pegadaian dalam lingkup fiqih muamalah
TRANSCRIPT
55
PEGADAIAN DALAM LINGKUP FIQIH MUAMALAH
Lukman Jensen 1, Yuliawati
2
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Pacitan [email protected],
Abstrak – Gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang (murtahin) atas
suatu barang bergerak (marhun), dengan perjanjian gadai, dua kepentingan sekaligus dapat
terlaksana,untuk kreditur akan ada kepastian pelunasan hutang akan tetapi jangan sampai ada
indikasi untuk menguasai barang gadai tersebut, Sedangkan untuk debitur ketika seseorang
membutuhkan uang atau barang tidak sampai menjual barangnya dengan harga yang kurang
dari harga semestinya. Pada penelitian ini, isu hukum yang dijelaskan sistematis dalam
bentuk rumusan masalah yaitu apa saja bentuk regulasi serta mekanisme yang diberlakukan
dalam pegadaian syariah yaitu: 1). Pegadaian menurut umum dan sistem pelaksanaannya. 2).
Pegadaian Syariah menurut Fatwa DSN-MUI. 3). Mekanisme pelaksanaan pegadaian
menurut hukum fiqh. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif,
dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan
yuridis normatif. Bahan hukum (data) hasil pengolahan untuk penelitian dianalisis dengan
menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat
yang tersusun secara teratur, logis, dan efektif. Sedangkan hasil dari penelitian ini yakni:
pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang
teguh kepada payung hukum prinsip syariah yang telah di keluarkan oleh Fatwa DSN-MUI
No. 25/DSN-MUI/III/2002 taggal 26 Juni 2002 yang menyatakan tentang pinjaman dengan
menggadaikan barang seabagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dalam
Syariat. Pegadaian syaraiah dalam praktiknya/pengoprasiannya harus menggunakkan dua
metode yakni: ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan mudharabah (Bagi Hasil).
Kata Kunci: Gadai, Murtahin, Marhun, Ujrah, Mudharabah
56
PENDAHULUAH
Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong
dalam segala hal, salah satunya dengan memberi atau meminjamkan. Dalam hal pinjam
meminjam, hukum Islam menjaga kepentingan orang yang memberi pinjaman agar tidak
dirugikan. Oleh karena iu pihak pemberi pinjaman diperbolehkan unuk meminta barang
kepada peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Islam menyediakan suatu sistem ekonomi yang meniscayakan penggunaan
sumber-sumber daya yang diberikan Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
umat manusia dan memberikan kepada mereka kondisi kehidupan yang layak. Ekonomi
Islam identik dengan prinsip syariah. Syariah merupakan ajaran Islam tentang hukum
Islam atau peraturan yang harus dilaksanakan dan/atau ditinggalkan oleh manusia. Salah
satu jasa dalam keuangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah gadai syariah (al-
rahn). Gadai syariah yang dikenal dengan rahn (mortgage) adalah pelimpahan
kekuasaan oleh suatu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari
pemberi amanah.1 Dalam hukum positif, rahn diistilahkan dengan barang jaminan dan
agunan. Jika dipahami secara mendalam, sebenarnya rahn merupakan sarana tolong
menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.
Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut fiqih islam juga
berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat. Yang mana dalam
ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima
pembayaran secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas
pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.1
Gadai yang dalam fiqih disebut dengan rahn merupakan barang yang dijadikan
sebagai jaminan kepercayaan. Barang atau harta tersebut diserahkan sebagai jaminan
secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. 2
Menggadaikan barang telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai saat ini
gadai masih ada, terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah
dalam gadai, seperti pegadaian. Bahkan saat ini telah muncul pegadaian syariah.
Pegadaian dalam perspekif ekonomi merupakan salah satu alternattif pendanaan yang
efekif karena tidak memerlukan proses dan persyaraan yang rumit. Perum pegadaian
1 Naniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2000), cet.5, h.
290 2 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: SinarGrafika,1996), cet II, h. 140
57
sampai saat ini merupakan satu-satunya lembaga formal di Indonesia yang berdasarkan
hukum diperbolehkan melakukan pembiayaan dengan bentuk penyaluran kredit atas
dasar hukum gadai. Tugas pokok perum gadai adalah menjembatani kebutuhan dana
masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasar hukum gadai. Tugas tersebut
dimaksudkan untuk membentu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik
lintah darat.
Konsep operasi Pengadaian Syariah mengacu pada sistem administrasi modern
yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas, yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Fungsi operasi pengadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang
Pengadain Syariah /Unit layanan Gadai Syariah itu (ULGS) sebagai satu unit organisasi
di bawah binaan Divisi Usaha lain Perum Pengadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis
mandiri yang secara stuktural terpisah pengelolaanya dari usaha gadai konvensinal.
Pengadaian Syariah pertama kali berdiri di jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai
Syariah (ULGS) kemudian berkembang dikota-kota besar seperti, semarang, surabaya.3
Dalam fiqh muamalah konsep gadai tersebut dikenal dengan rahn yaitu akad
menahan barang yang bersifat materi dan bernilai ekonomi milik rahin sebagai jaminan
pinjaman, agar murtahin memperoleh jaminan untuk mendapatkan kembali uang yang
telah dipinjamkan kepada siberi piutang melalui barang jaminan tersebut senilai uang
yang telah dipinjamkan jika suatu ketika rahin tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.4
KAJIAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
a. Kajian Teori
1) Pengertian Pegadaian Syari’ah
Pengadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas
suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang mempunyai
utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.5 Seseorang yang
berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan
barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.6
Perusahaan Umum pengadaian adalah suatu badan usaha di indonesia yang secara resmi
mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam
bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
3 Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 357 4 Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: CV. Alfabeta, 2011), Cet. ke- 1, h. 22
5 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PrenadaMedia, 2009),382. 6 Ibid. ,hal 1.
58
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah Ar-Rahn (gadai),7 menurut
bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang
sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn‟‟ yaitu suatu perjanjian untuk menahan
sesutu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn‟‟secara etimologi berarti
“tetap”berlangsung‟‟dan menahan‟‟maka dari segi bahasa rahn bisa diartiakan sebagai
menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Pegadaian syariah atau rahn dalam operasionalnya dengan menggunakan metode Fee
based Income (FBI) atau dalam istilah agama Islam lebih dikenal dengan akad Muidharabah
(Bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhun bih (up)8 mempunyai tujuan
yang berbeda-beda, misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah, atau tambahan modal
kerja yang sifatnya untuk pembiayaan agar dapat terpenuhi kebutuhan yang diinginkan.
Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟sebagai jaminan, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil utang. Sebagai penerima gadai atau mutahim, pegadaian akan
mendapatkan surat bukti rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang telah
disepakati diawal, yang biasa disebut dengan akad gadai syariah dan akad sewa tempat
(ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan apabila dalam jangka waktu akad tidak
diperpanjang, maka pegadaian menyetujui angunan (marhun) miliknyua dijual oleh murtahin
guna melunasi pinjaman yang telah dilakukan.
2) Dasar Hukum Gadai9
1. Al Quran. Dasar hukum perjanjian gadai di jelaskan dalam Al Quran Surat Al
Baqarah ayat 282 dan 283, yaitu sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”
“jika kau dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)…”10
7 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2007), hal 75. 8 Herry Susanto, manajemen Pemasaran bank Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 389. 9 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, Konsep, Implikasi, dan Institusionali (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011), h. 113 10
Mustafa Muhammad Amaroh, Jawahir Al-Bukhari, (Semarang: PustakaAlawiyyah, tth)h. 255.
59
2. As Sunah. Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: “Rasulullah membeli makanan
dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan
Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a Nabi SAW Bersabda: “Tidak terlepas dari kepemilikan
barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya” (HR Asy‟Syafii. Al Daraquthni dan Ibnu Majah).
Nabi bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat di perah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (HR
Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai).11
3. Ijtihad. Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga
berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini.
Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan bahwa pada waktu tidak bepergian
maupun pada waku bepergian, berargumenasi kepada perbuatan Rasulullah SAW
terhadap riwayat hadis tenang orang Yahudi tersebut di Madinah12
. Adh-Dhahak
dan penganut mazhab Az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak disyaratkan
kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan mereka telah
terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.13
3) Rukun dan Syarat sahnya Perjanjian Gadai
Rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, atau
rukun adalah penyempurnaan sesuatu dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, sempurna atau tidak sempurna gadai telah dipengaruhi oleh unsur-
unsur yang ada dalam perbuatan gadai itu sendiri. Menurut ulama Hanafiyyah adalah,
ijab dari ar-Rahahin (pihak yang menerima gadai) dan qabul dari al-Murtahin (pihak
yang menerima gadai), seperti akad-akad yang lain. Akan tetapi akad ar-Rahnu belum
sempurna dan belum berlaku mengikat (lazim) kecuali setelah adanya al-Qadhbu
(serah terima barang yang digadaikan).14
1. Ijab qabul (Sighot)
2. Orang yang bertransaksi (Aqid)
11 Herry Susanto, manajemen Pemasaran bank Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 392. 12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, (Bandung: Al Maarif jilid 13, 1987),h.141 13 Ali Zainudin, Hukum Gadai Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. 1, h. 8 14
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatahu, (Damaskus: Darul Fikri 2007),cet. Ke-10, h. 111
60
3. Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin
(pemberi gadai) adalah: Dapat diserahterimakan, Bermanfaat, Milik rahn (orang
yang menggadaikan), Jelas, Tidak bersatu dengan harta lain, Dikuasai oleh rahin,
Harta yang tetap atau dapat dipindahkan15
dan Barang-barang yang tidak boleh di
perjual belikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di
pohonnya yang belum masak. 16
4. Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utama yang dapat dijadikan alas
gadai adalah:
a. Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan
b. Utang harus lazim pada waktu akad
c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahun
Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murthahin,
maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali
jika murthahim bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan
adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murthahin
dengan disuruh bersumpah kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang
menguatkan dakwaanya.
b. Kajian Pustaka
Pertama, juranal Syafuri dengan judul “aktivitas Gadai Syariah dan
Implikasinya Terhadap produktivitas masyarakat di Provinsi Banten”. Jurnal ini
menjelaskan tentang aktivitas gadai syariah dilakukan oleh Bank Umum Syariah, Unit
Pembiayaan Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Aktivitas gadai syariah
ini, dalam kenyataannya, memang ditujukan untuk mendorong produktivitas
masyarakat berupa: tumbuhnya kegiatan ekonomi Islami, meningkatnya kualitas
hidup masyarakat, berkurangnya tingkat kemiskinan, stabilitas perekonomian, dan
perlindungan masyarakat dari sistem bunga. Penelitian ini menemukan fakta bahwa
15
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, Konsep, Implikasi, dan Institusionali (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2011), h. 115 16 Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 532
61
dengan bertambahnya lembaga-lembaga pembiayaan syariah maka jumlah penduduk
miskin makin berkurang dan angka partisipasi sekolahpun semakin meningkat.17
Kedua, Jurnal Faridatun Sa‟adah (ATIAI Al-Muhlisin Ciseeng Bogor) judul
“Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah dalam Upaya Menarik Minat Nasabah
pada Pegadaian Syariah”. Jurnal ini membahas tentang bagaimana strategi pegadaian
menggunakan prinsip syariah, karena diharapkan dengan menggunakan prinsip
syariah Islam dapat memberikan mashlahat bagi umat manusia dan salah satu
kelebihan dari lembaga keuangan syariah adalah tidak boleh meminta kelebihan dari
pokok pinjaman, karena hal yang demikian itu termasuk riba. Sebagaimana kita
ketahui bahwa riba didalam Islam itu sangatlah diharamkan. Perkembangan lembaga-
lembaga keuangan Islam di Indonesia dapat dikategorikan cepat dan yang menjadi
salah satu faktor tersebut adalah adanya keyakinan pada masyarakat muslim bahwa
perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama
Islam.18
PEMBAHASAN
1. Sejarah Pengadain
Kegiatan gadai pada sejarah peradaban manusia sudah terjadi di negara Cina pada
tahun 3000 silam yang lalu. Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris,
dan Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Hindia Belanda, yaitu
sekitar akhir abad -XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut
memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini
pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal abad 20-an pemerintah Hindia-
Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara
mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian
rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak
berlakunya staatsblad No.226 tahun 1960.19
Selanjutnya pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan
pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan hukum
sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Pada tahun 1960 Dinas
17 aktivitas Gadai Syariah dan Implikasinya Terhadap produktivitas masyarakat di Provinsi Banten 18 Faridatun Sa‟adah (ATIAI Al-Muhlisin Ciseeng Bogor) judul “Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah
dalam Upaya Menarik Minat Nasabah pada Pegadaian Syariah” 19 Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-
Pres,2008), hal 123-125.
62
Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian. Pada tahun 1969 Perusahaan
Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, pada
tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian melalui PP No. 10 tahun 1990
tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi
sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemennya
dalam mengelola pegadaian20
.
Hal itu sebagaimana diatur dalam staatsblad tahun 1901 No. 131. Isi dari KUHP-nya
ketika itu adalah: Sejak saat itu di bagian Sukabumi kepada siapa pun tidak diperkenankan
untuk dengan memberi gadai atau dalam bentuk jual beli dengan hak membeli kembali,
meminjamkan uang tidak melebihi 100 (seratus) golden. Dengan hukuman tergantung kepada
kebangsaan para pelanggar yang diancam dalam Pasal 337 KUHP bagi orang-orang Eropa
dan Pasal 339 KUHP bagi orang-orang Pribumi21
.
Pada mulanya Jawatan Pegadaian Negara melakukan upaya khusus untuk menumpas
segala macam praktek pinjam-meminjam yang tidak diinginkan. Artinya, yang dirugikan
masyarakat, misalnya suku bunga yang tinggi, lelang yang diatur, barang gadaian yang tidak
terawat. Dengan cara ini akhirnya mosi percaya dari masyarakat dapat ditegakkan.
Pengawasan langsung oleh pemerintah diberlakukan di seluruh Jawa dan Madura pada tahun
1904.22
Latar belakang pendirian Pegadaian Negara waktu itu adalah untuk mencegah ijon,
rentenir, dan pinjaman tidak wajar lainnya serta meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil.
Maka, kehadiran pegadaian di tengah masyarakat waktu itu diharapkan mampu menekan
praktik pinjaman tidak wajar yang sangat memberatkan masyarakat.
Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pengadaian Pra Fatwa MUI
tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syari‟ah
meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan
itu.23
Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang akhirnya disusunlah
suatu konsep pendirian unit layanan Gadai Syariah sebagai langakah awal pembentukan
divisi khusus yang menagani kegiatan usaha syariah24
.
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jamiana pembayaran kembali pada banka
dalam memberikan pembiayaan. Sementara manfaatnya rahn dapat diketahui oleh bank
20 Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 80-81. 21 Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-
Pres,2008), hal 124. 22
Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 82-83 23 Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 356 24 Ibid. ,hal 86.
63
dengan prinsip Al-Rahn adalah sebagai25
berikut: 1). Menjaga kemungkinan nasabah untuk
lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank. 2).
Memeberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak
akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang
(Marhun) yang dipegang oleh bank. 3). Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian,
sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di
daerah-daerah.26
2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
Gadai syariah (rahn) merupakan salah satu alternatif pembiayaan dengan bentuk
pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan pada prinsip
syariat Islam dan terhindar dari praktek riba atau penambahan sejumlah uang atau persentase
tertentu dari pokok utang pada waktu membayar utang. Rahn adalah Menahan salah satu
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn
adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan
pembiayaan. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai.27
Biasanya akad yang
digunakan adalah akad qardh wal ijarah yaitu akad pemberian jaminan dari bank untuk
nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar Bank menjaga barang jaminan yang
diserahkan.28
Ada beberapa hak dan kewajiban dalam pelaksanaan akad pegadaian baik pada
konvensionala taupun pada syariah, yaitu:
1) Penerima Gadai (Murtahin)
Hak Penerima Gadai
a) Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin
berhak untuk menjual marhun.
b) Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan
penggantian biaya yang dikeluarkan.
c) Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum
dilunasin
25
Adiwarman Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Edisi Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 126. 26
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 130 27
Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-
Pres,2008), hal 128-129. 28 Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 92-93.
64
2) Kewajiban Penerima Gadai
a) Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun carat) terhadap marhun akibat dari kelalaian,
maka marhun harus bertanggung jawab.
b) Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.
c) Sebelum diadakan pelelengan marhun, harus ada pumberitahuan kepada rahin.
3) Pemberi Gadai (Rahin)
Hak Pemberi Gadai
a) Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada
murtahin.
b) Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin,
rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
c) Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima
sisa hasil penjualan marhun.
d) Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak
untuk meminta marhunnya kembali
Kewajiban Pemberi Gadai
a) Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu
yang telah ditentukan
b) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi
pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya.29
3. Berakhirnya Akad Rahn
Suatu perjanjian tidak akan bersifat langgeng, artinya setiap perjanjianj akan ada
batas waktu yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku baik pada peraturan
tertulis atau tidak tertulis. Pegadai juga mempunyai peraturan tentang berakhirnya suatu
perjanjian atau batalnya perja njian tersebut, sebagai berikut: Barang telah diserahkan
kembali kepada pemiliknya, Rahin membayar hutangnya, Dijual dengan perintah hakim
atas perintah rahin, Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihak rahin.30
Apabila pemegang dagai telah menjual barang gadaiannya dan ternyata ada
kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si pegadai, maka kelebihan tersebut harus
diberikan kepada sipegadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan
29
Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer),(Jakarta: UI-
Pres,2008), hal 41-46 30 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: UGM Press,2006), hal 98.
65
ternyata belum melunasi hutang si penggadai, maka si penggadai masih punya kewjiban
untuk membayar kekurangannya.31
4. Barang Jaminan
Gadai menggadai adalah jenis transaksi yang telah lumrah dilakukan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa transaksi gadai dibutuhkan oleh manusia dalam hubungan
interaksi (mu‟amalah) mereka di dunia. Sejalan dengan ini, akad gadai adalah jenis
transaksi yang dihalalkan oleh syariat dengan dalil dari Alquran, sunnah dan ijma para
ulama. Namun tentu saja transaksi itu harus dilakukan dengan aturan-aturan yang wajib
diperhatikan. Karena ternyata dalam prakteknya, transaksi ini tidak jarang dilakukan
dengan tanpa mengindahkan aturan-aturan syar‟i, sehingga terjatuh pada perkara yang
diharamkan dan menyimpang dari tujuan akad gadai itu sendiri.
Diantara permasalahan yang terkait dengan gadai adalah tentang memanfaatkan
barang gadaian yang ada pada pemegang barang gadai/pemberi piutang. Pemanfaatan
marhun bih oleh nasabah dipegadaian syariah diadakan pengidentifikasian pada saat calon
nasabah mengajukan pinjaman.
Mayoritas ulama membolehkan pegadaian memanfaatkan barang yang
digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin selain itu pengadai harus menjamin
barang tersebut selamat dan utuh. Dari Abu Hurairah r.a bahsawanya Rasulullah saw
berkata: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang
menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada
kerugian atau biaya” (HR Syafi‟i dan Daruqutni). Se-dangkan Mazhab Hambali,
berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak boleh mempergunakan barang
rahn.32
5. Sumber pendanaan
Terkadang, beberapa hal menuntut kita untuk mengeluarkan sejumlah dana yang
berlipat kali lebih besar dibandingkan pengeluaran biasanya. Keadaan mendesak seperti
ini akhirnya membuat kita harus cerdas memutar otak agar bisa mendapatkan jalan keluar
terbaik selain harus menjual beberapa harta pribadi guna melunasi keperluan yang
bersifat urgent tersebut. Untungnya, kini hadir Pegadaian yang memberikan alternatif
penyelesaian terutama bagi kita yang sedang membutuhkan dana besar tanpa harus
kehilangan harta pribadi.
31 Pasal 18 ayat 1 huruf a UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 32 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: UGM Press,2006), hal 92-94
66
ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa
memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut.
Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem
bunga ( memungut bunga dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan
mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat
memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari
sekali.
Seiring bekembangnya waktu, saat ini Pegadaian telah berkembang, tidak hanya
melayani kredit berbasis gadai, tetapi juga jasa keuangan lain, seperti kredit berbasis
fidusia, pembiayaan investasi emas, dan jasa keuangan lainnya
Adapun sumber pendanaan pada pegadaian syariah/ lembaga keuangan syariah
antara lain adalah:
1. Modal
Diantara sumber dana yang lain, modal merupakan sumber yang paling
penting sejak awal sebelum dibentuknya bank syariah.
2. Kreasi
Kreasi atau kredit angsuran fiduasia merupakan pemberian pinjaman kepada
para pengusaha mikro kecil (dalam rangka pembangunan usaha) dengan kontruksi
pinjaman secara fiduasia dan pengembalian pinjamannya dilakukan melalui angsuran.
3. Krasida
Krasida atau kredit angsuran sistem gadai merupakan pemberian pinjaman
kepada para penguasa mikro kecil (dalam rangka pengembangan usaha) atas dasar
gadai yang pengambilan pinjamannya dilakukan melalui angsuran.
4. Jasa titipan
Jasa titipan adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat yang ingin
menitipkan barang-barang atau surat berharga yang dimilikinya terutama bagi orang-
orang yang akan pergi meninggalkan rumah dalam waktu lama, misal menunaikan
ibadah haji, pergi keluar kota dengan tujuan merantau atau lain sebaginya.33
5. Wadi’ah atau titipan.
Dalam rekening tabungan, wadi’ah diartikan titipan yang bisa digunakan oleh
bank dengan lebih fleksibel untuk mendapatkan keuntungan, hasil dari keuntungan
tersebut akan dibagi dengan nasabah sesuai dengan kesepakatan yang terjadi di awal.
33 Ibid. , hal 101-102
67
6. Qardh atau pinjaman kebajikan.
Dana ini dapat digunakan bank untuk segala kegiatan perbankan yang
menguntungkan dan hasil keuntungan dari kegiatan tersebut kemudian akan dibagi
dengan nasabah sesuai dengan kesepakan yang ada.
7. Mudharabah atau bagi hasil.
Mudharabah umumnya akan diintegrasikan dengan rekening investasi
berjangka. Mudharabah bukan hanya sistem bagi hasil saja, namun juga membagi
resiko kerugian yang mungkin akan terjadi.34
8. Gadai Gabah
Merupakan kredit tunda jual komuditas pertanian yang diberikan kepada
petani dengan jaminan gaba kering giling.
9. Gadai Investasi
Merupakan produk pegadaian yang dikeluarkan oleh pegadaian untuk para
nasabah yang berupa bentuk saham yang sudah tercatat dan bisa diperjual belikan
pada Bursa Efek Indonesi atau Obligasi negara Ritel.
10. Krista
Kredit usaha rumah tangga suatu kredit yang dikeluarkan untuk para pelaku
pengusaha mikro yang berkelompok dengan jaminan sistem tanggung rentang
diantara anggota kelompok.
11. Gadaiu Syariah
Gadai Syariah (Rahn) suatu prodek jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-
prinsip syariah dimana para nasabah hanya dibebani dengan biaya administrasi dan
biaya jasa pinjaman dan pemeliharaan barang jaminan.
12. Arrum
Ar-Rahn untuk Usaha Mikro Kecil (ARRUM) merupakan pembiayaan bagi
para pengusaha mikro kecil untuk pengembangan usaha dengan prinsip syariah.
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbibas dari unsur riba.35
Dalam hal ini seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk
34
Faridatun Sa‟adah, Strategi pemasaran Produk gadai Syariah dalam Upaya menarik Minat Nasabah pada
Pegadaian Syaria, Jurnal (Bogor: STAI Al-Muhlishin,2015) 35 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PrenadaMedia, 2009), hal 394.
68
dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah murni dari sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan baik secar nyata atau secara abstrak. Pegadaian sudah
melakukan suatu kerja sama antara Bank Muamalat sebagai fundernya, kedepan
pegadaian juga akan melakukan sistem kerjasama dengan lembaga keuangan syariah
lainnya untuk mendapatkan sebuah back-up modal kerja.
6. Mekanisme Produk Gadai Syariah
Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat
adalah pembiayaan dengan memberikan jaminan atau menggadaiakan sesuatu yang
dimiliknya untuk mendapatkan pembiayaan yang diinginkan. Pegadaian adalah salah satu
lembaga keuangan alternative bagi masyarakat untuk mendapsatksn suatu pembiayaan di
sektor riil. Kebanyakan masyarakat yang menggunakan jasa pegadaian adalah masyarakat
menengah kebawah yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang
rendah.
Secara tehnis implimentasi kegiatan usaha Pegadaiayan adalah sebagai berikut:
1) Nasabah menjaminkan barang (Marhun) kepada pegadaian syariah untuk
mendapatkan pembiayaan.
2) Pegadaian syariah denga pihak nasabah menyepakati akad gadai yang meliputi pada
jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa simpanan, dan biaya administrasi.
3) Pegadaian syariah memberikan pembiayaan atau jasa yang dibutuhkan nasabah sesuai
dengan kesepakatan yang telah ditanda tangani.
4) Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.
5) Pegadaian (Murtahin) mengembalikan harta benda yang digadai (Marhun) kepada
pemiliknya (nasabah).36
Implementasi operasi Pegadaiayan Syariah pada umumnya hampir sama dengan
kegiatan Pegadaian konvensiaonal, yang mana cara penghimpunan dananya dapat
diperoleh dari penyaluran dana pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Disamping
dari beberapa mekanismenya mempunyai banyak kemiripan antara pegadaian Syariah dan
pegadaian konvensional, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknis transaksi dan
sistem pendanaan pada pegadaian syariah mempunyai ciri tersendiri yang berlandaskan
pada Al-Qur‟an, hadist dan kesepakatan para ulama yang memperbolehkan akad rahn.
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 16 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
36 Bahruddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2010), h1l 180
69
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan
ketentuan yang berlaku.37
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek
landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri
tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan implementasi dari konsep
dasar Rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh. Secara teknis, pelaksanaan atau
kegiatan pegadaian Syariah.38
Kredit berbasis gadai adalah kredit dengan menjaminkan barang bergerak ke
lembaga pegadaian. Barang yang dijaminkan beraneka ragam mulai dari barang rumah
tangga, barang elektronik, kendaraan sampai perhiasan, terutama emas dan berlian.
Selama ini emas dan berlian tidak hanya digunakan sebagai perhiasan, tetapi juga dapat
dijadikan sebagai objek investasi dan agunan kredit untuk mengembangkan usaha atau
kegiatan lainnya.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah ke bawah, gadai adalah
cara praktis mendapatkan dana untuk kebutuhan jangka pendek, misalnya pendidikan,
berobat, lebaran, operasional usaha, dan sebagainya. Kredit gadai adalah transaksi
perjanjian utang piutang, dengan agunan berupa barang bergerak yang mempunyai nilai
tinggi dan mudah diperjualbelikan.
Apabila sampai dengan waktu yang ditetapkan nasabah tidak dapat melunasi dan
proses kolektibilitas tidak dapat dilakukan, maka jaminan dijual di bawah tangan dengan
ketentuan:
a. Nasabah tidak dapat melunasi pinjaman sejak tanggal jatuh tempo pinjaman dan tidak
diperbaharui
b. Diupayakan sepengetahuan nasabah dan kepada nasabah diberikan kesempatan untuk
mencari calon pemilik. Apabila tidak dapat dilakukan, maka bank menjual
berdasarkan harga tertinggi dan wajar (karyawan bank tidak diperkenankan memliki
agunan tersebut).39
37 Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 359 tentang landasan
hukum pegadaian syariah dan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional N0. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang ketentuan umum pegadaian Syariah. 38 Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah,(Bandung: Alfabeta, 2011), hal 155 tentang syarat dan ketentuan gadai
syariah dan konvensional di Indonesia. 39
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hal 375-378. tentang
pelelangan baranag jamiana yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak dan telah ditinjau dari berbagai
macam aspek sehingga akan terjadi proses pelelangan pada barang jaminan.
70
Dalam proses pelelangan juga meiliki prosedur tersendiri sebagai berikut:
Prosedur pelelangan barang gadai dalam pegadaian syari‟ah berdasarkan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No: 25/DSN-MUI/III/2002 bagian Kedua Butir 5, yang sudah
terlampir pada Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Adapun praktik penawaran barang di atas penawaran orang lain – sebagaimana
dilarang oleh Nabi S.A.W. dalam hadits di atas – tidak dapad dikategorikan dalam jual-
beli lelang ini sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zaila‟i dalam Tabyin Al-
Haqaiq(IV/67).
Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori: Pertama, bila terdapat pernyataan eksplisit dari
penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang
lain untuk menawarnya tanpa seijin penawar yang disetujui tawarannya. Kedua: bila
tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual,maka tidak ada
larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama.
Kasus ini dianalogikan dari hadist Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi,
bahwa Mu‟awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi
persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliu menawarkan padanya untuk
menikah dengan Usamah bin zaid. Ketiga: bila ada indikasi persetujuan dari penjual
terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut
Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak,
norma dan etika dalam praktik lelang, Syariat Islam memberikan panduan dan kriteria
umum sebagai pedoman pokok yaitu diantaranya:
a) Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela („an
taradhin).
b) Objek lelang harus halal dan bermanfaat.
c) Kepemilikan / Kuasa Penuh pada barang yang dijual
d) Kejelasan dan transparansi barang yang dilelang tanpa adanya manipulasi.
e) Kesanggupan penyerahan barang dari penjual,
f) Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan
perselisihan.
g) Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan
tawaran.
71
SIMPULAN
Berdasarkan pada uraian dan penjelasan yang telah penulis jelaskan tentang masalah
pegadaian syariah, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorng yang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yang barang tersebut diserahkan untuk mendapatkan sebuah pinjaman dana
ungtuk bahan jaminan. Barang tersebut akan diambil manfaatnya apabila dalam perjanjian
diawal telah disepakati oleh kedua belah pihak dan barang tersebut akan dilakukan
pelelangan apabila pemilik barang tidak dapat melunasi hutang yang dimilikinya.
Kedua, pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya
berpegang teguh kepada payung hukum prinsip syariah yang telah di keluarkan oleh Fatwa
DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 taggal 26 Juni 2002 yang menyatakan tentang
pinjaman dengan menggadaikan barang seabagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dalam Syariat. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk kepada
peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990.
Ketiga, pegadaian syaraiah dalam praktiknya/pengoprasiannya harus menggunakkan
dua metode yakni: ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan mudharabah (Bagi Hasil). Namun
metode ujrah hingga saat ini masih mendominasi. Sedangkan usaha dalam p[egadaian syariah
pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus
memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan syariah.
72
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syari’ah di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press. 2006.
Adrian Sutedi, Hukum gadai Syariah. Bandung: Alfabeta. 2011.
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PrenadaMedia. 2009.
Adiwarman Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Edisi Kedua. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2004.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah.
2000.
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah. Bandung: CV. Alfabeta. 2011.
Ali Zainudin, Hukum Gadai Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah kensep dan sistem operasional(suatu kajian kontemporer).
Jakarta: UII-Pres,.2008.
Burhanuddin, Aspek Hukum Lembanga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 1996.
Faridatun Sa‟adah judul Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah dalam Upaya Menarik
Minat Nasabah pada Pegadaian Syariah (STIAI Al-Muhlisin Ciseeng Bogor).
Herry Susanto, manajemen Pemasaran bank Syariah. Bandung: Pustaka Setia. 2013.
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: Pustaka Setia,2013.
Mustafa Muhammad Amaroh, Jawahir Al-Bukhari. Semarang: PustakaAlawiyyah.
Naniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2000.
Pasal 18 ayat 1 huruf a UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah. Bandung: Al Maarif jilid 13. 1987.
Syafuri, Aktivitas Gadai Syariah dan Implikasinya Terhadap Produktivitas Masyarakat
Prrovinsi Banten, Jurnal dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Banten Iain
Sultan Maulana Hasanudin Banten.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata hukum Perbankan
Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2007.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatahu. Damaskus: Darul Fikri. 2000.
Zainuddin Ali. Hukum gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.