Masalah tidak berhenti disini bahkan ketika ilmuwan sosial memilih untuk
terlibatkan. Terjadi ketidaksepakatan mengenai apa yang seharusnya dikerjakan dan
bagaimana sesuatu ini harus dikerjakan. Senantiasa timbul dilema etika. Juga, adalah
mungkin untuk memperkerjakan sosiolog dalam merumuskan sebuah rencana tindakan
bila mereka mempunyai aturan (untuk diterapkan) (Cernea, 1985, hal 8). Namun
demikian banyak kemajuan telah dibuat dan subjek ini ada di bab 3.
-
BAB 2
KEHIDUPAN DI DUNIA KETIGA: STATISTIK PEMBANGUNAN DAN SEJARAH
PRIBADI
Sebelum menguji beberapa perspektif teori tentang pembangunan, adalah perlu
menjamin kalau pembaca punya pengetahuan bukti tentang kondisi kehidupan di
negara-negara berkembang, bagaimana kondisi ini berbeda diantara bangsa dan
kelompok sosial dan bagaimana kondisi ini bila dibandingkan dengan kondisi kehidupan
di negara-negara maju.
Sebagaimana kita catat di bab pertama, pembangunan sukar dimengerti,
merupakan konsep yang abstrak dan multisegi dan tidak mudah menerima
pengukuran langsung. Dalam praktek, hanya mungkin untuk mengemukakan beberapa
indikator tingkat pembangunan suatu bangsa, daerah atau sekelompok orang yang
menggunakan statistik seperti pendapatan perkapita, standar kesehatan, harapan
hidup, melek-huruf, malnutrisi atau indeks-indeks yang memasukkan beberapa ukuran
pengganti/wakil. Semua gambaran ini merupakan indikator kasaran, bukan merupakan
ukuran yang akurat dari tingkat pembangunan. Tujuan dari indikator ini bukan untuk
menunjukkan kalau sebuah bangsa, daerah atau kelompok lebih atau kurang maju dari
negara lainnya. Tetapi, indikator ini menyediakan gagasan kasar tentang perbedaan
dan kesamaan kondisi kehidupan unit-unit yang sedang diperbandingkan.
Hati-hati dalam menginterprestasikan statistik pembangunan adalah sangat
penting karena adanya sifat ganda dari statistik itu. Harus juga disadari kalau banyak
statistik, dan khususnya statistik yang berhubungan dengan daerah pedesaan dari
negara-negara yang lebih miskin, mempunyai validitas yang terbatas. Bank Dunia
(1987, hal 197) dalam Laporan Pembangunan Dunia tahunan-nya, menasehatkan kalau
banyak statistik yang dipublikasikannya peka terhadap kesalahan [dan] statistik
seharusnya diuraikan sebagai yang mengindikasikan trens dan mensifati perbedaan
utama diantara banyak perekonomiam, daripada mengambil statistik sebagai indikator
kuantitatif mengenai perbedaan-perbedaan itu secara tepat. Bahkan yang paling
penting dari semua statistik, penduduk yaitu jumlah orang yang hidup di wilayah
-
tertentu, tidak bisa diandalkan untuk negara-negara berkembang (Hardiman dan
Midgley, 1982, hal 63), dimana registrasi kelahiran dan kematian merupakan
kemewahan adminstrasi yang tidak dapat diupayakan dan sensus mungkin tidak ada
(Etopia), ketinggalan jaman (Mesir), atau dihindari (Nigeria). Perkiraan penduduk China
bervariasi (berselisih dari kondisi yang sebenarnya) sebesar 164 juta pada tahun 1700-
an (Kirk, 1979). Jelasnya, statistik pembangunan harus diperlakukan dengan hati-hati
dan asumsi bahwa statistik itu tidak akurat harus dikaji dengan seksama. Pada karya
sekarang ini, antropolog ekonomi Polly Hill (1987, hal 30-50) menuduh mayoritas
ekonom pembangunan yang menggunakan statistik yang mereka ketahui, atau yang
seharusnya mereka ketahui, kualitasnya sangat buruk dan tidak cocok untuk analisa
kuantitatif yang canggih. Dia mencatat dua belas atas terjadinya kondisi masalah ini
dan dengan sinis mempostulatkan bahwa jika kecanggihan pengolahan data
membaik, maka mutu produk akhir statistik akan menurun. Robert Chambers (1983,
hal 51-55) telah melaporkan dan menyediakan contoh patologi survai pedesaan.
Banyak sosiolog dan antropolog yang bekerja di tingkat desa di negara-negara
berkembang akan memperkuat komentar kritis tentang statistik resmi ini. Duly
mengingatkan, mari kita menguji beberapa informasi yang tersedia.
PRODUK NASIONAL BRUTO (GNP) PER KAPITA
Statistik yang paling sering dikutip dalam studi pembangunan adalah gross
national product (GNP) per kapita. GNP ini dihitung dengan memperkirakan nilai uang
dari semua barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara dalam satu tahun,
ditambah pendapatan faktor bersih (dari tenaga kerja dan modal) dari luar, dan dibagi
dengan perkiraan penduduk pertengahan tahun, meskipun untuk alasan teknis, GNP
sering didasarkan pada periode tiga-tahunan (informasi detail bagaimana perhitungan
ini dilakukan tersedia di balik Laporan Bank Dunia). Statistik ini merupakan salah satu
dari banyak alat yang paling sering digunakan dalam ilmu sosial dan tidak saja
digunakan oleh ekonom tetapi juga oleh sebagian besar ilmuwan sosial sebagai sarana
kasar untuk membandingkan tingkat pembangunan. Namun demikian, ada masalah
dalam penggunaan GNP per kapita sebagai indikator pembangunan atau
kesejahteraan, khususnya jika GNP per kapita digunakan untuk perbandingan dalam
-
jangka lama (Abromovitz, 1959) dan untuk mempertimbangkan banyak negara
(Kuznets, 1953). Maka perlu mempertimbangkan kelemahan dan kekurangan yang
terkait dengan perhitungan dan pemakaian GNP per kapita karena, meskipun banyak
kecaman atas pemakaian GNP per kapita, GNP per kapita tetap menjadi statistik
pembangunan yang paling banyak dikutip dan digunakan dalam volume ini:
1. Terlepas dari masalah umum yang terkait dengan pengumpulan data, perkiraan
GNP untuk negara berkembang sulit dilakukan terutama karena kepentingan
kegiatan ekonomi, produk-produk yang digunakan untuk nafkah hidup, atau
pertukaran melalui transaksi no-uang. Penilaian/penaksiran produksi pertanian
untuk nafkah hidup tetap sebagai seni sebagaimana ilmu pengetahuan, dengan
sedikit pengetahuan mengenai volume fisik produksi di banyak negara, apalagi nilai
finansialnya. Bahkan di negara-negara berkembang yang lebih mengkota, data yang
tersedia tentang produksi barang-barang dan jasa di sektor informal perkotaan
besar sangat terbatas, dan asumsi dibuat bila menempatkan nilai-nilai pada produk
informal.
2. Sehingga perbandingan dapat dibuat, GNP per kapita biasanya diubah dari mata
uang setempat menjadi satuan umum, yang paling sering dalam bentuk dolar US. Ini
memerlukan pembuatan sejumlah asumsi tentang kurs. Variasi dalam asumsi-
asumsi ini dapat menyebabkan perbedaan yang signifikan dalam hal angka final
yang bisa dihitung.
3. GNP per kapita menghasilkan rata-rata nilai produksi (dan pendapatan) untuk setiap
orang, tetapi GNP per kapita tidak menyediakan indikasi (adanya) distribusi
pendapatan diantara penduduk. Misalnya, sebuah negara seperti Meksiko
mempunyai GNP per kapita relatif tinggi yaitu US$ 1830 pada tahun 1987. Namun
sekitar 58 persen dari pendapatan nasional ada pada mereka yang terkaya, sekitar
20 persen dari jumlah penduduk, sementara orang termiskin atau sekitar 20 persen
dari jumlah penduduk hanya menerima sekitar 3 persen pendapatan nasional. Disini
terjadi bahaya karena angka rata-rata menkaburkan atau menyamarkan realitas
yang sebenarnya, yaitu penduduk Meksiko mempunyai pendapatan per kapita
hanya sebesar US$ 300 atau US$ 400 per tahun.
-
4. GNP per kapita bukan merupakan indikator yang akurat mengenai level umum
kesejahteraan dalam artian faktor-faktor seperti malnutrisi dan status kesehatan,
pemekerjaan, keamanan personal dan melek-huruf. Memang, dengan adanya sifat
perhitungan GNP per kapita tersebut, bisa dipahami kalau sebuah negara dengan
ekonomi yang stagnan dan penduduk yang menurun karena kelaparan, kesakitan
dan perpindahan-keluar para pengungsi dapat mencatat kenaikan dalam GNP per
kapita tahunannya karena harapan hidup yang semakin menurun.
INDIKATOR KOMPOSIT (GABUNGAN)
Kekurangan GNP per kapita sebagai sarana untuk memperkirakan kemajuan ke
arah tercapainya tujuan pembangunan telah lama diketahui. Konsekuensinya, telah
dilakukan banyak penelitian untuk merancang kriteria alternatif, indikator sosial, oleh
banyak badan seperti Lembaga Penelitian Amerika Serikat untuk Pembangunan Sosial
(UNRISD) dan Bank Dunia. Sejumlah indikator gabungan telah diusulkan termasuk
indeks kesejahteraan milik Drewnowski, indeks pembangunan milik Mc Granahan dan
physical quality of life index (PQLI: kualitas indeks kehidupan fisik) milik Morris.
Morris, yang indeksnya diusulkan adalah indeks yang paling sederhana dari dua
indeks lainnya, mencari indikator kinerja sosio-ekonomi yang tidak mencerminkan nilai-
nilai masyarakat spesifik, (tetapi) menderminkan penyebaran hasil-hasil sosial dan
dapat dihitung dan dipahami dengan mudah. Satu-satunya indikator yang memenuhi
kriteria ini adalah mortalitas bayi, harapan hidup dan tingkat melek-hurup dasar (Morris,
1979). Morris membuat skala pada seriap indikator ini, menggabungkannya dalam
bentuk aritmetik sederhana dan menghitung skor PQLI untuk 150 negara. Korelasi
antara GNP per kapita dan PQLI untuk negara-negara ini melahirkan hasil yang
menarik, dengan deviasi dari linearitas pada ujung atas dan bawah rentang GNP per
kapita. Produsen minyak yang berpendapatan tinggi mempunyai PQLI relatif rendah,
sementara beberapa negara dengan pendapatan per kapita tendahSri Langka, Cuba,
Guyana dan Korea Selatanmempunyai PQLI yang tinggi. Termuan ini menyediakan
indikasi yang jelas mengenai bahaya memperlakukan GNP per kapita sebagai indikator
tingkat pembangunan suatu bangsa. Namun demikian, PQLI belum diterima secara
umum dan dikritik karena kesempitan indikator-indikator yang digunakan untuk
-
menghitung indeks dan meragukan dasar pemikiran untuk memperlakukan masing-
masing indikator sebagai yang sama-sama penting. Pencarian kriteria untuk
pembangunan sekarang kehilangan momentumnya, meskipun US Population Crisis
Committee sekarang sibuk mempromosikan international human suffering index (indeks
penderiaan manusia internasional), yang dikompilasi dengan menambahkan 10 ukuran
kesejahteraan manusia untuk menciptakan angka tunggal yang dimaksudkan untuk
mengukur perbedaan kondisi hidup diantara banyak negara (Camp dan Speidel, 1987).
Kebanyakan mahasiswa yang mempelajari pembangunan menginginkan sesuatu yang
lebih bisa diandalkan dan lebih tepat daripada GNP per kapita, tetapi dalam ketiadaan
persetujuan umum tentang sifat ukuran alternatif, mereka terus mengandalkan GNP per
kapita.
DATA LATAR BELAKANG TENTANG PEMBANGUNAN
Pembaca mempunyai pemahaman umum tentang kondisi sosial dan ekonomi di
Dunia Ketiga dan perbedaan antara negara berkembang dan negara maju. Para
pembaca yang ingin mengenalkan diri mereka sendiri dengan informasi dasar
sebaiknya mempelajari Tabel 2.1. Ulasan singkat tentang ciri-ciri tabel dan indikatornya
yang paling menonjol disajikan di bawah ini.
GNP per kapita
Meskipun negara berkembang sering diacuhkan pada bangsa yang lebih miskin,
terdapat rentang yang luas dalam GNP per kapita dari US $ 130 (Etiopia) hingga US $
3230 (Venezuela) dan US $ 7940 (jika, pada tahun 1987, orang-orang menganggap
Singapura sebagai negara berkembang). Dalam klasifikasi Bank Dunia yang digunakan
secara luas, negara-negara diperingkat sebagai berpendapatan-rendah (GNP per
kapita kurang dari US $ 480 pada tahun 1987), berpendapatan menengah-kebawah
(US $ 480 US $ 2000) berpendapatan menengah atas (US $ 2000 US $ 6000),
eksportir minyak berpendapatan tinggi dan ekonomi pasar industri. Perlu diperhatikan
kalau GNP per kapita tidak memberikan indikasi bagaimana pendapatan didistribusikan.
Bukti yang ada menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang distribusi
pendapatan sangat tidak merata, dimana pendapatan banyak terakumulasi pada di
-
kaya. Namun demikian, data seperti ini bersifat sporadis, sering usang dan sebaiknya
diperlakukan dengan hati-hati.
Kemiskinan
Tak satupun publikasi statistik pembangunan menyediakan perkiraan jumlah
orang yang hidup dalam kemiskinan mutlak secara reguler di berbagai negara. Ini
sebagian disebabkan oleh kesulitan teknis dalam mendefinisikan kemiskinan tetapi juga
disebabkan oleh kurangnnya data yang bisa diandalkan. Laporan Pembangunan Dunia
oleh Bank Dunia tahun 1978 mengungkapkan bahwa pada tahun 1970 sekitar 770 juta
orang di negara berkembang hidup dalam kemiskinan mutlak. Fields (1981), yang
menggunakan informasi pemerintah AS, menunjukkan angka sekitar 800 juta (dalam
kemiskinan mutlak). Meski ada persoalan perkiraan ini, terdapat bukti kalau sejumlah
besar penduduk dunia hidup dalam kondisi kemiskinan yang hina dina.
Angka pertumbuhan penduduk
Di hampir semua kasus, negara-negara berkembang mempunyai angka
pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi daripada negara industri. Ini berkisar dari
angka relatif rendah China 1,2 persen per tahun hingga angka luar biasa Kenya sekitar
4,1 per tahun (yang menunjukkan kalai penduduknya dapat berlipat ganda dalam 17
tahun kedepan). Meskipun bangsa terbesar dunia, China dan India, telah merendahkan
angka pertumbuhan penduduknya dalam dua dekade terakhir, banyak negara lain,
khususnya negara di sub-Saharian Africa, menunjukkan angka pertumbuhan penduduk
yang pesat.
Fertilasi (Kesuburan)
Total angka fertilitas, yang merupakan jumlah anak rata-rata yang akan
dilahirkan per wanita yang hidup pada akhir tahun-tahun kemampuan beranak jika
angka fertilitas usia spesifik yang ada terus berlangsung, relatif tinggi di kebanyakan
negara berkembang. Untuk tahun 1987, angka fertilitas berkisar dari 2,4 kelahiran hidup
wanita di China hingga 8.0 kelahiran hidup per wanita Rwanda. Perubahan lintas-
nasional dalam pola fertilitas pada dekade akhir-akhir ini semakin kompleks, dan
-
fertilitas jelas merupakan sebuah variabel yang dipengaruhi oleh jaring faktor sosial,
budaya dan ekonomi yang kompleks.
Harapan Hidup (Life expectancy)
Harapan hidup saat kelahiran adalah lebih rendah di hampir semua negara
berkembang daripada di negara maju. Namun, ada variasi luas diantara banyak negara.
Pada level pendapatan per kapita yang sangat mirip, negara-negara lebih miskin seperti
Sierra Leone dan Sri Lanka mempunyai harapan hidup 40 tahun dan 70 tahun berturut-
turut.
Struktur kegiatan ekonomi
Bagi kebanyakan negara berkembang, pertanian mempunyai peranan ekonomi
yang lebih penting, dalam artian sumbangannya pada GDP (gross domestik product),
daripada di negara maju. Ini benar terutama di negara-negara berpendapatan rendah
dimana pertanian mendominasi ekonomi. Pada tahun 1987, hampir 57% GDP Nepal
diwakili oleh kegiatan pertanian dan hanya 14 persen diwakili oleh kegiatan industri.
Secara umum, sektor industri dan sektor manufaktur berkembang lebih baik di negara
berpendapatan menengah. Misalnya, tahun 1987,38 persen GDP Brazil berasal dari
industri dan hanya 11 persen berasal dari pertanian.
Urbanisasi
Definisi mengenai apa pusat perkotaan atau bukan perkotaan itu sangat
bervariasi dari negara ke negara. Namun urbanisasi terjadi pada tingkat yang lebih
rendah di negara-negara berpendapatan rendah dari pada di negara berpendapatan
menengah, dan terjadi paling tinggi di negara-negara maju. Ada perbedaan yang
mencolok antara negara Afrika dan Asia, dimana mayoritas penduduknya adalah
penghuni pedesaan dan Amerika Latin, dimana mayoritas rakyatnya biasanya hidup di
daerah perkotaan. Di hampir semua negara berkembang, angka pertumbuhan tahunan
penduduk kota melebihi angka pertumbuhan polulasi desa.
MODERNISASI
-
Pada tahun 1950-an dan 1960-an pemikiran dan tindakan pada pembangunan
didominasi dengan pendekatan modernisasi. Para ekonom dalam barisan depan, yang
mempromosikan model sederhana pembangunan yang menekankan pada persoalan
bagaimana menjamin pertimbuhan ekonomi dengan cepat dan pembentukan modal.
Model mereka berasal dari pengalaman negara-negara Barat dan segera dijumpai
kekurangannya bila dibandingkan dengan perbedaan dan kekomplekan Dunia Ketiga.
Ini memerlukan kerja sama interdisipliner dengan sosiolog, ilmuwan politik, admistrator
publik dan ilmuwan sosial lain, dan para digma modernisasi menjadi hak milik
intelektual dari semua ilmu sosial. Namun, hak milik ini kepunyaan bangsa Amerika.
Amerika Serikat menerima kepemimpinan dunia bebas dan disibukkan dalam perang
dingin dengan kekuatan-kekuatan jahat. Setelah kematian Hitler, kejahatan ini diwakili
oleh komunisme. Adalah sangat penting untuk menyelamatkan dunia dari kekuatan
buruk kegelapan komunis dan menjamin bahwa dunia akan tetap diatur sesuai dengan
kepentingan politik dan ekonomi terbaik Amerika Serikat. Bantuan akademikus
diperlukan untuk memahami apa yang sedang terjadi di Dunia Ketiga dan untuk
menunjukkan bagaimana negara-negara ini dapat dibujuk, dipikat agat tetap dalam
kamp dunia bebas kapitalis. Ketidakstabilan gerakan nasionalis dan revolusioner dalam
konteks dekolonisasi memberikan urgensi yang lebih besar dan sumber daya yang
lebih besar pada tugas akademikus. Di lingkungan ini, dimana spesifikasi tugas
akademikus ditentukan oleh elit politik, militer, administratif dan elit bisnis di Amerika
Serikat, maka tidaklah mengejutkan kalau teori modernisasi dimulai dengan dan
memelihara kerangka kerja konservatif, kerangka kerja ideologi pro-kapitalis.
Bagi Wilbert Moore (1963, hal 93), modernisas adalah transformasi total:
masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern ke dalam tipe teknologi dan
organisasi sosial terkait yang mensifati bangsa maju , sejahtera secara ekonomi , dan
relatif stabil secara politik dan bangsa yang dimaksud di sini adalah dunia Barat. Para
penguasa politik yang efektif harus memutuskan prioritas kebijakan dari penilaian
berbagai masalah pembangunan mereka yang membutuhkan solusi. Definisi yang
sedikit berbeda diberikan oleh Cyril Black (1967, hal 7), yang melihat modernisasi
sebagai proses yang dengan proses itu lembaga-lembaga yang berkembang secara
historis beradaptasi pada fungsi-fungsi yang berubah dengan cepat yang
-
menggambarkan peningkatan pengetahuan manusia yang belum pernah terjadi
sebelumnya, yang memungkinkan manusia mengendalikan lingkungannya, yang
menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan. Meskipun terjadi kebingungan dan
ketidaksepakatan mengenai makna modernisasi (Smith, 1973, hal 61-62), dua definisi
diatas cukup representatif dan menjanjikan kita untuk membuat beberapa generalisasi
umum. Pertama, dunia dikatakan tersusun dari dunia tradisional dan dunia modern.
Setiap komponen dikotomi ini dilihat memiliki kualitas yang berbeda tertentu, misalnya
struktur ekonomi yang berbeda, nilai-nilai dan organisasi keluarga. Kedua, transisi dari
satu periode sejarah ke periode sejarah lainnya dipermudah oleh proses modernisasi.
Ketiga, proses ini dikendalikan oleh para elit nasional melalui pembuat kebijakan. Para
elit merekayasa perubahan yang diperlukan untuk mencapai modernitas. Akhirnya,
paradigma modernisasi ini merupakan perayaan peradaban Barat, suatu proklamasi
kepercayaan-diri pencapaian ernosentrik (Tipps, 1073, hal 206). Barat dilihat sebagai
yang lebih unggul (superior) daripada Dunia Ketiga dalam semua aspek sosial, politik
dan ekomomi. Revolusi ilmu pengetahuan yang telah menjanjikan Barat menguasai
lingkungan harus diadopsi oleh bangsa-bangsa kurang maju jika bangsa kurang maju
ini ingin mencapai status bergengsi sebagai yang modern. Modernisasi kemudian
menjadi bersinonim dengan Westernisasi (Baratisasi). Tuntutan atas kenetralan nilai
dalam teori modernisasi kemudian sirna dalam asumsi-asumsi implisit yaitu, bangsa
kurang maju harus mencari inspirasi dari masyarakat Barat (secara kasarnya, harus
meniru masyarakat Barat).
Pandangan masyarakat yang dikotomi baik sebagai tradisional maupun modern
tidaklah baru bagi ilmu pengetahuan sosial. Perspektif demikian sedang dipromosikan
dengan gencar di abad ke-19. Maine (?) membedakan antara masyarakat atau usia
yang terutama mengandalkan ascribed status dan tradisi dan masyarakat atau usia
yang terutama mengandalkan pada kontrak dan achieved status. Yang lebih penting
untuk generasi sosiolog yang kemudian adalah karya Durkheim. Dia menggolongkan
masyarakat menurut konsep-konsep yang bertentangan, yaitu, konsep solidaritas
mekanik dan solidaritas organik.
BEBERAPA STUDI KASUS
-
Memperhatikan tipe data yang dipresentasikan dalam Tabel 2.1 membantu
memberikan mahasiswa (yang mempelajari) pembangunan suatu pemahaman tentang
kondisi ekonomi dan sosial yang prevalen di negara berkembang secara lebih utuh.
Tetapi, ada bahaya sehubungan dengan rata-rata statistik dan agregat yang
melemahkan tantangan pembangunan dan menyebabkan pembaca jauh dari perlunya
untuk mengetahui kalau pembangunan itu memperbaiki standar hidup dan memperbaiki
kesempatan hidup bagi pria, wanita individual dan anak-anak. Anda mungkin
berkepentingan dengan statistik tentang kemiskinan, kematian bayi dan gizi, tetapi
kegelisahan (maksud: kemiskinan, kematian bayi, dan lain-lain) ini bukan merupakan
contoh yang reprensentatif dari kondisi individu dan keluarga di negara berkembang. Di
bagian ini beberapa penjelasan singkat dipresentasikan dalam bentuk studi kasus
untuk membantu memperdalam pemahaman pembaca tentang seperti apa kehidupan
orang miskin itu. Penjelasan ini bersifat personal, disarikan dari sumber-sumber yang
teruji. Studi kasus ini dipilih secara subjektif dan menunjukkan informasi kualitatif.
Namun, studi kasus ini mempunyai kontribusi vital bagi apresiasi pembaca tentang
berbagai persoalan pembangunan dan kebijakan. Meskipun konseptualisasi dan
abstraksi adalah esensial untuk memahami proses pembangunan, adalah sama
pentingnya untuk mengkaitkan teori-teori yang bagus dengan fakta-fakta yang buruk.
Studi kasus 1 : Siapa yang bekerja, yang makan di desa Bangladesh?
Petani bagi-hasil (sharecropper) mengolah sekitar perempat dari tanah pertanian
Bangladesh; pekerja upahan bahkan mengolah lahan pertanian dalam persentase yang
lebih besar. Bertani bagi-hasil paling banyak di bagian barat-laut, tempat desa Katni.
Misalnya, Nafis, seorang tuan tanah yang bersama adik lelakinya mempunyai 60 are
tanah di sekitar desa Katni, mengolah sekitar tiga-perempat lahan pertanian dengan
sarana petani bagi-hasil dan perempat lagi dengan pekerja sewa. Pemilik tanah dan
petani bagi-hasil umumnya membagi hasil panen secara sama rata (fifty-fifty), tetapi di
beberapa distrik pemilik benih dan pupuk biasanya dipotong sebelum pembagian hasil
panen, tetapi studi AID melaporkan kalau di kebanyakan kasus petani bagi hasil
menanggung biaya ini sendiri.
-
Para petani miskin umumnya lebih suka bertani bagi-hasil sebagai alternatif
pekerja upahan. Reward bertani bagi-hasil amat kecil, tetapi reward pekerja upahan
bahkan lebih kecil. Kamal petani kaya memperkirakan kalau pekerja sewa hanya
membebani dia biaya sebesar perempat hingga pertiga dari hasil panennya, sementara
petani bagi-hasil menanggung biaya separuhnya. Upah standar untuk pekerja pria di
desa Katni sekitar 33 US sen per hari; pekerja wanita yang mengolah hasil panen
bahkan menerima upah lebih kecil dari upah pekerja pria. Bertani bagi-hasil tidak saja
mempunyai upah lebih baik daripada pekerja upahan, tetapi juga menawarkan jaminan
yang lebih besar. Petani bagi-hasil disewa oleh musim (karena kalau tidak musimnya
dia tidak bisa bercocok tanam). Meskipun dia tidak memiliki klaim tetap pada lahan,
setidaknya, dia tidak menghadapi ketidakpastian seperti yang dialami oleh pekerja
upahan, yang keadaan buruknya dinyatakan oleh Dalim: Saya tidak dapat memastikan
dimana besuk saya akan bekerja.
Namun, bertani bagi-hasil juga mempunyai kelemahan. Petani bagi-hasil
membutuhkan sapi dan bajak, dan dia mengeluarkan banyak biaya jika dia harus
menyewanya. Dia tidak dapat memperoleh reward dari kerjanya hingga panen, dan
sebelum panen dia harus meminjam uang untuk memberi makan keluarganya. Jika
panennya dirusak oleh banjir, kekeringan atau hama, maka pendapatan petani bagi-
hasil bahkan lebih kecil daripada pekerja upahan. Biaya dan resiko bertani bagi-hasil,
dan tertundanya rewards, menyebabkan keluarga yang tak bertanah di desa Karni tidak
mampu bertani bagi-hasil lagi. Alternatifnya, mereka mencari nafkah hidup sebagai
pekerja upahan (buruh tani).
Di desa Katni, bekerja satu hari menerima dua pon beras, satu taka (16 taka = $
1 US) dan makan pagi. Seorang pekerja bernama Dalim menjelaskan : Dulu dengan
satu taka saya bisa membeli dua atau lebih pon beras, dengan sedikit minyak, lombok
dan garam. Tetapi sekarang satu taka tidak dapat digunakan untuk membeli satu pon
beras. Majikan-majikan yang dulunya memberi pekerja sayur-mayur gratis bila mereka
pulang ke rumah di sore hari, tetapi sekarang majikan tersebut tidak bergitu bermurah
hati lagi.
Pada puncak kegiatan pertanian- - penyiangan pada musim semi, penenam padi
musim hujan, dan panen padi dan goni - - upah untuk pekerja yang disewa kadang
-
sedikit naik. Seorang pria muda yang kuat seperti Dalim akan sering bekerja pada basis
kontrak, misalnya bersepat untuk memanen satu are lahan padi untuk upah yang
ditentukan. Namun, selama musim sepi alias tak banyak kegiatan, banyak pekerja tak
bertanah menjadi pengangguran. Banyak pekerja upahan tadi berjualan kecil-kecilan,
membeli sayur-mayur di desa dan menjualnya di pasar-pasar setempat atau di bazar
Lalganj. Pada musin dingin yang kering, para pemuda kadang bekerja sebagai tukang
bata atau bekerja di kontraktor di Lalganj, tetapi kami sering mendengar keluhan, Tidak
bekerja, tidak ada nasi.
Hari ini saya telah keliling di tiga desa untuk mencari pekerjaan, kata Ameerul,
pekerja tak bertanah, bercerita kepada kami suatu pagi. Saya tidak mendapatkan apa-
apa. Tidak ada pekerjaan berarti tidak ada nasi alias tidak makan. Kemarin saya tidak
mendapatkan pekerjaan, dan saya tidak makan apa-apa sama sekali seharian.
Akhirnya, saat sore hari saya mengambil tiga batang bambu, membelah dan
memotongnya dan saya jual di kota sebagai kayu bakar. Dengan uang hasil menjual
bambu ini, saya membeli tiga pon tepung gandum. Saya tinggal mempunyai setengah
taka, saya belikan teh dan sedikit beras. Tadi malam saya makan olahan tepung. Saya
mempunyai enam anggota keluarga yang harus diberi makan. Bahkan ketika saya
mendapatkan pekerjaan, saya hanya menerima dua pon beras dan satu taka. Dua pon
beras tidak akan mengenyangkan dua orangapalagi untuk enam orang. Dan apa
yang anda bisa beli dengan satu taka? Sekarang. Setiap hari saya bertanya dalam hati
: bagaimana saya akan hidup? Bagaimana menghidupi anak-anak saya?
Studi kasus ini diambil dari artikel yang lebih panjang: James Boyce dan Besty
Hartmann (1981) berjudul Siapa yang bekerja, siapa makan?, Bulletin of Concerned
Asian Scholars, vol 13, no 4 hal 18-27.
Studi kasus 2: Keluarga Meksiko yang bertahan hidupbersama
Beban hutang asing sebesar $104 telah memukul hebat pembangunan Meksiko
hingga dalam kondisi serius, yang memaksa bangsa Meksiko semakin mengandalkan
unit ekonomi yang paling dasar: keluarga. Dengan upah nyata yang ditentukan kembali
pada level tahun 1960-an, keluarga bekerja dengan menggabungkan sumber daya
yang semakin berkurang, menuangkan lebih banyak air dalam sup, seperti peribahasa
-
orang Meksiko. Dengan ekonomi tanpa pertumbuhan selama enam tahun lampau dan
berkembang resesi tajam, keluarga berfungsi sebagai ayunan (buaian) si kecil, kegiatan
mencari nafkah hidup yang menggantikan perkebunan dan pabrik.
Sebuah studi baru-baru ini terhadap 95 keluarga kelas pekerja perkotaan
menunjukkan bagaimana keluarga bersatu menghadapi pukulan krisis. Ukuran rata-rata
rumah tangga dalam studi ini tumbuh 10 persen lebih ketika mereka memasukkan
saudara sepupu, paman dan saudara ipar yang mendapatkan upah lebih besar. Pada
saat yang sama, jumlah wanita dewasa dan pria muda yang masuk dalam angkatan
kerja baik sebesar 2,5 persen.
Inilah bagaimana dua keluarga kelas-pekerja, satu dari luar kota dan satunya
dari dalam kota, menghadapi masa-masa sulit.
Keluarga Avinas. Seolah-olah krisis ekonomi mengembalikan waktu kebelakang
beberapa tahun di masyarakat pertanian kecil Meksiko pusat Barrio de Guadalupe de
Mezqyitillo. Sandal jepit tradisional hadir kembali, menggantikan sepatu buatan pabrik
yang lebih mahal. Kereta keledai muncul lebih sering di jalan aspal. Banyak hewan
yang kurus. Krisis memaksa kita kembali pada cara hidup lama bila kita bergantung
pada tanah dan keluarga, kata Manuel Avina, seorang kepala keluarga berusia 76
tahun, dari klan besar yang hidup disini. Tuan Avina tidak pernah mendapatkan uang
dari perkebunan lagi. Sekarang dia dan keluarganya hampir tidak mendapatkan nafkah
hidup. Dengan sedikit uang yang ditanamkan pada lahan pertanian, hasil panen yang
didapatkan tidak cukup untuk dia, istrinya dan ketiga cucunya. Cucu-cucu itu
ditinggalkan kepadanya oleh seorang anak lelakinya yang beremigrasi ke Amerika
Serikat. Tuan Avina memuat sedikit kelebihaan panennya ke sebuah kereta dan
berusaha menjualnya secara tunai ke kota terdekat, tetapi dia terpaksa menukarkan
hasil panen tadi untuk bahan pokok lainnya (jadi, tidak memperoleh uang tunai karena
barangnya ditukar secara barter dengan kebutuhan pokok tadi).
Tuan Avina bersyukur karena dia hidup dekat banyak keluarga yang
membantunya10 anak, 70 cucu dan banyak kerabat lainnya. Jika dia butuh bahan
makanan, dia tinggal pergi ke kios yang dimiliki oleh salah satu anak lelakinya, yang
sering tidak mau menerima pembayarannya. Bila hewannya sakit, dia membawa hewan
-
itu ke cucu lelakinya untuk dirawat, yang tidak mau menarik ongkos dari sang kakek
sejak terjadi krisis. Sekarang dia tidak mampu membeli baju baru, tetapi saudara
sepupunya membuat baju untuknya. Bahkan seorang anak laki-lakinya yang
meninggalkan Meksiko ke Amerika Serikat berkontribusi pada kesejahteraan ayahnya.
Ketika Tuan Avina tidak memiliki uang untuk memperbaiki rumah kayunya yang mau
roboh, anak laki-laki emigrannya tadi kembali ke desa dan menggunakan uang dan
ketrampilan yang diperolehnya ketika bekerja di industri konstruksi Amerika Serikat
untuk membangun rumah tembok baru untuk ayahnya.
Anak-anak Tuan Avina juga saling membantu. Tahun lalu, ketika penen jagung
Antonio Avina gagal dan tidak mempunyai pekerjaan di kota, saudara lelakinya
menyokong keluarganya selama beberapa bulan. Jika tidak turun hujan di lahan saya,
hujan itu akan turun di lahan saudara saya, kata Antonio Avina. Jika ada sesuatu untuk
satu orang, maka ada sesuatu untuk semuanya.
Keluarga Ravelos
Keluarga Armando Ravelo harus berjuang menghadapi bencana alam dan
bencana ekonomi. Resesi yang begitu parah menyebabkan Tuan Ravelo kehilangan
pekerjaan sebagai juru masak di restoran Mexico City tahun 1985. Sejenak setelah itu,
gempa bumi yang paling hebat dalam sejarah akhir-akhir ini merusak gedung
apartemen keluarganya. Tuan Ravelo, istri dan ketiga anaknya berjejal-jejal dalam
sebuah tempat tinggal darurat dengan menantu laki-laki dan tujuh cucunya, yang juga
kehilangan rumahnya. Untuk berjuang menyokong rumah tangga yang membesar ini,
Tuan Ravelp dan istrinya mendapat pekerjaan sebagai pelayan. Paman menyusun
pekerjaan untuk seorang anak laki-laki di tempat pembuatan bir, dan seorang anak laki-
laki lagi melemparkan apa saja yang dia terima di pabrik. Para cucu menyelamatkan
dan menjual apa saja yang dapat dijual dari puing-puing gedung disekitar mereka.
Ketiga keluarga Ravelo akhirnua tertampung di kompleks apartemen baru satu
tahun kemudian, cucu dan menantu laki-lakinya tetap tinggal bersama keluarga
(Ravelo). Penambahan seorang pekerja baru hampir tidak cukup untuk memberi makan
anggota keluarga baru. Tuan Ravelo khawatir kalau dia akan terusir ke halanan lagi.
Sehingga tahun lalu, Tuan Ravelo dan istrinya keluar dari pekerjaan pelayannya dan
-
berspekulasi kalau kontak keluarga ekstensifnya dapat menerima mereka sebagai
penjual keliling di pasar gelap yang tumbuh subur di Mexico. Uang sekarang mudah
didapat jika anda mengetahui orang yang tepat, katanya.
Kontak terbaik Ravelo adalah dengan anggota dari keluarganya. Kemenakan
laki-lakinya yang tinggal di perbatasan Amerika Serikat mengirimi dia produk elektronik
selundupan. Saudara ipar dari Mexico selatan mengirimkan pakaian dari negara
Amerika Latinnya. Jaringan saudara sepupu, paman dan kemenakan di ibu kota
mensuplai dia segala sesuatu dari sarung tinju buatan Amerika hingga pisau elektrik
buatan Jepang. Dengan berjuang keras mendapatkan barang-barang, keluarga Ravelo
telah mampu menyokong rumah tangga besarnya. Tuan Ravelo menjual dari pintu ke
pintu selama seminggu dan mengelola stan di pinggir pasar pada akhir pekan. Setelah
membereskan shift pabriknya, dua anak laki-lakinua bekerja menjual radio selundupan
di parkir mobil pabrik.
Studi kasus 3: hidup di sugar hacienda di Negros Occidental, Pilipina
Bagi satu juta dari 1.8 juta orang Negros Occidental, sugar hacienda
(perkebunan tebu yang berlahan luas dengan suatu rumah) merupakan sistem
dukungan hidup yang total. Meskipun perkebunan tebu mempunyai banyak bentuk dan
ukuran, kebanyakan lahan tebu daerah (provinsi), sekitar 70 persen, diduduki oleh
perkebunan yang lebih besar atau sekitar 50 hektar lebih. Dan ada keseragaman tata
letak dan kehidupan hacienda. Hacienda Esperanxa adalah contohnya. Terletak dipusat
1.000 hektar yang sebagian besat ditanami tebu, kompleks hacienda adalah
masyarakat yang mandiri dengan sekolahan sendiri, toko, kapel, klinik, perumahan dan
administrasi rumah-rumah kayu kecil. 858 warga hacienda hidup dalam dua kelompok
rumah-rumah kayu kecil, kelompok yang lebih besar dipisahkan dari kompleks
administratif hanya oleh lebar ladang tebu yang sempit. Meskipun gubuk yang reot ini
hanya menawarkan 25 meter persegi ruang lantai untuk keluarga dengan 10 anggota,
air, listrik dan pendidikan dasar semuanya gratis, ini merupakan kebaikan hacienda.
Peralatan terdiri atas tikar tidur, peralatan masak yang telah terpakai, piring dan garpu,
dan diantaranya yang lebih beruntung, mendapatkan lemari pakaian. Sebagian besar
pekerja hanya memiliki pakaian yang dipakai saja dan mempunyai 4 hingga 10 anak
-
yang kekurangan gizi. Jerry de la Cruz, misalnya, anak tertua dari enam anak yang
selama tahun-tahun itu masih bergantung pada upah ayahnya sebagai sopir traktor
yang hanya mempunyai upah P21 atau sekitar $ 2.30 per hari. Seperti semua pekerja,
mereka bertahan hidup dengan terus berhutang dari hacienda. Ketika manajer
hacienda memotong kredit keluarga dua tahun lalu, sebelum kematiannya, tiga anaknya
termasuk Jerry putus sekolah.
Dulu, sekumpulan gudang peralatan yang berlapis besi, pintu gerbang besi tuang
yang dibuka oleh penjaga senjata, dan disepanjang bawah gudang itu ada halaman
berumput, muncul Big House kolonial Spanyol, dengan tempat tinggal manajer diatas
dan pegawai dibawah. Bagi manajer atau anak-anaknya. Pekerjaan dapat menjadi
batu loncatan untuk berkarir secara prospektif di Manila. Aurira Pijuan, anak perempuan
dari manajer hacienda selama tahun 1960-an, muncul dalam headlines dengan
terpilihnya dia sebagai International Miss dan menjadi bintang muda bioskop dan
mantan istri dari pria yang berani menikah anak perempuan tertua Presiden Marcos.
Dua belas staff domestik Big House sedang menunggu di meja makan malam
panjangnya yang berfungsi sebagai tempat rapat bagi para eksekutuf perusahaan dan
raja gula yang berkunjung disana. Minggu pertama saya kembali pada tahun 1981
bertepatan dengan makan siang bersama 50 orang untuk menyambut kunjungan Uskup
dari Bacolod. Duduk berhadapan dengan manajer muda, saya memperhatikan
percakapan mejanya diganggu beberapa kali oleh para pekerja hacienda yang
berpakaian compang-camping yang menyodorkan kertas didepannya dan berkomat-
komit di telinganya. Apakah makan siang, makan malam atau konferensi perusahaan,
para pekerja tadi datang meminjam uang untuk upah bulan depan atau upah tahun
depannya untuk setiap kebutuhan yang terduga - - seperti mengobatkan anaknya ke
dokter, pemakaman ibu, baptis bayi, SPP sekolah tinggi saudara perempuannya. Ritual
macam ini selalu sama. Setiap orang naik ke tangga besar menuju ruang makan
malam, pria-pria dewasa ini akan membungkukkan badannya setinggi badan anak
muda dan berjalan menyeret kakinya ke arah manajer. Tolong Tuan, ini anak kedua
saya. Sudah dua hari terserang demam. Saya tidak akan mengganggu Anda. Tetapi
anda Dengan melirik kertas tetapi tanpa membuat kontak mata, manajer
membubuhkan tanda tangan diatas debt voucher. Berjalan terseok-seok kebelakang
-
dalam sikap tubuh yang sama, pekerja tadi berkomat-komit, Terima kasih Tuan terima
kasih banyak, kami tidak akan melupakan ini sementara manajer terus melanjutkan
percakapan meja makan malamnya. Sebagian besar pekerja menanggung hutang yang
sebanding dengan tiga atau bahkan enam bulan upahnya, dan melunasi hutang itu
tidaklah mungkin bagi mereka karena 90 persen pendapatan keluarga hanya untuk
kebutuhan makan. Memang, mereka dilahirkan untuk berhutang, hidup penuh hutang,
mati penuh hutang, kata manajer hacienda.
Studi kasus 4: wanita Bissa dari Burkina Faso
Istri. Nama saya Zenabou Bambara, saya berusia 28 tahun dan mempunyai
empat anak. Suami saya bernama Adama Mone dan istri suami saya yang lain
bernama Mariam. Mariam tadi malam melahirkan ada bayi baru dalam rumah tangga
kami. Hingga kemarin dia bekerja dengan saya di sawah, tetapi sekarang dia istirahat
selama enam hari hingga upacara penamaan anaknya pada saat itu yang banyak dia
lakukan adalah mengambil air dan memasak.
Ini berarti menyebabkan saya lebih banyak bekerja di sawah (karena Mariam
melahirkan bayi). Ini adalah hari ketiga kami menanam tetapi tiada turun hujan. Saya
lelah dan punggung saya terasa sakit. Tetapi pekerjaan saya sia-sia. Lihat bumi. Lihat
betapa keringnya bumi ini? Millet (sejenis padi) seharusnya setinggi kaki, tetapi tanah
kering ini hanya menghasilkan debu.
Pekerjaan wanita di sawah adalah penting. Tetapi pekerjaan bujan di sawah
saja. Di pagi hari saya harus bangun dan menyiapkan makanan, dan jika saya tidak
punyai tepung saya menggiling beras. Setelah itu, saya berjalan menuju sawah yang
jaraknya sekitar 14 km dari rumah dan di sana telah ada suami saya yang berangkat
duluan dengan sepeda pancal. Saya bekerja di sawah dengan suami hingga jam 2
siang, dan kemudian saya mengambil kayu bakar untuk dibawa pulang. Kadang saya
menjual kayu ini kepada orang lain dan menerima sedikit uang untuk saya sendiri
kemudian saya membeli sesuatu. Sore harinya saya harus bolak-balik ke sumur untuk
mengisi tandon di kompleks saya.
Pekerjaan ini memang pekerjaan wanita, dan karena hal semacam ini wanita
lebih banyak bekerja daripada pria, sehingga wanita benar-benar lelah. Saya sungguh
-
akan sangat senang jika suami saya membantu saya, tetapi dia tidak akan membantu
saya karena dia adalah orang yang memegang kekuasaan (dalam rumah tangga). Pria
tidak dapat membantu wanita karena pekerjaan tadi bukan pekerjaan pria. Pria dapat
menuntut apa saja dari istrinya tetapi istri tidak bisa minta apa saja dari kepadanya.
Seorang pria hanya memikirkan lahan keluarga. Tetapi saya juga mempunyai
sawah sendiri untuk ditanami, yang paling penting dari semua pekerjaan saya lainnya
saya harus mengatur diri saya sendiri untuk menemukan waktu yang cukup untuk
mengolah lahan saya sendiri, karena pentingnya makna makanan bagi kehidupan kami.
Setelah panen tahun lalu, suami saya memberi saya dan istri satunya lagi millet
(sejenis padi) untuk disimpan dalam gubuk sebagai simpanan darurat. Tetapi kami telah
menggunakan simpanan bahan makanan itu hingga habis dan harus mengandalkan
pada apa yang dia berikan pada kami setiap hari. Kalau hujan kami dapat memetik
daun untuk membuat saus kental dan menanam millet.
Suami. Saya adalah satu-satunya yang memberikan perintah sehubungan
dengan pekerjaan dan makanan kami. Dengan calabash (sejenis buah yang kulit
luarnya dibuat sebagai wadah) saya menakar millet untuk kedua istri saya terserah
mereka mau dimasak apa.
Sebenarnya memang benar wanita lebih banyak bekerja daripada pria. Wanita
bekerja dengan kita di sawah. Kemudian dia harus kembali ke rumah untuk mengambil
air dan kayu bakar, menggiling millet untuk dijadikan tepung dan membuat bubur millet
dan kuah. Dia juga harus memandikan anak-anak. Saya melihat sendiri kalau dia cukup
lelah, kalau dia bekerja terlalu keras. Tetapi tradisi dan kebiasaan mencegah saya dari
membantunya. Pekerjaan tersebut memang pekerjaan wanita. Saya tidak tahu
mengapa saya harus membantunya.
Studi kasus 5: buruh di Sri Langka
Emmanuel, berusia 55 tahun, menyokong istrinya dan lima anak-anaknya
dengan memilah-milah ikan. Bila perahu datang dia membantu nelayan untuk
melepaskan ikan-ikan dari jaringan. Untuk pekerjaan ini, dia diberi sebungkus ikan yang
jika dijual dia menerima uang Rs. 10 15 per hari. Pekerjaan semacam ini tidak selalu
ada setiap hari, dan semua pendapatan dihabiskan untuk konsumsi setiap hari. Rumah
-
tempat mereka tinggal hanya separuh terbuat dari batu bata dan semen (biasanya
separuh bawah semen dan separuh atas kayu biasa) dengan atap terbuat dari cadjan.
Pembuatan rumah ini didanai dengan menjual sebagian kecil tanah warisan dengan
harga Rs. 10.000. Luas tanah yang dijual tidak diketahui. Ketika uang ini dibelanjakan,
tak ada uang lagi untuk menyelesaikan pekerjaan (membuat rumah tadi). Dinding
hanya dibangun tiga-perempat dan jendela dan pintunya tidak dipasang (karena belum
ada biaya). 10 perch (1 perch = 5 meter) tanah tempat mereka tinggal akan diserahkan
secara sah kepadanya.
Tidak ada barang perabot atau barang konsumsi yang tahan lama disana.
Beberapa peralatan masak ditumpuk di kotak tua. Ketika kamu berkunjung ke rumah
keluarga itu, istri Emanuel berusia 42 tahun ada di rumah sakit, melahirkan anak
termudanya dua hari lalu. Anak perempuan tertua berusia 17 tahun. Anak-anaknya
tidak ada yang bersekolah meskipun kadang anak kecilnya sekolah di taman kanak-
kanak secara gratis yang diorganisir oleh lembaga sukarela Sarvodaya Sharamadana.
Satu-satunya bantuan yang diterima oleh keluarga ini adalah Rs.110 berupa
kupon makanan. Enam pohon kelapa di halaman hanya menghasilkan kelapa cukup
untuk konsumsi setiap hari. Karena rumah ini terletak di pinggir pantai, tidak pekerjaan
lain yang bisa dilakukan. Meskipun ada hanyak babi yang dipelihara di daerah ini,
keluarga ini tidak memelihara babi.
Keluarga ini tidak mempunyai hutan mungkin ini disebabkan karena pendapatan
sekarang yang diperoleh tidak cukup untuk melunasi hutang (jika dia berhutang) dan
kurangnya harta yang dapat dijadikan jaminan (sehingga dia tidak berani berhutang).
-
BAB III
PENDEKATAN-PENDEKATAN TERHADAP PEMBANGUNAN
Konsep tentang pembangunan pada dasarnya berkaitan dengan perubahan
sosial dan kemajuan manusia dalam kelompok negara-negara, yang dulunya adalah
negara jajahan, yang kemudian dinamai keliru seperti negara Dunia Ketiga atau
negara-negara Selatan. Sejak perang Dunia Kedua penjelasan tentang pembangunan
dikaitkan dengan perkembangan industri secara besar-besaran.. Sebelumnya, para
mahasiswa yang mempelajari perubahan sosial dan ilmuwan sosial secara umum
memusatkan perhatian mereka terhadap daerah Barat yang dinamis, sebagaimana
yang dilakukan para Bapak ilmu-ilmu sosial seperti Durkheim, Marx dan Weber.
Masyarakat-masyarakat non Barat dianggap sebagai wilayah-wilayah akademik bagi
para antropolog sosial. Namun jumlah mereka sedikit dan tugas-tugas pribadi mereka
dalam mempelajari dunia yang tak tersentuh, eksotok dan primitif, melibatkan perspektif
para fungsionalis yang tidak memberikan perhatian yang cukup besat pada perubahan
sosial. Tidak ada program penelitian atau paradigma yang mengidentifikasi negara-
negara berkembang sebagai subyek utama bagi penjelasan ilmiah. Dunia Ketiga belum
ditemukan . Ini juga disebabkan oleh iklim politik di tahun-tahun pasca perang yang
terus berubah secara radikal. Negara-negara jajahan berhasil memperoleh
kemerdekaannya sedangkan negara kapitalis Barat dan komunis Timur mulai terlibat
dalam perang dingin. Sebagian dari perang ini bermaksud memperoleh sekutu dari
negara-negara sedang berkembang. Sementara itu PBB telah berdiri dan secara luas
telah mengembangkan bidang-bidang kajiannya-kesenjangan kondisi sosial ekonomi
antara negara maju dan negara terbelakang. Karena itu para ilmuwan sosial
mengalokasikan tugas mencari penjelasan rentang penyebab terjadinya
keterbelakangan dan mencari jalan untuk memperbaikinya. Suatu konsesus teoritis
yang luas pada tahun 1950-an perlahan-lahan mulai muncul ketika realitas Dunia
Ketiga gagal menyesuaikan diri dengan harapan Dunia Pertama. Muncul teori baru
yang radikal, dengan teori-teori individu yang sangat berbeda antara satu dengan
lainnya. Mereka memiliki nilai-nilai yang sama, meyakini obyek-obyek suci yang sama
-
dan melakukan tugas-tugas ekonomi yang sama pula. Masyarakat tradisional tetap
bersatu karena anggota-anggota individunya masih belum dapat dibedakan. Solidaritas
mekanis seperti ini mulai muncul dan suatu kelompok yang relatif terdiri dari individu-
individu, yang oleh Durkheim disebut dengansegmen. Misalnya, suatu komunitas
petani sederhana dapat dianggap sebagai satu segmen. Beberapa atau sedikit lebih
banyak segmen sama namun tidak saling berkaitan disebut dengan masyarakat
segmental. Suatu negara yang terdiri dari kaum petani yang tidak saling berbeda
namun menyebar di berbagai desa dan umumnya mengabdikan diri pada produksi
subsistensi dikualifikasikan sebagai masyarakat terbagi (segmented society).
Kepadatan interaksi sosial yang semakin berkembang mematikan perkembanan
solidaritas mekanis. Pembagian kerja menjadi lebih spesifik dan kompleks. Persetujuan
akan kepercayaan dan ide-ide moral mulai berkurang sedangkan perbedaan semakin
berkembang. Konsensus solidaritas mekanis telah hilang namun konsensus yang
diformulasikan kembali telah muncul dari solidaritas organik pada orde atau tatanan
baru. Unit-unit dari masyarakat baru dan modern saling berketergantungan. Masyarakat
menyadari kebutuhan akan saling ketergantungan ini dan mengakui bahwa suatu
diferendiasi (perbedaan) tingkat tinggi diperlukan untuk diferensiasi yang kian marak
bersamaan dengan suatu reintegrasi dari unit-unit baru, banyak muncul dalam tulisan
tentang pemikiran-pemikiran modern. Smelser, Hoselitz, dan Parsons merupakan
eksponen terkemuka dalam argumen-argumen ini. Meskipun dikritik oleh Durkheim,
Tonnies juga memanfaatkan model dikotomi yang agak dipaksa untuk menjelaskan
pembangunan masyarakat Eropa, atau untuk menganalisa masyarakat manapun di
masa lalu atau sekarang. Tonnies mengemukakan dua tipe organisasi sosial,
Gemeinschaft atau komunitas dan Gesellschaft, yang secara umum diterjemahkan
sebagai masyarakat (society). Gesellschaft dianggap sebagai suatu hubungan manusia
yang dicirikan oleh suatu individualisme tingkat tinggi, impersonalitas, dan terbentuknya
atas kemauan atau kepentingan belaka. Bentuk hukum, organisasi dan politik non-
komunal, menurut Tonnie, telah banyak menggantikan bentuk yang ada dalam
komunitas Eropa. Tipologi dikotomi yang dikemukakan Tonnies jelas mempengaruhi
Weber dalam pandangannya tentang perubahan dari tradisional menuju wewenang
rasional. Keseluruhan proses sejarah dari rasionalisasi seperti yang dijelaskan Weber
-
berkaitan dengan transisi yang dikemukakan Tonnies dari Gemeinschaft menuju
Gesellschaft. Tipe ideal dikotomi Weberian tentang komunal dan hubungan sosial
asosiatif sangat menyerupai perbedaan yang diungkapkan Tonnies.
Dikotomi Gemeinschaft/Gesellschaft sangat penting dalam teori perubahan
budaya atau akulturasi yang diminati para antropolog sosial pada tahun 1940-an dan
kemudian dimasukkan ke dalam paradigma sosiologis dari modernisasi. Tokoh yang
paling terkenal dalam debat perubahan budaya adalah Robert Redfield yang
dirumuskan suatu kontinuum (rangkaian kesatuan) dari folk (desa) menjadi urban
(kota) tempat komunitas dipetakan. Masyarakat desa tergolong kecil, terisolasi, buta
huruf, dan homogen, dengan solidaritas kelompok yang sangat kuat. Masyarakat urban
atau kota adalah antitesisnya dan tergolong besar, tidak terisolasi, berpendidikan,
heterogen, dan kurang memiliki rasa solidaritas kelompok. Perubahan dari desa ke kota
sebagian besar terjadi melalui kontak dengan pengaruh-pengaruh dan agen-agen yang
datang dari masyarakat kota. Akulturasi ini mengakibatkan menghilangnya tipe
komunitas desa yang ideal.
Warisan dari para pemikir diatas jelas terwujud dalam dikotomi tradisional/
modern yang banyak mempengaruhi teori modernisasi. Ketentuan dari dikotomi yang
muncul belakangan ini tentu saja telah diambil dari karya-karya terdahulu dan dibentuk
kembali dan disesuaikan dengan tujuan pribadi dan waktu. Suatu perbedaan luar biasa
antara para pakar modernisasi dan para pendahulunya terletak pada penilaian moral
terhadap modernitas. Seperti yang kita lihat, paradigma modernisasi bersuka cita akan
lahirnya modernitas dan menganggap masyarakat barat sebagai masyarakat termaju
dengan bentuk eksistensi sosial, politik dan ekonomi yang paling didambakan.
Sedangkan para leluhurnya dianggap kurang antusiatik. Durkheim menunjukkan bukti
anomie dalam transformasi dari solidaritas mekanik menuju solidaritas organik dan
menunjukkan bahwa telah muncul permasalahan sosial dan kesusahan manusia.
Tonnies menunjukkan suatu nostalgia tertentu bagi bentuk komunal dari organisasi
sedangkan Weber pesimis akan masa depan kekuatan politik Barat.
Pandangan dikotomi tentang masyarakat secara jelas berjalan bersamaan
dengan perspektif evolusioner tentang perkembangan masyarakat. Pada abad 19
doktrin evolusionisme telah menjadi pengantar bagi hampir semua pemikiran sosial,
-
filsafat dan sejarah. Gagasan fundamentalnya adalah bahwa masyarakat seperti
organisme dapat tumbuh dan berkembang dan menurun. Pakar abad 19 yang berbeda
menekankan faktor yang berbeda dalam skema evolusinya. Jadi tahap perkembangan
masyarakat yang mereka kemukakan berbeda dari satu penulis dengan yang lainnya,
berdasarkan kriteria klasifikasi yang digunakan. Namun semua skema evolusi dapat
dikemukakan sebagai suatu rangkaian tahap berlainan yang tipikal-ideal. Semua teori
evolusi klasik menekankan pada penggambaran tahapan ini untuk sejarah masyarakat
barat. Karena tidak ada yang tertarik akan dunia ketiga. Namun hal ini merupakan tugas
khusus yang dilakukan oleh pakar modernisasi, eksponen neo-evolusionisme.
Persoalan mereka adalah menjelaskan dan meramalkan bagaimana negara-negara
Dunia Ketiga ini akan meniru transisi yang telah dialami Dibarat. Tahapan alat
pembangunan diusulkan oleh para pakar evolusionisme dan diterapkan pada situasi
baru.
Rangkaian tahap modernisasi yang paling berpengaruh dan terkenal diusulkan
Walt Rostow. Ia melihat pertumbuhan ekonomi yang berkembang sendiri sebagai
perekonomian khusus pada masyarakat modern Barat. Pencapaian kekhususan
tersebut merupakan tujuan dari modernisasi. Namun masyarakat harus melalui lima
tahap untuk mencapainya : masyarakat tradisional, prakondisi untuk lepas landas,
dorongan mencapai kedewasaan, dan era konsumsi massa tinggi. Pada tahap pertama
hambatan teknologi akan membatasi produksi. Banyak hambatan ini beralih pada tahap
kedua ketika gagasan ilmiah rasional, infrastruktur dan suatu orientasi pada bisnis
dianggap penting. Perubahan ini tidak berhasil secara endogen, sebagaimana yang
terjadi di Eropa Barat, namun perubahan ini berasal dari luar yang menyentak
masyarakat tradisional untuk berubah. Selama tahap lepas landas singkat (paling buruk
beberapa dekade), perolehan investasi bersih dan tabungan pada pendapatan nasional
akan meningkat dari 5 persen sampai 10 persen atau lebih. Hal ini diterapkan pada
Britania Raya 1783-1802, Jepang 1878-1900 atau bahkan di India pasca 1950. Suatu
proses industrialisasi dapat dicermati namun teknologi modern menyebar melalui
perekonomian secara keseluruhan. Perekonomian yang dewasa kini telah tercapai dan
sumber daya-sumber dayanya dapat digunakan untuk konsumsi masa tinggi, namun
kemungkinan skenario lain termasuk keadaan kesejahteraan dan pencapaian
-
kekuasaan eksternal. Model pertumbuhan lima tahap Rostow telah menarik banyak
minat selama bertahun-tahun. Salah satu daya tariknya adalah kesederhanaan namun
merupakan gambaran yang mengembangkan lepas landasnya negara berkembang
menuju pertumbuhan dengan pertahanan sendiri (self-sustaining growth). Faktor
lainnya adalah sub-judul buku, manifesto non-komunis. Hal ini secara alami menarik
bagi tanggung jawab para elit Amerika untuk merancang kebijakan dan umumnya juga
bagi kesadaran politik konservatif Barat. Hal ini juga menimbulkan pertentangan
dengan kaum Marxis dan beberapa tahun kemudian dengan para akademik liberal.
Namun , gagasan ini memberikan dukungan terhadap pandangan bahwa untuk
pertama kali dalam sejarah, suatu pola universal tentang modernitas muncul dari
lembaga-lembaga dan nilai-nilai tradisional yang sangat beragam.
Modernisasi telah merombak model unilineal para evolusionis lama dengan
mengakui bahwa ada beragam jalan menuju perkembangan. Walaupun tujuan
utamanya mungkin sama, namun titik tolak dan cara pencapaian menuju satu tujuan
bisa berbeda. Pengetahuan tentang sejarah yang lebih banyak keragaman empiris
yang demikian nampak dari negara-negara berkembang ini memperkuat dan
mempertegas tuntutan akan gagasan ini. Karena itu, Steward mengusulkan teori
evolusi multilinier dimana masyarakat yang sama dapat bergerak dalam arah yang
berbeda. Sahlin dan Service membedakan evolusi umum dan khusus. Dua tingkat
yang berbeda dari perkembangan adaptif ini adalah tingkat masyarakat atau budaya
khusus, dan tingkat peradaban atau budaya umum. jadi terobosan evolusi umum dapat
diketahui sedangkan beragam sejarah dari masyarakat khusus juga dapat dimasukkan
dalam teori ini. Penulis lain lebih melihat pada klasifikasi tipologi yang kompleks untuk
paradigma neo-evolusi mereka. Parson, misalnya, memberikan lima kategori tipologi :
masyarakat primitif (Aborigin Australia), masyarakat kuno (Kerajaan Mesotamia dan
Mesir Kuno), kekaisaran pertengahan sejarah (China, India, Kekaisaran Islam dan
Kekaisaran Romawi), masyarakat persemaian (Israel dan Yunani) dan masyarakat
modern (Amerika Serikat, Uni Sovyet, Eropa dan Jepang). Masyarakat pada masing-
masing tahap memiliki tingkat perbedaan sosial yang sama dan telah mengalami atau
mengimpor solusi integratif yag seimbang.
-
Jelas dari pembahasan ini bahwa walaupun ada pandangan yang sama dalam
perspektif masyarakat modernisasi ternyata tidak terdapat struktur yang monolitik.
Terdapat variasi yang diciptakan oleh perbedaan akan penekanan, spesifikasi dan
kepentingan. Dalam keseluruhan bagian tentang pendekatan modernisasi ini kita akan
melihat beberapa variasi ini.
Suatu model pendekatan modernisasi yang populer dan tetap bertahan adalah
perekonomian ganda (dual economy). Dasar model ini terletak pada penilaian bahwa
banyak negara berkembang dicirikan oleh dua sektor perekonomian. Perbedaan
menyolok antara pertanian teknologi rendah di daerah pedesaan dan industri modern
dan infrastruktur di daerah perkotaan tidak dapat diabaikan. Lewis mengusulkan suatu
model makro yang terdiri dari sektor industri dan pertanian. Ia menilai bahwa pertanian
merupakan cadangan kerja bagi industri. Pengangguran terselubung pada sektor
pertanian dapat memungkinkan transfer sumber pekerjaan bagi sektor industri yang
dinamis tanpa mempengaruhi hasil pertanian. Lambert mengusulkan bahwa di Amerika
Latin suatu struktur ganda di dominasi di Brazil, Mexiko, Columbia, Venezuela dan Chili.
Populasi negara-negara ini dibagi antara bentuk organisasi sosial kuno dan maju
secara kasar setara dengan kategori desa dan kota. Bentuk kuno akan cepat
tenggelam dibalik perkembangan modernisasi dan sektor-sektor yang maju akan
menjadi pemenangnya. Contoh terakhir tentang sektor ganda dikemukakan Boeke,
seorang mantan administrator penjajah Belanda. Walaupun ditulis pada awal abad ini,
namun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris muncul bersamaan dengan lahirnya
teori modernisasi. Tesisnya dirangkum rapuih dalam bentuk tulisan kliping : East is
East and West is West, and never the twain shall meet (Timur adalah timur Barat
adalah barat, dan keduanya tidak akan bertemu).
Suatu sistem sosial pedesaan prekapitalis berbeda dengan kapitalis impor.
Keduanya terlibat dalam pertikaian spiritual yang diekspresikan dalam kehidupan
ekonomi, sosial dan politik. Selain itu, teori ekonomi Barat sepenuhnya tidak sesuai
untuk menganalisa pertanian subsistensi pedesaan. Dalam menggunakan keyakinan
para kaum modernis akan model dikotomi, Boeke memiliki pandangan pesimistis akan
masa depan yang berbeda dengan kerabatnya. Perubahan dalam perekonomian desa
akan mengakibatkan kemunduran bagi masyarak