non-muslim dan proses...

135
i NON-MUSLIM DAN PROSES BERPERKARA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : WINANDA FIKRI PANEMIKO NIM : 11150440000011 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    NON-MUSLIM DAN PROSES BERPERKARA

    DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

    Oleh :

    WINANDA FIKRI PANEMIKO

    NIM : 11150440000011

    P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A

    F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M

    U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I

    S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H

    J A K A R T A

    1440 H/2019 M

  • ii

    NON-MUSLIM DAN PROSES BERPERKARA

  • iii

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam negeri

    (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

    merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Ciputat, 10 Mei 2019

    04 Ramadhan 1440 H

    Winanda Fikri Panemiko

  • iv

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN

  • v

    ABSTRAK

    Winanda Fikri Panemiko. NIM 11150440000011. NON-MUSLIM DAN PROSES

    BERPERKARA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH. Hukum Keluarga.

    Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

    1440 H/2019 M.

    Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

    terhadap perkara non-muslim, menganalisis hak-hak non-muslim di Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh dan alasan non-muslim memilih Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh sebagai tempat mencari keadilan.

    Jenis Penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan yuridis-empiris. Sumber data

    penelitian ini adalah; dokumen-dokumen hukum dan putusan-putusan yang terkait

    dengan perkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh, hasil wawancara

    dan observasi serta sumber lain yang relevan dengan studi ini. Teknik pengumpulan

    data dengan melakukan observasi dan wawancara kepada hakim-hakim di Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh, pihak-pihak yang berperkara, Wilayatul Hisbah Banda Aceh,

    Polresta Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, dan Kejaksaan Negeri

    Banda Aceh, dan tokoh masyarakat.

    Studi ini memperlihatkan bahwa secara konstitusional non-muslim berhak untuk

    memilih Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh untuk mencari keadilan. Karena

    Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama

    dan Peradilan Umum sepanjang memenuhi kompetensi absolut masing-masing

    Peradilan. Non-muslim merasa lebih adil ketika memilih Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh sebagai penegak keadilan, karena ketentuan hukum Qanun Jinayah yang

    digunakan dinilai lebih ringan dan efisien. Meskipun demikian, penerapan Qanun

    Jinayah bagi non-muslim memberikan trauma secara psikologis dan dinilai masih

    membatasi hak mereka dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

    Kata Kunci : Non-muslim, Mahkamah Syar’iyah, Tindak Pidana, Qanun Jinayah

    Pembimbing : Dr. Abdul Halim, M.Ag

    Daftar Pustaka : 1977-2018

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Segala puji untuk pemilik pujian, yakni Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Shalawat

    dan salam atas sebaik-baik manusia, baginda kita, kekasih Tuhan semesta alam, yaitu

    Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memberi kabar gembira dan

    peringatan, yang berasal dari Bani Hasyim yang mulia, yang penuh kasih sayang, yang

    murah hati, yang dikenal dengan nama Ahmad, dan keselamatan atas keluarganya

    yang paling suci dan sahabat-sahabatnya yang berbudi pekerti dengan budi pekertinya

    Nabi.

    Pada kesempatan ini, Penulis juga bermaksud untuk mengucapkan rasa terima

    kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penyusunan

    skripsi ini, baik bantuan berupa moril maupun materil, khususnya kepada :

    1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan

    Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta

    Wakil dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum

    2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga sekaligus

    sebagai Dosen Pembimbing dalam penyusunan skripsi penulis, yang terus

    memberikan arahannya dan telah sabar membimbing penulis untuk segera

    menyelesaikan skripsi ini dan Indra Rahamatullah, S.HI., M.H Sekretaris

    Program Studi Hukum Keluarga, yang selalu memberikan motivasi dan

    mendukung penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

    3. Kepada Bapak Rosmani Daud, Juwaini, Yusri, dan Ahmad Sobardi selaku

    Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Bapak Safriyadi selaku Ketua

    Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Bapak Antoni Sanjaya selaku Penyidik Polresta

    Banda Aceh, Bapak Husni Mubarak, selaku Kepala Bidang Bina Hukum Dinas

    Syariat Islam Provinsi Aceh, dan Bapak Mursyid, selaku Jaksa Penuntut Umum

    Kejaksan Negeri Banda Aceh, Bapak Dahlan Silitonga dan Ibu Tjia Nyuk Hwa

  • vii

    Su Lung, serta seluruh rekan-rekan penulis yang tidak bisa sebutkan satu persatu,

    namun tetap tidak mengurangi rasa hormat penulis, yang telah membantu atas

    terselesaikannya penelitian ini.

    4. Kepada Paman Jamhuri dan Keluarga yang sudah bersedia memberikan tempat

    tinggal dan kendaraan kepada penulis selama penulis melakukan penelitian,

    sehingga penelitian yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar.

    5. Paling teristimewa untuk kedua Orang Tua penulis, bapak tercinta H. Surja

    Abdul Jalil, S.Ag, M.M. dan mama tersayang Elly Rosna, S.Pd., yang tidak

    pernah bosan-bosannya menyemangati penulis agar segera menyelesaikan

    skripsi ini dan senantiasa mendoakan penulis agar terus diberikan kemudahan

    dalam setiap proses pendidikan yang dijalani.

    6. Kepada Win Sahrial Efendi Aramiko dan Win Syahran Utama Arifmiko yang

    menjadi sosok dan figur panutan bagi penulis dalam segala hal, serta keponakan

    yang lucu-lucu, Win Hannan Simahate, Win Nazran Arifdi, dan Haura

    Shaqueena Pintenate. Serta seluruh Keluarga Besar yang berada di Aceh dan

    Bali.

    7. Kepada seluruh teman-teman Yayasan (UICCI) Sulaimaniyah Cabang Ciputat,

    Kelompok Abi Aqil, Kelompok Abi Lutfi, Kelompok Abi Ahmet, Kelompok

    Abi Sinan, dan Kelompok Abi Sulaiman yang menjadi saksi hidup perjuangan

    bersama hingga diselesaikannya skripsi ini.

    8. Kepada seluruh teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2015, Keluarga HMPS

    Hukum Keluarga periode 2015, Keluarga DEMA Fakultas Syari’ah dan Hukum

    periode 2017, dan teman-teman FORSA Catur UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    9. Teman-teman KKN 133 Metasaga dan Ibu Nafia Wafiqni, yang selalu

    mendukung penelitian skripsi yang penulis laksanakan dikala melaksanakan

    kegiatan KKN 2018.

    10. Teman-teman “calon sarjana hukum”, Suparman, Kahfiel Waro, Ira Putri

    Wahyuni, Ladina Anbiya Rosalinda, Nurmalia Ivani, Siti Muslikatun Rahmah,

  • viii

    dan Khoirunnisa Fahmiyanti yang senantiasa menyemangati dan mendukung

    penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

    11. Sahabat “Nusantaranger” yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan

    pengethuan baru kepada penulis.

    Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan. Oleh

    karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini

    dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat

    sebagai amal ibadah di sisi Allah Swt.

    Jakarta, 10 Mei 2019

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................................... iv

    ABSTRAK .................................................................................................................. v

    KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi

    DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 12

    A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 12

    B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 15

    C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 16

    D. Perumusan Masalah................................................................................. 16

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 17

    F. Metode Penelitian .................................................................................... 17

    1. Pendekatan Penelitian ......................................................................... 18

    2. Jenis Penelitian ................................................................................... 18

    3. Data Penelitian.................................................................................... 19

    4. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 20

    5. Subjek Penelitian ................................................................................ 21

    6. Teknik Pengolahan Data..................................................................... 21

    7. Metode Analisis Data ......................................................................... 22

    G. Sistematika Penelitian ............................................................................. 23

    BAB II NON MUSLIM DALAM MAHKAMAH SYAR’IYAH ........................ 25

    A. Non-muslim dalam Hukum Islam ........................................................... 25

    1. Pengertian Non-Muslim ..................................................................... 25

    2. Hak-Hak Non-Muslim ........................................................................ 29

    3. Kewajiban Non-Muslim ..................................................................... 31

    B. Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia ................... 33

    1. Pengertian Mahkamah Syar’iyah ....................................................... 33

  • x

    2. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah ......................... 35

    C. Qanun Dalam Sistem Hukum di Indonesia ............................................. 40

    1. Definisi Qanun.................................................................................... 40

    2. Kedudukan Qanun dalam Sistem Hukum Nasional ........................... 41

    D. Teori Analisis Penelitian ......................................................................... 43

    1. Teori Sejarah Hukum ......................................................................... 43

    2. Teori Kekuasaan Kehakiman ............................................................. 43

    3. Teori Positivisme Hukum ................................................................... 44

    4. Teori Choice Of Law .......................................................................... 45

    5. Teori Choice Of Forum ...................................................................... 45

    6. Teori Sistem Hukum........................................................................... 45

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 46

    BAB III PROSES PENYELESAIAN PERKARA NON-MUSLIM DI

    MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH......................................... 49

    A. Lembaga Pelaksana Syariat Islam bagi Non-Muslim di Banda Aceh .... 49

    1. Lembaga Kepolisian Banda Aceh ...................................................... 49

    2. Wilayatul Hisbah Banda Aceh ........................................................... 51

    3. Lembaga Kejaksaan Negeri Banda Aceh ........................................... 54

    4. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ..................................................... 55

    B. Ketentuan dan Prosedur Hukum Non-Muslim di MS Banda Aceh ........ 60

    1. Ketentuan Hukum Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

    ............................................................................................................ 60

    2. Prosedur Hukum Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh62

    C. Hak Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ........................ 68

    1. Hak-Hak Tersangka ............................................................................ 68

    2. Hak-Hak Terdakwa ............................................................................ 70

    BAB IV NON-MUSLIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH

    BANDA ACEH ........................................................................................... 72

    A. Pertimbangan Non-Muslim Memilih Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ..

    ................................................................................................................. 72

  • xi

    1. Struktur Hukum (Legal Structure) ..................................................... 74

    2. Substansi Hukum (Legal Substance) .................................................. 76

    3. Budaya Hukum (Legal Culture) ......................................................... 77

    B. Putusan Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh .................. 78

    1. 33/JN/2017/Ms.Bna ............................................................................ 78

    2. 6/JN/2018/Ms.Bna .............................................................................. 82

    3. 7/JN/2018/Ms.Bna .............................................................................. 86

    4. 22/JN/2018/Ms.Bna ............................................................................ 90

    C. Analisis Putusan Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh .... 93

    1. Analisis Putusan Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Islam ............ 93

    2. Analisis Putusan Ditinjau dari Hak Keadilan Non-muslim di

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ..................................................... 97

    3. Analisis Putusan Ditinjau dari segi Prosedur Berperkara Non-Muslim

    Di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ................................................ 99

    D. Eksekusi Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Terhadap Non-Muslim .. 102

    BAB V PENUTUP ................................................................................................. 105

    A. Kesimpulan............................................................................................ 105

    B. Saran ...................................................................................................... 107

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 109

    LAMPIRAN ............................................................................................................ 116

  • 12

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Penerapan syariat Islam di propinsi Aceh sampai sekarang masih

    menimbulkan polemik dan respon yang beragam di kalangan masyarakat

    Indonesia dan bahkan di dunia internasional. Pertentangan pendapat tentang

    penerapan syariat Islam di Aceh sering mengatasnamakan hak asasi manusia dan

    tuduhan terhadap Qanun Aceh yang kejam dan tidak manusiawi serta primitif. Isu-

    isu utama yang sangat krusial pasca pemberlakuan Qanun Aceh diantaranya

    terkait dengan persoalan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, khususnya

    non-muslim.1

    Studi ini bermaksud menganalisis isu seputar pemberlakuan syariat Islam

    yang berhubungan dengan pelaksanaan hukuman cambuk terhadap non-muslim

    melalui Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Respon dan kritikan bermunculan dari

    tingkat Nasional dan Internasional. Dari kalangan Nasional, Institute for Criminal

    Justice Reform (ICJR) menjadi salah satu pihak yang menyampaikan keberatan.

    Bagi ICJR, hukuman badan atau tubuh melalui cambuk, “sistem pemidanaan

    Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk.”2 Dari kalangan

    Internasional keberatan disampaikan oleh Amnesty International, yang

    menyatakan “this sickening spectacle, carried out in front of more than a thousand

    jeering spectators, is an act of utmost cruelty”.3

    1 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 20. 2 Bonardo Maulana Wahono, Warga Budhis yang Dicambuk dan Qanun Jinayat Aceh,

    https://beritagar.id/artikel/berita/warga-buddha-yang-dicambuk-dan-qanun-jinayat-aceh yang diakses

    pada Senin 18 Desember 2018. 3 Amnesty International, Pernyataan Amnesty International : Mencambuk Pria Gay Suatu

    Kekejaman yang Keterlaluan, https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/05/indonesia-caning-of-

    gay-men-an-outrageous-act-of-cruelty/ yang diakses pada 18 Desember 2018.

    https://beritagar.id/artikel/berita/warga-buddha-yang-dicambuk-dan-qanun-jinayat-acehhttps://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/05/indonesia-caning-of-gay-men-an-outrageous-act-of-cruelty/https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/05/indonesia-caning-of-gay-men-an-outrageous-act-of-cruelty/

  • 13

    Beberapa kasus yang mengundang kontroversi dalam konteks perkara Non-

    Muslim yang diproses melalui Mahkamah Syar’iyah dengan menerapkan Qanun

    Aceh tercatat sejak dimulai diterapkannya Qanun Jinayah di Aceh sudah terdapat

    13 kasus, dengan kecenderungan non-muslim yang lebih memilih Mahkamah

    Syar’iyah daripada Pengadilan Negeri, sebagai berikut:

    4 Husaini, “Keadaan Perkara Jinayat Mahkamah Syar’iyah Kutacane dan Eksekusi Tahun 2014-

    2016”, (Kutacane: Makalah Mahkamah Syar’iyah Kutacane, 2017), h.,13, t.d. 5 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 393 6 Husaini, “Keadaan Perkara Jinayat Mahkamah Syar’iyah Kutacane dan Eksekusi Tahun 2014-

    2016”, (Kutacane: Makalah Mahkamah Syar’iyah Kutacane, 2017), h.,18, t.d. 7 Husaini, “Keadaan Perkara Jinayat Mahkamah Syar’iyah Kutacane dan Eksekusi Tahun 2014-

    2016”, h.,18, t.d. 8 Syamsul Bahri, “Inkonsistensi Hukum Penerapan Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim di

    Aceh”, Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, No. 2, (2018), h., 874. 9 Syamsul Bahri, “Inkonsistensi Hukum Penerapan Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim di

    Aceh”, h., 874. 10 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 395 11 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional, h., 398 12 Rekapitulasi Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Dieksekusi Pada

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Tahun 2017, t.d. 13 Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Eksekusi Tahun 2018, t.d. 14 Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Eksekusi Tahun 2018, t.d.

    No Mahkamah

    Syar’iyah Tahun Jenis Perkara Agama Nomor Perkara Jenis Hukuman

    1 Kutacane 2015 Khalwat Kristen 09/JN/2015/Ms.Kc4 Denda 5 gr emas

    2 Takengon 2016 Khamr Kristen 1/JN/2016/Ms.Tkn5 Cambuk 28 kali

    3 Kutacane 2016 Maisir Kristen 33/JN/2016/Ms.Kc6 Cambuk 8 kali

    4 Kutacane 2016 Maisir Kristen 35/JN/2016/Ms.Kc7 Cambuk 8 kali

    5 Jantho 2017 Maisir Budha 1/JN/2017/Ms.Jth8 Cambuk 9 kali

    6 Jantho 2017 Maisir Budha 1/JN/2017/Ms.Jth9 Cambuk 7 kali

    7 Sabang 2017 Khalwat Kristen 12/JN/2017/Ms.Sab10 Denda 30 gr emas

    8 Sabang 2017 Khalwat Kristen 14/JN/2017/Ms.Sab11 Denda 30 gr emas

    9 Banda Aceh 2018 Khamr Kristen 33/JN/2017/Ms.Bna12 Cambuk 40 kali

    10 Banda Aceh 2018 Maisir Kristen 6/JN/2018/Ms.Bna13 Cambuk 8 kali

    11 Banda Aceh 2018 Maisir Kristen 7/JN/2018/Ms.Bna14 Cambuk 8 kali

  • 14

    Meskipun sudah terdapat beberapa kasus non-muslim memilih Mahkamah

    Syar’iyah sebagai wadah mencari keadilan. Penerapan syariat Islam bagi

    minoritas non-muslim di Aceh tetap dinilai telah mencoreng konsep hak asasi

    manusia (HAM). Penduduk non-muslim yang hanya berjumlah 61.135 jiwa dari

    4.413.244 jiwa jumlah penduduk Aceh17 merasakan kekhawatiran terhadap

    penerapan syariat Islam bagi kehidupan mereka apabila menjadi hukum positif.18

    Studi ini juga bermaksud untuk menganalisis isu dualisme hukum yang

    terjadi bagi non-muslim yang berperkara di propinsi Aceh, karena minoritas non-

    muslim dianggap kehilangan kepastian hukumnya dalam menentukan dan

    menggunakan hak konstitusionalnya dalam menyelesaikan perkara. Selain itu,

    studi ini juga bermaksud mengungkap alasan non-muslim memilih Mahkamah

    Syar’iyah sebagai tempat mencari keadilan dibandingkan Pengadilan Negeri, dan

    bagaimana tanggapan non-muslim yang pernah berperkara di Mahkamah

    Syar’iyah terkait perlakuan dan hak yang diterima, apakah merasa diperlakukan

    lebih adil dengan adanya penerapan syariat Islam atau justru mengkritik dan

    memberi ungkapan sinis terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang

    dijalankan oleh Mahkamah Syar’iyah.

    15 Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Eksekusi Tahun 2018, t.d. 16 BBC News Indonesia, Penganut Kristen Dihukum Cambuk Di Aceh: 'Saya Pilih Dicambuk

    Ketimbang Dipenjara', https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45097240 yang diakses pada 8

    Januari 2019. 17 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Data Sensus Penduduk Tahun 2010 Berdasarkan

    Klasifikasi Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut,

    https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000 yang diakses pada 27

    Agustus 2018. 18 Hukumonline.com, Dua Kategori Non-Muslim yang Bisa Terjerat Qanun Jinayah,

    https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-

    terjerat-qanun-jinayah yang diakses pada 16 November 2018.

    12 Banda Aceh 2018 Khamr Kristen 22/JN/2018/Ms.Bna15 Cambuk 30 kali

    13 Lhoksemauwe 2018 Khamr Kristen 10/JN/2018/Ms.Lsm16 Cambuk 20 kali

    https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45097240https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-jinayahhttps://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-jinayah

  • 15

    Untuk mendapatkan data yang valid dalam studi ini, maka penelitian ini

    akan dilaksanakan di Banda Aceh. Mengingat mayoritas jumlah kasus

    pemberlakuan syariat Islam terhadap non-muslim terjadi di Mahkamah Syar’iyah

    Banda Aceh, dan secara sosiologis Banda Aceh merupakan wilayah yang

    memiliki penduduk beragama Budha terbanyak di Aceh, dengan jumlah penduduk

    2.755 jiwa.19 Kota Banda Aceh juga menjadi kota dengan tingkat kepadatan

    penduduk yang paling tinggi, yaitu 4.470 jiwa/km2 dan memiliki tingkat variasi

    agama yang paling banyak di Aceh, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,

    Khong Hucu, dan lainnya.20

    Sehingga, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis isu seputar

    pemberlakuan syariat Islam terhadap non-muslim melalui Mahkamah Syar’iyah

    di Banda Aceh, proses berperkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh dan tanggapan terhadap Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam

    menjalankan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis bermaksud untuk

    memunculkan beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

    1. Bagaimana kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam menangani

    kasus non-muslim?

    2. Bagaimana proses berperkara bagi non-muslim di Mahkamah Syar’iyah

    Banda Aceh?

    3. Bagaimana penerapan Qanun Jinayah terhadap non-muslim berdasarkan

    perspektif Hak Asasi Manusia?

    19 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Data Sensus Penduduk Tahun 2010 Berdasarkan

    Klasifikasi Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut.

    https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000 yang diakses pada 27

    Agustus 2018. 20 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Provinsi Aceh Dalam Angka (Aceh Province In

    Figures) 2016, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh, 2016), h., 34.

    https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000

  • 16

    4. Apa saja bentuk jarimah dan ‘uqubah dalam Qanun Jinayah?

    5. Bagaimana pendapat non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah

    Banda Aceh?

    6. Bagaimana sejarah pembentukan Qanun Jinayah di Mahkamah Syar’iyah?

    7. Apa kelebihan Qanun Jinayah dibandingkan KUHP?

    8. Kenapa non-muslim lebih memilih Mahkamah Syar’iyah dalam mencari

    keadilan?

    9. Bagaimana pelaksanaan Hukum Islam bagi non-muslim yang melakukan

    jarimah?

    C. Pembatasan Masalah

    Agar penelitian dalam skripsi ini tidak melebar, jelas, dan terarah, maka

    penulis memberikan beberapa batasan masalah; pertama, penulis membatasi

    pembahasan non-muslim dari sudut pandang hukum Islam, hanya pandangan

    keempat imam madzhab; kedua, penulis membatasi wilayah penelitian hanya

    pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh; ketiga, penulis juga hanya membatasi

    penelitian terhadap perkara-perkara yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh saja secara spesisifik, sedangkan perkara yang terjadi diluar Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh secara umum saja.

    D. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah penulis jabarkan diatas, maka

    rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana kewenangan Mahkamah Syar’iyah terhadap perkara non-

    muslim?

    2. Bagaimana proses berperkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh?

    3. Kenapa non-muslim lebih memilih Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam

    mencari keadilan?

  • 17

    4. Apakah non-muslim bisa mendapatkan hak-haknya selama berperkara di

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh?

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    a. Menjelaskan dan memberikan gambaran perihal kewenangan Mahkamah

    Syar’iyah terhadap perkara non-muslim.

    b. Memberikan gambaran secara detail terkait proses berperkara non-muslim

    di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

    c. Menjelaskan alasan yang mendasari non-muslim memilih Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh dalam mencari keadilan.

    d. Untuk mengetahui tanggapan terkait hak-hak yang diberikan bagi non-

    muslim yang pernah berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

    2. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih bagi

    akademisi, praktisi, minoritas non-muslim, pembaca pada umumnya, serta

    seluruh lapisan masyarakat terkait penerapan syariat Islam bagi non-muslim

    dan diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi positif bagi

    pengembangan wacana keilmuan di bidang sistem peradilan hukum nasional.

    Menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan hukum yang bersubstansi

    hukum Islam, perumusuan RUU KUHP terbaru dan hasil riset terkait non-

    muslim di Indonesia.

    F. Metode Penelitian

    Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis-empiris

    dengan pendekatan kasus (case approach). Dengan jenis dan pendekatan penelitian

    tersebut, penulis akan mengumpulkan data yang dapat menjawab empat pertanyaan,

    yang meliputi : pertama, kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam menangani

    perkara non-muslim; kedua, gambaran berkaitan dengan proses berperkara non-

  • 18

    muslim di Mahkamah Syar’iyah; ketiga, alasan non-muslim lebih memilih

    Mahkamah Syar’iyah dibanding Pengadilan Negeri; keempat, hak-hak yang

    diperoleh oleh non-muslim ketika berperkara di Mahkamah Syar’iyah.

    Terhadap keempat data yang diperlukan tersebut, penulis akan

    mengumpulkan data dan informasi melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait

    dengan proses berperkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah, yaitu Polresta

    Banda Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh. Kejaksaan Negeri Banda Aceh,

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, non-muslim yang berperkara dan Dinas Syariat

    Islam Aceh. Selain itu, penulis juga menggunakan bahan hukum berupa peraturan

    perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian, jurnal, majalah ilmiah, serta

    surat kabar. yang berhubungan dengan penelitian ini.

    1. Pendekatan Penelitian

    Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah

    pendekatan empiris yang secara spesifik penulis sebut sebagai pendekatan

    kasus (case approach) yang bertujuan untuk mengkaji terhadap kasus-kasus

    yang berkaitan putusan kontroversial Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang

    telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan objek kajian pokok di dalam

    pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan

    para pihak dan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.21

    2. Jenis Penelitian

    Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis

    penelitian kualitatif, yaitu menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematik

    tentang objek yang sebenarnya. Dengan metode deskriptif kualitatif ini penulis

    akan mendeskripsikan secara komprehensif dan mendalam tentang suatu

    peristiwa atau kejadian yang berlangsung pada saat sekarang yang

    21 Salim HS. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta : Rajawali

    Pers, 2017), ed.1. cet. 5, h., 18.

  • 19

    berhubungan dengan objek penelitian. Melalui metode ini, diharapkan akan

    memperoleh pemahaman dan penafsiran yang mendalam mengenai makna dan

    data di lapangan untuk kemudian dianalisis dan ditemukan jawaban dari

    pertanyaan penelitian yang dimaksud.

    Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan

    untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan mekanisme. Selain

    itu penelitian ini merupakan paduan dari penelitian lapangan dan penelitian

    kepustakaan, karena diawali dengan penelitian di lapangan dan kemudian

    dilakukan telaah bahan pustaka dan literatur.

    3. Data Penelitian

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data yang meliputi

    data primer dan data sekunder.

    a. Data Primer

    Data primer dalam penelitian ini adalah sumber data atau hasil

    penelitian lapangan. Untuk mendapatkan data primer ini, penulis

    mengadakan observasi serta wawancara mendalam (depth interview)

    kepada pihak non-muslim yang berperkara, lembaga penegak hukum dan

    pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.

    b. Data Sekunder

    Data sekunder dalam penelitian ini adalah diperoleh dari beberapa

    literatur baik dari peraturan perundang-undangan, buku, hasil penelitian,

    jurnal, skripsi, majalah ilmiah, surat kabar, artikel dari internet ataupun

    materi yang berkaitan dengan penelitian ini.

  • 20

    4. Teknik Pengumpulan Data

    a. Observasi

    Peneliti akan melaksanakan penelitian lapangan secara langsung ke

    lokasi penelitian di Banda Aceh selama 30 hari, untuk memperoleh data-

    data yang diperlukan terkait non-muslim dan proses berperkara di

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

    b. Wawancara

    Dalam penelitian ini penulis akan melakukan wawancara kepada

    beberapa pihak yang di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh guna mengetahui

    dimensi sosial non-muslim di Banda Aceh dan dimensi hukum proses

    berperkara bagi non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Adapun

    pihak yang diwawancarai adalah sebagai berikut:

    1) Antoni Sanjaya, Penyidik Polresta Banda Aceh.

    2) Safriyadi, Ketua Wilayatul Hisbah Banda Aceh

    3) Mursyid S.H, M.H, JPU Kejaksaan Negeri Banda Aceh

    4) Rosmani Daud, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

    5) Yusri, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

    6) Juwaini, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

    7) Dahlan Silitonga, Non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah

    Banda Aceh

    8) Tjia Nyuk Hwa Su Lung, Non-muslim yang berperkara di Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh

    9) Husni Mubarak, Kabid Bina Hukum Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh

    c. Studi Pustaka

    Studi pustaka adalah pengumpulan data melalui benda-benda tertulis,

    seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan, dan sebagainya. Metode ini

  • 21

    digunakan untuk mendapatkan bahan-bahan informasi tentang keadaan non-

    muslim dan proses berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

    5. Subjek Penelitian

    Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah alasan hukum (legal reason)

    non-muslim memilih berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Sehingga

    penulis akan melakukan wawancara terhadap non-muslim yang pernah berperkara

    di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Polresta Banda Aceh, Kejaksaan Negeri

    Banda Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh. Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh, dan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh untuk menjamin bahwa unsur yang

    diteliti masuk dalam kategori pembahasan penelitian ini.

    6. Teknik Pengolahan Data

    Teknik pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan

    untuk menjelaskan prosedur pengolahan dari sumber data yang sudah didapatkan

    sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Karena penelitian ini menggunakan

    pendekatan kualitatif, sehingga pengolahan data akan mengalami beberapa

    tahapan sebagai berikut:

    a. Pengeditan Data (Editing)

    Pada tahap ini, data yang sudah penulis kumpulkan akan dilakukan

    pemeriksaan ulang. kemudian pengeditan data dilakukan dengan melengkapi

    kekurangan dan menghilangkan kesalahan yang terdapat pada data mentah.

    Dalam penelitian ini penulis melakukan proses editing terhadap hasil

    wawancara narasumber non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah

    Banda Aceh, Polresta Banda Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Kejaksaan

    Negeri Banda Aceh, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dan Dinas Syariat

    Islam Aceh.

  • 22

    b. Klasifikasi (Classifying)

    Pada tahap ini, dilakukan proses pengelompokan semua data baik yang

    berasal dari hasil wawancara, putusan, data perkara, dan catatan lapangan.

    Setelah data dibaca secara mendalam, data tersebut kemudian digolongkan

    sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dilakukan agar data yang sudah didapat

    dapat dipahami oleh penulis.

    c. Verifikasi (Verifying)

    Pada tahap ini, akan dilakukan pengecekan data ulang, dengan cara

    memeriksa data yang sudah didapat dilapangan untuk dilakukan uji validitas

    data agar dapat digunakan dalam penelitian. Yaitu dengan menyerahkan data

    yang sudah didapat kepada subjek penelitian. Hal ini dilakuakn untuk

    menjamin data yang didapatkan adalah benar-benar valid dan tidak ada

    manipulasi.

    d. Kesimpulan (Concluding)

    Kesimpulan merupakan tahap terakhir dalam proses pengolahan data.

    Tahap inilah yang akan menjadi data terkait objek penelitian yang digunakan

    setelah melalui tahapan-tahapan pengolahan data dari editing, classifying,

    verifying, dan concluding.

    7. Metode Analisis Data

    Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

    kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang

    tersusun secara sistematis untuk mempermudah penulis dalam memperoleh

    kesimpulan. Analisis data yang penulis gunakan merupakan mencari dan

    menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan

    lapangan, dan bahan-bahan lain untuk dilakukan interpretasi data sehingga dapat

    dipahami dan diinformasikan kepada orang lain. Analisis ini data ini

    menggunakan metode analisis kualitatif berikut:

  • 23

    a. Metode induktif, yaitu analisis yang berangkat dari bentuk data yang khusus

    kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya penulis

    bermula dari suatu putusan terhadap non-muslim di Mahkamah Syar’iyah

    Banda Aceh, kemudian melakukan analisis terhadap putusan-putusan serupa

    yang menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.

    b. Metode deduktif, yaitu analisis yang berangkat dari ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang bersifat umum menuju suatu kesimpulan yang

    bersifat khusus. Artinya ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-

    undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis proses

    berperkara bagi non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh.

    G. Sistematika Penelitian

    Sistematika penelitian ini merujuk pada Buku Pedoman Penelitian Skripsi

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan

    Hukum. Untuk mengetahui gamabaran secara keseluruhan isi penelitian dalam

    penelitian ini, penyusun menguraikan secara singkat sebagai berikut:

    Bab Kesatu, berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

    batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi

    terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian.

    Bab Kedua, berisi tentang menguraikan kajian pustaka. Bab kedua terdiri dari

    dua bagian. Bagian yang pertama, berisi pembahasan terkait pengertian non-muslim

    dalam hukum Islam, Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia,

    dan Qanun dalam Sistem Hukum Nasional. Bagian kedua, menjelaskan teori yang

    digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasi data, dan menjelaskan review

    kajian terdahulu.

  • 24

    Bab Ketiga, pada bagian ini dipaparkan data hasil observasi dan wawancara di

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan dibahas tentang prosedur berperkara bagi

    non-muslim juga hak-hak mereka yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda

    Aceh, meliputi lembaga pelaksana syariat Islam bagi non-muslim di Banda Aceh,

    ketentuan dan prosedur hukum non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh,

    dan hak yang didapatkan non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

    Bab Keempat, berisi gambaran kasus non-muslim dalam putusan Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh, meliputi alasan atau pertimbangan non-muslim memilih

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, putusan dan analisis putusan kasus non-muslim

    di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dan pelaksanaan eksekusi putusan

    Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh terhadap non-muslim.

    Bab Kelima, penutup. berisi kesimpulan hasil penelitian non-muslim dan

    proses berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Pada bagian ini juga

    dicantumkan rekomendasi atau saran agar penelitian dievaluasi dan dapat

    dikembangkan lagi pada aspek yang lainnya.

  • 25

    BAB II

    NON MUSLIM DALAM MAHKAMAH SYAR’IYAH

    A. Non-muslim dalam Hukum Islam

    1. Pengertian Non-Muslim

    Non-muslim secara bahasa diambil dari kata non dan muslim. Non

    merupakan kata serapan bahasa inggris yang berarti tidak atau bukan,22

    sedangkan muslim merupakan isim fa’il yang diambil dari akar kata bahasa

    arab aslama-yuslimu-islāman-muslimun, yang mengindikasikan seseorang

    yang beragama Islam. Dengan demikian secara harfiah non-muslim adalah

    seseorang yang bukan beragama Islam. Namun, di dalam konsep Islam, non-

    muslim sering diistilahkan dengan sebutan ahl al-dhimmī23 dan ahl al-kitab24

    yang berarti komunitas pemeluk agama-agama non Islam dan kafir.25

    Istilah ahl al-dhimmī dan ahl al-kitab memiliki perbedaan ketika dikaitkan

    dengan keadaan sebuah negara. Ahl al-dhimmī adalah sebuah istilah bagi

    22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

    Utama, 2008), h., 547. 23 Kata ahl al-dhimmī berarti keamanan, perjanjian, dan jaminan. Mereka disebut demikian karena

    memiliki jaminan perjanjian (al-‘aqd) dari Allah dan Rasulnya serta dari kaum muslimin untuk hidup

    aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam serta dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka

    berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin untuk hidup berdasarkan ‘aqd al-dzimmah. Dengan

    ‘aqd ini mereka memperoleh Negara lainnya. Atas dasar itu, kaum minoritas (non-muslim) termaksud

    ahl al-dar al-Islam (warga Negara Islam) dan menurut Yusuf Al-Qardhawi selama-lamanya serta

    mengandung ketentuan membolehkan orang-orang non-muslim yang bersangkutan tetap dalam Agama

    mereka. Lihat Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Banda

    Aceh : Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet.1, h., 53. 24 Konsep ahl al-kitab pada dasarnya merupakan konsep mengenai pengakuan Islam atas agama-

    agama di luar Islam sebelum datangnya Nabi Muhammad. Secara umum, kaum Yahudi dan Nasrani

    merupakan dua komunitas agama yang dalam al-Qur’an disebut ahl al-kitab dan mempunyai

    kesinambungan dengan kaum Muslim. Lihat Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut

    Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 101-102. 25 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :

    Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 101-102.

  • 26

    mereka yang non-muslim ketika tinggal di sebuah negara Islam. Sedangkan ahl

    al-kitab adalah sebuah istilah yang menggambarkan seorang non-muslim

    secara umum, dimanapun ia berada. Oleh karena itu al-Ghazali berpendapat

    bahwa yang dimaksud oleh ahl al-dhimmī adalah setiap ahli kitab yang baligh,

    berakal, merdeka laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah.26 Dengan

    demikian, dapat dikatakan bahwa non-muslim adalah ahl al-kitab, orang

    murtad, dan orang musyrik.

    Berdasarkan sikap non-muslim terhadap umat Islam para ulama fiqih

    mengklasifikasikan non-muslim menjadi dua kelompok: ahl al-harb dan ahl

    al-‘ahd. Ahl al-harb adalah golongan orang-orang kafir (non-muslim) yang

    memerangi atau terlibat peperangan dengan kaum Muslim. Yusuf al-Qardhawi

    menyebut ahl al-harb ini dengan istilah kafir harbi, yaitu sebutan bagi

    golongan non-muslim yang tinggal di wilayah muslim yang disebut dar al-

    harb dan menyatakan permusuhan terhadap kaum muslim dan para pemimpin

    mereka atau yang tidak mengakui negara Islam. Golongan kafir harbi ini

    adalah semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang

    kaum Muslim, baik dari kalangan musyrik maupun para ahl al-kitab.

    Sementara ahl al-‘ahd merupakan orang-orang non-muslim yang bersikap

    baik, menjalin hubungan yang harmonis terhadap kaum muslim, dan tidak

    terlibat dalam memusuhi mereka. Golongan ini adalah mereka yang berdamai

    dan mengadakan ikatan perjanjian dengan kaum muslim, baik yang memilih

    tinggal di dalam dar al-Islam maupun yang tetap tinggal di wilayahnya.27

    26 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gramedia

    Pratama, 2007), h., 233. 27 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, Jurnal Kalimah, Vol.

    12, No. 1, (Maret 2014), h., 31

  • 27

    Di dalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menyebutkan

    kelompok non-muslim secara umum, seperti surat al-Hajj ayat 17:

    ِين ََّّإِن َّ ُنواَّْو ََّّٱَّل ِين َّء ام اُدواَّْو ََّّٱَّل َِّٰبَّه ىََّّٰو ََّّي َّٱلص َّٰر َّو ََّّٱنل ص ِين َّو ََّّٱلۡم ُجوس ََّّٱَّل ُكٓواَّْإِن ۡۡش ۡفِصََّّٱّلل َّأ ُلَّي

    َّ ةِ َّب ۡين ُهۡمَّي ۡوم َّٰم َّإََِّّٱۡلقِي ِهيٌدََّّٱّلل َّن ءَّٖش ۡ ََّش َُِّكل َّٰ ١٧ََّّلَع

    17. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-

    orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang

    musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat.

    Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

    Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengkategorikan kelima kelompok

    tersebut sebagai non muslim, yaitu al-shabi’ah, al-majus, al-musyrikun, al-

    dahriyah, dan ahl al-kitab. Masing-masing kelompok tersebut dijabarkan

    sebagai berikut:

    a. Al-shabi’ah

    Yaitu kelompok yang memercayai pengaruh planter terhadap alam

    semesta.

    b. Al-majus

    Yaitu para penyembah api yang memercayai bahwa jagat raya dikontrol

    oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-

    masing bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang

    celaka dan seterusnya.

    c. Al-musyrikun

    Yaitu kelompok yang mengakui ketuhanan Allah Swt, tapi dalam ritual

    mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala,

    matahari dan malaikat.

  • 28

    d. Al-dahriyah

    Yaitu kelompok yang menolak adanya Tuhan Pencipta. Karena

    menurut mereka alam ini eksis dengan sendirinya. Kelompok identik

    dengan komunitas atheis masa kini.

    e. Ahl al-kitab

    Dalam hal ini jumhur ulama terbagi menjadi dua pendapat yang

    berbeda.

    1) Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk ahl al-kitab adalah

    orang yang menganut salah satu agama samawi yang memiliki kitab

    suci seperti Taurat, Injil, Suhuf, Zabur, dan lainnya.

    2) Mazhab Syafi’i dan Hanbali mengartikan ahl al-kitab hanya terbatas

    kepada kaum Yahudi dan Nasrani.

    Berbeda halnya dengan pendapat fuqaha klasik, beberapa pemikir muslim

    seperti Nurcholis Madjid dan Muhammad Ali, mereka mengategorikan non-

    muslim bukan hanya menilai dari segi kitab suci ataupun sejarahnya, mereka

    lebih memaknai, bahwa non-muslim adalah agama selain Islam tanpa

    mempersyaratkannya.

    Nurcholis Madjid (Cak Nur), mengatakan bahwa penganut semua agama-

    agama selain Islam adalah ahl al-kitab. Sehingga pandangan ini berimplikasi

    terhadap hubungan legal formal seperti dalam perkawinan, hubungan sosial

    budaya yang terjadi sehari-hari, dan telah menjadi fondasi teologis pluralisme

    dari para pemikir Islam progresif.

    Muhammad Ali, salah seorang ulama India, menyebutkan bahwa agama-

    agama Kristen, Yahudi, Majusi, Budha, Hindu dan Shikh adalah ahl al-kitab.

    Mereka tidak termasuk musyrikin, sebab mereka memeluk agama Allah.

  • 29

    2. Hak-Hak Non-Muslim

    Dasar yang paling utama dalam perlakuan Negara terhadap kaum

    minoritas non-muslim adalah keadilan. Dalam artian kaum minoritas non-

    muslim memiliki hak yang sama dan seimbang sebagaimana yang dimiliki oleh

    kaum muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Disisi lain, mereka juga

    memiliki kewajiban yang sama seperti yang dibebankan kepada kaum

    muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu.28

    Penetapan hak-hak bagi non muslim dalam Islam, baik yang bersifat

    politik dan non-politik, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

    penetapan Islam bagi prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan persamaan hak

    setiap individu dihadapan undang-undang.29 Pernyataan yang serupa juga

    diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa darah seorang dhimmī sama nilainya

    dengan darah seorang muslim. Apabila seorang muslim melakukan

    pembunuhan terhadap seorang dhimmī, ia harus diqisas seperti halnya apabila

    ia membunuh seorang muslim.

    Menurut al-Maududi, secara umum hak-hak non-muslim dibagi menjadi

    enam bagian:30

    a. Hak perlindungan terhadap jiwa, dimana darah seorang non-muslim sama

    nilainya dengan darah seorang muslim.

    b. Hak perlindungan dalam undang-undang hukum pidana, dimana hukum

    pidana dilakukan sama baik untuk seorang muslim dan non-muslim.

    Undang-undang pidana Islam memberikan perlakuan terhadap kedudukan

    28 Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh :

    Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet.1, h., 54. 29 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :

    Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 115. 30 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh, h., 115.

  • 30

    yang sama antara muslim dan non-muslim. Hukuman terhadap seorang

    muslim yang melakukan tindak pidana, sama dengan hukuman seorang

    non-muslim yang melakukan tindak pidana serupa.

    c. Perlindungan dalam undang-undang hukum perdata, dimana undang-

    undang perdata juga memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama

    terhadap muslim dan non-muslim. Harta benda yang menjadi hak milik

    non-muslim harus mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya harta

    kaum muslimin, sebab pada dasarnya keduanya memiliki hak yang sama.

    d. Hak perlindungan terhadap kehormatan, dimana seorang muslim amat

    dilarang menyakiti non-muslim, baik dengan lidah maupun dengan tangan

    e. Hak perlindungan masalah-masalah pribadi, dimana masalah pribadi non-

    muslim diatur sesuai dengan undang-undang mereka yang berlaku. Dalam

    hal ini mereka tidak diperlakukan dengan undang-undang Islam. Karena

    sesuatu yang terlarang bagi umat Islam dalam undang-undang yang

    berlaku adalah sebuah kebolehan bagi non-muslim dalam undang-undang

    mereka. Sebagai contoh, bagi non-muslim dibolehkan menikah pada masa

    iddah atau menikahi mahramnya sendiri, sedangkan bagi umat Islam hal

    tersebut dilarang.

    f. Hak perlindungan terhadap syiar-syiar agama, dimana non-muslim

    diberikan hak untuk menyelenggarakan syiar-syiar agama dan tradisi yang

    ada pada mereka. Dengan catatan kegiatan tersebut dilakukan pada

    kampung-kampung yang memang penduduknya non-muslim. Sedangkan

    apabila non-muslim melakukannya di daerah perkotaan. Maka Islam

    mempunyai dua sikap: pertama, membiarkan hal itu berlangsung, kedua,

    mengaturnya dengan beberapa ketentuan khusus.

  • 31

    g. Hak perlindungan tempat-tempat ibadah, dimana umat Islam tidak boleh

    mengganggu tempat-tempat ibadah non-muslim yang berada di daerah

    kota-kota Islam. Apabila terjadi suatu kerusakan, mereka hanya berhak

    memperbaikinya, tidak boleh membangun tempat ibadah baru. Kecuali

    pada daerah-daerah yang sudah tidak menjadi pusat syiar dan kegiatan

    Islam.

    3. Kewajiban Non-Muslim

    Karena non-muslim memiliki kedudukan yang sama seperti halnya umat

    Islam selaku warga negara, maka non-muslim pun memiliki kewajiban sebagai

    konsekuensi atas hak-hak yang telah diberikan dan atas perjanjian yang telah

    disepakati bersama.31 Kewajiban khusus bagi non-muslim tersebut adalah

    menunaikan jizyah, mengikat diri dengan hukum konstitusi Islam dalam bidang

    muamalah, dan menghormati syiar-syiar Islam serta menjaga perasaan-

    perasaan kaum muslim.32

    Kewajiban bagi non-muslim yang pertama adalah jizyah. Kata jizyah

    diambil dari kata jaza-yajzi-jaza’an yang berarti mencukupi, memenuhi,

    menempati, dan menggantikan tempatnya sebagai sebagai balasan atas

    kekafirannya. Dasar hukum pelaksanaan jizyah ini adalah surat at-Taubah ayat

    29:

    ر ُسوُلَُّ َّو ُ َّٱّلل م ر اَّح َّم ُِمون َُُّي رل َل َّبِٱۡۡل ۡوِمَّٱٓأۡلِخرَِّو َل َِّو َّبِٱّلل َّيُۡؤِمُنون ََّل ِين َّٰتِلُواَّْٱَّل َّي ِديق َل َّۥَّو ُنون

    َّ َّٰغُِرون نَّي ٖدَّو ُهۡمَّص َّع ۡزي ة َُّيۡعُطواَّْٱۡۡلِ َّٰ َّت َّح َّٰب وتُواَّْٱۡلِكت َُّأ ِين َّٱَّل َِّمن ِ َّٱۡۡل قل ٢٩ََّّدِين

    31 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, Jurnal Kalimah, Vol.

    12, No. 1, (Maret 2014), h., 43 32 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :

    Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 123.

  • 32

    29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)

    kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang

    diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama

    yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab

    kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka

    dalam keadaan tunduk.

    Pembahasan mengenai jizyah ini sering dimaknai sebagai bentuk

    diskriminasi kepada non-muslim, berdasarkan interpretasi atas akhir ayat َوُهۡم

    ِغُرونَ َص yang menganggap sebagai dasar memperlakukan kaum non-muslim

    yang membayar jizyah secara hina.33 Namun, pernyataan tersebut oleh

    Muhammad Rasyid Ridho dalam kitab tafsirnya al-Manar yang mengatakan

    bahwa jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh non-muslim yang tinggal di

    dar al-Islam kepada pemerintah Islam sebagai wujud loyalitas mereka kepada

    pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang

    diberikan pemerintah Islam untuk mereka.34

    Kewajiban selanjutnya adalah komitmen terhadap konstitusi Islam. Sistem

    pemerintahan dalam negara Islam wajib melindungi hak kaum non-muslim

    untuk hidup aman dan tentram dalam negara Islam, sebagaimana halnya warga

    mayoritas muslim. Atas dasar itu, para non-muslim juga dituntut kewajibannya

    untuk ikut membela negara ketika diserang musuh.35

    Selain itu, ahl al-dzimmah juga berkewajiban menjaga perasaan kaum

    muslim. Islam tidak membenarkan sikap-sikap non-muslim yang provokatif

    33 Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh :

    Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet.1, h., 61. 34 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gramedia

    Pratama, 2007), h., 278. 35 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, Jurnal Kalimah, Vol.

    12, No. 1, (Maret 2014), h., 44

  • 33

    dan menyulut konflik di tengah-tengah kaum muslim. Meskipun diberikan hak

    kebebasan melakukan aktivitasnya sebagaimana penduduk muslim lainnya,

    namun kebebasan non-muslim juga terikat dengan kebebasan warga muslim

    lainnya. Mereka tidak dibenarkan merusak kebebasan golongan lainnya.

    Sebagai contoh dalam hal makanan dan berpakaian, umat non-muslim berhak

    mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, namun hal-hal

    tersebut akan dilarang jika meresahkan umat Islam dalam menjalankan

    keyakinannya.36

    B. Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia

    1. Pengertian Mahkamah Syar’iyah

    Mahkamah Syar’iyah secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu

    mahkamah dan syar’iyah. Mahkamah berasal dari kata bahasa arab محكمة

    dengan bentuk jama’ محاكم yang berarti pengadilan.37 Tidak jauh berbeda

    Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan mahkamah sebagai badan tempat

    memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran; pengadilan.38 Kata

    syar’iyah berasal dari kata bahasa arab شرعية yang berarti menurut peraturan,

    legal, sesuai dengan undang-undang. Atabik Ali juga dalam Kamus

    Kontemporer Arab-Indonesia menerjemahkan kata شرعية menjadi محكمة

    pengadilan agama.39 Tidak jauh berbeda Teuku Abdul Manan memaknai

    Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan syariat atau pengadilan berdasarkan

    36 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, h., 44 37 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, , (t.tp : Multi

    Karya Grafika, 1999), cet. 9, h.,1650. 38 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

    Utama, 2008), h., 573. 39 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. 9, (Penerbit

    : Multi Karya Grafika, 1999), h.,1650.

  • 34

    legalitas (kesahan).40 Meskipun dalam pengertiannya Mahkamah Syar’iyah

    disebut juga sebagai pengadilan agama. Namun dalam konteks ke-Indonesiaan,

    ada sedikit perbedaan antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Agama.

    Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga pengadilan khusus di

    Indonesia, selain Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

    Dikatakakan sebagai pengadilan khusus, karena Pengadilan Agama hanya

    berwenang di bidang perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya

    orang-orang Islam di Indonesia, serta dalam perkara-perkara perdata Islam

    tertentu dan tidak mencakup seluruh perdata Islam.41 Sedangkan Mahkamah

    Syar’iyah merupakan bagian dari Pengadilan Agama sebagaimana yang

    disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

    tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Peradilan Syariat Islam di Provinsi

    NAD merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama,

    sepanjang kewenangannya menyangkut Peradilan Agama, dan merupakan

    Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang

    kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum.”

    Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Peradilan Syariat Islam di

    Provinsi NAD terdiri atas Mahkamah Syar’iyah untuk tingkat pertama dan

    Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding, sebagaimana yang diatur

    dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

    Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD.

    Perlu dijelaskan juga bahwa pemilihan nomenklatur Mahkamah Syar’iyah

    sebagai nama resmi untuk peradilan syariat Islam di Aceh, muncul dan

    40 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 1. 41 Basiq Djalil, Peradilan Islam, Cet. 1, (Jakarta : Amzah, 2012), h., 6.

  • 35

    berkembang dari kehendak masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh sendiri bukan

    kehendak pemerintah. Meskipun demikian, Mahkamah Agung tidak

    mempermasalahkan nomenklatur Mahkamah Syar’iyah sebagai nama

    Peradilan Agama yang berada di Provinsi Aceh.42

    Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Mahkamah Syar’iyah atau

    Peradilan Syariat Islam di NAD adalah nama lain Peradilan Agama di Aceh.

    Oleh karena itu, kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Aceh serta

    Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota di Aceh adalah sama dengan kekuasaan

    dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Akan

    tetapi, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,

    Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan dan kewenangan yang melebihi

    kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia, karena diberikan

    kewenangan untuk mengadili perkara-perkara jinayah atau pidana Islam yang

    telah diatur oleh qanun dan peraturan perundang-undangan lainnya.43

    2. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah

    Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut konsep Trias Politica

    dalam pengertian sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan

    pemisahan kekuasaan (separation of power).44 Konsep ini digunakan untuk

    menghindari pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang

    sewenang-wenang, agar terjadi saling pengecekan dan keseimbangan antar

    kekuasaan (check and balances). Montesquieu dalam teori ini membaginya

    menjadi tiga bentuk kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.45

    42 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 15. 43 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional, h., 16. 44 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.,158 45 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), h., 228.

  • 36

    Dalam konsep distribution of power tersebut dapat diketahui bahwa

    Mahkamah Syar’iyah merupakan lembaga yudikatif bersama dengan peradilan

    lainnya yang berfungsi mengawasi pelaksanaan hukum, menegakkan hukum,

    dan mempertahankan hukum terhadap pelanggaran hukum.46

    Kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh didasarkan atas Undang-

    Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah

    Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, dan Qanun Nomor 10

    Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, serta Keputusan Presiden Nomor

    11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh

    Darussalam.47 Selain menjadi dasar kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam

    Sistem Peradilan di Indonesia, peraturan perundang-undangan tersebut juga

    mengatur kewenangan khusus dari Mahkamah Syar’iyah tersebut, yaitu “al-

    ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan

    jinayah (hukum pidana) yang berdasarkan hukum Islam.”48

    Mahkamah Syar’iyah yang merupakan bagian dari sistem peradilan

    Indonesia mempunyai dua kompetensi dasar, yaitu wewenang peradilan agama

    dan wewenang peradilan umum. Hal inilah yang menjadikan Mahkamah

    Syar’iyah memiliki kewenangan yang lebih dibandingkan Pengadilan

    Agama.49 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tim Lindsey dan Cate

    Summer, bahwa kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi oleh undang-undang

    yang hanya diberikan kewenangan pada beberapa aspek hukum Islam. Adapun

    46 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 16. 47 Erina Pane, “Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Sebagai Perwujudan Kekuasaan Kehakiman”, Al-

    ‘Adalah, Vol. XIII, No.1, (Juni 2016), h., 42. 48 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. 49 Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2016), h., 15.

  • 37

    Mahkamah Syar’iyah lebih luas kewenangannya, bahkan dapat memeriksa dan

    mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara pidana yang sebelumnya

    merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Umum.50

    Untuk mengetahui lebih jelasnya kewenangan Mahkamah Syar’iyah,

    maka kewenangan tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

    a. Relative Competency (Kewenangan Relatif)

    Kewenangan relatif adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah

    yang didasarkan kepada wilayah yurisdiksinya masing-masing. Dalam hal

    ini, Mahkamah Syar’iyah hanya menerima perkara yang berada di

    wilayahnya masing-masing.51 Singkatnya, kewenangan relatif ini mengatur

    pembagian kekuasaan antar Mahkamah Syar’iyah yang lain.

    Contoh, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah

    Janthoe (Aceh Besar), maka untuk menentukan dan menjawab apakah

    kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh atau Mahkamah Janthoe,

    harus dilihat kepada wilayah hukum tergugat, kecuali dalam perkara cerai

    gugat bagi yang beragama Islam, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan

    Agama/Mahkamah Syar’iyah dimana penggugat bertempat tinggal.52

    Dengan demikian, untuk mengetahui kewenangan relatif Mahkamah

    Syar’iyah Banda Aceh, maka harus diketahui wilayah Banda Aceh secara

    keseluruhan. Wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh adalah

    terdiri dari dari 9 kecamatan, 17 mukim, 70 desa dan 20 kelurahan. Semula

    hanya ada 4 kecamatan di Kota Banda Aceh yaitu Meuraksa, Baiturrahman,

    50 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 270 51 Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:

    Prenadanmedia Group, 2016), h., 21 52 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 270

  • 38

    Kuta Alam dan Syiah Kuala. Kemudian Kota Banda Aceh dikembangkan

    lagi menjadi 9 kecamatan baru dan 1 kecamatan baru yang akan digabung

    dari Kabupaten Aceh Besar, yaitu: Baiturrahman, Banda Raya, Jaya Baru,

    Kuta Alam, Kuta Raja, Lueng Bata, Meuraksa, Syiah Kuala, Ulee Karang,

    dan Darul Imarah.53

    b. Absolute Competency (Kewenangan Absolut)

    Kewenangan mutlak adalah wewenang peradilan dalam memeriksa

    suatu perkara tertentu yang mutlak tidak bisa diperiksa oleh badan peradilan

    yang lain.54 Singkatnya kewenangan mutlak ini adalah jenis perkara yang

    menjadi lingkup kewenangannya.

    Contohnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi

    mereka yang beragama Islam, sedangkan non-islam menjadi kekuasaan

    peradilan umum. Pengadilan Agama yang berkuasa, memeriksa, dan

    mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara

    ke Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung. Banding dari

    Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh

    diajukan ke Pengadilan Tinggi Negeri.55

    Apabila kewenangan relatif dapat dilihat berdasarkan wilayah

    yurisdiksi pengadilan, maka kewenangan absolut suatu pengadilan dapat

    dilihat melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

    2006 tentang Pemerintah Aceh, pada Pasal 128 ayat (3) disebutkan bahwa

    53 Wikipedia.com, Kota Banda Aceh, diakses pada tanggal 18 Maret 2018 jam 23:14 dari

    https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh#Kecamatan 54 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 271 55 Basiq Djalil, Peradilan Islam, , (Jakarta: Amzah, 2012), cet. 1, h., 204.

  • 39

    “Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa dan mengadili, memutus, dan

    menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah,

    muamalah, dan jinayah yang didasarkan atas syariat Islam.”56

    Jadi secara perinci kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyah dapat

    dikelompokkan, sebagai berikut:57

    1) Bidang ahwal al-syakhsiyah

    Sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

    tentang Peradilan Agama beserta penjelasannya kecuali bidang wakaf,

    hibah, dan sedekah.

    2) Bidang muamalah

    Dalam bidang muamalah Mahkamah Syar’iyah berwenang

    mengadili perkara, yang meliputi jual-beli, utang-piutang, qiradh,

    musahaqah, muzaraah, mukhabarah, wakilah, syirkah, ariyah, hajru,

    syufah, rahnuh, ihyaul mawat, ma’dhin, luqathah, perbankan, ijarah,

    takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, wasiat, shadaqah,

    hadiyah, dan lain-lain.

    3) Bidang jinayah

    Dalam bidang jinayah Mahkamah Syar’iyah berwenang mengadili

    perkara, yang meliputi, hudud, zina, menuduh zina (qadzaf), mencuri,

    merampok, minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan

    (bughat), qisas, hukum membunuh dan melukai, hukum denda (diyat),

    dan ta’zir.

    56 Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:

    Prenadanmedia Group, 2016), h., 17 57 Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016),

    h.,232.

  • 40

    C. Qanun Dalam Sistem Hukum di Indonesia

    1. Definisi Qanun

    Secara bahasa kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qānun

    yang artinya kompilasi, himpunan peraturan, undang-undang, atau norma-

    norma yang telah mapan.58 Namun demikian, kata qanun bukan berasal dari

    bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Yunani, kanon, yang berarti untuk

    memerintah, tolak ukur atau mengukur.59 Berdasarkan beberapa pengertian

    tersebut, kemudian al-Ghazali menggambarkan penggunaan qanun ini dalam

    istilah kenegaraan, ia memaknai qanun sebagai undang-undang positif pada

    suatu negara atau daerah Islam.60

    Secara historis penggunaan istilah qanun sebagai aturan dalam sejarah

    Islam terjadi ketika masa kekhalifahan Turki Utsmaniyah (1299-1923 M),

    ketika Sultan Suleiman I berhasil menyusun kembali sistem undang-undang

    Utsmaniyah, yang dikenal dengan sebutan Qanun.61 Pada masa kerajaan Aceh,

    tercatat istilah qanun juga digunakan sebagai aturan hukum Islam yang telah

    menjadi hukum adat. Qanun tersebut dibuat oleh Tengku di Mulek atas

    perintah Sultan Alaudin Mansyur Shah dengan judul Qanun Syara’ Kerajaan

    Aceh. Di Malaysia, terdapat juga kodifikasi hukum Islam yang dinamakan

    58 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka

    Progresif, 1997), cet, 14, h., 349. 59 Ahmad Bahiej, “Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Asy-

    Syir’ah, Vol. 48, No. 2, (Desember 2014), h., 339. 60 Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia”, Jurnal

    Ahkam, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XVI, No.2, (Juli 2016), h., 154. 61 Ahmad Bahiej, “Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Asy-

    Syir’ah, Vol. 48, No. 2, (Desember 2014), 339.

  • 41

    Qanun Melaka. Begitu pula di Yordania terdapat Undang-Undang Perkawinan

    Nomor 92 tahun 1951 dengan nama Qanun, Huquq al-A’ilah.62

    Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penggunaan istilah qanun

    sebagai aturan yang berlaku pada suatu daerah Islam bukanlah suatu hal yang

    asing. Namun perlu diketahui bahwa di dalam hukum Islam, selain qanun

    terdapat juga sumber hukum lain, yang dinamakan syariah. Oleh karena itu,

    Yusuf al-Qardhawi membedakan antara syariah dan qanun. Menurutnya

    syariah berasal dari wahyu Allah, sedangkan qanun merupakan produk atau

    buatan manusia. Sehingga ketika qanun disandingkan dengan istilah syariah,

    maka ia akan berfungsi sebagai hukum yang diproduksi oleh manusia untuk

    mengatur kehidupannya dan hubungannya dengan sesama, baik secara individu

    maupun sosial, karena ia disebut qanun wadh’i.63

    Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka qanun dapat penulis

    pahami sebagai aturan hukum yang dibuat oleh manusia atas prinsip syariah,

    untuk dijadikan sebagai hukum positif pada suatu negara agar aturan tersebut

    dapat diterapkan bagi warga negara yang tinggal di wilayah tersebut. Sehingga

    dapat dikatakan bahwa qanun dalam konteks keindonesiaan saat ini adalah

    jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

    2. Kedudukan Qanun dalam Sistem Hukum Nasional

    Dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia sendiri, istilah qanun

    pertama kali dimunculkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang

    Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

    62 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 372. 63 Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia”, Jurnal

    Ahkam, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XVI, No.2, (Juli 2016), h., 154-155.

  • 42

    Darussalam. Qanun merupakan salah satu produk perundang-undangan yang

    memiliki kekuatan yuridis kuat disamping peraturan perundang-undangan

    lainnya seperti undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-

    undang (Perpu), peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan

    daerah.64

    Apabila kita lihat dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Tata

    Urutan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan

    hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:65

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

    4. Peraturan Pemerintah;

    5. Peraturan Presiden;

    6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

    7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

    Memang apabila kita cermati, tidak ditemukan jenis peraturan qanun

    dalam tata perundang-undangan di Indonesia, namun perlu diketahui bahwa

    qanun merupakan hasil dicapainya perdamaian dengan MoU (Memorandum Of

    Understanding) Helsinki 2005 yang dilakukan antara Gerakan Aceh Merdeka

    (GAM) dan Repbulik Indonesia yang salah satu muatannya meminta

    pelaksanaan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.66 Dimana kemudian

    muatan tersebut dituangkan ke dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006

    64 Syahrizal Abbas dan Muhammad Amin, Antologi Pemikiran Hukum Syariah di Aceh, (Banda

    Aceh : Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), h., 49 65 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-

    Undangan. 66 Ahmad Bahiej, “Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Asy-

    Syir’ah, Vol. 48, No. 2, (Desember 2014), 338.

  • 43

    dalam Pasal 1 butir 8 menyebutkan bahwa qanun adalah sejenis peraturan

    daerah yang menjadi peraturan pelaksanaan undang-undang di wilayah

    Provinsi Aceh dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Lebih spesifik,

    ditegaskan pada butir berikutnya, yaitu Pasal 1 butir 21, Qanun Aceh adalah

    peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang

    mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.67

    D. Teori Analisis Penelitian

    1. Teori Sejarah Hukum

    Von Savigny merupakan promotor teori sejarah hukum yang inti pokok

    ajarannya adalah “Das Recht wird nicht gemacht est ist und wird mit dem

    volke” (hukum itu tidak dibuat melainkna tumbuh dan berkembang dalam jiwa

    bangsa). Sehingga, hukum senantiasa dinamis, karena ia produk dari spirit dan

    jiwa suatu bangsa yang senantiasa berubah dan dinamis. Bagi mazhab sejarah,

    hukum terbentuk lewat mekanisme yang bersifat bottom up (dari bawah ke

    atas), bukan top down (atas ke bawah). Hukum adalah bagian dari sejarah.

    Hukum adalah nilai yang berakar dari jiwa suatu bangsa (volksgeist).68 Juga

    mnegingatkan, bahwa untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu

    bansa mutlak perlu dilakukan.69

    2. Teori Kekuasaan Kehakiman

    Kekuasaan kehakiman dalam praktik diselenggarakan oleh badan-badan

    peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa,

    67 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018), h., 373. 68 Atip Latipulhayat, “Friedrich Karl Von Savigny”, Jurnal Khazanah, (t.th), h., 198. 69 Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum : Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 120

  • 44

    mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh

    masyarakat pencari keadilan.

    Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara

    konstitusional diatur dalam Bab IX, Pasal 24, 24A, 24B, 24C, dan 25 UUD

    Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen MPR. Hasil amandemen

    tersebut telah menguah struktur kekuasaan kehakiman, karena di samping

    Mahkamah Agung juga terdapat lembaga kekuasaan kehakiman yang baru,

    yaitu Mahkamah Konstitusi.

    Kemudian secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU

    No. 4 Tahun 2004 jo. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Selain itu Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, menyatakan bahwa kekuasaan

    kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

    ada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun meliputi

    badan peradilan dalam lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama,

    Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.70

    3. Teori Positivisme Hukum

    Positivisme hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, Aliran

    Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut

    positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh John Austin. Kedua, Aliran

    Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme yuridis yang

    dikembangkan oleh Hans Kelsen.71

    Aliran Hukum Positif Analitis memandang bahwa hukum yang

    sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban, dan

    70 Komaruddin, ”Otokritik Terhadap kemandirian Badan Peradilan Dalam Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Justitia Islamica, Vo. 11, No. 1, (Januari-juni 2014),

    h., 73. 71 Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum : Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana), h., 107

  • 45

    kedaulatan. Sedangkan aliran Hukum Murni memiliki prinsip-prinsip, yaitu

    hukum sama dengan Undang-Undang, tidak terdapat suatu hubungan mutlak

    antara hukum dan moral, dan hukum adalah “closed logical system”.72

    4. Teori Choice Of Law

    Choice of Law bermakna, bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki

    kebebasan untuk mengikatkan diri pada perjanjian. Dalam perkembangannya

    kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula dalam

    kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengantur kontrak

    yang mereka buat (freedom to choose the applicable law).73

    5. Teori Choice Of Forum

    Choice of Forum bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat

    memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang

    mungkin timbul diantara kedua belah pihak. Choice of Forum dimaksud di atas

    selain dapat menunjuk kepada sesuatu pengadilan di negara tertentu, juga dapat

    menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum

    memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu

    harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut.74

    6. Teori Sistem Hukum

    Dalam menganalisis masalah hukum, persoalannya tidak terlepas dari

    beroperasinya tiga komponen sistem hukum (legal system) yang menurut

    Lawrence M. Friedman terdiri dari komponen “struktur, substansi, dan kultur”.

    Komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak dalam suatu

    72 Zulkarnaen, Dinamika Sejarah Hukum Dari Filosofi Hingga Profesi Hukum, (Jakarta: Pustaka

    Setia, 2018), h., 56. 73 Choice Of Forum & Choice of Law Dalam Hukum Perdata Internasional: Study Kasus Yasmina

    – The Worls Food Programme (WFP)”, h., 25, t.d. 74 “Choice Of Forum & Choice of Law Dalam Hukum Perdata Internasional: Study Kasus

    Yasmina – The Worls Food Programme (WFP)”, h., 25, t.d.

  • 46

    mekanisme, misalnya pengadilan. Komponen substansi merupakan hasil aktual

    yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum

    yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah nilai dan sikap yang

    mengikat sistem hukum itu secara bersamaan dan menghasilkan suatu bentuk

    penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.75

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

    Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu telah mengkaji beberapa tulisan

    terkait penelitian ini, baik berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun karya ilmiah yang

    memiliki fokus yang hampir sama terhadap penelitian ini. Maksud pengkajian ini

    adalah untuk mengetahui bahwa penelitian yang penulis buat adalah berbeda

    dengan penelitian sebelumnya. Berikut ini judul beberapa karya ilmiah dan fokus

    bahasan yang memiliki beberapa keterkaitan dengan tema riset yang penulis

    lakukan:

    1. Jurnal yang berjudul “Hukuman Cambuk Terhadap Non Muslim Pelaku

    Jarimah Di Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Putusan No. 01/JN/2016/MS.

    TKN)” yang ditulis oleh Sudirman Suparmin (Pascasarjana Universitas Islam

    Negeri Sumatera Utara). Penelitian ini membahas tentang jenis-jenis jarimah

    yang terdapat dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah,

    sejarah pemberlakuan syariat Islam di Aceh, dan hak-hak minoritas non-

    muslim di dalam konsep Islam.76

    75 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social

    Science Perspective), (Bandung: Nusa Media, 2009), h., 33. 76 Sudirman Suparmin. “Hukuman Cambuk Terhadap Non Muslim Pelaku Jarimah Di Nanggroe

    Aceh Darussalam (Studi Putusan No. 01/JN/2016/MS. TKN)”. Jurnal Analytica Islamica : Vol. 6 No.

    2, (Juli – Desember 2017).

  • 47

    2. Jurnal yang berjudul “Inkonsistensi Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim

    di Aceh” yang ditulis oleh Syamsul Bahri (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS)

    Nahdlatul Ulama Aceh). Penelitian ini membahas tentang pemberlakuan

    Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah dan dampaknya terhadap

    non-muslim yang berada di Aceh, membandingkan jenis hukuman yang

    terdapat dalam Qanun dan KUHP, dan menjelaskan tidak konsistensinya

    peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman cambuk bagi non-

    muslim di Aceh.77

    3. Skripsi yang berjudul “Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Hukuman

    Cambuk Bagi non-muslim Sebagai Pelaku Jarimah Khamar (Analisis Putusan

    Mahkamah Syar’iyah Takengon Aceh Tengah Nomor 01/JN/2016/MS-TKN)”

    yang ditulis oleh Aina Salsabila (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara).

    Penelitian ini membahas tentang kesesuaian pertimbangan hakim Mahkamah

    Syar’iyah Takengon dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum

    Jinayah dalam memutuskan perkara non-muslim yang melakukan jarimah.78

    4. Jurnal yang berjudul “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial (Studi tentang

    Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syari’at Islam di Aceh)” yang ditulis oleh

    Danial (STAIN Malikussaleh Lhokseumawe). Penelitian ini membahas tentang

    77 Syamsul Bahri, “Inkonsistensi Hukum Penerapan Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim di

    Aceh”, Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, No. 2, (2018). 78 Aina Salsabila, “Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Hukuman Cambuk Bagi Non-Muslim

    Sebagai Pelaku Jarimah Khamr (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Takengon Aceh Tengah Nomor

    01/JN/2016/MS-TKN)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri

    Sumatera Utara, 2017).

  • 48

    asas pemberlakuan Qanun syari’at Islam di Aceh dan posisi serta implikasinya

    terhadap minoritas non-Muslim dalam Qanun syari’at Islam.79

    5. Penelitian yang dibukukan dan diberi judul “Relasi Muslim dan Non Muslim

    Menurut Syariat Islam di Aceh” yang ditulis oleh Muji Mulia. Buku ini

    membahas tentang relasi muslim dan non-muslim pasca penerapan syariat

    Islam di Aceh dari aspek sosial, agama, politik, dan hukum. Buku ini juga

    menjelaskan model-model hubungan muslim dan non-muslim yang terjalin.80\

    6. Jurnal yang berjudul “Non-Muslim The Regulation of Islamic Law In Aceh

    Province” yang ditulis oleh Safrilsyah (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry).

    Penelitian ini membahas tentang persepsi minoritas non-muslim terhadap

    peraturan perundangan-undangan hukum Islam di Aceh. Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa 17% merasa tidak terganggu dan 76% menjawab mereka

    tidak kehilangan haknya.81

    7. Penelitian yang dibukukan dan diberi judul “Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam

    Politik Hukum Nasional” yang ditulis oleh Abdul Manan (Ketua Pusat

    Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani). Buku ini membahas

    tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan posisi Mahkamah Syar’iyah

    dalam konstelasi sistem peradilan nasional secara utuh.82

    79 Danial, “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial (Studi tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun

    Syari’at Islam di Aceh)”, Jurnal Analisis, Vol XII, No. 1, (Juni 2012). 80 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :

    Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1. 81 Safrilsyah, “Non-Muslim Under The Regulation of Islamivc Law In Aceh Province”,

    Conference Proceedings of Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII), (2012). 82 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2018).

  • 49

    BAB III

    PROSES PENYELESAIAN PERKARA NON-MUSLIM

    DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

    A. Lembaga Pelaksana Syariat Islam bagi Non-Muslim di Banda Aceh

    Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sangat ditentukan oleh instansi maupun

    lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan qanun. Oleh sebab itu, dalam

    implementasinya qanun jinayat dan p