fertil steril

32
Corpus Luteum pada manusia: siklus hidup dan fungsi dalam siklus alami Luigi Devoto,M.D.Ariel Fuentes, M.D., Paulina Kohen, B.S., Pablo Cespedes,M.D., Alberto Palomino,M.D.,Ricardo Pommer,M.D., Alex Munoz, B.S., and Jerome F. Strauss, III,M.D.,Ph.D. Tujuan: Untuk menunjukkan penemuan terbaru dalam memahami jalur endokrin antara hipotalamus, hipofise, dan korpus luteum; untuk mempelajari parakrin mayor dan mekanisme autokrin dan peranan kunci gen dan protein dalam pembentukan corpus luteum, fungsi dan regresi dalam siklus alami; untuk melihat endokrin dan respons molecular dari fase midluteal corpus luteum untuk pengaturan secara in vivo human chorionic gonadotropin (HCG); dan untuk mendeskripsikan evaluasi USG dan Doppler dari ovarium dan endometrium melalui fase luteal. Bentuk Penelitian: Berdasarkan dari data pada literatur, termasuk penelitian dasar dan klinis dari peneliti. Tempat: Universitas yang mempunyai Rumah Sakit dan tempat riset Pasien: Tidak ada Intervensi:Tidak ada Penilaian Hasil Utama: Klinis dan analisis molecular dari fungsi Corpus Luteum manusia Hasil: Fungsi endokrin dari subpopulasi sel luteum penting untuk menjaga fungsi corpus luteum, termasuk neovaskularisasi dan produksi hormon steroid. Kami berpendapat gen dan protein mempunyai peranan dalam perkembangan struktur luteum dan

Upload: andresaputra

Post on 29-Jun-2015

197 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fertil steril

Corpus Luteum pada manusia: siklus hidup dan

fungsi dalam siklus alami Luigi Devoto,M.D.Ariel Fuentes, M.D., Paulina Kohen, B.S., Pablo Cespedes,M.D., Alberto

Palomino,M.D.,Ricardo Pommer,M.D., Alex Munoz, B.S., and Jerome F. Strauss,

III,M.D.,Ph.D.

Tujuan: Untuk menunjukkan penemuan terbaru dalam memahami jalur endokrin antara

hipotalamus, hipofise, dan korpus luteum; untuk mempelajari parakrin mayor dan mekanisme

autokrin dan peranan kunci gen dan protein dalam pembentukan corpus luteum, fungsi dan

regresi dalam siklus alami; untuk melihat endokrin dan respons molecular dari fase midluteal

corpus luteum untuk pengaturan secara in vivo human chorionic gonadotropin (HCG); dan

untuk mendeskripsikan evaluasi USG dan Doppler dari ovarium dan endometrium melalui

fase luteal.

Bentuk Penelitian: Berdasarkan dari data pada literatur, termasuk penelitian dasar dan klinis

dari peneliti.

Tempat: Universitas yang mempunyai Rumah Sakit dan tempat riset

Pasien: Tidak ada

Intervensi:Tidak ada

Penilaian Hasil Utama: Klinis dan analisis molecular dari fungsi Corpus Luteum manusia

Hasil: Fungsi endokrin dari subpopulasi sel luteum penting untuk menjaga fungsi corpus

luteum, termasuk neovaskularisasi dan produksi hormon steroid. Kami berpendapat gen dan

protein mempunyai peranan dalam perkembangan struktur luteum dan fungsi melalui siklus

haid dan model yang kami lakukan dari terapi HCG menyerupai awal kehamilan.

Kesimpulan: Dari data ini mengindikasikan bahwa fungsi jangka hidup dari corpus luteum

tergantung dari mekanisme parakrin dan autokrin. Oleh karena itu, secara signifikan kunci

gen dan protein yang kami analisa di sel lutein selama pembentukan corpus luteum, fungsi,

kematian dan diselamatkan oleh HCG sepertinya membawa aplikasi terapi baru dalam

penanganan defek fertilitas dan kontrol fertilitas.( Fertil steril 2009;92:1067-79. 2009 oleh

American Society for Reproductive Medicine)

Kata Kunci: Fungsi corpus luteum manusia, siklus alami, steroidogenesis

Page 2: Fertil steril

Corpus luteum manusia (CL), kelenjar endokrin sementara berasal dari folikel yang telah

ovulasi, adalah sumber utama dari hormon steroid, memproduksi hingga 40 mg progesteron

per hari. Secara signifikan sekresi jumlah androgen dan estradiol (E2) sebagai tambahan pada

progesteron unik pada corpus luteum kebanyakan primata, termasuk manusia. Pola dari

produksi progesteron melalui fase luteal menentukan siklus haid dan penerimaan

endometrium untuk keberhasilan implantasi dan penting untuk pemeliharaan pada awal

kehamilan. Walaupun yang mendasari endokrin, autokrin/parakrin dan mekanisme molekular

mengontrol produksi progesteron pada saat foliker sel mengalami luteinasi dan selama

pembentukan, fungsi, dan menyelamatkan corpus luteum merupakan yang terpenting untuk

memahami siklus subur. Sebagai tambahan, ikhtisar ini meliputi, penelitian, mengenai aksi

dari progesteron selama luteinisasi folikular, dan endokrin dan status fungsi morfologi dari

ovarium seperti yang dievaluasi oleh USG.

LUTEINISASI FOLIKULER

Proses luteinisasi granulosa-sel teka dipacu oleh hipofise, turunan Luteinizing hormone (LH),

dimana mengaktivasi jalur transduksi sinyal tergantung pada protein kinase A (PKA) dan

memungkinkan jalur dengan reseptor LH (LHr) digabungkan untuk mengubah Ca intraselular

dan diacylgliserol (IP3) diproduksi oleh aktivasi phospholipase C. Sintesis estradiol

meningkatkan secara progresif dari folikel dominan dan menginisiasi LH surge. Peningkatan

sedikit pada level progesteron dapat terlihat pada wanita normal sebelum LH surge, dimana

menggambarkan peningkatan amplitudo Luteinizing Hormone dan frekuensi yang menuju ke

lonjakan. Pada manusia, lonjakan LH dengan waktu 24 hingga 36 jam kurang menimbulkan

pembukaan meiosis oosit. Uncoupling gap junction antara sel granulosa dengan plasma

membran dari oosit, luteinisasi sel granulosa, ovulasi dan fase awal dari pembentukan corpus

luteum.

Fenotip dari preovulasi sel granulosa meliputi ekspresi dari beberapa faktor yang

menstimulasi untuk progresi siklus sel. Termasuk siklin B 1-2, reseptor FSH dan enzim

steroidogenik 3β –hidroksisteroid dehidrogenase (3β-HSD) dan aromatase sebelum lonjakan

LH. Sebagai tambahan, FSH mempengaruhi LHr pada granulose sel pada folikel yang sedang

berkembang. Sebaliknya lonjakan LH menghambat proliferasi sel, kemungkinan sebagai

hasil dari perubahan pada siklin dan gen lain (1-3). Tanda LH mulai melonjak ditandai

dengan meningkatnya biosintesis steroid dan mulai melanjutkan meiosis, ovulasi dan berikut

dengan luteinisasi teka dan sel granulosa. Jadi LH bertindak melalui LHr saat preovulasi sel

granulosa termasuk peranan FSH pada fase berikut dari pematangan folikel.

Page 3: Fertil steril

Setelah lonjakan LH, konsentrasi progesteron dan 17 α-hidroksiprogesteron pada

plasma meningkat mengindikasikan dimulainya luteinisasi granulosa dan teka sel. Level

progesteron meningkat tajam setelah lonjakan LH atau pemberian HCG (30 menit). Respon

yang cepat ini menunjukkan kebanyakan enzim dan protein dibutuhkan untuk sintesis

progesteron harus ada di dalam sel atau secara cepat mereka dibuat. Kurangnya

keseimbangan pada perlengkapan enzimatik pada sel granulosa manusia sebelum puncak

lonjakan LH menuju luteinisasi sel teka sebagai sumber yg memungkinkan untuk

peningkatan segera pada sintesis progesteron (4). Pada saat ini,beberapa perubahan morfologi

dan molekular menggantikan tempat di sel granulosa. Luteinisasi sel granulosa manusia

termasuk peningkatan pada ekspresi LHr dan reseptor progesteron (PR) sebagai pengikat

membantu gen protein steroidogenik acute regulatory (StAR) termasuk faktor steroidogenik 1

(SF-1), termasuk salah satu reseptor nucleus superfamily, GATA-4, CCAAT/ meningkatkan

ikatan protein β (C/EBPβ), P450 pembelahan rantai kolesterol( P450scc), siklooksigenase

2(COX-2), dan anggota dari matriks metalloproteinase yang penting dalam menentukan

sintesis progesteron, maturasi oosit, dan rupture folikel

FUNGSI KLASIK RESEPTOR PROGESTERON DAN OVARIUM

Efek fisiologis progesterone secara primer dimediasi oleh interaksi dengan PR. Ada 2

klasik isoform PR, PR-A dan PR-B. kedua isoform diekspresikan dari gen tunggal pada

manusia sebagai hasil transkripsi dari 2 alternatif pendukung dan inisiasi translasi pada 2

AUG yg beda kodon (5). Oleh karena, PR-A dibutuhkan ovarium normal dan fungsi uterus.

Sebagai kontras, PR-B penting untuk pembentukan kelenjar payudara. Untuk ditujukan ke

peranan PR pada fungsi reproduksi, percobaan tikus (PRKO) dibuat dalam bentuk kedua

isoform PR diablasi oleh gen PR target. Model ini menyediakan bukti definitif bahwa PR

penting dalam kordinator dari semua proses reproduksi yang menghasilkan pada persiapan

saluran reproduksi untuk pembentukan dan pemeliharaan kehamilan (6).

Bukti yang menunjukkan peranan langsung fungsi PR pada manusia dan ovarium

tikus telah didukung dalam beberapa tahun dengan demonstrasi pada antiprogestin RU 486

menghambat ovulasi pada manusia (7) dan (2) LH sebagai sinyal primer untuk rupturnya

folikel ovarium preovulasi dan membuat transisi ekspresi PR mRNA untuk isoform kedua

protein pada sel granulosa yang terisolasi dari folikel preovulasi tikus. (7-9)

Bukti definitif menunjukkan PR adalah mediator penting untuk ovulasi yang

disediakan oleh tikus PRKO. Selain untuk mengetahui level superovulasi dari gonadotropin,

tikus PRKO gagal untuk berovulasi. Analisa histologi ovarium untuk tikus ini menunjukkan

Page 4: Fertil steril

perkembangan normal dari folikel melalui stadium folikel tersier. Folikel-folikel ini

mengandung oosit matur yang berfungsi penuh ketika terisolasi dan difertilisasi secara in

vitro. Ruptur folikel diinhibisi namun, sel granulose preovulasi di dalam folikel ini dapat

tetap berdiferensiasi ke fenotip luteum dan menggambarkan penanda luteum P450scc (6)

Oleh karena itu,Conneely et al(10-11) menetapkan bahwa PR dibutuhkan terutama

untuk LH dependent rupture folikel mengarah ke ovulasi namun tidak untuk sel granulosa

mengalami luteinisasi. Kedua protein PR-A dan PR-B dibuat pada folikel tikus preovulatori

sebagai respons terhadap stimulasi LH. Terlebih, ablasi selektif dari protein PR-A in

knockout (PRAKO) tikus dengan hasil infertil dan kerusakan berat saat ovulasi,

mengindikasikan bahwa ekspresi protein A penting untuk fungsi ovarium tikus normal.

Penemuan ini mengindikasikan bahwa protein PR-A dan PR-B secara fungsional

tidak diperlukan pada ovarium tikus dan menyediakan validasi fisiologi pertama pada

protein-protein ini mempunyai tugas yang berbeda.

Kehadiran PR pada ovarium primata memungkinkan gangguan pada perkembangan

folikel dan fungsi setelah pemberian antiprogestin (mifepristone) (12,13) mungkin efek

langsung pada ovarium sebagai tambahan pada aksi di poros hipotalamus-hipofise.

RESEPTOR MEMBRAN PROGESTERON DAN FUNGSI OVARIUM

Progesterone juga mengatur mitosis dan apoptosis dari sel granulosa sel tikus

diisolasi sebelum lonjakan gonadotropin (14). Sel granulosa ini tidak menunjukkan nuclear

PR klasik, namun tidak seperti pada PR menentukan aksi progesteron pada sel-sel ini. Ikatan

progesteron ini pada membran plasma dari sel granulosa sapi menyarankan bahwa

progesteron dapat berfungsi secara non genom, mekanisme inisiasi membran (15). Baru baru

ini, cloning, ekspresi dan karakter membran PR dan bukti bahwa sebagai mediator pada

maturasi meiosis pada oosit ikan telah dilaporkan (16). Lebih lanjut, aktivitas steroid melalui

membran reseptor steroid terganggu pada maturasi oosit mamalia (17).

ENDOKRIN AUTOKRIN / PARAKRIN PENGATURAN CORPUS LUTEUM

Corpus luteum manusia tersusun dari steroidogenik (teka dan lutein granulosa) dan

nonsteroidogenik ( endotelial, imun dan fibroblast) sel. Keduanya penting untuk sintesis dan

sekresi steroid (18). Produksi hormon-hormon ini sebagian besar tergantung pada hipofise,

turunan LH yang bertindak melalui siklik adenosine monophosphatase (cAMP) second

messenger yang member sinyal system untuk meregulasi gen penting untuk sintesis hormone

dan pembentukan luteal. Selama siklus konsepsi, produksi trofoblastik dari hCG manusia

Page 5: Fertil steril

mencegah regresi dari corpus luteum. Pada monyet yang mengalami operasi dibuat lesi

hipotalamus, pemeliharaan level LH selama fase luteal melalui pengaturan GnRH pada

frekuensi denyut nadi mirip pada fase awal luteal tidak mencegah luteolysis (19). Bloking

pelepasan LH oleh pengaturan antagonis GnRH berakhir pada penurunan tiba-tiba

konsentrasi serum progesterone di dalam 24 jam. Ini menyarankan bahwa LH penting untuk

pembentukan dan pemeliharaan corpus luteum primata namun tidak pada regresi luteal,

berhubung perubahan pada frekuensi LH dan amplitude. Hal itu telah didemonstrasikan

bahwa regresi luteal pada siklus menstrual primata disebabkan oleh reduksi besar pada

responsifnya penuaan corpus luteum terhadap LH, dimana dapat mengatasi siklus fertil

dengan meningkatnya konsentrasi hCG (20). Secara pasti, efek in vitro LH/hCG pada sel

luteal steroidogenesis manusia dimodifikasi oleh suatu molekul pilihan seperti growth faktor

1 (IGF-1) dan IGF binding protein (21). Yang menarik, interleukin-1 (IL-1) dan tumor

necrosis faktor α (TNF-α) mempunya efek menghambat pada aksi perangsangan hCG pada

produksi steroid oleh sel lutein-granulosa seperti pada sel luteal di kultur. Hal tersebut

dikenal dengan sitokin proinflamasi yang diekspresikan secara jelas pada sel ektopik

endometrial (22). Konsentrasi sitokin ini meningkat pada cairan peritoneum pasien dengan

endometriosis (23). Oleh karena itu, sitokin telah dicampur adukkan pada patogenesis dan

patofisiologi dari disfungsi ovulasi dan defek fase luteal pasien dengan endometriosis

BIOSINTESIS STEROID OLEH SEL TEKA DAN LUTEIN GRANULOSE

Sel yang mengandung corpus luteum manusia mempunyai morfologi, endokrin, dan

fenotip biokemikal yang berbeda. Jumlah, morfologi, fungsi dan kemampuan sekresi dari sel

sel ini berubah melalui fase luteal (24). Kira-kira 30% sel ini steroidogenik. Sel luteal kecil

sepertinya berasal dari teka interna, dimana sebagian besar sel luteal disarankan berasal dari

turunan sel granulose. Produksi basal progesteron biasanya lebih besar untuk sel lutein

granulosa, dimana juga sebagai tempat produksi E2 sebab mereka mengekspresikan

aromatase. Sel teka lutein, namun menggambarkan peningkatan yang lebih besar pada

produksi steroid ketika terkena hCG dan mengekspresikan aktivitas 17α hidroksilase/17/20

liase (P450c17). Sel teka lutein memproduksi prekursor androgen yang diaromatisasi oleh sel

lutein granulosa dan juga sebagai tempat sintesis 17α OHP. Penemuan ini mengindikasikan

bahwa model 2 sel biosintesis estrogen disebut untuk menjelaskan produksi folikular estrogen

yang diawetkan pada manusia dan corpus luteum monyet (25,26) (Fig.1).

SEL LUTEAL NON STEROIDOGENIK

Page 6: Fertil steril

Selama perubahan folikel ovulasi hingga corpus luteum berfungsi penuh, pembuluh

darah sel endotel mengalami periode proliferasi yang terus menerus, diikuti dengan

ditegakannya jaringan pembuluh darah yang kaya. Kira-kira 30%-40% sel pada corpus

luteum yang matura dalah sel endothelial. Vaskulatur luteal sangat kritis untuk membawa

gonadotropin dan substrat seperti lipoprotein plasma, dimana menghasilkan kolesterol untuk

produksi progesteron dan memindahkan produk sekresi, secara garis besar hormon steroid

berasal dari sel luteal. Faktor yang mengatur vaskulatur luteal memegang peranan utama

dalam mengatur fungsi luteal. Vascular endothelial growth factor (VEGF) mRNA dan protein

telah dilokasikan pada sel lutein granulose dari corpus luteum. Inhibisi VEGF pada in vivo

selama fase luteal pada primata non manusia mencegah angiogenesis luteal dan menekan

sekresi progesterone (27).

Akhir-akhir ini, faktor angiogenik glandula endokrin endotelial growth factor (EG-

VEGF), dengan derajat spesifik ovarium, dapat dideteksi pada sel lutein granulosa manusia.

Secara kontras VEGF mRNA, EG-VEGF mRNA meningkat pada mid dan akhir corpus

luteum. Diperkirakan EG-VEGF membuat corpus luteum merespon hCG pada awal

kehamilan (28). Pentingnya vaskulatur terhadap fungsi corpus luteum menggambarkan

perubahan pengukuran aliran darah yang mengalir ke corpus luteum yang mengatur folikel

unruptur yang terluteinisasi (LUF) dan defek fase luteal (29).

Sel imun, makrofag, dan sel T limfosit hadir dalam jaringan luteal. Makrofag dan sel

endotel membuat kontak yang erat dengan sel luteal lain, dimana memfasilitasi regulasi sel

luteal oleh mekanisme parakrin. Kemampuan makrofag untuk mensekresi IL-1β dan TNF-α

secara signifikan sebab kedua sitokin dapat merubah steroidogenesis luteal. Studi secara in

vitro mengindikasikan bahwa sitokin ini mengurangi LH/hCG, merangsang produksi

progesterone dari sel lutein granulose manusia yang dikultur (30). Interleukin-1 dan TNF-α

sebagian besar disekresi oleh monosit luteal teraktivasi dan makrofag seperti juga pada sel T

dan sel B. Makrofag yang teraktivasi dikarakteristik dengan corpus luteal pada fase midluteal

dan late.(22,30). Di bawah kondisi fisiologis, dipercaya bahwa sitokin memegang peranan

dalam fungsional dan struktural luteolisis. Memungkinkan terjadinya permulaan siklus yang

baru. Namun, aktivasi yang tidak terjadwal dari mekanisme ini, dapat berakhir pada disfungsi

corpus luteum

TRANSPOR KOLESTEROL KE DAN DALAM SEL STEROIDOGENIK LUTEAL

Tantangan pertama untuk segala jenis yang memproduksi sel steroid, termasuk sel

luteal, untuk mendapat precursor kolesterol. Sel luteal steroidogenik dapat memproduksi

Page 7: Fertil steril

kolesterol secara de novo; namun jalur ini memegang peranan minor, seperti yang dibuktikan

pada level rendah dari 3 hidroxy 3 metil glutaril Co-A (HMG-CoA) reduktase, enzim yang

membatasi jalur kolesterol ini (31). Sel luteal steroidogenik manusia mengambil lipoprotein

pembawa kolesterol (Low density lipoprotein) pada endositosis dan juga mempertahankan

penyimpanan dari kolesterol yang diesterfikasi. High density Lipoprotein dapat juga

menambah precursor untuk steroidogenesis melalui reseptor SR-B1 dimana memediasi

uptake selektif dari ester lipoprotein kolesterol yang berdensitas tinggi. Selain stimulasi

gonadotropin, kolesterol dari pool yang bervariasi, termasuk kolesterol intraselular ester

dalam droplet lemak yang sudah dihidrolisa, yang disarankan ke membrane bagian dalam

dari mitokondria untuk melayani substrat untuk produksi pregnolone (P5). Diperkirakan

bahwa rata-rata pembatasan pada sintesis progesteron adalah pergerakan kolesterol dari

membran mitondria bagian luar dari membrane mitokondria hingga ke bagian dalam

membrane dimana tempat sitokrom P450scc kompleks berada. StAR penting untuk

translokasi sterol dalam merespon hormon tropik, termasuk LH dan hCG (32,33).

SINTESIS LUTEAL PROGESTERON

3 kejadian kritis endokrin yang membantu sekresi progesteron pada fisiologi ovarium

primata (34): (1) lonjakan LH adalah tanda untuk ruptur folikel dan untuk luteinisasi dari sel

teka dan granulosa.; (2) frekuensi LH selama fase luteal penting dalam pembentukan dan

fungsi dari corpus luteum; dan (3) sekresi hCG oleh trofoblas embrio yang mempertahankan

fungsi corpus luteum pada awal kehamilan.

Biosintesis progesteron memerlukan hanya 2 langkah enzimatik: konversi kolesterol

ke P5, dikatalisasi oleh P450ssc terletak pada membran mitokondria bagian dalam, dan

konversi berikutnya ke progesteron, dikatalisasi oleh kehadiran 3β-HSD pada retikulum otot

polos endoplasma. Sebelum lonjakan LH, StAR hampir tidak ada dari sel granulosa manusia,

dimana tidak dapat mensintesis progestron dari prekursor kolesterol (35). Sedangkan pada

sisi lain, StAR ditemukan dalam jumlah yang banyak pada sel teka manusia pada

periovulatori dimana mampu mensintesis androgen dari kolesterol (36). Walaupun ada

peningkatan yang pesat dari progesteron saat lonjakan LH menyarankan bahwa sel teka yang

terluteinisasi memungkinkan sebagai sumber progesteron. Sebagai tambahan, jaringan

vaskular yang terbatas pada sel granulosa periovulasi manusia yang dapat membatasi

kemampuan sel ini untuk mendapatkan kolesterol (Low density lipoprotein) melalui

vaskulatur. Pembentukan suplai vaskular yang tidak adekuat pada corpus luteum diduga

mempunyai hasil signifikan pada sekresi steroid berikutnya pada fase luteal.

Page 8: Fertil steril

Ekspresi dari transkrip StAR dan protein paling baik pada corpus luteum fase awal

luteal dan midluteal. Pada corpus luteum manusia, imunodeteksi dari StAR menunjukkan

level yang lebih besar pada teka lutein daripada sel lutein granulose, tidak berhubungan

dengan stadium dari fase luteal. Tingkat StAR imunostaining lebih bervariasi pada sel lutein

granulosa melalui siklus menstrual. Level imunistaining StAR cukup pada jaringan awal

luteal, meningkat pada fase midluteal corpus luteum dan menurun pada fase akhir luteal dari

corpus luteum (37).

Baru baru ini, grup kami menyimpulkan dengan mikroskop imunoelektron dengan

adanya StAR pada tingkat yang signifikan pada mitokondria dan sitoplasma dari sel

steroidogenik luteal manusia melalui fase luteal (38). Kami menemukan tingkat yang lebih

besar dari StAR imunolabeling pada sitoplasma dari sel steroidogenik yang berasal dari fase

awal luteal dan midluteal corpus luteum. Pada 30-kd protein StAR yang matur ada pada

kedua mitokondria dan sitosol. Penemuan ini mendukung hipotesis bahwa jika tidak

dipertimbangkan proses StAR 37 kd pre-protein terjadi diluar mitokondria atau protein StAR

yang matur secara selektif melepaskan ke sitoplasma setelah memproses mitokondria.

Pemeriksaan P450scc pada jaringan corpus luteum manusia mengindikasikan bahwa ekspresi

secara keseluruhan dari enzim ini tetap meningkat dan relatif konstan melalui fase luteal.

Tampaknya 3β-HSD dalam corpus luteum manusia sepertinya paling baik selama fase

awal luteal dan menurun pada fase midluteal; kemudian menetap secara konstan pada fase

akhir luteal corpus luteum (39). Beberapa penelitian menunjukkan sel luteal pada umur yang

berbeda dengan hasil P5 dramatik meningkatnya sekresi progesteron, menyarankan bahwa

3β-HSD rata-rata tidak membatasi pada produksi progesteron. Oleh karena itu, P450ssc dan

3β-HSD kelihatannya tidak membatasi rata-rata pada biosintesis luteal progesteron selama

siklus menstruasi. Dibutuhkan konsensus dari penelitian yang banyak pada manusia, dan

primata selain manusia bahwa ada langkah penting pada sekresi luteal progesteron adalah

langkah kolesterol dari luar ke dalam membran mitokondria, dimana proses ini tergantung

pada StAR. Walaupun tidak dipertimbangkan sebagai enzim yang rata-rata determinan pada

steroidogenesis, inhibitor poten 3β-HSD seperti epostan dapat ikut membantu dengan

produksi progesteron pada manusia dan primata dan berakhirnya pada terminasi kehamilan.

(40,41).

Sebagai tambahan pada sintesis hormon steroid reproduksi yang klasik, corpus luteum

manusia memproduksi allopregnanolone dan pregnanolone. Steroid ini berguna sebab

kemampuan mereka untuk memodulasi reseptor fungsi GABA dan mereka menggambarkan

kumpulan grup campuran, juga memproduksi jaringan saraf, dikenal neurosteroid. Hal ini

Page 9: Fertil steril

menggambarkan hubungan antara corpus luteum dan fungsi sistem saraf pusat dimana dapat

menkontribusi pada perubahan pada fungsi kognitif dan suasana mood selama fase luteal

(42). mRNA untuk 5α reduktase dan 5β reduktase yang ada di dalam corpus luteum.

Konsentrasi jaringan luteal dari neurosteroid ini menurun secara signifikan selama fase akhir

luteal. Adalah sangat menarik bahwa sel luteal manusia yang dikultur dengan adanya

peningkatan hCG secara signifikan dalam produksi baik neurosteroid, menyarankan bahwa

progestin ini juga LH/hCG dependent. (43-45).

BIOSINTESIS ESTRADIOL LUTEAL

Corpus luteum primata meretensi kemampuan untuk memproduksi estrogen, dimana

itu yang membedakan dengan corpus luteum dari binatang domestik dan binatang pengerat.

Sel luteal kecil diperkirakan menjadi sumber primer dari luteal androgen (46), sementara sel

luteal besar diperkirakan menjadi tempat primer sintesis luteal estrogen (47), hal ini

mengindikasikan bahwa model 2 sel biosintesis estrogen ditingkatkan untuk menjelaskan

sintesis folikular estrogen disimpan pada corpus luteum primata.

Sintesis enzim katalisasi androgen P450c17 dilokasikan pada sel dekat kelenjar

perifer sepanjang jalur vaskular (25). Sebaliknya, bekas P450arom diobservasi melalui

parenkim luteal. Tingkat P450arom luteal mRNA menghilang pada fase akhir luteal

berhubungan dengan turunnya tingkat plasma E2 (47,48). Hal ini dikenal bahwa sintesis E2

oleh sel granulosa dari folikel ovarium yang distimulasi oleh FSH (49). Namun, FSH tidak

menstimulasi sintesis E2 oleh sel luteal pada kultur atau menjaga steroidogenesis secara in

vivo (50). Walaupun sistem 2 sel untuk produksi estrogen diretensi setelah luteinisasi dari

folikel, peranan FSH pada stimulasi aromatisasi androgen tidak dijaga (51). Aksi FSH secara

terbukti diberikan oleh LH dan IGF-1, dimana dapat mempertahankan E2 oleh sel luteal

pada kultur (52). Model baru dari dinamika gelombang folikel pada ovarium monovular

mamalia telah ada, berdasarkan pada bagian Ultrasound yang didapat pada wanita dan kuda

(53,54). Penelitian ini menantang persepsi konvensional bahwa kohort tunggal daari folikel

antral berkembang selama fase folikular dari siklus haid manusia. USG resolusi tinggi

digunakan untuk mendapatkan gambar secara longitudinal dari perkembangan folikel. 2 tipe

gelombang folikular digambarkan. Gelobang utama terjadi ketika 1 folikel berkembang

hingga >10mm dan melebihi segala folikel yang berukuran >2mm. Gelombang ini muncul

selama interval mid interovulatory, memberikan derivat pada folikel ovulatori. Sebaliknya,

gelombang minor ditentukan oleh folikel yang berkembang hingga diameter <10mm dan

tidak ada manifestasi folikel dominan, yang berakhir pada gelombang anovulatori (55).

Page 10: Fertil steril

Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa gelombang halus dari perkembangan folikel (4-

8mm) terjadi selama fase luteal dari siklus haid manusia meskipun supresi FSH oleh inhibin

luteal, progesteron dan sekresi E2. Sel granulosa manusia didapat dari folikel yang lebih kecil

dari 5mm mengekpresikan P450arom, meningkatkan kemungkinan bahwa tingkat serum E2

selama fase luteal dapat berasal dari bagian gelombang fase folikel-luteal daripada dari

jaringan luteal eksklusif. Yang sangat menarik adalah sekresi E2 oleh ovarium manusia

kelihatannya tidak penting untuk kehamilan seperti sulih progesterone tunggal

mempertahankan kehamilan. Peranan pasti untuk sekresi luteal E2 tidak diketahui. Namun

sebelumnya diduga berkaitan luteolisis pada primata, dimana proses luteolitik tidak

tergantung dari prostaglandin uterus. Sedangkan di sisi lain, penemuan terbaru kehadiran

kedua tipe dari reseptor estrogen pada corpus luteum manusia mendukung peranan local E2

pada fungsi luteal (56).

LUTEOLISIS

Pada siklus non fertil, corpus luteum primata mengalami proses regresi, dikenal

dengan luteolisis dimana meliputi hilangnya fungsional dan structural dari kelenjar (57).

Regresi fungsional dihubungkan dengan penurunan produksi progesteron; regresi struktural

terjadi setelah penurunan dari sintesis progesteron dan berhubungan dengan bentuk berbeda

dari kematian sel. Kejadian molekular yang terjadi pada regresi luteal dan bagaimana mereka

dicegah dengan berhubungan dengan hCG tetap belum jelas. Diperkirakan bahwa perubahan

pada frekuensi LH dan menurun pada reseptor LH mRNA dan protein tidak termasuk dalalm

regresi luteal pada primata. Penemuan ini menyarankan fungsi steroidogenik dan regresi

corpus luteum ditentukan oleh faktor dari reseptor LH (58).

Karakteristik utama dari regresi fungsional luteal adalah berkurangnya produksi dari

progesteron, dimana berhubungan dengan menurunnya gen StAR dan protein. Penurunan

StAR memulai penurunan dari enzim steroidogenik lain. Ini mengindikasikan peranan

penting StAR pada produksi luteal progesteron. Pengaturan hCG selama fase akhir luteal

manusia menyimpan tingkat StAR pada yang dapat ditemukan pada fase corpus luteum

midluteal seperti pada progesterone dan E2 plasma. Beberapa molekul, termasuk

prostaglandin F2-α, (PGF2-α), TNF-α, IL-1β, endotelin, monosit kemoatraktan (MCP-1),

estrogen dan spesies reaktif oksigen telah diimplikasikan pada proses luteolitik (59). Pada

manusia, peranan fisiologis PGF2-α dalam luteolisis tidak pasti, sebab produksi PGF2-α dari

ovarium terbatas. Sebaliknya, PGF2-α membuat 20α-hidroksisteroid dehidrogenase (20α-

HSD) yang terdapat pada sel luteal binatang pengerat dimana mereka kehilangan kemampuan

Page 11: Fertil steril

mensekresi progesteron (57). Yang sangat menarik adalah PGF2-α menekan StAR pada sel

luteal granulosa manusia yang telah dikultur (60). Estrogen menghambat aktivitas 3β-HSD

luteal pada sel luteal manusia secara in vitro (61). Peneliti lain mengklaim bahwa aksi

eksogenus luteolitik diatur oleh E2 mengurangi sekresi derivate LH dari hipofise pada wanita

(62). Reduksi perfusi luteal dan faktor lain yang diproduksi oleh makrofag atau lekosit seperti

spesies reaktif oksigen dapat mengkontribusi untuk fungsional dan structural luteolisis (48).

Walaupun fungsional sel endotelial corpus luteum dapat terkena, yang berakhir pada

berkurangnya VEGF dan molekul yang memelihara survival sel endotel (28).

Pengetahuan tentang molekular yang terjadi setelah regresi fungsional dari corpus

luteum manusia dan sebelum hancurnya selular masih terbatas. Diperkirakan bahwa matinya

sel dan peningkatan pada matriks metalloproteinase (MMP-2 dan MMP-9) adalah komponen

penting dalam regresi structural (63,64). Beberapa laboratorium mendokumentasikan

peningkatan jumlah sel apoptotic dengan mendeteksi fragmentasi nucleus DNA,pada akhir

dan regresi corpus luteum dibandingkan dengan mereka pada fase awal luteal dan midluteal

corpus luteum (65-67). Sebaliknya pola ekspresi dari gen yang mengontrol survival sel dan

apoptosis pada corpus luteum manusia masih didebatkan. Beberapa peneliti menemukan

tidak adanya perubahan pada Bcl-2 (68), faktor survival sel dalam corpus luteum pada usia

yang berbeda-beda. Namun, yang lain mendeskripsikan penurunan pada fase akhir luteal dan

peningkatan pada kehamilan ektopik corpus luteum (69). Terlebih protein proapoptotik Bax

dilaporkan tetap tidak berubah pada corpus luteum manusia melalui fase luteal (70), namun

yang lain dilaporkan meningkat pada regresi corpus luteum atau tidak terdeteksi pada corpus

luteum yang sedang hamil.

Sebagai tambahan, disarankan bahwa interaksi sel dapat meregulasi apoptosis.

Regresi corpus luteum dihubungkan dengan hilangnya tempat adhesi sel-sel. Walaupun itu

dapat dihipotesiskan bahwa molekul adhesi sel (CAM) diimplikasikan pada survival sel dan

matinya sel. Cadherin secara pesat meluas diantara calcium dependent CAMs. Sel luteal juga

positif untuk N-cadherins pada awal luteal dan fase midluteal, dimana hanya N-cadherin yang

lemah yang memberikan tanda pada akhir luteal corpus luteum. Ada korelasi langsung antara

kehadiran molekul N-cadherin dan absennya karakteristik dari apoptosis selular (71).

Jadi data yang ada mengindikasikan bahwa apoptosis adalah suatu bentuk regresi

luteal manusia. Namun, mekanisme yang mengatur regresi luteal tetap tidak jelas. Memang,

sel luteal dengan sinyal apoptotic positif dan jumlah iNOS- sel luteal positif dalam corpus

luteal manusia selama regresi luteal (48). Namun persentase sel luteal dengan sinyal

apoptotic rendah (5% hingga 7%) dimana membuat itu menjadi tidak pasti bahwa apoptosis

Page 12: Fertil steril

adalah satu-satunya mekanisme utama dalam kematian sel luteal. Tipe lain kematian sel,

seperti autofag dan nekrosis, nampaknya memegang peranan dalam regresi luteal, seperti

yang telah dilaporkan pada sama monyet dan corpus luteum manusia (64,72). Aktivasi yang

terjadwal dari mekanisme ini dapat mengkontribusi pada defek fase luteal.

PELEPASAN CORPUS LUTEUM PADA SIKLUS FERTIL

Selama siklus konsepsi, produksi trofoblastik dari hCG mencegah regresi dari corpus

luteum. Bukti yang kuat mengatakan pelepasan hCG corpus luteum Ikut dalam pengaturan

vaksin β-hCG pada wanita yang mempunyai hCG endogen yang tidak aktif, berakhir pada

turunnya progesteron dan haid (73). Karakteristik hormonal dari siklus konsepsi dan non

konsepsi adalah berbeda dari fase awal luteal. Baik LH dan E2 secara signifikan lebih tinggi

pada siklus konsepsi pada hari ke 4 dan ke 5 setelah puncak LH di urin. Sebaliknya, serum

FSH, progesteron dan relaksin secara signifikan tidak berbeda pada periode ini. Penemuan

ini, dapat menggambarkan perubahan pada pemberian sinyal di sistem poros hipotalamus-

hipofise-ovarium yang mulai saat siklus periode non konsepsi periovulasi (74). Serum hCG

terdeteksi saat sekitar waktu implantasi (hari ke 8 setelah ovulasi), kemudian meningkat

secara progresif hingga 12 minggu pertama kehamilan. Volume corpus luteum ditentukan

dengan transvaginal USG menunjukkan peningkatan pesat pada kehamilan awal manusia

tanpa peningkatan parallel di 17α-OHP, progesteron atau E2. Namun, tingkat serum 17α-

OHP selama 6 minggu pertama kehamilan dipertimbangkan sebagai marker yang paling baik

steroidogenesis luteal sebab steroid ini tidak disintesis oleh trofoblast, dimana tidak

menggambarkan P450c17. Sebaliknya korelasi positif keluar di antara volume corpus luteum

dan relaksin dan konsentrasi serum hCG. Penemuan ini menyarankan perkembangan corpus

luteum pada awal kehamilan sebagian besar berasal dari proliferasi sel sekresi non steroid

(75).

Ada keterbatasan data pada perubahan molecular yang mendasari perubahan

fungsional dan structural pada corpus luteum saat hamil. Kami dan peneliti lain telah

mempunyai protokol eksperimental termasuk pengaturan hCG selama fase midluteal dan

fasae mid-akhir luteal dengan tujuan menentukan dasar molecular dari pelepasan corpus

luteum. Pengaturan secara eksponen meningkatkan dosis LH atau hCG yang memperpanjang

durasi corpus luteum (20). Pengaturan hCG selama fase akhir luteal menyimpan mRNA

StAR dan tingkat protein pada mereka yang ditemukan pada fase midluteal corpus luteum

seperti pada tingkat progesteron plasma. Sebagai tambahan, pengaturan hCG menunjukkan

Page 13: Fertil steril

ekspansi dari jaringan vascular permukaan sel teka dan granulosa dengan perubahan warna

yang kuat terdeteksi pada sitoplasma dari sel steroidogenik (26).

Regresi struktural dari corpus luteum dibawa oleh apoptosis dan autofag dan hCG

mempunyai kemampuan untuk merubah program apoptotik dari fase akhir luteal corpus

luteum. Penurunan pada protein apoptotic, Bax, telah dilaporkan pada corpus luteum saat

hamil dan stimulasi hCG pada akhir corpus luteum (69).

Walaupun peranan pasti progesteron pada corpus luteum tidak jelas, beberapa efek

progesteron pada sel luteal telah dideskripsikan. Sebagai contoh, progesteron dapat secara

langsung mempromosikan survival sel granulosa yang terluteinisasi (76) dan mempengaruhi

penampilan LHr (77) dan enzim steroidogenik (35). Sebagai tambahan progesteron telah

digunakan pada kontrol penghambat jaringan dari metalloproteinase 1 yang ditampilkan pada

sel granulosa yang terluteinisasi. (78). Pada manusia, dikenal bahwa corpus luteum

menggambarkan PR-A dan PR-B mRNA, dan PR-A ditemukan lebih banyak daripada PR-B

(79,80). Kedua isoform reseptor menurun pada fase akhir luteal corpus luteal. Sebagai

tambahan, corpus luteum mempunyai membran yang berikatan dengan aktivitas progesteron.

Oleh karena memungkinkan bahwa widrawal progesteron mempunyai efek langsung pada

fungsi sel steroidogenik. Jaringan luteal konsentrasi progesteron turun pada fase akhir luteal

pada manusia dan monyet (81,82). Withdrawal progesterone secara potensial memfasilitasi

lebih jauh dengan berkurangnya manifestasi dari genom luteal PR pada fase akhir luteal.

Walaupun, progesteron memegang peranan spesifik pada pelepasan luteal.

Progesteron dapat berfungsi sebagai molekul parakrin pada corpus luteum. Dimana

juga mempunyai efek intra cranial dan disarankan bahwa progesteron sendiri ikut berperan di

dalam sintesisnya sendiri (83). Oleh karena itu, jika progesteron mempunyai peranan utama

dalam fungsi sel lutein granulosa pada saat luteolisis, down regulasi PR pada fase akhir luteal

dimana tidak terlihat selama pelepasan luteal. Namun, ini tidak muncul pada kasus. Penelitian

in vivo dan in vitro menentukan down regulasi dari PR tidak dicegah oleh hCG (84).

Penemuan ini tidak berarti bahwa progesteron tidak mempunyai peranan dalam fungsi

luteinisasi sel granulosa seperti umur corpus luteum namun, hal itu tidak mendukung peranan

utama dari progesteron pada luteolisis, transisi pelepasan luteolisis.

PENILAIAN KLINIS DAN LABORATORIUM DARI FASE LUTEAL

Perubahan histologi endometrium selama siklus haid alami dideskripsikan lebih dari

50 tahun lalu (85). Diperkirakan bahwa pervalensi defisiensi fase luteal (LPD) berkisar antara

Page 14: Fertil steril

5% dan 10% pada wanita infertil dan antara 10% dan 25% pada mereka dengan riwayat

keguguran pada awal kehamilan yang berulang (87,88).

Apakah pertemuan endometrial secara histologi mempunyai akurasi atau ketepatan

dibutuhkan menjadi metode yang valid untuk mendiagnosis LPD atau menurut panduan

manajemen klinik lain pada wanita dengan kegagalan reproduksi adalah masih

diperdebatkan. Coutifaris et al (89) membuat suatu penelitian untuk menilai kemampuan

bertemunya histologi untuk membedakan antara wanita yang fertil dan yang infertil.

Partisipan berasal dari sukarelawan berusia antara 20 hingga 39 tahun, yang mempunyai

siklus haid teratur, dan tidak pernah mendapat terapi hormonal atau kontrasepsi selama 1

bulan sebelum dilakukannya penelitian. Proporsi di luar fase biopsi pada wanita fertil dan

infertil dibandingkan, dan hasilnya menunjukkan bahwa fase di luar biopsi berakhir pada

buruknya pengkategorian antara wanita fertil dan infertil baik fase midluteal (fertil 49.4%;

infertil 43.2%) atau fase akhir luteal (fertil 35.3%; infertil 23.0%). Mereka menyimpulkan

bahwa pertemuan histologi endometrium tidak membedakan antara wanita fertil dan infertil

dan tidak digunakan pada evaluasi rutin infertil. Murray et al (90) membuat kesimpulan yang

mirip: secara tradisional pertemuan histologi endometrial kurang temporal memisahkan dan

membedakan daripada yang dideskripsikan sejak awal disebabkan pertimbangan antar subjek,

intra subjek dan variabilitas interobserver. Apakah secara tradisional kriteria pertemuan itu

tidak dengan segala kombinasi dari kemampuan terbaik karakteristik histologi yang

diidentifikasikan oleh objektifitas mereka dan analisis sistematik tidak mampu dipercaya

membedakan dengan spesifik siklus hari atau interval hari yang berdekatan.

Sebaliknya, suatu studi yang membandingkan siklus endometrium secara fertilisasi in

vitro (IVF) dengan control siklus alami menunjukkan perubahan prematur kelenjar sekret

pada post ovulasi dan fase awal luteal dari siklus IVF (91). Penentuan progesteron pada fase

midluteal digunakan secara luas sebagai pengganti untuk mengkonfirmasi ovulasi. Nilai batas

penegakkan bahwa ovulasi yang terjadi bervariasi dari 4 hingga 10 ng/ml pada situasi yang

berbeda. Amplitudo sekresi berpulsasi yang besar dari progesteron selama fase akhir luteal,

dipengaruhi amplitudo besar dari pulsasi LH, bersama melawan akurasi dari penentuan

tunggal dengan steroid ini. Sebagai alternatif, peningkatan eksresi harian pregnandiol,

tergantung pada awal siklus haid, adalah sering untuk diambil menjadi bukti bahwa wanita

telah mengalami ovulasi . Metcalf et al (92) mengambil urin, plasma dan contoh saliva

selama periode 24 jam dari 20 wanita selama fase folikular dan dari 20 wanita selama fase

luteal. Mereka membandingkan eksresi pregnandiol dalam 24 jam (1) dengan konsentrasi

progesteron dalam plasma(2) konsentrasi progesteron dalam saliva (3) konsentrasi

Page 15: Fertil steril

pregnandiol dalam sejumlah kecil sampel urin, (4) eksresi rata-rata pregnandiol dan (5) rasio

pregnandiol dengan kreatinin dalam jumlah kecil sampel urin. Hasil kesimpulan itu adalah

hasil alternatif yang paling memuaskan dengan pengukuran output pregnandiol 24 jam untuk

penilaian biokimia ovulasi berdasarkan produksi progesteron dulu diukur dari konsentrasi

dalam plasma; kepuasan alternatif yang paling rendah ditentukan dari penentuan konsentrasi

progesteron dalam saliva. Jika tidak tersedia darah, pengukuran rasio pregnandiol dengan

kreatinin dalam jumlah kecil sampel urin merupakan metode yang lebih disukai.

EVALUASI CORPUS LUTEUM DENGAN ULTRASOUNOGRAFI DAN DOPPLER

Ultrasounografi mendeteksi corpus luteum setelah ovulasi telah dilaporkan pertama

kali terjadi pada hanya 50%-80% siklus haid normal, ditentukan dengan ultrasound

transabdominal (93). Dengan kemajuan dalam teknologi imaging, ovulasi dan kehadiran

corpus luteum dapat terdeteksi pada hampir 100% wanita (93). Corpus luteum meningkat

dalam diameter selama 1 minggu pertama setelah ovulasi dan mulai berkurang pada siklus

non konsepsi. Perkembangan corpus luteum dihubungkan dengan peningkatan luteal dalam

aliran darah dan E2 dan produksi progesterone (94).

Dua tipe morfologi corpus luteum yang dapat diobservasi setelah ovulasi: pada

mereka dengan dan tanpa central fluid filled cavity (CFFC). Kebanyakan corpus luteum

berisi CFFC. Insiden corpus luteum berisi CFFC yang terbaik adalah segera setelah ovulasi

dan setelah penurunan secara bertahap. CFFC ini berhubungan dengan kebocoran darah ke

lumen folikuler setelah ruptur folikel. Deteksi CFFC dengan ultrasound harus

diintepretasikan sebagai kejadian fisiologis normal selama siklus haid (94).

Perubahan kuantitatif pada tekstur echo luteal yang menggambarkan perubahan pada

morfologi dan fisiologi corpus luteum, seperti yang sebelumnya didokumentasikan pada

spesies binatang domestik (95,96). Baerwald et al (94) dilaporkan menurun pada luteal,

ekogenik ultrasound terjadi selama perkembangan luteal sehubungan dengan peningkatan

progesteron dan konsentrasi serum E2. Penurunan ekogenik selama luteinisasi menyarankan

peningkatan vaskularisasi dari jaringan luteal dan berakibat penurunan densitas jaringan.

Sebaliknya, peningkatan ekogenik menggambarkan selama luteolisis mampu menyumbang

pada penurunan vaskularisasi dan penggantian jaringan luteal dengan jaringan konektif

fibrosus.

Glock dan brumsted (97) menggunakan ultrasound color flow pulsed Doppler untuk

mendemonstrasikan hubungan antara stadium yang berbeda dari fase luteal dan resistensi

indeks (RI) dari corpus luteum dari siklus alami. Nilai paling rendah RI dideteksi selama fase

Page 16: Fertil steril

midluteal, dimana berhubungan dengan puncak neovaskularisasi corpus luteum. Sebagai

tambahan peningkatan impedansi dalam aliran darah didemonstrasikan pada fase akhir luteal,

berhubungan dengan regresi corpus luteum. Kupecic et al (29) menemukan perbedaan

signifikan pada impedansi intra ovarium pada pasien dengan luteal LPD dengan peningkatan

signifikan pada RI selama fase midluteal pada pasien yang dibandingkan dengan kontrol yang

normal.

Color Doppler juga digunakan pada studi mengenai hubungan yang mungkin antara

sekresi hormonal dan velocimetri parameter dari kedua fase folikular dan luteal;

bagaimanapun juga hasilnya masih diperdebatkan. Dua penelitian menunjukkan korelasi yang

signifikan antara E2 folikular dan velosimetri ovarian Doppler (98,99) tetapi yang lainnya

tidak menemukannya (100). Hal yang menarik adalah beberapa peneliti telah melaporkan

bahwa sekresi luteal progesteron sangat erat hubungannya dengan velosimetri arteri luteal

dalam siklus yang spontan, tetapi peneliti yang lainnya gagal untuk menunjukkan hubungan

yang signifikan (101).

Dalam siklus ovulasi yang normal, sinyal vena intra ovum menggambarkan pola

undulasi yang berkesinambungan dan tipis, kecepatan aliran vena secara perlahan meningkat

melalui fase folikular. Selama fase midluteal, nilainya meningkat relatif secara signifikan dari

fase folikular.sangatlah menarik bahwa aliran arteri ovum pada wanita dengan LPD tidak

menunjukkan perbedaan pada parameter velosimetri arteri ketika dibandingkan dengan siklus

ovulasi normal. Miyazaki et al (95) telah mempelajari aliran darah luteal dengan power

Doppler pada sukarelawan wanita sehat. Dengan teknik ini, vaskularisasi arteri dan vena

dievaluasi secara simultan karena (the color map) tidak membedakan antara kedua aliran itu.

Para peneliti menentukkan bahwa produk antara rasio vaskularisasi luteal dengan volume

luteal berhubungan dengan konsentrasi progesteron secara statistik dan signifikan. Sebaliknya

Merce et al (102) menemukan secara statistik bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara

tingkat luteal progesteron dan parameter velosimetri arterial. Bagaimana pun, hubungan

korelasi signifikan secara statistik, diobservasi pada kecepatan aliran vena maksimum. Hasil

ini sukar digabungkan , walaupun dapat diargumentasikan bahwa siklus defisiensi luteal

(LPD dan luteinized unruptured follicle) diasosiasikan dengan sebuah jaringan aliran vena

luteal yang abnormal, yang memberikan kontribusi dalam pengurangan sekresi progesteron

ke dalam sirkulasi umum.

EVALUASI ULTRASONOGRAFI DAN DOPPLER PADA ENDOMETRIUM FASE

LUTEAL

Page 17: Fertil steril

Belum ada metode diagnostik yang dapat dipegang dalam evaluasi kemampuan

menerima dari endometrium, walaupun beberapa teknik telah dicoba, penilaian histologi pada

biopsi endometrium (85), ekspresi protein endometrium (103), penilaian ultrasound dari

endometrium (104). Beberapa parameter ultrasound yang berbeda telah disarankan untuk

menilai kemampuan menerima dari endometrium, termasuk ketebalan endometrium, pola

ekogenik endometrium, dan volume endometrium (105-107)

POLA DAN KETEBALAN ENDOMETRIUM

Endometrium terlihat secara ultrasonografi sebagai garis tunggal hiperekoik yang tipis

dan sederhana, sesaat segera setelah haid. Lapisan stratum fungsionalis dan basalis

menyediakan pandangan yang berbeda dibandingkan perkembangan endometrium selama

fase tengah-akhir folikuler.disebutkan pola tekstur 3 garis eko menunjukkan adanya

pemisahan antara stratum basalis dan lapisan fungsional yang terlihat pada periovulasi

dengan peningkatan E2. Pola 3 garis tidak tampak setelah ovulasi. Endometrium terlihat lebih

homogen, hiperekogenik saat kelenjar endometrial meluas di bawah produksi progesteron

luteal pada fase sekretorik.

ALIRAN DARAH ENDOMETRIUM

Masih terdapat kontroversi pada literatur tentang perubahan indeks aliran Doppler

uterus selama fase luteal pada siklus spontan. Beberapa studi melaporkan bahwa tahanan

aliran menurun dari fase awal folikular ke fase mid luteal, tetapi menjadi maksimal sekitar

masa ovulasi. Berbeda dengan studi lain yang menyebutkan tidak ada perbedaan indeks

Doppler uterin pada beberapa fase berbeda.

Studi Doppler arteri uterine menunjukkan aliran darah endometrium dan miometrium.

Aliran darah endometrium berasal dari A. radial, yang memisahkan diri setelah melewati

miometrial-endometrial junction menjadi arteri basalis yang memperdarahi bagian basal

endometrium dan arteri spiralis melanjutkan diri ke endometrium.

Aliran darah di pembuluh darah uterine dapat dilihat dengan menggunakan ultrasound

Doppler berwarna yang biasanya ditunjukkan dengan aliran ke arah bawah. Pengukuran

volume aliran darah di pembuluh darah uterine sukar karena diameter pembuluh dipengaruhi

oleh sudut probe dan arah pembuluh darah yang berbelok-belok (114). Steer et al (115)

melaporkan bahwa perubahan kehamilan maksimal ketika rata-rata indeks pulsasi uterin (PI)

2.00-2.99. Gannon et al menggunakan teknik Doppler laser uterine untuk mengukur aliran

Page 18: Fertil steril

darah mikrovaskular endometrial, yang bervariasi sesuai siklus haid, aliran darahnya

meningkat selama awal fase folikuler dan awal fase luteal.

Selain itu, aliran darah endometrial dan subendometrial dapat dilihat dengan

menggunakan USG 3 dimensi dengan kekuatan Doppler (117,118). Power Doppler member

gambaran lebih sensitive dibanding Doppler berwarna yang mendeteksi rendahnya kecepatan

aliran darah dan juga memperbaiki visualisasi pembuluh darah kecil (119). Sebagai

rangkuman, pengukuran aliran darah endometrial dan sub endometrial yang terdahulu sangat

banyak kekurangan karena sangat tergantung pada alat dan operator. Seleksi pembuluh darah

endometrial dan subendometrial dimungkinkan dengan menggunakan Doppler berwarna.

Teknologi baru dengan Doppler 3D lebih konsisten dan dipercaya untuk evaluasi aliran darah

endometrial.

KESIMPULAN

Fungsi corpus luteum yang adekuat adalah dasar untuk menegakkan dan mendukung

suatu kehamilan. Siklus hidup corpus luteum selama siklus haid dan masa konsepsi

menggambarkan hubungan yang terbentuk antara kelenjar hipofise dan gonadotropin

embrional seperti yang terlihat pada autokrin intra luteal dan parakrin sinyal yang mengatur

fungsi endokrin sel luteal serta kehidupan dan kematiannya.

Setelah ovulasi, oosit masuk ke duktus ovarium dan bergerak ke ampula, dimana akan

terjadi fertilisasi jika bertemu dengan spermatozoa yang kompeten. Oleh karena itu langkah

dasar dan penting dari reproduksi manusia termasuk transport gamet, karakteristik tuba,

fertilisasi dan transpor embrio adalah proses biologik yang teratur dan sebagian dipengaruhi

oleh sekresi hormone corpus luteum. Ini sangat menarik karena duktus ovarium manusia

tidak terpengaruh dengan kecepatan transport E2 yang meningkat, seperti yang terjadi pada

embrio, berbeda dengan steroid ovarium yang mengontrol perjalanannya menuju ke uterus.

Lain halnya dengan progestin yang dapat menghambat embrio di duktus ovarii,

meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan tuba. Jadi pola temporal dan jumlah

progesteron yang mengatur pada fase luteal memberi dukungan penting dalam hasil klinis.

Sama halnya peningkatan tingkat progesterone luteal selama fase mid sekretorik

menyebabkan perubahan morfologi di endometrium yang diikuti dengan transformasi luas

dari stroma yang terjadi pada siklus fertil. Jika terjadi implantasi, sel trofoblas embrio mulai

menghasilkan HCG, yang sangat penting dalam produksi corpus luteum dan progesteron.

Metode klinis dan laboratorium yang mempengaruhi fase luteal seperti monitoring suhu basal

tubuh, histologi endometrium dan pengukuran tingkat progesteron plasma tidak selalu pasti

Page 19: Fertil steril

dapat digunakan untuk diagnosa disfungsi fase luteal. Akhir-akhir ini, USG dan USG 3D

dengan Doppler berwarna merupakan teknologi terbaru yangmenunjang evaluasi corpus

luteum manusia secara invivo. Pendekatan non invasive memberi keuntungan yang simultan

pada endometrium dan corpus luteum melalui fase luteal. Kekurangan dari laboratorium

untuk mengevaluasi fungsi luteal menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan klinis dalam

menjelaskan siklus haid normal dan defek fase luteal seperti defek implantasi dan

endokrinologi pada keguguran awal kehamilan.

Jadi, penjelasan aspek molekuler dan seluler pada perkembangan corpus luteum,

fungsi dan kematian berlanjut pada penelitian besar selanjutnya. Pada primata, mekanisme

luteolisis tampak berbeda dari non primata, dasar penelitian ini menunjukkan area regulasi

corpus luteum, yang mendukung gerakan baru untuk terapi infertilitas dan perkembangan

kontrasepsi.

Komentar

Corpus luteum sangat berperan dalam siklus haid dan masa konsepsi dan sangat dipengaruhi

dari protein sel lutein.

Dengan menggunakan ultrasound dan doppler kita dapat mengevaluasi lebih lanjut dari

ovarium dan endometrium melalui fase luteal