pengamatan + pembahasan laporan steril

Download pengamatan + pembahasan laporan STERIL

If you can't read please download the document

Upload: bayyinah-ardian

Post on 05-Jul-2015

4.173 views

Category:

Documents


174 download

TRANSCRIPT

I.

FORMULASI o Tonisitas Perhitungan tonisitas menurut Farmakope Indonesia III B= 0,52 b1.C b2 B : Bobot dalam gram zat yang ditambahkan dalam 100 ml hasil akhir b1 : penurunan titik beku air yang disebabkan oleh 1% b/v zat khasiat b2 : penurunan titik beku air yang disebabkan oleh penambahan 1% b/v zat tambahan C: kadar zat khasiat dalam % b/v Menurut buku Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi Terdapat 3 jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat, yaitu : Keadaan isotonis apabila nilai B = 0, b1.C = 0,52 Keadaan hipotonis apabila nilai B positif, b1.C < 0,52 Keadaan hipertonis apabila nilai B negativ, b1. C > 0,52

Perhitungan Tonisitas dari Formulasi Didapatkan Tf Riboflavin untuk konsentrasi 0,5 % = 0,022 Didapatkan Acidum Citricum untuk konsentrasi 1 % = 0,09 Didapatkan Natrii Chloridum untuk konsentrasi 1 & = 0,576

b1.C = 0,027 < 0,52 (hipotonis) B= 0,52 b1.C b2 = 0,52 ( 0,022 + ( 0,09 x 0,06 ) + ( 0,576 x 0,00085 ) 0,58 = 0,492 0,58 = 0,85 gram / 100 ml = 850 mg/ 100 ml = 8,5 mg / ml

Sediaaan hipotonis dalam sediaan parenteral tidak boleh digunakan, karena akan menimbulkan hemolisa. Oleh karena itu, dalam sediaan hipotonis perlu ditambahkan zat pengisotonis seperti NaCl. Jika larutan sediaan yang dibuat sedikit hipertonis maka larutan sediaan tersebut masih diperbolehkan. Kesimpulan : Sediaan pada formulasi menghasilkan sediaan hipotonis , maka diperlukan zat pengisotonis yaitu NaCl . Dengan demikian, NaCl yang diperlukan untuk mebuat sediaan menjadi isotonis yaitu 8,5 mg/ml. o pH Penambahan larutan dapar dalam larutan hanya dilakukan larutan obat suntik dengan pH 3,5-7,5 . Untuk pH < 3 atau >1 sebaiknya tidak didapar karena sulit dinetralisasikan. pH ideal dari sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah , tetapi hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus disesuaikan dengan pH stabilitas zat aktif. Kesimpulan : Pada formulasi digunakan dapar, yaitu asam sitrat . Tujuan pemakaian

dapar itu sendiri ialah meningkatkan stabilitas obat dan mencegah reaksi penguraian dari zat. o Pengawet Antimikroba/pengawet perlu ditambahkan untuk sediaan parenteral yang dipakai berulang kali (dosis terbagi/multidosis) walaupun tidak diperbolehkan pada monografi atau walaupun zat khasiat sendiri sudah bersifat bakteriostatik. Antimikroba juga kadang-kadang ditambahkan pada dosis tunggal yang tidak dilakukan sterilisasi akhir. Kesimpulan : Pada formula pustaka, pengawet yang digunakan adalah

Phenylhydrargyri Nitras. Namun, bahan pengawet tersebut tidak terdapat pada laboratorium. Oleh karena itu, pada formula akhir tidak digunakan bahan pengawet dikarenakan sehubungan dengan sediaan injeksi riboflavin yang akan dibuat merupakan dosis tunggal dan dilakukan secara sterilisasi akhir, maka tidak mutlak diperlukan suatu bahan pengawet . o Antioksidan Zat khasiat dalam larutan dapat terurai akibat oksidasi O2 atau hilangnya hydrogen(H2) dipercepat dengan adanya logam, hydrogen, gugus hidroksil. Sediaan injeksi riboflavin

menggunakan bahan pembawa air dan tidak terkandung minyak serta bahan-bahan lain yang mudah teroksidasi. Kesimpulan : Sehingga tidak diperlukan antioksidan.

II.

FORMULA AKHIR Injeksi Riboflavina Natrium Fosfat

Injeksi Vitamin B2 Komposisi : Tiap ml mengandung : Riboflavini Acidum Citricum Natrii Chloridum Aqua pro Injectione ad 3,65 mg 600 g 8,5 g 2 ml

Penyimpanan : Dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda, terlindung dari cahaya, sebaiknya dalam wadah dosis tunggal. Dosis : Pencegahan, sekali sehari 0,4 ml Pengobatan, sekali sehari 1 sampai 2 ml Catatan :

1. pH 4,5 sampai 7,0 2. Disterilkan dengan Cara sterilisasi A atau C 3. Pada etiket harus juga tertera : Kesetaraan Riboflavina 4. Riboflavina Natrium Fosfat yang digunakan adalah anhidrat. 5. 1,37 g riboflavina Natrium Fosfat setara dengan lebih kurang 1 g riboflavin 6. Sediaan berkekuatan lain : setara dengan riboflavin 5 mg ; 35 mg ; 50 mg dan 50 mg

III.

PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN

Perhitungan Bahan Volume yang dibuat =(n+2)v+(2x3)ml = (3+2)2,15+(2x3)ml = 10,75 + 6 ml = 16,75 ml ~ 20 ml n : Jumlah ampul v : Volume berlebih yang disarankan pada farmakope Riboflavin = 3,65mg = 0,00365 g Asam sitrat = 600 g =0, 6 mg = 0,0006 g Natrii Chloridum = 8,5 g = 0,0085 mg = 0,0000085 g Penimbangan Bahan Riboflavin yang dibutuhkan =3,65 mg x 20 ml = 70 mg Asam sitrat yang dibutuhkan = 0,6 mg x 20 ml = 12 mg Natrii Chloridum yg dibutuhkan= 0,0085 mg x 20 ml = 0,17 mg IV. STERILISASI Sterilisasi Akhir : Sterilisasi A( Dengan autoklaf pada suhu 1210C 15 menit, pada pH tidak lebih dari 6,) atau sterilisai C ( filtrasi )

V.

PROSEDUR

Cara Pembuatan API (Aqua Pro Injeksi) 1. Aqua destilata dipanaskan dalam erlenmeyer sampai air mendidih, setelah air mendidih kemudian dipanaskan lagi selama 30 menit. 2. Setelah 30 menit baru diangkat kemudian dinginkan dan digunakan untuk membuat sediaan steril. 3. Untuk air bebas O2 ditambah waktu pemanasannya selama 10 menit (40 menit totalnya). Cara Pembuatan Injeksi Vitamin B2 1. Riboflavin digerus dan ditimbang sebanyak 70 mg menggunakan kaca arloji, lalu dimasukkan ke dalam becker glass. Kaca arloji kemudian dibilas 2 kali dengan api. 2. Dituangkan sejumlah tertentu air steril untuk melarutkan zat yang ditimbang 3. Dituangkan sejumlah tertentu air steril untuk membasahi kertas saring lipat yang telah diletakkan ke dalam corong yang akan digunakan. 4. Setelah zat aktif dan semua zat tambahan terlarut, larutan tersebut dituangkan ke dalam gelas ukur, dicatat volume larutan. Cukupkan dengan air bilasan sampai tepat 12 ml 5. Corong + kertas saring dipindahkan ke erlenmeyer lain yang bersih dan kering. 6. Larutan disaring dalam gelas ukur melalui corong ke dalam erlenmeyer yang telah disiapkan ( in proses control dilakukan dengan mengukur pH sediaan pada saat sebelum ) 7. Sisa 8 ml digunakan untuk membilas becker glass berulangkali, ditampung dalam gelas ukur kemudian air bilasan tersebut disaring ke dalam erlenmeyer yang berisi filtrate larutan hingga volume total seluruh larutan genap 20 ml. 8. Larutan diisikan ke dalam wadah (ampul) dengan menggunakan spuit. Bila digunakan buret, larutan diisikan ke dalam buret steril, pasang tutup buret. 9. Jarum buret diseka kapas yang telah dibasahi dengan alkohol 70% dengan bantuan pinset steril. 10. Aliri uap air (jika perlu/dispensasi).

11. Aliri gas nitrogen (jika perlu). 12. Tutup ampul dengan API dan disterilkan dengan menggunakan autoklaf secara terbalik dalam becker glass yang telah diisi kapas ( 1120C selama 15 menit ) 13. Setelah sterilisasi akhir, lakukan evaluasi sediaan.

VI.

EVALUASI Penampilan Uji kejernihan secara visual Kadar pH : larutan berwarna kuning : tidak jernih dan tidak homogen :

Vitamin B2 dalam larutan stabil pada pH 5 6,5 . Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal didapatkan pH = 6 , pH yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan karena masuk ke dalam range pH sediaan antara pH 5- 6,5 Kebocoran :

Uji kebocoran tidak kami lakukan karena penutupan ampul tidak dilakukan. Uji volume terpindahkan :

Dilakukan dengan mengambil larutan injeksi yang berada pada ampul dengan menggunakan spuit(jarum suntik). Volume yang terpindahkan = 2,1 ml

}

}

VII.

PEMBAHASAN Pada praktikum steril kali ini bertujuan membuat sediaan injeksi riboflabvin ( vitamin

B2) dengan pembawa air. Sediaan injeksi merupakan sediaan parenteral volume kecil dimana sediaan parenteral adalah sediaan obat steril dapat berupa larutan atau suspense yang dikemas

sedemikian rupa sehingga cocok untuk diberikan dalam bentuk injeksi hypodermis dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok. Untuk mendapatkan formula sediaan parenteral yang baik harus mempunyai data praformulasi yaitu pembawa yang tepat, zat penambah yang diperlukan dan jenis wadah yang sesuai. Pembawa yang digunakan dalam pembuatan sediaan injeksi kali ini adalah larutan air. Larutan air merupakan bentuk yang paling sederhana dan banyak digunakan dimana kompatibilitas air dengan jaringan tubuh dapat digunakan untuk semua rute pemberian. Bahan pembawa air yang digunakan adalah air pro injeksi yaitu air yang disterilisasi dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya. Tujuan suatu sediaan dibuat steril yaitu karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan obat injeksi merupakan sediaan yang perlu disterilkan. Dalam formula sediaan injeksi larutan riboflavin, selain bahan aktif yang digunakan maka diperlukan bahan tambahan seperti pendapar, pengawet, dan senyawa pengisotonis jika keadaan sediaan hmipotonis. Secara umum, zat tambahan pada sediaan steril digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif, menjaga stabilitas zat aktif serta mempermudah dan menjaga keamanan pemberian sediaan. Pada sediaan parenteral, tonisitas harus diperhatikan karena larutan yang dibuat harus isotonis sehingga tidak akan mengalami kerusakan jaringan dan iritasi serta mencegah hemolisa. Sediaan isotonis ini tidak selalu dapat dicapai karena mengingat kadang-kadang diperlukan zat khasiat dengan dosis tinggi untuk mendapatkan efek farmakologis yang diinginkan, yang menyebabkan isotonis terlampaui ( larutan sedikit hipertonis ). Jika larutan sediaan yag dibuat sedikit hipertonis maka larutan sediaan tersebut masih diperbolehkan karena kenyataannya kadang-kadang untuk pemberian subkutan dan intramuscular dibuat larutan yang hipertonis untuk mempermudah absorpsi obat pada jaringan. Akan tetapi, jika suatu sediaan hipotonis maka sediaan tersebut tidak diperbolehkan karena akan menyebabkan pecahnya pembuluh darah bahkan dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan perhitungan untuk mengetahui keadaan sediaan isotonis, hipotonis atau

hipertonis maka dihasilkan untuk formulasi sediaan kami menghasilkan sediaan hipotonis. Maka dari itu, diperlukan zat pengisotonis seperti NaCl dengan tujuan agar keadaan sediaan isotonis. Dengan perhitungan tonisitas menurut FI III, maka diperoleh NaCl yang diperlukan adalah sebanyak 8,5 mg/ml. Pembuatan sediaan injeksi riboflavin dilakukan sterilisasi akhir dengan autoklaf. Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan lebih dahulu. Sifat dari riboflavin tahan terhadap suhu sterilisasi dilihat dari titik leleh riboflavin 280 0C dan suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1120C(autoklaf), maka sterilisasi yang dapat dilakukan adalah sterilisasi akhir dengan autoklaf. Dalam pembuatan injeksi riboflavin ini pada formula menggunakan zat tambahan seperti asam sitrat. Asam sitrat berfungsi sebagai buffering agent . Larutan dapar hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5 - 9. Adapun tujuan pemakain dapar ialah untuk meningkatkan stabilitas obat dan mengurangi nekrosis pada saat penggunaannya. Prosedur kerja yang kami lakukan yaitu dengan cara mempersiapkan 20 ml larutan API. Wadah yang digunakan untuk sediaan injeksi biasanya adalah berupa vial atau ampul. Pada pembuatan sediaan injeksi kali ini digunakan wadah ampul, dilihat dari stabilitas dari riboflavin yaitu penyimpanan harus dalam wadah kedap udara dan terlindung dari cahaya maka seharusnya digunakan wadah berupa ampul yang gelap(berwarna coklat) dan disimpan di tempat gelap atau terlindung cahaya. Tetapi ampul yang tersedia di laboratorium steril hanya ampul bening, sehingga ampul yang digunakan ampul bening (di dispensasi). Riboflavin dalam larutan stabil pada pH 5 6,5. Seperti sudah diketahui bahwa pH ideal dari sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah, tetapi hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung stabilitas dari sediaan. Rentang pH yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh yakni pH > 9 menyebabkan kematian jaringan dan pH < 3 akan menimbulkan rasa sakit (nyeri) dan menyebabkan flebitis. Oleh karena itu dalam proses pembuatan sediaan injeksi steril diperlukan pemeriksaan pH. Sebaiknya

pemeriksaan pH dilakukan pada saat mendekati volume akhir yang diinginkan agar jika pH belum masuk range pH yang diinginkan pengaturan pH sediaan dapat dilakukan dengan menambahkan adjust pH. Setelah pemeriksaan pH telah dilakukan dan diperoleh pH yang diinginkan maka larutan di ad kan hingga volume yang diinginkan , kemudian larutan disaring. Dalam pembuatan sediaan injeksi, penyaringan perlu dilakukan karena akan ada nantinya evaluasi kejernihan sediaan yang telah dibuat. Setelah melewati proses penyaringan maka larutan dimasukkan ke dalam ampul dengan menggunakan jarum spuit. Volume injeksi harus dilebihkan, kelebihan volume yang dianjurkan dalam FI IV adalah jika cairan encer 2 ml, maka kelebihan volume yang dianjurkan adalah 0,15 ml sehingga volume yang dimasukkan ke dalam wadah(ampul) adalah 2,15 ml per ampul. Sebelum penutupan ampul, seharusnya dialirkan gas inert seperti karbondioksida atau nitrogen ke atas permukaan. Gas inert seperti nitrogen dan karbondioksida sering digunakan untuk meningkatkan kestabilan produk dengan mencegah reaksi kimia antara oksigen dalam udara dengan obat. Tetapi ini tidak dilakukan karena ketidaktersedianya bahan. Penutupan ampul pada sediaan ini tidak dilakukan karena gas O2 ada di laboratorium telah habis sehingga uji kebocoranpun tidak dapat dilakukan. Dalam pengerjaannya kelompok kami hanya melakukan evaluasi pemeriksaan penampilan, kejernihan, pH serta uji volume terpindahkan. Dalam uji penampilan, sediaan yang dihasilkan berwarna kuning. Warna tersebut disebabkan oleh zat khasiat itu sendiri ( riboflavin ) yang memiliki warna kuning hingga kejingga-jinggaan. Pada in proses control dilakukan uji kejernihan dan pemeriksaan pH. Setiap larutan obat suntik harus jernih dan bebas dari kotoran sehingga diperlukan uji kejernihan secara visual. Dalam uji kejernihan sediaan dilakukan secara visual,sediaan yang dihasilkan tidak jernih. Hal tersebut dikarenakan bahan yang digunakan yaitu riboflavin yang sifat kelarutannya sangat sukar larut dalam air sehingga zat tersebut tidak dapat terlarut sempurna. Walaupun dalam proses pembuatan telah dilakukan penyaringan, zat yang tidak terlarutkan tersebut tetap mempengaruhi terhadap kejernihan larutan. Selanjutnya untuk pemeriksaan pH, riboflavin dalam larutan sangat stabil pada pH 5 - 6,5. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal didapatkan pH 6, pH yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan karena masuk ke dalam range antara pH 5 6,5. Dalam pengujian volume terpindahkan dilakukan dengan cara mengambil kembali larutan sediaan

injeksi pada ampul dengan menggunakan spuit. Pada pembuatan, volume yang dibuat 2 ml dengan penambahan 0,15 ml sehingga volume yang dimasukkan ke dalam ampul adalah 2,15 ml. Setelah melakukan uji volume terpindahkan, volume yang terpindahkan adalah 2,1 ml. Perbedaan volume yang terpindahkan dapat disebabkan tidak seluruhnya larutan injeksi dapat terambil oleh spuit sehingga diketahui bahwa kehilangan volume sebesar 0,15 ml. Namun hal ini tidak terlalu bermasalah karena dosis yang tertera pada etiket menunjukkan 2ml. Pada praktikum kali ini, kelompok kami tidak melakukan evaluasi sediaan yang laininya seperti uji penetapan kadar/ potensi, uji sterilitas, uji pirogen, uji bahan partikulat dalam injeksi, uji keseragaman sediaan, uji endotoksin bakteri, uji penetapan volume injeksi dalam wadah, uji kebocoran. Karena keterbatasan alat alat yang dimiliki di laboratorim serta , begitu juga singkatnya waktu sehingga yang kami lakukan hanyalah uji pemeriksaan kejernihan, pemeriksaan pH, dan uji volume terpindahkan.

2. Formulasi Standar dari Fornas : Tiap ml mengandung:R

/ Riboflavin Natriii Phosphas setara dengan Riboflavinum Acidum Citricum Natrii Chloridum Phenylhydrargyri Nitras Aqua Pro injectiona ad 600 g 8.5 g

5 mg

10 g 1 ml

Penyimpanan

: Dalam wadah dosis tunggal/wadah dosis ganda terlindung dari cahaya, sebaiknya dalam wadah dosis tunggal

Dosis

: IV atau IM Pencegahan, sekali sehari 0.4 ml. Pengobatan, sekali sehari 1 2 ml.

Catatan

: 1. pH 4.5 sampai 7.0

2. Disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C 3. Pada etiket harus juga tertera : Kesetaraan Riboflavina 4. Riboflavina Natrium Fosfat yang digunakan adalah anhidrat 5. 1.37 gram Riboflavina Natrium Fosfat setara dengan lebih kurang 1 gram Riboflavina 6. Sediaan berkekuatan lain : setara dengan Riboflavina 5 mg : 35 mg : 50 mg. ( Fornas Hal. 269-270)

3. Tak Tersatukan Zat Aktif (OTT) Alkali 4. Usul Penyempurnaan Sediaan Menggunakan ampul coklat guna menghindari kontak zat aktif dengan cahaya matahari dan wadah dosis tunggal. 6. Formula AkhirR

/ Riboflavin Natriii Phosphas setara dengan Riboflavinum Acidum Citricum Natrii Chloridum Aqua Pro injectiona ad 600 g 8.5 g 1 ml

5 mg

7. Perhitungan Bahan Volume = ( n+2 ) v + ( 2x3 ) ml = ( 2+2 ) 2,15 + 6 = 14,6 ml dilebihkan menjadi 20 ml Perhitungan W = 0,52 - b1.c b2 Keterangan : b1 = Tf zat yang digunakan b2 = Tf zat pengisotonis (NaCl)

c = konsentrasi zat dalam formula

Penurunan titik beku jika larutan pengisotonis 1% = 0,9 % = 0,52 1% x

0,9 x = 0,52 x = 0,52 0,9 x = 0,58

Riboflavin Natriii Phosphas = 0,005 gr x 100% Acidum Citricum Natrii Chloridum = 0,0006 gr x 100%

= 0,5% = 0,06%

= 0,0000085 gr x 100% = 0,00085%

Tf (Penurunan Titik Beku) Riboflavin Natriii Phosphas = Tf = 0,022 Acidum Citricum = Tf = 0,050 Natrii Chloridum = Tf = 0,289 W = 0,52 - b1.c b2 = 0,52 (0,022 + (0,09 x 0,06) + (0,576 x 0,00085) 0,58 = 0,492 0,58 = 0,85 gram / 100 ml = 850 mg / 100 ml = 8,5 mg / ml Jadi NaCl yang ditambahkan adalah 8,5 mg / ml

Penimbangan Bahan 1. Riboflavin Natrii Phosphas = 5 mg x 20 ml = 100 mg, atau Riboflavin, dimana 1,37 gram Riboflavina Natrium Fosfat setara dengan lebih kurang 1 gram Riboflavin sehingga, Riboflavin X

== 3.65 mg x 20 ml = 70 mg

2. Acidum Citricum = 600 g = 0,0006 gr x 20ml = 0,012 gr = 12 mg 3. Natrii Chloridum = 8,5 g = 0,0000085 gr x 20 ml = 0,00017 gr = 0,17 mg Untuk membuat isotonis maka perlu ditambahkan NaCl sebanyak = 0,0085 gr x 20 ml = 0,17 gr = 170 mg + 0.17 mg = 170,17 mg 4. API ad 20 ml

Prosedur Pembuatan Resep a) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Mensterilisasi wadah. b) Membuat air bebas O2 Aquadest dididihkan 40 menit tutup wadah dengan rapat dengan kapas agar tidak terkontaminasi O2 kembali API bebas O2 c) Ditimbang zat aktif Riboflavin Na Fosfat, dimasukkan kedalam gelas piala. Lalu masukkan zat tambahan yaitu Acidum Citricum dan Natrii Chloridum (kaca arloji dibilas 2 kali dengan API bebas O2 secukupnya) d) Dituangkan API bebas O2 secukupnya untuk melarutkan zat yang ditimbang e) Dituangkan API bebas O2 secukupnya untuk membasahi kertas saring lipat yang akan digunakan. f) Larutan zat dituangkan ke dalam gelas ukur, catat volume larutan. Ad kan dengan air bilasan sampai tepat 3/5 bagiannya yaitu ad 12 ml g) Dipindahkan corong ke erlenmayer lain yang bersih dan kering. Disaring larutan dalam gelas ukur melalui corong ke dalam erlenmayer yang telah disiapkan

h) Sisa 2/5 bagiannya yaitu 8 ml digunakan untuk membilas gelas piala, ditampung dalam gelas ukur kemudian disaring ke dalam erlenmayer yang berisi filtrate larutan 12 ml i) Isikan larutan ke dalam wadah (ampul)dengan menggunakan spuit. j) Dialirkan uap air (jika perlu). Dialirkan gas nitrogen (jika perlu) k) Tutup ampul dengan api. Ampul yang sudah ditutup di sterilkan dengan metode yang sesuai.

10.

Evaluasi a. Pengecekan pH : pH setelah intermediet ad 12 ml dan belum disaring = 3 pH setelah ad 20 ml dan sudah disaring = 4

b. Kejernihan Berwarna kuning jernih c. Volume Terpindahkan Sebelum pemindahan = 2,15 ml Setelah pemindahan = 2,0 ml

11. Pembahasan

Obat suntik didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral. Istilah parenteral seperti yang umum digunakan, menunjukkan pemberian lewat suntikkan seperti berbagai sediaan yang diberikan dengan disuntikkan. Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan untuk injeksi atau sediaan untuk infus. Pada praktikum tekhnologi sediaan steril ini, dibuat sediaan injeksi yang mengandung vitamin B2 sebagai zat aktifnya. Injeksi vitamin B2 dapat diberikan secara Intravena (IV) dan Intramuscular (IM). Tetapi pada pembuatan sediaan kali ini, dibuat sediaan injeksi vitamin B2 dengan pemberian secara intravena (IV) , hal ini disebabkan karena formulasi yang dibuat

menggunakan dosis tunggal (penggunaan satu kali pakai) dengan menggunakan larutan sejati pembawa air yaitu pelarut API (Aqua Pro Injection). Pembuatan sediaan injeksi dilakukan secara steril hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi suatu sediaan injeksi dari mikroba. Perlu diperhatikan pada ruang white area alat-alat harus lewat pass box sedangkan praktikan harus lewat pintu. Pencampuran bahan dilakukan di ruang white area. Pada saat pencampuran bahan, hal yang harus diperhatikan adalah melakukan pembilasan pada alat yang telah dipakai dengan tujuan tidak ada nya zat yang tersisa di alat tersebut. Dan alat-alat apa saja yang harus dipegang dengan tangan atau dengan pinset. Sediaan yang sudah dicampur kemudian dimasukkan kedalam ampul dengan menggunakan spuit. Menurut aturan resmi, sediaan yang berisi volume 2 ml, perlu ditambahkan volume berlebih sebanyak 0,15 ml, sehingga volume total sediaan pada ampul menjadi 2,15 ml untuk mencegah zat yang tinggal dalam vial atau jarum suntik. karena biasanya Dokter atau perawat sebelum menyuntikkan ke pasien tidak tepat mengambilnya atau mencoba mengeluarkan sedikit sebelum akhirnya disuntikkan ke pasien . Sehingga pada saat pemberian kepada pasien, jumlah obat yang diinjeksikan tetap sesuai dosis yang diperlukan. Proses sterilisasi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan keadaan yang steril, bebas dari mikroorganisme. Proses sterilisasi dilakukan pada pembuatan injeksi vitamin B2 adalah sterilisasi secara akhir. Hal ini disebabkan karena vitamin B2 memiliki sifat yang tahan terhadap pemanasan/rusak dengan pemanasan karena titik lebur kurang lebih 280oC. Sehingga tidak perlu dilakukan sterilisasi alat-alat sebelum digunakan pada praktikum. Namun, pada praktek pembuatan injeksi vitamin B2 tidak dilakukan sterilisasi akhir. Hal ini disebabkan karena ampul yang digunakan tidak dapat ditutup sehingga tidak dilakukan sterilisasi ahir didalam autoklav. Vitamin B2 mempunyai sifat yang tidak stabil terhadap cahaya, maka pemilihan wadah yang tepat yaitu wadah yang berwarna gelap. Namun, pada prakteknya, kami tidak menggunakan wadah ampul dengan wana yang gelap. Hal ini dikarenakan kemungkinan keterbatasan wadah yang tersedia. Penandaan obat sediaan injeksi vitamin B2 yang digunakan adalah label obat keras, karena pada umumnya pemberian sediaan injeksi perlu dilakukan oleh tenaga ahli medis dan harus dengan resep dokter untuk menghindari penyalahgunaan sediaan .

Pada praktikum kali ini kami membuat sediaan injeksi larutan dengan menggunakan zat aktif Vitamin B2 (Riboflavin Na Fosfat). Namun, pada pelaksanaan praktikum zat aktif yang digunakan tidak tersedia sehingga kami menggunakan zat aktif yang tersedia yaitu Riboflavin HCl. Riboflavin HCL adalah bentuk stabil dari riboflavin atau vitamin B2. Pada saat melarutkan riboflavin HCl, riboflavin HCl kurang larut dalam air sehingga terdapat endapan pada sediaan. Hal ini terjadi dikarenakan sifat-sifat fisikokimia riboflavin HCl hampir serupa dengan riboflavin. Baik itu sifat kelarutan, pemerian, dan sebagainya. Karena Riboflavin mempunyai sifat kelarutan yang sangat sukar larut dengan perbandingan 1000-10000 maka sifat kelarutan dari Riboflavin HCl juga sangat sukar larut sehingga ketika dilarutkan tidak dapat terdispersi sempurna sehingga membentuk endapan. Pada formulasi kami menggunakan phenylhydrargyri nitrat sebagai antimikroba sesuai dengan anjuran dari fornas yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga kestabilan sediaan akibat masa penyimpanan dan pemakaian berulang-ulang, sehingga cenderung membuat zat aktif rentan terhadap mikroba dan zat asing. Selain itu pada formulasi, zat aktif ditambahkan dengan antioksidant yaitu asam sitrat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi

oksidasi akibat zat aktif terdispersi di dalam larutan karena sifat vitamin B2 yang tidak stabil terhadap cahaya. Biasanya untuk pembuatan sediaan injeksi yang diberikan secara IV yaitu yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah sebaiknya dari larutan tersebut adalah isotonis, sehingga perlu penanmbahan larutan NaCl 0.9%. Sehingga pada sediaan injeksi Vitamin B2 perlu penambahan NaCl 0.9%. Hal ini disebabkan karena pada perhitungan penurunan titik beku, larutan injeksi vitamin B2 hasilnya hipotonis, dalam sediaan parenteral volume kecil (SPVK) seperti injeksi, larutan yang bersifat hipotonis tidak diperbolehkan, dimana tidak diinginkan dalam pembuatan sediaan parenteral volume kecil (SPVK) jika larutan bersifat hipotonis, Karena konsentrasi obat larutan lebih rendah dari serum darah, sehingga menyebabkan air akan melintasi membrane sel darah merah yang semipermeabel sehingga memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah, peristiwa ini disebut hemolisa.

Evaluasi sebaiknya dilakukan setelah sediaan disterilkan dan sebelum wadah dipasang etiket dan dikemas. Parameter yang dievaluasi untuk uji kestabilan sediaan parenteral meliputi : penetapan pH (FI IV), bahan partikulat dalam injeksi (FI IV), penetapan volume injeksi dalam wadah (FI IV), uji keseragaman sediaan (FI IV), uji kebocoran (Goeswin Agus, Larutan Parenteral), uji kejernihan dan warna (Goeswin Agus, Larutan Parenteral), uji kejernihan larutan (FI IV). Namun, dalam prakteknya kami hanya melakukan evaluasi penetapan pH, warna, kejernihan larutan dan penetapan volume injeksi wadah. Pada evaluasi penetapan pH, setelah dilakukan intermediate ad 12 ml, kami melakukan pengecekan pH dimana diperoleh pH adalah 3 dan setelah penambhan api ad 20 ml pH adalah 4. Hal ini disebabkan karena pemakaian Riboflavin HCl sebagai zat aktif. Pada evaluasi warna tidak terjadi perubahan warna pada sediaan setelah disimpan. Warna masih menunjukkan warna seperti semula yakni kuning bening. Pada evaluasi kejernihan larutan, larutan jernih bebas partikel melayang dalam sediaan injeksi vitamin B2. Pada evaluasi volume terpindahkan, volume yang diperoleh adalah 2,0 ml setelah pemindahan. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat pemberian kepada pasien, jumlah obat yang diinjeksikan tetap sesuai dosis yang diperlukan yaitu 2,0 ml. Kami tidak melakukan evaluasi uji kebocoran karena sterilisasi akhir tidak dilakukan. Sehingga belum diketahui apakah terjadi kebocoran ampul atau tidak.

a. Formula Akhir : R/ Thiamin HCl 100mg API ad 2ml m.f no III da in ampul 2ml b. Perhitungan Bahan Volume yang dibuat = (n+2) V + (2x3)ml = (3+2) 2,15 + 6ml = 16,75 ml 25ml Jumlah thiamin = x 25ml

= 1250mg = 1,25gram Tonisitas : Perhitungan tonisitas menurut farmakope Indonesia III

B= B = bobot dalam gram zat yang ditambahkan dalam 100ml hasil akhir b1 = penurunan titik beku air yang disebabkan oleh 1% b/v zat berkhasiat b2 = penurunan titik beku air yang disebabkan oleh penambahan 1% b/v zat tambahan C = kadar Tonisitas thiamin HCl, dengan metode penurunan titik beku :

-

B= B= B= B = -1,5

c. Langkah Pembuatan a. Zat aktif (thiamin HCl) ditimbang dengan kaca arloji, b. Kemudiaan semua bahan dan alat di masukkan ke white area melwati passbox c. Zat aktif dimasukkan ke dalam beakerglass (jika terdapat beberapa zat aktif supaya segera dilarutkan sebelum menimbang zat berikutnya). Kaca arloji kemudian di bilas 2 kali dengan air steril (API) d. dituangkan sejumlah tertentu air steril untuk melarutkan zat aktif (thiamin HCl) yang telah ditimbang.

e. Dituangkan sejumlah tertentu air steril (API di luar yang 25ml) untuk membasahi kertas saring lipat yang akan digunakan. f. Larutan zat dituangkan ke dalam gelas ukur, catat volume larutan ad kan dengan air bilasan sampai tepat 10ml. g. Dipindahkan corong ke erlenmeyer lain yang bersih dan kering h. Disaring larutan dalam gelas ukur melalui corong ke dalam erlenmeyer yang telah disiapkan. i. Sisa 5 ml digunakan untuk membilas beakerglass berulang kali, ditampung didalam gelas ukur kemudian disaring ke dalam erlenmeyer yang berisi filtrat larutan 15ml j. l. Diisikan larutan ke dalam wadah (ampul) dengan menggunakan spuit. Sterilkan menurut metode yang sesuai. k. Tutup ampul dengan api

HASIL PENGAMATAN pH = volume 15ml 3-4 volume 24,5 4 pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal. catatan ketika akan di adjust sesuai dengan pH sediaan yang di literature (2,8 3,4), indicator pH-nya sudah habis, sehingga peng-adjust-an tidak dilakukan. Uji Kejernihan dengan visualisasi : sediaan yang di buat kurang jernih Volume terpindahkan : 2ml Uji kebocoran : tidak dilakukan uji kebocoran karena tidak dilakukan juga penutupan ampul.

PEMBAHASANInjeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang harus dilarutkan atau di suspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral,

suntikan dengan cara menembuskan atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir. Bentuk obat yang dibuat sebagai obat suntik tergantung pada sifat obat sendiri dengan memrhitungkan sifat fisika dan kimia serta mempertimbangkan terapetik tertentu. Pada umumnya, bila obat tidak stabil didalam larutan, maka kita harus membuatnya sebagai serbuk kering yang bertujuan dibentuk dengan penambahan pelarut yang tepat pada saat akan diberikan. Pada praktikum kali ini dibuat sediaan injeksi thiamin HCl atau vitamin B1. Vitamin B1 mempunyai Kelarutan yang mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol 95% P, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam benzen P, larut dalam gliserol (farmakope Indonesia edisi III), sehingga Sediaan injeksi thiamin HCl dibuat dengan injeksi pelarut dan pembawa air dan pembuatannya juga lebih stabil dengan pelarut air dengan tidak menambahkan bahan tambahan lainnya. Air merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam sediaan injeksi karena sifatnya yang dapat bercampur dengan cairan fsiologis tubuh. Air mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi sehingga dapat melarutkan senyawa anorganik seperti elktrolit. Selain itu air mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hydrogen sehingga air dapat pula melarutkan sejumlah senyawa organic seperti alcohol, aldehid, keton, amin dan lain-lain. Pelarut air yang digunakan yaitu aqua pro injeksi (API), yang dibuat dengan cara aquadest dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit, kemudian untuk bebas O2 ditambah 10 menit lagi. Formula yang digunakan yaitu mengikuti formula yang terdapat pada literature (fornas), yaitu tiap ml mengandung Thiamin HCl 100mg dengan aqua pro injeksi (API) ad 1ml dan dibuat sebanyak 3 ampul, dengan rute pemberian intravena (IV). Injeksi intra vena yaitu injeksi yang langsung disuntikkan ke dalam pembuluh darah vena. Volume pemberian secara intravena biasanya 0,5ml-1L. persyaratan dalam injeksi intravena diantaranya yaitu, biasanya larutan dengan pelarut air, tetapi dapat juga emulsi minyak dalam air dengan ukuran droplet yang dikontrol; tidak boleh emulsi air dalam minyak atau suspense; obat terlarut dan tidak mengendap dalam system sirkulasi; biasanya isotonis atau sedikit hipertonis.

Formula tersebut di sterilkan dengan sterilisasi akhir, yaitu sterilisasi A. Menurut Farmakope Indonesia Edisi Ketiga , yaitu Pemanasan dalam otoklaf. Sediaan yang akan disterilkan diisikan kedalam wadah yang cocok, kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 100ml, sterilisasi dilakukan dengan uap air jenuh pada suhu 115 sampai 116 selama 30 menit. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 100ml waktu sterilisasi diperpanjang, hingga seluruh isi wadah berada pada suhu 115 samapi 116 selama 30 menit. Sedangkan Menuruf Farmakope Indonesia Edisi Keempat, Sterilisasi Uap. Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh dibawah tekanan berlangsung disuatu bejana yang disebut otoklaf. Prinsip dasar kerja alat adalah udara didalam bejana sterilisasi diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus. Untuk mengganti udara secara lebih efektif dari bejana sterilisasi dan dari dalam bahan yang disterilisasi, siklus sterilisasi dapat meliputi tahap evakuasi udara dan uap. Pada praktikum, proses sterilisasi tidak dilakukan, karena nitrogen yang digunakan untuk menutup ampul tidak ada (habis), sehingga ampul tidak ditutup dan proses sterilisasi pun tidak dilakukan. Isotonis (ekivalen dengan 0,9% NaCl), jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi didalam darah merah sehingga tidak terjadi pertukaran cairan diantara keduanya. Jika suatu sediaan hipotonis maka sel darah akan mengembang kemudian pecah, karena air berdifusi ke dalam sel (hemolisis). Keadaan hipotonis kurang dapat toleransi, karena pecahnya sel bersifat irreversible. Sedangkan Untuk keadaan hipertosnis masih dapat di toleransi. Nilai tonisitas sedian yang dibuat yaitu -1,5 % dan termasuk pada Hipertonis, sehingga tidak dibutuhkan penambahan NaCl 0,9 % karena sudah sedikit hipertonis. Suatu sediaan perlu isotonis agar mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi, mengurangi hemolisis sel darah, mencegah ketidak seimbangan elktrolit, dan mengurangi rasa sakit pada daerah injeksi. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, di dapat bahwa pH dari sediaan yang kami buat yaitu 4, melebihi pH pada literature yaitu 2,8 - 3,4 (Fornas). Seharusnya sediaan tersebut di adjust agar pH sesuai dengan yang diharapkan, namun ketika akan mengadjust sediaan indicator pH sudah tidak ada (habis), sehingga pengadjust-an tidak dilakukan. pH ideal dari

sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah, tetapi hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung stabilitass dari sediaan (disesuaikan dengan pH zat aktif, bukan pH larutan). Dapar yang ideal memiliki kapasitas dapar yang cukup untuk menjaga pH sediaan selama penyimpanan, namun memungkinkan cairan tubuh beradaptasi dengan mudah. Rentang pH yang tidak dapat di toleransi oleh tubuh : a. pH > 9 menyebabkan kematian jaringan, b. pH < 3 sangat menyakitkan dan meyebabkan feblitis. Evalusi yang lakukan selanjutnya yaitu uji kejernihan larutan, dilihat dari hasil bahwa sediaan yang dihasilkan tidak jernih atau kurang jernih. Hal tersebut disebabkan karena beberapa factor, diantranya yaitu, ketika mengeringkan alat yang telah di cuci yaitu menggunakan tissue, diduga partikel yang melayang pada larutan yaitu tissue yang menempel pada wadah. Selain itu dikarenakan juga kurangnya penyaringan, penyaringan hanya dilakukan 2x karena keterbatasanya kertas saring. Uji volume terpindahkan dilakukan dengan mengambil sediaan yang terdapat di dalam ampul dengan menggunakan spuit. Volume sediaan yang terambil ke dalam spuit yaitu sebanyak 2 ml, yang artinya terjadi pengurangan volume pada saat sudah di pindahkan. Hal tersebut disebabkan karena adanya volume yang tertinggal didalam ampul pada saat sediaan di pindahkan. I. FORMULA PUSTAKA Formula Standar dari Fornas atau Martindale R/ Thiamini Hydrochloridum Zat tambahan yang cocok Aqua pro Injectione ad 100mg qs 1 ml

II.

FORMULASI 2.1 Perhitungan volume yang dibuat : = (n+2)v + (2x3 ml) = (3+2) 2,15 + 6 = 16,75 20 ml

-

Penimbangan bahan: o Thiamini HCL = 50 mg o API ad = 20 ml

Jadi thiamin HCL yang ditimbang: 50 mg x 20 ml = 1000mg=1 gram

2.2 Perhitungan tonisitas Perhitungan tonisitas dengan cara penurunan titik beku B= Keterangan : b1 = penurunan titik beku 1% zat b2 = penurunan titik beku zat pengisotoni (NaCl) c = konsentrasi zat dalam sediaan b1 penurunan titik beku 1% zat = 0,13 (FI 3) b2 untuk 0.9 % NaCl = 0,52 berarti untuk 1% zat = =

0,9 x = 0,52 x = 0,58 c konsentrasi zat dalam formula = 1gram/20 ml = 5gram/100ml = 5%

maka :

B= = = -0,224 (hasil negatif maka dapat dikatakan hipertonis)

Catatan:

isotonis apabila nilai B = 0 , b1 c = 0,52 Hipotonis apabila nilai B positif, b1 c < 0,52 Hipertonis apabila nilai B negative, b1 c > 0,52

Perhitungan tonisitas dengan cara ekivalensi

NaCl yang ditambahkan agar isotonis= 0,9 (E.jumlah zat dlm 100ml) = 0,9 (0,25 x 5 gram) = -0,35 Nilai negative menandakan bahwa keadaan hipertonis

2.3 pengatur pH Pengaturan pH sediaan ditujukan untuk: meningkatkan stabilitas obat mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaannya menghambat pertumbuhan mikroorganisme meningkatkan aktivitas fisiologi obat

pH ideal dari sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah, tetapi hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung stabilitas dari sediaan (disesuaikan dengan pH stabilitas zat aktif bukan larutan). Dapar yang ideal memiliki kapasitas dapar yang cukup untuk menjaga pH sediaan selama penyimpanan, namun

memungkinkan cairan tubuh beradaptasi dengan mudah. Rentang pH yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh: pH > 9 menyebabkan kematian jaringan pH < 3 sangat menyakitkan dan menyebabkan flebitis Pada sediaan ini tidak ditambahkan dapar karena pH sediaan berkisar 2,73,4 dan untuk pH < 3 atau pH > 1 sebaiknya tidak didapar karena sulit dinetralisasikan. peringatan ini terutama ditujukan untuk injeksi i.m dan s.c. Selain itu pH tidak dibuat karena untuk sediaan parenteral volume kecil ( 0,52 hipertonis C. Formula akhir Tiap ml mengandung: R/ Thiamini Hydrochlorium Aqua pro injection D. Perhitungan bahan Untuk sediaan ampul 2ml (n + 2) V1 + (2 x 3) ml = (3 + 2) 2,15 + (2 x 3) ml =0,75 + 6 = 16,75 ml dibuat 25 ml 50 mg ad 1 ml

Vitamin B1 = 50 mg x 15 = 750 mg = 0,75 gram Aqua pro injeksi ad 25 ml Prosedur kerja 1. Vitamin B1 ditimbang, dimasukkan ke dalam beaker glass. Kaca arloji kemudian di bilas 2x dengan air steril. 2. Tuangkan sejumlah tertentu air steril untuk melarutkan vitamin B1. 3. Tuangkan sejumlah tertentu air steril untuk membasahi kertas saring lipat yang akan digunakan. 4. Larutan vitamin B1 dituangkan ke dalam gelas ukur, catat volume larutan. Ad kan dengan air bilasan sampai tepat 15 ml. 5. Pindahkan corong ke Erlenmeyer lain yang bersih dan kering. 6. Saring larutan dalam gelas ukur melalui corong ke dalam Erlenmeyer yang telah di siapkan

7. Sisa 10 ml digunakan untuk membilas gelas piala berulang kali, ditampung dalam gelas ukur ukur kemudian disaring ke dalam Erlenmeyer yang berisi filtrate larutan 9 ml. 8. Isikan larutan kedalam wadah ampul dengan menggunakan spuit 9. Tutup ampul dengan api 10. Sterilkan dengan cara sterilisasi A Pemanasan dengan autoklaf dengan uap iar jenuh pada suhu 115-116 menit. selama 30

E. Evaluasi Jenis evaluasi pH Kejernihan 34 Jernih Hasil Evaluasi

Volume yang diisikan dalam ampul Ampul 1 = 2,15 ml Ampul 2 = 2,15 ml Ampul 3 = 2,15 ml Volume terpendahkan Ampul 1 = 2 ml Ampul 2 = 2,1 ml Ampul 3 = 2 ml

F. Pembahasan Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspense atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan yangyang disuntikkan dengan cara merobek jaringan kedalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100ml atau kurang. Dalam praktikum kali ini, sediaan injeksi dikemas dalam wadah ampul 2ml.

Pada praktikum kali ini, kami melakukan praktikum pembuatan sediaan steril berupa sediaan injeksi volume kecil dengan bahan aktif yaitu vitamin B1. Berdasarkan kelarutannya vitamin B1 ini mudah larut dalam air dan rute pemberian sediaan yang dibuat adalah intravena, maka dari itu pelarut yang digunakan adalah air. Air yang digunakan untuk sediaan injeksi tersebut merupakan aqua for injection (API) yang dibuat sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Farmakope Indonesia. Dalam formula sediaan tersebut hanya terdiri dari zat aktif dan API sebagaimana alas an telah dijelaskan sebelumnya dalam formulasi. Vitamin B1 ini tidak stabil terhadap panas, dimana berdasarkan literature yang ada cara sterilisasi untuk sediaan injeksi vitamin B1 tersebut adalah dengan cara sterilisai A atau C. Berdasarkan hal tersebut, kami membuatnya dengan cara sterilisasi akhir yaitu sterilisasi A dengan menggunakan autoklaf dengan suhu 115-116C selama 30 menit. Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan obat injeksi merupakan sediaan yang perlu. Dalam praktikum kali ini evaluasi sediaan injeksi volume kecil tersebut adalah pH, uji kejernihan, uji volume terpindahkan, dan uji kebocoran. Dimana pengujian pH terhadap sediaan dilakukan pada sesaat sebelum volume yang diinginkan tercapai. Berdasarkan literature pH sediaan injeksi zat aktif vitamin B1 adalah 2,8-3,5. Berdasarkan pengukuran pH dengan menggunakan kertas pH meter pada volume sediaan 15ml yang didapat yaitu pH 34 dimana pH tersebut masuk kedalam range pH seharusnya, yaitu 2,8-3,5 sehingga sediaan tersebut tidak perlu ditambahkan penadjust pH. Setelah itu dilakukan intermediate ad dengan menggunakan aqua for injection 10ml untuk membilas beaker glass dan gelas ukur tersebut kemudian disaring kedalam wadah yang sudah terdapat sediaan 15ml sebelumnya. Setelah itu larutan dilakukan uji kejernihan berdasarkan penglihatan dengan menggunakan mata. Dimana didapatkan larutan sediaan tersebut masih kurang jernih yaitu masih terdapat partikel melayang sehingga sediaan

tersebut dilakukan penyaringan kembali. Dalam hal ini seharusnya penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring yang baru yang telah dibasahi dengan aquadest for injection. Namun, dalam praktikum tersebut kami melakukan penyaringan kembali tersebut dengan menggunakan kertas saring yang telah digunakan sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan kurangnya persiapan alat untuk digunakan. Setelah disaring kembali ternyata sediaan larutan injeksi tersebut sudah jernih apabila dilihat dengan mata. Setelah itu sediaan larutan tersebut dapat langsung dipindahkan dari dalam elenmeyer ke dalam ampul dengan menggunakan jarum spuit, dengan melebihkan sedikit volumenya sesuai dalam yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dari yang tertera pada etiket yaitu 2 ml sehingga menjadi 2,15ml/per ampul. Vitamin B1 mudah teroksidasi oleh cahaya maka digunakan wadah berupa ampul yang gelap. Tetapi Ampul yang tersedia di laboratorium steril hanya ampul bening, sehingga digunakan ampul bening (di dispensasi). Sebelum penutupan ampul, seharusnya dialirkan gas inert seperti karbondioksida atau nitrogen ke atas permukaan.ini dimaksudkan agar tidak terjadi pengerakan pada mulut ampul. Tetapi ini tidak dilakukan karena ketidak tersedianya bahan. Penutupan ampul pada sediaan ini tidak dilakukan karena oksigen yang ada di laboratorium habis. Oleh karena itu, diberikan dispensasi pada dua perlakuan ini. Karena tidak dilakukan penutupan ampul maka dari itu, kami tidak dapat melakukan evaluasi uji kebocoran ampul. Selain itu, sediaan tersebut tidak dilakukan sterilisasi akhir karena ampul tidak ditutup. Uji volume terpindahkan dilakukan dengan menggunakan spluit (jarum suntik). Berdasarkan evaluasi volume terpindahkan dari masing-masing ampul adalah ampul 1 = 2 ml, ampul 2 = 2,1 ml, dan ampul 3 = 2 ml. Dalam hal ini volume terpindahkan sediaan tersebut telah sesuai dimana volume yang dibutuhkan berdasarkan volume yang tertera dalam etiket yaitu 2ml dan volume yang berlebih yang diperbolehkan dalam Farmakope Indonesia tersebut tertinggal dalam ampul. Sehingga walaupun volume yang diisikan adalah sebanyak 2,15ml namun volume yang terambil dapat sesuai dengan yang tertera dalam etiket yaitu 2 ml. Maka dalam hal ini, pasien dapat menerima dosis yang tepat.

IV.1 FORMULASI SEDIAAN VITAMIN B6 Berdasarkan Fornas hal 262 Komposisi: Tiap ml mengandung Pyridoxini Hydrochloridum Aqua pro injectio ad hingga 50 mg 1 ml

Persyaratan sediaan parenteral (Termasuk injeksi) : 1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya. 2. Penggunaan wadah yang cocok , sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahn obat dengan material dinding wadah. 3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi. 4. Bebas kuman. 5. Bebas Pirogen. 6. Isotonis. 7. Isohidris. 8. Bebas partikel melayang. Tonisitas (metode turunnya titik beku): W = 0,52 a b = 0,52 (0,213x5)

0,58 = - 0,9397 Keterangan: W a = jumlah (gram) bahan pembantu isotonic dalam 100 ml larutan = turunnya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung dengan memperbanyak nilai untuk larutan 1% b/v b = turunnya titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan pembantu isotoni

(teori sediaan dan teori analisis bab injeksi h.19)

Isohidri : pH sediaan diusahakan mendekati pH darah yaitu 7,4 ; akan tetapi karena larutan vitamin B6 stabil pada pH lebih kurang 3 dan dalam bentuk sediaan injeksi stabil pada pH 2,0 3,8 maka dipakai pH stabilitas zat aktif yaitu sekitar 2,0 3,8. Alasan alasan : Zat aktif larut dalam air sehingga dapat dipakai sebagai Sediaan Parentral Volume kecil karena akan dibuat sediaan injeksi dan larutan bersifat larutan sejati. IM Karena pemberian secara IM merupakan pemberiaan yang tepat untuk sediaan kerja diperlambat yang dibuat dengan pembawa air. Dan pemberian secara IM digunakan untuk larutan < 3ml. Autoklaf filtrasi Autoklaf Larutan disterilkan dengan cara otoklaf (115-116C selama 30 menit). Tidak harus cara sterilisasi dengan filtrasi karena tidak ada data ketidakstabilan pada suhu 115-116C. Tetap memakai formula pada fornas dan tidak menambah zat tambahan lain seperti: Zat pengawet: karena sediaan ditujukan untuk single doses maka tidak diperlukan pengawet, pengawet juga tidak diperlukan karena sediaan dilakukan sterilisasi akhir. Pengatur tonisitas; biasanya ditambahkan zat pengisotoni yaitu dengan tujuan mencegah ketidakseimbangan elektrolit, mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi, hemolisa sel darah, dan mengurangi sakit pada daerah injeksi. Akan tetapi, sediaan

injeksi yang kami buat setelah dihitung tonisitasnya didapatkan hasil sedikit hipertonis. Hal ini masih ditoleransi dalam sediaan injeksi. Antioksidan: digunakan untuk melindungi zat yang peka terhadap oksidasi, tetapi vitamin B6 tidak terlalu peka terhadap oksidasi sehingga tidak diperlukan antioksidan hanya pada penyimpanannya diletakkan pada wadah berwarna gelap. Pengatur pH (dapar): tujuan digunakannya yaitu untuk meningkatkan stabilitas obat; mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaannya; menghambat

pertumbuhan mikroorganisme. Untuk sediaan parenteral volume kecil, dapar dapat dibuat bila pH stabilitas sediaan berada dalam rentang; iv (pH 3-10,5), rute lain (pH 4-9). Pada formulasi ini bisa ditambahkan dapar seperti asam sitrat/garam dengan pH 2,5-6 tujuannya mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaannya karena pH 0,52 Perhitungan Tonisitas dari Formulasi Tf Piridoksin HCl 1% menurut Farmakope Indonesia III= 0,213 Maka tonisitasnya adalah:

Sediaan parenteral volume kecil, yang hipotonis tidak boleh digunakan. Karena dapat menyebabkan hemolisa. Sehingga kedalam larutan yang hipotonis ditambahkan zat peng-isotonis seperti NaCl. Sedangkan sediaan yang sedikit hipertonis boleh digunakan. Hanya diberikan perhatian bahwa penginjeksian sediaan harus dilakukan perlahan-lahan. Kesimpulan: pada formula ini, sediaan memiliki tonisitas yang hipertonis dan masih dalam kisaran yang diizinkan. Sehingga pada formulasi tidak dilakukan perubahan kekuatan sediaan, maupun penambahan zat pengisotonis. pH

Penambahan larutan dapar dalam larutan hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 3,5 7,5. Untuk pH >1 atau 1 atau 9 dapat menyebabkan nekrosis pada jaringan tetapi kami menggunakan pH stabilitas zat aktif agar dapat memberikan efek farmakologi yang optimal dan mencegah terjadinya penguraian zat. Setelah didapatkan pH yang sesuai, maka larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dipasang pada corong dan ditampung pada erlenmeyer yang lain. Jika dihitung tonisitas sediaan kami menggunakan metode Liso dan metode turunnya titik beku dan didapatkan sediaan kami bersifat hipotonis. Sehingga diperlukan NaCl sebagai zat pengisotoni karena bila larutan parenteral memiliki tekanan osmosa lebih rendah dari tekanan osmosa plasma darah (hipotonis) sel darah akan mengembang dan akhirnya pecah karena masuknya air ke dalam sel (hemolisa); karena sediaan parenteral intramuskular harus dibuat seisotonis mungkin dan larutan

hipotonis tidak boleh digunakan. Sediaan yang sudah jadi di dalam erlenmeyer kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam 2 buah vial menggunakan spuit 6 ml yang masingmasing vial mempunyai volume 5,3 ml dan ditutup dengan tutup karet vial. Pada praktikum sebenarnya sediaan yang dibuat memang untuk 5 ml dan 0,3 ml merupakan volume berlebih yang direkomendasikan dari farmakope, karena pada saat pengambilan larutan dari vial biasanya masih ada cairan yang tersisa, sehingga dengan adanya volume berlebih ini diharapkan pada saat pengambilan larutan tetap 5 ml. Kemudian dilakukan evaluasi kejernihannya secara visual, dan didapatkan cairan injeksi berwarna jernih dan ada sedikit partikel yang melayang karena kurang bersihnya vial dan sisa-sisa tissue yang melayang. Sediaan injeksi furosemid yang kami gunakan disterilisasi dengan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf dan tidak harus dengan cara filtrasi karena tidak ada data ketidakstabilan pada suhu 121C selama 15 menit. Seharusnya sebelum proses pencampuran, seluruh alat dan bahan harus disterilkan terlebih dahulu sesuai dengan cara sterilisasi masing-masing alat, namun karena keterbatasan waktu maka sterilisasi awal untuk alat dan bahan didispensasi.

VIII.

FORMULA PUSTAKA Fornas (134) Furosemid Injection Komposisi: tiap ml mengandung: Furosemidum 10 mg Aqua Pro Injection hingga 11 ml Penyimpanan: dalam wadah dosis tunggal, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk. Dosis: Im, iv 2ml sampai 4ml setelah tidak kurang dari 2 jam jika perlu dosis dinaikan degan 2ml Catatan: 1. Ditambahkan natrium hidroksida secukupnya hingga PH 8,9 sampai 9,3 2. disterilkan dengan cara sterilisasi A dan C FORMULASI Perhitungan tonisitas Karena penurunan titik beku Furosemid tidak ditemukan dalam FI, maka perhitungan nilai penurunan titik beku dicari dengan menggunakan persamaan

IX.

Keterangan: Tf : Penurunan titik beku Liso : Harga tetapan, non elektrolit = 1,86; elektrolit lemah = 2; uni-univalen = 3,4 Berat : dalam gram zat terlarut BM : Berat Molekul V : volume larutan dalam mL

Maka nilai penurunan titik beku dari sediaan Furosemid yang merupakan elektrolit lemah (karena mempunyai pKa) sebanyak 0,05 gram dalam volume 5 mL, adalah:

Maka tonisitasnya adalah:

Sehingga NaCl yang perlu ditambahkan adalah:

B = 0,7931 gram NaCl dalam 100 mL (0,1586 gram 159 mg untuk 20 mL sediaan akhir) Kesimpulan: pada formula ini, sediaan memiliki tonisitas yang hipotonis. Sehingga pada formulasi diperlukan penambahan zat pengisotonis yaitu 159 mg NaCl untuk 20 mL sediaan akhir. pH Menurut literatur, sediaan injeksi sebisa mungkin dibuat sesuai dengan pH darah yaitu 7,4 (isohidri). Namun yang paling utama adalah pH sediaan yang dibuat disesuaikan dengan pH stabilitas bahan aktif. Rute pemberian Furosemid adalah melalui intra muskular (IM) atau intra vena (IV). Sehingga tidak ada ketentuan sediaan yang diberikan harus isohidri jika diberikan melalui rute IM maupun IV. pH sediaan injeksi Furosemid menurut FI IV, USP 32 dan AHFS adalah 8,0 9,3. Dan dapat digunakan HCl encer untuk perubahan ke arah pH stabilitas zat aktif. Kesimpulan: pH sediaan yang kami buat tidak diubah menyesuaikan terhadap pH stabilitas bahan aktif. Namun, harus mencantumkan cara pemberian diberikan perlahan-lahan pada etiket. Untuk menghindari kerusakan jaringan dan untuk menjaga keefektivitasan obat. Dapat dilakukan perubahan pH, namun tidak dilakukan pendaparan Antioksidan

Sediaan ini menggunakan pembawa air dan zat yang terkandung didalamnya tahan terhadap oksidasi, serta tidak terkandung minyak ataupun bahan lain yang mudah teroksidasi. Kesimpulan: Sehingga tidak diperlukan zat antioksidan. Pengawet Pengawet atau anti mikroba harus diberikaan pada sediaan injeksi bila injeksi yang dikemas dalam wadah dosis ganda dengan metode sterilisasi apapun , dan pada sediaan yang tidak dilakukan sterilisasi akhir. Kecuali dinyatakan lain dalam masingmasing monografi, atau kecuali bahan aktifnya sendiri sudah berupa bahan anti mikroba. Kesimpulan: tidak ditambahkan pengawet atau anti mikroba pada formulasi karena sediaan yang dibuat merupakan dosis tunggal dan dilakukan sterilisasi akhir, yaitu sterilisasi A atau C Volume dan pengemasan Dalam wadah vial dengan volume 5 mL

X.

FORMULA AKHIR Furosemidum 50,75 mg NaOH 50,55 mL NaCl 39,75 mg Aqua Pro Injection hingga 5,0 mL PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN Volume tiap vial 5,3 mL Kelebihan volume yang dianjurkan 0,3 mL + Volume sediaan yang diisikan (v ) 5,3 mL Volume sediaan yang akan dibuat: V = [nv + (2x3)+ mL V = [(2 x 5,3) + 6] mL V = 16,6 mL 20 mL Keterangan: V: Volume sediaan yang akan dibuat n: jumlah vial v : Volume sediaan yang diisikan (2 x 3) mL : volume untuk membilas spuit

XI.

Sehingga: Furosemid yang ditimbang sebanyak: 10 mg x 20 = 200 mg = 0,2 gram NaOH yang dibutuhkan untuk melarutkan furosemide adalah 0,2 x 10 = 2 mL. NaCl yang ditambahkan sebagai zat pengisotonis adalah 159 mg untuk 20 mL sediaan akhir API ad 20 mL XII. ALAT DAN BAHAN No Nama alat 1 Spatel logam 2 Pinset logam 3 Batang pengaduk gelas 4 Kaca arloji 5 Gelas ukur 20 mL 6 Pipet tetes 7 Karet pipet 8 Corong gelas & kertas saring lipat 9 Sumbat kapas 10 Jarum suntik (spuit) 11 Beakerglass 12 Erlenmeyer

Jml 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 2 3

Cara sterilisasi Oven 170oC Oven 170oC Oven 170oC Oven 170oC Autoklaf (115 116 oC) Autoklaf (115 116 oC) Rebus Autoklaf (115 116 oC) Autoklaf Autoklaf (115 116 oC) Oven 170oC Oven 170oC

Waktu 120 menit 120 menit 120 menit 120 menit 30 menit 30 menit 30 menit 30 menit 30 menit 30 menit 120 menit 120 menit

XIII.

STERILISASI STERILISASI A Menurut Farmakope Indonesia Edisi Ketiga Pemanasan dalam otoklaf. Sediaan yang akan disterilkan diisikan kedalam wadah yang cocok, kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 100ml, sterilisasi dilakukan dengan uap air jenuh pada suhu 115 sampai 116 selama 30 menit. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 100ml waktu sterilisasi diperpanjang, hingga seluruh isi wadah berada pada suhu 115 sampai 116 selama 30 menit. Menurut Farmakope Indonesia Edisi Keempat Sterilisasi Uap. Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh dibawah tekanan berlangsung disuatu bejana yang disebut otoklaf, dan mungkin merupakan proses sterilisasi yang paling banyak digunakan ( suatu siklus otoklaf yang ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15 menit pada suhu 121 kecuali dinyatakan lain). Prinsip dasar kerja alat adalah udara didalam bejana sterilisasi diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup

khusus. Untuk mengganti udara secara lebih efektif dari bejana sterilisasi dan dari dalam bahan yang disterilisasi, siklus sterilisasi dapat meliputi tahap evakuasi udara dan uap. Desain atau pemilihan suatu siklus untuk produk atau komponen terentu tergantung kepada beberapa factor, termasuk ketakstabilan panas bahan, pengetahuan tentang penetrasi panas dalam bahan, dan factor lain yang tercantum dalam program validasi, selain deskripsi tentang parameter siklus sterilisasi dengan menggunakan suhu 121 untuk waktu tertentu. Otoklaf modern umumnya bekerja dengan suatu system pengendali yang secara nyata lebih responsive dari pada katup reduksi uapa jenis lama yang selama ini digunakan. Agar jenis yang lama ini dapat mencapai ketepatan dan tingkat pengendalian siklus yang dibicarakan disini, mungkin perlu memperbahatui atau memodifikasi alat pengendali dan instrument alat tersebut. Modifikasi ini dapat dibenarkan hanya jika alat sterilisasi dan mantel uap masih utuh demi keamanan penggunaan selanjutnya dan jika endapan yang dapat mengganggu distribusi panas dapat dihilangkan. XIV. PROSEDUR 12. Furosemid digerus dan ditimbang sebanyak 0,2 gram menggunakan kaca arloji 13. NaCl ditimbang sebanyak 159 mg menggunakan kaca arloji 14. Furosemid yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker glass yang telah berisi NaOH (+ 2 mL) larutkan Furosemid dengan bantuan batang pengaduk Kaca arloji kemudian dibilas 2 kali dengan API. 15. NaCl yang ditimbang dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi API (+2 mL) larutkan dengan bantuan batang pengaduk kaca arloji dibilas 2 kali dengan API. 16. Tambahkan larutan NaCl ke dalam larutan Furosemide aduk ad homogen cek pH bila belum mencapai pH 8, tambahkan NaOH. Bila pH > 9 tambahkan HCl 1N sampai pH 8,0 9,3. 17. Larutan tersebut kemudian dituang ke dalam gelas ukur ditambahakan API sehingga volume tertentu di bawah volume akhir (+ 15 mL) cek pH atur sampai pH 8,0 9,3. 18. Tuangkan jumlah tertentu API untuk membasahi kertas saring lipat yang telah diletakkan ke dalam corong yang akan digunakan corong + kertas saring tersebut dipindahkan ke erlenmeyer lain yang bersih dan kering 19. Saring larutan dalam gelas ukur melalui corong kedalam Erlenmeyer yang telah disiapkan. 20. Kekurangan API digunakan untuk membilas beaker glass berulang kali ditampung dalam gelas ukur air bilasan tersebut kemudian disaring lagi ke dalam

erlenmeyer yang telah berisi filtrat larutan hingga volume total seluruh larutan genap 20 ml. 21. Isikan larutan kedalam wadah vial dengan menggunakan spuit. Masing-masing ampul berisi 5,3 mL larutan Furosemid. 22. Aliri uap air (jika perlu/dispensasi) 23. Aliri gas nitrogen (jika perlu) 24. Ampul ditutup dengan api dan disterilkan menggunakan autoklaf secara terbalik dalam beaker glass yang telah diisi kapas (121oC selama 15 menit) 25. Setelah sterilisasi akhir, dilakukan evaluasi sediaan

XV.

EVALUASI pH o volume 15 mL pH = 11 o volume 20 mL pH = 8 Kejernihan = Jernih, ada sedikit partikel melayang. Volume terpindahkan = mL Kebocoran = tidak dilakukan LAMPIRAN FOTO Uji Keasaman Kebasaan pH sediaan awal = 11 pH sediaan akhir = 8

XVI.

Uji Kejernihan

Uji volume terpindahkan

EtiketFurosemide K5 mL I.M or I.V.inj. Each vial contains: Furosemide 50 mg Reg.No ALV8920415 PRESCRIPTION ONLY Stored at 15-30C in airtight container. and protected from light and freezing Produced by: Virdou Jakarta-IndonesiaBatch No: 310301 EXP: 15 APR 12

XVII.

LAMPIRAN LAPORAN SEMENTARA

XVIII.

PEMBAHASAN Dalam praktikum ini, dilakukan pembuatan sediaan parenteral volume kecil dengan pembawa air. Dalam farmakope, yang dimaksud dengan injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 mL atau kurang. Air sebagai zat pembawa injeksi memenuhi syarat Uji Pirogen , Uji Endotoksin Bakteri seperti yang tertera dalam monografi. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, pada umumnya digunakan Air untuk Injeksi sebagai zat pembawa. Aqua Steril Pro Injectione (aqua steril untuk injeksi) adalah air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya. Berbentuk cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Zat aktif yang digunakan pada praktikum kali ini adalah Furosemid. Menurut American Hospital Formulary Service edisi 2004, Furosemide adalah sulfonamide tipe, diuretik loop. Obat tersebut berbentuk putih sampai agak kuning, tidak berbau, bubuk kristal dengan pKa 3,9. Furosemide praktis tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan bebas larut dalam alkali hidroksida. Furosemide injeksi harus disimpan pada suhu 15-30 C dan terlindungi dari cahaya, suntikan memiliki warna kuning tidak boleh digunakan. Furosemide injeksi biasanya dapat dicampur dengan solusi darah dengan pH basa dan netral memiliki pH 7-10, seperti injeksi natrium klorida 0,9% atau Ringer injeksi, dan dengan beberapa lasrutan asam lemah memiliki kapasitas buffer yang rendah. Injeksi tidak boleh dicampur dengan larutan asam kuat (ie, pH kurang dari 5.5), seperti yang mengandung asam askorbat, tetrasiklin, epinefrin, atau norepinephrine, karena mungkin furosemide akan mengendap. Obat lain yang tidak boleh dicampur dengan furosemid injeksi termasuk beberapa garam sebagian besar basa organik termasuk anestesi lokal, alkaloid, antihistamin, hipnotik, meperidin, dan morfin. Injeksi Furosemide di mana obat ini hadir sebagai garam natrium dapat diberikan secara IM atau injeksi IV ketika onset yang cepat diuresis diinginkan atau pasien tidak dapat minum obat oral. Suntikan furosemide IV harus diberikan secara perlahan selama 1-2 menit. Ketika dosis besar furosemide parenteral diperlukan, botol vial sebaiknya digunakan. Dalam pengobatan hipertensi, furosemide diberikan dalam dosis oral 40 sampai 80 mg sehari, baik sendiri, atau dengan antihipertensi lainnya. Formula pustaka yang digunakan sebagai acuan adalah formula Injeksi Furosemid Injection dari Formularium Nasional. Dalam formula tersebut ditambahakannya bahan pembantu peningkat kelarutan yaitu NaOH. Karena furosemid praktis tidak larut dalam air namun bebas larut dalam alkali hidroksida, maka pada saat pembuatan furosemid dilarutkan dengan NaOH. Sehingga terbentuk garam furosemid yang larut dalam air.

Saat formulasi, perhitungan nilai tonisitas, diperoleh bahwa sediaan yang dihasilkan bersifat hipotonis. Dalam persyaratan sediaan injeksi volume kecil, tonisitas sediaan yang dihasilkan sedapat mungkin isotonis, boleh sedikit hipertonis namun tidak boleh hipertonis. Sehingga dalam formulasi, dilakukan penambahan zat pengisotonis yaitu NaCl. Isotonis adalah suatu keadaan tonisitas (tekanan osmosis) larutan obat yang sama dengan tonisistas cairan tubuh kita (misalnya darah dan air mata). Perhitungan nilai isotonis dilakukan dengan pertama-tama mencari nilai penurunan titik beku melalui metode Liso. Perhitungan tersebut dilakukan karena tidak terdapatnya nilai penurunan titik beku di daftar farmakope. Nilai penurunan titik beku tersebut adalah 0,06o. Nilai tersebut kemudiakan dimasukkan ke dalam rumus penurunan titik beku menurut metode farmakope, sehingga diperolehlah hasil bahwa formula sediaan mempunya tonisitas yang hipotonis, sehingga perlu ditambahakan zat pengisotonis yaitu NaCl. Suatu larutan dinyatakan isotonis jika membeku pada suhu -0,52oC. NaCl yang ditambahkan dalam formulasi adalah 159 mg untuk 20 mL sediaan akhir, atau setara dengan 39,75 mg per vial sehingga sediaan yang dihasilkan isotonis. Penambahan zat pengawet atau anti mikroba juga tidak dilakukan dalam formulasi. Pengawet atau anti mikroba harus diberikaan pada sediaan injeksi bila injeksi dikemas dalam wadah dosis ganda dengan metode sterilisasi apapun , dan pada sediaan yang tidak dilakukan sterilisasi akhir. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, atau kecuali bahan aktifnya sendiri sudah berupa bahan anti mikroba. Sedangkan sediaan yang dibuat merupakan sediaan dengan dosis tunggal dan dilakukan sterilisasi akhir, yaitu sterilisasi A. Sehingga tidak memenuhi kriteria sediaan yang harus ditambahkan pengawet. Oleh karena sediaan injeksi langsung terdistribusi dalam tubuh, maka sebaiknya penambahan zat tambahan dilakukan seminimal mungkin. Bila tidak perlu sebaiknya tidak perlu dipakai. Dengan pertimbangan seperti penjelasan diatas, maka formula akhirnya sama dengan formula pustaka tanpa perubahan formulasi maupun penambahan zat apapun. Menurut Formularium Nasional, sediaan injeksi Pyridoxin disterilisasi akhir dengan menggunakan Sterilisasi A atau C. Menurut literatur, sterilisasi A adalah sterilisasi dengan menggunakan Autoklaf (panas basah). Sedangkan sterilisasi C adalah sterilisasi dengan proses Filtrasi (penyaringan). Sehingga dalam praktikum ini digunakan strilisasi A, dengan alasan kepraktisan dalam pengerjaan, dan juga karena tidak tersedianya alat unit penyaringan membran. Sterilisasi dilakukan dengan mensterilkan alat-alat yang digunakan. Alat yang tahan panas dan bukan merupakan alat yang volumetrik disterilkan dengan menggunakan oven (panas kering) pada suhu 170oC selama 60 menit. Alat yang tahan panas, tahan lembab dan bersifat volumetrik disterilisasikan dengan menggunakan autoklaf (panas basah) 115 116oC. Sedangkan alat karet disterilkan dengan proses perebusan selama 30 menit.

Pembuatan Aqua Pro Injeksi Bebas Oksigen dan Kerbondioksida, dilakukan dengan pemanasan aquabidest dalam wadah erlenmeyer yang disumbat kapas pada suhu 100oC, setelah mendidih kemudian tunggu selama 30 menit untuk mendapatkan air bebas CO2. Tunggu 10 menit lagi untuk mendapatkan API bebas O2. Pada saat proses pengerjaan dilakukan In Process Control yaitu uji kejernihan larutan dan pH larutan. Kejernihan larutan injeksi Furosemid yang dihasilkan adalah jernih, bebas partikel yang tidak terlarutkan namun ada sedikit partikel melayang. Partikel melayang yang terdapat pada sediaan, diduga berasal dari tutup vial yang tidak direbus (disterilisasi) sebelum pengerjaan sediaan. Uji pH dilakukan 2 kali, yaitu pada volume di bawah volume akhir dan ketika suhu akhir. Tujuan dilakukannya pengukuran pada volume akhir adalah jika pH yang dihasilkan tidak sesuai dengan ketentuan maka dapat ditambahkan zat peng-adjust pH seperti HCl encer atau NaOH encer. Pada saat pengujian pertama (pada saat volume 10 mL) dihasilkan larutan dengan pH 13. Sedangkan pH larutan yang diharapkan adalah 8 9,3. Sehingga dalam praktikum ditambahkan HCl 1 N kurang lebih 60 tetes, sampai dicapainya pH akhir yaitu 8. Sehingga pH larutan akhir adalah pH 8. Evaluasi akhir yang dilakukan adalah uji volume terpindahkan. Penetapan volume injeksi yang dimasukkan dalam wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat atau sesuai dengan yang tertera pada penandaan. Tiap wadah Injeksi diisi dengan sejumlah volume sedikit berlebih dari volume yang tertera pada etiket atau volume yang akan diambil. Kelebihan volume yang dianjurkan dalam tabel yang tertera pada Penetapan Volume Injeksi dalam Wadah , umumnya cukup untuk memenuhi volume pengambilan dan pemakain seperti yang tertera pada etiket. Volume tertera dalam penandaan 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml 5,0 ml 10,0 ml 20,0 ml 30,0 ml 50,0 ml atau lebih Kelebihan volume yang dianjurkan Untuk cairan encer Untuk cairan kental 0,10 ml 0,12 ml 0,10 ml 0,15 ml 0,15 ml 0,25 ml 0,30 ml 0,50 ml 0,50 ml 0,70 ml 0,60 ml 0,90 ml 0,80 ml 1,20 ml 2% 3%

Volume sediaan yang dibuat adalah 5 mL dengan penambahan volume 0,3 mL. Uji volume terpindahkan dilakukan dengan cara mengambil sediaan dari dalam ampul menggunakan spuit. Dalam pengujian volume dari dalam wadah yang dapat terambil dari dalam spuit adalah mL. Tujuan dari penambahan volume dalam preparasi adalah

mencegah hilangnya volume sediaan karena tertinggal dalam wadah dan hilang saat penghilangan gelembung pada spuit saat pemberian. Menurut Farmakope Indonesia ed IV, Pada etiket tertera nama sediaan, untuk sediaan cair tertera presentase atau jumlah zat aktif dalam volume tertentu, untuk sediaan kering tertera jumlah zat aktif, cara pemberian, kondisi penyimpanan dan tanggal kadaluarsa; nama pabrik pembuat dan atau pengimpor serta nomor lot atau bets yang menunjukan identitas. Nomor lot dan atau bets dapat memberikan informasi tentang riwayat pembuatan lengkap meliputi seluruh proses pengolahan, sterilisasi, pengisian, pengemasan dan penandaan. Bila formula lengkap tidak tertera lengkap pada masing-masing monografi, Penandaan mencakup informasi berikut: untuk sediaan cair, presentasi isi atau jumlah tiap komponen dalam volume tertentu, kecuali bahan yang ditambahkan untuk penyesuaian pH atau untuk membuat larutan isotonic, dapat dinyatakan dengan nama dan efek bahan tersebut. Pemberian etiket pada wadah sedemikian rupa sehingga sebagian wadah tidak tertutup oleh etiket, untuk mempermudah pemeriksaan isi secara visual. Pada praktikum kali ini penandaan pada sediaan yang dibuat (etiket) mencantumkan merk sediaan, volume sediaan, kekuatan dosis, nomer registrasi, cara penyimpanan, nama dan logo produsen, nomer batch, expired date dan logo obat keras. I. Formula standar VITAMIN K dari Fornas atau Martindale tiap ml mengandung : menadionum 2mg 1ml

oleum pro injection hingga

II. pH

FORMULASI

Zat aktif yang digunakan dalam membuat sediaan ini yaitu menadion, dengan menggunakan pelarut minyak nabati. Sehingga dalam sediaan ini tidak di perlukan pengukuran pH. Karena dalam pengukuran pH yang terukur itu adalah ionnya, sedangkan pada minyak tidak mempunyai ion..

Kesimpulan : tidak dilakukan pengukuran pH. Tonisitas Sama halnya dengan pH, perhitungan tonisitas pun tidak lakukan. Karena minyak yang tidak mempunyai ion. Kesimpulan : tidak dilakukan penghitungan tonisitas. Pengawet Antimikroba/pengawet perlu ditambahkan untuk sediaan parenteral yang dipakai berulang kali (dosis terbagi/multidosis). Tetapi dalam pembuatan sediaan yang akan di lakukan menggunakan pelarut minyak, sedangkan mikroba tidak terdapat pada minyak, hanya terdapat pada air. Maka dalam formula tidak ditambahkan pengawet. Kesimpulan : tidak di perlukan pengawet

Antioksidan Dalam pembuatan sediaan yang akan di lakukan menggunakan pelarut minyak, maka penambahan antioksidan sangatlah penting, karena minyak mudah teroksidasi dan menjadi tengik. Kesimpulan : diperlukan antioksidan.

III. -

Usul Penyempurnaan Sediaan : Menggunakan ampul atau vial gelap, karena menadiol tidak stabil terhadap cahaya.

IV.

Formula Akhir :

R/ tiap ml mengandung : menadionum 2mg = 10mg

-

BHT corn oil pro injection hingga

0,03% 1m = 5ml

V.

Perhitungan Bahan Volume yang dibuat = n X V + (2x3)ml = 2 X 5,5 + 6 = 17 ml 25ml Penimbangan bahan : menadion = x 25ml = 50 mg = 0,05 gram BHT = 0,03% X 25 = 0,015 gram

VI.

STERILISASI

sterilisasi akhir D, atau sterilisasi panas kering. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30 ml, panaskan pada suhu 150oC selama 1 jam. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 ml, waktu 1 jam dihitung setelah seluruh isi tiap wadah mencapai suhu 150oC. VII. PROSEDUR KERJA m. Zat aktif (menadion) dan BHT ditimbang dengan kaca arloji, n. Kemudiaan semua bahan dan alat di masukkan ke white area melwati passbox o. Zat aktif dimasukkan ke dalam beakerglass, dan BHT juga pada beakerglas yang lain, kemudian dituangkan sejumlah tertentu oleum pro injeksi untuk melarutkan zat aktif (menadion) yang telah ditimbang. p. Kemudian kaca arloji di bilas dengan menggunakan oleum pro injeksi

q. Larutan zat dituangkan ke dalam gelas ukur, kemudian ad kan dengan air bilasan sampai tepat 10ml. r. Sisa 15 ml digunakan untuk membilas beakerglass berulang kali, ditampung didalam gelas ukur. s. Kemudian di ad kan sampai volume 25ml. t. Vial di kalibrasi, sampai batas 25ml. u. Diisikan sediaan ke dalam wadah vial dengan di tuang. v. Tutup vial

VIII.

EVALUASI 1. Penampilan : sediaan berwarna kuning 2. Uji kejernihan secara visual : tidak jernih ada yang partikel yang mengendap 3. Uji volume terpindahkan : Dilakukan dengan mengambil sediaan yang terdapat didalam vial dengan menggunakan spuit (jarum suntik). Volume yang terpindahkan = 5 ml 4. pH : -

IX.

PEMBAHASAN Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang harus

dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara menembuskan atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir. Bentuk obat yang dibuat sebagai obat suntik tergantung pada sifat obat sendiri dengan memperhitungkan sifat fisika dan kimia serta mempertimbangkan terapetik tertentu. Sediaan injeksi dibagi dalam klasifikasi sebagai berikut : 1. Larutan sejati dengan pembawa air 2. Larutan sejati dengan pembawa minyak 3. Larutan sejati dengan pembawa campuran (pelarut campur)

4. Injeksi suspensi steril dengan pembawa air 5. Injeksi suspensi steril dengan pembawa minyak 6. Injeksi emulsi steril 7. Injeksi serbuk kering dilarutkan dengan air. Pada praktikum kali ini yaitu membuat sediaan injeksi dengan zat aktif menadion. Karena menadion mempunyai sifat kelarutan praktis tidak larut dalam air, larut dalam minyak nabati, agak sukar larut dalam kloroform dan dalam etanol (farmakope Indonesia edisi IV). Oleh karenanya sediaan yang dibuat yaitu sediaan larutan sejati dengan pembawa minyak, yaitu minyak nabati. Minyak harus netral secara fsiologis dan dapat diterima tubuh dengan baik. Persyaratan untuk ini adalah tingkat kemurniaan yang tinggi dan menunjukkan bilangan asam dan bilangan peroksida yang rendah. Pemakaian secara intravena tidak dimungkinkan karena tidak tercampurkannya dengan serum darah dan dapat menyebabkan terjadi emboli paru-paru. Oleh karena itu, penggunaanya hanya ditujukkan untuk injeksi intramuscular dan subkutan. Larutan atau suspense minyak mempunyai waktu kerja lama, sering sampai 1 bulan penyerapan obat dan membebaskan bahan aktifnya secara lambat. Dalam formula yang direncakan minyak yang digunakan yaitu minyak jagung (corn oil), akan tetapi dalam prakteknya karena minyak tersebut tidak tersedia dilaboratorium maka minyak yang digunakan diganti menjadi minyak zaitun (oleum olivarum. Minyak zaitun sendiri mempunyai sifat yang tidak tahan pemanasan, padahal sterilisasi yang di lakukan yaitu sterilisasi akhir D, atau sterilisasi panas kering, sterilisasi panas kering yaitu Sediaan yang akan disterilkan dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditutup kedap atau penutupan ini dapat bersifat sementara untuk mencegah cemaran . Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30 ml, panaskan pada suhu 150oC selama 1 jam. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 ml, waktu 1 jam dihitung setelah seluruh isi tiap wadah mencapai suhu 150oC. Wadah yang tertutup sementara, kemudian ditutup kedap menurut teknik aseptic (farmakope Indonesia edisi III). Akan tetapi dalam prakteknya di dispensasi, sehingga sterilisasi yang dilakukan yaitu pada suhu 150oC selama 15 menit. Selain itu, pada saat sterilisasi dilakukan sediaan di tutup dengan menggunakan alumunium foil, karena sifat dari menadion yang berwarna kuning,

namun karena pengaruh cahaya warna menjadi cokelat muda (farmakope Indonesia edisi IIII). Namun didiseansasi kembali dilakukan, karena tidak tersedianya alumunium foil di laboratorium. Dalam sediaan Larutan sejati dengan pembawa minyak diperlukan antioksidan. Karena minyak mempunyai sifat mudah teroksidasi, sehingga menyebabkan minyak menjadi mudah tengik. Ditambah dengan sifat dari menadion yang berwarna kuning, namun karena pengaruh cahaya warna menjadi cokelat muda (farmakope Indonesia edisi IIII). Sehingga penambahan antioksidan menjadi penting. Antioksidan yang digunakan dalam pembuatan sediaan ini yaitu BHT (Butyl Hidroksi Toluena), yang digunakan untuk penundaan atau mencegah ketengikan oksidatif lemak-lemak dan meminyaki dan untuk mencegah hilangnya aktivitas minyak vitaminvitamin dapat larut. Konsentrasi BHT yang digunakan sebagai antioksidan untuk injeksi intramuscular yaitu 0,03%. (handbook of pharmaceutical exipient edisi 5). Evaluasi yang dilakukan diantaranya yaitu evaluasi kejernihan sediaan. Uji kejernihan dilakukan dengan visual, dapat dilihat bahwa sediaan yang dihasilkan adanya endapan menadion, sehingga menjadi kurang jernih. Hal tersebut disebabkan karena tidak dilakukannya penyaringan, karena tidak tersedianya kertas saring untuk menyaring sediaan injeksi larutan sejati dengan pembawa minyak. Selain itu, penyebab tidak melarut secara sempurna dari zat aktif yaitu kemungkinan pelarut minyak yang digunakan kurang cocok untuk melarutkan menadion. Sehingga menyebabkan zat aktif tidak melarut sempurna. Evaluasi yang dilakukan selanjutnya yaitu evaluasi volume terpindahkan. Evaluasi ini dilakukan dengan mengambil sediaan dengan menggunakan spuit. Volume yang terambil dalam spuit yaitu adalah 5ml, sedangkan yang dimasukkan ke dalam vial adalah 5,5ml. pada saat melakukan uji volume terpindahkan, sediaan sangat susah di ambil dengan menggunakan spuit, sehingga ketika sediaan telah terambil sebanyak 5ml, pengambilan sediaan tidak dilanjutkan, padahal sediaan masih tersisa didalam vial. Dalam sediaan injeksi larutan sejati dengan pembawa minyak tidak dibutuhkan pengawet. Karena mikroba tidak tumpuh pada minyak, hanya terdapat pada air. Oleh

karenanya sediaan ini tidak membutuhkan pengawet. Selain tidak membutuhkan pengawet, sediaan injeksi larutan sejati dengan pembawa minyak tidak perlu dihitung tonisitasnya serta pH-nya karena dalam pengukuran pH yang terukur itu ionnya, sedangkan dalam minyak tidak mempunyai ion, sehingga tidak membutuhkan pengecekan pH.

IX.

FORMULA PUSTAKA VITAMIN K Formula Standar dari Fornas atau Martindale R/ menadionum oleum pro injection ad Penyimpanan Dosis Catatan 2mg 1ml

: Dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda

: Diberikan secara Intra Muskular sehari 1 ml : 1. Disterilkan dengan Cara Sterilisasi D 2. Sediaan berkekuatan lain : 5 mg

X.

FORMULASI 10.1 Perhitungan volume yang dibuat : = (n).v + (2x3 ml) = (2) 5,5 + 6 = 17 ml 25 ml 10.2 Penimbangan bahan: menadion oleum pro injection ad = 2 mg = 25 ml

Jadi menadion yang ditimbang: 2 mg x 25 ml = 50 mg= 0,05 gram BHT = 0,03% x 25 ml x 1,117 = 0,0083 gram Antioksidan

Antioksidan digunakan untuk melindungi zat yang peka terhadap oksidasi. Dalam sediaan kali ini dibutuhkan penambahan antioksidan karena sediaan

merupakan sediaan dengan pembawa minyak dimana minyak akan mudah mengalami ketengikan (teroksidasi).

10.3

Pengawet

Penambahan pengawet dapat dilakukan pada sediaan multidosis (kecuali yang dilarang oleh monografi, atau zat aktif bersifat bakteriostatik) dan untuk sediaan unit dosis jika tidak dilakukan sterilisasi akhir (pembuatan aseptic atau dengan filtrasi membran). Karena pembuatan sediaan injeksi kali ini menggunakan pelarut bukan air, yakni pelarut minyak dan minyak tidak membutuhkan penambahan pengawet karena bakteri akan lebih mudah hidup dalam pelarut air.

XI.

FORMULA AKHIR R/ menadion BHT oleum olivae ad 2 mg 0,03% 1 ml

da in vial 5 ml no II

XII.

PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN

XIII.

ALAT DAN BAHAN Nama Alat Kaca arloji Spatula logam Pinset logam Batang pengaduk gelas Erlenmeyer Beaker glass Gelas ukur corong gelas Jumlah 1 1 1 1 2 1 1 1 Cara Sterilisasi Oven 170 oC, selama 30 menit Oven 170 oC, selama 30 menit Oven 170 oC, selama 30 menit Oven 170 oC, selama 30 menit Oven 170 oC , selama 30 menit Oven 170 oC (30) Autoklaf 115-116 oC (30) Autoklaf (30)

Pipet tetes tanpa karet Karet pipet Vial Spuit

2 2 2 1

Autoklaf (30) Rebus (30) Autoklaf 115-116o C, 30 menit Autoklaf 115-116o C, 30 menit

XIV.

STERILISASI Sterilisasi D menurut Farmakope Indonesia Edisi Ketiga : 18 Pemanasan Kering. Sediaan yang akan disterilkan dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditutup kedap atau penutupan ini dapat bersifat sementara untuk mencegah cemaran . Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30 ml, panaskan pada suhu 150oC selama 1 jam. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 ml, waktu 1 jam dihitung setelah seluruh isi tiap wadah mencapai suhu 150oC. Wadah yang tertutup sementara, kemudian ditutup kedap menurut teknik aseptik. Teknik Aseptik Proses Aseptik adalah cara pengurusan bahan steril menggunakan teknik yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya cemaran kuman hingga seminum mungkin. Teknik aseptik dimaksudkan untuk digunakan dalam pembuatan injeksi yang tidak dapat dilakukan sterilisasi akhir, karena ketidakmantapan zatnya. Teknik ini tidak mudah diselenggarakan dan tidaka ada kepastian bahwa hasil akhir sesungguhnya steril. Sterilitas hasil akhir hanya dapat disimpulkan, jika hasil itu telah memenuhi syarat Uji sterilitas yang tertera pada uji keamanan hayati. Teknik aseptik menjadi cara yang peting sekali diperhatikan pada waktu melakukan sterilisasi menggunakan sterilisasi C dan D sewaktu memidahkan atau memasukkan bahan steril ke dalam wadah akhir steril. Dalam hal tertentu, untuk meyakinkan terjadinya cemaran atau tidak sewaktu memindahkan atau memasukkan cairan steril ke dalam wadah steril menggunakan cara ini, perlu diuji cara berikut : Ke dalam salah satu wadah masukkan medium biakkan bakteri sebagai ganti cairan steril. Tutup wadah dan eramkan pada suhu 32 oC

selama 7 hari. Jika terjadi pertumbuhan kuman, menunjukkan adanya cemaran yang terjadi pada waktu memasukkan atau memindahkan cairan ke dalam wadah akhir. Dalam pembuatan larutan steril menggunakan proses ini, obat steril dilarutkan atau didispersikan dalam zat pembawa steril, diwadahkan dalam wadah steril, akhirnya ditutup kedap untuk melindungi terhadap cemaran kuman. Semua alat yang digunakan harus steril. Ruangan yang digunakan untuk melakukan pekerjaan ini harus disterilkan terpisah dan tekanan udaranya diatur positif dengan memasukkan udara yang telah dialirkan melalui penyaring bakteri. Menurut Farmakope Indonesia IV Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di farmakope dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu proses dalam

suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan tersebut. Distribusi panas dapat berupa sirkulasi atau disalurkan langsung dari suatu nyala terbuka.

XV.

PROSEDUR a. Semua peralatan disterilkan sesuai persyaratan b. Menimbang zat aktif menggunakan kaca arloji. c. Semua peralatan dan bahan yang akan digunakan di lewatkan ke white area melalui pass box d. Menadion yang telah ditimbang kemudian dimasukkan kedalam beaker glass yang telah berisi oleum olivae 25 ml. Aduk hingga larut. e. Dilakukan pengadukan dengan stirer selama 5 menit untuk melarutkan vitamin K f. Mengisi larutan injeksi ke dalam vial yang telah dikalibrasi. g. Dilakukan penutupan ampul terlebih dahulu (dispensasi) h. sediaan disterilisasi dengan cara pemanasan kering (sterilisasi D), dimana sediaan yang akan disterilkan dimasukkan ke dalam wadah kemudian di tutup kedap, atau penutupan ini dapat bersifat sementara untuk mencegah pencemaran. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih

dari 30 ml, panaskan pada suhu 150 oC selama 1 jam. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 ml, waktu satu jam dihitung setelah isi tiap wadah mencapai suhu 150 oC. Wadah yang tertutup sementara kemudian ditutup kedap menurut teknik aseptik. Namun pada praktikum, dilakukan sterilisasi dengan menggunakan oven dengan suhu 150 menit i. j. dilakukan pemasangan etiket lalu dilakukan evaluasi0

C selama 5

XVI.

DATA PENGAMATAN DAN EVALUASI kejernihan : tidak jernih, masih ada serat yang melayang volume terpindahkan: terambil 5 ml dari 5,5 ml uji kebocoran : tidak dilakukan

XVII. PEMBAHASAN Injeksi merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspense atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan sediaan injeksi Menadion (vitamin K). Vitamin K merupakan bahan yang praktis tidak larut dalam air; larut dalam 60 bagian alcohol, dalam 50 bagian minyak nabati, sehingga dapat dibuat sediaan dengan pelarut non air yakni dengan pelarut minyak. Dalam pembuatan sediaan injeksi, formulasi yang kami gunakan terdiri dari zat aktif berupa vitamin K (Menadion) dan zat tambahan berupa Oleum Olivarum sebagasi pelarut atau pembawa dan BHT sebagai antioksidan. Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa Vitamin K (Menadion) tidak larut dalam air namun larut dalam minyak, sehingga kami membuat sediaan injeksi tersebut dengan menggunakan pelarut non air berupa minyak. Minyak yang kami gunakan adalah Oleum Olivarum. Selain sebagai pembawa, Oleum

Olivarum juga memenuhi persyaratan minyak untuk sediaan injeksi serta tidak OTT. Persyaratannya yaitu Oleum Pro Injeksi berupa minyak lemak nabati/ester asam lemak tinggi, alam/sintetik, harus jernih pada suhu 100 o C, tidak berbau asin atau tengik dan harus bebas minyak mineral. Minyak yang dapat digunakan untuk pembawa sediaan injeksi adalah yang berasal dari tumbuhan seperti minyak kacang, minyak biji kapas, minyak jagung, minyak wijen, dan minyak kenari. Kadang-kadang digunakan juga minyak jarak dan minyak zaitun; Bilangan asam tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari 0,9; Bilangan iodium tidak kurang dari 79 dan tidak lebih dari 128 dan Bilangan penyabunan tidak kurang dari 185 dan tidak lebih dari 200. Dan oleum Olivarum sudah memenuhi persyaratan untuk Oleum Pro Injeksi. Menurut literature fornas tiap ml injeksi vitamin K mengandung

menadionum 2mg dan oleum pro injection ad 1ml. Pada pembuatan dilakukan sterilisasi dengan cara sterilisasi D dan segera didinginkan. Sterilisasi D (dengan pemanasan kering)o

yakni

sterilisasi

dengan

menggunakan oven, pada praktikum dilakukan sterilisasi akhir dengan menggunakan oven pada suhu 150 C selama 10 menit (dispensasi).

Perbedaan formula kami dengan Fornas di dasarkan pada minyak yang mudah teroksidasi mengalami ketengikan. sehingga formula kami

menggunakan penambahan antioksidan yakni dengan menambahkan BHT. Pada pembuatan sediaan dilakukan tanpa intermediate add karena memikirkan akan pelarut minyak yg kental, sehingga jika di intermediate add akan mengalami volume terpindahkan. Dalam pembuatan dilakukan

pengadukan dengan menggunakan stirrer, karena saat diaduk dengan menggunakan batang pengaduk, vitamin K sulit melarut dalam minyak. Saat evaluasi kejernihan sebelum dilakukan sterilisasi akhir, didapat bahwa sediaan kami tidak jernih dan masih ada partikel (serat) yang melayang. Terjadinya sediaan yang tidak jernih karena serbuk vitamin K di laboratorium putih dengan sedikit serbuk agak kecoklatan. Adanya partikel yang melayang seharusnya tidak boleh terjadi dalam pembuatan sediaan steril karena injeksi dilakukan ke pembuluh darah dan akan bercampur

dengan darah sehingga dapat mengakibatkan penyumbatan pada peredaran darah. Adanya partikel yang melayang seharusya disaring kembali agar sediaan benar-benar jernih tanpa ada partikel yang tidak tercampur. Untuk uji volume terpindahkan, dilakukan dengan mengambil sediaan dari vial dengan spuit. Sediaan dibuat dalam vial sebanyak 5,5 ml, namun yang dapat diambil dengan spuit untuk uji evaluasi volume terpindahkan Sehingga masih ada tersisa di ampul sebanyak 0,5 ml. sebanyak 5 ml.

VIII.

FORMULA PUSTAKA Menurut Fornas : INJEKSI KORTISON / CORTISONI INJECTIO

Komposisi : Tiap ml mengandung : Cortisoni Acetas Polisorbatum 80 Carboxymethylcellulosum natricum Natrii Chloridum Benzylalcoholum Aqua Pro Injection hingga 25 mg 4 mg 5 mg 9 mg 9 mg 1 ml

Penyimpanan : Dalam wadah dosis tunggal, terlindung dari cahaya. Dosis Catatan : IM, sehari 2 ml sampai 16 ml, dalam dosis bagi. :

digunakan kortison asetat serbuk sangat halus pH 5,0 sampai 7,2 dibuat dengan cara tehknik aseptic pada etiket harus juga tertera : tidak untuk intravenus

IX.

FORMULASI Perhitungan Metode Liso

Benzil Alkohol

Polisorbat 80

Menurut buku Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi Terdapat 3 jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat, yaitu : Keadaan isotonis apabila nilai B = 0, b1.C = 0,52 Keadaan hipotonis apabila nilai B positif, b1.C < 0,52 Keadaan hipertonis apabila nilai B negativ, b1. C > 0,52

Perhitungan tonisitas menurut Farmakope Indonesia III B= 0,52 b1.C b2 B b1 b2 : Bobot dalam gram zat yang ditambahkan dalam 100 ml hasil akhir : Penurunan titik beku air yang disebabkan oleh 1% b/v zat khasiat : Penurunan titik beku air yang disebabkan oleh penambahan 1% b/v zat tambahan C : Kadar zat khasiat dalam % b/v

B = 0,52 (0,155 0,00568) 0,58

B = 0,52 0,149 0,58 B = 0,371 0,58 B = 0,640 gr/100ml B = 640 mg/100ml B = 6,40 mg/ml Sediaaan hipotonis dalam sediaan parenteral tidak boleh digunakan, karena akan menimbulkan hemolisa. Oleh karena itu, dalam sediaan hipotonis perlu ditambahkan zat pengisotonis seperti NaCl. Jika larutan sediaan yang dibuat sedikit hipertonis maka larutan sediaan tersebut masih diperbolehkan. Kesimpulan :. Dalam formula pustaka diketahui jumlah NaCl