fiqih aqiqah

28
FIQIH AQIQAH Ust. Farid Numan Hasan I. Mukadimah Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah: ئ ز ج ي ط، ولا ق ف ز عا م ل ا ن ما وام ن ا ض ل ا ن م ما! ا اة# م ش س ه ا ي ل ع ع ق ي مالا ا ه ق ي ق ع ل ا ي ف ئ ز ج ي ولا5 ك ل ر ذ ي غ ن م ولا ه ي س نلاز ا ق ي ل ا ن م ولا ل بلا ا ن م لا ا رن ك ر ما ذ ي غ ن م5 ك ل ذ ي ف“Tidaklah mencukupi dalam aqiqah kecuali dengan jenis yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis benggala (Adh Dha’n) atau kambing biasa (Al Ma’z), dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.” (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr) Apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm maksudnya adalah tidak sah dan tidak bisa disebut aqiqah. Ini menunjukkan kelirunya apa yang dikatakan Sang ustadzah tersebut. Pada kesempatan ini akan saya bahas tentang aqiqah selengkap mungkin, termasuk juga catatan saya atas yang kami hormati, Ibu Ustadzah Mamah Dedeh, Hafizhahallah (semoga Allah menjaganya). Prinsip seorang muslim dalam mengkaji persoalan ritual ibadah, adalah tauqifi (menunggu dalil), termasuk pembahasan aqiqah. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengulasnya menurut hawa nafsu dan akal- akalan semata. Koreksian ini, murni kepentingan ilmu pengetahuan, dan tak ada tendensi apa pun kepada siapa pun. II. Ta’rif (Definisi) Aqiqah Untuk memahami defini aqiqah, akan saya kutip dari berbagai kitab para ahli bahasa sebagai berikut. Syaikh Shahib bin ‘Ibad berkata tentang makna Aqiqah:

Upload: asmusace053815

Post on 03-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Fiqih Aqiqah oleh Ust. Farid Nu'man Hasan

TRANSCRIPT

FIQIH AQIQAHUst. Farid Numan Hasan

I. Mukadimah

Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

Tidaklah mencukupi dalam aqiqah kecuali dengan jenis yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis benggala (Adh Dhan) atau kambing biasa (Al Maz), dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)Apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm maksudnya adalah tidak sah dan tidak bisa disebut aqiqah. Ini menunjukkan kelirunya apa yang dikatakan Sang ustadzah tersebut. Pada kesempatan ini akan saya bahas tentang aqiqah selengkap mungkin, termasuk juga catatan saya atas yang kami hormati, Ibu Ustadzah Mamah Dedeh, Hafizhahallah (semoga Allah menjaganya).Prinsip seorang muslim dalam mengkaji persoalan ritual ibadah, adalah tauqifi (menunggu dalil), termasuk pembahasan aqiqah. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengulasnya menurut hawa nafsu dan akal-akalan semata. Koreksian ini, murni kepentingan ilmu pengetahuan, dan tak ada tendensi apa pun kepada siapa pun.

II. Tarif (Definisi) AqiqahUntuk memahami defini aqiqah, akan saya kutip dari berbagai kitab para ahli bahasa sebagai berikut.Syaikh Shahib bin Ibad berkata tentang makna Aqiqah: : - - . - - : Seseorang mengaqiqahkan bayinya: (yakni) Jika seseorang mencukur aqiqahnya yaitu rambut yang tumbuh pada bayi itu- lalu menyembelih kambing darinya. Dan kambing juga disebut aqiqah. (Shahib bin Ibad, Al Muhith fil Lughah, 1/1. Mawqi Al Warraq)Syaikh Al Khalil bin Ahmad mengatakan:: . Aqiqah adalah rambut yang ada pada bayi ketika lahirnya, dan dinamakan pula kambing yang disembelih untuk itu dengan sebutan aqiqah. (Khalil bin Ahmad, Al Ain, 1/5. Mawqi Al Warraq)Syaikh Zainuddin Ar Razi mengatakan tentang aqiqah: . Rambut yang tumbuh pada setiap bayi manusia dan hewan. Diantaranya adalah kambing yang disembelih saat hari ketujuh setelah kelahiran adalah aqiqah. (Zainuddin Ar Razi, Mukhtar Ash Shihah, Hal. 212. Mawqi Al Warraq)Syaikh Abu Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi mengatakan: : Aqiqah, asalnya adalah rambut yang terjadi pada kepala anak-anak ketika lahirnya, dan sesungguhnya dinamakan pula aqiqah bagi kambing yang disembelih untuk anak tersebut pada saat itu, karena dipotongnya rambut tersebut adalah ketika penyembelihan. Oleh karena itu, dikatakan dalam sebuah hadits: Buanglah dari bayi itu gangguannya, makna gangguan adalah rambut yang dicukur dari bayi tersebut. (Abu Ubaid, Gharibul Hadits, 2/284. Dairatul Maarif. Lihat pula Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 33-34. Darul Kutub Al ilmiah)Sementara itu dari Imam Ibnu Hajar Rahimahullah, beliau menulis sebagai berikut dalam Al Fath: : . : . : Berkata Al Khaththabi: Aqiqah adalah nama bagi kambing yang disembelih karena kelahiran bayi. Dinamakan seperti itu karena aqiqah adalah merobek sembelihan tersebut yaitu mengoyak dan memotong. Dia berkata: dikatakan aqiqah adalah rambut yang sedang dicukur. Berkata Ibnu Faris: Kambing yang disembelih dan rambut, keduanya dinamakan aqiqah. (Fathul Bari, 9/586. Darul Fikr)Imam Ash Shanani Rahimahullah mengatakan: . .Aqiqah adalah hewan sembelihan yang disembelih untuk bayi. Berasal dari merobek, mengoyak, dan memutus. Dikatakan, sembelihan adalah aqiqah, karena merobek dan mecukurnya. Dikatakan aqiqah pula bagi rambut yang tumbuh di kepala bayi dari perut ibunya. Az Zamakhsyari mengatakan itu adalah kata asal dari aqiqah, dan kambing sembelihan termasuk kata yang berasal dari itu. (Subulus Salam, 6/328. Maktabah Syamilah. Lihat juga Nailul Authar, 5/ 132. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Lihat juga, Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, Aunul Mabud, 8/25. Darul Kutub Al Ilmiah )Jika kita perhatikan definisi para ulama tentang makna aqiqah, maka semuanya sepakat dan bermuara pada dua kunci, yakni aqiqah itu adalah pencukuran rambut bayi dan penyembelihan kambing. Dari definisi saja sudah terlihat bahwa kelirunya aqiqah dengan selain kambing.

III. Dalil-Dalil PensyariatannyaDalil-Dalil pensyariatan aqiqah terhadap bayi sangat kuat dalam hukum Islam. Menurut Imam Ibnul Qayyim, bahwa Imam Malik mengatakan tak ada perbedaan pendapat -menurutnya- tentang disyariatkannya aqiqah. Yahya bin Said Al Anshari menyebutkan bahwa beliau menjumpai manusia, mereka tidak menganjurkan aqiqah bagi ghulam (anak laki-laki) dan jariyah (anak perempuan). Berkata Ibnul Mundzir: Ini (aqiqah) diamalkan oleh penduduk Hijaz, dahulu dan sekarang, dan dipraktekkan para ulama. Malik menyebutkan bahwa mereka tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini (bahwa aqiqah untuk bayi disyariatkan). Diantara yang meriwayatkan aqiqah, adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Fathimah, Buraidah Al Aslami, Urwah bin Zubair, Atha bin Rabbah, Az Zuhri, Abuz Zinad, dan demikian juga dari Malik, penduduk Madinah, Syafii dan sahabat-sahabatnya, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan jamaah. Serta, banyak jumlah para ulama yang mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini, sedangkan ashhabur rayi (para pengikut Abu Hanifah) mengingkari kesunahannya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 26-27. Darul Kutub Al Ilmiah)Berikut adalah dalil-dalilnya:1. Dari Salman bin Amir Adh Dhabbi, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah (kambing), dan hilangkanlah gangguan darinya. (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)Maksud dari hilangkanlah gangguan darinya adalah mencukur rambut kepalanya (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah). Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa Imam Muhammad bin Sirin berkata: Jikalau makna menghilangkan gangguan adalah bukan mencukur rambut, aku tak tahu lagi apa itu. Al Ashmui telah memastikan bahwa maknanya adalah mencukur rambut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, bahwa Al Hasan Al Bashri juga mengatakan demikian. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 9/593. Darul Fikr)2. Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: : Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama. (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. Lihat Syaikh Al Albani, Irwa Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)Apa maksud kalimat Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya? Imam Al Khaththabi mengatakan, telah terjadi perbedaan pendapat tentang makna tersebut. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, maksudnya adalah setiap anak yang lahir dan dia belum diaqiqahkan, lalu dia wafat ketika masih anak-anak, maka dia tidak bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Sementara, pengarang Al Masyariq dan An Nihayah mengatakan, maksudnya adalah bahwa tidaklah diberi nama dan dicukur rambutnya kecuali setelah disembelih aqiqahnya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Dawah Islamiyah. Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Azhim Abadi, Aunul Mabud, 8/27. Darul Kutub Al Ilmiyah)Seorang tokoh tabiin, Atha bin Abi Rabbah mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ahmad, maksud kalimat tersebut adalah orang tua terhalang mendapatkan syafaat dari anaknya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 48. Darul Kutub Al Ilmiyah)

IV. HukumnyaMayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah sunah. Berikut keterangan Imam Ibnul Qayyim: Ada pun pimpinan Ahli Hadits dan para ahli fiqih mereka dan jumhur (mayoritas) ulama, mereka mengatakan bahwa aqiqah adalah sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. (Tuhfatul Maudud, Hal. 28. Darul Kutub Al Ilmiah)Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan: Madzhab jumhur (mayoritas) ulama dan lainnya adalah aqiqah itu sunah. (Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad dawah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: .Aqiqah adalah sunah muakkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah telah melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah meng-aqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing kibas. Sedangkan menurut Laits bin Saad dan Daud Azh Zhahiri aqiqah adalah wajib. (Fiqhus Sunnah, 3/326. Darul Kitab Al Arabi) Sedangkan, Imam Abu Hanifah justru membidahkan Aqiqah! (Imam An Nawawi, Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/217. Dar Alim Al Kitab)Pengarang kitab Al Bahr menyebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah menilai Aqiqah merupakan kejahiliyahan. Imam Asy Syaukani mengatakan, jika benar itu dari Abu Hanifah, maka hal itu bisa jadi dikarenakan belum sampai kepadanya hadits-hadits tentang aqiqah. Sementara Imam Muhammad bin Hasan mengatakan Aqiqah adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam dengan qurban. Sementara, justru kalangan zhahiriyah (yakni Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm, pen) dan Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan wajib. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad dawah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 38. Darul Kutub Al Ilmiyah)Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)

Pendapat yang benar dan lebih kuat, hukum aqiqah adalah sunah. Hal ini didasari oleh hadits berikut: Barang siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih (kambing) untuk bayinya, maka lakukanlah. (HR. Malik No. 1066. Ahmad No. 22053. Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya terdapat seorang yang tidak menjatuhkan hadits ini, dan periwayat lainnya adalah para periwayat hadits shahih. Majma Az Zawaid, 4/57. Al Maktabah Asy Syamilah)Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan kemauan orangnya. Kalau dia mau, maka lakukanlah. Maka, tidak syak lagi bahwa pendapat jumhur (mayoritas) ulama lebih kuat dan benar, bahwa aqiqah adalah sunah.Imam Ash Shanani Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai pengalih kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, 6/329. Al Maktabah Asy Syamilah)Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullahi mengomentari hadits tersebut dalam At Tamhid: : :" ".Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa aqiqah bukanlah kewajiban, karena seandainya wajib tidak akan dikatakan di dalamnya, Barang siapa yang suka maka lakukanlah. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid Lima fil Muwaththa minal Maani wal Asanid, 4/311. Mawqi Ruh Al Islam)Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengutip dari para ulama tentang maksud hadits ini: Melaksanakan aqiqah (dalam hadits ini), tidaklah menunjukkan kewajiban, itu hanyalah menunjukkan perbuatan yang disukai (sunah). (Tuhfatul Maudud, Hal. 42. Darul Kutub Al Ilmiyah)Beliau juga mengatakan: Aqiqah adalah sunah buat anak perempuan sebagaimana juga sunah bagi anak laki-laki, inilah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat nabi, tabiin, dan orang setelah mereka. (Ibid, hal. 46)Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji mengomentari hadits di atas, katanya hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib karena terkait dengan kerelaan orang tuanya. Lalu dia mengatakan: : Berkata Imam Malik dalam Al Mabsuth: Barang siapa yang tidak menyembelih (aqiqah), tidak memberikan makan, maka tidak ada dosa baginya. Demikian inilah pendapat mayoritas ahli fiqih. (Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa, 3/142. Al Maktabah Asy Syamilah)Berkata Jafar bin Muhammad, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab: Tidak ada masalah atasnya. Al Harits berkata, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang orang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab: Jika dia mau tidak mengapa berhutang, aku harap Allah Taala menggantinya karena dia menghidupkan sunah. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 40. Darul Kutub Al ilmiyah)Jika sudah jelas bahwa aqiqah adalah sunah, bukan wajib, maka dia tidak berdosa jika tidak melaksanakannya, maka bagaimana mungkin hal itu dianggap hutang hingga dewasa? Maka, bagaimana mungkin, orang tua tidak boleh mengaqiqahkan anaknya, hanya karena dia belum meng-aqiqahkan dirinya?Berkata Al Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah: (Aqiqah) adalah kewajiban bagi ayah, dan ini ditegaskan oleh nash (dalil) dari Ahmad. Ismail bin Said Asy Syalinji berkata: Aku bertanya kepada Ahmad tentang seorang laki-laki yang mengabarkan bahwa orang tuanya belum mengaqiqahkan dirinya, apakah dia mesti meng-aqiqahkan dirinya? Ahmad menjawab: itu adalah kewajiban ayahnya. (Ibid, Hal. 41. Darul Kutub Al Ilmiyah)Jadi, orang yang belum di-aqiqahkan ketika masih kecil, dia tidak dibebani untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri ketika sudah dewasa, sebab itu adalah tugas orang tuanya ketika dia masih kecil. Inilah pendapat yang benar yang didukung oleh dalil yang kuat, bahwa memang syariat aqiqah adalah dilakukan pada hari ke 7 dari kelahiran bayi, bukan ketika sudah dewasa.Saya mengira, bisa jadi dalam hal ini ada pihak yang menyamakan aqiqah dengan haji, bahwa jika ingin menghajikan orang lain maka dia harus sudah haji untuk dirinya sendiri dahulu.Sungguh, aqiqah bukanlah haji. Ibadah haji adalah wajib dan rukun Islam ke lima. Orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, maka itu menjadi hutang baginya. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya berhaji atas nama ibu saya? Beliau bersabda: Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan. (HR. Bukhari No. 1754)Maka, tidak benar menyamakan yang sunah (aqiqah) dengan yang wajib (haji). Oleh karena itu keduanya tidak sama pula dalam konsekuensi hukum selanjutnya. Kita mengetahui, bahwa orang yang ingin menggantikan haji orang lain (badal haji), maka syaratnya dia harus sudah berhaji dahulu.Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: .Disyaratkan bagi orang yang menghajikan orang lain, bahwa dia harus sudah haji untuk dirinya dulu. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 638. Darul Kitab Al Arabi)Hal ini berdasarkan pada hadits berikut: Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaika dari Syubrumah. Rasulullah bertanya: :Siapa Syubrumah? laki-laki itu menjawab: Dia adalah saudara bagiku, atau teman dekat saya. Nabi bersabda: Engkau sudah berhaji? Laki-laki itu menjawab: Belum. Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu dahulu kemudian berhajilah untuk Syubrumah. (HR. Abu Daud No. 1811. Ibnu Majah No. 2903 Al Baihaqi mengatakan: sanad hadits ini shahih, dan tidak ada yang lebih shahih dari hadits ini dalam masalah ini. Lihat Aunul Mabud, 5/174. Darul Kutub Al Ilmiyah)Tetapi aturan pada badal haji ini, tentu tidak berlaku bagi aqiqah, karena keduanya adalah hal yang berbeda secara hukum. Maka, tidak ada ketetapan yang menyebutkan bahwa jika ingin mengaqiqahkan anak, maka orang tua harus mengaqiqahkan dirinya, jika belum, maka tidak boleh. Ini adalah ketetapan yang tidak berdasar dan mengada-ngada. Kalau pun ini disebut qiyas, maka ini adalah qiyas maal fariq (mengqiyaskan dua hal yang berbeda), yang tidak bisa dijadikan metode istinbath (penyimpulan hukum). Maka, orang tua yang belum mengaqiqahkan dirinya, tetap boleh mengaqiqahkan anaknya. Ada pun dirinya, menurut sebagian besar ulama, sudah tidak lagi kena anjuran aqiqah karena aqiqah hanya dianjurkan atas bayi berumur tujuh hari atau kelipatannya. Ada pun hadits tentang Rasulullah mengaqiqahkan dirinya saat dewasa adalah hadits munkar yang tidak bisa dijadikan dalil. Demikian.V. Bolehkah Aqiqah dengan selain Kambing?Pendapat yang mengatakan bolehnya aqiqah dengan selain kambing adalah pendapat lemah dan telah diingkari oleh orang-orang mulia.Sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut: Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada Aisyah: Wahai Ummul Muminin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?. Maka Aisyah menjawab: Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan. (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar, No. 871)Ini adalah riwayat pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang menggantikan Kambing dengan yang lainnya, sampai-sampai Aisyah mengucapkan Maadzallah! (Aku berlindung kepada Allah). Hadits ini menjadi pembatal bagi siapa saja yang mencoba-coba mengganti hewan aqiqah menjadi Sapi atau Unta.Oleh karena itu, dengan tegas berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah: Tidaklah cukup dalam aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)Telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan Unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Imam Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia menyembelih Unta untuk anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan, dia berkata: bahwa Anas bin Malik meng aqiqahkan anaknya dengan Unta. Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al Ilmiyah)Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan: Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya. (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing. Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah, sebab hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai hadits lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu adalah kambing. Menurut kaidah ushul tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang masih global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan penjelasannya. Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah (saya sebut dua saja)Dari Ummu Kurzin Radhiallahu Anha, katanya: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasai No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasai No. 4215)

Dari Aisyah Radhiallahu Anha, katanya: .Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing. (HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil No. 1166)Demikianlah hadits-hadits yang memberikan perinciannya. Masih banyak hadits lainnya, yang semuanya memerintahkan dengan kambing, tak satu pun menyebut selain kambing, justru yang ada adalah pengingkaran selain kambing. Maka, jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh diganti dengan Sapi atau Unta. Wallahu Alam.Imam Ibnul Qayyim telah membantah kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal ini, menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah masih umum, dan telah dirinci dengan riwayat hadits-hadits yang menyebut penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau mengatakan; Dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing, merupakan perincinya, dan rincian harus diutamakan dibanding yang masih global (umum). (Tuhfatul Maudud, Hal. 58. Darul Kutub Al Ilmiyah)Imam Abu Thayyib menyebutkan dari Imam Ibnu Hajar, katanya: Dalam hal ini, madzhab syafii ada dua pendapat, dan pendapat yang shahih adalah bahwa kambing merupakan syarat sahnya aqiqah, hal ini dikuatkan secara qiyas, bukan karena adanya riwayat. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, Aunul Mabud, 8/25. Darul Kutub Al Ilmiyah)Namun tertulis dalam kitab Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut: . : . :

Aqiqah sudah mencukupi dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu jenis hewan ternak seperti Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah selain itu. Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, dan ini menjadi pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan Malikiyah, yang diutamakan adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak. Kalangan Syafiiyah mengatakan: telah sah aqiqah dengan hewan yang seukuran dengan hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor kambing yang telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengatakan: tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan Sapi yang telah sempurna. (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 30/279)Demikian pandangan kalangan ulama madzhab dan ini juga yang dipegang Ustadzah kita. Namun pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah, Ibnu Hazm, dan Ibnul Qayyim, bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing. Wallahu Alam

VI. Bayi laki-laki dua ekor kambing, Bayi perempuan satu ekor kambingDemikianlah ketetapan yang telah ditegaskan dalam berbagai nash hadits. Sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya. Ini menjadi pendapat mayoritas ulama. Ada pun Imam Malik dan lainnya, menurutnya tidak ada kelebihan bayi laki-laki di atas bayi perempuan, keduanya sama saja.Dari Ummu Kurzin Radhiallahu Anha, katanya: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasai No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasai No. 4215)Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi mengomentari hadits dari Ummu Kurzin ini: . . : Hadits ini merupakan dalil bahwa dalam aqiqah disyariatkan dua ekor kambing buat anak laki-laki, dan satu ekor kambing buat anak perempuan, diceritakan dalam Al Fath bahwa itu adalah pendapat jumhur (mayoritas). Malik berkata: bahwa anak laki dan perempuan adalah sama satu ekor kambing. (Aunul Mabud, 8/25)Dalil pihak yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama-sama satu ekor, yakni riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma: Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meng-aqiqahkan Hasan dan Husein masing-masing satu kambing kibas. (HR. Abu Daud No. 2841. Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu Daqiq Al Id, lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir No. 1983. Darul Kutub Al Ilmiyah. Juga dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil No. 1167. Maktab Al Islami)Imam Abu Thayyib mengatakan: : .Berkata Al Hafizh Syamsuddin bin Al Qayyim Rahimahullah: Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama saja dalam aqiqah, tidak ada kelebihan antara satu atas yang lainnya, yaitu masing-masing satu kibas, sebagaimana pendapat Malik dan lainnya. (Aunul Mabud, 8/30. Lihat juga Imam Ibnul Qayyim, Hasyiyah Ala Sunan Abi Daud, 8/30. Mawqi Ruh Al Islam)Selain Imam Malik, ini juga pendapat kalangan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar, Urwah bin Zubeir, dan lainnya.Bagaimanakah mengkompromikan dua hadits yang nampaknya bertentangan ini? Ada beberapa metode para ahli ushul, yakni:1. Kaidah: Qaulun Muqaddamun minal Fil (Ucapan Nabi harus lebih diutamakan dibanding perbuatannya)Hadits dari Ummu Kurzin, tentang anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing, merupakan perintah Rasulullah secara lisan/ucapan. Sedangkan hadits dari Ibnu Abbas, tentang aqiqahnya Hasan dan Husein, adalah perbuatan Rasulullah. Maka, hadits Ummu Kurzin lebih diutamakan.Berkata Imam Ash Shanani Rahimahullah: Karena, hadits tersebut (tentang Hasan dan Husein) adalah perbuatan, sedangkan hadits ini (Ummu Kurzin) adalah ucapan, sedangkan ucapan adalah lebih kuat. (Subulus Salam, 6/330. Al Maktabah Asy Syamilah)2. Hadits tentang Hasan dan Husein lebih dahulu ada sebelum hadits Ummu Kurzin. Jadi hadits Ummu Kurzin ini menasakh (menghapus secara hukum) hadits Hasan dan Husein.Berkata Imam Abu Thayyib: .Berkata yang lainnya, bahwa kelahiran Hasan dan Husein adalah sebelum kisah Ummu Kurzin. Hasan lahir pada tahun perang Uhud, sedangkan Husein lahir tahun selanjutnya. Sedangkan, hadits Ummu Kurzin, dia mendengarkannya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah. An Nasai menyebutkan bahwa hadits Ummu Kurzin ini datangnya belakangan dibanding kisah Hasan dan Husein. (Aunul Mabud, 8/31. Darul Kutub Al Ilmiyah)3. Kaidah dalam syariah Islam bahwa bagian wanita adalah setengahnya laki-laki. Mereka juga mengatakan,Sesungguhnya kami melihat bahwa nash-nash syariat menunjukkan bahwa bagian wanita adalah setengah dari laki-laki dalam warisan, kesaksian, agama, dan pembebasan budak. (Ibid) Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Ini adalah kaidah syariah, sesungguhnya Allah Taala telah melebihkan antara laki-laki dan wanita, dan menjadikan bagian wanita adalah setengah laki-laki dalam hal waris, diyat (denda), kesaksian, membebaskan budak, dan aqiqah. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 47. Darul Kutub Al ilmiyah)Nah, dengan demikian, maka ketetapan bahwa bayi laki-laki adalah dua kambing dan bayi perempuan adalah satu kambing, adalah lebih kuat dan argumentatif. Namun demikian, untuk bayi laki-laki jika diaqiqahkan satu kambing adalah boleh-boleh saja. Sebab, jumlah dua ekor tersebut adalah menunjukkan anjuran, bukan syarat sahnya aqiqah.Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi Rahimahullah: Sesungguhnya jumlah tersebut bukanlah syarat, tetapi anjuran saja. Selesai. (Aunul Mabud, 8/31. Darul Kutub Al Ilmiyah)Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan: - Dibolehkan menyembelih satu ekor kambing untuk anak laki-laki, lantaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan hal itu terhadap Hasan dan Husein Radhiallahu Anhuma. (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al Arabi)Disebutkan dalam Nailul Authar sebagai berikut: .Sesungguhnya dua kambing adalah sunah saja, bukan kewajiban, dan satu kambing adalah boleh, tidak sunah. (Nailul Authar, 5/134. Maktabah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)Maka, tidak samar lagi, bahwa dua kambing untuk bayi laki-laki adalah afdhal (lebih utama) dan bukan wajib, sedangkan satu kambing adalah boleh. Sedangkan, untuk bayi perempuan, telah ijma (sepakat) semua ulama adalah satu kambing.Berikut penjelasannya: .Ada pun bayi perempuan, telah ijma disyariatkan aqiqah dengan satu ekor kambing, sebagaimana tertera dalam kitab Al Bahr. (Ibid)VII. Waktu PelaksanaannyaPara ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa. Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: : Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama. (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)Imam Asy Syaukani mengomentari demikian: . .Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu. (Nailul Authar, 5/135. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah)Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian: " " . .Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21. Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21. (Aunul Mabud, 8/28. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya: Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: Ada pun Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21. Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al Ilmiyah)Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Saad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Saad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafii, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: . : .Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21. (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al Arabi)Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah: .

Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan. (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah)

VIII. Shahihkah Hadits-Hadits Aqiqah Setelah Hari ke tujuh?Di atas sudah dijelaskan pandangan para imam kaum muslimin. DI antara mereka ada yang mewajibkan hari ketujuh, tidak yang lainnya. Ada yang membolehkan setelahnya hingga kelipatan dua dan tiga, ada pula sampai hari apa pun sesuai kelapangan dirinya. Mari sejenak kita mengkaji, apakah dalil para ulama yang membolehkan aqiqah setelah hari ketujuh bisa dijadikan hujjah. Hal ini penting disampaikan, agar kita berpijak pada dasar yang kuat bukan sekedar pendapat-pendapat ulama, walau kita sangat mencintai mereka.1. Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Menyembelih aqiqah adalah pada hari ke 7, 14, dan 21. (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 9/303. Ath Thabarani, Mujam Ash Shaghir, 2/346. Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No. 45291)Hadits ini dhaif (lemah). Sebab dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ismail bin Muslim Al Makki. Para Imam Ahli Hadits telah mendhaifkannya.Tentang orang ini, Abdullah bin Mubarak mendhaifkannya. Sementara, Yahya Al Qaththan dan Abdurrahman bin Al Mahdi meninggalkan hadits-hadits darinya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Hal. 120)Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutnya sebagai Dhaiful hadits (Orang yang lemah hadisnya).(Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/99. Darul Maktabah Al ilmiyah)Ibnu Uyainah pernah bertanya kepadanya tentang hadits, ternyata dia tidak tahu sama sekali tentang hadits. Abu Thalib mengutip dari Ahmad bin Hambal, katanya: munkarul hadits (haditsnya munkar). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/289. Darul Fikr. Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 3/201. Muasasah Ar Risalah)Yahya bin Main mengatakan, Ismail bin Muslim Al Makki ini bukan apa-apa. Sementara Ali Al Madini mengatakan, hadits-hadits darinya tidaklah ditulis. Amru bin Ali mengatakan bahwa Ismail bin Muslim Al Makki adalah orang yang lemah haditsnya, dahulu dia orang yang jujur tetapi banyak melakukan kesalahan. Ibrahim bin Yaqub As Sadi mengatakan bahwa Ismail adalah orang yang wahi jiddan (lemah sekali). ( Tahdzibul Kamal, 3/201-202. Lihat juga Imam Az Dzahabi, Mizanul Itidal, 1/249. Darul Marifah)Abu Zurah mengatakan bahwa Ismail bin Muhammad Al Makki adalah dhaiful hadits. (Mizanul Itidal, 2/199)Syaikh Al Albani sendiri mengatakan bahwa hadits ini dhaif. (Irwa Al Ghalil, No. 1170. Maktab Islami)2. Dari Anas bin Malik, katanya:

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi. (HR. Abdurrazaq, No. 7960)Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?Hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.Yahya bin Main mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya. Abu Zurah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Tadil, 5/176. Dar Ihya At Turats)Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Marifah)Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhuafa, 2/310. Darul Kutub Al ilmiyah)Imam An Nasai mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasai, Adh Dhuafa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zailai, Nashb Ar Rayyah, 1/297. Maktabah Syamilah)Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 2/46/530. Darul Kutub Al Ilmiyah)Kami kira, keterangan para Imam Ahli hadits ini sudah cukup membuktikan bahwa hadits tersebut adalah dhaif, dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumen), walau banyak ulama yang membolehkan aqiqah dilaksanakan setelah hari ketujuh. Maka, pendapat yang menguatkan bahwa hari ketujuh dari kelahiran merupakan hari disyariatkannya aqiqah, merupakan pendapat yang sangat kuat. Sehingga, amat wajar jika ada sekelompok ulama yang tidak menyetujui aqiqah dilaksanakan diluar hari ketujuh. Wallahu AlamOleh karena itu, ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Dan, menurut Syaikh Al Albani hadits di atas adalah SHAHIH, karena ada dua jalur lain yang menguatkan hadits tersebut. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Jafar Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Mujam Al Awsath No. 1006. Sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI. (As Silsilah Ash Shahihah No. 2726)Ulama yang membolehkan adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha, sebagian Hambaliyah dan Syafiiyah.Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut: Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al Ilmiyah)

IX. Sunah Pembagian Daqing Aqiqah Dalam Keadaan MatangPembagian daging aqiqah dianjurkan dalam keadaan matang; baik siap saji atau sudah direbus dengan air saja. Imam Ahmad ditanya tentang aqiqah yang sudah dimasak dengan air putih, dia menjawab: hal itu disukai (mustahab). Jika dicampur dengan yang lain, dia menjawab: tidak apa-apa.Kondisi ini lebih memudahkan bagi orang faqir miskin dan tetangga, dan merupakan bentuk lebih mensyukuri nikmat, dan bertambahnya kebaikan. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 53)

X. Mengundang Manusia Ketika AqiqahSecara khusus sebenarnya ini tidak ada contohnya. Namun, secara umum, ini merupakan bagian dari menampakkan nikmat Allah Taala atas hambaNya, yang memang dianjurkanNya untuk disiarkan.Allah Taala berfirman: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan. (QS. Adh Dhuha (93): 11)Acara ini semakin baik jika di dalamnya di isi dengan ceramah agama oleh seorang alim yang terkait dengan maslahat kehidupan manusia. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Hafizhahullah berkata tentang hukum berkumpul dalam acara undangan taushiah aqiqah: ."Ada pun membiasakan menghadirkan seorang syaikh dan para undangan dalam acara ini maka tidak ada dalilnya, tetapi seandainya dilakukan untuk memanfaatkan keluangan pada waktu tertentu, dalam rangka memberikan peringatan dan nasihat atas sebagian permasalahan yang terkait dengan berkumpulnya mereka, maka hal itu tidak mengapa. (Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 086. Maktabah Misykah)

Demikian. Wallahu Alam

* * * * *Referensi: Al Quran Al Karim Shahih Bukhari Sunan At Tirmidzi Sunan Abu Daud Sunan Ibnu Majah Sunan An Nasai Sunan Ad Darimi Syuabul Iman, karya Imam Al Baihaqi As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad Mujam Al Awsath, karya Imam Ath Thabarani Al Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq Al Muwaththa , karya Imam Malik Musykilul Atsar, karya Imam Abu Jafar Ath Thahawi Fathul Bari fi Syarh Shahih Bukhari, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani Aunul Mabud Syarh Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Azhim Abadi Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa, karya Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji At Tamhid lima fil Muwaththa minal Maani wal Asanid, karya Imam Abu Umar bin Abdil Bar Syarh Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Badr Hasyiah Ala Sunan Abi Daud, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah At Talkhish Al Habir, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani Al Adzkar, karya Imam Abu Zakaria An Nawawi Irwa Al Ghalil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, karya Imam Az Zailai Taqribut Tahdzib, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani Tahdzibut Tahdzib, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani Tahdzibul Kamal, karya Imam Al Hafizh Al Mizzi Al Jarh wat Tadil, karya Imam Al Hafizh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi Adh Dhuafa wal Matrukin, karya Imam An Nasai Adh Dhuafa Ash Shaghir, karya Imam Al Bukhari Mizanul Itidal fi Naqd Ar Rijal, karya Imam Syamsuddin Adz Dzahabi Al Majruhin, karya Imam Ibnu Hibban Al Muhalla, karya Imam Abu Muhammad bin Hazm Azh Zhahiri Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq Nailul Authar, karya Imam Ali Asy Syaukani Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Imam Amir Ash Shanani Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam Abu Zakaria An Nawawi Gharibul Hadits, karya Syaikh Abu Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi Mukhtar Ash Shihah, karya Syaikh Zainddin Ar Razi Al Ain, karya Syaikh Khalil bin Ahmad- Al Muhith fil Lughah, karya Syaikh Shahib bin Ibad