pegadaian dalam lingkup fiqih muamalah

18
55 PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH Lukman Jensen 1 , Yuliawati 2 Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Pacitan 1 [email protected], 2 [email protected] Abstrak Gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang ( murtahin) atas suatu barang bergerak (marhun), dengan perjanjian gadai, dua kepentingan sekaligus dapat terlaksana,untuk kreditur akan ada kepastian pelunasan hutang akan tetapi jangan sampai ada indikasi untuk menguasai barang gadai tersebut, Sedangkan untuk debitur ketika seseorang membutuhkan uang atau barang tidak sampai menjual barangnya dengan harga yang kurang dari harga semestinya. Pada penelitian ini, isu hukum yang dijelaskan sistematis dalam bentuk rumusan masalah yaitu apa saja bentuk regulasi serta mekanisme yang diberlakukan dalam pegadaian syariah yaitu: 1). Pegadaian menurut umum dan sistem pelaksanaannya. 2). Pegadaian Syariah menurut Fatwa DSN-MUI. 3). Mekanisme pelaksanaan pegadaian menurut hukum fiqh. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum (data) hasil pengolahan untuk penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, logis, dan efektif. Sedangkan hasil dari penelitian ini yakni: pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang teguh kepada payung hukum prinsip syariah yang telah di keluarkan oleh Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 taggal 26 Juni 2002 yang menyatakan tentang pinjaman dengan menggadaikan barang seabagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dalam Syariat. Pegadaian syaraiah dalam praktiknya/pengoprasiannya harus menggunakkan dua metode yakni: ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan mudharabah (Bagi Hasil). Kata Kunci: Gadai, Murtahin, Marhun, Ujrah, Mudharabah

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

55

PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

Lukman Jensen 1, Yuliawati

2

Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Pacitan [email protected],

[email protected]

Abstrak – Gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang (murtahin) atas

suatu barang bergerak (marhun), dengan perjanjian gadai, dua kepentingan sekaligus dapat

terlaksana,untuk kreditur akan ada kepastian pelunasan hutang akan tetapi jangan sampai ada

indikasi untuk menguasai barang gadai tersebut, Sedangkan untuk debitur ketika seseorang

membutuhkan uang atau barang tidak sampai menjual barangnya dengan harga yang kurang

dari harga semestinya. Pada penelitian ini, isu hukum yang dijelaskan sistematis dalam

bentuk rumusan masalah yaitu apa saja bentuk regulasi serta mekanisme yang diberlakukan

dalam pegadaian syariah yaitu: 1). Pegadaian menurut umum dan sistem pelaksanaannya. 2).

Pegadaian Syariah menurut Fatwa DSN-MUI. 3). Mekanisme pelaksanaan pegadaian

menurut hukum fiqh. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif,

dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan

yuridis normatif. Bahan hukum (data) hasil pengolahan untuk penelitian dianalisis dengan

menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat

yang tersusun secara teratur, logis, dan efektif. Sedangkan hasil dari penelitian ini yakni:

pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang

teguh kepada payung hukum prinsip syariah yang telah di keluarkan oleh Fatwa DSN-MUI

No. 25/DSN-MUI/III/2002 taggal 26 Juni 2002 yang menyatakan tentang pinjaman dengan

menggadaikan barang seabagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dalam

Syariat. Pegadaian syaraiah dalam praktiknya/pengoprasiannya harus menggunakkan dua

metode yakni: ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan mudharabah (Bagi Hasil).

Kata Kunci: Gadai, Murtahin, Marhun, Ujrah, Mudharabah

Page 2: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

56

PENDAHULUAH

Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong

dalam segala hal, salah satunya dengan memberi atau meminjamkan. Dalam hal pinjam

meminjam, hukum Islam menjaga kepentingan orang yang memberi pinjaman agar tidak

dirugikan. Oleh karena iu pihak pemberi pinjaman diperbolehkan unuk meminta barang

kepada peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.

Islam menyediakan suatu sistem ekonomi yang meniscayakan penggunaan

sumber-sumber daya yang diberikan Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok

umat manusia dan memberikan kepada mereka kondisi kehidupan yang layak. Ekonomi

Islam identik dengan prinsip syariah. Syariah merupakan ajaran Islam tentang hukum

Islam atau peraturan yang harus dilaksanakan dan/atau ditinggalkan oleh manusia. Salah

satu jasa dalam keuangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah gadai syariah (al-

rahn). Gadai syariah yang dikenal dengan rahn (mortgage) adalah pelimpahan

kekuasaan oleh suatu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh

diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari

pemberi amanah.1 Dalam hukum positif, rahn diistilahkan dengan barang jaminan dan

agunan. Jika dipahami secara mendalam, sebenarnya rahn merupakan sarana tolong

menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.

Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut fiqih islam juga

berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat. Yang mana dalam

ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima

pembayaran secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas

pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.1

Gadai yang dalam fiqih disebut dengan rahn merupakan barang yang dijadikan

sebagai jaminan kepercayaan. Barang atau harta tersebut diserahkan sebagai jaminan

secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. 2

Menggadaikan barang telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai saat ini

gadai masih ada, terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah

dalam gadai, seperti pegadaian. Bahkan saat ini telah muncul pegadaian syariah.

Pegadaian dalam perspekif ekonomi merupakan salah satu alternattif pendanaan yang

efekif karena tidak memerlukan proses dan persyaraan yang rumit. Perum pegadaian

1 Naniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2000), cet.5, h.

290 2 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: SinarGrafika,1996), cet II, h. 140

Page 3: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

57

sampai saat ini merupakan satu-satunya lembaga formal di Indonesia yang berdasarkan

hukum diperbolehkan melakukan pembiayaan dengan bentuk penyaluran kredit atas

dasar hukum gadai. Tugas pokok perum gadai adalah menjembatani kebutuhan dana

masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasar hukum gadai. Tugas tersebut

dimaksudkan untuk membentu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik

lintah darat.

Konsep operasi Pengadaian Syariah mengacu pada sistem administrasi modern

yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas, yang diselaraskan dengan nilai Islam.

Fungsi operasi pengadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang

Pengadain Syariah /Unit layanan Gadai Syariah itu (ULGS) sebagai satu unit organisasi

di bawah binaan Divisi Usaha lain Perum Pengadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis

mandiri yang secara stuktural terpisah pengelolaanya dari usaha gadai konvensinal.

Pengadaian Syariah pertama kali berdiri di jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai

Syariah (ULGS) kemudian berkembang dikota-kota besar seperti, semarang, surabaya.3

Dalam fiqh muamalah konsep gadai tersebut dikenal dengan rahn yaitu akad

menahan barang yang bersifat materi dan bernilai ekonomi milik rahin sebagai jaminan

pinjaman, agar murtahin memperoleh jaminan untuk mendapatkan kembali uang yang

telah dipinjamkan kepada siberi piutang melalui barang jaminan tersebut senilai uang

yang telah dipinjamkan jika suatu ketika rahin tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.4

KAJIAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

a. Kajian Teori

1) Pengertian Pegadaian Syari’ah

Pengadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas

suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang mempunyai

utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.5 Seseorang yang

berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan

barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.6

Perusahaan Umum pengadaian adalah suatu badan usaha di indonesia yang secara resmi

mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam

bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.

3 Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 357 4 Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: CV. Alfabeta, 2011), Cet. ke- 1, h. 22

5 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PrenadaMedia, 2009),382. 6 Ibid. ,hal 1.

Page 4: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

58

Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah Ar-Rahn (gadai),7 menurut

bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang

sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn‟‟ yaitu suatu perjanjian untuk menahan

sesutu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn‟‟secara etimologi berarti

“tetap”berlangsung‟‟dan menahan‟‟maka dari segi bahasa rahn bisa diartiakan sebagai

menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam

sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

Pegadaian syariah atau rahn dalam operasionalnya dengan menggunakan metode Fee

based Income (FBI) atau dalam istilah agama Islam lebih dikenal dengan akad Muidharabah

(Bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhun bih (up)8 mempunyai tujuan

yang berbeda-beda, misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah, atau tambahan modal

kerja yang sifatnya untuk pembiayaan agar dapat terpenuhi kebutuhan yang diinginkan.

Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang

mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟sebagai jaminan, hingga orang yang

bersangkutan boleh mengambil utang. Sebagai penerima gadai atau mutahim, pegadaian akan

mendapatkan surat bukti rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang telah

disepakati diawal, yang biasa disebut dengan akad gadai syariah dan akad sewa tempat

(ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan apabila dalam jangka waktu akad tidak

diperpanjang, maka pegadaian menyetujui angunan (marhun) miliknyua dijual oleh murtahin

guna melunasi pinjaman yang telah dilakukan.

2) Dasar Hukum Gadai9

1. Al Quran. Dasar hukum perjanjian gadai di jelaskan dalam Al Quran Surat Al

Baqarah ayat 282 dan 283, yaitu sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”

“jika kau dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka

hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan

tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang

dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)…”10

7 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 2007), hal 75. 8 Herry Susanto, manajemen Pemasaran bank Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 389. 9 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, Konsep, Implikasi, dan Institusionali (Yogyakarta: Gajah

Mada University Press, 2011), h. 113 10

Mustafa Muhammad Amaroh, Jawahir Al-Bukhari, (Semarang: PustakaAlawiyyah, tth)h. 255.

Page 5: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

59

2. As Sunah. Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: “Rasulullah membeli makanan

dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan

Muslim).

Dari Abu Hurairah r.a Nabi SAW Bersabda: “Tidak terlepas dari kepemilikan

barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan

menanggung risikonya” (HR Asy‟Syafii. Al Daraquthni dan Ibnu Majah).

Nabi bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan

menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat di perah

susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan

memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (HR

Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai).11

3. Ijtihad. Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga

berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini.

Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan bahwa pada waktu tidak bepergian

maupun pada waku bepergian, berargumenasi kepada perbuatan Rasulullah SAW

terhadap riwayat hadis tenang orang Yahudi tersebut di Madinah12

. Adh-Dhahak

dan penganut mazhab Az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak disyaratkan

kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan mereka telah

terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.13

3) Rukun dan Syarat sahnya Perjanjian Gadai

Rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, atau

rukun adalah penyempurnaan sesuatu dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.

Oleh karena itu, sempurna atau tidak sempurna gadai telah dipengaruhi oleh unsur-

unsur yang ada dalam perbuatan gadai itu sendiri. Menurut ulama Hanafiyyah adalah,

ijab dari ar-Rahahin (pihak yang menerima gadai) dan qabul dari al-Murtahin (pihak

yang menerima gadai), seperti akad-akad yang lain. Akan tetapi akad ar-Rahnu belum

sempurna dan belum berlaku mengikat (lazim) kecuali setelah adanya al-Qadhbu

(serah terima barang yang digadaikan).14

1. Ijab qabul (Sighot)

2. Orang yang bertransaksi (Aqid)

11 Herry Susanto, manajemen Pemasaran bank Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 392. 12

Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, (Bandung: Al Maarif jilid 13, 1987),h.141 13 Ali Zainudin, Hukum Gadai Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. 1, h. 8 14

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatahu, (Damaskus: Darul Fikri 2007),cet. Ke-10, h. 111

Page 6: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

60

3. Adanya barang yang digadaikan (Marhun)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin

(pemberi gadai) adalah: Dapat diserahterimakan, Bermanfaat, Milik rahn (orang

yang menggadaikan), Jelas, Tidak bersatu dengan harta lain, Dikuasai oleh rahin,

Harta yang tetap atau dapat dipindahkan15

dan Barang-barang yang tidak boleh di

perjual belikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di

pohonnya yang belum masak. 16

4. Marhun bih (utang)

Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utama yang dapat dijadikan alas

gadai adalah:

a. Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan

b. Utang harus lazim pada waktu akad

c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahun

Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murthahin,

maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali

jika murthahim bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan

adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murthahin

dengan disuruh bersumpah kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang

menguatkan dakwaanya.

b. Kajian Pustaka

Pertama, juranal Syafuri dengan judul “aktivitas Gadai Syariah dan

Implikasinya Terhadap produktivitas masyarakat di Provinsi Banten”. Jurnal ini

menjelaskan tentang aktivitas gadai syariah dilakukan oleh Bank Umum Syariah, Unit

Pembiayaan Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Aktivitas gadai syariah

ini, dalam kenyataannya, memang ditujukan untuk mendorong produktivitas

masyarakat berupa: tumbuhnya kegiatan ekonomi Islami, meningkatnya kualitas

hidup masyarakat, berkurangnya tingkat kemiskinan, stabilitas perekonomian, dan

perlindungan masyarakat dari sistem bunga. Penelitian ini menemukan fakta bahwa

15

Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, Konsep, Implikasi, dan Institusionali (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2011), h. 115 16 Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 532

Page 7: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

61

dengan bertambahnya lembaga-lembaga pembiayaan syariah maka jumlah penduduk

miskin makin berkurang dan angka partisipasi sekolahpun semakin meningkat.17

Kedua, Jurnal Faridatun Sa‟adah (ATIAI Al-Muhlisin Ciseeng Bogor) judul

“Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah dalam Upaya Menarik Minat Nasabah

pada Pegadaian Syariah”. Jurnal ini membahas tentang bagaimana strategi pegadaian

menggunakan prinsip syariah, karena diharapkan dengan menggunakan prinsip

syariah Islam dapat memberikan mashlahat bagi umat manusia dan salah satu

kelebihan dari lembaga keuangan syariah adalah tidak boleh meminta kelebihan dari

pokok pinjaman, karena hal yang demikian itu termasuk riba. Sebagaimana kita

ketahui bahwa riba didalam Islam itu sangatlah diharamkan. Perkembangan lembaga-

lembaga keuangan Islam di Indonesia dapat dikategorikan cepat dan yang menjadi

salah satu faktor tersebut adalah adanya keyakinan pada masyarakat muslim bahwa

perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama

Islam.18

PEMBAHASAN

1. Sejarah Pengadain

Kegiatan gadai pada sejarah peradaban manusia sudah terjadi di negara Cina pada

tahun 3000 silam yang lalu. Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris,

dan Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Hindia Belanda, yaitu

sekitar akhir abad -XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut

memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini

pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal abad 20-an pemerintah Hindia-

Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara

mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian

rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak

berlakunya staatsblad No.226 tahun 1960.19

Selanjutnya pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan

pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan hukum

sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Pada tahun 1960 Dinas

17 aktivitas Gadai Syariah dan Implikasinya Terhadap produktivitas masyarakat di Provinsi Banten 18 Faridatun Sa‟adah (ATIAI Al-Muhlisin Ciseeng Bogor) judul “Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah

dalam Upaya Menarik Minat Nasabah pada Pegadaian Syariah” 19 Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-

Pres,2008), hal 123-125.

Page 8: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

62

Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian. Pada tahun 1969 Perusahaan

Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, pada

tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian melalui PP No. 10 tahun 1990

tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi

sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemennya

dalam mengelola pegadaian20

.

Hal itu sebagaimana diatur dalam staatsblad tahun 1901 No. 131. Isi dari KUHP-nya

ketika itu adalah: Sejak saat itu di bagian Sukabumi kepada siapa pun tidak diperkenankan

untuk dengan memberi gadai atau dalam bentuk jual beli dengan hak membeli kembali,

meminjamkan uang tidak melebihi 100 (seratus) golden. Dengan hukuman tergantung kepada

kebangsaan para pelanggar yang diancam dalam Pasal 337 KUHP bagi orang-orang Eropa

dan Pasal 339 KUHP bagi orang-orang Pribumi21

.

Pada mulanya Jawatan Pegadaian Negara melakukan upaya khusus untuk menumpas

segala macam praktek pinjam-meminjam yang tidak diinginkan. Artinya, yang dirugikan

masyarakat, misalnya suku bunga yang tinggi, lelang yang diatur, barang gadaian yang tidak

terawat. Dengan cara ini akhirnya mosi percaya dari masyarakat dapat ditegakkan.

Pengawasan langsung oleh pemerintah diberlakukan di seluruh Jawa dan Madura pada tahun

1904.22

Latar belakang pendirian Pegadaian Negara waktu itu adalah untuk mencegah ijon,

rentenir, dan pinjaman tidak wajar lainnya serta meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil.

Maka, kehadiran pegadaian di tengah masyarakat waktu itu diharapkan mampu menekan

praktik pinjaman tidak wajar yang sangat memberatkan masyarakat.

Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pengadaian Pra Fatwa MUI

tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syari‟ah

meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan

itu.23

Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang akhirnya disusunlah

suatu konsep pendirian unit layanan Gadai Syariah sebagai langakah awal pembentukan

divisi khusus yang menagani kegiatan usaha syariah24

.

Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jamiana pembayaran kembali pada banka

dalam memberikan pembiayaan. Sementara manfaatnya rahn dapat diketahui oleh bank

20 Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 80-81. 21 Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-

Pres,2008), hal 124. 22

Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 82-83 23 Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 356 24 Ibid. ,hal 86.

Page 9: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

63

dengan prinsip Al-Rahn adalah sebagai25

berikut: 1). Menjaga kemungkinan nasabah untuk

lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank. 2).

Memeberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak

akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang

(Marhun) yang dipegang oleh bank. 3). Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian,

sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di

daerah-daerah.26

2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad

Gadai syariah (rahn) merupakan salah satu alternatif pembiayaan dengan bentuk

pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan pada prinsip

syariat Islam dan terhindar dari praktek riba atau penambahan sejumlah uang atau persentase

tertentu dari pokok utang pada waktu membayar utang. Rahn adalah Menahan salah satu

harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn

adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan

pembiayaan. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai.27

Biasanya akad yang

digunakan adalah akad qardh wal ijarah yaitu akad pemberian jaminan dari bank untuk

nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar Bank menjaga barang jaminan yang

diserahkan.28

Ada beberapa hak dan kewajiban dalam pelaksanaan akad pegadaian baik pada

konvensionala taupun pada syariah, yaitu:

1) Penerima Gadai (Murtahin)

Hak Penerima Gadai

a) Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin

berhak untuk menjual marhun.

b) Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan

penggantian biaya yang dikeluarkan.

c) Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum

dilunasin

25

Adiwarman Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Edisi Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004), h. 126. 26

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 130 27

Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-

Pres,2008), hal 128-129. 28 Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 92-93.

Page 10: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

64

2) Kewajiban Penerima Gadai

a) Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun carat) terhadap marhun akibat dari kelalaian,

maka marhun harus bertanggung jawab.

b) Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.

c) Sebelum diadakan pelelengan marhun, harus ada pumberitahuan kepada rahin.

3) Pemberi Gadai (Rahin)

Hak Pemberi Gadai

a) Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada

murtahin.

b) Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin,

rahin menuntut ganti rugi atas marhun.

c) Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima

sisa hasil penjualan marhun.

d) Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak

untuk meminta marhunnya kembali

Kewajiban Pemberi Gadai

a) Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu

yang telah ditentukan

b) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi

pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya.29

3. Berakhirnya Akad Rahn

Suatu perjanjian tidak akan bersifat langgeng, artinya setiap perjanjianj akan ada

batas waktu yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku baik pada peraturan

tertulis atau tidak tertulis. Pegadai juga mempunyai peraturan tentang berakhirnya suatu

perjanjian atau batalnya perja njian tersebut, sebagai berikut: Barang telah diserahkan

kembali kepada pemiliknya, Rahin membayar hutangnya, Dijual dengan perintah hakim

atas perintah rahin, Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada

persetujuan dari pihak rahin.30

Apabila pemegang dagai telah menjual barang gadaiannya dan ternyata ada

kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si pegadai, maka kelebihan tersebut harus

diberikan kepada sipegadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan

29

Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-

Pres,2008), hal 41-46 30 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: UGM Press,2006), hal 98.

Page 11: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

65

ternyata belum melunasi hutang si penggadai, maka si penggadai masih punya kewjiban

untuk membayar kekurangannya.31

4. Barang Jaminan

Gadai menggadai adalah jenis transaksi yang telah lumrah dilakukan masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa transaksi gadai dibutuhkan oleh manusia dalam hubungan

interaksi (mu‟amalah) mereka di dunia. Sejalan dengan ini, akad gadai adalah jenis

transaksi yang dihalalkan oleh syariat dengan dalil dari Alquran, sunnah dan ijma para

ulama. Namun tentu saja transaksi itu harus dilakukan dengan aturan-aturan yang wajib

diperhatikan. Karena ternyata dalam prakteknya, transaksi ini tidak jarang dilakukan

dengan tanpa mengindahkan aturan-aturan syar‟i, sehingga terjatuh pada perkara yang

diharamkan dan menyimpang dari tujuan akad gadai itu sendiri.

Diantara permasalahan yang terkait dengan gadai adalah tentang memanfaatkan

barang gadaian yang ada pada pemegang barang gadai/pemberi piutang. Pemanfaatan

marhun bih oleh nasabah dipegadaian syariah diadakan pengidentifikasian pada saat calon

nasabah mengajukan pinjaman.

Mayoritas ulama membolehkan pegadaian memanfaatkan barang yang

digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin selain itu pengadai harus menjamin

barang tersebut selamat dan utuh. Dari Abu Hurairah r.a bahsawanya Rasulullah saw

berkata: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang

menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada

kerugian atau biaya” (HR Syafi‟i dan Daruqutni). Se-dangkan Mazhab Hambali,

berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak boleh mempergunakan barang

rahn.32

5. Sumber pendanaan

Terkadang, beberapa hal menuntut kita untuk mengeluarkan sejumlah dana yang

berlipat kali lebih besar dibandingkan pengeluaran biasanya. Keadaan mendesak seperti

ini akhirnya membuat kita harus cerdas memutar otak agar bisa mendapatkan jalan keluar

terbaik selain harus menjual beberapa harta pribadi guna melunasi keperluan yang

bersifat urgent tersebut. Untungnya, kini hadir Pegadaian yang memberikan alternatif

penyelesaian terutama bagi kita yang sedang membutuhkan dana besar tanpa harus

kehilangan harta pribadi.

31 Pasal 18 ayat 1 huruf a UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 32 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: UGM Press,2006), hal 92-94

Page 12: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

66

ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa

memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut.

Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem

bunga ( memungut bunga dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan

mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat

memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari

sekali.

Seiring bekembangnya waktu, saat ini Pegadaian telah berkembang, tidak hanya

melayani kredit berbasis gadai, tetapi juga jasa keuangan lain, seperti kredit berbasis

fidusia, pembiayaan investasi emas, dan jasa keuangan lainnya

Adapun sumber pendanaan pada pegadaian syariah/ lembaga keuangan syariah

antara lain adalah:

1. Modal

Diantara sumber dana yang lain, modal merupakan sumber yang paling

penting sejak awal sebelum dibentuknya bank syariah.

2. Kreasi

Kreasi atau kredit angsuran fiduasia merupakan pemberian pinjaman kepada

para pengusaha mikro kecil (dalam rangka pembangunan usaha) dengan kontruksi

pinjaman secara fiduasia dan pengembalian pinjamannya dilakukan melalui angsuran.

3. Krasida

Krasida atau kredit angsuran sistem gadai merupakan pemberian pinjaman

kepada para penguasa mikro kecil (dalam rangka pengembangan usaha) atas dasar

gadai yang pengambilan pinjamannya dilakukan melalui angsuran.

4. Jasa titipan

Jasa titipan adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat yang ingin

menitipkan barang-barang atau surat berharga yang dimilikinya terutama bagi orang-

orang yang akan pergi meninggalkan rumah dalam waktu lama, misal menunaikan

ibadah haji, pergi keluar kota dengan tujuan merantau atau lain sebaginya.33

5. Wadi’ah atau titipan.

Dalam rekening tabungan, wadi’ah diartikan titipan yang bisa digunakan oleh

bank dengan lebih fleksibel untuk mendapatkan keuntungan, hasil dari keuntungan

tersebut akan dibagi dengan nasabah sesuai dengan kesepakatan yang terjadi di awal.

33 Ibid. , hal 101-102

Page 13: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

67

6. Qardh atau pinjaman kebajikan.

Dana ini dapat digunakan bank untuk segala kegiatan perbankan yang

menguntungkan dan hasil keuntungan dari kegiatan tersebut kemudian akan dibagi

dengan nasabah sesuai dengan kesepakan yang ada.

7. Mudharabah atau bagi hasil.

Mudharabah umumnya akan diintegrasikan dengan rekening investasi

berjangka. Mudharabah bukan hanya sistem bagi hasil saja, namun juga membagi

resiko kerugian yang mungkin akan terjadi.34

8. Gadai Gabah

Merupakan kredit tunda jual komuditas pertanian yang diberikan kepada

petani dengan jaminan gaba kering giling.

9. Gadai Investasi

Merupakan produk pegadaian yang dikeluarkan oleh pegadaian untuk para

nasabah yang berupa bentuk saham yang sudah tercatat dan bisa diperjual belikan

pada Bursa Efek Indonesi atau Obligasi negara Ritel.

10. Krista

Kredit usaha rumah tangga suatu kredit yang dikeluarkan untuk para pelaku

pengusaha mikro yang berkelompok dengan jaminan sistem tanggung rentang

diantara anggota kelompok.

11. Gadaiu Syariah

Gadai Syariah (Rahn) suatu prodek jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-

prinsip syariah dimana para nasabah hanya dibebani dengan biaya administrasi dan

biaya jasa pinjaman dan pemeliharaan barang jaminan.

12. Arrum

Ar-Rahn untuk Usaha Mikro Kecil (ARRUM) merupakan pembiayaan bagi

para pengusaha mikro kecil untuk pengembangan usaha dengan prinsip syariah.

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan

kegiatan dan pendanaan bagi nasabah harus diperoleh dari sumber yang benar-benar

terbibas dari unsur riba.35

Dalam hal ini seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk

34

Faridatun Sa‟adah, Strategi pemasaran Produk gadai Syariah dalam Upaya menarik Minat Nasabah pada

Pegadaian Syaria, Jurnal (Bogor: STAI Al-Muhlishin,2015) 35 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PrenadaMedia, 2009), hal 394.

Page 14: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

68

dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah murni dari sumber yang dapat

dipertanggung jawabkan baik secar nyata atau secara abstrak. Pegadaian sudah

melakukan suatu kerja sama antara Bank Muamalat sebagai fundernya, kedepan

pegadaian juga akan melakukan sistem kerjasama dengan lembaga keuangan syariah

lainnya untuk mendapatkan sebuah back-up modal kerja.

6. Mekanisme Produk Gadai Syariah

Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat

adalah pembiayaan dengan memberikan jaminan atau menggadaiakan sesuatu yang

dimiliknya untuk mendapatkan pembiayaan yang diinginkan. Pegadaian adalah salah satu

lembaga keuangan alternative bagi masyarakat untuk mendapsatksn suatu pembiayaan di

sektor riil. Kebanyakan masyarakat yang menggunakan jasa pegadaian adalah masyarakat

menengah kebawah yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang

rendah.

Secara tehnis implimentasi kegiatan usaha Pegadaiayan adalah sebagai berikut:

1) Nasabah menjaminkan barang (Marhun) kepada pegadaian syariah untuk

mendapatkan pembiayaan.

2) Pegadaian syariah denga pihak nasabah menyepakati akad gadai yang meliputi pada

jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa simpanan, dan biaya administrasi.

3) Pegadaian syariah memberikan pembiayaan atau jasa yang dibutuhkan nasabah sesuai

dengan kesepakatan yang telah ditanda tangani.

4) Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.

5) Pegadaian (Murtahin) mengembalikan harta benda yang digadai (Marhun) kepada

pemiliknya (nasabah).36

Implementasi operasi Pegadaiayan Syariah pada umumnya hampir sama dengan

kegiatan Pegadaian konvensiaonal, yang mana cara penghimpunan dananya dapat

diperoleh dari penyaluran dana pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Disamping

dari beberapa mekanismenya mempunyai banyak kemiripan antara pegadaian Syariah dan

pegadaian konvensional, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknis transaksi dan

sistem pendanaan pada pegadaian syariah mempunyai ciri tersendiri yang berlandaskan

pada Al-Qur‟an, hadist dan kesepakatan para ulama yang memperbolehkan akad rahn.

Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.

25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 16 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan

36 Bahruddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2010), h1l 180

Page 15: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

69

menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan

ketentuan yang berlaku.37

Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek

landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri

tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.

Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan implementasi dari konsep

dasar Rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh. Secara teknis, pelaksanaan atau

kegiatan pegadaian Syariah.38

Kredit berbasis gadai adalah kredit dengan menjaminkan barang bergerak ke

lembaga pegadaian. Barang yang dijaminkan beraneka ragam mulai dari barang rumah

tangga, barang elektronik, kendaraan sampai perhiasan, terutama emas dan berlian.

Selama ini emas dan berlian tidak hanya digunakan sebagai perhiasan, tetapi juga dapat

dijadikan sebagai objek investasi dan agunan kredit untuk mengembangkan usaha atau

kegiatan lainnya.

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah ke bawah, gadai adalah

cara praktis mendapatkan dana untuk kebutuhan jangka pendek, misalnya pendidikan,

berobat, lebaran, operasional usaha, dan sebagainya. Kredit gadai adalah transaksi

perjanjian utang piutang, dengan agunan berupa barang bergerak yang mempunyai nilai

tinggi dan mudah diperjualbelikan.

Apabila sampai dengan waktu yang ditetapkan nasabah tidak dapat melunasi dan

proses kolektibilitas tidak dapat dilakukan, maka jaminan dijual di bawah tangan dengan

ketentuan:

a. Nasabah tidak dapat melunasi pinjaman sejak tanggal jatuh tempo pinjaman dan tidak

diperbaharui

b. Diupayakan sepengetahuan nasabah dan kepada nasabah diberikan kesempatan untuk

mencari calon pemilik. Apabila tidak dapat dilakukan, maka bank menjual

berdasarkan harga tertinggi dan wajar (karyawan bank tidak diperkenankan memliki

agunan tersebut).39

37 Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 359 tentang landasan

hukum pegadaian syariah dan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional N0. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang ketentuan umum pegadaian Syariah. 38 Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 155 tentang syarat dan ketentuan gadai

syariah dan konvensional di Indonesia. 39

Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 375-378. tentang

pelelangan baranag jamiana yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak dan telah ditinjau dari berbagai

macam aspek sehingga akan terjadi proses pelelangan pada barang jaminan.

Page 16: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

70

Dalam proses pelelangan juga meiliki prosedur tersendiri sebagai berikut:

Prosedur pelelangan barang gadai dalam pegadaian syari‟ah berdasarkan Fatwa

Dewan Syariah Nasional No: 25/DSN-MUI/III/2002 bagian Kedua Butir 5, yang sudah

terlampir pada Fatwa Dewan Syariah Nasional.

Adapun praktik penawaran barang di atas penawaran orang lain – sebagaimana

dilarang oleh Nabi S.A.W. dalam hadits di atas – tidak dapad dikategorikan dalam jual-

beli lelang ini sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zaila‟i dalam Tabyin Al-

Haqaiq(IV/67).

Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kategori: Pertama, bila terdapat pernyataan eksplisit dari

penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang

lain untuk menawarnya tanpa seijin penawar yang disetujui tawarannya. Kedua: bila

tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual,maka tidak ada

larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama.

Kasus ini dianalogikan dari hadist Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi,

bahwa Mu‟awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi

persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliu menawarkan padanya untuk

menikah dengan Usamah bin zaid. Ketiga: bila ada indikasi persetujuan dari penjual

terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut

Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.

Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak,

norma dan etika dalam praktik lelang, Syariat Islam memberikan panduan dan kriteria

umum sebagai pedoman pokok yaitu diantaranya:

a) Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela („an

taradhin).

b) Objek lelang harus halal dan bermanfaat.

c) Kepemilikan / Kuasa Penuh pada barang yang dijual

d) Kejelasan dan transparansi barang yang dilelang tanpa adanya manipulasi.

e) Kesanggupan penyerahan barang dari penjual,

f) Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan

perselisihan.

g) Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan

tawaran.

Page 17: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

71

SIMPULAN

Berdasarkan pada uraian dan penjelasan yang telah penulis jelaskan tentang masalah

pegadaian syariah, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorng yang berpiutang atas suatu

barang bergerak, yang barang tersebut diserahkan untuk mendapatkan sebuah pinjaman dana

ungtuk bahan jaminan. Barang tersebut akan diambil manfaatnya apabila dalam perjanjian

diawal telah disepakati oleh kedua belah pihak dan barang tersebut akan dilakukan

pelelangan apabila pemilik barang tidak dapat melunasi hutang yang dimilikinya.

Kedua, pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya

berpegang teguh kepada payung hukum prinsip syariah yang telah di keluarkan oleh Fatwa

DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 taggal 26 Juni 2002 yang menyatakan tentang

pinjaman dengan menggadaikan barang seabagai jaminan utang dalam bentuk rahn

diperbolehkan dalam Syariat. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk kepada

peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990.

Ketiga, pegadaian syaraiah dalam praktiknya/pengoprasiannya harus menggunakkan

dua metode yakni: ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan mudharabah (Bagi Hasil). Namun

metode ujrah hingga saat ini masih mendominasi. Sedangkan usaha dalam p[egadaian syariah

pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus

memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan syariah.

Page 18: PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH

72

DAFTAR RUJUKAN

Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syari’ah di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press. 2006.

Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah. Bandung: Alfabeta. 2011.

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PrenadaMedia. 2009.

Adiwarman Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Edisi Kedua. Jakarta: Raja

Grafindo Persada. 2004.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah.

2000.

Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah. Bandung: CV. Alfabeta. 2011.

Ali Zainudin, Hukum Gadai Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer).

Jakarta: UII-Pres,.2008.

Burhanuddin, Aspek Hukum Lembanga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 1996.

Faridatun Sa‟adah judul Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah dalam Upaya Menarik

Minat Nasabah pada Pegadaian Syariah (STIAI Al-Muhlisin Ciseeng Bogor).

Herry Susanto, manajemen Pemasaran bank Syariah. Bandung: Pustaka Setia. 2013.

Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: Pustaka Setia,2013.

Mustafa Muhammad Amaroh, Jawahir Al-Bukhari. Semarang: PustakaAlawiyyah.

Naniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2000.

Pasal 18 ayat 1 huruf a UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunah. Bandung: Al Maarif jilid 13. 1987.

Syafuri, Aktivitas Gadai Syariah dan Implikasinya Terhadap Produktivitas Masyarakat

Prrovinsi Banten, Jurnal dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Banten Iain

Sultan Maulana Hasanudin Banten.

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata hukum Perbankan

Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2007.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatahu. Damaskus: Darul Fikri. 2000.

Zainuddin Ali. Hukum gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.