patofisiologi sel beta pankreas

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Diabetes tipe 2 merupakan kombinasi dua keadaan yaitu resistensi insulin dan defek sel beta pankreas (Sudoyo et al., 2007) Resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia dan hiperinsulinemia. Hiperglikemia yang terus menerus akan merangsang sel beta untuk menghasilkan insulin dalam jumlah yang berlebihan sebagai kompensasi terhadap resistensi insulin tersebut. Tetapi apabila sel beta tidak kuat mengimbangi proses ini maka akan terjadi gangguan toleransi glukosa yang apabila tidak diatasi maka 1

Upload: gabriela-insani-y

Post on 07-Aug-2015

1.042 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Patofisiologi sel beta pankreas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit kencing

manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai

dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan

sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu

memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Diabetes tipe 2 merupakan

kombinasi dua keadaan yaitu resistensi insulin dan defek sel beta pankreas

(Sudoyo et al., 2007)

Resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia dan hiperinsulinemia.

Hiperglikemia yang terus menerus akan merangsang sel beta untuk menghasilkan

insulin dalam jumlah yang berlebihan sebagai kompensasi terhadap resistensi

insulin tersebut. Tetapi apabila sel beta tidak kuat mengimbangi proses ini maka

akan terjadi gangguan toleransi glukosa yang apabila tidak diatasi maka

selanjutnya akan terjadi diabetes melitus. Semua diabetes melitus tipe 2 didahului

oleh gangguan toleransi glukosa maka keadaan ini disebut juga denga prediabetes

(Gustaviani, 2006).

Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah

puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah 140-

199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa) (Sudoyo et al., 2007).

Keadaan prediabetes ini merupakan suatu aba-aba untuk terjadinya diabetes di

1

Page 2: Patofisiologi sel beta pankreas

kemudian hari. (3) Berbeda dengan keadaan diabetes yang bersifat irreversible,

keadaan prediabetes merupakan suatu titik yang dapat bergerak ke dua arah, yaitu

ke arah normal atau ke arah diabetes (5). Modifikasi gaya hidup mencakup

menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat

memperlambat perkembangan prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah

mencapai >200 mg/dL maka individu ini masuk dalam keadaan DM (Sudoyo et

al., 2007) Berdasarkan pengamatan, individu dengan prediabetes dalam

perkembangannya mempunyai 3 kemungkinan: sekitar 1/3 akan berkembang

menjadi diabetes tipe 2, 1/3 berikutnya akan tetap menjadi prediabetes sedangkan

1/3 sisanya akan menjadi normoglikemi.

Untuk mencegah kemungkinan berkembangnya prediabtes menjadi DM

tipe 2, perlu adanya pemahaman terutama mengenai patofisiologi prediabetes

serta defek dari sel beta pankreas.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme terjadinya prediabetes ?

2. Bagaimana mekanisme patofisiologis defek sel beta pankreas ?

3. Bagaimana patofisiologis defek sel beta pankreas terhadap prediabetes ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya prediabetes.

2. Untuk mengetahui mekanisme patofisiologis defek sel beta pankreas.

2

Page 3: Patofisiologi sel beta pankreas

3. Untuk mengetahui defek sel beta pankreas terhadap prediabetes secara

patofisiologis.

1.4 Manfaat

Menambah pemahaman tentang prediabetes dan defek sel beta pankreas

serta memberikan informasi yang bermanfaat untuk dapat dikembangan

dalam pembahasan lebih lanjut.

3

Page 4: Patofisiologi sel beta pankreas

BAB II

PREDIABETES DAN DEFEK SEL BETA PANKREAS

2.1 Prediabetes

Istilah prediabetes diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh

Depertement of Health and Human Services (DHHS) dan the American Diabetes

Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan

prediabetes adalah IGT (Impaired Glucose Tolerance) dan IFG (Impaired Fasting

Glucose) (Anonimous b, 2008).

IGT dan IFG disebut juga prediabetes karena pada para penderita diabetes

yang memiliki data lengkap, ternyata pada umumnya menunjukkan keadaan

tersebut lama sebelum diagnosis diabetes ditegakkan (Kariadi, dalam Manaf,

2010). Kelompok antara ini telah dikenali oleh komite ahli dalam diagnosis dan

pengklasifikasian DM sejak tahun 1997 dan 2003 (Anonimous c, 2003). IFG atau

GPT (glukosa puasa terganggu) ditegakkan bila kadar gula darah puasa 100-125

mg/dL dan IGT atau TGT (toleransi glukosa terganggu) ditegakkan bila

didapatkan kadar gula darah 2 jam setelah pembebanan glukosa adalah 140-199

mg/dL (Anonimous a, 2010).

Keadaan prediabetes bukanlah suatu diagnosis penyakit namun merupakan

suatu faktor risiko untuk terjadinya penyakit, yaitu risiko untuk terjadi diabetes

maupun risiko untuk terjadi komplikasi lain seperti kardiovaskuler. Setiap tahun

4-9% orang dengan prediabetes akan menjadi diabetes. Seperti halnya pada DM

4

Page 5: Patofisiologi sel beta pankreas

tipe 2, maka dalam patogenesis terjadinya prediabetes juga melibatkan resistensi

insulin dan kerusakan sel beta pankreas (Anonimous a, 2010).

Keadaan prediabetes ini erat kaitannya dengan suatu sindroma yang

disebut sindroma metabolik atau disebut juga sindroma resistensi insulin dimana

komponen utamanya adalah obesitas sentral (Anonimous a, 2010). Overweight dan

obesitas berperan dalam persistensi prediabetes (Goran, 2008). Selain resistensi

insulin maka aspek lain yang berperan adalah defeks sel beta pankreas. IGT dan

IFG terjadi dengan mekanisme yang berbeda, hal ini dibuktikan dengan

bervariasinya tingkat resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pada kedua

kelompok ini (Bacha, F. et al. 2010)

2.2 Patofisiologi Defek Sel Beta Pankreas

Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang mengatur

perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai maintenance dari

sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon insulin disekresi oleh sel β

pulau Langerhan dari organ pankreas. Insulin berperan dalam menurunkan kadar

gula darah melalui beberapa cara; 1). supressi hepatic glucose output (melalui

penurunan gluconeogenesis dan glycogenolysis), 2). merangsang penyimpanan

terutama ke otot dan jaringan lemak melalui glucose transporter yaitu Glucose

Transporter -4 (GLUT-4) (Tushuizen M, et al. 2007).

Reseptor insulin terdistribusi secara luas di sistem sarap pusat, terutama di

daerah hipotalamus dan pituitary. Pada eksperimen hewan percobaan, gangguan

gen reseptor insulin di sistem sarap pusat memperlihatkan suatu keadaan

5

Page 6: Patofisiologi sel beta pankreas

kebutuhan asupan makanan yang meningkat pada hewan tersebut sehingga

menginduksi keadaan obesitas dan resisten insulin. Aksi Insulin di sistem sarap

pusat memberikan negatif feedback bagi inhibisi postprandial dari asupan

makanan dan berperan sebagai pusat pengaturan berat badan (Shoelson, et al.

2006).

Insulin juga mempunyai efek antiapoptosis, hal ini didukung oleh studi

eksperimen pada binatang percobaan dimana dengan penambahan insulin pada

cairan reperfusi berhubungan dengan pengurangan ukuran miokard infark sekitar

50%. Sedangkan studi pada manusia, pemberian infus insulin dosis rendah dengan

heparin dan agen trombolitik menunjukkan efek kardioprotektif (Shoelson, et al.

2006).

Efek anti inflamasi juga terdapat pada insulin hal ini didukung oleh

eksperimen pada binatang percobaan bahwa pemberian insulin menunjukkan

pengurangan mediator-mediator inflamasi (IL-β, IL-6, macrophage migration

inhibitor factor [MIF], TNF-α), dan expression of proinflammatory transcription

factors CEBP (Cenhancer binding protein) dan cytokines. Kemampuan insulin

dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya untuk menekan reactive

oxygen species (ROS) (Shoelson, et al. 2006).

Kerusakan sel beta merupakan bagian penting dalam patofisiologi

terjadinya prediabetes maupun pada diabetes. Ada beberapa teori yang

menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta ini, diantaranya adalah

teori glukotoksisitas, lipotoksisitas dan penumpukan amiloid (Stumvold et al.,

2008). Efek hiperglikemi sendiri terhadap sel beta pancreas dapat manifes dalam

6

Page 7: Patofisiologi sel beta pankreas

beberapa bentuk: pertama glukotoksisitas sel beta, yang merupakan kerusakan

ireversibel; kedua adalah ausnya sel beta (beta cell exhaustion), adalah kelainan

yang masih reversible dan terjadi lebih dini dibandingkan toksisitas dan yang

ketiga adalah desensitasi sel beta, yaitu gangguan sementara sel beta yang

dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang keadaan ini akan kembali normal

bila gula darah dinormalkan (Shoelson, et al. 2006).

2.2.1 Glukotoksisitas

Gluokotoksisitas banyak dibicarakan, tapi belum secara lengkap dipahami.

Sebelum definisi yang tepat ditemukan, glukotoksisitas diartikan sebagai proses

kerusakan yang timbul akibat adverse effect hiperglikemia kronis pada insulin

target tissue dan sel beta pankreas. Secara klinis terdapat bukti hubungan antara

tingginya kadar glukosa darah dan kerusakan jaringan tubuh (Manaf, 2008)

Terdapat fakta bahwa dengan perjalanan waktu telah terjadi penurunan

fungsi sel beta pada hampir semua pasien diabetes, sehingga muncul pendapat

bahwa glukosa sendiri toksik terhadap sel beta pankreas (Stumvold et al., 2008).

Hal ini juga telah terbukti melalui percobaan pada in vitro atau pada binatang

percobaan. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa glukotoksisitas dapat

menginduksi suatu gen yang disebut TRIB 3 yaitu suatu protein yang terlibat

dalam jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis sel beta pankreas. (Qian B, et al.

2008). Secara in vitro, perlakuan hiperglikemia dapat menyebabkan menurunnya

mRNA insulin dan menurunkan pula laju translasi protein proinsulin. (Zhang et

al. 2009).

7

Page 8: Patofisiologi sel beta pankreas

Selain menyebabkan kematian/apoptosis sel beta pankreas, glukotoksisitas

juga menyebabkan gangguan pada tahap akhir dari eksositosis insulin (Dubois,

2007) Metabolisme glukosa yang bersifat oksidatif di sel beta pankreas juga akan

menyebabkan pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang akan

menyebabkan kerusakan sel beta (gambar 1). Sel beta pankreas hanya mempunyai

sedikit enzim katalase dan superoksida dismutase, yang berfungsi untuk merubah

ROS. ROS akan mengaktifkan NF-κB, yang merupakan jalur proapoptotik. Selain

itu efek hiperglikemia pada pankreas adalah menurunkan ekspresi gen duodenum

homeobox-1, yaitu suatu regulator transkripsi gen insulin. Mekanisme lain adalah

melalui keterlibatan upregulasi protein uncoupling 2 (UCP-2) oleh glukosa yang

tinggi dapat menyebabkan metabolism glukosa oksidatif berlangsung tanpa

pembentukan ATP sehingga pembentukan ATP menjadi rendah. (Stumvold et al.,

2008).

2.2.2 Lipotoksisitas

Meskipun asam lemak bebas (FFA) merupakan suatu senyawa yang dapat

merangsang sekresi insulin, namun demikian kelebihan beban asam lemak bebas

yang kronik juga dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Salah satu

bukti bahwa lipotoksisitas berperan dalam patofisiolgi kerusakan sel beta adalah

ditemukannya penumpukan lemak dari pemeriksaan post mortem pada sel beta

pancreas pasien DM dan subyek dengan faktor risiko (Tushuizen, 2007).

Penderita DM tipe 2 sering mengalami peningkatan kadar asam lemak bebas

karena adanya resistensi insulin (Stumvold et al., 2008).

8

Page 9: Patofisiologi sel beta pankreas

Gambar 1. Mekanisme defeks sel beta pankreas akibat glukotoksisitas dan

lipotoksisitas (Stumvold et al., 2008)

Tingginya kadar glukosa sudah terbukti menghambat oksidasi beta asam

lemak bebas, hal ini akan menyebabkan penumpukan kompleks asam lemak rantai

panjang-koenzim A (LC-KoA). Hal ini akan mengganggu aktivitas pompa K+

normal atau UCP-2, yang ujung-ujungnya adalah menghambat pembentukan ATP

(Stumvold et al.). Pengendalian pembentukan UCP 2 ini terjadi melalui jalur

PPARα, PPARγ dan leptin (Amstrong et al., 2001).

Mekanisme lain defeks sel beta oleh lipotoksisitas adalah melalui sintesis

seramida yang dirangsang oleh asam lemak bebas atau melalui pembentukan

oksida nitrit (NO). Pada jaringan lain misalnya otot, penghancuran seramida

dapat mencegah total resistensi insulin akibat asam lemak bebas. Sehingga

9

Page 10: Patofisiologi sel beta pankreas

terdapat dugaan bahwa asam lemak bebas bekerja melalui pembentukan seramida

pada sel beta pancreas. Seramida telah dibuktikan dapat menghambat ekspresi gen

insulin dan mengakibatkan apoptosis melalui berbagai jalur. Pentingnya

transduksi sinyal insulin terhadap ekspresi gen insulin tidak dapat dianggap

remeh, dan hal ini merupakan suatu hal penting lain dari lipotoksisitas, yaitu

melalui asam lemak-KoA dapat menghambat pensinyalan reseptor insulin pada

sel beta melalui pengaruh terhadap protein IRS, PI-3 kinase atau lebih ke hulu dari

kaskade pensinyalan insulin (Stumvold et al., 2008)

2.2.3 Penumpukan Amiloid pada Sel Beta Pankreas

Berdasarkan pemeriksaan postmortem pada pasien dengan diabetes tipe 2

ditemukan bahwa hampir semua jaringan pankreas pasien DM tipe 2 terdapat

kandungan amioloid dalam jumlah yang bermakna. Amiloid terdiri atas amiloid

polipeptida (IAPP), atau amilin. IAPP merupakan senyawa yang secara normal

terdapat di dalam granul insulin sehingga ikut disekresikan bersama insulin.

Agregat kecil dari IAPP bersifat sitotoksik secara invitro, dan diduga bahwa hal

ini berhubungan dengan pembentukan saluran oleh molekul IAPP yang

beragregasi. Pembentukan saluran ini menyebabkan masukkan kalsium ke dalam

sel beta; kemungkinan lain adalah terbentuknya agregasi intraselular setelah

terjadi interaksi dengan membrane liposomal. Bila hiperglikemi dapat memicu

agregasi IAPP, maka asam lemak bebas dapat menambah sitotoksisitas agregat

(Hull et al., 2002).

10

Page 11: Patofisiologi sel beta pankreas

Meskipun ada kecendrungan bahwa peningkatan sekresi insulin akan

menyebabkan lebih banyak sekresi IAPP pada subyek dengan resistensi-insulin

yang kemudian menyebabkan agregasi IAPP, namun adanya temuan bahwa

kurangnya IAPP pada turunan pertama penderita DM dibandingkan kontrol

membantah dugaan ini. Karena agregasi amiloid tidak dijumpai pada subyek non-

DM dengan resistensi insulin telah melahirkan anggapan bahwa agregasi amiloid

merupakan kejadian lanjut pada patofisiologi DM (Knowles et al., 2002).

2.3 Defek Sel Beta Pankreas pada Prediabetes

Sebagaimana pada DMT2, bahwa kerusakan sel beta pankreas juga

merupakan salah satu aspek penting pada prediabetes disamping resistensi insulin.

Berbeda dengan pada diabetes melitus bahwa kerusakan sel beta sudah berlansung

lanjut (glucotoxycity), pada prediabetes kerusakan sel beta mungkin masih bersifat

glucoexhaustion, yang mana pada stadium ini kerusakan masih bersifat reversible

(Manaf, 2010).

Dari segi luasnya kerusakan pankreas, juga ditemukan perbedaan antara

prediabetes dan diabetes. Pada keadaan prediabetes (GPT dan TGT) kerusakan

pankreas diperkirakan sekitar 50 % sedangkan pada diabetes sudah terjadi

kerusakan yang lebih parah yakni sekitar 65%. Hal ini lah yang menyebabkan

terjadinya hiperglikemia yang nyata pada diabetes (Matveyenk et al., 2006).

11

Page 12: Patofisiologi sel beta pankreas

Gambar 2. Skema kerusakan jaringan akibat hiperglikemia pada DMT2 (Monier, 2009 dalam Manaf, 2010).

2.3.1 Perubahan histopatologis pada prediabetes

Perubahan pada sel beta pankreas dari segi patologi anatomi merupakan

suatu informasi penting mengenai patofisiologi terjadinya diabetes. Namun

demikian data tentang perkembangan defek sel beta ini pada manusia jumlahnya

sangat terbatas. Diabetes tahap lanjut biasanya ditandai dengan menurunnya

jumlah sel beta, penumpukan amiloid di dalam pulau-pulau Langerhans, dan

penumpukan lemak. Pemeriksaan histopatologi post mortem biasanya dilakukan

hanya pada pasien yang mengidap diabetes lama, karena teknik-teknik non-invasif

untuk melihat pulau-pulau pankreas tidak tersedia sehingga sangat sedikit yang

diketahui tentang perubahan histopatologi pada awal-awal diabetes (Nugent et al.,

2008).

12

Page 13: Patofisiologi sel beta pankreas

Suatu penelitian yang telah lama dilakukan oleh Ogilvie pada tahun 1933

menemukan bahwa terjadi hipertrofi pulau-pulau Langerhans pada pasien-pasien

obesitas, dan ditemukannya tumpukan amiloid pada sebagian kecil pasien lansia

yang tidak menderita diabetes sebelumnya. Berhubung kedua pasien ini mewakili

orang-orang yang berisiko tinggi untuk menderita diabetes maka perubahan

tersebut mungkin dapat mencerminkan keadaan yang dapat ditemukan pada

prediabetes (Nugent et al., 2008).

Penelitian telah dilakukan pada tikus ZS (Zucker Fatty) yang memiliki

mutasi pada gen yang mengkode reseptor leptin (fa/fa) yang menyebabkan

terjadinya obesitas dan hipertensi. Pada tikus ini didapatkan peningkatan aktivitas

sel beta dan keadaan fisiologis yang ditemukan pada prediabetes yaitu beberapa

sel tampak normal, banyak yang mengalami hipertrofi, dan sedikit infiltrasi sel

mononuclear, degenerasi sel beta dan fibrosis. Selain itu juga didapatkan

hiperinsulinemia sebagai kompensasi. (Nugent et al., 2008).

Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian pada tikus ZDF (Zucker

Diabetic Rat) yang membawa mutasi sehingga terjadinya hiperglikemia pada

umur 7-10 minggu. Pada awalnya beberapa pulau Langerhans tampak normal,

sementara yang lain mengalami hipertrofi dan sedikit irregular. Sejumlah kecil

mengalami perubahan degeneratif yang ditandai dengan vakuolisasi dan

hemoragis ke dalam jaringan pulau langerhans. Pada tahap ini terjadi hipersekresi

insulin, meskipun mRNA insulin masih normal. Setelah memasuki onset diabetes

struktur pulau Langerhans menjadi irregular dengan penonjolan ke arah eksokrin

karena terjadi hiperplasia/hipertrofi dan infiltrasi oleh sel-sel inflamasi. Pada

13

Page 14: Patofisiologi sel beta pankreas

keadaan tikus memperlihatkan hiperglikemia gula darah puasa maka jumlah sel

beta berkurang 50 % dibandingkan dengan pada keadaan prediabetes replikasi sel

beta menurun dan apopotosis meningkat (Finegood et al., 2001). Pada umur 14

minggu (keadaan diabetes lanjut) perubahan degeratif pada sel beta menjadi lebih

berat, pulau langerhans sebagian besar terdiri atas fibroblast, kolagen dan sel-sel

mononuklear (gambar 3) (Nugent et al., 2008)

14

Page 15: Patofisiologi sel beta pankreas

Gambar 3. Karakteristik pulau pankreas pada Zucker fatty diabetic rat. (a) 6

minggu memperlihatkan 2 tampilan yang berbeda pada bagian kiri tampak sel

mengalami hipertrofi dengan kompresi pada jaringan eksokrin, kongesti vascular

lebih dominan dan beta sel pada pinggir bersatu dalam kelompok linear. Pada

bagian kiri sel mengalami vakuolisasi dan tampak kongesti/perdarahan. (b) 6

minggu, dengan perbesaran lebih besar memperlihatkan vakuolisasi sel, kematian

sel. (c) 14 minggu tampak vakuolisasi sel beta dan degenerasi dan sejumlah

fibroblast. (d) degenerasi pulau pankreas yang ditandai dengan penurunan jumlah

sel beta dengan berbagi pewarnaan insulin. (e) 14 minggu, degenerasi merata

15

Page 16: Patofisiologi sel beta pankreas

pulau-pulau langerhans dengan sekresi insulin yang heterogen. (f) 6 minggu,

distribusi monosit/makrofag di pinggir pulau merupakan gambaran infiltrasi yang

penting pada saat ini. (g) 14 minggu, distribusi monosit/makrofag di pinggir

pulau hampir tidak ada pada tahap ini dan telihat sedikit sel beta, jaringan pulau

pankreas digantikan oleh jaringan ikat. (h, i) 14 minggu distribusi kolagen yang

banyak pada pulau pankreas yang berdegenerasi (Nugent et al., 2008).

2.3.2 Proses inflamasi pada prediabetes

Proses inflamasi yang melibatkan sitokin-sitokin inflamasi telah

dibuktikan oleh banyak penelititian baik pada manusia maupun pada hewan coba.

Suatu penelitian kohort yang melibatkan 27.628 subyek membuktikan bahwa pada

orang yang berisiko terjadinya diabetes terjadi peningkatan IL-6 dan CRP (C

reactive protein) dibandingkan dengan kelompok kontrol (Pradhan et al., 2001).

Hal yang sama juga ditemukan pada pasien-pasien dengan obesitas morbid dan

intoleransi glukosa (prediabetes) dimana didapatkan rendahnya kadar adiponektin

dan tingginya kadar CRP (Hofso et al., 2009). Penelitian lain mendapatkan bahwa

tingginya kadar hCRP (human C reactive protein) pada kelompok sindroma

metabolik berhubungan dengan meningkatnya kejadian kardiovaskuler (Devaraj et

al., 2009).

16

Page 17: Patofisiologi sel beta pankreas

BAB III

KESIMPULAN

Defek sel beta pankreas merupakan salah satu aspek penting dalam

patofisiologi prediabetes. Defek sel beta pankreas dapat terjadi karena

glukotoksitas dan lipotoksitas kronik serta agregasi amiloid di dalam sel beta

pankreas. Defek sel beta pada prediabetes terjadi dalam derajat lebih rendah

(glucose exhaustion) dan masih reversible. Pada prediabetes terjadi perubahan

pankreas pada tingkat genetika berupa penurunan ekspresi gen PGC1 dan NRF1

dan mutasi DNA mitochondria yaitu pada tingkat molekuler terjadi defek enzim-

enzim kunci seperti glukokinase, piruvat dehidrogenase dan karboksilase.

Sedangkan pada tingkat selular dan histopatologis terjadi hipertrofi dan

hiperplasia sel beta pankreas.

17

Page 18: Patofisiologi sel beta pankreas

18