kaidah fiqih

Upload: laina-ulya

Post on 06-Jul-2015

865 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

KAIDAH FIQIH http://myquran.com

Qowa'idul fiqhiyyah

.

Setelah tahmid dan salam ( diatas pent. ) dalam kesempatan ini ana akan berusaha sedikit-demi sedikit ( insya allah ) menukilkan " qaidah syariyyah dari qaidah fiqhiyyah muyassaroh / qaidah-qaidah fiqih yang mudah " yang telah digoreskan oleh ulama' dari generasi salafus sholeh terdahulu ataupun sekarang, sehingga kita semakin mengenal akan qaidah-qaidah syar'iiyah yang di atasnya di bangun agama ini serta dalam istimbat hukum, dan mempermudah bagi kita untuk memahami agama ini ( isnya ALLAH ), & kitapun beragama dengan qaidah dan ilmu karena makna ilmu mengetahui kebenaran dengan dalilnya

: bukan hanya sekedar akal-akalan & memperturutkan hawa nafsu sebagaimana kata imam ali RA tatkala mensikapi perintah rasulullah untuk mengusap sepatu bagian atas bukan bagian bawahya bagi orang yang berwudhu memakai sepatu jika musafir (ataupun lainya misal musin dingin pent ) belaiau berkata :

Seandainya agama ini dengan akal-akalan sungguh mengusap 2 sepatu bagian bawahnya ( tatakala berwudhu) lebih utama dibanding bagian atasnya.( bisa di lihat di kutaib ta'dimus sunnah ) bagi siapun pembaca yang ingin berpartisipasi dalam tread ini fal yatafadhal ( kami persilahkan ) , namun ana harapkan untuk tidak memperpanjang dalam berdiskusi masalah-masalah lainya karena tread ini sengaja ana kemukakan disini untuk mengemukakan qoidah fiqih yang mudah kita cerna bukan memperdebatkanya namun untuk menambah perbendaharaan ilmu syar'iiyah sekalian muraja'ah bagi ana khususnya terhadap ilmu yang telah ana pelajari dahulu kala di ma'had baik secara hapalan ataupun tulisan tatkala di indonesia hingga saat ini di saudi arabia, dan ini ana nukilkan dari beberapa kitab karangan ulama diantaranya :

Ataupun kitab-kitab yang lainya insya allah Adapun untuk kitab yang pertama ( qowaid al qowaid ) ana cuman menukilkan makna & arti qowaid/qaidah karena kitab ini banyak membahas qaidah secara umum terutama dalam masalah manhaj ( dan munkin juga ana nukilkan disini insya allah ) adapun jika ada yang salah baik terjemahan & tulisan sebagai manusia biasa ana mohon maaf yang tiada terkira & mohon di koreksi, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadist

Sesunggunya manusia itu tempatnya salah dan lupa sebaik-baiknya kesalahan adalah dengan bertaubat kepada ALLAH. jika ada benarnya itu datangnya dari ALLAH semata sebagiamana firmaNya :

Sesungguhnya kebenaran itu datang dari ALLAH maka janganlah engkau bimbang & ragu Sebelumnya sedikit kita nukilkan penjelasan makna qowaidul fiqhiyyah secara ringkas.. Makna al qowai'd

. ) : Arti Secara bahasa :

:(

Kata :"qawa'id" sebagaimana dijelaskan oleh ahlul ilmi " dia adalah jama dari kata"qaidah " dan maknanya adalah : apa-apa yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain ( lihat qowaidul qowaid hal : 4 ) adapun tambahan dari saya sendiri: artinya pondasi / dasar misal jika dikatakan / qoidatul imaroh artinya pondasi bagunan, bisa juga bermakna : prinsip dan asas ( metode/peraturan) , misal / qoidatul bilad au hukumah artinya prinsip /peraturan negara atau pemerintah.

: . : .

. Arti Secara Istilah: Untuk itu berkata ahlul ilmi adapun qaidah secara istilah syar'ii adalah : perkara yang menyeluruh ( universal ) yang di kembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak.Dan berkata sebagian yang lain : qoidah adakah perkara yang menyeluruh dikembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak,

maka dari uraian tersebut bahwasanya makna qaidah adalah : sebuah ungkapan yang terdiri dari beberapa kata akan tetapi masuk didalamnya pembahasan yang luas, karena sesunggunya pembahasan inti dari qaidah adalah untuk mengumpulkan cabang-cabang yang berbeda-beda.( ibid 4 )

Makna fiqh Secara bahasa : dari kata : artinya : mengerti, memahami, pemahaman maka jika dikatakan : artinya : memahamkannya / mengajarkan dan mengigatkannya , pegetahuan & pengertian & kepandaian ( ) sebagaiman doa nabi kepada ibnu abbas : " ya allah pahamkanlah dia kepada ilmu agama " maka jika dikatakan : : tafaqqahu = mempelajari ilmu fiqh atau : fiqh adalah = ilmu hukum syariat ( istilahnya) Maka orang yang pinter dan mendalami hukum syariat di sebut : : Al faquh atau al faqih dan jamaknya ; fuqoha' artinya orang yang sangat cerdas dalam pemahaman. : ().

adapun mana fiqh secara istilahi adalah : mengetahui hukum-hukum syari'at serta cabangya dengan dalil dari kitab dan sunnah dan ijma' serta qiyas yang shohih.[/b] :" "

Dan adalah al imam al izzi bin abdus salam semoga allah merahmatinya- bwliau wafat thn 606 H dan beliau mengarang kitab " qowaidul ahkam fi masolohil anam " dan kitab ini termasuk salah satu kitab yang pertama di tulis tentang qowaidul fiqhiyyah, maka setelah itu para ulama mengikuti jejak beliau dan mulailah mereka mengarang kutub dalam masalah qiwaidul fiqhiyyah. MANFAAT YANG BISA DIAMBIL DARI BERPEGANG DENGAN KETENTUAN-KETENTUAN DAN KAIDAH-KAIDAH INI PERTAMA : Bahwasanya memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tersebut akan menjaga gambaran seorang muslim dari hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat dan sekaligus memantapkan pikirannya tentang gambaran tersebut. Telah dimaklumi bahwa seorang muslim apabila menghadapi suatu masalah tanpa dhobith dan kaidah akan terombang-ambing didalam perbuatannya terhadap diri, mau pun keluarganya, masyarakat serta umatnya. Dari sinilah kita mengetahui pentingnya ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah itu karena dia akan mengatur akal seorang muslim didalam gambaran-gambarannya yang merupakan sumber dari perbuatannya didalam diri, keluarga, ataupun masyarakatnya. KEDUA : Kemudian didalam memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tersebut ada manfaat yang lain yaitu dia akan menjaga seorang muslim dari kesalahan, karena kalau dia berjalan hanya berlandaskan diatas pendapatnya saja didalam menghadapi apa yang dia temui atau dalam menghadapi suatu masalah, jika telah tampak dan mencari jalan keluar dengan mengandalkan akal pikirannya saja tanpa peduli dengan

Dhowabith serta kaidah-kaidah Ahli sunnah wal jama'ah maka dikhawatirkan akan terjerumus kedalam kesalahan dan jika itu terjadi maka akan berakibat fatal karena kesalahan ini akan bercabang dan berkembang dan mungkin juga bertambah. Dhowabith dan kaidah-kaidah ini apabila kita berpegang teguh kepadanya akan kita dapati banyak sekali manfaatnya, sebab dia akan menjaga kita dari kesalahan. Mengapa bisa demikian? Karena siapakah yang membuat Dhowabith dan kaidah-kaidah tersebut? Yang membuatnya adalah Ahlu sunnah wal jama'ah berdasarkan dalildalil. Maka barangsiapa berjalan dibelakang dalil dan mengikuti ahlu sunnah wal jama'ah maka dia tidak akan menyesal selamanya. KETIGA : Termasuk dari faedah mengikuti Dhowabith serta kaidah-kaidah itu adalah bahwasannya dia akan menyelamatkan seorang muslim dari dosa, sebab jika dia berjalan hanya berlandaskan kepada akal pikirannya saja dan kamu juga seperti itu dan kamu sangka ini adalah benar tanpa peduli terhadap Dhowabith serta kaidah-kaidah tersebut maka sesungguhnya kamu tidak akan bisa selamat dari dosa, karena kamu tidaklah tahu apa yang akan terjadi akibat dari perkataan serta perbuatanmu jika kamu berjalan hanya berlandaskan akal pikiran saja atau perasaanmu yang kau kira itu benar. Adapun apabila kamu mengambil sesuai dengan apa-apa yang ditunjukkan oleh dalil dari Dhowabith dan ushul yang global maka kamu akan selamat dari dosa -insya Allah dan Allah Azza wa Jalla akan mengampunimu karena kamu berjalan sesuai dengan dalil dan sungguh baik orang yang mengambil dalil sebagai pedomannya. Oleh karena itulah wahai saudaraku- telah jelas bagi kita keharusan untuk meng ambil Dhowabith serta kaidah-kaidah yang akan datang penjelasannya. Ini adalah sekelumit makna ushul fiqh secara ringkas serta sejarahnya bagi yang ingin mendalami secara sunguhsungguh kami persilahkan untuk menela'ah kutub para ulama diantaranya yang ana sebutkan diatas. Dalam menuliskan serta menukilkan qoidah fiqhiyyah ini ana tuliskan teks indonesianya setelah tulisan arab untuk mempermudah bagi yang ingin menghapalnya namun tidak bisa membaca arab gundul , dan sebagian juga ana nukilkan suatu qaidah inti isinya sama namun berbeda redaksi seperti misal bisa lihat qaidah yang pertama, marilah kita mulai masuk kepada usul & kaidah fiqhiyyah Last edited by nada ahmad; 12-10-2010 at 20:22. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10) Daftar isi Qowaidul Fiqhiyyah

Qowa'idul fiqhiyyah Makna al qowai'd, secara bahasa, istilah dan secara fiqh. 1. KAIDAH PERTAMA : An niyatu sartun lisairil 'amal biha sholaku wal fasadu lil'amal Niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan. 2. KAIDAH KEDUA

Ad dinu mabniyun 'ala masholihi fi jalbiha wa dar ii lilqobaiihi Agama ini bangun untuk kebaikan dan maslahat dalam penetapan syariatnya dan untuk menolak kerusakan. 3. KAIDAH KETIGA Jika dalam suatu masalah bertabrakan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka di dahulukan & diambil manfaat yang paling besar / tinggi 4. KAIDAH KEEMPAT WADHIDDUHU TAZAKUMUL MAFASIDDI FARTAKABU ADNA MINAL MAFASIDI Adapun lawannya jika bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainya maka diambil mudharat yang paling kecil dan ringan 5. KAIDAH KE LIMA WAMIN QOWAI'IDIS SARI'ATIT TAISIRU FI KULLI AMRIN NAABAHU TA'SIR Dan termasuk qaidah syari'ah adalah mudah dalam setiap perkara sebagai ganti dari kesulitan ( kesusahan ) 6. KAIDAH KE ENAM WALAISA WAJIBUN BILAA IQTIDARIN WALAA MUHAROMUN MA'AADH DHOROR. Tidak menjadi kewajiban jika tidak mampu mengerjakan dan tidak ada keharaman dalam keadaan darurat ( bahaya ) 7.KAIDAH KE TUJUH Wa kullu mahthurin ma'ad dhorurohi bi qodri maa tahtaajuhu ad dhorurotu Setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat, tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu. 8. KAIDAH KE DELAPAN Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yuziilus sakku lillyaqini Dan dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah membatalkan keyakinan itu. 9. KAIDAH KE SEMBILAN wal aslu fi miyahinaa at thohaarotu wal ardhu was sama'u wal hijaarotu Hukum asal air tanah, langit dan batu adalah suci. 10. KAIDAH KESEPULUH al aslu fil abdho'i wal luhuumi wan nafsi wal amwaali at tahrim Hukum asal dalam hal perkawinan ( kemaluan ), daging hewan dan jiwa/nyawa dan harta adalah haram. 11.KAIDAH KESEBELAS Wal aslu fi 'aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah Dan hukum asal dalam kebiasaan ( adat istiadat ) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal.

12. KAIDAH KE DUA BELAS Al aslu fil ibaadati at tahrim Hukum asal ibadah adalah haram. 13. Kaidah ke tiga belas al wasailu tu'thii ahkamul maqosid Semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya ( perbuatan tersebut ).

Kaidah Pertama :An niyatu sartun lisairil 'amal biha sholaku wal fasadu lil'amal Artinya : niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan. : Ada sebagian ulama' mengemukakan qaidah ini dengan lafad & siya' ( susunan kata ) yang berbeda : yaitu : la sowaba illa binniyat ( tidak sah suatu amalan kecuali dengan niat ) Atau redaksi yang lain mengatakan ( jumhur ulama') : : al umuru bimaqosidiha Segala sesuatu amalan tergantung niat & tujuannya Penjelasan secara ringkas : :

: . Pengarang ( as syeikh abdur rahman as sa'di ) menyebutkan di sini : bahwasanya niat merupakan syarat sah tidaknya suatu amalan, adapun yang di maksud niat adalah : a' qosdu ( tujuan & keinginan) jika di katakan : nawa kadha : artinya : madsud & tujuannya) adapun makna niat secara istilah :" al azmu 'alal fi'il ( berkeinginan kuat untuk mengerjakan suatu amalan ) maka barang siapa yang memiliki keinginan kuat untuk berbuat suatu amalan maka sudah di katakan itu dia telah berniat, dan sebagian ulama' menjelaskan arti niat maknanya : " berkeinginan & bertujuan mendekatkan diri kepada allah , dan ini kurang tepat , karena disana ada 2 kemunkinan : niat yang benar untuk mendekatkan diri kepada allah dan ada pula niat untuk mendekatkan diri kepada selain allah, dan ini juga termasuk niat , dan semuanya ada hukum dan perinciannya.

Dari qaidah ini ada 2 penjelasan yang pertama : 1.Dalil niat merupakan syarat amalan. 2. kedudukan dan fungsi niat. Dalilnya dari hadist umar ibnu khotob : : :

( ) Dari Amirul Mu minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya

setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) . : . : : : . . : -

: Hadist ini merupakan hadist yang amat agung sehingga sebagian ulama' salaf berkata: " hendaknya hadist ini diletakkan diawal kitab dari kitab-kitab ilmu agama, karena itulah imam bukhari memulai menulis hadist dalam kitab shohihnya dengan hadist ini ( inamal a'malu binniyat ) sesuai lafad yang kami camtumkan diatas. Dan hadist ini merupakan salah satu usul ( pondasi ) dari sekian pondasi agama, dan telah berkata imam ahmad : " tiga hadist yang berputar & di bangun di atasnya islam yaitu : 1 hadist umar RA ini : inamal a'malu binniyat. ( sesunggunya amalan tergantung niyatnya ) 2yang kedua hadistnya aisyah RA : " barang siapa mengada-ada ( berbuat bid'ah ) suatu amalan dalam agama kami ( islam ) yang tidak ada contohnya ( dari rasulullah ) maka amalanya tertolak ( lihat arbai nawawi hadist ke 5 ) . 3. hadistnya nu'man bin basyir : sesunggunya halal telah jelas dan haram sudah jelas ( lihat arbain nawawi hadist ke 6 ) adapun kedudukan & fungsi niat adalah : kedudukan niat adalah didalam hati tidak ada tuntunan dari rasulullah untuk menlafadkan niat & menjaherkannya, kecuali ibadah haji /umrah fungsi niat adalah : 1. untuk membedakan amalan itu ibadah ataupun adat dan perbuatan biasa. Misal : mandi , mandi ini adalah hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah , maka mandi ini akan bernilai ibadah, misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum'at, begitu juga orang berkumurkumur kemudian mencuci muka dan tangan dan mengusap kepala serta kaki , kalo dilakukan habis bangun tidur dengan tujuan biar bersih maka ini adalah hal biasa bukan ibadah, namun jika di lakukan dengan niat wudhu maka inilah ibadah dsb. 2. untuk membedakan amalan satu dengan yang lainnya. Misalnya: orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam satu waktu & sama-sama 4 raka'at , maka untuk membedakan ini sholat dhuhur & itu sholat asyar adalah dengan niat, atau misalnya : kita masuk masjid kemudian kita sholat 2 raka'at , ada kemunkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau sholat sunnah qobliyah ( sunnah rawatib ) untuk membedaknya adalah dengan niat dsb. Dan dengan niat akan diketahui benar salahnya amalan itu, karena syarat ibadah selain niat adalah iklash dan mutaba'ah ( mengikuti sunnah nabi ) dan ibadah apapun harus memenuhi syarat ini, sedang iklhas ataupun tidak amalan tersebut juga tergantung niatnya , kalo niyatnya iklhas maka ibadahnya benar tapi kalo niatnya riya' maka ibadahnya salah. Maka dari sini ada 4 kemungkinan dalam ibadah : 1. iklash yang sesui dengan syariat 2. iklash namun tidak sesui syar'iat 3. sesui syariat tetapi tidak iklash 4. tidak iklash dan tidak sesui dengan syariat

dan dari 4 kemunkinan ini hanya yang iklas & sesuai syariatlah ibadahnya yang di benar . sebagian Ayat dan hadist yang berhubungan dengan niat : Allah telah berfirman : ( :5) Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus ( al bayyinah : 5 ) { (18) (19) : 18-19 7: 17:18. Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. 17:19. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. ( al isra': 18-19 ) { ( : 114) Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.( an nisa: 114 ) Rasulullah telah bersabda : - :" " Hadistnya mua'd RA sesunguhnya rasulullah telah bersabda : " barang siapa yang berperang karena ghonimah maka baginya niat tersebut ( artinnya: dia tidak mendapat pahala karena niatnya untuk mendapat harta rampasan perang pent.) :" " : Dan dalam musnad sesunggunya rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya antara 2 kelompok yang berperang ( saling membunuh ) allah lah yang tahu niat dalam hatinya (al hafidh ibnu hajar menghukumi bahwasannya hadist ini rawinya terpercaya sebagaiamana beliau berkata : rijaluhu mausuqun. :" Dalam hadist lain dikatakan : "kemudian Allah membangkitkan manusia sesui dengan niatnya "

QAIDAH KEDUA :

Ad dinu mabniyun 'ala masholihi fi jalbiha wa dar ii lilqobaiihi " agama ini dibangun untuk kebaikan dan maslahat dalam penetapan syariatnya dan untuk menolak kerusakan" dalam kitab mulakhos mandhumah fiqhiyyah yang di ringkas oleh abu humaid abdullah al falasi dari kitabnya as syeikh muhammad sholeh al usaimin di katakan dalam qaidah pertamnya ( ad dinu ja a lisa'adatil basari ) artinya : agama islam datang untuk kebahagian manusia, dalam konteks lain dikatakan :

( ad dinu kuluhu jalbun lilmasholikhi wa daf'un lilmafasidi Agama ini ( islam) seluruh syari;atnya adalah untuk mendatangkan kebaikan & manfaat dan untuk menolak

kerusakan & mudhorot . .

Dan qaidah ini adalah qaidah umum dalam agama ( dienullah ) allah SWT , yang padanya dikembalikan urusan agama ini. : : : -: { : }( :19) .

Karena makna ad dien ( agama ) adalah : as syari'at diambil dari kata fi'il : daana artinya : taat maka jika dikatakan daana lighoirihi :artinya : taat kepada selainnya, dan makna ato'a adalah menyerahkan semua dien ( keta'atan ) kepadnya, maka tatkala orang yang beriman mereka menta'ati allah SWT maka dinamakan syari'at allah itu adalah : ad dien ( agama ) sebagaimana firmannya : sesunggunya ad dien (agama ) yang benar disisi allah hanyalah islam ( ali imran : 19) Dari firman Allah disini dapat dipahami : bahwasanya agama islam di bagun untuk kemaslahatan artinya : semua syari'at dalam perintah dan larangannya serta hukum-hukumnya adalah untuk maasholihil ( manfaat-manfaat ) dan makna masholihi adalah : jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan Misal : allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat ( bahayanya ) lebih besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : al baqorah :219)

2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan misal-misal yang lainya : seperti pengaraman babi, nikah mut'ah ( bagi yang ngotot menghalalkannya mudharatnya lebih besar: misal : menimbulkan penyakit sexual ,karena sering berganti-ganti pasangan karena vagina menerima kadar asam sperma yang berbeda-beda, bisa merusak keturunan, si anak tidak diketahui siapa bapaknya , merusak kaidah berumah tangga dsb sebagaimana dijelaskan oleh akh metrix, DI tread lainnya) ( 15) } (2) . :{ ( : 26) . } -: { *

Dan bukanlah manfaat dan maslahatnya kembali kepada ALLAH , karena sesungguhnya allah maha kaya sebagaimana firmanya : QS alfatir 35:15. Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Sesungguhnya ALLAH maha kaya dan maslahat serta faedahnya kembali untuk hambaNYA dan bukanlah yang dimaksud disini adalah sesui dengan hawa nafsu dan apa-apa yang di inginkan nafsu manusia, karena itu menyelisihi makna addien ( agama ) dan keta'atan , sedangkan ketaatan dibangun diatas iltizam ( berpegang teguh ) dengan perintah serta larangan allah, maka untuk inilah syari'at islam melarang untuk mengikuti dan memperturutkan hawa nafsu sebagaimana firmanya : : jangan lah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga kamu tersesat dari jalan allah ( QS : shood : 26 ) Karena mengikuti hawa nafsu akan menumbulkan bahaya yang banyak, kejelakan serta kehinaan, dan tidak ada di

dalamnya maslahat serta manfaatnya sedikitpun dalam mengikuti hawa nafsu, maka jika kita mengakui hal tersebut maka apakah sumber beragama kita yang kita mengambil hukum tatakala mempertimbangkan : ini adalah bermanfaat dan baik buat manusia ataupun sebaliknya ?

Dari sini ada 2 golongan manusia yang mensikapi agama ini : 1. orang yang tidak memperdulikan dan tidak bersungguh-sungguh dalam mempertimbangkan masalah manfaat dan mudharat ( seperti sebuah fatwa yang bisa merugikan orang banyak & membunuh jiwa pent.) yang ada pada mereka adalah hanya semangat sehingga tidak memperhatikan qaidah fiqh & menjauhi ilmu fiqh dan usul serta qaidahnya. 2. orang yang menimbang dengan timbagan yang shahih dalam menolak mudharat dan mengambil manfaat dalam beragama dan berkata dan berfatwa, dan ini harus dengan dalil dan syari'at ALLAh bukan hanya sekedar perasaan & dengan akal lebih-lebih hawa nafsu.

Misalnya : sebagian ulama mengharamkan rokok , karena dan mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya dengan dalil sbb ( sekalin ini bantahan kepada akh dalam treadnya ) 1. Firman Allah ta'ala : ( : 157)

Dan dia menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamankan bagi mereka segala sesuatu yang buruk " ( al a'raf : 157 ) Rokok termasuk hal yang buruk dan membahayakan diri sendiri , & orang lain serta tak sedap baunya. 2. ( : 195 )

' dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan " ( al baqoroh : 195) rokok mengakibatkan penyakit yang bisa membinasakan seperti kanker, penyakir paru-paru dan lain sebagainya. 3. ( : 29 )

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya allah terhadap kalian maha menyayangi ( an nisa : 29 ) Rokok bisa membunuh penghisapnya secara perlahan-lahan 4. ( : 19 )

'dosa keduanya ( minuman keras & judi ) lebih besar dari pada manfaatnya ( al baqoroh : 219 ) rokok bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. 5. ( : 26 )

' janganlah menghambur-hamburkan ( hartamu ) dengan boros, sesungguhnya pemborosan itu adalah saudaranya syaithon ( al isra' : 26 ) membeli rokok adalah merupakan pemborosan & pemborosan termasuk perbuatannya syaithon. 6. Rasulallah SAW bersabda : ' tidak boleh membahayakan diri sendiri ataupun orang lain ' merokok membahayakan si perokok, menganggu orang lain & membuang-buang harta. 7. Sabda Nabi Muhammad SAW :

(

)

(

)

' Allah membenci untukmu perbuatan menyia-yiakan harta' ( HR bukhari-muslim ). Merokok adalah menyia-nyiakan harta & dibenci Allah. 8. sabda Rasulallah SAW : ( )

' perumpamaan kawan duduk yang baik dengan kawan duduk yang jelek ialah seperti pembawa minyak wangi dengan peniup api ( tukang pandai besi )' ( HR Bukhari-muslim ) perokok adalah kawan duduk yang jelek yang meniup api yang bisa membakar orang di sekitarnya ataupun menyebabkan bau yang tidak sedap. ( )

' Barang siapa menghirup ( meminum ) racun hingga mati maka racun itu akan berada di tangannya lalu dihirupkan slama-lamanya di neraka jahannam ( HR Muslim ). Rokok mengandung racun ( nikotin ) yang membunuh penghisapnya perlahan-lahan & menyiksanya. Sabda Rasulallah SAW : ( )

' Barang siapa makan bawang putih atau bawang merah hendaknya menyingkir ( menjauh ) dari kita dan menjauhi masjid kami dan duduklah dirumah ( HR Bukhari-Muslim ).

Rokok lebih busuk baunya dari pada bawang putih ataupun bawang merah . 11. Sebagian besar ahli fiqh mengharamkan rokok, sedang yang tidak mengaharamkan rokok belum melihat bahayanya yang nyata yaitu penyakit kanker dan paru-paru yang bisa membunun penghisapnya. ( bisa lihat buku bimbingan islam untuk masyarakat karya as syeikh muh. zamil zainu ) sumber dalil dari qaidah ini adalah : : (107) } :{ . Dari qaidah ini : dalam membangun hukum-hukum syari'at untuk mengambil manfaat & faedah serta menolak mudharat telah menunjukkan dalil-dalil yang jelas dari alqur'an diantaranya : 1. ( : 107) } : -: { -

Dan tidak lah kami mengutusmu ( ya muhammad ) kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam ( al anbiya: 107 ) Dan salah satu tujuan dari di utusnya Rasulullah adalah sebagai rahmat : dan salah satu tuntutan dari kalimat " rahmad " adalah : hendaknya syari'at itu untuk mengambil manfaat dan maslahat dan untuk menolak bahaya dan kerusakan. 2. { } :3

" pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah kami cukupkan nikmatKU dan telah aku ridahi islam sebagai agama kalian ( al amidah : 3 )

sempurna dan cukupnya nikmat ini : adalah dengan di sempurnakannya agama islam dan nikmat itu sempurna serta cukup dengan agama yang syariatnya untuk mendapatkan faedah & manfaat bagi manusia serta untuk menolak bahaya dan kerusakan.

Karena pentingnya qaidah ini maka ulama merasa cukup dan bersungguh sunguh dalam meperhatikan qaidah ini bahkan telah mengemukakannya al imam al izzi bin abdus salam dalam kitabnya yang lengkap dan menjadikan hukum-hukum syari'ar semuanya berputar dan bersumber dari qaidah ini Last edited by nada ahmad; 27-11-2009 at 21:56. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10) CONTOH LAIN DARI QAIDAH KEDUA INI DALAM AL QUR'AN : Allah ta'ala berfirman : ( :108 ) Artinya : 6:108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Dari ayat ini allah melarang kita mencaci & menhina sembahan orang-orang kafir karena manfaatnya lebih kecil bahkan mudharatnya akan lebih besar yaitu : mereka orang kafir akan balik mencaci maki allah dengan melampaui batas tanpa ilmu; CONTOH DARI PERBUATAN RASULULLAH SAW 1.Ucapan beliau kepada istrinya aisyah RA : ( : 1583 1584 1585 : 1333)

" kalulah bukan baru masuk islam kaummu sungguh akau akan hancurkan ka'bah dan aku bangun kembali diatas pondasi ibrahim ( HR bukhari kitab hajj bab keutamaan ka'bah dan bangunnanya no : 1483,3584,1585 dan muslim kitab hajj bab renofasi ka'bah dan bangunanya no : 1333) dalam hadist ini Rasulullah SAW lebih mendahulukan maslahat, padahal beliau ingin sekali memhancurkan ka'bah dan membangun kembali sesui pondasi yang dibangun nabi Ibrahim AS dulu, karena saat kaum quraish merenofasi ulang ka'bah mereka kekurangan harta yang baik dan bagus untuk membangun ka'bah sehingga hanya sampai ( sebelum ) hijr ismail, namun demi maslahat dan tidak ingin timbul fitnah rasulullah mengurungkan niatnya untuk merenofasi ka'bah karena umatnya ( orang quraish ) saat itu baru masuk islam . 2.contah lain , tatkala umar mengemukan kepada rasulullah untuk minta idzin membunuh tokoh munafiq abdullah bin ubai bin salul yang tingkah lakunya sudah sangat meresahkan rasulullah dan kaum mukminin saat itu umar berkata :

: : 2584 )

: : 3518

,

(

Kata umar ya rasulullah biarkan aku untuk memengal lehernya, maka Rasulullah SAW menjawab : jangan ya umar , jangan sampai manusia membicarakan bahwa Muhammad telah membunuh para shahabatnya ( HR bukhari kitab munafiq bab: larangan berdoa untuk orang jahiliyyah hadist no : 3518 dan muslim : kitab : berbuat baik dan menyambung silaturrahmi dan adab bab : menolong saudara yang berbuat dhalim atau di dhalimi no : 2584 ) Dari hadist ini dapat kita pahami : bahwasanya Rasulullah tidak ingin timbulnya fitnah , dengan sebab membunuh tokoh munafiq ini karena tokoh ini memiliki pengaruh dan pengikut dikaumnya dan saat itu sebagian besar umatnya adalah baru saja masuk islam , padahal kalo kita lihat banyak dosa & penghianatan kepada Rasulullah , menfitnah aisyah ( hadist ifki ), membuat masjid dhiror, mengatakan rasulullah orang yang rakus & orang yang hina ( bisa lihat QS al munafiqun ) dsb, namun demi maslahat secara umum Rasulullah SAW melarang umar untuk membunuh tokoh munafiq ini. 3. tatkala ada orang arab badui masuk kemasjid dan kencing didalamnya, pada saat itu para shohabat ingin mencegahnya namun rasulullah melarangnya, beliau bersabda : ( .... :284,285 ) : 6025

Kata Rasululah : biarkan saja, dan beliau memerintahkan untuk menyiramnya dengan air , maka para shohabat menyirmanya dengan air ( HR bukhari kitab adab , bab lemah lembut dalam segala hal hadist no : 6025 dan muslim kitab : thoharah bab wajibnya mencuci air kencing dan najis yang lain jika didapati dalam masjid no : 284&285 ) Dari peristiwa ini mudharat yang di cegah oleh rasulullah SAW diantaranya : 1. jika dibiarkan para shahabat mencegahnya maka akan terbukalah aura orang badui ini sehingga akan banyak orang melihatnya. 2. jika dicegah munkin akan menyebar air kencingnya ke mana-mana. 3. jika dicegah maka akan terputus air kencingnya dengan terpaksa dan ini bisa menimbulkan penyakit bagi orang badui tersebut dan Rasulullah tidak ingin terjadi itu semuanya Inilah diatara manfaat dan faedah dari lemah lembutnya Rasulullah SAW kepada orang yang jahil dan bodoh. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KETIGA :

( FA IDHA TAZAKHAMA ADADUL MASHALIKHI YUQODDAMUL A'LA MINAL MASHOLIKHI ) artinya : jika dalam suatu masalah bertabrakan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka di dahulukan &

diambil manfaat yang paling besar / tinggi

: ( : 55) -: { (17) -{ }( } : 17-18) . Qaidah ini disebut " tazakhumul masholeh " ( bertabrakan beberapa maslahat/ keutamaan ) dan yang dimaksud dengan qaidah ini adalah: :jika seorang tidak bisa memilih salah satu dari 2 keutamaan / maslahat, kecuali dengan mengalahkan salah satu dari maslahat itu, maka apa yang harus dilakukan ? maka di sini pengarang ( as syeikh abdur rahman as sa'di) menyebutkan : harus mengutamakan maslahat / keutamaan yang lebih besar walaupun harus meningalkan maslahat / keutamaan yang lebih kecil, dan qaidah ini dalam syari'at islam bersumber dari ayat al qur'an dan hadist rasulullah SAW diantaranya : 1. firman allah dalam QS az zumar: 55:. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang Telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu[ alqur'an ] 2. firman allah QS al zumar : 17-18 :sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, 18. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaran mereka. Maka yang paling baik dikembalikan kepada ucapan ini, jika bertabrakan antara manfaat/ keutamaan yang didalamnya untuk mendapatkan hukum dari hukum-hukun syariat maka kami mengikuti yang palin baik.

: : : .

:

Jika manusia mau memperhatikan hukum-hukum syariat maka akan mendapati maslahat yang banyak jenisnya : ada maslahat yang sudah ditentukan dan merupakan kewajiban seperti : sholat wajib, kadang mendapati maslahat yang disukai dan di sunnahkan, seperti sholat-sholat sunnah, kadang maslahat yang di syari'atkan yang harus ada di masyarakat walaupun tidak semunya mengerjakan seperti misal : sholat jenazah, memandikan mayit, dan kadang juga ada maslahat yang harus dikerjakan oleh semua angota masyarakat. : Dan maslalat-maslahat ini diantaranya maslahat yang mu'tabar ( diakui & dikenal ) dalam syariat dan telah di tentukan hukumnya, dan ulama' menbagi maslahat ini menjadi 3 bagian : : . Pertama:maslahatul mutabaroh (maslahat yang sudah terkenal ) dan dia adalah yang telah di akui oleh syari'at kemaslahatannya, baik dengan dalil alqur'an ataupun sunnah, ataupun ijma & qiyas. ( seperti contoh-contoh diatas ) :

Kedua : maslahatul mulqoh (maslahat yang gugur), dia dia maknanya: yang bertabrakan dengan dalil, seperti misal, orang yang melangar sumpahnya sedang dia tidak bisa menebus kafarahya kecuali dengan puasa, karena tidak mampu memberi makan fakir dan miskin atau memberikan penghidupan & pakaian, maka jika dikatakan kepada orang ini : wajib bagi kamu puasa 3 hari karena tidak bisa menjaga sumpahnya kecuali dengan puasa, akan tetapi maslahat ini digugurkan oleh syari'at, karena dalam syari'at kafarah bagi yang melangar sumpah, harus memberi makan fakir dan miskin atau memberikan kehidupan & pakaian atau membebaskan budak, namun jika tidak di dapati dan tidak mampu maka sebagia gantinya adalah puasa. : . : : . Tiga : masholihil mursalah yaitu : maslahat yang tidak didapati dalilnya, baik pengugurannya atau penetapanya, dan telah berselisih sebagian ulama' dalam menjadikan dalil& hujjah maslahat ini , ada sebagian yang menjadikan nya dalil dan ada sebagian yang menolaknya, dan telah berpendapat as syeikhul islam ibnu taimiyyah dan ibnu qayyim, (semoga allah meroahmati mereka berdua) : bahwasanya tidak munkin ada maslahat mursalah, karena semua maslahat itu sudah pasti mu'tabar ( di kenal dan ditetapkan syari'at ) ,jika ada sebagian yang menganggap itu maslahat mursalah maka tidak lepas dari dua hal : 1.munkin hal itu mafsadah ( mudharat & bahaya ) bukan maslahat ( manfaat & faedah ) 2.sudah ada dalil penetapannya oleh syari'at namun tersembunyi ( samar ) bagi sebagian faqih ( orang yang mengerti fiqh ) dan pendapat ini sangat kuat , karena menetapkan bahwasanya syari'at islam sudah paripurna dan sempurna, jika kita memperhatikan dalil-dalil syar'iyyah maka akan kita dapati bahwasanya syari'at ini mencapuk keumuman maslahat bagi manusia, dan seseorang itu tidak membutuhkan qiyas kecuali hanya pada hal-hal yang amat sedikit sekali yang munkin kurang adanya dalil-dalil dalam hal-hal ( kejadian ) tersebut. CONTOH PENERAPAN QAIDAH INI : . :

:"

".

Mencari ilmu syar'iyyah lebih utama dari pada sholat sunnah, karena mencari ilmu selain bermanfaat bagi dirinya juga bermanfaat bagi orang lain, berbeda dengan sholat sunnah manfaatnya untuk diri sendiri, maka dari sini mengerjakan hal yang wajib lebih diutamakan dari pada hal yang sunnah, sebagaimana dikatakan dalam hadist bukhari : "sesunggunya dekatnya seorang hamba kepadaku semisal apa-apa yang telah aku wajibkan atas mereka" artinya semakin banyak seorang hamba mengerjakan kewajiban akan semakin dekat dengan allah dan rasululnya, ..

Dari sini maka : jika dia masuk masjid sedang sholat wajib sudah di tegakkan maka mendahulukan sholat wajib tersebut dari pada sholat tahiyatul masjid, atau sunnah yang lainya ( seperti 2 rakaat sebelum subuh) dan semisalnya. : . : . Maka dari qaidah tarjih antara bebera maslahat (keutamaan ) mereka ( ulama ) berkata: sesunggunya maslahat yang khusus di dahulukan dari pada maslahat yang umum dalam tempat-tempat yang tertentu, dan mengerjakan maslahat yang umum jika tidak pada tempat yang tertentu dan khusus, misalnya : membaca alqur'an , mereka berkata : dan ini termasuk maslahat & keutamaan , dan alqur'an merupakan dzikir paling utama, akan tetapi jika di tempat & waktu tertentu lebih diuatamakan dzikir khusus misalnya : dzikir sholat , ( setelah sholat wajib ), dzikir & doa pagi dan petang ( jika telah tiba waktunya ) maka ini maknanya mendahulukan dzikir khusus di tempat yang khusus, sedang alqur'an bisa dibaca dialin waktu dan kapanpun., misal lainya, mengikuti & menjawab adhan, doa setelah adhan lebih diutamakan dapi pada membaca alqur'an karena waktunya yang khusus & tertentu. Misal yang lain: Dalam masalah yang wajib : seseorang memiliki hutang puasa ramadhan 3 hari sedang dia juga memiliku hutang puasa nadhar sedang waktu nya sudah mendekati bulan ramdhan sedang keduanya sama-sama wajib mana yang diuatamakan ? melihat keutamaan yang yang agung dan besar maka lebih diutamakan untuk mengerjakan puasa ramadhan. Contoh dalam hal yang sunnah : seseorang masuk masjid dan dia ingin mengerjakan sholat sunnah tahiyatal masjid dan sunnah qobliyah ( rowatib ) sedang waktunya sudah mepet dan tinggal sedikit karena imam sudah ada sedang mngerjakan sholat sunnah juga mana yang di diutamakan ? para ulama: mengatakan diutamakan dahulu tahiyatal masjid karena sunnah muakad bahkan sebagian ahlul ilmi ada yang mengatakan wajib. Misal dalam alqur'an al : :271. Jika kamu menampakkan sedekah(mu)[1], Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya[2] dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. ( al baqoroh : 271 -273 ) [1] menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang lain. [2] menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, Karena menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula menyakitkan hati orang yang diberi. Dari ayat ini dapat kita ketahui bahwasanya : bersedekah dengan sirr ( sembunyi ) lebih utama dan didahulukan dari pada sedekah denagn jahr ( terang-terangan ) Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan). : :

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KEEMPAT

WADHIDDUHU TAZAKUMUL MAFASIDDI FARTAKABU ADNA MINAL MAFASIDI ARTINYA: adapun lawannya jika bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainya maka diambil mudharat yang paling kecil dan ringan

-

-: {

}(

: 173)

Adapun lawan dari kaidah yang sebelumnya adalah " tazakumul mafsid " ( bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainnya ) dimana seseorang tidak mampu meningalkan dua mudharat & mafsadah ( bahaya) secara bersamaan yang dia mampu adalah meninglakan yang satu tetapi tidka bisa lepas dari bahaya yang lainnya, maka jika menghadapi kondisi yang demikian itu : dia harus memilih bahaya yang lebih kecil & ringan untuk mencegah bahaya & mafsadah yang lebih besar,. Adapun dalil dari qaidah ini adalah firman allah ta'ala : { }( : 173)

Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( al baqorah : 173 ) : : . Dari ayat ini diketahui adanya dua bahaya, yaitu bahaya bagi diri sendiri ( jika tidak makan dia akan mati ) , dan bahaya kedua memakan bangkai yang haram , maka jalan keluat dari 2 bahaya itu adalah memilih bahaya yang lebih ringan yaitu memakan bangkai. :

"

":

:" :

" : .

:

Sebagaiaman masholeh ( mashatah & manfaat ) itu terbagi menjadi berbagai macam ( lihat pembahasan sebelumnya ) maka begitu juga al mafasid ( muhdarat & bahaya ) ,dan makan ucapan dari qaidah kedua an dinu mabniyun " ala mashalihi fil jalbiha "artinya : untuk memndatangkannya dan beramal dengannya. Dan makna dari " ad dar'ii lil qobaikhi " : ad dar'ii maknanya menjauhkan & menhilangkan, sedang makna " al qobaikhi "adalah mafsadah atau bahaya, dan diantara macam-macam mafsadah & bahaya itu diantaranya : 1.mafsadah yang makruh, : 2. mafsadah yang haram , yang diantaranya bisa termasuk bahaya yang besar adapula yang kecil , dan perbedan ini bertingkat-tingkat tergantung keadanya.

.

Sebagaimana penjelasan diatas dalam pembagian mafsadah , maka kita tinggalkan mafsadah yang haram walupun kecil dan kita memilih mafsadah yang makruh, dan kita meningalkan mafsadah muhararomah yang besar walupun harus mengerjakan mafsadah muharromah yang kecil, jika tidak ada pilihan lagi dan tidak munkin bagi kita meninggalkan semuanya.

: . Dan begitu juga ada mafsadah & bahaya yang kadang berhubungan dengan orang lain, dan berhubungan dengan diri sendiri, maka jika dalam hal seperti ini, kita harus memilih mafsadah yang berhubungan dengan diri sendiri jika tidak mungkin meningalkan keduanya, misalnya : Jika ada seseoarang yang sangat membutuhkan kepada makanan dan tidak mendapati kecuali bangkai atau binatang yang haram serta makanan yang halal tetapi milik orang lain yang sama keaadannya dengan dia ( sangat membutuhkan makannan ) , maka jika dia makan makanan yang halal milik orang lain tersebut yang bisa menyebabkan bahaya orang lain , sedang jika kita makan bangkai tersebut tidak membahayakan orang lain maka kita harus memilih memakan bangkai yang hanya berhubungan dengan diri sendiri bukan orang lain. . Missal yang lainnya : Jika dikatakan kepada seseorang bunuh orang lain jika tidak kami akan membunuhmu, maka di sana ada dua mudharat dan bahaya, yaitu : terbunuh jiwanya dan terbunuh orang, maka mafsadah yang kita ambil adalah mafsadah yang berhubungan dengan diri sendiri, dan kita siap dibunuh demi untuk menhilangkan bahaya yang lebih besar yang berhubungan dengan orang lain. CONTOH DARI HADIST : Sebagaimana di ceritakan tentang keinginan umar untuk membunuh Abdullah bin ubai bin salul, di sana ada 2 mudharat yaitu : Abdullah bin salul yang suka mencela & menhina islam dan yang kedua jiak di bunuh akan menimbulkan fitnah dan manusia akan mengira bahwasanya rasulullah telah membunuh para shohabatnya. Maka tidak membunuhnya lebih di utamakan oleh rasulullah demi maslahat yang lebih uatama dan ,memilih mafsadah yang lebih kecil. Contoh lain : Jika dikatakan munimlah khomer ( minuman keras ) kalo tidak aku akn bunuh kamu ? di sana ada dua mudharat yaitu minum khomer yang haram dan di bunuh jika tidak mau minum , maka kita memilih untuk minum khamer demi menolak bahaya yang lebih besar yaitu keselamata jiwa kita terancam :

WADHIDDUHU TAZAKUMUL MAFASIDDI FARTAKABU ADNA MINAL MAFASIDI : " . : -" :

Dan dari qaidah ini ada qaidah lain yang berhubungan dengan qaidah ini yang di katakan oleh jumhur ahli usul yaitu : " DAR UL MAFASIDI MUQODAMUN 'ALA JALBIL MASHOLIHI " menolak mudharat lebih di utamkan dari pada mengambil faedah, karena perhatian pembuat syari'at kepada perkara yang dilarang lebih besar dari perhatiannya kepada hal-hal yang di perintahkan , dan mereka berdalil dengan hadist rasulullah SAW: " jika aku perintahkan dengan suatu perkara maka kerjakanlah semampu kalian, sedang jika aku larang dari sesuatu maka jauhilah, dari hadist ini dapat kita pahami : dalam masalah larangan : Rasulullah SAW memerintahkan untuk menjauhi dan meninggalkan larangan itu secara menyeluruh ( semuanya ) sedang dalam masalah perintah dalam melaksanakanya tergantung kemampuan. : . Akan tetapi Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat dengan pendapat yang lain beliau berkata : sesunggunya perhatian pembuat syari'at dengan perkara perintah lebih besar dari pada masalah larangan, dan beliau berdalil dengan dalil dari berbagai segi, namun pendapat jumhur dalam masalah ini lebih kuat dari pendapat as syikhul islam, dan harap diketahui penerapan qaidah ini jika antara mafsadah dan maslahat dalam kadar yang sama.Sebagaimana dikatakan oleh as syeikh sholeh al usaimin dalam kitabnya mandhumatul qowaid : -

Wama'a tusaawi dhorarun wa manfa'uhu yakunu mamnu'an li dar il mafasidi ( dan jika kadar mudharat dan manfaatnya sama maka kita cegah ( untuk mengambil manfaat ) demi menolak mudharat ( bahaya ) :" . Dan mereka mengambil contoh yang banyak sekali, diantaranya hadist Rasulullah dalam masalah wudhu : "hendaknya kalian bersungguh-sungguh dalam istinsak (memasukkan / menghirup AIR ) kedalam hidung kecuali kalian dalam keadaan puasa" sebagaimana dalam kitab sunan, mereka berkata: dihadist ini ada mafsadah yang berhubungan puasa dan ada maslahat yang berhubungan menghirup air kedalam hidung dalam wudhu, maka mencegah mudharat lebih diutamakan dari pada mengambil manfaat, yaitu meninggalkan intinsak ( menghirup air) lebih diuatamakan karena bisa merusak/membatalkan puasa. " :

. Adapun jika maslahatnya lebih besar dari mafsadahya maka kita utamakan maslahat dari pada mafsadah, contohnya adalah : orang yang sakit yang tidak bisa berwudhu atau tidak bisa mengunakan air dan debu, disini ada mafsadah , yaitu sholat tanpa bersuci ( wudhu ) dan disana ada maslahat yaitu sholat, maka mana yang diutamakan ? jawabnya adalah : mengutamakan sholat dari mafsadah tersebut, yaitu sholat walaupun tanpa bersuci dan berwudhu. . .

Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10) Reply With Quote Contoh lainya adalah : mendengar dan taat kepada pemimpin (pemerintahan) yang fajir & dhalim, sesungguhnya mendengar dan ta'at ada mafsadah yaitu membiarkan dan mendiamkan mereka untuk berbuat dhalim, dan juga ada maslahat yaitu menjaga keutuhan jama'ah dan ketenangan masyarakat, maka maslahat ini lebih besar dari pada mudharatnya, maka kita utamakan maslahat ini ( yaitu menjadikan masyarakat tenang ) maka kita mendengar dan ta'at kepada pemimpin yang dhalim walaupun dalam keadaan seperti ini kita mendiamkan orang yang berbuta dhalim, karena mafsadah ini lebih kecil yang dimaafkan dan dibanding maslahat yang lebih besar jika kita taat kepada pemimpin / pemerintahan. dan ini sesui dengan perintah ALLAH & Rasulullah SAW diantaranya SBB:

Hai orang-orang yang beriman, ta atilah Allah dan Ta atilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kalian. (QS. An Nisa : 59)

Dari sahabat Ibnu Umar rodiallahu anhu dari Nabi shollallahu alaihi wa sallam Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menta ati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menta ati. (Bukhari dan Muslim) : :

Akan ada setelahku para penguasa yang tidak melakukan petunjuk-petunjukku dan tidak melakukan sunnahsunnahku. Dan akan ada diantara mereka orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati syaitan yang terdapat di jasad manusia . Aku (Hudzaifah) berkata, Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini? Rasulullah bersabda, Engkau tetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun ia memukul punggungmu atau mengambil hartamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat! (Riwayat Muslim) Ibnu Hajar berkata: Meskipun ia memukul punggungmu dan memakan hartamu , perilaku ini banyak terjadi di masa pemerintahan Al-Hajjaaj dan yang semisalnya. (Fathul Bari 13/36) sampai-sampai khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:

Seandainya seluruh umat berlomba-lomba dengan orang yang paling keji dari mereka, kemudian setiap umat mendatangkan orang yang paling keji dari mereka dan kita mendatangkan Al Hajjaj, niscaya kita dapat mengalahkan mereka.

) ( ).

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan merekapun membenci kalian, kalian melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian. Dikatakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah tidak (sebaiknya tatkala itu) kita melawan mereka dengan pedang? Rasulullah berkata, Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari para pemimpin kalian, maka bencilah amalannya dan janganlah kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan kepadanya. (Riwayat Muslim) Pada hadits lain Beliau shollallahu alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang ia benci, maka hendaknya ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama ah sejauh sejengkal, kemudian ia mati maka kematiannya bagaikan kematian jahiliyah. (Muttafaqun alaih)

Barangsiapa yang memisahkan diri dari jama ah sejengkal maka seakan-akan ia telah melepaskan kekang Islam dari lehernya (Fathul Bari 13/7). Ibnu Taimiyyah berkata: Dan merupakan ilmu dan keadilan yang diperintahkan untuk dilaksanakan adalah bersabar atas kedzoliman para penguasa dan kelaliman mereka, sebagaimana hal ini merupakan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamaa ah. (Majmuu Fataawaa 28/179) Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KE LIMA

WAMIN QOWAI'IDIS SARI'ATIT TAISIRU FI KULLI AMRIN NAABAHU TA'SIR Artinya : dan termasuk qaidah syari'ah adalah mudah dalam setiap perkara sebagai ganti dari kesulitan ( kesusahan ) :" " : : ": " : ": . :"

Dari kalimat ini : wamin qowa'idis sarii'ati at taisir" yang dimaksud at taisiru : diambil dari kata al yusru maknanya adalah: mudah & lembut,dan kalimat ini : fi kulli amrin nabahu taksir" nabahu artinya adalah : ganti darinya, mendapatkannya, adapun makna "at ta'sir " diambil dari kata al 'usru manknanya : keras/susah dan tidak lembut, adapun yang dimaksud dari qaidah ini adalah : sesunggunya termasuk hikmad dan kasih sayang ALLAH kepada para

hambaNya adalah jika mereka mendapatkan kesulitan dan kesusahan maka sesungguhnya syaria'at islam mempermudah dan memberikan keringanan bagi mereka. -: { :{ }( -: { (5) : 185) (28) } ( . Dalil dari qaidah ini banyak sekali diantaranya firman ALLAH : { (5) (6) } ( : 5-6) (6) } ( : 28) : 5-6)

1. 5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ( qs : alam nasrok : 5-6 ) {185 : }( 2. 185. . Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ( al baqorah : 185 ) { (28) } ( : 28)

3. dan sungguh Allah banyak sekali menghubungkan dalam hukumnya keringanan dan kemudahan bagi hambanya sebagaiamana dalam firmannya : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. ( an nisa: 28 ) dan telah menunjukkan yang demikian itu dalam penetapan hukum-hukum syari'at dan itu semua karena keutamaan allah yaitu bersama kesusahan itu ada kemudahan dan itu semua demi kemaslahatan makluqnya. Kaidah ini dibatasi oleh kalimat : "Selama tidak mengandung dosa". Kemudahan yang dimaksud dalam Islam bukanlah kemudahan yang bersifat pilihan pribadi. Dan kemudahan di sini tidak berkorelasi dengan "enak". Kemudahan ini tetap dalam koridornya berdasarkan dalil yang sah. 1. Islam memerintahkan berpuasa. Islam memberi "kemudahan" bagi orang yang sakit untuk tidak berpuasa dan mengqadlanya di hari lain. 2. Islam mewajibkan shalat. Hukum asal shalat adalah dikerjakan sambil berdiri. Namun bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya, ia diberi "kemudahan" untuk mengerjakannya sambil duduk, dan seterusnya. 3. Tidak diragukan lagi bahwa berjalan menuju ke masjid adalah lebih utama daripada naik kendaraan. Namun jika jarak masjid jauh - misalnya - , apakah keutamaan jalan ini juga bersifat mutlak ? Tidak. Jika ia berjalan, tentu akan menimbulkan kepayahan sementara ia punya kendaraan. Maka, ia tetap diberikan keutamaan dengan "kemudahan" yang diberikan Islam untuk berkendaraan menuju masjid.

Kaidah ini tidak cocok diterapkan dalam kasus berikut :contoh 1. Ada makanan haram di sisinya, yang pada waktu itu ia berada dalam keadaan sangat lapar. Sedangkan makanan halal letaknya agak jauh, namun ia masih bisa menjangkaunya. Maka, ia tidak diperbolehkan mengambil makanan yang haram tersebut selagi ia masih bisa menahan laparnya dan menjangkau makanan halal dimaksud. 2. Ada 2 khilaf ulama tentang masalah wali dalam nikah. Satu pendapat (ini pendapat jumhur) menyebutkan bahwa tidak sah menikah kecuali dengan wali. Pendapat lain mengatakan bahwa sah menikah tanpa wali. Satu ketika seseorang hendak menikah dimana wali-wali nikah yang berhak menikahkan berhalangan. Ia tidak boleh

memilih pendapat kedua (nikah tanpa wali) hanya berdasarkan mengikuti "kemudahan". Ia tetap harus menikah dengan wali (walaupun dengan wali hakim), karena hal ini berdasarkan perkataan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam : Laa nikaahan illaa bi waliyyin "Tidak ada nikah kecuali dengan wali". 3. Begitu juga dengan khilaf-khilaf yang lain. Ia tidak boleh memilih hanya berdasarkan prinsip "kemudahan". Beda antara kata "sahl" (mudah) dan "tasahhul" (bermudah-mudah/menggampangkan). Ia tetap harus mendasari semua perkataan dan perbuatannya dengan dalil. Jika ada khilaf, maka ia tetap harus memilih pendapat yang paling rajih (kuat), walaupun mungkin pendapat itu menimbulkan "kesulitan" padanya. Wallaahu a'lam. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10) : : Dan para ulama lainya mengetengahkan qaidah ini dengan siyak yang berbeda dengan apa yang di ketengahkan mualif disini ( as syeikh as sa'diy) mengatakan : kesulitan sebab dari kemudahan ( at ta'siru sababun lil taisir) sedang ulama' lainya mengatakan dengan lafadh : kesusahan mendatangkan kemudahan ( al masaqqotu tajlibu at taisir ) namun lafadh dari mualif lebih tepat dari pada lafadhnya para fuqoha, As syeikh abu huamid abdullah al falasi mengatakan dalam ringkasanya dari kitab qowaidul fiqhiyyahnya as syeikh sholeh al usaimin dalam qaidah kelima dengan teks : Kulamaa wajadatil masaqotu wajada at taisuru Dimana jika didapati kesulitan maka akan didapati kemudahan : }( : 196) -: { -

:(

) .

:

Maka apa saja yang di kategorikan " kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan " diantaranya adalah sbb : 1. orang yang sakit sebagaiman firman ALLAH dalam memberikan keringanan kepada orang yang sakit di waktu haji { }( : 196)

jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. al baqorah : 196 ) Dalam ayat ini allah memberikan keringanan hukum dengan firmannya ( ) namun tidak mutlaq semua sakit, allah tidak mengatakan "man kana bihi mardhon" ( barang siapa yang merasa sakit ) ,maka menunjukkan ayat ini sakit yang dimaksud adalah sakit tertentu, maka yang dimaksudkan dari ayat ini yang termasuk hikmah allah dalam menentukan hukum adalah : jika orang yang sakit tersebut mengerjakan perintah kemudian menyebabkan sakitnya bertambah parah atau menghalangi kesembuhannya, maka syariat memberikan keringanan di saat seperti itu.

: . Contoh lainya adalah: orang yang sakit dalam keadaan puasa jika menyebabkan terhambatnya kesembuhanya atau karena puasa bisa menjadi parah sakitnya maka boleh baginya untuk berbuka ( membatalkan puasanya dan menganti dilain hari ), adapun jika tidak dalam keadan seperti itu maka tidak boleh baginya membatalkan puasanya, walaupun dalam keadaan sakit, contohnya , sakit gigi atau sedikit pusing jika dengan menjalankan puasa tidak menyebabkan sakitnya menjadi parah dan menghambat kesembuhannya maka tidak boleh baginya membatalkan puasanya. . : : : :{ }( : 80) :" " . -{ }( : 184) . 2. dan salah satu sebab kemudahan dan keringanan dalam syariat adalah orang yang bepergian jauh ( safar) , namun ulama' berselisih pendapat jarak nya berapa bisa dikatakan safar ( bepergian jauh ) , sebagian mereka mengatakan : batasannya tidak kurang dari 80 km, sebagian lagi berkata : batasanya perjalanan sehari , dan pendapat ini munkin yang lebih kuat, karena allah mengatakan : :{ }( : 80 80. di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim ( an nahl : 80 ) karena syari'at itu datang dengan dalil yang mensifati safar ( bepergian jauh ) dengan makna sehari, sebagaiman dikatakan dalam hadist : " jangan lah seorang perempaun itu safar ( bepergian ) sehari kecuali dengan mahramnya" dan tidak dikatakan yang lebih sedikit dari batasan waktu itu ( sehari ) Adapun pendapat yang ketiga dalam menentukan batasan safar ( bepergian jauh ) yaitu : hendaknya dikembalikan kepengertian umumnya masyarakat, ( al urfi), maka jika umumnya pemahaman ahlul urfi menyatakan hal itu sudah dikatakan safar maka kita sebut safar, jika tidak maka tidak termasuk dikatakan safar dan belum mendapatkan keringanan. Adapun dalil safar ( bepergian jauh ) mendapatkan keringanan dalam syari'at adalah firman allah : { }( : 184) . 184.. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. ... . Dan sebab lainya dalam mendapatkan keringanan dalam syari'at adalah " an naqs"( kurang sempurna ) maka orang gila mendapatkan keringanan dalam hukum syari'at, begitu juga orang yang sakit, orang yang haid gugur darinya kewajiban sholat dan thowaf wada' dsb. : : : . . :

Dan pembuat syari'at ( Allah & RasulNya ) dalam memberikan keringanan & kemudahan dengan menempuh berbagai manhaj:

1. kadang keringan itu mengugurkan kewajiban, misal : gugurnya kewajiban sholat bagi wanita haid 2. kadang meringankan hal yang wajib, misal : sholatnya orang safar ( boleh dijama' dan di qosor ) , orang yang sakit dan tidak mampu berdiri boleh sholat dengan duduk ataupun berbaring. 3. kadang keringanan itu menganti kewajiban dengan yang lainya, misal: tayamun mengantikan wudhu jika tidak ada air & bagi yang punya udhur ( seperti sakit ). 4. kadang keringan itu bolehnya mendahulukan kewajiban dalam menunaikannya misal : bolehnya mempercepat membayar zakat, dan mendahulukan sholat berjama'ah jika sudah berkumpul. 5. kadang keringan itu bolehnya mengakhirkan suatu kewajiban misal :mengakhirkan sholat berjama'ah jika belum berkumpul jama'ahnya., maka itu semua adalah berhubungan dengan qaidah ini. Dan contoh dari qaidah yang agung ini sangat banyak sekali untuk di kemukakan disini, namun ana cukupkan itu saja Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KE ENAM

WALAISA WAJIBUN BILAA IQTIDARIN WALAA MUHAROMUN MA'AADH DHOROR. ARTINYA: tidak menjadi kewajiban jika tidak mampu mengerjakan dan tidak ada keharaman dalam keadaan darurat ( bahaya ) : : : } (: . Bait ini mengandung dua qaidah yaitu : Qaidah pertama : anal waajibaat tasqutu ma'a 'adamil qudroh, artinya : sesunggunya suatu kewajban menjadi gugur jika tidak ada kemampuan untuk menjalanknnya, sedang maksud al qudrah adalah kemampuan. Jadi maksud dari qaidah ini adalah : barang siapa yang tidak ada kemampuan baginya untuk menjalankan danmelaksanakan salah satu amalan wajib dari kewajiban agama maka gugurlah hukum wajib tersebut. dalilnya adalah firman ALLAH SWT : { } (: 16) : 16) : -" : -{ ".

16. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ( at taqobun: 16 ) Juga hadist rasulullah SAW "

(

)

Jika aku perintahkan dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian. ( HR bukhari no :7288 & muslim no : 1337 ) Adapun macam-macam al qudrah ( kemampuan) disini berbeda-beda tergantung jenis dari kewajiban tersebut, diantara hal yang wajib kadang berhubungan dengan 1.badan, yaitu tidak ada kemampuan ( 'adamul qudrah ) angota badan yang berhubungan dengan kewajiban tersebut, contoh : mencuci tangan tatkala berwudhu padahal orang tersebut tidak memiliki tangan ( putus tangannya ), maka dalam keadaan seperti itu orang tersebut tidak ada kemampuan untuk mencuci tangan, maka gugurlah kewajiban mencuci tangan baginya 2. kadang tidak ada kemampuan juga berhubungan dengan perbuatan ( fiil ) ibadah, misal : orang yang lumpuh / duduk di kursi roda maka tidak ada kemampuan baginya untuk berdiri ( dalam sholat ataupun ibadah lainnya: misal thowah, sa'ii dsb ) maka gugurlah kewajiban berdiri baginya. : : : . 3.Dan kewajiban yang berhubungan dengan harta ( wajibaatul maaliyyah ) kadang gugur darinya karena tidak memiliki kemampuan untuk mengunakan harta yang cukup, misal : tidak memiliki perbekalan dan biaya untuk bepergian ibadah hajji maka gugurlah kewajiban hajji. 4.Dan ada juga kewajiban yang berhubungan dengan ucapan/perkataan, ( wajibaatul qauliyyah ) misal : bacaan dalam sholat, maka gugurlah kewajiban itu dari orang yang bisu yang tidak bisa berbicara. Dan kewajiban ini terbagi menjadi 2 macam : 1. kewajiban yang ada ganti dari kewajiban tersebut jika tidak ada kemampuan untuk mengerjakannya dengan angota badan misal : wudhu gantinya adalah : tayamum, orang tua yang tidak mampu berpuasa : gantinya memberi makan tiap hari satu orang faqir miskin, dsb 2. kewajiban yang tidak ada ganti dari kewajiabn tersebut jika tidak ada kemampuan untuk melaksanakannya, misal : kewajiban haji gugur dari orang yang tidak ada kemampuan untuk melaksanakanya, atau jihad ( berperang melawan orang kafir ) gugur dari orang yang tidak ada kemampuan untuk menegakkannya misal bagi orang yang sakit parah, tua renta, lumpuh, buta dsb. : : :

Jika kita sudah mengetahui hal diatas , sekarang ada pertanyaan apakah lemah ( tidak mampu ) mengerjakan bagian dari suatu kewajiban meyebabkan gugurnya kewajiban tersebut secara mutlaq? qaidah ini yang penting dan perlu di garis bawahi : APAKAH LEMAH UNTUK MENGERJAKAN BAGAIN DARI SUATU KEWAJIBAN MENGGUGURKAN KEWAJIBAN TERSEBUT ? . Ini berbeda dengan jenis & macamnya kewajiban, karena hal yang wajib itu ada dua ,macam : : : . Yang pertama : ibadah wajib yang tidak bisa dipotong ( dibagi-bagi ) karena ibadah tersebut satu bagian yang sempurna, maka jika seorang hamba tidak mampu untuk mengerjakan sebagaiannya maka gugurlah kewajiban : :

tersebut. misalnya : batasan zakat fitrah adalah satu sha' (ukuran sekarang kira-kira 2,176 kg Dan kita bisa menggunakan tangan untuk menjadi takaran dengan cara kita penuhi kedua telapak tangan sebanyak empat kali. Karena satu mud sama dengan genggaman dua telapak tangan orang dewasa dan satu sha' sama dengan empat mud pent. ) jika dia tidak memiliki satu sha' maka gugurlah kewajiban tersebut. Dan para ulama mengatakan tentang qaidah ini : maa laa yataba'adu fakhtiaru ba'dhohu ka ikhtiyaru kuluhu artinya : apa saja dari ibadah yang tidak bisa di bagi & di potong sebagian maka memilih bagainnya merupakan pilihan semuanya. Atau mereka berkata : fasaqothu ba'dhuhu ka saqothu kuluhu artinya jika gugur sebagian saja maka gugur semuanya. : : . Jenis kewajiban yang kedua : ibadah wajib yang bisa di bagi-bagi ( di potong sebagian dalam artian : boleh mengerjakan sebgaian dan boleh meningalkan sebagian jika tidak mampu melaksanakannya secara sempurna) dan bagian satu tidak berkaitan dengan bagain yang lain maka jika tidak mampu untuk melaksanakanya sebagian tersebut maka tidak gugur sebagian kewajiban tersebut, misal : menutup seluruh aurat waktu sholat, maka jika kita tidak mampu menutup semua aurat dan terbuka sebagain, maka kita wajib menutup aurat yang kita mampu untuk menutupinya, dan para ulama mengungkapkan qaidah ini dengan : al maisuuru laa yasqutu bil ma'suuru artinya : hal yang mudah tidak membatalkan hal yang sulit secara mutlaq : : . Dan disana ada ibadah wajib yang terkandung didalamnya dua hal diatas : apakah dia satu bagian yang utuh atau dia itu bisa dibagi-bagi , di sini ada perselisihan diantara fuqoha' : contohnya : wudhu' , jika seseorang tidak mampu mencuci semua angota badan yang wajib di basuh, dan hanya mampu mencuci sebagian saja, apakan wajiba baginya uintuk mencuci amgota wudhu yang tersisa ? para fuqoha' berkata : apaka wudhu bisa dibagi & di potong sebebagain atau satu kwajiban yang utuh yang tidak bisa di bagi-bagi ? maka jika wudhu' merupakan ibadah yang bisa dibagi & di potong maka wajib bagianya mencuci angota badan yang dia mampu untuk mencucinya, dan meningalkan yang lain, namun jika tidk bisa di bagi maka tidak wajib baginya untuk mencuci dan mengantinya wudhu dengan tayamum. Wallahu a'lam. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan). :

:

: .

Kaidah kedua yang terkandung dalam bait kaidah ke enam adalah : Laa muharromun ma'a ithdoror, artinya : tidak ada keharaman jika bersaman dengan darurat ( bahaya ) dan banyak dikalangan para fuqoha mengatakan dengan teks lainya : al dhororu tubihul mahdhuuroh " keadaan darurat menhalalkan hal yang haram " dan yang dimaskud ad dhoruruh disini adalah : apa-apa yang menyebabkan bahaya bagi hamba jika di tingalkan, dimana tidak ada lainnya yang menempati sebagai penganti , inilah yang dimaksud ad dhoruroh yang benar .

. :

Berbeda dengan makna al haajah ( kebutuhan /keperluan ) maka hajah / kebutuhan maknanya : apa saja yang bisa menyebabkan bahaya bagi seseorang jika meninggalkannya, akan tetapi ada yang lainnya yang bisa meenempatinya sebagai penganti. Misal dhoruroh : jika seseorang dalam keadaanya sangat genting dan lapar sekali dan tidak mendapati hal yang halal untuk dimakan kecuali bangkai padahal bangkai haram , j ika dia meninggalkan bangkai tersebut untuk tidak dimakan maka orang tersebut akan mendapatkan bahaya, dan tidak ada lagi selain bangkai sebagai pengantinya ( namaun jika ada makanan yang halal yang bisa dia capai & dapatkan maka dia harus mencari yang halal itu ) , maka dia mendapati bangaki tersebut sebagai dhoruroh, dan ini tidak mutlaq semuanya halal, namun ada muqoyyadnya yaitu : sesui kadar nya saja (tidak boleh berlebih lebihan, akan datang penjelasnya insya allah ) }( -: : 173) + :{

Adapun dalil dari qaidah ini (al makdhuroot tubahun bil doruroot / hal yang haram menjadi mubah jika dalam kondisi kritis, bahaya) adalah beberapa ayat diantaranya : 173 barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya ( al baqorah : 173 ) :{ }( : 119) Dan firmanya :119. Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu membutuhkanya ( al an'am :119 ) ..

(

: 119)

:

. .

{

}

Di ayat yang pertama hanya khusus berhubungan dengan masalah makanan, akan tetapi dalam ayat kedua ini thohirnya berupa umum Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu membutuhkanya ( al an'am :119 ) sedang misal dari qaidah ini adalah : memakan bangkai yang asalnya haram di halalkan jika dalam keadaan bahaya ( lapar sekali dan ngak ada penganti selain bangkai tersebut ) : . Namun dalam qaidah ini ada syarat yang harus kita perhatikan , dimana syarat ini sangat penting sekali karena sebagain manusia mengiginkan keringanan dari hukum syari'at dengan alasan qaidah ini dan tidak memperhatikan syarat-syaratnya : . . . .

Termasuk syarat dari qaidah ini adalah : Syarat pertama: hendaknya kondisi genting, gawat & bahaya tersebut bisa hilang dengan mengerjakan hal yang haram tersebut , jika tidak bisa hilang keadaan genting tersebut maka tidak boleh mengerjakan hal yang haram

tersebut, ahlul fiqh memberikan misal : orang yang sangat kehausan dan tidak mendapati air kecuali khomer ( minuman keras ) maka ini tidak boleh diambil untuk di minum karena khamer ( minuman keras ) tidak menhilangkan dahaga dan haus , bahkan akan membuat orang tersebut semakin kehausan dansemakin dahaga , maka hal yang haram disini malah justru menambah bahaya dan tidak bisa menhilangkan bahaya tersebut . : . . Syarat kedua : tidak ada jalan lain untuk menghilangakn kondisi gawat dan bahaya tersebut , namun jika ada jalan lain maka tidka boleh mengerjakan hal yang haram tersebut, misalnya : ada dokter laki laki dan dokter perempaun , sedang pasiennya adalah pasien perempuan maka kita mengunakan dokter perempuan untuk memeriksa tubuh pasen perempuan yang sakit tersebut, dan kita tidak boleh memilih dokter laki-laki untuk memeriksa pasien perempuan dikarenakan adanya dokter wanita yang siap. : . : . . . . : . :

Dan juga termasuk syarat dari qaidah ini adalah : hendaknya hal yang haram tersebut lebih sedikit dari dhorurah ( bahaya ) maka jika dhorurohnya ( bahayanya) lebih besar maka tidak boleh, misalnya : jika bahayanya adalah menghilangkan nyawa orang lain agar dirinya selamat sebagaimana dalam misal paksaan ( dalam qaidah ke empat ) disini dhorurah lebih sedikit dibanding hal yang diharamkan yaitu membunuh orang lain sedang dhorurohnya ( bahayanya ) ancaman manusia kepada dirinya akan dibunuh, dengan ucapan mereka : bunuh orang lain jika tidak maka kami akan membunuhmu, maka ini tidak boleh dituruti. . . . : . .

Dan perlu diperhatikan : jika hilang bahaya tersebut ( setelah melakukan hal yang dilarang) maka hilal lah hukum halal untuk melakukan hal yang dilarang tersebut, ( artinya tidak boleh menambah lebih banyak hal yang di haramkan) dan tidak boleh bagi manusia untuk menambah lebih banyak dalam melakukan hal yang dilarang tersebut, hanya sekedar hal yang bahaya tersebut bisa hilang. Dan ini akan di jelaskan oleh mualaif ( as syeikh as sa;di ) dalam qaidah berikutnya,dan jika hilang bahaya ( dhoruroh )nya maka tidak boleh melakukan hal yang di larang , untuk itu jika melihat air maka tayamumnya menjadi batal , dan ulama' mengatakan : ma jaaza li 'udrin bathola bizawalihi artinya: apa saja yang bisa menghilangkan udhur maka batallah dhorurah tersebut. __________________ Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KE TUJUH

Wa kullu mahthurin ma'ad dhorurohi bi qodri maa tahtaajuhu ad dhorurotu Artinya setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat, tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu.

:

-{

}(

: 173) .

Bait qoidah ini merupakan salah satu syarat dari qaidah yang lalu ( ke enam bait kedua : ( maknanya adalah : tidak boleh mengambil hak yang diharamkan kecuali sesui kadar kebutuhan yang bisa menghilangkan kondisi darurat / bahaya tersebut,(dan tidak boleh lebih pent. ) sadapun dalilnya adalah firman ALLAH SWT dalam QS albaqoroh:173) { }( : 173)

173. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ( al baqoroh : 173 ) dalam ayat ini ada syarat : tidak ada keinginan terhadapnya , dan tidak pula melampui batas, makan al udwan : terus menambah hinga melampui batas yang di wajibkan, maka barang siapa yang melampui batas tersebut maka dia mendapatkan dosa, dan inilah dalil dai qaidah ini. :" " . : : . : : . Adapun firmanya : " " para ulama mengambil dalil dari lafadh ini , bahwasannya keringanan berlaku jika ada maksiyat, misalnya; barang siapa yang bepergian jauh ( safar ) dalam rangka maksiyat, maka tidak boleh baginya mendapatkan keringanan sebagaimana keringanan dalam safar, seperti : tidak berpuasa, atau menjamak 2 sholat ataupun qosor (meringkas sholat 4 rakaat menajdi 2 ) , dan begitu juga keringana-keringana yang lainya, kecuali memang dalam keadaan dhoruroh dan terpaksa dan butuh akan kerinagan tersebut. Ada masalah lain yang berhubungan dengan kaidah darurat ini, yaitu : apakah kondisi darura membatalkan hak orang lainnya? Atau jika kondisinya darurat dan harus mengambil ( menhilangkan ) harta orang lain , apakah yang punya hak boleh menuntuk untuk menganti harta tersebut ? dalam maslah ini ada perinciannya. . :

1. apakah bahaya / kondisi darurat itu di timbulkan oleh hak milik orang lain atau bukan ? jika kondisi itu di timbulkan oleh hak milik orang lain maka, yang punya hak ngak boleh menuntutnya untuk menganti rugi hak yang hilang tersebut. Misalnya : seseorang tiba-tiba di serang onta ( sapi ) sampai membahayakan dirinya, maka orang tersebut melawannya hingga terbunuh onta/sapi tersebut karena membela diri ,

disini ada kondisi darurat ( membela diri ) ,maka apakah boleh sang pemilik onta/ sapi datang kepadanya dan mengatakan : berikan ganti rugi seharga onta/ sapi tersebut ?, maka kami ( para ulama) katakan : tidak ada hak bagi sang pemilik, kenapa, karena bahaya / kondisi gawat tersebut di timbulkan karena kelalailan sang pemilik, dia lupa menjaga hak miliknya, maka jika yang demikian ittu tidak ada garansi ( ganti rugi ) : . . : : . . . : . .

: . : .

:

2.adapun jika kondisi darurat ( bahaya ) tersebut tidak ditimbulkan karena hak miliknya ( berhubungan dengan ) orang lain maka wajib mengantinya jika mengambil ( menhilangkan hak milik tersebut ) misalnya: seseorang sangat kelaparan, dan dia tidak mendapati makanan apapun kecuali onta milik ( hak ) orang lain kemudian orang ini menyembelihnya dan memakanya,maka dalam kondisi darurat ( bahaya ) ini ada dan terjadi tanpa ada hubungannya dan bukan karena hak orang lain, maka sang pemilik onta boleh menuntut ganti rugi dari onta yang dimakan orang tersebut, maka para ulama mengambil kaidah dari hal ini : : ( al idhirar laa yubtilu haqol ghoiri ) kondisi bahaya tidak menhalalkan ( membatalkan ) hak orang lain , dengan catatan kondisi darurat ( bahaya ) tersebut timbul bukan disebabkan hak miliknya. Contoh lainnya yang lebih terperinci : para penumpang dalam kapal, membuang sebagian barang milik penumpang lain kelautan ,karena bisa menyebakan bahaya jika tidak membuangnya, masalahnya apakah orang yang membuang barang tersebut harus menganti barang tersebut apa tidak ? maka kita lihat sebabnya : jika dia membuangnya karean kelalain sang pemilik barang, misalnya orang tersebut tinggal dibawah barang tersebut di letakkan , dan sebagian barang tersebut sering menjatuhinya, dan bisa membahayakannya, terus dia membuangnya kelautan barang tersebut, maka bahaya tersebut timbul karena kelalaian sang pemilik barang maka , tidak wajib baginya menganti barang tersebut , namun jika kondisi bahaya tersebut bukan ditimbulkan dari hak ( barang ) oranga lain , misal kapal tersebut kelebihan barang dan muatan , dan bisa menyebabkab kapal tersebut tengelam sehingga pemilik / kapten kapal mengatakan : kita harus membuang sebagain barang kelaut, dan diambillah sebagian barang tersebut dan dibuang kelaut, maka apakah ada garansi ( ganti rugi ) barang tersebut, kita katakan : iya ada garansi, karena bahaya tersebut tidak ditimbulkan dari barang itu sendiri atau kelalaian pemilik barang namun timbul karena kelalaian semua orang dalam kapal, sehingga di katakan kepad semua yang ada di kapal : beri ganti rugi barang tersebut , dan di bagi rata setip penumpang hingga terkumpul seharga barang tersebut, tergantung jumlah danharganya. . -

. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KE DELAPAN

Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yuziilus sakku lillyaqini Dan dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah membatalkan keyakinan itu. Dalam bentuk yang lain dikatakan :

as aslu baqoo u maa kaana 'alaa maa kaana artinya : asal sesuatu perkara dihukumi asalnya, dikatakan dalam mulaqos qowaidul fiqhiyyahnya as syeikh sholeh al usaimin dalam qaidah ke 15 ( ruju'u lil asli ;indas shakk ) dikembalikan hukum sesuatu pada asalnya jika timbul keraguan didalamnya. misalnya : jika seseorang yakin dalam keadaan suci , kemudian timbul keraguan apakah batal atau belum , maka di kembalikan pada asalnya, yaitu suci , karena dia yaqin sebelumnya dalam kedaan suci. Misal lainnya ; jika seseorang sholat dhuhur dan sudah selesai ( sudah salam ) dan selang beberapa saat kemudian timbul keraguan apakah sholatnya sudah sempurna ( 4 rakaat ) atau kurang , maka dikembalikan asalnya bahwasannya sholatnya sudah sempurna. :" : . : " : . : . :

.

Perkataan mualif ( syeikh abdur rahman as sa'diy ) : " " dikembalikan hukum sesuatu pada keyakinan artinya: sesunggunya syariat itu diletakkan dan disandarkan hukum-hukumnya diatas keyakinan, sedang makna yakin dalam bahasa arab adalah : / zawaalus sha hilangnya keraguan, dan berkatas sebagain ulama' usul : sesungguhnya kata yakin dalam bahasa diambil dari kata : tenang/tetap dan diam, jika dikatakan : yaqonal ma'u artinya air tenang/diam , sedang yakin dalam tinjauan syar'ii adalah: : dan ketetapan ilmu didalamnya, : : . tumakninatul qolbi was tiqroorul ilmi fiihi, ketentraman dan ketenagan hati

.

. Sedang makna shak ( ragu) dalam tinjaun bahasa adalah : at tadaakhul saling masuk / kemasukan , disebut demikian karena keraguan jika masuk didalam hati timbul dua pilihan, yang menyebabkan tidak bisa mengambil salah satu yang benar diantara keduanya, sedang maknanya secara istilahi adalah : membolehkan dua perkara atau lebih , yang tidak bisa menimbang salah satu dari semuanya, maka menimbulkan dua pilihan/ keputusan atau lebih yang

tidak munkin mengambil salah satu yang benar diantara pilihan-pilihan tersebut. :" " : : } (. Adapun ucapan mualif disini : " " dikembalikan hukum kepada keyakinan: maknanya bahwasanya syari'at itu diletakkan hukum-hukumnya diatas dasar keyakinan, dan bukanlah maksud mualif disini, tidak digunakannya persangkaan yang kuat, karena syari'at kadang mengunakan persangkaan yang kuat di beberapa masalah, sebagaimana firmanya dalam QS : al baqoroh : 230 :230. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya ber-PRASANGKA ( berpendapat )akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Maka dalam ayat ini di bagun hukumnya diatas dasar prasangka yang kuat. maknanya: kemunkinan saja benar. . -" . " : 230) : -: { :

Dan misalnya juga sabda rasulullah SAW : aku tidak mengira bahwasanya fulan dan fulan mengetahui sedikitpun tentang agama kita. Sebagaimana dalam kitab shohih, maka disini disandarkan hukum pada persangkaan ( yang kuat ) dan ini adalah madhab jumhur ahlul ilmi, yaitu persangkaan yang kuat kadang di gunakan secara mutlaq. :" . ": .

Adapun maksud dari : : " ""keraguan tidak menghilangkan keyakinan, maknanya : sesunggunya keraguan jika timbul pada hati manusia sedang sebelumnya ada keyakinan dalam hatinya dan keraguan memutuskan keyakinan yang ada sebelumnya, maka janganlah menghiraukan keraguan tersebut, akan tetapi dikembalikan hukumnya pada keyakinan yang ada sebelumnya.

: : 36)

:{

-{ (28) } ( : 28)

}(

. Adapun dalil dari qaidah adalah beberapa nash syar'iyyah diantaranya : Dari alqur'an { }( : 36)

36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran ( QS yunus : 36 ) Serta firmanya : { (28) } ( : 28)

28. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. ( QS an najm : 28 ) dari hadist

-

-

"

."

-

Dan di riwayatkan dalam kitab shohihain ( bukahri dan muslim ) : dari hadistnya abdullah bin zaid RA, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang mengadu kepada rasulullah SAW bahwasanya dia mendapati sesuatu didalam sholatnya : maka Rasulullah saw bersabda: janganlah kamu berpaling ( membatalkan sholatnya) sampai mendapati bau ( kentut) atau mendengar suara ( kentut ) ( HR bukahri kitab wudhu bab: orang yang tidak berwudhu karena keraguan yang asalnya yakin, hadist no :137, 173 kitabul buyu' ( jual beli ) bab; tidak memperdulikankan rasa was-was dan subhat serta semisalnya no :2056 dan muslim kitab haid hadist no ; 361,362 )

".

-

:"

Dan diriwayatkan juga dalam kitab shohih sesungguhnya nabi SAW bersabda: jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, dan dia tidak tahu sudah dapat tiga roka'at atau empat roka'at ,maka tinggalkan keraguan dan memilih yang yaqin dan pasti.

. Jika sudah jelas dan menetapkan dalam hal tersebut maka sesunguhnya kaidah ini adalah kaidah yang sangat penting dan masuk didalam semua pembahasab, bab-bab fiqh, bahkan ada beberapa kaidah-kaidah yang sangat berhububgan erat dengan kaidah ini dan mualif menyebutkan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kaidah ini brikutnya ( akan datang kaidah tersebut beserta penjelasnya, misal : hukum asal air, tanah adalah suci, hukum asal sesuatu adalah mubah ( halal ) hukum dalam ibadah adalah haram / dilarang dsb ) Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10) : : . : . Pembahasan yang berhubungan dengan kaidah ini terbagi menjadi 2 macam: 1.masalah yang di sepakati dan sesui dalam kaidah ini , dan disepakati juga hukumnya contohnya: seseorang yang pagi harinya dalam keadaan tidak suci dan berhadast ( belum berwudhu / mandi wajib ) kemudian dia ragu apakah telah bersuci ( wudhu/mandi wajib ) atau belum ? adalah dia berhadast pagi harinya, kemudian ragu sudah berwudhu apa belum ? maka yang diyakini dan tetap serta pasti adalah permulaanya / waktu awalnya yaitu dalam keadaan berhadast maka tidak boleh mengambil keputusan bahwasanya dia sudah bersuci yang masih diragukan kebenaran dan kepastiannya. : . Contoh lainnya : diyakini bahwasanya tidak boleh berhubungan badan ( bersegama ) dengan wanita bukan istrinya

( ajnabi ) maka jika seseorang ragu apakah dia telah menikah wanita tersebut atau belum ? maka kita kembalikan ke kaidah : yaitu hukum asalnya wanita ajnabi tidak boleh di setubuhi. ( maka dia tidak boleh menganbil keputusan bahwasanya boleh bersetubuh dengannya padahal sudah menikahinya atau belum masih diragukan kepastiannya pent.) : : . . : . 2. masalah yang di sepakati dan sesui dalam kaidah ini namun masih diperselisihkan hukum yang cocok bagi permasalahan tersebut, contohnya : jika sesorang dalam keadaan suci waktu paginya kemudian dia ragu apakah sudah batal atau belum ? asalnya dia dalam keadaan suci kemudian timbul keraguan batal atau belum, maka yang benar adalah maka kita ambil kondisi yang pertama ( dalam keadaan suci ) kita menjauhi keputusan untuk menyatakan telah batal yang keadaanya masih diragukan kepastiannya dan ini adalah madhab jumhur ahlul ilmi ( ulama') , dan berkata para pengikut madhab imam malik ( malikiyyah ) : kita telah batal, karena keyakian yang pasti adalah sholat wajib bagi setiap manusia, dankeyakinan ini tidak menjadi batal dengan keadaan suci yang timbul keraguan didalamnya, maka tidak boleh sholat dalam keadaan ragu seperti ini ( kita harus bersuci / wudhu lagi ) : . . Contoh lainnya : jika seseorang telah menthalak ( menceraikan ) istrinya, namun dia ragu apakah sudah talak tiga apa baru satu ? maka jumhur ulama' berpendapat : nikah pada permulaanya adalah hal yang sudah pasti di yakini ( sahnya ) , maka tidak membatalkan pernikahan tersebut thalak yang masih diragukan kepastiannya, maka kita hukumi bahwasanya itu adalah thalak satu. Adapun malikiyyah berpendapat : hukum asal mensetubuhi wanita ajnabi adalah haram maka tidak membatalkan keharamanya keyakinan sahnya nikah yang diragukan, maka kita hukumi bahwasanya dia sudah thalak tiga. . : : : .

Jika kita sudah mengetahui masalah tersebut dengan jelas, maka sketahuilah sesunggunya kaidah ini merupakan pondasi dan pokok-pokok syar'iyyah yang agung dan merupakan dalil dari dalil dalil syar'iyyah, dan ini adalah al istishhab ( penyandaran dan pneyertaan serta berhubungan), dan istishab ada bebrapa macam : : .

Pertama : penyandaran kepada mubah pada hukum asalnya, maka asal dalam perbuatan adalah mubah / boleh : . Kedua : penyandaran kepada berlepas diri ( tidak ada ikatan ) maka hukum asalnya manusia adalah berlepas diri, maka tidak ada kewajiban sesuatau apapun sampai ada dalil yang mewajibkannya dari pembuat syari'at ( allah & rasulnya ) : .

Ketiga: penyandaran kepada dalil syar'ii hingga datang penetapan bahwasanya hal tersebut di mansuh (dihapus/dibatalakan), maka kita tidak boleh menghukumi dan mengatakan dalil syar'ii tersebut mansuh ( batal ) sampai kita bisa membuktikannya dengan dalil. : .

Keempat : penyandaran kepada yang umum sampai ada dalil penghususannya. : . Kelima: penyandaran pada sifat, misal : menyandarkan suci dari hadast yang pasti pada waktu subuh ( setelah sholat shubuh) maka disukai untuk menjadikanya ( keadan suci ) sebagai dalil pada waktu berikutnya, ( kecuali sudah jelas bahwasanya dia telah batal pent.) : . Keenam : penyandaran kepada kesepakatan para ulama ( ijma' ulama) dalam permasalahan yang diperselisihkan , yang demikian itu jika ada suatu permasalahan dan ulama telah bersepakat dalam menentukan hukumya, kemudian berubah suatu sifat ( keadaannya) dari sini timbullah perselisihan ( ikthilaf ) : . : : . : . :

Contohnya adalah : para ulama telah sepakat bahwasanya ' barang siapa melihat ( mendapati ) air sebelum sholat maka batal tayamumnya, kemudian mereka berselisih : gimana kalau melihat air di tengah-tengah sholat ( misal tiba-tiba turun hujan pent) , maka berubahlah sifat ( keadaanya ) maka apakah boleh seseorang mengatakan : jika melihat air sebelum sholat maka batal tayamumnya secara ijma ( kesepakatan ulama'), dan kita mengambil / menyandarkan kepada pendapat ini walaupun kita dalam keadaan melaksanakan sholat, maka jumhur berpendapat : tidak sah kita mengambil pendapat tersebut ( tidak batal di tenggah sholat ) mereka berkata : tidak sah menyatakan pendapat jumhur dalam masalah yang masih di perselisihkan. wallahu a'lam bis showab . Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).

" Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". ( AsSyams 9-10)

KAIDAH KE SEMBILAN

wal aslu fi miyahinaa at thohaarotu wal ardhu was sama'u wal hijaarotu

Hukum asal air tanah, langit dan batu adalah suci [/b] :" : " : .

Pengarang ( as syeikh abdur rahamn as sa'dity ) berkata : " "yang dimaksud al aslu ( asalnya ) adalah : pondasi asal yang terus menerus yang dengannya kita mengambil hukun,jika tidak didapati dalil dalam selain asalnya , maka masalah tersebut terbagi menjadi 4 keadaan : : .

Pertama : perkara yang ada dalilnya dalam masalah haram atau najis atau rusak ( fasad ) maka di hukumi dengannya seperti itu. ( misal : daging babai haram , air kencing dan kotoran najis, maka di hukumi hal tersebut haram dan najis pent.) : : .

Kedua : perkara yang dalilnay menunjukkan atas : boleh / halal, atau suci, atau sehat /bagus, maka dihukumi dengan keadaan tersebut ( misal : air lautan suci, ikan dilautan halal, maka hal tersebut di hukumi suci dan halah pent.) : . . Ketiga : perkara yang di dalamnya didapati ada dua dalil yang saling bertentangan. Satu dalil menunjukkan bagus/ sehar , satu dalilnya lagi menunjukan hal tersebut rusak, atau dalam satu sisi dalil menunjukkan halal, dan di lain sisi dalil tersebut menunjukkan keharamannya, maka jika tidak munkin mengambungkan antara keduanya darus diadakan pentarjihan ( mengambil slaah satui hukum yang paling kuat ) , sedang dalam masalah pentanrjihan ulaam menentukan kaidah : ) ( anna dalila at tahrimi yuqoddamu 'alaa dalili al ibahati ) artinya : sesungguhnya dalil yang menunjukkan keharaman lebih didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan kehalalannya, ( ana kasih contoh walaupun masalah ini sudah jelas dalil keharamannya namun ada sebagain yang masih ngotot dan pernah ana perdebatkan dalam tread yang sudah ana kunci ( bolehkan kita demontarsi dan memberontak ) , yaitu ; yang lagi ngeteren di kalangan pemikiran para shabab harokah islamiiyah : adalah bom syahid ( sebenarnaya bukan bom syahid tetapi bom bunuh diri ) sebagaian pemuda ada yang mengatakan boleh dengan dalil fatwa seseorang ulama doank katanya ( anda pasti tahu fatwa siapa itu ) dan kebanyakan pemuda mengatakan haram , dengan dalil dari penjelasan berbagai ulama yang terkenal , taruhlah ada 2 hukum yang bertentangan , yaitu ada yang mengatakan halal dan ada yang mengatakan haram , dan ini susah kita jama' maka menurut kaidah tarjih : dalil keharamannya bom bunuh diri lebih di dahulukan dari pada dalil yang membolehkan pent.) : . . : . :

Keempat : perkara yang tidak didapati dalilnya, atau kita tidak tahu dalilnya, maka kita kembalikan dalam pengambilan dalilnay ke kaidah asalnya. :" ". : :

-

-{ : 48).

}(

: 11)

:{

(

Adapun ucapannya di sini : " " hukum asal air adalah suci, yang dimaksud kaidah ini adalah : jika ada air yang kita tidak tahu dalil atas kesucianya, ataukah air tersebut najis, maka kita dalam menghukumi air tersebut kita kembalikan kekaidah asalnya, da kaidah tersebut adalah : " air tersebut suci selama tidak ada dalil yang menyatakan lain ( selain suci ), adapun dalil dari kaidah ini beberapa nusus ( nash ) syar'iyyah diantaranya : Dari alqur'an : { }( : 11) 11. dan Allah me