nata de coco_livia novenia_12.70.0081_b3
DESCRIPTION
Nata merupakan makanan hasil fermentasi oleh Acetobacter xylinum. Nata dihasilkan oleh Acetobacter xylinum melalui proses polimerisasi gula (karbohidrat sederhana). Nata yang terbuat dari air kelapa disebut dengan Nata de Coco.TRANSCRIPT
-
1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan lapisan selulosa pada pembuatan nata de coco dengan menggunakan
air kelapa dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco
Kel. Tinggi Awal Media (cm) Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata
0 7 14 0 7 14
B1 2 - 0,3 0,8 - 15 40
B2 1,5 - 0,5 0,6 - 33,33 40
B3 2,9 - 0,3 0,5 - 10,34 17,24
B4 2 - 0,4 0,5 - 20 25
B5 1,5 - 0,5 0,8 - 33,33 53
Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa setiap kelompok memiliki ketinggian media yang
berbeda-beda. Semakin lama waktu fermentasi, lapisan nata bertambah tebal dengan
pertambahan ketebalan yang berbeda-beda tiap-tiap kelompoknya. Pada hari ke-7, nata
yang paling tebal adalah nata yang dihasilkan oleh kelompok B2 dan B5 dengan
ketebalan nata 0,5 cm, sedangkan pada hari ke-14, nata yang paling tebal adalah nata
yang dihasilkan oleh kelompok B1 dan B5. Untuk prosentase lapisan nata paling besar
karena mengalami peningkatan ketebalan lapisan paling tinggi jika diukur dari tinggi
awal medianya adalah nata yang dihasilkan oleh kelompok B5 pada hari ke-14.
-
2
2. PEMBAHASAN
Majesty et al. (2015) dan Hamad & Kristiono (2013) menjelaskan bahwa nata
merupakan salah satu produk makanan yang mengandung serat dimana produk pangan
ini merupakan produk pangan hasil fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum, produk
pangan ini merupakan polisakarida yang menyerupai agar-agar atau gel yang terapung
pada media dengan tekstur yang padat, agak kenyal, berwarna putih dan sedikit
transparan. Pada umumnya nata digunakan sebagai makanan penyegar atau pencuci
mulut dan biasanya juga dihidangkan dengan buah-buahan (Majesty et al., 2015; Rossi
et al., 2008).
Majesty et al. (2015) mengatakan bahwa nata adalah substansi yang terbentuk di
permukaan medium fermentasi cair. Nata merupakan polikel atau polisakarida
ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Pada saat fermentasi,
nata akan terapung dipermukaan media karena adanya gas-gas CO2 yang dihasilkan
oleh Acetobacter xylinum saat melakukan proses metabolisme dimana gas-gas tersebut
menempel pada fibril-fibril nata dan mendorong nata ke permukaan, sehingga nata
menjadi terapung. Beliau pula menjelaskan bahwa nata dapat dibuat dari berbagai
macam media dengan syarat media tersebut mengandung gula, asam organik dan
mineral. Pemberian nama nata tergantung dari substrat cair yang digunakan, dan pada
praktikum ini substrat yang digunakan adalah air kelapa, sehingga nata disebut dengan
nata de coco.
Air kelapa merupakan minuman yang diambil dari bagian dalam buah kelapa (Prades et
al., 2011). Lapus et al. (1967) dalam Misgiyarta (2007) menjelaskan bahwa didalam air
kelapa terkandung berbagai nutrisi yang dpaat dimanfaatkan oleh bakteri penghasil
nata. Nutrisi yang terkandung dalam air kelapa antara lain 1,28% gula sukrosa; 3,54 g/L
Mg2+
, serta terdapat faktor pendukung pertumbuhan yang mampu mendukung
pertumbuhan bakteri penghasil nata. Prades et al. (2011) dan Wijayanti et al. (2010)
menambahkan bahwa di dalam air kelapa terkandung 1% karbohidrat (sorbitol, sukrosa,
fruktosa, glukosa, galaktosa xilosa, dan manosa); 0,1% lemak; 0,4-1% mineral (0,02%
kalsium; 0,01% fosfor, besi, sulfur, potassium, klorida), vitamin C (asam askorbat), dan
-
3
protein (asam-asam amino seperti alanin, arginin, serin, dan sistein). Menurut
Misgiyarta (2007), adanya sukrosa dalam air kelapa dapat dimanfaatkan oleh
Acetobacter xylinum sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk membentuk
metabolit, salah satunya adalah lapisan selulosa atau nata. Beliau pula menjelaskan
bahwa dengan adanya senyawa faktor pertumbuhan (growth promoting factor) dapat
meningkatkan pertumbuhan Acetobacter xylinum, sedangkan adanya mineral pada air
kelapa dapat membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase yang berfungsi dalam
metabolisme sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan lapisan selulosa.
Pada pembuatan nata de coco ini hal yang pertama kali dilakukan adalah membuat
media fermentasi, pertama-tama air kelapa disaring dengan menggunkan kain saring,
kemudian ditambahkan dengan gula pasir sebanyak 10% dan amonnium sulfat sebanyak
0,5% dari volume air kelapa yang digunakan, lalu dipanaskan dan diaduk hingga gula
dan amonnium sulfat larut. Menurut Hamad & Kristiono (2013), penyaringan ini
berfungsi untuk memisahkan air kelapa dari kotoran-kotoran yang nantinya akan
mengganggu proses pembentukan nata. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
pada air kelapa memang sudah tergantung sumber karbon (karbohidrat) dan nitrogen
(protein) yang berguna bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum, namun jumlahnya
hanya sedikit dan untuk memperoleh nata de coco yang optimal, maka perlu
ditambahkan gula dan ammonium sulfat (Hamad & Kristiono, 2013; Majesty et al.,
2015). Proses penyaringan air kelapa, penambahan gula dan amonnium sulfat, dan
proses pemanasan secara berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2 dan
Gambar 3.
Gambar 1. Proses Penyaringan Air Kelapa
-
4
Gambar 2. Proses Penambahan Gula dan Ammonium Sulfat
Gambar 3. Proses Pemanasan dan Pengadukan
Iskandar et al. (2010) menjelaskan bahwa gula yang digunakan berasal dari senyawa
karbohidrat sederhana yang tergolong monosakarida dan disakarida, pada umumnya
yang ditambahkan adalah sukrosa. Beliau menjelaskan bahwa fungsi penambahan gula
adalah sebagai suplai tambahan sumber karbon dimana menurut Misgiyarta (2007)
sumber karbon ini digunakan untuk mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum dan
dalam proses pertumbuhan tersebut Acetobacter xylinum melakukan proses
metabolisme yang akan menghasilkan lapisan selulosa. Hayati (2003) menambahkan
bahwa gula juga dapat berfungsi untuk mengawetkan, memperbaiki penampakan nata,
membentuk tekstur nata, dan memberikan rasa manis pada nata. Namun penambahan
gula tidak boleh kurang dan tidak boleh berlebihan pula, karena akan mempengaruhi
tekstur nata.
Penambahan gula yang berlebihan akan menyebabkan terbentuknya limbah baru berupa
buangan dari sisa gula tersebut, selain itu, penambahan gula yang terlalu banyak juga
dapat membuat fermentasi nata mengalami kegagalan, karena konsentrasi gula yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan plasmolisis pada Acetobacter xylinum, yaitu keluarnya
air sel dari membran sitoplasma sehingga sel menjadi mengkerut dan bakteripun
-
5
menjadi mati. Plasmolisis ini disebabkan karena tekanan osmotik medium jauh lebih
tinggi daripada tekanan osmotik pada sel bakteri itu sendiri. Sedangkan pada
penambahan gula yang terlalu sedikit, nata yang dihasilkan tidak optimal, karena
seumber karbon dan sumber energi untuk membentuk nata terlalu sedikit (Heryawan,
2004 dalam Iskandar et al., 2010). Menurut Iskandar et al. (2010) penambahan gula
yang paling baik adalah sebanyak 10% dari voulme media, maka penambahan gula
dalam praktikum ini sudah sesuai dengan teori yang ada.
Selain ditambahkan gula pasir, ditambahkn pula ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari
volume media. Menurut Hamad & Kristiono (2013) dan Rossi et al. (2008), ammonium
sulfat ini berfungsi untuk menambahkan komponen nitrogen pada media. Beliau
menjelaskan bahwa selain ammonium sulfat, adapula bahan lain yang dapat
ditambahkan dengan fungsi yang sama, yaitu urea, ZA dan yeast extract. Kandungan
nitrogen dalam media fermentasi dapat meningkatkan aktivitas dan merangsang
Acetobacter xylinum dalam mensintesa selulosa dan menghasilkan nata dengan ikatan
selulosa yang kuat sehingga tidak mudah meluruh, dengan demikian jika dilakukan
penambahan sumber nitrogen, maka nata yang dihasilkan akan menjadi lebih banyak
dan lebih kuat (Prasetyana, 2002 dalam Majesty et al., 2015; Rossi et al., 2008).
Menurut Hakimi & Daddy (2006), penambahan ammonium sulfat juga dapat
membersihkan bahan pengotor pada pada air kelapa yang dapat menghambat proses
fermentasi. Setelah ditambahkan gula dan ammonium sulfat, dilakukan pula pemanasan,
menurut Astawan & Astawan (1991), pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempermudah dan mempercepat proses pelarutan gula dan ammonium sulfat, selain itu
dengan dilakukannya pemanasan ini, mikroorganisme kontaminan juga dapat
diminimalisir.
Setelah dipanaskan, air kelapa tersebut didinginkan, lalu ditambahkan asam cuka glasial
hingga pHnya mencapai 4-5, kemudian disaring lagi dengan menggunakan kain saring.
Penggunaan cuka glasial dalam hal ini adalah untuk menurunkan pH media fermentasi
(Jagannath et al., 2008 dalam Hamad & Kristiono, 2013). pH media fermentasi perlu
diturunkan, karena mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi ini hidup pada
kondisi pH yang rendah, yaitu 3,5-5 (Iskandar et al., 2010). Proses penambahan cuka
-
6
glasial dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan proses uji pH dapat dilihat pada Gambar
5.
Gambar 4. Proses Penambahan Asam Cuka Glasial
Gambar 5. Proses Uji pH
Selanjutnya, sebanyak 100 ml larutan (untuk masing-masing kelompok) tersebut
dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat dengan kertas coklat dan diikat dengan
karet. Kemudian, ditambahkan starter nata sebanyak 10% secara aseptis. Starter yang
biasa digunakan dalam pembuatan nata de coco adalah Acetobacter xylinum (Iskandar
et al., 2010). Mikroorganisme golongan (Acetobacter) ini merupakan mikroorganisme
yang sudah lama dikenal dapat menghasilkan selulosa (terutama Acetobacter xylinum).
Bakteri ini memiliki bentuk basil (batang) pendek, mempunyai panjang 2 mikron
dengan permukaan dinding sel yang berlendir, merupakan bakteri gram negatif,
biasanya membentuk rantai pendek dengan satuan 6-8 sel/koloni dan bakteri ini mampu
mempolimerisasi gula (karbohidrat sederhana) menjadi selulosa dengan enzim selulosa
sintetase sebagai biokatalisatornya, dan selulosa tersebut membentuk suatu matriks
yang disebut dengan nata (Heryawan, 2004 dalam Iskandar et al., 2010; Rossi et al.,
2008). Masaoka et al. (1993) dalam Iskandar et al. (2010), menambahkan bahwa
selulosa yang terbentuk berupa benang-benang yang bersama dengan polisakarida
berlendir membentuk suatu jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata.
-
7
Pemindahan starter kedalam media fermentasi haruslah dilakukan secara aseptis,
menurut Hadioetomo (1993), teknik aseptis ini dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme lain yang tidak diharapkan. Teknik aseptis
ini dilakukan dengan cara melakukan pemindahan starter dengan menggunakan pipet
volume yang steril, menggunakan alkohol untuk membersihkan tangan, menggunakan
masker, dan pemindahan dilakukan didekat api bunsen. Proses memasukan media pada
wadah dapat dilihat pada Gambar 6 dan proses memasukkan starter pada media dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 6. Proses Memasukkan Air Kelapa pada Wadah Fermentasi
Gambar 7. Proses Memasukkan Starter secara Aseptis
Diaduk perlahan, kemudian ditutup kembali dengan kertas coklat dan karet. Setelah itu
diinkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang. Diamati tinggi medianya pada hari ke-0,
pada hari ke-7 dan ke-14 diamati dan diukur pula ketebalan lapisan nata dan presentase
lapisan nata yang terbentuk. Pengadukan ini berfungsi agar Acetobacter xylinum dapat
tercampur rata dengan media. Penutupan wadah dengan kertas dan diikat dengan karet
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme lain
(Hamad & Kristiono, 2013). Penggunaan kertas sebagai tutup dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi aerob pada wadah, karena O2 dapat masuk ke dalam wadah
melalui serat-serat kertas. Kondisi aerob ini perlu diusahakan, karena Acetobacter
xylinum merupakan mikroorganisme yang membutuhkan oksigen untuk hidup (Fardiaz,
-
8
1992), dan inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena suhu ruang merupakan suhu
pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Presentase lapisan nata yang terbentuk dapat
dihitung dengan rumus:
Persentase Lapisan Nata = 100%x Awal Media Tinggi
NataKetebalan Tinggi
Air kelapa yang diap untuk diinkubasi dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan hasil
pengamatan nata de coco kelompok B3 pada hari ke-7 dan hari ke-14 dapat dilihat pada
Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 8. Sampel yang Siap Diinkubasi
Gambar 9. Hasil Pengamatan Kelompok B3 pada Hari ke-7
Gambar 10. Hasil Pengamatan Kelompok B3 pada Hari ke-14
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini, dapat diketahui bahwa setiap
kelompok memiliki ketinggian media yang berbeda-beda. Semakin lama waktu
fermentasi, lapisan nata bertambah tebal dengan pertambahan ketebalan yang berbeda-
-
9
beda tiap-tiap kelompoknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Majesty et al. (2015)
yang menyatakan bahwa semakin lama fermentasi dilakukan, maka lapisan selulosa
yang terbentuk akan semakin tebal.
Pada hari ke-7, nata yang paling tebal adalah nata yang dihasilkan oleh kelompok B2
dan B5 dengan ketebalan nata 0,5 cm, sedangkan pada hari ke-14, nata yang paling
tebal adalah nata yang dihasilkan oleh kelompok B1 dan B5. Untuk prosentase lapisan
nata paling besar karena mengalami peningkatan ketebalan lapisan paling tinggi jika
diukur dari tinggi awal medianya adalah nata yang dihasilkan oleh kelompok B5 pada
hari ke-14. Pada praktikum ini, tepatnya pada kelompok B1 dan B3, ketebalan nata
pada hari ke-7 adalah sama, padahal ketinggian media awal yang digunakan adalah
berbeda. Menurut Hernawati (1998) ketebalan nata yang dihasilkan tidak dipengaruhi
oleh tinggi awal media yang digunakan, namun hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh
perbedaan bentuk dan ukuran wadah fermentasi yang digunakan. Beliau menjelaskan
pula bahwa nata yang baik adalah nata yang memiliki ketebalan 1,5 - 2 cm. Oleh
karena itu, pada praktikum ini tidak ada nata yang memiliki kualitas baik. Baik
buruknya nata dan tebal tipisnya yang dihasilkan serta keberhasilan proses fermentasi
yang dilakukan dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor-faktor tersebut adalah substrat
yang digunakan untuk fermentasi, keaktifan mikroorganisme yang digunakan, jenis dan
spesies bakteri yang digunakan, suhu fermentasi (Hernawati, 1998), pH, jumlah gula
yang ditambahkan (Iskandar et al., 2010), jumlah sumber nitrogen yang ditambahkan
(Rossi et al., 2008), pemilihan sumber nitrogen yang baik dan sesuai, rasio antara
karbon dan nitrogen pada media fermentasi, serta waktu fermentasi (Majesty et al.,
2015). Jika faktor-faktor tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya maka nata yang
dihasilkan akan memiliki kualitas yang buruk atau bahkan fermentasi akan mengalami
kegagalan, oleh karena itu faktor-faktor tersebut harus terpenuhi.
Pada praktikum ini sebenarnya fermentasi nata yang dilakukan mengalami kegagalan,
karena pada hari ke-14, ketebalan yang diukur hanyalah ketebalan kerak nata yang
tertinggal didinding wadah fermentasi, karena nata yang terbentuk mengalami
keretakan dan meluruh ke dasar wadah sehingga tidak dapat diukur ketebalannya, hal
tersebut dapat disebabkan karena pada saat proses fermentasi, wadah fermentasi
-
10
mengalami guncangan, sehingga nata menjadi pecah dan meluruh. Menurut Majesty et
al. (2015), selama proses fermentasi, sebaiknya nata diletakan pada tempat yang yang
kondisinya stabil (diam) dan terhindar dari guncangan, karena jika saat fermentasi, nata
mengalami guncangan, maka nata akan meluruh. Selain itu, meluruh dan pecahnya nata
tersebut dapat disebabkan karena kurangnya asupan nitrogen atau sumber nitrogen yang
ditambahkan tidak sesuai atau tidak cocok dalam fermentasi nata de coco. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Prasetyana (2002) dalam Majesty et al. (2015) dan Rossi et al.
(2008) bahwa kandungan nitrogen yang cukup pada media dapat merangsang
Acetobacter xylinum untuk menghasilkan jalinan ikatan selulosa yang kuat dan tidak
mudah meluruh. Hamad & Kristiono (2013) menyatakan bahwa sumber nitrogen yang
baik untuk digunakan dalam fermentasi nata adalah urea, sedangkan dalam praktikum
ini sumber nitrogen yang digunakan adalah ammonium sulfat, dimana dalam penelitian
yang dilakukan oleh Hamad & Kristiono (2013), penggunaan ammonium sulfat sebagai
sumber nitrogen tidak efektif karena nata sama sekali tidak terbentuk.
-
11
3. KESIMPULAN
Starter yang digunakan dalam pembuatan nata de coco adalah Acetobacter xylinum.
Pembuatan nata tidak harus dari air kelapa saja, namun juga dapat menggunakan
bahan lain yang mengandung gula, asam organik dan mineral.
Dalam praktikum ini, penambahan gula pasir dimaksudkan untuk mensuplai sumber
karbon pada media fermentasi, sedangkan penambahan ammonium sulfat
dimaksudkan untuk mensuplai sumber nitrogen pada media fermentasi.
Selain berfungsi untuk mensuplai karbon pada media fermentasi, gula juga
berfungsi sebagai sumber energi bagi Acetobacter xylinum untuk dapat melakukan
aktivitas metabolisme.
Ammonium sulfat juga (komponen nitrogennya) berfungsi untuk merangsang dan
meningkatkan aktivitas Acetobacter xylinum untuk mensintesa lapisan selulosa.
Penambahan gula tidak boleh terlalu banyak dan terlalu sedikit, jika terlalu banyak
akan menyebabkan fermentasi nata de coco mengalami kegagalan karena terjadinya
plasmolisi pada sel Acetobacter xylinum, jika terlalu sedikit, maka sumber karbon
dan energi tidak cukup untuk melakukan metabolisme, sehingga nata yang
dihasilkan tidak optimal.
Asam cuka glasial ditambahkan untuk menurunkan pH media fermentasi, karena
Acetobacter xylinum merupakan bakteri asam yang dapat tumbuh pada pH 3,5-5.
Fermentasi nata de coco merupakan fermentasi yang bersifat aerob.
Selama proses fermentasi berlangsung, Acetobacter xylinum akan mempolimerisasi
gula (dalam praktikum ini sukrosa) pada substrat menjadi selulosa dengan enzim
selulosa sintetase sebagai biokatalisnya.
Selama proses fermentasi, Acetobacter xylinum juga akan menghasilkan gas CO2
yang menempel pada fibril-fibril nata, sehingga nata mengapung dipermukaan
media.
Ketebalan nata tidak dipengaruhi oleh tinggi awal media yang digunakan.
Jumlah nitrogen yang cukup dapat merangsang Acetobacter xylinum untuk
mensintesa nata dengan jalinan ikatan selulosa yang kuat dan tidak mudah meluruh.
Sumber nitrogen yang paling sesuai untuk digunakan dalam fermentasi nata adalah
urea.
-
12
Penggunaan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen dalam fermentasi nata tidak
efektif.
Fermentasi nata harus dilakukan pada ruangan yang stabil dan terhindar dari
guncangan.
Guncangan dapat menyebabkan fermentasi nata mengalami kegagalan.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam fermentasi nata adalah substrat yang
digunakan untuk fermentasi, keaktifan mikroorganisme yang digunakan, jenis dan
spesies bakteri yang digunakan, suhu fermentasi, pH, jumlah gula yang
ditambahkan, jumlah sumber nitrogen yang ditambahkan, pemilihan sumber
nitrogen yang baik dan sesuai, rasio antara karbon dan nitrogen pada media
fermentasi, serta waktu fermentasi.
Nata yang baik memiliki ketebalan 1,5-2 cm.
Semakin lama fermentasi dilakukan, maka nata yang dihasilkan akan semakin tebal.
Semarang, 8 Juli 2015
Praktikan, Asisten Dosen:
- Nies Mayangsari
- Wulan Apriliana
Livia Novenia D
12.70.0081
-
13
4. DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna
Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hamad, A dan Kristiono. 2013. Pengaruh Penambahan Sumber Nitrogen Terhadap
Hasil Fermentasi Nata de Coco. Momentum, Vol. 9, No. 1: 62-65.
Hakimi, R dan Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) pada
Industri Nata de Coco. Jurnal Teknik Mesin 3(2) : 89-98.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Hernawati, A. (1998) Kajian Pengaruh pH,Jenis dan Konsentrasi Sumber Karbon pada
Produksi Selulosa, Fakultas Teknokogi Pertanian, IPB. Bogor.
Iskandar,. M. Zaki,. S. Mulyati., U. Fathanah., I. Sari dan Juchairawati. 2010.
Pembuatan Film Selulosa dari Nata de Pina. Jurnal Rekayasa Kimia dan
Lingkungan Vol. 7, No. 3: 105-111.
Majesty, J., B.D. Argo., dan W.A. Nugroho. 2015. Pengaruh Penambahan Sukrosa dan
Lama Fermentasi Terhadap Kadar Serat Nata Dari Sari Nanas (Nata de Pina).
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem Vol. 3 No. 1: 80-85.
Misgiyarta. 2007. Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Rossi, E,. U. Pato dan S.R. Damanik. 2008. Optimalisasi Pemberian Ammonium Sulfat
terhadap Produksi Nata de Banana Skin. SAGU Vol.7 No.2: 30-36.
Wijayanti, F; Sri K; dan Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan Substrat Air Kelapa.
Jurnal Industria 1(2) : 86-93.
-
14
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:
Persentase Lapisan Nata = 100%x Awal Media Tinggi
NataKetebalan Tinggi
Kelompok B1
H0 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1
0 = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = 100%x 2
0,3 = 15 %
H14 Persentase Lapisan Nata = 100%x 2
0,8
= 40 %
Kelompok B2
H0 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1
0 = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1,5
0.5
= 33,33 %
H14 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,6
= 40 %
Kelompok B3
H0 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1,2
0 = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = 100%x 2,9
0,3 = 10,34 %
H14 Persentase Lapisan Nata = 100%x 2,9
0,5
= 17,24 %
-
15
Kelompok B4
H0 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1
0 = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = 100%x 2
0,4 = 20 %
H14 Persentase Lapisan Nata = 100%x 2
0,5
= 25 %
Kelompok B5
H0 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1
0 = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,5 = 33 %
H14 Persentase Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,8
= 53 %
5.2. Laporan Sementara
5.3. Jurnal